Post on 15-May-2019
PENGGUNAAN KATA TAKLIF DALAM AL-QURAN
Skripsi
DiajukankepadaFakultasUshuluddin
UntukMemenuhiPersyaratanMemperoleh
GelarSarjanaTheologi Islam (S.Th.I)
DisusunOleh :
Ahmad Damanhury. AR
NIM: 109034000104
FAKULTAS USHULUDIN
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M/1435 H
i
ABSTRAK
Islam melalui syariat yang dibawa oleh Baginda Rasulullah SAW melalui
wahyu dari Allah SWT datang dengan membawa cahaya kebenaran, berpegang
teguh kepada prinsip al-Quran dan as-Sunnah.
Perintah melaksanakan syariat merupakan salah satunya. Manusia sebagai
makhluk yang diciptakan oleh Allah untuk alam dunia ini, diberikan tugas untuk
menjalin relasi antar individu dengan Tuhannya, atau individu dengan individu,
atau dengan kelompok lainnya.
Sebagai makhluk tentu manusia di dalam dirinya dibebankan untuk
menjalin relasi tersebut sesuai dengan kadar kemampuannya. Tidaklah Allah
menciptakan suatu urusan atau beban dalam kehidupannya, melainkan sesuai
dengan kadar kemampuannya. Hal itulah yang mengantarkan manusia menjadi
makhluk yang mulia, disebabkan karena pembebanan tersebut.
Seperti yang diketahui banyak ayat yang mengatakan Allah tidak akan
membebani seseorang sesuai dengan kemampuannya. Namun kenyataannya
banyak tindakan tercela yang terjadi di dalam kehidupan ini, dengan alasan tidak
sanggup atas beban yang diterimanya. Ini semua diluar batas kemampuannya
Hal itu terlihat jelas dalam al-Quran dengan penggunaan kata taklif secara
berulang kali, dengan waktu, kondisi, dan situasi yang berbeda, hal ini sebagai
isyarat yang nyata dalam kehidupan manusia bahwasannya taklif tersebut
merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan.
Penelitian ingin mengetahui sejauh mana penggunaan kata taklif dalam al-
Quran dengan menggunakan beragam gaya bahasa, subjek (pelaku), maupun
objek (sasaran) yang berbeda, dan interpretasinya dalam tatanan masyarakat
modern sekarang ini. Apakah kebenaran al-Quran sebagai kitab shalih fi qulli
zaman wa makan terbukti secara keseluruhan, dalam hal ini semua ayat-ayatnya
mampu menyesuaikan dengan kehidupan dari zaman ke zaman atau hanya
sebagian ayat saja yang mampu menyesuaikan dengan zamannya masing-masing.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbi al-‘Alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, dan inayahnya kepada seluruh
alam. Berkat Rahmat dan Pertolongan-Nya, serta ketulusan hati, keikhlasan niat
dan motivasi dari berbagai pihak sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini dengan judul :“ Penggunaan Kata Taklif dalam al-
Quran “. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad saw, keluarga, sahabat, serta pengikutnya dan semoga kelak kita
mendapatkan syafa’atnya.
Munculnya berbagai hambatan selama penulis menjalankan studi hingga
akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini, seakan ringan berkat bantuan dan
dorongan berbagai pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan penghargaan
yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
terutama kepada orang yang sangat istimewa dalam kehidupan penulis, yakni
ibunda tercinta Rofiqah bin Maksum, ayahanda Amiruddin bin Abd Mami, terima
kasih atas pengorbanan baik moril maupun materil, motivasi dan do’a yang selalu
diberikan kepada penulis.
Begitu juga saya ucapkan terimakasih kepada :
1. Prof.Dr.Komarudin Hidayat, MA. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
iii
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA, selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis, dan
Bapak Jauhar Azizy, MA, Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayataullah Jakarta, terimakasih atas motivasi dan
dorongan untuk menyelasaikan skripsi ini.
4. Bapak pembimbing Dr. Moqsith Ghazali MA, dan bapak Muslih, Lc. yang
bersedia meluangkan waktu dan pikirannya dalam membimbing penulis
dalam penulisan skripsi ini di tengah-tengah kesibukannya.
5. Dr. Eva Nugraha, MA. Yang telah meluangkan waktunya di tengah-tengah
kesibukannya dalam mengajar. Semoga senantiasa diberikan kemudahan
dan kesuksesannya.
6. Seluruh dosen pengajar Fakultas Ushuludin yang dengan ketulusan hati
dan kesabarannya telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuannya
kepada penulis selama belajar di Ushuluddin.
7. Kepada segenap karyawan/ti UIN Syarif Hidayatullah, khususnya
akademik Fakultas Ushuludin yang telah membantu selama kuliah.
8. Seluruh staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Fakultas Dakwah, Fakultas Syariah,
Pasca Sarjana, serta tak lupa pula kepada karyawan Perpustakaan Pusat
Studi Al-Qur’an (PSQ), Perpustakaan Masjid al-Ihsan Rawamangun
Jakarta Timur, Perpustakaan Masjid Syahid Nurul Iman Sudirman Jakarta
Pusat, Perpustakaan Iman Jama Lebak Bulus, yang rela dan bersedia
memberikan layanan dengan baik kepada penulis selama perkuliahan
sampai penulisan skripsi ini.
iv
9. Keluarga besar penulis, kepada (Pihak Ibu), Kakek Maksum (alm) dan
Nenek Aminah (alm), kepada (Pihak Ayah), Kakek Abdul Mami (alm) dan
Nenek Wartini (alm), serta Adik-adik ku“ Sayyidah Nafisah. AR
(terimakasih telah membantu menerjemahkan teks), Lailatul Badriyah. AR
(terimakasih motivasi dan doanya), sukses selalu untuk kalian. dan
Muhammad dim Yati. AR (alm), yang sudah membantu memberikan
dukungannya baik moral dan materill penulis dalam menjalani kuliah di
UIN, semoga Allah selalu memberikan yang terbaik bagi kalian dan
kesuksesan melebihi kaka-kakanya.
10. Kepada Paman Muhammad Satori dan keluarga (terimakasih telah
mengedit ulang tulisannya), dan Paman Drs. Hasyim Maksum yang terus
membantu dan mengarahkan dalam penyelesaian skripsi penulis, serta
kepada seluruh keluarga besar.
11. Kepada seluruh Sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon, khususnya
KH. Chowas Nuruddin (Alm) dan Nyai Hj. Ghumaesoh (Alm) tercinta.
serta KH. Ahmad Rifqi Chowas dan KH. Ahmad Syauqi Chowas dan para
Asatidz keluarga Pondok Pesantren Darussalam Buntet Pesantren, yang
telah banyak memberikan ilmu sehingga penulis bisa belajar di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
12. Kepada seluruh Asatidz Pondok Sabilussalam Tangerang, Ciputat,
pimpinan Prof. Dr. HD. Hidayat, MA. tidak lupa pula kepada Yayasan ar-
Ridho Sawah Baru, Bintaro yang di pimpin oleh Ust. H. Bahron, MA. Tak
v
lupa juga kepada seluruh jajaran Lembaga Pusat Ilmu Bahasa dan al-
Quran (LBIQ) Jakarta.
13. Kepada seluruh pengurus Yayasan Masjid al-Ihsan, Khususnya Bapak H.
Bastiansah Hamid beserta keluarga besarnya dan Ibu Hj. Yusmirdas, M.Pd
beserta keluarga besarnya, yang telah memberikan beasiswa pendidikan
dari jenjang TK (taman kanak-kanak), hingga jenjang Universitas dan
Bapak Ir. Rukhyat Kustomi beserta keluarga besarnya, atas beasiswa
penulisan skripsi serta bantuan moral, materil, arahan, bimbingan dan
motivasi yang diberikannya kepada penulis. Semoga Allah membalas
kebaikan didunia dan diakhirat, keberkahan dan kemuliaan semoga
senantiasa terlimpahkan. Amiien…
14. Teman-teman Fakultas Ushuluddin seluruh angkatan dan jurusan TH, PA
dan AF, khususnya jurusan Tafsir Hadis A, B, dan C angkatan 2009,
khususnya kelas TH. C (Ahmad Heri, S.Th,i, Ahmad Gunawan, S.Th,i,
Mukmin Mulyana S.Th,i, Muhammadun, S.Th,i, Sahlan al-Badawi, Dimas
YS, Taufik Akbar, Zenal Muid, Agus Maulana Y, Azizah Iffah, S.Th,i,
Ayu Khairunnisa, Lia Ernawati, Nasroh, Umi Hani, Nurul Wati dan
Lainnya) ,yang sama-sama berjuang selama kuliah, aku tidak akan pernah
melupakan kalian.(Jalan-jalan, Ngopi, Dia mulai Lapar, Main UnO, Futsal,
PS, dan Tuyul. Hahahaha…..)
15. Kepada Deslina Herliani, S.Pd,i. yang selama ini selalu memotivasi,
menghibur, dan memberi perhatiannya yang sangat besar kepada penulis
dalam menyelasaikan skripsi ini.
vi
16. Dan kepada teman-teman nongkrong n ngopi di BEM Fakultas dan
Jurusan Ushuluddin, PMII Fak. Ushuluddin, Tarbiyah dan Fisip, HMI Fak.
Tarbiyah, HTI Cab. Ciputat, ARKADIA, KMPLS Ciputat, KMSGD
Cirebon, dan LDK yang telah banyak memberikan wawasan, motivasi dan
pengalamannya. (sukses untuk kalian semua)
Semoga pengorbanan yang telah kalian lakukan untuk penulis, dibalas
oleh Allah Swt dengan balasan yang lebih, dan menjadi amal kebaikan di akhirat
nanti.
Jakarta, 28 April 2014
Penulis
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Tujuan dan Kegunaan ........................................................... 7
C. Tinjauan Pustaka ................................................................... 7
D. Metode Penelitian.................................................................. 8
E. Sistematika Penulisan ........................................................... 9
BAB II KLASIFIKASI PENYEBUTAN BERDASARKAN SUBJEK
DAN OBJEK
A. Subjek (Pelaku) Taklif ......................................................... 11
1. Term Allah ...................................................................... 11
2. Kata Ganti Nahnu ............................................................ 17
B. Objek (Sasaran) Taklif .......................................................... 23
1. Nafs ................................................................................. 23
2. Muhammad ..................................................................... 28
BAB III SISTEM MAKNA "TAKLIF"
A. Amal Ibadah .......................................................................... 35
B. Menyusui Anak ..................................................................... 43
viii
C. Kadar Nafkah Untuk Keluarga.............................................. 51
D. Harta Anak Yatim ................................................................. 56
E. Jihad ...................................................................................... 62
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 69
B. Saran ..................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 71
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi huruf arab latin dalam penulisan skripsi ini
berpedoman pada buku panduan penulisan karya ilmiah, skripsi, tesis, dan
desertasi yang disusun oleh tim penulis ceQda UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
terbitan tahun 2008.
Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan es ث
J Je ج
H H dengan garis bawah ح
Kh Ka dan ha خ
D Da د
Dz De dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan ye ش
S Es dengan garis bawah ص
D De dengan garis bawah ض
T Te dengan garis bawah ط
Z Zet dengan garis bawah ظ
Koma terbalik keatas, menghadap kekanan ع
Gh Ge dan ha غ
F Ef ف
x
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha
Apostrop ‘ ء
Y Ye
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vocal
tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong. Untuk vocal tunggal
alihaksaranya adalah sebagaiberikut :
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
a Fathah
i Kasrah
u Dammah
Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alihaksaranya sebagai berikut :
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
_______ ai a dan i
_______ au a dan u
Vokal Panjang(Madd)
Ketentuan alihaksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut :
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
أـــــ â a dengan topi diatas
î i dengan topi diatas يـــــ
û u dengan topi diatas وــــــ
xi
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /i/ ,baik diikuti oleh huruf
Syamsiyah maupun Qamariyah. Contoh :al-rijâl bukan ar-rijal, al-diwân bukan
ad-diwan.
Syaddah (Tashdid).
Syaddah atau tasydid yang dalam system bahasa tulisan arab
dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alihaksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.Misalnya yang
secara lisan berbunyi ad-darûrah, tidak ditulis “ad-darurah”, melainkan“al-
darûrah”, demikian seterusnya.
Ta Marbutah
Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbutah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).
Contoh :
No Kata Arab Alih Aksara
Tarîqah طريقة 1
al-jâmiah al-islâmiyah االسالمية الجامعة 2
Wahdat al-wujud وحدة الوجود 3
Huruf kapital
Meskipun dalam tulisan arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara
ini, huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
xii
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama, tempat, nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, bukan
huruf awal atau kata sandangnya. Contoh : Abu Hamid al-Ghazali bukan Abu
Hamid Al-Ghazali, al-Kindi bukan Al-Kindi.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran yang merupakan sumber pokok ajaran agama Islam, bukanlah
sebuah kitab yang di dalamnya hanya sebatas ayat, surat, terlebih-lebih masalah
juz semata. Kandungan al-Quran baik dalam hal lafal dan maknanya diyakini
memiliki esensi tersendiri. Oleh karena itu, melalui pemahaman maknanya, kita
dapat memperoleh di dalam al-Quran signifikansi teologis, sosiologis, kultural,
juga tentu saja signifikansi saintifik1. Hal ini mempertegas bahwa al-Quran tidak
mementingkan aspek atau ilmu akhirat dan ilmu-ilmu ritual semata, seperti yang
selama ini diketahui, seperti: thaharah, percaya qada dan qadar, zakat, puasa,
shalat, surga, neraka, amalan akhirat, hal-hal ghaib dll.
Dengan mengacu pada makna agama (al-Quran) tersebut dan juga dalam
perenungan yang mendalam terhadap al-Quran dan al-hadits, terasa sekali sangat
sederhana jika Islam dilihat hanya dari sisi tauhid, fiqih, hadits, akhlak, tasawuf
dan seterusnya sebagaimana yang ada selama ini. Padahal, al-Quran dan hadits
sebagai sumber ajaran ternyata memuat keterangan, penjelasan dan petujuk yang
begitu luas, mendalam dan meyeluruh2. Al-Quran berisi kisah-kisah simbol-
simbol, nilai-nilai kehidupan, berbicara tentang jagad raya, kehidupan manusia
serta perilakunya, pelestarian alam dan seterusnya.
1 M. Quraisy Shihab, Lentera Hati, (Bandung: Mizan, Juli 1996), cet-VI, h. 32
2 M. Quraisy Shihab, Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’I Atas Berbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 1997), cet-V, hal. 3
2
Dalam konteks kajian ke-Islaman, sungguh suatu hal yang aneh jika isi al-
Quran yang sedemikian luas telah disimplifikasi menjadi hanya dalam beberapa
Kajian seperti tauhid, fiqih, hadis, tasawuf, akhlak dan seterusnya. Hal inilah yang
dalam praktik dan realitasnya menjadi kurang menarik. Fenomena ini tidak jarang
telah menyebabkan isi Kajian keislaman menjadi kering dan jauh dari persoalan
kehidupan sehari-hari. Padahal, Islam semestinya berhubungan erat dengan
kehidupan dan bahkan menjadi bagian terdalam dari kehidupan manusia sehari-
hari. 3
Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi, serta
memiliki misi yang menjadi tujuan diciptakannya4. Yaitu menyembah (ibadah)
kepada penciptanya yaitu Allah. Penyembahan berarti ketundukan manusia
kepada ajaran Allah SWT. dalam menjalankan kehidupan di muka bumi ini, baik
yang menyangkut hubungan vertikal (manusia dengan Allah SWT), maupun
horizontal (manusia dengan manusia dan alam semesta.
Menyangkut hubungan ini (hubungan horizontal) setiap manusia memiliki
misi atau tugas tersebut tentu berbeda antara manusia satu dengan manusia yang
lainnya. Allah SWT. Maha Mengetahui setiap makhluk ciptaannya tanpa
melewatkan sedikit pun yang menjadi kebutuhan setiap hambanya, bahkan hingga
hal-hal sekecil pun. Begitu pula hal-hal yang berkaitan erat dengan kebutuhan,
baik bersifat jasmani maupun kebutuhan yang bersifat rohani5.
3 Zainuddin, Kesalehan normative dan sosiall,(UIN Malang: Prees, 2007), h.6
4 Achmad, et.al, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Surabaya:
Grasindo, Juli 2009), h. 46. 5 Hudzaifah Ismail, Tadabbur Ayat-Ayat Motivasi, (Jakarta: PT Elek Media Komputindo
Kelompok Gramedia, Februari 2010), h. 4.
3
Manusia diciptakan dan hidup di alam dunia ini dengan jalan hidupnya
masing-masing6 Menurut penulis hal tersebut juga melahirkan tingkatan beribadah
yang berbeda pula dalam kehidupan sehari-hari seperti: ada hamba yang rajin
ibadah, ada yang biasa-biasa saja, bahkan ada hamba yang malas dalam
beribadah. Ada sejumlah individu atau kelompok yang dengan gigihnya
menegakkan agama Allah SWT. firman Allah
/٧١)اإلسراء :
٤٨)
Artinya: Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar
jalannya. (QS. Al-Isra: 84)
Seorang hamba hidup sesuai dengan kapasitas dan kadar kemampuan yang
diberikan oleh Allah untuknya7. Orang kaya diuji dengan kekayaannya, dan orang
miskin di uji dengan kemiskinannya, orang kuat diuji dengan kekuatannya, orang
lemah diuji dengan kelemahannya. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah:
.../( ٢٤٢: ٢) البقراة
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya (QS. Al-Baqarah: 286)
Berbeda jauh dengan pengertian dan maksud ayat di atas, dewasa ini
terdapat banyak sekali fenomena yang terjadi di masyarakat sekitar yang
berseberangan, berkaitan dengan pemaknaan bahwasannya manusia seakan-akan
tidak akan mendapatkan ujian, musibah atau cobaan sesuai dengan kadar
6 Sayyid Quthb, Tafsir Fî Ẕilalil Qurân, Terj. As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press,
2002), cet.1, juz VI, h. 243. 7 M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, Mei 2007), cet-XXXI,
h. 344
4
kemampuannya. Dengan segala perbedaan ujian dan kualitas yang dimiliki
masing-masing, dapat dipastikan bahwa kapasitas dan kadar kemampuan seorang
hamba pun juga berbeda-beda, hal ini tidak lepas dari faktor sekitar, seperti
budaya, etnis, bahasa, masyarakat, dan tingkah laku keseharian. Atas faktor inilah
kehidupan manusia semakin kompleks dalam menjalani kesehariaannya.
Salah satu ajaran terpenting adalah bahwa kita selalu di uji sepanjang
hidup kita. Allah menguji keikhlasan dan keimanan kita dalam kejadian-kejadian
yang berbeda. Dia juga memberikan karunia untuk menguji hambanya apakah
termasuk orang yang bersyukur ataukah sebaliknya. Dia menciptakan berbagai
kesulitan bagi kita untuk mengetahui apakah kita bersabar atau tidak.
Oleh karenanya al-Quran sebagai pedoman hidup umat Islam, juga
merupakan mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu berkesinambungan
erat oleh perubahan waktu, masa, jaman, budaya dan ilmu pengetahuan serta
masih banyak ragamnya lagi8. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad
SAW, untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang.
Serta membimbing mereka kejalan yang lurus9.
… …/( ٢٥١: ٢) البقراة
Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya
(iman). (QS. al-Baqarah: 257).
Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa kegelapan disitu dimaknai
seseorang yang di dalam hatinya tidak memiliki keimanan kepada Allah SWT. ,
8 Muhammad Ash-Shayyim, Mukjizat Nabiku Muhammad SAW, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2003), cet-ke-1, hal. 17 9 Manna Khalil al-Qattan, Studi ilmu al-Quran, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2004), cet-ke-1, h.13
5
serta percaya kepada-Nya, sehingga hatinya senantiasa tertutup dan dibutakan dari
cahaya Ilahi. Sedangkan kata cahaya dimaksudkan ialah, apabila kepercayaan
kepada Allah SWT. dipelihara, tumbuh subur keimanannya, tidak memberi tempat
buat mempercayai yang lain. Hal itulah yang menjadikan jiwa mendapat sinar
selalu dari Allah SWT. dan menimbulkan ukhuwah islamiyah, menyuburkan
hidup berjamaah serta menimbulkan masyarakat yang bercorak islam10
.
Dengan demikian al-Quran menginformasikan kejadian-kejadian masa lalu
serta memberikan putusan terhadap segala permasalahan, baik yang timbul pada
masa lampau maupun yang akan datang. lebih lanjut, ia juga memberikan
penjelasan yang memadai dan benar tentang hal-hal yang sebelumnya tiak
diketahui manusia. al-Quran datang untuk mereformasi kehiupan manusia.11
Ketika turun ke bumi al-Quran menghadapi berbagai tipe manusia.
Diantara mereka ada yang muah menerima kebenaran dan ada yang sulit, ada
yang ditakirkan hidup sengsara an sebaliknya, serta ada yang dilapangkan Allah
dadanya untuk menerima cahaya Ilahi, sebaliknya ada yang dikunci mati. semua
perbedaan yang dicontohkan tersebut lebih lanjut juga merupakan suatu
keniscayaan, sehingga sebagaimana yang dipahami turunnya al-Quran pasti
disertai misi dan target-target tertentu bagi manusia. Demikian untuk mewujudkan
target-target yang dimaksud, maka al-Quran merasa perlu untuk menjelaskan atau
memaparkan satu tema tertentu beberapa kali.
10
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1984), juz III, h. 26 11
Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban al-Quran, (Jakarta: Gema Insani,
2010), cet-I., hal. 38-39
6
Berangkat dari uraian di atas, menurut penulis perlu adanya kajian
mendalam bersumber langsung dari al-Quran, mengkaji dan menjelaskan maksud
serta pemahaman pengulangan tema atau ayat-ayat yang berkaitan dengan taklif.
Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari penjelasan yang dipaparkan pada latar belakang di atas, penulis
mengeidentifikasi beberapa masalah yang ada, yaitu :
a. Megapa Allah dalam penggunaan lafadz taklif mengunakan kata-kata yang
berbeda?
b. Apakah kata taklif yang digunakan dalam al-Quran ditujukan untuk
memberikan informasi masa lalu atau masa yang akan datang?
c. Bicara masalah hukum al-Quran, tentu hukum atau norma di dalamnya
bersifat tegas dan pasti, lantas mengapa terdapat ayat-ayat hukum yang
dilafalkan berulang kali dengan surat yang berbeda?
d. Apa maksud dan tujuan dari pengulangan yang terdapat dalam al-Quran?
2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari beberapa masalah tersebut yang muncul dalam permukaan, perlu
kiranya penulis membatasi masalah yang akan diselesaikan dalam skripsi ini. Dari
beberapa pertannyaan yang muncul di atas, penulis membatasi permasalahan yang
terdapat pada poin A dan B, serta menitik beratkan pada QS. Al-Baqarah/2: 233
dan 286, QS. An-Nisa/4: 84, QS. Al-An’am/6: 152, QS. Al-‘Araf/7: 42, QS. Al-
Mu’minun/23: 62, dan QS. At-Thalaq/65: 7.
7
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalah yang
dibahas dalam penelitian ini adalah: Penggunaan Kata Taklif Dalam al-Quran?
B. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang telah
dikemukakan di atas, maka tujuan penulis yang ingin dicapai ialah:
1. Mengetahui maksud dan tujuan pengulangan dalam al-Quran.
2. Mengetahui Maksud dan Tujuan Penggunaan Taklif dalam al-Quran
3. Memberikan pemahaman apakah taklif sebagai suatu perintah yang harus
dipatuhi, atau tidak, serta memberikan penjelasan yang mendalam
berkaitan dengan penggunaan serta pengulangan kata taklif tersebut.
4. Sebagai syarat untuk mendapat gelar Sarjana pada Jurusan Tasir Hadis
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
C. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini tidak terlepas dari rujukan buku-buku yang berhubungan
dengan judul ini. Setelah melalui beberapa pemeriksaan pustaka, penulis
menemukan beberapa karya yang membahas tentang taklif, diantaranya skripsi
yang berjudul Taklif dalam perspektif al-Quran (studi komparatif penafsiran
Imam Syafi’iy dan at-Thabariy pada al-Baqarah/2 :286) karya Yarsi Qomari
Anwar pada tahun 2006. Begitu pula dengan skripsi yang berjudul Eksistensi
manusia sebagai khalifah dan implikasinya terhadap taklif syariah, karya Hilwah
8
pada tahun 2003. Serta skripsi karya Iqbal Mochammad dengan judul
Pembebanan taklif terhadap seseorang yang mempunyai kepribadian ganda pada
tahun 2003. Berdasarkan pemeriksaan pustaka, penulis tidak menemukan karya
yang melakukan penelitian secara mendalam terhadap penggunaan kata taklif
yang terdapat dalam al-Quran, maka posisi skripsi ini adalah menggambarkan
ayat-ayat Taklif, dalam skripsi yang berjudul “Penggunaan Kata Taklif Dalam
al-Quran”.
Sehingga penulis berkeyakinan bahwa spesifikasi pembahasan dan
penelitian tentang konsep taklif dalam al-Quran belum pernah dibahas
sebelumnya. Untuk itu penulis meneliti bagaimana penggunaan kata taklif dalam
al-Quran tersebut.
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendukung metode tersebut, dalam pengumpulan data yang
berkaitan dengan skripsi ini, penulis melakukan penelitian dengan cara melalui
studi perpustakaan (library research). Dalam hal pengumpulan data, penulis
merujuk dan menggunakan sumber-sumber tertulis, baik sumber primer maupun
sekunder. Ada pun sumber primer yang penulis gunakan yaitu merujuk kepada
Kitab Tafsir langsung yaitu: tafsir al-Misbah, tafsir al-Maraghi, dan tafsir al-
Qurthubi. Sebagai sumber sekunder, penulis menggunakan sumber lain yang
berkaitan dengan masalah yang akan dibahas baik dari buku, jurnal, skripsi dan
lainnya.
9
2. Metode Pembahasan
Dalam menulis skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif-
analisis yaitu menggambarkan secara cermat ayat-ayat yang berkaitan dengan
Taklif. Sedangkan yang dimaksud dengan metode analisis ialah berusaha untuk
menganalisa (menguji) hipotesa-hipotesa serta mengadakan interpretasi yang lebih
mendalam.
3. Teknik Penulisan
Ada pun teknik penulisan dalam skripsi ini, penulis mengacu pada Buku
Pedoman Akademik Penulisan Skripsai, Tesis dan Disertasi karya Tim UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2011.
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun dalam beberapa bab. Bab Pertama, yaitu,
pendahuluan yang menguraikan tentang problematika dan signifikasi penelitian.
Pendahuluan meliputi latar belakang masalah diangkatnya tema penelitian ini,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan yang akan diperoleh
dari penelitian ini. Selanjutnya tinjauan pustaka atau bahan-bahan yang digunakan
dalam penelitian. Metode penelitian yang meliputi metode pengumpulan data,
metode pembahasan dan teknis penulisan. Serta memaparkan sistematika dalam
penulisan penelitian ini.
Bab kedua memuat penjelasan tentang klasifikasi penyebutan berdasarkan
subjek dan objek taklif, dimana subjek (pelaku) taklif memuat tentang term Allah
10
dan kata ganti nahnu, sedangkan objek (sasaran) taklif di dalamnya membahas
nafs, dan Muhammad.
Bab ketiga membahas seputar sistem makna "taklif'" berkaitan dengan
taklif dalam al-Quran dengan membaginya dalam beberapa pembahasan yaitu
pembahasan seputar amal shalih, hak asuh anak, kadar nafkah bagi keluarga, harta
anak yatim, dan pembahasan terakhir berkaitan dengan jihad fi sabilillah.
Bab keempat penutup, yang berisi uraian penutup atas penelitian ini yang
berupa kesimpulan dan saran-saran.
11
BAB II
KLASIFIKASI PENYEBUTAN BERDASARKAN
SUBJEK DAN OBJEK TAKLIF
A. Subjek (Pelaku) Taklif
1. Term Allah SWT.
Ayat-ayat menjelaskan bahwa konsep tentang Allah sebagai wujud
tertinggi dan nama Allah itu sendiri sudah ada di Zaman Jahiliyah, bukan saja
dikalangan Yahudi dan Nasrani melainkan dikalangan suku-suku Badui. Selain itu
ada yang mengatakan "apakah Lafadz Allah (اهلل) berasal dari perkataan orang
Arab اإلله dimana huruf hamzah dibuang, dan huruf lam yang asli bertemu dengan
huruf lam tambahan, lalu keduanya melebur menjadi satu kata dan jadilah lafadz
Allah (اهلل).1
Di samping itu, kata itu sering terdapat dalam syair-syair dan juga nama-
nama orang di zaman pra-Islam seperti Abdullah (hamba Allah). suku-suku kafir
tertentu mempercayai suatu Tuhan yang mereka namakan Allah, dan yang mereka
percayai sebagai pencipta langit dan bumi dan pemegang pangkat tertinggi.
Sebagaimana suku-suku yang lain bahwa orang Quraisy pun sebelum mengenal
Islam dan terlebih setelah mengenalnya mempercayai Allah Tuhannya.
Dengan demikian jelaslah bahwa konsepsi al-Quran tentang Allah tidak
sepenuhnya baru, tetapi, ia mentransformasikan konsepsi jahiliyah sebelumnya.
1Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), jil-1.,
hal.209
12
Walau begitu konsep ketuhanannya berbeda, konsep jahiliyah tentang Allah
mempunyai sekutu dan suatu objek pemujaan yang jauh, sedang dalam al-Quran
(Islam) Allah tunggal tiada sekutu bagi-Nya, serta mendominasi setiap fase
kehidupan manusia dari lahir hingga mati.
Dalam al-Quran ketika menyebutkan nama Allah diharuskan adanya
keterlibatan hati dan lisan di dalam rangka mengingat keagungan dan kebesaran
Allah, serta nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Akan
halnya menyebut nama Allah dengan lisan berarti mengucap "Asmâ al Husnâ,
sekaligus memuji dan merasakan syukur kepada Allah. juga berarti memohon
pertolongan kepada Allah agar memberi kekuatan untuk melaksanakan perbuatan
sesuai dengan ketentuan syariat. Sebab seluruh perbuatan yang tidak dimulai
dengan menyebut nama Allah, berarti tidak diakui syariat. Kata Allah sendiri
merupakan isim 'alam, khusus diberikan kepada yang wajib disembah secara
benar. Nama ini tidak boleh digunakan untuk selain Allah.2
Kata Allah merupakan nama Tuhan yang paling populer, setidaknya
disebutkan lebih dari 2679 kali dalam al-Quran. Apabila anda berkata "Allah", apa
yang diungkapkan itu telah mencakup semua nama-nama-Nya yang lain,
sedangkan bila mengucapkan nama-Nya yang lain misalnya ar-Raẖ îm atau sifat-
sifat lain-Nya, maka Ia hanya menggambarkan sifat Rahmat atau sifat
kepemilikan-Nya. Di sisi lain tidak satu pun dapat dinamai Allah, baik secara
hakikat atau majaz, sedangkan sifat-sifat yang lain secara umum dapat dikatakan
2 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi,
1974), juz-I., hal 33
13
bisa disandang oleh makhluk-makhluk-Nya. Secara tegas, Tuhan Yang Maha Esa
itu sendiri yang menamai dirinya Allah. firman Allah:
/( ٤١: ٠٢)طه
Artinya: Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak)
selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat
aku. (QS. Thaha: 14)
Selain itu Allah juga bertanya dalam al-Quran, Firman Allah:
/(٥٦: ٤۹)مريم
Artinya: Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada
di antara keduanya, Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam
beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama
dengan Dia (yang patut disembah). (QS. Maryam: 65)
Ayat ini dipahami oleh para pakar al-Quran bermakna " apakah engkau
mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti nama ini? Atau apakah engkau
mengetahui sesuatu yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan
sebagaimana pemilik nama itu (Allah)? atau bermakna apakah engkau
mengetahui ada nama yang lebih agung dari pada nama ini? Juga dapat berarti
apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan Dia (yang patut
disembah)?
Pertanyaan-pertanyaan yang mengandung makna sanggahan ini,
kesemuanya benar karena hanya Tuhan Yang Maha Esa yang wajib wujud-Nya
itu yang berhak menyandang nama tersebut, sedangkan lain-Nya tidak ada bahkan
tidak boleh. Selain itu kata Allah itu sendiri tidak terambil dari satu akar tertentu,
14
tetapi Ia adalah nama yang menunjuk pada Zat yang wajib wujud-Nya, yang
menguasai seluruh hidup dan kehidupan dan yang kepada-Nya seharusnya seluruh
makhluk mengabdi dan memohon.
Namun, ada pula yang berpendapat bahwa kata Allah asalnya adalah (إله)
Ilâh yang dibubuhi huruf alif dan lâm dan dengan demikian Allah merupakan
nama khusus disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilaẖ a ini
dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan aliẖ ah dalam bentuk jama' disebut ulang
sebanyak 34 kali, karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya. Sedang Ilâh adalah
nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jamak (plural) (ألهة) Alihah.
Dalam bahasa Ingris baik yang bersifat umum atau khusus, keduanya
diterjemahkan dengan god, demikian juga dalam bahasa Indonesia.
Sedangkan kata "Tuhan" dalam bahasa Arab adalah Ilah (إله) disebut ulang
sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilaha ini dalam bentuk tatsniyah 2 kali
dan alihah dalam bentuk jama' disebut ulang sebanyak 34 kali
alif dan lâm yang dibubuhkan dalam pada kata Ilâh berfungsi menunjukan
bahwa kata yang dibubuhi itu (dalam hal ini kata Ilâh) merupakan sesuatu yang
telah dikenal dalam benak mereka adalah Tuhan Pencipta, berbeda dengan tuhan-
tuhan (alihah, bentuk jamak dari Ilâh) yang lain. Selanjutnya hamzah yang berada
antara dua lâm yang dibaca (i) pada kata (االله) al-Ilâh tidak dibaca lagi sehingga
berbunyi (اهلل) Allah, dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata
baru yang tidak memiliki akar kata, sekaligus sejak itu pula kata Allah menjadi
nama khusus bagi pencipta dan pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya.3
3 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran)
(Ciputat: Lentera Hati, 2009), cet-1, jil-1., hal.22
15
Kata "Allah" sendiri mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki kata lain,
ia adalah kata yang sempurna hruf-huruf dan maknanya serta memiliki
kekhususan berkaitan dengan rahasianya sehingga kata itulah yang dinamai Ism
Allah al-'azam (nama Allah yang paling mulia), yang bila diucapkan dalam doa,
Allah akan mengabulkannya. Dari segi lafadz terlihat keistimewaannya ketika
dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata Allah (اهلل) dengan menghapus huruf
awalnya, akan berbunyi )هلل( Lillâh dalam arti milik/bagi Allah. kemudian hapus
huruf awalnya dari kata Lillâh itu akan dibaca (له) Lahu dalam arti bagi-Nya.
Selanjutnya hapus lagi huruf awal dari kata lahu, akan terdengar dari ucapan Hû
yang berarti Dia (menunjuk Allah), dan bila ini pun dipersingkat maka akan
terdengar kata Âh yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan,
tetapi pada hakikatnya adalah seruan permohonan kepada Allah. karena itulah
kata Allah terucap oleh manusia sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak suka.4
Firman Allah:
....) /۹٨: ۹۹الزمر )
Artinya: dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". )QS.
Az-Zumar: 39)
Dari segi makna dapat dikemukakan bahwa kata Allah mencakup segala
sifat-sifat-Nya, bahkan Dialah yang menyandang sifat-sifat tersebut. Karena itu
jika berkata Ya Allah, semua nama-nama serta sifat-sifat-Nya telah dicakup oleh
kata tersebut. Di sisi lain jika berkata ar-Rahîm (Yang Maha Pengasih),
4 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran)
(Ciputat: Lentera Hati, 2009), cet-1, jil-1., hal. 21
16
sesungguhnya yang anda maksud adalah Allah, demikian juga jika berkata al-
Muntaqim (Yang Membalas Kesalahan), namun kandungan makna ar-Rahîm
tidak mencakup pembalasan atau sifat-sifat yang lain-Nya. Seperti contohnya
ketika mengucapkan Asyhadu an Lâ Ilâha Illa Allah, dan tidak dibenarkan
mengganti kata Allah tersebut dengan nama-nama-Nya yang lain seperti Asyhadu
an Lâ Ilâha Illa ar-Rahîm.5
Jika menyebut nama Allah, pasti akan menjadikan hati kita tenang
demikian pula dengan penyebutan Asmâ al-Husna. Firman Allah
/٤۹)الرعد :
٠٨)
Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram.(QS. Ar-Raad: 28)
Ketentraman dan ketenangan itu lahir bila anda percaya bahwa Allah
adalah penguasa Tunggal dan pengatur alam raya. Ketenangan itu akan dirasakan
bila menghayati sifat-sifat, kudrat dan kekuasaan-Nya dalam mengatur dan
memelihara segala sesuatu. Demikian itu Allah SWT. karena itu tidak heran jika
ditemukan sekian banyak ayat al-Quran yang memerintahkan orang-orang
beriman agar memperbanyak zikir menyebut nama Allah, dan karena itu setiap
perbuatan yang penting hendaknya dimulai dengan menyebut nama Allah.
5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran)
(Ciputat: Lentera Hati, 2009), cet-1, jil-1., hal. 24
17
2. Kata Ganti Kami وحه) )
Di dalam Al-Quran, penggunaan kata ganti juga diterapkan untuk lafadz
Allah SWT, ada kata ganti pertama singular (anâ), dan ada kata ganti pertama
plural (nahnu), terkadang membahasakan Allah dengan kata ganti Dia (huwa), di
mana makna aslinya adalah dia laki-laki satu orang. Tetapi kita tahu bahwa Allah
SWT bukan laki-laki dan juga bukan perempuan atau banci. Kalau ternyata Al-
Quran menggunakan kata ganti Allah dengan lafadz huwa, dan bukan hiya (untuk
perempuan), sama sekali tidak berarti bahwa Allah itu laki-laki. Juga tak
terkecuali kata nahnu, yang meski secara penggunaan asal katanya untuk kata
ganti orang pertama, jamak (lebih dari satu), baik laki-laki maupun perempuan,
namun sama sekali tidak berarti Allah itu berjumlah banyak.
Sama dengan tata bahasa lainnya. Dalam ilmu bahasa arab, penggunaan
banyak istilah dan kata itu tidak selalu bermakna zahir dan apa adanya. Karena
Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi.
Selain kata ganti tersebut ada juga kata „antum’ yang sering digunakan untuk
menyapa lawan bicara meski hanya satu orang. Padahal makna `antum` adalah
kalian (jamak). Secara rasa bahasa, bila kita menyapa lawan bicara kita dengan
panggilan „antum’, maka ada kesan sopan dan ramah serta penghormatan
ketimbang menggunakan sapaan "anta". Khusus kata „nahnu` tidak selalu
bermakna banyak, tetapi menunjukkan keagungan Allah SWT. Ini dipelajari
dalam ilmu balaghah.
Contoh: Dalam bahasa kita ada juga penggunaan kata “Kami” tapi
bermakna tunggal. Misalnya seorang Kepala Sekolah dalam pidato sambutan
18
berkata,”Kami sebagai kepala sekolah berpesan…. Padahal Kepala Sekolah
hanya dia sendiri dan tidak banyak, tapi dia bilang “kami”. Lalu apakah kalimat
itu bermakna bahwa Kepala Sekolah sebenarnya ada banyak, atau hanya satu ?
Kata “kami” dalam hal ini digunakan sebagai sebuah rasa bahasa dengan tujuan
nilai kesopanan. Tapi rasa bahasa ini mungkin tidak bisa diserap oleh orang asing
yang tidak mengerti rasa bahasa atau mungkin juga karena di barat tidak lazim
digunakan kata-kata seperti itu.6
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang ada pada tiap-tiap diri
hamba-Nya. Oleh karenanya bentuk penggunaan kata ganti kami bukan tanpa
alasan atau sebab begitu saja tanpa adanya maksud tertentu yang tersirat. Ada pun
maksud dari penggunaan kata ganti kami yang terdapat dalam al-Quran bertujuan
untuk:
1. Sebagai kata kami (nahnu) bermakna bahwa dalam mengerjakan tindakan
tersebut Allah melibatkan unsur-unsur makhluk (selain diri-Nya sendiri)
dalam kasus nuzulnya al-Quran makhluk-makhluk yang terlibat dalam
pewahyuan dan pelestarian keasliannya ialah sejumlah malaikat terutama
jibril, kedua; Nabi Muhammad sendiri, ketiga; para pencatat/penulis,
keempat; para huffadz (penghafal), dan lain-lain. Kalau diperhatikan
kebanyakan ayat-ayat yang bercerita tentang turunnya al-Quran, Allah
selalu menggunakan kata kami (nahnu).7
2. Selain itu ayat yang menggunakan kata "kami" biasanya menceritakan
sebuah peristiwa besar yang berada di luar kemampuan jangkauan nalar
6 Sumber: http://adiabdullah.wordpress.com/2008/12/02/kata-aku-dan-kami-dalam-
7 Ibnu Taimiyyah, Al Furqon Baina ‘l Haq wa ‘l Bathil (Dar Ihyai‟t Turotsi „l Arabi: tth),
hal 67
19
manusia, seperti penciptaan Adam penciptaan bumi, dan langit. Di sini,
selain peristiwa itu sendiri yang bernilai besar, Allah sendiri ingin
mengukuhkan/memberi kesan "Kemahaan-Nya" kepada manusia agar
manusia dapat menerima/mengimani segala sesuatu yang berada di luar
jangkauan nalar/rasio manusia. Seperti contoh berikut:
) ١١: ۷عراف/الا )
Artinya Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami
bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para Malaikat:
"Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali
iblis. Dia tidak Termasuk mereka yang bersujud.(QS. Al-'Araf: 7)
3. Kata ganti Tuhan (Allah) dalam al-Quran berbentuk tunggal dan jamak, itu
menunjukkan pihak-pihak yang berperan atau terlibat aktif dalam prosesi
berlangsungnya 'kata kerja'. Tugas-tugas seperti mencipta jin dan manusia,
kata ganti tunggal 'Aku' yang dipilih, itu artinya bahwa hanya Dia, dan
tidak ada campur tangan pihak lain, yang terlibat dalam tugas penciptaan
itu. Adapun tugas sepeti menurunkan rejeki, menjaga (otentisitas) al-
Quran dan sebagainya, digunakan kata ganti jamak 'Kami', itu berarti
bahwa benar Dialah yang pada tingkat hakiki menurunkan rejeki, namun
pada tingkat lahiriah manusia individu yang bersangkutan ikut pula
menentukan apakah ia akan memperolehnya (dengan segala kualitas dan
kuantitasnya) atau tidak.8
8 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, al-Aqidah at-Tadmuriah (Beirut: ttp, tth), hal. 109.
20
Lafadz (إوا)) dan (وحه) atau selainnya termasuk bentuk jamak, tapi dapat
diucapkan untuk menunjukkan seseorang yang mewakili kelompoknya, atau dapat
pula mewakili seseorang yang agung. Sebagaimana dilakukan oleh sebagian raja
apabila mereka mengeluarkan keputusan atau ketetapan, maka dia berkata, “Kami
tetapkan” atau semacamnya, padahal dia yang menetapkan itu hanyalah satu
orang. Akan tetapi diungkapkan demikian untuk menunjukkan keagungan.
Dengan kata lain ketika Allah menggunakan kata “Kami”, pada saat itu
Allah sedang menunjukkan kebesaran, keagungan, dan kemahaan-Nya. Sehingga
kata-kata “Kami” banyak digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan
penciptaan seperti penciptaan alam semesta, atau ketika Allah mengatakan
mengenai ayat-ayat (tanda-tanda)-Nya yg berada di alam. Atau ketika Allah
mengatakan “Kami maafkan”, saat itu Allah sedang mengagungkan Diri-Nya
sebagai Maha Pemaaf.
Sedangkan ketika Allah menggunakan kata “Aku”, Allah sedang
menegaskan ketunggalan-Nya, hanya Dia, keunikan-Nya. Jadi ketika Allah
mengatakan “ayaati (ayat-ayat-Ku) di beberapa tempat dalam Al-Qur‟an,
bukannya “ayaatiina (ayat-ayat Kami)” sebagaimana yang digunakan di banyak
tempat yg lainnya dalam Al-Qur‟an, Allah ingin menegaskan bahwa semua tanda-
tanda, semua ayat-ayat itu adalah milik-Nya semata.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwasannya Al-Quran adalah kitab
yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi, tak heran jika dalam hal ini
al-Quran pun sering terdapat perubahan dan pengulangan di sebagian ayatnya dari
segi bentuknya, yaitu penggunaan kata kerja, baik fi'il madhi atau fi'il mudhari.
21
Penggunaan kata kerja masa lampau (fi'il mâdhi) dan kata kerja masa kini (fi'il
mudha'ri) pun mengandung pemahaman yang jauh berbeda. Kata kerja masa
lampau, misalnya menunjuk kepada peristiwa yang terjadi pada masa lampau,
sedangkan kata kerja masa kini menunjuk kepada peristiwa yang terjadi secara
berulang-ulang.9
Seperti contoh berikut:
…. ... /(۹: ٦۹)فا طر
Artinya: Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki
kepada kamu dari langit dan bumi (QS. Fathir: 35)
Berdasarkan kaidah yang demikian pula, maka para ulama memahami lafal
yarzuqu dalam kalimat di atas, bahwa Allah memberikan rizki kepada makhluk-
Nya secara berulang-ulang dan berkesinambungan. Artinya pekerjaan memberi
rizki itu telah menjadi perilaku-Nya secara terus menerus. Itulah sebabnya Allah
di Dzariyat di sebut Razzâq. Dalam ayat 58
Dengan begitu dapat dimengerti bahwa Razzâq atau Râziq adalah sifat
yang tetap dan tidak berubah-ubah, sementara yarzuqu menggambarkan suatu
sikap yang terlaksana secara berulang-ulang dan berkesinambungan, tapi bukan
sikap yang menetap pada dirinya. Contoh lain yang sejalan dengan ini, misalnya
kosa kata infâq. Dalam al-Quran dalam rangka mendorong umat agar berinfak
Allah selalu menggunakan fi'il mudhari dalam berbagai konjugasinya ,يىفق, تىفق
dan lain-lain, tidak menggunakan isim (kata benda). Itu berarti kata يىفقون, تىفقون
9 Al-Suyûthi, al-Itqan Fî Ulûm Quran (Beirut: Dâr al-Fikr, tth), Juz-II., hal. 322
22
berinfak harus dilakukan secara berulang kali dan berkesinambungan secara terus
menerus, misalnya Allah berfirman: مثل الذيه يىفقون أموالهم في سبيل اهلل كمثل حبة
karena yang dikehendaki ialah مثل المىفقيه Allah tidak berkata .أوبتت سبع سىا بل...
agar mereka berinfak secara berulang-ulang dan terus menerus dan sifat mau
berinfak itu tidak perlu menyatu dalam diri mereka secara menetap. Berbeda
dengan iman, takwa, syukur dan lain-lain. Bentuk kosa kata tersebut dalam fi'il
mudhari dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bahwa sifat-sifat tersebut
harus diperbarui secara terus menerus dan berkesinambungan.10
Kata kerja fi'il mudhari menunjukan pada sesuatu yang dilaksanakan
secara berulang-ulang tapi belum merupakan sifat yang menyatu dalam diri
pelakunya, serta pemakaian kata kerja masa lampau (fi'il mudhari) pula tidak
memberikan pemahaman yang spesifik karena ia menjelaskan kejadian suatu
peristiwa pada masa lampau. Pemakaian kata kerja pada masa lampau juga
memberitakan peristiwa yang akan terjadi di masa depan mengandung makna
bahwa peristiwa itu pasti akan terjadi, cepat atau lambat dan tidak dapat ditolak
oleh siapapun.11
Apabila suatu ayat menggunakan fiil mudhari tetapi yang
ditunjukkannya sudah lampau, dinisbatkan kepada Allah, maka hal itu
menunjukan terus menerus.12
Selai itu menunjukan pengertian yang sebenarnya
dan itu berarti kata tesebut memiliki makna yang menjadi fokus utama ayat al-
10
Nashruddin Baidan, Wawasan Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet-1.,
hal. 322-323 11
Nashruddin Baidan, Wawasan Ilmu Tafsir , hal. 325 12
Rachmat Syafe'I, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006) hal.,239
23
Quran ini. kandungannya memiliki keberlangsungan sepanjang zaman, masa
sekarang dan masa mendatang13
.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa pemakaian satu lafal dalam al-Quran
bukan secara kebetulan, melaikan sengaja dibuat dengan sedemikian rupa agar
membawa pesan yang dimaksud dengan tepat dan mengenai sasarannya dengan
jitu dalam membingbing umat ke jalan yang benar demi memperoleh kebahagian
dunia dan akhirat.
B. Objek (Pelaku) Taklif
1. nafs
Kata nafs (وفس) dalam bentuk mufrad disebutkan 77 kali tanpa idhâfah dan
65 kali dalam bentuk idhâfah. Kata tersebut terdapat dalam surat al-Baqarah ayat:
48, 233, 281, 286, 30, 185; surat al-Imrân ayat: 25, 28, 93; surat an-Nisa ayat: 1,
79, 83 dan lain-lain. Kata nafs dalam bentuk jamak mengikuti pola (wazan af'al)
dalam al-Quran disebutkan 184 kali, diantaranya ialah, al-Baqarah ayat: 155, an-
Nisa ayat: 128, an-Nahl ayat: 16, az-Zumar ayat: 42.
Untuk mengetahui makna kata secara morfologis (leksikal) yang paling
mudah dilakukan adalah dengan melihat kamus Mu'jam al-Wajiz memberi
padanan kata nafs dengan ruh dan zat (subtansi) sesuatu.14
Kata nafs adalah bentuk mashdar. Kata ini diderivasi dari kata nafusa-
yanfusu-nafs (indah; berharga) nafisa-yanfisu-nafs (kikir; melahirkan) ketika kata
ini menempati bentuk mashdar, memiliki berbagai makna, seperti mengandung
13
H.D. Hidayat, al-Balaghah al-Jami'ah wa asy-syawahid min kalami al-Badi,
(Semarang: PT: Karya Toha Putra & Bina Masyarakat Qurani, tth), hal. 95, 14
Anonymous, al-Mu'jam al-Wajîz (Majma' al-Lughah al-Arabiyyah), hal. 627
24
pengertian mata, jahat, jasad, darah, tubuh, semangat, hasrat, kehendak, pendapat,
kemuliaan, hawa, hisapan, mufakat, orang, ruh, tegukan, model, ruh, akal, zat, dan
esensi.15
Dari pendapat Ali Atabik, kata nafs tampaknya memiliki banyak makna.
Dengan kata lain jenis kata tersebut dapat dikatakan sebagai jenis kata musytarak
lafdhi atau sebuah kata yang memiliki banyak makna. Ar-Râghib al-Ashfahâni,
menjelaskan kata nafs dengan memberikan padanannya yaitu dengan kata rûh.
(الىفس: السروح) Abdul Khamid Zahwan memberikan penjelasan makna kata nafs
dengan ruh, tubuh, nyawa, diri seseorang, darah, niat, orang dan kehendak16
.
Ibrahim Anis dalam Mu'jam al-Wasith memaknai kata nafs dengan kata ruh,
seperti dalam kalimat kharajat nafsuhu (ruhnya keluar) artinya ia telah mati.17
Manurut Abu Husen Ahmad bin Faris bin Zakariya kata nafs berasal dari kata
huruf nun-fa, dan sin. Kata ini mengandung pengertian bagaimana keluarnya
sesuatu yang lembut seperti, angin dan sebagainya ruh dan darah.18
Kata nafs dalam al-Quran disebutkan dalam bentu-bentuk kata jadian
seperti nafs, anfus, nufûs, tanâfasa, yatanâfasu, dan mutanâfisan. Kata nafs dalam
bentuk kata kerja hanya disebutkan dua kali. Satu dalam bentuk fi'il mâdhi, dan
yang satu dalam bentuk fi'il mudhâri. Kedua kata nafs tersebut sudah mengalami
perubahan pola (wazan) atau telah mengalami proses afiksasi yaitu tanaffasa
15
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, al-Mu'jam al-Ashri, (Yogyakarta: Pondok
Pesantren Krapyak, 1999), hal. 1932-1933., Lihat Muhammad Idris Abd al-Rauf al-Marbawi Idris
al-Marbawi, Juz-1, karya (Indonesia: Karya Insani), hal. 334 16
Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu'jam Mufradat al-Fadl al-Quran (Beirut: Libanon, Dâr al-
Fikr, tth), hal. 522 17
Abdul Khamid Zahwan, Kamus al-Kamil: Arab-Indonesia-Arab (Maktabah wa
Mahbaah Usaha Keluarga: ttp, tth), hal.549 18
Ibrahim Anis, al-Mu'jam al-Wasith (Maktabah wa Syirkah Makhfa al-Babi al-Halabi
wa Awladuhu: ttp, 1972), cet-II, Juz-II., hal. 360
25
Dalam bentuk tanaffasa artinya bernafas, menarik .(يتىافس) dan yatanâfasu (تىفس)
nafas dan bersenang diri.19
Ibn Mandhûr memaknai kata tanaffasa dengan
padanan kata minum (syariba), terbit (thala'), atau menyinari (nawwara).20
Sedangkan dalam bentuk yatanâfasu (يتىافس) maknanya adalah ( في رغب )
menyukai.21
Adapun kata nafs yang mengalami perubahan bentuk hanya satu kata yaitu
al-Mutanâfisûn المتىافسون) ) kata jadian ini terdapat dalam surat al-Muthaffifin ayat
26. Secara leksikal kata tersebut merupakn bentuk ism fa'il dan fi'il mâdhi تىافس
."jadi kata al-Mutanâfisûn bermakna "orang yang menyukai يتىافس22
Walaupun
kata itu berasal dari kata nafasa dan nafisa tetapi kata jadian tersebut terlalu jauh
dari makna kata dasarnya.
Ada pula kata jamak dimana suatu benda yang berjumlah dua atau lebih.
Dalam pendekatan semantik jika sebuah kata berbentuk jamak, tetapi belum
bergabung dengan kata lain maka tetap disebut kata tunggal. Semua kata nafs
dalam al-Quran yang berbentuk jamak adalah bermakna kully/tarkiby (karena
sudah bergabung dengan kata lain). Kata nafs dalam al-Quran yang menunjukan
jumlahnya lebih dari dua disebutkan sebanyak 160 kali. Al-Quran menyebutkan
dua kali dalam bentuk nufûs yang mengikuti pola bentuk jamak (فعول) dalam
bahasa Arab seperti dalam surat at-Takwir ayat 7 dan al-Isra ayat 25; dan 158
dalam bentuk anfus mengikuti pola bentuk jamak (أفعل). Seperti di bawah ini:
19
Abdul Khamid Zahwan, Kamus al-Kamil: Arab-Indonesia-Arab (Maktabah wa
Mahbaah Usaha Keluarga: ttp, tth), hal. 549 20
Ibn Mandzur, Lisân al-Arab (Dâr al-Ma'arif: ttp, tth), jil-VI.,hal. 237 21
Muhammad Abd al-Lathif al-Sabaki, al-Mukhtâr min Shihhah al-Lughah, hal. 533 22
Muhammad Abd al-Lathif al-Sabaki, al-Mukhtâr min Shihhah al-Lughah, hal. 533
26
/(۷: ٨٤)التكوير
.../(٠٦: ٤۷)االسراء
.../(٥٨٠: ٠)البقراة
...
(٠:٠۹۹البقراة/)
Pada surat al-Baqarah ayat 233 dan 286 di atas kata nafs mengandung
pengertian "individu" manusia dalam arti fisik manusia dari sisi luarnya dan psikis
manusia dari sisi dalamnya. Karena secara konteks linguistik kata nafs salah satu
kata yang menjadi unsur kalimat dari dua struktur kalimat yaitu "la tukallafu
nafsun ila wus 'aha" dan struktur kalimat "la yukallifullahu nafsan ilâ wus 'aha"
kata nafs pada kedua struktur di atas berfungsi sebagai pergerakan manusia.
… /(١:١٨)النساء
Kemudian kata nafs dalam surat an-Nisa ayat 84 di atas bermakna
kewajiban karena berhubungan dengan kalimat "fa qâtil fi sabilillâh lâ tukalafu
'illa nafsaka". Kata nafs bermakna kewajiban dalam ayat ini, karena berkaitan
dengan asbâb an-nuzûl dan sejarah ayat ini diturunkan. Berdasarkan konteks
sejarahnya, ayat ini muncul karena merupakan perintah Allah kepada Nabi
Muhammad SAW untuk pergi berperang ke Badar kubrâ. Ayat ini berhubungan
27
dengan keengganan dengan sebagian orang-orang Madinah untuk pergi berperang
bersama Nabi ke tempat itu.
.... )/٥:٤٦٠االنعام)
Makna kata nafs pada surat al-An'am ayat 152 di atas adalah bermakna
manusia dari sisi dalam dan sisi luarnya. Manusia dari sisi luarnya adalah akal dan
dari sisi luarnya adalah fisik. Kata nafs mengandung makna demikian karena
berkaitan dengan struktur kalimat sebelum dan sesudahnya, yaitu wa aufû al-kaila
wa al-mizâna bi al-qisthi- lâ nukallifu nafsan illâ wus 'ahâ. Kegiatan penakaran
dan penimbangan memerlukan dua unsur, yaitu kesanggupan akal dan
kemampuan fisik.
Kesimpulannya makna kontekstual kata nafs dalam al-Quran yaitu
mencakup: kata nafs konteks sejarah seperti dalam surat an-Nisa ayat 84,
maknanya adalah perintah Allah kepada Rasul untuk berperang. Selain itu kata
nafs bisa berarti budaya (tsaqâfi) seperti dalam surat al-Maidah ayat 32
) /۹٠: ٦المائدة)
Artinya: Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
28
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan
dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia
seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul
Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas
dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (QS. Al-Maidah: 32)
2. Nabi Muhammad. SAW
Disadari atau tidak, wujud Tuhan (Allah) pasti dirasakan oleh jiwa
manusia baik redup, atau pun benderang. Manusia menyadari bahwa suatu ketika
dirinya akan mati. Kesadaran ini mengantarkannya pada pertanyaan apa yang
akan terjadi setelah kematian, bahkan menyebabkan manusia berusaha
memperoleh kedamaian dan keselamatan di negeri yang tidak diketahui itu.
Wujud Tuhan (Allah) yang dirasakan, serta hal kematian, merupakan dua
dari sekian banyak faktor pendorong manusia untuk berhubungan dengan Tuhan
dan memperoleh informasi yang pasti. Namun, tidak semua manusia mampu
melakukan hal itu, kemurahan Allah menyebabkan-Nya memilih manusia tertentu
untuk menyampaikan pesan-pesan Allah, baik untuk waktu dan masyarakat
tertentu, atau untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat. Mereka yang
mendapat tugas itulah yang dinamai Nabi (penyampai berita) dan Rasul (utusan
Allah).23
Jumlahnya yang banyak sehingga secara pasti tidak diketahui, al-Quran
hanya menginformasikan bahwa:
23
M. Quraish Syihab, Wawasan al-Quran (Tafsir Maudhu'I atas Berbagai Persoalan
Umat), (Bandung: Mizan, 1997), cet-V., hal. 41
29
) ١٢:۷٨/غافر)
Artinya: dan Sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul
sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan
di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. (QS.
Ghafir: 78)
Dalam sejarah, peradaban Islam tidak dapat dipisahkan dari sejarah
seorang tokoh agung yang dilahirkan dalam lingkungan masyarakat jahiliah dan
paganis di Jazirah Arab. Dia adalah Muhammad bin „Abdullah, rasul terakhir. Al-
Quran menyebutkan secara tegas nama dua puluh lima Nabi dan Rasul 18 kali,
Nabi Muhammad salah satunya-diutus kepada seluruh manusia, dan merupakan
khataman nabiyyin (penutup para Nabi) disebutkan dalam al-Quran. Firman
Allah:
( ١٢: ۹۹/)االحزاب
Artinya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan
adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(QS. Al-Ahzab: 40)
Nama Muhammad SAW. disebutkan dalam Al-Quran dengan dua jenis
sebutan yaitu Muhammad dan Ahmad. Sebutan Nabi dengan nama Muhammad
terulang 4 kali, sedangkan Ahmad hanya disebutkan satu kali. Kalau mengamati
nama Nabi Muhammad, maka sebenarnya akar katanya terambil dari kata حمد,
kata itu disusun dengan 4 huruf yaitu, ẖ a, mim (sukun), mim (fathah) dan dal.
30
Ketika menghitung nama Nabi dengan Muhammad SAW terulang sampai 4 kali
sungguh ini berarti tepat dengan jumlah huruf dari akar katanya. Tapi walaupun
seperti itu Nabi Muhammad SAW. juga disebutkan dalam al-Quran dengan nama
Ahmad dan itu terulang hanya satu kali. Tepatnya 4 di tambah 1 jumlahnya 5, itu
juga berarti sesuai dengan jumlah huruf nama beliau ketika ditulis dengan bahasa
Arab yakni محمد , mim (dommah), ẖ a (fathah), mim (sukun), mim(fathah) dan dal
(sukun).24
Nama Muhammad dalam Al-Qur‟an dapat kita temui dalam 4 ayat sebagai
berikut:
)
(١١١: ۹االعمران/
Artinya: Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah
berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau
dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik
ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah
sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang
bersyukur.(QS. Al-Imran: 144)
) ١٢: ۹۹/ االحزاب)
Artinya: Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
di antara kamu., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan
adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Ahzab: 40)
24
http://infosyiah.wordpress.com/2007/04/06/nama-nabi-muhammad-saw-dalam-al-
quran/
31
/( ٠: ١۷)محمد
Artinya: dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman
kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan Itulah yang haq dari
Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan
memperbaiki Keadaan mereka. (QS. Muhammad: 2)
/( ٠۹: ١٨)الفتح
Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud
mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak
pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman
yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat
lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar. (QS. Al-Fath: 29)
Dan nama sebutan Ahmad untuk Nabi Saw dapat di baca dalam surat As-
Shaf ayat 6 yaitu:
32
…. /(٦: ٥٤)الصف
Artinya: dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil,
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab
sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan
(datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya
Ahmad (Muhammad)." (QS. Asy-Shaff: 6)
Baik kata Ahmad atau Muhammad sebenarnya artinya sama yaitu yang
dipuji atau terpuji. Bagaimana ketika Allah SWT memanggil Nama Nabi
Muhammad SAW? tidak satupun ayat yang mencantumkan panggilan Nabi
Muhammad itu menggunakan kedua namanya yakni Muhammad dan Ahmad,
Tapi Allah Swt memanggilnya dengan kata “ Wahai Nabi , Wahai Rasul , Wahai
Orang Berselimut” dan lain-lain25
. Bahkan dalam Al-Qur‟an Surat an-Nur Ayat
63 Allah SWT. melarang siapapun dari sahabat-sahabat Nabi Saw untuk
memanggil beliau dengan menyebutkan namanya, sepertinya sangat tidak suka
kalau kekasihnya itu di samakan panggilannya dengan yang lain. Firman Allah:
)/٥۹: ٠١النور)
Artinya: janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti
panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). (QS. An-Nur:
63)
Dalam tafsir Majmu‟ al-Bayan dikatakan: “nama Muhammad dan Ahmad
adalah nama yang dipilih oleh Allah untuk Rasulullah saw”. dalam tafsir al-
Amtsal disebutkan: “nama Muhammad adalah nama yang dipilih oleh Abdul
25
M. Quraish Syihab, Wawasan al-Quran (Tafsir Maudhu'I atas Berbagai Persoalan
Umat), (Bandung: Mizan, 1997), cet-V., hal. 55
33
Muthallib, kakek Rasulullah untuk beliau, sedangkan nama Ahmad adalah nama
yang dipilih oleh Aminah, ibu Rasulullah untuk beliau. Demikian juga Abu
Thalib paman Rasulullah memanggil beliau dengan Muhammad dan Ahmad.
Muhammad berasal dari kata Hamd, yang berarti pujian. Ahmad adalah orang
yang paling banyak memiliki pujian Ilahi di antara semua makhluk. Muhammad
adalah nama Rasulullah di bumi dan Ahmad adalah nama beliau di langit.
Kata Nabi dan Rasul banyak disebutkan dalam ayat-ayat al-Quran. Yang
paling banyak disebutkan untuk beliau adalah "Nabi" yakni orang yang
diturunkan kepadanya wahyu dan pembawa kabar gaib. Ia menyampaikan pesan
ilahi, meskipun tidak diperintahkan untuk menyampaikan ajaran secara terang-
terangan. Sedang "Rasul" adalah seorang nabi juga memiliki tugas menyampaikan
ajaran ilahi mengajak untuk memeluk agama Ilahi. Kerasulan dan kedudukan
yang lebih tinggi dari kenabian
Oleh karena itu, kelebihan Nabi Muhammad atas nabi-nabi lainnya adalah
Allah tidak memanggil beliau dengan nama, sedangkan nabi-nabi yang lain
dipanggil dengan nama, seperti “Ya Musa! Ya Daud! Dan lain-lain. Tetapi beliau
dipanggil dengan “Ya Ayyuha an-Nabi! Ya Ayyuha ar-Rasul!”
Penyebutan kata Muhammad sendiri dalam al-Quran, ini menunjukkan
akan kemutlakan beliau sebagai hamba. Menjadi hamba Allah secara mutlak
merupakan nilai kemanusiaan yang tinggi, bahkan paling tinggi nilai
kemanusiaannya. Penghambaan kepada Allah adalah sarana untuk mencapai
kesempurnaan maknawi.
35
BAB III
BERKAITAN DENGAN TAKLIF: TINJAUAN NORMATIF
DAN APLIKATIF
A. Amal Ibadah
Penyakit jiwa yang saat ini merajalela diseluruh dunia adalah karena
manusia mengabaikan kebutuhan ibadah. Jumlahnya tidak dapat kita duga, tetapi
begitu jelas dan nyata. Naluri untuk bertobat dan beribadaah termasuk salah satu
fenomena spiritual manusia yang paling purba, bertahan lama, dan paling
mengakar. Kajian terhadap berbagai peninggalan purba kala menunjukan bahwa
dimana saja manusia hidup disana pasti ditemukan jejak-jejak praktik peribadatan
meskipun satu sama lain berbeda bentuk, cara, dan objeknya
Bentuk peribadatan setiap kelompokpun berbeda-beda pada awalnya,
mungkin manusia menari-nari dan menggelar ritual-ritual rutin secara berjamaah
disertai dzikir dan melantunkan puja-puji hingga pada puncaknya mereka larut
dalam ketundukan dan kekhusuan sakral, tenggelam dalam irama dzikir dan
pujian suci. Objek peribadatan merekapun berkembang mungkin pada awalnya
mereka menyembah batu dan kayu, lalu akhirnya menyembah dzat Ajali yang
Kekal, yang tidak terikat batas ruang dan waktu.
Islam sebuah kata bahasa Arab yang berarti pasrah kepada Allah SWT.
Agama yang mendatangkan kedamaian bagi umat manusia apabila mereka mau
memasrahkan diri kepada Allah dan menyerahkan kemauan mereka kepada
kehendak-Nya. Dengan demikian manusia itu diciptakan bukan sekedar untuk
36
hidup mendiami dunia ini kemudian mengalami kematian tanpa adanya
pertanggung jawaban kepada penciptannya, melainkan manusia itu diciptakan
oleh Allah SWT. untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya.
Untuk menjadi seorang muslim sejati diperlukan tiga hal yaitu:
kepercayaan, perbuatan, dan kesadaran. Kepercayaan kepada Allah SWT. serta
diiringi kesadaran dan perbuatan terciptanya hubungan manusia dengan Tuhan
(horizontal), sedangkan dari hubungan horizontal tersebut buahnya ialah
hubungan antar sesama makhluk hidup (vertikal).1
Sebagaimana yang dikonsepkan di atas, mengandung isyarat akan
kepastian adanya yang memberi atau melimpahkan beban kepada pihak yang
menerimanya, yaitu mukallaf. Pembebanan terhadap mukalaf itu sendiri tidak
serta merta berupa tanggungan yang harus dilaksanakan dan berhubungan dengan
pemberi beban dalam hal ini Allah SWT. dan penerima (hamba), tetapi terkadang
perintah yang datang itu juga berkaitan antar sesama. Dengan kata lain taklif
disini secara tidak langsung memiliki hubungan antar manusia dengan Tuhan-Nya
(Hablum min Allah), dan hubungan antar sesama manusia (Hablum min an-Nass).
.../(٢۸٦: ٢)البقراة
Artinya: Allah SWT. tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (QS. Al-Baqarah: 286)
Ayat di atas menunjukan bahwa setiap tugas yang dibebankan kepada
seorang tidak keluar dari tiga kemungkinan; pertama, mampu dan mudah
1 Khurshid Ahmad, Pesan Islam (Bandung: Pustaka, 1983), cet-1., hal.3
37
dilaksanakan, kedua, sebaliknya tidak mampu dia laksanakan, dan ketiga, dia
mampu melaksanakannya tapi dengan susah payah dan terasa sangat berat.2
Artinya dalam hal ini kewajiban yang diterima seseorang dari Tuhannya itu,
merupakan sesuatu yang dapat dipikul dan dilaksanakan dengan baik apabila dia
berusaha dengan kekuatannya sendiri, sekalipun itu membutuhkan usaha yang
keras.
Selain itu Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya
mengatakan: orang yang membenarkan Allah dan Rasulnya, serta mengakui dan
membenarkan apa yang dibawa dan disyariatkan akan menjalankan apa yang
Allah SWT. perintahkan kepada mereka dengan menaati dan menjauhi apa yang
dilarang-Nya. Dan Allah SWT. tidak memikulkan kewajiban kepada diri
seseorang melainkan sekadar kesanggupannya. Kami tidak akan membebankan
amal-amal kepada satu jiwa pun kecuali yang sanggup dilakukannya sehingga
tidak memberatkannya.3
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwasannya kewajiban pertama seorang
muslim tak peduli dibagian dunia manapun ia hidup adalah mempraktikan ibadah
yang teratur di dalam kehidupannya.4 Ibadah itu sendiri berarti merendahkan diri
serta tunduk, yang berarti merendahkan diri dihadapan Allah SWT.
Manusia yang telah menyatakan dirinya sebagai muslim dituntut untuk
senantiasa melaksanakan ibadah sebagai pertanda keikhlasan mengabdi diri
2M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, jil. 1.,
cet. 1., hal. 751 3 Abû Ja'far Muẖammad bin Jarir ath-Ṯabari, tahqiq: Ahmad Abdurraziq al-Bakri,
Muẖammad Adil Muẖammad, Muẖammad Abdul Latif Khalaf, Maẖmud Mursi Abdul Hamid,
Tafsir ath-Ṯabari (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jil. 11., hal. 107 4 Suzanne Haneef, Islam dan Muslim (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), cet-1., hal. 229
38
kepada Allah SWT. tanpa adanya ketaatan beribadah, berarti pengakuannya
sebagai muslim diragukan dan dipertanyakan. Jika ada kesenjangan antara
pengakuan dan amal ibadah, berarti ia belum memahami sepenuhnya konsepsi
syariat Islam tentang kewajiban mengabdi kepada Allah SWT.5
Ibadah dalam Islam itu sendiri merupakan cara untuk mensucikan jiwa dan
amal perbuatan manusia sehari-hari. Dasar ibadah ialah kenyataan bahwa manusia
adalah makhluk Allah SWT. dan karenanya juga budak Allah SWT, pencipta dan
Raja kepada siapa manusia ditakdirkan untuk kembali. Jadi berpalingnya manusia
kepada Allah SWT, dalam komuni yang intim, penuh hormat, dan dalam
semangat pengabdian serta penyerahan yang rendah hati ini disebut Ibadah.6
Allah telah memberikan peringatan kepada kita, bahwa hidup di atas dunia
ini tidak lain hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. atau dalam bahasa
keseharian mengabdi kepada Tuhan.
Firman AllahSWT :
/(١٣ :۹)التوبت
Artinya: Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. (QS. At-Taubah: 31)
) /٥ :۹۸البينت)
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah: 5)
5Iftitah Jafar, Konsep Ibadah dan Dakwah dalam al-Quran (Yogyakarta: Cakrawala,
2009), cet-1., hal. 103 6Khursid Ahmad, ISLAM: Its Meaning and Message, Pesan Islam, Terj. Achsin
Mohammad (Bandung: Pustaka, 1983), hal. 126
39
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa hendaklah kita sadar bahwa segala
gerak-gerik kita hidup di dunia ini hendaklah didikan ibadah kepada Allah SWT.
semata-mata. Supaya hidup kita lebih berharga, tidak terbuang secara percuma.
Berkaitan tentang ibadah, Islam memilki pandangan sendiri bahwa setiap
pemeluk Islam yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, akalnya sempurna
dapat berfikir dengan baik, baligh, mumayyiz (mampu membedakan mana yang
baik dan buruk, serta dapat memahami dengan baik apa yang diterima dari lawan
bicaranya itu, maka seketika itu pula telah di kenai beban untuk melaksanakan
ibadah secara sempurna. Seluruh hukum syar'i yang berkenaan dengan perintah
atau larangan yang datang dari Allah SWT. dan Rasul-Nya wajib untuk dipatuhi
dan ditaati. Dari pengertian tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa tidak
seorang pun boleh menyangkal bahwa dia tidak mampu, sesungguhnya Allah
SWT. telah memberikan kesanggupan serta kemampuan terhadap masing-masing
individu atau kelompok untuk dapat memikul beban yang diberikannya, tanpa
harus berdalih dia tidak cukup mampu untuk menerima beban yang dihadapinya.
Oleh karena itu tidak satu pun anjuran dan perintah-Nya yang tidak
bernilai ibadah. Bahkan menurut Islam, setiap aktivitas manusia yang sesuai
dengan ketentuan Allah SWT. dinilai ibadah.7
Firman Allah SWT.:
(/٣٦:۹۹النحل)
7 Ahmad Thib Raya, Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk-Beluk Ibadah Dalam Islam
(Jakarta: Prenada Media, 2003)cet-1., hal. 141
40
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami
beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan.(QS. An-Nahl: 97)
Manusia yang mempunyai pandangan hidup bahwa semua aktivitasnya
diarahkan pada amal shalih berarti memandang materi, harta, pangkat, jabatan,
dan lainnya adalah alat untuk mencapai tujuan hidup yang diridhai Allah SWT.
Sikap demian sangat terpuji di sisi Allah SWT, karena mengikuti, patuh, dan taat
atas setiap perintah dan larangan yang diberikan-Nya. Firman Allah SWT:
… )/١۸: ٢البقراة )
Artinya: Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak
ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".(QS.
Al-Baqarah: 38)
Ayat di atas menunjukan kemampuan intern untuk membentuk diri adalah
milik manusia, tidak ada makhluk lain yang menyandang kemampuan ini,
sehingga hanya manusia sajalah yang dapat secara bebas menentukan perbuatan
dan masa depan. Hal ini karena manusia memiliki kemampuan insani yang
istimewa, kemampuan yang paling penting, yakni daya nalar yang luar biasa
menuju kehidupan yang mereka inginkan. 8
Perlu diingat kewajiban-kewajiban moral yang berupa taklifi dari Tuhan adalah
mustahil jika tanpa disertai tanggung jawab. Bagaimanapun juga ia akan diminta
8 Murtadho Munṯ ahari, Perspektif Islam Tentang Manusia dan Agama, Terjemahan,
(Bandung: Mizan, 1995), cet-7., hal. 138
41
pertanggung jawaban atas perbuatannya, dan tanggung jawab tersebut merupakan
syarat mutlak dan mesti dari kewajiban moral.9 Firman Allah SWT:
… /(٢۸٦: ٢)البقراة
Artinya: Allah SWT. tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(QS. Al-Baqarah: 286)
Melihat ayat di atas pula al-Maraghi lebih melihat pada kemurahan atas
sifat Allah SWT. bukan karena ketidak berdayaan manusianya. Hal ini dapat
terlihat jelas dalam kitaf tafsirnya yaitu,10
"bahwa faktor penyebab tidak adanya
hukuman karena lupa dan bersalah, hal ini dikarenakan mendapat ampunan dari
Allah SWT. Dan faktor tidak adanya pembebanan kewajiban yang berat adalah,
karena mendapat magfirah. Sedangkan faktor yang menyebabkan tidak adanya
beban yang menyulitkan adalah karena rahmat Allah SWT ."
Baik itu ibadah yang berupa lafdziyah atau pun ibadah berupa tindakan
amaliyah11
jika menilik pada pemahaman ayat di atas maka setiap tindakan yang
dilakukannya semua akan menimbulkan dampak balasan dalam kehidupan ini,
firman Allah
/(۸: ۹۹)الزلزلت
9 Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1988), cet-1.,
hal. 13 10
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj.Bahrun Abu Bakar, Hery Noer
Aly, Anshori Umar Sitanggal, juz-1, 2, 3., cet-2., hal. 152 11 Ibadah lafalz adalah rangkaian kalimat dan dzikir yang diucapkan dengan lidah seperti,
hamdalah, al-Quran, dzikir dalam sujud, ruku dan tahiyat shalat, atau membaca talbiyyah
dalam ibada haji. Sedangkan ibadah amal adalah seperti ruku dan sujud dalam shalat,
wukuf di padang Arafah dan tempat-tempat suci lainnya dan thowaf. Dan kebanyakan
ibadah dalam Islam merupakan perpaduan antara ibadah lafadz dan amal seperti shalat
dan haji.
42
Artinya: dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.(QS. Al-Zalzalah:
8)
Dalam konsepsi Islam itu sendiri, ibadah merupakan kerangka umum bagi
setiap ajarannya. Jika ibadah dilaksanakan dengan baik, sebagai imbasnya, baik
pula kehidupan moral dan sosial seseorang. Sebaliknya jangan pernah percaya
bahwa seorang punya kehidupan moral dan sosial yang baik, sementara ibadahnya
berantakan seperti masalah kebanyakan dewasa ini yaitu: pelajar yang melakukan
mabuk-mabukan,12
penggunaan narkoba oleh berbagai kalangan, bunuh diri,
tindakan criminal yang merajalela, membunuh antar sesama, dan lain sebagainya.
Jika kita melihat banyak orang melakukan ibadah, tetapi belum dapat
memunculkan sikap dan prilaku terpuji serta kebersihan jiwa, maka sebenarnya
perbuatan ibadahnya itu belum dapat dikatakan sesuai dengan ibadah dalam
pengertian sebenarnya, yaitu senantiasa mawas diri dan taqarrub kepada Allah
SWT.13
Kita tidak mungkin mengakui keberimanan seseorang yang tidak mau
shalat, namun memiliki kepribadian yang baik. Karenanya, tidak mengherankan
bila sebagian manusia menyerah dan berdalih, "ibadah itu tidak mudah. Hal ini
dikarenakan disatu sisi kita punya urusan menyangkut keluarga, istri, dan anak-
anak, serta pekerjaan.
Bagi sesorang mukmin, maka hendaknya berusaha untuk menghindari dari
perbuatan-perbuatan keji meskipun sifatnya kecil, Rasulullah menyerukan agar
12
http://www.organisasi.org/1970/01/faktor-penyebab-alasan-seseorang-memakai-
menggunakan-narkoba-narkotika-zat-adiktif.htm 13
Abuddin Nata, Kajian Tematik al-Quran Tentang Fiqih dan Ibadah (Bandung:
Angkasa, 2008), cet-1., hal. 51
43
umat Islam waspada terhadap masalah-masalah remeh dan berusaha mencegahnya
serta senantiasa membersihkan bekas-bekas perbuatan itu, baik dalam kehidupan
pribadi maupun dalam bermasyarakat. Akan lebih baik jika sesorang mukmin
mengerjakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT. dan Rasulnya untuk
mendapatkan ganjaran kebaikan kelak dan mendapatkan kehidupan yang
senantiasa diridhai Allah SWT.14
Kesimpulannya, manusia yang cenderung mengira bahwa dirinya
dibiarkan begitu saja, sehingga ia berbuat sesuai dengan hawa nafsunya serta
mengabaikan petunjuk yang telah digariskan oleh al-Quran melalui risalah Rasul
adalah keliru. Sungguh syariat Allah SWT. tidak membebani seseorang di luar
kesanggupannya. Semua kewajiban dari Allah SWT. ada dalam kesanggupan
dirinya. Semua kewajiban dari Allah SWT. ada dalam kesanggupan manusia dan
kekuatannya. Dia lah yang akan membalas hamba pada hari kiamat.15
B. Menyusui Anak
Islam adalah agama yang sempurna, kesempurnaan itu dapat dilihat salah
satunya dibuktikan dengan nilai dan prinsipnya yang ditetapkan untuk mengatur
kehidupan umatnya. Mulai dari kehidupan seseorang dengan Tuhannya,
kehidupan dirinya dengan orang lain, alam sekitar dan kehidupan yang mengatur
dirinya sendiri, termasuk salah satunya berkenaan dengan pernikahan.
14
Al-Ghazali, Menjadi Muslim Ideal: Meletakan Islam Sebagai Petunjuk dan Penerang
Kehidupan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet-2., 125-126 15
Muhammad Ali ash-Sabuny, Cahaya al-Quran Tafsir Tematik, terj, Kathur Suhardi
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), cet-1., hal.398
44
Pernikahan itu sendiri merupakan komitmen dua belah pihak, antara suami
dan istri untuk menjalani kehidupan bersama dengan membentuk keluarga. Untuk
membentuk keluarga maslahah perlua ada niat dan usaha dari kedua belah pihak,
sehingga segala hal yang mengarah kepada pembentukan keharmonisan keluarga
seperti saling setia, menjaga rahasia keluarga, saling membantu, menyayangi
serta melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing adalah keawajiban
bersama antara suami dan istri.
Salah satu tujuan pernikahan adalah meneruskan keturunan, yaitu adanya
anak. Dengan adanya anak berarti hubungan dan relasi dalam berkeluarga
bertambah, tidak hanya suami dan istri, tetapi juga antara orang tua dan anak.
Sebagaimana antara suami dan istri, relasi antara orang tua dan anak juga diatur
dalam Islam.
Adanya pengaturan kewajiban dan hak antara orang tua dan anak pada
dasarnya adalah dalam rangka merealisa sikan tujuan pernikahan yaitu
membentuk keluarga harmonis dan bahagia. Kasih sayang antara orang tua dan
anak pada dasarnya adalah fitrah manusia, bahkan fitrah dari seluruh makhluk
hidup di Bumi ini, tidak terkecuali binatang ganas sekalipun tentu akan
menyayangi serta melindungi anaknya. Kasih sayang seorang bapak dengan
mencari dan memberi nafkah kepada istri dan anaknya, sedang kasih sayang ibu
dengan memberi perhatian besar kepada anaknya dari mulai kandungan,
melahirkan, dan menyusui.16
Firman Allah:
16
Tafsir al-Quran Tematik: Membangun Keluarga Harmonis (Departemen Agama RI,
2008), jil-3., cet-1., hal.115
45
(/٢:٢١١البقراة)
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
bertakwalah kamu kepada Allah SWT. dan ketahuilah bahwa Allah SWT.
Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 233)
Ayat di atas menyampaikan empat hal; pertama petunjuk Allah SWT.
kepada para ibu agar senantiasa menyusui anak-anaknya secara sempurna, yakni
dua tahun sejak kelahiran sang anak. Kedua, kewajiban ayah memberi makanan
dan pakaian kepada para ibu yang menyusui dengan cara yang baik. Ketiga,
diperbolehkannya menyapih anak sebelum dua tahun asalkan dengan kerelaan dan
permusyawarahan keduanya. Keempat, adanya kebolehan menyusukan anak
kepada perempuan lain.
46
Menyusui anak adalah salah satu kodrat perempuan selain haid,
mengandung, dan melahirkan. Semua perempuan normal pasti memiliki dan
merasakan kodrat ini. Pada kodrat inilah cinta kasih sayang dan perlindungan
seorang perempuan serta seorang ibu kepada anaknya terbentuk. Di dalam organ
menyusui Allah SWT. meletakan kehormatan dan kemuliaan perempuan.17
Oleh
karenanya bagi setiap perempuan yang bisa menjaga dengan baik sesuai dengan
perintah Allah SWT. dan Rasul-Nya, maka kemuliaan diri dan surga menjadi
miliknya.
Terlepas dari alasan kesehatan, anak tidak mau disusui ibunya, dan alasan
lain yang dibenarkan secara syar'i, seorang ibu harus menyusui anaknya.
Sedangkan tujuan lain yang mengandung motivasi nafsu duniawi dan syahwat,
seperti menjaga kebagusan dan kecantikan bentuk tubuh (payudara) untuk
menarik perhatian dari lawan jenis, dan lain sebagainya adalah alasan yang
dilarang secara syar'i.
Sang ibu wajib menyusukan anaknya kalau memang dia ditentukan untuk
itu, apabila tidak ada wanita lain yang mengambil alih tugas menyusui anak
tersebut atau bayi itu tidak mau menyusu kecuali kepada ibunya saja, atau sang
ayah dan bayi itu tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar upah wanita
lain yang akan menyusukan, dan juga tidak ada wanita lain yang mau menyusukan
bayi tersebut dengan gratis.18
17
Ahmad Husain Ali Salim, Terapi al-Quran: Untuk Penyakit Fisik dan Psikis Manusia,
terj. Muhammad al-Mighwar (Jakarta: Asta Buana Sejahtera, 2006), cet-1., hal. 56 18
Zakariya Ahmad al-Barrya, Hukum Anak-Anak dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1977), cet-1., hal. 43
47
Seorang ibu bertugas menyusukan anaknya dengan air susu yang terjadi
segera setelah lahirnya anak itu; karena anak itu akan menjadi kuat dan tegap
badannya dengan meminum air susu permulaan itu. Adapun pada hari-hari
berikutnya, maka si ibu tidak lagi wajib menyusukan anaknya itu, baik ia berstatus
sebagai istri yang resmi, atau pun yang telah diceraikan dan ada wanita lain yang
akan menyusuknya, maka si ibu wajib menyusukan anak itu untuk selanjutnya
sampai disapih, baik statusnya sebagai istri yang resmi ataupun yang telah
diceraikan.
Kata al-walid itu sendiri dihubungkan dengan kata yurdi'na yang terdapat
dalam ayat 233 surat al-Baqarah mengandung arti umum, yakni semua perempuan
yang dapat menyusui, bukan hanya ibu yang melahirkannya.19
Sejalan dengan
pendapat tersebut M. Quraish Shihab menguraikan bahwa kata al-walid dalam
penggunaan al-Quran berbeda dengan kata ummah yang merupakan bentuk jamak
dari kata um. Kata ummah biasanya digunakan untuk menunjukan kepada para
ibu kandung, sedangkan kata al-walid maknanya ialah para ibu, baik ibu kandung
atau bukan.20
Selain itu perempuan yang diwajibkan menyusui anaknya adalah ibu yang
telah dicerai, khususnya cerai bain dan budak. Adapun jika ibu anak itu masih
berstatus istri walau telah ditalaq secara raji', maka kewajiban memberi makan
dan pakaian adalah atas dasar hubungan suami istri, sehingga bila mereka
menuntut imbalan penyusuan anaknya, maka suami wajib memenuhinya selama
19
Muẖammad ibn Asyr, al-Taẖrir wâ al-Tanwir (Tunis: Dâr Sahnun Linnasy wâ al-
Tawzȋ, tth), hal.429 20
M. Qurais Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, jil-1., hal.
470
48
tuntutan itu wajar. Muhammad Abduh mengatakan bahwa fuqaha tidak
mewajibkan ibu menyusui anaknya, menurutnya suamilah yang berkewajiban
menyusui anaknya dengan cara mencarikan ibu susuan untuk anaknya, kecuali
kalau suami tidak sanggup untuk itu.21
Oleh karenanya bagi seorang ibu yang berkeinginan menyusui, tidak dapat
dihalangi. Hal itu merupakan salah satu haknya dan juga hak anaknya. Untuk
memenuhi hak tersebut, maka suami berkewajiban untuk memenuhi segala
kebutuhan mereka yang berkaitan dengan penyusuan. Hal ini dikarenakan sudah
menjadi sebuah keyakinan bahwa yang berkewajiban menyusui bayi adalah
ibunya sendiri, lantaran ibu memegang peranan penting dalam menciptakan
sumberdaya manusia yang berkualitas, generasi penerus yang lahir sebagai anak
yang cerdas berawal dari masa prenatal atau sebelum kelahiran yaitu kehamilan,
masa menyusui, balita, masa kanak-kanak dan seterusnya.
Berkaitan dengan ayat di atas bahwa
"Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya".
Makna ayat ini seorang istri tidak dibebani untuk bersabar dalam menerima upah
yang minim dan suami tidak dibebani untuk mengeluarkan nafkah di luar batas
kewajaran, akan tetapi ia harus memperhatikan nilai-nilai kesederhanaan.22
Artinya
dalam hal ini suami dipersilahkan untuk memilih hak menyusukan anaknya
kepada istrinya, atau disepakati terlebih dahulu untuk kemudian nantinya
21
Muẖammad Abduh, Tafsir al-Manar (Mesir: ttp, 1914), hal. 409-410 22
Syaikh Imam al-Quṯubi, Tafsir al-Qurṯubi, terj. Fathurrahman, Ahmad Hotib, Dudi
Rasyadi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet-1., jil-3., hal.349
49
meyerahkan kepada orang lain. Dalam hal ini Allah SWT. tidak memberikan
beban kewajiban kepadanya.
Kalau misalnya si ibu tidak mau menyusukan bayinya kecuali dengan
syarat upah yang tertentu, dan ada orang lain yang mau menyusukannya secara
gratis, atau dengan syarat upah lebih sedikit dari upah yang diminta oleh ibunya,
maka dalam hal ini si ibu tidak lagi diutamakan untuk menyusukan anaknya itu.
Dan tugas menyusukan diserahkan kepada wanita lain yang mau menyusukan
dengan gratis itu.23
Penyerahan itu dilaksanakan karena yang menjadi tujuan utama dalam
menyusukkan anak ialah memberi makanan yang bergizi sempurna kepada anak
yaitu, air susu wanita yang sesuai dengan si anak dalam umur seperti itu. Selain
itu kesejahteraan anak dapat diwujudkan dengan cara memberi makanan yang
bergizi, tanpa memberatkan sang ayah dengan paksaan membayar upah yang
mahal seperti yang diminta oleh si ibu tadi
Kepada para suami yang shalih janganlah seorang laki-laki membebani
istrinya pekerjaan menyusui yang dapat menimbulkan mudarat terhadap diri
istrinya karena hanya untuk kepentingan anak laki-lakinya, padahal istrinya tidak
menginginkan kesulitan itu.24
Jika sudah seperti ini maka sang ayahlah yang
berkewajiban untuk membayar upah menyusukan tersebut. Hal ini lantaran
menyusukan anak itu sama dengan pemberian nafkah, sedang pemberian nafkah
merupakan kewajiban suami atau ayah si anak.
23
Zakariya Ahmad al-Barrya, Hukum Anak-Anak dalam, cet-1., hal. 46 24
Abdurraẖman Jalaluddin al-Suyuti, al-Dûr al-Manar fî tafsir al-Manâr (Beirut: Dar al-
Fikr, 1993), jil-1., hal. 681
50
Begitupula dengan para wanita yang telah ditalaq suaminya, sedang
mereka mempunyai anak yang telah lahir sebelum jatuh talaq atau lahir setelah
jatuh talaq dengan adanya senggama sebelum jatuhnya talaq tersebut, menyusui
anak-anak mereka sebab ibu lebih berhak dari yang lain. Dan ini bukanlah
perintah yang wajib hukumnya bagi ibu. Namun jika masih ada bapak yang masih
hidup dalam keadaan lapang, sebab ayat lain menyebutkan: " Jika kamu menemui
kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya".
(/٦:٦٥الطالق)
Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang
sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika
kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak
itu) untuknya. (QS. At-Thalaq: 6)
Ayat ini menjelaskan jika kedua orang tua kesulitan memberikan upah
maka perempuan lain bisa menyusuinya, dan tidak diwajibkan bagi ibu untuk
menyusui anaknya. Sebagaimana diketahui " Para ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun". Merupakan dalil batas menyusui ketika kedua
orang tua tersebut berselisih dalam batas masa tersebut maka ditentukan batas
masa menyusui dan bukannya dalil wajib menyusui anaknya.25
25
Abû Ja'far Muẖmmad bin Jarir ath-Ṯabari, tahqiq: Aẖmad Abdurraziq al-Bakri,
Muẖammad Adil Muẖammad, Muẖammad Abdul Latif Khalaf, Maẖmud Mursi Abdul Hamid,
Tafsir ath-Ṯabari, jil. 4., hal. 2
51
Karena menyusui anak adalah suatu bentuk peribadatan kepada Allah
SWT, maka Allah SWT. menyediakan pahala dan kemuliaan bagi perempuan atau
seorang ibu yang melakukannya. Karena menyusui itu sendiri adalah tanggung
jawab yang melelahkan, membutuhkan energy, dan kesungguhan serta keikhlasan
yang besar. Ini sama halnya dengan seperti rasa sakit saat haid, mengandung dan
melahirkan. Seluruh beban diri yang menimpa perempuan akibat kodrat
keperempuannya, Allah SWT. menggantikannya dengan pahala dan rahmat-Nya.
Menyusui anak dengan tujuan beribadah, mengandung unsur pendidikan,
pembinaan dimana didalamnya terdapat nilai-nilai ketaatan dan perbaikan
keimanan kepada Allah SWT. Seorang muslimah yang menyusui anaknya secara
sadar pasti menjaga dirinya untuk tidak meng konsumsi makan, minum yang
haram secara sifat dan materi, serta cara memperolehnya.
C. Kadar Nafkah Bagi Keluarga
Suami memiliki kewajiban yang telah Allah tetapkan dan begitu urgen,
sekaligus sebagai hak istri yang wajib untuk dipenuhi. Memberikan nafkah kepada
istri dan anak adalah merupakan salah satu kewajiban seorang suami dalam
kehidupan rumah tangga. Tanggung jawab seorang ayah sebagai pemimpin
keluarga tidaklah mudah.
Telah kita ketahui bahwasannya kewajiban suami terhadap istri ialah
memberikan nafkah. Suami perlu mencukupi keperluan ekonomis istri, meliputi
keperluan makan, pakaian, dan perumahan serta lain-lain yang bersifat ekonomis,
juga diharuskan memberikan nafkah baik itu nafkah berupa pendapatan atau pun
52
nafkah batin kepada istri. Secara lengkap dan menyeluruh. dengan cara
memberikan kebutuhan tersebut secukupnya
/(٦٥:۹)الطالق
Artinya:Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah SWT. kepadanya. Allah SWT.
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang
Allah SWT. berikan kepadanya. Allah SWT. kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan. (QS. At-Thalaq:7)
Syeikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di rahimahullah berkata "Ini sesuai
dengan hikmah dan rahmat Allah SWT. yang menjadikan kewajiban setiap orang
sesuai dengan keadaannya, dan Dia meringankan dari orang yang kesusahan.
Sehingga dalam masalah nafkah dan yang lainnya, Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekedar kemampuannya26
.
Dengan begitu hal ini mengindikasikan bahwa menafkahi istri dan anak
adalah merupakan salah satu kewajiban seorang suami dalam kehidupan rumah
tangga. Sehingga dalam mencari nafkah hendaknya sang suami tidak boleh
bermalas-malasan dan tidak boleh menggantungkan hidupnya kepada orang lain,
serta tidakboleh minta-minta kepada orang lain untuk memberi nafkah kepada
istri dan anaknya.
Suami sendiri sebagai kepala rumah tangga, pada dirinya terletak
tanggungjawab yang besar, kewajiban yang bermacam-macam terhadap
26
Tafsir Karim ar-Rahman, Majalah as-Sunnah Edisi 04, tahun 2006.
http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash
53
keluarganya, dirinya dan agamanya yang harus ia letakan secara seimbang.
Sehingga suatu kewajiban tidak mengurangi kewajiban yang lain. Sungguh Allah
SWT. telah berkehendak memberikan amanah kepada perempuan untuk hamil,
melahirkan dan menyusui. Tugas yang amat besar, karenanya sangat adil, jika
kemudian Allah SWT. membebankan tugas kepada laki-laki untuk mencari
nafkah, memenuhi kebutuhan utama keluarganya.
Memberikan nafkah disini dipahami dengan mencukupi istri dan anak
dengan baik. Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang
dilapangkan dalam rizki ataukah tidak, ini berarti harus sesuai dengan kondisi,
tempat, dan zamannya.
Hendaklah seseorang memberi nafkah menurut kemampuannya, hal ini
menjelaskan bahwa berapa kadar nafkah, dimana sang suami hendaknya memberi
nafkah kepada istri dan anaknya yang masih kecil sesuai dengan kemampuannya.
Dalam at-Tashil lȋ ulûm at-Tanzil disebutkan, ini merupakan perintah agar tiap
orang memberi nafkah sesuai dengan kemampuannya.27
Menurut penulis ini berarti sang suami tidak dipaksa di atas
kemampuannya sehinga istri tidak disia-siakan dan tidak memberatkannya dari
sisi kemampuan. Selain itu penafsiaran di atas menunjukan bahwa, nafkah
berbeda sesuai dengan perbedaan status ekonomi seseorang. Allah SWT. tidak
membebani siapapun, kecuali sesuai kemampuan dan kesanggupannya. Allah
SWT. tidak membebani si miskin apa yang dibebani si kaya.
27
Syaikh Muhammad Alî ash-Sabunî, Safwâtut Tafâsir, terj. Yasin (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2011), jil-5., cet-1., hal. 392
54
M. Quraish Shihab mengatakan hendaklah bagi seorang suami yang
lapang, yakni mampu dan memiliki banyak rezeki, memberi nafkah istri dan
anak-anaknya sebatas kadar kemampuannya, dengan demikian hendaknya ia
memberi sehingga anak dan istrinya itu memiliki pula kelapangan dan keluasan
berbelanja dan siapa yang disempitkan rezekinya, yakni terbatas penghasilannya,
maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.28
Dalam hal ini jangan sampai ia memaksakan diri untuk nafkah itu dengan
mencari rezeki dari sesuatu yang diharamkan oleh syariat. Karena sesungguhnya
Allah SWT. tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai apa
yang Allah SWT. berikan kepadanya. Karena itu hendaklah sang istri janganlah
menuntut terlalu banyak dan pertimbangkanlah keadaan suami atau bekas suami.
Firmannya, ال يكهف اهلل نفسا إال ما آتاها“Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya,”
artinya adalah, Allah SWT. tidak akan membebani seseorang untuk menafkahi
keluarganya kecuali berdasarkan rezeki yang diberikan Allah SWT. kepadanya.
Bila dia punya harta yang banyak maka dia membelanjakannya sesuai kadar
kekayaannya, dan bila miskin maka disesuaikan dengan itu pula. Si miskin tidak
dibebankan untuk menafkahi dengan jumlah yang sama dengan si kaya.29
Jika
suami hanya mampu memberikan nafkah hanya cukup untuk sekali makan saja,
maka hendaknya ia memberi sesuai dengan kadarnya, begitu juga jika dia mampu
memberikan lebih maka sesuai dengan kelebihannya pula.
28
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-, jil. 1., cet. 1.,
hal.146 29
Abû Ja'far Muẖammad bin Jarir ath-Ṯabari, tahqiq: Ansari Taslim, Muhyiddin Mas
Riḏ a, Muhammad Rana, Tafsir at-Thabari (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), cet-1., jil.25., hal197
55
Berkaitan dengan surat at-Thalaq ayat 7 itu sendiri Al-Maraghi
mengatakan Allah SWT. tidak membebani seseorang dengan nafkah untuk orang
yang harus diberinya nafkah, baik karena hubungan kerabat maupun hubungan
rahim, kecuali menurut kadar rezeki yang diberikan Allah SWT. kepadanya.
Sehingga orang yang fakir tidak dibebani dengan beban yang dibebankan dengan
beban yang dibebankan kepada orang kaya. Allah SWT. juga menjelaskan bahwa
rezeki itu berubah dari kesulitan menuju kelonggaran
Allah SWT. akan menjadikan sesudah kesulitan itu kemudahan, sesudah
kesempitan itu kelapangan dan sesudah kefakiran itu kekayaan. Sebab dunia itu
tidak tetap dalam suatu keadaan seperti firman Allah SWT:
(٦: ۹٤شرح/)ال
Artinya: Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.(QS. Al-
Insyirah: 6)
Yang demikian itu merupakan kabar gembira, bagi orang-orang mukmin
yang dikuasai ke fakiran dan kepapaan.30
Hal ini menegaskan bahwa nafkah yang diberikan suami terhadap
keluarganya lebih besar nilainya disisi Allah SWT, Hal ini jelas betapa
pentingnya suami memberi nafkah kepada istri, untuk menjaga hubungan
keluarganya, mencegah terjadinya tindak kriminal. Oleh karenanya untuk
menghindari itu semua, maka hukum melindunginya dengan diperbolehkannya
sang istri membantu suami untuk meringankan beban kebutuhan ekonominya.
30
Ahmad Musṯ afa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj.Bahrun Abu Bakar, Hery Noer
Aly, Anshori Umar Sitanggal (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), juz-4, 5, 6., cet-2., hal.
239
56
D. Harta Anak Yatim
Dalam al-Quran sebanyak 23 kali disebut perkataan "yatim" dan penggunaan
kata-kata yatim itu merujuk kepada kemiskinan dan kepapaan. Artinya mereka
yang berada dalam golongan yatim (anak yatim) memerlukan perhatian dan
pembelaan serta tanggung jawab dari kita semua agar mereka bisa belajar dengan
tenang, bergembira mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan
kebutuhan anak-anak mampu lainnya serta memiliki ayah dan ibu.
Begitu banyak ayat al-Quran menjelaskan tentang tanggung jawab setiap
muslim agar memperhatikan dan memelihara anak yatim dari segi kejiwaan serta
sosial kemasyarakatannya. Tetapi realitannya hanya sebagian orang muslim yang
mau peduli mengambil tanggung jawab sebagai orang tua dari sekian banyak anak
yatim dan anak terlantar.
Menyayangi dan memelihara anak yatim adalah kewajiban sosial setiap
orang Islam, selain itu merupakan salah satu tindakan yang jarang dilakukan
orang. Justru masalah sosial yang ada dalam sebuah masyarakat terkait dengan
keberadaan anak-anak yatim yang kehilangan orang yang melindungi dan
bertanggung jawab atas mereka. Anak-anak yatim ini biasanya kekurangan kasih
sayang dan bila ini tidak ditutupi, maka mereka akan menjadi anak-anak yang
terlantar, kriminal, dan pada akhirnya kehilangan kebahagiaan dan menjadi
masalah bagi masyarakat.
Al-Quran memperingatkan orang-orang yang tidak memperhatikan
perasaan manusia, tidak peduli dan memakan harta anak yatim.
57
.... )/٦:٣٥٢االنعام)
Artinya: dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara
yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah
takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada
sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. (QS. Al-An'am: 152)
M. Quraish Shihab mengatakan bahwa larangan menyangkut harta dimulai
dengan larangan mendekati harta kaum lemah, yakni anak-anak yatim. Ini sangat
wajar karena mereka tidak dapat melindungi diri dari penganiayaan akibat
kelemahannya. Dan karena itu pula, larangan ini tidak sekedar melarang memakan
atau menggunakan, tetapi juga mendekati.
Dalam kamus bahasa Indonesia, yang disebut yatim adalah seorang anak
yang telah ditinggal mati ibu dan atau ayahnya.31
Sedangkan dalam kamus bahasa
Arab yang disebut yatim32
adalah من فقذ أباه ونم يبهغ مبهغ انرجال (orang yang
ditinggal mati ayahnya sedang ia belum mencapai usia dewasa). Adapun seorang
yang ditinggal mati ibunya disebut al-‘aj y. Dan anak yang ditinggal mati oleh
ayah dan ibunya disebut al-lath m . Istilah yatim juga digunakan untuk binatang
yang ditinggal mati induknya.33
Dalam konteks masyarakat Indonesia, nama yatim lebih sering digunakan
bagi anak yang bapaknya meninggal dunia, sedangkan kalau yang meninggal
31
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), h. 1015 32
Secara bahasa kata yatim memiliki beberapa arti yaitu, khatara atau أعيا ختر
(lemah/letih),إنفهت (terlepas), أبطأ (lambat), هم (sedih), dan إنفراد (kesendirian). Lihat selengkapnya
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhzar, Kamus Kontemporer Arab – Indonesia (Yogyakarta:
Yayasan Ali Maksum Ponpes Krapyak, 1996), cet-1, h. 2045 33
Luis Ma’luf, al-Munjid fî al-Lughah (Beirut: Dâr al-Mishria, 1982), cet ke-26, h. 923
58
adalah kedua orang tuanya maka anak tersebut dinamakan yatim piatu. Oleh
karenanya anak yatim membutuhkan bimbingan, pengawasan dan kasih sayang
untuk kemajuan masa depannya.
, ,
, ... /(٣-٤: ٣١۹)الماعون
Artinya: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama, Itulah orang
yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan
orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (QS. Al-
Maun: 1-4)
Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap muslim harus memperhatikan dan
menyayangi anak-anak yatim kerena mereka merupakan titipan kepada umat yang
harus diberikan santunan, diurus, dan didik dengan baik, sehingga mereka dapat
merasakan yang sama sewaktu masih ada orang tuanya.
Akan tetapi jika ada yang menelantarkan dan memberlakukannya dengan
sewenang-wenang serta memakan harta anak yatim, maka diterangkan dalam
sebuah hadits bahwa pada hari hisab ada sebagian orang yang akan dibangkitkan
dalam keadaan api dinyalakan di mulut mereka. Mendengar hal ini sebagian
sahabat ra bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah mereka ini?” Rasulullah saw
menjawab dengan membaca ayat al-Qur'an berikut:
/(٣١: ٤)النساء
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. An-
Nisa: 10)
59
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa pesoalan anak yatim adalah
persoalan yang sangat besar dan setiap orang bertanggung jawab untuk menjaga
harta anak yatim dengan hati-hati dan berusaha memberikan manfaat dari harta
anak yatim itu kepadanya dan menjaga jangan sampai kita memakan harta anak
yatim.
Selain itu Allah melarang siapa saja menggunakan secara tidak sah harta
anak yatim, kecuali dengan cara yang terbaik sehingga dapat menjamin
keberadaan, bahkan pengembangan harta itu, dan hendaklah pemeliharaan secara
baik itu berlanjut hingga ia, yakni anak yatim itu, mencapai kedewasaannya dan
menerima dari kamu harta mereka untuk mereka kelola sendiri.34
Artinya Allah SWT. melarang mendekati harta anak yatim ketika ia masih
kecil, kecuali dengan cara yang paling baik, sampai ia menginjak dewasa, jika ia
telah dewasa hendaknya sang wali tetap mengawasinya, Allah SWT. melarang
mendekatinya dengan maksud agar berhati-hati dan menjaga harta tersebut hingga
tiba saatnya ia dewasa.
Jadi, setiap tindakan terhadap anak yatim atau terhadap hartanya yang
tidak termasuk dalam lingkaran “yang lebih baik dan lebih bermanfaat” adalah
dilarang. Maka memakan hartanya dengan tamak dan dengan maksud
menindasnya merupakan sesuatu yang diharamkan dan dilarang. Membekukannya
dan tidak mengembangkannya dengan pertanian, perindustrian atau perniagaan
adalah haram. Berlebihan mempergunakannya, meskipun untuk kepentingan anak
yatim, tetapi untuk hal-hal yang tidak baik, adalah haram. Meremehkan anak
34
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, jil. 3.,
cet. 1., hal. 734-735
60
yatim dan tidak menjaganya, sehingga memungkinkan orang lain untuk
merampok hartanya dan menguasainya adalah haram.35
Adanya pelarangan itu diharapkan dapat meredam dorongan untuk
mengulurkan tangan dalam usaha merusak harta anak yatim. Mengingat bahwa
harta termasuk barang yang menjadi kejaran semua orang dan tidak terkecuali
semua kalangan, sebagai pemenuhan syahwat dan digandrungi oleh hawa nafsu,
maka larangan itu diarahkan kepada usaha untuk mengendalikan dorongan-
dorongan itu, memeranginya dan usaha melucutinya.
Berkaitan dengan kalimat, اهعسو الا إسفن فهكن ال ath-Thabari berpendapat:
"Janganlah mempersulit dalam perkara ini, sebab Allah SWT. Maha Mengetahui
keadaan hamba-Nya, bahwa banyak di antara mereka yang jiwanya sempit untuk
berbuat kebaikan kepada orang lain dengan sesuatu yang tidak diwajibkan
baginya.”36
Oleh karena itu, Allah SWT. memerintahkan kepada pemberi untuk
memenuhi pemberiannya kepada yang berhak (anak yatim), karena itu adalah
miliknya, dan Allah SWT. tidak membebaninya dengan tambahan disebabkan
kesempitan jiwanya, serta memerintahkan kepada orang yang berhak agar
mengambil haknya dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang lebih sedikit
dari yang sebenarnya ia miliki, sebab adanya hak yang berkurang dapat
menimbulkan kesempitan jiwanya. Oleh karena itu, Allah SWT. tidak memberi
35
Mahmud Syaltut, Tafsir al-Quran al-Karim: Pendekatan Syaltut dalam Menggali
Esensi al-Quran (Bandung: Diponegoro, 1990), cet-1., hal.764 36
Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Ṯabari, Tafsir ath-Ṯabari, tahqiq: Akhmad Affandi,
Benny Sarbeni, Abdul Somad (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), jil. 10., hal. 687
61
beban kecuali dengan sesuatu yang tidak mempersulit dan mempersempit
jiwanya.
Syaikh Abdul Aziz rah.a. menulis dalam tafsirnya bahwa dua jenis
kebaikan dapat dilakukan kepada anak-anak yatim. Yang pertama adalah apa yang
wajib bagi ahli waris, misalnya, menjaga harta anak-anak yatim, mengembangkan
hasil dari tanahnya agar keuntungannya dapat dipergunakan untuk memenuhi
keperluan anak itu, pakaian dan pendidikan sopan santun (akhlak). Yang kedua
bersifat umum, yaitu jangan membiarkan anak yatim dalam kesusahan, berilah
kasih sayang kepadanya. Di dalam majelis berilah tempat duduk yang terhormat.
Usaplah kepalanya dengan perasaan kasih sayang, perlakukan ia seperti kepada
anak sendiri, lahir dan batin. Karena apabila seorang ayah meninggal dunia,
sehingga anaknya menjadi yatim, Allah SWT. memerintahkan kepada hamba-
hamba-Nya untuk menyayanginya seperti seorang ayah kepada anak kandungnya,
agar ia tidak terlalu merasakan kesedihan dan duka cita yang berlatut-larut setelah
kematian ayahnya. Menurut syariat anak yatim harus dianggap sebagai keluarga
sendiri.37
Islam sedemikian detailnya memperhatikan serta memberikan kepedulian
yang sangat besar terhadap kondisi anak yatim, hal ini menandakan betapa
besarnya perhatian Allah SWT. kepada anak yatim dan tentunya merupakan
tuntunan yang harus dipatuhi oleh manusia. Betapapun beratnya menyantuni anak
yatim atau menyayangi, tetapi lebih berat lagi bahaya yang ditimbulkan akibat
membiarkannya hidup terlantar tanpa ada seorang pun yang mempedulikannya.
37
Maulana Abdul Wahib, Fadhilah Sedekah , hal.161
62
Karena membangun anak yatim identik dengan membangun masa depan
bangsa secara nyata, yaitu dengan menenamkan harapan para anak yatim dimasa
kini agar dapat menuai masa depan mereka yang lebih cerah. Selain itu
pemerintah harus bertanggung jawab terhadap nasib-nasib mereka, karena
bagaimanapun pemerintah adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
anggota masyarakat di suatu Negara. Sebagaimana tertera dalam Undang-undang
Dasar 1945 yaitu. "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara".
E. Jihad
Kebajikan dan keburukan sama-sama bersanding dalam jiwa setiap
manusia. Artinya setiap manusia memiliki potensi kebaikan dan keburukan.
Seperti itu jugalah sifat masyarakat dan negara yang terdiri dari banyak individu.
Keburukan mendorong pada kesewenang-wenangan, kebajikan berseru dan
merintih untuk mencegahnya. Dari sanalah lahir perjuangan, baik ditingkat
individu maupun ditingkat masyarakat dan negara.
Islam datang membawa nilai-nilai kebaikan dan menganjurkan manusia
agar menghiasi diri dengannya, serta memerintahkan manusia agar
memperjuangkannya hingga mengalahkan kebatilan atau dengan melontarkan
yang hak kepada yang batil hingga mampu menghancurkannya. Akan tetapi hal
itu tidak dapat terlaksana dengan sendirinya, kecuali melalui perjuangan. Bumi
adalah tempat untuk berjihad menghadapi musuh. Istilah al-Quran untuk
menunjukan perjuangan adalah kata jihad.
63
/(٤:۸٤)النساء
Artinya: Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu
dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah
semangat Para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah SWT.
menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan
dan amat keras siksaan(Nya). (QS. An-Nisa: 84)
Ath-Thabari mengatakan dalam tafsirnya berkaitan dengan ayat di atas
bahwa38
; “Allah tidak akan membebanimu dengan kewajiban berjihad melawan
musuh-Nya dan musuhmu pada semua yang telah disyariatkan untukmu, dan itu
adalah Islam. Kecuali apa yang telah terbebani kepadamu dari hal itu, bukan apa
yang menjadi beban pada selain dirimu. Artinya, kamu hanya mengikuti apa yang
telah kamu dapatkan, bukan apa yang telah didapat oleh orang lain, dan dengan
apa yang telah Aku bebani kepadamu, bukan apa yang Aku bebani kepara orang
lain. Maka perangilah mereka sekalipun kamu sendirian”.
Rasulullah SAW. bersabda:
نري انجهاد أفضم انعمم افال نجهذ قال عن عائشة رضي اهلل عنها انها قانت يا رسىل اهلل
نكن أفضم انجهاد حج مبرور )رواه انبخاري(
Artinya:“Diriwayatkan dari Aisyah ra. Bahwa beliau berkata kepada
Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, telah ditunjukkan kepada kami bahwa
jihad adalah amal yang paling utama; apakah kami tidak berjihad?”
Rasulullah menjawab, “untuk kalian, jihad yang paling utama adalah haji
mabrur.” (Al-Bukhari).39
38
Abû Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Ṯabari, tahqiq: Ahmad Abdurraziq al-Bakri,
Muhammad Adil Muhammad, Muhammad Abdul Latif Khalaf, Mahmud Mursi Abdul Hamid,
Tafsir ath-Ṯabari, jil. 19., hal. 395-396 39
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, h. 12
64
Dapat kita ketahui dari dalil-dalil di atas tersebut menunjukkan jihad.
Secara etimologis, kata jihad itu sendiri berasal dari kata kerja jahada yang
berarati bersungguh-sungguh dan bekerja keras.40
Kata jahada juga berarti upaya,
kesungguhan, keletihan, kesulitan, penyakit, dan kegelisahan. Al-Quran menyebut
kata jihad 40 kali, dan maknanya bermuara pada upaya mencurahkan seluruh
kemampuan atau menanggung pengorbanan41
.
Secara terminologis, makja jihad adalah mengoptimalkan usaha dengan
mencurahkan segala potensi dan kemampuan, baik perkataan, perbuatan, atau apa
saja yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Al-Quran menjelaskan
makna jihad dalam konteks beragam, di antaranya yang terkait dengan perjuangan
untuk mewujudkan as-salam, as-salamah, as-salah dan al-ihsan. Menurut al-
Ragib al-Asfahani, jihad berarti mengerahkan segala kemampuan untuk
mempertahankan diri dari musuh. Berangkat dari pemahaman demikian ini, ia
membagi jihad menjadi tiga, yaitu: jihad terhadap musuh yang tampak, jihad
terhadap setan, dan jihad terhadap diri sendiri.42
M. Qurasih Shihab menjelaskan, jihad adalah cara untuk mencapai tujuan,
dan metodenya disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dan modal yang
tersedia. Jihad tidak mengenal putus asa, menyerah, kelesuan, dan pamrih.
Mujahid adalah yang mencurahkan seluruh kemampuannya dan berkorban dengan
nyawa, tenaga pikiran, emosi dan apa saja yang berkaitan dengan diri manusia.43
40
Ibnu Manẕ ûr, Lisânul Arab, (Beirut: ttp, tth), jil-3., hal. 163-164 41
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran, Jihad; Makna dan Implementasinya (Tafsir al-
Quran Tematik) (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran, 2012), jil-5., hal. 22 42
Ar-Râgib al-Asfahânì, Mu'jam Mufradat li Alfâzi Quran (Beirut: Dārul Fikr, tth), hal. 99 43
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah ,Juz-9., hal. 134-135
65
Menurut penulis ayat 84 quran surat an-Nisa di atas juga menjadi bukti
bahwa jihad tidak selalu berarti angkat senjata. Ayat ini turun ketika Nabi
Muhammad SAW. masing tinggal di Mekkah, dalam situasi umat Islam masih
sangat lemah dan belum memiliki kekuatan fisik. Namun demikian, beliau
mendapat perintah untuk berjihad, dalam arti mencurahkan semua kemampuannya
untuk menghadapi kaum musyrik dengan kalimat-kalimat persuasif yang
menyentuh nalar dan kalbu, bukan dengan senjata yang melukai fisik atau
mencabut nyawa.
Seperti diketahui ada satu kalimat yang sering kita dengar dalam bahasan
jihad, yaitu jihad fi sabilillah, perjuangan mewujudkan pesan agama di jalan
Allah SWT. Ini dapat kita jumpai dalam firman Allah SWT:
/(٥١: ٥)المائداث
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada
jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Maidah: 53)
Melalui kalimat “berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu
beruntung,” Allah SWT. meminta umat Islam untuk memerangi musuh mereka,
yaitu orang kafir dan musyrik44
yang keluar dari jalan Allah SWT. Dari kalangan
44
Musyrik:Yaitu orang yang menjadikan bagi Allah sekutu atau tandingan atau meyakini adanya wujud Tuhan selain Allah.kafir bermakna orang yang ingkar,yang tidak beriman (tidak percaya) atau tidak beragama Islam. Musyrik adalah orang yang mempersekutukan Allah, mengaku akan adanya Tuhan selain Allah atau menyamakan sesuatu dengan Allah. Perbuatan itu disebut musyrik. Syrik adalah perbuatan dosa yang paling besar, kerana itu kita harus menjauhi perbuatanyangmenjerumuskankepadasyrik.(QS.Luqman:31) sedangkan Kafir ialah Orang yang tidak beriman dan tidak beragama Islam. Dengan kata lain orang kafir adalah orang yang tidak mahu memperhatikan serta menolak terhadap segala hukum Allah atau hukum Islam disampaikan melalui para Rasul (Muhammad saw) atau para penyampai dakwah/risalah. Perbuatan yang semacaminidisebutdengankufur(QS.AlMaidah:73)lihatselengkapnyahttp://islamwiki.blogspot.com/2010/08/musyrik-munafik-fasik-kafir-dan-murtad.html
66
muslim tidak sedikit yang menyempitkan makna jihad hanya pada batas perang,
mengangkat senjata untuk memerangi musuh Islam. Sedangkan dari golongan
non-muslim, ada yang menggambarkan jihad dengan pemaknaan memerangi
manusia keseluruhan untuk memaksanya agar masuk islam, atau menundukkan
mereka secara paksa kepada pemerintahan kaum Muslimin45
. Pada hal jelas-jelas
Allah SWT. berfirman:
(٢٢:۹۸)الحج/…
Artinya: Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang
sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj: 78)
Ayat di atas mengandung pemahaman yang bersifat umum, sehingga yang
dimaksud berjihad disini adalah menghadapi musuh-musuh yang mengancam
keamanan dalam beragama, baik musuh yang datangnya dari luar (setan, orang
kafir, orang munafik, dan fasik), diri dan yang datang dari diri sendiri (hawa
nafsu,kebodohan,kemalasan).Karena sesungguhnya Allah SWT. telah menetapkan
pilihan-Nya terhadap umat yang istiqomah untuk menanggung tanggung jawab
besar.46
Jadi itulah mengapa jihad harus menunjukan kepada suatu konsep yang
lebih komprehensif, dimana salah satu sisinya adalah berjuang di jalan Allah
SWT. melalui penggunaan senjata. Namun, bila jihad dipahami dengan pengertian
sempit yang telah sebutkan di atas, oleh al-Quran dibatasi pada saat-saat tertentu
45
http://id.wikipedia.org/wiki/pengertian.jihad diakses pada tanggal 15 Februari pukul
15.30 46
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Ẕilalil Quran, diterjemahkan oleh As’ad Yasin. (Jakarta: Gema
Insani Press, 2002), cet-1., jil. 8.,hal. 151
67
khususnya dalam rangka mempertahankan diri.47
Agaknya karena pengertian sisi
sempit inilah yang secara keliru dianggap sebagai ciri utama jihad yang
mengundang kontroversi dan pertikaian pendapat.48
Seperti pandangan dunia barat
yang memandang Islam sebagai teroris, penuh dengan kekerasan dan mengartikan
jihad sebagai holy war (perang suci).49
Oleh karenanya jika kita mau menyikapi secara bijak, maka hendaknya
tidak sekali-kali menganggap bahwa jihad itu harus selalu dipahami dengan
peperangang atau membunuh orang kafir, tetapi terkadang memahami makna
jihad harus disesuaikan dengan porsi yang tepat dan dilakukan sesuai dengan
kondisi serta keadaan yang ada di lingkungan sekitar. Artinya pelaksanaan jihad
itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan sesuai dengan
kemampuan mukallaf itu sendiri. Tidak selayaknya harus dimaknai dengan
kekerasan.
Pemaknaan jihad yang lebih luas merupakan jawaban terhadap pemaknaan
jihad yang sering disalah fahami oleh kalangan umat Islam dan non muslim serta
solusi dari problematika keumatan kontemporer.
Hal ini menunjukan bahwa Jihad haruslah mengeluarkan segala potensi,
daya, usaha dan kekuatan secara sungguh-sungguh untuk melawan suatu objek
yang tercela dalam rangka menegakkan agama Allah SWT. dalam koridor
semangat mengusung kejujuran, keadilan, perdamaian, dan tata pergaulan antar
47
Yusuf Qaradhawi, Kita dan Barat: Menjawab Berbagai Pertanyaan yang Menyudutkan
Islam, Penerjemah Arif Munandar Riswanto dan Yadi Saeful Hidayat (Jakarta: Pustaka al Kautsar,
2007), h. 71 48
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an (, Cet. 3, h. 284 49
Abdurrahman Wahid, Islam tanpa Kekerasan (Yogyakarta: LkiS, 2000), cet. 2, h. 10
68
bangsa dan antar negara yang bermartabat itulah al-Qur'an menganjurkan jihad
untuk memerangi mereka.
Jadi, jelaslah bahwa dimensi jihad dalam Islam amat luas, dan bukan
semata perang fisik. Allah SWT. mewajibkan kaum muslim berperang demi
mempertahankan diri, agama, dan tanah air, berjuang dengan harta dan nyawa,
karena yang demikian itu adalah suatu perbuatan yang baik, menguntungkan di
dunia, dan membahagiakan di akhirat. Kewajiban jihad dalam arti perang hanya
dapat digugurkan oleh berbagai halangan yang dibolehkan syariat, seperti sakit,
usia lanjut, dan cacat fisik. Tujuan jihad dalam islam adalah meninggikan kalimat
Allah SWT. dan menghapuskan kezaliman yang dilakukan oleh orang-orang yang
memusuhi Islam.
69
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah memaparkan seluruh hal yang berkaitan dengan penggunaan kata taklif,
penulis menyimpulkan bahwa: "setiap perintah Allah yang ditujukan kepada
manusia mengandung taklif. Dimana taklif itu sendiri tidak bersifat kaku atau
mengikat, artinya taklif tersebut dulu hingga sekarang masih tetap berlaku
ketetapan hukumnya. Hal ini menunjukan taklif tersebut sesuai dengan situasi,
kondisi zaman, dan masyarakat. Melihat al-Quran menggunakan kata taklif secara
berulang-ulang dalam setiap ayat dan surat yang berbeda. Itu semua terjadi tidak
lepas karena objek yang dituju berbeda-beda situasi dan kondisinya, selain itu
maksud yang ingin disampaikannya pun lain. Selain itu terdapat beberapa poin
yang dapat diutarakan yaitu:
1) Taklif yang Allah SWT. bebankan kepada manusia itu bersifat dinamis.
Pembebanan tersebut dapat berubah sesuai dengan kondisi keadaan
mukallaf alami, hal itu terlihat dari banyaknya ayat berkenaan dengan
taklif itu sendiri.
2) Dalam penggunaannya kata taklif melibatkan berbagai pihak yang ada, hal
ini menunjukan besarnya pengaruh taklif dalam kehidupan.
3) Penggunaan kata taklif dalam al-Quran semuanya dalam bentuk kata kerja
fiil mudhari, itu mengindikasikan taklif tersebut memiliki ajaran yang
keberlangsungannya terus menerus hingga masa yang akan datang.
70
4) Sebagi sebuah subjek (pelaku) Allah SWT. bebas menjadikan dirinya
untuk berbicara langsung dengan menggunakan kata "Allah" atau "nahnu".
B. Saran
Kajian ‘taklif’ merupakan sebuah kajian penting dan menarik, hal ini karena
sidikit orang yang memahaminya. Padahal taklif itu sendiri disadari atau tidak
sudah menjadi bagian dari kehidupan sejak dalam kandungan hingga ajal
menjemput. Kajian ini dimaksudkan agar kita mengetahui lebih jelas konsep taklif
dalam al-Quran dalam kehidupan sehari-hari serta memandang taklif tersebut
lebih bijaksana.
Penulis merasa banyak sekali kekurangan dalam pembahasan ini,
dikarenakan dalam penulisannya kajian mengenai taklif dirasa sangat luas, hingga
memungkinkan untuk mencapai segala aspek, kehidupan, sosial, politik, ekonomi,
jual beli, pendidikan, dll. Oleh karenanya penulis berharap kajian ini tidak
berhenti sampai disini. Mudah-mudahan Allah memberikan kita semua
keberkahan dalam hidup, khususnya bagi Saya pribadi mudah-mudahan Allah
SWT. masih memberikan nikmatnya yang mulia, untuk melanjutkan studi S.2.
(bidang hukum atau pendidikan) amiiin….
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT. lah saya menyandarkan diri dan
kepada-Nya pula kuserahkan segala perkara. Bagi-Nya segala puji dan
kenikmatan serta di sisi-Nya petunjuk dan perlindungan.
Penulis
71
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Syarh Nahj al-Balaghah, Beirut: Dâr al-Andalus, 1382/1963
______________ Ta'lif Muhammad Rasyid Rido, Tafsir al-Quran al-Hakim al-
Qahirah: Dâr al-Manar, 1367 H, juz-8
Achmad. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: Grasindo.
2009.
Ahmad, Khurshid, Pesan Islam, Bandung: Pustaka, 1983, cet-1
______________, ISLAM: Its Meaning and Message, Pesan Islam, Terj. Achsin
Mohammad, Bandung: Pustaka, 1983
Ali Atabik dan Muhzar Zuhdi Ahmad, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Ponpes Krapyak, 1996, Cet-1
______________, al-Mu'jam al-Ashri, Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak,
1999
Anis, Ibrahim, al-Mu'jam al-Wasith, Maktabah wa Syirkah Makhfa al-Babi al-
Halabi wa Awladuhu, ttp, 1972, Cet-II, Juz-II
Anonymous, al-Mu'jam al-Wajiz, Majma' al- Lughah al-Arabiyyah,
al-Asfahānì, Ar-Rāgib, Mu'jam Mufradat li Alfâzi Quran, Beirut: Dârul Fikr, tth
______________, Mu'jam Mufradat al-Fadl al-Quran, Beirut: Libanon, Dâr al-
Fikr
al-Bantani, Al-Syekh Nawawi, Marah Labid, Beirut: Dâr al-Fiker, 1980, jil-1
al-Barrya, Ahmad Zakariya, Hukum Anak-anak dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1977, Cet. 1
al-Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, 1988, cet-
1
Al-Ghazali, Menjadi Muslim Ideal: Meletakan Islam Sebagai Petunjuk dan
Penerang Kehidupan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, cet-2
Ali Salim, Ahmad Husain, Terapi al-Quran: Untuk Penyakit Fisik dan Psikis
Manusia, terj. Muhammad al-Mighwar Jakarta: Asta Buana Sejahtera,
2006, cet-1
72
al-Maraghi, Ahmad Musṯ afa, Tafsir al-Maraghi, terj. Drs. Anwar Rasyidi, et.al.,
Semarang: Toha Putra, 1989, cet-1.
__________________, Tafsir al-Maraghi (Mesir: Maktabah wa Maṯ a'ah
Musṯ afa al-Baby al-Halabi, 1974), cet-5., juz, 16
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi ilmu al-Quran. Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2004.
al-Qurṯ ubi, Syaikh Imam, Tafsir al-QurTubi al-Jami lî ahkam Quran, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008, jil. 10., cet. 1
al-Rauf, Abd Idris Muhammad, al-Marbawi Idris al-Marbawi, Indonesia: Karya
Insani, Juz-I
al-Sabaki, Muhammad Abd al-Lathif, al-Mukhtâr min Shihhah al-Lughah, ttp, tth
al-Suyuti, Abdurrahman Jalaluddin. al-Dur al-Manar fî tafsir al-Manar . Beirut:
Dar al-Fikr, 1993
________________, al-Itqan Fî Ulum al-Quran, Beirut, Dâr al-Fikr, tth, Juz-II
ash Syayyim, Muhammad, Mukjizat Nabiku Muhammad SAW. Jakarta: Gema
Insani Press, 2003
ash-Sabuny, Muhammad Ali, Cahaya al-Quran Tafsir Tematik, terj, Kathur
Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001, cet-1
__________________ safwatut Tafasir, terj. Yasin, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2011, jil-5, Cet-1
Asyr, Muhammad ibn, al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis: Dar Sahnun Linnasy wa al-
Tawzi, tth
ath-Ṯ abari, Abû Ja'far Muhammad bin Jarir, tahqiq: Aẖ mad Abdurraziq al-Bakri,
Muẖ ammad Adil Muhammad, Muhammad Abdul Latif Khalaf, Mahmud
Mursi Abdul Hamid, Tafsir ath-Tabari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, jil.
19
Baidan, Nashruddin, Wawasan Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005,
Cet-I
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Hamka, Studi Islam, Semarang: Pustaka Panjimas, 1984, Juz-III
Haneef, Suzanne, Islam dan Muslim, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, cet-1
73
Hidayat, H.D, al-Balaghah al-Jami'ah wa Asy-Syawahid min Kalami al-Badi,
Semarang: PT. Karya Toha Putra & Bina Masyarakat Qurani, tth
Hijazi, Muhammad, Mahmud, Fenomena Keajaiban al-Quran, Jakarta: Gema
Insani, 2010, Cet-I
Ismail, Hudzaifah, Tadabbur Ayat-Ayat Motivasi. Jakarta: PT Elek Media
Komputindo Kelompok Gramedia, Februari 2010.
Jafar, Iftitah, Konsep Ibadah dan Dakwah dalam al-Quran, Yogyakarta:
Cakrawala, 2009, cet-1
Lajnah Pentashihan al-Quran, Tafsir Tematik (Jihad; Makna dan
Implementasinya), Jakarta: Lajnah Pentashihan al-Quran, 2012, cet-1., jil-
5
Luis Ma’luf, al-Munjid fî al-Lughah, Beirut: Dâr al-Misria, 1982, cet ke-26
Mandzur, Ibn, Lisân al-Arab, Dâr al-Ma'rif, ttp, tth, Jil-VI
Munthahari, Murtadho, Perspektif Islam Tentang Manusia dan Agama,
Terjemahan, Bandung: Mizan, 1995, cet-7
Najati, Utsman, Ilmu Jiwa, Kuwait: Daar asy-Syuruk, 1982
Nata, Abuddin, Kajian Tematik al-Quran Tentang Fiqih dan Ibadah, Bandung:
Angkasa, 2008, cet-1
Qaradhawi, Yusuf, Kita dan Barat: Menjawab Berbagai Pertanyaan yang
Menyudutkan Islam, Penerjemah Arif Munandar Riswanto dan Yadi
Saeful Hidayat, Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2007
Qutb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Quran, terj As'ad Yasin, et.al, Jakarta: Gema
Insani, 2004, cet-1., jil-8
________________, Tafsir Fi Zhilalil Quran, diterjemahkan oleh As’ad Yasin.
Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Raya, Ahmad Thib, Mulia, Siti Musdah, Menyelami Seluk-Beluk Ibadah Dalam
Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003, cet-1
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran
Jakarta: Lentera Hati, 2002, jil. 2., cet. 1
________________, Wawasan al-Quran, Bandung: Mizan, 1997, cet.V
________________, Lentera Hati "Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung:
Mizan, 1996, cet. VI
74
________________, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan. Mei 2007.
________________, Lentera Hati. Bandung: Mizan, Juli 1996.
________________, Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’I Atas Berbagai
Persoalan Umat.Bandung: Mizan, 1997.
Syafe'I, Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung: Pustaka Setia, 2006
Syaltut, Mahmud, Tafsir al-Quran al-Karim: Pendekatan Syaltut dalam Menggai
Esensi al-Quran, Bandung: Diponegoro, 1990, Cet-1
Taimiyyah, Ibn, al-Furqon Baina al-Haq wa al-Bathil, Dâr Ihyat al-Turots al-
I'rabi, tth
________________, al-Aqidah at-Tadmuriah, Beirut, ttp, tth
Wahib, Maulana Abdul, Fadhilah Sedekah, Bandung: Zadul Maād, tth
Wahid, Abdurrahman, Islam tanpa Kekerasan, Yogyakarta: LkiS, 2000, cet. 2
Zahwan, Abdul Hakim, Kamus al-Kamil: Arab-Indonesia-Arab, Maktabah wa
Mahbâh Usaha Keluarga.
Tafsir Karim ar-Rahman, Majalah as-Sunnah Edisi 04, tahun 2006.
http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash
http://www.organisasi.org/1970/01/faktor-penyebab-alasan-seseorang-memakai-
menggunakan-narkoba-narkotika-zat-adiktif.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/pengertian.jihad diakses pada tanggal 15 Februari
pukul 15.30
Sumber: http://adiabdullah.wordpress.com/2008/12/02/kata-aku-dan-kami-dalam-