Post on 30-Aug-2021
PENGARUH RATA-RATA LAMA SEKOLAH, TINGKAT PENGANGGURAN
TERBUKA DAN KEMISKINAN TERHADAP PENCURIAN DI 5 PROVINSI TAHUN
2010-2017
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (S.E)
Disusun Oleh:
Azizha Delvine Oktina
NIM: 11150840000013
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020 M/1441 H
i
ii
iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama Lengkap : Azizha Delvine Oktina
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 13 November 1997
Alamat : Komplek Taman Asri Blok B4/2
Kel. Cipadu Kec. Larangan
Tangerang Selatan 15155
Telepon : 081387508033
Email : adeloktina@gmail.com
II. LATAR BELAKANG KELUARGA
Ayah : Bambang Nurfauzi
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 26 September 1971
Ibu : Oktin Suharti
Tempat, Tanggal Lahir : Riau, 3 Januari 1972
Anak ke- : 2 dari 3 bersaudara
III. PENDIDIKAN
1. SDI Al-Azhar Kelapa Gading Tahun 2003 – 2009
2. SMP Negeri 77 Jakarta Tahun 2009 – 2012
3. SMA Negeri 72 Jakarta Tahun 2012 – 2015
4. S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015 – 2020
iv
ABSTRACT
This study aims to analyze and determine the influence of average length of
school, unemployment rate, and poverty rate on steal rate in the five provinces for
year 2010 - 2017 (case study: Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera
Selatan and Sumatera Barat). This study collects secondary data from the statistics
Indonesia (BPS) and use panel data regression with the Fixed Effect Model (FEM)
approach using eviews 9. The results of this study shows that average length of
school has negative and significant influence to steal rate, the unemployment rate has
positive and significant influence. Meanwhile, the poverty rate has negative and
significant influence. R-Square value of 0.8312 which means that the relationship
between the dependent and independent variables can be explained by 83.12% in the
model and the remaining 16.88% are explained by other variables.
Keywords: Steal, Average Length of School, Unemployment Rate, Poverty Rates,
Fixed Effect Model (FEM).
v
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengetahui pengaruh rata-
rata lama sekolah, tingkat pengangguran terbuka dan tingkat kemiskinan terhadap
pencurian di 5 provinsi Indonesia tahun 2010 – 2017 (Studi Kasus: Sumatera Utara,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat). Penelitian ini
menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik Indonesia dan menggunakan
analisis data panel dengan pendekatan Fixed Effect Model (FEM) menggunakan
eviews 9. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah berpengaruh
secara negatif dan signifikan terhadap tingkat pencurian, tingkat pengangguran
terbuka berpengaruh secara positif dan signifikan. Lalu, kemiskinan berpengaruh
secara negatif dan signifikan terhadap pencurian di 5 provinsi pada tahun 2010 –
2017. Nilai R-Square sebesar 0,8312 yang berarti bahwa hubungan antara variabel
dependen dan independen dapat dijelaskan sebesar 83,12% di dalam model dan
sisanya 16,88% dijelaskan oleh variabel lain.
Kata kunci : Pencurian, Rata-rata Lama Sekolah, Tingkat Pengangguran,
Kemiskinan,, Fixed Effect Model (FEM).
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillahirabbilalaamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kepada Allah SWT atas segala nikmat, rahmat, kasih sayang-Nya, kekuatan, petunjuk
serta izin yang diberikan untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul “PENGARUH RATA-RATA LAMA SEKOLAH, TINGKAT
PENGANGGURAN TERBUKA DAN KEMISKINAN TERHADAP
PENCURIAN PADA TAHUN 2010 – 2017 (STUDI KASUS: SUMATERA
UTARA, DKI JAKARTA, JAWA BARAT, SUMATERA SELATAN DAN
SUMATERA BARAT” dengan baik. Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah memberikan syafa’atnya kepada umatnya dari zaman jahiliyah ke
zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat-syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sehubungan dengan selesainya penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis
menyadari bahwasanya dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari
bimbingan, motivasi, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Yang Tersayang (Mama, Papa, Nenek, Kak Dea&Mas Nahid, Della, Datuk)
yang selalu memberikan motivasi sekaligus menjadi motivasi. Selalu
memberikan doa dan dukungan yang tiada henti-henti nya.. Selalu ada, selalu
mengerti, selalu menemani, always be with me through ups and down.
2. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Prof. Dr. Amilin, SE., Ak., M.Si., CA, QIA., BKP., CRMP selaku
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
vii
4. Bapak Dr. Hartana Iswandi Putra, M.Si dan Bapak Deni Pandu Nugraha, SE.,
M.Sc selaku Ketua jurusan dan Sekertaris jurusan Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Drs. Pheni Chalid, SF, MA, Ph.D, selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga, dan fikiran untuk memberikan
ilmu bermanfaat kepada saya hingga penulisan skripsi ini selesai. Semoga
Bapak selalu diberikan kesehatan dan keberkahan oleh Allah SWT.
6. Seluruh dosen pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis khususnya program
studi Ekonomi Pembangunan yang telah memberikan banyak ilmu
pengetahuan dalam proses perkuliahan.
7. Panjat sosial, Aliya, Intan, Rifa, Windy, Gina, js, mthrs, yang sering
membantu, menyemangati dan menjadi human diary bagi penulis.
8. Bang Tanu yang telah banyak membantu dan menjawab berbagai pertanyaan
seputar skripsi penulis, dan teman-teman Ekonomi Pembangunan 2015,
khususnya teman-teman yang sering memberikan support kepada penulis. See
ya guys on top.
9. Seluruh staff Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah membantu segala
fasilitas dan jasa selama masa perkuliahan dan penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Oleh karenanya,
penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun untuk
pencapaian yang lebih baik.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jakarta, Maret 2020
Azizha Delvine Oktina
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI............................................i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF..........................................ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH...................................iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI...........................................................iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP....................................................................................v
ABSTRACT...................................................................................................................vi
ABSTRAK....................................................................................................................vii
KATA PENGANTAR..................................................................................................viii
DAFTAR ISI.................................................................................................................x
DAFTAR TABEL........................................................................................................xiii
DAFTAR GRAFIK......................................................................................................xiv
DAFTAR GAMBAR....................................................................................................xv
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................................xvi
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................1
B. Batasan Masalah................................................................................................11
C. Rumusan Masalah..............................................................................................12
D. Tujuan Penelitian...............................................................................................13
E. Manfaat Penelitian.............................................................................................14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................15
A. Teori Terkait dengan Variabel Penelitian..........................................................15
1. Kejahatan Pencurian....................................................................................15
2. Pendidikan....................................................................................................27
3. Pengangguran ..............................................................................................29
ix
4. Kemiskinan .................................................................................................33
B. Penelitian Terdahulu..........................................................................................35
C. Hubungan Antar Variabel .................................................................................43
D. Kerangka Pemikiran ..........................................................................................47
E. Hipotesis Penelitian............................................................................................48
BAB III METODOLOGI PENELITIAN..................................................................49
A. Ruang Lingkup Penelitian.................................................................................49
B. Metode Penentuan Sampel.................................................................................49
C. Metode Pengumpulan Data................................................................................51
D. Metode Analisis Data.........................................................................................51
E. Operasional Variabel Penelitian........................................................................59
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN......................................61
A. Gambaran Umum Objek Penelitian...................................................................61
1. Gambaran Umum Prov Sumatera Utara .....................................................61
2. Gambaran Umum Prov DKI Jakarta ...........................................................63
3. Gambaran Umum Prov Jawa Barat..............................................................65
4. Gambaran Umum Prov Sumatera Selatan ..................................................67
5. Gambaran Umum Prov Sumatera Barat......................................................69
B. Temuan Hasil Penelitian ...................................................................................71
1. Uji Chow .....................................................................................................71
2. Uji Hausman ...............................................................................................72
3. Fixed Effect .................................................................................................73
a. Uji Signifikansi Parsial (Uji t-statistik)..................................................74
b. Uji Signifikansi Simultan (Uji F-statistik).............................................75
c. Uji Koefisien Determinasi (R2)..............................................................77
4. Uji Asumsi Klasik .......................................................................................79
a. Uji Normalitas........................................................................................79
b. Uji Autokorelasi ....................................................................................80
c. Uji Multikolinearitas .............................................................................81
x
d. Uji Heteroskedastisitas ..........................................................................81
5. Analisis Ekonomi.........................................................................................82
BAB V PENUTUP........................................................................................................86
A. Kesimpulan........................................................................................................86B. Saran..................................................................................................................87
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................89
LAMPIRAN..................................................................................................................92
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Kasus Kejahatan Pencurian Provinsi Tahun 2010-2017....................................5
Tabel 1.2 Rata-Rata Lama Sekolah Provinsi Tahun 2010-2017........................................7
Tabel 1.3 Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi 2010-2017.........................................8
Tabel 1.4 Persentase Penduduk Miskin Provinsi 2010-2017.............................................10
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu..........................................................................................35
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel............................................................................59
Tabel 4.1 Uji Chow............................................................................................................71
Tabel 4.2 Uji Hausman.......................................................................................................72
Tabel 4.3 Hasil Estimasi Fixed Effect Model.....................................................................73
Tabel 4.4 Uji t-statistik.......................................................................................................75
Tabel 4.5 Uji F-statistik......................................................................................................76
Tabel 4.6 Uji Koefisien Determinansi................................................................................77
Tabel 4.7 Hasil Interpretasi Fixed Effect Model ................................................................78
Tabel 4.8 Uji Normalitas ...................................................................................................79
Tabel 4.9 Uji Autokorelasi .................................................................................................80
Tabel 4.10 Uji Multikolinearitas.........................................................................................81
Tabel 4.11 Uji Heterokedastisitas (Uji Glejser) ..................................................................82
xii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Jumlah kasus pencurian provinsi Sumatera Utara 2010-2017.........................62
Grafik 4.2 Jumlah kasus pencurian provinsi DKI Jakarta 2010-2017..............................64
Grafik 4.3 Jumlah kasus pencurian provinsi Jawa Barat 2010-2017................................66
Grafik 4.4 Jumlah kasus pencurian provinsi Sumatera Selatan 2010-2017......................68
Grafil 4.5 Jumlah kasus pencurian provinsi Sumatera Barat 2010-2017..........................70
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kurva Permintaan dan Penawaran Kejahatan..................................................24
Gambar 2.2 Kurva Keseimbangan Kejahatan.....................................................................26
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran........................................................................................47
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Estimasi Data Panel...............................................................................92
1. Common Effect Model...............................................................................92
2. Fixed Effect Model.....................................................................................93
3. Uji Chow....................................................................................................94
4. Random Effect Model................................................................................95
5. Uji Hausman...............................................................................................96
6. Uji Normalitas............................................................................................97
7. Uji Multikolinearitas..................................................................................98
8. Uji Heterokedastisitas................................................................................99
Lampiran 2.......................................................................................................................100
1. Data Penelitian.........................................................................................100
2. Setelah di LOG.........................................................................................102
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan fundamental setiap manusia terdiri dari kebutuhan biologis seperti
makan, minum serta tidur dan kebutuhan sosial seperti status sosial, peranan sosial,
aktualisasi diri dan rasa aman. Saat ini dapat dikatakan bahwa rasa aman merupakan
salah satu kebutuhan dasar manusia dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya.
Menurut Abraham Maslow dalam teori hierarki kebutuhan manusia, rasa aman berada
pada tingkatan yang kedua dibawah kebutuhan dasar manusia seperti sandang,
pangan, dan papan. Hal ini menunjukkan bahwa rasa aman merupakan kebutuhan
manusia yang penting. (Statistik Kriminal 2018:3)
Rasa aman merupakan hak asasi yang harus dirasakan dan dinikmati oleh setiap
individu dalam hal ini masyarakat Indonesia. Sesuai dengan UUD Republik Indonesia
1945 pasal 28G ayat 1 bahwasannya setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Suatu kewajiban bagi pemerintah dan negara Indonesia untuk memberikan rasa
aman pada seluruh rakyatnya. Rasa aman merupakan suatu variabel yang mencakup
aspek dari dimensi politik, hukum, pertahanan, keamanan, sosial dan ekonomi.
Indikator yang digunakan untuk mengukur rasa aman masyarakat merupakan
indikator negatif, yaitu jumlah angka kejahatan (crime total) dan jumlah orang yang
berisiko terkena tindak kejahatan (crime rate) setiap 100.000 penduduk. Semakin
tinggi angka kriminalitas menunjukkan semakin banyak tindak kejahatan pada
masyarakat yang merupakan indikasi bahwa kondisi masyarakat menjadi semakin
tidak aman.
1
Upaya untuk memenuhi dan menciptakan rasa aman pada masyarakat merupakan
langkah strategis yang turut memengaruhi keberhasilan pembangunan nasional.
Terciptanya dan terpenuhinya keamanan pada masyarakat akan membangun suasana
yang kondusif bagi masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas dalam kehidupan
sehari-hari. Kondisi seperti ini pada skala makro akan menciptakan stabilitas nasional
yang merupakan salah satu prasyarat bagi tercapainya pembangunan dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Kriminalitas atau tindak kejahatan merupakan suatu permasalahan yang dihadapi
oleh setiap negara karena memiliki potensi yang dapat merusak kestabilan pasar.
Keberhasilan pembangunan yang digalakkan oleh setiap negara sangat bergantung
terhadap besar kecilnya hambatan dari kriminalitas. Oleh karena itu sangat penting
untuk menekan jumlah tindak kejahatan disuatu negara untuk menunjang
pembangunan yang optimal dan menciptakan suasana yang aman. Berbagai kerugian
telah banyak ditimbulkan oleh adanya tindak kejahatan, baik itu kerugian ekonomi,
fisik, moral dan psikologis.
Kriminalitas akan berdampak berupa beban kerugian yang harus ditanggung oleh
semua pihak. Biaya tersebut tidak hanya ditanggung oleh korban, namun oleh
masyarakat, dunia usaha, bahkan negara. Biaya yang dikeluarkan oleh korban
meliputi nilai pencurian yang hilang, biaya pengobatan luka fisik maupun traumatis,
opportunity cost dari hilangnya waktu bekerja, dan berkurangnya kualitas hidup. Bagi
masyarakat tindak kejahatan akan menimbulkan biaya untuk memperketat sistem
keamanan guna pencegahan terhadap tindakan kriminal. Bagi negara, tindak
kejahatan tentunya akan menimbulkan biaya untuk sistem peradilan meliputi biaya
polisi, pengadilan, pemenjaraan, rehabilitasi dan juga untuk perbaikan infrastruktur
keamanan. Selain itu, dengan adanya pelaku tindak kriminal yang dipenjara akan
menimbulkan opportunity cost karena berkurangnya tenaga kerja potensial. Dengan
demikian, menekan angka kriminalitas hingga tingkat terendah merupakan hal yang
penting untuk digalakkan oleh pemerintah dalam rangka mendukung peran aktif
2
masyarakat terhadap optimalisasi proses pembangunan. (Sullivan dalam Ramdayani
dkk, 2019:260).
Bagi kalangan dunia usaha, jika tingkat kriminalitas di suatu daerah tinggi, maka
biaya keamanan yang akan dikeluarkan oleh perusahaan juga semakin tinggi,
termasuk biaya penjagaan keamanan pencurian perusahaan dan biaya untuk
menjamin keselamatan pekerja dari tindakan kriminal. Munculnya biaya tambahan ini
akan berakibat pada tambahan biaya untuk memproduksi suatu barang dan jasa,
sehingga harga produk yang dihasilkan menjadi lebih mahal, dan berakibat pada
menurunnya keuntungan yang diperoleh karena rendahnya permintaan produk.
Dewasa ini, dinamika pertumbuhan budaya dan pesatnya ilmu pengetahuan dan
teknologi telah melahirkan persaingan dalam berbagai hal baik dalam bidang
ideologi, ekonomi maupun kemasyarakatan. Pokok persoalan yang sangat mendasar
adalah terletak pada invasi kebudayaan. Nilai-nilai seperti matrealisme, hedonisme
dan lain sebagainya yang akan mempengaruhi nilai-nilai kebudayaan yang berlaku di
masyarakat. Nilai-nilai baru yang muncul akan mengakibatkan perilaku manusia
berubah. Perubahan yang berdampak negatif terlihat dari munculnya perilaku yang
menyebabkan keresahan dalam masyarakat, misalnya dengan dambaan pemenuhan
kebutuhan material tanpa diimbangi dengan kemampuan material yang dimiliki,
sehingga manusia menempuh segala cara melalui tindakan kejahatan.
Faktor yang dapat menimbulkan kejahatan pencurian yaitu faktor internal yang
meliputi sifat khusus dan sifat umum dari dalam diri individu, dan faktor eksternal.
Sifat khusus dalam diri individu yaitu sakit jiwa, daya emosional, rendahnya mental
dan anatomi. Sedangkan sifat umum dalam diri individu antara lain umur, kekuatan
fisik, kedudukan individu didalam masyarakat, pendidikan, dan hiburan individu.
Faktor ekstenal dapat mencakup faktor-faktor ekonomi seperti pengangguran,
urbanisasi, perubahan harga barang, faktor bacaan, dan faktor film. Pada umumnya
para pelaku tindak kejahatan melakukan hal ilegal karena ekspektasi pendapatan dari
3
pencurian akan lebih besar daripada pendapatan dari pekerjaan yang legal.
(Abdulsyani, 1987:45).
Jika dilihat dari 31 provinsi di Indonesia selama tahun 2010-2017 terdapat
beberapa provinsi yang menyumbang jumlah kasus pencurian yang sangat besar,
yaitu Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Sumatera
Barat. Jumlah kasus pencurian di Indonesia selama tahun 2010-2017 sebesar 969.321
kasus, dimana pencurian tertinggi terjadi di Sumatera Utara sebesar 118.631, DKI
Jakarta sebesar 98.865, Jawa Barat sebesar 92.286, Sumatera Selatan sebesar 69.624,
dan Sumatera Barat sebesar 54.818 kasus.
Pada 5 provinsi yang memiliki angka pencurian tertinggi yaitu Sumatera Utara,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat, kelima provinsi
tersebut memiliki jumlah penduduk yang tinggi dan juga memiliki jumlah penduduk
perkotaan yang tinggi. Sumatera Utara memiliki jumlah penduduk perkotaan sebesar
56,3%, DKI Jakarta sebesar 100%, Jawa Barat sebesar 78,7%, Sumatera Selatan
sebesar 37,3%, dan Sumatera Barat sebesar 49,6%.
Pada umumnya, penduduk perkotaan adalah penduduk yang lebih modern
daripada penduduk pedesaan. Nilai-nilai kebudayaan yang ada pada penduduk
perkotaan sudah tercampur dengan nilai-nilai budaya barat. Masyarakat modern yang
serba kompleks, sebagai hasil dari kemajuan teknologi, mekanisasi dan urbanisasi
memunculkan banyak masalah sosial. Adaptasi masyarakat modern yang hyper
kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan menghadapi adaptasi menyebabkan
kebingungan, kecemasan dan konflik-konflik. Hal tersebut mendorong seseorang
untuk mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum,
dengan berbuat semau sendiri demi kepentingan sendiri dan merugikan orang lain.
Oleh karena itu, untuk memperoleh pandangan yang jelas dan terarah, penelitian
ini difokuskan kepada 5 provinsi yang memiliki angka pencurian yang tinggi guna
mengetahui penyebab tingginya angka pencurian tersebut. Provinsi yang terpilih
dalam penelitian ini akan menjadi representatif untuk menggambarkan kondisi dari
4
faktor-faktor yang mempengaruhi kejahatan pencurian yaitu pendidikan dalam hal ini
rata-rata lama sekolah, pengangguran dan kemiskinan.
Tabel 1.1Kasus Kejahatan Pencurian Provinsi
Tahun 2010-2017Tahun Sumut DKI Jakarta Jabar Sumsel Sumbar2010 13.003 19.718 8.211 9.085 4.6062011 16.049 15.546 14.442 9.447 4.8392012 15.185 15.182 12.634 9.806 6.4992013 18.034 13.459 11.726 10.230 7.1042014 16.175 10.732 12.477 10.282 7.9532015 14.238 9.424 10.558 8.199 8.1462016 13.661 8.869 11.134 7.182 8.1732017 12.286 5.935 11.104 5.393 7.498Sumber: Statistik Kriminal Badan Pusat Statistik 2018
Pada 5 provinsi yang memiliki jumlah kasus pencurian tertinggi selama tahun
2010-2017, dapat dilihat bahwa Provinsi Sumatera Utara mengalami angka yang
berfluktuasi namun relatif mengalami penurunan dari tahun 2013-2017. Provinsi DKI
Jakarta selalu mengalami penurunan setiap tahunnya, dan Provinsi Jawa Barat
mengalami kenaikan yang cukup besar pada tahun 2010-2011. Provinsi Sumatera
Selatan dari tahun 2014-2017 selalu mengalami penurunan dan Provinsi Sumatera
Barat selalu mengalami kenaikan dari tahun 2010-2016, kecuali pada tahun 2017
mengalami penurunan.
Tindakan pencurian di Indonesia sedang marak terjadi. Hampir setiap hari terjadi
pencurian yang diberitakan di televisi ataupun melalui internet. Permasalahan ini
harus diselesaikan melalui berbagai alternatif kebijakan. Namun sayangnya, sebagian
besar masalah kriminalitas khususnya pencurian hanya dianalisis dan diselesaikan
melalui pendekatan hukum, kriminologi dan ilmu kepolisian. Akibatnya kebijakan
yang diambil untuk menekan kriminalitas sebagian besar dilakukan melalui
pendekatan hukum dan kepolisian. Padahal, penyebab kriminalitas dapat diketahui
lebih mendalam melalui pendekatan ekonomi.
5
Penelitian Becsi (1999:39) menunjukkan bahwa kejahatan didominasi oleh motif
ekonomi. Pendekatan ekonomi dapat dilihat dari rasionalitas pelaku kejahatan.
Terutama untuk jenis kejahatan pencurian yang melibatkan pengambilan harta benda
korban sebagai utilitas (pendapatan) bagi pelaku. Berdasarkan model Becker bahwa
pelaku kriminalitas yang rasional akan melakukan kriminalitas bila expected cost
lebih rendah dari expected benefits dan akan menahan diri untuk melakukan
pencurian jika sebaliknya.
Perspektif neoklasik menjelaskan bahwa agen ekonomi adalah individu yang
independen dan rasional ketika mengejar kepentingan diri (self-interest), dalam
rangka memaksimalkan manfaat dan keuntungan. Jika demikian halnya, individu
dapat dianalisis dalam konteks ekonomi yaitu dengan uang. Uang menjadi satu-
satunya alat analisis untuk menjelaskan individu dalam konteks ekonomi (Chalid,
2016:4). Dengan begitu dapat dilihat bahwa pendekatan ekonomi adalah cara untuk
menganalisa pencurian dimulai dengan asumsi dasar bahwa pelaku pencurian
melakukan aksinya dengan rasional. Merespon intensif dengan melakukan
perhitungan untung dan rugi. Oleh karenanya pencurian dapat dianalisa melalui
pendekatan ekonomi.
Strategi lain untuk menekan angka pencurian adalah dengan meningkatkan
ketegasan dalam hukuman yang akan diterima para kriminal atau dengan
meningkatkan upah pekerjaan yang legal. Salah satu cara meningkatkan upah tersebut
adalah dengan meningkatkan pencapaian dalam hal pendidikan khususnya jumlah
lulusan sekolah tinggi. Pendidikan merupakan hal yang penting bagi penduduk suatu
negara, karena pendidikan membantu untuk membentuk kepribadian individu dan
pola pikir yang baik, serta dapat meningkatkan keterampilan.
Semakin rendahnya tingkat pendidikan seseorang dapat disimpulkan bahwa
ketrampilan yang dimilikinya juga lebih rendah dibandingkan dengan para lulusan
sekolah menengah hingga universitas, dan waktu luang yang dimiliki oleh lulusan SD
hingga SMP akan lebih banyak dibandingkan lulusan SMA hingga universitas.
6
Sehingga ketersediaan waktu luang yang berlebih itu bisa menjadi peluang bagi
mereka untuk melakukan tindak pencurian. (Lochner dalam Rahmalia 2019:23).
Tabel 1.2Rata- Rata Lama Sekolah Provinsi
Tahun 2010-2017
Tahun Sumatera Utara
DKI Jakarta
Jawa Barat
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
2010 8.51 10.37 7.40 7.34 8.132011 8.61 10.40 7.46 7.42 8.202012 8.72 10.43 7.52 7.50 8.272013 8.79 10.47 7.58 7.53 8.282014 8.93 10.54 7.71 7.66 8.292015 9.03 10.70 7.86 7.77 8.422016 9.12 10.88 7.95 7.83 8.592017 9.25 11.02 8.14 7.99 8.72 Sumber: Statistik Kriminal Badan Pusat Statistik 2018
Tabel 1.2 menunjukkan bahwa penduduk masing-masing provinsi tidak
menyelesaikan pendidikan wajib 12 tahun. Hal ini dapat dilihat bahwa tidak ada
satupun provinsi diantara Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera
Selatan, dan Sumatera Barat yang memiliki angka rata-rata lama sekolah 12 tahun
yang berarti penduduk di masing-masing provinsi pada umumnya tidak
menyelesaikan/tamat Sekolah Menengah Atas (SMA).
Berdasarkan tabel diatas, setiap tahunnya di masing-masing provinsi rata-rata
lama sekolah selalu mengalami kenaikan walaupun angkanya masih kecil. Provinsi
Sumatera Utara pada tahun 2017 memiliki rata-rata lama sekolah 9.25 yang berarti
setara lulus SMP atau tidak tamat SMA. DKI Jakarta pada tahun 2017 memiliki rata-
rata lama sekolah 11.02 atau setara tidak tamat SMA. Jawa Barat pada tahun 2017
memiliki rata-rata lama sekolah 8.14 atau tidak tamat SMP. Sumatera Selatan pada
tahun 2017 memiliki rata-rata lama sekolah 7.99 atau tidak tamat SMP dan Sumatera
Barat pada 2017 memliki rata-rata lama sekolah 8.72 atau tidak tamat SMP. Hal ini
7
yang mungkin berpotensi memicu tindak kejahatan dikarenakan ketersediaan waktu
luang yang berlebih.
Penelitian yang dilakukan oleh Tauchen dan Witte (dalam Groot dan Brink
2007:282) menunjukkan bahwa remaja yang menghabiskan waktunya untuk bekerja
atau bersekolah memiliki peluang yang lebih kecil untuk melakukan tindak
pencurian. Pada dasarnya kebutuhan akan pendidikan sangatlah penting karena dapat
mempengaruhi individu dalam bertindak dikehidupan sehari-harinya. Tentunya
seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan mempunyai
keterampilan yang lebih tinggi. Dengan pendidikan yang tinggi, akan membawa
individu kedalam lingkungan pendidikan yang baik dan menciptakan sifat, sikap,
serta kebiasaaan untuk melakukan hal-hal dengan berfikir kritis dan tidak melakukan
tindakan ilegal.
Sumber: Statistik Kriminal Badan Pusat Statistik 2018
Tabel 1.3 memperlihatkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di 5 provinsi
yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Setiap tahunnya TPT dimasing-masing
provinsi hampir selalu mengalami penurunan, walaupun angka nya masih tinggi.
Sumatera Selatan menjadi provinsi yang memiliki TPT cukup rendah meskipun
mengalami kenaikan yang cukup tinggi pada tahun 2014-2015.
8
Tabel 1.3Tingkat Pengangguran Terbuka Provinsi
Tahun 2010-2017Tahu
n Sumut DKI Jakarta Jabar Sumsel Sumbar
2010 8.01 11.32 10.57 6.55 7.572011 7.47 10.86 10.01 6.29 7.512012 6.43 10.60 9.84 5.60 6.492013 6.09 9.64 8.88 5.41 6.392014 5.95 9.84 8.66 3.84 6.322015 6.39 8.36 8.40 5.03 5.992016 6.49 5.77 8.57 3.94 5.812017 6.41 5.36 8.49 3.80 5.80
Setiap individu memiliki pendapatan dan pengeluaran yang berbeda-beda,
memiliki pekerjaan yang berbeda atau bahkan tidak memiliki pekerjaan. Seseorang
yang tidak memiliki pekerjaan atau pengangguran, berarti tidak berpenghasilan dan
tidak memiliki ekspektasi keuntungan dari pekerjaan legal. Dengan begitu,
kecenderungan melakukan kejahatan orang yang menganggur lebih besar
dibandingkan dengan orang yang memiliki penghasilan dari pekerjaan legal. Individu
yang lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk bekerja maka kemungkinan kecil
dia akan melakukan tindak pencurian.
Pengangguran di Indonesia menjadi suatu masalah yang cukup serius. Mengingat
bonus demografi yang terjadi di Indonesia harus diimbangi dengan lapangan
pekerjaan, atau kesempatan yang berharga ini malah akan menjadi masalah baru yaitu
banyaknya pengangguran. Kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia juga
harus siap memasuki era digital. Tingginya angka pengangguran dapat menyebabkan
berbagai masalah sosial, misalnya tindakan pencurian.
Masalah kemiskinan muncul ketika individu atau sekelompok orang tidak
mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan
minimal dari standar hidup tertentu. Kemiskinan disebabkan karena adanya
kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian,
tempat tinggal dan kesehatan serta pendidikan yang dapat diterima (World Bank
dalam Annur, 2013:411).
Pada suatu negara yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, diduga secara
langsung akan menimbulkan masalah tingginya angka kejahatan. Berdasarkan Teori
Insting, dinyatakan bahwa pada dasarnya manusia mempunyai dua insting dasar,
yaitu insting libido yang mendorong manusia untuk tetap hidup dan instring agresif
yang mendorong manusia untuk menghancurkan manusia lain. Dengan kata lain
manusia selalu dituntut untuk memenuhi kebutuhan dasarnya atau kebutuhan pokok.
9
Tabel 1.4Persentase Penduduk Miskin Provinsi
Tahun 2010-2017
Tahun Sumatera Utara
DKI Jakarta Jawa Barat Sumatera
SelatanSumatera
Barat2010 11.31 3.48 11.27 15.47 9.52011 11.33 3.75 10.65 14.24 9.042012 10.67 3.69 10.09 13.78 8.192013 10.06 3.55 9.52 14.24 8.142014 9.38 3.92 9.44 13.91 7.412015 10.53 3.93 9.53 14.25 7.312016 10.35 3.75 8.95 13.54 7.092017 10.22 3.77 8.71 13.19 6.87
Sumber: Statistik Kriminal Badan Pusat Statistik 2018
Tabel 1.3 memperlihatkan persentase penduduk miskin di 5 provinsi terpilih.
Kelima provinsi memiliki angka yang fluktuatif. Tingkat kemiskinan di kelima
provinsi memperlihatkan angka yang masih tinggi kecuali di DKI Jakarta.
Kemiskinan menjadi permasalahan yang sangat serius di Indonesia. Karena dengan
kemiskinan dapat menyebabkan berbagai permasalahan yang kompleks, salah satunya
tindakan pencurian.
Pencurian adalah tindakan yang sangat merugikan korban, baik materi yaitu
kehilangan harta benda maupun non materi seperti rasa takut dan cemas untuk
melakukan kegiatan sehari-hari. Padahal, setiap orang berhak mendapatkan hak atas
rasa aman. Terciptanya rasa aman pada masyarakat akan membuat suasana yang
kondusif bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu,
upaya-upaya untuk menciptakan rasa aman harus dilakukan semua pihak, karena
secara langsung akan menciptakan stabilitas nasional yang dapat meningkatan
pembangunan ekonomi.
Motivasi untuk mencukupi kebutuhan mengakibatkan seseorang berani
mengambil resiko untuk melakukan kejahatan terutama pencurian demi mencukupi
kebutuhan hidup. Hal ini disebabkan karena hasil dari tindakan pencurian umumnya
10
mempunyai nilai jual yang nantinya dapat digunakan untuk menutup kekurangan
kebutuhannya. Sehingga analisis kejahatan pada penelitian ini menggunakan jenis
kejahatan pencurian dikarenakan jenis kriminalitas tersebut penyebabnya lebih
dimungkinkan oleh permasalahan ekonomi, seperti pengangguran, kemiskinan, dan
masalah sosial lain yaitu pendidikan. Menyikapi hal tersebut diatas menarik untuk
diteliti lebih lanjut tentang permasalahan pencurian di provinsi yang memiliki angka
pencurian yang tinggi. Oleh karena itu penulis mengambil judul penelitian
“Pengaruh Rata-Rata Lama Sekolah, Pengangguran, dan Kemiskinan terhadap
Pencurian di Lima Provinsi Indonesia tahun 2010-2017”
B. Batasan masalah
Pada penelitian ini, penulis membatasi penelitian pada 5 provinsi di Indonesia
untuk dijadikan sampel penelitian. Provinsi yang dipilih adalah Sumatera Utara, Jawa
Barat, DKI Jakarta, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat. Provinsi yang dipilih
berdasarkan pertimbangan penulis, untuk fokus kepada 5 provinsi yang memiliki
jumlah kasus pencurian tertinggi di Indonesia, gunanya adalah untuk melihat apakah
5 provinsi tersebut memiliki kasus pencurian yang tinggi karena disebabkan oleh
variabel-variabel dependen yang ada dalam penelitian ini.
Selain itu, 5 provinsi yang dipilih memiliki jumlah penduduk perkotaan yang
tinggi. Dimana menurut asumsi penulis, ketika penduduk kota lebih mendominasi
dari penduduk desa didalam suatu wilayah, maka besar kemungkinan kejahatan
pencurian yang terjadi lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena penduduk desa
masih memegang teguh adat istiadat. Sedangkan adat istiadat pada penduduk
perkotaan sudah luntur. Periode penelitian yang digunakan dari tahun 2010 – 2017.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini tefokus pada 3 variabel yaitu
pendidikan dengan indikator rata-rata lama sekolah, tingkat pengangguran terbuka,
dan kemiskinan yang merupakan variabel bebas (X). Ketiga variabel tersebut
merupakan variabel yang akan mempengaruhi variabel pencurian sebagai variabel
terikat (Y). Penelitian ini hanya mengkaji bagaimana variabel rata-rata lama sekolah,
11
tingkat pengangguran terbuka dan kemiskinan dapat berpengaruh terhadap variabel
pencurian baik secara parsial dan secara simultan.
C. Rumusan Masalah
Dari penjelasan pada latar belakang di atas dapat diketahui bahwa kelima
provinsi yaitu Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan
Sumatera Barat memiliki angka pencurian yang tinggi. Jika dilihat dari sisi
pendidikan, DKI Jakarta yang memiliki rata-rata lama sekolah tertinggi walaupun
belum memenuhi wajib belajar 12 tahun yaitu 11.02 tahun atau setara dengan tamatan
SMP. Bahkan, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat memiliki rata-rata
lama sekolah hanya sampai SD. Semakin rendahnya tingkat pendidikan seseorang
dapat diartikan bahwa keterampilan yang dimilikinya juga semakin rendah
dibandingkan dengan seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi. Sehingga
diasumsikan bahwa pola pikir dan tingkah laku seseorang yang berpendidikan rendah
dan tinggi akan berbeda.
Tingkat pengangguran terbuka, salah satu masalah terpenting yang dirasakan
efeknya secara langsung kepada masyarakat. Seseorang yang menganggur tentunya
tidak memiliki pendapatan. Selain itu, ketersediaan waktu luang yang berlebih itu
bisa menjadi peluang untuk melakukan tindak kriminalitas pencurian. Selanjutnya
untuk variabel kemiskinan, dimana orang miskin memiliki penghasilan terbatas untuk
memenuhi kebutuhan mereka, maka kemungkinan besar akan terlibat dalam suatu
kegiatan ilegal lainnya untuk mendapatkan penghasilan yang diinginkan. Jadi
kemiskinan dapat memicu tindakan pencurian.
Kasus kejahatan yang terjadi dalam masyarakat saat ini semakin beragam
jenisnya. Namun jika dibandingkan dengan bentuk tindak kejahatan yang lain jenis
kejahatan pencurian selalu dominan terhadap tindak pidana yang paling
mendominasi. Oleh karena itu, menarik untuk diteliti lebih jauh hubungan antara
rata-rata lama sekolah, tingkat pengangguran terbuka, dan kemiskinan terhadap
pencurian di lima provinsi yang tinggi angka pencuriannya.
12
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat ditarik beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh rata-rata lama sekolah terhadap pencurian di Sumatera
Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat periode
2010 hingga 2017?
2. Bagaimana pengaruh tingkat pengangguran terbuka terhadap pencurian di
Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat
periode 2010 hingga 2017?
3. Bagaimana pengaruh tingkat kemiskinan terhadap pencurian di Sumatera Utara,
Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat periode 2010
hingga 2017?
4. Bagaimana pengaruh rata-rata lama sekolah, tingkat pengangguran terbuka dan
kemiskinan terhadap pencurian di Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta,
Sumatera Selatan dan Sumatera Barat periode 2010 hingga 2017?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka yang akan menjadi tujuan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut
1. Mendapatkan gambaran pengaruh dari rata-rata lama sekolah terhadap
pencurian di provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera
Selatan dan Sumatera Barat periode 2010 hingga 2017.
2. Mendapatkan gambaran pengaruh dari tingkat pengangguran terbuka terhadap
angka pencurian di provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta,
Sumatera Selatan dan Sumatera Barat periode 2010 hingga 2017.
3. Mendapatkan gambaran pengaruh dari kemiskinan terhadap pencurian di
provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Selatan dan
Sumatera Barat periode 2010 hingga 2017.
4. Mendapatkan gambaran pengaruh dari rata-rata lama sekolah, tingkat
pengangguran terbuka dan kemiskinan terhadap pencurian di provinsi
13
Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Selatan dan Sumatera
Barat periode 2010 hingga 2017.
E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian maka diharapkan penelitian ini memberikan
manfaat untuk berbagai pihak.
1. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
wawasan civitas akademik mengenai masalah pencurian dengan pendekatan
ekonomi dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pencurian.
2. Bagi pemerintah atau pembuat kebijakan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
pemerintah dalam menentukan kebijakan yang efektif untuk setidaknya dapat
menekan angka pencurian sehingga berdampak pada keefektifan
pembangunan ekonomi.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori terkait dengan variabel penelitian
1. Kejahatan
1.1 Konsep kejahatan
Kriminal atau kejahatan mempunyai pengertian secara yuridis-formal dan
sosiologis. Secara yuridisformal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang
bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, bersifat
asosial, dan melanggar hukum serta undang-undang pidana. Secara sosiologis,
kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang
secara ekonomis, politis, dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat,
melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga
masyarakat. (Kartini Kartono dalam Hardianto 2009:28).
Kejahatan juga memiliki arti dari perspektif ekonomi, yaitu seseorang
yang dianggap merugikan orang lain dengan membebankan kepentingan
ekonominya kepada masyarakat sekelilingnya sehingga ia di anggap sebagai
penghambat atas kebahagiaan pihak lain. Kejahatan bersifat universal dan
tidak terbatas ruang dan waktu karna dapat terjadi kapan saja, di mana saja,
dan terhadap siapa saja. Sebagai sebuah fenomena sosial, kejahatan adalah
penyakit dalam sebuah komunitas dan keberadaannya harus diperangi,
sebagaimana ilmu hukum memerangi kejahatan karena merupakan sebuah
pelanggaran.
15
Mabel A. Elliot dalam Purnianti dan Darmawan (1994:123) melihat
kejahatan dari beberapa sudut :
a. Kejahatan sebagai masalah sosial
Bila dilihat dari sudut sosiologi, kejahatan adalah salah satu masalah
paling gawat dari disorganisasi sosial. Karena penjahat bergerak dalam
aktivitas-aktivitas yang membahayakan bagi dasar-dasar pemerintahan,
hukum atau undang-undang, ketertiban dan kesejahteraan sosial.
b. Kejahatan sebagai masalah psikologi
Dari sudut psikologi, kejahatan diartikan sebagai perbuatan yang
dilakukan oleh seorang penjahat. Penjahat adalah orang yang sama dengan
kita, yang memiliki masalah psikologi.
c. Kejahatan sebagi masalah sosial-psikologi
Kelakuan seorang penjahat bila dilihat dari sudut pandang masyarakat
adalah suatu kelakuan yang menyeleweng. Akan tetapi, penyebab
perbuatan kejahatan yang dilakukan seseorang secara terus menerus
adalah perasaan anti sosial yang ada pada diri penjahat. Sebagai individu
si penjahat adalah suatu masalah psikologis, tetapi mereka juga suatu
masalah sosial, karena kegagalan mereka untuk mentaati undang-undang.
d. Kejahatan sebagai masalah sosial-hukum
Definisi kejahatan dari sudut pandang ini adalah setiap
perbuatan/kegagalan untuk melakukan suatu perbuatan, yang
dilarang/diharuskan oleh undang-undang. Melakukan perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang atau gagal melakukan perbuatan yang
diharuskan oleh undang-undang akan mengakibatkan pidana dalam bentuk
denda/hukuman, hilang kemerdekaan, dibuang keluar daerah, pidana mati,
dan lain-lain.
16
Dalam kriminologi, kejahatan dapat dibagi dengan beberapa klasifikasi
yaitu kejahatan terhadap nyawa dengan jenis kejahatan pembunuhan,
kejahatan terhadap fisik/badan dengan jenis kejahatan penganiayaan berat,
penganiayaan ringan dan kekerasan dalam rumah tangga, lalu kejahatan
terhadap kesusilaan dengan jenis kejahatan seperti pemerkosaan, pencabulan.
Lalu kejahatan terhadap kemerdekaan orang dengan jenis kejahatan
penculikan, memperkerjakan anak dibawah umur, selanjutnya kejahatan
terhadap hak milik/barang dengan penggunaan kekerasan dengan jenis
kejahatan pencurian dengan kekerasan, pencurian dengan senjata api,
pencurian dengan senjata tajam. Lalu kejahatan terhadap hak milik/barang
dengan jenis kejahatan pencurian, pencurian dengan pemberatan, pencurian
kendaraan bermotor, pengrusakan barang, pembakaran barang dan penadahan.
Selanjutnya kejahatan terhadap narkotika, kejahatan terkait penipuan,
penggelapan dan korupsi dan kejahatan terhadap ketertiban publi
Ilmu ekonomi memandang kejahatan sebagai fenomena yang harus
diberantas disebabkan dampaknya yang menimbulkan banyak biaya baik
secara materil maupun non-materil. Sedangkan kerangka ekonomi merupakan
salah satu pendekatan yang tepat untuk mengoptimalkan sumber daya dalam
memberantasnya. Kejahatan dapat memunculkan keengganan pihak asing dan
domestik untuk berinvenstasi langsung, mengurangi daya saing perusahaan,
dan menghambat pembangunan.
1.2 Kejahatan Pencurian
Pencurian berdasarkan KUHP Pasal 362 adalah suatu tindakan mengambil
barang atau sesuatu yang seluruhnya atau sebagiannya adalah kepunyaan
orang lain dengan maksud untuk dimiliki dengan cara melawan hukum
(Hamzah dalam Delia 2009:67). Menurut Poerwardarminta (1984:217)
pencurian berasal dari kata dasar curi yang berarti sembunyi-sembunyi atau
diam-diam dan pencuri adalah orang yang melakukan kejahatan pencurian.
17
Dengan demikian pengertian pencurian adalah orang yang mengambil milik
orang lain dengan sembunyi-sembunyi atau diam-diam dengan jalan yang
tidak sah.
Pencurian termasuk kejahatan terhadap harta benda yang diatur dalam
pasal 362 sampai 367 KUHPidana. Adapun jenis-jenis pencurian yang diatur
dalam KUHPidana adalah sebagai berikut:
1. Pasal 362 KUHPidana adalah delik pencurian biasa
2. Pasal 363 KUHPidana adalah delik pencurian berkualitas atau dengan
pemberatan.
3. Pasal 364 KUHPidana adalah delik pencurian ringan.
4. Pasal 365 KUHPidana adalah delik pencurian dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan.
5. Pasal 367 KUHPidana adalah delik pencurian dalam kalangan
keluarga.
Pencurian dapat digolongkan sebagai pencurian dengan pemberatan
apabila pencurian dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah, atau
untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan tersebut harus dengan merusak,
memotong, memanjat, atau dengan memakai perintah palsu, jabatan palsu,
serta dilakukan pada kondisi bencana, misalnya pada saat kebakaran, gempa
bumi, kecelakaan kereta api, dan sebagainya. Pencurian yang dilakukan siang
hari pun dapat dikategorikan sebagai pencurian dengan pemberatan, apabila
memenuhi unsur pemberat pada saat peristiwa berlangsung. (Arifin dalam
Delia 2009:67)
Pencurian dengan kekerasan, tindak kejahatan ini diiringi dengan
melakukan kekerasan atau ancaman terhadap korban didalam melakukan
pencurian. Kekerasan atau ancaman dilakukan pada sebelum, saat dan setelah
pencurian dilakukan dan umumnya terjadi dilingkungan perumahan.
Kejahatan yang terjadi di lingkungan tempat tinggal (residential crime)
18
didefinisikan sebagai pencurian rumah kosong, pencurian kendaraan
bermotor, perampokan, dan pembobolan rumah. Residential crime merupakan
kombinasi antara niat dari pelaku dan kesempatan yang ada. Kedua hal ini
sangat berkaitan. Ketika calon pelaku kejahatan awalnya tidak memiliki niat
untuk mencuri namun karena melihat kesempatan yang ada, akan
menimbulkan niat untuk mencuri. (O’Block dalam Delia 2009:68)
Salah satu kejahatan yang dianggap paling menonjol oleh Polri yaitu
kejahatan terhadap hak milik/barang dengan kekerasan, atau biasa disebut
CURAS (Pencurian dengan kekerasan). Curas dibagi menjadi dua menurut
modus operasinya yaitu dengan senjata tajam dan senjata api. Kejahatan
pencurian banyak didominasi oleh kejahatan pencurian biasa dan pencurian
kendaraan bermotor.
Jenis tindak pidana pencurian merupakan jenis tindak pidana yang terjadi
hampir di setiap daerah di Indonesia, oleh karenanya menjadi sangat logis
apabila jenis tindak pidana ini menempati urutan teratas di antara tindak
pidana terhadap harta kekayaan yang lain. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
terdakwa/tertuduh dalam tindak pidana pencurian yang diajukan ke sidang
pengadilan.
1.3 Biaya dan Kejahatan
Aksi kejahatan menimbulkan biaya bagi setidaknya empat pihak yaitu
korban, potensial korban, pelaku, dan publik. Biaya bagi korban kejahatan,
didefinikan sebagai pihak yang menderita tindak kejahatan. Biaya yang
ditanggung oleh korban adalah jumlah total harta rampasan yang diambil
pelaku, biaya perbaikan pencurian/alat pengamanan, serta biaya perawatan
medis akibat luka fisik dan nonfisik yang dialami. Selain itu, terdapat
opportunity cost berupa waktu bekerja yang hilang selama pemulihan
dikalikan upah kerja. Opportunity cost tersebut akan semakin besar apabila
korban tidak mampu menanggulangi beban mental berupa posttraumatic stress
19
disorder yaitu kondisi trauma pasca terjadinya kejahatan yang
mengakibatkan terganggunya kondisi mental korban.
Biaya bagi korban potensial, yaitu masyarakat. Masyarakat dapat lebih
optimal mengalokasikan sumber daya mereka jika tidak ada masalah
kejahatan. Potensial korban akan menanggung beban berupa penambahan
alat-alat pengamanan untuk mengantisipasi tindak kejahatan, belanja asuransi
untuk mengurangi resiko kejahatan, penurunan kualitas hidup akibat
ketakutan terhadap tindak kejahatan, dan opportunity cost dari aktivitas bebas
yang terhalang akibat ketakutan terhadap kejahatan tersebut.
Biaya bagi pelaku kejahatan, merupakan opportunity cost dari waktu
pelaku dipenjara yang bervariasi pada setiap pelaku kejahatan. Besar
opportunity cost ini didapat dari pendapatan yang hilang selama dipenjara
(apabila pelaku memiliki pekerjaan). Biaya ini dapat meningkat apabila
probabilita tertangkap/dipenjara, memperlama waktu dipenjara, dan
pendapatan legal pelaku ditingkatkan. Semakin besar ketiga variabel
tersebut, opportunity cost dari pelaku kejahatan akan semakin besar
sehingga memperkecil insentif untuk tindak kejahatan.
Biaya bagi sektor publik, adalah segala biaya yang timbul berupa
pencegahan suatu tindak kejahatan, hukuman untuk pelaku kejahatan,
dan penurunan kualitas lingkungan. Hukuman untuk kejahatan sering
dimaksudkan untuk mencegah calon pelaku kejahatan melakukan aksi
serupa. Biaya untuk patroli keamanan (polisi dan komponen keamanan
lain) merupakan komponen biaya eksplisit yang jelas dapat dikategorikan
sebagai biaya yang dikeluarkan publik untuk mencegah terjadinya
kejahatan. Sementara itu, biaya untuk penangkapan, penyidikan, penyelidikan,
pengadilan dan fasilitas rehabilitasi pelaku kejahatan merupakan biaya yang
dianggap untuk menghukum pelaku kejahatan.
20
Tingginya tingkat kejahatan akan mendistorsi ekonomi sebuah
komunitas. Fasilitas publik seperti taman, perpustakaan, tempat parkir umum,
dan sarana lainnya akan berkurang akibat tingginya biaya perawatan dan
biaya perbaikan karena aksi-aksi vandalisme. Pekerja publik mungkin
akan meminta upah lebih tinggi, perihal dengan banyaknya aksi kejahatan.
Hal serupa juga terjadi pada pertokoan dan jasa pelayanan, jumlahnya akan
berkurang dan akan terdapat biaya tinggi jika tetap beroperasi akibat biaya
untuk pengamanan dan asuransi. Sehingga dalam jangka panjang akan
berdampak pada berkurangnya pendapatan rill. Selain itu pajak yang
diberlakukan menjadi lebih tinggi untuk membiayai peradilan,
pencegahan kejahatan, pelayanan kesehatan untuk korban kejahatan dan
mendistorsi investasi dan tabungan daerah.
1.4 Anggapan Rasionalitas Kejahatan
Rasionalitas merupakan suatu pertimbangan atas kesadaran terhadap suatu
pilihan bagi seseorang untuk bertindak atas dasar preferensi nilai. Pendekatan
rasionalitas pada dasarnya digunakan dalam hal pengambilan suatu keputusan.
Dengan pendekatan rasionalitas akan diharapkan mampu untuk meramalkan
secara tepat akibat-akibat dari pilihan atau keputusannya tersebut sehingga
dapat memperhitungkan asas biaya manfaatnya serta mempertimbangkan
beberapa masalah yang saling berkaitan.
Dalam hal pencurian, pendekatan rasionalitas juga digunakan untuk
mempertimbangkan beberapa hal yang menyangkut untung rugi yang ia
dapatkan dari pengambilan keputusan untuk masuk ke aktivitas kriminal.
Keputusan melakukan pencurian adalah keputusan yang rasional karena
didasarkan atas maksimisasi utilitas. Seorang yang akan masuk ke aktivistas
illegal pasti akan melakukan beberapa pertimbangan seperti probabilita untuk
ketahuan dan tertangkap, penghukuman yang mungkin dijatuhkan, nilai
21
potensial dari jaringan kejahatan yang ada, dan kebutuhan jangka pendeknya
terhadap hasil kejahatan.
Becker (1968:170) menjelaskan model dari keputusan seseorang untuk
ikut ke aktivitas illegal. Hipotesis Becker bahwa pencurian adalah perhitungan
yang rasional, karena itu seorang pelaku pencurian akan membuat keputusan
yang disesuaikan dengan hukum sebagai basis perbandingan ekspektasi
untung rugi dari perbuatan legal dan illegal. Perkiraan biaya kejahatan ini
adalah hasil perhitungan probabilitas dari aktivitas yang terdeteksi dan dari
pelaku yang ditangkap dan dihukum, serta nilai kerugian materil dari sanksi
hukuman dan nilai kerugian non materil yang mungkin diderita, seperti
kerugian dalam reputasi yang dicap sebagai seorang kriminal.
Kemudian perkiraan keuntungan dari pencurian dihitung dari probabilitas
keberhasilan memperoleh keuntungan materil maupun non materil. Ini
mencakup baik nilai barang atau jumlah uang yang dihasilkan secara langsung
dari pencurian. Dan yang tidak berwujud tetapi berpotensi memiliki nilai
seperti dapat dikenal oleh orang orang yang dalam komunitas para pelanggar
hukum. Berdasarkan model Becker bahwa pelaku pencurian yang rasional
akan melakukan kejahatan bila expected cost lebih rendah dari expected
benefits dan akan menahan diri untuk melakukan kejahatan jika sebaliknya itu
terbukti.
Pendekatan ekonomi mengungkapkan bahwa terdapat tiga alasan dari
pelaku kriminal dalam mengambil keputusan untuk melakukan tindak
kejahatan pencurian. Pertama, pelaku pencurian tersebut merupakan orang
yang memiliki kemungkinan tertangkap sangat rendah, sementara expected
returm yang diharapkan dari harta benda hasil kejahatan (expected loot)
sangat besar. Hal tersebut dimungkinkan karena ia memiliki pengetahuan dan
keahlian dalam melakukan tindak kejahatannya. Namun kejahatan tipe ini
umumnya terjadi pada white collar crime. Kedua, pelaku kejahatan pencurian
22
tersebut, apabila tertangkap dan dipenjara, memiliki opportunity cost yang
rendah. Rendahnya opportunity cost disebabkan tidak produktifnya aktivitas
yang dilakukan oleh mereka apabila berada di luar penjara. Hal ini
menjelaskan penyebab pencurian yang dilakukan oleh orang miskin. Ketiga,
pelaku sama sekali tidak memiliki rasa hormat terhadap nilai dan norma
dalam masyarakat sehingga tidak menganggap bahwa pencurian merupakan
suatu perbuatan yang salah. Hal ini menjelaskan mengapa pencurian dapat
terjadi meskipun net-return nya sedikit. (Sullivan, 2003:257).
Dalam perspektif ekonomi, para pelaku kriminal dianggap sama dengan
individu lainnya. Dengan mempertimbangkan tingkat keuntungan dan biaya
yang dikeluarkan mereka mampu menilai seberapa besar tingkat kepuasan
mereka dalam melakukan tindak kriminal dibandingkan tindak non kriminal.
Oleh karenanya, kriminalitas yang dapat dianalisa melalui pendekatan
ekonomi adalah kejahatan mengambil harta benda milik orang lain yang
dalam penelitian ini adalah pencurian.
1.5 Tingkat Keseimbangan Kejahatan
Teori keseimbangan kejahatan pencurian sama seperti teori keseimbangan
pada umumnya, pencurian juga memiliki tingkat keseimbangan yang
terbentuk dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Secara garis besar
terdapat beberapa aktor yang mempengaruhi keseimbangan kejahatan
pencurian. Aktornya yakni pelaku pencurian, rumah tangga non kriminal, dan
intervensi pemerintah yang mempengaruhi keduanya. Dari sisi penawaran,
kejahatan ditentukan oleh pelaku kejahatan yang melakukan tindak kejahatan.
Penawaran kejahatan tersebut memunculkan permintaan masyarakat akan
perlindungan keamanan dari tindak pencurian di wilayahnya. Pemerintah
mempengaruhi keduanya, yaitu sebagai pemberi jasa keamanan dan pemberi
hukuman bagi para pelaku (Becsi, 1999:39).
23
Penawaran kejahatan pencurian terbentuk karena beberapa faktor, yaitu
ekspektasi harta yang akan didapat dari pencurian, biaya langsung dalam
memperoleh harta dari pencurian, upah rata-rata di sektor legal, peluang
tertangkap, dan selera tiap individu dalam melakukan kejahatan. Selain itu,
faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran kurva penawaran kejahatan
berupa perubahan demografi yaitu kenaikan/penurunan proporsi usia muda,
kesempatan kerja yang berkurang/bertambah pada tingkat upah tertentu,
dan perubahan kebijakan hukuman penjara (Becsi, 1999:39).
Saat kejahatan pencurian tinggi, permintaan masyarakat akan
perlindungan dan penanganan atas tindak kejahatan akan lebih tinggi. Hal ini
kemudian akan mengakibatkan peningkatan biaya melakukan tindak
pencurian yang pada akhirnya dapat menyebabkan turunnya imbalan
melakukan tindak pencurian. Peningkatan biaya pencurian ini terjadi karena
dari sisi pemerintah sebagai pemberi layanan publik untuk keamanan akan
membuat kebijakan untuk menurunkan permintaan dan penawaran kejahatan
pencurian.
Gambar 2.1
Kurva Permintaan dan Penawaran Kejahatan
24
Dapat kita lihat bahwa semakin tingginya penawaran kejahatan pencurian
akan mendorong tingginya permintaan, dan mengurangi imbalan yang
diterima pelaku karena terpotong tingginya biaya melakukan kejahatan.
Sehingga pada akhirnya jumlah pencurian di wilayah tersebut akan menurun.
Penawaran kejahatan berhubungan positif dengan imbalan bersih dari tindak
kejahatan. Kurva penawaran akan bergeser ke kanan ketika tindakan
kejahatan yang ditawarkan oleh pelaku kejahatan untuk net return yang
diberikan mengalami kenaikan.
Ketika penawaran kejahatan semakin tinggi, permintaan masyarakat untuk
perlindungan dari tindak kejahatan juga akan semakin tinggi. Pemerintah
sebagai pemberi jasa keamanan untuk masyarakat dan pemberi hukuman bagi
para pelaku kejahatan, akan menurunkan penawaran kejahatan ke titik
keseimbangan baru. Hubungan negatif ini dikarenakan semakin meningkatnya
tindak kriminalitas maka individu akan semakin mengusahakan perlindungan
terhadap dirinya, yang mana tindakan individu tersebut akan meningkatkan
biaya langsung dari tindak kriminalitas dan hal itu akan menurunkan imbalan
yang diterima para kriminal.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Sullivan (2007:265), rasionalitas pelaku
kejahatan dapat dilihat dari kurva marginal cost dan benefit pelaku kejahatan
yang menyerupai marginal cost dan revenue suatu perusahaan. Kurva
marginal cost positif karena opportunity cost yang bervariasi. Marginal cost
juga positif karena semakin banyak aksi kejahatan dilakukan maka akan
terjadi tambahan biaya bagi pelaku kejahatan (probabiliti ditangkap dan
dipenjara, lama waktu dipenjara, opportunity cost waktu dipenjara). Marginal
benefit dan pelaku kejahatan berbentuk negatif karena semakin banyak aksi
kejahatan dilakukan maka jarahan akan berkurang dengan tingkat kesulitan
yang akan semakin besar. Peran pemerintah dan swasta pada kondisi ini
adalah memperbesar “certainly of punishment” sehingga menggeser kurva
marginal cost ke atas dan tingkat kejahatan yang terjadi akan semakin kecil.
25
Keseimbangan terjadi pada titik a di mana marginal benefit sama dengan
marginal cost. Tindak kejahatan akan terjadi saat ekspektasi harta rampasan
lebih besar dari 400. Pada titik b yaitu saat jumlah kejahatan hanya 30,
marginal benefit tindak kejahatan masih lebih besar daripada marginal cost.
Kondisi ini belum seimbang.
Jumlah kejahatan akan terus bertambah sampai mencapai titik
keseimbangan a dimana marginal benefit sama dengan marginal cost atau
MB=MC dan jumlah kejahatan sebesar 60. Apabila lebih dari 60 kejahatan,
tambahan kejahatan akan menyebabkan kerugian karena marginal cost akan
lebih besar dari marginal benefit. Seperti yang telah diungkapkan peran
pemerintah dan swasta pada kondisi ini akan memperbesar “certainly of
punishment” sehingga menggeser kurva marginal cost ke atas dan tingkat
kejahatan yang terjadi akan menurun.
Gambar 2.2
Kurva Keseimbangan Kejahatan
Pada saat jumlah kejahatan 30, maka MB masih lebih besar dibandingkan
MC. Ketika MB masih lebih besar dibandingkan MC maka jumlah kejahatan
akan terus meningkat dari 30 menjadi 60 pada titik keseimbangannya, dengan
ekspektasi harta rampasan mencapai $1.200. Akan tetapi, jika pelaku masih
26
tetap melakukan kejahatan melebihi angka tersebut, diperkirakan mereka akan
mengalami kerugian karena MC > MB-nya.
2. Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu pembelajaran, pengetahuan, keterampilan dan
kebiasaan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui
pengajaran dan pelatihan. Pendidikan pada umumnya dibagi menjadi beberapa
tahap yaitu, tahap prasekolah, tahap sekolah dasar, sekolah menengah pertama,
sekolah menengah atas dan perguruan tinggi/universitas. Pendidikan dalam
penelitian ini menggunakan variabel Rata-Rata Lama Sekolah (RRLS).
Rata-rata Lama Sekolah didefinisikan sebagai jumlah tahun yang digunakan
oleh penduduk dalam menjalani pendidikan formal. Cakupan penduduk yang
dihitung dalam penghitungan rata-rata lama sekolah adalah penduduk berusia 25
tahun ke atas. RRLS merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk
menggambarkan pengetahuan dan mengukur tingkat pendidikan penduduk suatu
wilayah. Indikator ini menunjukkan sampai pada jenjang pendidikan apa secara
umum tingkat pendidikan penduduk dewasa di suatu wilayah. Variabel rata-rata
lama sekolah dipertimbangkan lebih tepat digunakan dalam penelitian ini karena
merupakan perhitungan lama pendidikan seseorang yang sudah terjadi dan fakta
yang ada di masyarakat.
Rata-rata lama sekolah mengindikasikan makin tingginya pendidikan formal
yang dicapai oleh masyarakat suatu daerah. Semakin tinggi rata-rata lama sekolah
berarti semakin tinggi jenjang pendidikan yang dijalani. Untuk meningkatkan rata-
rata lama sekolah, pemerintah telah mengadakan program wajib belajar 12 tahun
atau pendidikan dasar hingga tingkat SMA.
27
Menurut Horton dan Hunt dalam Saat (2013:179), pendidikan memiliki fungsi
yaitu, sebagai berikut:
1. Untuk mempersiapkan setiap penduduk untuk mencari nafkah.
2. Untuk mengembangkan kemampuan sesorang demi mencapai
kepuasan pribadi serta bagi kepentingan masyarakat.
3. Untuk melastarikan kebudayaan.
4. Untuk menanamkan keterampilan yang diperlukan dalam partisipasi
demokrasi.
Untuk memperoleh pekerjaan yang ditawarkan di sektor modern didasarkan
kepada tingkat pendidikan seseorang dan tingkat penghasilan yang dimiliki selama
hidup berkorelasi positif terhadap tingkat pendidikannya. Tingkat penghasilan ini
sangat dipengaruhi oleh lamanya seseorang memperoleh pendidikan Rata-rata
lama sekolah merupakan indikator tingkat pendidikan di suatu daerah. Pendidikan
merupakan salah satu bentuk modal manusia (human capital) yang menunjukkan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin cepat pula
peningkatan penghasilan yang diharapkannya, lebih besar dari biaya-biaya pribadi
yang harus dikeluarkannya. Untuk dapat memaksimumkan selisih antara
keuntungan yang diharapkan dengan biaya-biaya yang diperkirakan, maka strategi
optimal bagi seseorang adalah berusaha menyelesaikan pendidikan setinggi
mungkin.
Pendekatan modal manusia berfokus pada kemampuan tidak langsung untuk
meningkatkan utilitas dengan meningkatkan pendapatan. Investasi dalam modal
manusia berupa pendidikan ini sangat penting untuk dimiliki setiap individu.
Dengan meningkatkan pendidikan, pendapatan akan meningkat dan kebutuhan
sehari-hari tentunya akan terpenuhi.
28
3. Pengangguran
Menurut Sadono Sukirno (2006:13) pengangguran adalah jumlah tenaga kerja
dalam perekonomian yang secara aktif mencari kerja, tetapi belum
memperolehnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian
karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat
akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-
masalah sosial lainnya seperti tindak kejahatan.
Pengangguran mempunyai kecenderungan meningkat setiap tahunnya. Hal ini
menjadi sebuah tantangan besar bagi pemerintah Indonesia mengingat indikator
pembangunan yang berhasil salah satunya adalah mampu mengangkat kemiskinan
dan mengurangi pengangguran secara signifikan agar tidak terjadi masalah-
masalah sosial. Terlebih di era 4.0 ini persaingan tenaga kerja semakin ketat,
hanya tenaga kerja yang berkualitas yang dapat bersaing di era ini.Usaha-usaha
untuk mengurangi pengangguran adalah dengan menggunakan rencana
pembangunan ekonomi yang menyertakan rencana ketenagakerjaan yang lebih
demokratis menyangkut hak-hak memilih pekerjaan, lapangan pekerjaan, lokasi
pekerjaan sesuai kemampuan, kemauan tenaga kerja tanpa diskriminasi.
Menurut Sadono Sukirno (2006:30), pengangguran biasanya dibedakan atas
empat jenis berdasarkan keadaan yang menyebabkannya, antara lain:
1) Pengangguran friksional, yaitu pengangguran normal yang terjadi jika ada 2-
3% maka dianggap sudah mencapai kesempatan kerja penuh. Para penganggur
ini tidak ada pekerjaan bukan karena tidak dapat memperoleh kerja tetapi
karena sedang mencari pekerjaan lain yang lebih baik.
2) Pengangguran siklikal, yaitu pengangguran yang terjadi karena merosotnya
harga komoditas dari naik turunnya siklus ekonomi sehingga permintaan
tenaga kerja lebih rendah dari pada penawaran tenaga kerja.
29
3) Pengangguran struktural, yaitu pengangguran karena kemerosotan beberapa
faktor produksi sehingga kegiatan produksi menurun dari pekerja
diberhentikan
4) Pengangguran teknologi, yaitu pengangguran yang terjadi karena tenaga
manusia digantikan oleh mesin industri.
Sedangkan bentuk-bentuk pengangguran terbuka berdasarkan cirinya dapat
digolongkan sebagai berikut:
1) Pengangguran Musiman, adalah keadaan dimana seseorang menganggur
karenadanya fluktuasi kegiatan ekonomi jangka pendek. Sebagai contoh:
petani yang menanti musim panen, tukang jualan durian yang menanti
musim durian, dan sebagainya
2) Pengangguran Terbuka, pengangguran yang terjadi karena pertambahan
lapangan kerja lebih rendah daripada pertambahan pencari kerja.
3) Pengangguran Tersembunyi, pengangguran yang terjadi karena jumah
pekerja suatu kegiatan ekonomi lebih besar dari yang sebenernya diperlukan
agar dapat melakukan kegiatannya dengan efisien.
4) Setengah Menganggur, yang termasuk golongan ini adalah pekerja yang jam
kerjanya dibawah jam kerja normal (hanya 1-4 jam sehari), disebut
Underemployment.
Pengangguran yang terjadi didalam suatu perekonomian dapat memiliki
dampak atau akibat buruk baik terhadap perekonomian maupun individu dan
masyarakat. Salah satu dampak buruk pengangguran terhadap perekonomian
yaitu menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimumkan kesejahteraan yang
mungkin dicapainya. Di negara-negara maju, para pengangguran memperoleh
tunjangan dari badan asuransi pengangguran. Dengan demikian, mereka masih
memiliki pendapatan untuk membiayai kehidupannya dari keluarganya. Mereka
30
tidak perlu bergantung kepada tabungan atau bantuan orang lain. Namun
dinegara berkembang tidak terdapat asuransi pengangguran dengan begitu
kehidupan pengangguran harus dibiayai oleh tabungan masa lalu atau pinjaman
dari orang lain.
Pengangguran berakibat buruk pada dua aspek. Yaitu aspek perekonomian
dan individual atau masyarakat:
1) Akibat buruk terhadap kegiatan perekonomian
Tingkat pengangguran yang relatif tinggi tidak memungkinkan masyarakat
mencapai pertumbuhan ekonomi yang tangguh. Hal ini dapat dengan jelas
dilihat dari berbagai akibat buruk yang bersifat ekonomi yang ditimbulkan
oleh masalah pengangguran. Akibat-akibat buruk tersebut dapat dibedakan
sebagai berikut:
a. Pengangguran menyebabkan tidak memaksimalkan tingkat kemakmuran
yang mungkin dicapainya.
b. Pengangguran menyebabkan pendapatan pajak pemerintah berkurang.
Pengangguran diakibatkan oleh tingkat kegiatan ekonomi yang rendah,
dan dalam kegiatan ekonomi yang rendah pendapatan pajak pemerintah
semakin sedikit.
c. Pengangguran tidak menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Pengangguran
menimbulkan dua akibat buruk kepada kegiatan sektor swasta. Yang
pertama, pengangguran tenaga buruh diikuti pula oleh kelebihan kapasitas
mesin-mesin perusahaan. Kedua, pengangguran yang diakibatkan oleh
keuntungan kelesuan kegiatan perusahaan yang rendah menyebabkan
berkurangnya keinginan untuk melakukan investasi.
31
2) Akibat buruknya terhadap individu dan masyarakat
Pengangguran akan mempengaruhi kehidupan individu dan kestabilan
sosial dalam masyarakat. Beberapa keburukan sosial yang diakibatkan oleh
pengangguran adalah:
a. Pengangguran menyebabkan kehilangan mata pencaharian dan
pendapatan. Berbeda dengan negara maju, dimana para pengangguran di
sana tetap diberikan asuransi untuk melanjutkan kehidupannya.
Sedangkan di negara berkembang, mereka harus membiayai kehidupan
selanjutnya dan bergantung pada tabungan masa lalu atau pinjaman.
b. Pengangguran dapat menyebabkan kehilangan keterampilan. Karena
keterampilan akan tetap hidup bila terus dipraktekan atau digunakan.
Sehingga pengangguran dalam periode yang sangat lama akan
menyebabkan tingkat keterampilan pekerja semakin merosot.
c. Pengangguran dapat menimbulkan ketidakstabilan sosial dan politik.
Kegiatan perekonomian yang lesu dan pengangguran yang tinggi akan
mengikis rasa percaya masyarakat terhadap pemerintah. Berbagai
tuntutan dan kritik akan dilontarkan kepada pemerintah, dan adakalanya
akan diikuti oleh demonstrasi dan huru hara. Kegiatan-kegiatan yang
bersifat kriminal (pencurian dan perampokan) juga akan meningkat
Untuk mengatasi permasalahan pengangguran, kiranya pemerintah harus
menyediakan lapangan kerja yang memadai untuk tenaga kerja agar
seluruhnya terserap dan memiliki pekerjaan yang sesuai dengan
kemampuannya. Selain itu, bagi penganggur kiranya dapat mengasah skill dan
keterampilan sehingga dapat terserap ke pasar tenaga kerja yang dewasa ini
memerlukan keahlian professional yang tidak dapat dimiliki mesin dan robot,
terutama dalam menyongsong revolusi 4.0 di Indonesia.
32
4. Kemiskinan
Menurut Badan Pusat Statistik, kemiskinan adalah ketidakmampuan dari
sisi ekonomi untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang
meliputi kebutuhan makan maupun non makan yang diukur dari sisi
pengeluaran. Jadi penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Pada dasarnya
definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
a) Kemiskinan absolut
Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan
kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan
dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak.
Dengan demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat
pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk
memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan
agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya.
Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil
pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan dan tidak cukup untuk
menentukan kebutuhan dasar hidupnya. Konsep ini dimaksudkan untuk
menentukan tingkat pendapatan minimum yang 16 cukup untuk
memenuhi kebutuhan fisik terhadap makanan, pakaian, dan perumahan
untuk menjamin kelangsungan hidup.
b) Kemiskinan relatif
Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang
yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih
jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya).
Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan
golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang
33
dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya
dengan masalah distribusi pendapatan.
Badan Kependudukan dan Keluarga Nasional (BKKBN) mendefinisikan
miskin atau kurang sejahtera dalam pengertian Pembangunan Keluarga
Sejahtera yang terdiri atas keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I.
Keluarga pra sejahtera adalah keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan,
sandang, papan, kesehatan dan keluarga berencana. Sedangkan keluarga
sejahtera I adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial dan
psikologis, serta kebutuhan pendidikan, interaksi dalam keluarga, interaksi
dengan lingkungan tempat tinggal dan transportasi.
Menurut Todaro (dalam Budhi 2012:3) menyatakan bahwa variasi
kemiskinan di negara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
a) perbedaan geografis, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan
b) perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh negara yang berlainan
c) perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya manusianya
d) perbedaan peranan sektor swasta dan negar
e) perbedaan struktur industri
f) perbedaan derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik negara lain
g) perbedaan pembagian kekuasaan, struktur politik dan kelembagaan dalam negeri.
34
B. Penelitian Terdahulu
No. Judul Penelitian Metode Penelitian
Variabel Hasil Penelitian
1 Zsolt Becsi (1999)Economics and Crime in the States
Regresi PanelVariabel Dependen: Tingkat kejahatan
Variabel Independen:-Kepadatan penduduk-usia 15 – 19 tahun-usia 20 – 24 tahun-pengangguran-pendapatan-pendidikan-tahanan-jumlah polisi
-Variabel kepadatan penduduk memiliki hubungan positif dan tidak signifikan-variabel usia memiliki hubungan positif dan signifikan-variabel pengangguran memiliki hubungan positif dan signifikan-variabel pendapatan personal memiliki hubungan positif dan signifikan-variabel kesejahteraan memiliki hubungan negatif dan tidak signifikan-variabel pendidikan memiliki hubungan positif dan tidak signifikan-variabel
35
narapidana memiliki hubungan negatif dan signifikan-variabel pengeluaran polisi memiliki hubungan positif dan signifikan-variabel personil kepolisian memiliki hubungan positif dan signifikan
2 Lance Lochner (2007)Education and Crime Metode OLS
Variabel Dependen:Tingkat KejahatanVariabel Independen:Pendidikan
Secara Empiris, meningkatnya tingkat pendidikan dapat menurunkan tindak kekerasan dan kejahatan pencurian secara signifikan
3 Alison Oliver (2002) The Economics of Crime: An Analysis of Crime Rates in America
Metode OLSVariabel Dependen:Crime rateVariabel Independen: -Variabel Ekonomi-Variabel Pencegah-Variabel Demografi
(Variabel Ekonomi )-Jumlah lulusan sekolah menengah memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan-Jumlah yang terdaftar sekolah menengah memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan-GDP perkapita memiliki
36
pengaruh positif dan tidak signifikan-Indeks Gini memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan- Pengangguran memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan(Variabel Pencegah)-Jumlah polisi memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan-Jumlah tahanan memiliki pengaruh negatif dan signifikan-Lag Crime memiliki pengaruh positif dan signifikan(Variabel Demografi)-Usia dibawah 25 tahun memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan
4 Stepen Machin dan Costas Maghir (2004)Crime and Economic Incentives
Metode OLSVar. Dependen:Tingkat Kejahatan PencurianVar. Independen :
-Tingkat upah riil memiliki pengaruh negatif dan signifikan
37
-Tingkat upah riil-penduduk usia 15-24 tahun-panjang rata – rata hukuman-tingkat penghukuman
-Penduduk usia 15-24 tahun memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan-Tingkat hukuman memiliki pengaruh negatif dan signifikan-Panjang rata – rata penghukuman memiliki pengaruh negatif dan signifikan
5 Suci Rahmalia, Ariusni, Mike Triani (2019)Pengaruh tingkat pendidikan, pengangguran,dan kemiskinan terhadap kriminalitas di Indonesia
RegresiVariabel Dependen:KriminalitasVariabel Independen:-Pendidikan-Pengangguran-Kemiskinan
-Tingkat Pendidikan berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap Kriminalitas di Indonesia-Pengangguran berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Kriminalitas di Indonesia.-Kemiskinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kriminalitas di Indonesia
38
6 Florentinus Nugro Hardianto (2009)Analisis Faktor Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kriminalitas di Indonesia Dengan Pendekatan Ekonomi
Metode OLSVar. Dependen :-Jumlah terdakwa kejahatan property-Jumlah terdakwa keseluruhan
Var. Independen :-probabilitas jumlah terdakwa yang dipenjara-tingkat upah pengeluaran pembangunan untuk sektor hukum
Ada 2 model regresi linear berganda yang digunakan :-Model pertama menggunakan jumlah terdakwa terhadap kejahatan hak milik pribadi sebagai variabel dependen, dan probabilitas jumlah terdakwa yang dipenjara, tingkat upah, pengeluaran pembangunan untuk sektor hukum sebagai variabel independen.-Model kedua menggunakan jumlah terdakwa dalam semua perkara pidana sebagai dependen, dan variabel independen sama dengan model pertama.Keduanya menunjukkan bahwa variabel probabilitas jumlah terdakwa yang dipenjara tidak berpengaruh signifikan
39
terhadap tingkat kriminalitas di Indonesia
7 Yogie Yedia Priatna (2017)Analisis Pengaruh sosial ekonomi terhadap tingkat kejahatan pencurian di daerah istimewa yogyakarta tahun 2010-2015
Regresi
Var. Dependen:Pencurian
Var. Independen:-Pengangguran-Pendidikan
-tingkat pengangguran berpengaruh negatif dan tidak signifikan.-tingkat pendidikan dan rasio gini keduanya berpengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat pencurian.
8 Adek Oktaviani Edwart, Zul Azhar (2019)Pengaruh tingkat pendidikan, kepadatan penduduk dan ketimpangan pendapatan terhadap kriminalitas di Indonesia
Regresi
Var. Dependen:Kriminalitas
Var. Independen:-Kepadatan Penduduk-Ketimpangan pendapatan
-Tingkat Pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kriminalitas di Indonesia.-Kepadatan Penduduk berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kriminalitas di Indonesia.-Ketimpangan Pendapatan berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap
40
kriminalitas di Indonesia
9 Diky Bintang Prakoso (2016)Keterkaitan antara angka kriminalitas dengan variabel-variabel makroekonomi dan variabel demografi di Indonesia
Regresi
Var. Dependen:Kriminalitas
Var.independen:-tingkat ketidakamanan-PDRB per kapita konstan-persentase penduduk miskin-kepadatan penduduk-laju pertumbuhan ekonomi
(provinsi dengan ketimpangan tinggi)-variabel ketidakamanan, prdb perkapita konstan dan kepadatan penduduk berpengaruh positif-persentase penduduk miskin dan laju pertumbuhan penduduk tidak berpengaruh signifikan(provinsi dengan ketimpangan rendah)-variabel tingkat ketidakamanan, pdrb per kapita konstan berpengaruh positif-variabel persentase penduduk miskin dan laju pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif-variabel kepadatan
41
penduduk tidak berpengaruh signifikan
10 Ihdal Husnayain (2007)Analisis Ekonomi Kejahatan
Metode Ordered Logit
Var. Dependen:Kejahatan Pencurian
Var. Independen :-Pendapatan-Pengangguranproporsi usia 15-29 tahun-tingkat penyeselaian kasus oleh polisi-Koefisien gini-kekuatan kepolisian
- Variabel pendapatan memiliki pengaruh positif dan signifikan-Variabel pengangguran memiliki pengaruh positif dan signifikan-Variabel proporsi usia 15-29 tahun memiliki pengaruh positif dan signifikan - Variabel tingkat penyelesaian kasus memiliki pengaruh positif dan signifikan - Variabel kekuatan kepolisian tidak berpengaruh terhadap tingkat kejahatan-Variabel koefisien gini tidak berpengaruh terhadap tingkat kejahatan
42
C. Hubungan Antar Variabel
1. Hubungan pendidikan terhadap pencurian
Pendidikan merupakan modal yang paling penting untuk dimiliki setiap
individu. Dengan memiliki modal pendidikan, seseorang akan memiliki
keterampilan yang akan membawanya kepada peluang-peluang dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya peluang untuk mendapatkan pendapatan. Semakin rendah
tingkat pendidikan seseorang dapat disimpulkan bahwa keterampilan yang
dimiliknya pun rendah, dibandingkan dengan seseorang dengan pendidikan yang
yang tinggi maka keterampilannya pun akan lebih tinggi. Selain itu waktu luang
yang dimiliki seorang lulusan SD dan SMP akan lebih banyak dibandingkan
dengan lulusan SMA dan universitas. Sehingga ketersediaan waktu luang yang
banyak itu dapat menjadi peluang bagi mereka untuk melakukan tindakan
pencurian.
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dapat terlihat dari peningkatan
tingkat pendidikan rata-rata suatu daerah. Menurut Todaro (1994:466) permintaan
akan pendidikan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu harapan bagi seorang siswa yang
lebih terdidik untuk mendapatkan pekerjaan dengan hasil yang lebih baik pada
sektor modern di masa yang akan datang bagi siswa itu sendiri maupun
keluarganya serta biaya-biaya pendidikan baik yang bersifat langsung maupun
tidak langsung yang harus dikeluarkan atau ditanggung oleh siswa dan atau
keluarganya. Dari sisi penawaran, jumlah sekolah di tingkat sekolah dasar,
menengah, dan universitas lebih banyak ditentukan oleh proses politik, dan sering
kali tidak berkaitan dengan kriteria ekonomi.
Machin (2010:25) menjelaskan ada tiga penghubung yang menjelaskan bahwa
pendidikan kemungkinan dapat mempengaruhi partisipasi kriminal dalam
kriminalitas. Penghubung itu antara lain efek pendapatan, ketersediaan waktu, dan
kesabaran atau penghindaran resiko. Alasan pertama, yaitu efek pendapatan,
bahwa pendidikan dapat meningkatkan pendapatan dari pekerjaan legal, dan juga
43
meningkatkan biaya peluang untuk perilaku ilegal. Investasi dalam hal modal
manusia tersebut akan mengurangi kejahatan dengan menaikkan tingkat upah di
masa depan. Selain itu, seseorang akan berfikir bahwa waktu yang dihabiskan di
sekolah dan di pasar tenaga kerja terasa lebih mahal dibandingkan kegiatan ilegal.
Oleh karena itu, mereka yang menghabiskan waktu di pasar tenaga kerja legal
memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk terlibat dalam kejahatan.
Alasan kedua, yaitu ketersediaan waktu. Semakin banyak seorang pelajar
tertangkap karena melakukan kejahatan, maka jumlah waktu yang dihabiskan
dalam penjara akan sangat meningkatkan kemungkinan angka putus sekolah yang
tinggi. Alasan ketiga, pendidikan juga dapat mempengaruhi kejahatan melalui
efeknya pada kesabaran dan penghindaran resiko. Imbalan di masa depan dari
aktivitas apapun dihitung sesuai dengan kesabaran seseorang dalam menunggu
untuk menyelesaikan pendidikan mereka. Pendidikan dapat meningkatkan
kesabaran dan akan mengurangi kecenderungan untuk melakukan kejahatan.
Pendidikan juga dapat meningkatkan penghindaran resiko, dan akibatnya
mengurangi kemungkinan melakukan kejahatan.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Khan (2015) di Palestina
menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan di
Palestina. Pendidikan merupakan penentu paling penting, pendidikan dapat
mengurangi tingkat kejahatan karena dengan pendidikan yang tinggi dapat
membuat seseorang berperilaku sesuai hukum dan meminimalisirkan waktu luang.
2. Hubungan pengangguran terhadap pencurian
Menurut Khan dalam Rahmalia (2019:24) tingkat pengangguran yang tinggi
di negara manapun menurunkan peluang penghasilan dan dapat memaksa
individu mengadopsi perilaku kriminalitas. Seseorang yang menganggur
mempunyai probabilitas melakukan kejahatan lebih besar dibanding seseorang
yang bekerja. Ketika seseorang menganggur, maka dia tidak memiliki pekerjaan
yang berarti tidak memiliki pendapatan, atau dengan kata lain tidak memiliki
44
ekspektasi keuntungan dari pekerjaan legal. Sehingga menurut teori,
pengangguran memiliki hubungan yang positif dengan kejahatan. Hal ini
dibuktikan 63 penelitian di Amerika pada tahun 1970an oleh Chiricos (1987)
bahwa analisis 63 penelitian terkait pengangguran dan kejahatan tersebut
memiliki hubungan positif dan signifikan.
Pengangguran merupakan masalah ketenagakerjaan yang penting di Indonesia
dewasa ini. Terlebih pengangguran di Indonesia pada umumnya didominasi oleh
pengangguran usia muda. Pengangguran dapat menyebabkan merosotnya daya
beli masyarakat dan menurunnya produktivitas masyarakat. Selain itu,
meningkatnya pengangguran dapat mempengaruhi kondisi sosial dan politik yang
serius, seperti meningkatnya kriminalitas dan gangguan stabilitas politik negara
(Prihanto, 2012:23).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Melick (2003:35) disebutkan bahwa
secara historis terdapat dua pemikiran umum yang utama mengenai hubungan
antara pengangguran dengan kejahatan. Pemikiran pertama berfokus pada supply
of offenders dan pemikiran yang kedua berfokus pada supply of victims.
Alasannya adalah karena individu dalam rangka untuk mempertahankan standar
hidup tertentu, maka selama dia menjadi pengangguran akan menjadi lebih
mungkin untuk melakukan tindak pidana.
3. Hubungan kemiskinan terhadap pencurian
Kemiskinan indentik dengan kesulitan memenuhi kebutuhan primer (sandang
dan pangan). Inilah yang menyebabkan kemiskinan menjadi salah satu masalah
ekonomi dan sosial. Kemiskinan menyebabkan orang-orang tidak dapat
memperoleh pendapatan yang layak sehingga kualitas hidup rendah. Selain itu,
kemiskinan menyebabkan mereka melakukan tindakan yang melanggar norma
dan nilai. Misalnya, mencuri. Ini semua disebabkan kurang fungsinya lembaga-
lembaga ekonomi sehingga taraf kehidupan ekonomi masyarakat tidak dapat
diangkat ke taraf yang lebih baik.
45
Penduduk tergolong miskin inilah yang memiliki peluang besar untuk
melakukan kejahatan. Ditengah keterbatasan ekonomi mereka masih harus
memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup sehingga sebagian penduduk miskin
lebih memilih pekerjaan yang ilegal dan cukup berisiko. Namun, menghasilkan
pendapatan yang lebih besar bila dibandingkan dari pekerjaan legal. Keterpaksaan
untuk mendapat penghasilan membuat kejahatan tidak menghiraukan resiko yang
dihadapinya bila tertangkap.
Menurut penelitian Khan (2015) bahwa kemiskinan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kriminalitas di Pakistan. Semakin meningkat kemiskinan
cendrung akan meningkatkan angka kriminalitas di suatu Negara. Kemiskinan
dapat meyebabkan tingkat stres dan meyebabkan individu mengadopsi perilaku
kriminal untuk hanya sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun
terdapat penelitian lain yaitu Prayetno (2013) dimana kemiskinan berhubungan
negatif terhadap kriminalitas, karena dengan naiknya angka kemiskinan
mengharuskan orang untuk semakin bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari dan menekan tindakan kejahatan.
46
D. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.3
Kerangka Pemikiran
47
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dapat didefinisikan sebagai jawaban sementara yang kebenarannya
masih harus diuji, atau rangkuman kesimpulan teoritis yang diperoleh dari tinjauan
pustaka (Martono, 2011:71). Hipotesis pada dasarnya berfungsi untuk
mengungkapkan masalah. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan penelitian
maka dirumuskan hipotesa sebagai berikut:
1. Variabel rata-rata lama sekolah diduga memiliki pengaruh negatif dan
signifikan terhadap tingkat kejahatan pencurian di beberapa provinsi di
Indonesia pada tahun 2010-2017.
2. Variabel pengangguran diduga memiliki pengaruh positif dan signifikan
terhadap tingkat kejahatan pencurian di beberapa provinsi di Indonesia pada
tahun 2010-2017.
3. Variabel kemiskinan diduga memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap
tingkat kejahatan pencurian di beberapa provinsi di Indonesia pada tahun 2010-
2017.
4. Variabel rata-rata lama sekolah, pengangguran dan kemiskinan secara
bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kejahatan
pencurian di beberapa provinsi di Indonesia pada tahun 2010-2017.
48
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam suatu penelitian dibutuhkan ruang lingkup atau batasan yang bertujuan
agar subjek, objek dan waktu penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. Tujuan
peneitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh rata-rata lama sekolah,
pengangguran dan kemiskinan terhadap kejahatan pencurian. Oleh sebab itu ruang
lingkup dalam penelitian ini dibatasi hanya pada provinsi yang memiliki angka
kejahatan pencurian tertinggi, yaitu Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Sumatera Selatan dan Sumatera Barat.
Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat
karena adanya variabel bebas sedangkan variabel independen adalah variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel
dependen (Sugiyono, 2017:39). Variabel dependen atau variabel terikat dalam
penelitian ini adalah tingkat kejahatan pencurian sedangkan variabel independen atau
variabel bebas dalam penelitian ini adalah rata-rata lama sekolah, tingkat
pengangguran terbuka dan kemiskinan. Jenis data yang digunakan pada penelitian ini
berupa data sekunder, dalam bentuk panel data (pooled data) yang menggabungkan
data time series periode 2010-2017 dan data cross section 5 Provinsi di Indonesia.
B. Metode Penentuan Sampel
Populasi adalah sebuah tempat atau wilayah subjek/objek yang diteliti, baik
orang, kejadian, nilai, benda maupun hal lainnya yang memiliki karakteristik dan
kuantitas tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk diteliti dan kemudian ditarik
kesimpulannya untuk mendapatkan sebuah informasi (Riadi, 2014:16).
49
Dalam penelitian ini, metode penentuan sampel yang digunakan adalah
purposive sampling. Purposive sampling yaitu metode penentuan sampel berdasarkan
atas pertimbangan atau karakteristik tertentu dari penulis sesuai dengan maksud dan
tujuan tertentu. Menurut Sugiyono (2017:85) teknik purposive sampling adalah
teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Pada teknik purposive
sampling, terdapat teori yang dikembangankan oleh Roscoe salah satu syaratnya
mengatakan bahwa jika peneliti menggunakan analisis dengan variasi yang banyak
(korelasi antar variabel atau regresi ganda), maka jumlah anggota sampel yang harus
dianalisis minimal 10 dikalikan dengan jumlah variabel yang digunakan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa penelitian ini
menggunakan analisis regresi dan jumlah anggota sampel ditentukan dengan cara
jumlah variabel dikali 10 maka didapatkan hasil minimal sampel yang dapat
digunakan dalam penelitian tersebut. Terdapat empat variabel dalam penelitian ini
yaitu satu variabel dependen (kejahatan pencurian) dan tiga variabel independen
(pendidikan, pengangguran dan kemiskinan) maka 4 variabel dikalikan 10 sama
dengan 40 yang artinya minimal sampel dalam penelitian ini adalah 40. Penelitian ini
kemudian memilih observasi sebanyak 5 provinsi dengan rentang waktu delapan
tahun yaitu tahun 2010-2017 dan didapatkan jumlah sampel dalam penilitian ini
bejumlah 40.
Penulis menggunakan sampel lima provinsi di Indonesia yang memiliki angka
kejahatan pencurian tertinggi di antara provinsi lainnya, yaitu Sumatera Utara, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat. Penulis memilih provinsi
dengan tingkat kejahatan yang tertinggi berdasarkan indikator kriminalitas nasional
yaitu jumlah kejahatan/ crime total. Lima provinsi dengan tingkat pencurian tertinggi
di Indonesia memiliki karakteristik wilayah yang sama yaitu memiliki jumlah
penduduk perkotaan yang tergolong tinggi. 5 provinsi ini dipilih sebagai sampel oleh
penulis dengan maksud untuk melihat sejauh mana pengaruh serta signifikansi dari
rata-rata lama sekolah, tingkat pengangguran terbuka dan kemiskinan terhadap
50
tingkat kejahatan pencurian pada masing-masing wilayah tersebut yang memiliki
angka pencurian tertinggi.
C. Metode Pengumpulan Data
Dalam sebuah penelitian, pengumpulan data harus dilakukan untuk memperoleh
hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan. Metode pengumpulan data adalah langkah
yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data (Sugiyono, 2017:104). Adapun cara untuk memperoleh data dan
informasi dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Data sekunder
Data sekunder adalah data penelitian yang diperoleh secara tidak langsung.
Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik
Indonesia.
2. Studi Pustaka
Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah riset
kepustakaan. Riset kepustakaan yaitu pengumpulan data dan informasi yang
berkaitan dengan penulisan penelitian ini melalui literatur atau atau referensi
kepustakaan. Seperti perpustakaan, jurnal, browsing internet serta berbagai
sumber penerbitan seperti buku-buku yang ada hubungannya dengan penelitian
ini.
D. Metode Analisis Data
1. Metode Data Panel
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis kuantitatif dengan menggunakan data panel. Data panel merupakan
gabungan antara data cross section dan data time series. Data cross section
dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari 5 provinsi di Indonesia
yaitu Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan
Sumatera Barat. Sedangkan untuk data time series dalam penelitian ini adalah
data yang diambil dari tahun 2010-2017. Pengolahan data menggunakan
51
eviews 9 dan Microsoft Excel. Model dasar yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Y = β0 + β1X1it + β2X2it + β3X3it + εit
Keterangan:
Y : pencurian
X1it : rata-rata lama sekolah provinsi di provinsi i pada tahun t
X2it : pengangguran provinsi di provinsi i pada tahun t
X3it : kemiskinan provinsi di provinsi i pada tahun t
β0 : konstanta
β1, β2, β3: koefisien regresi pada masing-masing variabel bebas
ε : error term
Menurut Basuki dan Prawoto (2017:281), keunggulan penggunaan
data panel memberikan banyak keuntungan diantaranya sebagai berikut:
a. Data panel mampu memperhitungkan heterogenitas individu secara
eksplisit dengan mengizinkan variabel spesifik individu
b. Data panel dapat digunakan untuk menguji, membangun dan
mempelajari model-model perilaku yang kompleks
c. Data panel mendasarkan diri pada observasi yang bersifat cross section
yang berulang-ulang (time series), sehingga cocok digunakan sebagai
study of dynamic adjustment.
d. Data panel memiliki implikasi pada data yang lebih informatif, lebih
bervariatif dan dapat mengurangi kolinieritas antarvariabel, derajat
kebebasan (degree of freedom/df) yang lebih tinggi sehingga dapat
diperoleh hasil estimasi yang lebih efisien
52
e. Data panel dapat digunakan untuk meminimalkan bias yang mungkin
ditimbulakan oleh agregasi data individu
f. Data panel dapat mendeteksi lebih baik dan mengukur dampak yang
secara terpisah di observasi dengan menggunakan data time series
ataupun cross section.
2. Estimasi Data Panel
a. Pooled Least Square/Common Effects Model
Merupakan pendekatan model data panel yang paling sederhana karena
hanya mengkombinasikan data time series dan cross section. Pada model ini
tidak diperhatikan dimensi waktu maupun individu, sehingga diasumsikan
bahwa perilaku data individu sama dalam berbagai kurun waktu. Model ini
menggunakan pendekatan Ordinary Least Square (OLS) atau teknik kuadrat
terkecil untuk mengestimasi model data panel.
b. Fixed Effect Model
Merupakan pendekatan model data panel yang mengasumsikan terdapat
efek yang berbeda antar individu. Perbedaan antar individu dapat diakomodasi
dari perbedaan intersepnya. Untuk mengestimasi data panel model Fixed
Effect menggunakan teknik variabel dummy untuk menangkap perbedaan
intersep antar individu. Namun demikian slopnya sama antar individu. Salah
satu cara untuk memperhatikan heterogenitas unit cross section pada model
regresi data panel adalah dengan mengizinkan nilai intersepnya yang berbeda-
beda untuk setiap unit cross section tetapi masih mengasumsikan slope
konstan. Fixed Effect Model (FEM) ini sering disebut juga sebagai Least
Square Dummy Variabels (LSDV).
c. Random Effect Model
Model ini mengestimasi data panel dimana variabel gangguan mungkin
saling berhubungan antar waktu dan antar individu. Pada model Random
Effect perbedaan intersep diakomodasi oleh error terms masing-masing
individu. Keuntungan menggunakan model Random Effect yaitu
53
menghilangkan heterokedastisitas. Model ini disebut dengan Error
Component Model (ECM).
3. Pemilihan Model Estimasi dalam Data Panel
a. Uji Chow (Chow Test)
Uji chow adalah pengujian untuk menentukan model yang paling tepat
antara Fixed Effect atau Common Effect untuk digunakan dalam mengestimasi
data panel. Hipotesis dalam uji chow adalah:
Ho: Common Effect Model
H1: Fixed Effect Model
Dalam pengambilan kesimpulan uji Chow, pedoman nya adalah sebagai
berikut:
Jika nilai probabilitas F > 0,05 artinya Ho diterima, maka model yang
digunakan adalah model Common Effect.
Jika nilai probabilitas F < 0,05 artinya Ho ditolak, maka model yang
digunakan adalah fixed effect.
b. Uji Hausman (Hausman Test)
Uji Hausman adalah pengujian untuk menentukan model yang paling
tepat antara Fixed Effect atau Random Effect untuk digunakan dalam
mengestimasi data panel. Hipotesis dalam uji Hausman adalah:
Ho: Random Effect Model
H1: Fixed Effect Model
Dalam pengambilan kesimpulan uji Chow, pedoman nya adalah sebagai
berikut:
54
Jika nilai probabilitas Chi Square > 0,05 artinya Ho diterima, maka
model yang digunakan adalah model Random Effect.
Jika nilai probabilitas Chi Square < 0,05 artinya Ho ditolak, maka
model yang digunakan adalah Fixed Effect.
4. Uji Hipotesis Model
a. Uji Koefisien Determinasi R2 (R Squared)
Koefisien determinasi mengukur seberapa besar kemampuan model dalam
menerangkan variasi variabel dependen (uji goodness of fit). Koefisien
bernilai antara 0 sampai 1. Semakin besar nilai koefisien tersebut maka
variabel-variabel independen semakin mampu menjelaskan variabel
dependen. Nilai koefisien determinasi merupakan suatu ukuran yang
menunjukkan besar sumbangan dari variabel independen terhadap variabel
dependen.
Nilai koefisien determinasi (R2) yang kecil berarti kemampuan variabel-
variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen amat terbatas.
Nilai yang mendekati 1 berarti variabel-variabel independen memberikan
hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel
dependen (Ghozali, 2013:87)
b. Uji Signifikansi Parsial (Uji t-statistik)
Uji t statistik dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh satu
variabel independen terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel
independen lainnya konstan. Uji ini dilakukan dengan membandingkan t
hitung dengan t tabel. Pada tingkat signifikansi 5%, maka kriteria pengujian
yang dilakukan sebagai berikut:
1) Jika t hitung < t tabel artinya salah satu variabel independen tidak
mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.
2) Jika t hitung > t tabel artinya salah satu variabel independen
mempengaruhi variabel terikat secara signifikan.
55
c. Uji Signifikansi Simultan (Uji F-Statistik)
Uji F statistik dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel
independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Pada tingkat
signifikan 5%, maka kriteria pengujian yang digunakan sebagai berikut:
1) Jika F hitung > F tabel maka H0 ditolak dan H1 diterima, artinya
variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel
dependen secara signifikan.
2) Jika F hitung < F tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak, artinya
variabel independen secara bersama-sama tidak mempengaruhi
variabel dependen secara signifikan.
5. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi
variabel independen dan variabel dependen atau keduanya mempunyai
distribusi normal atau tidak. (Ghozali, 2013:160). Apabila variabel tidak
berdistribusi secara normal maka hasil uji statistik akan mengalami
penurunan. Uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan uji Jarque-Bera
(JB). Jika nilai probabilitas pada JB>0,05 maka variabel-variabel tersebut
berdistribusi normal, begitu pula sebaliknya. Apabila probabilitas JB<0,05
maka variabel-variabel tersebut tidak berdistribusi normal.
b. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi adalah sebuah uji yang bertujuan untuk mnegethaui
apakah ada tidaknya korelasi antar variabel. Uji autokorelasi bertujuan untuk
menguji apakah dalam model terdapat korelasi antar kesalahan penganggu
(residual) pada periode t dengan kesalahan pada periode sebelumnya. jika
terjadi autokorelasi, maka dinamakan terjadi masalah autokorelasi.
56
Pengujian yang bisa digunakan untuk meneliti kemungkinan terjadinya
autokorelasi adalah uji Durbin-Watson (D-W). Ketika nilai DW > dU maka
bebas dari autokorelasi negatif dan ketika nilai DW< dU maka peneliitian
bebas dari autokorelasi positif. Berdasarkan hasil Uji Autokorelasi dengan
menggunakan uji Durbin Watson, maka didapatlah nilai Durbin Watson
sebesar 1.674307. Nilai dU untuk jumlah variabel (k) = 4 dan jumlah data
sebanyak 40 observasi yaitu 1.65889. Nilai1.674307 > 1.65889. Artinya data
tidak terdapat autokorelasi karena nilai DW > dU.
c. Uji Multikolinearitas
Menurut Ghozali (2013:105) pengujian multikolinearitas bertujuan untuk
menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas
(independen). Pengujian multikolinearitas adalah pengujian yang mempunyai
tujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi
antara variabel independen. Untuk menemukan ada atau tidaknya
multikolinearitas dalam model regresi dapat diketahui dari nilai toleransi dan
nilai variance inflation factor (VIF). Tolerance mengukur variabilitas variabel
bebas yang terpilih yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel bebas lainnya.
Jadi nilai tolerance rendah sama dengan nilai VIF tinggi (karena VIF =
1/tolerance) dan menunjukkan adanya kolinearitas yang tinggi. Nilai cut off
yang umum dipakai adalah nilai tolerance 0,10 atau sama dengan nilai VIF
diatas 10.
d. Uji Heterokedastisitas
Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke
pengamatan yang lain. (Ghozali, 2013:139). Jika varians dari residual dan satu
pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homokedastisitas.
Adanya sifat heterokedastisitas ini dapat membuat penaksiran dalam model
bersifat tidak efisien. Terdapat beberapa cara untuk melakukan uji
heterokedastisitas yaitu dengan uji glejser, uji park, uji spearman, atau dengan
57
grafik (Scatterplot). Uji heterokedastisitas dalam penelitian ini menggunakan
metode uji Glejser dengan penambahan residual absolut pada model. Jika nilai
probability > 0,05 maka tidak terjadi heterokedastisitas.
58
E. Operasional Variabel Penelitian
Tabel 3.1
Operasional Variabel Penelitian
No Variabel Definisi Operasional Pengukuran
1Kejahatan
Pencurian (Y)
Kejahatan Pencurian diukur
dengan proporsi tindak kejadian
yang dilaporkan masyarakat
pada Polri, atau peristiwa
dimana pelakunya tertangkap
tangan oleh kepolisian dengan
satuan jumlah kasus. Dalam
penelitian ini variable angka
kejahatan pencurian di log
sehingga satuan dari variabel ini
adalah persen
Jumlah kasus
2 Pendidikan (X1)
Pendidikan dalam penelitian ini
diukur dengan Rata-rata Lama
Sekolah (RRLS) Koefisien untuk
menghitung lama pendidikan
yang ditempuh penduduk pada
usia 25 tahun ke atas. Indeks ini
menjadi indikator perhitungan
pembangunan manusia bidang
pendidikan.
Tahun
3Tingkat
Pengangguran (X2)Tingkat Pengangguran Terbuka
adalah persentase penduduk usia Persentase (%)
59
kerja yang tidak memiliki
pekerjaan atau sedang mencari
pekerjaan. Dengan cara
membandingkan jumlah
pengangguran terhadap
penduduk yang termasuk
angkatan kerja
4 Kemiskinan (X3)
Penduduk miskin adalah
penduduk yang hidup di bawah
garis kemiskinan, garis
kemiskinan yang digunakan
adalah garis kemiskinan yang
ditetapkan Badan Pusat Statistik
(BPS). Dalam penelitian ini, data
yang digunakan adalah
persentase Penduduk Miskin .
Persentase (%)
BAB IV
60
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
1. Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk
terbesar keempat di Indonesia pada tahun 2017 setelah Jawa Barat, Jawa Timur
dan Jawa Tengah. Jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2017
sebanyak 14,262.147 jiwa, yang terdiri dari 7.116.896 jiwa penduduk laki-laki dan
7.145.251 jiwa penduduk perempuan. Penduduk Provinsi Sumatera Utara untuk
daerah perkotaan sebanyak 56,3% yang berarti sebagian besar penduduk Sumatera
Utara tinggal di Kota.
Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi dengan jumlah kasus
pencurian tertinggi di Indonesia yang berada di urutan pertama. Berdasarkan
grafik, dapat dilihat bahwa jumlah kasus pencurian di Provinsi Sumatera Utara
mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Jumlah kasus pencurian tertinggi selama
tahun 2010-2017 di Provinsi Sumatera Utara terjadi pada tahun 2013 sebanyak
18.034 jumlah kasus dan jumlah kasus pencurian terendah terjadi pada tahun 2017
sebesar 12.286 kasus.
Pada tahun 2017 kasus pencurian di Sumatera Utara sejumlah 12.286 kasus
dengan jumlah penduduk sebesar 14.262.100 jiwa. Hal ini berarti bahwa tingkat
kerawanan (crime rate) setiap 100.000 penduduk yang akan terkena pencurian
sebesar 86 jiwa. Jika dilihat berdasarkan jenis pencuriannya, pencurian di
Sumatera Utara selama 8 tahun didominasi oleh pencurian dengan pemberatan,
kecuali pada tahun 2012 dimana kasus pencurian yang terbanyak adalah pencurian
kendaraan bermotor.
Grafik 4.1
Pencurian Provinsi Sumatera Utara
61
Tahun 2010-2017
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
13003
16049 15185
1803416175
14238 13661
12286
CRIME
Sumber: Statistik Kriminal Badan Pusat Statistik Indonesia 2018
Pendidikan dalam penelitian ini adalah Rata-Rata Lama Sekolah (RRLS).
RRLS merupakan jumlah waktu yang dihabiskan oleh rata-rata penduduk dengan
usia 25 tahun ke atas pada seluruh jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh.
Di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2017 memiliki RRLS 9,25 tahun, yang
berarti rata-rata penduduk Sumatera Utara berusia 25 tahun ke atas hanya
bersekolah hingga tingkat SMP atau menyelesaikan pendidikan dibangku SMP.
Pada tahun 2017 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sumatera Utara
total sebesar 6,41% dimana jumlah pengangguran di kota lebih tinggi
dibandingkan dengan di desa yakni tingkat pengangguran terbuka di kota sebesar
7,46% dan di desa sebesar 5,36%. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Sumatera
Utara, tingginya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dikota disebabkan karena
faktor urbanisasi.
Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara pada tahun 2017 sebesar 1.45 juta
jiwa atau 10% lebih penduduk di Sumatera Utara masih tergolong miskin.
Persentase penduduk miskin di Sumatera Utara sebesar 10,22%. Terdapat 3 faktor
utama yang paling berpengaruh terhadap tingginya angka kemiskinan di Sumatera
62
Utara yaitu terbatasnya lapangan pekerjaan, rendahnya mutu sumber daya
manusia, dan tidak meratanya pembangunan di setiap daerah.
2. Gambaran Umum Provinsi DKI Jakarta
Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk
terbesar keenam di Indonesia. Jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta pada tahun
2017 sebanyak 10.177.924 jiwa, yang terdiri dari 5.115.357 jiwa penduduk laki-
laki dan 5.062.567 jiwa penduduk perempuan. Provinsi DKI Jakarta merupakan
salah satu provinsi dengan jumlah kasus pencurian tertinggi di Indonesia yang
berada di urutan kedua.
Berdasarkan grafik, dapat dilihat bahwa jumlah kasus pencurian di Provinsi
DKI Jakarta mengalami penurunan setiap tahunnya. Jumlah kasus pencurian
tertinggi selama tahun 2010-2017 di Provinsi DKI Jakarta terjadi pada tahun 2010
sebanyak 19.718 jumlah kasus dan jumlah kasus pencurian terendah terjadi pada
tahun 2017 sebesar 5.935 kasus.
Pada tahun 2017 kasus pencurian di DKI Jakarta yg sebesar 5.935 kasus
dengan jumlah penduduk sebesar 10.177.924 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat kerawanan (crime rate) yang berarti setidaknya setiap 100.000 penduduk
yang akan terkena pencurian sebesar 58 jiwa. Jika dilihat berdasarkan jenis
pencuriannya, pencurian di DKI Jakarta selama 8 tahun didominasi oleh pencurian
dengan pemberatan sebesar 40.095 kasus dari tahun 2010-2017. Lalu pencurian
yang jumlahnya cukup tinggi disusul oleh pencurian kendaraan bermotor sebesar
26.456 kasus selama tahun 2010-2017.
Grafik 4.2
63
Pencurian Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2010-2017
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
19718
15546 1518213459
107329424 8869
5935
CRIME
Sumber: Statistik Kriminal Badan Pusat Statistik Indonesia 2018
Pendidikan dalam penelitian ini adalah Rata-Rata Lama Sekolah (RRLS).
merupakan jumlah waktu yang dihabiskan oleh rata-rata penduduk dengan usia 25
tahun ke atas pada seluruh jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh. Rata-
Rata Lama Sekolah di DKI Jakarta pada tahun 2017 adalah 11.02 tahun, yang
berarti rata-rata penduduk DKI Jakarta berusia 25 tahun ke atas hanya
menyelesaikan pendidikan dibangku SMP atau tidak tamat SMA.
Pada tahun 2017 TPT di DKI Jakarta total sebesar 5,36% atau setara dengan
293.000 orang. Selama tahun 2016 hingga 2017, tingkat pengangguran lulusan
SMK di Jakarta mengalami penurunan paling besar yaitu 4% yang berarti banyak
lulusan SMK yang terserap dalam pasar kerja, khususnya sektor servis sebesar
85%. Namun kondisi tingginya angka pengangguran di DKI Jakarta tetap menjadi
perhatian karena dikhawatirkan dapat menimbulkan masalah sosial.
Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada tahun 2017 sebesar 389,69 ribu
jiwa. Persentase penduduk miskin di DKI Jakarta adalah sebesar 3,77%.
Dibandingkan dengan tahun 2016, jumlah penduduk miskin sebesar 384,30 ribu
orang atau 3,75%, jumlah penduduk miskin meningkat 5,39 ribu atau 0,02%.
64
3. Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk
terbesar di Indonesia pada tahun 2017. Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat pada
tahun 2017 sebanyak 48.037.827 jiwa, yang terdiri dari 24.355.331 jiwa penduduk
laki-laki dan 23.355.331 jiwa penduduk perempuan. Penduduk Provinsi Sumatera
Utara untuk daerah perkotaan sebanyak 78,7% yang berarti sebagian besar
penduduk Jawa Barat tinggal di Kota.
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan jumlah kasus
pencurian tertinggi di Indonesia yang berada di urutan ketiga. Berdasarkan tabel,
dapat dilihat bahwa jumlah kasus pencurian di Jawa Barat mengalami fluktuasi
setiap tahunnya. Jumlah kasus pencurian tertinggi selama tahun 2010-2017 di
Provinsi Jawa Barat terjadi pada tahun 2011 sebanyak 14.442 jumlah kasus dan
jumlah kasus pencurian terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 8.211 kasus.
Pada tahun 2017 kasus pencurian di Jawa Barat sejumlah 14.442 kasus
dengan jumlah penduduk sebesar 48.037.827 jiwa. Hal ini berarti bahwa tingkat
kerawanan (crime rate) setiap 100.000 penduduk yang akan terkena pencurian
sebesar 30 jiwa. Jika dilihat berdasarkan jenis pencuriannya, pencurian di Jawa
Barat selama 8 tahun didominasi oleh pencurian kendaraan bermotor (curanmor)
sebesar 33.880 kasus dari tahun 2010-2017. Lalu pencurian yang jumlahnya cukup
tinggi disusul oleh pencurian dengan pemberatan sebesar 33.688 kasus selama
tahun 2010-2017.
65
Grafik 4.3
Pencurian Provinsi Jawa Barat
Tahun 2010-2017
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
8221
14442
12634
11726
12477
10558
11134
11104
CRIME
Sumber: Statistik Kriminal Badan Pusat Statistik Indonesia 2018
Pendidikan dalam penelitian ini adalah Rata-Rata Lama Sekolah (RRLS).
RRLS merupakan jumlah waktu yang dihabiskan oleh rata-rata penduduk dengan
usia 25 tahun ke atas pada seluruh jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh.
Di Jawa Barat Rata-Rata Lama Sekolah pada tahun 2017 adalah 8.14 tahun, yang
berarti rata-rata penduduk Jawa Barat berusia 25 tahun ke atas bersekolah hingga
tingkat SD atau menyelesaikan pendidikan dibangku SD.
Pada tahun 2017 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Barat sebesar
8,49% atau 1.921 juta orang. Angka pengangguran di Jawa Barat berada diatas
rata-rata nasional yaitu 5,33% bahkan tingkat pengangguran di Jawa Barat berada
di urutan kedua nasional setelah Kalimantan Timur. Menurut BPS Jawa Barat,
pengangguran di perkotaan selalu mengalami kenaikan dibandingkan dengan
pedesaan yang selalu mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan banyaknya
pencari kerja yang terus berdatangan ke daerah perkotaan tetapi belum dapat
terserap pasar kerja. Sedangkan jumlah penduduk miskin di Jawa Barat pada tahun
66
2017 sebesar 4,168.440 juta jiwa. Persentase penduduk miskin di Jawa Barat
sebesar 8,71%.
4. Gambaran Umum Provinsi Sumatera Selatan
Provinsi Sumatera Selatan memiliki jumlah penduduk sebanyak 8.266.983
jiwa pada tahun 2017. Penduduk Provinsi Sumatera Selatan untuk daerah
perkotaan sebanyak 37,3% yang berarti hampir sebagian besar penduduk Sumatera
Selatan tinggal di kota. Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi
dengan jumlah kasus pencurian yang tinggi di Indonesia yang berada di urutan
keempat.
Berdasarkan grafik, dapat dilihat bahwa jumlah kasus pencurian di Provinsi
Sumatera Selatan mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Jumlah kasus pencurian
tertinggi selama tahun 2010-2017 di Provinsi Sumatera Selatan terjadi pada tahun
2013 sebanyak 10.230 jumlah kasus dan jumlah kasus pencurian terendah terjadi
pada tahun 2017 sebesar 5.393 kasus.
Pada tahun 2017 kasus pencurian di Sumatera Selatan sejumlah 10.230 kasus
dengan jumlah penduduk sebesar 8.266.983 jiwa. Hal ini berarti bahwa tingkat
kerawanan (crime rate) setiap 100.000 penduduk yang akan terkena pencurian
sebesar 123 jiwa. Jika dilihat berdasarkan jenis pencuriannya, pencurian di
Sumatera Selatan selama 8 tahun didominasi oleh pencurian dengan pemberatan
sebesar 28.867 kasus dari tahun 2010-2017. Kemudian pencurian tertinggi kedua
yaitu pencurian dengan kekerasan sebesar 18.502 kasus selama tahun 2010-2017.
67
Grafik 4.4
Pencurian Provinsi Sumatera Selatan
Tahun 2010-2017
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
9085 9447 980610230 10282
81997182
5393
CRIME
Sumber: Statistik Kriminal Badan Pusat Statistik Indonesia 2018
Pendidikan dalam penelitian ini adalah Rata-Rata Lama Sekolah (RRLS).
RRLS merupakan jumlah waktu yang dihabiskan oleh rata-rata penduduk dengan
usia 25 tahun ke atas pada seluruh jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh.
Di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2017 adalah 7.99 tahun, yang berarti
rata-rata penduduk Sumatera Selatan berusia 25 tahun ke atas hanya bersekolah
hingga tingkat SD atau menyelesaikan pendidikan sampai bangku SD.
Pada tahun 2017 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Sumatera Selatan
sebesar 3,80% mengalami penurunan dari tahun sebelumnya sebesar 3,94% atau
turun 0,14%. Jumlah pengangguran terbuka pada tahun 2017 sebanyak 161,2 ribu
orang atau bertambah sebanyak 1,6 ribu orang dari tahun 2016 sebesar 159,5 ribu
orang. Jumlah penduduk miskin di Sumatera Selatan pada tahun 2017 sebesar
1.086.920 juta jiwa. Persentase penduduk miskin di Sumatera Utara sebesar
13,19% berada diatas rata-rata nasional yang sebesar 9.8%. Hal ini terjadi
68
dikarenakan di beberapa daerah di Sumsel angka kemiskinannya masih tinggi
sehingga menjadi kalkulasi angka kemiskinan di Sumsel yaitu 16 kabupaten/kota.
5. Gambaran Umum Provinsi Sumatera Barat
Provinsi Sumatera Barat merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk
sebanyak 5.259.500 jiwa pada tahun 2017, yang terdiri dari 2.617.200 jiwa
penduduk laki-laki dan 2.642.300 jiwa penduduk perempuan. Penduduk Provinsi
Sumatera Barat untuk daerah perkotaan sebanyak 49,6%. Provinsi Sumatera Barat
merupakan salah satu provinsi dengan jumlah kasus pencurian yang tinggi di
Indonesia yang berada di urutan kelima.
Berdasarkan grafik, dapat dilihat bahwa jumlah kasus pencurian di Provinsi
Sumatera Barat mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Jumlah kasus pencurian
tertinggi selama tahun 2010-2017 di Provinsi Sumatera Utara terjadi pada tahun
2016 sebanyak 8.173 jumlah kasus dan jumlah kasus pencurian terendah terjadi
pada tahun 2010 sebesar 4.606 kasus.
Pada tahun 2017 kasus pencurian di Sumatera Utara sejumlah 8.173 kasus
dengan jumlah penduduk sebanyak 5.259.500 jiwa. Hal ini berarti bahwa tingkat
kerawanan (crime rate) setiap 100.000 penduduk yang akan terkena pencurian
sebesar 165 jiwa. Jika dilihat berdasarkan jenis pencuriannya, pencurian di
Sumatera Barat selama 8 tahun didominasi oleh pencurian dengan pemberatan
sebesar 19.146 kasus dari tahun 2010-2017. Kemudian pencurian tertinggi kedua
yaitu pencurian dengan kendaraan bermotor sebesar 18. 999 kasus selama tahun
2010-2017.
69
Grafik 4.5
Pencurian Provinsi Sumatera Barat
Tahun 2010-2017
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
4606 4839
64997104
7953 8146 8173 7498
CRIME
Sumber: Statistik Kriminal Badan Pusat Statistik Indonesia 2018
Pendidikan dalam penelitian ini adalah Rata-Rata Lama Sekolah (RRLS).
RRLS merupakan jumlah waktu yang dihabiskan oleh rata-rata penduduk dengan
usia 25 tahun ke atas pada seluruh jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh.
Di Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2017 adalah 8,72 tahun, yang berarti rata-
rata penduduk Sumatera Barat berusia 25 tahun ke atas hanya bersekolah hingga
tingkat SD atau menyelesaikan pendidikan dibangku SD. Pada tahun 2017 TPT di
Sumatera Barat total sebesar 5,80% mengalami penurunan 1% dari tahun
sebelumnya dimana TPT tahun 2016 sebesar 5,81%. Jumlah pengangguran pada
tahun 2017 di Sumatera Barat sebesar 151.900 orang.
Jumlah penduduk miskin di Sumatera Barat pada tahun 2017 sebesar 364.513
ribu jiwa. Persentase penduduk miskin di Sumatera Utara sebesar 6,87%. Menurut
Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat rokok menjadi pemicu kemiskinan
70
karena menyumbang 13,16% sebagai komponen pembentuk garis kemiskinan di
perkotaan.
B. Temuan Hasil Penelitian
1. Uji Chow
Uji Chow adalah pengujian untuk menentukan model regresi data panel yang
paling tepat antara Pooled Least Square atau Fixed Effect untuk digunakan dalam
mengestimasi data panel. Jika nilai probabilitas lebih besar dari tingkat signifikansi
α = 5%, maka model yang tepat untuk digunakan adalah Pooled Least Square dan
apabila nilai probabilitas F-statistik lebih kecil dari tingkat signifikansi α = 5%,
maka model yang tepat untuk digunakan adalah Fixed Effect. Hipotesis dalam uji
chow adalah:
Ho: Common Effect Model
H1: Fixed Effect Model
Dari hasil estimasi uji Chow yang telah dilakukan dengan menggunakan
Redundant Fixed effect – Likelihood Ratio didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.1
Uji Chow (Redundant Fixed Effect Tests)
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 27.993264 (4,32) 0.0000
Cross-section Chi-square 60.155611 4 0.0000
Sumbe
Sumber: Data yang diolah dengan Eviews 9
71
Berdasarkan hasil Uji Chow pada tabel diperoleh nilai probabilitas sebesar
0.0000 dimana nilai probabilitas lebih kecil dari tingkat signifikansi α = 5%
(0.0000<0,05) atau tolak Ho dan terima H1. Maka model panel yang tepat digunakan
dalam penelitian ini adalah Fixed effect Model.
2. Uji Hausman
Setelah melakukan uji Chow dan didapatkan hasil bahwa model yang tepat
adalah Fixed Effect, maka selanjutnya dilakukan uji Hausman untuk mengetahui
model yang paling tepat antara Fixed Effect Model dan Random Effect Model. Jika
nilai probabilitas lebih besar dari tingkat signifikansi α = 5%, maka model yang
tepat untuk digunakan adalah Random Effect Model dan apabila nilai probabilitas
F-statistik lebih kecil dari tingkat signifikansi α = 5%, maka model yang tepat
untuk digunakan adalah Fixed Effect. Hipotesis dalam uji Hausman adalah:
Ho: Random Effect Model
H1: Fixed Effect Model
Dari hasil estimasi uji Hausman yang telah dilakukan dengan menggunakan
Correlated Random Effects – Hausman Test didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.2
Uji Hausman (Correlated Random Effects-Hausman Test)
Test Summary
Chi-Sq.
Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 26.707922 3 0.0000
Sumber: Data yang diolah dengan Eviews 9
72
Berdasarkan hasil Uji Hausman pada tabel diperoleh nilai probabilitas sebesar
0.0000 dimana nilai probabilitas lebih kecil dari tingkat signifikansi α = 5%
(0.0000<0,05) atau tolak Ho dan terima H1. Maka model panel yang tepat
digunakan dalam penelitian ini adalah Fixed effect Model.
3. Fixed Effect Model
Dari hasil uji Chow dan uji Hausman maka didapatkan model terbaik yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Fixed Effect Model. Dijelaskan melalui
persamaan yang didapatkan dalam penelitian ini sebagai berikut:
STEAL = 7.745598 + (-0.314901) RRLS + 0.028682 TPT+ (-0.133303) PPM
+ e
STEAL = Pencurian
RRLS = Rata-Rata Lama Sekolah
TPT = Tingkat Pengangguran Terbuka
PPM = Persentase Penduduk Miskin
e = error term
73
a. Uji Signifikan Parsial (Uji t-statistik)
Uji t dilakukan dilakukan untuk menguji apakah variabel independen yaitu
rata-rata lama sekolah, tingkat pengangguran terbuka dan kemiskinan
berpengaruh secara parsial terhadap variabel dependen yaitu kejahatan
pencurian. Uji t dilakukan dengan cara membandingkan nilai probabilitas t-
statistik terhadap tingkat signifikan α = 5%. Hipotesisnya sebagai berikut:
1) Ho: Tidak ada pengaruh rata-rata lama sekolah terhadap kejahatan
pencurian secara parsial di Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Sumatera Selatan dan Sumatera Barat pada tahun 2010-2017.
H1: Ada pengaruh rata-rata lama sekolah terhadap kejahatan pencurian
secara parsial di Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera
Selatan dan Sumatera Barat pada tahun 2010-2017.
74
Tabel 4.3
Estimasi Hasil Regresi Data Panel
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 7.745598 0.936326 8.272330 0.0000
RRLS? -0.314901 0.087157 -3.613015 0.0010
TPT? 0.028682 0.013729 2.089134 0.0447
PPM? -0.133303 0.020713 -6.435835 0.0000
R-squared 0.861532
Adjusted R-squared 0.831242
F-statistic 28.44281
Prob(F-statistic) 0.000000
2) Ho: Tidak ada pengaruh tingkat pengangguran terbuka terhadap
kejahatan pencurian secara parsial di Sumatera Utara, DKI Jakarta,
Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat pada tahun 2010-
2017.
H1: Ada pengaruh tingkat pengangguran terbuka terhadap kejahatan
pencurian secara parsial di Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat,
Sumatera Selatan dan Sumatera Barat pada tahun 2010-2017.
3) Ho: Tidak ada pengaruh kemiskinan terhadap kejahatan pencurian
secara parsial di Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera
Selatan dan Sumatera Barat pada tahun 2010-2017.
H1: Ada pengaruh kemiskinan terhadap kejahatan pencurian secara
parsial di Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan
dan Sumatera Barat pada tahun 2010-2017
Tabel 4.4
Uji t-statistik
Variable Coefficient Prob.
C 7.745598 0.0000
RRLS? -0.314901 0.0010
TPT? 0.028682 0.0447
PPM? -0.133303 0.0000
Sumber: Data yang diolah dengan Eviews 9
Berdasarkan hipotesis, maka hasil yang didapatkan untuk penelitian ini
adalah:
75
a) Nilai Probabilitas t-statistik pada variabel rata-rata lama sekolah (RRLS)
adalah 0.0010 < 0,05 yang artinya terima H1 dan tolak Ho.
b) Nilai Probabilitas t-statistik pada variabel pengangguran (TPT) adalah
0.0447 < 0,05 yang artinya terima H1 dan tolak Ho.
c) Nilai Probabilitas t-statistik pada variabel kemiskinan (PPM) adalah
0.0000 < 0,05 yang artinya terima H1 dan tolak Ho.
Berdasarkan hasil yang ditemui melalui uji t-statistik, dapat ditarik
kesimpulan bahwa ketiga variabel independen yaitu rata-rata sekolah,
pengangguran, dan kemiskinan masing-masing memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kejahatan pencurian.
b. Uji Signifikansi Simultan (Uji F-Statistik)
Uji F dilakukan untuk menguji apakah variabel independen yaitu Rata-rata
lama sekolah, tingkat pengangguran terbuka dan kemiskinan berpengaruh secara
bersama-sama terhadap variabel dependen yaitu kejahatan pencurian. Uji F
dilakukan dengan cara membandingkan nilai probabilitas F-statistik terhadap
tingkat signifikan α = 5%. Hipotesisnya sebagai berikut:
H0 : Tidak terdapat pengaruh rata-rata lama sekolah, pengangguran dan
kemiskinan secara simultan terhadap Kejahatan Pencurian di Sumatera Utara,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat pada tahun
2010 – 2017.
H1 : Terdapat pengaruh rata-rata lama sekolah, pengangguran dan kemiskinan
secara simultan terhadap Kejahatan Pencurian di Sumatera Utara, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat pada tahun 2010 –
2017.
Berdasarkan hasil regresi data panel, diperoleh hasil Uji F-statistik sebagai
berikut:
Tabel 4.5
76
Uji Signifikansi Simultan (Uji F-statistik)
Sumber: Data yang diolah dengan Eviews 9
Berdasarkan hasil dari Uji F-statistik pada tabel dapat dijelaskan bahwa nilai
F-statistik sebesar 28.44281 dan probabilitas (F-statistik) sebesar 0.000000, nilai
probabilitas F-Statistik lebih kecil dibandingkan dengan tingkat signifikansi α =
5% (0.000000 < 0.05) maka H1 diterima, yang artinya bahwa variabel-variabel
independen yaitu rata-rata lama sekolah, tingkat pengangguran terbuka dan
kemiskinan berpengaruh secara simultan terhadap kejahatan pencurian di
Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat
pada tahun 2010 – 2017.
c. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Tabel 4.6
Uji Koefisien Determinasi
R-squared 0.861532
Adjusted R-squared 0.831242
Sumber: Data yang diolah dengan Eviews 9
Uji Koefisien Determinasi (Adjusted R2) digunakan untuk mengukur seberapa
besar kemampuan variabel independen yaitu rata-rata lama sekolah,
pengangguran dan kemiskinan menjelaskan variabel dependen yaitu Kejahatan
77
F-statistic 28.44281
Prob(F-statistic) 0.000000
Pencurian. Berdasarkan hasil pengolahan data didapatkan nilai koefisien
determinansi sebesar 0.86 yang artinya 86% dari variasi kejahatan pencurian di 5
provinsi pada tahun 2010-2017 dapat dijelaskan oleh variabel rata-rata lama
sekolah, tingkat pengangguran terbuka dan kemiskinan, sedangkan 14% dapat
dijelaskan oleh variabel lain diluar model penelitian ini.
Tabel 4.7
Interpretasi Fixed Effect Model
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 7.745598 0.936326 8.272330 0.0000
RRLS? -0.314901 0.087157 -3.613015 0.0010
TPT? 0.028682 0.013729 2.089134 0.0447
PPM? -0.133303 0.020713 -6.435835 0.0000
FixedEffects (Cross)
_SUMUT_C_--C 0.422634 7.322964
_JAKARTA_C_--C -0.103518 7.755949
_JABAR_C_--C -0.223424 7.969022
_SUMSEL_C_--C 0.319867 7.425731
_SUMBAR_C_--C -0.415559 8.161157
78
Sumber: Data yang diolah dengan Eviews 9
Hasil estimasi model Fixed Effect pada tabel di atas menunjukkan nilai
coefficient konstanta sebesar 7.745598.
Bila terjadi perubahan sebesar 1 tahun pada rata-rata lama sekolah dan
1% pada angka pengangguran dan kemiskinan, maka provinsi
Sumatera Utara mendapat pengaruh individu terhadap kejahatan
pencurian sebesar 7.322
Bila terjadi perubahan sebesar 1 tahun pada rata-rata lama sekolah dan
1% pada angka pengangguran dan kemiskinan, maka provinsi DKI
Jakarta mendapat pengaruh individu terhadap kejahatan pencurian
sebesar 7.755
Bila terjadi perubahan sebesar 1 tahun pada rata-rata lama sekolah dan
1% pada angka pengangguran dan kemiskinan, maka provinsi Jawa
Barat mendapat pengaruh individu terhadap kejahatan pencurian
sebesar 7.969
Bila terjadi perubahan sebesar 1 tahun pada rata-rata lama sekolah dan
1% pada angka pengangguran dan kemiskinan, maka provinsi
Sumatera Selatan mendapat pengaruh individu terhadap kejahatan
pencurian sebesar 7.425
Bila terjadi perubahan sebesar 1 tahun pada rata-rata lama sekolah dan
1% pada angka pengangguran dan kemiskinan, maka provinsi
Sumatera Barat mendapat pengaruh individu terhadap kejahatan
pencurian sebesar 8.16
4. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel
independen dan variabel dependen atau keduanya terdistribusi normal atau tidak.
Apabila variabel tidak berdistribusi secara normal maka hasil uji statistik akan
79
mengalami penurunan. Uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan uji
Jarque-Bera (JB). Jika nilai probabilitas pada JB > 0,05 maka variabel-variabel
tersebut berdistribusi normal, begitu pula sebaliknya. Apabila probabilitas JB <
0,05 maka variabel-variabel tersebut tidak berdistribusi normal.
Tabel 4.8
Hasil Uji Normalitas
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
-0.15 -0.10 -0.05 0.00 0.05 0.10
Series: Standardized ResidualsSample 2010 2017Observations 40
Mean 2.78e-18Median 0.008686Maximum 0.119566Minimum -0.170125Std. Dev. 0.058399Skewness -0.451880Kurtosis 3.427257
Jarque-Bera 1.665550Probability 0.434841
Sumber: Data yang diolah dengan Eviews 9
Berdasarkan hasil uji normalitas didapatkan nilai probabilitas Jarque-Bera
yaitu sebesar 0.434. Nilai tersebut lebih tinggi dari α = 5% atau 0,05 (0,434 >
0,05) yang berarti data dalam penelitian ini terdistribusi normal, maka model
regresi dapat dilanjutkan untuk pengujian berikutnya.
b. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi adalah sebuah uji yang bertujuan untuk mnegethaui apakah
ada tidaknya korelasi antar variabel. Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji
apakah dalam model terdapat korelasi antar kesalahan penganggu (residual) pada
periode t dengan kesalahan pada periode sebelumnya. Jika terjadi autokorelasi,
maka dinamakan terjadi masalah autokorelasi.
Tabel 4.9
Hasil Uji Autokorelasi
80
Sumber: Data yang diolah dengan Eviews 9
Pengujian yang bisa digunakan untuk meneliti kemungkinan terjadinya
autokorelasi adalah uji Durbin-Watson (D-W). Ketika nilai DW > dU maka bebas
dari autokorelasi negatif dan ketika nilai DW< dU maka penelitian bebas dari
autokorelasi positif. Berdasarkan hasil Uji Autokorelasi dengan menggunakan uji
Durbin Watson, maka didapatlah nilai Durbin Watson sebesar 1.674307. Nilai dU
untuk jumlah variabel (k) = 4 dan jumlah data sebanyak 40 observasi yaitu
1.65889. Nilai 1.674307 > 1.65889. Artinya data tidak terdapat autokorelasi
karena nilai DW > dU.
Setelah dilakukan pengujian autokorelasi dan didapatkan hasil yang
memenuhi syarat uji Durbin-Watson maka dapat dinyatakan bahwa model yang
digunakan dalam penelitian ini terbebas dari adanya masalah autokorelasi.
c. Uji Multikolinearitas
Pengujian multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Pengujian
multikolinearitas adalah pengujian yang mempunyai tujuan untuk menguji apakah
dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antara variabel independen.
Untuk menemukan ada atau tidaknya multikolinearitas dalam model regresi dapat
diketahui dari nilai toleransi dan nilai variance inflation factor (VIF). Tolerance
mengukur variabilitas variabel bebas yang terpilih yang tidak dapat dijelaskan
oleh variabel bebas lainnya. Jadi nilai tolerance rendah sama dengan nilai VIF
tinggi (karena VIF = 1/tolerance) dan menunjukkan adanya kolinearitas yang
tinggi. Nilai cut off yang umum dipakai adalah nilai tolerance 0,10 atau sama
dengan nilai VIF diatas 10.
Tabel 4.10 Hasil Uji VIF
81
Durbin-Watson stat 1.674307
Coefficient Uncentered CenteredVariable Variance VIF VIF
C 0.214106 515.2106 NARRLS 0.001306 238.1246 3.848603TPT 0.000159 21.73667 1.496191PPM 0.000166 38.65562 4.762659
Sumber: Data yang diolah dengan Eviews 9
Hasil uji multikolinearitas dengan VIF menunjukkan bahwa nilai masing-
masing variabel dependen dibawah 10 yang artinya bahwa model yang digunakan
dalam penelitian ini bebas dari masalah multikolinearitas.
d. Uji Heterokedastisitas
Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menilai apakah terdapat ketidaksamaan
varian dari residual untuk semua pengamatan pada model regresi linear. Terdapat
beberapa cara untuk melakukan uji heterokedastisitas yaitu dengan uji glejser, uji
park, uji spearman, atau dengan grafik (Scatterplot). Uji heterokedastisitas dalam
penelitian ini menggunakan metode uji Glejser dan membandingkan nilai
probabilitasnya apakah lebih besar dari α = 5%.. Jika nilai probability > 0,05
maka tidak terjadi heterokedastisitas.
Tabel 4.11 Hasil Uji Heterokedastisitas
Variable Coefficient Prob.
C -0.098857 0.8441
RRLS 0.002527 0.9569
TPT -0.005595 0.4498
PPM 0.017780 0.1169
Sumber: Data yang diolah dengan Eviews 9
Berdasarkan pengujian heterokedastisitas dengan uji Glejser didapatkan hasil
bahwa variabel-variabel independen dalam penelitian ini yaitu RRLS (Rata-Rata
82
Lama Sekolah), TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) dan PPM (Persentase
Penduduk Miskin) memiliki nilai probabilitas diatas α = 5% yang berarti secara
signifikan tidak mempengaruhi residual absolute (resabs). Maka data dalam
penelitian ini tidak terindikasi adanya heterokedastisitas.
5. Analis Ekonomi
a. Pendidikan terhadap pencurian
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap kejahatan pencurian pada provinsi Sumatera Utara, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat pada tahun 2010-2017.
Maksud dari pengaruh negatif ini adalah terdapat indikasi hubungan kuat antara
pendidikan dan kejahatan pencurian. Jika pendidikan meningkat maka akan
berpengaruh pada penurunan kejahatan pencurian. Sebaliknya, kejahatan
pencurian akan mengalami peningkatan apabila pendidikan menurun.
Pendidikan dalam penelitian ini adalah rata-rata lama sekolah. Rata-rata lama
sekolah merupakan jumlah waktu yang dihabiskan oleh rata-rata penduduk
dengan usia 25 tahun ke atas pada seluruh jenjang pendidikan formal yang telah
ditempuh. Dapat diartikan bahwa semakin tinggi rata-rata lama sekolah maka
semakin tinggi jenjang pendidikan yang telah ditempuh. Ketika semakin tinggi
jenjang pendidikan seseorang maka cenderung akan berfikir kritis untuk tidak
melakukan kegiatan ilegal seperti pencurian. Karena dengan pendidikan pula
dapat membentuk sifat, sikap dan kebiasaan baik individu untuk melakukan hal
yang lebih bermanfaat dari pada tindakan ilegal. Pada penelitian ini dinyatakan
bahwa setiap terjadi peningkatan 1 tahun RRLS maka akan menurunkan
pencurian sebesar 0.314901.
Di Indonesia, walaupun sudah banyak daerah yang pendidikannya merata
dengan baik namun masih terdapat daerah yang memiliki pendidikan yang
rendah. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, salah satunya adalah kurangnya
83
penyetaraan pendidikan di Indonesia dan kesenjangan infrastruktur diberbagai
wilayah di Indonesia yang saat ini masih sangat tinggi. Pendidikan merupakan
investasi yang penting bagi setiap manusia. Dengan pendidikan, maka akan
timbul pula sifat, sikap dan kebiasaan baik yang akan mempengaruhi lingkungan
sekitar. Pendidikan akademis sejak kecil akan memberikan dampak baik, karena
melalui pendidikan akademis, akan tercipta pula pendidikan moral.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lochner
(2007) yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara tingkat pendidikan
dan tingkat kejahatan pencurian. Karena seseorang yang berpendidikan tinggi
akan cenderung berfikir untuk tidak bertindak kriminal, karena manfaat yang
terlalu kecil. Jadi pendidikan secara langsung akan menurunkan tindak kejahatan
pencurian.
b. Pengangguran terhadap pencurian
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengangguran berpengaruh positif
dan signifikan terhadap kejahatan pencurian pada provinsi Sumatera Utara, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat pada tahun 2010-2017.
Maksud dari pengaruh positif ini adalah terdapat indikasi hubungan kuat antara
tingkat pengangguran terbuka dan kejahatan pencurian. Jika tingkat pengangguran
terbuka meningkat maka akan berpengaruh pada peningkatan kejahatan
pencurian. Sebaliknya, kejahatan pencurian akan mengalami penurunan apabila
tingkat pengangguran terbuka menurun. Pada penelitian ini dinyatakan bahwa
setiap terjadi peningkatan pengangguran sebesar 1% maka akan terjadi
peningkatan pencurian sebesar 0.028682
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zsolt Becsi
(1999) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara pengangguran
84
dan kejahatan pencurian. Seseorang yang menganggur akan kehilangan
pendapatan sehingga akan menyebabkan ekspektasi utilitas tindak kejahatan lebih
besar dari utilitas pandapatan legalnya. Biaya pemenjaraan berupa opportunity
cost pendapatan legal yang hilang juga sangat kecil bagi seorang pengangguran.
Hal ini akan menimbulkan insentif bagi orang tersebut untuk melakukan tindak
kejahatan.
c. Kemiskinan terhadap pencurian
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemiskinan berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap kejahatan pencurian pada provinsi Sumatera Utara, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat pada tahun 2010-2017.
Maksud dari pengaruh negatif ini adalah terdapat indikasi hubungan kuat antara
kemiskinan dan kejahatan pencurian. Jika tingkat kemiskinan meningkat maka
akan berpengaruh pada penurunan kejahatan pencurian. Sebaliknya, kejahatan
pencurian akan mengalami peningkatan apabila tingkat kemiskinan menurun.
Pada penelitian ini dinyatakan bahwa setiap terjadi peningkatan kemiskinan
sebesar 1% maka akan terjadi penurunan pencurian sebesar 0.133303.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Prakoso
(2016) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara kemiskinan dan
kejahatan pencurian. Seseorang yang memiliki pendapatan sangat rendah dan
tergolong miskin belum tentu akan melakukan tindak pencurian. Karena pada
dasarnya, miskin belum tentu mencuri. Orang yang merasa cukup atas apa yang
ada (Qana’ah), bukanlah orang yang bercukupan secara berlebihan, tapi adalah
orang yang pandai bersyukur dan tidak pernah merasa kekurangan atas nikmat
yang diberikan Allah SWT.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan (rata-rata lama sekolah)
berpengaruh signifikan dan menunjukkan arah hubungan yang negatif
terhadap angka kejahatan pencurian di Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI
Jakarta, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat pada periode 2010 sampai
86
2017. Hubungan ini memiliki arti apabila rata-rata lama sekolah meningkat
maka angka pencurian akan menurun dan sebaliknya jika rata-rata lama
sekolah menurun maka angka pencurian akan meningkat.
2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengangguran berpengaruh signifikan
dan menunjukkan arah hubungan yang positif terhadap angka kejahatan
pencurian di Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Selatan dan
Sumatera Barat pada periode 2010 sampai 2017. Arah hubungan positif ini
memiliki arti jika jumlah pengangguran meningkat maka angka pencurian
juga akan meningkat, dan sebaliknya jika pengangguran menurun maka angka
pencurian juga menurun.
3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiskinan berpengaruh signifikan dan
menunjukkan arah hubungan yang negatif terhadap angka kejahatan pencurian
di Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Selatan dan Sumatera
Barat pada periode 2010 sampai 2017. Arah hubungan negatif ini memiliki
arti jika jumlah penduduk miskin bertambah, maka angka pencurian akan
menurun.
4. Secara simultan variabel pendidikan (rata-rata lama sekolah), pengangguran
dan kemiskinan berpengaruh signifikan terhadap angka kejahatan pencurian di
Sumatera Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Selatan dan Sumatera
Barat pada periode 2010 sampai 2017. Jadi dapat disimpulkan bahwa
perubahan atau pergerakan yang terjadi pada variabel rata-rata lama sekolah,
pengangguran dan kemiskinan akan mempengaruhi perubahan angka
kejahatan pencurian.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian diatas, maka pada bagian ini
dikemukakan beberapa saran baik untuk kepentingan praktisi maupun pengembangan
penelitian selanjutnya sebagai berikut:
87
1. Bagi pemerintah termasuk aparat kepolisian maupun lembaga pengawas
terkait
Berdasarkan hasil penelitian dan melihat tingginya angka pencurian
maka diharapkan lembaga terkait dapat meningkatan pengawasan dan
pemberlakuan sistem keamanan lebih efektif khususnya kepada pelaku
kejahatan agar jera untuk tidak melakukan tindak kejahatan pencurian.
Sedangkan untuk mencegahnya, pemerintah dapat menyediakan lapangan
pekerjaan melihat masih tingginya angka pengangguran. Dalam sisi
pendidikan, pemerintah perlu memastikan bahwa pendidikan di Indonesia
sampai ke pelosok sehingga seluruh anak Indonesia dapat bersekolah sampai
jenjang yang tinggi. Apabila pengangguran rendah, pendidikan tinggi dan
kemiskinan rendah, maka tidak ada masalah sosial seperti kriminalitas.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan kajian lebih
lanjut dengan memasukkan variabel independen lain yang dapat
mempengaruhi kejahatan pencurian, serta memperpanjang periode penelitian,
dan menggunakan provinsi-provinsi dengan karakteristik tertentu agar
mendapatkan gambaran hasil yang spesifik. Selain itu untuk hasil yang lebih
jelas pada penelitian selanjutnya, diharapkan dapat mengukur kejahatan
pencurian berdasarkan klasifikasi menurut jenis pekerjaan legal yang dimiliki
oleh seorang pelaku kejahatan, atau motivasi dibalik seorang pelaku kejahatan
melakukan tindakan ilegal tersebut.
88
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. 1987. Sosiologi Kelompok dan Masalah Sosial. Fajar Agung. Jakarta.
Basuki, Agus Tri and Prawoto, Nano. 2016. Analisis Regresi Dalam Penelitian
Ekonomi & Bisnis : Dilengkapi Aplikasi SPSS & EVIEWS. Depok : PT
Rajagrafindo Persada
Becker, Gary S. 1968. “Crime and Punishment: An Economic Approach.” The
Journal of Political Economy, Vol 76, No.2.
89
Becsi, Zscolt. 1999. “Economics and Crime in The States.” Atlanta: Federal Reserve
Bank of Atlanta.
Budhi, Made Kembar Sri. 2013. “Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pengentasan kemiskinan di Bali: Analisis FEM data panel”. Jurnal Ekonomi
Kuantitatif Terapan Vol. 6. No. 1
Chalid, P. 2016. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: CSES Press.
Chiricos, Theodore. 1987. “Rates of Crime and Unemployment: An Analysis of
Aggregate Research Evidence”. Social Problem Vol. 34
Delia, Rara Putri. 2009. “Analisis Determinan Penyebab Timbulnya Fear Of Crime
pada Kasus Pencurian di Kalangan Ibu Rumah Tangga”. Jurnal Kriminologi
Indonesia Vol. 5 No.1 :67-76.. Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok.
Ehrlich, I. 1975 “On the relation between education and crime”, in: T. Juster (ed.),
Education, Income and Human Behavior, McGraw-Hill, New York.
Groot, Wim. Henriette Maassen van den Brink. 2007.”The effects of education on
crime”. Warwick University.
Hamzah, Andi. 1995. KUHP & KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta.
Hardianto, Florentinus Nugro. 2016. “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Tingkat Kriminalitas di Indonesia dari Pendekatan Ekonomi” Bina
Ekonomi Majalah Ilmiah Vol. 3, No. 2: 28-41, Fakultas Ekonomi Universitas
Katolik Parayangan. Bandung
Hendri, Davy. 2014. “Kriminalitas: Sebuah Sisi Gelap dari Ketimpangan Distribusi
Pendapatan”. Jurnal Ekonomi Kebijakan Publik, Vol.5, No.2
90
Hollis, Christiana M. 2011. “Indentifying The Effect of Unemployment on Property
Crimes: Analyzing The Impact of The 2007/2008 Economic Recession”.
Georgetwon University Washington, DC.
Khan,Nabeela., dkk. 2015. “The Socio-Economic Determinants of Crime in
Pakistan:New Evidence on an Old Debate”.
Machin, Stephen. Olivier Marie. Suncica Vujic. 2010. “The Crime reducing effect of
education”. The Economic Journal.
Melick, Matthew D. 2003. “The Relationship between Crime and Unemployment”.
The Park Place Economist: Vol.11.
Nanga, M. 2001. Makroekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan Edisi Perdana.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
O’Block, Robert. 1981. “Security and Crime Prevention”, Missouri: The CV Mosby
Company.
Poerwadarminta, WJS. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta.
Prayetno. 2013. “Kausalitas Kemiskinan Terhadap Perbuatan Kriminal”. Media
Komunikasi FIS Vol. 12 No. 1. Universitas Negeri Medan.
Priatna, Yedie Yogie. 2016. “Analisis Pengaruh Sosial Ekonomi Terhadap Tingkat
Kejahatan Pencurian di Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2010-2015”.
Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah.
Purnianti dan M. K. Darmawan. 1994. Mashab dan Penggolongan Teori dalam
Kriminologi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
R.Soesilo. 1985. Kriminologi, Politeia, Bogor.
91
Ramdayani, Syofia Sofatunisa. Bayu Kharisma dan Kodrat Wibowo. 2019.
“Pengeluaran Pemerintah Sektor Perlindungan Sosial, Ketertiban Keamanan,
dan Kriminalitas”. Jurnal Ekonomi, Vol. 15, No. 2.
Riadi, E. 2014. Metode Statitiska. Tangerang: Pustaka Mandiri.
Saat, Sulaiman. 2013. “Pendidikan sebagai institusi sosial”. Jurnal Pendidikan
Vol.16, No. 2. UIN Alauddin Makassar.
Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung:Alfabeta, CV.
Sukirno, Sadono. 2006. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Penerbit Kencana.
Sukirno, Sadono. 2006. Teori Penggantar Makro Ekonomi. Jakarta : PT.Raja
Grafindo.
Sullivan, Arthur O. 2009. “Urban Economics”. America : McGraw-Hill
Tauchen, H. & A. Witte. 1994. “Work and crime: an exploration using panel data”,
NBER Working Paper 4794
Todaro, Michael dan Stephen C Smith. 2004. Pembangunan Ekonomi edisi
kedelapan. Jakarta: Erlangga.
Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/
Lampiran
Lampiran 1: Hasil Estimasi Data Panel
1. Common Effect Model
Dependent Variable: STEAL
92
Method: Panel Least SquaresDate: 12/27/19 Time: 12:17Sample: 2010 2017Periods included: 8Cross-sections included: 5Total panel (balanced) observations: 40
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 2.289420 0.462716 4.947787 0.0000RRLS 0.111265 0.036142 3.078554 0.0040TPT 0.053540 0.012617 4.243356 0.0001PPM 0.040197 0.012899 3.116203 0.0036
R-squared 0.377009 Mean dependent var 4.009000Adjusted R-squared 0.325093 S.D. dependent var 0.156939S.E. of regression 0.128929 Akaike info criterion -1.164464Sum squared resid 0.598420 Schwarz criterion -0.995576Log likelihood 27.28928 Hannan-Quinn criter. -1.103399F-statistic 7.261908 Durbin-Watson stat 0.643626Prob(F-statistic) 0.000625
2. Fixed Effect Model
Dependent Variable: STEAL?Method: Pooled Least SquaresDate: 12/27/19 Time: 12:29Sample: 2010 2017Included observations: 8Cross-sections included: 5Total pool (balanced) observations: 40
93
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 7.745598 0.936326 8.272330 0.0000RRLS? -0.314901 0.087157 -3.613015 0.0010TPT? 0.028682 0.013729 2.089134 0.0447PPM? -0.133303 0.020713 -6.435835 0.0000
Fixed Effects (Cross)_SUMUT_C_--C 0.422634
_JAKARTA_C_--C -0.103518_JABAR_C_--C -0.223424
_SUMSEL_C_--C 0.319867_SUMBAR_C_--C -0.415559
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.861532 Mean dependent var 4.009000Adjusted R-squared 0.831242 S.D. dependent var 0.156939S.E. of regression 0.064471 Akaike info criterion -2.468354Sum squared resid 0.133007 Schwarz criterion -2.130578Log likelihood 57.36709 Hannan-Quinn criter. -2.346225F-statistic 28.44281 Durbin-Watson stat 1.674307Prob(F-statistic) 0.000000
3. Uji Chow
Redundant Fixed Effects TestsEquation: UntitledTest cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 27.993264 (4,32) 0.0000Cross-section Chi-square 60.155611 4 0.0000
94
Cross-section fixed effects test equation:Dependent Variable: STEALMethod: Panel Least SquaresDate: 12/27/19 Time: 12:32Sample: 2010 2017Periods included: 8Cross-sections included: 5Total panel (balanced) observations: 40
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 2.289420 0.462716 4.947787 0.0000RRLS 0.111265 0.036142 3.078554 0.0040TPT 0.053540 0.012617 4.243356 0.0001PPM 0.040197 0.012899 3.116203 0.0036
R-squared 0.377009 Mean dependent var 4.009000Adjusted R-squared 0.325093 S.D. dependent var 0.156939S.E. of regression 0.128929 Akaike info criterion -1.164464Sum squared resid 0.598420 Schwarz criterion -0.995576Log likelihood 27.28928 Hannan-Quinn criter. -1.103399F-statistic 7.261908 Durbin-Watson stat 0.643626Prob(F-statistic) 0.000625
4. Random Effect Model
Dependent Variable: STEAL?Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)Date: 12/27/19 Time: 12:40Sample: 2010 2017Periods included: 8Cross-sections included: 5Total panel (balanced) observations: 40Swamy and Arora estimator of component variances
95
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 6.064445 0.655536 9.251117 0.0000RRLS -0.184077 0.056933 -3.233217 0.0026TPT 0.027916 0.009572 2.916536 0.0061PPM -0.072732 0.016924 -4.297624 0.0001
Effects SpecificationS.D. Rho
Cross-section random 0.108640 0.7396Idiosyncratic random 0.064471 0.2604
Weighted Statistics
R-squared 0.401597 Mean dependent var 0.823208Adjusted R-squared 0.351730 S.D. dependent var 0.103122S.E. of regression 0.083029 Sum squared resid 0.248175F-statistic 8.053366 Durbin-Watson stat 0.812397Prob(F-statistic) 0.000311
Unweighted Statistics
R-squared -1.123560 Mean dependent var 4.009000Sum squared resid 2.039807 Durbin-Watson stat 0.098841
5. Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman TestEquation: UntitledTest cross-section random effects
Test SummaryChi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 26.707922 3 0.0000
96
Cross-section random effects test comparisons:
Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.
RRLS -0.314901 -0.184077 0.004355 0.0474TPT 0.028682 0.027916 0.000097 0.9380PPM -0.133303 -0.072732 0.000143 0.0000
Cross-section random effects test equation:Dependent Variable: STEALMethod: Panel Least SquaresDate: 12/27/19 Time: 12:47Sample: 2010 2017Periods included: 8Cross-sections included: 5Total panel (balanced) observations: 40
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 7.745598 0.936326 8.272330 0.0000RRLS -0.314901 0.087157 -3.613015 0.0010TPT 0.028682 0.013729 2.089134 0.0447PPM -0.133303 0.020713 -6.435835 0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.861532 Mean dependent var 4.009000Adjusted R-squared 0.831242 S.D. dependent var 0.156939S.E. of regression 0.064471 Akaike info criterion -2.468354Sum squared resid 0.133007 Schwarz criterion -2.130578Log likelihood 57.36709 Hannan-Quinn criter. -2.346225F-statistic 28.44281 Durbin-Watson stat 1.674307Prob(F-statistic) 0.000000
6. Uji Normalitas
97
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
-0.15 -0.10 -0.05 0.00 0.05 0.10
Series: Standardized ResidualsSample 2010 2017Observations 40
Mean 2.78e-18Median 0.008686Maximum 0.119566Minimum -0.170125Std. Dev. 0.058399Skewness -0.451880Kurtosis 3.427257
Jarque-Bera 1.665550Probability 0.434841
7. Uji Multikolinearitas
98
Variance Inflation FactorsDate: 12/27/19 Time: 12:55Sample: 1 40Included observations: 40
Coefficient Uncentered CenteredVariable Variance VIF VIF
C 0.214106 515.2106 NARRLS 0.001306 238.1246 3.848603TPT 0.000159 21.73667 1.496191PPM 0.000166 38.65562 4.762659
8. Uji Heterokedastisitas (Uji Glejser)
Dependent Variable: RESABS
99
Method: Panel Least SquaresDate: 12/27/19 Time: 12:58Sample: 2010 2017Periods included: 8Cross-sections included: 5Total panel (balanced) observations: 40
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -0.098857 0.498751 -0.198208 0.8441RRLS 0.002527 0.046426 0.054425 0.9569TPT -0.005595 0.007313 -0.765073 0.4498PPM 0.017780 0.011033 1.611521 0.1169
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.227223 Mean dependent var 0.045873Adjusted R-squared 0.058178 S.D. dependent var 0.035386S.E. of regression 0.034342 Akaike info criterion -3.728067Sum squared resid 0.037739 Schwarz criterion -3.390291Log likelihood 82.56133 Hannan-Quinn criter. -3.605938F-statistic 1.344160 Durbin-Watson stat 1.837965Prob(F-statistic) 0.262491
Lampiran 2
1. Data Penelitian
100
Provinsi Periode STEAL RRLS TPT PPMSumatera
Utara 2010 13003 8.51 8.01 11.31Sumatera
Utara 2011 16049 8.61 7.47 11.33Sumatera
Utara 2012 15185 8.72 6.43 10.67Sumatera
Utara 2013 18034 8.79 6.09 10.06
Sumatera Utara 2014 16175 8
.93 5.95 9.38
Sumatera Utara 2015 14238 9
.03 6.39 10.53
Sumatera Utara 2016 13661 9
.12 6.49 10.35
Sumatera Utara 2017 12286 9
.25 6.41 10.22
DKIJakarta 2010 19718
10.37 11.32 3.48
DKIJakarta 2011 15546
10.40 10.86 3.75
DKIJakarta 2012 15182 10
.43 10.6 3.69
DKI Jakarta 2013 13459 10
.47 9.64 3.55
DKIJakarta 2014 10732 10
.54 9.84 3.92
DKIJakarta 2015 9424 10
.70 8.36 3.93
DKIJakarta 2016 8869 10
.88 5.77 3.75
DKIJakarta 2017 5935 11
.02 5.36 3.77
JawaBarat 2010 8211
7.40 10.57 11.27
JawaBarat 2011 14442
7.46 10.01 10.65
JawaBarat 2012 12634
7.52 9.84 10.09
JawaBarat 2013 11726
7.58 8.88 9.52
Jawa 2014 12477 7.71 8.66 9.44
101
BaratJawaBarat 2015 10558 7
.86 8.4 9.53
JawaBarat 2016 11134 7
.95 8.57 8.95
JawaBarat 2017 11104 8
.14 8.49 8.71
Sumatera Selatan 2010 9085 7.34 6.55 15.47
Sumatera Selatan 2011 9447 7.42 6.29 14.24
Sumatera Selatan 2012 9806 7.5 5.6 13.78
Sumatera Selatan 2013 10230 7.53 5.41 14.24
Sumatera Selatan 2014 10282 7.66 3.84 13.91
Sumatera Selatan 2015 8199 7.77 5.03 14.25
Sumatera Selatan 2016 7182 7.83 3.94 13.54
Sumatera Selatan 2017 5393 7.99 3.8 13.19
Sumatera Barat 2010 4606 8.13 7.57 9.5
Sumatera Barat 2011 4839 8.2 7.51 9.04
Sumatera Barat 2012 6499 8.27 6.49 8.19
Sumatera Barat 2013 7104 8.28 6.39 8.14
Sumatera Barat 2014 7953 8.29 6.32 7.41
Sumatera Barat 2015 8146 8.42 5.99 7.31
Sumatera Barat 2016 8173 8.59 5.81 7.09
Sumatera Barat 2017 7498 8.72 5.80 6.87
2. Setelah di Log
Provinsi Periode LOG_ RRLS TPT PPM
102
STEALSumatera
Utara 2010 4.11 8.51 8.01 11.31Sumatera
Utara 2011 4.21 8.61 7.47 11.33Sumatera
Utara 2012 4.18 8.72 6.43 10.67Sumatera
Utara 2013 4.26 8
.79 6.09 10.06
Sumatera Utara 2014 4.21
8.93 5.95 9.38
Sumatera Utara 2015 4.15
9.03 6.39 10.53
Sumatera Utara 2016 4.14
9.12 6.49 10.35
Sumatera Utara 2017 4.09
9.25 6.41 10.22
DKIJakarta 2010 4.29
10.37 11.32 3.48
DKIJakarta 2011 4.19
10.40 10.86 3.75
DKIJakarta 2012 4.18
10.43 10.6 3.69
DKI Jakarta 2013 4.13
10.47 9.64 3.55
DKIJakarta 2014 4.03
10.54 9.84 3.92
DKIJakarta 2015 3.97
10.70 8.36 3.93
DKIJakarta 2016 3.95
10.88 5.77 3.75
DKIJakarta 2017 3.77
11.02 5.36 3.77
JawaBarat 2010 3.91
7.40 10.57 11.27
JawaBarat 2011 4.16
7.46 10.01 10.65
JawaBarat 2012 4.10
7.52 9.84 10.09
JawaBarat 2013 4.07
7.58 8.88 9.52
Jawa 2014 4.10 7.71 8.66 9.44
103
BaratJawaBarat 2015 4.02 7
.86 8.4 9.53
JawaBarat 2016 4.05 7
.95 8.57 8.95
JawaBarat 2017 4.05 8
.14 8.49 8.71
Sumatera Selatan 2010 3.96 7.34 6.55 15.47
Sumatera Selatan 2011 3.98 7.42 6.29 14.24
Sumatera Selatan 2012 3.99 7.5 5.6 13.78
Sumatera Selatan 2013 4.01 7.53 5.41 14.24
Sumatera Selatan 2014 4.01 7.66 3.84 13.91
Sumatera Selatan 2015 3.91 7.77 5.03 14.25
Sumatera Selatan 2016 3.86 7.83 3.94 13.54
Sumatera Selatan 2017 3.73 7.99 3.8 13.19
Sumatera Barat 2010 3.66 8.13 7.57 9.5
Sumatera Barat 2011 3.68 8.2 7.51 9.04
Sumatera Barat 2012 3.81 8.27 6.49 8.19
Sumatera Barat 2013 3.85 8.28 6.39 8.14
Sumatera Barat 2014 3.90 8.29 6.32 7.41
Sumatera Barat 2015 3.91 8.42 5.99 7.31
Sumatera Barat 2016 3.91 8.59 5.81 7.09
Sumatera Barat 2017 3.87 8.72 5.80 6.87
104