Post on 06-Mar-2019
PERSEPSI PENGUSAHA LOKAL TERHADAP
PENGUSAHA PENDATANG (Kasus Pengusaha UMKM Sepatu di Desa Kotabatu, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat)
FAUZIAH ZURRIYATINA
DEPARTEMEN
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
2
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Persepsi Pengusaha
Lokal terhadap Pengusaha Pendatang (Kasus Pengusaha UMKM Sepatu di Desa
Kotabatu, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Dastar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Fauziah Zurriyatina
NIM I34100077
ii
iii
ABSTRAK
FAUZIAH ZURRIYATINA. Persepsi Pengusaha Lokal terhadap Pengusaha Pendatang
(Kasus Pengusaha UMKM Sepatu di Desa Kotabatu, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa
Barat) Dibimbing oleh NURMALA K. PANDJAITAN.
Ciomas merupakan sentra pengrajin sepatu di wilayah Bogor. Semenjak industri
sepatu ini berkembang, kalangan pengusaha Tionghoa maupun Minang datang ke Desa
Kotabatu kemudian usaha mereka berkembang pesat. Beberapa tahun lalu terjadi
demonstrasi penolakan keberadaan pengusaha pendatang namun hal tersebut tidak terlalu
dihiraukan sehingga persaingan antar pengusaha semakin ketat. Munculnya pengusaha
pendatang tersebut dapat dipersepsikan positif atau negatif oleh pengusaha lokal. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan karakteristik dan tingkat
pengalaman dengan persepsi terhadap pengusaha pendatang serta menganalisis hubungan
antara persepsi dengan respons pengusaha lokal terhadap keberadaan pengusaha
pendatang dalam Usaha Mikro sepatu/sandal. Responden pada penelitian ini berjumlah 50
orang pengusaha lokal Usaha Mikro sepatu di Desa Kotabatu. Pada umumnya responden
memiliki persepsi positif mengenai pengusaha pendatang yaitu menganggap bahwa
pengusaha pendatang memiliki jiwa entrepreneur. Karakteristik pengusaha lokal tidak
memiliki hubungan dengan persepsi sedangkan tingkat pengalaman memiliki hubungan
dengan persepsi terhadap pengusaha pendatang. Respons pengusaha lokal pada umumnya
menerima kehadiran pengusaha pendatang namun tidak ditemukan hubungan antara
persepsi dengan respon terhadap pengusaha pendatang.
Kata kunci: persepsi sosial, pengusaha pendatang, usaha mikro
ABSTRACT
FAUZIAH ZURRIYATINA. Perceptions of Local Entrepreneur to the Entrant
Entrepreneurs (in the case of Micro Entrepreneurs Shoes Kotabatu Village, Bogor
District, West Java Province). Supervised by NURMALA K. PANDJAITAN.
Ciomas is a center of craftsmen shoes in Bogor. Since this industry develops, many
Chinese entrepreneurs and Minang entrepreneurs come to the Kotabatu village of their
work progresses. A couple years ago there was a demonstration of rejection of the
existence of the entrants entrepreneurs but it did not too anyone noticing it so that the
competitions among gets tougher. The emergence of entrant entrepreneurs can be
perceived as positive or negative by local entrepreneurs. The purpose of this research was
to analyze the relationship of the characteristics and level of experience with the
perception of the entrant entrepreneurs as well as analyzing the relationship between
perception and response to the existence of the entrant entrepreneurs in micro enterprises
shoes. Respondents in this research amounted to 50 local entrepreneurs of the micro
enterprises shoes/sandals in Kotabatu village. In general, the respondents have a positive
perception of assume that the entrant entrepreneur have entrepreneurial spirit. The
characteristics of local entrepreneurs did not have a relationship with the perception,
while the level of experience of having a relationship with the perception of entrant
entrepreneurs. The response of local entrepreneurs generally accept the presence of
entrant entrepreneur but not found the relationship between perception and response to
the entrant entrepreneurs.
Keywords: social perception, entrant enterpreneur, micro enterprises
iv
v
PERSEPSI PENGUSAHA LOKAL TERHADAP
PENGUSAHA PENDATANG (Kasus Pengusaha UMKM Sepatu di Desa Kotabatu, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat)
FAUZIAH ZURRIYATINA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
vi
i
Judul Skripsi : Persepsi Pengusaha Lokal terhadap Pengusaha Pendatang
(Kasus Pengusaha UMKM Sepatu di Desa Kotabatu,
Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)
Nama : Fauziah Zurriyatina
NIM : I34100077
Disetujui oleh
Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS. DEA
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.
Ketua Departemen
Tanggal Lulus: ______________
ii
iii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkat,
rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Persepsi Pengusaha Lokal terhadap Pengusaha Pendatang (Kasus
Pengusaha UMKM Sepatu di Desa Kotabatu, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa
Barat)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan pada Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Skripsi ini menjelaskan tentang
persepsi pengusaha lokal di Desa Kotabatu Kecamatan Ciomas terhadap
pengusaha pendatang dalam Usaha Mikro sepatu.
Penulis mengucapkan terima kasih dan hormat kepada Dr. Nurmala K.
Pandjaitan, MS. DEA selaku dosen pembimbing yang telah memberi banyak
masukan, dukungan, dan telah sabar dalam membimbing penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapakan pula terima kasih kepada
Ayahanda Saepuloh dan Ibunda Aah Thahirrah yang telah memberi dukungan
beserta doa yang tak pernah lepas dipanjatkan untuk kesuksesan penulis. Penulis
juga mengucapkan banyak terima kasih kepada sahabat-sahabat penulis yaitu
Atrina, Aulia, Anna, Kunti, dan Regina yang tidak pernah lelah memberikan
semangat kepada penulis terutama dalam penyelesaian skripsi ini. Tidak lupa
penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Javanication (Anggi,
Anna, Ditha, Regina, dan Sadri) yang selalu memberikan keceriaan. Tidak lupa
penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman SKPM angkatan 47 yang
telah mengisi hidup penulis menjadi lebih bermakna dan belajar untuk semakin
dewasa. Terima kasih pula untuk seluruh aparat pemerintahan Desa Kotabatu
Kecamatan Ciomas, pengusaha lokal sepatu dan sandal Desa Kotabatu, serta
pengusaha pendatang sepatu dan sandal yang berada di Desa Kotabatu pula.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
iv
v
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Kegunaan Penelitian 3
PENDEKATAN TEORITIS 5
Tinjauan Pustaka 5
Kerangka Pemikiran 9
Hipotesis 11
Definisi Operasional 11
PENDEKATAN LAPANG 15
Metode Penelitian 15
Lokasi dan Waktu 15
Penentuan Responden dan Informan Penelitian 15
Teknik Pengumpulan Data 16
Teknik Analisis Data 17
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 19
Profil Desa Kotabatu, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor 19
Kondisi Masyarakat Desa Kotabatu 21
Karakteristik Usaha Industri Skala Kecil Sepatu/Sandal 23
KARAKTERISTIK RESPONDEN 25
PENGALAMAN DENGAN PENGUSAHA PENDATANG 29
Tingkat Pengalaman dengan Pengusaha Pendatang 29
Bentuk Kerjasama 31
PERSEPSI PENGUSAHA LOKAL TERHADAP PENGUSAHA
PENDATANG
33
Persepsi mengenai Cara Berdagang 33
Persepsi mengenai Kualitas Produk 36
Persepsi mengenai Budaya Kerja 39
Persepsi mengenai Dampak Kehadiran 42
Persepsi mengenai Sifat dan Karakter 45
RESPONS TERHADAP PENGUSAHA PENDATANG 49
Tingkat Penerimaan terhadap Pengusaha Pendatang 49
Keterlibatan Pengusaha Lokal dalam Demonstrasi 51
HUBUNGAN KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN TINGKAT
PENGALAMAN DENGAN PERSEPSI
53
Hubungan Karakteristik Responden dengan Persepsi 53
Hubungan Tingkat Pengalaman dengan Persepsi 56
HUBUNGAN PERSEPSI DENGAN RESPONS TERHADAP
PENGUSAHA PENDATANG
59
SIMPULAN DAN SARAN 61
Simpulan 61
Saran 61
DAFTAR PUSTAKA 63
LAMPIRAN 65
vi
vii
DAFTAR TABEL
1 Luas wilayah Desa Kotabatu menurut pemanfaatannya tahun 2010 20
2 Sebaran penduduk Desa Kotabatu menurut jenis mata pencaharian
tahun 2010
21
3 Sebaran jumlah penduduk Desa Kotabatu berdasarkan tingkat
pendidikan tahun 2010
22
4 Sebaran jumlah penduduk Desa Kotabatu menurut kualitas angkatan
kerja tahun 2010
22
5 Jumlah dan persentase responden berdasarkan karakteristik individu 25
6 Sebaran jawaban responden berdasarkan tingkat pengalaman dengan
pengusaha pendatang
30
7 Sebaran jawaban responden berdasarkan pernyataan persepsi
mengenai cara berdagang
34
8 Sebaran jawaban responden berdasarkan pernyataan persepsi
mengenai kualitas produk
37
9 Sebaran jawaban responden berdasarkan pernyataan persepsi
mengenai budaya kerja
40
10 Sebaran jawaban responden berdasarkan pernyataan persepsi
mengenai dampak kehadiran
43
11 Sebaran jawaban responden berdasarkan pernyataan persepsi
mengenai sifat dan karakter
45
12 Sebaran jawaban responden berdasarkan tingkat penerimaan terhadap
pengusaha pendatang
49
13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan respons terhadap
pengusaha pendatang
52
14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan
persepsi
53
15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur dan persepsi 54
16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan
persepsi
55
17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan lokalit/kosmopolit dan
persepsi
56
18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pengalaman
dan persepsi
57
19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan persepsi dan respons 59
viii
ix
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran 10
2 Jumlah responden berdasarkan persepsi terhadap pengusaha
pendatang
47
3 Jumlah responden berdasarkan keterlibatannya pada demonstrasi 51
DAFTAR LAMPIRAN
1 Sketsa Desa Kotabatu, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat
65
2 Dokumentasi Penelitian 67
3 Hasil Uji SPSS 69
4 Pedoman wawancara mendalam 71
5 Data Responden 73
x
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan sektor yang
penting dan besar kontribusinya dalam mewujudkan sasaran-sasaran
pembangunan ekonomi nasional, seperti pertumbuhan ekonomi, kesempatan
kerja, peningkatan devisa negara, dan pembangunan ekonomi daerah. Usaha
Mikro diharapkan mempunyai kemampuan untuk ikut memacu pertumbuhan
ekonomi nasional sehingga UMKM membutuhkan pelindung berupa kebijakan
pemerintahan seperti undang-undang dan peraturan pemerintah. (Setiyadi 2008).
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) terbukti memberikan
kontribusi bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2009 tercatat kontribusi
UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai sekitar 45%
atau senilai Rp 2 000 triliun, sedangkan tahun 2010 diperkirakan UMKM mampu
memberi kontribusi lebih besar lagi kepada PDB Indonesia yakni sekitar Rp3 000
triliun. Besarnya kontribusi juga terlihat dari tingginya penyerapan tenaga kerja
sektor UMKM ini, yaitu hingga tahun 2009 sebanyak 91,8 juta atau 97,3% dari
seluruh tenaga kerja di Indonesia (Departemen Koperasi 2010).
Pada tahun 2010, jumlah unit UMKM di Indonesia mencapai 53.8 juta unit
usaha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Besarnya jumlah UMKM
tersebut mencerminkan besarnya potensi yang dapat dikembangkan dan
ditingkatkan bagi UMKM untuk lebih berkontribusi bagi negeri ini. UMKM
mampu bertahan dari beberapa gelombang krisis yang pernah terjadi di negeri ini,
seperti krisis ekonomi tahun 1997-1998 dan krisis ekonomi global tahun 2008. Di
saat banyak perusahaan besar yang bangkrut dan melakukan pemutusan hubungan
kerja (PHK), UKM mampu menyerap para pengangguran untuk dapat bekerja
kembali (Rizki dan Sylvia 2011dalam Devanti 2013).
Perkembangan sektor usaha mikro hingga saat ini jumlahnya telah
menggelembung sedemikian besar bahkan hampir menyamai jumlah mereka yang
bekerja di sektor formal lainnya. Di wilayah Jawa jumlah pelaku sektor usaha
kecil berkisar antara 37% sampai 43%, sementara di luar Jawa lebih banyak lagi
berkisar antara 40%-50%. Dengan begitu saat ini tidak bisa dikatakan lagi bahwa
sektor usaha kecil dan menengah hanya sebagai tempat penampungan sementara
bagi para pekerja yang belum bisa masuk ke sektor formal lainnya, namun
keberadaannya justru sebagai motor pertumbuhan ektivitas ekonomi (perkotaan)
karena jumlah penyerapan tenaga kerjanya yang demikian besar (sama dengan
jumlah tenaga kerja di sektor formal) (Sriyana 2010).
Ciomas merupakan sentra pengrajin sepatu dan sandal di wilayah Bogor.
Sebagian besar warga di wilayah tersebut bekerja di bengkel-bengkel sepatu yang
terletak di rumah masing-masing pengrajin. Sebagai usaha menengah dan kecil,
para pengrajin sepatu asal Ciomas mampu menghasilkan kualitas yang baik serta
tidak kalah dengan produk sepatu ternama. Desa Kotabatu merupakan salah satu
daerah di Ciomas yang memiliki pengrajin sepatu di dalamnya. Sebagaian besar
mata pencaharian warga Desa Kotabatu bergerak dalam bidang usaha mandiri
atau wirausaha yaitu sebesar 1 701 orang. Tercatat sebanyak 201 penduduk desa
ini merupakan pengusaha kecil dan menengah. Di Bogor, kawasan ini sejak lama
2
dikenal sebagai sentra penghasil sepatu dan sandal rumahan serta sentra cetakan
kayu sepatu. Adanya usaha sepatu ini mampu menyerap tenaga kerja di wilayah
ini bahkan sampai luar desa.
Semenjak usaha sepatu ini berkembang, kalangan pengusaha Cina maupun
Minang datang ke desa Kotabatu. Mereka pada awalnya hanya menjual kebutuhan
usaha sepatu, namun seiring berjalannya waktu mulai membuka bengkel sepatu.
Para pengusaha tersebut mempekerjakan warga sekitar di bengkelnya. Persaingan
di kawasan tersebut menjadi sangat ketat. Hal ini menjadi salah satu kendala yang
dihadapi Usaha Mikro sehingga mengakibatkan Usaha Mikro sulit bersaing di
pasar terutama pasar domestik.
Keberadaan pengusaha sepatu yang berasal dari Cina maupun Minang dapat
memperbesar jumlah pesaing Usaha Mikro. Hal ini dapat mengakibatkan jalannya
Usaha Mikro pengusaha lokal terhambat. Penghambatan ini terjadi karena
pengusaha pendatang memiliki modal yang cukup serta jaringan yang luas
sehingga memungkinkan untuk mendapatkan untung yang lebih besar. Tidak
dapat dipungkiri pengusaha lokal memiliki keterbatasan modal serta
menggunakan cara lama untuk memasarkan produknya. Hal ini memungkinkan
munculnya konflik antara pengusaha lokal dengan pengusaha pendatang di dalam
Usaha Mikro sepatu/sandal.
Beberapa tahun lalu terjadi demonstrasi di Desa Kotabaru yang menolak
adanya pengusaha sepatu yang berasal dari luar kawasan tersebut. Mereka
menyesalkan adanya izin pengusaha yang berasal dari Cina dan Minang tersebut
menjual kebutuhan usaha sepatu bahkan sampai membuka bengkel masing-
masing di rumahnya. Namun demo tersebut tidak dihiraukan sehingga persaingan
antara pengrajin sepatu yang berasal dari Desa Kotabatu semakin ketat.
Berdasarkan pemaparan tersebut maka akan timbul berbagai kondisi yang
berdampak pada pola interaksi diantara mereka. Hal ini dapat dilihat dari persepsi
yang timbul antar pengusaha mengenai pengusaha lainnya. Persepsi tersebut dapat
bernilai positif atau negatif tergantung cara mereka menganggap keberadaan
pengusaha lain sebagai ancaman atau malah pemicu usaha mereka sendiri agar
lebih baik lagi.
Rumusan Masalah
Persepsi sosial berperan penting dalam perilaku sosial dan pola pemikiran
sosial. Persepsi terhadap pengusaha pendatang yang dihasilkan dari pengusaha
lokal akan memengaruhi perilaku yang dimunculkan oleh pengusaha lokal dalam
menanggapi kedatangan pengusaha pendatang tersebut. Hal ini akan berdampak
pula pada interaksi antara kedua pihak terutama dalam persaingan usaha.
Berkembangnya Usaha Mikro sepatu memiliki dampak yang baik karena
mampu mengurangi tingkat pengangguran karena mampu menyerap tenaga kerja
yang cukup. Desa yang menjadi kawasan Usaha Mikro pun akan mempermudah
para pengusaha untuk mendapatkan produk sepatu.
Perkembangan Usaha Mikro di pedesaan ternyata mampu menarik perhatian
pengusaha-pengusaha luar untuk turut andil dalam usaha tersebut. Maka bukan
hal yang mustahil jika di kawasan yang telah berkembang dan masih berpotensi
perekonomiannya akan mendapat ancaman yaitu munculnya saingan dari kawasan
3
luar. Munculnya pengusaha pendatang tersebut dapat dipersepsikan positif atau
negatif oleh pengusaha lokal. Persepsi ini akan memengaruhi pola interaksi
diantara mereka. Persepsi negatif dapat menjadi akar konflik diantara mereka
sedangkan persepsi positif dapat menghasilkan kerja sama atau kemitraan diantara
mereka. Maka perlu diteliti bagaimana persepsi pengusaha lokal Usaha Mikro
sepatu.
Rumusan masalah yang diangkat dalam topik penelitian mengenai persepsi
pengusaha lokal terhadap pengusaha pendatang dalam Usaha Mikro sepatu, yaitu
sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan antara karakteristik pengusaha lokal dan tingkat
pengalaman dengan persepsi terhadap pengusaha pendatang dalam Usaha
Mikro sepatu?
2. Bagaimana hubungan antara persepsi dengan respons pengusaha lokal
terhadap keberadaan pengusaha pendatang dalam Usaha Mikro sepatu?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalah di atas, maka tujuan penulisan pada penelitian ini
adalah menganalisis persepsi pengusaha lokal Usaha Mikro sepatu Desa Kotabatu.
Tujuan khusus pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis hubungan antara karakteristik pengusaha lokal dan tingkat
pengalaman dengan persepsi terhadap pengusaha pendatang dalam Usaha
Mikro sepatu.
2. Menganalisis hubungan antara persepsi dengan respons pengusaha lokal
terhadap keberadaan pengusaha pendatang dalam Usaha Mikro sepatu.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai persepsi
yang mucul antara pengusaha lokal terhadap adanya pengusaha pendatang dalam
Usaha Mikro sepatu. Secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi beberapa pihak, diantaranya adalah:
1. Bagi masyarakat Desa Kotabatu
Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai Desa
Kotabatu terutama mengenai Usaha Mikro (UM) sepatu yang ada di desa
tersebut. Selain itu penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi referensi
bagi desa-desa lain pada umumnya dan Desa Kotabatu pada khususnya untuk
mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki terlebih mengenai usaha
sepatu.
Sementara bagi masyarakat umum penelitian ini diharapkan mampu
menambah wawasan masyarakat mengenai kehidupan masyarakat desa yang
memiliki mata pencaharian utama adalah sebagai pengusaha mikro.
2. Bagi pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para pengambil
kebijakan dalam menghadapi masalah interaksi antara pengusaha lokal
dengan pengusaha pendatang. Pemerintah diharapkan dapat membangun
4
hubungan yang sinergis antara semua stakeholder. Selain itu diharapkan agar
pemerintah dapat menyusun strategi yang tepat dalam meningkatkan
kesejahteraan, dalam hal ini adalah kelancaran jalannya UMKM yang telah
menjadi salah satu bagian penting di masyarakat.
3. Bagi peneliti dan kalangan akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pustaka dan
menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial di
masyarakat khususnya yang berkaitan dengan topik persepsi, UMKM, serta
hubungan interaksi antara lokal dan pendatang.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Persepsi Sosial
Berdasarkan pendapat Baron dan Byrne (2004) persepsi sosial adalah proses
yang digunakan untuk mencoba mengetahui dan memahami orang lain. Persepsi
sosial berperan penting dalam perilaku sosial dan pola pemikiran sosial. Persepsi
sosial ini tidak bisa lepas dari komunikasi nonverbal yaitu komunikasi
antarindividu tanpa melibatkan isi bahasa lisan, namun mengandalkan bahasa-
bahasa nonlisan melalui ekspresi wajah, kontak mata, dan bahasa tubuh. Baron
dan Byrne pula menjelaskan bahwa dalam persepsi sosial terdapat atribusi yaitu
proses kompleks dimana manusia berusaha memahami alasan-alasan dibalik
perilaku orang lain.
Aronson et al. (2005) mengemukakan bahwa “social perception is the study
of how people form impressions and make inferences about other people. People
constantly form such impressions because doing so helps them understand and
predict their sosial worlds”. Hal ini berarti persepsi sosial merupakan cara
seseorang membentuk kesan mengenai orang lain kemudian menyimpulkannya
agar mempermudah orang tersebut mengenal orang lain. Selanjutnya Aronson et
al. (2005) juga mengutarakan bahwa “culture plays an important role in the
formation of attributons” sehingga persepsi sosial juga dipengaruhi oleh budaya
orang yang mempersepsikan.
Kemudian Taylor et al. (2009) berpendapat bahwa persepsi sosial adalah
bagaimana manusia membentuk kesan terhadap orang lain, jenis informasi apa
yang kita gunakan untuk mendapatkan kesan itu, seberapa akuratkah kesan kita,
dan bias apa yang memengaruhi kesan. Manusia menggunakan apapun informasi
yang tersedia untuk membentuk kesan kita tentang orang lain yaitu dengan
membuat penilaian tentang kepribadiannya atau menyusun hipotesis tentang jenis
orang itu. Menurut Taylor et al. (2009) dalam mengkaji bagaimana orang
membentuk kesan tentang orang lain, terdapat enam prinsip umum dan sederhana:
1. Orang membentuk kesan tentang orang lain dengan cepat berdasarkan
informasi minimal dan kemudian menyebut ciri-ciri umum daari orang lain.
2. Orang memberi perhatian khusus pada ciri yang paling menonjol dari
seseorang, bukan memerhatikan seluruh ciri seseorang.
3. Dalam memproses informasi tentang orang lain kita akan memberi makna
yang koheren pada perilaku mereka.
4. Kita menata persepsi kita dengan mengorganisasikan atau mengelompokkan
stimuli.
5. Kita menggunakan struktur kognitif kita untuk memahami perilaku orang
lain.
6. Kebutuhan pihak yang memahami dan tujuan personal juga akan
memengaruhi bagaimana dia memandang orang lain.
Selanjutnya menurut Rahman (2013) persepsi sosial adalah suatu usaha
untuk memahami orang lain dan diri kita sendiri. Sebagai objek, banyak aspek
dari manusia yang bisa dipersepsi. Aspek-aspek tersebut bisa berupa:
6
1. Aspek fisik: daya tahan fisik, daya tarik fisik, kecepatan, kekuatan, tinggi
badan, berat badan, kesehatan, kebugaran, kelenturan, warna kulit, kualitas
suara, warna rambut, bentuk muka, bentuk hidung, dan lain-lain.
2. Aspek psikologis: kepribadian, sikap, motivasi, stabilitas emosi, kecerdasan,
minat, kesabaran, dan lain-lain.
3. Aspek sosio-kultural: keterampilan sosial, keberanian, konformitas, integrasi
sosial, intensi prososial, kepekaan sosial, kemandirian, dan lain-lain.
4. Aspek spiritual: orientasi beragama, integritas moral, perilaku beribadah, dan
lain-lain.
Rahman (2013) pula menjelaskan bahwa persepsi sosial bersifat selektif.
Tidak semua aspek dari orang lain menjadi objek persepsi kita, adakalanya kita
lebih tertarik untuk memahami aspek fisiknya, psikologis, sosial, dan/atau
spiritualnya. Di dalam memahami orang lain, manusia kadang hanya
mengandalkan shortcut mental. Pada saat itu pemahaman sosial menjadi lebih
cepat, tetapi keakuratan dikorbankan.
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Persepsi
Persepsi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, menurut Yuniarti (2000)
dalam Siregar (2008) proses terbentuknya persepsi tidak terlepas dari pengalaman
penginderaan dan pemikiran. Pengalaman masa lalu akan memberikan dasar pada
pemahaman penerimaan, pandangan atau tanggapan manusia terhadap sesuatu
yang ada di sekitarnya.
Berdasarkan Krech & Cruchfield (1948) seperti yang dikutip oleh Rakhmat
(2004) terdapat beberapa faktor yang memengaruhi persepsi yaitu perhatian,
faktor fungsional, dan faktor struktural. Perhatian adalah proses mental ketika
stimuli atau rangkaian stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat
stimuli lainnya melemah. Perbedaan perhatian di tiap-tiap manusia dipengaruhi
oleh faktor biologis dan faktor sosiopsikologis. Selanjutnya adalah faktor
fungsional yaitu faktor-faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu
dan hal-hal lain yang termasuk apa yang kita sebut sebagai faktor personal. Hal
yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik
orang yang memberikan respons pada stimuli tersebut. Kemudian faktor struktural
adalah faktor-faktor yang berasal semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-
efek syaraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Walaupun stimuli
yang kita terima tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan intepretasi yang
konsisten dengan rangkaian stimuli yang kita persepsi.
Suatu objek dapat dilihat secara berbeda oleh masing-masing individu
tergantung dari kesan yang muncul terhadap objek tersebut. Menurut Estiningsih
(1998) seperti yang dikutip oleh Siregar (2008) terdapat empat hal yang dapat
memengaruhi persepsi seseorang yaitu (1) lingkungan fisik dan sosialnya, (2)
struktur fisiologisnya, (3) kebutuhan dan cita-citanya, serta (4) pengalaman masa
lalunya. Dengan demikian persepsi bergantung pada empat hal tersebut sehingga
yang penting untuk diperhatikan adalah persepsi subyektif dari individu, bukan
lagi apa yang diamatinya secara obyektif.
Berdasarkan Gudykunst (2003), budaya dapat memengaruhi persepsi
seseorang. Beberapa studi menunjukkan bahwa kemiripan budaya akan
menghasilkan persepsi yang positif pada orang yang mempersepsi. Hal ini
dipengaruhi oleh kesamaan/kemiripan pandangan perasaan, intensitas/tingkat
7
kedekatan, penggabungan antara intensitas ekspresi yang dirasakan dengan
kesimpulan tentang pengalaman subyektif, emosi terhadap persepsi yang
direspons, serta ekspresi yang dirasakan.
Selain itu terdapat perbedaan budaya yang dapat memengaruhi persepsi. Hal
tersebut diantaranya adalah adanya pengenalan emosi yang berbeda, perbedaan
pandangan mengenai dimensi budaya, atribusi personal berdasarkan sebuah
senyuman, intensitas atribusi, perbedaan etnis dalam tingkat intensitas, dan
kontribusi dimensi budaya dalam mempersepsi. Hal yang buktinya tersedia
sampai saat ini menunjukkan bahwa persepsi dapat memiliki elemen baik
universal dan budaya-spesifik. Di tempat lain Gudykunst (2003) mengusulkan
mekanisme mirip dengan teori ekspresi neurocultural Ekman dan Friensen untuk
menggambarkan bagaimana kesamaan budaya dan perbedaan persepsi emosi atau
penilaian dapat diperoleh. Mekanisme ini menyiratkan bahwa penilaian emosi
dipengaruhi oleh wajah.
Usaha Mikro
Sesuai dengan Undang-Undang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM) Nomor 20 tahun 2008, Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang
perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha
Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan usahanya dalam rangka
membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang
berkeadilan. (Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008).
Berdasarkan UU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Nomor 20
tahun 2008 pada Bab IV pasal 16 menetapkan kriteria Usaha Mikro yaitu
memiliki kekayaan bersih paling banyak 50 juta rupiah tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha serta memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak tiga
ratus juta rupiah.
Pengusaha Lokal dan Pengusaha Pendatang Pengusaha lokal adalah pengusaha yang berasal dari lokasi Usaha Mikro
berdasarkan etnisitas lokal setempat sehingga pengusaha lokal adalah pengusaha
Sunda. Sedangkan pengusaha pendatang adalah pengusaha yang berasal dari luar
lokasi Usaha Mikro yang datang ke tempat tersebut akibat adanya peluang bisnis
yang telah terbuka. Pengusaha pendatang dilihat berasal dari etnis lain. Menurut
Nagel (2013) pengusaha pendatang biasanya merupakan etnis yang lebih siap
untuk menjalankan usaha seperti Tionghoa, Jawa, dan Minang.
Indrahti (2013) mengemukakan bahwa pengusaha yang berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan hidup akan cenderung mengutamakan kepemilikan materi.
Mereka akan melihat keberhasilan berdasarkan kepemilikan rumah yang bagus
dan besar, mobil pribadi, dan naik haji. Berdasarkan penemuan tersebut maka
orang-orang yang melihat keberhasilan berdasarkan kepemilikan materi akan
melakukan berbagai cara untuk dapat terlihat berhasil di mata orang lain. Hal ini
akan berdampak pada cara kerja yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
pemikiran seperti ini bahwa patokan keberhasilan adalah materi sehingga
bagaimanapun caranya harus mendapatkan keuntungan yang sebanyak-
banyaknya.
8
Menurut Nagel (2013) secara umum baik pengusaha lokal maupun
pengusaha Tionghoa memiliki kesepakatan bahwa hal-hal berikut menjadi kunci
keberhasilan usaha: Pertama, adalah faktor kerja keras, dorongan, dan dedikasi.
Para pemilik bisnis kecil harus berkomitmen dalam mencapai keberhasilan dan
rela menghabiskan waktu dan usaha sebanyak mungkin untuk dapat
mewujudkannya. Kedua, permintaan pasar akan produk dan jasa yang disediakan.
Analisis yang cermat terhadap kondisi pasar dapat membantu para pemilik bisnis
kecil melihat kemungkinan penerimaan produk mereka di pasar. Ketiga,
kompetensi managerial. Para pemilik bisnis kecil yang berhasil mungkin
mendapatkan kompetensi melalui pelatihan atau penggalanan atau dengan belajar
dari keahlian orang lain. Hanya sedikit wirausahawan berhasil yang dapat sukses
sendiri atau langsung berhasil setelah lulus kuliah, sebagian besar bekerja dulu
diperusahaan besar atau bersekutu dengan teman-teman lain agar dapat memiliki
lebih banyak keahlian dalam suatu bisnis baru serta yang keempat adalah
keberuntungan.
Etnis Tionghoa mendominasi UMKM-UMKM di Indonesia. Sebutan
Tionghoa adalah orang-orang keturunan Cina di Indonesia yang termasuk Warga
Negara Indonesia. Etnis Tionghoa memiliki falsafah 3C kesuksesan dan
pantangan 3C pula. Adapun 3C untuk kesuksesan mereka adalah: Cengli yang
artinya kalau ingin sukses, cara kita bekerja mesti cengli atau adil yang berarti kita
harus jujur, tidak curang dan bisa dipercaya. Cincai artinya orang yang mudah
memberi, tidak terlalu banyak perhitungan dan bukan tipe orang yang sulit Coan
yang artinya orang kerja adalah wajar kalau mengharapkan keuntungan.
Sedangkan pantangan 3C adalah Ciok (hutang). Jika hutang mampu dibayar
hutang tidak akan menjadi masalah, tetapi terkadang akan menjadi C yang kedua
yaitu Ciak (dimakan saja). Dan semakin tidak bertanggung jawab jika kemudian
orang tersebut melakukan C yang ketiga yaitu Cao (lari). (Devanti 2013)
Terdapat sembilan rahasia sukses orang Tionghoa. Pertama adalah usaha
keras, berani mencoba, dan tidak takut gagal. Kedua adalah mengumpulkan
informasi dan belajar. Ketiga melakukan perencanaan, keempat membina relasi,
kelima memiliki kemampuan administratif dan inventory control. Keenam
memiliki kemampuan pemasaran, ketujuh mendelegasikan, kedelapan adalah
mendiversivikasi serta kesembilan adalah mengolah keuangan (Devanti 2013).
Berdasarkan sembilan rahasia ini, pengusaha Tionghoa mampu menjalankan
usahanya dengan baik karena pendidikan mengenai bisnis telah didapat dari kecil
serta telah ditanamkan oleh orang tua mereka untuk berwirausaha sejak kecil.
Berbeda dengan sebagian orang Indonesia yang telah ditanamkan oleh orang
tuanya untuk menjadi pegawai di instansi. Orang-orang Indonesia tidak
dibiasakan atau bahkan tidak disiapkan menjadi wirausaha sejak kecil.
Berdasarkan perspektif etnis seperti yang diutarakan Nagel (2013),
wirausaha Tionghoa lebih mengatribusikan keberhasilan bisnis mereka sebagai
faktor internal dibanding wirausahawan pribumi. Tidak ada perbedaan atribusi
kegagalan bisnis wirausahawan Tionghoa dan pribumi, keduanya cenderung
mengatribusikan kegagalan bisnis mereka sebagai faktor eksternal. Untuk faktor
keberhasilan bisnis, tidak terdapat perbedaan atribusi. Para wirausahawan, baik
Tionghoa-pribumi maupun perempuan-laki-laki, lebih cenderung mengatribusikan
keberhasilan bisnis mereka sebagai faktor yang tidak stabil. Hal yang sama juga
berlaku untuk kegagalan bisnis. Para wirausahawan lebih cenderung
9
mengatribusikan kegagalan bisnis mereka sebagai faktor yang tidak stabil.
Terdapat perbedaan atribusi keberhasilan bisnis berdasarkan prespektif etnis.
Wirausahawan Tionghoa lebih mengatribusikan keberhasilan bisnis mereka
sebagai faktor yang dapat dikontrol, sedangkan wirausahawan pribumi lebih
mengatribusikan keberhasilan bisnis mereka sebagai faktor yang tidak dapat
dikontrol. Para wirausahawan lebih cenderung mengatribusikan kegagalan bisnis
mereka sebagai faktor yang tidak dapat mereka kontrol.
Orang Tionghoa memiliki watak yang serius dalam bekerja. Watak ini yang
menjadi bekal orang Tionghoa untuk merantau sehingga menjadi etos kerja
mereka. Kerja keras ini didorong oleh anggapan bahwa bekerja keras merupakan
tanggung jawab orang Tionghoa terutama sebagai anak laki-laki yang harus
menghidupi keluarga. Hal ini dapat terjadi karena selalu ingat bahwa mereka
hidup dalam masyarakat yang kelangsungan hidup individunya sangat tergantung
pada dukungan keluarga sehingga bila tidak bekerja keras mereka akan mendapat
tekanan sosial. Mereka menjadi tidak punya pilihan lain selain bekerja keras untuk
bisa menjamin masa depan mereka dan keluarganya.
Pengusaha pendatang memiliki karakter yang khas karena mereka lebih
disiapkan untuk merantau dan membuka usaha sendiri. Tidak jarang pengusaha
pendatang memasuki kawasan industri kecil kemudian mendominasi industri
tersebut karena memiliki keunggulan dari segi kualitas, perhitungan usaha, dan
jaringan usaha yang luas. Mereka biasanya memiliki persatuan pengusaha asal
daerahnya. Kekuatan jaringan tersebut yang menjadi titik persaingan antara
pengusaha lokal dengan pengusaha pendatang.
Berdasarkan pemaparan di atas maka pengusaha adalah seseorang yang
memiliki Usaha Mikro sepatu (wirausahawan). Pada penelitian ini pengusaha
dikategorikan menjadi dua, yaitu:
a. Pengusaha lokal adalah pemilik Usaha Mikro yang beretnis Sunda serta berasal
dari Desa Kotabatu.
b. Pengusaha pendatang adalah pemilik Usaha Mikro yang berasal dari luar Desa
Kotabatu baik yang menetap maupun yang hanya membuka usaha saja di
kawasan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari etnisitas pengusaha tersebut yang
berbeda dengan etnis setempat. Contohnya adalah pengusaha Tionghoa dan
pengusaha Minang.
Kerangka Pemikiran
Merebaknya Usaha Mikro di dalam suatu kawasan akan menjadi daya tarik
pengusaha lain untuk masuk ke dalam kawasan tersebut. Pengusaha yang mulai
merambah ke kawasan Usaha Mikro sepatu di Desa Kotabatu ini adalah
pengusaha Cina dan Minang. Terdapat berbagai persepsi pengusaha lokal dalam
melihat fenomena merambahnya pengusaha pendatang di kawasan industri kecil
mereka. Munculnnya persepsi pengusaha lokal terhadap pengusaha pendatang
disebabkan oleh ciri-ciri yang melekat pada masyarakat yang mencakup
karakteristik individu dan karakteristik lingkungan.
Pengalaman dengan pengusaha pendatang dapat diukur dengan tingkat
pengalaman pengusaha lokal memiliki hubungan dengan pengusaha pendatang
10
serta seperti apa saja bentuk kerja sama yang terjalin antara pengusaha lokal
dengan pengusaha pendatang.
Selanjutnya baik karakteristik pengusaha, pengalaman dengan pengusaha
pendatang, dan tingkat penerimaan tersebut diduga berhubungan dengan persepsi
pengusaha lokal terhadap pengusaha pendatang. Persepsi terhadap pengusaha
pendatang dilihat berdasarkan lima dimensi yaitu cara berdagang pengusaha
pendatang, kualitas produk, budaya kerja, dampak keberadaan pengusaha
pendatang, serta sifat dan karakter pengusaha pendatang. Persepsi tersebut dapat
bermakna positif atau negatif. Hasil dari proses persepsi tersebut diduga dapat
memengaruhi respons yang muncul terhadap pengusaha yang ada di Usaha Mikro
sepatu. Respons dapat dilihat berdasarkan tingkat penerimaan terhadap pengusaha
pendatang mengarah pada hubungan timbal balik antara pengusaha lokal dengan
pengusaha pendatang. Tingkatan ini menunjukkan sampai sejauh mana pengusaha
lokal menerima keberadaan pengusaha pendatang. Dimulai dari interaksi antara
dua pihak yang paling sederhana hingga hubungan interaksi yang lebih intensif. Respons tersebut dapat tercermin pula pada munculnya demonstrasi penolakan
adanya pengusaha pendatang, kerja sama, hubungan kemitraan, bahkan sampai
konflik. Secara skematis kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.
Keterangan : Berhubungan
Tidak diuji dengan persepsi
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Karakteristik Pengusaha
Jenis Kelamin
Umur
Tingkat pendidikan
Lokalit/Kosmopolit
Keterlibatan kelompok
Empati
Pengalaman dengan
Pengusaha Pendatang
Tingkat pengalaman
dengan pengusaha
pendatang
Bentuk kerja sama
Persepsi terhadap
Pengusaha Pendatang
Cara berdagang
Kualitas produk
Budaya kerja
Dampak keberadaan
Sifat dan karakter
Respons
terhadap
Pengusaha
Pendatang
11
12
Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka hipotesis yang
dapat ditarik adalah:
1. Diduga terdapat hubungan nyata antara karakteristik pengusaha lokal dan
tingkat pengalaman dengan persepsi pengusaha lokal terhadap pengusaha
pendatang.
2. Diduga bahwa persepsi pengusaha lokal terhadap pengusaha pendatang
memiliki hubungan dengan respons terhadap pengusaha pendatang.
Definisi Operasional
Definisi operasional peubah dimaksudkan untuk memberikan batasan yang
jelas sehingga memudahkan dalam melakukan pengukuran. Definisi operasional
dan pengukuran peubah dalam perencanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik pengusaha adalah ciri yang melekat pada masing-masing
responden. Variabel yang diukur adalah ciri-ciri pengusaha yang diduga
berpengaruh langsung terhadap variabel terpengaruh. Variabel yang diteliti
dalam penelitian ini adalah:
a. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan struktur biologis responden, yaitu laki-laki dan
perempuan. Pengukuran data dilakukan dengan menggunakan skala
nominal.
Perempuan (kode 1)
Laki-laki (kode 2)
b. Umur
Umur merupakan rentang waktu responden sejak dilahirkan hingga
penelitian dilakukan. Pengukuran data dilakukan dengan menggunakan
skala ordinal. Umur dikategorikan menjadi dua berdasarkan data yang
didapatkan di lapang sebagai berikut:
Muda (Skor 1) : Umur dibawah 41 tahun
Tua (Skor 2) : Umur dari 41 tahun ke atas
c. Tingkat Pendidikan merupakan jenjang pendidikan formal tertinggi yang
pernah ditempuh responden dan telah memperoleh kelulusan. Pengukuran
data dilakukan dengan menggunakan skala ordinal. Tingkat pendidikan
dikategorikan sebagai berikut:
Pendidikan rendah (Skor 1) : Tidak sekolah, tidak lulus SD, lulus SD, dan
lulus SMP
Pendidikan tinggi (Skor 2) : Tidak lulus SMA, lulus SMA, Perguruan
Tinggi
d. Lokalit/Kosmopolit merupakan keterdedahan responden terhadap dunia
luar. Lokalit dapat dilihat berdasarkan kurangnya responden dalam
menggunakan media serta hanya bersumber pada hubungan interpersonal.
Kosmopolit adalah keragaman di dalam masyarakat yang tercermin dalam
kehidupan sehari-hari. Semakin kosmopolit responden maka semakin
terdedah oleh informasi yang didapatkan dari luar lingkungan sehingga
luas pengetahuannya mengenai hal-hal yang tidak ada di lingkungannya.
13
Masyarakat yang kosmopolit lebih terdedah informasi melalui media
massa serta masyarakat yang didalamnya terdapat keberagaman budaya.
Variabel diukur menggunakan skala ordinal dengan skoring sebagai
berikut:
Lokalit (kode 1) : skor total 3-4
Kosmopolit (kode 2) : skor total 5-6
e. Keterlibatan Kelompok merupakan keanggotaan seseorang terhadap suatu
kelompok tertentu yang dapat memengaruhi pendapat atau pemikirannya
mengenai suatu obyek atau subyek. Keterlibatan responden di dalam
kelompok menunjukkan kekohesivitasan responden dengan sesama
pengusaha lokal lainnya.
f. Empati merupakan kemampuan untuk menyadari perasaan orang lain yang
terkait dengan rasa iba dan kasih sayang. Rasa empati juga ditunjukkan
dengan bagaimana seseorang menempatkan diri sebagai orang lain.
2. Tingkat pengalaman dengan pengusaha pendatang adalah seberapa jauh
hubungan responden dengan pengusaha pendatang. Pengalaman kontak
diukur melalui kejadian-kejadian yang terhimpun berdasarkan pengalaman
responden dalam berinteraksi dengan pengusaha pendatang. Variabel ini
diukur berdasarkan sejauh mana responden pernah bergaul dengan pengusaha
pendatang menggunakan skala bogardus. Tingkatan diukur dari kontak yang
paling sederhana hingga yang lebih komplek dengan pilihan pernah (skor 2)
dan tidak pernah (skor 1) untuk setiap pertanyaan yang bermakna positif serta
skor akan dibalik untuk pertanyaan yang bermakna negatif. Tingkat
pengalaman ini dikategorikan sebagai berikut:
Tingkat 1: Responden bertemu pengusaha pendatang (skor 5)
Tingkat 2: Responden memiliki hubungan yang baik dengan pengusaha
(skor 6)
Tingkat 3: Responden memiliki pengalaman baik dengan pengusaha
pendatang (skor 7)
Tingkat 4: Responden memiliki hubungan kerja sama (skor 8)
3. Persepsi pengusaha lokal terhadap pengusaha pandatang adalah pandangan
responden sebagai pengusaha lokal yang dianggap dapat mewakili pengusaha
lokal lainnya dalam kawasan ini yang sama terhadap pengusaha pendatang
dengan menyimpulkan informasi. Persepsi dapat diukur berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman responden terhadap pengusaha pendatang.
Terdapat lima dimensi persepsi yang diukur dengan menggunakan skala likert
berskala empat terhadap sebuah pernyataan. Skala likert tersebut mencakup
pilihan sebagai berikut:
Sangat Setuju (SS) (Skor 4)
Setuju (S) (Skor 3)
Tidak Setuju (TS) (Skor 2)
Sangat Tidak Setuju (STS) (Skor 1)
Skor tersebut berlaku bagi pernyataan positif sedangkan bagi pernyataan
negatif skor akan dibalik. Setelah itu skor total akan digolongkan kembali
menjadi dua, yaitu pengusaha pendatang:
Entrepreneur : skor total 22-55 (kode 2)
Bukan entrepreneur : skor total 56-88 (kode 1)
14
Lima dimensi persepsi yang dikaji yaitu:
a. Persepsi mengenai cara berdagang merupakan pandangan responden
mengenai cara berdagang yang dilakukan oleh pengusaha pendatang.
Termasuk di dalamnya mengenai cara pengusaha pendatang menjalankan
usahanya sehingga usaha tersebut dapat tetap bertahan. Persepsi responden
dihitung berdasarkan frekuensi munculnya pilihan jawaban kemudian
dikalikan bobot jawaban lalu dibagi dengan jumlah keseluruhan
responden. Setelah itu total skor rata-rata pada setiap pernyataan dijumlah
lalu dibagi empat sehingga didapatkan rata-rata jawaban responden untuk
dimensi persepsi mengenai cara berdagang.
b. Persepsi mengenai kualitas produk merupakan cara pandang responden
terhadap kualitas produk pengusaha pendatang. Persepsi responden
dihitung berdasarkan frekuensi munculnya pilihan jawaban kemudian
dikalikan bobot jawaban lalu dibagi dengan jumlah keseluruhan
responden. Setelah itu total skor rata-rata pada setiap pernyataan dijumlah
lalu dibagi empat sehingga didapatkan rata-rata jawaban responden untuk
dimensi persepsi mengenai kualitas produk.
c. Persepsi mengenai budaya kerja pengusaha pendatang merupakan cara
pandang responden terhadap nilai-nilai yang dianut pengusaha pendatang
dalam menjalankan usahanya. Hal ini dilihat pula berdasarkan etnis
pengusaha pendatang yang dipersepsikan. Persepsi responden dihitung
berdasarkan frekuensi munculnya pilihan jawaban kemudian dikalikan
bobot jawaban lalu dibagi dengan jumlah keseluruhan responden. Setelah
itu total skor rata-rata pada setiap pernyataan dijumlah lalu dibagi lima
sehingga didapatkan rata-rata jawaban responden untuk dimensi persepsi
mengenai budaya kerja.
d. Persepsi mengenai dampak kehadiran pengusaha pendatang adalah cara
pandang responden mengenai dampak kehadiran pengusaha pendatang
bagi kelangsungan industri kecil yang ada di kawasan responden. Persepsi
responden dihitung berdasarkan frekuensi munculnya pilihan jawaban
kemudian dikalikan bobot jawaban lalu dibagi dengan jumlah keseluruhan
responden. Setelah itu total skor rata-rata pada setiap pernyataan dijumlah
lalu dibagi lima sehingga didapatkan rata-rata jawaban responden untuk
dimensi persepsi mengenai dampak keberadaan.
e. Persepsi mengenai sifat dan karakter pengusaha pendatang adalah cara
pandang responden mengenai ciri-ciri yang melekat pada pengusaha
pendatang. Persepsi responden dihitung berdasarkan frekuensi munculnya
pilihan jawaban kemudian dikalikan bobot jawaban lalu dibagi dengan
jumlah keseluruhan responden. Setelah itu total skor rata-rata pada setiap
pernyataan dijumlah lalu dibagi lima sehingga didapatkan rata-rata
jawaban responden untuk dimensi persepsi mengenai sifat dan karakter.
4. Respons diukur berdasarkan tingkat penerimaan responden serta
keikutsertaan responden dalam demonstrasi yang pernah dilakukan. Tingkat
penerimaan adalah seberapa sering interaksi responden dengan pengusaha
pendatang. diukur berdasarkan jenis interaksi serta substansi yang dibicarakan
dengan pengusaha pendatang. Pengukuran menggunakan skala Bogardus
yang dapat mengukur jarak sosial antara responden dengan pengusaha
pendatang. Tingkatan diukur dari interaksi yang sebentar hingga yang lebih
15
intensif dengan pilihan tidak pernah (skor 1) dan pernah (skor 2). Tingkat
penerimaan ini dikategorikan sebagai berikut:
Tingkat 1: Responden menyapa pengusaha pendatang setiap kali
berpapasan (skor 6)
Tingkat 2: Responden berbincang dengan pengusaha pendatang (skor 7)
Tingkat 3: Responden membuka obrolan mengenai usaha (skor 8)
Tingkat 4: Responden membagikan informasi mengenai usaha (skor 9)
Tingkat 5: Responden memiliki kegiatan bersama dalam masyarakat
(skor 10)
Selain itu responden pula diberikan pertanyaan terkait keterlibatan mereka
dalam demonstrasi. Responden yang terlibat dalam demonstrasi termasuk
yang memiliki respons kurang baik terhadap keberadaan pengusaha
pendatang. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala ordinal
Tidak ikut demonstrasi (skor 2)
Ikut demonstrasi (skor 1)
Respons terhadap pengusaha pendatang diukur berdasarkan akumulasi dari
tingkat penerimaan dengan keterlibatan responden dalam demonstrasi.
Respons negatif: skor total 2-4 (kode 1)
Respons positif :skor total 5-7 (kode 2)
16
PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survey serta dengan didukung oleh
metode wawancara mendalam. Menggunakan data kuantitatif yang didukung oleh
data kualitatif. Hal ini dilakukan untuk memperkaya data dan lebih memahami
fenomena sosial yang diteliti. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan survey
yang menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang utama.
Pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara
mendalam (in-depth interview) terhadap informan yang dipilih. Kuesioner ini
digunakan untuk menganalisis persepsi pengusaha lokal terhadap pengusaha
pendatang. Teknik survey ini mencakup penelitian deskriptif dan eksplanatoris.
Penelitian ini menggunakan penelitian eksplanatoris karena menjelaskan
hubungan antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis.
Lokasi dan Waktu
Lokasi yang dipilih untuk penelitan ini adalah desa yang memiliki industri
kecil di dalamnya yaitu Desa Kotabatu, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja
(purposive) dengan alasan pemilihan lokasi penelitian adalah:
1. Kawasan Desa Kotabatu dikenal sebagai desa yang menjadi sentral industri
sepatu di Bogor yang hampir sebagain besar warganya bergantung pada
industri sepatu tersebut.
2. Terdapat pengusaha industri kecil yang berasal dari luar daerah yang
membuka usaha sepatu baik dari Cina maupun Minang.
3. Sempat adanya konflik antara pengusaha lokal dengan pengusaha pendatang
terutama dalam perebutan order sepatu.
Unit usaha sepatu/sandal dijadikan sampel penelitian mewakili unit usaha
industri skala kecil karena kecenderungan banyaknya penduduk Kabupaten Bogor
yang bekerja di sektor tersebut. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari –
Juli 2014. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium,
perbaikan proposal, pengambilan data lapangan, penulisan draft skripsi, sidang
skripsi, dan perbaikan laporan penelitian.
Penentuan Responden dan Informan Penelitian
Populasi yang diteliti adalah pengusaha Usaha Mikro sepatu yang berada di
tiap-tiap bengkel sepatu miliknya di Desa Kotabatu, Ciomas. Unit analisis yang
diambil oleh peneliti adalah pengusaha sepatu yang memiliki bengkel di masing-
masing rumahnya. Selanjutnya informasi dan data penelitian diperoleh melalui
responden dan informan. Responden adalah pihak yang memberikan keterangan
dan informasi mengenai situasi-situasi yang terjadi pada dirinya. Informan adalah
17
pihak yang melengkapi informasi serta memberikan pandangan lain dari sudut
pandang yang berbeda mengenai pengusaha pendatang maupun pengusaha lokal.
Penelitian ini menggunakan teknik snowball sampling atau dilakukan secara
berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau
dihubungi sebelumnya, demikian seterusnya. Penentuan responden serta informan
menggunakan metode snowball. Melalui teknik snowball subjek atau sampel
dipilih berdasarkan rekomendasi orang ke orang yang sesuai dengan penelitian
untuk diwawancarai. Teknik ini melibatkan beberapa informan yang
menguhubungkan peneliti dengan orang-orang dalam jaringan sosialnya yang
cocok dijadikan sebagai narasumber penelitian. Prakiraan jumlah populasi adalah
304 orang pengusaha bila dilihat tanpa pembagian etnis asal mereka namun
perkiraan populasi sasaran adalah sebanyak 120 orang pengusaha lokal.
Responden yang ditentukan adalah pemilik Usaha Mikro sepatu yang beretnis
Sunda dan berasal dari Desa Kotabatu atau bisa dikatakan pengusaha lokal.
Sebelum pengambilan responden, terlebih dahulu dilakukan penjajagan lokasi
dengan tujuan mengetahui dimana titik untuk memulai menggulirkan informasi
terkait pihak mana saja yang dapat diambil data. Selanjutnya diambil sampel
sebanyak 50 responden. Seluruh informan adalah orang atau pihak yang
memberikan keterangan mengenai informasi ataupun data di sekitar
lingkungannya yang berhubungan dengan penelitian. Informan dalam penelitian
ini adalah aparat pemerintahan serta pengusaha pendatang.
Langkah awal jumlah subjek yang dijadikan informan dalam penelitian ini
berjumlah tiga orang pemerintah Desa Kotabatu. Peneliti juga mewawancarai
ketua rukun warga (RW). Peneliti tidak membatasi jumlah subjek penelitian,
sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang di lapangan.
Pengambilan data dihentikan ketika peneliti telah merasa data yang terkumpul
telah cukup akurat dan menggambarkan dengan jelas keadaan yang ada di Desa
Kotabatu secara rinci. Hal ini sesuai dengan konsep titik saturasi (saturation
point) ketika penambahan data tidak lagi memberikan tambahan informasi baru
dalam analisis.
Teknik Pengumpulan Data
Metode penelitian yang digunakan untuk memperoleh data adalah
pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif. Pendekatan
kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survey yaitu penelitian yang
mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpulan data yang utama. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan
data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui kuesioner, wawancara
mendalam, dan observasi lapang. Kuesioner diberikan kepada responden serta
peneliti membantu responden dalam pengisian kuesioner tersebut untuk mencegah
terjadinya kesalahan dalam pengisian. Wawancara mendalam dilakukan dengan
menggunakan pedoman pertanyaan kepada informan yang telah dirumuskan oleh
peneliti sebelumnya. Observasi langsung dilakukan untuk memperoleh gambaran
keadaan desa dan masyarakat secara langsung serta untuk kebutuhan
dokumentasi.
18
Selain data primer, peneliti melakukan pengumpulan data sekunder yaitu
data yang dikumpulkan dan telah diolah oleh pihak lain. Data sekunder ini
diperoleh melalui kajian pustaka dan analisis berbagai literatur yang terkait
dengan kondisi desa, peta lokasi penelitian, dan dokumen tertulis lainnya.
Kemudian data primer dan data sekunder digunakan untuk saling mendukung satu
sama lain untuk menyempurnakan hasil penelitian.
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh, baik primer maupun sekunder, diolah menggunakan
tabel tabulasi silang, Microsoft Excel 2013, dan SPSS 20.0 for Windows. Data
hasil kuesioner dicatat kemudian dilakukan analisis serta interpretasi untuk
menarik kesimpulan tentang hasil kuesioner. Pengolahan data kuantitatif
dilakukan dengan menggunakan Uji Korelasi Rank Spearman.Uji Kolerasi Rank
Spearman digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara dua
variabel yang berskala ordinal dan tidak menentukan prasyarat data terdistribusi
normal.
Selain analisis data kuantitatif, dilakukan pula analisis data kualitatif
sebagai pendukung data kuantitatif. Data kualitatif diolah melalui tiga tahap
analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil
analisis antar variabel yang konsisten.
19
20
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Profil Desa Kotabatu, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor
Letak dan Luas Wilayah
Secara geografis, Desa Kotabatu termasuk dalam wilayah administrasi
Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa Kotabatu
memiliki luas wilayah sebesar ±274 ha. Wilayah tersebut merupakan pemukiman
padat penduduk yang terdiri dari 15 RW. Adapun batas wilayah Desa Kotabatu
menurut data dari Data Potensi Desa Kotabatu 2010 dibatasi oleh Kelurahan
cikaret/Mekarjaya di sebelah utara, Desa Suka Mantri dan Sirna disebelah selatan,
Kelurahan Cikaret di sebelah timur dan Desa Parakan dan Desa Sirna di sebelah
baratnya.
Jarak Desa Kotabatu dari pusat Kecamatan Ciomas adalah 5 km, jarak dari
ibu kota Kabupaten Bogor (Cibinong) 40 Km dan jarak dari ibu kota negara
(Jakarta) adalah 120 Km. Akses menuju Desa Kotabatu dari Kecamatan Ciomas
yaitu Jalan Pasir Kuda lalu ke arah Ciapus. Perjalanan dari Kecamatan Ciomas
menuju Desa Kotabatu membutuhkan waktu 25 menit dengan menggunakan
angkutan umum atau 15 menit dengan menggunakan sepeda motor.
Luas Wilayah Menurut Pemanfaatannya
Desa Kotabatu berada di bawah kaki Gunung Salak dengan luas wilayah
desa sebesar ±274 ha. Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa luas pemukiman lebih
luas dibandingkan dengan luas persawahan. Hal ini menunjukkan bahwa Kotabatu
termasuk desa urban. Luas wilayah pemukiman sebanyak ±169 ha termasuk
pemukiman padat. Warga membangun rumah dengan jarak yang berdekatan
bahkan tidak sedikit warga yang membangun rumahnya berdampingan dengan
rumah warga yang lainnya. Pemukiman warga di desa ini pada umumnya masih
berupa pemukiman tradisional dengan menyisakan ruang jalan sempit (gang)
untuk menuju rumah warga yang lain. Terdapat pula komplek perumahan yang
pada awalnya dihuni hanya untuk para pengawal presiden sehingga komplek
perumahan tersebut bernama komplek Paspampres, namun belakangan ini
komplek tersebut dapat dihuni oleh siapa saja terutama para pendatang di Desa
Kotabatu.
Tabel 1 menunjukkan bahwa 61.7 persen luas wilayah Desa Kotabatu
dimanfaatkan sebagai pemukiman. Jumlah penduduk yang banyak mengharuskan
lahan yang dimanfaatkan untuk menjadi pemukiman juga lebih banyak. Hal ini
yang menandakan bahwa semakin banyak kebutuhan akan pemukiman di
Kotabatu. Pemanfaatkan luas lahan terkecil berada pada perkantoran. Hanya
sebesar 0.37 persen dari keseluruhan luas wilayah Kotabatu yang dimanfaakan
menjadi perkantoran. Hal ini menunjukkan bahwa perkantoran di wilayah desa
hanya sebagian kecil dimanfaatkan untuk menjadi kantor karena sebagian besar
warga memiliki kantor atau bekerja di daerah lain sehingga bukan di desa tempat
mereka tinggal.
21
Tabel 1 Luas wilayah Desa Kotabatu menurut pemanfaatannya tahun 2010
Luas wilayah Luas (Ha) Persentase (%)
Luas pemukiman 169 61.70
Luas persawahan 50 18.20
Luas perkebunan 17 6.20
Luas kuburan 2 0.73
Luas pekarangan 3 1.10
Perkantoran 1 0.37
Luas prasarana umum lainnya 32 11.70
Total luas 274 100.00
Sumber: Data Potensi Desa Kotabatu 2010
Wilayah pemukiman warga di Desa Kotabatu tidak sedikit dijadikan
tempat usaha warga. Bengkel-bengkel sepatu/sandal rumahan tidak terlalu sulit
untuk ditemui karena sebagian besar warga bekerja menjadi kuli/tukang di
bengkel atau mendirikan bengkel di rumahnya masing-masing. Terdapat pula
beberapa rumah toko (ruko) di samping jalan raya dan bahkan usaha waralaba
telah banyak dibuka di wilayah Desa Kotabatu.
Gambaran Desa Kotabatu
Desa Kotabatu berdasarkan data potensi desa tahun 2010 memiliki 4 925
KK. Transportasi menuju Kotabatu tidak sulit ditemui termasuk angkutan
umumnya. Kotabatu memiliki beberapa potensi wisata seperti taman kota, taman
bermain, danau (wisata air), situs sejarah dan museum. Desa ini masih memiliki
persawahan meskipun tidak begitu luas seperti di desa-desa pada umumnya.
Sawah berada pada Rukun Warga (RW) tertentu saja yang warganya masih
menjadi petani.
Fasilitas pendidikan yang ada di Desa Kotabatu cukup lengkap. Terdapat
Play Group (5 unit), Taman Kanak-Kanak (6 unit), Sekolah Dasar (10 unit),
Sekolah Menengah Pertama (2 unit), dan Sekolah Menengah Atas (2 unit). Selain
pendidikan formal pada umumnya ada pula pendidikan formal keagamaan seperti
Raudhatul Athfal, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Pondok Pesantren yang
berjumlah tiga unit.
Kotabatu termasuk desa urban karena banyaknya pendatang dari luar desa
serta sektor industri sebagai mata pencaharian utama warga. Tidak sedikit warga
menjadi pengusaha industri skala kecil sepatu dan menjadi pekerja di perusahaan-
perusahaan swasta. Hal ini dikarenakan telah sejak lama desa ini terkenal oleh
hasil produksi sepatu. Namun kenyataan dilapang menunjukkan bahwa kurang
baiknya perhatian pihak pemerintah desa terhadap para pengusaha kecil tersebut.
Tidak adanya kelompok pengusaha menjadi keluhan para pengusaha kecil karena
menjadi sulit bersaing di pasar akibat perdagangan bebas. Pengusaha industri
kecil sepatu tidak jarang saling menjatuhkan harga di pasar sehingga beberapa
diantara mereka kurang mempercayai pengusaha satu sama lain.
22
Kondisi Masyarakat Desa Kotabatu
Kependudukan Desa Kotabatu
Jumlah penduduk Desa Kotabatu sebanyak 20 886 orang dengan komposisi
laki-laki sebanyak 10 878 orang sedangkan perempuan sebanyak 10 008 orang.
Jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 4 925 KK. Desa Kotabatu terdiri dari 15
Rukun Warga (RW) dan 63 Rukun Tetangga (RT). Jumlah penduduk berdasarkan
agamanya di bedakan menjadi Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha.
Desa Kotabatu cenderung berada pada masyarakat urban karena banyaknya
pendatang dari luar desa serta munculnya industri-industri skala kecil yang
berkembang. Etnis yang ada di Desa Kotabatu cukup beragam. Namun mayoritas
warga desa beretnis Sunda dengan persentase 93.77 persen dari keseluruhan
jumlah warga. Selain etnis Sunda terdapat pula etnis Jawa, Batak, Betawi,
Minang, Aceh, Madura, Nias, Bali, Dayak, Ambon, Flores, Sumba, dan Tionghoa.
Kondisi Sosial Ekonomi
Warga Desa Kotabatu memiliki berbagai jenis pekerjaan. Sebagian besar
warga Kotabatu adalah karyawan perusahaan swasta yaitu sebanyak 1 937 orang
atau sebesar 46.2 persen. Kotabatu termasuk wilayah yang padat akan kerajinan
industri sepatu dan sandal baik industri rumah tangga dan industri kecil. Pada
Tabel 2 dapat diketahui bahwa sebanyak 304 orang warga atau 7.25 persen warga
adalah pengusaha kecil menengah. Hal ini menunjukkan bahwa cukup banyak
warga desa yang memiliki usaha kecil dan menengah. Rukun Warga (RW) yang
merupakan RW dengan jumlah industri skala kecil terpadat adalah RW 12.
Tabel 2 Sebaran jumlah penduduk Desa Kotabatu menurut jenis mata
pencaharian
tahun 2010
Jenis pekerjaan Jumlah
n %
Petani 71 1.69
Buruh tani 124 2.96
Pegawai Negeri Sipil 701 16.72
TNI/POLRI 588 14.02
Pengusaha kecil menengah 304 7.25
Karyawan perusahaan swasta 1 937 46.20
Lainnya 468 11.16
Total 4 193 100.00
Sumber: Data Potensi Desa Kotabatu 2010
Jumlah warga yang mengenyam pendidikan di Desa Kotabatu beragam di
tiap-tiap tingkatannya. Tabel 3 dapat dengan jelas memperlihatkan bahwa
sebagian besar warga Kotabatu 31.05% pernah SD tetapi tidak lulus dan 22.12%
tamat SD. Pada tingkat ini baik pernah SD tamat atau tidak tamat, menunjukkan
bahwa sebesar 53.17% warga Kotabatu berada di tingkat pendidikan SD.
23
Tabel 3 memperlihatkan bahwa sebagian besar warga Desa Kotabatu belum
mencapai pendidikan yang cukup yaitu dibawah 9 tahun. Berdasarkan tabel
tersebut terlihat bahwa sebaran data berkumpul di pendidikan antara SD hingga
SMP. Sebaran penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 3 Sebaran jumlah penduduk Desa Kotabatu berdasarkan tingkat pendidikan
tahun 2010
Tingkat pendidikan Jumlah
n %
Pernah SD tetapi tidak tamat 5 837 31.05
Tamat SD/sederajat 4 157 22.12
Tamat SMP/sederajat 3 349 17.82
Tamat SMA/sederajat 4 106 21.85
Tamat D-1/sederajat 443 2.36
Tamat D-2/sederajat 437 2.32
Tamat D-3/sederajat 412 2.19
Tamat S-1/sederajat 28 0.15
Tamat S-2/sederajat 21 0.11
Tamat S-3/sederajat 6 0.03
Total 18 796 100.00
Sumber: Data Potensi Desa Kotabatu 2010
Angkatan Kerja adalah penduduk umur 15 tahun ke atas yang bekerja atau
sementara tidak bekerja, dan yang sedang mencari pekerjaan. Sebanyak 17 444
warga Desa Kotabatu termasuk angkatan kerja di Desa Kotabatu. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar warga termasuk ke dalam umur angkatan
kerja.
Tabel 4 menunjukkan bahwa kualitas angkatan kerja di Desa Kotabatu di
dominasi oleh penduduk umur 18-56 tahun yang tidak tamat Sekolah Dasar (SD)
yaitu sebesar 33.46 persen dari jumlah angkatan kerja. Selanjutnya sebesar 23.83
persen angkatan kerja tamat Sekolah Dasar (SD). Hal ini menunjukkan bahwa
kualitas angkatan kerja Desa Kotabatu belum termasuk tinggi sehingga
mengakibatkan banyaknya warga yang menjadi pekerja dan karyawan perusahaan
swasta. Tabel 4 juga menunjukkan masih terdapat angkatan kerja yang buta aksara
dan buta huruf atau latin. Sebanyak 0.48 persen angkatan kerja Desa Kotabatu
masih belum bisa membaca, menulis, dan menghitung. Salah satu aparat desa
mengatakan bahwa sebagian besar warga yang buta aksara dan buta huruf bekerja
menjadi buruh bengkel atau pabrik yang berada di Kotabatu maupun di luar desa.
Hal ini menunjukkan bahwa kualitas angkatan kerja termasuk rendah karena
sebaran jumlah penduduk berpusat pada penduduk yang tidak tamat dan tamat
SD.
Tabel 4 Sebaran jumlah penduduk Desa Kotabatu menurut kualitas angkatan
kerja tahun 2010
Angkatan kerja Jumlah
n %
Penduduk umur 18-56 tahun yang buta aksara dan buta 83 0.48
24
huruf atau latin.
Penduduk umur 18-56 tahun yang tidak tamat SD 5 837 33.46
Penduduk umur 18-56 tahun yang tamat SD 4 157 23.83
Penduduk umur 18-56 tahun yang tamat SLTP/SMP 3 349 19.20
Penduduk umur 18-56 tahun yang tamat SLTA/SMA 4 018 23.03
Total 17 444 100.00
Sumber: Data Potensi Desa Kotabatu 2010
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, salah satu informan yang
merupakan aparat pemerintahan desa menyatakan bahwa warga Desa Kotabatu
sebagian besar bekerja menjadi buruh pabrik. Buruh tersebut baik pabrik di suatu
perusahaan atau hanya pabrik rumahan. Hal ini dikarenakan bahwa pendidikan
warga kurang mencukupi untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih besar
menghasilkan uang. Warga yang bekerja menjadi buruh atau karyawan di pabrik
merasa tidak memiliki kemampuan lain.
Karakteristik Usaha Mikro Sepatu/Sandal
Ciomas merupakan pusat sentra sepatu dan sandal di wilayah Bogor.
Hampir seluruh warganya di wilayah tersebut bekerja di bengkel-bengkel sepatu
yang terletak di rumah-rumah. Sebagai usaha home industry, para pengrajin
sepatu asal Ciomas mampu menghasilkan kualitas yang baik dan tidak kalah
dengan produk sepatu ternama. Desa Kotabatu merupakan salah satu daerah di
Ciomas yang memiliki banyak pengrajin sepatu/sandal didalamnya. Kawasan ini
sejak lama dikenal sebagai sentra penghasil cetakan kayu sepatu, sandal, dan
sepatu rumahan di Bogor. Di kawasan ini banyak masyarakat yang
menggantungkan hidupnya dari usaha tersebut.
Warga Kotabatu tidak sedikit yang membuka bengkel-bengkel sepatu di
rumahnya. Sejak lama desa ini terkenal karena hasil produksi sepatu dan
sandalnya sehingga sebagian besar warga pernah bekerja atau sekedar mengetahui
bagaimana cara kerja di bengkel sepatu. Mereka pada umumnya mulai bekerja
menjadi kuli/tukang di bengkel rumahan milik orang lain. Ketika telah dirasa
cukup memiliki bekal kemampuan dan memiliki modal atau kepercayaan dari
pihak lain untuk meminjamkan modal, mereka akan memulai membuka bengkel
masing-masing di rumah.
Jumlah pekerja yang terdapat di tiap bengkel sepatu di Desa Kotabatu
umumnya berkisar antara 2-8 orang namun ada pula bengkel yang sudah cukup
besar sehingga memiliki pekerja sebanyak 20 orang. Para pekerja di bengkel
terbagi menjadi tiga kategori yaitu tukang atas, tukang bawah, tukang bensol, dan
tukang jadi (finishing). Pekerja atas atau tukang muka adalah pekerja yang
mengerjakan bagian atas sepatu atau sandal, biasanya memasang kancing, mute,
atau berbagai aksesoris pada sepatu.
Selanjutnya tukang bawah adalah pekerja yang bertugas memanaskan sol
sepatu atau oven, mengelem, kemudian menempelkannya dengan bagian sepatu
yang lain. Tukang bensol adalah pekerja yang bertugas membentuk pola-pola alas
kaki, menjiplak pola dasar, dan memotong bahan. Selanjutnya bagian finishing
25
yang biasanya dikerjakan oleh pemilik bengkel untuk menyatukan serta
merapikan hasil tempelan antara bagian atas, bensol, dengan bagian bawahnya.
Tukang finishing juga bisa dikerjakan oleh perempuan karena dianggap lebih jeli
serta memiliki pekerjaan yang rapi. Kemudian tukang finishing ini pula yang
bertugas mengepakkan sepatu ke tempat masing-masing.
Pekerja di bengkel sepatu Desa Kotabatu berasal dari lingkungan keluarga
sendiri maupun lingkungan luar. Berdasarkan hasil pengamatan, banyak pekerja
yang merupakan anggota keluarga sendiri maupun saudara dekat, serta beberapa
tetangga. Belakangan ini para pemilik bengkel mengeluhkan sulitnya
mendapatkan tukang sehingga tidak jarang pemilik bengkel mencari pekerja dari
kampung luar untuk memaksimalkan usahanya. Para pekerja ini umumnya mulai
bekerja dari pukul 8 hingga sore hari. Namun bila bengkel sedang mengejar hasil
produksi karena harus segera di bayarkan ke pemilik grosir, maka tidak jarang
para pekerja bekerja lebih lama yaitu hingga malam hari. Hari Sabtu umumnya
bengkel-bengkel di Kotabatu tutup, mereka hanya datang pagi hari untuk
mengirimkan barang serta mendapatkan upah selama satu minggu.
Umumnya tiap-tiap bengkel memasarkan hasil produksinya ke Pasar Anyar
namun ada pula yang memasarkan hasil produksinya ke luar kota seperti Jakarta,
Bandung, Kalimantan, dan Jambi. Cara pengusaha memasarkannya yaitu
mengumpulkan semua sepatu ke toko pengumpul atau grosir yang berada di Pasar
Anyar. Ada produk yang dijual untuk diecer langsung ada pula produk yang
didistribusikan ke kota lain untuk dijual. Bahkan tidak jarang ada pesanan yang
harus dipenuhi untuk dikirimkan ke beberapa negara di Afrika.
Pendapatan pengusaha perminggunya rata-rata sekitar 5-7 juta rupiah belum
termasuk upah pekerja bengkel serta dipotong harga bahan sepatu. Bila sedang
berada pada bulan-bulan tertentu misalnya bulan ramadhan, musim kenaikan kelas
serta tahun baru pendapatan mereka bisa sampai dua kali lipat.
26
KARAKTERISTIK RESPONDEN
Individu yang menjadi responden pada penelitian ini adalah pengusaha lokal
sepatu. Responden diwawancarai dan mengisi kuesioner berjumlah 50 orang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, secara garis besar karakteristik responden
tertuang pada Tabel 5.
Tabel 5 Jumlah dan persentase responden berdasarkan karakteristik individu
Karakteristik responden Kategori Jumlah
n %
Jenis kelamin Perempuan
Laki-laki
16
34
32.0
68.0
Umur Muda (<41 tahun)
Tua (≥41 tahun )
23
27
46.0
54.0
Tingkat pendidikan Rendah (tidak sekolah-SMP)
Tinggi (SMA)
43
7
86.0
14.0
Lokalit/Kosmopolit Lokalit
Kosmopolit
39
11
78.0
22.0
Keterlibatan dalam
kelompok
Terlibat
Tidak terlibat
0
50
0.0
100.0
Empati Rendah
Tinggi
49
1
98.0
2.0
Berdasarkan hasil penelitian, pengusaha industri yang berjenis kelamin laki-
laki sebanyak 34 orang dan perempuan sebanyak 16 orang. Menurut FT (38
tahun) salah satu pengusaha lokal industri kecil sandal mengungkapkan bahwa
mayoritas pengusaha industri sepatu adalah laki-laki dikarenakan laki-laki adalah
kepala rumah tangga di tiap-tiap rumah, namun tidak menutup kemungkinan jika
ada pengusaha perempuan karena mungkin terdapat pembagian tugas dalam
mengatur usaha mereka. Laki-laki mengambil bagian sebagai pendistribusi
produk sedangkan perempuan dalam rumah tangga tersebut bertugas mengelola
bengkel termasuk mengurusi keuangan.
Merujuk pada Tabel 5, umur pengusaha lokal dibagi menjadi muda dan tua.
Pengklasifikasian umur muda dan tua didapatkan berdasarkan data emik yaitu
data yang didapat di lapangan. Kategori umur muda dibawah umur 41 tahun
sedangkan umur tua dari 41 tahun ke atas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan,
sebagian besar pengusaha lokal berumur dari 41 tahun ke atas yaitu sebanyak 54
persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki
pengalaman dalam membuka usaha sepatu karena sejak kecil mereka telah
memulai pekerjaan di bidang ini yaitu menjadi pekerja di bengkel milik orang
lain. Komposisi perbandingan antara umur tua dengan umur muda tidak begitu
jauh dikarenakan baik pengusaha muda maupun tua sama-sama memiliki
kesempatan untuk membuka usaha.
Responden pengusaha lokal Usaha Mikro sepatu dibagi menjadi dua
kategori pendidikan. Pembagian tingkat pendidikan menjadi pendidikan rendah
27
dan pendidikan tinggi berdasarkan data yang didapatkan di lapangan. Sebanyak
86 persen responden memiliki pendidikan rendah yaitu tidak sekolah hingga lulus
Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal ini dikarenakan mayoritas pengusaha
sepatu mulai bekerja di bengkel sejak SD dan tidak melanjutkan sekolah setelah
bekerja. Keadaan ini juga sesuai dengan tingkat pendidikan secara umum warga
Desa Kotabatu yaitu mayoritas tidak lulus SD, lulus SD, dan lulus SMP adalah
mayoritas tingkat pendidikan di Kotabatu. Mereka pula tidak memiliki pemikiran
untuk bersekolah lagi lebih tinggi. Hal ini dikarenakan mereka menganggap yang
terpenting sekarang adalah bekerja sebaik mungkin dan mendapat penghasilan
banyak. Namun mereka tetap akan menyekolahkan anak-anak mereka setinggi
mungkin karena mereka percaya jika pendidikan semakin tinggi maka dapat
mendapatkan pekerjaan yang lebih bisa menghasilkan banyak uang dan lebih
sukses. Sehingga mereka tetap menganggap bahwa pendidikan penting bagi anak-
anak mereka.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam, responden menyatakan bahwa
dalam menjalankan usahanya mereka tidak terlalu memperhatikan kekinian
seperti melihat model-model sepatu di majalah, melihat di televisi, media-media
lain. Beberapa dari mereka mengaku bahwa pernah mencoba membuat model-
model sepatu berdasarkan contoh-contoh dari media, namun mereka sering
mendapat kerugian. Hal ini dikarenakan model yang mereka buat tidak sesuai
dengan pasar. Responden kini lebih percaya pada permintaan pasar atau toko
grosir, mereka diminta membuat model-model sesuai permintaan tersebut. Mereka
lebih percaya membuat model yang diminta karena pasti hasil produksinya akan
tetap dibeli oleh pasar atau toko grosir tersebut. Responden juga tidak terlalu bisa
mengikuti model-model yang ada di media massa karena mereka mengatakan
bahwa pasar mereka tidak sama dengan para artis di televisi, produk yang mereka
hasilkan hanya untuk kalangan menengah ke bawah sehingga yang penting adalah
harga murah. Responden lebih mengutamakan kepercayaan antar pengusaha
sehingga mereka mementingkan menjaga hubungan satu sama lain. Berdasarkan
hal tersebut maka terlihat jelas bahwa sebagian besar responden termasuk lokalit.
Tabel 5 memperlihatkan bahwa sebanyak 78 persen responden termasuk
lokalit. Sebaliknya sebanyak 22 persen responden sudah kosmopolit. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat keterdedahan terhadap media massa masih kurang
serta lingkup hubungan dengan dunia luar masih sempit. Mereka lebih
mengutamakan hubungan interpersonal dalam mencari informasi dan
bermasyarakat karena lebih percaya pada hubungan yang dijalin secara langsung.
Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya hubungan sosial yang dijalin secara
personal diantara warga karena mereka akan lebih mudah menyerap informasi
yang didapat dari pertemuan langsung, berbincang, adanya rapat, dan segala
bentuk hubungan interpersonal.
Ketiadaan kelompok pengusaha sepatu di Desa Kotabatu mengakibatkan
hubungan yang terjadi diantara sesama pengusaha sepatu/sandal tidak erat.
Mereka bahkan saling menjatuhkan harga di pasar akibat tidak adanya kompromi.
Hal ini diperkuat dengan yang diutarakan oleh salah satu responden seperti
berikut:
”Saya sebenarnya setuju kalau diadakan kelompok usaha atau
paguyuban seperti yang ada di Cibaduyut. Kalau ada kelompok
28
gitu kan sesama pengusaha yang punya bengkel jadi lebih
gampang tukar informasi dan juga bisa buat kesepakatan harga
pasar bersama. Jadi kita nggak akan dipermainkan para Cina
yang punya toko grosir. Kalau sekarang ini kita malah ada aja
yang ngejatuhin harga, jadi akibat kejadian itu diantara kitanya
sendiri sesama pengusaha Kotabatu susah percaya sama yang
lain padahal kita sama-sama orang Sunda”. (II, 28 tahun)
Skala usaha responden pada penelitian ini termasuk rendah. Dikatakan
rendah karena hampir seluruh responden termasuk Usaha Mikro atau usaha rumah
tangga saja yang hanya memiliki pekerja 2-4 orang dengan hasil produksi yang
tidak besar. Hal ini juga dikarenakan sedikitnya modal yang mereka miliki dalam
memulai usaha. Beberapa responden bahkan meminjam modal pada pengusaha
toko bahan, toko grosir, dan pemilik pengusaha lain yang biasanya adalah orang
beretnis Tionghoa. Pengusaha lokal ini pun menggunakan mesin-mesin sederhana
dan hampir seluruhnya dijalankan manual oleh tenaga manusia. Mesin-mesin
besar seperti alat press karet hanya bisa dijumpai pada pengusaha Tionghoa yang
tinggal di pinggir-pinggir jalan raya desa. Menurut AX (45 tahun) salah satu
pengusaha lokal yang memiliki mesin press.
“Kalo disini mah orang kita yang punya mesin press paling
cuma dua atau tiga orang saja termasuk saya. Biasanya yang
punya mesin-mesin gede tuh ya orang-orang Cina yang ada di
pinggir jalan desa atau yang di komplek Paspampres”. (AX, 45
tahun)
Berdasarkan penuturan responden tersebut jelas terlihat bahwa hanya
pengusaha lokal yang cukup berhasil saja yang mampu memiliki mesin-mesin
press yang dapat membantuk mempercepat hasil produksi sepatu. Mesin press ini
digunakan untuk memotong bahan alas sepatu baik yang berasal dari bahan spons
maupun karet. Pengusaha lokal yang membutuhkan untuk memotong bahannya
menggunakan jasa pengusaha pendatang yang memiliki mesin press. Mereka
harus membayar dengan biaya yang cukup untuk bisa memotong bahan sepatu
tersebut. Hal ini dapat mengurangi keuntungan pengusaha lokal dalam
penjualannya karena akan bersaing dengan semua pengusaha baik lokal maupun
pendatang.
Sebagian besar responden mengeluh karena sebagai etnis Sunda tidak bisa
membuat jaringan kerja atau bahkan kelompok pengusaha seperti etnis-etnis lain
yang terkenal gigih dalam berusaha. Kepercayaan responden kepada sesama etnis
Sunda telah luntur karena mereka memandang bahwa dari etnis manapun
pengusaha tetap pengusaha, mereka para pengusaha pasti memikirkan untung dan
rugi tanpa melihat siapa dan dari mana mereka berasal. Sehingga masih
diperlukan berbagai pertemuan untuk dapat membangun kepercayaan sesama
pengusaha. Mereka percaya bila pengusaha lokal berkumpul dalam satu wadah
mereka dapat menjadi industri sepatu yang sama kuatnya seperti yang telah ada di
Bandung. Hal ini dikarenakan mereka mementingkan saluran lokalit yang kuat
dibangun. Mereka percaya bila hubungan interpersonal tiap-tiap pengusaha lokal
29
baik maka akan memperkuat industri sepatu dan membuat usaha mereka serta
nama Kotabatu menjadi lebih terkenal akan industri sepatu.
Keterlibatan responden di dalam kelompok sangat rendah. Tidak terdapat
kelompok pengusaha lokal yang dapat menjadi tempat berkumpul. Perkumpulan
pengusaha seperti yang dikatakan oleh salah satu informan pernah didirikan
namun tidak berjalan dikarenakan pengusaha yang asli berasal dari Desa Kotabatu
sulit untuk dikumpulkan karena masing-masing sibuk dengan usahanya. Hal ini
menunjukkan bahwa kohesivitas kelompok responden lemah karena tidak adanya
kelompok yang menghimpun pengusaha lokal. Responden menyatakan bahwa
adanya kelompok pengusaha penting untuk membentuk kesepakatan harga pasar
serta akan memperkuat industri lokal. Selama ini masing-masing pengusaha saling
menjatuhkan harga di pasar sehingga pengusaha sering kali mendapatkan
kerugian. Responden menyatakan juga bahwa ingin sekali Desa Kotabatu menjadi
sentra industri lokal sepatu yang kuat, terkenal, dan sukses seperti sentra industri
lain di kota lain.
Empati responden terhadap pengusaha pendatang termasuk rendah. Hal ini
dikarenakan hanya satu responden (2 persen) yang pernah menjadi pengusaha
pendatang dan pernah merasakan menjadi pengusaha pendatang. Empati
merupakan kemampuan untuk memahami orang lain dengan cara merasakan diri
sebagai pengusaha pendatang dan bagaimana menempatkan diri sebagai
pengusaha pendatang. Berdasarkan hasil wawancara, responden mengaku sulit
untuk membayangkan berada di posisi menjadi pengusaha pendatang. Hal ini
terjadi karena responden belum pernah merasakan bagaimana menjadi pengusaha
pendatang. Responden pula menyatakan bahwa pengusaha yang biasanya
membuka usaha di daerah lain sama dengan etnisnya, pengusaha Tionghoa dan
Minang memang sudah terkenal sebagai etnis pengusaha. Hal ini yang tidak bisa
dirasakan responden sehingga empati terhadap pengusaha pendatang kecil.
Responden hanya bisa berandai jika mereka menjadi pengusaha Tionghoa atau
pengusaha Minang, mereka akan lebih sukses usahanya karena pengusaha
pendatang tersebut sangat dekat kekerabatannya dengan etnis mereka. Namun hal
tersebut belum bisa dikatakan rasa empati karena sebenarnya responden belum
benar-benar merasakan menjadi orang lain.
30
PENGALAMAN DENGAN PENGUSAHA PENDATANG
Tingkat Pengalaman dengan Pengusaha Pendatang
Tingkat pengalaman dengan pengusaha pendatang diukur berdasarkan
intensitas komunikasi antara keduanya serta bentuk kerja sama apa saja yang
pernah dibangun. Sebagian besar responden memiliki pengalaman yang cukup
tinggi dalam menjalankan usahanya. Sebagian besar pengusaha lokal memiliki
pengalaman berusaha sepatu lebih dari 10 tahun. Sebanyak 33 responden
memiliki usaha di atas 10 tahun dan bahkan ada beberapa responden yang telah
menjalankan usaha sepatu ini lebih dari 20 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar responden memiliki banyak pengalaman berusaha mengenai sepatu
yang dikelolanya. Hampir seluruh responden bahkan pernah mengalami kerugian
dalam usaha seperti ditipu, dimanipulasi hasil dagang oleh pihak grosir, hasil
dagangan dibawa lari, dan lain sebagainya. Pengalaman berusaha yang seperti itu
membuat para pengusaha lokal lebih berhati-hati dalam menjalankan usahanya.
Mereka menjadi tidak mudah percaya pada orang yang mengajak bekerja sama
dan selalu memperhitungkan untung-rugi dalam menjalankan usahanya. Namun
mereka tetap saja membuka bengkel di rumah masing-masing karena menjadi
pengusaha sepatu hanya satu-satunya kemampuan yang mereka miliki untuk
mencari penghasilan rumah tangga.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa hampir seluruh responden
menyatakan pernah bekerja sama dengan pengusaha pendatang. Para pengusaha
lokal pernah mencoba meminjam beberapa modal seperti ke pengusaha toko
bahan dan toko grosir. Terdapat tiga responden yang menyatakan “kapok” tidak
akan bekerja sama lagi dengan pengusaha pendatang. Bahkan salah satu
responden menyatakan sebagai berikut:
“Saya sekarang mau usaha sendiri saja. Biarin lah mau sedikit
hasil produksi, untung sedikit, yang penting gak usah kerja
sama lagi sama orang Cina atau Minang. Sama aja mau Cina
mau Minang, pernah kecewa saya mah. Jadi kapok gak mau
kerja sama lagi”. (AT, 65 tahun)
Berdasarkan pengalaman berhubungan dengan pengusaha pendatang hampir
semua responden menyatakan pernah mengalami kerugian. Namun hal tersebut
tidak menutup kemungkinan bila responden tetap membutuhkan hubungan kerja
sama dengan pengusaha pendatang. Hal ini dikarenakan keterbatasan pengusaha
lokal dalam menjalankan usaha mereka. Keterbatasan ini yang menyebabkan
mereka mau tidak mau tetap harus menjaga hubungan baik dengan pengusaha
pendatang karena mereka membutuhkan bantuan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan, tingkat pengalaman responden dengan pengusaha pendatang
ditunjukkan pada Tabel 6.
31
Tabel 6 Sebaran jawaban responden berdasarkan tingkat pengalaman dengan
pengusaha pendatang
Pernyataan mengenai Pengalaman
berdasarkan tingkatan
Jawaban
Total Tidak
Pernah Pernah
n % n % n % Responden bertemu dengan pengusaha
pendatang 0 0 50 100 50 100
Responden memiliki hubungan yang baik
dengan pengusaha 6 12 44 88 50 100
Responden memiliki pengalaman baik dengan
pengusaha pendatang 36 72 14 28 50 100
Responden memiliki hubungan kerja sama
dengan pengusaha pendatang 38 76 12 24 50 100
Tabel 6 menunjukkan bahwa seluruh responden pernah bertemu dengan
pengusaha pendatang. Responden berarti telah menyadari dengan jelas mengenai
keberadaan pengusaha pendatang di Desa Kotabatu. Responden mengakui bahwa
bertemu dengan pengusaha pendatang termasuk sering karena cakupan satu desa
cukup sempit untuk tidak bertemu dengan orang-orang baru termasuk pengusaha
pendatang. Kotabatu yang termasuk desa urban termasuk daerah yang banyak
sekali pendatang baik yang sekedar kerja di lingkungan desa maupun yang
berpindah domisili. Responden mengakui bahwa tidak sulit untuk menemukan
orang baru di Kotabatu karena akses jalan menuju desa yang sudah semakin
mudah juga mempermudah orang lain menuju desa ini. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa semua responden sudah pasti pernah bertemu dengan
pengusaha pendatang yang berada di Desa Kotabatu.
Hubungan responden dengan pengusaha pendatang dapat dikatakan baik.
Berdasarkan Tabel 6 terlihat sebanyak 88 persen responden memiliki hubungan
yang baik dengan pengusaha pendatang. Hal ini menunjukkan bahwa hanya
kurang dari seperempat responden yang pernah memiliki hubungan yang tidak
baik. Responden yang berada pada tingkat ini mengaku tidak pernah sampai
bermusuhan atau bertengkar dengan pengusaha pendatang. Saling silang pendapat
mungkin sering terjadi tetapi tidak sampai merusak hubungan yang telah dijalin.
Menjaga hubungan dengan pengusaha pendatang perlu dilakukan selain berkaitan
dengan moralitas juga ada keuntungan yang dapat diperoleh dari pengusaha lokal
jika masih bisa mempertahankan hubungan kerja sama dengan pengusaha
pendatang. Ini dikarenakan pengusaha pendatang sulit untuk mempercayai orang
lain sehingga dengan menjaga hubungan dapat menjaga kepercayaan pengusaha
pendatang.
Sebanyak 28 persen responden menyatakan bahwa mereka memiliki
pengalaman yang baik dengan pengusaha pendatang. Hal ini berarti sebagian
besar responden menyatakan bahwa mereka pernah memiliki pengalaman yang
buruk dengan pengusaha pendatang. Pengalaman buruk tersebut terdiri dari
masalah kerugian yang dialami pengusaha lokal akibat keberadaan pengusaha
pendatang serta akibat dari adanya hubungan kemitraan yang timpang. Responden
merasa bahwa seringkali mendapat kerugian akibat dari kerja sama dengan
pengusaha pendatang namun mereka tidak mempunyai pilihan lain. Jika
32
responden tidak bekerja sama dengan pengusaha pendatang maka usahanya akan
kekurangan modal. Sedangkan hanya usaha sepatu saja yang bisa diandalkan
responden untuk bisa terus melanjutkan hidupnya. Hal ini yang menyebabkan
pengusaha lokal tetap bertahan untuk bekerja sama dengan pengusaha pendatang
meskipun sering mengalami pengalaman buruk. Pengalaman buruk yang terjadi
seolah tidak menjadikan pengusaha lokal jera dan tetap mencari mitra lain untuk
bekerja sama.
Sebanyak 24 persen responden mengaku pernah memiliki hubungan kerja
sama dengan pengusaha pendatang. Hubungan kerja sama yang dijalin bertujuan
untuk memperkuat usaha yang dijalankan pengusaha lokal. Kerja sama dilakukan
dengan mengandalkan asas kepercayaan sesama pengusaha dengan hubungan
yang profesional. Kemitraan tidak jarang terjalin antara pengusaha lokal dengan
pengusaha pendatang. Jenis kemitraan bermacam-macam tergantung kesepakatan
antara pengusaha. Responden mengakui bahwa seringkali terdapat
kesalahpahaman dan saling curiga antara pengusaha lokal dengan pengusaha
pendatang. Pengusaha lokal cenderung beranggapan bahwa pengusaha pendatang
tidak adil dalam pembagian hasil usaha sedangkan pengusaha pendatang sulit
untuk terlalu percaya dengan pengusaha lokal karena khawatir bila dibelakang
mereka pengusaha lokal menyalahgunakan kepercayaannya dengan menjual hasil-
hasil produksinya sendiri tanpa melapor ke pengusaha pendatang. Hal ini
menunjukkan bahwa responden yang tidak pernah bekerja sama dengan
pengusaha pendatang bukannya tidak mau melakukan kerja sama melainkan
belum merasa perlu bekerja sama.
Hal yang dapat disimpulkan dari Tabel 6 adalah 12 persen responden (6
orang) berada pada tingkat 1 pengalaman yaitu hanya sampai pada responden
bertemu dengan pengusaha pendatang. Selanjutnya sebanyak 60 persen responden
(30 orang) berada pada tingkat 2 pengalaman yaitu responden hanya sampai
pernah memiliki hubungan yang baik dengan pengusaha pendatang. Kemudian
hanya empat persen responden (2 orang) yang berada pada tingkat 3 pengalaman
yaitu responden memiliki pengalaman yang baik dengan pengusaha pendatang.
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 28 responden yang pernah memiliki
hubungan kerja sama dengan pengusaha pendatang yang memilki pengalaman
buruk. Pengalaman buruk tersebut terjadi pada lebih dari setengah jumlah
responden sehingga hal ini dapat berdampak pada hubungan antara responden
dengan pengusaha pendatang. Selain itu 24 persen responden (12 orang) mengaku
masih memiliki hubungan kerja sama dengan pengusaha pendatang. Hal ini
menunjukkan bahwa hanya dua responden yang memiliki pengalaman baik
dengan responden yang memiliki hubungan tidak baik. Hubungan bisa dikatakan
tidak baik karena responden cenderung terpatok dengan penyamarataan pemikiran
bahwa semua pengusaha pendatang sama sifatnya dengan pengusaha pendatang
lain yang sama etnisnya.
Pengusaha lokal memiliki tingkat pengalaman dengan pengusaha pendatang
berada pada pernah berhubungan dengan pengusaha pendatang. Hal ini
dikarenakan pengusaha lokal pernah memiliki pengalaman buruk pada saat
berhubungan dengan penguasha pendatang sehingga hanya sedikit dari pengusaha
lokal yang memiliki hubungan kerja sama dengan pengusaha pendatang.
33
Bentuk Kerja sama
Berdasarkan hasil wawancara mendalam pada tiap-tiap responden,
didapatkan bahwa terdapat dua macam bentuk hubungan antara responden dengan
pengusaha pendatang. Pertama terdapat hubungan boss dengan anak buah. Hal ini
terjadi karena pengusaha pendatang memberikan modal sebanyak 100 persen
kepada pengusaha lokal untuk membuka bengkel. Pengusaha lokal yang diberikan
modal tersebut diberikan pula order sepatu. Modal berupa uang dan bahan mentah
sepatu, tetapi pekerja tetap mencari sendiri namun para pengusaha lokal ini hanya
boleh menjual hasil produksinya kepada pengusaha pendatang serta tidak
diperkenankan mendapatkan hasil yang lebih tinggi karena menggunakan sistem
bagi hasil yang tergantung pada pemodal.
Pengusaha lokal yang terjerat hubungan ini tidak sedikit, bahkan sebagian
besar pengusaha lokal diduga pernah menjalankan kerja sama sistem ini dengan
para pengusaha pendatang. Pada hubungan ini, pengusaha lokal mengambil
barang ke toko bahan yang telah kerja sama oleh boss yang dibayar dengan bon.
Selanjutnya pengusaha lokal tersebut memproduksi sepatu di bengkelnya.
Kemudian hasil produksinya diberikan ke toko grosir yang kemudian dibayar
dengan bon pula. Setelah perhitungan dari bon-bon tersebut, maka pengusaha
lokal mendapatkan gaji dari boss. Hubungan seperti ini adalah hubungan yang
menjerat pengusaha lokal sehingga tidak mampu mandiri.
Kedua terdapat hubungan pemodal dengan pengusaha, biasanya besar modal
yang dikeluarkan tergantung kesepakatan dan kemampuan pengusaha lokal.
Pembagian untung dan rugi pula ada yang sebanyak 50 banding 50 atau 80
banding 20. Jenis hubungan ini termasuk cukup sehat karena pada hubungan
pemodal dengan pengusaha, pengusaha lokal yang menentukan harga dan dapat
mengembalikan uang pada pemodal setiap kali mendapatkan hasilnya. Pengusaha
lokal dituntut untuk memutar cara agar mendapatkan untung yang lebih, sehingga
salah satu caranya adalah dengan memaksimalkan penggunaan bahan. Jika
pengusaha dapat memaksimalkan bahan maka menghasilkan produk yang lebih.
Kelebihan produk ini dapat dijual oleh pengusaha lokal secara satuan (eceran)
yang dijajakan secara mandiri. Namun kegiatan ini tidak boleh diketahui oleh
pemodal karena pemodal dapat kecewa karena merasa dimanipulasi hasil
pendapatannya oleh pengusaha.
34
PERSEPSI PENGUSAHA LOKAL TERHADAP PENGUSAHA
PENDATANG
Hasil wawancara mendalam mendapati bahwa terdapat keberagaman
persepsi responden terhadap pengusaha pendatang yang berada di Desa Kotabatu.
Namun sebagian besar dari responden menyatakan terganggu akan kehadiran
pengusaha pendatang yang sama-sama membuka bengkel sepatu di rumah.
Responden mengeluhkan mengenai sulitnya mendapatkan pekerja (tukang) di
bengkel. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh salah satu responden sebagai
berikut:
“Sekarang nyari tukang di bengkel susah. Mereka lebih memilih
kerja di Cina sama Minang soalnya order di mereka lancar, jadi
selalu ada kerjaan. Terus juga kerja di mereka mah dapet
upahnya mungkin lebih gede, tapi kan sebenernya itu sama aja
sama uang makan. Bedanya disini dikasih makan langsung, tapi
di mereka mah uang makan. Kan anak muda sekarang mah
lebih suka dapet duit mentah, soalnya kan buat nambah-nambah
uang pulsa”. (AR, 25 tahun)
Selain itu sangat sulit bagi mereka untuk bersaing dengan para pengusaha
pendatang. Mereka beranggapan bahwa pengusaha Tionghoa dan Minang lebih
mudah dalam hal menjual hasil produksinya. Hal ini dikarenakan adanya jaringan
usaha berdasarkan etnisitas. Pengusaha Tionghoa memiliki berbagai usaha lain
seperti pengusaha toko bahan sepatu dan toko grosir sepatu. Hal ini membuat
jalannya usaha para pengusaha sepatu pendatang akan lebih mudah sebab toko
bahan merupakan jalur sebelum ke bengkel dan toko grosir adalah jalan setelah
dari bengkel sepatu. Jalur usaha tersebut sebagian besar dikuasai oleh pengusaha
Tionghoa sehingga mempermudah para pengusaha industri sepatu yang memiliki
bengkel pula dalam mendapatkan bahan maupun dalam penjualan produk.
Perhitungan mengenai persepsi dilihat berdasarkan rata-rata jawaban
responden yang berdasarkan pilihan jawaban yang dikali dengan bobot jawaban
kemudia dibagi jumlah total responden yaitu 50. Pilihan jawaban terdiri dari
empat dengan pilihan sangat setuju (bobot 4), setuju (bobot 3), tidak setuju (bobot
2), serta sangat tidak setuju (bobot 1). Nilai tengah rata-rata yang didapat adalah
2.5 sehingga dapat dilihat tiap-tiap skor yang memiliki nilai rata-rata lebih dari 2.5
adalah persepsi positif sedangkan untuk nilai rata-rata di bawah 2.5 termasuk
persepsi negatif.
Persepsi mengenai Cara Berdagang
Cara berdagang pengusaha pendatang dipersepsikan secara tepat guna oleh
responden. Responden menganggap bahwa cara berdagang pengusaha pendatang
baik, maka dari itu tidak heran jika usaha mereka lebih maju. Pengusaha lokal
35
mempersepsikan bahwa pengusaha pendatang memiliki jiwa dagang yang
strategis. Hal ini seperti yang dikatakan oleh HD (33 tahun) sebagai berikut:
“Pendatang disini mah ya memang sudah ada niat mau buka
usaha. Jadi sudah pasti mereka tahu lebih banyak tentang usaha
sepatu/sandal yang akan mereka jalankan. Lagipula, mereka tuh
kuat di modal jadi pasti percaya diri waktu menjalankan
usahanya.” (HD, 33 tahun)
Persepsi mengenai cara berdagang pengusaha pendatang cenderung baik.
Responden menyetujui bahwa pengusaha pendatang mempunyai cara-cara
berdagang yang seharusnya sudah ada di tiap-tiap pengusaha. Sebaran jawaban
responden mengenai persepsinya terhadap cara berdagang pengusaha pendatang
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran jawaban responden berdasarkan pernyataan persepsi mengenai
cara berdagang
Pernyataan
Pilihan jawaban Total Rata-
rata
skor
SS S TS STS
n % n % n % n % n %
Pengusaha pendatang
memiliki pengetahuan
mengenai cara
memperbesar usahanya
20 40.0 25 50.0 5 10.0 0 0.0 50 100.0 3.30
Pengusaha pendatang
memberikan harga
khusus pada setiap
pembelian dengan
jumlah tertentu
2 4.0 9 18.0 32 64.0 7 14.0 50 100.0 2.12
Pengusaha pendatang
mengetahui berbagai
mode terkini
4 8.0 44 88.0 2 4.0 0 0.0 50 100.0 3.04
Pengusaha pendatang
jeli melihat peluang
bisnis di industri
sepatu/sandal
15 30.0 35 70.0 0 0.0 0 0.0 50 100.0 3.30
Total 41 20.5 113 56.5 39 19.5 7 3.5 200 100.0 2.94
Tabel 7 dapat menunjukkan bahwa persepsi responden yang paling positif
tentang cara berdagang pengusaha pendatang adalah mengenai pengetahuan
pengusaha pendatang untuk memperbesar usahanya serta kejelian pengusaha
pendatang dalam melihat peluang bisnis. Rata-rata skor jawaban responden adalah
3.3 yang berarti bahwa persepsi responden sangat baik mengenai pengetahuan
serta kejelian pengusaha pendatang. Responden yang menjawab sangat setuju
bahwa pengusaha pendatang memiliki pengetahuan memperbesar usahanya
sebanyak 20 persen serta yang menjawab setuju sebanyak 50 persen responden.
Kemudian pada pernyataan mengenai kejelian pengusaha pendatang, seluruh
responden bahkan memiliki persepsi yang sangat positif.
36
Pengetahuan mengenai cara memperbesar usaha pengusaha pendatang
dipersepsikan positif karena responden menganggap bahwa pengusaha pendatang
lebih mengetahui seluk-beluk tentang industri sepatu. Pengusaha pendatang harus
mengetahui banyak hal tentang industri sepatu yang berada di Desa Kotabatu
karena mereka adalah pendatang sehingga semakin banyak mereka tahu maka
akan semakin mudah mereka beradaptasi serta mengenal lingkungan. Responden
menyatakan bahwa pengusaha pendatang tidak akan berani membuka usaha bila
mereka tidak paham dengan benar mengenai usaha yang akan dijalankan. Seperti
yang dikatakan salah satu responden sebagai berikut:
“Orang rantau yang buka usaha disini mah nggak akan berani
membuka usaha kalau mereka belum paham benar tentang
seluk-beluk usaha yang dijalankan. Jadi mereka harus sudah
yakin bahwa usaha mereka akan sukses baru mereka yakin buka
usaha.” (TT, 46 tahun)
Pengusaha pendatang dipersepsikan jeli dalam melihat peluang bisnis di
industri sepatu. Responden menganggap bahwa pengusaha pendatang seperti
memiliki insting dalam melihat peluang bisnis mana yang akan memberikan
banyak keuntungan untuk mereka. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan II (28
tahun) sebagai berikut:
“Mereka tuh kaya punya insting yang kuat sesuatu akan
menjadi berhasil kalau diolah dengan baik dan akan
menghasilkan keuntungan.” (II, 28 tahun)
Responden menyatakan bahwa kejelian dalam berbisnis ini merupakan
insting para pengusaha pendatang karena memang orang Tiongha dan Minang
terkenal dengan etnis yang giat dalam membuka usaha mandiri. Responden
memiliki pendapat bahwa memang kejelian terhadap peluang bisnis sudah berasal
dari leluhur mereka, orang Sunda sulit menggali kemampuan tersebut. Kejelian ini
merupakan salah satu cara berdagang atau strategi usaha dari pengusaha
pendatang untuk terus bertahan dan bahkan lebih maju usahanya.
Tabel 7 menunjukkan juga bahwa responden mempersepsikan bahwa
pengusaha pendatang tidak memberikan harga khusus pada setiap pembelian
dengan jumlah tertentu. Rata-rata skor jawaban responden untuk pernyataan ini
adalah 2.2 yang menunjukkan bahwa responden tidak setuju bahwa pengusaha
pendatang memberikan harga khusus. Responden menyatakan bahwa pengusaha
pendatang tidak memberikan diskon namun memanipulasi harga sehingga mereka
mendapat keuntungan. Meskipun persepsi responden tidak baik namun responden
menyatakan bahwa harga produk pengusaha pendatang dapat dikatakan tidak kaku
serta dapat disesuaikan berdasarkan perhitungan-pehitungan tertentu. Seperti yang
dikatakan SP (34 tahun) sebagai berikut:
“Kalau mau membandingkan harga, harga kita lebih murah
dari mereka. Mereka tapi nggak tahu kenapa bisa memanipulasi
harga hingga bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar
37
dari kita. Ya saya akui mereka pintar hitung-hitungan harga.”
(SP, 34 tahun)
Responden memiliki persepsi positif mengenai cara berdagang pengusaha
pendatang, baik berdasarkan pengetahuan usaha, kejelian pengusaha pendatang
dalam melihat peluang bisnis, hingga pengetahuan akan mode terkini. Seluruh
responden mempersepsikan positif mengenai cara berdagang yang dikatakan baik
berdasarkan hal tersebut. Responden memiliki persepsi positif mengenai cara
berdagang pengusaha pendatang karena responden menganggap bahwa cara
berdagang pengusaha pendatang adalah kekuatan pengusaha pendatang untuk
bertahan di industri kecil ini. Sehingga bila pengusaha pendatang lebih berhasil
dari pengusaha lokal maka cara berdagang pengusaha pendatang lebih baik
daripada pengusaha lokal.
Kesimpulan yang dapat diambil dari Tabel 7 adalah rata-rata persepsi
responden mengenai cara berdagang sebesar 2.94. Hal ini menunjukkan bahwa
responden memiliki persepsi yang positif mengenai cara berdagang pengusaha
pendatang. Responden menganggap bahwa cara berdagang pengusaha pendatang
dianggap strategis. Hal ini terlihat dari rata-rata responden yang sangat
menyetujui mengenai pengetahuan pengusaha pendatang mengenai cara
memperbesar usahanya, mode terkini, serta kejelian pengusaha pendatang dalam
melihat peluang bisnis. Responden pula menyetujui mengenai pengusaha
pendatang yang memberikan harga khusus karena responden menganggap bahwa
perhitungan harga memang menjadi salah satu strategi berdagang pengusaha
pendatang. Cara berdagang pengusaha pendatang yang strategis memiliki ciri
yaitu jeli dalam melihat peluang bisnis, memiliki pengetahuan mengenai usahanya
serta mengetahui mode terkini.
Persepsi mengenai Kualitas Produk
Kualitas produk suatu usaha merupakan salah satu penentu kesuksesan
usaha tersebut. Persepsi responden mengenai kualitas produk pengusaha
pendatang cukup beragam. Keberagaman persepsi responden tersebut disebabkan
perbedaan pengalaman bersama dengan pengusaha pendatang. Persepsi terhadap
kualitas dapat dilihat berdasarkan minat konsumen, keseriusan dalam pembuatan
produk, serta harga. Responden menyatakan bahwa secara keseluruhan kualitas
produk pengusaha pendatang hampir sama dengan pengusaha lokal sehingga yang
membedakan adalah bahan baku, harga, serta minat konsumen terhadap produk.
Sebaran jawaban responden berdasarkan pernyataan persepsi mengenai
kualitas produk dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 8 menunjukkan bahwa
responden memiliki keberagaman pendapat mengenai kualitas produk pengusaha
pendatang. Hal ini terlihat dari persepsi responden mengenai tingginya kualitas
pengusaha pendatang, responden yang memiliki persepsi negatif mengenai hal ini
beranggapan bahwa kualitas produk baik pengusaha pendatang maupun
pengusaha lokal sama baiknya. Hal ini dikarenakan pekerja di setiap pengusaha
adalah warga Desa Kotabatu dan desa sekitarnya. Perihal yang membedakan
kualitas produk adalah bahan baku dan lem sepatu/sandal yang digunakan. Terkait
proses pembuatan serta model, baik pengusaha pendatang maupun pengusaha
38
lokal tidak terlampau jauh berbeda. Berikut merupakan penuturan salah satu
responden mengenai perbandingan kualitas produk.
“Produk kita mah sama aja neng soalnya kan kualitas yang
kerjanya juga sama, sama-sama orang sini. Kita tuh jarang
dapet order sepatu bermerk, kalau orang Cina biasanya suka
dapet orderan dari yang udah punya nama gede jadi mereka
jadi pengusaha mitra perusahaan gede. Misalnya Yongki
Komaladi, Fladeo, sama Ifa. Nah kalau buat produk-produk itu
jelas kualitas produknya beda.” (EL, 42 tahun)
Kualitas produk pengusaha pendatang dipersepsikan oleh responden cukup
baik. Tabel 8 menunjukkan bahwa secara keseluruhan rata-rata jawaban
responden adalah 2.79 sehingga dapat dikatakan persepsi responden mengenai
kualitas produk pengusaha pendatang termasuk positif. Hal ini karena responden
menganggap bahwa kualitas produk miliki responden juga baik sedangkan
kualitas produk antara responden dengan pengusaha pendatang pula dianggap
tidak jauh berbeda.
Tabel 8 Sebaran Jawaban Responden Berdasarkan Pernyataan Persepsi mengenai
Kualitas Produk
Pernyataan
Pilihan jawaban Total
Rata-
rata
skor
SS S TS STS
n % n % n % n % n % Pengusaha pendatang
memiliki produk yang
berkualitas tinggi
3 6.0 25 50.0 22 44.0 0 0.0 50 100.0 2.62
Pengusaha pendatang
tidak membuat produk
yang asal jadi
3 6.0 39 78.0 8 16.0 0 0.0 50 100.0 2.90
Sepatu/sandal yang
dibuat pengusaha
pendatang lebih diminati
konsumen
1 2.0 38 76.0 11 22.0 0 0.0 50 100.0 2.80
Produk pengusaha
pendatang memiliki
harga murah dengan
kualitas yang baik
3 6.0 35 70.0 12 24.0 0 0.0 50 100.0 2.82
Total 10 5.0 137 68.5 53 26.5 0 0.0 200 100.0 2.79
Tabel 8 memperlihatkan bahwa responden mempersepsikan bahwa
pengusaha pendatang tidak membuat produk yang asal jadi. Responden
mempersepsikan pengusaha pendatang serius dalam setiap pembuatan produknya.
Rata-rata skor jawaban respoden mengenai pernyataan ini adalah 2.9 yang berarti
bahwa persepsi terhadap pengusaha pendatang positif. Sebanyak 78 persen
responden menyatakan setuju serta 6 persen lainnya menyatakan sangat setuju
bahwa pengusaha pendatang tidak membuat produk yang asal jadi. Hal ini karena
responden beranggapan bahwa tidak mungkin pengusaha pendatang dalam
menjalankan usahanya tidak serius karena mereka terkenal gigih dalam berusaha.
39
Pengusaha pendatang terkenal tidak mudah puas terhadap sesuatu termasuk dalam
membuat produk. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu responden
mengenai kegigihan pengusaha pendatang sebagai berikut:
“Mereka nggak mungkin nggak serius kalau lagi kerja dan
mereka nggak mungkin main-main. Soalnya setiap usaha yang
mereka kerjakan kan membutuhkan biaya, ya mereka tidak
mungkin menyiakan biaya itu buat hal yang tidak mereka
seriusi.” (TK, 38 tahun)
Pembuatan produk pengusaha pendatang tidak mungkin asal jadi karena
tiap-tiap pengusaha memiliki tanggung jawab atas kualitas produk yang dibuatnya
kepada pemilik toko grosir. Hal ini membuktikan bahwa produk yang dihasilkan
oleh pengusaha baik lokal maupun pendatang tidak asal jadi. Responden pula
menyatakan bahwa kualitas produk biasanya adalah pesanan dari pemilik toko
grosir apakah membutuhkan produk yang berkualitas tinggi atau hanya produk
yang dijual hanya untuk kalangan menengah ke bawah. Seperti yang diungkapkan
responden sebagai berikut:
“Karena mereka sering dapet order sepatu yang buat kalangan
menengah ke atas jadi mereka punya tanggung jawab sama
kualitas produk yang mereka haslkan. Sedangkan kami biasanya
hanya menerima order sepatu untuk kalangan menengah
kebawah yang biasanya dari grosir pasar anyar dibawa ke
tanah abang. Mungkin neng tahu sendiri kalau barang dari
tanah abang juga biasanya dibawa ke mana aja.” (US, 35
tahun)
Tabel 8 juga menunjukkan bahwa responden mempersepsikan kualitas
produk pengusaha pendatang tidak tinggi. Responden menyatakan bahwa kualitas
produk baik yang dihasilkan dari bahan baku yang baik pula. Responden yang
setuju kualitas produk pengusaha pendatang baik menyatakan bahwa bila mereka
juga memiliki modal cukup untuk membeli bahan baku yang lebih baik dan
bermutu, pasti kualitas produk milik mereka akan sebaik pengusaha pendatang.
Alasan ini pula keluar dari 44 persen responden yang menyatakan tidak setuju bila
kualitas produk pengusaha pendatang lebih baik. Mereka berpendapat bahwa
kualitas produk pengusaha pendatang tidak lebih baik dari kualitas produk
responden, mereka bahkan menganggap bahwa pengusaha pendatang tidak
memiliki pengetahuan dalam mengolah bahan mentah menjadi sepatu yang utuh
bila tidak memiliki pekerja dari Desa Kotabatu. Hal ini yang menyebabkan 44
responden tidak menyetujui bahwa kualitas produk pengusaha pendatang tinggi.
Responden mempersepsikan bahwa produk pengusaha pendatang tidak perlu
memiliki kualitas yang baik untuk mendapatkan keuntungan karena seperti
apapun produk yang dihasilkan akan tetap dibeli oleh pihak grosir yang memang
sudah bermitra dengan pengusaha pendatang sehingga keuntungan pengusaha
pendatang akan tetap tinggi. Angka rata-rata skor responden adalah 2.6 yang
menunjukkan bahwa responden menyetujui bahwa pengusaha pendatang memiliki
40
produk yang berkualitas tinggi. Hasil tersebut diperkuat oleh pernyataan
responden mengenai kualitas produk pengusaha pendatang sebagai berikut:
“Ini mah karena kita jarang dapet order sepatu yang skala
besar aja. Kalau kita dapet order sepatu yang dari perusahaan
besar kaya mereka kita juga bisa punya kualitas produk yang
bagus. Kan tinggal diganti bahannya aja sama lem yang
bagus.” (RH, 38 tahun)
Kesimpulan yang dapat diambil dari Tabel 8 adalah rata-rata responden
mempersepsikan bahwa kualitas produk pengusaha pendatang bermutu dan
bersaing. Hal ini menandakan bahwa responden mengetahui akan kualitas produk
pengusaha pendatang yang baik serta tidak bisa memungkiri bahwa kualitas
merupakan salah satu penentu suatu kesuksesan usaha. Responden pula tidak
berusaha menjelek-jelekan produk pengusaha pendatang. Mereka mengatakan apa
adanya, bila produk pengusaha pendatang menurut mereka baik mereka akan
mengatakan baik. Sebaliknya bila dengan pandangan dan pengalaman mereka
melihat bahwa produk pengusaha pendatang kualitasnya tidak baik, mereka akan
mengatakan tidak baik pula. Kualitas yang baik dengan harga yang relatif murah
merupakan salah satu kekuatan usaha pengusaha pendatang. Mereka pula
mengatakan alasan terkait pendapat mengenai kualitas produk seperti yang telah
dijabarkan sebelumnya. Baik atau buruknya kualitas produk usaha sepatu/sandal
menurut responden ditentukan oleh bahan baku, lem, serta kualitas pekerja dari
masing-masing bengkel sepatu. Pekerja di tiap-tiap bengkel baik di pengusaha
lokal dan pengusaha pendatang adalah warga Desa Kotabatu, sehingga kualitas
hasil kerja mereka tidak akan jauh berbeda. Responden mempersepsikan bahwa
kualitas produk pengusaha pendatang dikatakan bermutu karena memiliki ciri
produknya tidak asal jadi, memiliki harga murah dengan kualitas yang baik serta
diminati konsumen.
Persepsi mengenai Budaya Kerja
Budaya kerja adalah falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai
nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan juga pendorong yang dibudayakan
dalam suatu kelompok. Budaya kerja tercermin dalam sikap menjadi perilaku,
cita-cita, pendapat serta tindakan yang terwujud sebagai kerja. Budaya kerja dapat
terlihat dari sikap terhadap pekerjaan dan perilaku pada waktu bekerja. Pada
penelitian ini, budaya kerja yang dilihat adalah budaya yang melekat pada etnis
pengusaha pendatang. Sehingga responden mempersepsikan budaya kerja
berdasarkan budaya kerja yang melekat pada etnis pengusaha pendatang. Hal ini
dikarenakan budaya dapat dilihat dengan merefleksikan pengusaha pendatang
pada suatu kelompok, kelompok yang direfleksikan adalah kelompok etnis.
Budaya kerja merupakan nilai yang ada pada tiap-tiap manusia. Budaya
kerja yang dilihat pada penelitian ini adalah budaya kerja pengusaha pendatang
berdasarkan etnis. Secara spesifik, etnis yang dilihat ada dua yaitu etnis Tionghoa
dan etnis Minang. Berdasarkan etnisitas tersebut, budaya kerja yang dinilai oleh
responden mengenai jiwa berdagang, kedisiplinan, hubungan mitra berdasarkan
41
etnis, keuletan, serta keterbukaan pengusaha pendatang dalam menjalankan
usahanya. Budaya kerja dipersepsikan dengan kata kuat atau lemah. Budaya kerja
kuat berarti pengusaha pendatang dipersepsikan memiliki budaya kerja yang baik
sedangkan budaya kerja lemah adalah pengusaha pendatang tidak mencerminkan
budaya kerja yang baik. Sebaran jawaban responden dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 menunjukkan bahwa rata-rata persepsi responden mengenai budaya
kerja adalah baik. Nilai rata-rata skor jawaban responden adalah 2.94 yang berarti
bahwa responden memiliki persepsi yang positif terhadap budaya kerja pengusaha
pendatang. Hal ini menunjukkan bahwa responden mempersepsikan budaya kerja
pengusaha pendatang termasuk disiplin, ulet, memiliki jiwa dagang, terbuka
mengenai informasi, serta memiliki kemitraan berdasarkan etnis. Responden
menyatakan bahwa budaya kerja yang dimiliki pengusaha pendatang cukup
terlihat dan tercermin pada perilaku mereka.
Tabel 9 Sebaran jawaban responden berdasarkan pernyataan persepsi mengenai
budaya kerja
Pernyataan
Pilihan jawaban Total
Rata-
rata
skor
SS S TS STS
n % n % n % n % n % Pengusaha pendatang
memiliki jiwa
berdagang yang telah
ditanamkan sejak kecil
9 18.0 41 82.0 0 0.0 0 0.0 50 100.0 3.18
Pengusaha pendatang
mampu
mengembangkan
usahanya karena
memiliki kedisiplinan
yang tinggi
4 8.0 40 80.0 6 12.0 0 0.0 50 100.0 2.96
Pengusaha pendatang
memiliki kekuatan
kemitraan berdasarkan
hubungan kesamaan
etnis
28 56.0 22 44.0 0 0.0 0 0.0 50 100.0 3.56
Pengusaha pendatang
memiliki keuletan
dalam berusaha
4 8.0 31 62.0 15 30.0 0 0.0 50 100.0 2.78
Pengusaha pendatang
terbuka menerima
informasi serta
masukan dari orang
lain
2 4.0 14 28.0 26 52.0 8 16.0 50 100.0 2.20
Total 47 18.8 148 59.2 47 18.8 8 3.2 250 100.0 2.94
Tabel 9 menunjukkan bahwa responden paling banyak mempersepsikan
bahwa kemitraan pengusaha pendatang berdasarkan hubungan etnsitas merupakan
salah satu budaya kerja mereka. Rata-rata skor jawaban responden adalah 3.56
yang menunjukkan bahwa responden dapat melihat dengan jelas mengenai
kekuatan kemitraan pengusaha pendatang karena terlihat pada keseharian mereka.
Hubungan etnisitas yang kuat ini dimanfaatkan para pengusaha pendatang untuk
membentuk suatu jaringan kerja atau usaha. Responden juga menyatakan bahwa
42
jaringan usaha sepatu/sandal dikuasai seutuhnya oleh pengusaha Tionghoa seperti
berikut:
“Sekarang mau bikin usaha mandiri tuh susah soalnya dari
yang punya toko bahan sampai yang punya toko grosir orang
Cina. Ya kita pengusaha kecil adanya di tengah-tengah, mau
beli bahan ke mereka mau jual juga ke mereka. Kalo yang
punya bengkelnya orang Cina juga ya pasti lebih gampang,
mereka pasti lebih milih beli di pemilik bengkelnya orang Cina
juga. Pengusaha Cina juga kalau mau jual lebih gampang, pake
asas kepercayaan sesamanya saja”. (AS, 65 tahun)
Tabel 9 juga menjabarkan bahwa seluruh responden memiliki persepsi
positif mengenai jiwa berdagang pengusaha pendatang yang telah ditanamkan
sejak kecil. Sebanyak 82 persen menyatakan setuju serta 18 persen lainnya
menyatakan sangat setuju bahwa pengusaha pendatang sejak dari kecil telah
ditanamkan jiwa berdagang. Jiwa berdagang ini yang belum bisa didapatkan di
pengusaha lokal. Responden beranggapan bahwa jiwa berdagang yang tinggi akan
menentukan keberhasilan seorang pengusaha. Pengusaha pendatang telah
memiliki hal itu sehingga bukan suatu hal yang aneh bila pengusaha pendatang
termasuk berhasil dalam menjalankan usahanya. Hal ini seperti yang dikatakan
salah satu responden sebagai berikut:
“Ya orang Cina sama kaya orang Minang. Mereka kan sudah
terkenal jago dagang. Jiwa dagang mereka yang pasti kuat,
sudah dari kecil ditanamkan sama orang tuanya. Biasanya
mereka diajarkan mau berdagang dan merantau buat
mengembangkan usahanya.”. (SN, 44 tahun)
Responden paling sedikit mempersepsi positif mengenai budaya kerja pada
aspek kedisiplinan namun tetap termasuk persepsi positif. Rata-rata skor
responden adalah 2.96 pada pernyataan ini yang menunjukkan bahwa persepsi
responden positif. Sebanyak 80 persen responden menyetujui bahwa pengusaha
pendatang mampu mengembangkan usahanya karena memiliki kedisiplinan yang
tinggi. Kedisiplinan ini merupakan salah satu ukuran keberhasilan suatu usaha
dapat berjalan terus menerus atau tidak. Responden mempersepsikan bahwa
pengusaha pendatang disiplin baik dalam mendapatkan keuntungan hingga
mendidik anak-anaknya untuk memiliki jiwa berwirausaha yang giat. Delapan
persen responden bahkan menyatakan sangat setuju bahwa pengusaha pendatang
memiliki kedisiplinan yang tinggi. Hal ini dikarenakan responden tersebut pernah
bekerja pada pengusaha pendatang menjadi pekerja di bengkel sepatu/sandal.
Responden menyatakan bahwa pengusaha pendatang tidak memandang bulu
dalam hal kedisiplinan ini, baik orang lain maupun keluarga sendiri bila tidak
disiplin akan dikenakan hukuman.
Budaya kerja pengusaha pendatang secara rata-rata dipersepsikan positif.
Hal ini menunjukkan bahwa responden mempersepsikan bahwa pengusaha
pendatang memiliki budaya kerja yang baik. Pengusaha pendatang dipersepsikan
memiliki sifat ulet yang berarti responden mempersepsikan pengusaha pendatang
43
gigih dalam berusaha serta tidak mudah puas. Keuletan tersebut mempengaruhi
kesuksesan dalam bekerja seperti yang diutarakan salah satu responden sebagai
berikut:
“Mereka tuh kalau pendapatannya kurang sedikit aja dari
target pasti akan diulik terus kenapa bisa nggak sesuai target.
Dirunut lagi kenapa bisa dapet hasil segitu, apakah targetnya
terlalu tinggi, atau ada yang ngehambat jalan mereka di
tengah-tengah, malah nggak jarang mereka suka curigaan sama
pekerjanya.”(ML, 42 tahun)
Keterbukaan menjadi salah satu aspek budaya kerja. Sifat terbuka terhadap
informasi dari orang lain dapat memperkaya pengetahuan mengenai usaha yang
sedang dijalankan. Rata-rata responden tidak menyetujui bahwa pengusaha
pendatang terbuka menerima informasi serta masukan dari orang lain namun
keterbukaan dipersepsikan secara negatif oleh responden. Terlihat dari rata-rata
skor untuk pernyataan ini yaitu 2.2 yang berarti bahwa responden tidak setuju
terhadap pernyataan keterbukaan pengusaha pendatang. Hal ini menunjukkan
bahwa keterbukaan pengusaha pendatang bukan merupakan salah satu budaya
kerja yang ditunjukan oleh pengusaha pendatang. Responden mempersepsi
pengusaha pendatang dengan negatif yaitu kurang bisa menerima informasi.
Kesimpulan yang dapat diambil dai Tabel 9 adalah responden
mempersepsikan budaya kerja pengusaha pendatang adalah budaya kerja yang
ulet. Responden mempersepsikan bahwa budaya kerja ulet memiliki ciri punya
kekuatan kemitraan, memiliki jiwa berdagang, disiplin, serta ulet dalam berusaha.
Hal tersebut menunjukkan bahwa budaya kerja yang dimiliki pengusaha
pendatang dapat dikatakan baik untuk dijadikan panutan. Responden juga
menyatakan bahwa mereka ingin usaha mereka sukses bahkan melampaui
pengusaha pendatang namun sulit untuk menanamkan budaya kerja seperti
pengusaha pendatang.
Persepsi mengenai Dampak Kehadiran
Dampak kehadiran pengusaha pendatang dirasakan cukup berpengaruh pada
usaha yang dijalankan pengusaha lokal. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh
salah satu responden bahwa pengusaha pendatang mempengaruhi keseluruhan
usaha sepatu di Desa Kotabatu. Ini dikarenakan semakin tahun pengusaha
pendatang semakin banyak dan tidak hanya membuka usaha bengkel sepatu saja
bahkan merambah pada usaha bahan sepatu hingga usaha grosir. Pengusaha lokal
hanya mampu membuka bengkel rumahan yang sederhana sedangkan pengusaha
pendatang dapat membuka tempat usaha yang sudah memiliki mesin-mesin besar.
Semakin banyaknya pengusaha pendatang dirasa responden cukup
memberikan dampak pula pada jalannya usaha sepatu responden. Responden
mengatakan bahwa usaha yang dijalankan semakin mengalami kesulitan akibat
banyaknya persaingan dengan pengusaha pendatang maupun pengusaha lokal
pula. Kehadiran pengusaha pendatang dapat dilihat berdasarkan lima aspek
berikut yaitu (1) meningkatkan jiwa kompetisi pengusaha lokal, (2) membuat
44
usaha pengusaha lokal terancam, (3) menjadikan pengusaha pendatang mengalami
banyak keuntungan, (4) membuat pengusaha lokal mengalami kerugian usaha,
serta (5) mengakibatkan industri di Kotabatu menjadi lebih terkenal. Tabel 10
menunjukkan data tentang persepsi mengenai dampak kehadiran pengusaha
pendatang.
Tabel 10 Sebaran jawaban responden berdasarkan pernyataan persepsi mengenai
dampak kehadiran
Pernyataan
Pilihan jawaban Total
Rata-
Rata
Skor
SS S TS STS
n % n % n % n % n % Adanya pengusaha
pendatang dapat
meningkatkan jiwa
kompetisi dalam
berusaha
5 10.0 38 76.0 7 14.0 0 0.0 50 100.0 2.96
Datangnya pengusaha
pendatang tidak
membuat usaha saya
menjadi terancam
1 2.0 18 36.0 15 30.0 16 32.0 50 100.0 2.08
Adanya pengusaha
pendatang tidak
membuat saya
mengalami kerugian
usaha
0 0.0 15 30.0 18 36.0 17 34.0 50 100.0 1.96
Pengusaha pendatang
mengakibatkan
industri di desa ini
menjadi lebih
terkenal
0 0.0 19 38.0 30 60.0 1 2.0 50 100.0 2.36
Total 6 2.4 90 36.0 111 44.4 43 17.2 250 100.0 2.24
Tabel 10 menunjukkan bahwa secara rata-rata responden mempersepsikan
bahwa dampak kehadiran pengusaha pendatang merugikan pengusaha lokal. Nilai
rata-rata skor responden dalam menjawab pernyataan mengenai dampak adalah
2.24, ini berarti responden memiliki persepsi bahwa dampak kehadiran pengusaha
pendatang tidak bisa memotivasi responden dalam berusaha. Terdapat satu
pernyataan yang ditanggapi positif yaitu adanya pengusaha pendatang dapat
meingkatkan jiwa kompetisi dalam berusaha.
Sebanyak 86 persen responden memiliki persepsi positif keberadaan
pengusaha pendatang dapat meningkatkan jiwa kompetisi dalam berusaha.
Sebanyak 76 persen responden menyatakan setuju dan 10 persen menyatakan
sangat setuju bahwa jiwa kompetisi mereka semakin muncul karena responden
merasa memiliki pesaing yang bukan saja sesama pengusaha lokal melainkan
pengusaha pendatang. Munculnya pesaing dapat memicu semangat seseorang
dalam berusaha, tidak terkecuali pengusaha lokal yang tidak ingin kalah saing
dengan pengusaha pendatang. Pengusaha lokal berusaha semakin produktif dan
inovatif dalam menjalankan usahanya. Rata-rata skor responden dalam menjawab
pernyataan ini adalah 2.96. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata responden
menyetujui bahwa adanya pengusaha pendatang dapat meningkatkan jiwa
45
kompetisi dalam berusaha. Responden mempersepsikan secara positif mengenai
dampak kehadiran pengusaha pendatang. Responden mempersepsikan bahwa
dampak kehadiran pengusaha pendatang dapat menginspirasi pengusaha lokal
untuk tetap berusaha dan jangan sampai kalah saing dengan pengusaha pendatang.
Hal ini sesuai dengan yang dituturkan salah satu responden sebagai berikut:
“Sebenarnya adanya orang pendatang disini yang buka usaha
ya berarti kan nambah saingan. Kalau ditanggapi positif berarti
kita harus lebih rajin lagi usahanya soalnya hidup kita kan
bergantung di usaha ini jadi mau nggak mau kita harus berani
bersaing sama pendatang.” (SF, 45 tahun)
Responden memiliki persepsi bahwa adanya pengusaha pendatang membuat
mereka mengalami kerugian. Rata-rata skor responden dalam menanggapi
pernyataan ini adalah 1.96 yang berarti bahwa responden mempersepsikan negatif.
Responden menganggap bahwa pengusaha pendatang membuat mereka
mengalami kerugian. Kerugian yang dirasakan oleh responden terutama terjadi
perebutan pekerja bengkel sepatu. Pekerja bengkel sepatu lebih memilih bekerja
di bengkel pengusaha pendatang. Hal ini terjadi karena di pengusaha pendatang
selalu memiliki pekerjaan yang banyak dan setiap harinya ada tugas. Pengusaha
pendatang lebih sering mendapat order sepatu yang banyak dan membutuhkan
banyak pula pekerja. Selain itu jumlah upah yang dibayarkan pengusaha
pendatang lebih tinggi karena termasuk uang makan, berbeda dengan pekerja di
pengusaha lokal yang tidak diberi uang makan. Pekerja di pengusaha lokal tidak
diberi uang makan karena pemilik bengkel menyediakan makan di bengkel. Hal
ini yang menjadi perhitungan para pekerja. Karena jelas mereka lebih memilih
uang tunai bila dibandingkan dengan disediakan makan. Hal ini sesuai dengan
yang dikatakan oleh responden sebagai berikut:
“Sekarang mah ya kalau dipikir rugi ya jelas kita rugi. Kan
semakin banyak yang buka bengkel jadi semakin banyak juga
yang nyari pekerja di bengkel. Sedangkan kita tahu sendiri
kalau anak muda sekarang jarang ada yang mau kerja di
bengkel. Mereka lebih milih kerja di pabrik besar soalnya gaji
disana lebih banyak dari disini.” (AD, 25 tahun)
Secara rata-rata responden mempersepsikan dampak kehadiran pengusaha
pendatang kurang menguntungkan. Nilai skor rata-rata jawaban responden
mengenai dampak kehadiran adalah 2.24 yang berarti bahwa responden
mempersepsi dampak kehadiran pengusaha pendatang tidak bisa memotivasi
pengusaha lokal untuk lebih giat berusaha. Hal tersebut bisa terjadi karena secara
umum responden menganggap bahwa pengusaha pendatang adalah pesaing bisnis
yang dijalankan serta dapat mengancam keberlanjutan usaha mereka. Dampak
negatif dirasakan responden ketika sedang mencari pekerja untuk bengkel sepatu
mereka. Selain masalah pekerja hal lain yang dirasa dampak keberadaan
pengusaha pendatang adalah jatuhnya harga pasar sepatu. Pengusaha pendatang
memiliki hubungan kemitraan berdasarkan etnis sehingga mudah memperoleh
kepercayaan pemilik toko grosir yang hampir seluruhnya etnis Tionghoa dan
46
beberapa Minang. Hal tersebut mendesak pengusaha lokal untuk memperkecil
harga produk agar memperoleh kepercayaan pemilik grosir.
Persepsi mengenai Sifat dan Karakter
Sifat dan karakter seseorang mudah dipersepsikan oleh orang lain terutama
bila orang tersebut berada pada suatu kelompok tertentu. Sifat dan karakter
pengusaha pendatang dinilai berdasarkan etnisnya. Etnis yang sudah terkenal
memiliki jiwa usaha yang kental adalah Tionghoa dan Minang. Pandangan
tersebut sudah menjadi pandangan yang umum sehingga responden cenderung
beranggapan bahwa etnis pengusaha pendatang akan sama sifat dan karakternya
dengan orang lain yang sama etnisnya.
Rata-rata responden mempersepsikan sifat dan karakter pengusaha
pendatang secara negatif. Hal ini dikarenakan nilai rata-rata skor jawaban
responden mengenai sifat dan karakter ini adalah 2.31 yang berarti bahwa
responden mempersepsi secara negatif. Hal ini menunjukkan bahwa responden
menganggap bahwa pengusaha pendatang memiliki sifat dan karakter yang tidak
baik. Responden terutama memiliki persepsi negatif mengenai sifat dan karakter
pengusaha pendatang yang pelit serta tidak mudah untuk mempercayai orang lain.
Responden mempersepsikan bahwa pengusaha pendatang memiliki sifat yang
curiga terhadap orang lain terutama pesaing bisnis mereka. Responden juga
mempersepsikan bahwa tidak mudah membagikan informasi kepada orang lain.
Berikut merupakan tabel yang menjabarkan persepsi mengenai sifat dan karakter
pengusaha pendatang.
Tabel 11 Sebaran jawaban responden berdasarkan pernyataan persepsi mengenai
sifat dan karakter
Pernyataan
Pilihan jawaban Total
Rata-
rata
skor
SS S TS STS
n % n % n % n % n % Pengusaha
pendatang memiliki
sifat yang ulet
2 4.0 41 82.0 7 14.0 0 0.0 50 100.0 2.90
Pengusaha
pendatang tidak
pelit dalam berbagi
informasi
0 0.0 0 0.0 34 68.0 16 32.0 50 100.0 1.68
Pengusaha
pendatang memiliki
sifat yang jujur
dalam bekerja
4 8.0 34 68.0 12 24.0 0 0.0 50 100.0 2.84
Pengusaha
pendatang mudah
untuk mempercayai
orang
0 0.0 0 0.0 10 20.0 40 80.0 50 100.0 1.20
Pengusaha
pendatang rajin
dalam berusaha
5 10.0 36 72.0 9 18.0 0 0.0 50 100.0 2.92
Total 11 4.4 111 44.4 72 28.8 56 22.4 250 100.0 2.31
47
Tabel 11 menunjukkan bahwa respoden mempersepsikan bahwa pengusaha
pendatang yang rajin dalam berusaha. Nilai rata-rata responden dalam menjawab
pernyataan ini adalah 2.92 sehingga persepsi responden menyatakan pengusaha
pendatang memiliki sifat/karakter yang rajin. Sebanyak 82 persen responden
menyatakan setuju dan 4 persen menyatakan sangat setuju bahwa pengusaha
pendatang memiliki sifat yang ulet. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan salah
satu responden sebagai berikut:
“Mereka mah rajin kalau udah masalah kerja. Ya dibilang rajin
soalnya mau kemanapun misalnya mereka pergi pasti ada aja
obrolan tentang bisnis. Apalagi kalau mereka udah ketemu
sama orang yang sama-sama Cina pasti aja ada yang
diomongin tentang usahanya.” (TK, 38 tahun)
Responden juga mempersepsikan bahwa pengusaha pendatang termasuk
tidak mudah mempercayai orang lain. Nilai rata-rata responden untuk pernyataan
ini adalah 1.2 yang berarti bahwa persepsi responden negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa responden memiliki kesepakatan pemikiran bahwa
pengusaha pendatang sulit untuk mempercayai orang lain. Rata-rata responden
menyatakan tidak setuju bahwa pengusaha pendatang mudah untuk mempercayai
orang lain. Responden menyatakan bahwa bila ingin mendapat kepercayaan
pengusaha pendatang, pengusaha lokal harus berani berkorban terlebih dahulu
kemudian pengusaha pendatang terebut akan menilai apakah usahanya tersebut
sungguh-sungguh atau tidak. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh salah satu
responden sebagai berikut:
“Kalau mau kerja sama sama orang Cina dan Minang, awalnya
kita harus nyiapin modal walaupun cuma sedikit nanti sisanya
mereka yang tambahin. Terus nanti kita dikasih order sepatu
sama mereka, kita yang kerjain. Nanti hasil kerja kita dinilai
sama mereka, apa kita jujur waktu pakai bahan mentahnya, apa
kita jujur ngasih semua hasilnya cuma ke mereka. Kalau kita
sudah dapat kepercayaan mereka, mereka pasti baik sama
kita.” (HB, 50 tahun)
Sifat dan karakter responden yang dinyatakan secara positif oleh responden
adalah mengenai sifatnya yang ulet serta kejujuran. Kejujuran dianggap menjadi
hal yang paling penting dan benar-benar dijaga oleh pengusaha pendatang. Dalam
hubungan kerja sama dengan pengusaha lokal, pengusaha pendatang akan
langusng memberhentikan kerja sama bila mengetahui bahwa pengusaha lokal
tidak jujur dalam bekerja. Selanjutnya sifat dan karakter yang dipersepsikan
secara negatif oleh responden adalah mengenai sifatnya yang tidak mudah
mempercayai orang lain serta pelit dalam berbagi informasi. Kesimpulan yang
dapat diambil dari Tabel 11 adalah responden mempersepsikan pengusaha
pendatang adalah pengusaha yang pekerja keras namun tertutup. Dikatakan
pekerja keras karena pengusaha pendatang ulet, jujur, serta rajin dalam berusaha
namun dikatakan tertutup karena pengusaha pendatang dipersepsikan pelit dalam
berbagi informasi serta tidak mudah percaya pada orang lain.
48
Gambar 2 disajikan jumlah responden berdasarkan persepsi terhadap
pengusaha pendatang. Persepsi tersebut berdasarkan total skor jawaban responden
mengenai persepsi terhadap pengusaha pendatang.
Gambar 2 Jumlah responden berdasarkan persepsi terhadap pengusaha pendatang
Gambar 2 menunjukkan bahwa responden cenderung mempersepsikan
pengusaha pendatang adalah seorang Entrepreneur. Sebanyak 64 persen
responden mempersepsikan pengusaha pendatang adalah pengusaha yang
memiliki jiwa entrepreneur yang tinggi. Dikatakan demikian karena responden
mempersepsikan hal-hal yang dapat mencerminkan pengusaha yang jiwa
entrepreneurnya tinggi sebagai berikut:
1. Mempunyai hubungan kemitraan berdasarkan etnis
2. Mengetahui cara memperbesar usahanya
3. Jeli melihat peluang usaha
4. Mempunyai jiwa berdagang yang telah ditanamkan sejak kecil
5. Mengetahui mode terkini
6. Dapat meningkatkan jiwa kompetisi dalam berusaha
7. Memiliki kedisiplinan yang tinggi
8. Rajin dalam berusaha
9. Tidak membuat produk yang asal jadi
10. Memiliki sifat yang ulet
11. Jujur dalam bekerja
12. Memiliki kualitas produk yang tinggi dengan harga murah
13. Produknya lebih diminati konsumen
14. Produknya berkualitas tinggi
Sebanyak 36 persen responden mempersepsikan bahwa pengusaha
pendatang adalah pengusaha yang tertutup pada orang yang berbeda etnis. Hal ini
dapat terlihat dari ciri-ciri pengusaha pendatang sebagai berikut:
36%
64%
Jumlah responden berdasarkan persepsi terhadap pengusaha pendatang
Bukan entrepreneur (skor total 22-55) Entrepreneur (skor 56-88)
49
1. Tidak mudah mempercayai orang lain
2. Termasuk pelit dalam berbagi informasi
3. Membuat pengusaha lokal mengalami kerugian usaha
4. Membuat usaha pengusaha lokal terancam
5. Tidak memberikan harga khusus
6. Tidak terbuka terhadap informasi
7. Tidak membuat industri sepatu/sandal di desa menjadi lebih terkenal
Responden menyatakan bahwa pengusaha pendatang termasuk pengusaha
yang sukses namun tertutup dalam berbagi informasi. Mereka memiliki etika
tersendiri dalam berusaha sehingga hanya membagikan informasi pada orang-
orang tertentu terutama yang memiliki kesamaan etnis. Responden
mempersepsikan bahwa baik dari cara berdagang, kualitas produk, serta budaya
kerja pengusaha pendatang patut untuk dicontoh.
50
RESPONS TERHADAP PENGUSAHA PENDATANG
Tingkat Penerimaan terhadap Pengusaha Pendatang
Penerimaan pengusaha lokal terhadap pengusaha pendatang dapat dilihat
dari seberapa jauh pengusaha lokal berinteraksi dengan pengusaha pendatang.
Interaksi tersebut dapat ditentukan berdasarkan skala jarak sosial antara responden
dengan pengusaha pendatang. Pengukuran menggunakan skala Bogardus yang
dapat mengukur bagaimana tingkat kedekatan atau jarak yang dirasakan
responden dengan yang berbeda etnis. Jarak kedekatan tersebut dilihat dari sampai
sejauh mana responden berinteraksi dan dalam konteks apa mereka
berkomunikasi. Apakah hanya sebatas menyapa dan berbincang atau telah sampai
tahap memiliki kegiatan bersama di dalam masyarakat. Berikut tabel yang
menjelaskan jumlah responden yang berada di tingkat-tingkat penerimaan.
Tabel 12 Sebaran jawaban responden berdasarkan tingkat penerimaan terhadap
pengusaha pendatang
Pertanyaan mengenai penerimaan
berdasarkan tingkatan
Jawaban
Total Tidak
pernah Pernah
n % n % n % Apakah bapak/ibu menyapa pengusaha
pendatang setiap kali berpapasan? 0 0.0 50 100.0 50 100.0
Apakah bapak/ibu berbincang dengan
pengusaha pendatang? 1 2.0 49 98.0 50 100.0
Apakah bapak/ibu membuka obrolan mengenai
usaha yang sedang dijalankan? 8 16.0 42 84.0 50 100.0
Apakah bapak/ibu membagikan informasi
mengenai pengelolaan industri ke pengusaha
pendaang?
14 28.0 36 72.0 50 100.0
Apakah bapak/ibu memiliki kegiatan bersama
dalam masyarakat dengan pengusaha
pendatang?
26 52.0 24 48.0 50 100.0
Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa seluruh responden pernah bertegur
sapa dengan pengusaha pendatang dan tidak ada satupun responden yang tidak
pernah menyapa pengusaha pendatang. Hal ini menunjukkan bahwa pengusaha
lokal (responden) berusaha untuk menerima kehadiran pengusaha pendatang
sehingga hubungan sesama tetangga akan terjalin lebih baik. Saling menyapa
ketika berpapasan menunjukkan itikad baik dari kedua belah pihak untuk
menghasilkan hubungan yang baik pula. Hal ini pula dapat membuka hubungan
yang positif antara pengusaha lokal dengan pengusaha pendatang. Responden
yang memiliki pengalaman pada tingkat satu menurut interaksinya ada satu orang.
Responden tersebut memiliki interaksi yang sangat rendah dengan pengusaha
pendatang.
Selain itu sebanyak 98 persen responden mengatakan bahwa mereka pernah
berbincang dengan pengusaha pendatang. Hal yang dibicarakan adalah hal-hal
51
umum. Hanya 2 persen responden yang menyatakan bahwa tidak pernah
berbincang dengan pengusaha pendatang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian
besar responden intensitas komunikasi responden dengan pengusaha pendatang
cukup tinggi karena bukan hanya bertegur sapa, tetapi sering berbincang dengan
pengusaha pendatang. Sebanyak 42 persen dari responden pernah membuka
obrolan dengan pengusaha pendatang, hal ini menandakan bahwa responden
terbuka untuk mengobrol dengan pengusaha pendatang karena mencoba untuk
mengakrabkan diri yaitu dengan berbincang.
Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa sebanyak 72 persen responden
pernah membagikan informasi mengenai pengelolaan industri ke pengusaha
pendatang. Responden mengakui bahwa urusan pengelolaan baik tentang order
sepatu/sandal ataupun mengenai pekerja adalah rahasia. Hal yang dibagikan
kepada pengusaha pendatang adalah mengenai informasi harga-harga bahan baku
saja. Hampir seluruh responden yang sering berbagi informasi ini memiliki
hubungan kerja sama dengan pengusaha pendatang. Sehingga minimal satu hari
dalam seminggu responden bertukar pikiran atau hanya sekedar berkonsultasi
mengenai usaha yang dijalankannya. Responden yang tidak pernah membagikan
informasi menganggap bahwa pengusaha pendatang tidak penah memberikan
informasi mengenai usaha mereka sehingga responden juga tidak perlu
membagikan informasi kepada mereka. Responden menganggap bahwa usaha
pengusaha pendatang lebih berjalan lancar dibanding usahanya sehingga tidak
perlu lagi membagikan informasi apapun.
Tidak banyak pengusaha pedatang yang bermasyarakat. Kebanyakan dari
mereka tinggal di Desa Kotabatu karena memang hanya ingin membuka usaha di
desa tersebut. Sebanyak 52 persen responden menyatakan bahwa mereka tidak
pernah memiliki kegiatan bersama di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan para
pengusaha baik pengusaha lokal maupun pengusaha pendatang jarang mengikuti
kegiatan masyarakat seperti ronda, kerja bakti, pengajian, arisan, bahkan rapat
warga sekalipun. Sebanyak 48 persen responden menyatakan bahwa mereka
pernah memiliki kegiatan bersama dengan masyarakat. Hal ini menandakan
bahwa terdapat pengusaha lokal dan pengusaha pendatang yang mengikuti
kegiatan di masyarakat. Responden menyatakan bahwa mereka sering memiliki
kegiatan bersama di dalam masyarakat dengan pengusaha pendatang. Responden
yang sering memiliki kegiatan bersama di masyarakat adalah responden yang
berdomosili di sekitar komplek perumahan Paspampres yang sebagian besar
pengusaha pendatang bertempat tinggal di komplek tersebut.
Berdasarkan Tabel 12 dapat disimpulkan bahwa interaksi responden dengan
pengusaha pendatang termasuk intens karena sebanyak 48 persen responden telah
sampai tingkat memiliki kegiatan bersama dalam masyarakat. Seluruh responden
telah melewati tingkat 1 penerimaan yaitu menyapa pengusaha pendatang setiap
kali berpapasan. Hal ini menunjukkan bahwa responden termasuk warga yang
ramah serta berusaha menerima pendatang. Responden yang berada pada tingkat 2
penerimaan yaitu hanya sampai menyapa pengusaha pendatang sebanyak 1 orang.
Di tingkat 3 penerimaan terdapat 7 responden yang sampai tingkat berbincang
dengan pengusaha pendatang. Selanjutnya responden di tingkat 4 yaitu hanya
sampai membuka obrolan mengenai usahanya sebanyak 6 orang. Responden yang
berada di tingkat 5 yaitu membagikan informasi mengenai usahanya sebanyak 12
orang. Responden yang membagikan informasi tersebut mengaku hanya
52
memberikan informasi seperlunya saja. Kemudian sebanyak 24 responden
menyatakan pernah memiliki kegiatan bersama masyarakat. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat penerimaan responden yang berada di tingkat 4 penerimaan paling
banyak daripada responden yang berada di tingkat lain. Berdasarkan hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat keintiman
dan keakraban yang tinggi dengan pengusaha pendatang.
Responden memiliki intensitas komunikasi yang tinggi terhadap pengusaha
pendatang. Pengusaha pendatang yang dimaksud adalah semua pengusaha
beretnis lain yang sama-sama mendirikan bengkel maupun yang memiliki usaha
di bidang sepatu lain seperti pengusaha toko bahan sepatu dan toko grosir.
Intensitas komunikasi responden dikatakan tinggi karena hampir seluruh jalur
usaha sepatu ini dikuasai oleh etnis Tionghoa sehingga mau tidak mau mereka
harus berhubungan langsung dengan pengusaha pendatang tersebut. Sebagian
kecil responden yang memiliki intensitas komunikasi rendah. Hal ini dikarenakan
hanya beberapa responden saja yang menyatakan sebisa mungkin tidak banyak
bergantung pada pengusaha pendatang. Mereka lebih memilih untuk menjalankan
usaha secara mandiri karena akan sulit berhubungan dengan pengusaha pendatang
karena keuntungan yang didapat pun tidak seberapa besar.
Keterlibatan Pengusaha Lokal dalam Demonstrasi
Respons juga dilihat berdasarkan keterlibatan responden pada demonstrasi
yang pernah terjadi. Demonstrasi penolakan adanya pengusaha pendatang
dilakukan oleh beberapa pengusaha lokal untuk meyatakan keresahan mereka
akibat keberadaan pengusaha pendatang yang semakin lama semakin banyak.
Pada Gambar 3 disajikan jumlah responden berdasarkan keterlibatannya pada
demonstrasi sebagai berikut.
Gambar 3 Jumlah responden berdasarkan keterlibatannya pada demonstrasi
24%
76%
Jumlah responden berdasarkan keterlibatannya pada demonstrasi
Ikut Tidak Ikut
53
Gambar 3 menunjukkan bahwa hanya 24 persen dari responden yang
mengikuti demonstrasi penolakan kehadiran pengusaha pendatang. Responden
yang tidak mengikuti demonstrasi merasa tidak perlu mengikuti demonstrasi
tersebut secara ramai-ramai. Cukup beberapa orang saja sebagai perwakilan dari
pegusaha lokal yang menyampaikan aspirasi kepada pemerintah desa. Beberapa
responden juga mengaku percuma mengadakan demonstrasi karena belum tentu
aspirasi mereka ditampung serta ditindaklanjuti oleh pihak pemerintah desa.
Pengusaha lokal yang mengikuti demonstrasi adalah pengusaha yang rata-rata
telah lebih dari sepuluh tahun membuka Usaha Mikro sepatu/sandal di Desa
Kotabatu. Berikut Tabel 13 yang menunjukkan respons responden terhadap
pengusaha pendatang.
Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan respons terhadap
pengusaha pendatang
Respons Jumlah
n %
Negatif 11 22.0
Positif 39 78.0
Total 50 100.0
Tabel 13 menunjukkan bahwa sebanyak 78 persen responden memiliki
respons yang positif mengenai keberadaan pengusaha pendatang. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun secara tersirat responden kurang menyukai
keberadaan pengusaha pendatang namun sebagian besar mereka memiliki respons
yang baik terhadap keberadaan pengusaha pendatang. Responden menerima
kehadiran pengusaha pendatang dari segi cara berdagang namun tidak menerima
sifat pengusaha pendatang. Pengusaha lokal hanya memiliki respons positif yaitu
menerima kehadiran pengusaha pendatang. Pengusaha lokal dapat menerima
kemudahan akibat kehadiran pengusaha pendatang yaitu lebih mudah
mendapatkan bahan baku tersebut sehingga menguntungkan dari segi materi dan
waktu. Salah satu responden menyatakan bahwa meskipun mereka merasa
tersaingi namun mempermudah dalam akses bahan baku seperti berikut:
“Sebenernya sih yah adanya mereka ya nambah saingan, tapi
semenjak mereka banyak yang pindah kesini jadi banyak orang yang
buka usaha sepatu. Toko bahan sama grosir sepatu jadi banyak yang
buka disini jadinya kan kita kalau mau nyari bahan-bahan gampang,
gak usah jauh-jauh ke pasar. Jadi ya menurut saya kita mau gak suka
juga tapi sebenarnya dipermudah akibat keberadaan mereka, terlebih
buat yang suka pinjem-pinjem modal jadi lebih gampang.” (EJ, 54
tahun)
Responden yang menyatakan hal seperti EJ tersebut tidak banyak namun
responden lain cenderung menyangkal bahwa dengan adanya pengusaha
pendatang di Desa Kotabatu ternyata dapat mempermudah akses mereka terhadap
bahan baku serta mempersingkat waktu dalam membeli dan mengirimkan barang
karena grosir sudah ada di desa ini. Hal yang tidak dipungkiri oleh responden
54
adalah mereka menjadi lebih mudah memperoleh bantuan modal karena
pengusaha pendatang ada pula yang menawarkan bantuan bila ingin bekerja sama
dengan mereka.
55
HUBUNGAN KARAKTERISTIK RESPONDEN DAN
TINGKAT PENGALAMAN DENGAN PERSEPSI
Hubungan Karakteristik Responden dengan Persepsi
Hubungan Jenis Kelamin dengan Persepsi
Jenis kelamin diduga memiliki hubungan dengan persepsi mengenai cara
berdagang. Perempuan diduga akan memiliki persepsi yang negatif terhadap
pengusaha pendatang mengenai cara berdagang. Hal ini dikarenakan perempuan
biasanya lebih menggunakan perasaan dalam mempersepsi seseorang. Sedangkan
laki-laki diduga akan memiliki persepsi yang lebih positif. Berikut tabel yang
menjelaskan hubungan antara jenis kelamin dengan persepsi.
Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis kelamin dan
persepsi
Jenis Kelamin
Persepsi terhadap pengusaha pendatang Total
Bukan entrepreneur Entrepreneur
n % n % n %
Perempuan 5 27.8 11 34.4 16 32.0
Laki-laki 13 72.2 21 65.6 34 68.0
Total 18 100.0 32 100.0 50 100.0
Responden penelitian ini berjumlah 50 orang pengusaha lokal yang terdiri
dari 16 orang berjenis kelamin perempuan dan 34 orang berjenis kelamin laki-
laki. Tabel 14 menunjukkan bahwa responden berjenis kelamin perempuan yang
mempersepsikan pengusaha pendatang bukan entrepreneur sebanyak 5 orang
(27.8%) dan 11 orang (34.4%) yang mempersepsikan pengusaha pendatang
adalah entrepreneur. Responden berjenis kelamin laki-laki yang memiliki
mempersepsikan pengusaha pendatang bukan entrepreneur sebanyak 13 orang
(72.2%) dan 21 orang (65.6%) yang mempersepsikan entrepreneur. Berdasarkan
data tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin
dengan persepsi terhadap pengusaha pendatang.
Hasil dari pengolahan data SPSS menunjukkan bahwa tidak ada korelasi
antara jenis kelamin dengan persepsi terhadap pengusaha pendatang. Korelasi
antara jenis kelamin dengan persepsi yaitu sangat lemah dan tidak searah yaitu
sebesar -0.068 dengan nilai p (0.639) > alpha 10 persen yang artinya korelasi
tidak signifikan. Responden cenderung memiliki persepsi yang positif sehingga
persepsi tidak bergantung pada jenis kelaminnya.
Berdasarkan hasil yang didapat jelas terlihat bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara jenis kelamin dengan persepsi. Hal ini menunjukkan bahwa
jenis kelamin apapun dapat memiliki persepsi baik positif maupun negatif. Namun
persepsi yang muncul lebih banyak yang mempersepsikan pengusaha pendatang
adalah entrepreneur sehingga tidak terlihat jelas perbedaan antara jenis kelamin
yang melihat pengusaha secara positif atau negatif.
56
Hubungan Umur dengan Persepsi
Umur responden dibagi ke klasifikasi tua dan muda berdasarkan data emik.
Responden termasuk muda bila umur mereka kurang dari 41 tahun dan dikatakan
tua bila umur mereka dari 41 tahun ke atas. Umur responden diduga memiliki
hubungan dengan persepsi yang muncul. Berdasarkan penelitian yang dilakukan,
hubungan antara umur dengan persepsi tertuang pada tabel berikut.
Tabel 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan umur dan persepsi
Umur
Persepsi terhadap pengusaha pendatang Total
Bukan entrepreneur Entrepreneu
n % n % n %
Muda 5 27.8 18 56.2 23 46.0
Tua 13 72.2 14 43.8 27 54.0
Total 18 100.0 32 100.0 50 100.0
Tabel 15 memperlihatkan jumlah dan persentase persepsi responden
berdasarkan umurnya. Responden penelitian ini terdiri dari umur muda dan umur
tua. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang berumur muda
yang mempersepsikan pengusaha pendatang bukan entrepreneur sebanyak 5 orang
(27.8%) dan sebanyak 18 orang (56.2%) yang mempersepsikan pengusaha
pendatang adalah entrepreneur. Berbeda dengan responden yang berumur muda,
pada responden yang berumur terdapat 13 orang (72.2%) yang memiliki
mempersepsikan pengusaha pendatang bukan entrepreneur dan 14 orang (43.8%)
yang mempersepsikan pengusaha pendatang adalah entrepreneur.
Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman, didapatkan nilai koefisien
korelasi antara umur dengan persepsi sebesar -0.274 sehingga dapat dikatakan
bahwa terdapat korelasi antara umur dengan persepsi namun korelasi antara umur
dengan cukup dan tidak searah. Sedangkan nilai p (0.054) > alpha 10 persen yang
artinya korelasi antara umur dengan persepsi tidak signifikan.
Hal ini menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap pengusaha
pendatang tidak bergantung pada umurnya. Meskipun terdapat kecenderungan
responden umur muda lebih mempersepsikan pengusaha pendatang secara positif
dan responden umur tua cenderung mempersepsikan pengusaha pendatang secara
negatif namun hubungan tersebut tidak cukup kuat menggambarkan hubungan.
Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Persepsi Tingkat pendidikan diduga berhubungan dengan persepsi. Diduga tingkat
pendidikan responden yang tinggi akan menghasilkan persepsi terhadap
pengusaha pendatang yang positif. Tingkat pendidikan dibagi ke dalam dua
klasifikasi yaitu rendah dengan tinggi. Tingkat pendidikan termasuk rendah bila
responden tidak sekolah hingga tamat Sekolah Menengah Pertama dan termasuk
tingkat pendidikan tinggi bila responden pernah atau lulus Sekolah Menengah
Atas. Berikut merupakan tabel yang menunjukkan ada atau tidaknya hubungan
antara tingkat pendidikan dengan persepsi terhadap pengusaha pendatang.
57
Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan
persepsi
Tingkat
pendidikan
Persepsi terhadap pengusaha pendatang Total
Bukan entrepreneur Entrepreneur
n % n % n %
Rendah 17 94.4 26 81.2 43 86.0
Tinggi 1 5.6 6 18.8 7 14.0
Total 18 100.0 32 100.0 50 100.0
Tabel 16 menunjukkan hasil bahwa responden yang tingkat pendidikannya
tinggi lebih sedikit yang mempersepsikan pengusaha pendatang buka
entrepreneur. Di tingkat pendidikan rendah, terdapat 17 orang (94.4%) responden
yang memiliki mempersepsikan pengusaha pendatang bukan entrepreneur dan 26
orang (81.2%) responden yang mempersepsikan bahwa pengusaha pendatang
adalah entrepreneur. Responden yang tingkat pendidikan tinggi terdapat 1 orang
(5.6%) yang mempersepsikan pengusaha pendatang bukan entrepreneur yaitu
pengusaha yang tertutup sedangkan 6 orang lainnya (18.8%) mempersepsikan
bahwa pengusaha pendatang adalah entrepreneur. Hal ini menunjukkan bahwa
tidak terlihat hubungan yang jelas antara tingkat pendidikan responden dengan
persepsi yang muncul terhadap pengusaha pendatang.
Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman yang dilakukan, didapatkan
nilai koefisien korelasi sebesar 0.183. Hal ini berarti tidak terdapat korelasi antara
tingkat pendidikan dengan persepsi. Korelasi tersebut sangat lemah dan searah
dengan nilai p (0.205) > alpha 10 persen. Artinya korelasi antara tingkat
pendidikan dengan persepsi tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi
yang muncul pada responden tidak bergantung dengan tingkat pendidikan
responden. Tingkat pendidikan baik tinggi maupun rendah sama-sama dapat
menghasilkan persepsi apapun. Responden yang tingkat pendidikannya rendah
lebih banyak yang memiliki mempersepsikan pengusaha pendatang bukan
entrepreneur dibandingkan dengan responden yang tingkat pendidikannya tinggi.
Selain itu responden yang tingkat pendidikannya rendah pula lebih banyak yang
mempersepsikan pengusaha pendatang adalah entrepreneur daripada responden
yang memiliki tingkat pendidikan tinggi.
Hubungan Lokalit/Kosmopolit dengan Persepsi
Tingkat kosmopolit merupakan seberapa jauh tingkat keterdedahan
masyarakat dengan lingkungan luar. Semakin terdedah masyarakat dengan
informasi, media dan terdapat keragaman budaya maka dapat dikatakan
masyarakat termasuk kosmopolit. Masyarakat yang terpaku hanya pada
budayanya serta kurang terdedah informasi dan media makan termasuk masyarakt
yang lokalit. Berikut merupakan tabel yang menggambarkan jumlah dan
persentase persepsi responden berdasarkan lokalit/kosmopolit.
58
Tabel 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan lokalit/kosmopolit dan
persepsi
Lokalit/
Kosmopolit
Persepsi terhadap pengusaha pendatang Total
Bukan entrepreneur Entrepreneur
n % n % n %
Lokalit 15 83.3 24 75.0 39 78.0
Kosmopolit 3 16.7 8 25.0 11 22.0
Total 18 100.0 32 100.0 50 100.0
Tabel 17 menunjukkan bahwa responden yang lokalit terdapat 15 orang
(83.3%) yang mempersepsikan pengusaha pendatang bukan entrepreneur
(persepsi negatif) dan 24 orang (75.0%) responden yang mempersepsikan
pengusaha pendatang adalah entrepreneur (persepsi positif). Responden yang
kosmopolit terdapat 3 orang (16.7%) yang mempersepsikan pengusaha pendatang
bukan entrepreneur dan 8 orang (25.0%) responde yang mempersepsikan
pengusaha pendatang adalah seorang entrepreneur. Hal ini berarti bahwa tidak
terlalu jelas terlihat hubungan antara skala usaha dengan persepsi yang muncul.
Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman menunjukkan bahwa tidak
terdapat korelasi antara skala usaha dengan persepsi. Korelasi antara skala usaha
dengan persepsi sebesar 0.097 yaitu sangat lemah dan searah dengan nilai p
(0.505) > alpha 10 persen yang artinya korelasi tidak signifikan. Hal ini berarti
bahwa korelasi lokalit/kosmopolit dengan persepsi tidak kuat dengan hubungan
yang tidak signifikan. Artinya hubungan antara keduanya lemah. Persepsi yang
mucul tidak bergantung pada tingkat keterdedahan serta keberagaman budaya
responden. Baik responden yang memiliki lokalit maupun yang kosmopolit sama-
sama lebih banyak yang mempersepsikan bahwa pengusaha pendatang adalah
pengusaha yang entrepreneur.
Hubungan Tingkat Pengalaman dengan Persepsi
Tingkat pengalaman dengan pengusaha pendatang diduga memiliki
hubungan dengan persepsi terhadap pengusaha pendatang. Diduga bahwa tingkat
pengalaman yang tinggi cenderung akan menghasilkan persepsi yang positif
sedangkan tingkat pengalaman yang rendah akan mengasilkan persepsi yang
negatif. Tingkat pengalaman itu sendiri dibagi empat berdasarkan data yang
didapat dan dibagi berdasarkan skala pengukuran Bogardus. Respoden yang
memiliki tingkat satu pengalaman adalah responden yang bertemu dengan
pengusaha pendatang. Tingkat dua adalah responden yang memiliki hubungan
kerja sama dengan pengusaha pendatang. Tingkat tiga pengalaman adalah
responden memiliki pengalaman baik dan tidak pernah memiliki pengalaman
buruk dengan pengusaha pendatang. Terakhir adalah tingkat empat pengalaman
adalah responden memiliki hubungan yang baik dan tidak pernah memiliki
hubungan yang buruk dengan pengusaha. Berikut adalah tabel yang mejelaskan
mengenai jumlah dan presentase persepsi responden berdasarkan tingkat
pengalaman.
59
Tabel 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pengalaman dan
persepsi
Tingkat
pengalaman
Persepsi terhadap pengusaha pendatang Total
Bukan entrepreneur Entrepreneur
n % n % n %
Bertemu 1 5.6 3 9.4 4 8.0
Berhubungan baik 2 11.1 10 31.2 12 24.0
Pengalaman baik 8 44.4 19 59.4 27 54.0
Bekerja sama 7 38.9 0 0 7 14.0
Total 18 100.0 32 100.0 50 100.0
Tabel 18 menunjukkan bahwa pada tingkat 1 pengalaman yaitu pernah
bertemu dengan pengusaha pendatang terdapat 1 orang (5.6%) responden yang
mempersepsikan bahwa pengusaha pendatang buka entrepreneur (tidak memiliki
jiwa entrepreneur) dan 3 orang (9.4%) yang mempersepsikan bahwa pengusaha
pendatang adalah entrepreneur. Pada tingkat pengalaman 2 yaitu berhubungan
baik dengan pengusaha pendatang terdapat 2 orang (11.1%) responden yang
memiliki persepsi negatif (pengusaha pendatang bukan entrepreneur) dan 10
orang (31.2%) responden yang memiliki persepsi positif. Responden yang
memiliki pengalaman baik dengan pengusaha pendatang sebanyak 8 orang
(44.4%) mempersepsikan bahwa pengusaha pendatang bukan entrepreneur dan 19
orang (59.4%) mempersepsikan bahwa pengusaha pendatang adalah entrepreneur.
Seluruh responden yang pernah bekerja sama dengan pengusaha pendatang
sebanyak 7 orang (38.9%) menyatakan bahwa pengusaha pendatang tidak
memiliki jiwa entrepreneur.
Responden yang lebih banyak mempersepsikan bahwa pengusaha pendatang
tidak memiliki jiwa entrepreneur tinggi adalah responden yang tingkat
pengalamannya berada pada tingkat 3 yaitu hanya sampai pernah memiliki
pengalaman baik (tidak pernah memiliki pengalaman buruk) dengan pengusaha
pendatang. Selanjutnya responden yang lebih banyak mempersepsikan bahwa
pengusaha pendatang memiliki jiwa entrepreneur yang tinggi adalah responden
yang berada di tingkat 3 juga. Pada tingkat pengalaman pernah bekerja sama
dengan pengusaha pendatang responden memiliki persepsi negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengalaman responden dengan
pengusaha pendatang responden cenderung mempersepsikan bahwa pengusaha
pendatang bukan seorang entrepreneur (persepsi neggatif). Responden yang lebih
banyak pengalaman berinteraksi dengan pengusaha pendatang lebih mengenal
sifat dan karakter dari pengusaha pendatang sehingga mereka akan lebih banyak
pengetahuan mengenai pengusaha pendatang.
Berdasarkan hasil dari olah data SPSS menunjukkan bahwa terdapat
korelasi antara tingkat pengalaman dengan persepsi terhadap pengusaha
pendatang. Korelasi antara tingkat pengalaman dengan persepsi tersebut sebesar -
0.424 yang berarti korelasi cukup dan tidak searah dengan nilai p (0.002) > alpha
10 persen yang artinya bahwa korelasi signifikan. Hal ini membuktikan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengalaman dengan persepsi.
Artinya persepsi terhadap pengusaha pendatang ditentukan oleh tingkat
60
pengalaman responden dengan pengusaha pendatang. Dapat dikatakan bahwa
semakin tinggi tingkat pengalaman responden maka responden cenderung akan
mempersepsikan secara negatif mengenai pengusaha pendatang. Hal ini karena
semakin banyak pengalaman maka semakin responden mengenal sosok pengusaha
pendatang yang beragam sehingga persepsinya akan lebih jamak. Persepsi yang
muncul tidak begitu baik karena responden yang memiliki banyak pengalaman
akan membandingkan beberapa pengusaha pendatang sehingga tidak akan
mempersepsikan terlalu baik.
61
HUBUNGAN PERSEPSI DENGAN RESPONS TERHADAP
PENGUSAHA PENDATANG
Respons terhadap pengusaha pendatang dapat dilihat berdasarkan jawaban
responden mengenai pendapatnya apakah menerima kehadiran pengusaha
pendatang atau tidak serta pertanyaan mengenai keterlibatan responden dalam
demonstrasi. Demonstrasi yang dimaksud adalah penyaluran aspirasi pengusaha
lokal mengenai keberatannya terhadap pengusaha pendatang yang semakin
banyak datang ke Desa Kotabatu dan membuka usaha yang sama dengan
pengusaha lokal. Hal ini merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh
pengusaha lokal agar mendapatkan perhatian pemerintah serta mendapatkan
keadilan. Demonstrasi itu sendiri telah terjadi cukup lama namun hingga saat ini
belum terlalu dihiraukan dengan jelas tentang posisi pemerintahan desa dalam
masalah ini.
Pemerintah desa telah memberikan peraturan bahwa pengusaha pendatang
boleh membuka usaha di Desa Kotabatu dengan syarat harus dengan persetujuan
ketua rukun tetangga, rukun warga, serta warga sekitar rumahnya. Serta
pemerintah pula mengimbau bahwa pengusaha pendatang dibolehkan membuka
bengkel sepatu/sandal asalkan lokasinya tidak berada pada perkampungan warga
sehingga hanya boleh di perumahan Paspampres. Warga memegang kebijakan
tersebut sehingga tidak ada pengusaha pendatang yang membuka bengkel
sepatu/sandal ke daerah perkampungan warga. Berikut Tabel 19 yang
menunjukkan jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi dan respons
terhadap pengusaha pendatang.
Tabel 19 Jumlah dan presentase responden berdasarkan persepsi dan respons
terhadap pengusaha pendatang
Persepsi terhadap
pengusaha
pendatang
Respons terhadap pengusaha pendatang Total
Negatif Positif
n % n % n %
Bukan entrepreneur 6 54.5 12 30.8 18 36.0
Entrepreneur 5 45.5 27 69.2 32 64.0
Total 11 100.0 39 100.0 50 100.0
Tabel 19 menunjukkan bahwa dari responden yang mempersepsikan bahwa
pengusaha pendatang bukan entrepreneur terdapat 6 orang (54.5%) memiliki
respons yang negatif dan 12 orang (30.8%) memiliki respons positif. Selain itu
ada 5 orang (45.5%) responden yang mempersepsikan pengusaha pendatang
memiliki jiwa entrepreneur memiliki respons negatif dan 27 orang (69.2%)
responden lainnya memiliki respons positif. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
korelasi sangat lemah antara persepsi dengan respons terhadap pengusaha
pendatang. Persepsi terhadap pengusaha pendatang yang positif maka responsnya
mengenai hal tersebut akan positif pula. Namun hubungan ini tidak terlalu terlihat
jelas.
Berdasarkan hasil uji statistik Rank Spearman menunjukan bahwa terdapat
korelasi yang sangat lemah antara persepsi dengan respons. Korelasi antara
62
persepsi dengan respons tersebut sebesar 0.205 dengan koefisien signifikansi p
(0.428) > alpha 10 persen. Hal ini membuktikan bahwa korelasi antara persepsi
dengan respons sangat lemah dan searah namun korelasi tersebut tidak signifikan.
Artinya respons yang mucul dari responden tidak bergantung pada persepsi
responden.
Persepsi yang positif cenderung akan menghasilkan respons yang positif
pula mengenai pengusaha pendatang. Hal ini dikarenakan persepsi responden
yang positif menandakan cara pandang mengenai pengusaha pendatang juga lebih
positif sehingga respons pada pengusaha pendatang lebih positif. Responden yang
mempersepsikan negatif mengenai pengusaha pendatang cenderung memiliki
respons yang negatif pula. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
lemah antara persepsi dengan respons namun tidak kuat. Hubungan tidak kuat
dikarenakan baik persepsi responden positif ataupun negatif tidak menentukan
respons responden terutama responsnya di tingkat penerimaan. Pada tingkat
penerimaan terlihat bahwa sebagian besar responden pernah memiliki kegiatan
bersama di masyarakat dan tidak mengikuti demonstrasi sehingga respons
responden cenderung positif terhadap keberadaan pengusaha pendatang. Sesuai
yang diutarakan oleh salah satu responden sebagai berikut:
“Sebenernya ya sekarang saya suka-suka aja soalnya memang gak
punya masalah pribadi sama orang-orang itu. Misalnya mau nolak
mereka disini pun gak bisa toh mereka juga kan gak gratis tinggal di
desa ini.” (ST, 35 tahun)
Hal tersebut memperjelas hasil yang didapat bahwa respons responden tidak
bergantung pada persepsi mereka terhadap pengusaha pendatang. Persepsi
responden baik positif ataupun negatif tetap lebih banyak yang memiliki respons
positif. Hal ini dikarenakan penerimaan responden terhadap pengusaha pendatang
sudah termasuk tinggi. Responden pula tidak banyak yang mengikuti demonstrasi
karena merasa rezeki mereka tidak akan tertukar sehingga mau sebanyak apapun
saingan usaha namun mereka akan tetap bisa mendapatkan rezeki. Hal ini seperti
yang dikatakan oleh YS (42 tahun) sebagai berikut:
“Alhamdulillah neng, saya mah bersyukur aja. Rezeki kan udah ada
yang ngatur jadi kita tinggal usaha saja sebisanya pasti ada jalan.
Gak usah terlalu mikirin orang lain yang bisa ngehambat usaha kita
yang ada mah malah kita gak maju-maju.” (YS, 42 tahun)
Responden cenderung lebih menerima pengusaha pendatang dan beradaptasi
dengan persaingan usaha yang semakin ketat. Pengusaha lokal telah mengetahui
bahwa bila sikap mereka tidak terbuka pada perubahan maka usaha mereka tidak
akan maju. Hal ini yang menyebabkan respons mereka terhadap pengusaha
pendatang cenderung positif sehingga tidak terbukti bahwa persepsi negatif akan
menghasilkan respons yang negatif pula.
63
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Karakteristik pengusaha lokal tidak memiliki hubungan dengan persepsi
terhadap pengusaha pendatang. Tingkat pengalaman memiliki hubungan yang
signifikan dengan persepsi. Responden yang memiliki tingkat pengalaman
tinggi cenderung mempersepsikan pengusaha pendatang adalah entrepreneur.
Pengusaha lokal memiliki mempersepsikan bahwa pengusaha pendatang
memiliki cara berdagang yang strategis, kualitas produk yang bermutu dan
bersaing, serta budaya kerja yang ulet. Pengusaha lokal mempersepsikan
bahwa pengusaha pendatang adalah seorang entrepreneur. Pengusaha lokal
pula mempersepsikan bahwa pengusaha pendatang adalah pengusaha yang
sukses tapi tertutup.
2. Respons dilihat berdasarkan tingkat penerimaan, pengusaha lokal memiliki
tingkat penerimaan yang tinggi yaitu telah sampai memiliki kegiatan bersama
di dalam masyarakat. Respons juga dilihat berdasarkan keterlibatan pengusaha
lokal dalam demonstrasi namun tidak banyak pengusaha lokal yang terlibat
dalam demonstrasi tersebut. Persepsi memiliki hubungan yang lemah dengan
respons terhadap pengusaha pendatang. Pengusaha lokal cenderung menerima
pengusaha pendatang namun hanya cara berdagangnya saja karena pengusaha
pendatang tidak bisa menerima sifat pengusaha pendatang.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat disampaikan adalah:
Perlu adanya organisasi yang menghimpun baik pengusaha lokal maupun
pengusaha pendatang yang berada di Desa Kotabatu. Organisasi tersebut berguna
untuk menjalin komunikasi yang baik antar pengusaha sehingga diantara
pengusaha tersebut terdapat keterbukaan. Hal ini dapat membuka peluang antar
sesama pengusaha untuk bekerja sama serta membentuk jaringan kerja.
64
65
DAFTAR PUSTAKA
Aronson E, Wilson TD, Akert RM. 2005. Social Psychology 5th
Edition. New
Jersey (US): Pearson Educatin, Inc. 656 hal.
Baron RA, Byrne D. 2004. Psikologi Sosial Jilid 1. Edisi Kesepuluh. Djuwita R,
Parman MM, Yasmina D, Lunanta LP, penerjemah; Kristiaji WC, Medya R,
editor. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Social Psychology 10th
Edition. 307 hal.
[BPMPD] Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Kabupaten
Bogor. 2010. Data Potensi Desa dan Kelurahan Kecamatan Ciomas Desa
Kotabatu. Bogor (ID): Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah
Desa Kabupaten Bogor.
Departemen Koperasi. 2010. Berita. [internet]. [diunduh pada 20 Juli 2014].
Tersedia pada: www.depkop.go.id
Devanti AP. 2013. UKM Indonesia vs Pedagang Tionghoa di Indonesia. Jurnal
Akuntansi. [internet]. [diunduh pada 16 Desember 2013]. 1 (2). Tersedia
pada: http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-akuntansi/article/viewFile/719/503
Gudykunst WB. 2003. Cross-Cultural and Intercultural Communication.
California [US]: Sage Publications, Inc.
Indrahti S. 2013. Potret Jiwa Kewirausahaan Pengusaha Kerajinan Ukir Jepara.
Jurnal Humanika. [internet]. [diunduh pada 2 Januari 2014]. Tersedia pada:
http://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/ view/5950/5102
Nagel PJF. 2013. Studi Eksploratori Pola Atribusi Keberhasilan dan Kegagalan
Bisnis: Sebuah Persepsi dari Pengusaha Kecil dan Mikro Pribumi dan
Tionghoa di Surabaya. Di dalam: Nagel PJF, editor. Peran Perbankan
Syariah dalam Penguatan Kapasitas UMKM Menuju Kemandirian Ekonomi
Nasional. Proceeding Seminar Nasional dan Call for Papers Sancall 2013.
[internet]. 2013 Maret 23. Surakarta (ID): Universitas Katolik Widya
Mandala Surabaya. hlm 245-255; [diunduh pada 12 Desember 2013].
Tersedia pada:
http://publikasiilmiah.ums.ac.id:8080/xmlui/bitstream/handle/123456789/3821/22.%20P.%20Ju lius%20Nagel.pdf?sequence=1
Rahman AA. 2013. Psikologi Sosial: Integrasi Pengetahuan Wahyu dan
Pengetahuan Empirik. Depok (ID): PT RAJAGRAFINDO PERSADA.
Rakhmat J. 2004. Psikologi Komunikasi. Bandung (ID): PT. Remaja Rosdakarya
Setiyadi H. 2008. Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Kecil (Studi Kasus
Desa Sendang Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara). [tesis].
[internet]. [diunduh pada 28 November 2013]. Semarang (ID): Universitas
Diponegoro. 110 hal. Tersedia pada: http://eprints.undip.ac.id/17604/
Siregar WR. 2008. Persepsi Pekerja Industri Skala Kecil Tentang Pendidikan
(Kasus: RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor).
[skripsi]. [internet]. [diunduh pada 21 Oktober 2013]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor. 132 hal. Tersedia pada:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/3003
66
Sriyana J. 2010. Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM):
Studi Kasus di Kabupaten Bantul. Di dalam: Sriyana J. [tidak diketahui].
Simposium Nasional 2010: Menuju Purworejo Dinamis dan Kreatif.
[internet]. [diunduh pada 13 Februari 2014]. Tersedia pada:
http://dppm.uii.ac.id/dokumen/dikti/files/DPPM-UII_09._79-
103_STRATEGI_PENGEMBANGAN_USAHA_KECIL_DAN_MENENG
AH_%28UKM%29.pdf
Tambunan TTH. 2012. Peluang, Tantangan dan Ancaman Bagi UMKM Indonesia
dalam Era AFTA dan ME-ASEAN 2015. Di dalam: Tambunan TTH, editor.
Buku Seminar dan Konferensi Nasional Magister Manajemen Universitas
Muria Kudus. Prosiding Seminar & Konferensi Nasional Manajemen
Bisnis: Memberdayakan UMKM dalam Meningkatkan Kesejahteraan
Masyarakat Menghadapi Persaingan Global.[internet]. 2012 Mei 26.
[tempat terbit dan nama penerbit tidak diketahui]. hlm 1-14; [diunduh pada
28 November 2013]. Tersedia pada: http://eprints.umk.ac.id/279/
Taylor SE, Peplau LA, Sears DO. 2009. Psikologi Sosial. Wibowo T, penerjemah.
Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Grup. Terjemahan dari: Social
Psychology edisi 12.
65
LAMPIRAN
Lampiran 1 Sketsa Desa Kotabatu, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat
66
67
Lampiran 2 Dokumentasi Penelitian
68
Lampiran 3 Hasil Uji SPSS
Correlations
Jenis_Kelamin Persepsi
Spearman's rho Jenis_Kelamin Correlation Coefficient 1.000 -.068
Sig. (2-tailed) . .639
N 50 50
Persepsi Correlation Coefficient -.068 1.000
Sig. (2-tailed) .639 .
N 50 50
Correlations
Umur Persepsi
Spearman's rho Umur Correlation Coefficient 1.000 -.274
Sig. (2-tailed) . .054
N 50 50
Persepsi Correlation Coefficient -.274 1.000
Sig. (2-tailed) .054 .
N 50 50
Correlations
Tingkat_Pendidikan Persepsi
Spearman's rho Tingkat_Pendidikan Correlation Coefficient 1.000 .183
Sig. (2-tailed) . .205
N 50 50
Persepsi Correlation Coefficient .183 1.000
Sig. (2-tailed) .205 .
N 50 50
Correlations
Kosmopolit Persepsi
Spearman's rho Kosmopolit Correlation Coefficient 1.000 .097
Sig. (2-tailed) . .505
N 50 50
Persepsi Correlation Coefficient .097 1.000
Sig. (2-tailed) .505 .
N 50 50
Correlations
69
Tingkat_Pengalaman Persepsi
Spearman's rho Tingkat_Pengalaman Correlation Coefficient 1.000 -.424**
Sig. (2-tailed) . .002
N 50 50
Persepsi Correlation Coefficient -.424** 1.000
Sig. (2-tailed) .002 .
N 50 50
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations
Persepsi Respons
Spearman's rho Persepsi Correlation Coefficient 1.000 .205
Sig. (2-tailed) . .153
N 50 50
Respons Correlation Coefficient .205 1.000
Sig. (2-tailed) .153 .
N 50 50
70
Lampiran 4 Pedoman Wawancara Mendalam
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM
PERSEPSI PENGUSAHA LOKAL TERHADAP PENGUSAHA
PENDATANG DALAM INDUSTRI KECIL SEPATU/SANDAL DESA
KOTABATU
1. Menurut bapak/ibu mengapa pengusaha-pengusaha yang berasal dari luar
desa berdatangan ke desa ini untuk membuka usaha sepatu/sandal yang sama
dengan anda?
2. Apakah pengusaha pendatang semakin banyak berdatangan ke desa ini?
3. Bagaimana cara bapak/ibu menghadapi kehadiran para pengusaha pendatang?
4. Bagaimana tanggapan bapak/ibu terhadap kedatangan pendusaha pendatang?
5. Apakah bapak/ibu mengetahui bagaimana para pengusaha pendatang bisa
mendapatkan order sepatu/sandal? Apakah mudah/lancar?
6. Menurut bapak/ibu apakah pengusaha pendatang lebih mendominasi industri
sepatu/sandal di desa ini?
7. Menurut bapak/ibu apa saja hambatan yang dirasakan setelah kehadiran
pengusaha pendatang?
8. Bagaimanakah dampak kehadiran pengusaha pendatang pada usaha anda?
9. Apakah pernah terjadi konflik antara bapak/ibu atau pengusaha lokal lain
dengan pengusaha pendatang?
10. Menurut bapak/ibu bagaimana upaya pemerintah dalam menyelesaikan
konflik yang pernah terjadi diantara pengusaha lokal dengan pengusaha
pendatang di desa ini?
71
72
Lampiran 5 Data responden
No. Nama Umur
1 Siti 35 tahun 26 Tikah 38 tahun
2 Ati 49 tahun 27 Rusban 42 tahun
3 Atang 32 tahun 28 Tini 35 tahun
4 Siti Suhaemi 28 tahun 29 Siti Amsiah 24 tahun
5 Supriatna 34 tahun 30 Usman 35 tahun
6 Fati 38 tahun 31 Yusuf Supriatna 42 tahun
7 Ela 42 tahun 32 Iyah 52 tahun
8 Alex 45 tahun 33 Depi 33 tahun
9 Ika Iskandar 28 tahun 34 Royani 56 tahun
10 Enjang 54 tahun 35 Ruslan 40 tahun
11 Ridwan 39 tahun 36 Sofyan 45 tahun
12 Supendi 53 tahun 37 Rahmat 38 tahun
13 Hendra 33 tahun 38 Fatimah 40 tahun
14 Heni 29 tahun 39 Neneng 38 tahun
15 Agus 34 tahun 40 Kusnandar 46 tahun
16 Roni 33 tahun 41 Andri 25 tahun
17 Odang 44 tahun 42 Rianto 52 tahun
18 Sunarsih 44 tahun 43 Sopiah 46 tahun
19 Sugandi 51 tahun 44 Hasan Basri 50 tahun
20 Endang 42 tahun 45 Atang Solihin 65 tahun
21 Kusnadi 42 tahun 46 Irwan Gunawan 41 tahun
22 Sukma 48 tahun 47 Wasim 44 tahun
23 Dadang 38 tahun 48 Emi 40 tahun
24 Ali 45 tahun 49 Mulya 42 tahun
25 Teti 43 tahun 50 Endang Mahmud 53 tahun
73
74
RIWAYAT HIDUP
Fauziah Zurriyatina dilahirkan di Bogor pada tanggal 27 Januari 1992.
Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan Saepuloh dan Aah Thahirrah.
Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-Kanak Insan Kamil pada tahun
1996-1998, kemudian melanjutkan di Sekolah Dasar Negeri Gunung Batu 01
Bogor pada tahun 1998-2004, Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Bogor tahun
2004-2007, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Bogor tahun 2007-2010. Pada
tahun 2010, penulis melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor melalui
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas Ekologi Manusia, Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarkat.
Selama penulis menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di
kegiatan organisasi di Institut Pertanian Bogor. Penulis merupakan anggota dari
Unit Kegiatan Mahasiswa Paduan Suara Mahasiswa Agria Swara. Selama satu
tahun kepengurusan, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa IPB Agria
Swara sebagai kepala divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia periode 2012.
Penulis juga pernah mendapatkan prestasi di bidang seni vokal pada acara IPB Art
Cotest (IAC). Pada tahun 2012 menjadi Juara 2 Lomba Solo Vokal Seriosa dan
Juara 2 Lomba Vokal Grup. Pada tahun 2013 menjadi Juara 2 Lomba Vokal Grup
pada acara yang sama. Hingga saat ini penulis menjadi guru bimbingan belajar di
Sakura Learning Center. Mengajar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam,
Matematika, dan Bahasa Indonesia di tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah
Menengah Pertama.