Post on 23-Nov-2021
576 •
PEMIDANAAN YANG BAGAIMANA
________ Oleh: Loebby Loqman, S.H. _______ _
Pendahuluan
Masalah Pemidanaan, ' terutama di [ndonesia, jarang ditemui pembahasannya dalam kepustakaan berbahasa [ndonesia, bahkan masalah pemidanaan ini seolah-olah dianggap suatu yang betjalan dengan sendirinya, yakni suatu tugas Hakim dalam menjalankan sebahagian dari tugas keseluruhannya, yang di dalam hal ini adalah diberikan pula suatu wewenang khusus yang disebut Judex Pactie.
Akan tetapi di dalam kehidupan peradilan pidana sehari-hari sering timbur permasalahan dari penjatuhan pidana ini; umpama saja dalam kasus 'Robby Cahyadi', di mana ada selisih yang tajam antara penjatuhan hukuman yang diberikan oleh P'engadilan Negeri (yakni dengan pidana penjara selama tujuh setengah tahun ditambah sejumlah denda) sedangkan oleh Pengadilan Tinggi dijatuhkan dua setengah tahun penjara ditambah sejumlah denda.
Hal inilah salah satu masalah yang timbul di dalam praktek peradilan pidana, di sam ping juga rasa keadilan yang dirasakan kurang dipenuhi terhadap pemidanaan yang relatif tidak se-
" imbang bagi seorang koruptor dan se-orang pencuri biasa. Bahkan perihal disparitas inipun menjadi permasalahan di Amerika Serikat.
Masalah lain yang berhubungan dengan pemidanaan ini adalah suatu mas-
alah pemidanaan yang dihubungkan dengan tujuan daripada pemidanaan itu sendiri. Sejauh mana seorang Hakim mendapatkan masukan ten tang terdakwa sehingga dia dapat menjatuhkan suatu hukuman yang sesuai dengan keadaan terdakwa tersebut, baik dilihat dari kesalahan at'as perbuatan terdakwa maupun tujuan dari pemidanaan bagi diri terdakwa di sam ping juga rnemperhatikan pengaruhnya terhadap masyarakat di mana terdakwa melakukan tindak pidana tersebut.
Permasalahan tersebut di atas akan membawa kita kepada suatu persoalan lainyakni apakah memang benar suatu putusan ten tang berat ringannya pidana - karena Judex Pactie terse but di atas - tidak dimintakan suatu kasasi ke Mahkamah Agung.
Penjatuhan Pidana Atas Dasar Penemuan Hukum
Apabila kita perhatikan sistem yang dipergunakan dalam KUHP kita, maka
•
penjatuhan pidana adalah atas dasar penemuan hukum, yakni Hakim diberikan suatu kebebasan untuk menentukan suatu pidana di antara pidana minima sampai pidana maxima, yakni penjatuhan pidana yang dapat dipilih
, antara satu hari sampai dengan lima belas tahun untuk pidana maxima umum, sedangkan untuk maxima pidana khusus adalah sesuai dengan yang
Pemidanaan
tercantum dalam pasal-pasal masingmasing sebagai ancaman pidana perbuatan terse but tertinggi.
Seorang Hakim harus dapat menemukan hukum dalam setiap perkara,
• sehingga dia dapat menentukan pida-nanya yang sesuai dengan perbuatan serta keadaan ' siterdakwa tersebut.
Di dalam kehidupan peradilan pidana sehari-hari, kesempatan untuk menemukan hukum ini kurang dipergunakan sebaik-baiknya bagi seorang hakim, dan dengan dasar seperti yang diterakan dalam Hukum Acara Pidana, di mana hakim dalam menjatuhkan suatu putusan/pidana haruslah melihat hal-hal yang meringankan dan memberatkan, biasanya hanyalah dilihat se~
mata-mata apa yang terjadi di depan sidang belaka; umpamanya, perihal yang meringankan adalah bahwa siterdakwa lancar dalam pemeriksaan, masih muda, belum pernah dihukum, dan di dalam sidang terse but menyatakan penyesalannya. Sedangkan perihal yang memberatkan, memberikan jawaban yang berbelit-belit, sudah pernah melakukan tindak pidana sebelumnya dan .tidak tampak rasa menyesal atas perbuatannya di dalam p.emeriksaan terse but.
Suatu jarak yang diberikan oleh undang-undang antara pidana minima dan pidana maxima, adalah suatu jarak yang sebenarnya dapat dipergunakan oleh seorang hakim dalam menemukan suatu hukum pada tiap-tiap peristiwa yang dihadapkan kepadanya. Tidaklah akan merupakan suatu hal yang harus dijatuhkan sarna, meskipun atas sarna-sarna seorang pencuri, di mana pencuri yang satu bermotifkan akan kelaparan, sedangkan pencuri yang lain bermotivasi ingin menikmati hid up lebih senang.
Pada tahap banding, perihal penjatuhan pidana ini masihlah dapat dila-
577
kukan suatu peninjauan, akan tetapi tidak untuk kasasi di Mahkamah Agung.
Akan tetapi perkembangan di Hooge Raad di N egeri Belanda, rupanya terhadap berat ringannya pidana ini telah dimungkinkan untuk dimintakan kasasi, yakni apabila terdapat suatu kesalahan penerapan hukum, sehingga mengakibatkan kesalahan dalam penjatuhan pidana tersebut.
. Sebenarnya perihal kasus 'Robby Cahyadi' Kejaksaan mempunyai kesempatan untuk melakukan suatu pembaharuan hukum dengan meminta kasasi ke Mahkamah · Agung, dengan alasan adanya pertimbangan yang dianggap salah oleh putusan yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi. Sayana sekali hal tersebut tidak terjadi.
Atas Dasar Preseden
Penjatuhan pidana dengan dasat presen ini - umumnya dilakukan di Peradilan negara-negara Anglo Saxon - adalah dengan melihat putusan-pu-
• tusan Hakim yang terdahulu terhadap suatu perkara yang dianggap sarna.
Dilihat secara sepintas, maka penjatuhan pidana dengan cara preseden ini tidak akan menimbulkan suatu masalah. Akan tetapi ternyata bahwa banyak pula rilasalah-masalah yang timbuI, seperti yang termuat dalam buku Sanford H. Kadish.
Sehingga dengan terjadinya kasuskasus tertentu, maka timbullah masalah penjatuhan pidana yang bagaimana yang dapat dimintakan suatu peninjauan kern bali.
Oleh karena itu dapat dipakai sebagai rekomendasi atas penjatuhan pidana yang bagaimanakah yang memungkinkan untuk dilakukan suatu penin· jauan, ialah:
I. Suatu putusan penjatuhan ' pidana yang berlebihan.
•
578
2. Rasionalitas daripada penjatuhan pidana.
3. Respek terhadap sistem.
4. Fokus daripada pertimbangan pen-jatuhan pidana.
Masalah diperkenankan melakukan suatu peninjauan terhadap penjatuhan hukuman inipun membawa suatu masalah lain yakni:
1. Kemungkinan diperkenankannya terhadap penjatuhan pidana dalam perkara terse but dilakukan suatu
• • penm]auan.
2. Pengadilan yang berwenang untuk melakukan peninjauan. • •
3. Substansi perkara yang dimajukan •
ke depan pengadilan yang menin-jau penjatuhan pidana tersebut.
4. Kewenangan dari Pengadilan yang diberikan hak untuk meninjau kembali tersebut.
Ternyata bahwa meskipun cara penjatuhan pidana dengan dasar preseden
•
ini masihlah terdapat permasalahan, yakni apabila terjadi suatu yang dirasakan sebagai penyimpangan dari putusan-putusan hakim terdahulu. Dan perihal penyimpangan untuk penjatuhan pidana ini mungkin saja terjadi, apabila Hakim mempunyai alasan yang kuat untuk tidak lagi menuruti putusan sebelumnya.
TugasHakim Tugas seorang hakim dalam suatu
peradilan pidana dapat dikatagorikan menjadi dua tahap yang besar.
Tahap yang pertama ini terdiri dari beberapa tingkat pemeriksaan:
1. Apakah perbuatan itu dilakukan ~
oleh terdakwa.
2. Apabila benar, apakah perbuatan terse but melanggar suatu undangundang. Hal di atas adalah merupakan fase apakah memang telah dilakukan
•
Hukum dan Pembangunan
suatu tindak pidana (memirut istilah Prof. Mulyatno, apakah orang terse but t elah melakukan perbuatan pidana) . Sedangkan apabila memang telah dipenuhi unsur-unsur dari pasal-pasal oleh orang yang didakwa tersebut, barulah dilakukan pemeriksaan yang selanjutnya , yakni:
3. Apakah siterdakwa dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dipersalahkan atas perbuatannya terse but.
Apabila keseluruhan tahap pemeriksaan ini dipenuhi maka sampailah hakim menentukan hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada siterdakwa tersebut, dan ' inilah yang dimaksudkan dengan Tugas Hakim pada tahap ke-dua . '
Pentahapan inipun juga terjadi pada sistem peradilan di Anglo Saxon, yakni setelah seorang diperiksa oleh Peradilan Juri dan dia ' dinyatakan bersalah, maka tahap s~lanjutnya Hakim akan menjatuhkan suatu pidana terhadap terdakwa terse but.
Melihat pentingnya tahap yang kedua dari tugas hakim ini, maka ada pendapat yang menghendaki adanya
•
suatu hakim khusus yang berdiri sen-•
diri, atau pula suatu tim khusus yang terdiri dari para ahli (Psikologi, kriminologi, filosofi , penologi dan sosiologi) untuk melakukan penilaian terhadap
•
terdakwa akan dijatuhkan pidana yang bagaimana, sehingga sesuai dengan keadaan terdakwa tersebut.
Sebenarnya tahapan tersebut di atas dapat dibedakan akan tetapi tidak da-
•
pat dipisahkan , sehingga ada pula pen-dapat-pendapat yang keberatan terhadap adanya pemisahan tahap-tahap tersebut.
Keberatan-keberatan terse but adalah sebagai berikut:
1. Apabila tahap kedua tidak bersifat terbuka - di mana justru sifat yang
,
•
•
Pemidanaan
terpenting bagi penganut proses dua tahap - maka seluruh proses akan tidak mempunyai arti, sebab ini akan menyalahi azas keterbukaan dari suatu Hukum Acara Pidana.
2. Apabila menyangkut kualifikasi tertentu dari suatu tindak pidana, di mana harus pula diperhatikan pada tahap yang kedua, tidak akan tercapai tujuan dari pemisahan dua tahap ini, apabila pada tahap yang kedua tidak memperhatikan kualifikasi deliknya, yakni umpamanya apakah ada unsur dengan rencana, atau suatu kualifikasi terhadap kinderdoorsiag .
3. Tidak terdapatnya suatu kesinambungan pengetahuan antara tahap pertama dan tahap kedua, di mana seharusnya tahap kedua mempunyai masukan at as masalah-masalah yang timbul, baik secara individual maupun faktual, yang muncul dalam pemeriksaan tahap pertama.
4 . Apabila kita hubungkan dengan pertanggunganjawab daripada sipelaku, yang berhubungan dengan kesalah an maupun mampu bertanggungjawabnya sipelaku. Karena tahap kedua hanya menerima keterangan-keterangan tertulis belaka sehingga kurang dapat melihat dengan teliti perihal mampu bertanggungjawab dari sipelaku tersebut.
5. Keberatan yang lain ialah perihal tidak sinkronnya putusan yang terdapat dalam tahap kesatu dan tahap yang kedua, sehingga kemungkinan ini akan menyebabkan tujuan dari penjatuhan hukuman tidak akan tercapai.
Pada akhirnya dapat disimpuikan, khususnya perihal tugas hakim dalam d ua tahap ini, ialah bahwa memang benar kedua tahap terse but dapat dibedakan, akan tetapi janganlah memisahkan antara pemeriksaan tahap per-
•
579
tama dengan penentuan penjatuhan pidana pada tahap yang kedua.
Hal-hal yang Harus Diperhatikan Hukum dalam Penjatuhan Pidana
Perihal masalah yang harus, diperhatikan seorang hakim dalam menjalankan tugasnya yakni menjatuhkan suatu pidana bagi terdakwa yang sudah dinyatakan bersalah, amat erat hubungannya dengan tujuan dari pen-j atuhan pipana itu sendiri, di sam ping pengetahuaI1 atas apa yang terjadi di .
. dalam proses pemidanaan, sehingga diharapkan seorang terpidana akan mempunyai sikap tindak yang baik setelah menjalani pidananya . .
Seperti diketahui bahwa fungsi dari pidana adalah suatu prevensi, baik prevensi umum maupun prevensi khusus. Ada 4 hal yang mempunyai dampak dalam prevensi umum, yakni varia bel individu, variable delik, variabel sanksi, dan varia bel kebudayaan. Keempat varia bel terse but amat berpengaruh terhadap fungsi pidana yakni prevensi umum tersebut.
Faktor-faktor kejiwaan, biologi, sosiografie, psikologi . mempunyai arti penting dalam variabel pribadi, sedangkan ada faktor lain dalam variable delik yang amat berpengaruh terhadap variabel pribadi tersebut, karena belum tentu dengan suatu ancaman pidana yang tinggi maka seseorang tidak akan melakukan suatu tindak pidana.
Juga sanksi haruslah diperhatikan dalam hubungannya dengan varia bel pribadi, terlebih penting lagi adalah variabel kebudayaan, khususnya di Indonesia ini di mana suatu kebudaya-, .
an mempunyai arti penting bagi kehl-•
dupan pribadi seseorang. Apabila kita perhatikan fungsi pre
vensi umum ini, maka dapat merupakan su atu yang kontradiksi tcrhadap prevensi khusus, yakni terhadap siterpidana itLl scndiri. Hakim dalam men-
Nopember 1984
•
-. -
•
580
jatuhkan pidana dengan bertitik tolak pada prevensi umum, maka dapat saja seorang terpidana akan dirugikan.
Oleh karena itu variabel-variabel terse but di at as adalah am at penting bagi seotang hakim dalam menjatuhkan pidana. Dengan ditinggalkan varia. bel pribadi maka akan menim bulkan suatu ketidak adilan.
Dan perihal hal-hal yang harus diperhatikan seorang hakim dalam proses penjatuhan pidana ini dapat kita lihat kemajuannya dalam rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , yang mudah-mudahan dapat diterima di DPR , yakni yang meliputi 8 butir :
1. perihal kesalahan siterdakwa.
2. motivasi serta tuj uan dilakukannya tidak pidana tersebut.
3. car a siterdakwa melakukan tindak pidana terse but.
4. sikap batin terdakwa.
5 . riwayat hidup dan keadaan so sial ekonomi dari pelaku.
6. sikap tindak pembuat sesudah melakukan tindak pidana.
7. pengaruh pidana terse but terhadap masa depan pembuat.
8. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana terse but .
•
Dengan dicantumkannya hal-hal tersebut di atas , maka diharapkan hakim dapat dengan benar menjatuhkan suatu jenis pidana, sehingga diharapkan pemidanaan tersebut dapat dijalani terhukum sesuai dengan kesalahan yang diperbuatnya.
Dengan dicantumkannya 8 butir tersebut diatas, maka diharapkan hakim dapat dengan ben~r menjatuhkan suatu jenis pidana, sehingga diharapkan pemidanaan terse but dapat dijalani terhukum sesuai dengan kesalahan yang diperbuatnya.
Dengan dicantumkannya 8 butir terse but diatas, maka diharapkan se-
Hukum dan Pembangunan
orang hakim dapat pula menggali nilainilai yang hidup di dalam masyarakat, sesuai dengan yang dikehendaki oleh Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang No.14 tahun 1970).
Kedelapan butir hal-hal yang harus diperhatikan oleh seorang hakim dalam menjatuhkan pemidanaan terse but di at as belumlah selesai permasalahannya karena seorang hakim bagaimanapun masih akan dituntut untuk memilih filosofi dari penjatuhan pidana tersebut .
Seperti halnya ucapan dari Robert F . Kennedy , yang terpenting, bukanlah kesamaan dari penjatuhan pidananya, akan tetapi kesepakatan dari dasar filosofis penjatuhan pidana tersebut. ,
Sehingga tim bullah suatu masalah teori pemidanaan yang mana yang akan diambil oleh seorang hakim, karena dalam memecahkan masalah ini, baik undang-undang maupun doktrin tidak memberikan suatu pegangan.
Pembuat . undang-undang tidak mem berikan teori pemidanaan tertentu dalam KUHP sebagai dasar, di mana dengan demikian diberikan kebebasan kepada hakim , teori mana yang dipergunakan .
Juga doktrin masih terdapat perselisihan agak besar mengenai pertanyaan teori pemidanaan mana yang seharusnya diikuti hakim dalam memberikan suatu pidana.
Hakim masih akan mencari maksud. fungsi dan letak pemidanaan dalam suatu pembalasan dendam, pencegahan
umum, pencegahan khusus, perlindungan masyarakat , pencegahan umum yang 'diarahkan kepencegahan khusus ataukah ada dalam hal yang lain lagi. Dalam t eori-teori terse but di atas telah • mendapat pembelaannya masing-ma-
• smg.
•
•
Pemidanaan
Sehingga menarik perhatian kit a terhadap penjatuhan pidana terhadap penjahat perang yang diadili setelah 38 tahun berakhirnya perang Dunia ke-I1 , di mana dikatakan bahwa The sentence is not important, but the justice is (Komentar siaran D'unia Dalam berita TVRI perihal diadilinya penja-hat perang Nazi Jerman). .
Dihubungkan pula dengan rasa keadilan masyarakat, maka ternyata bahwa masih dikehendakinya suatu 'pemc
balasan' terhadap mereka yang telah melakukan suatu tindak pidana, sehingga sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari bahwa ada rasa kurang senang dari masyarakat apabila seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana masih berkeliaran di antara mereka, dan bahkan rasa enggan untuk melaporkan terj adinya suatu tindakpidana penyalah gunaan narkotika oleh seorang ketua RW suatu daerah, disebabkan terlampau pendeknya suatu masa pidananya.
Oleh karena itu tidak dapat lain seorang hakim akan mempergunakan gabungan teori-teori pemidanaan tersebut dengan juga memperhatikan 8 butir terse but di ataslah maka diharapkan mendapatkan putusan yang baik dalam penjatuhan hukumannya.
Dengan adanya wewenang hakim yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mengawasi pelaksanaan pidana, sebenarnya diharapkan agar hakim dalam arti keseluruhan tidak berlepas tangan dengan selesainya mereka menjatuhkan suatu pidana.
Diharapkan secara menyeluruh mereka (para hakim) dapat menilai apakah suatu penjatuhan pidana telah sesuai dengan terdakwa tersebut. Ataukah ada hal-hal yang harus diperbaiki di masa yang akan datang di dalam dia menjatuhkan suatu pidana.
Akan tetapi hal ini di dalam prak-
581
tek membawa suatu akibat sam pingan dengan adanya penafsiran yang berbeda, yakni para hakim terse but ada yang sedemikian rupa menjalankan tugasnya terse but sampai kepada hal-hal yang detail, yakni mengenai makanan nara pidana, temp at tidurnya dan sebagainya, sehingga mereka merupakan suatu 'Kepala' lembaga pemasyarakatan .
Dengan diberikannya wewenang untuk mengawasi pelaksanaan hukuman sebenarnya diartikan sebagai usaha
, untuk mendapatkan masukan-masukart (input) yang dapat dipergunakan untuk pertimbangan penjatuhan pidana baik bagi hakim itu sendiri maupun bagi hakim-hakim lainnya.
Dengan suatu pendapat bahwa Hakim telah selesai tugasnya dengan mengetuk palunya dalam suatu sidang, maka hal ini akan menyebabkan tidak adanya suatu rasa tanggungjawab terhadap putusan yang dijatuhkannya itu sendiri.
•
Para hakim mempunyai anggapan bahwa perihal pembinaan adalah terpisah dengan penjatuhan pidana, sehingga terjadilah bahwa seorang terdakwa yang hanya dipidana dalam waktu pendek saja dalam suatu penjara (Lembaga Pemasyarakatan) sehingga sulit bagi pegawai Lembaga Pemasyarakatari untuk melakukan pembinaan terhadap terpidana tersebut.
Oleh karena itulah maka pengetahuan seorang hakim dalam memutuskan penjatuhan pidana, tidaklah semata-mata dilihat dari segi kepentingan hukumnya sendiri, akan tetapi juga harus diperhatikan hal-hal yang non yuridis, terutama perihal variabel yang disebutkan di atas. Juga dengan dicantumkan delapan butir hal-hal yang harus diperhatikan seorang hakim dalam menjatuhkan suatu pemidanaan, diharapkan seorang hakim akan dapat menjatuhkan suatu pidana yang 'se-
. Nopember 1984
•
582
suai' dengan ukuran bagi terhukum tersebut.
Meskipun harus kita sadari pula bahwa hal-hal terse but belumlah sepenuhnya akan m enjamin bahwa orang yang dipidana terse but akan kembali ke dalam masyarakat dengan sikap tindak sebagaimana yang diharapkan. Hal ini disebabkan keadaan dalam Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri merupakan permasalahan yang lain pula.
Seperti halnya artikel yang diutarakan oleh Ch. W. Thomas, ada masalah dalam Lembaga Pemasyarakatan, yak
. ni perihal Prisonization dan Resocialozation, di mana kedua kebudayaan ini saling berlomba untuk mencari pengaruh.
Penutup
Perihal pemidanaan adalah suatu masalah yang harus diperhatikan sejak tahap paling dini dalam suatu sistem
Hukum .dan Pembangunan
peradilan pidana, sehingga haruslah dapat diberikan suatu pidana yang yang benar-benar sesuai dengan keadaan terdakwa maupun keadaan masyarakatnya.
Penjatuhan pidana janganlah did a-,
. sarkan sebagai suatu 'ukuran pabrik ' akan tetapi haruslah sebagai suatu tailor made, baik dengan melihat variabel pribadinya, variabel delik , variabel sanksinya maupun variable kebuda-yaan. '
Seorang Hakim tidaklah selesai tugasnya dengan menjatuhkan suatu pidana dalam suatu perkara, akan tetapi haruslah dapat mengetahui apakah me-
• mang pemidanaan yang dijatuhkan
• sesual. Sudah waktunyalah untuk memper-
, timbangkan bahwa berat ringannya suatu pidana dapat dimintakan kasasi, khususnya dengan landasan pertimbangan-pertimbangan yang dipakai dasar penjatuhan pidana tersebut.
'" DtUN{)(j!? S4MPA I .30 VUNI 'S'S;,;
)
) REP. SINAR HARAPAN
•