Post on 12-Jan-2017
PENGARUH KUALITAS PEMERINTAHAN TERHADAP TINGKAT PENANAMAN MODAL
ASING DI NEGARA-NEGARA ASEAN PERIODE 2002-2008
TESIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat guna Memperoleh derajad sarjana S-2 Program Magister Manajemen
Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro
Oleh : Nicky Alfita Avianti
NIM C4A008071
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2010
PENGESAHAN TESIS
Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa tesis berjudul :
PENGARUH KUALITAS PEMERINTAHAN TERHADAP TINGKAT PENANAMAN MODAL
ASING DI NEGARA-NEGARA ASEAN PERIODE 2002-2008
Yang disusun oleh Nicky Alfita Avianti, NIM.C4A008071
telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 22 Juni 2010 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Prof. Dr. H. Sugeng Wahyudi, MM Drs. Mulyo Haryanyo, MSi
Semarang, 22 Juni 2010,
Universitas Diponegoro Program Pascasarjana
Program Studi Magister Manajemen Ketua Program
Prof. Dr. Augusty Ferdinand, MBA
Sertifikasi
Saya, Nicky Alfita Avianti, yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa
tesis yang saya ajukan ini adalah hasil karya saya sendiri yang belum pernah
disampaikan untuk mendapatkan gelar pada program magister manajemen ini
ataupun program lainnya. Karya ini adalah milik saya, karena itu
pertanggungjawaban sepenuhnya berada di pundak saya.
Semarang, 22 Juni 2010
Nicky Alfita Avianti
PENGESAHAN TESIS
Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa tesis berjudul :
PENGARUH KUALITAS PEMERINTAHAN TERHADAP TINGKAT PENANAMAN MODAL
ASING PERIODE 2002-2008 (Studi Kasus: Negara-Negara ASEAN)
Yang disusun oleh Nicky Alfita Avianti, NIM.C4A008071
telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Prof. Dr. H. Sugeng Wahyudi, MM Drs. Mulyo Haryanyo, MSi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Yesus Kristus, Tuhan dan juru
selamat penulis. Berkat izin dan segala berkatNya, Penulis dapat menyelesaikan
tesis yang berjudul “Pengaruh Kualitas Pemerintahan terhadap Tingkat
Penanaman Modal Asing Periode 2002‐2008 (Studi Kasus: Negara‐Negara
ASEAN).
Tesis ini merupakan penelitian mengenai bagaimana penanaman modal
asing yang masuk ke sebuah negara dipengaruhi oleh kualitas pemerintahan
negara itu sendiri. Banyak hal yang menjadi faktor pertimbangan pada investor
asing dalam melakukan investasi. Kondisi perekonomian dan politik merupakan
pertimbangan yang penting. Oleh karenanya, hal‐hal tersebut, yang tercermin
dari bagaimana kualitas suatu pemerintahan di negara‐negara anggota ASEAN
dijalankan merupakan faktor penarik perhatian para pemodal asing.
Penulis mengucapkan terima kasih terhadap pihak‐pihak yang
mendukung dan membantu penyelesaian tesis ini:
1. Prof. Dr. Augusty Ferdinand, MBA selaku Ketua Program Studi Magister
Manajemen Universitas Diponegoro.
2. Prof. Dr. H. Sugeng Wahyudi, MM dan Drs. Mulyo Haryano, Msi sebagai
dosen pembimbing tesis yang telah bersedia meluangkan waktu,
memberikan banyak arahan, masukkan, dan saran bagi tesis ini, sehingga
tesis ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya.
3. Orang tua penulis dan adik penulis yang senantiasa memberikan
perhatian dan dukungan terus‐menerys selama proses penyelesaian tesis
ini.
4. Amos Alogo Nainggolan yang memberikan banyak bantuan dan masukkan
dalam penyelesaian tesis ini.
5. Rayendra Khresna Brahmana yang memberikan saran‐saran, bantuan,
dan buku‐buku yang berguna bagi penulis.
6. Teman‐teman MM UNDIP angkatan XXXII malam dan XXXIII akhir pekan,
Natalia Mulyani Lukito, dan Michael Rosseno atas segala dukungan bagi
penyelesaian tesis ini.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu di sini.
Penulis berharap tesis ini dapat berguna bagi semua pihak terkait.
Semarang, 22 Juni 2010,
Nicky Alfita Avianti
ABSTRACT
Foreign Direct Investment (FDI) is an important source of fund for a country. FDI not only supporting a country’s economic growth, but also being a media for managerial and technological skill exchange. Due to its important role, government in a country tries to attract incoming FDI optimally. Government’s efforts are reflected through achieving a good quality of governance which is conducive for foreign investors.
Population of this study is countries in Asian region. Moreover, countries
in South East Asia, that is known as ASEAN will be the sample of this study, with regression, that is Ordinary Least Square (OLS) as the method in order to make an analysis. The time period of the study is from 2002 until 2008. The results indicate that Voice and Accountability and Political Stability and Absence of Violence have negative and significant influence to the incoming FDI; meanwhile Rule of Law has positive and significant influence towards incoming FDI.
Governances in ASEAN countries should maintain well macroeconomic
condition through suitable policies. The results of this study indicate that voice and accountability and political stability and absence of violence have negative effect to the oncoming FDI, meanwhile rule of law has positive effect to incoming FDI. Due to the result, governance in ASEAN countries should maintain the law certainty. Key words: incoming FDI, quality of governance, ASEAN
ABSTRAK
Penanaman Modal Asing (PMA) merupakan sumber modal yang penting bagi sebuah negara. Selain mendukung pertumbuhan ekonomi di suatu negara, PMA juga merupakan media untuk terjadinya pertukaran keterampilan manajerial dan penggunaan teknologi. Mengingat perannya yang penting, pemerintah di suatu negara berusaha menarik PMA secara optimal. Usaha pemerintahan tersebut terwujud dalam pencipataan kualitas pemerintahan yang kondusif bagi para investor asing.
Populasi dalam penelitian ini adalah negara‐negara di kawasan Asia.
Secara lebih khusus, negara‐negara di kawasan Asia Tenggara, atau lebih dikenal dengan nama ASEAN menjadi sampel dalam penelitian ini, dengan metode persamaan regresi, yaitu Ordinary Least Square (OLS) untuk mendapatkan hasil analisis. Periode pengamatan penelitian ini adalah dari tahun 2002 sampai dengan 2008. Hasil analisis sendiri menunjukkan bahwa Voice and Acountability dan Political Stability and Absence of Violence berpengaruh negatif signifikan terhadap PMA masuk; sedangkan Rule of Law berpengaruh positif signifikan terhadap PMA yang masuk.
Pemerintah di negara‐negara ASEAN hendaknya dapat mengembangkan
kondisi makroekonomi yang baik melalui kebijakan yang ada. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa voice and accountability serta political stability and absence of violence berpengaruh negatif terhadap aliran PMA masuk, sedangkan rule of law memiliki pengaruh positif terhadap aliran PMA masuk. Dengan demikian, pemerintah negara anggota ASEAN dapat lebih mengembangkan kepastian hukum di negara‐negara itu. Kata kunci: aliran PMA masuk, kualitas pemerintahan, ASEAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sebuah negara tentu melakukan kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi
tersebut bertujuan untuk mensejahterakan warga negaranya dengan
memenuhi kebutuhan melalui penggunaan sumber‐sumber daya yang
dimiliki. Dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat, pemerintah di
negara tersebut melakukan berbagai tindakan. Tindakan tersebut diwujudkan
dalam berbagai kebijakan. Kebijakan‐kebijakan yang disusun tersebut dapat
diimplementasikan di dalam suatu mekanisme pemerintahan. Dalam sebuah
pemerintahan yang baik, diharapkan timbul kebijakan yang tepat pula guna
mencapai keadaan ekonomi yang baik (Rothstein dan Teorell, 2005). Sebuah
pemerintahan yang kuat diperlukan untuk membangun kesejahteraan
masyarakat, karena lebih jauh lagi, hal tersebut akan berpengaruh pada pasar
secara regional dan bahkan secara internasional (Winarno, 2008).
Aliran modal merupakan pemegang peran penting dalam pertumbuhan
sebuah negara (Alfaro dan Ozcan, 2006; Kok dan Ersoy, 2009). Dewasa ini,
sumber dana dalam kegiatan ekonomi tidak hanya berasal dari internal suatu
negara saja. Aliran modal dari luar negeri pun menjadi pilihan yang tepat,
bahkan menjadi sumber dana yang penting. Aliran dana dari luar negeri itu
disebut dengan Foreign Direct Investment (FDI) atau Penanaman Modal Asing
(PMA). PMA dikatakan penting karena PMA membawa aliran modal ke dalam
suatu negara guna memperkaya negara bersangkutan (Marin dan Schnitzer,
2006; Kholdy dan Sohrabian, 2007). Selain itu, PMA juga mendorong
terjadianya pertukaran keterampilan manajerial dan masuknya teknologi‐
teknologi baru di antara negara‐negara yang terkait (Bosworth dan Collins,
1999).
Sehubungan dengan kebijakan yang dibentuk oleh sebuah sistem
pemerintahan, pemerintah sendiri memiliki peran penting dalam menarik
perhatian para investor asing. Pemerintah di berbagai negara di dunia
bertujuan untuk menarik minat para penanam modal asing (Marin dan
Schnitzer, 2006). Karena perannya yang penting, pemerintah hendaknya
menyusun kebijakan yang mendukung terciptanya iklim investasi yang
kondusif. Iklim investasi yang baik tersebut tentu dapat mendorong
optimalisasi keuntungan masuknya aliran modal asing bagi negara
bersangkutan (Alfaro dan Ozcan, 2006; Kok dan Ersoy, 2009).
PMA tidak akan terlepas dari hubungan ekonomi antara satu negara
dengan negara yang lain. PMA akan terkait dengan proses globalisasi,
terutama dalam hal ini berkaitan dengan ekonomi negara‐negara yang ada.
Aliran modal antar negara merupakan cerminan dari sumber pendanaan
utama di antara negara‐negara di dunia (Albuquerque, 2003). Aliran modal
antar negara juga terjadi negara‐negara di kawasan Asia Tenggara atau lebih
dikenal dengan nama ASEAN. Visi ASEAN sampai dengan tahun 2020 adalah
memperkuat perekonomian melalui strategi‐strategi perekonomian yang
mendorong pertumbuhan berkelanjutan di antara negara‐negara dalam satu
regional. Oleh karenanya negara‐negara ASEAN bergerak menuju hubungan
yang lebih erat dan terintegrasi dengan menjalankan sistem perdagangan
yang terbuka dan adil satu sama lain. ASEAN berkembang menjadi kawasan
yang stabil dan memiliki karakter yang kompetitif bagi setiap investasi yang
masuk melalui arus modal yang akan lebih leluasa bergerak (Implementation
of AFTA seminar, 2002).
Guna merealisasikan visi yang demikian, negara‐negara di ASEAN mulai
membentuk suatu asosiasi yang disebut ASEAN Free Trade Area (AFTA). AFTA
adalah persetujuan perdagangan di antara negara‐negara ASEAN. AFTA
dipelopori oleh Perdana Menteri Thailand pada waktu itu, Anand
Panyarachun yang menghadiri ASEAN Seniors Economic Official Meeting
(AEM) di Kuala Lumpur. Kemudian negara anggota ASEAN sepakat
menandatangani perjanjian AFTA di Singapura, pada Bulan Januari 1992.
Pada waktu itu anggora ASEAN terdiri dari enam negara: Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Anggota ASEAN
dilengkapi oleh Vietnam pada tahun 1995, Laos dan Myanmar pada tahun
1997, serta Kamboja pada tahun 1999. Tujuan didirikannya AFTA adalah
meningkatkan sisi kompetitif di negara‐negara ASEAN sebagai pelaku pasar
dunia melalui kebijakan pengurangan tarif dan menarik perhatian para
investor asing guna menanamkan modalnya ke negara‐negara ASEAN
(www.wikipedia.com).
Negara‐negara anggota ASEAN memiliki komitmen untuk bekerja sama
dalam integrasi ekonomi melalui AFTA. Pelaksanaan AFTA mendorong
terjadinya liberalisasi perdagangan antar anggota. Mulai Bulan Januari 2002,
AFTA dapat direalisasikan bagi negara‐negara anggota pertama ASEAN.
(Implementation of AFTA seminar, 2002).
Setiap negara anggota ASEAN tentu memiliki kebijakan masing‐masing
secara internal. Kebijakan tersebut menyangkut bagaimana pemerintahan
dijalankan guna mencapai kesejahteraan ekonomi warga negaranya.
Sebagimana diungkapkan di atas, kebijakan pemerintah di setiap negara pada
intinya bertujuan untuk menarik PMA. Investor asing sendiri tertarik untuk
menanamkan modalnya di negara‐negara dengan kondisi yang stabil dan
memberikan tawaran iklim investasi yang kondusif melalui susunan
kebijakan‐kebijakannya. Terdapat beberapa indikator untuk menilai
bagaimana volatilitas modal asing yang masuk dengan implemntasi kebijakan
pemerintah. Indikator pertama adalah makro ekonomi, seperti GDP,
kebijakan fiskal, inflasi, suku bungam nilai tukar, neraca pembayaran, dan
lain‐lain. Indikator kedua adalah kualitas pemerintahan itu sendiri. Kualitas
pemerintahan yang baik akan mengurangi volatilitas modal asing yang masuk
dan keluar di sebuah negara (Busari, 2006). Melalui kebijakan yang tepat,
sebuah negara dapat meningkatkan aliran modal masuk guna meningkatkan
perekonomian negara tersebut (Bosworth dan Collins, 1999).
Dibentuknya AFTA merupakan suatu langkah liberalisasi ekonomi di
antara negara‐negara bersangkutan. Keterbukaan ekonomi yang demikian
merupakan faktor yang memiliki pengaruh dalam menarik perhatian modal
asing masuk (Altinkemer, 1995; Kok dan Ersoy, 2009). Selain keterbukaan
ekonomi, negara‐negara ASEAN sebagai anggota dari AFTA menerapkan
kebijakan pemerintahan masing‐masing dengan kualitas yang baik guna
menarik PMA. Kebijakan‐kebijakan tersebut ditunjukkan melalui penilaian
terhadap enam variabel, yaitu: voice and accountability, political stability and
absence of violence, government effectiveness, regulatory quality, rule of law,
dan control of corruption.
Arah volatilitas tingkat aliran modal yang masuk ke negara‐negara
anggota ASEAN pasca realisasi AFTA tidak selalu seiring dengan arah
volatilitas nilai kualitas pemerintahan dari enam indikatornya. Bertambah
baiknya kualitas pemerintahan tidak selalu diiringi dengan penginkatan PMA
masuk, begitu pula sebaliknya. Hal ini menjadi fenomena gap dalam
penelitian ini. Hal tersebut dapat dicerminkan melalui tabel‐tabel di bawah
ini:
Tabel 1:
Tingkat PMA yang masuk pada periode tahun 2002‐2008 (dalam juta USD)
Negara Periode (tahun) Pengamatan 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Brunei Darussalam
1035 2009 103 289 434 184 239
Indonesia 145 597 1023 8337 4914 6928 7919 Malaysia 3203 2473 4624 3967 6048 8403 8053 Filipina 1792 347 469 1854 2921 2928 1520 Singapura 5822 9331 16060 13930 24743 24137 22725 Thailand 947 1952 1064 8048 9010 9575 10091 Vietnam 1200 1450 1610 2021 2360 6739 8050 Laos 25 19 17 28 187 324 228 Myanmar 191 291 556 236 143 428 283 Kamboja 145 84 131 381 483 867 815 Sumber: www.unctad.com
Persentase pertumbuhan untuk setiap negara adalah sebagai
berikut:
Brunei Darussalam 13.12%, Indonesia 51.53%, Malaysia 12.76%, Filipina
11.06%, Singapura 16.39%, Thailand 18.46%, Vietnam 12.12%, Laos
28.36%, Myanmar 4.49%, sedangkan Kamboja mengalami penurunan
PMA yang masuk sebesar ‐27.34%.
Tabel 2: Penilaian indikator kualitas pemerintahan (control of corruption)
Negara Periode (tahun) Pengamatan 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Brunei Darussalam
0.33 0.29 0.40 0.25 0.24 0.24 0.51
Indonesia -1.13 -0.97 -0.91 -0.87 -0.77 -0.69 -0.64 Malaysia 0.36 0.32 0.42 0.32 0.36 0.23 -0.14 Filipina -0.52 -0.51 -0.62 -0.64 -0.79 -0.79 -0.75 Singapura 2.37 2.31 2.31 2.17 2.19 2.22 2.34 Thailand -0.33 -0.26 -0.21 -0.13 -0.24 -0.41 -0.38 Vietnam -0.70 -0.62 -0.80 -0.80 -0.76 -0.68 -0.76 Laos -0.92 -1.01 -1.10 -1.16 -1.12 -1.04 -1.23 Myanmar -1.36 -1.38 -1.69 -1.62 -1.72 -1.47 -1.69 Kamboja -0.98 -0.93 -1.05 -1.18 -1.21 -1.11 -1.14 Sumber: www.govindicators.com
Penggunaan control of corruption sebagai salah satu indikator kualitas
pemerintahan merupakan sebuah ilustrasi. Kelima indikator kualitas
pemerintahan sebagai variabel independen akan dibahas lebih lanjut pada
bab 4, yaitu bagian analisis data.
Berdasarkan penelitian‐penelitian yang telah dilakukan, dikatakan bahwa
keterbukaan atau liberalisasi ekonomi diharapkan menarik aliran modal
masuk yang semakin tinggi. Keterbukaan ekonomi tersebut tentunya juga
didorong dengan penciptaan kebijakan yang tepat dan iklim investasi yang
kondusif bagi investasi oleh pemerintah di negara bersangkutan (Bosworth
dan Collins, 1999; Mody dan Murshid, 2004, Ghose, 2004, Arezki dan Funke,
2005; Lothian, 2005; Alfaro et al, 2006; Honig, 2006; Busari, 2006; Musila dan
Sigue, 2006; Ralhan, 2006). Namun demikian, ada pula penelitian‐penelitian
yang mengatakan sebaliknya. Kebijakan pemerintah pada awalnya
mendorong masuknya PMA dengan cepat, namun untuk selanjutnya justru
akan mendorong defisit pada current account yang menyebabkan devaluasi
serta aliran modal menjadi keluar (Altinkemer, 1995). Penilaian enam
indikator pemerintahan sebagai proxy kebijakan pemerintah dilakukan, tetapi
hanya tiga yang memiliki pengaruh posisitf signifikan terhadap masuknya
PMA; yaitu political stability and absence of violence, government
effectiveness, dan regulatory quality (Busari, 2006). Aliran modal masuk tidak
terpengaruh oleh adanya keterbukaan (globalisasi) ekonomi dan keadaan
politikal pada tingkat lokal sebuah negara (Meon dan Sekkat, 2007). Sebuah
liberalisasi ekonomi memang dikatakan memiliki pengaruh terhadap tingkat
PMA, namun kebijakan lokal pemerintah justru tidak memiliki pengaruh
terhadap tingkat PMA yang masuk (Buthe, 2008).
Studi ini berfokus pada penelitian bagaimana PMA yang masuk ke negara‐
negara ASEAN setelah perealisasian AFTA, sehubungan dengan pengaruh
kualitas pemerintah masing‐masing negara terhadap aliran PMA masuk.
Aliran modal masuk merupakan faktor penting yang mendukung
pertumbuhan ekonomi, sehingga jika terjadi penghentian aliran modal
tersebut, negara penerima akan mengalami pergerakan dalam ekonominya
(Calvo, 1998; Honig, 2006). Oleh karenanya, setelah terwujudnya
keterbukaan ekonomi melalui AFTA, pemerintah di negara‐negara ASEAN
hendaknya menerapkan pula keenam variabel penilaian kualitas
pemerintahan dengan baik guna menarik minat investasi asing. Hal ini
dikarenakan keterbukaan ekonomi yang telah direalisasikan melalui AFTA
diharapkan dapat semakin menarik PMA ke negara‐negara ASEAN. Namun di
sisi lain, kebijakan‐kebijakan di setiap negara yang juga menjadi faktor
penentu menjadi pertanyaan pula terhadap ekspektasi keterbukaan ekonomi
tersebut. Pertanyaan yang muncul itu terkait dengan jumlah PMA yang
masuk ke negara ASEAN setelah AFTA diberlakukan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik menyusun
penelitian dengan judul: “PENGARUH KUALITAS PEMERINTAHAN TERHADAP
TINGKAT PENANAMAN MODAL ASING DI NEGARA‐NEGARA ASEAN
PERIODE 2002‐2008”.
1.2 Perumusan Masalah
Sesuai tujuan dibentuknya AFTA yang ingin menarik perhatian para
investor asing untuk menanamkan modalnya di negara‐negara anggota
ASEAN, tingkat PMA yang terjadi pun seharusnya semakin baik. Namun
demikian, setiap negara anggota ASEAN tentu memiliki kebijakan masing‐
masing dalam mekanisme pemerintahannya. Hal tersebut menjadikan
ekspektasi akan PMA yang meningkat setelah realisasi keterbukaan ekonomi
pasca AFTA tidak selalu berada dalam kondisi ideal. PMA di negara‐negara
ASEAN tidak semua senantiasa berada pada tingkat yang baik atau stabil.
Berdasarkan keadaan yang terjadi tersebut, perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah adanya ketidak sinkronan antara nilai kualitas
pemerintahan dengan tingkat PMA yang masuk pasca realisasi AFTA mulai
tahun 2002.
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, dapat diuraikan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh voice and accountability terhadap tingkat PMA di
negara ASEAN pasca realisasi AFTA?
2. Bagaimanakah pengaruh political stability and absence of violence terhadap
tingkat PMA di negara ASEAN pasca realisasi AFTA?
3. Bagaimanakah pengaruh government effectiveness terhadap tingkat PMA di
negara ASEAN pasca realisasi AFTA?
4. Bagaimanakah pengaruh regulatory quality terhadap tingkat PMA di negara
ASEAN pasca realisasi AFTA?
5. Bagaimanakah pengaruh rule of law terhadap tingkat PMA di negara ASEAN
pasca realisasi AFTA?
6. Bagaimanakah pengaruh control of corruption terhadap tingkat PMA di
negara ASEAN pasca realisasi AFTA?
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sebagaimana masalah yang telah terurai di dalam latar belakang dan
perumusan masalah, penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan‐
pertanyaan pada perumusan masalah, yaitu bagaimana kebijakan
pemerintah yang dilihat dari enam variabel penilaian kualitas pemerintahan
berpengaruh terhadap tingkat PMA yang masuk setelah keterbukaan
ekonomi melalui AFTA dilakukan. Hal tersebut dikarenakan keterbukaan
ekonomi diharapkan dapat meningkatkan aliran dana masuk.
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menganalisis:
1. pengaruh voice and accountability dengan tingkat PMA di negara ASEAN
pasca realisasi AFTA
2. pengaruh political stability and absence of violence dengan tingkat PMA di
negara ASEAN pasca realisasi AFTA
3. pengaruh government effectiveness dengan tingkat PMA di negara ASEAN
pasca realisasi AFTA
4. pengaruh regulatory quality dengan tingkat PMA di negara ASEAN pasca
realisasi AFTA
5. pengaruh rule of law dengan tingkat PMA di negara ASEAN pasca realisasi
AFTA
6. pengaruh control of corruption dengan tingkat PMA di negara ASEAN pasca
realisasi AFTA
Dalam menjawab pertanyaan masalah di atas, penelitian ini diperuntukkan bagi
pihak‐pihak yang berkepentingan, antara lain:
1. Bagi pemerintah
‐ Agar pemerintah meningkatkan kualitas pemerintahannya demi memperoleh
situasi negara stabil, yang terwujud melalui peningkatan indikator‐indikator
seperti tersebut di atas. Dengan demikian, negara‐negara itu dapat menarik
perhatian investor asing untuk menanamkan modal mereka.
2. Bagi investor
‐ Sebagai bahan pertimbangan ketika hendak melakukan investasi ke negara
asing, khususnya dalam penelitian ini adalah negara‐negara di ASEAN. Dengan
kualitas pemerintahan yang baik, investor‐investor tersebut akan memiliki bahan
penilaian tersendiri.
3. Bagi peneliti sendiri
‐ Sebagai bahan pembelajaran mengenai betapa eratnya hubungan antara
kebijakan pemerintahan suatu negara dengan keadaan ekonomi negara tersebut,
dan dalam hal ini adalah bagaimana menarik penanaman modal asing guna
mendapat aliran dana dari luar.
‐ Sebagai bahan pembelajaran mengenai peran penting PMA dalam
perekonomian di suatu negara.
4. Bagi penelitian selanjutnya
‐ Sebagai acuan guna melanjutkan penelitian dengan topik penanaman modal
asing di suatu negara.
‐ Sebagai acuan guna melakukan penelitian lebih lanjut, dengan perubahan
dalam hal variabel atau sampelnya.
BAB II
TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN MODEL
Dalam melakukan investasi asing, para investor memiliki pertimbangan
sendiri. Pertimbangan itu terarah kepada berbagai faktor di negara‐negara
tempat tujuan investasi. Faktor industri yang akan dimasuki merupakan
pertimbangan para investor. Investor harus memutuskan akan menanamkan
modalnya di sebuah bidang industri. Namun demkian, sebelum memasuki taraf
industri, investor terlebih dahulu memutuskan di negara mana ia akan
menanamkan modalnya. Hal tersebut berkaitan dengan globalisasi, di mana
investor harus dapat bersaing dalam industri yang ia pilih. Lebih lanjut lagi,
persaingan tersebut dapat dimenangkan jika investor telah secara tepat
memutuskan menanamkan modalnya di negara yang mendukung usaha
industrinya (Solnik dan McLeavey, 2009).
Secara garis besar, faktor biaya dan manfaat merupakan dua hal yang
menjadi pokok pertimbangan. Investor asing tentu menginginkan adanya
efisiensi dalam investasinya dengan keuntungan yang optimal di negara asing.
Hal ini seiring dengan teori lingkungan eksternal dalam Manajemen Strategik.
Penggunaan Agency Theory juga diimplementasikan di penelitian ini
karena pemerintah di suatu negara merupakan agen yang ‘digunakan’ oleh
warga negaranya, selaku prinsipal di negara bersangkutan. Pemerintah sebagai
agen berusaha menciptakan kualitas pemerintahan yang baik untuk
meningkatkan kesejahteraan warga negaranya dengan menarik PMA masuk.
2.1 Telaah Pustaka
2.1.1 Lingkungan Eksternal pada Manajemen Strategik
Dalam lingkup sebuah institusi, ada dua faktor yang mempengaruhi
jalannya institusi itu. Faktor pertama adalah faktor internal perusahaan itu
sendiri, sedangkan faktor yang kedua adalah faktor eksternal. Faktor eksternal
merupakan faktor di luar kendali perusahaan yang mempengaruhi performa
perusahaan tersebut (Pearce dan Robinson, 2007).
Faktor eksternal terdiri dari remote environtment, industry environment,
dan operating environment. Implementasi teori lingkungan eksternal dalam
penelitian ini diarahkan kepada remote environment, karena menyangkut
beberapa faktor yang menyangkut bagaimana pemerintahan suatu negara
nantinya mempengaruhi tingkat PMA yang masuk.
Remote environment terdiri dari faktor ekonomi, sosial, politik, teknologi,
dan ekologi. Pada dasarnya faktor ekonomi mempertimbangkan bagaimana
sebuah institusi menghadapi perkembangan ekonomi sesuai bidang usahanya.
Impelementasi faktor ekonomi pada sudut pandang investor adalah ketika
investor tersebut mempertimbangkan faktor‐faktor makro ekonomi di negara
yang berpotensi dimasukinya, seperti tingkat suku bunga, tingkat inflasi,
pertumbuhan GNP. Dalam skala yang lebih luas, faktor ekonomi akan tercermin
dengan adanya keterbukaan dan kerja sama ekonomi antar negara guna
mendorong pertumbuhan ekonomi di negara‐negara anggota kerja sama itu.
Faktor sosial berkaitan dengan gaya hidup orang‐orang atau pihak yang
berkaitan dengan operasional sebuah institusi, termasuk kepercayaan, nilai yang
dianut, perilaku, dan pendapat‐pendapat mengenai sesuatu. Suatu gaya hidup
akan berpengaruh pada bagaimana pandangan pihak‐pihak tersebut terhadap
suatu kegiatan ekonomi.
Faktor politik mengacu pada peraturan dan hukum yang berlaku.
Peraturan tersebut dapat menyangkut perpajakan, upah tenaga kerja, kebijakan
harga, dan lain‐lain. Dengan pemberlakuan kebijakan‐kebijakan tertentu,
pemerintah dapat menyusun strategi, yang khususnya dalam penelitian ini
menyangkut bagaimana pemerintah menarik minat para investor asing.
Faktor teknologi mendorong sebuah institusi memperhatikan
perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi mendorong terciptanya
produk yang akan menarik perhatian konsumen.
Faktor ekologi mengarah pada hubungan manusia dengan benda lain di
bumi ini. Ilustrasi faktor ekologi tercermin pada keadaan alam yang tercemar
oleh karena kegiatan usaha dari perusahaan‐perusahaan.
(Pearce dan Robinson, 2007).
Keterkaitan antara remote environment sebagai bagian dari lingkungan
eksternal dengan penelitian ini teruwujud pada faktor ekonomi dan faktor
politik. Dalam faktor ekonomi, terdapat sebuah konsep mengenai transaction
cost atau biaya transakasi. Biaya transaksi timbul ketika perusahaan memasuki
pasar asing, di mana perusahaan tersebut belum mengetahui karakteristik
negara tuan rumah serta peraturan yang berlaku (Casseres dan Yoffie, 1993).
Menurut Allen (1999) biaya transaksi mengacu pada biaya‐biaya yang
dikeluarkan guna menghindari terjadinya pemerikasaan‐pemeriksaan dalam
sebuah pertukaran dalam sebuah pasar. Sementara, Ning (2003) menjelaskan
bahwa biaya transaksi merupakan biaya yang juga timbul ketika terjadi sebuah
pertukaran pada pasar terbuka. Biaya transaksi tidak dapat dihindarkan dalam
semuah PMA yang masuk ke sebuah negara. Investor tentu akan menjadikan
biaya transaksi sebagai pertimbangan. Hal ini dikarenakan investor asing harus
mengeluarkan biaya lain di luar biaya untuk berinvestasi itu sendiri. Biaya lain
yang harus dikeluarkan oleh investor asing ini tentu berkaitan dengan peraturan
pemerintahan, ketersediaan informasi, dan proses implementasi bidang usaha
bersangkutan di negara tempat ia akan berinvestasi (Casseres dan Yoffie, 1993).
Lebih lanjut lagi, keterkaitan antara biaya transaksi dengan pemerintahan sebuah
negara terhubung dalam Trasnsaction Cost Economics (TCE). TCE menekankan
bahwa pengaturan biaya tambahan harus dilakukan sebaik pengaturan proses
investasi pokoknya (Shelenki dan Klein, 1995). TCE dapat digunakan dalam
transaksi ekonomi yang lebih luas, termasuk di dalamnya mengenai bagaimana
struktur pemerintahan sebuah negara mengatur jalannya transaksi ekonomi
melalui kebijakan yang mereka ciptakan serta bagaimana hubungan antara
pemerintah dengan para calon investor asing (Shelanki dan Klein, 1995; Ning,
2003).
Secara umum, dalam faktor ekonomi, keadaan makro ekonomi yang baik
dalam sebuah negara merupakan daya tarik tersendiri bagi para investor. Jika
investor asing merasa keadaan makro ekonomi dapat menciptakan iklim
investasi yang kondusif, maka investor akan tertarik menanamkan modalnya di
negara bersangkutan.
Segala keadaan makro ekonomi yang demikian tercermin dari kebijakan‐
kebijakan yang diambil oleh pemerintah negara tersebut. Pemerintah memegang
peran penting dalam mendukung kemajuan ekonomi negaranya. Pemerintah
memiliki kedudukan yang kuat secara ekonomis dan politis karena memiliki
kewenangan mempengaruhi tinggi‐rendahnya halangan memasuki pasar
(Muhammad, 2000). Hal ini terkait dengan faktor politik. Pada dasarnya, keadaan
politik yang stabil merupakan faktor penunjuang masuknya investasi asing (Solnik
dan McLeavey, 2009). Hal ini karena politik menyangkut peraturan‐peraturan
mengenai PMA yang akan masuk, di mana peraturan di sebuah negara menjadi
bahan pertimbangan investor asing. Jika peraturan untuk proses penanaman
modal berbelit‐belit dan tidak pasti, investor asing tentu akan memilih negara
lain sebagai tempat berinvestasi (Muhammad, 2000).
Penggunaan faktor politik dalam penelitian ini berkaitan dengan
pelaksaan hukum di sebuah negara. Hukum di sebuah negara sering kali
dipengaruhi oleh kekuasaan dan politik. Jika demikian, hukum dikatakan belum
mandiri. Pemerintahan sering melakukan intervensi terhadap hukum, di mana
tidak jarang terjadi korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam proses
hukum. Ketidak pastian pelaksanaan hukum, yang dalam hal ini berkaitan dengan
kualitas pemerintahan dalam penerimaan modal masuk menjadi bahan
pertimbangan para investor asing (Muhammad, 2000).
2.1.2 Makroekonomi dan PMA
Sebelum pembahasan mengenai kualitas pemerintahan dengan tingkat
PMA yang masuk, terdapat faktor lain yang juga mendorong tingkat PMA yang
masuk. Faktor lain tersebut adalah faktor makroekonomi, di mana pemerintah
pun memiliki peran dalam menciptakan kondisi makroekonomi yang kondusif
guna menarik perhatian para investor asing (Parjiono, 2007).
Makroekonomi di suatu negara berhubungan dengan tingkat PMA yang
masuk. Banyak variabel yang termasuk di dalam masalah makroekonomi. Faktor‐
faktor tersebut memiliki pengaruh terhadap tingkat PMA yang masuk. Faktor
dalam makroekonomi suatu negara merupakan salah satu analisis bagi para
investor asing, yaitu termasuk di dalam analisis negara (country analysis). Iklim
investasi di sebuah negara merupakan bahan pertimbangan para investor asing,
di mana di dalamnya mencakup segal kebijakan yang menyangkut keadaan
makroekonomi negara itu, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, masalah
ketenagakerjaan, bahkan keadaan sosial dan politik negara itu (Solnik dan
McLeavey, 2009).
Namun demikian, pembahasan dalam penelitian ini pada akhirnya
mengarah kepada pengaruh kualitas pemerintahan terhadap tingkat PMA yang
masuk ke negara bersangkutan. Faktor‐faktor di dalam makroekonomi tersebut
adalah sebagai berikut:
2.1.2.1 Pengangguran
Menyediakan kesempatan kerja yang sesuai dengan jumlah tenaga kerja
yang tersedia merupakan tanggung jawab penting suatu perekonomian. Dalam
perkembangannya, semakin banyaknya perusahaan swasta semakin mendorong
perkembangkan kesempatan kerja. Namun demikian, pemerintah tetap
bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan kerja warga negaranya
(Sukirno, 2000).
Sehubungan dengan tingkat PMA yang masuk, hal yang harus
diperhatikan adalah kemampuan tenaga kerja lokal dalam bidang manajerial dan
penggunaan teknologi yang akan dibawa serta oleh para investor asing (Parjiono,
2007). Jika tenaga kerja dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan para
investor asing, tingkat PMA yang masuk ke negara bersangkutan akan membaik.
Hal lain yang menjadi perhatian pemerintah dalam hal ini adalah biaya tenaga
kerja, di mana investor asing akan mempertimbangkan besarnya biaya tenanga
kerja yang harus mereka keluarkan dibandingkan dengan hasil investasi mereka
(Agiomirgianakis et al, 2006).
Faktor‐faktor tersebut di atas hendaknya mendorong pemerintah
menciptakan kebijakan investasi terkait yang sesuai sehingga menarik PMA
masuk lebih banyak lagi.
2.1.2.2 Inflasi
Inflasi merupakan keadaan di mana harga‐harga meningkat secara umum
di sebuah negara. Penyebab inflasi bukan hanya berasal dari penawaran uang
yang berlebihan tetapi didorong oleh faktor lain, seperti kenaikan gaji, ketidak
stabilan politik, pengaruh inflasi luar negeri, dan kemerosotan nilai mata uang
(Sukirno, 2000).
Inflasi yang tinggi menunjukkan ketidakstabilan makroekonomi di suatu
negara. Hal ini merupakan faktor penghambat masuknya PMA, karena para
investor asing enggan menanamkan modal di negara dengan ongkos produksi
yang tinggi (Rezafimahefa dan Hamori, 2005). Dengan demikian pemerintah
suatu negara hendaknya mengatur kebijakan yang berkenaan dengan jumlah
uang beredar di pasar, di mana hal ini terkait dengan tingkat inflasi.
2.1.2.3 Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi jangka panjang. Di
setiap periode suatu masyarakat akan menambah kemampuan dan faktor
produksi laiinya untuk memproduksi barang dan jasa. Namun demikian, tidak
semua negara dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang sesuai dengan
perkembangan kemampuan memproduksi yang dimiliki oleh faktor produksi
yang semakin meningkat (Sukirno, 2000).
Dengan kebijakan pemerintah yang tepat, diharapkan faktor produktivitas
total meningkat sehingga keadaan makroekonomi menjadi stabil. Pertumbuhan
ekonomi sendiri dapat disoroti melalui siklus bisnis dan pertumbuhan
berkelanjutan jangka panjang di negara bersangkutan. Pertumbugan jangka
panjang tersebut tercermin dari tingkat GDP (Gross Domestic Producy) negara
itu, di mana tingkat GDP yang tinggi mendorong investasi asing yang masuk lebih
banyak lagi (Rezafimahefa dan Hamori, 2005; Solnik dan McLeavey, 2009).
2.1.2.4 Kurs Valuta Asing (Valas)
Persoalan akan timbul ketika negara tidak dapat menjadi kestabilan kurs
valasnya. Hal ini terjadi ketika terdapat impor yang berlebihan. Karena impor
yang berlebihan tersebut, mata uang domestik menjadi turun sehingga harga
barang impor tersebut menjadi mahal dan mempercepat inflasi. Nilai mata uang
yang merosot dan keadaan yang tidak pasti tersebut mengurangi gairah
penanam modal asing untuk berinvestasi sehingga hal ini akan memperlambat
ekspansi ekonomi di masa depan (Sukirno, 2002; Rezafimahefa dan Hamori,
2005).
2.1.3 Agency Theory (Teori Agensi)
Teori keagenan pertama kali dikemukakan oleh Adam Smith. Adam Smith
merupakan tokoh yang memperhatikan pemisahan antara kepemilikan dan
pengendalian (Kiser, 1999). Teori keagenan dapat digunakan di dalam
perekonomian (Berhold, 1971; Ross, 1973; Jensen dan Meckling, 1976 dalam
Kiser, 1999). Teori keagenan menggambarkan hubungan diantara prinsipal dan
agen. Prinsipal merupakan pihak yang memiliki kekuasaan dan kemampuan
untuk mendelegasikan kekuasaannya itu kepada agen guna melaksanakan
segalanya dengan benar. Agen dapat didefinisikan sebagai pihak yang disewa
oleh prinsipal untuk mengerjakan tugas sebagaimana yang didelegasikan.
Prinsipal dan agen bekerja bersama‐sama untuk mencapai satu tujuan, meskipun
terdapat beberapa perbedaan diantara kedua belah pihak dari sisi toleransi
terhadap risiko (Jensen dan Meckling, 1976; Kathleen, 1989; Crutchfield, 1995).
Jensen dan Meckling (1976) mengatakan bahwa prinsipal dan agen tidak
selalu sejalan. Terdapat beberapa masalah yang umum terjadi. Masalah‐masalah
tersebut berhubungan dengan orientasi kedua pihak. Pertama, terdapat
perbedaan dalam hal tujuan. Masalah akan muncul ketika prinsipal tidak dapat
mendeteksi atau memonitor apa yang dilakukan oleh agen, apakah agen bekerja
dengan baik atau tidak. Kadang‐kadang prinsipal tidak dapat menilai apakah agen
berkelakuan baik atau tidak. Masalah kedua adalah mengenai perbedaan kedua
pihak dalam hal toleransi risiko. Toleransi berbeda terhadap risiko ini
berpengaruh terhadap apa yang akan mereka lakukan. Adalah sangat mungkin
terjadi perbedaan keingnan dan orientasi dalam menyelesaikan beberapa
masalah (Jensen dan Meckling, 1976; Kathleen, 1989).
Masalah lain ditemukan oleh Kiser (1999), di mana masalah ini dilihat dari
sudut pandang sosial. Alasan mengapa agen sering kali memiliki pendapat yang
kontra dengan prisipal adalah karena agen memiliki informasi yang lebih banyak
mengenai apa yang harus mereka lakukan dari pada informasi yang dimiliki oleh
prinsipal. Pernyataan ini merupakan masalah klasik dalam keagenan. Delegasi
kekuasaan mengarah kepada masalah pengendalian akibat konflik kepentingan
antara prinsipal dan agen. Secara umum, masalah ini berpulang kepada tipe agen
yang dipilih, efektivitas pengawasan, dan sanksi yang diberikan (Weber dalam
Kiser, 1999).
Dalam teori keagenan, terdapat perilaku oportunistik. Perilaku
oportunistik terwujud ketika agen memanfaatkan informasi yang mereka miliki
untuk memaksimalkan keuntunyan mereka sendiri. Dalam skala perusahaan,
manajer sebagai agen memanfaatkan informasi dari insider dan outsider, di
mana informasi itu tidak dimiliki oleh shareholder (prinsipal) untuk sebuah
pengambilan keputusan guna maksimalisasi tujuan manajer itu sendiri (Sun dan
Rath, 2008). Hal tersebut dapat terjadi ketika pemerintah sebagai agen di negara
memanfaatkan informasi yang ada untuk mengelola negara melalui kebijakan.
Hal tersebut tercermin dari adanya penilaian yang tidak stabil akan variabel‐
variabel pada kualitas pemerintahan.
Teori keagenan dapat diaplikasikan dalam ekonomi. Teori keagenan
berfokus pada hubungan antara pemerintahan (Kathleen, 1989). Lebih lanjut lagi,
teori keagenan tidak hanya dapat diaplikasikan pada ekonomi, tetapi juga pada
implementasi kebijakan (Kiser, 1999).
Pemerintah merupakan agen di negaranya masing‐masing, di mana
tindakannya termasuk dalam mencipatakan peraturan dan memastikan
peraturan tersebut ditaati. Pemerintah merupakan fokus dari tujuan utama
mengapa warga negara ‘menggunakan’ mereka dalam menjalankan sebuat
teritori melalui penetapan kebijakan‐kebijakan. Pemerintah menggunakan
kekuasaannya dalam memelihara keamanan dan menyejahterakan warga
negaranya. Oleh karena itu, kualitas pemerintahan yang baik dibutuhkan dalam
sebuah negara (Monet dan Islam, 2005).
Terdapat tiga hal yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Hal ini
menunjukkan bahwa pemerintah memang merupakan agen di negaranya.
Tanggung jawab pertama disebut “culpability”, yang berarti agen harus dapat
bertanggung jawab atas tindakannya. Tanggung jawab kedua adalah “capacity”
yang berfokus pada efektivitas agen, yang menggambarkan prioritas pencapaian
perubahan yang diinginkan, sekalipun perubahan tersebut memerlukan biaya.
Tanggung jawab ketiga disebut “concern”. Pengalokasian tanggung jawab dalam
pemerintahan bergantung kepada perhatian prinsipal, di mana motivasi utama
setiap tindakan berfokus pada pihak‐pihak yang terkena dampak dari tindakan
tersebut (Karlsson, 2007).
Terkait dengan hubungan anntara sebuah negara dengan tingkat PMA
yang masuk, teori keagenan dapat pula digunakan. Namun demikian, teori ini
lebih tepat disebut sebagai Reciprocating Agency Theory. Hal ini dikarenakan
adanya kerja sama ekonomi antara dua negara mendorong semua pihak sebagai
prinsipal sekaligus agen. Hal mengenai peran prinsipal dan agen di masa yang
akan datang akan diimplementasikan seiring berjalannya kesepakatan. Di dalam
Reciprocating Agency Theory, terdapt mutual dependencies. Masing‐masing
negara memiliki aset dan keunggulan sendiri di mana negara‐negara tersebut
akan menggunakan aset mereka guna mendapatkan imbalan yang optimal dari
negara rekan dalam PMA (McLarney dan Rhyno, 2000).
2.1.4 Konsep Keterbukaan (Liberalisasi) Ekonomi
Kegiatan ekonomi di suatu negara seringkali menghadapi banyak
masalah. Terdapat dua jenis perekonomian di masa lalu. Bentuk pertama
mendukung adanya peran pemerintahan dalam pertumbuhan ekonomi. Para
pendukung jenis ekonomi itu disebut “aktivis kebijakan”, di mana para aktivis ini
mendukung paham Keynesian. Jenis ekonomi kedua adalah jenis yang
mengatakan peran pemerintah dalam perekonomian justru membuat keadaan
menjadi lebih buruk. Sistem pasar bebas akan mengatasi segala masalah, seperti
inflasi dan pengangguran. Jenis ekonomi ini disebut ekonomi klasik (Sukirno,
2000).
Pasar biasanya merupakan jalan yang baik dalam mengorganisir kegiatan
ekonomi. Namun demikian, peran pemerintah tetap diperlukan. Hal ini
dikarenakan pemerintah dapat menciptakan efisiensi dan ekuitas. Tujuan utama
dari kebijakan pemerintah adalah meperbesar jangkauan kegiatan ekonomi. Oleh
karenanya, pemerintah sebagai ‘invisible hand’ akan mendorong alokasi sumber
daya yang efisien. Namun demikian, ‘invisible hand’ dapat pula tidak bekerja
dengan sebagaimana mestinya. Keadaan ini disebut dengan “market failure”, di
mana situasi menunjukkan bahwa pasar telah gagal mengalokasikan sumber‐
sumber daya yang ada secara efisien (Mankiw, 2001). Lebih jauh lagi, Mankiw
juga berpendapat bahwa penyebab kegagalan pasar adalah eksternalitas.
Eksternalitas adalah efek dari tindakan sebuah pihak. Penyebab lain kegagalan
pasar adalah kekuatan pasar. Kekuatan pasar sendiri merupakan kemampuan
seseorang (atau satu kelompok kecil) untuk mempengaruhi harga pasar. Invisible
hand menjadi gagal mendistribusikan kesejahteraan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pemerintah tidak selalu dapat meningkatkan hasil dari tindakan
perekonomian.
Aliran modal merupakan seuatu kebutuhan bagi sebuah negara. Aliran
modal digunakan sebagai sumber dana dalam menjalankan aktivitas‐aktivitas
perekonomian, melalui peningkatan investasi (Ghose, 2004). Strategi‐strategi
dari pemerintah dalam menarik perhatian investor asing guna menanamkan
modalnya harus diatur dengan baik. Dua hal yang menjadi fokus perhatian
terkait dengan pelaksanaan posisi fungsional. Strategi pertama adalah proposisi
pemasaran negara penerima terhadap investor asing mengenai karakter
institusional, ekonomi, dan variabel industri. Strategi kedua adalah pelaksanaan
posisi eksperiental. Strategi kedua ini mempertimbangkan berbagai elemen,
seperti kualitas hidup negara penerima dan keterbukaan terhadap investor asing
(Musila dan Sigu, 2006).
Sebagimana pentingnya peran sebuah pemerintahan, keterbukaan
peradagangan dan finansial memainkan peran yang penting dalam
perkembangan keuangan di antara negar‐negara di dunia (Baltagi, et al, 2007).
Liberalisasi modal pada aliran dana internasional dapat mendiversifikasi risiko
dan mengurangi pergerakan, meningkatkan disiplin pasar yang berujung pada
alokasi dana efisien dan tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Guna mencapai
tujuan‐tujuan tersebut, banyak negara mencoba melakukan tindakan
pengendalian aliran modal. Aliran modal akan mendorong situasi ekonomi makro
menjadi lebih baik, tingkat suku bunga yang rendah, dan tingkat persediaan uang
yang lebih tinggi. Di lain pihak, aliran modal keluar membawa depresiasi dan
resesi yang mungkin berujung kepada krisis. Oleh karena itu aliran dana masuk
harus ditingkatkan dan aliran dana keluar hendaknya dicegah (Bosworh dan
Collins, 1999; Block dan Forbes, 2004; Ralhan 2006).
2.1.5 Konsep Kualitas Pemerintahan
Pemerintahan sudah tentu dilakukan di setiap negara. Lebih jauh lagi,
pemerintahan hendaknya berada pada kondisi yang baik guna menyejahterakan
warga negaranya. Pemerintahan terdiri dari tradisi dan institusi di mana
kekuasaan dalam sebuah negara dijalankan (Rothstein dan Teorell, 2005). Hal
tersebut termasuk proses bagaimana pemerintah diseleksi, diawasi,dan
digantikan. Masih menurut Rothstein dan Teorell (2007), kualitas pemerintahan
tidak hanya dinilai berdasarkan perekonomian negara tersebut, tetapi juga dinilai
oleh faktor lain. Kualitas pemerintahan berarti terdapat kemampuan institusi
dalam pelaksanaan kekuasaan pemerintah.
Terdapat beberapa model baru tentang pemerintahan. Pemerintahan di
dalam sebuah negara mengacu pada aktivasi: menciptakan negara sejahtera.
“Aktivasi” merupakan tujuan utama dari proses transformasi kebijakan sosial
dalam sebuah negara. Pemerintahan tidak hanya mengacu pada “apa”, tetapi
pada “bagaimana” proses penciptaan dan pelaksanaan kebijakan‐kebijakan.
Fokus pemerintahan tidak terdapat pada program, tetapi pada institusi sebagai
pembuat dan pelaksana kebijakan‐kebijakan tersebut (Berkel dan Borghi, 2007).
Kualitas pemerintahan berfokus pada proses, sistem, praktek, dan
prosedur tentany bagaimana pemerintah menjalankan institusi, pelaksanakan
regulasi, dan hubungan di antara peraturan‐peraturan yang telah diciptakan.
Pemerintahan menyangkut implementasi kekuatan yang dimiliki oleh
pemerintah (Rothstein dan Teorell, 2005). Di negara‐negara berkembang,
kualitas pemerintahan mendukung pertumbuhan ekonomi negara itu. Hal itu
berarti bahwa kualitas pemerintahan merupakan kunci dari keberhasilan
ekonomi sebuah negara. Pemerintahan merupakan pihak yang membuat
peraturan dan melaksanakan peraturan yang telah mereka ciptakan. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa peran pemerintah dalam sebuah negara harus
terorganisir dengan baik, transaparan, dapat dijangkau, dan berorientasi ke
depan. Hal tersebut dikarenakan kualitas pemerintahan yang baik akan
mendorong perbaikan dalam pertumbuhan ekonomi (Rothstein dan Teorell,
2005; OECD Guiding Principles for Regulatory Quality and Performance, 2005).
2.1.6 Konsep Aliran Modal
Aliran modal berhubungan dengan investasi. Terdapat beberapa bentuk
investasi, yaitu investasi langsung, investasi tidak langsung, investasi lokal, dan
investasi asing. Dewasa ini, investasi langsung dan tidak langsung lebih diarahkan
kepada investasi asing. Hal itu didorong oleh imbal hasil yang lebih menarik atau
tingkat risiko yang lebih rendah dari pada investasi lokal murni. Hal ini
dikarenakan akses bagi para investor asing sekarang tergolong mudah (Gitman
dan Joehnk, 1998).
Aliran modal internasional menggambarkan sumber pendanaan dalam
aktivitas ekonomi di negara‐negara berkembang (Albuquerque, 2003). Aliran
modal berarti terdapat perpindahan modal dari satu negara ke negara lain, di
mana terdapat perpindahan dana dari sebuah negara ke negara lain (Marin dan
Schnitzer, 2006). Aliran modal mendorong alokasi sumber daya global dan
meningkatkan tingkat investasi serta pertumbuhan di banyak negara (Ralhan,
2006). Sehubungan dengan aliran dana, terdapat istilah ‘capital flight’. Capital
flight merupakan gerakan yang penting dari arus aliran dana dari negara industri
ke negara berkembang. Capital flight tersebut dapat digolongkan dalam jangka
waktu pendek dan panjang.
Aliran modal merupakan hal yang menjadi tujuan banyak negara karena
merupakan bentuk sumber dana dan dapat menstimulasi pertumbuhan di
negara berkembang. Oleh karena itu, aliran modal mendorong kesejahteraan
masyarakat. Kesejahteraan yang diperoleh melalui berkembangnya aliran dana
masuk dikatakan sama dengan perdangangan barang dan jasa internasional.
Aliran modal selalu diterima oleh banyak negara dan lebih lanjut lagi akan diatur
tergantung kebutuhan setiap sektor di negara bersangkutan (Berument dan
Dincer, 2001). Pengimplementasian adanya aliran modal tidak hanya mendorong
meningkatnya investasi antar negara, tetapi juga menghasilkan pertukaran
keterampilan manajerial dan teknologi di antara negara‐negara itu.
Terdapat tiga jenis aliran modal: Foreign Direct Investment (FDI) atau
Penanaman Modal Asing (PMA), portofolio, dan bentuk aliran modal lainnya.
Setiap bentuk aliran modal memiliki pergerakan masing‐masing yang berbeda
satu sama lain, tergantung pada porsi setiap bentuk aliran modal dan kebijakan
yang ada (Broto, et al, 2008).
Aliran modal masuk berskala internasional merupakan sumber dana utama
dalam sebuah negara.
PMA merupakan bentuk aliran modal masuk yang paling banyak diminati
guna mendorong pertumbuhan ekonomi, dibandingkan bentuk aliran modal
masuk lainnya. Sebagai ilustrasi, sekitar tahun 1990 an dan 1992, pertumbuhan
di beberapa negara Amerika Latin dipengaruhi oleh PMA. Alasan lain mengapa
PMA menjadi bentuk aliran modal yang paling diminati adalah karena PMA lebih
tidak volatile dari pada bentuk aliran modal lain (Albuquerque, 2002; Batiz dan
Oliva, 2002; Stefanovic, 2008).
Menurut Ahmed, et al (2005), PMA paling banyak diminati oleh negara‐
negara karena beberapa alasan. Pertama, adalah karena telah terbukti bahwa
PMA lebih stabil. Bukti ini terjadi pada masa‐masa krisis. Sekitar krisis tahun
1980, PMA di negara Amerika Latin memang mengalami pergerakan, namun
demikian pergerakan pasar obligasi jauh lebih besar. Kedua, PMA merupakan
bentuk investasi yang sesuai dengan diversifikasi risiko. Ketiga, PMA merupakan
wadah pertukaran teknologi baru, peningkatan kemampuan tenaga kerja, dan
peningkatan akses ke pasar (Albuquerque, 2002; Stefanovic, 2008). Pemerintah
hendaknya mendorong masuknya PMA. PMA merupakan bentuk aliran modal
yang paling sesuai di masa‐masa kesulitan keuangan (Berument dan Dincer,
2001; Ahmed, et al, 2005).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Stefanovic (2008), PMA
merupakan faktor penting bagi perkembangan ekonomi. Dewasa ini, PMA
merupakan mekanisme aliran modal yang penting dalam perekonomian global.
PMA tidak hanya penting bagi negara penerima, namun juga penting bagi
investor asing sendiri. Bagi negara penerima, PMA memberikan kontribusi pagi
pertumbuhan aktivitas usaha, mendorong aktivitas ekspor, dan pengembangan
kemampuan manajerial bagi tenaga kerja lokal.
Kendali terhadap modal masuk ke dalam suatu negara penting dilakukan.
Dengan pengendalian modal, sebuah negara dapat menghindari aliran dana
masuk yang terjadi dalam jangka pendek saja. Aliran modal masuk jangka
panjang merupakan tujuan negara bersangkutan guna mengembangkan investasi
lokal di negara itu sendiri (Bosworth dan Collins, 1999; Bustelo, 2004).
PMA dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, tergantung kondisi negara
penerima dan investor asing. PMA dapat berbentuk kepemilikan asing penuh,
joint venture di mana investor asing membagi kepemilikannya dengan investor
lokal, ‘fading‐out’ agreements di mana perlahan‐lahan investor lokal akan
mengambil alih kepemilikan investor asing, Lisensi teknologi, franchise produk
atau merk, kontrak manajemen, dan persetujuan pembagian hasil produksi
(Musila dan Sigu, 2006).
Secara umum, aliran modal mengarah kepada pergerakan modal dari satu
negara ke negara lain. Banyak negara berkompetisi mendapatkan keuntungan
dari aliran modal yang masuk guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Aliran modal masuk memainkan peranan penting dalam perekonomian negara
penerima. PMA merupakan bentuk aliran modal masuk yang paling diminati
karena PMA adalah bentuk penanaman modal yang stabil dari pada bentuk aliran
modal masuk lainya. Lebih jauh lagi, PMA menjadi sumber pendanaan yang
penting bagi banyak negara.
Investor asing yang menanamkan modalnya dapat diwujudkan dalam
Multinational Corporation (MNC). Dari sudut pandang investor, penanaman
modal ke luar negeri membutuhkan pertimbangan‐pertimbangan. Sebagaimana
telah disinggung di bagian teori faktor eksternal pada manajemen strategik,
terdapat faktor lain yang juga menjadi bahan pertimbangan investor. Faktor
tersebut adalah faktor cost and benefit atau biaya dan keuntungan dari investasi
yang akan dilakukan di luar negeri (Sartono, 2001). Secara singkat faktor biaya
dan keuntungan mendorong investor mempertimbangkan berapa biaya yang
harus ia keluarkan dibandingkan dengan keuntungan yang didapatkannya saat
melakukan investasi asing. Dengan mempertimbangkan faktor biaya dan
keuntungan investor asing berharap dapat beroperasi lebih kompetitif di negara
tempat ia menanamkan modal (Kuncoro, 2000).
Faktor biaya dan keuntungan juga dirasakan oleh negara penerima PMA yang
masuk. Manfaat modal asing yang masuk diwujudkan dengan didapatkannya
aliram modal dan peralihan teknologi serta kemampuan manajerial, di mana
manfaat ini diharapkan mampu ‘menutup’ hilangnya biaya ketika investasi asing
tersebut dapat menghambat kemajuan usaha lokal di negara tuan rumah
(Casseres dan Yoffie, 1993).
Lebih khusus, MNC muncul karena adanya economic advantage dan
tersedianya infrastrukutr yang baik di negara tujuan investasi, serta perbedaan
sistem pajak dan biaya; seperti biaya tenaga kerja pada satu negara yang lebih
rendah dari pada di negara lain; serta hambatan yang berhubungan dengan
transfer keuangan internasional. Kemampuan untuk mentransfer dana atau
transfer pricing dan merelokasi keuntungan secara internal menyebabkan MNC
memiliki beberapa jenis arbitrase:
1. Arbitrase pajak, di mana MNC dapat mengurani beban pajak dengan
memindahkan keuntungan dari unit operasi di negara dengan pajak
tinggi ke negara dengan pajak rendah.
2. Arbitrase pasar keungan, di mana MNC dapat menghindari exchange
control, menerima keuntungan yang tinggi dari kelebihan dana,
mengurangi biaya pinjaman dan mengalirkan dana ke unit‐unit operasi
yang kekurangan modal.
3. Arbitrase sistem regulasi, di mana arbitrase ini dilakukan saat terdapat
tekanan dari serikat buruh. Kemampuan untuk menyembunyikan
profitabilitas yang sebenarnyam dengan merelokasikan keuntungan di
antara unit‐unit operasinya memberikan keuntungan bagi MNC dalam
bernegosiasi.
Guna memindahkan uang (biaya) dan keuntungan secara internasional, MNC
selaku pihak yang menanamkan modal memiliki beberapa saluran, antara lain:
1. Faktor‐faktor pajak
Negara tuan rumah penerima aliran PMA memiliki aturan pajak
tertentu. MNC cenderung menanamkan modalnya di negara yang dapat
melakukan tawar‐menawar atau negosiasi dalam tarif pajak. Jika sebuah
negara di rasa memberikan tarif pajak yang kondusif untuk investasinya,
investor asing tentu tertarik untuk menanamkan modalnya di negara
bersangkutan.
2. Exchange Control
Dalam PMA dengan bentuk joint venture, sebaiknya transfer price
dilakukan sebelum joint venture itu dilakukan. Hal tersebut dikarenakan
setiap negara memiliki aturan tersendiri yang mengatur tentang praktek
penetapan harga agar transfer pricing tidak dipandang melakukan
dumping oleh negara lain atau sekedar menghindari pajak.
(Sartono, 2001)
Penelitian ini menggunakan skor kualitas pemerintahan sebagai
determinan tingkat PMA yang masuk. Setiap variabel kualitas pemerintah
memiliki beberapa indikator, berdasarkan hasil survey dan perhitungan dari
berbagai badan dunia. Secara umum, indikator untuk setiap variabel tersebut
berhubungan dengan faktor biaya dan keuntungan, sehubungungan dengan
pertimbangan investor asing untuk memilih suatu negara. Sumber dari indikator‐
indikator ini akan disajikan lengkap di bagian lampiran pada penelitian ini.
Hubungan di antara indikator setiap variabel dan tingkat PMA masuk adalah
sebagai berikut:
Voice and Accountability
- Keterjangkauan informasi kantor publik suatu negara oleh para
investor asing.
- Transparansi pemerintahan dalam memberitahu perubahan
kebijakan dalam negeri yang berkenaan dengan investasi asing
yang akan masuk.
- Dialog di antara pemerintah dengan para investor asing.
Political Stability and Absence of Violence
- Kondisi keamanan negara yang mungkin dapat menganggu
operasional usaha asing.
- Tingkat terorisme di suatu negara yang dapat mengancam kinerja
investasi asing.
Government Effectiveness
- Penundaan di dalam birokrasi pemerintahan lokal terhadap proses
investasi, di mana investor asing tentu harus menunggu lebih
lama jika prosedur berbelit‐belit.
- Banyaknya waktu dan biaya dalam mengadakan persetujuan
antara pemerintahan lokal dan investor asing.
Regulatory Quality
- Kebijakan mengenai biaya umum apa saja yang harus dikeluarkan
oleh para investor asing.
- Kebijakan mengenai biaya yang harus dikeluarkan oleh investor
asing sehubungan dengan tenaga kerja lokal.
Rule of Law
- Tingkat kualitas lembaga hukum dalam menangani masalah‐
masalah yang berkaitan dengan usaha dan perekonomian
Control of Corruption
- Kuantitas pemerintah di berbagai tingkatan (misalnya di bagian
perpajakan) yang terlibat dalam proses korupsi ketika investasi
asing masuk.
- Kuantitas dan frekuensi investor asing yang harus membayar
sejumlah uang tertentu demi kelancaran proses investasinya.
Selain faktor yang berkenaan dengan biaya dan keuntungan, investor juga
mempertimbangkan motif lain dalam melakukan penanaman modal di negara
asing, antara lain:
1. mencari pasar, untuk memperoleh tambahan pendapatan dengan
memasok barang produksinya ke pasar yang baru
2. mencari bahan baku, di mana pertimbangan ini berkaitan dengan sumber
daya alam yang akan diolah lebih lanjut
3. mencari efisiensi produksi atau pengurangan biaya (cost reduction), di
mana investor menanamkan modal di negara yang memiliki harga faktor
produksi lebih murah sehingga hasil olahannya dapat dijual dengan harga
kompetitif, baik di dalam negeri itu mau pun untuk diekspor
4. mencari keunggulan pengetahuan atau knowledge seeking, dengan
melakukan penanaman modal di negara‐negara yang maju dalam suatu
bidang usaha serupa guna memperoleh ilmu dan pengalaman dalam
bisnis bersangkutan
5. skala ekonomis atau economic of scale, di mana investor berusaha
mengembangkan keunggulan kompetitif di berbagai bagian manajemen
(produksi, pemasaran, keuangan, penelitian dan pengembangan,
distribusi, dan pembelian) untuk menghasilkan produk guna dijual di
pasar yang baru
6. mempertahankan konsumen yang ada (keeping domestic customer), yaitu
ketika satu pihak memutuskan berinvestasi di negara yang merupakan
tempat para konsumennya berada
7. multiple sourcing, di mana investor asing harus siap mematuhi peraturan‐
peraturan di lebih dari satu negara. Hal yang menjadi pertimbangan para
investor adalah jumlah biaya yang harus dikeluarkan sehubungan dengan
perlakuan kebijakan di negara‐negara tempat berinvestasi
8. mencari keamanan politik
(Sartono, 2001; Shapiro, 2003).
Salah satu motif investor asing yang terkait dengan penelitian ini adalah
mencari keamanan politik. Investor asing cenderung menanamkan modalnya di
negara dengan keadaan politik pemerintahan yang stabil. Jika investor merasa
keadaan pemerintahan dapat mempengaruhi bisnis mereka, investor asing akan
berpindah ke negara lain yang memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik, di
mana hal ini tercermin pada keadaan politiknya (Kuncoro, 2000; Sartono, 2001).
2.1.7 Hubungan Antara Kualitas Pemerintahan dan Arus Modal
Terdapat negara kaya dan miskin. Istilah kaya dan miskin tersebut dinilai
berdsarkan beberapa faktor, sebagai contoh GDP suatu negara yang begitu
berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Aliran modal di suatu negara
dipengaruhi oleh bagaimana pemerintahan negara tersebut berjalan. Perbedaan
antara ekonomi yang sukses dan tidak terletak pada kebijakan institusi
pemerintahan atau infrastruktur yang mendukung aktivitas perekonomian.
Infrastruktur yang baik akan mendukung produksi, di mana produksi mendorong
aktivitas ekonomi. Perbedaan antara institusi di negara kaya dan negara miskin
juga memainkan peran yang penting. Hal itu dikarenakan institusi pemerintahan
adalah pihak yang menciptakan aturan‐aturan formal dan informal, serta pihak
yang menciptakan struktur perekonomian. Institusi pemerintahan memiliki
pengaruh dalam keputusan yang menyangkut investasi. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa sistem pemerintahan yang lemah akan mengarah kepada
ketidakpastian dalam aktivitas perekonomian (Hall dan Jones, 1997; Alfaro, et al,
2006). Kualitas pemerintahan yang semakin baik akan meningkatkan aktivitas
ekonomi. Pemerintahan yang baik akan mendorong terciptanya iklim ekonomi
yang lebih baik pula (Grossman, 1988).
Pemerintahan merupakan tempat di mana pemerintah menciptakan
berbagai kebijakan yang dapat menarik aliran modal masuk dan pada saat
bersamaan, pemerintah harus menjaga stabilitas aliran modal masuk tersebut
(Berument dan Dincer, 2001). Peran pemerintahan di sebuah negara sangat
penting (Globerman, et al, 2004). Keberhasilan PMA digunakan untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemakmuran, di mana hal
itu diatur oleh pemerintah (Pham, 2004). Lebih jauh lagi, Rajan, et al (2008)
mengatakan bahwa pemerintahan merupakan determinan yang penting dalam
menarik modal masuk ke suatu negara. Tingkat PMA yang tinggi mengindikasikan
bahwa pemerintah di negara bersangkutan telah melakukan kebijakan yang
tepat untuk mendukung perekonomian di masa yang akan datang.
Pergerakan modal dari negara asing akan meningkat seiring dengan
meningkatnya kualitas kebijakan terkait. Tingkat PMA yang diterima merupakan
cerminan kebijakan pemerintah, seperti liberalisasi perdagangan. Kompetisi
dalam menarik PMA telah berkembang. Hal itu terwujud dalam berbagai aturan‐
aturan yang dapat mendorong lebih banyak lagi aliran modal masuk (Altinkemer,
1995; Ahmed et al, 2005). Penelitian‐penelitian terdahulu mengatakan bahwa
sistem pemerintahan yang terlalu ketat menurunkan minat para investor asing.
Aturan yang tidak terlalu ketat merupakan jalan untuk menarik aliran modal
masuk (Robson, 2003). Faktor penting dalam menarik PMA adalah prospek
negara penerima, keterbukaan terhadap pasar, dan lingkungan institusional,
kualitas infrastruktur, stabilitas politik (Ahmed, et al, 2005). Peran pemerintah
dibutuhkan dalam menarik PMA. Dukungan pemerintah didapat melalui
penciptaan lingkungan investasi yang baik. Beberapa intervensi pemerintah
memainkan peran penting dalam menarik perhatian investor asing, seperti usaha
penstabilan ekonomi dan politik (Pham 2004). Ersoy dan Kok (2009) mendukung
penelitian‐penelitian tersebut dengan mengataka bahwa langkah‐langkah yang
diambil pemerintah tersebut diperuntukkan bagi optimalisasi keuntungan PMA.
Kemampuan yang baik bagi suatu negara untuk bertahan dalam ekonomi
global dapat memberikan keuntungan finansial. PMA yang merupakan aktivitas
dalam ekonomi global akan mentransfer dana dan kemampuan bagi negara‐
negara bersangkutan. Peningkatan kebijakan yang kondusif bagi investasi akan
meminimalisasi kebijakan yang tidak tepat dan mengurani kesalahan‐kesalahan
pemerintah (Bosworth dan Collins, 1999).
Kebijakan pemerintah suatu negara yang tepat akan memperkuat
hubungan antara negara tersebut dengan investasi. Hal itu dikarenakan iklim
investasi yang kondusif menarik perhatian para investor asing (Mody dan
Murshid, 2004). Kualitas pemerintahan yang baik memainkan peran yang penting
dalam peningkatan tingkat investasi asing dan mengurangi penarikan aliran
modal secara tiba‐tiba oleh para investor asing akibat krisis (Calvo, 1998; Honig,
2006).
Negara dengan iklim investasi yang baik akan mendapatkan keuntungan
jangka panjang dari PMA. Hal itu berarti aliran modal yang masuk mendukung
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan yang disusun pun hendaknya dapat
meningkatkan iklim investasi yang baik untuk semua jenis investasi, baik lokal
maupun asing (Loungani dan Razin, 2001). PMA akan memberikan keuntungan
yang optimal jika sistem pemerintahan menciptakan lingkungan yang baik bagi
kegiatan investasi dan tidak terlalu mengintervensi dalam operasional investasi
yang ada, walaupun peranannya masih tetap diprelukan. Peran pemerintah
tersebut dalat diwujudkan dalam pelaksanaan stabilitas ekonomi, sosial, dan
politik serta penciptaan iklim investasi yang kondusif (Pham, 2004).
Terdapat beberapa faktor yang merupakan bahan pengukuran kualitas
pemerintahan. Penelitian‐penelitian terdahulu menggunakan alat yang berbeda
dalam penilaian kualitas pemerintahan. Ringkasan pengukuran yang digunakan
tersebut dapat dilihat di dalam tabel berikut ini:
\
Tabel 3: Pengukuran Kualitas Pemerintahan
No. Judul Penelitian Tahun Peneliti Ukuran
Kualitas Pemerintahan
1. Aid Dependence and The Quality of Governance: A Cross-Country Empirical Analysis
1999 Stephen Knack Bureaucracy, Corruption, Rule of Law
2. Decentralization and the Quality of Governance
2000 Daniel Triesman
Decentralization
3. Macroeconomic Stability or Good Institutions of Governance: What is Africa Getting Wrong?
2006 Dipo T. Busari Voice and Accountability, Rule of Law, Regulatory Quality, Government Effectiveness, Control of Corruption
4. New Modes of Governance in Activation Policies
2007 Berkel dan Borghi
Economy, Efficiency, Effectiveness
Knack (1999) meneliti bahwa penilaian pemerintahan didapat dari tiga
faktor. Faktor pertama adalah kualitas birokrasi, di mana nilai yang tinggi
mengindikasikan “mekanisme perekrutan dan pelatihan”, “otonomi dari tekanan
politis”, dan “kekuatan memerintah tanpa perubahan drastis dalam kebijakan
atau interupsi dalam pelayanan pemerintah”. Faktor kedua adalah korupsi, di
mana nilai yang rendah mengindikasikan bahwa “pemerintah menginginkan
pembayaran khusus”, “pembayaran ilegal umumnya diinginkan di dalam
pemerintahan tingkat rendah”. Faktor ketiga adalah peran dari hukum, di mana
variabel ini merefleksikan derajad keinginan warga negara untuk menerima
institusi sebagai pencipta dan pelaksana aturan hukum. Nilai yang tinggi
mendindikasikan “kekuatan institusi politik, kekuatan sistem peradilan, dan
provisi dari pelaksanaan kekuatan”.
Berbeda dengan Knack, Triesman (2000) mengatakan bahwa
desentralisasi dalam negara mempengaruhi kualitas pemerintahan. Hal ini
dikarenakan desentralisasi politik yang lebih hebat dapat mendorong pemerintah
berjalan lebih jujur dan efisien dengan ‘membawa’ pemerintah dekat dengan
masyarakat. Hal ini mendorong pemerintah memuaskan masyarakat. Di sisi lain,
desentralisasi menciptakan koordinasi dalam penanganan masalah‐masalah di
dalam areanya. Terdapat beberapa tipe desentralisasi. Tipe pertama adalah
desentralisasi struktural yang mengacu pada jumlah deret pemerintah.
Desentralisasi kedua adalah desentralisasi keputusan yang berfokus pada
keputusan yang dapat diambil oleh setiap tingkatan pemerintah. Desentralisasi
ketiga adalah desentralisasi sumber yang mengacu pada bagaimana sumber‐
sumber daya pemerintah dialokasikan. Desentralisasi keempat adalah
desentralisasi elektoral yang mengacu pada metode pemilihan sub pemerintah.
Desentralisasi kelima adalah desentralisasi institusional yang mngarah pada
derajad hak yang dimiliki sub pemerintah dalam pengambilan keputusan di
tingkat pusat.
Berkel dan Borghi (2007) mengatakan bahwa terdapat tiga faktor
penilaian kualitas pemerintahan. Tiga faktor tersebut adalah “3E”; ekonomi,
efisiensi, efektivitas, di mana ketiga E tersebut diinspirasi oleh mekanisme pasar.
Floyd dan Summan (2007) juga memiliki pendapat tentang sebagaimana faktor
ekonomi mempengaruhi aliran dana ke sebuah negara, faktor politik, hukum,
dan korupsi pun memiliki efek terhadap aliran dana masuk. Oleh sebab itu,
pemerintah harus berusaha meminimalisasi batasan‐batasan tersebut.
Berdasarkan standard penilaian tingkat kualitas pemerintahan, terdapat
enam indikator sebagai proksi penilaian, yang menjadi variabel independen
dalam penelitian ini. Penelitian Busari (2006) menggunakan enam faktor
tersebut, yaitu: voice and accountability, political stability and absence of
violence, government effectiveness, regulatory quality, rule of law, and control of
corruption (www.govindicators.com). Indikator‐indikator tersebut digunakan
karena lebih komprehensif dan lengkap di bandingkan dengan skala penilaian
yang telah disebutkan sebelumnya.
Kualitas pemerintahan dapat dinilai melalui enam indikator, sebagaimana
telah diungkapkan sebelumnya. Hubungan antara setiap indikator tersebut akan
berhubungan kepada tingkat PMA yang masuk, yaitu sebagai berikut:
2.1.7.1 Pengaruh Voice and Accountability terhadap Tingkat PMA Masuk
Voice and accountability dalam sebuah pemerintahan adalah penting.
“Voice” mengindikasikan adanya kebebasan berekspresi dan partisipasi (Market
and Democracy, e journal, USA). Tingkatan voice and accountability pada kualitas
pemerintahan yang baik mempengaruhi aliran modal masuk. Hal tersebut
dimulai dari peningkatan kebebasan berekspresi dan transparansi, sehingga
korupsi dapat diminimalisasi. Akuntabilitas sebuah pemerintahan berhubungan
erat dengan korupsi. Pencegahan korupsi merupakan hal yang rumit karena
melibatkan mekanisme akuntabilitas dan pelaksanaan hukum yang efektif.
Pengkoordinasian akuntabilitas memainkan peran penting dalam pelaksanaan
kebijakan di sebuah negara. Umumnya, di negara dengan kontrol akuntabilitas
tinggi, terdapat ekspektasi tingkat korupsi yang rendah. Sebagai upaya
pencegahan korupsi yang efektif, perhatian yang lebih harus dikembangkan
dalam pelaksanaan kebijakan dan prosedur, standard kualitas, sistem
transparansi, dan mekansime pelaksanaan hukum. Peningkatan kualitas voice
and accountability merupakan usaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi
melalui aliran modal masuk (Market and Democracy, e journal, USA; Apaza,
2007).
Tingkat voice and accountability yang baik merupakan daya tarik sebuah
negara karena transparansinya akan membuat investor merasa lebih nyaman
menanamkan modalnya (faktor politik manajemen strategik).
H1 = Voice and accountability berpengaruh positif terhadap PMA di negara
ASEAN pasca realisasi AFTA.
2.1.7.2 Pengaruh Political Stability and Absence of Violence terhadap Tingkat
PMA Masuk
Stabilitas politik menngacu pada berapa lama sebuah pemerintahan
bertahan sekaligus bagaimana pemerintahan tersebut mampu menarik perhatian
PMA masuk. Absence of violence mengacu pada gejolak‐gejolak dalam sebuah
negara yang berhubungan dengan keamanan dan merongrong pemerintahan
yang sedang berjalan (Shapiro, 2003).
Political stability and absence of violence menjadi satu kesatuan dan
berhubungan dengan persepsi para investor. Jika investor merasa tidak aman,
ekspektasi mereka dalam berinvestasi pun akan menurun. Menurunnya
keyakinan para investor yang demikian akan berdampak pada berkurangnya
aktivitas ekonomi di bidang aliran modal masuk (Rothstein dan Teorell, 2005).
Institusi politik dalam sebuah negara secara tidak langsung berpengaruh
terhadap perekonomian. Keadaan politik yang tidak stabil membuat investasi
menjadi lebih berisiko dan tidak pasti. Ketidakstabilan politik akan mengurangi
minat para investor dan aktivitas ekonomi lainnya (Dash dan Raja, 2009). Hal ini
sesuai dengan konsep faktor politik pada manajemen strategik, karena investor
berkesempatan melakukan penanaman modalnya di tempat yang lebih stabil
secara politis.
H2 = Political stability and absence of violence berpengaruh positif terhadap PMA
di negara ASEAN pasca realisasi AFTA.
2.1.7.3 Pengaruh Government Effectiveness terhadap Tingkat PMA Masuk
Efektivitas pemerintahan (government effectiveness) mengukur dua hal.
Pertama adalah kompetensi birokrasi. Hal yang diperhatikan adalah adanya
penundaan di tingkatan birokrasi, kualitas administrasi publik, keterampilan
pelayanan sipil, perputaran pemerintah tingkat atas, dan lain‐lain. Kedua adalah
kualitas pelayanan publik, termasuk di dalamnya kualitas pelayanan sipil dan
derajad ketergantungannya terhadap tekanan politik, kualitas formulasi dan
implementasi kebijakan, dan kredibilitas pemerintah terhadap kebijakan‐
kebijakan itu. Efektivitas selalu berhubungan dengan efisiensi. Efektivitas dan
efisiensi merupakan suatu trade‐off satu dan lainnya dan kedua hal tersebut
selalu menjadi tujuan dalam meningkatkan kualitas pemerintahan. Para ahli
ekonomi mengatakan bahwa efektivitas pemerintah merupakan inti dari konsep
pemerintah karena merupakan wujud dari bagaimana pemerintah
mengimplementasikan kebijakan‐kebijakannya (Van de Walle, 2005; Rothstein
dan Teorell, 2005), termasuk di bidang ekonomi, khususnya dalam penarikan
minat para investor asing.
Government effectiveness berkenaan dengan Agency Theory, karena
adalah tanggung jawab pemerintah selaku agen di sebuah negara untuk
menyejahterkan warga negaranya, khususnya dalam hal ini dengan menarik PMA
yang masuk.
H3 = Government effectiveness berpengaruh positif terhadap PMA di negara
ASEAN pasca realisasi AFTA.
2.1.6.4 Pengaruh Regulatory Quality terhadap Tingkat PMA Masuk
Tujuan dari impelementasi peraturan adalah meningkatkan ekonomi
nasional dan kemampuan dalam menghadapi perubahan. Regulasi dan susunan
struktural yang lebih baik merupakan faktor pendukung bagi terciptanya
kebijakan ekonomi makro yang baik. Perubahan sosial, ekonomi, dan
perkembangan teknologi membutuhkan peranan pemerintah, guna memastikan
struktur regulasi dan proses yang terjadi berjalan lancer, transparan, terjangkau,
dan berorientasi ke depan. Penyusunan regulasi yang tepat merupakan usaha
yang bersifat dinamis dan jangka panjang (Guiding Principles for Regulatory
Quality and Performance, OECD, 2005).
Dari pernyataan di atas, diketahui bahwa regulasi yang tepat akan
mendukung stabilisasi ekonomi makro di dalam sebuah Negara guna menarik
PMA ke Negara tersebut. Semakin tepat dan jelas peraturan mengenai iklim
investasi, semakin besar minat para investor asing menanamkan modalnya,
sehingga hal ini dapat menjadi tawaran positif dari negara tuan rumah. Hal ini
sesuai dengan pelaksanaan peraturan dalam faktor politik pada manajemen
strategik.
H4 = Regulatory Quality berpengaruh positif terhadap tingkat PMA di Negara
ASEAN pasca realisasi AFTA.
2.1.6.5 Pengaruh Rule of Law terhadap Tingkat PMA Masuk
Rule of law, atau peran dari hukum merupakan hal penting di sebuah
negara. Hukum berdampak pada masyarakat melalui dampaknya terhadap
perkembangan ekonomi (Boettke dan Subrick, 2003). Peranan hukum
merupakan salah satu indikator penilaian kualitas pemerintahan. Pengertian
umum mengenai peranan hukum ini biasanya termasuk empat hal: kesamaan,
proses, transapransi, dan orientasi fundamental sistem terhadap perlindungan
hak manusia. Kesamaan mengacu pada pelayanan institusi legal terhadap warga
negara. Proses mengacu pada standard dan proses penyusunan peraturan legal.
Transparansi mengacu pada norma‐norma legal. Fundamental mengarah pada
orientasi dasar dari sistem terhadap perlindungan hak asasi manusia
(Lambsdorrf, 2002). Peranan hukum dimulai dari “hukum yang baik”. Perhatian
yang lebih dibutuhkan untuk menjaga berjalannya hukum tersebut dengan baik.
Menjalankan peranan hukum dalam sebuah negara mendorong perkembangan
negara tersebut, di mana hal tersebut akan mendarik perhatian para investor
asing sebagai bentuk aliran modal masuk (Rothstein dan Teorell, 2005).
Adanya kebijakan mengenai tarif pajak dan zona perdagangan yang resmi
dari pemerintah sebagai bagian dari pelaksanaan hukum (rule of law) mendorong
rasa aman bagi investor asing untuk memilih negara bersangkutan sebagai
tempat menanamkan modal (pelaksanaan hukum pada faktor politik di
manajemen strategik).
H5 = Rule of law berpengaruh positif terhadap tingkat PMA di negara ASEAN
pasca realisasi AFTA.
2.1.6.6 Pengaruh Control of Corruption terhadap Tingkat PMA Masuk
Pengendalian korupsi mengukur sejauh mana kekuatan publik dapat
mengendalikan terjadinya keuntungan pribadi, termasuk dalam bentuk hadiah‐
hadiah di kalangan pejabat. Korupsi yang meraja lela akan mengurangi
perkembangan pemerintahan, oleh karenanya pengendalian terhadap korupsi
dibutuhkan. Korupsi terjadi seiring dengan kegagalan‐kegagalan dalam
pemerintahan, seperti ketidakefisienan birokrasi, intervensi pemerintah yang
berlebihan, dan kurang dijalankannya peranan hukum. Korupsi mengurangi
stabilitas pemerintahan. Dalam jangka panjang, hal ini akan berpengaruh kepada
minat investor asing yang akan menanamkan modal (Lambsdorff, 2002).
Korupsi merupakan salah satu indikator baik tidaknya kualitas suatu
pemerintahan. Lemahnya pemerintahan mencakup ketidakadaan pelaksanaan
kebijakan, kegagalan implementasi kekuasaan pemerintahan, kurangnya
pengawasan, kurangya codes of conduct, dan sistem akuntansi yang tidak layak
(Mensah, et al, 2003). Lebih jelas lagi, pengendalian korupsi yang kuat dapat
mengurangi efek negatif krisis terhadap sebuah negara.
Investor akan merasa aman menanamkan modal di negara itu, sehingga
kondisi negara tersebut akan meminimalisasi penarikan modal besar‐besaran
(sudden stop atau general reversals) oleh para investor asing (Honig, 2006). Hal
tersebut sesuai dengan bagaimana hukum dilaksanakan pada faktor politik.
H6 = Control of Corruption berpengaruh positif terhadap tingkat PMA di negara
ASEAN pasca realisasi AFTA.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian ini merupakan penelitian yang menganalisis pengaruh kualitas
pemerintahan terhadap tingkat PMA yang masuk ke negara‐negara ASEAN. Hal
tersebut berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yang meneliti hubungan
atau pengaruh berbagai variabel independen terhadap aliran modal asing yang
masuk sebagai variabel dependennya. Penelitian‐penelitian terdahulu tersebut
disajikan pada tabel di bawah ini:
Tabel 4:
No. Nama
Peneliti Judul
Penelitian Variabel Teknik
Analisis Hasil Penelitian
1. Barry Bosworth dan Susan M. Collins (Maret, 1999)
Capital Flow to Developing Economies Implication for Savint and Investment
I: aliran modal total, perubahan perdagangan, perubahan GDP D: investasi dan tabungan yang tercermin di dalam current account
-OLS regression
Peningkatan kebijakan yang baik dan penerapan sanksi bagi kebijakan yang buruk akan mendorong aliran modal masuk di antara negara-negara di dunia.
2. Ashoka Mody dan Antu
Growing Up with Capital Flows
I: integrasi keuangan, kebijakan
Regression - Negara dengan kebijaka
Panini Murshid (Februari, 2004)
pemerintahan, keterbukaan D: aliran modal masuk
n yang lebih baik akan menerima lebih banyak aliran modal masuk.
- Kebijakan yang tepat akan mendorong terciptanya iklim investasi yang konsdusif, sehingga menarik minat para investor asing.
- Liberalisasi ekonomi akan menarik lebih banyak aliran modal yang masuk.
3. Faisal Ahmed, Rabah Arezki, dan Norbert Funke
The Composition of Capital Flows: Is South Africa Different?
I: kinerja makro ekonomi, kualitas pemerintahan, lingkunga
GMM (Generalized Method of Moments)
- Keterbukaan perdagangan akan menarik lebih banyak
(Maret, 2005)
n investasi, infrastruktur dan sumber daya, perkembangan keuangan, faktor global D: aliran modal masuk
aliran modal masuk, dengan porsi yang sedikit pada bentuk portofolio, namun pada porsi yang banyak pada bentuk PMA.
- Kebijakan pemerintah merupakann faktor pendorong lebih banyak masuknya aliran modal.
4. James R. Lothian (Mei, 2005)
Institutions, Capital Flows, and Financial Integration
I: kebijakan pemerintah dan campur tangan pemerintah D: ratio of net foreign investment to population, ratio of
- Regression - Gauss -GMM (Generalized Mothod of Moments)
- Kebijakan pemerintah yang tepat, lebih sedikitnya intervensi pemerintah secara langsung, dan struktur institusi yang baik
net foreign investment to GDP, ratio of FDI to population
akan menarik lebih banyak aliran modal masuk.
- Kebijakan pemerintah yang buruk akan mendatangkan adanya aliran modal keluar.
5. Laura Afaro et al (Februari, 2006)
Capital Flow in a Globalized World: The Role of Policies and Institutions
I: kualitas pemerintahan, institusi hukum, kebijakan pemerintah D: volatilitas aliran modal asing masuk
OLS regression
- Kualitas institusi pemerintahan adalah faktor penentu yang penting terhadap masuknya aliran modal .
- Kebijakan pemerintah memainkan peran yang signifikan di dalam menjelaskan perubahan tingkat modal
yang masuk, termasuk pergerakannya.
6. Adam Honig (Mei, 2006)
Do Improvement in Governance Quality Necessarily Reduce the Incidence of Sudden Stops?
I: kualitas birokrasi, korupsi, hukum D: penarikan kembali modal asing yang masuk, yang tercermin dalam neraca keuangan, neraca perdagangan, dan GDP per kapita
Probit Model
- Perubahan pada institusi pemerintahan menurunkan penarikan modal keluar.
- Kualitas pemerintahan merupakan faktor penentu yang signifikan terhadap tingkat aliran modal masuk.
- Transparansi, tingkat korupsi yang rendah, tingkat pengawasan dan hukum yang kuat mendorong berkurangnya potensi terjadi krisis.
- Penilaian kualitas pemerintahan menggunakan tiga faktor, yaitu: kualitas birokrasi, korupsi, dan hukum.
7. Jacob W, Musila dan Simon P Sigue (2006)
Accelerating Foreign Direct Investment Flow to Africa: From Policy Statements to Successful Strategies
I: kebijakan pemerintah D: Foreign Direct Investment atau PMA
Research Paper
- Aliran PMA ke Afrika tergantung pada keadaan negara-negara di dalamnya sendiri. Jika program perkembangan afrika (NEPAD) berhasil dilakukan, aliran PMA ke Afrika pun akan meningkat.
- Faktor-faktor yang menjadi ukuran penilaian kualitas pemerintahan di
Afrika adalah: keterbukaan, ketidak stabilan politik, korupsi, ketidak stabilan ekonomi makro.
8. Mukesh Ralhan (2006)
Determinants of Capital Flow: A Cross Country Analysis
I: London inter-bank offered rate, tingkat inflasi, tingkat utang internasional, ukuran pasar, defisit fiskal kotor, simpanan valas kotor, derajad keterbukaan ekonomi D: aliran modal
- Seemingly Unrelated Regression (SUR)
- OLS
- Terdapat hubungan antara masuknya aliran modal dengan keadaan ekonomi yang stabil.
- Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah hendaknya diarahkan kepada peningkatan ekonomi secara fundamental.
2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis
Pertanyaan utama dalam studi ini dapat dikembangkan ke dalam kerangka
pemikiran teoritis. Pertanyaan ini menyangkut bagaimana kualitas pemerintahan
yang baik dapat dihubungkan dengan aliran modal yang masuk ke sebuah
negara, terutama pada periode waktu setelah dijalankannya liberalisasi ekonomi;
dalam penelitian ini adalah AFTA untuk negara‐negara anggota ASEAN.
Seperti yang disebutkan di atas, kerangka pemikiran teoritis dapat
dideskripsikan sebagai berikut:
Kualitas pemerintahan memiliki enam variabel penilaian yang akan menjadi
variabel independen. Keenam variabel itu akan secara langsung mempengaruhi
aliran modal masuk, yaitu PMA. PMA akan menjadi variabel independen.
Kerangka pemikiran teoritis tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut ini:
Gambar 1: Kerangka Pemikiran Teoritis
Penanaman Modal Asing (PMA)
Voice and Accountability
Control of Corruption
Rule of Law
Regulatory Quality
Government Effectiveness
Political stability and absence of violence
H1
H6
H5
H4
H3
H2
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Sumber data yang digunakan untuk memperoleh data sekunder tersebut adalah
berbagai web site di internet, yaitu www.govindicators.com, www.unctad.com,
dan www.worldbank.com.
3.2 Populasi dan Sampel
3.2.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau
subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa populasi bukan
hanya berupa orang, tetapi juga objek dan benda‐benda alam lainnya.
Populasi menyangkut jumlah dan karakteristik atau sifat yang dimiliki
oleh subjek atau objek bersangkutan.
Populasi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah 10 negara
yang tergabung dalam ASEAN dengan periode pengamatan dari tahun
2002 sampai dengan tahun 2008.
3.2.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi. Bila populasi berskala besar, di mana peneliti tidak
mungkin mempelajari semua yang ada di dalam populasi tersebut akibat
keterbatasan‐keterbatasan, seperti waktu, dana, dan tenaga, maka
pengambilan sampel dilakukan.
Pengambilan sampel yang digunakan di dalam penelitian ini sama
dengan populasinya, yaitu 10 negara anggota ASEAN dan berdasarkan
lahirnya AFTA yang mulai direalisasikan pada tahun 2002. Hal tersebut
menjadikan kesepuluh negara anggota ASEAN menjadi sampel
berdasarkan peristiwa tersebut.
Negara yang menjadi sampel di dalam penelitian adalah Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam,
Laos, Myanmar, dan Kamboja.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data di dalam penelitian ini adalah dengan metode
pengamatan atau observasi serta dokumentasi. Observasi dilakukan pada
besarnya jumlah PMA yang masuk ke negara anggota ASEAN setelah realisasi
AFTA bagi setiap negara. Hal tersebut mengingat setiap negara memiliki enam
indikator cerminan kebijakan masing‐masing yang mendorong ekspektasi
peningkatan jumlah PMA yang masuk tidak selalu berada pada kondisi
sebagaimana mestinya (dengan keterbukaan ekonomi; melalui AFTA, tingkat
PMA akan meningkat). Setelah observasi dilakukan, kemudian dilanjutkan
dengan mendokumentasikan data yang diperoleh tersebut.
3.4 Definisi Operasional Variabel
Terdapat enam variabel independent di dalam penelitian ini. Keenam
variabel tersebut diperoleh melalui data berupa skor untuk setiap variabel. Skor
untuk setiap variabel berada pada rentang ‐2,5 sampai dengan +2,5 untuk
menunujukkan skala dari yang paling buruk hingga paling baik. Data tersebut
diperoleh dari www.govindicators.com. Periode pengamatan dilakukan dari
tahun 2002‐2008.
Penggunaan www.govindicators.com yang merupakan bagian dari situs
www.worldbank.com dikarenakan sumber data tersebut telah terstandardisasi
dan digunakan dalam dunia pendidikkan ketika meneliti mengenai kualitas
pemerintahan untuk negara‐negara. Sumber data tersebut digunakan pula oleh
penelitian‐penelitian terdahulu, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh
Kauffman et al, 1999; Knack, 1999; Busari, 2006.
Nominal skor untuk setiap indicator kualitas pemerintah didapat berdasar
penilaian kumpulan lembaga dunia, antara lain ADB, AEO, ASD, BTI, dan
sebagainya, di mana setiap sumber yang digunakan oleh www.govindicators.com
ini dapat dilihat di bagian lampiran, termasuk perhitungan yang digunakan untuk
mendapatkan skor kualitas pemerintahan yang tercantum.
Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis yang disajikan di dalam BAB II,
maka definisi operasional di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
‐ Variabel Independen
Variabel independent dalam penelitian ini terdiri dari enam variabel,
yaitu:
1. Voice and accountability
Voice and accountability mengindikasikan adanya kebebasan
berekspresi dan partisipasi bagi warga negara dan adanya hak dalam
bidang politik (Market and Democracy, e journal, USA dan Kaufmann, et
al, 1999). Voice and accountability dalam suatu pemerintahan juga
mengacu pada bagaimana transparansi pemerintahan tersebut untuk
memenuhi keingin tahuan warga negaranya (Ackerman, 2003).
2. Political stability and absence of violence
Political stability mengacu kepada bagaimana pemerintahan di
sebuah negara tetap kuat dan stabil berdiri meskipun terdapat usaha
untuk menjatuhkannya (Kaufmann, et al, 1999). Kestabilan politik dan
adanya kekerasan merupakan suatu keadaan yang terkait dengan
banyaknya kegiatan revolusi, termasuk kudeta di negara bersangkutan
(Knack dan Keefer, 1995).
3. Government effectiveness
Government effectiveness merupakan suatu penilaian kualitas
pemerintahan di mana pemerintah diharapkan dapat melakukan
pelayanan yang baik bagi masyarakat melalui implementasi kebijakan
yang ia ciptakan (Kaufmann, et al, 1999). Pelayanan pemerintahan ini
mengacu pula pada bagaimana birokrasi di suatu negara menjalankan
tugas‐tugasnya guna memenuhi kebutuhan warga negaranya (Van de
Walle, 2005).
4. Regulatory quality
Regulatory quality menggambarkan bagaimana kualitas peraturan
yang diciptakan pemerintahan suatu negara (Kaufmann, et al, 1999).
Kualitas peraturan di suatu negara mencakup Kegiatan perencanaan
secara umum mengenai institusi dan hokum, pencipataan peraturan, dan
penguatan institusi dalam hal implementasi kekuatan dan desentralisasi
dalam lingkungan demokratis (OECD Review, 2002).
5. Rule of law
Rule of law mengacu kepada bagaimana hukum dijalankan di
sebuah negara, mulai dari pelayanan sampai perlindungan terhadap hak
asasi manusia (warga negara) di negara tersebut serta bagaimana sistem
peradilan dilaksanakan (Kaufmann, et al, 1999). Rule of law merupakan
keadaan di mana pemerintahan dijalankan dengan didorong oleh
peraturan‐peraturan tertentu sehingga pemerintah dapat
mengimplementasikan kekuasaan yang ada sebagaimana mestinya
(Boettke dan Subrick, 2003).
6. Control of corruption
Pengendalian korupsi mengukur sejauh mana kekuatan publik
dapat mengendalikan terjadinya keuntungan pribadi dan perolehan izin‐
izin khusus, yang juga berkenaan dengan investasi, termasuk dalam
bentuk hadiah‐hadiah di kalangan pejabat (Lambsdorff, 2002; Al‐Sadiq,
2009).
‐ Variabel Dependen
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Penanaman Modal Asing
(PMA). Nilai PMA didapat melalui data dari www.unctad.com. Periode
pengamatan dilakukan dari tahun 2002‐2008.
Di bawah ini adalah tabel yang merupakan ringkasan mengenai definisi
operasional:
Tabel 5: Ringkasan Definisi Operasional
No.
Variabel Definisi Sumber Referensi
Indikator-indikator
1. Voice and accountability
Kebebasan berekspresi dan partisipasi bagi warga negara sebagai bentuk transparansi kegiatan di pemerintahan.
- Market and Democracy, e journal, USA - Kaufmann, et al, 1999 - Ackerman, 2003
- Akuntabilitas badan pemerintahan.
- Transparansi pemerintah terhadap perusahaan mengenai perubahan kebijakan.
- Dialog antara pemerintah dan badan-badan usaha.
2. Political Kekuatan -Knack - Efek terorisme
Stability and Absence of Violence
pemerintahan suatu negara untuk tetap berdiri di tengah usaha-usaha untuk menjatuhkannya, termasuk kegiatan yang bersifat revolusioner.
dan Keefer, 1995 - Kaufmann, et al, 1999
terhadap biaya yang dikeluarkan oleh badan-badan usaha.
- Teror politis di suatu negara.
3. Government Effectiveness
Kemampuan pemerintah melayani kebutuhan warga negaranya melalui birokrasi.
- Kaufmann, et al, 1999 - Van de Walle, 2005
- Penundaan birokratis.
- Pemborosan waktu selama proses negosiasi.
- Pemborosan biaya selama proses negosiasi.
4. Regulatory Quality
Kualitas peraturan yang diciptakan oleh pemerintah.
- Kaufmann, et al, 1999 - OECD review, 2002
- Kebijakan perdagangan.
- Kebijakan pasar tenaga kerja.
- Iklim investasi.
5. Rule of Law Jalannya proses hukum di suatu negara, di mana hukum tersebut juga mendasari setiap tindakan pemerintah.
- Kaufmann, et al, 1999 - Boettke dan Subrick, 2003
- Kepercayaan terhadap badan peradilan.
- Penetapan perdebatan yang menyangkut ekonomi negara.
6. Control of Corruption
Sistem pengendalian akan adanya pengambilan keuntungan pribadi di kalangan pemerintahan.
-Lambsdorff, 2002 - Al-Sadiq, 2009
- Kuantitas petugas badan pemerintahan yang terlibat korupsi.
- Pemborosan waktu bagi badan-badan usaha untuk mendapat izin dari pemerintahan.
7. Penanaman Modal Asing
Masuknya modal (dana)
- Marin dan
- Nominal PMA dari tahun ke
dari luar negeri ke dalam suatu negara tertentu.
Schnitzer, 2006 -Kholdy dan Sohrabian, 2007
tahun.
Sumber: www.govindicators.com
3.5 Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan analisis regresi. Analisis regresi merupakan
analisis untuk mengetahui pengaruh dari variabel independent terhadap variabel
dependennya.
Di dalam penelitian ini, model persamaan yang digunakan adalah sebagai
berikut:
Y = β0 + β1x1 + β2x2 +β3x3 + β4x4 + β5x5 + β6x6 + ε
Di mana:
Y = PMA, sebagai dependent variable
X1‐X6 merupakan independent variable, yaitu:
X1 = Voice and accountability
X2 = Political stability and absence of violence
X3 = Government effectiveness
X4 = Regulatory quality
X5 = Rule of law
X6 = Control of corruption
ε = nilai error
Model persamaan di atas merupakan model untuk menganalisis data
sekunder yang didapatkan, yaitu dengan menggunakan metode Ordinary Least
Square (OLS). OLS merupakan teknik estimasi variabel dependen yang melandasi
analisis regresi. OLS digunakan karena data sekunder yang di dalam penelitian ini
merupakan data panel; mencakup data cross sectional, terdiri dari banyak negara
yang diamati dan data time series, terdiri dari tujuh tahun yang berurutan (tahun
2002‐2008). OLS ini dilakukan dengan didahului pengujian asumsi klasik. Di
dalam SPSS nantinya, uji OLS ini akan tercermin dari UJi F dan Uji T (untuk
menguji hipotesis).
Uji asumsi klasik dapat dilakukan dengan menguji beberapa hal di bawah
ini:
1. Uji Multikolonieritas
Uji Multikolonieritas bertujuan untuk menguji, apakah model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (variabel
independen). Model regresi yang baik seharusnya tidak memuat adanya
korelasi di antara variabel independennya.
Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinieritas dalam suatu
model regresi dapat dilakukan lankah‐langkah berikut:
a. Nilai R2 yang dihasilkan oleh estimasi model regresi empiris sangat
tinggi, tetapi masing‐masing variabel independent banyak yang tidak
signifikan.
b. Melakukan analisis matriks korelasi variabel independent, di mana
jika terdapat korelasi yang cukup tinggi, hal tersebut merupakan
indikasi adanya multikolinieritas.
c. Melihat nilai tolerance dan lawannya serta Variance Inlflation Factor
(VIF). Jika nilai cut off tolerance < 0.10, tingkat kolinieritas masih
dapat ditoleransi. Nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF
yang tinggi.
2. Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi bertujuan menguji ada tidaknya korelasi antar
kesalahan penganggu di dalam regresi linear, yaitu pada periode t dengan
kesalahan pada periode t‐1 (periode sebelumnya). Hal ini timbul karena
kesalahan pengganggu (residual) tidak bebas dari suatu observasi ke
observasi lainnya.
Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari
autokorelasi. Beberapa cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya
autokorelasi adalah sebagai berikut:
a. Uji Durbin Watson (DW test), yaitu dengan melihat tabel keputusan di
bawah ini:
Tabel 6: Tabel keputusan terhadap hipotesis nol‐autokorelasi
Hipotesis Nol Keputusan Jika
Tidak ada autokorelasi positif
Tolak 0 < d < dl
Tidak ada autokorelasi positif
No decision dl < d < du
Tidak ada korelasi negative
Tolak 4 – dl < d < 4
Tidak ada korelasi negative
No decision 4 – du < d < 4 - dl
Tidak ada autokorelasi, positif atau negatif
Tidak ditolak Du < d < 4 - du
Sumber: Ghozali, 2009
b. Uji Lagrange Multiplier (LM Test)
Uji Lagrange Multiplier ini digunakan untuk sampel besar, yaitu di
atas 100 observasi. Jika R2 atau C2 hitung lebih besar dari pada C2 tabel,
hipotesis nol yang menyatakan tidak adanya autokorelasi dalam model
ditolak.
c. Uji Statistik Q: Box Price dan Ljung Box
Uji ini digunakan untuk melihat autokorelasi dengan lag lebih dari
dua. Jika jumlah lag yang signifikan lebih dari dua, maka terdapat
autokorelasi.
d. Run Test
Jika antar residual tidak terdapat hubungan korelasi makan
residual dikatakan acak atau random.
3. Uji Heterokedastisitas
Uji Heterokedastisitas bertujuan menguji apakah di dalam model
regresi terjadi ketidaksaman varians dari residual satu pengamatan ke
pengamatan lain. Jika varians residual dari setiap pengamatan berbeda,
berarti telah terjadi heterokedastisitas.
Regresi yang baik adalah model regresi yang homoskedastisitas
atau tidak terjadi heterokedastisitas. Beberapa cara untuk mendeteksi
ada atau tidaknya heterokedastisitas yaitu dengan melihat grafik plot
antara variabel dependen dengan residualnya. Deteksi
heteroskedastisitas dapat dilakukan pula dengan melihat ada‐tidaknya
pola pada grafik scatterplot. Jika terdapt pola maka terjadi
heteroskedastisitas.
4. Uji Normalitas
Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah di dalam model
regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal atau
tidak.
Dua cara untuk mendeteksi apakah residual berdistribusi normal
atau tidak, yaitu:
a. Analisa grafik histogram yang membandingkan antara data observasi
dengan distribusi yang mendekati distribusi normal. Jika distribusi data
residual normal, garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan
mengikuti garis diagonalnya.
b. Analisis statistik, dengan melihat nilai kurtosis dan skewness dari residual.
Uji asumsi klasik dapat pula menggunakan metode Kolmogorov‐
Smirnov. Di mana jika nilai signifikansi lebih besar dari pada alfa, maka
distribusinya normal.
(Ghozali, 2000)
OLS di sini dapat diuji dengan langkah‐langkah sebagai berikut:
1. Memasukkan data skor enam variabel kebijakan pemerintah per tahun
untuk setiap negara.
2. Memasukkan data junlah PMA yang diterima setiap tahun untuk setiap
negara.
3. Melakukan uji data tersebut dengan Metode OLS dengan langkah:
Uji F
Uji T
Untuk Uji F dan Uji T, dilakukan dengan memilih menu analyze, regression,
memasukkan variabel independen dan depende, lalu menekan tombol OK.
Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji statistik t. Hal ini
dikarenakan uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh
satu variabel penjelas atau independen secara individual dalam menerangkan
variasi variabel dependen. Hipotesis nol (Ho) yang hendak diuji adalah apakah
suatu parameter (bi) sama dengan nol, atau:
Ho : bi = 0
Artinya apakah suatu variabel independen bukan merupakan penjelas yang
signifikan terhadap variabel dependen. Hipotesis alternatifnya (HA) parameter
suatu variabel tidak sama dengan nol, atau:
HA : bi tidak = 0
Artinya variabel itu merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel
dependen.
Cara melakukan uji t adalah sebagai berikut:
1. Quick Look: bila jumlah degree of freedom (df) adalah 20 atau
lebih dan derajat kepercayaannya 5%, Ho yang menyatakan bi = 0
ditolak bila nilai t lebih besar dari pada 2 (dalam nilai absolut).
Hipotesis alternatif diterima, yang menyatakan bahwa suatu
variabel independen secara individual mempengaruhi variabel
dependen.
2. Membandingkan nilai statistik t dengan titik kritis menurut tabel.
Apabila nilai statistik t hasil perhitungan lebih tinggi dibandingkan
nilai t table, hipotesis alternatif diterima, yaitu bahwa variabel
independen secara individual mempengaruhi variabel dependen.
Semua hipotesis di dalam penelitian ini menyatakan bahwa setiap
variabel independen berpenganruh positif terhadap variabel dependen. Jika di
dalam hasil uji hipotesis terdapat hasil yang berlawanan, langkah yang harus
diambil adalah melihat kembali ke tahun‐tahun yang menjadi periode
pengamatan, guna mencari faktor lain yang mungkin mendorong terjadinya
pengaruh negatif dari variabel independen terhadap variabel dependen, di luar
faktor kualitas pemerintahan.
Pada bab 4 nantinya akan digambarkan bagaimana persamaan awal di
atas berubah menjadi:
Y = β0 + β1x1 + β2x2 +β3x3+ ε
Di mana:
Y = PMA, sebagai dependent variable
X1‐X3 merupakan independent variable, yaitu:
X1 = Voice and accountability
X2 = Political stability and absence of violence
X3 = Government effectiveness
ε = nilai error
Hilangnya tiga variabel independen lain dikarenakan adanya masalah dalam uji
asumsi klasik, khususnya masalah multikolinearitas. Hal ini pun berlaku pula pada
perubahan jumlah hipotesis.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum dan Deskripsi Statistik Objek Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah negara‐negara anggota ASEAN yang
tergabung di dalam AFTA. Terdapat 10 negara anggota ASEAN yang akan diteliti,
Negara‐negara tersebut mulai merealisasikan kesepakatan di dalam AFTA
terhitung pada tahun 2002.
Negara‐negara yang menjadi sampel di dalam penelitian ini adalah Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Laos,
Myanmar, dan Kamboja.
Diambilnya negara‐negara tersebut sebagai sampel selama tahun
pengamatan, yaitu dari tahun 2002‐2008, menunjukkan perubahan skor untuk
kualitas pemerintahannya dan jumlah PMA yang masuk. Tren perubahan skor
dan nominal penanaman modal asing yang masuk tersebut cenderung
berfluktuasi dari tahun ke tahun atau dapat dikatakan trennya bersifat volatile.
Fluktuasi skor pemerintahan tersebut berada pada range ‐2,5 sampai dengan 2,5.
Dengan demikian fluktuasi yang terjadi tidak terlalu jauh satu sama lain. Hal ini
merupakan standard yang digunakan pada sumber data berdasarkan hasil
peniliaian yang dilakukan.
Volatilitas yang terjadi pada tahun pengamatan dimulai antara skor
kualitas pemerintahan tidak selalu berada pada tren kenaikan dan penurunan
yang sejalan. Oleh karenanya akan dilakukan pengujian antara variabel‐variabel
tersebut.
Variabel independen dalam penelitian ini merupakan skor kualitas
pemerintahan. Keenam variabel independen tersebut memiliki kaitan dengan
manajemen keuangan. Hubungan di antara keduanya tersebut terlihat dari segi
makroekonomi di negara bersangkutan. Dengan adanya peningkatan kualitas
pemeritahan, maka keadaan makroekonomi di sebuah negara akan meningkat
pula, di mana hal tersebut terwujud melalui kebijakan pemerintah (Muhammad,
2000; Busari, 2006). Dengan peningkatan voice and accountability, governemnet
effectiveness, dan control of corruption dalam internal suatu negara, pendapatan
perkapita negara tersebut akan meningkat di mana hal ini merupakan penunjang
bagi perbaikan ekonomi dan keuangan di sebuah negara (Brewer et al, 2007).
Political stability and absence of violence juga berpengaruh terhadap keuangan
di suatu negara secara luas karena dengan keadaan politik yang stabil,
perekonomian pun akan berada pada posisi yang baik (Dash dan Raja, 2009).
Sementara itu, requlatory quality dan rule of law harus diterapkan dengan baik di
suatu negara karena dengan penerapan peraturan dan hukum yang pasti,
investor asing akan cenderung tertarik menanamkan modalnya di negara
bersangkutan. Hal ini kemudian akan mendukung peningkatan keuangan negara
tersebut (Boettke dan Subrick, 2003).
4.1.2 Deskripsi Statistik Variabel Penelitian
Karakteristik sampel yang akan dicantumkan meliputi: 6 skor variabel
independen dan jumlah nominal PMA yang masuk ke setiap negara selama
periode pengamatan, yaitu selama tahun 2002‐2008 (N), rata‐rata sampel
(mean), nilai maksimal, nilai minimal, dan standard deviasi.
Tabel 7:
Tabel Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation VA 70 -2.24 .51 -.8166 .73798 PV 70 -1.99 1.36 -.1890 .94657 G 70 -1.68 2.45 .0149 1.04612
RQ 70 -2.32 1.92 -.1441 1.08759 RL 70 -1.63 1.79 -.2816 .93407 CC 70 -1.72 2.37 -.3393 1.05113
PMA 70 17000000 24743000000 3849785714.29 5626050842.629 Valid N (listwise) 70
Pada tabel statistik deskriptif di atas dapat dilihat bahwa standard deviasi
lebih besar dari pada mean atau nilai rata‐rata. Hal ini menunjukkan bahwa
distribusi penyebaran data kurang baik. Namun demikian, penyimpangan yang
terjadi tidak terlalu tinggi, karena nilai standard deviasi itu sendiri tidak terlalu
jauh dari nilai mean variabel‐variabel yang ada.
4.2 Uji Asumsi Klasik
Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda. Analisis regresi
sendiri secara umum merupakan studi tentang ketergantungan antara variabel
dependen dengan variabel independen, dengan tujuan mengestimasi dan/atau
memprediksi rata‐rata populasi atau nilairata‐rata varaibel dependen bedasarkan
nilai variabel independen yang diketahui (Gujarati, 2003 dalam Ghozali, 2009).
Dalam regresi terdapat hubungan antara variabel dependen dan
independen, serta bagaimana arah hubungan kedua jenis variabel tersebut.
Secara lebih khusus, teknik regresi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah
Ordinary Least Square atau dikenal dengan singkatan (OLS); dalam hal ini
tercermin dalam Uji F untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen secara keseluruhan. Uji untuk setiap hipotesis menggunakan
uji t, guna mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependennya.
Namun demikian, sebelum uji menggunakan OLS dan uji t untuk
hipotesis, dilakukan dulu uji asumsi klasik.
4.2.1 Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data dalam penelitian
ini berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas digunakan agar persamaan
yang digunakan tidak bias guna dilanjutkan untuk uji regresi selanjutnya. Uji
normalitas dalam penelitian ini ditunjukkan dengan grafik histogram dan diagram
berikut ini:
Gambar 2: Grafik Histogram Uji Normalitas
-3 -2 -1 0 1 2 3
Regression Standardized Residual
0
5
10
15
20
Freq
uenc
y
Mean = -2.95E-16Std. Dev. = 0.956N = 70
Dependent Variable: PMA
Histogram
Gambar 3: Grafik Uji Normalitas
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Observed Cum Prob
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0Ex
pect
ed C
um P
rob
Dependent Variable: PMA
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Uji normalitas dalam penelitian ini dipertegas dengan metode
Kolmogorov‐Smirnov. Hasil yang normal ditunjukkan dengan nilai sig. Yang lebih
besar dari alfa, dalam hal ini adalah 5%. Tabel hasil uji Kolmogorov‐Smirnov
adalah sebagai berikut:
Tabel 8:
Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardize
d Residual N 70
Normal Parameters(a,b) Mean -.0000011 Std. Deviation 3302052679.08
892200 Most Extreme Differences
Absolute .088 Positive .088 Negative -.059
Kolmogorov-Smirnov Z .736 Asymp. Sig. (2-tailed) .652
a Test distribution is Normal. b Calculated from data.
Hasil uji normalitas di atas menunjukkan nilai sig 0.652. 0.652 > 0.05,
sehingga dapat disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini terdistribusi normal.
Hal ini dikarenakan berdasarkan uji statistik, nilai sig yang lebih besar dari pada
alfa (dalam penelitian ini alfa sebesar 0.05) menuujukkan bahwa data
terdistribusi normal (Ghozali, 2001). Dengan hasil yang demikian, maka
persamaan dalam penelitian ini dapat digunakan untuk proses regresi
selanjutnya sebagai prediktor.
4.2.2 Uji Multikolinearitas
Uji Multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui apakah diantara
variabel‐variabel independen dalam penelitian ini terdapat hubungan atau tidak.
Uji Multikolinearitas dalam penelitian ini dapat diinterpretasikan dari nilai VIF,
tolerance, dan korelasi antar variabel independen.
Hasil uji multikolinearitas tersebut dapata dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 9:
Tabel Hasil Uji Multikolinearitas
coefficients (a)
Coefficients(a)
a Dependent Variable: PMA
Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, terdapat multikolinearitas pada
empat variabel independennya, yaitu Government Effectiveness, Requlatory
Quality, Rule of Law, dan Control of Corruption. Hasil tersebut ditunjukkan
dengan nilai VIF yang lebih besar dari 10 dan nilai tolerance yang kurang dari
0.10. Adanya multikolinearitas di antra ketiga variabel independen tersebut
dikarenakan pemerintah berusaha menciptakan peraturan yang berkualitas guna
melayani kebutuhan warga negaranya, namun di dalam pemerintahan itu sendiri
terjadi tindak korupsi sehingga peraturan yang diciptakan tadi dilanggar.
Karena terdapat multikolinearitas dalam penelitian ini, maka dilakukan
penghilangan untuk variabel‐variabel bersangkutan, sehingga didaptkan tiga
variabel independen agar fungsi persamaan dapat dilanjutkan untuk dilakukan
proses regresi, yaitu voice and accountability, political stability and absence of
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig.
Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF 1 (Constant) 2722039306
.165 1380819175
.226 1.971 .053
VA -2743801263
.001
1282801378.047 -.360 -2.139 .036 .193 5.178
PV -3905423307
.703
987615182.563 -.657 -3.954 .000 .198 5.050
G 2237689085.953
1691077422.220 .416 1.323 .191 .055 18.083
RQ -609912773.
354
1556011844.115 -.118 -.392 .696 .060 16.547
RL 2745143911.121
2393628603.002 .456 1.147 .256 .035 28.883
CC 3534173138.103
1638134806.204 .660 2.157 .035 .058 17.131
violence, dan rule of law; di mana uji untuk ketiga variabel independen ini dapat
dilihat pada sub bab Uji Multikolinearitas dengan Tiga Variabel Independen.
4.2.3 Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi bertujuan menguji ada tidaknya korelasi antar kesalahan
penganggu di dalam regresi linear, yaitu pada periode t dengan kesalahan pada
periode t‐1 (periode sebelumnya). Hal ini timbul karena kesalahan pengganggu
(residual) tidak bebas dari suatu observasi ke observasi lainnya.
Uji autokorelasi dalam penelitian ini menggunakan Uji Durbin Watson.
Keputusan ada atau tidaknya autokorelasi akan berdasarkan tabel keputusan
seperti yang terdapat di bab 3. Persamaan regresi yang baik adalah persamaan
regresi yang bebas dari masalah autokorelasi.
Hasil pengujian Durbin Watson dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 10:
Uji Durbin Watson
Model Summary(b)
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate Durbin-Watson
1 .810(a) .656 .623 3455.718 .739 a Predictors: (Constant), CC, VA, PV, G, RQ, RL b Dependent Variable: PMA
Dari tabel di atas disimpulkan terdapat autokorelasi. Hal ini ditunjukkan
denagn nilai d = 0.739. 0.739 tersebut lebuh besar dari nilai dl dan du untuk
jumlah sampel 70, di mana dl = 1.433 dan du = 1.802.
Karena terdapat masalah autokorelasi maka pada langkah selanjutnya
akan dilakukan Uji Durbin Watson dengan mengaktifkan fungsi unstandardized
Residual pada proses pengujian, di mana hasilnya ditunjukkan pada sub bab 4.2.7
Uji Autokorelasi dengan Tiga Variabel Independen.
4.2.4 Uji Heteroskedastisitas
Uji Heterokedastisitas bertujuan menguji apakah di dalam model regresi
terjadi ketidaksaman varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain.
Jika varians residual dari setiap pengamatan berbeda, berarti telah terjadi
heterokedastisitas.
Hasil Uji Heterokedastisitas dengan Diagram Scatterplot menunjukkan
hasil yang menyebar dan tidak membentuk pola tertentu, di mana hal tersebut
menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah heterokedastisitas. Diagram
Scatterplot tersebut disajikan pada gambar di bawah ini:
Gambar 4: Scatterplot Uji Heterokedastisitas
-4 -2 0 2 4
Regression Standardized Predicted Value
-2
-1
0
1
2
3
4
Regr
essio
n Stu
dent
ized R
esidu
alDependent Variable: absut
Scatterplot
Uji heterokedastisitas melalui diagram scatterplot di atas didukung
dengan Uji Glejser. Hasil yang terbebas dari masalah heterokedastisitas
ditunjukkan dengan nilai sig. yang lebih besar dari alfa, dalam hal ini adalah 5%.
Pengujian secara statistik tersebut menyimpulkan bahwa terdapat masalah
hetorkedastisitas seperti yang ditampilkan pada tabel berikut ini:
Tabel 11:
Uji Heterokedastisitas
Coefficients(a)
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant
) 27220393
06.16513808191
75.226 1.971 .053
VA -27438012
63.001
1282801378.047 -.360 -2.139 .036
PV -39054233
07.703
987615182.563 -.657 -3.954 .000
G 2237689085.953
1691077422.220 .416 1.323 .191
RQ -60991277
3.354
1556011844.115 -.118 -.392 .696
RL 2745143911.121
2393628603.002 .456 1.147 .256
CC 3534173138.103
1638134806.204 .660 2.157 .035
a Dependent Variable: PMA Sebagaimana langkah pengujian pada Uji Geyser, hasil di atas dilanjutkan
dengan menguji kuadrat terkecil dari setiap variabel dan dilanjutkan dengan
inverse msing‐masing variabel. Setelah semua langkah dipenuhi, hasil uji
menunjukkan tidak terdapat heterokedastisitas. Hasil tersebut ditunjukkan pada
tabel di bawah ini:
Tabel 12:
Uji Heterokedastisitas dengan Inverse
Coefficients(a)
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant
) 27213074
95.99326476762
4.462 10.278 .000
invva -24527697.
451
16342668.701 -.190 -1.501 .139
invpv 22314294.980
15060933.450 .186 1.482 .144
invg 26333526.463
74694972.751 .060 .353 .726
invrq 8731481.488
84550536.594 .018 .103 .918
invrl 21571923.196
45833265.837 .059 .471 .640
invcc 105310891.924
114957291.430 .116 .916 .363
a Dependent Variable: absut
Berdasarkan uji asumsi klasik di atas, diketahui terdapat masalah
multikolinearitas dan autokorelasi. Masalah multikolinearitas ditunjukkan
dengan nilai VIF yang lebih besar dari 10 dan nilai tolerance yang lebih kecil dari
pada 0.10 (Ghozali, 2001), sedangkan masalah autokorelasi ditunjukkan dengan
nilai d yang lebih besar dari pada nilai dl dan du yang terdapat pada tabel uji
Durbin Watson (Ghozali, 2001). Oleh sebab itu, diambil langkah untuk
meghilangkan tiga variabel independen, yaitu Government Effectiveness (G),
Regulatory Quality (RQ), dan Control of Corruption (CC). Setelah menghilangkan
tiga variabel independen tersebut didapat hasil uji asumsi klasik dengan tiga
variabel yang lolos uji kendala liner, yaitu voice and accountability, political
stability and absence of violence, dan rule of law.
4.3 Uji Model dengan Variabel yang Lolos Uji Kendala Linier
4.3.1 Uji Normalitas dengan Tiga Variabel Independen
Uji Normalitas ini dilakukan untuk menguji apakah data pada tiga variabel
yang dipakai dalam penelitian ini; voice and accountability, political stability and
absence of violence, dan rule of law terdistribusi secara normal atau tidak.
Uji Normalitas ini menggunakan diagram histogram dan grafik seperti
yang terlihat di bawah ini:
Gambar 5: Grafik Histogram Uji Normalitas dengan Tiga Variabel Independen
-2 -1 0 1 2 3
Regression Standardized Residual
0
2
4
6
8
10
12
Freq
uenc
y
Mean = -4.23E-16Std. Dev. = 0.978N = 70
Dependent Variable: PMA
Histogram
Gambar 6: Grafik Uji Normalitas dengan Tiga Variabel Independen
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Observed Cum Prob
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Expe
cted
Cum
Pro
b
Dependent Variable: PMA
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Uji normalitas tersebut didgukung dengan Metode Kolmogorov‐Smirnov.
Hasil yang normal ditunjukkan dengan nilai sig. Yang lebih besar dari alfa, dalam
hal ini adalah 5%. Tabel hasil uji Kolmogorov‐Smirnov adalah sebagai berikut:
Tabel 13:
Tabel Kolmogorov Smirnov dengan Tiga Variabel Independen
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test VA PV RL PMA N 70 70 70 70
Normal Parameters(a,b)
Mean -.8166 -.1890 -.2816 3849785714.29
Std. Deviation .73798 .94657 .93407 5626050842.629
Most Extreme Differences
Absolute .111 .110 .145 .248Positive .094 .096 .145 .242
Negative -.111 -.110 -.074 -.248Kolmogorov-Smirnov Z .932 .918 1.210 2.074Asymp. Sig. (2-tailed) .350 .368 .107 .000
a Test distribution is Normal. b Calculated from data.
Berdasarkan pengujian di atas, didapatkan hasil bahwa nilai sig untuk
PMA berada di bawah 0,05. Dengan demikian, diadakan test Kolmogorov‐
Smirnov dengan unstadardized residual dan didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 14:
Metode Kolmogorov Smirnov Tiga Variabel Independen dengan
Pengaktifan Unstandardized Residual
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardize
d Residual N 70
Normal Parameters(a,b) Mean -.0000013 Std. Deviation 3513883354.56
400900 Most Extreme Differences
Absolute .098 Positive .098 Negative -.067
Kolmogorov-Smirnov Z .819 Asymp. Sig. (2-tailed) .513
a Test distribution is Normal. b Calculated from data.
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan nilai signifikasni 0.513, di mana nilai
ini lebih besar dari pada 5%. Dengan demikian persamaan dalam penelitian ini
dapat digunakan untuk prediktor.
4.3.2 Uji Multikolineritas dengan Tiga Variabel Independen
Uji multikolinearitas ini digunakan untuk mengetahui apakah di antara
ketiga variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini; yaitu voice and
accountability, political stability and absence of violence, dan rule of law masih
terdapat hubungan satu sama lain atau tidak.
Hasil uji multikolinearitas dapat dilihat pada tabel‐tabel berikut ini:
Tabel 15:
Uji Multikolinearitas dengan Tiga Varibel Independen
Coefficients(a)
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig.
Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF 1 (Constant
) 31361618
41.958 75996581
6.790 4.127 .000
VA -28686773
68.177
901747371.236 -.376 -3.181 .002 .422 2.367
PV -39430409
32.306
876986383.945 -.663 -4.496 .000 .271 3.683
RL 8431575790.788
1063118778.767 1.400 7.931 .000 .190 5.271
a Dependent Variable: PMA
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan tidak terdapat masalah
multikolinearitas, karena nilai VIF tidak ada yang lebih besar dari 10 dan nilai
tolerance pun lebih besar dari 0.10.
Berdasarkan hasil tabel tersebut maka persamaan tersebut dapat
digunakan untuk dilakukan analisis regresi.
4.3.3 Uji Autokorelasi dengan Tiga Variabel Independen
Uji autokorelasi ini bertujuan untuk menguji ada‐tidaknya korelasi antar
kesalahan pengnaggu dalam regresi linier, pada periode t dengan kesalahan pada
periode t‐1 pada tiga variabel independen dalam penelitian ini; yaitu voice and
accountability, political stability and absence of violence, dan rule of law.
Uji autokorelasi dalam penlitian ini menggunakan Uji Durbin Watson,
dengan menggunakan tiga variabel independen. Hasil uji tersebut menghasilkan
Nilai Durbin Watson yaitu 2.078, seperti yang tertulis pada tabel di bawah ini:
Tabel 16:
Uji Durbin Watson dengan Tiga Variabel
Model Summary(b)
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate Durbin-Watson
1 .641(a) .410 .373 2758729932.45691600 2.078
a Predictors: (Constant), res_2, VA, PV, RL b Dependent Variable: Unstandardized Residual
Berdasarkan hasil di atas, tidak terdapat lagi masalah autokorelasi.
Dengan demikian tidak terdapat kesalahan pengganggu antar periode sehingga
dapat dilanjutkan untuk dilakukan analisis regresi.
4.3.4 Uji Heteroskedastisitas dengan Tiga Variabel Independen
Uji Heterokedastisitas ini digunakan untuk menguji ada‐tidaknya
ketidaksamaan varians dari residual satu pengamtan ke pengamatan lain dengan
menggunakan tiga variabel independen; yaitu voice and accountability, political
stability and absence of violence, dan rule of law.
Uji Heterokedastisitas dengan tiga variabel independen ini menggunakan
fungsi absolut residual, karena tanpa melakukannya akan terdapat masalah
heterokedastisitas. Hasil uji tersebut dapat digambarkan pada diagram
scatterplot di bawah ini:
Gambar 7: Scatterplot Uji Heterokedastisitas dengan Tiga Variabel
Independen
-2 -1 0 1 2
Regression Standardized Predicted Value
-4
-2
0
2
4
Reg
ress
ion
Stud
entiz
ed R
esid
ual
Dependent Variable: AbsUt
Scatterplot
Uji heterokedastisitas dalam penelitian ini didukung dengan Uji Glejser.
Hasil yang terbebas dari masalah heterokedastisitas ditunjukkan dengan nilai sig.
yang lebih besar dari alfa, dalam hal ini adalah 5%. Pengujian secara statistik
tersebut menyimpulkan bahwa terdapat masalah hetorkedastisitas sebagai
berikut:
Tabel 17:
Uji Heterokedastisitas dengan Tiga Variabel
Coefficients(a)
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant
) 31361618
41.95875996581
6.790 4.127 .000
VA -28686773
68.177
901747371.236 -.376 -3.181 .002
PV -39430409
32.306
876986383.945 -.663 -4.496 .000
RL 8431575790.788
1063118778.767 1.400 7.931 .000
a Dependent Variable: PMA Berdasarkan tabel di atas didapatkan hasil bahwa terdapat masalah
heteroskedastisitas. Hal ini terlihat dari nilai sig. yang semuanya lebih kecil dari
0.05. Oleh sebab itu, dilakukan pengujian kembali dengan menggunakan nilai
absolut residual (AbsUt). Hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut:
Tabel 18:
Uji Heterokedastisitas Tiga Variabel dengan Absolut Residual
Coefficients(a)
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant
) 30916679
75.66743015099
6.941 7.187 .000
VA 148486237.303
510401286.685 .049 .291 .772
PV 263527374.874
496386230.832 .111 .531 .597
RL 850109008.894
601739699.931 .353 1.413 .162
a Dependent Variable: AbsUt
Dari tabel di atas didapatkan hasil bahwa nilai sig. lebih dari 0.05. Dengan
demikian dikatakan bahwa persamaan ini telah terbebas dari masalah
heteroskedastisitas. Hasil di atas menunjukkan bahwa varians residual setiap
pengamatan adalah sama.
4.4 Hasil Uji F dan Uji T untuk Hipotesis
Setelah uji asumsi klasik, dilakukan uji koefisien korelasi, uji F, dan uji T, di
mana pengujian hipotesis dapat dilihat secara statistik melalui uji‐uji tersebut,
dan berikut adalah hasil pengujian tersebut:
Tabel 19:
Uji untuk Koefisien Korelasi
Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .781(a) .610 .592 3592856886.038
a Predictors: (Constant), RL, VA, PV
Berdasarkan uji F, didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 20:
Uji F
ANOVA(b)
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression
1332049957951454000000.000
3 444016652650484800000.0
00 34.397 .000(a)
Residual 851968959834258000
000.000 66
12908620603549370000.00
0
Total 2184018917785713000000.000
69
a Predictors: (Constant), RL, VA, PV b Dependent Variable: PMA
Berdasarkan uji T, didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 21:
Uji T
Coefficients(a)
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant
) 31361618
41.958 75996581
6.790 4.127 .000
VA -28686773
68.177
901747371.236 -.376 -3.181 .002
PV -39430409
32.306
876986383.945 -.663 -4.496 .000
RL 8431575790.788
1063118778.767 1.400 7.931 .000
a Dependent Variable: PMA
Dari uji asumsi klasik yang dilakukan diatas, dilanjutkan dengan uji F
untuk pengujian pengaruh keseluruhan dari variabel independen terhadap
variabel dependen dan uji T untuk menguji hipotesis, atau dengan kata lain
menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen satu‐
persatu.
Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat
PMA yang masuk, dan bukan AbsUt (nilai absolut residual) dari PMA tersebut, di
mana berarti uji F dan uji T yang dilakukan masih mengandung
heterokedastisitas.
Penggunaan PMA sebagai variabel dependen dikarenakan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data panel yang terdiri dari data time
series dan cross sectional. Data cross sectional memang cenderung memiliki sifat
heterokedastisitas (Ghozali, 2001; Winarno, 2007). Lebih lanjut lagi, diketahui
bahwa data panel memang tidak dapat disamakan dengan data lainnya. Data
panel berasal dari gabungan data yang bervariasi, di mana hal ini mencakup data
dengan skala besar dan kecil secara bersama‐sama (Ghozali, 2001), yang
menyebabkan metode statistik pada umumnya tidak dapat diterapkan
sebagaimana mestinya (Cheng, 2003).
Hal lain yang menyebabkan adanya heterokedastisitas dalam uji asumsi
klasik ini adalaha bahwa varaibel independennya merupakan variabel yang
menyangkut dengan kualitas dan kebijakan pemerintah negara‐negara ASEAN
yang tercermin di dalam skor‐skor. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Chan
dan Gemayel (2003) yang meneliti tentang hubungan pemerintahan dan PMA, di
mana hasilnya mengatakan bahwa uji heterokedastisitas tidak diperlukan untuk
data panel. Penelitian mengenai bagaimana kualitas pemerintah mempengaruhi
tingkat PMA masuk yang dilakukan oleh Adam Honig (2006) juga menyatakan
bahwa telah terjadi heterokedastisitas. Variabel independen yang demikian
merupakan variabel yang tidak selalu seiring dengan mekanisme yang
seharusnya, di mana hal ini tercermin dalam research gap di bab tiga; ketika skor
kualitas pemerintahan meningkat, diharapkan tingkat PMA pun meningkat,
namun pada kenyataannya tingkat PMA yang masuk bisa jadi justru menurun.
Hal ini mencerminkan bahwa setiap tindakan pemerintah dapat melawan apa
yang semestinya berlaku menjadi kebalikannya (Sukirno, 2000).
Berdasarkan hal‐hal tersebut di atas, pola persamaan tetap menggunakan
PMA sebagai variabel dependen. Persamaan yang digunakan ini merupakan
predictor bagi persamaan regresi (uji F) dan hipotesis‐hipotesis yang ada.
Dari tabel di atas didapatkan nilai R2 sebesar 0.610 atau 61%. Hasil R2
merupakan gambaran bagaimana kemampuan variabel independen menjelaskan
variabel dependennya.
Hasil tabel di atas tersebut menunujukkan bahwa variabel independen
dapat menjelaskan variabel dependennya sebesar 61%, sedangkan sisanya
dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dimasukkan di dalam persamaan. Lebih
lanjut lagi, nilai Adjusted R2 sebesar 0,592 menyatakan bahwa model yang dipilih
dapat digunakan dalam metode regresi (OLS).
Berdasarkan tabel uji F, didapat nilai F hitung sebesar 34.397 dengan
probabilitas 0.000. Karena probabilitas jauh lebih kecil dari pada 0.05, maka
model regresi dapat digunakan untuk memprediksi tingkat PMA yang masuk.
Dapat pula dikatakan bahwa Voice and Accountability, Political Stability and
Absence of Violende, dan Rule of Law secara bersama‐sama berpengaruh
terhadap PMA masuk.
Berdasarkan tabel uji T di atas, diketahui bahwa ketiga variabel
independen signifikan dengan nilai‐nilai 0.002 (voice and accountability), 0.000
(political stability and absence of violence), dan 0.000 (rule of law) yang
semuanya lebih kecil dari pada 0.05. Dari sini diketahui bahwa variabel PMA
dipengaruhi oleh Voice and Accountability, Political Stability and Absence of
Violende, dan Rule of Law, dengan persamaan matematis demikian:
PMA = 3136161841.958 ‐ 2868677368.177VA ‐ 3943040932.306PV +
8431575790.788RL
Konstanta menyatakan bahwa jika variabel independen dianggap
konstan, maka PMA yang masuk rata‐rata sebesar 3136161841.958. Variabel
Voice and Accountability dan Political Stability and Absence of Violende memiliki
pengaruh negatif terhadap tingkat PMA yang masuk. Di mana hal tersebut
menyatakan bahwa jika VA meningkat, PMA masuk justru menurun dan
sebaliknya. Jika PV meningkat, PMA masuk juga akan menurun dan sebaliknya.
Variabel RL memiliki pengaruh positif, di mana jika RL meningkat, PMA masuk
pun akan meningkat dan sebaliknya.
Dengan demikian, didapatkan hasil bahwa hipotesis yang menyatakan
bahwa voice and accountability dan political stability and absence of violence
berpengaruh positif terhadap tingkat PMA yang masuk ditolak. Hal ini seiring
denga penelitian yang dilakukan oleh Meon dan Sekkat (2007) yang mengatakan
bahwa keadaan politik di suatu negara tidak mempengaruhi jumlah aliran modal
asing yang masuk. Efek negatif dari dua variabel independen tersebut dapat
ditinjau dari variabel‐variabel itu sendiri.
Voice and accountability yang baik di sebuah negara mengindikasikan
bahwa warga negara dapat berpartisipasi dan memiliki suara dalam kegiatan di
negara tersebut, termasuk dalam hal perekonomian. Jika perusahaan‐
perusahaan lokal merasa terancam dengan adanya kompetisi dari investor asing,
perusahaan lokal tersebut dapat menyampaikan aspirasi tersebut ke pihak
pemerintahan. Dengan demikian pemerintah akan membatasi negara tersebut
dari perusahaan asing yang akan masuk guna menyelamatkan perusahaan lokal
dari persaingan dalam industri sejenis. Bentuk perlindungan yang demikian dari
pihak pemerintah dapat terwujud dalam bentuk regulasi yang dapat mengurangi
minat para investor asing. Hal ini terjadi ketika Malaysia, Singapura, Indonesia
dan Thailand yang dahulu merupakan tujuan investasi digantikan oleh negara
lain seperti Brazil, Finlandia, Jepang, Hong Kong, dan Korea Utara pada tahun
2000 an (Brooks et al, 2003).
Hal yang dapat menjadi ilustrasi mengenai pengaruh negatif voice and
accountability terhadap tingkat PMA yang masuk adalah ketika pengusaha lokal
Indonesia mendorong pemerintah untuk mengevaluasi ulang dan menunda
persetujuan ACFTA (ASEAN‐China Free Trade Area), pada perkembangannya. Hal
ini dikarenakan para pengusaha lokal masih merasa belum siap bersaing dengan
produk dari Cina, baik dari segi kualitas dan harga jual. Hal ini mendorong
pemerintah Indonesia melakukan apa yang diinginkan para pengusaha lokal.
Dengan ditolaknya hipotesis mengenai pengaruh positif voice and
accountability terhadap tingkat PMA masuk, teori mengenai lingkungan
eksternal dalam manajemen stratejik keuangan tidak dapat diaplikasikan. Namun
demikian, adanya pengaruh negatif ini justru menjadi bahan pertimbangan para
investor asing ketika akan melakukan portofolio investasi di banyak negara.
Political stability and absence of violence yang baik di sebuah negara
mengindikasikan bahwa pemerintahan di negara tersebut tetap kuat berdiri
meskipun ada usaha‐usaha untuk menjatuhkannya. Usaha‐usaha tersebut dapat
berupa kudeta, demonstrasi‐demonstrasi, dan adanya terorisme di negara
tersebut. Pemerintah di negara‐negara ASEAN hendaknya tetap menjaga
kestabilan politik. Hal tersebut dikarenakan kestabilan politik suatu negara akan
berpengaruh terhadap operasional negara itu sendiri. Pemerintah dapat menarik
perhatian para investor asing dari segi lain, diantaranya melalui peningkatan rule
of law dan penyesuaian voice and accountability. Namun demikian, berdasarkan
hasil analisis, investor asing bisa merasa tertarik untuk menanamkan modalnya di
negara yang keadaan politiknya tidak stabil guna mendapatkan keuntungan yang
lebih besar (profit taking). Jika investor asing menanamkan modalnya di negara
dengan kondisi politik stabil, hasil yang didapatkan pun hanya sebatas pada apa
yang diprediksi. Namun, jika investor asing menanamkan modalnya di negara
dengan kondisi politik yang tidak stabil, selain risiko yang besar, keuntungan yang
didapatkan pun bisa melebihi jika investasi dilakukan di negara yang kondisi
politknya stabil. Dalam hal ini, para investor asing cenderung mencari waktu yang
dirasa tepat untuk melakukan investasi. Hasil penelitian ini bertentangan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ewe (2001) serta Dash dan Raja (2009) yang
mengemukakan bahwa ketidakstabilan politik di sebuah negara akan mengurangi
ketertarikan investor asing untuk menanamkan modalnya di negara
bersangkutan.
Pengaruh negatif dari political stability and absence of violence terhadap
tingkat PMA yang masuk merupakan suatu keadaan yang akan mencerminkan
pertimbangan investor asing ketika akan melakukan portofolio investasinya. Jika
hasil yang didapatkannya bisa melebihi prediksinya, maka portofolio di negara
dengan kondisi political stability and absence of violence yang rendah, justru
merupakan pilihan portofolio yang tepat. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor
lain yang menarik perhatian para investor, seperti adanya potensi investasi yang
menguntungkan dari sumber daya alam di negara bersangkutan atau adanya
efisiensi sumber daya manusia. Dengan demikian, potensi investasi lain tersebut
menjadi daya tarik tersendiri, meskipun keadaan politik di negaranya tidak stabil.
Hipotesis yang menyatakan bahwa rule of law berpengaruh positif
terhadap tingkat PMA yang masuk diterima. Hal ini seiring dengan penelitian
yang dilakukan oleh dan Rothstein dan Teorell (2005) yang mengatakan bahwa
pengimplementasian hukum yang baik akan membuahkan rasa aman dan
kepastian bagi para investor. Penelitian oleh Boettke dan Subrick (2003)
mendukung hal tersebut dengan menjelaskan bahwa pelaksanaan hukum yang
baik di sebuah negara akan berdampak pada kemajuan ekonomi akibat
meningkatnya PMA yang masuk.
Pengaruh positif rule of law terhadap tingkat PMA yang masuk
menunjukkan bahwa pemerintah sebagai agen dari negaranya berhasil
melakukan tugas, khususnya di dalam penerapan hukum yang jelas dan pasti. Hal
tersebut nantinya akan menjadi penarik perhatian investor‐investor asing karena
dengan pelaksanaan hukum yang pasti, investasi yang dilakukan akan menjadi
lebih aman, dilihat dari kemudahan proses investasi yang tidak berbelit‐belit.
BAB V
PENUTUP
Bedasarkan langkah analisis yang telah dilakukan di bab 4, didapatkan
hasil bahwa hanya tiga variabel independen saja yang digunakan. Hal ini
dikarenakan adanya langkah untuk menyelesaikan masalah multikolinearitas di
antara variabel‐variabel independen yang ada.
Dengan demikian, kesimpulan dan saran yang ada dalam bab 5 ini hanya
ditarik dari tiga variabel independen yang digunakan. Tiga variabel tersebut
adalah voice and accountability, political stability and absence of violence, dan
rule of law.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan tujuan penelitian yang ada, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
5.1.1 Voice and accountability berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat
PMA yang masuk ke negara‐negara ASEAN pada tahun 2002‐2008. Hal ini
dikarenakan pemerintah lebih mengutamakan ‘suara’ perusahaan lokal
yang menolak masuknya perusahaan asing pada jenis industri yang sama
akibat menghindari persaingan, sehingga semakin accountable pemerintah
terhadap badan usaha lokal, semakin rendah PMA yang masuk ke negara
bersangkutan. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa voice
and accountability berpengaruh positif terhadap tingkat PMA masuk ke
negara ASEAN selama periode 2002‐2008 ditolak.
5.1.2 Political stability and absence of violence berpengaruh negatif signifikan
terhadap tingkat PMA yang masuk ke negara‐negara ASEAN pada tahun
2002‐2008. Hal ini dikarenakan adanya aksi profit taking oleh para investor
asing yang ingin mendapat keuntungan lebih jika berinvestasi di negara
yang kondisi politiknya tidak stabil dari pada berinvestasi di negara dengan
kondisi politik yang stabil sehingga hasil investasi yang didapatkan hanya
sebatas apa yang seharusnya. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan
bahwa Political stability and absence of violence berpengaruh positif
terhadap tingkat PMA masuk ke negara ASEAN selama periode 2002‐2008
ditolak.
5.1.3 Rule of law berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat PMA yang
masuk ke negara‐negara ASEAN pada tahun 2002‐2008. Hal ini berkaitan
dengan rasa aman para investor asing, di mana investor asing akan
menanamkan modalnya di negara yang telah melakukan hukum dengan
pasti sehingga investasi mereka pun aman. Dengan demikian hipotesis yang
menyatakan bahwa rule of law berpengaruh posistif terhadap tingkat PMA
masuk ke negara ASEAN selama periode 2002‐2008 diterima.
5.2 Implikasi Teoritis
Berdasarkan hasil penelitian ini, didapat implikasi secara teoritis sebagai
berikut:
5.2.1 R2 penelitian ini adalah sebesar 0.610 atau 61%. Hal ini berarti kemampuan
variabel independen menerangkan variabel dependen adalah sebesar 61%,
sedangkan 39%nya merupakan faktor lain yang tidak dimasukkan di dalam
persamaan. 39% sebagai sisa dari R2 tersebut merupakan hasil dari
ketidakseimbangan data pada penelitian ini. Ketidakseimbangan data
tersebut terlihat dari skor kualitas pemerintahan yang berada pada rentang
negatif dan positif pada porsi yang tidak seimbang di antara kedunya. Hal
lain yang juga dapat mempengaruhi hal ini adalah periode pengamatannya,
di mana jika penelitian dilakukan di luar periode pengamatan ini (2002‐
2008), dimungkinkan hasilnya pun akan berbeda. Dengan demikian
diperlukan metode yang dapat memperhalus persamaan tersebut
(smoothing method).
5.2.1 Voice and accountability yang berpengaruh negatif signifikan terhadap
tingkat PMA yang masuk dikarenakan peran pemerintah yang lebih
mengutamakan aspirasi usaha dalam negeri. Hal ini sesuai dengan
penelitian Meon dan Sekkat (2007), namun bertentangan dengan
penelitian Apaza (2007) yang mengatakan bahwa voice and accountability
yang baik di sebuah negara akan mendorong aliran modal masuk melalui
penanaman modal asing.
5.2.2 Political stability and absence of violence yang juga berpengaruh negatif
signifikan terhadap tingkat PMA yang masuk dikarenakan adanya
preferensi para investor asing untuk menanamkan modalnya di negara
dengan kondisi politik yang tidak terlalu stabil. Hal ini sesuai dengan
penelitian Meon dan Sekkat (2007), namun bertentangan dengan
penelitian Rothstein dan Teorell (2005) serta Dash dan Raja (2009) yang
mengatakan bahwa ketidakstabilan politik akan mendorong ketidakpastian
iklim investasi, di mana hal ini menurunkan minat para investor asing.
5.2.3 Rule of law berpengatuh positif signifikan terhadap tingkat PMA yang
masuk. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang diajukan. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Boettke dan Subrick (2003) serta Rothstein
dan Teorell (2005) yang menyatakan kepastian akan tercipta melalui
penerapan hukum yang baik guna menarik minat para investor asing.
5.2.4 Secara garis besar, segala pertimbangan yang dilakukan oleh para investor
asing merupakan usaha untuk melakukan portofolio di dalam investasi
mereka. Para investor asing dapat melakukan penanaman modalnya di
lebih dari suatu negara, sesuai dengan analisis masing‐masing negara
tujuan mereka. Hal tersebut terkait dengan lingkungan eksternal pada
manajemen stratejik keuangan, khususnya yang menyangkut keadaan
makroekonomi di negara tujuan melalui kebijakan pemerintahan, yang
tercermin dari kualitas pemerintahan negara tersebut.
Hal tersebut berlaku pada variabel rule of law yang memiliki pengaruh
positif terhadap aliran masuk modal asing, namun tidak berlaku pada
variabel voice and accountability dan political stability and absence of
violence yang berpengaruh negatif terhadap aliran masuk PMA.
5.2.5 Sementara itu, agency theory berlaku pula untuk variabel rule of law,
sehubungan dengan peran pemerintah dalam penegakan hukum yang pasti
guna menarik perhatian para investor asing. Namun demikian,
pengaplikasian agency theory tidak berlaku pada voice and accountability
dan politcal stability and absence of violence pada pengamatan di dalam
penelitian ini.
5.3 Implikasi Kebijakan
Manfaat penelitian ini dapat diuraikan menjadi sebagai berikut:
5.3.1 Political Stability and Absence of Violence memiliki pengaruh negatif
signifikan terhadap tingkat PMA masuk. Dengan demikian, walaupun aksi ambil
keuntungan yang mengharapkan hasil lebih dilakukan oleh para investor asing,
pemerintah di negara‐negara ASEAN hendaknya tetap menjaga kestabilan politik.
Hal tersebut dikarenakan kestabilan politik suatu negara akan berpengaruh
terhadap operasional negara itu sendiri
5.3.2Voice and Accountability memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap
tingkat PMA yang masuk. Hal tersebut terkait dengan kebebasan warga
negara termasuk para pengusaha lokal untuk menyampaikan aspirasinya, di
mana hal itu merupakan hal yang penting. Namun demikian, pemerintah
negara‐negara ASEAN hendaknya juga mempertimbangkan keadaan
ekonomi secara jangka panjang, sehingga tidak hanya mendengar apa yang
menjadi ketakutan bersaing dari perusahaan‐perusahaan dalam negeri dan
memperhatikan tingkat perekonomian yang ada. Dengan demikian, tingkat
PMA yang masuk ke dalam negeri pun bisa lebih optimal guna mendorong
pertumbuhan ekonomi negara itu sendiri.
5.3.3 Pemerintah negara‐negara ASEAN hendaknya senantiasa mengembangkan
pelaksanaan tata hukum (rule of law) yang pasti, guna menarik perhatian
para investor asing. Jika pelaksanaan hukum dan kepastian di dalam
birokrasinya baik, para investor asing akan tertarik menanamkan modalnya.
Hal ini berkaitan dengan keamanan untuk kelangsungan usaha mereka di
negara tuan rumah yang dipilih, termasuk menyangkut adanya tindakan‐
tindakan ilegal dari oknum di negara tuan rumah; seperti pungutan liar.
5.3.4 Para investor asing yang akan menanamkan modalnya di negara anggota
ASEAN hendaknya menilai kualitas pemerintahan, di samping
mempertimbangakan keadaan ekonomi dunia atau faktor infrastruktur
negar tujuan investasi. Kualitas pemerintahan yang baik akan mendukung
investasi asing berkembang karena pemerintah lokal mendukung
implementasinya.
5.4 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki batasan. Batasan ini menyangkut periode
pengamatan yang digunakan. Periode pengamtan di dalam penelitian ini adalah
mulai tahun 2002‐2008. Dimulainya pengamatan pada tahun 2002 memang
sesuai dengan adanya liberalisasi ekonomi di kawasan ASEAN yaitu AFTA. Namun
demikian hal tersebut juga terkait dengan tersedianya data dari sunber yang
baru ada mulai tahun 2002 hingga 2008.
5.5 Agenda Penelitian Mendatang
Dari hasil penelitian dan terkait dengan batasan yang ada, penelitian
mendatang hendaknya dapat melakukan studi pada topik yang sama dengan
menggunakan periode pengamatan yang lain. Periode pengamatan tersebut
dapat disesuaikan dengan pilihan peristiwa dunia yang terjadi atau dengan
periode pengamatan yang lebih panjang dari pada tahun 2008, yaitu dengan
menggunakan up date skor kualitas pemerintahan yang lebih baru.
Penelitian mendatang juga dapat dilengkapi dengan perluasan negara‐
negara lain yang akan menjadi sampel. Perluasan juga dapat dipandang dari segi
variabel independen yang pada penelitian mendatang dapat ditambahkan, diluar
voice and accountability, political stability and absence of violence, dan rule of
law. Dari segi metodologi, dapat pula pilih metode lain, diantaranya untuk
menghilangkan masalah heterokedastisitas dan untuk mengamati perkembangan
pengaruh variabel independen terhadap variabel dependennya; diantaranya
dengan menggunakan Metode Log Natural.
DAFTAR PUSTAKA Ackerman, John. 2003. ”Co‐Governance for Accountability: Beyond “Exit” and
“Voice””. World Development Journal Vol. 32 No. 3 Agiomirgianaskis, George, Dimitrios Asteriou, Papathomak. 2006. “The
Determinants of Foreign Direct Investment: A Panel Data Study for the OECD Countries”. Discussion Paper No. 03/06. Departement of Economics. City University London
Ahmed et al. 2005. “The Composition of Capital Flow: Is South Africa
Different?” Working Paper: International Monetary Fund Al‐Sadiq, Ali. 2009. “The Effect of Corruption on FDI Inflows”. Cato Journal
Vol. 29 No. 2 Albuquerque, Rui. 2002. “The Composition of International Capital Flow: Risk
Sharing Through FDI”. 2002. Journal of International Economics. University of Rochster
Alfaro, Laura dan Sebnem Kalemli Ozcan. 2006. “Capital Flow in a Globalized
World: The Role of Policies and Institutions” Allen, Douglas W. 1999. “Transaction Cost”. Departement of Economics.
Simon Fraser University Altinkemer, Melike. “Capital Flow: The Turkish Case”. Discussion Paper No.
9601. Central Bank of The Republic of Turkey Apaza, Carmen. 2007. World Bank Anti Corruption Effect: Ensuring
Accountability and Controlling Corruption. World Bank Baltagi, Badi H. “Financial Development, Openess, and Institutions: Evidence
from Panel Data”. Working Paper No. 07/05 Batiz, Luis A. Rivera dan Maria Angels Oliva. 2002. “Political Institutions,
Capital Flow, and Developing Country Growth: An Empirical Investigation”. Review of Development Economics.
Berkel, Rik Van dan Vando Borghi. 2007. “New Mode of Government in
Activation Policies”. International Journal of Sociology and Social Policy
Berument, Hakan dan Nergiz Dincer. 2001. “Do Capital Flows Improve
Macroeconomic Performance in Emerging Markets?: The Turkish Expirience”
Block, Bill dan Forbes Kristin. 2004. “Capital Flow to Emerging Markets: The
Myth and Reality”. Federal Reserve Bank of Dallas Bodie, Kane, dan Marcus. 2006. Investment. Salemba Empat: Jakarta Boettke, Peter dan Subrick Robert. 2003. “Rule of Law, Development, dan
Human Capabilities”. Bosworth, Barry dan Susan M Collins. 1999. Capital Flow to Developing
Economies: Implications for Saving and Investment. Brewer, Gene A, Yujin Chow, Richard M Walker.2007. Accountability,
Corruption, and Government Effectiveness in Asia: An Exploration World Bank Governance Indicators.International Management Public Review Volume 8 Isuue 2.
Brooks, Douglas H, Emma Xiaoxin Fan, Lea R Sumolong.2003.Foreign Direct
Investment in Developing Asia: Trends, Effect, and Likely Issues for the Forthcoming WTO Negotiation.Asian Development Bank: ERD Working Paper number 38
Broto, Carmen; Diaz Javier Cassou, Aitor Erse Domiguez. 2008. “Measuring
and Explaining The Volatility of Capital Flow Towars Emerging Countries”. Documentos de Trabajos No.0817
Budi Winarno, Prof. Dr MA. 2009. Pertarungan Negara VS Pasar. MedPress
(IKAPI): Jogjakarta Busari, Dipo T. 2006. “Macroeconomic Stability or Good Institutions of
Governance: What Is Africa Getting Wrong?” United Nations African Institute for Economic Development Planning (IDEP)
Bustelo, Pablo. 2004. “Capital Flows and Financial Crises: A Comparative
Analysis of East Asia (1997‐1998) and Argentina (2001‐2002)”. Working Paper no. 2004‐017. Compultense University of Madrid. Faculty of Economics.
Buthe, Tim. 2008. “The Politics of Foreign Direct Investment into Developing Countries: Increasing FDI Through Internatinal Trade Agreements?” American Jounal of Political Science vol. 52 No.4
Calvo, Guliermo A. 1998. “Capital Flow and Capital Market. Crises: The Simple
Economic of Sudden Stops”. Journal of Applied Economics, Mayo Vol. 1 No.1. University del Cema
Casseres, Benjamin Gomes dan David B. Yoffie. 1992. The International
Political Economy of Direct Foreign Investment. Edward Elgar Publishing Company: Vermont
Chan, Kitty K dan Edward Rg Gemayel. 2003. Macroeconomic Instability and
Pattern of FDI In MENA Region. Economic Research Service. United States Departement of Agriculture
Cheng Hsiao. 2003. Analysis of Panel Data. Cambridge University Press:
Cambridge (UK) Dash, Bhartee Bhusana dam Angara Raja. 2009. “Institutions and The Quality
of Governance: An Empirical Study of International Differences in Economic Development in India”. Asia Pacific Development Journal Vol. 16 No.1
Ewe‐Ghee Li,. 2001. “Determinants of and the Relationship Between Foreign
Direct Investment and Growth: A Summary of the Recent Literature”. IMF Working Paper
Eisenhardt, Kathleen M. 1988. “Agency‐and Institutional‐Theory
Explanations: The Case of Retail Sale Compensation”. The Academy of Management Journal
Floyd, David dan Sandhla Summan. 2007. “Understanding the Main Motives
of Foreign Direct Investment, an East West Country Contrast: Is The Host Legislation and Important Factors?” Corporate Governance Journal No.8
Ghose, Ajit K. 2004. “Capital Flow and Investment in Developing Countries”.
Employment Strategy Papers Globerman Steven dan Daniel Saphiro. 2002. “Government Infrastructure
and US Foreign Direct Investment”. Faculty of Business Administration
Grossman, Philip. “Government and Economic Growth: A Non Linear
Relationship”. Public Choice Journal 56 Guiding Principles For Regulatory Quality and Performance, OECD. 2005 Hall, Robert dan Charles Jones. 1997. “Levels of Economic Activity Across
Countries”. American Economic Association Impelementation of AFTA Seminar.2002 Jensen, Michael dan William Meckling. 1976. “Theory of The Firm:
Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure”. Journal of Financial Economics
Karlsson, Sylvia I. 2007. “Allocating Responsibilities in Multi‐Level Governance
for Sustainable Development”. International Journal of Social Economics vol. 34 No. 1‐2
Kholdy, Shady dan Ahmad Sohrabian. 2007. “Foreign Direct Investment,
Financial Market and Political Corruption”. Journal of Economic Studies Vol. 35 No. 6
Kiser, Edgar. 1999. “Comparing Varieties of Agency Theory in Economics,
Political Science, and Sociology: An Ilustration From State Policy Implementation”. American Sociological Association
Knack, Stephen. 1999. “Aid Development and the Quality of Governance: A
Cross Country Empirical Analysis”. University of Maryland Knack, Stephen dan Philip Keefer. 1995. “Institutions and Economic
Performance: Cross Countries Tests Using Alternative Institutional Measures”. Economics and Politics Journal Vol. 7 No.3
Kok, Recep dan Bernur Acikgoz Ersoy. 2009. “Analysis of FDI Determinants in
Developing Countries”. International Journal of Social Economics Vol. 36 No 1‐2
Kuncoro, Mudrajad. 2000. Manajemen Keuangan Internasional. BPFE
UGM:Yogyakarta
Lambsdorff, Johann Graf. 2002. “How Corruption Affects Persistent Capital Flows”. Economics of Governance. Springer Verlag University of Passau
Lothian, James R. 2005. “Institutions, Capital Flow, and Financial Integration”.
Working Paper. International Monetary Fund Loungani, Prakash dan Assaf Razin. 2001. “How Beneficial is Foreign Direct
Investment for Developing Countries”. Financial and Development Journal Vo. 38 No. 2
Mankiw, Gregory N. 2001. Principles of Economics. Horcourt Brace
Jovanovich: Singapore Marin, Daha dan Monika Schnitzer. 2006. “When is FDI a Capital Flow?”.
Discussion Paper No.126. University of Munich Market and Democracy, E Journal. United Sate Of America McLarney, Carolan dan Shelley R. Rhyno. 2000. “International Joint Venture
Negotiations: Using Reciprocating Agency Theory to Examine Behavior and Relationship Outcomes”.
Meon, Oierre Guillanme dan Sekkat Khalid. 2007. “FDI Waves, Waves of
Neglect of Political Risk”. World Investment Prospects Mody, Ashoka dan Antu Panini Murshid. 2004. “Growing Up With Capital
Flow”. Journal of International Economics. Moten, Abdul Rashid dan Shed Serajul Islam. 2000. Introduction to Political
Science. Cengage Learning Asia Pte Ltd: Singapore Muhammad, Suwarsono. 2000. Manajemen Strategik: konsep dan kasus.
UPP AMP YKPN: Yogyakarta
Musila, Jacob W. Dan Simon P. Sigue. 2006. “Accelerating Foreign Direct Investment: Flow to Africa, From Policy Statements to Succefull Strategies”. Managerial Financial Journal Vol. 32 No. 7
Ning Wang. 2003. “Measuring Transaction Cost: An Incomplete Survey”
Working Paper Series Number 2. Ronald Coase Institute OECD Guiding Principles for Regulatory Quality Performance. 2002 OECD Guiding Principles for Regulatory Quality Performance. 2005
Pearce and Robinson. 2007. Strategic Management: formulation, implementation, and control. McGraw Hill International: New York
Pham Hoang Mai. 2004. FDI and Development in Vietnam. Institute of South
East Asian Studies: Singapore Rajan, Ramkishen S., Sunil Rongala, dan Ramya Gosh. 2008. “Attracting
Foreign Drirect Investment (FDI) to India”. Ralhan, Mukesh. 2006. “Determinants of Capital Flow: A Cross Country
Analysis”. Econometrics Working Paper. University of Victoria Rothstein, Bo dan Jan Teorell. 2003. “What is Quality of Governance? A
Theory of Impartial Political Institutions”. Quality of Governance Paper Series. Goteberg University
Sadono Sukirno. 2000. Makroekonomi Modern. PT Raja Grafindo Persada:
Jakarta Sartono, R. Agus. 2001. Manajemen Keuangan Internasional. BPFE UGM:
Yogyakarta
Shapiro, Alan C. 2003. Multinational Financial Management seventh edition. John Wiley and Sons, Inc: California
Shelanski, Howard A, Peter G. Klein. 1995. “Empitical Research in Transaction
Cost Economics: A Review and Assessment”. Journal of Law, Economics, and Organization vol. 11 No. 2.
Solnik, Bruno dan Dennis McLeavey. 2009. Global Investment sixth edition.
Pearson Education Inc: Boston
Stefanovic, Suzana. 2008. “Analitical Finance of FDI Determinants Implementation of the OLI Model”. Economics and Organization Journal Vol 5 No. 3
Suad Husnan. 2001. Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas‐Sekuritas. UPP
AMP YKPN: Jogjakarta Sun, Lan dan Subhrendu Rath. 2008.” Fundamental Determinants,
Opportunistic Behavior, and Signaling Mechanism: An Integration of Earnings Management Perspectives”. International Review of Business Research Paper Vol 4 No. 4
Van De Walle, Steven. 2005. “Measuring Bureaucratic Quality in Governance
Indicators”. EGPA Annual Conference Wing Wahyu Winarno. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika. UPP STIM
YKPN: Jogjakarta www.govindicators.com www.unctad.com www.wikipedia.com