Post on 05-Aug-2015
description
Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha
dalam Hukum Perlindungan Konsumen
Nama:
Sylvia Diansari/ 05120100003
Dian Kartika/ 05120100004
Cindy Felia Tedja/ 05120100005
Cesaria Oktaviana/ 05120100011
Masyitha Shalatine/ 05120100016
Adean Halim/ 05120099029
FAKULTAS HUKUM 2010
UPH SURABAYA
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pembangunan dan perkembangan perekonomian di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa
yang dapat dikonsumsi. Kemajuan globalisasi dan perdagangan bebas didukung
kemajuan teknologi telekomunikasi semakin memperluas ruang gerak arus dan
transaksi barang dan/atau jasa. Akibatnya, barang dan/atau jasa yang ditawarkan
bervariasi, baik produksi dalam negeri maupun produksi luar negeri. Kondisi ini
memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan/atau jasa
sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Keadaan ini juga memberikan permasalahan bagi konsumen, sebab konsumen
dijadikan obyek aktivitas bisnis pelaku usaha untuk mencapai keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan mengesampingkan hak-hak konsumen. Oleh sebab itu,
diperlukan suatu regulasi untuk melindungi konsumen, yaitu Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut
dengan UUPK). Selain mengatur mengenai hak dan kewajiban sebagai konsumen
dan pelaku usaha, serta perbuatan-perbuatan yang dilarang dan/atau boleh
dilakukan oleh pelaku usaha. UUPK juga mencantumkan tanggung jawab pelaku
usaha atas segala kerugian dari konsumen akibat menggunakan barang/jasa yang
dihasilkan oleh pelaku usaha.
Konsumen selaku pihak yang dilindungi dalam UUPK harus mengenal dan
mengetahui siapa saja orang-orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas
kerugian yang dialami oleh konsumen. Dengan latar belakang ini, maka dibuatlah
makalah dengan judul Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha Dalam Hukum
Perlindungan Konsumen.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah pengertian dari Pelaku Usaha dan kepada siapa konsumen dapat
menuntut ganti rugi?
2. Apakah bentuk-bentuk tanggung jawab Pelaku Usaha?
3. Apakah Pengertian dari Product Liability?
4. Apakah tanggung jawab Pelaku Usaha atas kerugian yang dialami oleh
konsumen?
Bab II
Pembahasan
2.1 Pengertian Pelaku Usaha dan Pihak yang Bertanggung Jawab Atas
Kerugian Konsumen.
Pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 UUPK adalah setiap perseorangan atau badan
usaha baik yang berbentuk badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.
Penjelasan dari Pasal 1 angka 3 UUPK pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian
ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor,
dan lain-lain.
Pengertian perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara
tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba, baik
yang diselenggarakan oleh orang perorangan maupun badan usaha yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam
wilayah Negara Republik Indonesia (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan)
Pengertian korporasi adalah sebuah badan usaha yang berbentuk badan hukum
maupun yang bukan berbentik badan hukum
Pengertian BUMN (Badan Usaha Milik Negara) adalah persekutuan yang berbadan
hukum yang didirikan dan dimiiki oleh negara (UU No.9 Tahun 1969 jo. UU No.19
Tahun 2003 tentang BUMN)
Pengertian Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan
hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan.
Pengertian Importir adalah orang atau serikat dagang (perusahaan) yang memasukkan
barang-barang dari luar negeri.
Pengertian Pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan perniagaan sebagai
pekerjaanya sehari-hari
Pengertian distributor adalah orang atau lembaga yang melakukan distribusi
(penyalur) atau konsumen antara (pedagang yang membeli atau mendapatkan produk
barang dagangan dari tangan pertama atau produsen secara langsung)
Tujuan diketahuinya macam-macam Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen
adalah untuk mengetahui urutan Pelaku Usaha manakah yang digugat oleh konsumen
apabila ia merasa dirugikan, yaitu:
1) Pelaku Usaha pembuat produk tersebut, apabila berdomisili di dalam negeri
dan tempatnya diketahui oleh konsumen.
2) Apabila produksi yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar
negeri, maka konsumen dapat menggugat importirnya. (Pasal 21 ayat 1 dan 2
UUPK)
3) Apabila produsen/importir tak diketahui domisilinya, maka yang digugat
adalah penjual (kepada siapa konsumen membeli barang tersebut).
2.2 Bentuk-Bentuk Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Bentuk-bentuk tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain :
a) Contractual liability,
yaitu tanggung jawab perdata atas dasar perjanjian atau kontrak dari pelaku usaha
atas kerugian yang dialami konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau memanfaatkan jasa yang diberikannya. Dalam hal terdapat
hubungan perjanjian (privity of contract) antara pelaku usaha dengan konsumen
mengenai kesepakatan pada program investasi melalui internet, maka tanggung jawab
pelaku usaha di sini didasarkan pada contractual liability (pertanggung jawaban
kontraktual). Berkaitan dengan contoh kasus pada program investasi BCA-
Bersama.com, bentuk tanggung jawabnya adalah melalui contractual liability.
b) Product liability,
yaitu tanggung jawab perdata terhadap produk secara langsung dari pelaku usaha atas
kerugian yang dialami konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan.
Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum
(tortius liability). Unsur-unsur dalam tortius liability antara lain adalah unsur
perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian dan hubungan kasualitas antara
perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang timbul. Jadi , Product liability
Dalam hal tidak terdapat hubungan perjanjian (no privity of contract) antara pelaku
usaha dengan konsumen, tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada product
liability atau pertanggungjawaban produk. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 19
Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
c) Professional liability,
Dalam hal terdapat perjanjian (privity contract) antara pelaku usaha dengan
konsumen, dimana prestasi pelaku usaha dalam hal ini sebagai pemberi jasa tidak
terukur sehingga merupakan perjanjian ikhtiar yang didasarkan pada iktikad baik,
tanggung jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggungjawaban profesional ini
menggunakan tanggung jawab langsung (strict liability) dari pelaku usaha atas
kerugian yang dialami konsumen akibat memanfaatkan atau menggunakan jasa yang
diberikanya. Sebaliknya ketika hubungan perjanjian (privity of contract) tersebut
merupakan prestasi yang terukur sehingga merupakan perjanjian hasil, tanggung
jawab pelaku usaha didasarkan pada pertanggungjawaban profesional yang
menggunakan tanggung jawab perdata atas perjanjian/kontrak (contractual liability)
dari pelaku usaha sebagai pengelola program investasi apabila timbul kerugian yang
dialami konsumen sebagai akibat memanfaatkan atau menggunakan jasa yang
diberikan.
d) Criminal liability,
yaitu pertanggungjawaban pidana dari pelaku usaha sebagai hubungan antara pelaku
usaha dengan negara. Dalam hal pembuktian, yang dipakai adalah pembuktian
terbalik seperti yang diatur dalam Pasal 22 Undang- Undang Perlindungan
Konsumen, yang menyatakan bahwa pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsur
kesalahan dalam kasus pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, yaitu kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian
yang dialami konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha, tanpa
menutup kemungkinan dalam melakukan pembuktian. Jadi , kedudukan tanggung
jawab perlu diperhatikan, karena mempersoalkan kepentingan konsumen harus
disertai pula analisis mengenai siapa yang semestinya dibebani tanggung jawab dan
sampai batas mana pertanggung jawaban itu dibebankan kepadanya. Tanggung jawab
atas suatu barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan atau industri, dalam
pengertian yuridis lazim disebut sebagai product liability.
Prinsip Tanggung Jawab
Secara umum prinsip tanggung jawab dibedakan menjadi 5, yaitu:
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault)
Kalau yang digugat tidak terbukti maka yang tergugat bebas, harus dapat
dibuktikan oleh yang mendalilkan kesalahan tergugat. Pada pasal 1365 BW yang
berbunyi “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
seorang lain. Mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu
mengganti kerugian tersebut.” Dalam pasal ini terdapat unsur-unsur sebagai
berikut:
a) Adanya perbuatan
b) Adanya unsur kesalahan
c) Adanya kerugian yang diderita
d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian
2. Prinsip praduga selalu bertanggung jawab/pembuktian terbalik (presumption of
liability)
Tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai dia dapat membuktikan
bahwa dia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada si tergugat.
3. Prinsip praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability)
Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas
dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.
Sebagai contoh pada hukum pengangkutan pada bagasi atau kabin tangan,
yang didalam pengawasan konsumen sendiri.
4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)
Biasanya prinsip ini diterapkan karena beberapa hal, diantaranya:
a) Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya
kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks;
b) Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada
gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah
komponen biaya tertentu pada harga produknya;
c) Asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.
Prinsip ini bisa digunakan untuk menjerat pelaku usaha (produsen barang) yang
memasarkan produknya yang merugikan konsumen (product liability).
Product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal:
a) Melanggar jaminan, misalnya khasiat tidak sesuai janji;
b) Ada unsur kelalaian (negligence), misalnya lalai memenuhi standar
pembuatan obat yang baik;
c) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability)
5. Prinsip pembatasan tanggung jawab (limitation of liability)
Contoh dari prinsip ini adalah dalam hal cuci cetak film, bila film yang dicuci itu
hilang maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali
lipat dari harga aslinya.
Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Transaksi
Tanggung jawab pelaku usaha dalam hal transaksi dalam hukum perlindungan
konsumen ada 3 macam, yaitu:
Tanggung jawab atas informasi
Tanggung jawab atas informasi ini meliputi tanggung jawab informasi atas iklan
di internet (webvertizing), bisa juga tanggung jawab atas informasi atas kontrak
elektronik, dan juga atas upaya penyelesaian sengketa konsumen secara patut
Tanggung jawab atas produk
Tanggung jawab atas produk disini yaitu pelaku usaha bertanggung jawab untuk
memberikan ganti rugi. Ganti rugi yang bisa dikenakan terhadap pelaku usaha
misalnya, kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang yang dihasilkannya atau diperdagangkannya
Tanggung jawab atas keamanan
Tyang dimaksud dengan tanggung jawab atas keamanan pelaku usaha wajib
untuk menjaga keamanan konsumen pada saat konsumen melakukan transaksi,
khususnya pada jaringan transaksi yang dilakukan secara elektronis. Pada
transaksi ini harus mempunyai kemampuan untuk menjamin keamanan dan
kehandalan arus informasi. Perlu diperhatikan untuk pihak merchat perlu
menyediakan jaringan sistem yang cukup memadai untuk mengontrol keamanan
transaksi.
2.3 Pengertian Product Liability
Tanggung jawab produk atau biasa disebut product liability adalah salah satu
lembaga hukum yang mencakup seluruh wilayah secara internasional yang perlu
diperhatikan dalam revisi maupun pembentukan hukum ekonomi nasional. Melalui
adanya lembaga hukum ini, segala kegiatan perekonomian yang menghasilkan
keuntungan tidak boleh mengandung unsur kecurangan semata-mata untuk
menguntungkan dia sendiri karna ada hukum ekonomi nasional yang secara tegas
mengatur. Secara historis, product liability lahir karena ketidak seimbangan tanggung
jawab antara produsen dan konsumen.
Menurut Johanes Gunawan, Tujuan utama dunia hukum memperkenalkan product
liability adalah:
a. memberi perlindungan kepada konsumen
b. agar terdapat pembebanan risiko yang adil antara produsen dan konsumen
Ciri-ciri product liability:
1. yang dapat dikategorikan sebagai produsen. (pengertian produsen ada pada pasal 1
angka 3 UU No. 8 tahun 1999)
2. yang dapat dikategorikan sebagai konsumen (pengertian konsumen ada pada pasal
1 angka 2 UU No. 8 tahun 1999)
3. yang dapat dikategorikan sebagai produk (pengertian produk ada pada pasal 1
angka 4 UU No. 8 tahun 1999)
4. yang dapat dikategorikan sebagai kerugian
5. yang dapat dikategorikan bilamana mengandung kerusakan apabila suatu produk
tidak memenuhi keamanan dari harapan seseorang dengan mempertimbangkan semua
aspek.
Dalam prinsip product liability berlaku sistem tanggung jawab mutlak. Hal ini berarti
prinsip tanggung jawab di mana kesalahan tidak dianggap sebagai faktor yang
menetukan. Dalam tanggung jawab mutlak tidak harus ada hubungan antara subyek
yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Jika konsumen yang merasa dirugikan
atas produk yang dihasilkan suatu produsen atau pelaku usaha, maka itu menjadi
dasar untuk bisa menggugat produsen yang bersangkutan tanpa harus membuktikan
kesalahan pelaku usaha atau produsennya. Pelaku usaha dan atau produsen bisa
terlepas dari tanggung jawab itu jika dia bisa membuktikan bahwa kesalahan itu
merupakan kesalahan konsumen atau setidaknya bukan kesalahannya; sebaliknya ia
akan dikenai tanggung jawab jika tidak bisa mampu membuktikan tuntutan konsumen
itu. UUPK mengatur hal ini dalam pasal 19 ayat 5, pasal 27 dan pasal 28.
2.4 Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Kerugian yang Dialami Oleh
Konsumen
Berdasarkan substansi pasal 19 diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha
meliputi :
1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan
2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran
3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang
atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan
yang berlaku.
(3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih
lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila
pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan
konsumen.
Secara garis besar ada 2 kategori tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami
oleh konsumen, yaitu :
a. Tuntutan berdasarkan Wanprestasi
Berdasarkan wanprestasi.
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi
prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang
dirugikan. Tetapi ada kalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik
karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk.
Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan
kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang
telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun
bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:
1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka
dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur
dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Prestasi adalah sesuatu yang dapat dituntut. Jadi dalam suatu perjanjian suatu
pihak (biasanya kreditur/ berpiutang) menuntut prestasi pada pihak lainnya
(biasanya debitur/ berutang). Menurut Pasal 1234 KUHPer prestasi terbagi dalam
3 macam:
1. Prestasi untuk menyerahkan sesuatu (prestasi ini terdapat dalam ps. 1237
KUHPer);
2. Prestasi untuk melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu (prestasi jenis ini
terdapat dalam ps. 1239 KUHPer); dan
3. Prestasi untuk tidak melakukan atau tidak berbuat seuatu (prestasi jenis ini
terdapat dalam ps. 1239 KUHPer).
Apabila seseorang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian itu, maka
kewajiban pihak tersebut untuk melaksanakan atau mentaatinya.
Apabila seorang yang telah ditetapkan prestasi sesuai dengan perjanjian tersebut tidak
melaksanakan atau tidak memenuhi prestasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
maka disbut orang tersebut melakukan wanprestasi.
Apabila pihak debitur yang melakukan wanprestasi maka pihak kreditur yang
menuntut atau mengajukan gugatan. Ada tiga kemungkinan bentuk gugatan yang
mungkin diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat dari wanprestasi, yaitu:
a. Secara parate executie;
Dimana kreditur melakukan tuntutan sendiri secara langsung kepada debitur
tanpa melalui pengadilan. Dalam hal ini pihak yang bersangkutan bertindak
secara eigenrichting (menjadi hakim sendiri secara bersama-sama). Pada
prakteknya, parate executie berlaku pada perikatan yang ringan dan nilai
ekonomisnya kecil.
b. Secara arbitrage (arbitrase) atau perwasitan;
Karena kreditur merasakan dirugikan akibat wanprestasi pihak debitur, maka
antara kreditur dan debitur bersepakat untuk menyelesaikan persengketaan
masalah mereka itu kepada wasit (arbitrator). Apabila arbitrator telah
memutuskan sengketa itu, maka pihak kreditur atau debitur harus mentaati
setiap putusan, walaupun putusan itu menguntungkan atau emrugikan salah
satu pihak.
c. Secara rieele executie
Yaitu cara penyelesaian sengketa antara kreditur dan debitur melalui hakim di
pengadilan. Biasanya dalam sengketa masalah besar dan nilai ekonomisnya
tinggi atau antara pihak kreditur dan debitur tidak ada konsensus penyelesaian
sengketa dengan cara parate executie, maka penyelesaian perkara ditempuh
dengan rileele executie di depan hakim di pengadilan.
b. Tuntutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum
Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam ps. 1365 sampai
dengan ps.1380 KUHPer. Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan
kerugian pada orang lain, mewajibkan pembuat yang bersalah untuk mengganti
kerugian (ps. 1365 KUHPer).
Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan
dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan
undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati
dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan
karena perbuatan yang melawan hukum itu; antara lain kerugian-kerugian dan
perbuatan itu harus ada hubungannya yang langsung; kerugian itu disebabkan
karena kesalahan pembuat. Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada
kesengajaan atau kealpaan (kelalaian).
Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga
dalam tidak berbuat sesuatu. Dalam KHUPer ditentukan pula bahwa setiap orang
tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya sendiri, tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena
perbuatan orang-orang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang
berada dibawah pengawasannya.
Ditentukan antara lain, bahwa orang tua bertanggung jawab terhadap kerugian
yang ditimbulkan karena perbuatan-perbuatan anak-anaknya yang belum cukup
umur yang diam bersama mereka. Seorang majikan bertanggung jawab terhadap
kerugian yang ditimbulkan oleh orang bawahannya dalam melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka. Guru sekolah bertanggung
jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan-perbuatan murid
selama dalam pengawasannya. Kerugian yang ditimbulkan dapat berupa kerugian
harta benda, tetapi dapat pula berupa berkurangnya kesehatan atau tenaga kerja.
Apabila tuntutan ganti kerugian berdasarkan pada wanprestasi, maka terlebih
dahulu tergugat (produsen dan konsumen) terikat perjanjian. Sehingga pihak ke 3
(bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut
ganti kerugian dengan alasan wan prestasi.
Tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak
perlu didahului dengan perjanjian atara perodusen dengan konsumen.
MEKANISME TUNTUTAN GANTI RUGI DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Di dalam dunia perdagangan tidak jarang kita mendengar adanya kelalaian atau tidak
adanya itikad baik pada pelaku usaha yang sering kali menimbulkan kerugian pada
konsumen. Namun karena keterbatasan pengetahuan, konsumen tidak tahu bagaimana
cara untuk menuntut kerugian yang mereka alami. Untuk itu, perlu dibuat mekanisme
tuntutan ganti rugi di dalam Hukum Perlindungan Konsumen guna membantu
mengatasi keterbatasan pengetahuan tersebut.
Mekanisme tuntutan ganti rugi
Konsumen dapat menuntut ganti berdasarkan perbuatan melawan hukum Pasal 1365
KUHPerdata. Untuk dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan perbuatan melawan
hukum harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perbuatan itu harus melawan hukum
Perbuatan melawan hukum tidak lagi hanya sekedar melanggar undang-undang,
melainkan perbuatan melawan hukum tersebut dapat berupa: Melanggar hak
orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, berlawanan
dengan kesusilaan baik, berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya
diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.
2. Ada Kerugian
Kerugian yang timbul dari perbuatan orang lain, dalam hal ini pelaku usaha, baik
itu kerugian materiil maupun kerugian immateriil.
3. Ada hubungan sebab akibat
Hubungan sebab akibat misalnya hubungan kerugian yang diterima konsumen
dengan tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha.
4. Ada Kesalahan (schuld)
Adanya unsur kesalahan yang dapat dibuktikan.
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa
konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan
pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan
atau diluar pengadilan. Dalam UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam
Bab X pasal 45-48. Penyelesaian dengan cara non-peradilan bisa dilakukan melalui
Alternatif Resolusi Masalah (ARM) di BPSK, LPKSM, Direktorat Perlindungan
Konsumen atau lokasi-lokasi lain yang telah disetujui kedua belah pihak.
Suatu produk dapat disebut cacat karena beberapa sebab yaitu:
1. Kesalahan produk atau manufaktur
Cacat seperti ini adalah cacat yang sedemikian rupa sehingga dapat membahayakan
harta benda, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen. Cacat demikian menjadikan
keadaan produk berada dibawah tingkat pengharapan konsumen.
2. Cacat desain
Sebab apabila desain produk tidak dipenuhi sebagaimana mestinya maka
kemungkinan akan timbul kejadian yang merugikan konsumen.
3. Informasi yang tidak memadai
Cacat peringatan atau instruksi adalah cacat produk karena tidak dilengkapi dengan
peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan tertentu. Tanggung jawab
atas cacat peringatan ini secara tegas dibebankan kepada produsen, tetapi dengan
syarat-syarat tertentu beban tanggung jawab juga bisa dibebankan kepada pelaku
usaha lainnya seperti importir produk, distributor atau pedagang pengecernya
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
UU Perlindungan Konsumen telah mengatur mengenai upaya hukum yang
dapat dilakukan oleh konsumen apabila ia dirugikan. Dalam hal ini, konsumen
juga harus memahami seluk beluk mengenai UUPK sebab Pelaku Usaha juga
mengambil celah-celah hukum yang terdapat dalam UUPK sehingga
seringkali gugatan yang dilakukan oleh konsumen terhadap Pelaku Usaha
tersebut gugur dan konsumen tetap dirugikan.
Melalui pembahasan ini Konsumen dapat mengetahui pihak manakah yang
harus digugatnya, dengan alasan atau dasar apakah konsumen dapat
menggugat konsumen, dan unsur-unsur apa sajakah yang dapat digunakan
untuk melakukan tuntutan ganti rugi. Dengan demikian, konsumen tetap dapat
memperjuangkan hak-haknya dalam menggunakan suatu barang/jasa yang
telah dibayarnya.
3.2 Saran
UUPK perlu dimusyawarahkan kepada masyarakat sehingga masyarakat juga
dapat mengetahui bahwa pemerintah berupaya untuk melindungi konsumen
dari itikad tidak baik pelaku usaha.