Post on 14-Sep-2019
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH WISATA
(Analis Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor 02/MUNAS-VIII/MUI/2010 tentang Nikah Wisata)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh :
Nama : Khusni Tamrin
NPM : 1321010007
Program Studi : Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN INTAN
LAMPUNG
1438 H/2017 M
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH WISATA
(Analis Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Nomor 02/MUNAS-VIII/MUI/2010 tentang Nikah Wisata)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh :
Nama : Khusni Tamrin
NPM : 1321010007
Program Studi : Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Pembimbing I : Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A.
Pembimbing II : Drs. Susiadi, AS, M.Sos.I.
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) RADEN INTAN
LAMPUNG
1438 H/2017 M
ABSTRAK PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH WISATA
(Analisis Terhadap Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor
02/MUNAS-VIII/MUI/2010 Tentang Nikah Wisata)
Oleh :
Khusni Tamrin
Diantara pernikahan yang ada adalah pernikahan yang
sah dan pernikahan yang tidak sah. Pernikahan yang sah
merupakan pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat dari
pernikahan serta di catatkan di instansi yang bertugas
melakukan pencatatan pernikahan. Sedangkan pernikahan yang
tidak sah merupakan pernikahan yang tidak terpenuhinya salah
satu dari rukun dan syarat pernikahan, dan diantara pernikahan
yang tidak sah hukmunya yaitu nikah wisata. Nikah wisata
merupakan bentuk penikahan yang dilakukan dengan memenuhi
rukun dan syarat pernikahan, namun pernikahan tersebut
diniatkan dan/atau disepakati untuk sementara semata-mata
hanya untuk memenuhi kebutuhan selama dalam
wisata/perjalanan. Nikah wisata masih diperdebatkan hukumnya
oleh para ulama, ada yang setuju dengan pernikahan tersebut
dan banyak yang tidak setuju. MUI telah memfatwakan ketidakbolehan nikah wisata, karena nikah wisata diibaratkan
hampir sama dengan nikah mut‟ah.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana
praktik nikah wisata dan bagaimana analisis hukum Islam
terhadap fatwa majelis ulama Indonesia tentang nikah wisata.
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana praktik pernikahan wisata yang ada
ditengah-tengah masayarakat Indonesia dan mengetahui
bagaimana analisis hukum Islam terhadap fatwa majelis ulama
Indonesia tentang nikah wisata.
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian
kepustakaan (library research) yang sifat penelitiannya adalah
deskriptif analisis dengan menggunakan metode berfikir
deduktif. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data
sekunder, sumber data sekunder berisi bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer dalam penelitian
ini adalah fatwa majelis ulama Indonesia tentang nikah wisata,
sedangkan bahan hukum sekundernya adalah sekumpulan data
yang akan menunjang data primer.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan
bahwa Praktik-praktik nikah wisata adalah praktik pernikahan
yang terdapat akad serah terimah (ijab dan qabul), akan tetapi
ijab qabul yang dilakukan pada pernikahan tersebut berbeda
dengan nikah yang dianjurkan dalam agama, jika dalam nikah
yang dianjurkan oleh agama proses ijab dan qabulnya antara
wali dari mempelai perempuan kepada mempelai laki-laki,
namun ijab dan qabul dalam nikah wisata hanya dilakukan oleh
calon mempelai perempuan dengan mempelai laki-laki sehingga
lafadz nikahnya pun berbeda dan yang membedakan nikah
wisata dengan dengan pernikahan pada umumnya yaitu dalam
nikah wisata terdapat batasan usia pernikahan sesuai
kesepakatan antara kedua belah pihak di waktu akad. Fatwa
MUI tentang nikah wisata merupakan fatwa yang dikeluarkan
untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa nikah
wisata adalah pernikahan yang hukumnya haram, fatwa tersebut
sesuai dengan kaidah hukum Islam yaitu maqâshid al-syariʻah
(tujuan hukum Islam) karena fatwa tentang nikah wisata
merupakan salah satu upaya agar tidak menghilangkan nasab
seorang anak.
MOTTO
Artinya: “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama
lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-
istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat
(ikatan pernikahan) dari kamu”.1
1 Departemen Agama RI Al-Hikmah, Al-Qur‟an dan Terjemahnya,
(Bandung: Diponegoro, Cetakan XX), h. 81.
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT.
yang telah memberikan nikmat kesehatan sehingga penulis bisa
menyelesaikan tugas akhir perkuliahan di S1. Karya skripsi ini
saya persembahkan untuk orang-orang tercinta dan terkasih
yang ada di kehidupan penulis, mereka adalah:
1. Ayahanda Hi. Mahful dan Ibunda Hj. Maskanah yang
telah mendidik dengan penuh kesabaran, memberikan
motivasi terbaik dengan nasihat-nasihatnya dan selalu
mendoakan dengan sangat tulus pada setiap saat serta
selalu mendukung langkah yang penulis jalani dalam
mewujudkan apa yang menjadi cita-cita penulis;
2. Saudara-saudariku tercinta Mba Nur Khasanah, Mba Siti
Fatimah, Mas Mukhtar Abidin, S.S.I, Mas Ali firdaus,
S.H.I, M.H, Mba Siti Aisyah, S.Pd, Mas Muhammad
Bashori, Amd.Kep, dan Adikku Yasir Arafat yang telah
memberikan motivasi dan semangat dalam belajar untuk
meraih cita-citaku. Semoga kita semua dapat
membanggakan kedua orang tua kita. Amin.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Khusni Tamrin lahir di Dusun
Pengaleman, Pekon Kresnomulyo kecamatan Ambarawa kab.
Pringsewu pada tanggal 9 Agustus 1994, merupakan anak ke
tujuh dari delapan bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak
Mahful dan Ibu Maskanah.
Pendikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis
adalah:
1. Sekolah Dasar di SD Negeri 03 Kresnomulyo, lulus pada
tahun 2007
2. Madrasah Tsanawiyah di MTs Negeri Pringsewu, lulus pada
tahun 2010
3. Madrasah Aliyah di MA Negeri Pringsewu lulus, pada tahun
2013
Pada tahun 2013 penulis melanjutkan studi di Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Intan Lampung Program
Strata 1 (S1) Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. yang
telah memberikan kenikmatan Iman, Islam dan Ihsan serta
nikmat kesehatan jasmani dan rohani, sehingga skripsi dengan
judul “Perspektif Hukum Islam Tentang Nikah Wisata” dapat
diselesaikan.
Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mencapai
gelar Sarjana Hukum di Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN
Raden Intan Lampung. Dalam penulisan skripsi ini tentu saja
tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak,
untuk itu melalui skripsi ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Moh. Mukri, M.Ag, selaku Rektor
UIN Raden Intan Lampung;
2. Bapak Dr. Alamsyah, S.Ag, M.Ag, selaku dekan
Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Raden Intan
Lampung;
3. Bapak Marwin, S.H, M.H, selaku Ketua Jurusan Ahwal
Al-Syakhshiyah UIN Raden Intan Lampung dan Bapak
Gandhi Liyorba Indra, S.Ag, M.Ag, selaku Sekertaris
Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah UIN Raden Intan
Lampung;
4. Bapak Dr. H. Yusuf Baihaqi, M.A, selaku pembimbing
akademik dan pembimbing I yang mendidik penulis dan
memberikan bimbingan serta arahan bagi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini dengan baik;
5. Bapak Drs. Susiadi, AS, M.Sos.I selaku dosen
pembimbing II yang telah bersedia mengoreksi dan
memberikan masukan kepada penulis dalam
mengerjakan skripsi;
6. Seluruh civitas akademika fakultas Syari‟ah dan Hukum
UIN Raden Intan Lampung yang telah mendidik,
membimbing dan membantu penulis selama mengikuti
perkuliahan;
7. Pimpinan dan karyawan baik Perpustakaan Fakutlas
Syari‟ah dan Hukum maupun Perpustakaan pusat UIN
Raden Intan Lampung.
8. Kuucapkan terima kasih juga kepada Ahmad Nasrul
Ulum, Dika Juan Aldira, Denis Candra Dewangsa, Dodi
Sahrian, Dono Karyono, M. Nashirun, M. Yongki Septia
Jaya dan Mahfud Arifin yang telah memberi semangat,
menemani serta membantu penulis selama proses belajar
di bangku perkuliahan. Semoga kita semua menjadi
generasi penerus bangsa yang sukses dan semoga
hubungan kekeluargaan yang kita bangun tidak berhenti
di bangku perkuliahan saja.
9. Sahabat-sahabat mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan
Hukum khususnya dari jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah
angkatan 2013.
10. Sahabat-sahabat Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kampung
Sri Basuki Kecamatan Seputih Banyak Kabupaten
Lampung Tengah.
11. Sahabat-sahabat Wisma Putra Jabal Nur yang telah
menemani penulis dalam proses belajar baik siang
maupun malam.
12. Semuan pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
oleh penulis namun telah membantu penulis dalam
penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya, dengan iringan terimakasih penulis
memanjatkan doa kekhadirat Allah SWT. semoga jerih payah
dan amal bapak-bapak dan ibu-ibu serta teman-teman sekalian
akan mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT
dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan para pembaca pada umumnya. Amin.
Bandar Lampung, Juni 2017
Khusni Tamrin
NPM. 1321010007
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................ i
ABSTRAK ................................................................................. ii
PERSETUJUAN ...................................................................... iv
PENGESAHAN ....................................................................... v
MOTTO .................................................................................... vi
PERSEMBAHAN .................................................................... vii
RIWAYAT HIDUP .................................................................. viii
KATA PENGANTAR ............................................................. ix
DAFTAR ISI ............................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul .............................................................. 1
B. Alasan Memilih Judul ..................................................... 2
C. Latar Belakang Masalah ................................................. 3
D. Rumusan Masalah ........................................................... 6
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................... 6
F. Metode Penelitian ........................................................... 7
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pernikahan ................................................... 13
B. Hukum-hukum pernikahan ............................................ 15
C. Dasar Hukum pernikahan .............................................. 17
D. Rukun dan Syarat Pernikahan ........................................ 23
E. Hak dan Kewajiban Suami-Istri ..................................... 25
F. Macam-macam Pernikahan ............................................ 30
G. Tujuan Pernikahan ......................................................... 38
H. Hikmah Pernikahan ........................................................ 40
BAB III PENYAJIAN DATA
A. Pengertian Nikah Wisata ................................................ 43
B. Praktik-praktik Nikah Wisata ......................................... 45
C. Hukum Nikah Wisata .................................................... 51
D. Menurut Fatwa MUI ....................................................... 53
BAB IV ANALISIS
A. Praktik-praktik Nikah Wisata ......................................... 61
B. Hukum Nikah Wisata ..................................................... 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................. 71
B. Saran ............................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul
Supaya memudahkan pemahaman tentang judul skripsi
ini serta agar tidak menimbulkan kekeliruan dan
kesalahpahaman di kemudian, maka penulis akan menguraikan
secara singkat tentang istilah-istilah yang terdapat dalam skripsi
yang berjudul: PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG
NIKAH WISATA (Analisis Terhadap Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor 02/MUNAS-VIII/MUI/2010 Tentang
Nikah Wisata) sebagai berikut:
1. Perspektif adalah 1. Cara melukiskan suatu benda pada
permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh
mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar dan tingginya); 2.
Sudut pandang; pandangan.2
2. Hukum Islam menurut ulama fiqh adalah seperangkat
peraturan berdasarkan wahyu Allah SWT. dan sunnah Rasul
tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan
diyakini masyarakat untuk semua hal bagi yang beragama
Islam. 3 Sedangkan menurut Ahmad Rofiq hukum Islam
adalah peraturan yang diturunkan Allah kepada manusia
untuk dipedomani dalam berhubungan dengan Tuhannya,
dengan sesamanya, dengan lingkungannya, dan dengan
kehidupannya.4
3. Nikah Wisata merupakan bentuk pernikahan yang
dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat pernikahan,
namun pernikahan tersebut diniatkan dan/atau disepakati
untuk sementara, semata-mata hanya untuk memenuhi
kebutuhan selama dalam wisata/perjalanan.5
2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), h. 1062. 3 T.M. Hasbi Ashiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1995), h. 27. 4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,
2003), h. 4. 5 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fawa MUI Bidang Sosial
Dan Budaya, (Emir, 2015), h. 355.
Berdasarkan pengertian kata-kata penting diatas,
penulis dapat menyimpulkan bahwa kajian skripsi yang berjudul
“Perspektif Hukum Islam Tentang Nikah Wisata” adalah penulis
berupaya meneliti dan membahas pandagan hukum Islam dalam
menyikapi tentang adanya sebuah pernikahan yang terjadi di
masyarakat yang dikenal dengan istilah nikah wisata.
B. Alasan Memilih Judul
Ada beberapa alasan yang menjadi dasar penulis untuk
memilih judul ini sebagai bahan untuk penelitian, yaitu:
1. Alasan Objektif
a. Nikah wisata merupakan nikah yang dilakukan oleh
orang yang sedang berwisata dengan penduduk
pribumi, pernikahan tersebut masih terdengar asing
dengan istilah nikah wisata sehingga cukup menarik
untuk dibahas dalam skripsi.
2. Penulis ingin mengetahui bagaimana pandangan hukum
Islam terhadap nikah wisata karena pernikahan wisata ini
semakin diminati dikalangan kaum muslim khususnya
bagi para pengusaha.
3. Alasan Subjektif
a. Nikah wisata selain menarik untuk dibahas, juga
terdapat sarana yang mendukung dalam penulisan
skripsi ini seperti literatur-literatur, referensi-
referensi yang terdapat di perpustakaan, serta adanya
informasi dan data-data yang dibutuhkan dalam
literatur.
b. Pembahasan mengenai persepektif hukum Islam
tentang nikah wisata belum ada di Fakultas Syari‟ah
dan Hukum UIN Raden Intan Lampung.
c. Judul skripsi ini relevan dengan disiplin ilmu yang
penulis pelajari di Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyah (Hukum
Keluarga).
C. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki
kecenderungan untuk hidup saling berpasangan antara laki-laki
dengan perempuan. Hidup berpasangan antara laki-laki dengan
perempuan bisa diperoleh dengan cara melaksanakan
pernikahan yang memenuhi rukun dan syarat dari pernikahan.
Mempunyai pasangan atau pendamping hidup selain menjadi
teman untuk bercerita, ialah untuk bisa menyalurkan kebutuhan
biologis yang sah.
Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6
Pasal tersebut menegaskan bahwa suatu pernikahan haruslah
memiliki tujuan yang mulia, tujuan tersebut adalah dengan cara
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal.
Kekal dalam artian bahwa hubungan suami-istri yang dijalin itu
haruslah memiliki suatu konsep yang dapat mempertahankan
status suami-istri hingga akhir hayat (sampai maut
memisahkan). Nikah adalah suatu akad yang menghalalkan
hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dan
saling menolong diantara keduanya serta menentukan batas hak
dan kewajiban diantara keduanya.7 Pernikahan terjadi setelah
terpenuhinya rukun dan syarat dalam pernikahan, salah satu
rukun pernikahan adalah melaksanakan ijab dan qabul atau
serah terima dari wali mempelai perempuan kepada mempelai
laki-laki. Dalam ijab dan qabul yang dilakukan oleh wali
mempelai perempuan dengan mempelai laki-laki merupakan
suatu akad atau perjanjian bahwa laki-laki tersebut siap
bertangung jawab baik lahir maupun batin kepada mempelai
perempuan dan harus bisa mempertahankan keutuhan rumah
tangga dalam keadaan apapun.
6 Undang-Undang Perkawinan UU No. 1 Tahun 1974, (Surabaya:
Rona Publishing), h. 8. 7 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: CV Pustaka
Setia, Cetakan VII, 2013), h. 13.
Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur‟an surat Al-Nisa
ayat 21;
﴿ ٢١: النساء﴾ Artinya: “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama
lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-
istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat
(ikatan pernikahan) dari kamu”.8
Surat Al-Nisa ayat 21 tersebut menyebutkan bahwa
pernikahan merupakan suatu perjanjian yang kuat atau mîtsâqan ghalîzhan, jadi sudah sepantasnya jika sudah melakukan
pernikahan hendaknya menjaga penikahan tersebut dengan
sebaik-baiknya agar tidak terjadinya sebuah perceraian. Islam
adalah agama rahmat bagi semesta alam, dalam Islam perceraian
adalah pintu terakhir apabila terjadi pertengkaran antara suami-
istri dan apabila tidak bisa menjalin pernikahan dengan ma‟ruf
atau tidak bisa menjalankan perintah-perintah-Nya serta
dikhawatirkan akan melanggar larangan-larangan-Nya, maka
Islam membolehkan pasangan suami-istri tersebut untuk
bercerai. Peceraian adalah perkara yang dihalalkan namun
perceraian dibenci oleh Allah SWT. sebagaimana dalam hadis
Nabi SAW.
قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم : عن ابن عمر رضي اهلل عن هما قال رواه أبو داود وابن ماجو وصححو اااكم . أب ااحلل عن اهلل اللطحل
ورج أبو اا رسالو
8 Departemen Agama RI Al-Hikmah Al-Qur‟an dan Terjemahnya,
(Bandung: Diponegoro, Cetakan XX), h. 81.
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu „Anhuma
dia berkata: bahwa Rasul SAW. bersabda, “Perkara
halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq.” H.R.
Abu Daud dan Ibnu Majah, disahkan oleh Hakim dan
ditarjih oleh Abu Hatim.9
Kaitannya dengan pernikahan, di Indonesia terdapat
pernikahan antara orang muslim asing dan muslimah pribumi
yang menikah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada,
yakni telah memenuhi rukun dan syarat dari pernikahan tersebut.
Akan tetapi, dalam pernikahan yang dilakukan oleh Warga
Negara Asing (WNA) dengan Warga Negara Indonesia (WNI)
tersebut terdapat unsur yang merugikan salah satu pihak, karena
sejak awal sudah terdapat perjanjian bahwa pernikahan tersebut
diniatkan dan/atau disepakati untuk sementara, semata-mata
hanya untuk memenuhi kebutuhan selama dalam
wisata/perjalanan. Nikah wisata merupakan salah satu bentuk
dari nikah mut‟ah (zawâj mu‟aqqat). Nikah mut‟ah yaitu nikah
yang ditentukan untuk sesuatu waktu tertentu, atau perkawinan
yang terputuskan.10
Nikah mut‟ah pernah dibolehkan pada saat terjadi
perang Authas dan sekarang pernikahan tersebut sudah
diharamkan sampai hari kiamat sebagaimana yang disabdakan
Nabi SAW. sebagai berikut;
رخطص رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم عام : عن اياس بن سلمة عن ابيو قال عة ثحلثا ثط ن هى عن ها مسلمرواه اوطاس ف المت
Artinya: Bersumber dari Iyas bin Salamah, dari
ayahnya, dia berkata: “Pada tahun Authas atau
tahun peristiwa penaklukan kota Makkah,
Rasulullah s.a.w. memberikan kemurahan
9 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam,
Penerbit JABAL, Bandung, Cetakan V, 2013, h. 270. 10
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Prenanda Media
Group, Jakarta, Cetakan III, 2008, h. 37.
melakukan nikah mut‟ah selama tiga hari.
Kemudian beliau melarangnya.”11
Terjadinya fenomena nikah wisata yang ada di
masyarakat Indonesia membuat masyarakat resah karena tidak
ada hukum mengenai pernikahan wisata tersebut. Oleh sebagian
kalangan yang setuju dengan nikah wisata menyebutkan bahwa
nikah wisata itu berbeda dengan nikah mut‟ah, sehingga mereka
berpendapat bahwa nikah wisata itu boleh dan dihalalkan.
Sedangkan golongan yang menolak nikah wisata mempunyai
pendapat yang berbeda dengan yang setuju, golongan yang
menolak adanya nikah wisata berpendapat bahwa nikah wisata
itu sama halnya dengan nikah mut‟ah dan nikah mut‟ah itu
sudah diharamkan hukumnya sampai hari kiamat. Sebenarnya
mut‟ah ini sudah diharamkan hukumnya oleh fatwa Majelis
Ulama Indonesia dalam fatwanya tersebut disebutkan bahwa
nikah mut‟ah hukumnya adalah haram.
Penulis dalam skripsi ini akan berusaha menggali
hukum nikah wisata dilihat dari perspektif hukum Islam. Oleh
sebab itu, penulis mengambil judul “Perspektif Hukum Islam
Tentang Nikah Wisata”.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah
dijelaskan tersebut, maka penulis mengemukakan pokok
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik nikah wisata?
2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap fatwa MUI
tentang nikah wisata?
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut:
11
Imam Abu Husein Muslim Bin Hajjaj Al-Qusyairi An Naisaburi,
Terjemahan KH. Adib Bisri Musthofa, Terjemah Shahih Muslim Juz 2,
(Semarang: CV Asy Syifa‟, 1993), h. 752.
a. Tujuan Objektif
1) Untuk mengetahui bagaimana praktik-praktik nikah
wisata yang ada di tengah-tengah masyarakat;
2) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana
pandangan hukum Islam tentang nikah wisata.
b. Tujuan Subjektif
1) Sebagai pelaksana tugas akademik, yaitu untuk
melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum (SH), pada Fakultas Syari‟ah
dan Hukum UIN Raden Intan Lampung.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan penelitian teoritis ini sebagai bentuk
kontribusi dalam rangka memperkaya khazanah ilmu
penegtahuan, dapat menjadi bahan referensi ataupun
bahan diskusi bagi para mahasiswa Fakultas Syari‟ah
dan Hukum, maupun masyarakat umum serta berguna
untuk perkembangan ilmu pengetahuan khususnya
berkaitan dengan hukum Islam.
b. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
(S.H) pada Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
untuk memudahkan dalam pengumpulan data, pembahasan dan
menganalisa data. Metode penelitian bermakna seperangkat
pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis dan logis
tentang pencarian data yang berkenaan dengan masalah tertentu
untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya
dicarikan cara pemecahannya.12
Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan
metode penelitian sebagai beikut:
12
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h. 194.
1. Jenis Penelitian
Dilihat dari jenis penelitiannya, maka penelitian ini
termasuk penelitian kepustakaan (library research).
Penelitian kepustakaan adalah pengkajian informasi tertulis
mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan
dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam
penelitian hukum normatif.13
Untuk memperoleh data ini,
penulis mengkaji literatur-literatur berasal dari perpustakaan
yang memiliki relevansi dengan penelitian yang penulis
lakukan. Literatur yang berhubungan dengan pembahasan
dalam skripsi ini antara lain yaitu Al-Qur‟an, Al-Hadis,
buku-buku fiqh (fiqh munakahat, fiqh Islam, fiqh sunah),
serta literatur lainnya yang mempunyai hubungan dengan
permasalahan yang dikaji oleh penulis dalam penelitian ini.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu
bertujuan untuk memberikan penilaian terhadap persoalan
dengan cara melakukan penelitian pustaka (library
research).14
Penyusun menganalisis permasalahan tersebut
menggunakan instrumen analisis-deduktif melalui
pendekatan filosofis, yakni dengan menelaah secara dalam
hingga bisa menemukan hikmah atau inti dari tujuan yang
dimaksud.15
Dalam hal ini penulis juga memberikan
penilaian terhadap terjadinya fenomena nikah wisata yang
ada di Indonesia.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan
penelitian pustaka (library research), yakni upaya membaca
dan menelaah serta mengutip beberapa buku, diantaranya
buku-buku fiqh, buku-buku tentang munakahat, serta
tulisan-tulisan yang ada kaitannya dengan pembahasan
13
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (PT.
Citra Aditya Bakti, 2004), h. 81. 14
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), h. 47. 15
Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1977), h. 50.
judul skripsi ini di perpustakaan. Sumber data yang akan
penulis gunakan antara lain:
a. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data
sekunder. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh
peneliti dari sumber yang telah ada.
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah: sumber-sumber yang
memberikan data langsung dari tangan pertama.16
Diantaranya
adalah fatwa majelis ulama indonesia nomor 02/Munas-
VIII/MUI/2010 tentang nikah wisata, Al-Qur‟an, Al-Hadis, dan
buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan nikah sebagai
bahan penelitian, yang diharapkan dapat memberikan gambaran
yang jelas dalam permasalahan yang akan diteliti dalam skripsi
ini.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan sekumpulan data yang
akan menunjang data primer yang berkaitan dengan objek
penelitian. Sebagai rujukan dalam penelitian ini adalah buku-
buku yang bekaitan dengan masalah yang diteliti seperti kitab-
kitab fiqih dan buku-buku lainnya.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Biasannya bahan hukum tersier
diperoleh dari kamus bahasa indonesia, ensiklopedia, artikel dan
lain sebagainya.
16
Ahmad anwar, Prinsip-prinsip Metodologi Research,
(Yogyakarta: Sumbangsih, 1974), h. 2.
4. Metode Pengolahan Data
Setelah penulis memperoleh data-data yang cukup untuk
penulisan skripsi ini, maka langkah selanjutnya penulis
akan melakukan pengolahan data dengan melakukan
beberapa langkah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan data (editing)
Penandaan data yaitu mengoreksi apakah data yang
terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah
sesuai dengan masalah yang dikaji.
b. Penandaan data (coding)
Menurut Muhammad Iqbal Hasan penandaan data
(coding) yaitu memberikan catatan atau tanda yang
menyatakan jenis sumber data (buku literatur);
pemegang hak cipta (nama penulis, tahun penerbitan);
atau urutan rumusan masalah (masalah pertama diberi
tanda A, masalah kedua diberi tanda B dan seterusnya).
Catatan atau tanda dapat ditempatkan dalam body text.
Jika buku itu literatur, catatan terdiri dari nama penulis,
tahun penerbitan dan halaman. Jika itu perundang-
undangan, catatan terdiri dari nomor pasal, nomor, tahun
dan judul undang-undang. Jika itu putusan pengadilan,
catatan terdiri dari nama pengadilan yang memutus
perkara, nomor kode, tahun dan judul putusan. Jika itu
dokumen atau catatan hukum, catatan terdiri dari nama,
nomor kode dan peristiwa hukum untuk nama dokumen
atau catatan hukum itu dibuat. Catatan atau tanda dapat
juga ditempatkan dibagian bawah teks yang disebut
dengan catatan kaki (footnote) dengan nomor urut.17
c. Rekontruksi data (recrontructing)
Rekontruksi data yaitu menyusun ulang data secara
teratur, berurutan, logis sehingga mudah dipahami dan
diinterpretasikan.18
17
Muhammad Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi
Penelitian Dan Aplikasinya, (Jakarta: Gralia Indonesia, 2002), h. 56. 18
Witarto, Memahami Pengolahan Data, (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), h. 39.
d. Sistematisasi data (sistematizing)
Sistematisasi data yaitu menempatkan data menurut
kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan
masalah.19
5. Metode Analisis Data
Setelah data terhimpun melalui penelitian, selanjutnya
data dapat dianalisa secara kualitatif yaitu “suatu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata, tulisan atau lisan dari orang-orang yang berprilaku
yang dapat dimengerti.”20
Metode yang digunakan dalam
menganalisa data ini adalah menggunakan metode berfikir
dedukif. Metode berfikir deduktif adalah “suatu penelitian
dimana orang berangkat dari pengetahuan yang sifatnya
umum, dan bertitik tolak dari penegetahuan yang umum, kita
hendak menilai suatu kejadian yang khusus.21
Hubungan
dengan skripsi ini, metode deduktif digunakan pada saat
penulis mengumpulkan data dari perpustakaan secara umum,
dari berbagai buku-buku yang berkaitan dengan
permasalahan pernikahan serta kitab-kitab fiqh (fiqh
munakahat), hadis dan sebagainya, dan tentang suatu teori
yang berhubungan dengan larangan-larangan dalam
pernikahan.
19
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 126. 20
Lexy L Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung:
Ramaja Rosda Karya, Cetakan XIV, 2001), h. 3. 21
Jiko Subagio, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2011), h. 41.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Pernikahan
Dalam bahasa Indonesia, pernikahan juga dikenal
dengan istilah perkawinan. Perkawinan berasal dari kata
“kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga
dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau
bersetubuh.22
Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang
umum berlaku pada semua makhluk Allah, baik pada manusia,
hewan maupun tumbuh-tumbuhan.23
Kata nikah dan zawâj tidak
bisa dipisahkan, karena dalam ijab dan qabul yang dilakukan
oleh wali kepada mempelai laki-laki harus mengandung kedua
kata tersebut. Dalam Al-Qur‟an dan Hadis, pekawinan disebut
dengan al-nikâh ( النكاح) dan al-zawâj ( الزواج) , Kata al-zawâj
اجج ) وو (الزز berasal dari akar kata zawwaja ( جو وز ( و . Kata zawâj yang
diartikan jodoh atau berpasangan berlaku bagi laki-laki dan
perempuan; zawâj perempuan berarti suaminya sedangkan
zawâj laki-laki berarti istrinya.24
Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan pernikahan adalah suatu cara
yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak,
berkembang-biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing-
masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan perkawinan.25
Ahli fiqih telah banyak mendefinisikan makna dan arti
dari kata zawâj, definisi tersebut pada umumnya adalah
pemilikan sesuatu melalui jalan yang telah ditentukan yaitu
tidak melanggar aturan-aturan yang telah ditentukan oleh
22
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 456. 23
Beni Ahmad Saebani, Perkawinan Dalam Hukum Islam dan
Undang-Undang, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) h. 13. 24
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas,
Fiqh Munakahat (Jakarta: Amzah, 2011), h.36. 25
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 6, Terjemahan Moh. Thalib
(Bandung: PT Al Ma‟rif), h. 10.
agama. Adapun yang dimaksud dengan pernikahan menurut
pendapat madzab fiqh berbeda-beda dalam memberikan
pendapat tentang definisi dari pernikahan, menurut sebagian
ulama Hanafiah yang dimaksud dengan nikah adalah akad yang
memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk
bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria
dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan
biologis.26
Berbeda dengan definisi yang telah dikemukakan
oleh sebagian ulama Hanafiah, sebagian madzab Maliki
memberikan definisi tentang pernikahan sebagai berikut.
Menurut madzab Maliki yang dimaksud dengan pernikahan
adalah sebuah ungkapan (sebutan) atau titel bagi suatu akad
yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan
(seksual) semata-mata. Sedangkan menurut madzab Syafi‟i yang
di maksud dengan pernikahan adalah akad yang menjamin
kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan menggunakan redaksi
(lafal) “inkâh atau tazwîj; atau turunan (makna) dari
keduanya”.27
Perbedaan mengenai definisi pernikahan yang
dikemukakan oleh madzab fiqh tersebut pada intinya yaitu untuk
memenuhi kebutuhan biologis dengan cara yang halal dan sah
serta tidak menimbulkan dosa setelah melakukannya.
Menurut syara‟ yang dimaksud dengan pernikahan
adalah akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan
tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk
membentuk rumah tangga sakinah dan masyarakat sejahtera.28
Sedangkan Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mîtsâqan
ghalîzhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.29
Dari beberapa definisi diatas dapat di simpulkan
tentang definisi dari pernikahan yaitu akad yang menghalalkan
26
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia
Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 45. 27
Ibid, h. 45. 28
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2010) h. 6-7. 29
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV
Akademika Pressindo, 2001), h. 114.
hubungan badan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang menimbulkan kewajiban dan hak kepada
keduanya setelah terjadinya akad nikah dengan tujuan untuk
menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah yang diridhoi
oleh Allah dan menghindari murka-Nya.
B. Hukum-hukum Pernikahan Menurut jumhur ulama bahwa dasar dari sebuah
pernikahan adalah sunah hukumnya. Golongan Zhahiri
berpendapat bahwa nikah itu wajib, sedangkan ulama Maliki
mutaakhirîn berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian
orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk
segolongan yang lain lagi.30
Dalam Islam ada 5 hukumnya
melakukan pernikahan, berikut merupakan penjabaran tentang 5
hukum pernikahan:
1. Wajib
Pernikahan menjadi wajib hukumnya apabila seseorang
yang memiliki biaya untuk melaksanakan pernikahan dan
mampu memberi nafkah pada pasangannya serta mempunyai
dorongan nafsu syahwat sangat kuat untuk melakukan
hubungan seksual, yang ditakutkan akan melakukan
perbuatan maksiat seperti zina bila tidak segera
melaksanakan pernikahan, maka dalam hal ini pernikahan
hukumnya adalah wajib.
Pada saat kondisi seperti diatas, seseorang dihukumi
wajib untuk melaksanakan pernikahan, bila tidak
melaksanakan pernikahan maka ia berdosa karena telah
meninggalkan amalan perbuatan yang wajib hukumnya.
2. Sunnah
Sekiranya seseorang telah mampu membiayai rumah
tangga dan ada juga keinginginan berumah tangga, tetapi
keinginan nikah itu tidak dikhawatirkan menjurus kepada
30
Ibnu Rusyd, Bidayatu‟l Mujtahid, Terjemahan Abdurrahman,
Haris Abdullah (Semarang: CV Asy Syifa‟, 1990), h. 351.
perbuatan zina (haram), maka sunnat baginya untuk menikah
dan supaya lebih tenang lagi beribadah dan berusaha.31
3. Makruh
Pernikahan hukumnya menjadi makruh bagi seseorang
dalam kondisi campuran. Maksudnya kondisi campuran
adalah apabila seseorang yang telah mempunyai kemampuan
untuk melakukan suatu pernikahan dan tidak dikhawatirkan
akan melakukan perbuatan haram, tetapi dikhawatirkan akan
melakukan penganiayaan terhadap istrinya apabila
melangsungkan pernikahan. Maka dalam hal ini nikah
menjadi makruh hukumnya.
Pada kondisi tersebut, tidak diperbolehkan
melaksanakan pernikahan agar tidak terjadi penganiayaan
dan kenakalan, karena mempergauli istri dengan buruk
tergolong maksiat yang berkaitan dengan hak hamba.
4. Haram
Orang yang belum mampu membiayai rumah tangga,
atau diperkirakan tidak dapat memenuhi nafkah lahir batin
(impoten), haram baginya menikah, sebab akan menyakiti
perasaan wanita yang akan dinikahinya.32
Oleh karena itu,
pernikahan diharamkan bagi seseorang yang belum memiliki
kemampuan dalam melangsungkan hidup berumah tangga
dengan istrinya, belum mampu memikul kewajiban
memberikan nafkah lahir seperti pakaian, tempat tinggal dan
kewajiban batin seperti mencampuri istri. Selain itu,
pernikahan menjadi haram apabila diniatkan untuk
melampiaskan dendamnya seperti menganiaya baik dalam
bentuk penganiayaan fisik, penganiayaan psikis maupun
penganiyaan dalam hal ekonomi.
Sesungguhnya keharaman nikah pada kondisi tersebut,
karena nikah disyariatkan dalam Islam untuk mencapai
kemaslahatan dunia dan akhirat. Hikmah kemaslahatan ini
tidak tercapai jika nikah dijadikan sarana mencapai bahaya,
31
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam,
(Jakarta: Siraja Prenada Media Group, 2006), h. 9. 32
Ibid
kerusakan dan penganiayaan. Nikah orang tersebut wajib
ditinggalkan.
5. Mubah
Nikah hukumnya mubah bagi seseorang yang tidak
memiliki halangan untuk nikah atau telah mampu untuk
melangsungkan pernikahan dan belum ada dorongan untuk
nikah (untuk berhubungan seksual), maka ia belum wajib
nikah dan tidak diharamkan bila ia menikah.
Dengan demikian dapat diambil pengertian bahwa
hukum melaksanakan pernikahan dapat berubah sesuai
dengan kondisi keadaan seseorang yang akan melaksanakan
pernikahan.
C. Dasar Hukum Pernikahan
Islam telah mengatur secara lengkap tentang
pernikahan, aturan-aturan tersebut bisa ditemukan dalam Al-
Qur‟an maupun dalam Hadis Nabi. Penulis akan menggali dan
menjelasakan dasar hukum pernikahan sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Dasar hukum pernikahan dalam Al-Qur‟an disebutkan
dalam surat Al-Nisa ayat 1 Allah SWT. berfirman:
هلل
هلل ١: ﴿النساء﴾ Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari
pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-
laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-
Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasimu”33
Firman Allah, “Dan dia mengembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak.” Yakni, Allah memperbanyak dari
Adam dan Hawa laki-laki dan perempuan yang banyak. Dia
menyebarkan mereka di berbagai wilayah dunia selaras
perbedaan ras, sifat, warna kulit, dan bahasanya. Setelah itu,
mereka semua di kembalikan dan dikumpulkan kepada-Nya.
Kemudian Allah Ta‟ala berfirman, “Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan-Nya kamu saling meminta serta peliharalah
silaturahmi.” Yakni, bertakwalah kepada Allah dengan cara
kamu menaati-Nya. Adh-Dhahak berkata, “Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu mengadakan akad
dan perjanjian; dan peliharalah hubungan silaturahmi, jangan
sampai kamu memutuskannya, namun berbuat baiklah kepada
mereka dan sambunglah tali silaturahmi.” “Sesungguhnya Allah
senantiasa mengawasi kamu,” yakni, Dia mengawasi segala
tingkah lakumu dan amalmu. Allah Ta‟ala berfirman, “Allah
maha menyaksikan segala sesuatu.” 34
Selain Al-Nisa ayat 1, dasar hukum pernikahan juga
disebutkan dalam surat Al-rum ayat 21 Allah SWT. berfirman:
٢١: ﴿الروم﴾ Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
33
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung:
CV Penerbit Diponegoro, 2015), h. 77. 34
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
Terjemahan Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani Press), h. 647.
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”35
Ibnu Abbas berkata, “mawaddah adalah kecintaan
seorang laki-laki kepada wanita, rahmah adalah rasa khawatir
jika sesuatu yang buruk akan menimpanya. Ini adalah pengikat
diantara dua jenis manusia dan penyatuan hati diantara mereka,
padahal terdapat perbedaan tabiat dan bawaan diantara mereka.
Di antara bukti nyata atas hikmah dan kekuasaan Allah adalah
Allah telah menitipkan perasaan ke dalam jiwa dan menjadikan
dalam hubungan pernikahan ketenangan jiwa dan pikiran,
kesenangan tubuh dan hati, kemapanan hidup dan kehidupan.
Tanpa itu semua manusia tidak akan bahagia dan merasa
senang.36
Ayat ini mengisyaratkan dengan lembut: “Dari diri
kalian” atau dari jenis kalian. Kalaulah Allah menjadikan wanita
dari jenis makhluk lain, seperti dari kera, atau dari anjing hutan,
atau dari bangsa jin atau dari jenis binatang lainnya, niscaya
tidak akan terwujud ikatan kasih sayang di antara pasangan
suami-istri, bahkan justru akan muncul kebencian dan
ketidaksukaan. Maka untuk tujuan inilah Allah menjadikan para
istri dari jenis bani Adam.37
Serta firman Allah SWT. dalam surat An-nur ayat 32
هلل هلل و النور﴿ :
٣٢﴾
35
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit. h. 406. 36
Muhammad Ali Ash-Shabuny, Qabas Min Nuuril-Qur‟an,
Terjemahan Munirul Abidin, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), h. 364. 37
Ibid
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.38
Firman Allah Ta‟ala, “jika mereka miskin, maka Allah
akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.” Ibnu Abbas
berkata, “Allah memotivasi mereka agar kawin dan menyuruh
mereka kawin dengan orang yang merdeka dan budak sahaya.
Dia menjanjikan kemampuan materi kepada mereka.”
2. Al-Hadis
Selain dalam Al-Qur‟an, dasar hukum pernikahan juga
terdapat dalam hadis sebagai berikut:
عن عب اهلل بن مسعود قال لنا رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم من استلاع منكم الباءة ف ليت زوطج فإنطو أغ للبصر وأ صن ! يامعلراللطباا
مت ط عليو . لل رج ومن يستل ف عليو بالصطوم فإنطو لو وجاء
Artinya: ”Dari Abdullah bin Mas‟ud r.a, ia berkata: Rasulullah
pernah berkata kepada kami: “wahai para pemuda,
barangsiapa diantara kalian yang sudah mampu
berkeluarga, hendaklah ia menikah. Karena menikah
dapat menundukan pandangan dan memelihara
kemaluan (kehormatan). Dan barang siapa yang belum
mampu, maka hendaknya ia berpuasa sebab berpuasa
dapat mengendalikan (nafsu)-mu.” Hadis muttafaq
„alaihi39
38
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit. h. 354. 39
„Abdul „Azhim Bin Abdul Qawi Xakiyuddin Al Mundziri,
Mukhtashar Shahih Muslim, Terjemahan Ahmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1421 H/ 2001 M), h. 435.
Hadis tersebut menjelaskan tentang perintah kepada
para pemuda yang sudah mampu dalam artian mampu untuk
menafkahi istrinya serta mempunyai dorongan nafsu syahwat
yang sangat kuat maka harus disegerakan untuk menikah, agar
tidak terjadi perbuatan maksiat yaitu berzina. Dalam hadis
riwayat Abdullah bin Mas‟ud tersebut juga menjelaskan bagi
para pemuda yang ingin menikah tetapi belum mampu (untuk
menafkahi) istrinya maka dianjurkan untuk memperbanyak
berpuasa, karena dengan puasa nafsu akan berkurang.
عن أنس بن مالك ي قول جاء ثحلثة رىط ل ب يوت أزواج النطب صلى اهلل عليو وسلم يسألون عن عبادة النطب صلى اهلل عليو وسلم ف لمطا أخبوا كأن طهم ت قالوىا م من ذنبو وما ف قالوا وأين نن من النطب صلى اهلل عليو وسلم ق غ رلو ما ت ق طىر ول تأخطر قال أ ىم أمطا أنا فأنا أصلى اللطيل أب ا، وقال آخر أنا أصوم ال طأفلر وقال آخر أنا أعتزل النساء فحل أت زوطج أب ا فجاء ليهم رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم ف قال أن تم الطذين ق لتم كذا وكذا أما واهلل ان لخلاكم للطو وأت قاكم لو لكن أصوم وأفلر وأصلى وأرق وأت زوطج النساء فمن رغب عن
رواه خباريسنط ف ليس من
Artinya: Dari Anas bin Malik R.A, katanya: ada tiga orang laki-
laki datang berkunjung kerumah istri-istri Nabi SAW.
bertanya tentang ibadah beliau. Setelah diterangkan
kepada mereka, kelihatan bahwa mereka menganggap
bahwa apa yang dilakukan Nabi itu terlalu sedikit.
Mereka berkata: “kita tidak dapat disamakan dengan
Nabi. Semua dosa beliau yang telah lalu dan yang akan
datang telah diampuni Allah.” Salah seorang dari
mereka berkata: “untuk saya, saya akan selalu
sembahyang sepanjang malam untuk selama-lamanya.”
Orang kedua berkata: “saya akan berpuasa setiap hari,
tidak pernah berbuka.” Orang ketiga berkata: “saya
tidak akan mendekati wanita. Saya tidak akan kawin
selama-lamanya.” Setelah itu Rasulullah SAW. datang.
Beliau berkata: “kamukah orangnya yang berkata begini
dan begitu? demi Allah! saya lebih takut dan lebih
bertaqwa kepada Tuhan dibandingkan kamu. Tetapi saya
berpuasa dan berbuka. Saya sembahyang dan tidur dan
saya kawin. Barangsiapa yang tidak mau mengikuti
sunnahku, tidak termasuk ke dalam golonganku.”40
Serta Hadis dari Abu Hurairoh sebagai berikut:
ت نك المرأة : وعن أب ىري رة عن النطب صلى اهلل عليو وسلم قال ين تربت : لرب لمالا واسبها ولمالا ول ينها فاظ ر بذات ال عة . ي اا ب مت ط عليو م بقيطة السط
Artinya: Dari Abu Hurairoh r.a, dari Rasulullah SAW. beliau
bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat hal,
yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya.
Maka nikahilah wanita yang taat beragama, niscaya
engkau akan bahagia.” Hadis Muttafaq „Alaihi dan
riwayat Imam Lima.41
Dari hadis-hadis tersebut Rasulullah SAW.
menekankan agar umatnya menikah, karena dengan menikah
ada banyak perbuatan maksiat yang bisa ditinggalkan serta dapat
menambah amalan-amalan yang tak dapat dilakukan kecuali
dengan menikah.
3. Ijma’
Ijma‟ tentang pernikahan adalah bahwa para fuqaha dan
umat Islam telah sepakat bahwa hukum asal nikah adalah mubah
sejak zaman nabi Muhammad SAW. sampai dengan hari akhir
kelak.
40
Terjemah hadits Shahih Bukhari I-Iv, (Jakarta:Penerbit
Widjaya,1992), h. 7. 41
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Terjemahan Harun Zen
dan Zenal Mutaqin, (Bandung: Penerbit Jabal, 2013), h. 245.
D. Rukun dan Syarat Pernikahan
1. Rukun-rukun Pernikahan
Rukun yaitu unsur yang melekat pada peristiwa hukum
atau perbuatan hukum (misal akad perkawinan), baik dari segi
para subjek hukum maupun objek hukum yang merupakan
bagian dari perbuatan hukum atau peristiwa hukum (akad nikah)
ketika peristiwa hukum tersebut berlangsung.42
Rukun-rukun dalam pernikahan ada 5 yaitu :
a. Adanya mempelai laki-laki;
b. Adanya mempelai perempuan;
c. Wali;
d. Dua orang saksi;
e. Sighat ijab kabul.
2. Syarat-syarat Pernikahan Syarat adalah hal-hal yang melekat pada masing-
masing unsur yang menjadi bagian dari suatu perbuatan hukum
atau peristiwa hukum.43
Adapun syarat-syarat dalam pernikahan
adalah sebagai berikut:
a. Syarat-syarat suami:
1) Beragama Islam;
2) Laki-laki;
3) Bukan mahram dari calon istri;
4) Tidak terpaksa dan atas kemauan sendiri;
5) Orangnya tertentu, jelas orangnya;
6) Tidak sedang ihram;
7) Tidak terdapat halangan perkawinan.
b. Syarat-syarat istri:
1) Beragama Islam;
2) Perempuan;
3) Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan
mahram dari calon suami, tidak sedang dalam masa
iddah;
4) Merdeka, atas kemauan sendiri;
5) Jelas orangnya;
42
Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan
Tidak Dicatat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 90. 43
Ibid, h. 92.
6) Tidak sedang melaksanakan ihram;
7) Tidak terdapat halangan perkawinan.
c. Syarat-syarat wali:
1) Laki-laki;
2) Baligh;
3) Sehat akalnya;
4) Mempunyai hak perwalian;
5) Tidak dipaksa;
6) Tidak sedang melaksanakan ihram;
7) Tidak terdapat halangan perwaliannya.
d. Syarat-syarat saksi:
1) Islam;
2) Dua orang saksi;
3) Laki-laki;
4) Baligh;
5) Sehat akalnya;
6) Dapat mendengar dan melihat;
7) Bebas;
8) Tidak dipaksa;
9) Tidak sedang melaksanakan ihram;
10) Hadir dalam ijab dan qabul;
11) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab dan
qabul.
e. Syarat-syarat sighat ijab qabul:
1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;
2) Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai;
3) Memakai kata-kata nikah, tazwîj atau terjemahan dari
kedua kata tersebut;
4) Antara ijab dan qabul bersambungan;
5) Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang ihram haji
atau umrah;
6) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal empat
orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari
mempelai wanita, dan dua orang saksi.44
44
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 10.
E. Hak dan Kewajiban Suami-Istri
Seorang laki-laki dan perempuan yang telah
melangsungkan sebuah acara pernikahan akan timbul tanggung
jawab diantara keduanya. Dengan tanggung jawab tersebut,
suami-istri yang menikah akan mempunyai kewajiban dan hak
yang harus ditunaikan, baik kewajiban suami kepada istri
ataupun kewajiban istri kepada suami dan hak suami terhadap
istri atau hak istri terhadap suami. Hak tidak dapat diminta,
apabila tidak memenuhi kewajiban yang telah dibebankan
kepadanya. Berkenaan dengan hak dan kewajiban, Allah SWT.
berfirman dalam Al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 228 sebagai
berikut:
... Artinya: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang...”
45
Pembahasan hak dan kewajiban suami-istri dalam
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan diatur
di dalam Bab VI Pasal 30-34, pasal 30 menyatakan: “suami-istri
memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) hak
dan kewajiban suami-istri diatur dalam BAB XII Pasal 77-84.
Pasal 79
(1) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
(2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak
dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum.46
Kandungan pasal 79 KHI tersebut didasarkan pada Al-
Qur‟an surat Al-Nisa ayat 32 sebagai berikut:
45
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit. h. 36. 46
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta:
CV. Akademika Pressindo, 2001), h. 132.
هلل
اهلل ٣٢: ﴿النساء﴾
Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih
banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang
laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada
Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”.47
Pasal 80 Kompilasi mengatur kewajiban suami
terhadap istri dan keluarganya, sebagai berikut:
(1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah
tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah
tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri
bersama.
(2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada
istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan
yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan
bangsa.
(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri;
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi istri dan anak;
c. Biaya pendidikan bagi anak.
47
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit. h. 83.
(5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada
ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada
tamkin sempurna dari istrinya.
(6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban
terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4)
huruf a dan b.
(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur
apabila istri nusyuz.48
Dasar hukum dari ketentuan pasal 80 KHI adalah surat
An-Nisa ayat 34 sebagai berikut:
هلل
هلل
هلل ٣٤: ﴿النساء ﴾ Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
48
Abdurrahman, Op.Cit. h. 133.
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar”.49
Pasal 81
(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri
dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam
iddah.
(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak
untuk istri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam
iddah talak atau iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan
anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka
merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga
berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan,
sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah
tangga.
(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan
kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan
lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat
perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang
lainnya.50
Pasal 81 KHI tersebut sesuai dengan firman Allah
dalam surat At-Thalaq ayat 6 sebagai berikut:
٦: ﴿اللحل﴾
49
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit h. 84. 50
Abdurrahman, Op.Cit. h. 133.
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-
istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-
anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka
upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui
kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan
(anak itu) untuknya”. 51
Adapun kewajiban istri diatur dalam undang-undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 34 diatur secara
garis besar pada ayat (2), dan diatur lebih rinci dalam pasal 83
dan 84 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
Pasal 83
(1) Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir
dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh
hukum Islam.
(2) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah
tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84
(1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau
melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan
yang sah.
(2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap
istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b
tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku
kembali sesudah istri nusyuz.
(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri
harus didasarkan atas bukti yang sah.52
51
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit h. 559. 52
Abdurrahman, Op.Cit. h. 134
F. Macam-macam Pernikahan
Ada berbagai macam dan cara dalam pernikahan yang
sering kita dengar dalam keseharian kita. Dalam pernikahan,
dilihat dari sifatnya, pernikahan terdiri dari berbagai macam,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Nikah Mut‟ah
Nikah mut‟ah adalah akad yang dilakukan oleh seorang
laki-laki terhadap perempuan dengan memakai lafazh “tamattu,
istimta” atau sejenisnya.53
Sebagian pendapat mengatakan
bahwa nikah mut‟ah sama dengan nikah kontrak karena
pernikahan tersebut ditentukan dengan batas waktu tertentu dan
tanpa adanya wali serta saksi dalam pernikahan.
Seluruh Imam madzab menetapkan nikah mut‟ah
hukumnya adalah haram, alasannnya adalah:
Pertama: nikah mut‟ah tidak sesuai dengan yang dimaksudkan
oleh Al-Qur‟an, juga tidak sesuai dengan masalah yang
berkaitan dengan talak, iddah dan kewarisan. Jadi, pernikahan
seperti itu batal sebagaimana bentuk pernikahan lain yang
dibatalkan Islam.
Kedua: Banyak hadis yang dengan tegas menyebutkan
haramnya nikah mut‟ah.54
Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
عة عن على بن اب طالب انط رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم ن هى عن مت نسيطة رواه مسلمالنساء ي وم خيب ر وعن اكل اوم اامر ال
Artinya: “Bersumber dari Ali bin Abu Thalib; sesungguhnya
Rasulullah SAW melarang dari menikahi wanita secara mut‟ah dan dari memakan daging keledai piaraan pada
hari khaibar”. 55
53
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakaht 1 (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2013), h. 55. 54
Ibid 55
Imam Abu Husein Muslim Bin Hajjaj Al-Qusyairi An
Naisaburi, Shahih Muslim Jilid 2, Terjemahan KH. Adib Bisri
Musthofa, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992), h. 760.
Diharamkannya nikah mut‟ah terdapat hikmah yaitu
tidak terealisasinya tujuan-tujuan dasar pernikahan sakinah,
mawaddah dan rahmah, serta tidak mempunyai tujuan ingin
hidup rukun dan bahagia bersama istrinya hingga akhir hayat,
sehingga dengan diharamkan nikah mut‟ah tidak akan lahir
anak-anak hasil zina dari hubungan pasangan yang tidak sah
tersebut.
2. Nikah Muhallil
Muhallil disebut pula dengan istilah kawin cinta buta,
yaitu seorang laki-laki mengawini seorang perempuan yang
telah ditalak tiga kali sehabis masa iddahnya kemudian
menalaknya dengan maksud agar mantan suaminya yang
pertama dapat menikah dengan dia kembali.56
Allah SWT. berfirman dalam surat al-baqarah ayat 230;
هلل هلل ٢٣٢: ﴿البقرة ﴾Artinya: ”Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak
yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya,
maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya
kepada kaum yang (mau) mengetahui”.57
Mengenai sifat perkawinan yang dimaksud dalam surat
al-Baqarah ayat 230, diterangkan oleh hadis sebagai berikut:
56
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakaht 1, Op.Cit, h. 69. 57
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit h. 36.
طلط رجل امرأتو ثحلثا ف ت زوطجها رجل ثط : وعن عائلة رضي اهلل عن ها قالت طلطقها ق بل أن ي خل با، فأراد زوجها الوطل أن ي ت زوطجها فسئل رسول اهلل
لتها ما : صلى اهلل عليو وسلم عن ذلك ف قال ل ط يذو الخر من عسي رواه مسلمذا الوطل
Artinya: Dari Aisyah r.a., ia berkata: “seorang laki-laki telah
mentalak istrinya tiga kali, kemudian seorang laki-laki
(lain) mengawini bekas istri itu dan mentalaknya
sebelum mencampurinya. Maka bekas suami yang
pertama bermaksud hendak mengawini bekas istrinya itu
kembali, lalu ditanyakanlah hal yang demikian kepada
Rasulullah SAW. beliau menjawab: “tidak boleh kawin,
hingga suami terakhir merasakan madu bekas istri itu
(mencampuri), menurut yang dirasakan oleh suami yang
pertama”. 58
Hadis tersebut menjelaskan apabila suami ingin
menikahi istrinya yang telah ditalak tiga kali maka hendaklah
harus ada orang lain yang menikahi istrinya yang sudah ditalak
tiga kali dan harus sudah berhubungan badan, kemudian orang
lain (suami yang kedua) itu mentalaknya.
Apabila tujuan perkawinan dengan suami kedua ialah
agar bekas suami pertama halal kawin dengan bekas istri yang
telah ditalaknya tiga kali itu, maka perkawinan yang demikian
telah menyimpang dari tujuan perkawinan yang digariskan oleh
agama, yaitu adanya unsur-unsur mut‟ah dan pembatasan waktu
perkawinan.59
Oleh karena itu, perkawinan yang demikian batal
hukumnya dan dilaknat oleh Rasul. Sebagaimana hadis
Rasulullah SAW. sebagai berikut:
58
Imam Abu Husein Muslim Bin Hajjaj Al-Qusyairi An Naisaburi,
Op.Cit, h. 813 59
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987), h. 113.
رواه أح . لعن رسول اهلل المحلل والمحلطل لو : وعن ابن مسعود قال والنطسائي والت رمذي وصحطحو
Artinya: Dari Ibnu Mas‟ud, ia berkata: “Rasulullah SAW
melaknat Muhallil (laki-laki yang menikahi seorang
perempuan dengan tujuan agar perempuan itu
dibolehkan menikah kembali dengan suaminya pertama
yang menceraikannya dengan talak tiga) dan Muhallal
lahu (laki-laki yang menyuruh Muhallil untuk menikahi
mantan istrinya agar istrinya dibolehkan untuk
dinikahinya lagi).” Diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa‟i,
dan Tirmidzi dengan menyatakannya sebagai hadis
Shahih.60
3. Nikah Sighar
Nikah sighar yaitu seseorang menikahkan anak
perempuannya dengan syarat; orang yang menikahi anaknya itu
juga menikahkan putri yang ia miliki dengannya.61
Nikah sighar
biasa disebut juga dengan istilah nikah tukar karena dalam
pernikahan tersebut terjadinya tukar-menukar seorang
perempuan untuk dijadikan istrinya. Dinamakan nikah sighar
karena ia berasal dari syughur yang artinya tanpa ganti. Ada
yang mengatakan bahwa nikah ini dinamakan nikah sighar
karena berasal dari kata syagharo yaitu anjing mengangkat satu
kakinya lalu kencing. Nikah ini disamakan dengan permisalan
yang sangat buruk yaitu kencingnya seekor anjing. Karena
dalam nikah ini ada kesengajaan untuk menjadikan seorang wanita sebagai ganti dari wanita lain.
62 Syekh Taqiyyuddin
berkata, “telah jelas bahwa Allah melarang nikah sighar, karena
di dalamnya ada syarat bahwa wali dari wanita tersebut harus
menikah dengan anak wanita sang suami dengan hanya
meminangnya saja. Dia hanya memandang dari segi maslahat
60
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Op.Cit. h. 252. 61
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita (edisi
lengkap) (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2000), h. 381. 62
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani Press,
2005), h. 662.
untuk dirinya saja, tanpa memandang dari segi syahwatnya.
Padahal mahar adalah hak bagi seorang wanita yang akan
dinikahi dan bukan hak wali dari wanita itu.63
Para fuqaha telah sepakat bahwa nikah sighar itu
hukumnya haram, berdasarkan sabda Rasulullah. SAW sebagai
berikut:
ن هى رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم عن : وعن ناف عن ابن عمر قال أن ي زوج الرطجل اب نتو على أن ي زوجو لخر اب نتو وليس : الل ار، والل ار ن هما ص ا مت ط عليو وات ط قا من وجو آخر على أن ت سي ر الل ار من . ب ي
كحلم ناف
Artinya: Dari Nafi‟ dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah
SAW. melarang nikah syihar. Nikah syihar adalah
seseorang menikahkan putrinya kepada orang lain
dengan syarat orang itu menikahkan putrinya
kepadanya, dan keduanya tidak memberikan mahar.
Hadis muttafaq „alaihi. Bukhari dan muslim dari jalan
periwayatan lain, sepakat bahwa penafsiran “syighar”
di atas adalah perkataan nafi‟.64
4. Poligami
Poligami adalah seorang laki-laki yang mempunyai istri
lebih dari seorang istri dan maksimal adalah mempunyai empat
istri. Poligami diperbolehkan oleh agama Islam, berdasarkan
firman Allah SWT dalam surat Al-Nisa ayat 3 sebagai berikut:
63
Ibid, h. 663. 64
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Op.Cit. h. 250.
٣: ﴿النساء﴾ Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana
kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang
kamu senangi; dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir
tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja,
atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang
demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim”. 65
Poligamai juga diatur dalam PP nomor 9 tahun 1975
tentang pelaksanaan undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal
40-44 yaitu sebagai berikut:
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih
dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada pengadilan.
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang
suami kawin lagi, ialah: bahwa istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri; bahwa istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; bahwa istri tidak dapat melahirkan
keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan
lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan
persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan
didepan sidang pengadilan.
65
Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Op.Cit. h. 77.
c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan
memperlihatkan:
i. Surat keterangan mengenai penghasilan suami
yang ditanda tangani oleh bendahara tempat
bekerja; atau
ii. Surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh
pengadilan;
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka
dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat
dalam bentuk yang ditetepkan untuk itu.
Pasal 42
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada
pasal 40 dan 41, pengadilan harus memanggil dan
mendengar istri yang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah
diterimanya surat permohonan beserta lampiran-
lampirannya.
Pasal 43
Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan
bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka
pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk
beristri lebih dari seorang.
Pasal 44
Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan
perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
sebelum adanya izin pengadilan seperti dimaksud dalam pasal
43.
5. Poliandri
Poliandri merupakan kebalikan dari poligami. Poliandri
yaitu seorang wanita yang mempunyai lebih dari satu orang laki-
laki (suami), maka haram hukumnya menikah seperti ini karena
sama saja dengan pekerja seks komersial (PSK) yang setiap
harinya selalu berganti-ganti pasangan.
6. Isogami
Isogami adalah perkawinan yang dilakukan oleh
seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang bertempat
tinggal di wilayah yang sama, etnis dan kesukuannya sama.66
Isogami merupakan larangan yang ditujukan kepada laki-laki
maupun perempuan agar tidak menikah dengan seorang laki-laki
atau perempuan yang berbeda etnis dan suku.
7. Esogami
Esogami merupakan kebalikan dari isogami. Esogami
merupakan perkawinan yang dilakukan oleh seorang lak-laki
dengan seorang perempuan yang berbeda suku, etnis dan tempat
tinggalnya.
8. Nikah Sirri
Nikah sirri merupakan nikah yang dilakukan oleh
seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa memberi
tahu dan meminta izin orang tuanya yang berhak menjadi wali.
Nikah sirri dilakukan dengan syarat-syarat yang benar menurut
hukum Islam. Hanya saja dalam nikah sirri, pihak orang tua
tidak diberi tahu dan keduanya tidak meminta izin atau meminta
restu orang tua.
9. Kawin dibawah Tangan
Kawin dibawah tangan adalah perkawinan yang
dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan
yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tidak
melalui prosedur yang telah ditentukan dalam undang-undang.
Perkawinan seperti ini menurut undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan, perkawinan dibawah tangan dianggap
belum pernah terjadi dan dapat dibatalkan. Namun, apabila
pernikahan dibawah tangan dilakukan dengan memenuhi syarat
dan rukunnya maka dapat langsung dilaporkan ke pegawai
pencatat nikah untuk segera dibuatkan akta nikahnya.
10. Homo seksual
Homo seksual adalah perkawinan yang dilakukan
sesama jenis, yaitu laki-laki dengan laki-laki. Pernikahan jenis
ini haram hukumnya dan pelakunya harus dihukum karena telah
melanggar syari‟at.
66
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, Op.Cit. h. 81.
11. Lesbian
Lesbian adalah perkawinan yang dilakukan sesama
jenis, seperti halnya homo seksual. Perbedaannya adalah jika
homo seksual pelakunya adalah laki-laki dengan laki-laki,
sedangkan lesbian pelakunya adalah perempuan dengan
perempuan. Lesbian hukumnya haram karena tidak sesuai
dengan hukum-hukum Allah.
Lesbian adalah berupa menggesekkan atau
menyentuhkan alat vital saja dan bukannya ejakulasi. Oleh
karena itu, pelakunya hanya diberi sangsi dan tidak dijatuhi
ḫadd (hukuman yang telah ditentukan) sebagaimana juga kalau
lelaki menggesekkan alat vitalnya kepada perempuan dengan
tidak memasukkannya ke dalam farji.67
12. Nikah wisata
Nikah Wisata adalah merupakan bentuk pernikahan
yang dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat pernikahan,
namun pernikahan tersebut diniatkan dan/atau disepakati untuk
sementara, semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan
selama dalam wisata/perjalanan.68
Nikah wisata merupakan
bagian dari nikah mut‟ah karena dalam akadnya ditentukan
berapa lama akan menjalin hubungan sebagai suami-istri.
Pembahasan nikah wisata akan dirinci dan dijelaskan lebih
mendalam dalam bahasan bab III dalam skripsi ini.
G. Tujuan Pernikahan
Pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan
seorang perempuan dengan memenuhi rukun dan syarat
pernikahan, memiliki tujuan yang sangat mulia. Islam adalah
agama rahmat bagi semesta alam, dalam Islam pernikahan atau
perkawinan adalah sunnatullah karena setiap makhluk hidup
membutuhkan lawan jenis untuk menyalurkan kebutuhan
biologisnya. Tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk
memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga
67
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 9, Terjemahan Moh. Nabhan Husein
(Bandung: PT Alma‟rif) h. 139. 68
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fawa MUI Bidang Sosial
Dan Budaya (Emir, 2015), h. 355.
sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta
meneruskan keturunan dalam menjadikan hidupnya di dunia ini,
juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan
ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga
dan masyarakat.69
Oleh karena itu, agama Islam mendorong
umatnya untuk tidak hidup dalam keadaan tabattul atau
mebujang, karena hidup membujang tidak diajarkan dalam
agama Islam. Islam memerintahkan umatnya untuk menyalurkan
kebutuhan biologisnya dengan cara-cara yang telah ditentukan,
yaitu dengan cara menikah.
Pernikahan mempunyai tujuan yang sangat mulia,
berikut akan penulis jelaskan dengan rinci tentang tujuan dari
pernikahan:
1. Berupaya meningkatkan kualitas iman dan memenuhi
panggilan agama, ibadah, amal shalih dan akhlaqul
karimah.
2. Berusaha mewujudkan ikatan lahir dan batin yang kokoh
antara suami dan istri.
3. Berupaya memperoleh keturunan dan mendidik putra-
putri menjadi anak-anak yang shalih-shalihah.
4. Memotivasi diri dan berjuang sungguh-sungguh untuk
memperoleh rizki atau harta yang halal agar memperoleh
berkah.
5. Berusaha melaksanakan kewajiban dan memperoleh hak
serta bertanggung jawah secara sungguh-sungguh.
6. Berusaha mengantarkan seluruh penghuni rumah tangga
untuk menuntut/menambah ilmu sehingga berilmu
pengetahuan dan berwawasan.
7. Berusaha mewujudkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan rahmah.
8. Berusaha mewujudkan generasi yang berkualitas/mampu
sehingga dapat berguna bagi agamanya, dirinya,
keluarganya dan masyarakat/negara.70
69
Mardani, Op.Cit. h. 11. 70
Zakiyah Darajat, et.al. Ilmu Fikih, Jilid 3 (Departemen Agama RI,
Jakarta, 1985), h. 64.
H. Hikmah Pernikahan
Allah menjadikan setiap makhluk hidup yang ada di
bumi ini dengan berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-
laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan dan betina,
begitu pula dengan tumbuh-tumbuhan. Hikmah diciptakan
manusia berpasang-pasangan agar manusia dapat hidup penuh
dengan rasa cinta dan kasih sayang kepada pasangannya. Untuk
itu haruslah diadakan ikatan dan pertalian yang kokoh (mîtsâqan
ghâlizhan) dengan cara melaksanakan ijab qabul dalam
pernikahan.
Bila akad nikah telah dilangsungkan, maka mereka
telah berjanji dan bersedia akan membangun suatu rumah tangga
yang damai dan teratur, akan sehidup semati dalam ikatan suci
pernikahan. Oleh karena itu, Islam mengajarkan dan
menganjurkan umatnya untuk melaksanakan pernikahan karena
dengan nikah akan berpengaruh baik pada diri sendiri, keluarga,
masyarakat dan seluruh umat manusia. Adapaun hikmah
pernikahan adalah:
1. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai
untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks, dengan
kawin badan jadi segar, jiwa matang, mata terpelihara
dari melihat yang haram dan perasaan tenang menikmati
barang yang berharga.
2. Nikah, jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi
mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup
manusia, serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat
diperhatikan sekali.
3. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling
melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan
akan pula tumbuh perasaan-perasaan ramah, cinta dan
sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang
menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung
anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-
sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan
seseorang. Ia akan cekatan bekerja, karena dorongan
tanggung jawab dan memikul kewajibannya sehingga ia
akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang
dapat memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak
produksi. Juga dapat mendorong usaha mengeksploitasi
kekayaan alam yang dikaruniakan Allah bagi
kepentingan hidup manusia.
5. Pembagian tugas, di mana yang satu mengurusi rumah
tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai
dengan batas-batas tanggung jawab antara suami-istri
dalam menangani tugas-tugasnya.
6. Pernikahan dapat membuahkan, diantaranya: tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta
antara keluarga, dan memperkuat hubungan masyarakat,
yang memang oleh Islam direstui, ditopang dan
ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang
lagi saling menyayangi merupakan masyarakat yang kuat
lagi bahagia.71
71
Tihami, Sohari Sahrani, Op.Cit. h. 19-20.
BAB III
PENYAJIAN DATA
A. Pengertian Nikah Wisata
Pernikahan wisata telah menjadi sebuah fenomena yang
serius di beberapa negara Islam pada akhir-akhir ini termasuk
negara Indonesia yang disebabkan oleh perubahan-perubahan
yang terjadi dalam kehidupan, asal usul pernikahan ini telah ada
pada orang-orang terdahulu, mereka menamai dengan
pernikahan misyar, namun pada masa saat ini pernikahan
tersebut lebih dikenal dengan istilah nikah wisata. Nikah Wisata
adalah merupakan bentuk pernikahan yang dilakukan dengan
memenuhi rukun dan syarat pernikahan, namun pernikahan
tersebut diniatkan dan/atau disepakati untuk sementara, semata-
mata hanya untuk memenuhi kebutuhan selama dalam
wisata/perjalanan.72
Pada hakikatnya pernikahan wisata
dilaksanakan oleh seorang laki-laki dengan akad yang benar,
mencukupi rukun dan syaratnya, hanya saja istri harus mengalah
dari beberapa hak-haknya, seperti mendapatkan tempat tinggal,
atau tempat yang disiapkan oleh suami, dan dari hak nafkah
yaitu pembagian yang adil antara dia dengan istri lainnya. Dia
harus rela tinggal di rumah dengan orang tuanya.73
Bentuk dan cara pernikahan wisata selain mirip dengan
nikah mut‟ah juga hampir sama seperti nikah misyar.
Pernikahan misyar adalah pernikahan yang dimana pihak
perempuan mendapatkan sebagian haknya saja yang diatur pada
saat akad nikah, seperti tidak mendapatkan tempat tinggal,
nafkah dan kelangsungan untuk tinggal bersamanya. Selanjutnya
hal ini tentu menimbulkan ketidak adilan antara para istri.
Biasanya pernikahan seperti ini dilakukan oleh laki-laki yang
sedang musafir dan perempuan yang sudah tua, namun belum
menikah, sedangkan ia sudah putus harapan untuk
72
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fawa MUI Bidang Sosial Dan
Budaya, (Emir, 2015), h. 355. 73
Muh Fuad Syakir, Perkawinan Terlarang, (Jakarta: Cendekia Sentra
Muslim, 2002), h. 17-19.
melangsungkan bentuk pernikahan yang normal. Biasanya
pernikahan ini sudah memenuhi rukun nikah yaitu akad,
keridho‟an wali, dua orang saksi dan mahar. Biasanya
pernikahan seperti ini dilakukan oleh para pedagang, tentara,
penuntut ilmu yang berada di negeri asing untuk menjaga
dirinya dari kerusakan. Namun saja perlu diwaspadai bahwa
dalam bentuk pernikahan ini kurang penunaian hak disebabkan
karena adanya kelemahan dalam menunaikan hak dan
kewajiban, disamping memberikan nafkah kepada anak-anak
dikemudian hari ketika jalinan pernikahan tersebut membuahkan
anak.74
Sebagian wisatawan muslim dari negara lain
mempunyai trik agar bisa menyiasati larangan berzina. Sebelum
menyalurkan hasrat seksual, mereka menikahi pasangannya,
dengan memenuhi syarat-rukun nikah. Bunyi ijab kabul mirip
nikah biasa, tanpa penyebutan batas waktu seperti nikah mut'ah
(nikah yang diharamkan kalangan Sunni), mayoritas muslim
Indonesia. Pasangan pun merasa aman dan nyaman, karena
berkeyakinan sebagai suami-istri sah. Bedanya dengan nikah
biasa, perkawinan ini tidak bertahan lama seperti pernikahan
pada biasanya yang menginginkan untuk berpisah jika maut
telah memisahkannya. Pernikahan wisata bisa bertahan sebulan,
sepekan, kadang cuma dua hari. Begitu jadwal liburan berakhir,
pasangan pun bercerai. Agendanya hanyalah sekadar pemuasan
nafsu birahi. Dengan harapan bila si wanita melahirkan anak, tak
ada lagi urusan dengan sang pria. Akad nikah dilakukan secara
lisan, tanpa dicatat Kantor Urusan Agama (KUA). Perceraian
pun diselesaikan secara lisan, tanpa pernyataan di depan
pengadilan agama.75
Praktek ini sudah lama berlangsung di
Indonesia, salah satu daerah yang sering mempraktekkan nikah
wisata adalah kawasan sejuk Puncak, Bogor-Cianjur, Jawa
Barat, dimana kawasan itu mayoritas kebanyakan turis,
pelancongnya kebanyakan asal Timur Tengah.
74
Muhammah Nabil Kazhim, Buku Pintar Sikah; Strategi Jitu
Menuju Pernikahan Sukses, (Solo: Samudera, 2007), h. 71. 75
www.gatra.com/artikel.php?id=140413. Diakses 1 November
2016.
Pernikahan adalah sebuah awal dimulainya kehidupan
antara dua insan yang sebelumnya tidak mempunyai hak dan
kewajiban, dengan pernikahan muncul hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh keduanya. Seorang suami harus
bertanggung jawab terhadap istrinya, terlebih apabila pasangan
tersebut dikaruniai buah hati, maka seorang suami harus
bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan primer maupun
sekunder. Selain itu, harus bertanggung jawab dalam
pendidikan, kesehatan serta akhlak seorang anak, karena anak
adalah titipan dari Allah SWT. Oleh karena itu, dalam
pernikahan haruslah saling menjaga satu sama lainnya, jangan
sampai terjadi sebuah pertengkaran keduanya haruslah saling
intropeksi diri dan saling memaafkan dan jangan sampai terjadi
sebuah perceraian, meskipun perceraian tidak dilarang.
B. Praktik-praktik Nikah Wisata
Di atas telah di jelaskan bahwa nikah wisata merupakan
bagian zawâj mua‟qqat atau pernikahan sementara, pernikahan
tersebut hanya untuk memuaskan nafsu syahwat semata tanpa
ada tujuan untuk membangun mahligai rumah tangga seperti
yang disebutkan dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974
pasal 1 yaitu untuk memabangun rumah tangga yang kekal dan
bahagia.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya
menyatakan bahwa nikah wisata merupakan bagian dari nikah
mut‟ah, oleh karena itu praktik-praktik yang terjadi tidak jauh
berbeda dengan pernikahan mut‟ah pada umumnya. Dalam
praktiknya pernikahan tersebut juga ada proses serah terimanya
(ijab dan qabul) akan tetapi ijab dan qabul yang dilakukan pada
pernikahan tersebut berbeda dengan nikah yang dianjurkan
dalam agama, jika dalam nikah yang dianjurkan oleh agama
proses ijab dan qabulnya antara wali dari mempelai perempuan
dengan mempelai laki-laki, namun dalam ijab dan qabul dalam
nikah wisata hanya dilakukan oleh calon mempelai perempuan
dengan mempelai laki-laki sehingga lafadz ijab dan qabulnya
adalah sebagai berikut:
“engkau kunikahkan dengan diriku atas dasar sunnatullah
selama ... dengan mas kawin sebesar ...”, setelah wanita
mengucapkan ijab (menyerahkan diri), maka si pria pun
mengucapkan qabul (penerimaan) sebagai berikut : “kuterima
pernikahan ini”76
Sedangkan mas kawin (mahar) dalam pernikahan
wisata merupakan imbalan atau upah yang diberikan oleh laki-
laki yang menikahi kepada perempuan yang dinikahi karena
telah memberikan pelayanan selama dalam wisata tersebut.
Mahar dalam nikah wisata berbeda dengan mahar pada
umumnya. Jika dalam nikah wisata mahar merupakan upah atas
jasa pelayanan yang diberikan oleh si perempuan, sedangkan
mahar pada umumnya adalah pemberian dari mempelai laki-laki
kepada mempelai perempuan sebagai sarana untuk
menghalalkannya. Di kalangan Syi‟ah, pemberian mas kawin
boleh hanya satu dirham, segenggam makanan, atau seteguk air,
sehingga dapat kita bayangkan betapa mudahnya melakukan
perzinahan dengan atas nama agama di kalangan Syi‟ah.77
Nikah wisata dalam praktiknya juga mengenal istilah
batas waktu (massa). Batas waktu yang ada dalam nikah wisata
adalah sesuai dengan perjanjian di awal atau di akadnya. Dalam
nikah pada umumnya batasan waktu dapat menjadi rusaknya
sebuah pernikahan, namun dalam nikah wisata batasan waktu
menjadi hal yang wajib ada.
Dari Abban bin Taghlib pada riwayat mengenai lafadz
akad mut‟ah, bahwa ia bertanya kepada Abu Abdullah as : “saya
sungguh malu menyebutkan syarat hari. Ia menjawab: “ini lebih
berbahaya bagimu.” Aku berkata: bagaimana bisa? Ia berkata:
“karena jika kamu tidak mensyaratkannya, jadilah ia perkawinan
yang permanen. Maka engkau diwajibkan memberi nafkah pada
masa iddahnya, ia menjadi pewarismu dan engkau tidak bisa
menceraikannya kecuali dengan talak yang sejalan dengan
sunnah.”78
Batasan waktu dalam nikah wisata bisa 1 bulan, 2
pekan, 1 pekan bahkan 3 hari tergantung bagaimana kesepakatan
76
Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita,
(Tangerang: CV. Pamulang, 2005), h.16. 77
Ibid, h. 19. 78
Ibid, h. 18.
awalnya. Hal ini sangat berbeda jauh dengan pernikahan pada
umumnya yang tak ada batasan sama sekali. Tujuan dari adanya
pernikahan wisata sebagaimana tersirat dalam devinisi nikah
wisata, yakni hanya bertujuan untuk melampiaskan nafsu
biologis, tidak ada keinginan untuk membentuk suatu rumah
tangga yang kekal, sakinah, mawaddah dan rahmah yang selalu
di ridhoi Allah sebagaimana yang diperintahkan oleh agama.
Sehingga dengan hanya menyandarkan pada pemenuhan nafsu
syahwat dalam tujuan pernikahan wisata, maka pernikahan
wisata ini tidak ada bedanya dengan prostitusi, hanya saja dalam
perkawinan ini ada akad sebagai formalitas untuk melegalkan
hubungan badan yang merupakan perbuatan zina.
Pernikahan wisata merupakan pernikahan yang dilarang
karena mempunyai dampak negatif yang sangat banyak sekali,
dampak-dampak negatif dari pernikahan jenis ini adalah sebagai
berikut:
1. Merendahkan Martabat Wanita
Islam sebagai agama rahmat bagi semesta alam
memandang wanita sebagai pemegang peranan penting
dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat dan bernegara
karena wanita dapat menentukan baik atau tidaknya
generasi penerus bangsa. Wanita adalah madrasah atau
sekolah pertama bagi generasi penerus bangsa, karena
mereka (wanita) adalah yang mengandung dan
membesarkan anak-anak generasi bangsa dengan sentuhan
kasih sayang yang dapat menjadikan anak-anak yang
diasuhnya berkembang menjadi pribadi yang kuat, cerdas,
berakhlak dan siap menjadi penerus bangsa yang unggul.
Dalam Islam, wanita memegang peranan yang cukup
penting dalam menentukan baik tidaknya generasi suatu
bangsa. Karena sesungguhnya wanitalah yang cukup
dominan dalam menentukan arah generasi yang
“dicetaknya” sejak dalam masa pranatal hingga generasi
tersebut siap untuk berdiri secara mandiri. Mengingat beban
yang cukup berat tersebut, maka Islam menempatkan posisi
seorang wanita (ibu) tiga tingkat diatas seorang ayah untuk
ditaati oleh anak-anaknya.79
Penghormatan Islam terhadap wanita pun terlihat dalam
aturan hukum tentang perkawinan. Dimana Islam melarang
antar lawan jenis untuk saling bepandangan dan melakukan
hal-hal yang hanya diperkenankan bagi mereka yang telah
melewati pintu perkawinan. Hal ini semata-mata untuk
menjaga kehormatan masing-masing pihak. Dan ketika
seorang pria telah sungguh-sungguh mencintai seorang
wanita, demikian juga sebaliknya, maka si pia dianjurkan
untuk segera mengawininya. Bila ia telah mengawini wanita
tersebut, maka ia harus bisa menjaganya baik materiil
mauoun immateriil, sebagai wujud penghormatannya
kepada wanita tersebut.80
Penghormatan Islam terhadap wanita yaitu, wanita
mempunyai hak dalam menentukan besaran mahar yang
akan diterima dari seorang laki-laki, selain itu wanita juga
tidak boleh disentuh oleh yang bukan mahramnya bahkan
dilarang untuk memandangi wanita yang bukan
mahramnya. Setelah menikah wanita juga mendapatkan
penghormatan dari agama Islam yaitu memerintahkan
kepada suaminya untuk menggauli istrinya secara ma‟ruf,
tidak berlaku kasar, dan harus dapat berlaku adil terhadap
wanita apabila mempunyai istri lebih dari seorang.
Tidak demikian halnya dengan pandangan Syi‟ah
tentang nikah wisata. Bagi mereka wanita yang dinikahi
dengan jenis pernikahan seperti ini dianggap bukan seorang
istri, melainkan dianggap hanya sebagai wanita sewaan.
Sehingga dengan menempatkan wanita pada kedudukan
yang serendah ini, maka dapat diabayangkan betapa
rendahnya ilmu agama yang mereka miliki karena banyak
dalil-dali agama yang dilanggar.
2. Penelantaran Anak
Anak merupakan amanah yang diberikan Allah kepada
para orang tua, dengan maksud agar orang tua tersebut
79
Ibid, h. 43. 80
Ibid, h. 44
merawat, mendidik dan menjadikan anak tersebut sebagai
pribadi yang dapat membawa keberkahan dalam rumah
tangga. Dengan lahirnya seorang anak dalam keluarga
mampu menjadi perekat hubungan suami-istri dan
membawa kebahagiaan bagi keluarga. Lahirnya anak di
keluarga adalah tanggung jawab orang tua yang harus
dibesarkan dengan penuh cinta kasih sayang, dengan cara
mencukupi kebutuhan sehari-hari sang anak sampai ia
tumbuh dewasa dan mandiri.
Suami-istri yang dikaruniai seorang anak akan berbagi
tugas dalam mendidik dan membesarkan sang anak. Suami
mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari anak dan istrinya, oleh karena itu
suami harus bekerja supaya mendapatkan rezeki. Sedangkan
istri lazimnya mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam
mengurus anak seperti menyusui dan mengurus rumah
tangga.
Dalam nikah wisata anak yang lahir adalah tanpa
mempunyai seorang ayah, hal ini mejadi beban tersendiri
bagi seorang ibu, yang harusnya bertugas untuk merawat
dan mendidik anak akan mempunyai tugas lain yaitu
menjadi orang tua tunggal (single parent) yang harus
bertanggung jawab selain pada kasih sayang juga harus
bertanggung jawab pada pemenuhan materi yaitu kebutuhan
makan, pakain, tempat tinggal serta kebutuhan pendidikan
dan kesehatan.
3. Rentan Terhadap HIV/AIDS
Islam adalah agama yang sempurna. Dalam Islam kita
sebagai umat manusia diajarkan untuk tidak berlaku
berlebih-lebihan (isrof) dalam segala hal. Isrof merupakan
perbuatan yang tercela dan merupakan awal sumber dari
berbagai macam penyakit, baik penyakit lahiriah maupun
penyakit batiniah. Contoh, Allah SWT. memerintahkan
manusia untuk makan dan minum, tetapi dalam makan dan
minum tersebut kita dilarang untuk berlebih-lebihan.
Karena jika perut terlalu kenyang disebabkan makan dan
minum terlalu banyak, dilihat dari aspek kesehatan akan
memunculkan berbagai jenis penyakit fisik. Jika dilihat dari
sudut pandang agama, terlalu kenyang akan mengakibatkan
kemalasan untuk melaksanakan perintah-perintah agama
untuk beribadah dan tidak peka terhadapat kondisi sosial
masyarakat sekitarnya.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah
penyakit yang berpotensi fatal yang disebabkan oleh HIV
(Human Immunodeficiency Virus). HIV menyebabkan
kerusakan parah pada sistem kekebalan tubuh. Selain
merugikan sistem kekebalan tubuh, HIV dan AIDS merusak
sistem lain dalam tubuh termasuk pernapasan, saraf,
pencernaan dan sistem kulit. Sementara ada obat ada untuk
HIV atau AIDS, kerusakan yang disebabkan oleh penyakit
ini dapat diobati.
Berikut adalah ulasan bagaimana HIV/AIDS
memengaruhi sistem tubuh:
1) Sistem kekebalan tubuh
HIV dapat merusak sel-sel darah putih yang
membantu sistem kekebalan tubuh melawan penyakit
(sel CD4). Menurut mayoclinic.com, HIV dapat
menjadi AIDS dalam waktu 10 tahun bila dibiarkan
tidak diobati. Selama waktu tersebut, HIV merusak
sistem kekebalan tubuh ke titik di mana infeksi
oportunistik mulai berkembang. Infeksi oportunistik
adalah infeksi yang disebabkan oleh organisme yang
biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang
dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat. Gejala
umum dari infeksi oportunistik mungkin berkaitan
dengan berbagai sistem tubuh, diantaranya keringat
malam, demam, menggigil, sesak napas, bintik-bintik
putih di mulut, kelelahan, ruam kulit dan penurunan
berat badan.
2) Sistem pernapasan
Seiring dengan perkembangan HIV menjadi
AIDS, infeksi seperti pneumonia atau radang paru-paru,
TB dan sarkoma Kaposi dapat menyebabkan kondisi
pernapasan parah. Menurut aids.org, pneumocystis
pneumonia (PCP) adalah infeksi oportunistik yang
paling umum pada orang dengan HIV. Tanpa
pengobatan, 85 persen dari mereka dengan HIV akan
mengembangkan infeksi. Gejala kondisi pernapasan
yang seringkali muncul akibat infeksi HIV atau AIDS
terkait termasuk kesulitan bernapas, batuk kering dan
demam.
3) Sistem saraf
Sistem kekebalan tubuh yang lemah
memungkinkan bakteri, virus, dan jamur menginfeksi
sistem saraf pada pasien dengan HIV dan AIDS.
Kondisi terkait AIDS umum yang memengaruhi sistem
saraf termasuk demensia AIDS kompleks, limfoma dan
toksoplasmosis. Gejala umum dari kondisi ini meliputi
sakit kepala, keterlambatan berpikir, memori jangka
pendek yang buruk serta perubahan perilaku dan
koordinasi.81
C. Hukum Nikah Wisata
Nikah wisata merupakan istilah nikah yang muncul pada
zaman sekarang ini, dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia
disebutkan bahwasannya nikah wisata merupakan bagian dari
nikah sementara (zawâj muaqqat) dan termasuk bagian dari
nikah mut‟ah. Oleh karena itu, penulis dalam sub bab bagian
hukum nikah wisata berdasarkan pendapat para ulama akan
menyamakan nikah wisata dengan nikah mut‟ah sebagaimana
yang ada dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia tersebut, karena
nikah mut‟ah adalah nikah yang telah ada pada masa Rasulullah,
sedangkan nikah wisata hanyalah istilah yang muncul akhir-
akhir ini.
Para Ulama sepakat bahwasannya pernikahan jenis ini
hukumnya haram, kecuali pedapat dari golongan Syai‟ah
sebagai berikut:
81
http://www.sehatfresh.com/dampak-hiv-dan-aids-pada-sistem-
tubuh/ diakses 30 juli 2017.
a. Menurut Syi‟ah
Nikah mut‟ah dan nikah mu‟qqat (temporal) hukum
keduanya tidak sah. Pernikahan mut‟ah telah dinyatakan
tidak sah oleh ijma‟ (kesepakatan) para ulama kecuali syiah,
mereka berpegangan pada pendapat Ibnu Abbas dan
beberapa sahabat serta tabi‟in. sedangkan pernikahan
mu‟aqqat dinyatakan tidak sah oleh jumhur ulama, karena
sama dengan nikah mut‟ah dan didalam akad yang di
pandang adalah maknanya. Akan tetapi, Zufr82
dan Syiah
menyatakan bahwa kedua pernikahan tersebut sah dilakukan.
Zufr berkata, “pernikahan tersebut sah dan bersifat lazim,
karena pernikahan itu tidak akan batal sebab adanya syarat-
syarat yang rusak.” 83
b. Menurut Ulama Syafi‟iah
Menurut ulama Syafi‟iah nikah mut‟ah adalah
pernikahan yang dibatasi dengan waktu tertentu. Jika
seorang lelaki menikah dengan syarat adanya khiyar
(pilihan) maka akadnya tidak sah. Karena akad tersebut
dapat dibatal oleh adanya kesepakatan waktu. Oleh sebab
itu, pernikahan menjadi batal dengan adanya kesepakatan
khiyar seperti hal dalam jual-beli.84
Menurut ulama syafi‟iah pernikahan seperti ini
merupakan pernikahan yang fasid (rusak) karena tidak
sempurna syaratnya dan terdapat cacat setelah terlaksananya
serta tidak mengakibatkan terlaksananya akibat-akibat
hukum seperti pernikahan yang sah. Dengan demikian, tidak
diwajibkan adanya mahar, nafkah, tidak ada hubungan
mahram sebab mushaharah (besanan), penetapan nasab dan
iddah.
82
Zufr merupakan salah satu ulama dari Madzhab Hanafi. 83
WahbahAz-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid 9,Terjemahan
Abdul Hayyie Al-Kattani Dkk, (Jakarta: GemaInsani, 2011), h. 113. 84
Ibid, h. 114.
c. Menurut Ulama Hanabilah
Menurut ulama Hanabilah, nikah yaitu seorang lelaki
menikahi seorang perempuan untuk jangka waktu tertentu,
memberikan syarat untuk menceraikannya pada waktu
tertentu atau berniat di dalam hatinya untuk menceraikan
pada jangka waktu tertentu. Pernikahan mut‟ah juga bisa
berwujud pernikahan seorang lelaki asing (pendatang)
dengan berniat untuk menceraikan si perempuan jika ia
keluar dari wilayah yang ia tempati tersebut. Atau seorang
lelaki berkata, “nikahkanlah mut‟ah diriku dengan dirimu,”
lantas si perempuan menjawab, “aku menikahkanmu mut‟ah
dengan diriku tanpa wali dan saksi.” Barangsiapa yang telah
melaksanakan akad seperti ini maka ia dikenakan ta‟zir dan
nasab anak disandarkan pada dirinya.85
D. Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Majelis ulama Indonesia (MUI) merupakan wadah
musyawarah para Ulama, Zua‟ma, dan cendekiawan muslim
serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia adalah
lembaga paling berkompeten dalam menjawab dan memecahkan
setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan
dihadapi masyarakat.86
MUI merupakan wadah yang menghimpun dan
mempersatukan pendapat dan pemikiran ulama Indonesia yang
tidak bersifat operasional tetapi koordinatif. Majelis ini dibentuk
pada tanggal 26 Juli 1975 M / 17 Rajab 1395 H dalam suatu
pertemuan ulama nasional, yang kemudian disebut Musyawarah
Nasional I Majelis Ulama Indonesia, yang berlangsung di
Jakarta pada tanggal 21-27 Juli 1975. Berdirinya MUI
dilatarbelakangi oleh dua faktor yakni bahwa (1) wadah ini telah
lama menjadi hasrat umat Islam dan pemerintah, mengingat
sepanjang sejarah bangsa Indonesia ulama memperlihatkan
85
Ibid, h. 117. 86
Ma‟ruf Amin, et.al. Himpunan fatwa MUI sejak 1975, (Penerbit
Erlangga), h. 4.
pengaruhnya yang sangat kuat, nasehat-nasehat mereka dicari
umat, sehingga program pemerintah khususnya menyangkut
keagamaan akan berjalan baik bila mendapat dukungan ulama,
atau minimal tidak dihalangi oleh para uama dan (2) peran
ulama sangat penting.87
Majelis Ulama Indonesia mempunyai fungsi yang sangat
strategis dan relevan dalam kehidupan beragama dan berbangsa.
Fungsi-fungsi dari Majelis Ulama Indonesia sebagai berikut:
1. Memberi fatwa dan nasehat mengenai masalah
keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan
umat Islam umumnya, sebagai amar makruf nahi
mungkar;
2. Memperkuat ukhuwah (kerukunan) Islamiah dan
memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antar
umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan
kesatuan bangsa;
3. Mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umat
beragama;
4. Menjadi penghubung antara ulama dan umara (pejabat
pemerintahan), serta menjadi penerjemah timbal balik
antara pemerintah dan umat beragama guna
menyukseskan pembangunan nasional.88
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah banyak
mengeluarkan fatwa dalam berbagai bidang diantaranya bidang
akidah, ibadah, sosial dan budaya. Dalam musyawarah nasional
MUI VIII pada tanggal 13-16 Sya‟ban 1431 H/ 25-28 Juli tahun
2010 yang diadakan di Jakarta, MUI mengeluarkan fatwa
tentang nikah wisata. Dalam fatwa tersebut Majelis Ulama
Indonesia menjelaskan pengertian dari nikah wisata, yang
dimaksud dengan nikah wisata adalah bentuk pernikahan yang
dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat pernikahan,
namun pernikahan tersebut diniatkan dan/atau disepakati untuk
87
Ensiklopedia Islam 3, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve)
h.122. 88
Ibid, h. 123.
sementara, semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan
selama dalam wisata/perjalanan.
Ketentuan hukum nikah wisata sebagaimana dimaksud
dalam pengertian nikah wisata tersebut adalah hukumnya haram,
karena merupakan nikah mu‟aqqat (nikah sementara) yang
merupakan salah satu bentuk nikah mut‟ah.
Fatwa tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa nikah
wisata hukumnya haram, mengingat pernikahan wisata
merupakan bagian dari nikah mut‟ah yang telah haram
hukumnya sampai hari kiamat. Dasar hukum yang digunakan
oleh Majelis Ulama Indonesia untuk menetapkan hukum nikah
wisata sebagai berikut:
Majelis Ulama Indonesia, dalam Musyawarah Nasional MUI
VIII pada tanggal 13-16 Sya‟ban 1431 H/ 25-28 Juli 2010 M,
setelah:
MENIMBANG:
1. Bahwa di tengah masyarakat saat ini muncul praktek
perrnikahan yang dilakukan oleh orang ketika bepergian,
yang dikenal dengan istilah “nikah wisata”;
2. Bahwa atas dasar kenyataan tersebut, muncul pertanyaan
dari masyarakat mengenai hukum “nikah wisata”;
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan dalam poin a dan b,
Musyawarah Nasional VIII Majelis Ulama Indonesia
memandang perlu menetapkan fatwa tentang “nikah
wisata” sebagai pedoman.
Mengingat:
1) Firman Allah SWT:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki;
maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah
orang-orang yang melampaui batas”
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
اهلل
اهلل
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari
padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”
2) Hadis Nabi SAW:
عن علي رضي اهلل عنو أنط رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم ن هى عن عة ي وم خيب وعن اوم اامر الىليطة (مت عليو)نكاح المت
“Dari Ali ibn Abi Thalib KW bahwa Rasulullah
SAW melarang nikah mut‟ah pada perang khaibar, juga
melarang memakan daging keledai piaraan”. (muttafaq
„Alaihi)
رخطص رسول اهلل صلى اهلل عليو : عن ياس بن سلمة عن أبيو قال عة ثحلثا . ثط ن هى عن ها– أي ثحلثة أيطام – وسلم عام أوطاس ف المت
رواه مسلم
Dari Iyas ibn Salamah dari ayahnya ia berkata:
“Rasulullah SAW memberikan keringanan (rukhshah)
pada Tahun Authas untuk melakukan mut‟ah selama tiga
hari kemudian melarang praktek tersebut.” (HR.
Muslim)
غذوت على رسول اهلل : عن الرطبي بن سب رة الهن عن أبو قال صلى اهلل عليو وسلم فإذا ىو قائم ب ي الركن واملقام مسن اظهره ل الكعبة ي قول يا أي ها النطاس ن أمرتكم بال ستمتاع من ى ه النساء، أل و نط اهلل ق رمها عليكم ل ي وم القيامة، فمن كان عن ه من هنط
لو، لتأخذ وا طا لت يتموىنط سيأ رواه مسلم. سيء ف لي ل سبي
Dari Rabi‟ ibn Sabrah al-Juhaini dari ayahnya ia
berkata: “Saya pergi hendak menghadap Rasulullah
SAW: namun beliau sedang berdiri antara rukun
(yamani) dan maqam (Ibrahim) dengan menyandarkan
punggungnya ke Ka‟bah seraya bersabda: Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya aku memerintahkan
kalian untuk istimta‟ dari para perempuan ini.
Ketahuilah, sesungguhnya Allah SWT sungguh telah
mengharamkan atas kalian hingga hari kiamat. Barang
siapa yang masih memiliki perempuan-perempuan
tersebut hendaknya melepasnya. Jangan ambil sesuatu
pun dari apa yang telah kalian bayarkan kepada
mereka”. (HR. Muslim)
عن علي كرطم اهلل وجهو أنط رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم هنى عن نسيطة عة النساء وعن أكل اوم اامر اا مت عليو. مت
Dari Ali karramallahu wajhah bahwa Rasulullah
SAW melarang untuk melakukan nikah mut‟ah dan untuk
memakan daging keledai piaraan”. (Muttafaq „Alaihi)
3) Ijma‟
Ulama sepakat (ijma‟) mengatakan bahwa hukum nikah
mut‟ah adalah haram untuk selama-lamanya,
sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Qadir karya
Ibn al-Humam 3/246-247, dan kitab-kitab fikih lainnya.
4) Atsar Sahabat:
ما بال أقوام ينكحون ىذه املتعة وق هنى رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم عنها، ل أج رجحل نكها ل رمجتو بااجارة روي أنط عمر قال
عة ثحلثا، ثط : نط رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم أذن لنا ف المت . رطمها، واهلل ل أعلم أ ا ي تمتط وىو صن الط رمجتو بااجارة
أخرجو ابن ماجو بإسناد صحي
Diriwayatkan bahwa „Umar ibn Khattahab suatu
saat naik mimbar, kemudian membaca hamdalah serta
memuji Allah lantas berkata: “Bagaimana urusan
sekelompok orang yang melakukan nikah mut‟ah
sementara Rasulullah SAW telah melarangnya. Saya
tidak menemui satu pun laki-laki yang melakukan mut‟ah
kecuali saya rajam dengan batu.” Diriwatkan bahwa
„Umar ibn Khatthab berkata: “Sesungguhnya Rasulullah
SAW memberi izin mut‟ah selama tiga hari kemudian
mengharamkannya. Demi Allah, saya tidak mengetahui
satu pun laki-laki yang melakukan mut‟ah sementara dia
seorang yang telah pernah menikah kecuali saya rajam
dengan batu.” (H. Ibn Majah dengan sanad yang
shahih)
5) Pendapat, saran, dan masukan peserta Munas VIII MUI
tanggal 27 Juli 2010.
Dengan bertawakal kepada Allah SWT,
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG NIKAH WISATA
Ketentuan Umum:
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan nikah wisata adalah
bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi rukun dan
syarat pernikahan, namun pernikahan tersebut diniatkan
dan/atau disepakati untuk sementara, semata-mata hanya untuk
memenuhi kebutuhan selama dalam wisata/perjalanan.
Ketentuan Hukum:
Nikah wisata sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum
hukumnya haram, karena merupakan nikah mu‟aqqat (nikah
sementara) yang merupakan salah satu bentuk nikah mut‟ah.
Fatwa tersebut sangat jelas bahwa yang dimaksud
dengan nikah wisata adalah pernikahan yang dilakukan semata-
mata hanya untuk memenuhi kebutuhan selama dalam
wisata/perjalan. Dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis
Ulama Indonesia menegaskan bahwa nikah wisata hukumnya
adalah haram.
BAB IV
ANALISIS DATA
Setelah penulis menguraikan setiap bab yang memiliki
hubungan dengan judul skripsi penulis, maka penulis akan
menyampaikan kajian analisis data pada bab IV, penyampaian
analisis data difokuskan pada permasalahan yang telah
dirumuskan pada bab pertama. Dalam hal ini penulis akan
menganalisa terhadap praktik-praktik nikah wisata dan
menganalisa terhadap hukum nikah wisata.
A. Praktik Nikah Wisata
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan
bahwa praktik-praktik tentang nikah wisata merupakan praktik
nikah yang tidak jauh berbeda dengan praktik nikah mut‟ah
yang pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW. masih
hidup, seperti adanya masa (batasan waktu) dalam pernikahan.
Praktik nikah wisata sering terjadi di daerah puncak Bogor,
umumnya nikah wisata dilakukan oleh orang muslim dari Timur
Tengah yang sedang berwisata ke kawasan puncak tanpa
membawa pasangannya, oleh karena itu turis muslim tersebut
membutuhkan pasangan untuk melampiaskan nafsu syahwatnya
selama dalam wisata dan tidak ada keinginan untuk membentuk
suatu rumah tangga yang kekal, sakinah, mawaddah dan rahmah
yang di ridhai Allah sebagaimana yang diperintahkan oleh
agama.
Dalam keadaan tidak membawa pasangannya selama
berwisata, turis muslim tersebut mencoba mengakali pernikahan
dengan cara menikahi perempuan pribumi untuk dijadikan istri
dengan tujuan agar tidak melakukan perbuatan zina serta dengan
tujuan dapat menyalurkan kebutuhan biologis selama dalam
berwisata.
Pernikahan yang dilakukan antara turis muslim dengan
muslimah pribumi tersebut pada umumnya tidak dicatatkan di
Kantor Urusan Agama (KUA) yang berada di wilayah tersebut.
Tidak dicatatkannya sebuah pernikahan di Kantor Urusan
Agama akan merugikan pihak perempuan, karena tidak
mempunyai kekuatan hukum apabila terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Pernikahan yang dilakukan umumnya tidak bertahan
lama yaitu ada yang berumur 2 bulan, 1 bulan, 2 minggu bahkan
3 hari, tergantung akad (perjanjian) antara laki-laki dan
perempuan yang di lakukan di awal sebelum pernikahan.
Setelah habis masa liburan/berwisata maka turis
muslim yang telah melakukan pernikahan dengan perempuan
pribumi akan meninggalkan lokasi wisata untuk kembali pulang
ke negara asalnya, kembalinya turis tersebut ke negara asal juga
akan meninggalkan istri yang telah dinikahi. Kepulangannya
jelas merugikan pihak perempuan (istri) karena perempuan
tersebut harus menanggung segala dampak/resiko, dampak dari
pernikahan wisata adalah apabila dari hubungan tersebut telah
dikaruniai seorang anak maka istri harus menanggung resiko
untuk memenuhi segala kebutuhan anak dari hasil pernikahan
tersebut. Sebagai seorang istri yang seharusnya mendapatkan
nafkah dari suami untuk kebutuhan dirinya dan anak-anaknya
malah justru harus menjadi orang tua tunggal (single parent)
karena suami telah pulang ke negara asalnya dan tidak pernah
menghubunginya lagi.
Selain itu, pernikahan seperti ini berdampak pada
perwalian anak yang telah lahir dari nikah wisata, anak tidak
bisa mendapatkan hak-haknya dari wali yang telah pulang ke
negara asal, perwalian anak akan berpindah ke pihak ibu.
Hukum Islam telah mengatur praktik-praktik pernikahan
secara lengkap dan terperinci, hal ini bisa di lihat dalam Al-
Qur‟an maupun Hadis Nabi. Salah satunya dalam Al-Qur‟an
surat Al-Nisa ayat 21 yang berbunyi:
Artinya: “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama
lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-
istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat
(ikatan pernikahan) dari kamu”.
Ayat tersebut terdapat kata mîtsâqan ghalîzdan yang
mempunyai makna perjanjian yang kuat antara pasangan suami-
istri setelah mereka melangsungkan akad pernikahan.
Kandungan ayat tersebut juga termuat dalam undang-undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 yang
menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 1 undang-undang nomor 1
tahun 1974 tersebut sangat selaras dengan ayat 21 surat Al-Nisa,
kedua dasar hukum tersebut memerintahkan agar setiap insan
manusia yang melaksanakan pernikahan hendaklah menjaga
keharmonisan dalam berumah tangga supaya rumah tangga
tersebut kekal hingga kematian yang memisahkan.
Selain surat Al-Nisa ayat 21, anjuran untuk membangun
rumah tangga yang kekal dan langgeng juga tersirat dalam Hadis
Nabi SAW. sebagai berikut:
هما قال قال رسول اهلل صلى اهلل عليو : عن ابن عمر رضي اهلل عن رواه أبو داود وابن ماجو . وسلم أب ااحلل عن اهلل اللطحل
وصححو اااكم ورج أبو اا رسالو Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu „Anhuma
dia berkata: bahwa Rasul SAW. bersabda, “Perkara
halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq.” H.R.
Abu Daud dan Ibnu Majah, disahkan oleh Hakim dan
ditarjih oleh Abu Hatim.
Dalam hadis tersebut terkandung makna bahwa
perceraian merupakan suatu perkara yang dibolehkan serta
dihalalkan dalam ajaran Islam, namun perceraian yang
dilakukan oleh pasangan suami-istri adalah perbuatan yang
dibenci oleh Allah SWT. oleh karena itu, sebuah pernikahan
hendaklah dijaga dengan sebaik-baiknya agar masalah yang
datang bisa diselesaikan dengan cara-cara yang baik dan jangan
sampai pernikahan yang dibangun antara suami-istri dengan
tujuan untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan
rahmah justru mendatangkan kebencian dari Allah yaitu karena
terjadi perceraian.
B. Hukum Nikah Wisata
Melihat maraknya fenomena di tengah mayarakat yang
melakukan nikah wisata yaitu pernikahan yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi serta tidak dicatatkan pada Kantor Urusan
Agama (KUA) setempat yang banyak dilakukan oleh pasangan
beda negara. Dengan adanya aktivitas di tengah masyarakat
tersebut menimbulkan keraguan dan keresahan tentang
bagaimana hukumnya serta akibat hukum dari pernikahan
wisata. Oleh sebab itu dengan berbagai alasan dan dasar-dasar
hukum yang telah dijelaskan sebelumnya maka Majelis Ulama
Indonesia (MUI) memandang pentingnya untuk mengeluarkan
fatwa tentang nikah wisata supaya tidak menimbulkan keraguan
dan permasalahan dikalangan masyarakat serta mendapatkan
kepastian hukum mengenai nikah wisata
Mengenai Fatwa nikah wisata yang dikeluarkan oleh
Majelis Ulama Indonesia pada tahun 2010, penulis berpendapat
bahwa fatwa tersebut sesuai dan sejalan dengan hukum Islam.
Karena pernikahan wisata mirip sekali dengan pernikahan yang
pernah ada pada masa Rasulullah SAW. yaitu yang dikenal
dengan nikah mut‟ah. Pernikahan mut‟ah sendiri pada masa
Rasulullah pernah terjadi dan diperbolehkan yaitu pada saat
perang Authas, namun pernikhan mut‟ah kemudian dilarang
oleh Rasulullah. Pada saat ini perkembangan zaman dan
teknologi semakin canggih yaitu dibuktikan dengan mudahnya
manusia untuk berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain,
hal ini akan memunculkan berbagai problematika baru yang
timbul dari dampak perkembangan zaman tersebut, salah
satunya problem nikah wisata.
Fatwa tentang nikah wisata yang dikeluarkan oleh MUI
pada dasarnya sangatlah penting dan penulis mendukungnya.
Akan tetapi penulis akan menganalisa fatwa yang di keluarkan
oleh Majelis Ulama Indonesi pada tahun 2010 tentang nikah
wisata. Dalam hal ini penulis akan menganalisa dari hadis yang
dijadikan landasan hukum untuk menentukan fatwa tersebut,
hadis yang akan penulis analisa adalah hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim sebagai berikut:
غذوت على رسول اهلل صلى : عن الربي بن سبة الهن عن أبو قال اهلل عليو وسلم فإذا ىو قائم بي الركن واملقام مسن اظهره ل الكعبة يقول يا أيها الناس ن أمرتكم بال ستمتاع من ى ه النساء، أل و ن اهلل ق رمها عليكم ل يوم القيامة، فمن كان عن ه منهن سيء
رواه مسلم. فلي ل سبيلو، لتأخذ وا ا لتيتموىن سيأ
Dari Rabi‟ ibn Sabrah al-Juhaini dari ayahnya ia
berkata: “Saya pergi hendak menghadap Rasulullah
SAW: namun beliau sedang berdiri antara rukun
(yamani) dan maqam (Ibrahim) dengan menyandarkan
punggungnya ke Ka‟bah seraya bersabda: Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya aku memerintahkan
kalian untuk istimta‟ dari para perempuan ini.
Ketahuilah, sesungguhnya Allah SWT sungguh telah
mengharamkan atas kalian hingga hari kiamat. Barang
siapa yang masih memiliki perempuan-perempuan
tersebut hendaknya melepasnya. Jangan ambil sesuatu
pun dari apa yang telah kalian bayarkan kepada
mereka”. (HR. Muslim)
Hadis tersebut setelah dicari dalam maktabah syamilah
hasilnya tidak ada, tetapi dalam maktabah syamilah terdapat
hadis yang redaksinya mirip dengan hadis tersebut yang sama-
sama di riwayatkan oleh Imam Muslim, sebagai berikut:
عن الرطبي بن سب رة الهن انط اباه ثو انطو كان م رسول اهلل صلطى اهلل عليو وسلطم ف قال يااي ها النطاس ان ق كنت اذنت لكم ف
ستمتاع من النساء وانط اهلل ق رم ذلك ال ي وم القيامة فمن كان اللو ول تأخ وا طا ت يتمو ىنط شيئاآعن ه من هنط شيء ف لي ل سبي
Artinya: Dari Rabi‟ ibn Sabrah al-Juhaini bahwasannya
ayahnya mengatakan dia bersama Rasul SAW. maka
beliau pun bersabda wahai manusia sesungguhnya aku
telah membolehkan bagi kalian nikah dan sesungguhnya
Allah telah mengharamkan sampai hari kiamat. Maka
barang siapa yang masih memiliki wanita yang dinikahi
secara mut‟ah maka hendaknya membebaskan dan
janganlah kalian mengambil sesuatu yang telah
diberikan kepada mereka. (HR. Muslim)
Selain hadis riwayat Imam Muslim yang penulis analisa,
penulis juga menganalisa atsar sahabat yang dijadikan landasan
dalam menentukan hukum nikah wisata. Atsar yang digunakan
dalam fatwa tersebut sebagai berikut:
ما بال أقوام ينكحون ىذه املتعة وق هنى رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم عنها، ل أج رجحل نكها ل رمجتو بااجارة روي أن عمر قال
ن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم أذن لنا ف املتعة ثحلثا، ث : . رمها، واهلل ل أعلم أ ا يتمت وىو صن ال رمجتو بااجارة
أخرجو ابن ماجو بإسناد صحي
Diriwayatkan bahwa „Umar ibn Khattahab suatu
saat naik mimbar, kemudian membaca hamdalah serta
memuji Allah lantas berkata: “Bagaimana urusan
sekelompok orang yang melakukan nikah mut‟ah
sementara Rasulullah SAW telah melarangnya. Saya
tidak menemui satu pun laki-laki yang melakukan mut‟ah
kecuali saya rajam dengan batu.” Diriwatkan bahwa
„Umar ibn Khatthab berkata: “Sesungguhnya Rasulullah
SAW memberi izin mut‟ah selama tiga hari kemudian
mengharamkannya. Demi Allah, saya tidak mengetahui
satu pun laki-laki yang melakukan mut‟ah sementara dia
seorang yang telah pernah menikah kecuali saya rajam
dengan batu.” (H.R Ibnu Majah dengan sanad yang
shahih)
Atsar sahabat tersebut setelah dicari dalam maktabah
syamilah hasilnya tidak ada namun dalam maktabah syamilah
ada yang redaksinya sama dengan yang ada dalam fatwa
tersebut yaitu sebagai berikut:
عن ابن عمر قال لمطا ول عمر بن اللطاا خلاا النطاس ف قال نط رسول اهلل عة ثحلثا ثط رطمها واهلل ل اعلم صلطى اهلل عليو وسلطم اذن لنا ف المت
ا ا ي تمتط وىو صن الط رمجتو بااجارة الط ان يأتين بأرب عة يله ون أنط رسول اهلل ا لطها ب ع ذ رطمها
Artinya: Dari Ibnu Umar dia berkata ketika Umar bin Khattab
menjadi Khalifah ia berpidato di hadapan manusia dan
berkata: sesungguhnya Rasul SAW telah membolehkan
untuk kita nikah mut‟ah 3 hari kemudian
mengharamkannya, demi Allah tidak aku ketahui ada
seseorang melakukan praktik nikah mut‟ah dan dia
sudah berkeluarga melainkan aku rajam dia dengan
batu kecuali apabila dia mendatangkan kepadaku empat
orang yang bersaksi, bahwasannya Rasul
menghalalkannya setelah mengharamkannya.
Islam sebagai agama rahmatallil „alamin senantiasa
mengajurkan umatnya untuk selalu meningkatkan ketaqwaan
kepada Allah SWT. yaitu dengan cara mengerjakan semua
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Perintah dan larangan
tersebut merupakan aturan yang di buat oleh Allah SWT. untuk
kebaikan manusia. Allah SWT. berfirman dalam al-Qur‟an
surat al-Mu‟minun ayat 5-7:
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya.
kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang
mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu
maka mereka itulah orang-orang yang melampaui
batas”
Ayat tersebut masih berkaitan erat dengan ayat yang
sebelumnya. Kita sebagai umat muslim dianggap beruntung
apabila berhasil menjaga kemaluannya dari hal-hal yang
dilarang seperti berzina. Dalam ayat tersebut diperintahkan
untuk menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istrinya atau
budak yang dimilikinya. Oleh karena itu diharamkan dan
dilarang untuk berhubungan seksual selain dengan istri atau
budak yang dimilikinya.
Selain itu penulis dalam hal ini juga akan menganalisa
hukum nikah wisata dari sudut pandang maqâshid al-syarîʻah
(tujuan hukum Islam). Maqâsid al-syarîʻah adalah apa yang
dimaksud oleh Allah dalam menetapkan hukum, apa yang dituju
Allah dalam menetapkan hukum atau apa yang ingin dicapai
oleh Allah dalam menetapkan suatu hukum.
Kebutuhan tingkat primer adalah sesuatu yang harus
ada untuk keberadaan manusia atau tidak sempurna kehidupan
manusia tanpa terpenuhinya kebutuhan primer tersebut.
Kebutuhan yang bersifat primer ini dalam Ushul Fiqh disebut
tingkat dharȗrî ( ضرورى) . Ada lima hal yang harus ada pada
manusia sebagai ciri atau kelengkapan kehidupan manusia.
Secara berurutan , peringkatnya adalah: agama, jiwa, akal, harta
dan keturunan (harga diri). Kelima hal ini disebut “dharȗriyyât
yang lima”.
Kelima dharȗriyyât tersebut adalah hal yang mutlak
harus ada pada manusia. Karenanya Allah menyuruh untuk
melakukan segala upaya bagi keberadaan dan kesempurnaannya.
Sebaliknya Allah melarang melakukan perbuatan yang dapat
menghilangkan atau mengurangi salah satu dari kelima
dharȗriyyât yang lima itu. Segala perbuatan yang dapat
mewujudkan atau mengekalkan lima unsur pokok itu adalah
baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala
perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima unsur
pokok itu adalah buruk dan karenanya harus dijauhi.
Agar kelangsungan hidup manusia terus berlanjut dan
tidak berhenti, diperlukan pernikahan agar mempunyai
keturunan yang sah dan jelas nasabnya. Untuk itu, Allah SWT.
melengkapi mahkluk hidup termasuk manusia dengan nafsu
syahwat yang mendorong melakukan hubungan badan
(senggama) agar mempunyai keturunan.
Segala usaha yang mengarah pada penghapusan atau
perusakan keturunan yang sah adalah perbuatan yang buruk.
Oleh karena itu, Nabi sangat melarang sikap tabattul atau
membujang karena mengarah pada peniadaan keturunan. Islam
juga melarang zina yang dinilai sebagai perbuatan keji dan dapat
merusak tatanan sosial, mengaburkan nasab keturunan serta
akan mendatangkan bencana.
Jadi, secara umum fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2010 tentang nikah wisata
adalah sesui dengan prinsip maqâsid al-syarî‟ah karena fatwa
tersebut telah mengharamkan adanya nikah wisata yang dapat
menghilangkan asal-susul atau nasab dari anak yang dihasilkan
dari penikahan wisata.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Praktik nikah wisata adalah praktik pernikahan yang
terdapat akad serah terimah (ijab dan qabul), akan tetapi
ijab qabul yang dilakukan pada pernikahan tersebut
berbeda dengan nikah yang dianjurkan dalam agama,
jika dalam nikah yang dianjurkan oleh agama proses ijab
dan qabulnya antara wali dari mempelai perempuan
kepada mempelai laki-laki, namun ijab dan qabul dalam
nikah wisata hanya dilakukan oleh calon mempelai
perempuan dengan mempelai laki-laki sehingga lafadz
nikahnya pun berbeda dan yang membedakan nikah
wisata dengan dengan pernikahan pada umumnya yaitu
dalam nikah wisata terdapat batasan usia pernikahan
sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak di waktu
akad.
2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor/02/Munas-
VIII/MUI/2010 yang menyatakan nikah wisata
merupakan nikah sementara (nikâh mu‟aqqat) yang
merupakan salah satu bentuk nikah mut‟ah dan
hukumnya adalah haram. Fatwa MUI tentang nikah
wisata merupakan fatwa yang dikeluarkan untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa
nikah wisata adalah pernikahan yang hukumnya haram,
fatwa tersebut sesuai dengan kaidah hukum Islam yaitu
maqâshid al-syarîʻah (tujuan hukum Islam) karena fatwa
tentang nikah wisata merupakan salah satu upaya agar
tidak menghilangkan nasab seorang anak. Fatwa ini telah
sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
B. Saran
Nikah wisata mempunyai dampak yang sangat negatif bagi
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, oleh karena itu penulis
memiliki saran-saran yang berkaitan dengan nikah wisata
sebagai berikut:
1. Pemerintah hendaknya menghentikan dan melarang
dengan keras bisnis praktik nikah wisata, dengan cara
menghukum pelaku nikah wisata baik laki-laki maupun
perempuan yang melakukan nikah wisata.
2. Bagi masyarakat agar segera melapor kepada pihak
berwajib apabila melihat praktik-praktik nikah wisata
yang ada di sekitar karena dapat merusak moral serta
generasi penerus bangsa.
3. Bagi para pelaku nikah wisata hendaknya segera
bertaubat dengan memohon ampunan kepada Allah
Ta‟ala. serta meninggalkan nikah wisata karena dapat
menimbulkan penyakit HIV/AIDS karena nikah wisata
tidak jauh berbeda dengan praktik prostitusi.
DAFTAR PUSTAKA
„Abdul „Azhim Bin Abdul Qawi Xakiyuddin Al Mundziri,
Mukhtashar Shahih Muslim, Terjemahan Ahmad
Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani, 1421 H/ 2001 M.
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed
Hawwas, Fiqh Munakahat, Jakarta: Amzah, 2011.
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Cetakan III, Jakarta:
Prenanda Media Group, 2008.
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT.
Citra Aditya Bakti, 2004.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
CV Akademika Pressindo, 2001.
Ahmad anwar, Prinsip-prinsip Metodologi Research,
Yogyakarta: Sumbangsih, 1974.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Rajawali
Pers, 2003.
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, Cetakan VII,
Bandung: CV Pustaka Setia, 2013.
Perkawinan Dalam Hukum Islam dan
Undang-Undang, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Departemen Agama RI Al-Hikmah Al-Qur‟an dan Terjemahnya,
Cetakan XX, Bandung: Diponegoro.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ensiklopedia Islam 3, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
http://www.sehatfresh.com/dampak-hiv-dan-aids-pada-sistem-
tubuh/
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam,
Cetakan V, Bandung: Penerbit JABAL, 2013.
Ibnu Rusyd, Bidayatu‟l Mujtahid, Terjemahan Abdurrahman,
Haris Abdullah, Semarang: CV Asy Syifa‟, 1990.
Imam Abu Husein Muslim Bin Hajjaj Al-Qusyairi An
Naisaburi, Shahih Muslim Jilid 2, Terjemahan KH.
Adib Bisri Musthofa, Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992.
Jiko Subagio, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktik,
Jakarta: Rineka Cipta, 2011.
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,
Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987.
Lexy L Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, Cetakan XIV,
Bandung: Ramaja Rosda Karya, 200.
Luthfi Surkalam, Kawin Kontrak Dalam Hukum Nasional Kita,
Tangerang: CV. Pamulang, 2005.
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam,
Jakarta: Siraja Prenada Media Group, 2006.
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fawa MUI Bidang Sosial
Dan Budaya, Emir, 2015.
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.
Muh Fuad Syakir, Perkawinan Terlarang, Jakarta: Cendekia
Sentra Muslim, 2002.
Muhammad Ali Ash-Shabuny, Qabas Min Nuuril-Qur‟an,
Terjemahan Munirul Abidin, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar.
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia
Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Muhammad Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi
Penelitian Dan Aplikasinya, Jakarta:
Gralia Indonesia, 2002.
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
Terjemahan Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press.
Muhammah Nabil Kazhim, Buku Pintar Sikah; Strategi Jitu
Menuju Pernikahan Sukses, Solo: Samudera,
2007.
Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak
Dicatat, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, Jakarta: Gema Insani Press,
2005.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 6, Terjemahan Moh. Thalib,
Bandung: PT Al Ma‟rif.
Fikih Sunnah 9, Terjemahan Moh. Nabhan
Husein, Bandung: PT Alma‟rif.
Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.
Sutrisno Hadi, Metodologi Riset, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1977.
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita (edisi
lengkap), Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2000.
T.M. Hasbi Ashiddiqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1995.
Terjemah hadits Shahih Bukhari I-IV, Jakarta:Penerbit
Widjaya,1992.
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2010.
Undang-Undang Perkawinan UU No. 1 Tahun 1974, Surabaya:
Rona Publishing.
WahbahAz-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu Jilid
9,Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani Dkk,
Jakarta: GemaInsani, 2011.
Witarto, Memahami Pengolahan Data, Jakarta: Bumi Aksara,
2008.
www.gatra.com/artikel.php?id=140413
Zakiyah Darajat, et.al. Ilmu Fikih, Jilid 3, Departemen Agama
RI, Jakarta:1985.
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 02/MUNAS-VIII/MUI/2010
Tentang
NIKAH WISATA
Majelis Ulama Indonesia, dalam Musyawarah Nasional MUI
VIII pada tanggal 13-16 Sya‟ban 1431 H/ 25-28 Juli 2010 M,
setelah:
MENIMBANG:
4. Bahwa di tengah masyarakat saat ini muncul praktek
perrnikahan yang dilakukan oleh orang ketika bepergian,
yang dikenal dengan istilah “nikah wisata”;
5. Bahwa atas dasar kenyataan tersebut, muncul pertanyaan
dari masyarakat mengenai hukum “nikah wisata”;
6. Bahwa berdasarkan pertimbangan dalam poin a dan b,
Musyawarah Nasional VIII Majelis Ulama Indonesia
memandang perlu menetapkan fatwa tentang “nikah
wisata” sebagai pedoman.
Mengingat:
6) Firman Allah SWT:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki;
maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah
orang-orang yang melampaui batas”
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari
padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”
7) Hadis Nabi SAW:
عن علي رضي اهلل عنو أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم هنى عن (مت عليو)نكاح املتعة يوم خيب وعن اوم اامر الىلية
“Dari Ali ibn Abi Thalib KW bahwa Rasulullah
SAW melarang nikah mut‟ah pada perang khaibar, juga
melarang memakan daging keledai piaraan”. (muttafaq
„Alaihi)
رخص رسول اهلل صلى اهلل عليو : عن ياس بن سلمة عن أبيو قال . ث هنى عنها– أي ثحلثة أيام – وسلم عام أوطاس ف املتعة ثحلثا
رواه مسلمDari Iyas ibn Salamah dari ayahnya ia berkata:
“Rasulullah SAW memberikan keringanan (rukhshah)
pada Tahun Authas untuk melakukan mut‟ah selama tiga
hari kemudian melarang praktek tersebut.” (HR.
Muslim)
غذوت على رسول اهلل صلى : عن الربي بن سبة الهن عن أبو قال اهلل عليو وسلم فإذا ىو قائم بي الركن واملقام مسن اظهره ل الكعبة يقول يا أيها الناس ن أمرتكم بال ستمتاع من ى ه النساء، أل و ن اهلل ق رمها عليكم ل يوم القيامة، فمن كان عن ه منهن سيء
رواه مسلم. فلي ل سبيلو، لتأخذ وا ا لتيتموىن سيأ Dari Rabi‟ ibn Sabrah al-Juhaini dari ayahnya ia
berkata: “Saya pergi hendak menghadap Rasulullah
SAW: namun beliau sedang berdiri antara rukun
(yamani) dan maqam (Ibrahim) dengan menyandarkan
punggungnya ke Ka‟bah seraya bersabda: Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya aku memerintahkan
kalian untuk istimta‟ dari para perempuan ini.
Ketahuilah, sesungguhnya Allah SWT sungguh telah
mengharamkan atas kalian hingga hari kiamat. Barang
siapa yang masih memiliki perempuan-perempuan
tersebut hendaknya melepasnya. Jangan ambil sesuatu
pun dari apa yang telah kalian bayarkan kepada
mereka”. (HR. Muslim)
عن علي كرم اهلل وجهو أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم هنى عن
مت عليو. متعة النساء وعن أكل اوم اامر االساء Dari Ali karramallahu wajhah bahwa Rasulullah
SAW melarang untuk melakukan nikah mut’ah dan untuk memakan daging keledai piaraan”. (Muttafaq ‘Alaihi)
8) Ijma‟
Ulama sepakat (ijma‟) mengatakan bahwa hukum nikah
mut‟ah adalah haram untuk selama-lamanya,
sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Qadir karya
Ibn al-Humam 3/246-247, dan kitab-kitab fikih lainnya.
9) Atsar Sahabat:
ما بال أقوام ينكحون ىذه املتعة وق هنى رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم عنها، ل أج رجحل نكها ل رمجتو بااجارة روي أن عمر قال
ن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم أذن لنا ف املتعة ثحلثا، ث : . رمها، واهلل ل أعلم أ ا يتمت وىو صن ال رمجتو بااجارة
أخرجو ابن ماجو بإسناد صحي
Diriwayatkan bahwa „Umar ibn Khattahab suatu
saat naik mimbar, kemudian membaca hamdalah serta
memuji Allah lantas berkata: “Bagaimana urusan
sekelompok orang yang melakukan nikah mut‟ah
sementara Rasulullah SAW telah melarangnya. Saya
tidak menemui satu pun laki-laki yang melakukan mut‟ah
kecuali saya rajam dengan batu.” Diriwatkan bahwa
„Umar ibn Khatthab berkata: “Sesungguhnya Rasulullah
SAW memberi izin mut‟ah selama tiga hari kemudian
mengharamkannya. Demi Allah, saya tidak mengetahui
satu pun laki-laki yang melakukan mut‟ah sementara dia
seorang yang telah pernah menikah kecuali saya rajam
dengan batu.” (H. Ibn Majah dengan sanad yang
shahih)
10) Pendapat, saran, dan masukan peserta Munas VIII MUI
tanggal 27 Juli 2010.
Dengan bertawakal kepada Allah SWT,
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG NIKAH WISATA
Ketentuan Umum:
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan nikah wisata adalah
bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi rukun
dan syarat pernikahan, namun pernikahan tersebut diniatkan
dan/atau disepakati untuk sementara, semata-mata hanya
untuk memenuhi kebutuhan selama dalam wisata/perjalanan.
Ketentuan Hukum:
Nikah wisata sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum
hukumnya haram, karena merupakan nikah mu‟aqqat (nikah
sementara) yang merupakan salah satu bentuk nikah mut‟ah.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal: 13 Sya‟ban 1431 H
27 Juli 2010
KOMISI C BIDANG FATWA
MUSYAWARAH NASIONAL VIII MAJELIS ULAMA
INDONESIA
PIMPINAN SIDANG
Ketua sekretaris
ttd.
ttd.
Prof. Dr. Hj. Huzaimah T. Yanggo, MA Dr. HM. Asrorun
Ni‟am Sholeh, MA