Post on 12-Aug-2015
description
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Umur : 49 tahun
Alamat : Jakarta
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah
Pendidikan terakhir : Sekolah Dasar
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
II. ANAMNESA
- Telah dilakukan autoanamnesa pada tanggal 6 Maret 2013.
Keluhan utama : Nyeri pada sendi bahu kanan sejak 4 bulan yang lalu
Keluhan tambahan : tangan kanan tidak bias digerakkan
RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT :
Pasien datang ke Poli Ortopedik RSUD Koja dengan keluhan nyeri pada sendi bahu bahu
sejak 4 bulan yang lalu. Os mengaku keluhannya dimulai sejak terjadinya kejadian tasnya
diragut perampok 4 bulan yang lalu, Saat kejadian os sedang berjalan kaki di mana sewaktu
itu tasnya diragut dan tangan kanannya turut tertarik dan akhirnya os terjatuh terduduk. Os
mengaku ada mendengar bunyi “krek” pada sendi bahunya saat kejadian. Sejak kejadian itu,
os mengeluh tangannya nyeri dan tidak bisa digerakkan. Nyeri yang dirasakan berpindah dari
punggung kanan ke bahu dan ke lengan bawah.Sendinya terasa kaku dan tidak bisa
digerakkan Pada awalnya Os menyangka bahawa tangannya cuma keseleo dan hanya ke
dukun urut. Os mengaku sudah banyak kali diurut di sendi bahu kanannya namun os tetap
merasa sakit malah sakitnya bertambah teruk. Os meyangkal adanya bengkak (-) pada sendi
bahunya, demam(-), mual (- ) muntah (-).
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
- Pasien tidak pernah mempunyai gangguan kondisi kesehatan sebelumnya. Pasien tidak
pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya. Pasien tidak pernah di operasi sebelumnya.
Riwayat sakit maag (-), Riwayat sakit asma (-), hipertensi (-), DM (-)
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
- Riwayat penyakit asma (-), hipertensi (-), DM (-)
RIWAYAT KEBIASAAN
- Pasien jarang olahraga
RIWAYAT LINGKUNGAN
(-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : baik,
Kesadaran : Compos mentis.
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Kesan gizi : BB = 58kg TB = 154cm BMI : (normal)
Tanda vital : TD = 140/80 mmHg
Suhu = 36,8ºC
Nadi = 88 x/menit
Respirasi = 20x/menit.
Status generalis :
Kepala : Normocephali, tidak ada deformitas, luka (-), nyeri tekanoedem (-)
Mata : Konjunctiva anemis -/- , sklera ikterik -/-, reflek cahaya +/+
Leher : Tiroid dan kelenjar getah bening tidak teraba membesar
Thorax : Jejas (-), luka (-), nyeri tekan (-)
Paru-paru
Inspeksi : pergerakan simetris antara kanan dan kiri
Palpasi : vocal fremitus sama antara kanan dan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara nafas vesicular, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis
Palpasi : Teraba ictus cordis pada sela iga V di linea midklavikularis kiri
Perkusi : Batas kanan: sela iga V linea parasternalis kanan. Batas kiri : sela iga V,
1 cm medial linea midklavikularis kiri. Batas atas : sela iga II linea parasternal kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : simetris, datar, jejas (-),luka (-)
Palpasi : Dinding perut: supel, nyeri tekan epigastrium (-), nyeri lepas(-), Hepar :
tidak teraba membesar, Lien : tidak teraba membesar, Ginjal : Ballotement (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 3x/menit
Ekstremitas
Atas : Akral hangat +/+, oedem -/-, jejas -/-, memar -/-, luka -/-
Bawah : akral hangat +/+. Oedem -/-, jejas -/-, memar -/-, luka -/-
Status lokalis : Regio Glenohumeral dekstra
Look
- Tampak deformitas pada sendi bahu, bahu kanan terlihat lebih rendah dari bahu kiri
Feel
- Tenderness (+), hangat (-), CRT <2”, pulsasi arteri radialis ++/++
Move
- Terbatas akibat nyeri
- Kekuatan motorik : 33 55
55 55
- Range of Motion (ROM) : sendi glenohumeral
i. Abduksi : 20 ◦ menurun , normalnya : 180◦
ii. Adduksi : 60◦ menurun, normalnya : 75◦
iii. Fleksi : 20◦ menurun, normalnya : 160-180◦
iv. Ekstensi : 20◦ menurun, normalnya : 60◦
v. Rotasi lateral dan rotasi medial tidak dapat dilakukan karena nyeri
- Pemeriksaan khusus seperti Drop Arm test dan Apprehension Test, tidak dapat dilakukan
karena pasien sangat nyeri
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil laboratorium tanggal 23 Febuari 2013
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 9,7 g/dL 13,5-17,5 g/dL
Leukosit 5,500/uL 4,100-10900/uL
Hematokrit 30 % 41-53 %
Eritrosit 4,38 4,5-5,5 juta/uL
Trombosit 502000/uL 140000-440000 /uL
MCV 68 80-100fL
MCH 22 26-34pg
MCHC 33 31-36 g/dL
Hitung jenis:
Basofil 1 0-2%
Eosinofil 6 0-5%
Batang 0 2-6%
Segmen 46 47-80%
Limfosit 29 13-40%
Monosit 8 2-11%
LED 40 <10
Hemostasis
APTT 42,2 27-42
PT 14,6 12-19
Kimia darah
GDS 79 <140
Fungsi hati
SGOT 13 10-35 U/L
SGPT 6 9-43 U/L
Albumin 4,05 4,0-5,2
Fungsi ginjal
Kreatinin 0,7 0,5-1,5
Ureum 10 17-43
Elektrolit
Na 134 135-147mmol/L
K 3,3 3,5-5,0 mmol/L
Cl 106 96-108 mmol/L
2. Pemeriksaan Foto Rontgen regio glenohumeral dekstra
Hasil rontgen : Fraktur dan dislokasi dari sendi glenohumeral kanan
V. RESUME
Pasien datang ke Poli Ortopedik RSUD Koja dengan keluhan nyeri pada sendi bahu bahu
sejak 4 bulan yang lalu. Os mengaku keluhannya dimulai sejak terjadinya kejadian tasnya
diragut perampok 4 bulan yang lalu, Saat kejadian os sedang berjalan kaki di mana sewaktu
itu tasnya diragut dan tangan kanannya turut tertarik dan akhirnya os terjatuh terduduk. Os
mengaku ada mendengar bunyi “krek” pada sendi bahunya saat kejadian. Sejak kejadian itu,
os mengeluh tangannya nyeri dan tidak bisa digerakkan. Nyeri yang dirasakan berpindah dari
punggung kanan ke bahu dan ke lengan bawah.Sendinya terasa kaku dan tidak bisa
digerakkan Pada awalnya Os menyangka bahawa tangannya cuma keseleo dan hanya ke
dukun urut. Os mengaku sudah banyak kali diurut di sendi bahu kanannya namun os tetap
merasa sakit malah sakitnya bertambah teruk. Os meyangkal adanya bengkak (-) pada sendi
bahunya, demam(-), mual (- ) muntah (-). Pada status lokalis : Regio Glenohumeral dekstra,
pada :Look, tampak deformitas pada sendi bahu, bahu kanan terlihat lebih rendah dari bahu
kiri , Feel :Tenderness (+), hangat (-), Nyeri tekan (+), CRT <2”, pulsasi arteri radialis ++/+
+, Move : Terbatas akibat nyeri , Kekuatan motorik : 33 55
55 55
Range of Motion (ROM) : sendi glenohumeral , Abduksi : 20 ◦ menurun , normalnya :
180◦, Adduksi : 60◦ menurun, normalnya : 75◦, Fleksi : 20◦ menurun, normalnya :
160-180◦, Ekstensi : 20◦ menurun, normalnya : 60◦, Rotasi lateral dan rotasi medial tidak
dapat dilakukan karena nyeri,.Pemeriksaan khusus seperti Drop Arm test, tidak dapat
dilakukan karena pasien sangat nyeri .
Pada pemeriksaan laboratorium, Hb (9,7g/dl), Ht (30%), trombosit (50200/uL), LED
(40). Pada pemeriksaan rontgen region sendi glenohumeral menunjukkan adanya fraktur
dan dislokasi dari sendi glenohumeral kanan.
VI. DIAGNOSIS KERJA
- Neglected Fracture Dislokasi Shoulder Dekstra
-
VII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
IVFD Ringer Laktat 20tpm/24 jam
Hypobac 2x 200mg
Ketorolac (analgetik) 3x 1amp
Ranitidin 2x1 amp
Operatif : Shoulder Herniatoplasty
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanasionam : Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Fraktur
Fraktur adalah hilangnya kontuinitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik
bersifat total maupun parsial.
Proses Terjadinya Fraktur
Untuk mengetahui dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, kita harus mengetahui keadaan
fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah. Tulang kortikal
mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan tekanan memuntir (shearing).
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama tekanan
membengkok, memutar dan tarikan. Fraktur dapat terjadi akibat (1) peristiwa trauma tunggal; (2)
tekanan yang berulang-ulang; atau (3) kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologis).
1. Fraktur akibat peristiwa trauma
Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena jaringan lunak juga
pasti rusak. Pemukulan (pukulan sementara) biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit di atasnya penghancuran kemungkin akan menyebabkan fraktur kominutif
disertai kerusakan jaringan lunak yang luas. Bila terkena kekuatan tak langsung tulang dapat
mengalami fraktur pada tempat jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu, kerusakan jaringan
lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada. Kekuatan dapat berupa: (1) pemuntiran yang
menyebabkan fraktur spiral; (2) penekukan yang menyebabkan fraktur melintang; (3) penekukan
dan penekanan, yang mengakibatkan fraktur yang sebagian melintang tetapi disertai fragmen
kupu-kupu berbentuk segitiga yang terpisah; (4) kombinasi dari pemuntiran, penekukan, dan
penekanan yang menyebabkan fraktur oblik pendek; atau (5) penarikan dimana tendon atau
ligamen benar-benar menarik tulang sampai terpisah. Uraian di atas terutama berlaku pada tulang
panjang. Tulang bersepon, misalnya tulang vertebrae atau kalkaneus, bila terkena oleh kekuatan
yang cukup besar akan mengalami fraktur kominutif akibat penghancuran. Pada lutut atau siku,
ekstensi yang terhalang dapat menyebabkan fraktur avulsi pada patela atau olekranon dan dalam
beberapa keadaan,kerja otot yang dihalangi dapat melepaskan perlekatan otot tulang.
2. Fraktur kelelahan atau tekanan
Retak yang terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan
berulang-ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau metatarsal,
terutama pada atlet, penaridan calon tentara yang jalan berbaris dalam jarak jauh.
3. Fraktur patologik
Fraktur yang terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misal oleh tumor) atau
kalau tulang itu sangat rapuh (misal pada penyakit Pager).
Etiologi Fraktur
Fraktur dapat disebabkan karena oleh :
- Trauma
- Non Trauma
- Stress
Trauma
Trauma dapat dibagi menjadi trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung
berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu, sedangkan trauma tidak
langsung bilamana titik tumpuan benturan dengan terjadinya fraktur bergantian.
Non Trauma
Fraktur terjadi karena kelemahan tulang akibat kelainan patologis didalam tulang, non trauma ini
bisa karena kelainan metabolik atau infeksi.
Stress
Fraktur stress terjadi karena trauma yang terus-menerus pada suatu tempat tertentu.
Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur dapat dikelompokkan berdasarkan etiologis, klinis, dan radiologis,.
A. Klasifikasi Radiologi
- Fraktur traumatik :Terjadi karena trauma tiba-tiba.
- Fraktur patologis : terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis di
dalam tulang.
- Fraktur stress : terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu tempat tertentu.
B. Klasifikasi Klinis
- Fraktur tertutup (simple fracture)
Suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.
- Fraktur terbuka (compound fracture)
Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan
lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam) atau from without (dari luar).
- Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture)
Fraktur yang disertai dengan komplikasi misalnya malunion, delayed union, nonunion, infeksi
tulang.
C. Klasifikasi Radiologis
- Lokalisasi
- Diafisial.
- Metafisial.
- Intra-artikuler.
- Fraktur dengan dislokasi
Konfigurasi
- Fraktur transversal.
- Fraktur oblik.
- Fraktur spiral.
- Fraktur Z.
- Fraktur segmental.
- Fraktur kominutif, fraktur lebih dari dua fragmen.
- Fraktur baji biasanya pada vertebrae karena trauma kompresi.
- Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik oleh otot atau tendo misalnya
fraktur epikondilus humeri, fraktur trokanter mayor, fraktur patela.
- Fraktur depresi karena trauma langsung misalnya pada tulang tengkorak.
- Fraktur impaksi .
- Fraktur pecah (burst) dimana terjadi fragmen kecil yang berpisah
misalnya pada fraktur vertebrae, patela, talus, kalkaneus.
- Fraktur epifisis.
Diagnosa Fraktur
Diagnosis fraktur ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yaitu radiologis. Pada pasien dengan riwayat trauma yang perlu ditanyakan adalah
waktu terjadinya, cara terjadinya, posisi penderita dan lokasi trauma. Bila tidak ada riwayat
trauma berarti merupakan fraktur patologis.
Pada pemeriksaan fisik dilakukan :
Look (Inspeksi)
- Deformitas : angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi (rotasi, perpendekan
atau perpanjangan).
- Bengkak atau kebiruan.
- Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak)
Feel (Palpasi)
- Tenderness (nyeri tekan) pada derah fraktur.
- Krepitasi.
- Nyeri sumbu.
Move (Gerakan)
- Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif.
- Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada sendinya. Pemeriksan trauma
di tempat lain seperti kepala, thorak, abdomen, tractus urinarius dan pelvis.
Pemeriksaan komplikasi fraktur seperti neurovaskular bagian distal fraktur yang berupa
pulsus arteri, warna kulit, temperatur kulit, pengembalian darah ke kapiler (Capillary refil test),
sensasi motorik dan sensorik. Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pemeriksan
Radiologi. Untuk melengkapi deskripsi fraktur dan dasar untuk tindakan selanjutnya. Foto
rontgen minimal harus dua proyeksi yaitu AP dan lateral.
Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan fraktur adalah suatu proses biologis alami yang akan terjadi pada setiap
fraktur. Setiap tulang yang mengalami fraktur dapat sembuh tanpa jaringan parut. Proses
penyembuhan mulai terjadi segera setelah tulang mengalami kerusakan bila lingkungannya
memadai maka bisa sampai terjadi konsolidasi. Faktor mekanis seperti imobilisasi sangat penting
untuk penyembuhan, selain itu faktor biologis juga sangat esensial dalam penyembuhan fraktur.
Proses penyembuhan fraktur berbeda-beda pada tulang kortikal (pada tulang panjang), tulang
kanselosa (pada metafisis tulang panjang dan tulang-tulang pendek) dan pada tulang rawan
persendian.
Penyembuhan fraktur pada tulang kortikal
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu :
1. Fase hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang melewati
kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah fraktur dan akan membentuk
hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar diliputi oleh periosteum.
Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi
sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak. Osteosit dengan lakunanya
yang terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur akan kehilangan darah dan mati, yang akan
menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler tulang yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah
trauma.
2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal
Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan.
Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel osteogenik yang berproliferasi dari
periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada daerah endosteum membentuk kalus
interna sebagai aktifitas seluler dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat
pada periosteum, maka penyembuhan sel berasal dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang tidak
berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi
pertambahan jumlah dari sel-sel osteogenik yang memberi pertumbuhan yang cepat pada
jaringan osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Pembentukan jaringan seluler
tidak terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa
minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan osteogenik. Pada
pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga merupakan suatu daerah
radiolusen.
3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)
Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel dasar yang berasal
dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang rawan. Tempat osteoblast
diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlengketan polisakarida oleh garam-garam
kalsium membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk tulang ini disebut sebagai woven bone.
Pada pemeriksaan radiologi kalus atau woven bone sudah terlihat dan merupakan indikasi
radiologik pertama terjadinya penyembuhan fraktur.
4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan diubah menjadi tulang
yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus
akan diresorpsi secara bertahap.
5. Fase remodeling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian yang menyerupai
bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase remodeling ini, perlahan-
lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap terjadi proses osteoblastik pada tulang dan
kalus eksterna secara perlahan-lahan menghilang. Kalus intermediat berubah menjadi tulang
yang kompak dan berisi sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan
untuk membentuk ruang sumsum.
Penyembuhan fraktur pada tulang kanselosa
Penyembuhan fraktur pada tulang kanselosa terjadi secara cepat karena beberapa faktor, yaitu :
1. Vaskularisasi yang cukup.
2. Terdapat permukaan yang lebih luas.
3. Kontak yang baik memberikan kemudahan vaskularisasi yang cepat.
4. Hematoma memegang peranan dalam penyembuhan fraktur.
Tulang kanselosa yang berlokalisasi pada metafisis pada tulang panjang, tulang pendek serta
tulang pipih diliputi oleh korteks yang tipis. Penyembuhan fraktur pada daerah tulang kanselosa
melalui proses pembentukan kalus interna dan endosteal. Pada anak-anak proses penyembuhan
pada daerah korteks juga memegang peranan penting. Proses osteogenik penyembuhan sel dari
bagian endosteal yang menutupi trabekula, berproliferasi untuk membentuk woven bone primer
didalam daerah fraktur yang disertai hematoma. Pembentukan kalus interna mengisi ruangan
pada daerah fraktur. Penyembuhan fraktur pada tulang kanselosa terjadi pada daerah dimana
terjadi kontak langsung diantara kedua permukaan fraktur yang berarti satu kalus endosteal.
Apabila terjadi kontak dari kedua fraktur maka terjadi union secara klinis. Selanjutnya woven
bone diganti oleh tulang lamelar dan tulang mengalami konsolidasi.
Penyembuhan fraktur pada tulang rawan persendian
Tulang rawan hialin permukaan sendi sangat terbatas kemampuannya untuk regenerasi. Pada
fraktur intraartikuler penyembuhan tidak terjadi melalui tulang rawan hialin, tetapi terbentuk
melalui fibrokartilago.
Waktu penyembuhan fraktur
Waktu penyembuhan fraktur bervariasi secara individual dan berhubungan dengan beberapa
faktor penting pada penderita, antara lain :
1. Umur penderita
Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak jauh lebih cepat daripada orang dewasa. Hal ini
terutama disebabkan aktifitas proses osteogenesis pada periosteum dan endosteum dan juga
berhubungan dengan proses remodelling tulang yang pada bayi sangat aktif dan makin berkurang
apabila umur bertambah.
2. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur
Lokalisasi fraktur memegang peranan penting. Fraktur metafisis penyembuhannya lebih cepat
daripada diafisis. Disamping itu, konfigurasi fraktur seperti fraktur transversal lebih lambat
penyembuhannya dibandingkan dengan fraktur oblik karena kontaknya lebih banyak.
3. Pergeseran awal fraktur
Pada fraktur yang tidak bergeser dimana perisoteum intak, maka penyembuhannya dua kali lebih
cepat dibandingkan pada fraktur yang bergeser. Terjadi pergeseran fraktur yang lebih besar juga
akan menyebabkan kerusakan periost yang lebih hebat.
4. Vaskularisasi pada kedua fragmen
Apabila kedua fragmen mempunyai vaskularisasi yang baik, maka penyembuhan biasanya tanpa
komplikasi. Bila salah satu sisi fraktur vaskularisasinya jelek sehingga mengalami kematian,
maka akan menghambat terjadinya union atau bahkan mungkin terjadi nonunion.
5. Reduksi serta imobilisasi
Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk vaskularisasi yang lebih baik dalam
bentuk asalnya. Imobilisasi yang sempurna akan mencegah pergerakan dan kerusakan pembuluh
darah yang akan mengganggu dalam penyembuhan fraktur.
6. Waktu imobilisasi
Bila imobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan sebelum terjadi union, maka
kemungkinan terjadinya nonunion lebih besar.
7. Ruangan di antara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak
Bila ditemukan interposisi jaringan baik berupa periost maupun otot atau jaringan fibrosa
lainnya, maka akan menghambat vaskularisasi kedua ujung fraktur tersebut.
8. Adanya infeksi
Bila terjadi infeksi pada daerah fraktur, misal pada operasi terbuka fraktur tertutup atau fraktur
terbuka, maka akan mengganggu terjadinya penyembuhan.
9. Cairan sinovia
Pada persendian dimana terdapat cairan sinovia merupakan hambatan dalam penyembuhan
fraktur.
10. Gerakan aktif dan pasif anggota gerak
Gerakan aktif dan pasif anggota gerak akan meningkatkan vaskularisasi daerah fraktur tapi
gerakan yang dilakukan pada daerah fraktur tanpa imobilisasi yang baik juga akan mengganggu
vaskularisasi.
2.7. Komplikasi fraktur
2.7.1. Komplikasi Awal
a) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis
bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar
seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur
tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke
aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa
menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa
menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2.7.2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan suplai darah ke
tulang.
b) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang
lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan
karena aliran darah yang kurang.
c) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan
perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang
baik.
2.8 Penatalaksanaan Fraktur
Pilihan adalah terapi konservatif atau operatif. Pilihan harus mengingat tujuan pengobatan
fraktur, yaitu : mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin.
2.8.1.Terapi pada fraktur tertutup
Pertimbangan pertama dalam terapi umum ialah: mengobati pasien, tidak hanya sebagian
tubuhnya. Urutannya adalah : (1) pertolongan pertama, (2) pengangkutan, (3) terapi syok,
perdarahan, dan cedera yang berkaitan. Pada dasarnya terapi fraktur terdiri atas manipulasi untuk
memperbaiki posisi fragmen,diikuti dengan pembebatan untuk mempertahankannya bersama-
sama sebelum fragmen-fragmen itu menyatu; sementara itu, gerakan sendi dan fungsi harus
dipertahankan. Penyembuhan fraktur dibantu oleh pembebatan fisiologis pada tulang, sehingga
dianjurkan untuk lakukan aktivitas otot dan penahanan beban secara lebih awal. Tujuan ini
tercakup dalam 3 keputusan yang sederhana : Reduksi, Mempertahankan, lakukan latihan.
Terapi bukan saja ditentukan oleh jenis fraktur tetapi oleh keadaan jaringan lunak di sekitarnya.
Klasifikasi cedera tertutup adalah :
1. Tingkat 0 adalah fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak;
2. Tingkat 1 adalah fraktur abrasi dangkal atau memar pada kulit dan jaringan subkutan;
3. Tingkat 2 adalah fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan;
4. Tingkat 3 adalah adalah cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindrom kompartemen; Tingkat cedera yang lebih berat mungkin akan lebih
membutuhkan bentuk fiksasi mekanik tertentu.
DISLOKASI
Skelet atau kerangka adalah rangkaian tulang yang mendukung dan melindungi beberapa
organ lunak, terutama dalam tengkorak dan panggul. Kerangka juga berfungsi sebagai alat ungkit
pada gerakan dan menyediakan permukaan untuk kaitan otot-otot kerangka. Oleh karena fungsi
tulang yang sangat penting bagi tubuh kita, maka telah semestinya tulang harus di jaga agar
terhindar dari trauma atau benturan yang dapat mengakibatkan terjadinya patah tulang dan atau
dislokasi tulang. Bentuk kaku (rigid) dan kokoh antar rangka yang membentuk tubuh
dihubungkan oleh berbagai jenis sendi. Adanya penghubung tersebut memungkinkan satu
pergerakan antar tulang yang demikian fleksibel dan nyaris tanpa gesekan. Tulang dan sendi
dipakai untuk melindungi berbagai organ vital di bawahnya disamping fungsi pergerakan
(locomotor) / perpindahan makhluk hidup. Sendi merupakan satu organ yang kompleks dan
tersusun atas berbagai komponen yang spesifik satu dengan lainnya.
Pada umumnya terdiri dari air dan tersusun atas serabut kolagen, proteoglikan, glikorptein
lain serta lubrikan asam hialuronat, struktur yang kompleks di atas memungkinkan suatu
pergerakan sendi yang luas (fungsi locomotor), frictionless dan tidak mengakibatkan kerusakan
besar dalam jangka panjang.
Dislokasi terjadi saat ligarmen memberikan jalan sedemikian rupa sehingga tulang berpindah
dari posisinya yang normal di dalam sendi. Dislokasi dapat disebabkan oleh factor penyakit atau
trauma karena dapatan (acquired) atau karena sejak lahir (kongenital). Dislokasi adalah keadaan
dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis, atau
Keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi merupakan suatu kedaruratan
yang membutuhkan pertolongan segera.
Klasifikasi :
1. Dislokasi kongenital : Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
2. Dislokasi patologik : Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misal¬nya tumor,
infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.
3. Dislokasi traumatik : Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan
mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami
pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan
disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan sistem vaskular.
Kebanyakan terjadi pada orang dewasa, beberapa jenis dislokasi pada sendi yang sering terjadi
antara lain terdapat dibawah ini :
I. Pengertian
- Dislokasi adalah keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkoknya. Bila hanya sebagian
yang bergeser disebut subluksasi dan bila seluruhnya disebut dislokasi.
II. Diagnosa umum dislokasi:
- Anamnesis:
· Persendiannya lepas/keluar dari tempatnya
· Nyeri
· Spasme otot
· Gangguan fungsi- Pemeriksaan Fisik:
· Swelling/pembengkakan
· Deformitas: angulasi, rotasi, kehilangan bentuk yang normal, pemendekan
· Gerakan yang abnormal
· Nyeri setempat
A. Dislokasi Shoulder/Bahu
a. Definisi
Dislokasi shoulder adalah pergeseran kaput humerus dari sendi glenohumeral, berada di
anterior dan medial glenoid (dislokasi anterior), di posterior (dislokasi posterior), dan di bawah
glenoid (dislokasi inferior). Sendi Bahu merupakan salah satu sendi besar yang paling sering
berdislokasi.Ini disebabkan karena banyaknya rentang gerakan sendi bahu,mangkuk sendi
glenoid yang dangkal serta adanya longgarnya ligament.
1. Dislokasi Anterior
- Dislokasi preglenoid subkorakoid, subklavikuler
- Mekanisme trauma:
Paling sering ditemukan, jatuh dalam keadaan out stretched, trauma pada scapula gambaran
klinis nyeri hebat dengan gangguan pergerakan bahu, kontur sendi bahu jadi rata, kaput
humerus bergeser ke depan pemeriksaan radiologist:
Kaput humerus terlihat di depan dan medial glenoid
- Pengobatan:
1. dengan bius umum
· Metode hipocrates: dibaringkan, tank anggota gerak, tekan kaput humeri
· Metode kocher: dilakukan tahap-tahap reposisi kocher
2. tanpa pembiusan
· Teknik menggantung lengan
2. Dislokasi Posterior
Mekanisme trauma
Jarang ditemukan, trauma langsung pada sendi bahu dalam keadaan rotasi interna.
Gambaran klinis
· Nyeri, benjolan dibagian belakang sendi pemeriksaan radiologis
· Khas: light bulb karena rotasi internal humerus
- Pengobatan
Reduksi dengan menarik lengan, rotasi interna, Imobilisasi 3-6 minggu
3. Dislokasi Inferior
Kaput humerus terjepit di bawah glenoid, dengan lengan arah ke atas pengobatan
dilakukan reposisi tertutup seperti dislokasi anterior, jika gagal dilakukan reposisi terbuka
dengan operasi
4. Dislokasi dengan Fraktur
Biasanya adalah dislokasi tipe anterior dengan fraktur
- Pengobatan
Dilakukan reposisi pada dislokasi maka fraktur akan tereposisi dan kembali melekat pada
humerus
b. Patofisiologi
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan .Humerus terdorong kedepan,
merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi.Kadang-kadang bagian posterolateral
kaput hancur.Mesti jarang prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan
menimbulkan luksasio erekta [dengan tangan mengarah ;lengan ini hampir selalu jatuh
membawa kaput ke posisi da bawah karakoid
c. Indikasi Operasi
Dislokasi bahu yang tidak berhasil direduksi secara tertutup dan dislokasi yang sudah
neglected lebih dari 2 minggu.
d . Komplikasi reduksi tertutup pada dislokasi bahu akut
· Kerusakan nervus aksilaris
· Kerusakan pembuluh darah
· Tidak dapat tereposisi
· Kaku sendi
· Dislokasi rekuren, dilakukan tindakan operasi Putti-platt, Bristow dan bankart
- Perawatan Pasca reduksi tertutup
Imobilisasi dengan verban Velpeau atau collar cuff selama 3 minggu
- Follow up
Pengawasan posisi ekstremitas atas dalam posisi fleksi, adduksi dan internal rotasi untuk
dislokasi bahu anterior dan ekstensi, abduksi, dan eksternal rotasi untuk yang tipe posterior.
Daerah lipatan aksilla harus diperhatikan terjadinya mycosis, dan kondisi yang lembab harus
dihindarkan dan diatasi. Latihan isometrik segera dilakukan dan latihan isotonik setelah 3
minggu.
e. Kontra indikasi operasi
Berhubung dengan kondisi medis/cedera penyerta yang tidak memungkinkan dilakukan
tindakan pembiusan
f. Diagnosis Banding
1. dislokasi akromioklavikula
2. fraktur klavikula
3. firaktur kolumna humeri
4. traktur humerus proksimal
g. Pemeriksaan penunjang
- Rontgen foto (X-ray)
Sinar –X pada bagian anteroposterior akan memperlihatkan bayangan yang tumpah tindih antara
kaput humerus dan fossa Glenoid,Kaput biasanya terletak di bawah dan medial terhadap
terhadap mangkuk sendi.
h. Komplikasi
·Komplikasi Dini
- Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid dan
mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut.
- Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak.
·Komplikasi lanjut
- Kekakuan sendi bahu :Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan
sendi bahu ,terutama pada pasien yang berumur 40 tahun.Terjadinya kehilangan rotasi
lateral,yang secara otomatis membatasi Abduksi
- Dislokasi yang berulang: terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari bagian
depan leher glenoid
- kelemahan otot
Neglected
Neglected fraktur adalah yang penanganannya lebih dari 72 jam. sering terjadi akibat
penanganan fraktur pada extremitas yang salah oleh bone setter Umumnya terjadi pada yang
berpendidikan dan berstatus sosioekonomi yang rendahNeglected fraktur dibagi menjadi
beberapa derajat, yaitu:
a. Derajat 1 : fraktur yang telah terjadi antara 3 hari -3 minggu
b.Derajat 2 : fraktur yang telah terjadi antara 3 minggu -3 bulan
c. Derajat 3 : fraktur yang telah terjadi antara 3 bulan ± 1 tahun
d. Derajat 4 : fraktur yang telah terjadi lebih dari satu tahun (Anonimd, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
1. Apley and Solomon, Fracture and Joint Injuries in Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures, Seventh Edition, Butterwordh-Heinemann, London, 1993, pp. 499-515.
2. Armis, Prinsip-prinsip Umur Fraktur dalam Trauma Sistema Muskuloskeletal, FKUGM,
Yogyakarta, hal : 1-32.
3. Berend ME, Harrelson JM, Feagin JA, Fractures and Dislocation in Sabiston Jr DC,
Texbook of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice, Fifteenth Edition,
W.B. Saunders Company, Philadelphia, 1997, pp. 1398-1400.
4. Carter MA, Anatomi dan Fisiologi Tulang dan Sendi dalam Price SA, Wilson LM,
Patofisiologi Konsep-konsep Klinis Proses- proses Penyakit, Buku II, edisi 4, EGC,
Jakarta, 1994, hal 1175-80.
5. Dorland, Kamus Kedokteran, edisi 26, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1996,
hal 523,638,1119.
6. Rasjad C, Trauma dalam Pengantar Ilmu Bedah Orthopaedi, Bintang Lamumpatue
Ujung Pandang, 1998, hal : 343-525
7. Reksoprodjo, S, Pemeriksaan Orthopaedi dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI,
Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta, 1995, hal : 453-471.
8. Sjamsuhidajat R, Sistem Muskuloskeletal dalam Syamsuhidajat R, de Jong W, Buku
Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1997, hal : 1124-1286
9. Chairuddin, Rasjad Prof, MD, PhD.Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. 2003. Makasar
10. http://bedahunmuh.wordpress.com/2010/05/20/dislokasi-bahu-akut/
11. http://dislokasisendibahu.blogspot.com/2011/04/dislokasi-pada-sendi-bahu.html
12. http://herdinrusli.wordpress.com/2009/03/06/fisioterapi-pada-dislokasi-shoulder-
anterior/