Post on 04-Oct-2021
Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain”
Kajian Eksistensialisme Religius Menurut Emmanuel Levinas
Tennie Marlim & Dr. Vincentius Y. Jolasa, Ph. D1
Program Studi Filsafat
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
ABSTRAK
Nama : Tennie Marlim
Program Studi : Filsafat
Judul : Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” : Kajian Eksistensialisme Religius
Menurut Emmanuel Levinas
Skripsi ini merupakan analisis tentang pemikiran etika Emmanuel Levinas, seorang tokoh
yang memberikan pandangan berbeda tentang relasi antar manusia. Dasar dari konsep etika
Levinas adalah pejumpaan dengan wajah Yang Lain. Wajah yang dimaksud oleh Levinas
bukan merupakan bentuk fisik dimana terdapat mata, hidung, dan telinga, melainkan cara
dimana Yang Lain menampakan dirinya melampaui kemampuan subjek untuk
mentematisasinya. Penampakan akan wajah oleh Levinas disebut sebagai sebuah epifani,
yaitu manifestasi tiba-tiba atas makna realitas tertentu. Wajah selalu menolak usaha
penyerapan oleh pemikiran untuk dijadikan isi. Oleh karena itulah, wajah membawa kita
melampaui Ada. Wajah adalah personifikasi sebagai yang miskin, janda, yatim piatu, dan
orang asing. Semua figur itu menyiratkan fakta tentang suatu kejadian etis. Subjek menjadi
pengganti untuk Yang Lain tanpa memikirkan dampak pada dirinya sendiri. Hal ini
merupakan sebuah tanggung jawab murni yang lahir dari perjumpaan dengan wajah Yang
Lain. Pemikiran Levinas ini mendobrak relasi subjek – objek, menjadi subjek – subjek.
Kata kunci : wajah Yang Lain, asimetris, subjek – subjek, epifani, pengganti, tanggung jawab
1 Tennie Marlim adalah mahasiswa program studi Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia yang telah mempertahankan skripsinya di hadapan Dewan Penguji dalam sidang skripsi tanggal 15
Juli 2013. Vincentius Y. Jolasa adalah Dosen Program Studi Filsafat yang memberikan bimbingan kepada
Tennie Marlim dalam menulis skripsi yang berjudul “Perjumpaan dengan Wajah Yang Lain: Kajian
Eksistensialisme Religius Menurut Emmanuel Levinas”. Tulisan ini merupakan Ringkasan dari skripsi yang
dimaksud.
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
ABSTRACT
Name : Tennie Marlim
Major : Philosophy
Title : Encounter with “The Other’s Face”: The Study of Religious Eksistensialism
According to Emmanuel Levinas.
This thesis analyses the ethics thinking of Emmanuel Levinas, a philosopher who gave a
different view about human relationship. The base of Levinas’ ethics is the encounter with
The Other’s face. The meaning of The Other’s face is not the physical forms of eyes, nose,
and ears, but a way in which The Other shows itself beyond the capability of a subject to
characterize it. The discovery of the face, by Levinas is called an epiphany, that is the sudden
manifestation of a particular meaning of reality. The face always rejects the attempt of
absorptution by thought to become content. Because of that, the face brings us to go beyond
being. The face is the personification of the poor, widows, orphans and strangers. All those
figures hint us to an ethical occurrence. Subject becomes the substitution for The Others
without thingking of the consequences onto itself. This is a responsibility that comes from
encounter with The Other’s face. Levinas thought broke the subject-object relation, to become
subject-subject relation.
Key words : The Other’s face, asimetric, subject-subject, epiphany, substitution,
responsibility
A. Pendahuluan
Permasalahan kemanusiaan selalu menjadi isu yang menarik untuk dibicarakan. Begitu
banyak nilai-nilai kemanusiaan yang dicetuskan oleh berbagai pemikir pada jaman yang
berbeda. Nilai-nilai ini bukan hanya mampu mempengaruhi kelangsungan hidup umat
manusia, namun juga mampu melahirkan sesuatu yang selalu hidup dalam setiap pemikiran,
kajian, dan tindakan praktis dari masa ke masa. Nilai-nilai kemanusiaan selalu diidamkan oleh
setiap manusia dalam menciptakan sebuah tatanan teratur, dinamis, dan progresif. Sebuah
tatanan kehidupan yang pada dasarnya menekankan pada perdamaian dan keadilan.
Keberadaan nilai kemanusiaan ini diharapakan bukan saja sebagai gambaran kondisi ideal
kehidupan, namun juga dapat diwujudkan ke dalam bentuk yang lebih nyata dalam setiap
aspek kehidupan umat manusia.
Namun demikian, pada kenyataannya kondisi ideal kehidupan manusia yang dicita-
citakan selama ini masih jauh dari harapan. Hal ini antara lain dikarenakan terbentuknya
pihak-pihak yang ingin menguasai (superior) dan pihak-pihak lain yang diposisikan sebagai
pihak yang dikuasai (imferior). Pada kondisi seperti ini, tindakan eksploitasi manusia
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
terhadap manusia lainnya kemudian dilegalkan oleh salah satu pihak. Kehidupan umat
manusia seolah dibentuk dalam isu-isu ketidaksederajatan antara manusia yang satu dengan
manusia yang lainnya.
Emmanuel Levinas adalah seorang filsuf yang beranggapan bahwa etika merupakan
filsafat awal. Etika adalah kekuatan positif yang melebihi kekuatan dari epistemologi dan
ontologi sebagai tujuan dan dasar filsafat. Dalam etika tradisional, terdapat banyak tuntutan
untuk berpartisipasi dalam proses pemberian tanggung jawab. Berpartisipasi berarti
bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukan atau dikatakan. Hal ini menjadi penting
ketika kita harus bertanggung jawab terhadap adanya Yang Lain. Yang Lain adalah subyek
sebagaimana diri kita yang harus bertanggung jawab. Bagi Emmanuel Levinas, tanggung
jawab dalam pengertian tradisional berhubungan dengan “menjawab” (EI, 1985: 98-99).
Meski agak terbatas, seorang dikatakan bertanggung jawab kepada orang lain jika ia mau
merespon atau memberi jawaban kepada orang lain. Ini lebih dari pada satu pemaknaan yang
digoreskan dalam sesuatu yang dikatakan.
Wajah2 atau Yang Lain adalah seruan etis yang jadi gugatan terhadap otonomiku sebagai
subjek sehingga aku menjadi imperative dan harus keluar dan terbuka dengan dunia di luar
diriku. Dalam fenomenologinya, Levinas hendak mengemukakan bahwa setiap manusia
berfilsafat tidak ditujukan untuk memikirkan sesuatu melainkan lebih dari pada itu kita
mengamati apa yang menunjukkan diri dan apa yang terjadi ketika kita bersama orang lain.
Kerangka “subjek-objek” didobraknya dan mengarahkan setiap manusia ke dalam relasi
“subjek-subjek”. Pengandaian ini membuka cakrawala baru melihat munculnya orang lain di
hadapan kita.
Rumusan masalah
1. Apakah yang dimaksud oleh Levinas tentang konsep etika?
2. Apakah yang dimaksud Levinas akan etika sebagai filsafat pertama yang selaras
dengan pemahaman tanggung jawab etis terhadap Yang Lain?
3. Bagaimanakah aplikasi serta pengaruh pemikiran Levinas terhadap permasalahan
kemanusiaan dalam usaha menciptakan keadilan dan perdamaian dalam kehidupan
manusia?
Tujuan penulisan
2 Wajah yang dimaksudkan disini adalah bukan bentuk fisik bagian tubuh manusia, namun melampaui
pemahaman itu yang akan dijelaskan pada bab 2.
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
1. Menjelaskan konsep pemikiran etika Emmanuel Levinas.
2. Menjelaskan inti dari pemikiran Levinas mengenai etika sebagai filsafat pertama.
3. Melihat hubungan antara pemikiran etika Levinas dengan permasalahan kemanusiaan
dalam usaha menciptakan keadilan dan perdamaian dalam kehidupan.
B. Tinjauan Teoritis
Emmanuel Levinas melengkapi pemikiran Heidegger dengan tanggung jawab terhadap
orang lain (The Other). Pemikirannya merupakan reaksi atas pemikiran modern yang
mengedepankan prinsip universalitas sehingga masa itu jatuh pada egologi. Ia mengkritik
pemikiran Descartes tentang cogito yang berkesadaran pada dirinya sehingga menjadikan
nuansa modern sebagai egologi. Cogito ergo sum itu harusnya diganti dengan Respondeo
ergo sum bahwa aku bertanggung jawab, jadi aku ada. (Bertens, 2006: 327) Selain itu, kondisi
jaman saat ia hidup yaitu pembantaian kemanusiaan terbesar oleh Nazi Jerman dan hampir
seluruh keluarganya dibunuh sehingga melatarbelakangi pembentukan pemikiran etika khas
Levinas.
Levinas adalah seorang fenomenolog. Ia terpengaruh oleh fenomenologi Husserl dalam
hal metode analisis lived experience (pengalaman fenomenologi di dalam horizon keseharian
subjek). Ini merupakan kebenaran universal atas semua pengalaman. Pengalaman manusia
tidak lagi dilihat sebagai pure cogito, melainkan sebagai sesuatu yang menjamah dunia nyata.
Metode fenomenologi memungkinkan kesadaran menjadi reflektif, berfungsi untuk mengenali
intensionalitas yang dapat mengarahkan objek sehingga memiliki keberartiannya. Bagi
Levinas, sebagai counter terhadap Husserlian, mengarah pada intensional non-representasi
yaitu pertemuan dengan manusia lain, sehingga konsep baru fenomenologi (visible) yang
menekankan pada metafisika (beyond-visible) menjadikannya gerbang menuju konsep etika.
Tulisan Levinas mengenai The Theory of Intuition dalam ranah pikiran Husserlian
dipengaruhi oleh Sein und Zeit karya Heidegger. Heidegger mengkritik ego transendental-nya
Husserl karena sebelumnya Husserl telah mengkritik Cartesian Meditation. Menurut
Heidegger, intensionalitas itu menghadirkan eksistensi yang bergerak dalam keberartiannya.
Intensionalitas bukan mengetahui tujuan manusia akibat perbuatan dan mengetahui tentang
akhir hidupnya melainkan eksistensi yang menandakan ia berada pada kecemasan dan
nothingness. Namun, selanjutnya ia tidak setuju pada Heidegger di mana filsafatnya masih
menjadikan situasi egologi pada saat ia mensubordinatkan relasi antara Yang Lain pada relasi
Being. Bila Heidegger memusatkan proyeknya pada ekistensialisme, Levinas lebih
mengarahkan proyeknya dalam responsibilitas untuk yang Lain. Salah satu inspirasinya
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
mengenai responsibilitas datang dari sastrawan Dostoyevski mengenai tanggung jawab
terhadap yang Lain di dalam novelnya yang berjudul Brother Karamazov bahwa “Kita semua
bertanggung jawab atas semua orang, tetapi Aku lebih bertanggung jawab daripada orang
lain.” (Sean, 1989: 2-4)
C. Metode Penelitian
Penulisan ini menggunakan metode penelitian kepustakaan. Data-data berupa teori
maupun teks bacaan diteliti dari sudut pandang filosofis. Di dalam penelitiannya maka
digunakan sebuah metode filosofis yaitu hermeneutika. Hermeneutika merupakan sarana
penting dalam menginterpretasi teks-teks di dalam buku Emmanuel Levinas. Metode
fenomenologi digunakan oleh peneliti sebagai live experience dan uji coba teori dalam
perbandingan. Hal ini ditempuh untuk mengkritisi kembali teori apakah relevan atau tidak
dengan realitas keseharian. Selain itu, penulis menggunakan metode dialektika. Metode
dialektika digunakan untuk membantu kerangka berpikir sistematis sehingga mendapatkan
sintesis berupa pernyataan tesis dan berguna di dalam merumuskan pemikiran kritis reflektif
sebagai relevansinya di dalam kehidupan keseharian
D. Pembahasan
Pengungkapan makna being sebagai being-for-the-other menjadi premis sekaligus
konklusi dari filsafat Levinas. Hal ini akan menjadi jelas jika kita mengikuti logika, bukan
hanya kronologi dari pemikirannya, jalan pemikirannya dari analisis ontologis subjek egois,
yang terpaku dengan dirinya sendiri, melalui solipsistic subjektivitas ditebus dengan
keterbukaan terhadap waktu dan infinity, untuk memilih etika yang unik yaitu menjadi eksis
bagi “Yang Lain”. (EN, 1999: xii) Ini merupakan sebuah persitiwa luar biasa dimana manusia
menjadi being yang sesungguhnya. Pada salah satu bukunya Levinas mengatakan bahwa
“Yang Lain” merupakan “very force and fact of the human”. (RB, 2001: 113)
Perhatian yang terbuka terhadap “Yang Lain” mencakup juga seluruh kebutuhan material.
“It is a matter eventually, of nourishing him, of clothing him.” (RB, 2001: 52) Levinas
menggunakan istilah substitusi untuk menjelaskan keadaan dimana kita dapat merasakan
penderitaan Yang Lain dalam diri kita. Menurutnya, tanggung jawab kita terhadap Yang Lain
sama dengan kesetiaan kita terhadap diri sendiri. (LR, 1989: 83) Pemahaman Levinas atas
etika bukan merupakan kondisi psikologis dimana rasa kasihan menduduki peranan besar.
(OB, 1981: 125) Etika menurutnya bukan pertimbangan emosi, dimana tanggung jawab untuk
orang lain merupakan hasil pilihan kita atas kebebasan yang kita miliki, tetapi merupakan
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
sebuah fenomena pasivitas (pre-contracted passivity), dimana mentakdirkan subjek untuk
bertanggung jawab terhadap Yang Lain dan tidak dapat lari darinya.
Pada buku The Cambridge Companion to Levinas, Critchley dan Bernasconi mengacu
pada ide besar Levinas, dimana banyak pemikir lainnya yang hanya terobsesi pada satu ide.
Keterbukaan kita akan ide besar Levinas justru membuat pemahaman kita akan filsafatnya
menjadi lebih dalam. Untuk memahami ide besar Levinas, kita akan memulai dengan
memahami riwayat Levinas serta tokoh-tokoh yang mempengaruhinya, dan membahas secara
singkat beberapa karya besarnya dalam usaha pemahaman akan konsep etikanya. Derrida
pada bukunya menuliskan tentang karya besar Levinas,
Totality and Infinity “the infinite insistence of waves on a beach: return and repetition,
always, of the same wave against the same shore, in which, however, as each return
recapitulates itself, it also infinitely renews and enriches itself” (Derrida, 1978: 312).
Pemikiran Levinas diibaratkan seperti ombak yang terus menerus muncul, pada pantai
yang sama, dengan gerakan yang sama, namun demikian pengulangan tersebut membuat
pemikirannya semakin matang dan kaya.
Pada Existence and Existents, Levinas berbicara mengenai fenomenologi dimana Husserl
dan Heidegger memberikan pengaruh yang cukup besar. Ide Levinas dikembangkan lebih luas
pada bukunya Totality and Infinity dimana ia fokus pada pemikirannya tentang Yang Lain,
yang akhirnya menghancurkan totalitas dan mengingatkan subjek akan pre-contracted
responsibility. Pemahaman yang lebih mendalam akan kita dapatkan pada Otherwise than
Being dimana Levinas mengungkapkan istilah substitusi. Pemaparan tentang ide Levinas
secara garis besar akan dimulai dari pemahamannya akan subjek, eksisten yang mana
terobsesi untuk menjadi bagian dari eksistensi, yang menjadi beban rumit being, dan proses
menjadi being-for-the-other yang membebaskannya dari totalitas dan inferioritas.
Pemahaman Levinas akan etika berbeda dengan pemikir tradisional lainnya seperti
Aristotelian, Kantian, atau Millian. Etika menurut Levinas bukan merupakan sekumpulan
aturan, larangan, maupun perintah yang berlaku secara universal. (Davis, 1996: 35) Ia
memberikan penjelasan fenomenologi dimana tanggung jawab mendahului semua
pemahaman etika tradisional selama ini. Levinas menekankan bahwa etika adalah tentang
tanggung jawab terhadap Yang Lain yang tidak dapat dihindari.
Pada pengantar telah dijelaskan bahwa relasi yang terjadi bukan hanya subjek yang
memiliki tanggung jawab absolute dan tidak dapat menjadikan yang lain sebagai objek,
namun juga adanya relasi politik. (OB, 1981: 160) Relasi ini menghadirkan apa yang disebut
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
oleh Levinas sebagai pihak ketiga, yang mengharuskan adanya keadilan, kesetaraan, dan lain-
lain. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan said dan saying. Pihak ketiga
memungkinkan subjek terhenti dari tanggung jawab yang tak terbatas dan subjek masuk ke
dalam kesetaraan dan hubungan timbal balik. Bertolak belakang dengan relasi politik, filsafat
Levinas mengenai tanggung jawab yang tak terbatas (unconditional responsibility) terlihat
sangatlah berlebihan. Namun, dalam wawancaranya3 dengan Philippe Nemo, Levinas
menjelaskan bahwa filsafatnya adalah usaha untuk menyuarakan perasaan bersalah dari
orang-orang yang selamat dalam peristiwa Holocaust. Fokusnya adalah bukan tentang
keacuhan, namun tentang adanya kontribusi subjek secara implicit terhadap kematian orang
lain pada peristiwa itu. Kenyataannya bahwa selisih satu nomor seri dapat merebut
kesempatan orang lain untuk hidup. Korban-korban yang selamat merupakan simbol yang
nyata bahwa kita bertanggung jawab atas tetangga mendahului semua pilihan dan alasan yang
ada. Pascal mengungkapkan bahwa subjek menjadi ada di dunia (being in the world) atau
“place in the sun” adalah awal mulai dari perampasan seisi dunia. Subjek menyakiti dan
membunuh Yang Lain hanya dengan sebuah tindakan sederhana yaitu dengan mengambil
tempat. Oleh karena itu, tanggung jawab etis bukan muncul hanya timbul karena adanya
penderitaan Yang Lain, namun karena subjek memiliki kapasitas untuk membahayakan dan
be for the other. Hal ini memperlihatkan bahwa tanggung jawab sudah tertanam pada subjek
bahkan pada keadaan netral dimana ia hanya mempertahankan tampatnya sendiri dan
berhadapan dengan Yang Lain, dimana alteritas dan ketakberhinggaannya terekspos.
Pada kutipan Dostoyevsky4 yang terkenal mengenai aku yang memiliki tanggung jawab
yang lebih besar daripada yang lainnya, Levinas ingin menekan bahwa aku tidak dapat
digantikan oleh siapapun. Pada bukunya sendiri ia menuliskan aku bearti jawaban untuk
semua orang, “answerable for everyone and everything”. (BPW, 1996: 90) Meskipun aku
bukan penyebab dari penderitaan yang dialami, namun aku bertanggung jawab lebih daripada
penyebab penderitaan itu. (OB, 1981: 112) Tanggung jawab subjek bahkan melampaui setiap
orang yang dikenal, menjamah semua yang bahkan tidak atau belum pernah ditemui,
termasuk orang-orang pada masa lalu dan masa depan. (BPW, 1996: 81) Tanggung jawabku
tidak terbatas pada reaksi akan sesuatu, maupun aturan tertentu, melampaui semua
intensionalitas, karena ini merupakan kondisi konstitutif dari subjektivitas.
3 Wawancara dengan Philippe Nemo pada Februari 1981 di Radio France-Culture. 4 “Every one of us is responsible for everyone else in every way, and I most of all” The Brothers
Karamazov
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
Levinas mengatakan bahwa etika merupakan filsafat awal, dimulai dengan relasi antar
wajah (face to face). Sebelum pengetahuan, totalitarian, dan ontology, Yang Lain terlebih
dahulu ada atau apa yang Levinas sebut dengan the infinite. Etika menurutnya bukan
merupakan seperti yang dipahami oleh filsafat Barat, namun merupakan awal dari filsafat
sebagai pencari kebenaran. Dalam pertemuan dengan manusia lain lahir apa yang disebut
‘yang etis’ (the ethical). Yang etis itu terjadi karena pada saat kita mengalami pertemuan
dengan manusia lain, kita bukan hanya sekedar bertemu dengan obyek atau pengada lain,
tetapi apa yang Levinas sebut sebagai ‘wajah’. Wajah yang dimaksudkan oleh Levinas disini
adalah bukan bentuk fisik dari bagian depan tubuh manusia dimana terdapat mata, hidung,
dan mulut. Akan tetapi, melampaui bagian fisik manusia. Menurut Levinas, orang tidak dapat
melihat dan menyentuh wajah karena wajah “hadir dalam penolakannya untuk ditundukkan”.
(TI, 1969: 194) Itulah sebabnya mengapa ia berpendapat bahwa pertemuan sejati dengan
orang lain hanya dapat berlangsung melampaui penampilan fisik wajah yang kita temui setiap
hari: “Cara terbaik untuk bertemu dengan ‘Yang Lain’ itu justru tidak dengan memperhatikan
warna matanya! Ketika orang mengamati warna matanya, orang tidak berada dalam relasi
sosial dengan ‘Yang Lain.’ Relasi dengan wajah tentu saja dapat didominasi oleh persepsi,
tetapi apa yang khas bagi wajah itu tidak dapat direduksikan kepada persepsi.” (TI, 1969: 85)
Bagi Levinas, ‘wajah’ merupakan “cara dalam mana ‘Yang Lain’ (l’Autre) memperlihatkan
dirinya, melampaui gagasan mengenai yang lain dalam diri saya.” (TI, 1969: 50) Dengan kata
lain, wajah merupakan cara dalam mana ‘Yang Lain’ menampakkan dirinya di hadapan saya
yang melampaui kemampuan saya untuk menilai, memahami, dan mentematisasinya.
Levinas berpendapat bahwa wajah bermakna pada dirinya sendiri. (EI, 1985: 86) Sering
kali kita bertemu orang lain melalui sebuah konteks khusus sehingga penamaan dan
penyebutan status orang tersebut akan menjadi masuk akal jika dilihat dalam konteks tersebut.
Sebagai contoh, status atau karakter (personnage) seseorang sebagai seorang dosen atau
mahasiswa hanya bermakna dalam dunia akademik atau perguruan tinggi. Sebutan atau status
lain seperti anak atau cucu dari seseorang, karyawan/wati dari perusahaan tertentu, dan
sebagainya juga bersifat relatif terhadap konteks yang ada. Inilah yang Levinas sebut dengan
form, pemaknaan akan Yang Lain atas fisik, tingkah laku, nama, kegiatan dan lain-lain. (TI,
1969: 178) Wajah manusia, sebaliknya, tidak pernah berada dalam konteks partikular atau
bersifat relatif; ia bermakna dalam dan pada dirinya sendiri. Wajah menghancurkan dan
melampaui gambaran plastik yang dimiliki orang terhadapnya; ia “mengekspresikan dirinya
sendiri.” (TI, 1969: 51) Oleh karena itu, toi, c’est toi, setiap orang adalah dirinya sendiri,
demikian ungkap Levinas; wajah adalah “identitas persis seorang pengada.” Kita dapat
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
mengatakan bahwa wajah itu melampaui gambaran fenomenologi karena tidak ‘terlihat.’
Wajah selalu menolak usaha penyerapan oleh pemikiran untuk dijadikan sebagai isi (content).
Karena tidak pernah akan dapat dijadikan isi pemikiran, wajah membawa kita melampaui Ada
(Being). Itulah sebabnya mengapa bagi Levinas relasi dengan wajah itu secara langsung
bersifat etis. Tidak ada orang yang dapat membunuh wajah.
Penampakan akan wajah oleh Levinas disebut sebagai sebuah epifani, yaitu manifestasi
tiba-tiba atas esensi atau makna realitas tertentu. Dalam salah satu wawancaranya Levinas
berbicara mengenai tiga momen dari epifani wajah. (RB, 2001: 127) Momen pertama
terkandung dalam sifat tegak-lurus wajah yang memperlihatkan ketelanjangan dan
ketidakberdayaan. Orang tidak dapat melihat wajahnya sendiri kecuali menggunakan alat
bantu dan tidak memiliki kontrol atasnya karena selalu terekspos pada tatapan pengada-
pengada lain. Wajah manusia menempati sebuah posisi yang sedemikian rupa sehingga selalu
berada dalam ancaman dan bahaya, termasuk ancaman kematian, karena tidak pernah
terlindung. Itulah sebabnya mengapa Levinas sering berbicara mengenai ketelanjangan wajah,
ketidakberdayaan di hadapan sebuah ancaman: “Ketelanjangan yang merupakan sebuah
panggilan terhadap saya – sebuah permohonan tapi juga perintah – saya sebut wajah.” (RB,
2001: 115) Berhadapan dengan kematian, ketegak-lurusan wajah memperlihatkan
mortalitasnya, yakni, kemungkinannya untuk dibunuh. Atas ketidakberdayaan dan mortalitas
wajah inilah etika Levinas dibangun.
Momen kedua epifani wajah terjadi dalam pertemuan antarwajah dengan ‘Yang Lain.’
Bagi Levinas, relasi antarpribadi tidak terkandung dalam pemikiran mengenai diri dan orang
lain secara bersama-sama, yang seringkali mendasari berbagai teori etika, melainkan dalam
peristiwa berhadapan (facing). Kesatuan atau kebersamaan sejati itu bukanlah “sebuah
kebersamaan sintesis, melainkan kebersamaan dari wajah ke wajah.” (EI, 1985: 77)
Kemerhadapan dari ‘Yang Lain,’ atau fakta bahwa ia berhadapan (dengan saya, misalnya),
memberikan pengalaman yang tak tereduksikan atas relasi etis. Relasi etis bagi Levinas
adalah relasi dalam mana saya terhubung pada wajah orang lain (le visage d’autrui).
Pertemuan antarwajah menjadi sumber dan asalmula etika atau ‘yang etis’ melampaui segala
usaha untuk merumuskan prinsip-prinsip moral secara universal. Dalam arti ini etika menjadi
“bukan sebagai lapisan sekunder, di atas refleksi abstrak atas totalitas dan bahayanya; ia
memiliki rentang independen dan awal. Filsafat pertama adalah etika.” (EI, 1985: 77)
Momen ketiga epifani wajah adalah bahwa wajah melakukan tuntutan atas diri saya.
Wajah orang lain di hadapan saya tidak berdiam diri saja. Ia berbicara, dan ketika ia
berbicara, keberadaan saya diinterupsi olehnya: “Wajah menatap saya dan memanggil saya. Ia
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
menuntut saya. Apa yang ia minta? Jangan tinggalkan ia sendirian.” (RB, 2001: 127) (TI,
1969: 66) Fakta bahwa wajah berbicara, menurut Levinas, memungkinkan dan mengawali
semua diskursus. Jawaban yang layak atas permintaan untuk tidak ditinggalkan sendirian
adalah “Inilah saya” [Me Voici]. (EI, 1985: 97) Hal ini menunjukkan ketersediaan dan
kesiapan diri untuk bertanggung jawab terhadap ‘Yang Lain.’ Dalam buku yang lebih matang,
Otherwise than Being, Levinas membahas disposisi subyek untuk menjadi sandera (hostage)
bagi ‘Yang Lain,’ siap menjadi pengganti baginya. Bagi Levinas, memberi jawaban “Inilah
saya” berarti sudah bertemu dengan wajah orang lain.
Relasi antar wajah yang terjadi menurut konsep Levinas merupakan relasi yang sifatnya
asimetris. Hal ini berarti bahwa apa yang dirasakan orang lain terhadap Aku sesungguhnya
bukan menjadi hal penting untuk dipikirkan, Aku tidak peduli akan penghormatan Yang Lain
terhadapnya, yang menjadi penting adalah kenyataan bahwa Yang Lain di atas segalanya
merupakan tanggung jawab Aku.
Pertemuan dengan wajah Yang Lain menghasilkan ekspresi ganda, dimana adanya
kelemahan sekaligus keharusan untuk memenuhi sesuatu. Tuntutan yang mengharuskan Aku
untuk bertanggung jawab merupakan suatu keterpilihan, dimana Aku tidak mampu untuk
menolak dan sifat tanggung jawab tersebut tidak dapat diganggu gugat. Tanggung jawab
tersebut tidak dapat dialihkan atapun diberikan kepada orang lain karena tanggung jawab
tersebut memilih Aku bukan tindakan Aku yang memilih. Oleh sebab itu, tanggung jawab
yang dipaksakan atau bahkan sekedar kita harapkan untuk diberikan oleh orang lain kepada
Aku tidak lagi dapat disebut sebagai sebuah tanggung jawab. Inilah yang menjadi poin
penting dalam pemikiran Levinas tentang relasi etis yang simetris, Aku dengan
keterpilihannya telah tersandra oleh wajah Yang Lain untuk melakukan suatu bentuk
tanggung jawab tanpa harus memikirkan keuntungan yang dapat diperoleh oleh dirinya.
Dengan kata lain, tanggung jawab tersebut merupakan suatu tanggung jawab murni.
Oleh karena pemahaman akan adanya otherness dalam diri orang lain, maka Aku tidak
seharusnya berharap untuk dapat menempatkan pemahaman orang lain dalam suatu dimensi
yang sama dengan pemahaman kita. Sebagai being dengan keunikan maisng-masing, maka
selamanya Yang Lain tidak pernah akan bisa ditematiskan untuk kemudian diperkirakan
setiap pemikiran ataupun tindakannya dalam menghadapi suatu hal.
Levinas menjelaskan bahwa kita harus terlebih dahulu memahami konsep ‘pihak ketiga’
(the third party – le tiers) yang diperkenalkan Levinas untuk menjelaskan kehadiran orang-
orang lain dalam pertemuan konkret dua orang. (TI, 1969: 213) Dalam bukunya, ia
menjelaskan:
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
“Tetapi kita tidak pernah, saya dan orang lain, sendirian di dunia. Selalu ada yang ketiga:
orang-orang yang mengelilingi saya. Mereka juga adalah sesama saya. Siapa yang paling
dekat dengan saya? Pertanyaan mengenai keadilan pun tidak dapat dihindari, yang muncul
dari kedalaman tanggung jawab terhadap yang unik, dalam mana etika mulai dalam wajah
dari yang tidak dapat dibandingkan.” (RB, 2001: 116)
Ia mengingatkan kita akan keberadaan dunia di luar kita, selain Aku dan orang lain. Relasi
etis yang menuntut tanggung jawab penuh dari sang Aku kepada orang lain, juga menuntut
sang Aku untuk bertanggung jawab terhadap banyak orang lain. (EI, 1985: 90)
Dengan demikian, relasi antara Aku dan orang lain tidak hanya menyangkut dua pihak
semata, tetapi juga mengikutsertakan pihak-pihak lain:
“Wajah yang memandang relasi ini menempati dirinya dalam cahaya penuh dari tatanan
publik, bahkan kalau saya menarik diri darinya untuk mencari kekhususan relasi privat
dengan lawan bicara saya.” (TI, 1969: 212)
Namun demikian, bukan bearti bahwa relasi dengan pihak ketiga menyusul setelah relasi
Aku dengan individu yang satu. Kedua relasi ini tidak berurutan secara kronologis, melainkan
bersifat simultan dan langsung: pihak ketiga sudah ada dalam keprihatinan langsung terhadap
individu yang satu:
“Orang-orang lain langsung (d’emblee) menjadi konsern saya… Relasi saya dengan orang
lain sebagai sesama memberikan makna pada relasi saya dengan semua orang lain.” (OB,
1981: 159)
Simon Critchley pada bukunya menuliskan bahwa bagi Levinas komunitas memiliki
sturktur ganda, yang memuat kebersamaan di antara mereka yang setara, yang pada saat yang
sama berkembang dari momen yang tidak setara dari relasi etis. (Critchley, 1992: 227) Oleh
karena itu Levinas tidak menggunakan istilah I-Thou yang digunakan oleh Martin Buber
(Margaretha Paulus, 2006: 79), tetapi menggunakan istilah ‘relasi sosial’ (TI, 1969: 109) atau
realitas sosial (EN, 1999: 21). Wajah orang lain sejak awal menyangkut sebuah relasi sosial
karena tidak ada perbeadaan antara orang yang secara fisik jauh dan dekat. Aku bertanggung
jawab terhadap orang-orang lain juga melalui tanggung jawab aku terhadap individu tunggal.
Kehadiran pihak ketiga yang sudah menyingkapkan dirinya dalam wajah orang lain menjadi
fondasi atas apa yang Levinas sebut sebagai ‘fratenitas manusia’ yang harus diungkapkan
melalui institusi-institusi politik. Pada sebuah komunitas politik, etika sebagai tanggung
jawab terhadap orang lain tunggal tidak lagi mencukupi. Keadilan juga dipertanyakan sebagai
bentuk tanggung jawab kepada semua orang dalam sebuah komunitas politik. Keadilan ini
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
berakar pada tanggung jawab tak terbatas terhadap individu tunggal. Hal ini merupakan
kondisi yang memungkinkan adanya keadilan. (OB, 1981: 159)
Pemikiran Levinas ini dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi dalam hidupnya yaitu
Holocaust, dimana keberlainan dan infinitas dari orang lain dilupakan dan diabaikan sehingga
menimbulkan sebuah tragedy kemanusiaan yang sangat besar dan merenggut nyawa jutaan
umat manusia. Levinas mengingatkan kita akan kepentingan orang-orang lain dalam sebuah
komunitas politik yang sering kali dilupakan oleh pihak-pihak yang hanya mementingkan diri
sendiri maupun kelompoknya saja. Ia mengembangkan konsep etika sebagai pertemuan
dengan wajah orang lain yang tidak dapat direduksi ke dalam pemahaman komprehensif. Ia
memunculkan kembali dimensi transenden dari orang lain yang diabaikan pada struktur-
struktur sosial yang ada. Pertemuan antar wajah yang merupakan relasi etis inilah yang
menjadi dasar etika politiknya, khususnya melalui konsep keadilan dan pihak ketiga.
Levinas mendapat banyak kritikan atas usahanya dalam menghadapkan politik pada
moralitas. Beberapa pihak menganggap pemikiran Levinas ini sebagai sebuah usaha yang
naif. Namun demikian, keinginan Levinas untuk menempatkan yang etis bukan dimaksudkan
untuk politisisme5 ataupun suatu keyakinan akan yang ‘baik’. (TI, 1969: 224) Ia ingin
mengembalikan yang politikal, agar tidak terjebak dalam kebutaan yang berujung pada
totalitarianisme. Yang etis adalah sesuatu yang menghargai perbedaan yang berkelanjutan,
oleh karena itu keberadaan Yang etis dalam politik akan terus memunculkan atribut yang
tidak ada sebelumnya, menempatkan politik pada sebuah usaha yang berkelanjutan untuk
menyesuaikan dan memperbaharui diri. Dengan demikian, politik yang sudah ada sekarang
akan terus dipertanyakan, sebagai sebuah tuntutan untuk menciptakan masyarakat yang lebih
adil sebagai sebuah konsep baru dalam politik yang berdasarkan akan keadilan. Negara
sebagai salah bentuk tatanan politik harus dapat menerima kritikan, sebab pada dasarnya
politik adalah suatu dimensi keadilan sekaligus kritik, sebab ia melegitimasi diri dan juga
membiarkan dirinya terus-menerus diinterupsi oleh pemahaman etis akan perbedaan.
E. Kesimpulan
Kemanusiaan menjadi topik yang tidak pernah berhenti dibicarakan di seluruh dunia. Hal
ini dikarenakan masih banyak tindakan-tindakan yang merusak kemanusiaan itu sendiri.
Tindakan tersebut melahirkan permasalahan kemanusiaan yang belum bisa diselesaikan dan
selalu terjadi di dalam kehidupan manusia. Perang menjadi salah satu contoh bagaimana
5 Tindak politis yang didasarkan pada kecondongan terhadap satu hal yang semata-mata menjadi ketertarikan
khusus, dalam hal ini mendasarkan politik pada moral.
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
kekerasan sesama manusia menjadi dilegalkan oleh salah satu pihak demi mencapai tujuan
tertentu. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari banyak kekerasan yang dilakukan oleh pihak-
pihak yang berkuasa kepada pihak-pihak yang dikuasai. Hal ini memperlihatkan bagaimana
hubungan subjek – objek pada manusia. Manusia memandang manusia lain sebagai benda
(thing) yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pribadinya saja. Bahkan, orang lain
dianggap sebagai ancaman atau halangan dalam usahanya mencapai tujuan tertentu, sehingga
tindakan memusnahkan manusia lain menjadi sesuatu yang wajar.
Permasalahan kemanusiaan tersebut memperlihatkan adanya ketimpangan dalam hubungan
antar sesama manusia. Emmanuel Levinas merupakan seorang filsuf yang memberikan makna
yang dalam tentang bagaimana manusia melihat orang lain di sekitarnya, atau ia menyebutnya
dengan Yang Lain (the other). Menurutnya, Yang Lain adalah pembuka horizon keberadaan
manusia, bahkan pendobrak menuju ketransendenan subjek. Manusia pada hakekatnya
terasing antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu dibutuhkan jembatan yaitu berupa
pertemuan atau perjumpaan yang melahirkan sebuah relasi etis. Perjumpaan yang dimaksud
adalah perjumpaan dengan Yang Lain. Yang Lain dalam konsep Levinas adalah orang lain
atau sesama manusia, pribadi yang lain sebagai individu yang unik. Pandangan ini merupakan
kritik diri atas roh totaliter yang mengabsolutkan ego dalam sejarah filsafat. Dalam sejarah,
Yang Lain selalu didekati sebagai obyek, suatu bagian dalam usaha pencapaian suatu tujuan.
Hal itu menggugat keunikan dan alteritas yang lain sebagai Yang Lain, lain dari aku. Yang
Lain tidak boleh diperlakukan sebagai ‘benda’. Aku membutuhkan Yang Lain karena
keunikannya, bukan sebagai alter ego.
Yang Lain dalam pemahaman Levinas tidak pernah bisa dikuasai. Yang Lain
sesungguhnya berada di wilayah luar dari subjek. Di hadapan Yang Lain subjek harus tunduk
dan tidak dapat menghindar. Pengalaman dasar manusia adalah perjumpaan dengan Yang
Lain. Dalam perjumpaan itu, subjek sadar bahwa ia langsung bertanggungjawab total atas
keselamatan Yang Lain. Langsung dalam arti bahwa tanggung jawab itu membebani subjek,
mendahului komunikasi eksplisit subjek dengan Yang Lain. Pengalaman itu bersifat etis.
Menurut Levinas, moralitas adalah pengalaman paling dasar manusia. Ia selanjutnya
menunjukan bahwa pengalaman dasar itu pengalaman tanggung jawab subjek terhadap Yang
Lain, dimana sinar kesucian Allah ikut terlihat dalam wajah Yang Lain. Levinas dalam analisa
eksistensial fenomenologis paling dasariah, menunjukan bahwa pengalaman moral adalah
titik tolak segala kesadaran, sikap dan dimensi penghayatan manusia dan bahwa pengalaman
dasariah itu sekaligus merupakan kesadaran akan adanya Yang Ilahi di belakangnya.
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
Levinas berfokus pada saat pra-reflektif di mana subjek untuk pertama kali menyadari
bahwa ada Yang Lain di hadapannya. Di saat itu, subjek seakan-akan “disandera” oleh wajah
Yang Lain, sehingga terikat total oleh tanggung jawab atas keselamatanya. Dalam kesadaran
pra-reflektif itu juga termuat panggilan kepada kebaikan, tuntutan primordial untuk bersikap
baik dan tidak jahat terhadap Yang Lain. Manusia etis menurut Levinas adalah yang
bertanggungjawab terhadap sesamanya.
Ia menunjukan bahwa fenomena perjumpaan wajah ini menjadi dasar untuk memecahkan
pertanyaan-pertanyaan dasar filsafat: bahwa ada seorang Engkau, bahwa ada realitas di luar
kesadaran subjek. Jadi bahwa pengertian manusia memang sampai pada realitas itu sendiri,
bahkan bahwa saya menjadi diri saya hanya karena engkau, bahwa saya ada dan identik
dengan saya (karena dalam pengalaman tanggung jawab purba itu saya secara langsung dan
tak tergantikan menyadari diri bertanggungjawab atas keselamatan Yang Lain), bahwa sikap
yang pertama adalah kebaikan dan bukan kejahatan, dan bahwa Yang Lain maupun kita ada
karena adanya Yang Mahabaik.
Suatu perbuatan etis tertentu lahir dari respons yang diberikan atas kehadiran Yang Lain.
Respons dalam bentuk jawaban, yaitu jawaban atas panggilan Yang Lain. Respons terhadap
suatu jawaban mesti dibarengi dengan sikap siap untuk menanggung segala konsekuensi dari
jawaban yang diberikan. Sikap menanggung suatu jawaban adalah tanggung jawab.
Wajah Yang Lain memberitahukan perintah untuk “jangan membunuh”, ini kelihatan secara
pasti mengungkapkan sesuatu yang seharusnya dan tanpa syarat. Wajah memberi perintah
kepada setiap subjek untuk bertanggungjawab atas Yang Lain. Wajah itu menyapa kita.
Wajah menyatakan diri sebagai visage significant, wajah yang telanjang di mana mempunyai
makna; langsung, tanpa penengah, tanpa suatu konteks.
Penampilan wajah adalah suatu kejadian etis. Itulah langkah penting dalam pemikiran
Levinas. Wajah menyapa saya dan saya tidak boleh acuh tak acuh saja. Ia mewajibkan saya.
Ia mengunjungi saya supaya saya membuka hati dan pintu rumah saya. Ia menghimbau saya
agar saya mempraktekan keadilan dan kebaikan. Wajah menyatakan diri sebagai “janda dan
yatim piatu”.
Levinas menggagas sebuah pemikiran etis tentang bagaimana seharusnya kita bersikap
terhadap orang lain sebagai wujud konkret dari perjumpaan manusia melalui wajah ke wajah.
Wajah adalah sebuah personifikasi ketakberdayaan yang mengimbau suatu tindakan etis.
Levinas menekankan dua hal penting dalam perjumpaan dengan wajah Yang Lain. Pertama,
dalam wajah itu, Yang Lain tampak sebagai orang tertentu, orang lain. Orang lain menyatakan
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
diri sebagai yang betul-betul lain dari saya. Konsekuensinya adalah bahwa wajah sebagai
wajah tidak dapat dikuasai, dipegang atau diperbudak. Kedua, dalam wajah itu Yang Lain
berada sama sekali di luar kita. Ia tidak berbicara tentang bagaimana tanggung jawab moral,
apa itu bertindak secara moral atau bagaimana reaksi yang harus diambil ketika orang lain
berhadapan dengan kita, melainkan pada apa yang terjadi di saat wajah itu menatap kita.
Ketika seoseorang berhadapan dengan orang lain, ia menjadi tidak bebas lagi, tidak bisa
bersikap apatis tetapi ia harus bertanggung jawab atasnya. Tanggung jawab itu bersifat total.
Total dalam arti bahwa kita tersubstitusi bagi orang itu. Bebannya menjadi beban saya,
tanggung jawabnya menjadi tanggung jawab saya. Saya bahkan bertanggung jawab atas
kesalahan orang lain: orang itu, dengan segala beban yang ada padanya adalah beban saya.
Manifestasi yang lain adalah wajah. Maka, wajah adalah sebuah personifikasi sebagai
yang miskin, janda, yatim piatu, orang asing, yang telanjang. Semua figur ini menyiratkan
fakta tentang suatu kejadian etis. Epifani wajah adalah suatu kejadian etis. Kejadian yang
membuka kemanusiaan, yaitu kemanusiaan yang mengandung di dalam dirinya suatu
undangan etis. Undangan yang meminta suatu respon, yaitu respon dalam responsibilité.
Pemikiran Levinas tentang perjumpaan wajah merupakan konsep dasarnya tentang etika.
Ia menekankan akan tanggung kepada Yang Lain yang lahir dari perjumpaan wajah tersebut.
Hal ini menjadi relevan dengan permasalahan kemanusiaan yang marak terjadi sekarang ini.
Permasalahan yang timbul karena ketidakpedulian terhadap Yang Lain dan menganggap
Yang Lain sebagai objek. Levinas memberikan sebuah cerminan bagi kita manusia dalam
menjalin relasi dengan Yang Lain dalam kehidupan demi mencapai suatu tatanan yang
harmonis, dengan cinta kasih tulus yang lahir dari pertemuan wajah. Dengan demikian,
kehidupan damai yang dicita-citakan manusia selama ini diharapkan dapat terwujud.
F. Kepustakaan
Buku Acuan
Levinas, Emmanuel. (1969). Totality and Infinity: An Essay on Exteriority. Terj. Alphonso
Lingis. London: Kluwer Academic Publisher.
________________(1978). Existence and Existent. London: Kluwer Academic Publisher.
________________(1981). Otherwise Than Being or Beyond Essence. Terj. Alphonso Lingis.
The Hague: Martinus Publishers.
________________(1985). Ethics and Infinity: Conversations with Philippe Nemo. Terj.
Richard A. Cohen. Pittsburgh, USA: Duquesne University Press.
________________(1987). Collected Philosophical Papers. Terj. Alphonso Lingis. The
Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers.
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
________________(1993). Outside the Subject. Terj. Michael B. Smith. Stanford: Stanford
University Press.
________________(1994). Liberté et commandment. Paris: Fata Morgana.
________________(1996). Is Ontology Fundamnetal? Basic Philosophical Writings. Ed.
Adriaan T. Peperzak. Bloomington: Indiana University.
________________(1998). Of God who Comes to Mind. Terj. B. Bergo. Stanford: Stanford
University Press.
________________(1998). The Theory of Intuition in Husserl’s Phenomenology: Second
Edition. Evanston: Northwestern University Press.
________________(1999). Entre Nous: On Thinking of the Other. Terj. Michael B. Smith
dan Barbara Harshav. London: The Athlone Press.
________________(2000). God, Death, and Time. Terj. Bettina Bergo. Stanford: Stanford
University Press.
________________(2001). Is It Righteous to Be? Interviews with Emmanuel Levinas. Ed. Jill
Robins. Stanford: Stanford University Press.
Buku Referensi
Bertens, K. (2006). Filsafat Barat Kontemporer: Jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Critchley, Simon & Robert Bernasconi. (1991). Re-reading Levinas. Bloomington dan
Indianapolis: Indiana University Press.
Critchley, Simon & Robert Bernasconi. (2004). The Cambridge Companion to Levinas. UK:
Cambridge University Prees.
Derrida, Jacques. (1999). Adieu to Emmanuel Levinas. Terj. Pascale Anne. Stanford: Stanford
University Press.
Derrida, Jacques. (1978). Violence and Metaphysics in Writing and Difference. Terj. Alan
Bass. London: Routledge.
Descartes, René. (1993). Meditation III in Great Books 28. Ed. Adler, M. Chicago:
Encyclopedia Britannica, Inc.
Dostoyevsky, Fyodor. (1957). The brothers Karamazov. Terj. Constance Garnett. New York:
New American Library.
Hand, Sean. (1989). The Levinas Reader. Cambridge: Basil Blackwell.
Kearney, Richard. (1984). Dialogues with Contemporary Continental Thinkers: The
Phenomenological Heritage. Manchester: Manchester University Press.
Llewelyn, John. (1995). Emmanuel Levinas: The Genealogy of Ethics. London: Routledge.
Mortley, Raoul. (1991). French Philosophers in Conversation. New York: Routledge.
Paulus, Margaretha. (2006). Perjumpaan dalam Dimensi Ketuhanan: Kierkegaard dan Buber.
Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Peperzak, Adriaan. (1995). Ethics as First Philosophy. The Significance of Emmanuel
Levinas for Philosophy, Literature and Religion. New York: Routledge.
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013
Plato. (1968). The Republic. Terj. A. Bloom. New York: Basic Books Inc. Publishers.
Suseno, Franz Magniz. (2000). 12 Tokoh Etika Abad-20. Yogjakarta: Kanisius
Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013