Post on 14-Mar-2019
1
MODERNISASI SISTEM PENGKADERAN
PELAJAR ISLAM INDONESIA
Jejaring Pelajar Islam Indonesia (PII)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
AHMAD KASOGI 1110111000002
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
2
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul
MODERNISASI SISTEM PENGKADERAN
PELAJAR ISLAM INDONESIA
Jejaring Pelajar Islam Indonesia
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam pulisann ini telah saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanki yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 April 2017
Ahmad Kasogi
ii
3
MODERNISASI SISTEM PENGKADERAN
PELAJAR ISLAM INDONESIA Jejaring Pelajar Islam Indonesia
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
AHMAD KASOGI 1110111000002
Di bawah bimbingan
Saifuddin Asrori, M.Si
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
iii
4
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Ahmad Kasogi
NIM : 1110111000002
Program Studi : Sosiologi
Telah menyelesaikan skripsi dengan judul:
MODERNISASI SISTEM PENGKADERAN PELAJAR ISLAM
INDONESIA DALAM JEJARING PELAJAR ISLAM INDONESIA
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Ciputat, 13 April 2017
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si Saifuddin Asrori, MA
NIP. 197609182003122003 NIP. 197701192009121001
iv
1
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi
MODERNISASI SISTEM PENGKADERAN
PELAJAR ISLAM INDONESIA Jejaring Pelajar Islam Indonesia
Oleh
AHMAD KASOGI
1110111000002
Telah dipertahankan dalam siding skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 April 2017.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Sosial (S.Sos) pada program studi Sosiologi.
Ketua, Sekretaris
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si Dr. Jauharotul Jamilah, M.Si
NIP. 197609182003122003 NIP. 196808161997032002
Penguji I Penguji II
Prof. Dr. Zulkifli, M.A Dr. Muhammad Guntur Alting, M.Pd
NIP. 196608131991031004 NIP. 19740512199031000
Ketua Program Studi Sosiologi
FISIP UIN Jakarta
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si
NIP. 197609182003122003
v
2
ABSTRAKSI
Skripsi ini membahas tentang modernisasi sistem pengkaderan Pelajar Islam
Indonesia yang bertujuan untuk menjelaskan tentang modernisasi sistem
pengkaderan Pelajar Islam Indonesia sebagai organisasi berbasis massa pelajar
Islam melalui jejaring PII. Teori yang digunakan adalah teori Perubahan Sosial
Modern, birokrasi dan manajemen. Metode penelitian dalam skripsi ini
menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik wawancara.
Hasil penelitian dalam skripsi ini dapat menemukan faktor internal dan
eksternal dalam perkembangan organisasi PII di era Orde Lama, Orde Baru dan
Reformasi. Di era Orde Lama, PII dapat memasuki tahap identifikasi dan
perumusan sistem dan metode kaderisasi dengan sistem dan metode Mental
Training dan Metode Perkampungan Kerja Pelajar sebagai penyempurnaan metode
Dynamic Group dengan melaksanakan kaderisasi PII dalam kategori masa
kristalisasi kebutuhan. Di era Orde Baru menjadi kebutuhan untuk penyempurnaan
konsep kaderisasi dengan merumuskan sistem dan metode training PII mencakup
pemantapan training, kurikulum training dan hubungan antar jenis training
sehingga dirumuskan dalam konsep pembinaan Sebelas Bintang Satu Matahari Plus
Rembulan melalui training konvensional, training alternatif dan training khusus. Di
era Orde Baru termasuk kategori masa rekontruksi dalam melakukan evaluasi
mendasar terhadap kegiatan kaderisasi hingga ditindaklanjuti dengan rekomendasi
Muktamar dalam proses penyusunan Ta’dib dengan melaksanakan Lokarya Ta’lim
dan Semiloka Pelatihan, dengan tiga agenda utama yaitu rekonstruksi orientasi
pelatihan PII, alternatif sistem pelatihan PII, dan pengembangan materi PII yang
kemudian melaksanakan PORTANAS dalam mensosialisasikan Ta’dib. Di era
Reformasi diadakan Lokarya Instruktur Nasional sebagai penyempurnaan dan
penyelesaian konsep Ta’dib sebagai sistem kaderisasi PII yang baru. Faktor internal
meliputi (1) dualisme pendidikan yang memberikan jalan untuk memodernisasi
pengkaderan, (2) penerapan sistem andragogi dengan Kepemimpinan dan
Kepeloporan dalam memodernisasi pendidikan, dan (3) pengembangan jejaring PII
antara jejaring PII dengan alumni PII dapat mendirikan sekolah. Faktor eksternal
meliputi (1) bahaya paham komunis, PII melakukan perlawanan dan menantang
ajaran dan ideologi komunis, serta mengirimkan kader PII untuk mengembangkan
pola pendidikan Amerika dalam memodernisasi pendidikan, (2) asas tunggal
Pancasila, PII mampu melaksanakan metode pengajaran dan melakukan pola
kaderisasi dalam memodernisasi pendidikan Islam di Indonesia, (3) larangan
pemerintah terhadap aturan siswi berjilbab menunjukkan PII mampu menciptakan
kadernya untuk memperjuangkan nilai ke-Islam-an melalui training PII dalam
memodernisasi pendidikan Islam di Indonesia, (4) arus demokrasi dan globalisasi
di masa reformasi membawa dampak terhadap PII dengan menerapkan perencanaan
strategis Menej Indonesia sesuai dengan GBHO PII 2010-2018.
Kata Kunci : modernisasi sistem pengkaderan, ta’dib, Pelajar Islam Indonesia
vi
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya yang tercurah pada setiap manusia. Tuhan sang pemilik hati dan
pemelihara cinta sejati tanpa rasa benci. Shalawat dan salam tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW dan keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya yang
komitmen dan patuh pada ajarannya.
Akhirnya, setelah berjuang dengan sekuat tenaga, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini, walaupun dalam prosesnya penuh dengan suka dan duka.
Skripsi ini tidak akan dapat selesai tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan
dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis
ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Cucu Nurhayati, M.Si., selaku Ketua Program Studi Sosiologi.
3. Ibu Dra. Ida Rosyida, MA., selaku Dosen Pembimbing Akademik.
4. Bapak Saifuddin Asrori, MA., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membimbing dan
memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap dosen dan staf pengajar civitas akademik Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik yang telah memberikan ilmu pengetahuannya memotivasi dan
bimbingannya baik dalam hal administrasi maupun belajar selama menempuh
studi di kampus.
6. Keluarga tersayang, Ayah dan Umie tercinta, kakak dan abang-abang penulis
yang telah memberikan motivasi, dukungan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Semua teman-teman Pelajar Islam Indonesia, dan Keluarga Besar PII yang telah
membantu, dan melancarkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-teman Sosiologi 2010 terima kasih atas pengalaman dan pertemanan
yang indah selama menempuh studi di kampus.
vii
4
9. Teman-teman KASOGI (Kajian Sosiologi) terima kasih telah banyak manfaat
dan ilmu pengetahuan, yang telah penulis peroleh selama berdiskusi, dan
pertemanan yang terjalin selama ini.
10. Ayahanda dan Guru kami, KH. Ahmad Rifai Lc, KH.Usman Syarif, Alm. KH.
Moh. Ali Hasan SE, Ust, Lukman Satiri, Ust, Zaki Mubarak, yang telah
mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman Baitul Qur’an Daarul Hijrah, terima kasih telah mendo’akan
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Terakhir, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan melancarkan baik secara langsung maupun tidak langsung
berjasa dalam penulisan skripsi ini.
Semoga semua kebaikan dan jasa yang telah diberikan kepada penulis, dapat
menjadi amal shaleh, dan diberikan rahmat serta keberkahan dari Allah SWT.
Akhirnya, penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik serta saran yang membangun diharapkan oleh penulis untuk perbaikan di
masa mendatang.
Jakarta, April 2017
Ahmad Kasogi
viii
5
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iv
DAFTAR TABEL .................................................................................... v
DAFTAR BAGAN ................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ...........................................................
B. Pertanyaan Penelitian .........................................................
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..........................................
D. Tinjauan Pustaka ................................................................
E. Kerangka Teori ..................................................................
F. Metodologi Penelitian ........................................................
G. Sistematika Penulisan ........................................................
1
7
8
9
14
27
32
BAB II GAMBARAN UMUM PELAJAR ISLAM INDONESIA
A. Sejarah Berdirinya Pelajar Islam Indonesia (PII) ..............
B. Tujuan, Fungsi dan Usaha Pelajar Islam Indonesia (PII) ...
C. Sistem Pengkaderan Pelajar Islam Indonesia (PII) .............
34
37
39
BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN
A. Perkembangan Sistem Pengkaderan Pelajar Islam
Indonesia...............................................................................
B. Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi
Perubahan Sistem Pengkaderan Pelajar Islam
Indonesia...............................................................................
48
79
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ..........................................................................
B. Saran .....................................................................................
98
100
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 102
LAMPIRAN
ix
6
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Daftar Informan ..................................................................... 31
Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 3.4
Sistem Pengkaderan PII di Masa Orde Lama (1950-1967)...
Sistem Pengkaderan PII di Masa Orde Baru (1966-1996) ...
Sistem Pengkaderan PII di Masa Reformasi (1998-saat ini)..
Faktor Internal yang Mempengaruhi Perubahan Sistem
Pengkaderan PII Dalam Memodernisasi Bagi Pelajar Islam
di Indonesia ...........................................................................
55
71
79
87
Tabel 3.5 Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Perubahan Sistem
Pengkaderan PII Dalam Memodernisasi Bagi Pelajar Islam
di Indonesia ...........................................................................
96
x
7
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Skema Kerangka Berpikir ..................................................... 27
Bagan 2.1 Skema Mekanisme dan Jenjang Training PII Sisten Ta’dib .. 46
Bagan 3.1 Skema Mekanisme dan Jenjang Training PII ........................ 61
xi
8
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 PII sebagai Peserta dalam Aloka Advanced Course for
Youth Leadership Training Center di Kolombo pada
Januari hingga Juni 1955....................................................
51
Gambar 3.2 Hasil Lokakarya Instruktur Nasional (LIN) Pedoman Pola
Kaderisasi PII .....................................................................
71
Gambar 3.3 Kegiatan Ta’lim .................................................................. 74
Gambar 3.4 Strategis Menej Indonesia ................................................... 77
xii
9
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pedoman Wawancara
Lampiran 2 Dokumentasi Penelitian
xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Penelitian skripsi ini membahas tentang modernisasi sistem pengkaderan
Pelajar Islam Indonesia dalam Jejaring PII dilihat melalui perkembangan sistem
kaderisasi di era Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi dengan faktor internal dan
eksternal yang berdampak dalam modernisasi sistem dan metode pengkaderan
Pelajar Islama Indonesia dalam Jejaring PII.
Kaderisasi menurut Hanan (2006:13) dikatakan sebagai kebulatan proses
yang mengarah pada terciptanya kader-kader atau anggota inti organisasi yang
berlangsung, mulai dari rekrutmen anggota, pembinaan hingga pelaksanaan
berbagai tugas, atau dalam bentuk seluruh kegiatan Pelajar Islam Indonesia (PII)
yang dikenal sebagai organisasi kader, sekaligus sebagai organisasi massa. Proses
kaderisasi tersebut berperan penting dalam membangun pemikiran, sikap dan
tindakan organisasi yang tidak terlepas dari motivasi berdirinya PII, dengan
bermotivasi ke-Islam-an dan bermotivasi kebangsaan. Adanya motivasi tersebut,
maka tercipta tujuan yang dicita-citakan dalam pendirian PII, yaitu untuk
kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan, sesuai dengan Islam bagi segenap
rakyat Indonesia dan umat manusia (Busyari, 2010:109).
Untuk mewujudkan cita-cita dari tujuan pendirian PII, maka dilakukan
usaha dalam proses kaderisasi dengan cara mendidik, mengembangkan dan
meningkatkan kemampuan, serta mencetak kader-kader pemimpin dengan
2
memiliki pandangan Islami. Di bidang pendidikan, sebagaimana dinyatakan dalam
Pengurus Besar (PB) PII dalam Falsafah Gerakan (1991:17), menyebutkan bahwa
PII menginginkan keseimbangan antara pendidikan spiritual dan pendidikan
material, yang mempunyai tanggung jawab terhadap eksistensi penyelenggaraan
pendidikan, dengan berupaya untuk menanamkan nilai-nilai Islam di lembaga-
lembaga pendidikan formal (sekolah dasar, menengah, sampai perguruan tinggi),
nonformal (pesantren), dan informal (keluarga dan masyarakat). Oleh karena itu,
PII dalam rangka proses pembinaan sebagai sebuah organisasi pelajar Islam yang
menyelenggarakan kaderisasi memiliki orientasi usaha dalam bidang pendidikan.
Konsep pendidikan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan
politik pemerintah, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan
dan perubahan masyarakat, adat istiadat, kebudayaan dan lain sebagainya
(Abuddin, 2006:19). Hal ini juga tidak terlepas dari modernisasi pendidikan di
Indonesia dimana menurut Madjid (19977:xii) menyatakan bahwa sistem
pendidikan modern pertama diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Sedangkan, pondok pesantren sebagai lembaga bagi pendidikan dan penyebaran
agama Islam telah lahir dan berkembang sejak awal kedatangan agama Islam di
bumi nusantara sebagai lembaga pendidikan khas Indonesia yang telah lama
tumbuh berkembang di masyarakat (Azyumardi, 1995:95).
Realitas praktik dalam pengelolaan sebuah lembaga yang membidangi
masalah pendidikan di Indonesia, dapat diketahui melalui dua lembaga
pemerintahan, yaitu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Departemen
Agama. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI lebih menekankan pada
3
pendekatan dalam pengaturan sistem dan praktik pendidikan di sekolah umum,
sedangkan Departemen Agama selain membidangi masalah dalam persoalan
hubungan keberagamaan di Indonesia, seperti pengaturan tentang haji, pernikahan,
hingga menangani pada bidang pendidikan di sekolah madrasah, dan pondok
pesantren yang dikenal sebagai lembaga pendidikan berbasis agama Islam.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan Nasional disebutkan bahwa data
awal yang mendaftar sebanyak 1.476.575 peserta sekolah, dengan rincian
jumlah data sekolah, meliputi Sekolah Dasar (SD) sebanyak 144.228
sekolah, SMP sebanyak 28.777 sekolah, SMA sebanyak 10.765 sekolah,
SMK sebanyak 7.592 sekolah, SLB sebanyak 1.686 sekolah. Akan tetapi, di
dalam perkembangannya hanya terdapat 1.467.058 sekolah yang
memasukkan nilainya atau sebesar 99,36 persen. Sedangkan pendataan
mengenai pesantren, meliputi Pondok Pesantren, Program Pendidikan
Kesetaraan (Paket A, B, C), Program Pendidikan Wajar 9 Tahun pada
pondok pesantren Salafiyah. Pada pendataan pondok pesantren tahun 2011-
2012 mencakup 33 provinsi dan berhasil didata sebanyak 27.230 pondok
pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia
(http://www.depdikbud.com/analisis/statistik/pendidikan/islam/2011/2012.
Pendataan terhadap sekolah dan pondok pesantren tersebut dapat diketahui
jumlah sekolah umum dan pondok pesantren di Indonesia yang menunjukkan
adanya problematika pendidikan di Indonesia sehingga terjadinya dualisme
pendidikan di Indonesia. Hal ini memunculkan dikotomi di dalam dunia
pendidikan, dan sekaligus dapat dikatakan menjadi gap antara pelajar sekolah
umum dengan pelajar pondok pesantren. Adanya problematika tersebut menjadi
motivasi dasar dalam proses pendirian PII, hingga pada peran dan pergerakannya
terhadap pelajar Islam di Indonesia hingga saat ini.
Untuk menyikapi terjadinya modernisasi di bidang pendidikan, maka pola
kaderisasi PII terus berkembang dan disempurnakan, dengan sistem kaderisasi PII
dinamakan 1) Ta’dib terdiri atas jalur-jalur pembinaan, berupa training berjenjang
4
dengan penekanan pada aspek kepemimpinan; 2) Ta’lim yang juga berjenjang
dengan penekanan pada aspek intelektualitas dan ke-Islam-an; dan 3) jalur kursus
yang menekankan pada penguasaan keahlian-keahlian tertentu (skills) berdasarkan
minat dan bakat kader (Hanan, 2006:82).
Perkembangan sistem kaderisasi adalah tidak terlepas dari keberadaan PII
dalam hubungan internal maupun eksternal dari dinamika organisasi, dilihat dari
sikap PII terhadap kebijakan pemerintah yang telah digariskan dalam Khitah
Perjuangan PII tentang Khitah Perjuangan Keluar, Garis Kebijaksanaan terhadap
pemerintah disebutkan bahwa, “PII bersedia atau dapat membantu kebijaksanaan
pemerintah secara partisipatif, korektif, dan konstruktif selama menguntungkan
Islam dan umat Islam”. Khitah Perjuangan yang dinyatakan dalam Ketetapan
Muknas XVII/1986 merupakan pedoman untuk membuat dan melaksanakan
kebijaksanaan bagi segenap eselon pimpinan, kader, dan anggota PII dalam setiap
gerak kader dan tindakannya. Kedudukan Khitah Perjuangan terbagi menjadi tiga,
yaitu Khitah Perjuangan Umum, Perjuangan Kedalam, dan Perjuangan Keluar.
Sikap tersebut ditunjukkan oleh PII dengan adanya berbagai kebijakan
politik yang dikeluarkan oleh pemerintah di era Orde Lama, dimana PII sebagai
organisasi pelajar Islam yang melakukan perlawanan dan menentang terhadap
ajaran komunis di Indonesia, hingga memasuki pemerintahan di Era Orde Baru
telah memunculkan dilema antara komitmen ke-Islam-an dan komitmen ke-
Indonesia-an, yang menyebabkan PII secara keorganisasian telah bergerak di luar
kerangka politik formal di era Orde Baru (Hanan, 2006: 6-10).
5
Dilematis yang muncul di dalam organisasi internal PII di era Orde Baru,
apabila mengacu pada pandangan pemerintah dalam bentuk kebijakan politik
terhadap umat Islam, menurut Abdul Munir Mulkhan dalam Hanan (2006:94-95)
terdapat lima hal, yaitu Pertama, agama didekati sebagai variabel di luar variabel
sosial dan politik. Kedua, perilaku umat dipandang sebagai perilaku individual.
Ketiga, agama ditempatkan dalam kedudukan yang sakral dan transenden tanpa
hubungan struktural dan fungsional dengan kehidupan keimanan di tingkat praktik.
Keempat, batas-batas tertentu, secara politis agama ditempatkan sebagai legitimasi
atas kebijakan konsep pembangunan. Kelima, seluruh struktur kehidupan beragama
dikaitkan dengan Pancasila sebagai ideologi sosial-politik dan sistem kebangsaan.
Hal ini dapat mendeskripsikan sebagai dua kutub yang berseberangan antara PII
dengan pemerintah di era Orde Baru menjadi sumber dilematis yang berkaitan
dengan dua motivasi berdirinya PII tersebut.
Di sisi lain, terdapat tiga faktor yang harus dipenuhi oleh organ gerakan
perjuangan agar bisa melakukan aktivitasnya di dalam suatu negara, sebagaimana
dinyatakan oleh Anton Timur Djaelani dalam Hanan (2006:195-196), yaitu
kekuatan (power), legalitas (sesuai dengan ketentuan hukum negara), dan
pembiayaan. Ketiga faktor tersebut memiliki dasar pandangan pada beberapa hal,
yaitu Pertama, perjuangan umat Islam (termasuk di dalamnya Keluarga Besar PII)
telah memperlihatkan kemajuan, meskipun belum sebanding dengan cita-cita untuk
mewujudkan tujuan PII. Kedua, Pancasila sebagai dasar negara yang dinamis,
masih memerlukan unsur tauhid, iman dan taqwa, ukhuwah, musyawarah untuk
mufakat, dan zakat-hibah-waris sebagai sistem sosial atau pemerataan kekayaan.
6
Ketiga, hukum nasional sangat memerlukan kompilasi dan kodifikasi hukum Islam.
Keempat, pendidikan agama telah menjadi sistem penuh di sekolah, setelah
pemberlakukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Oleh karena itu, diharapkan para aktivis PII pada saa itu dapat tetap
menjaga persatuan tanpa meninggalkan ukhuwah Islamiyah.
Peristiwa reformasi 1998 mengakhiri pertentangan pendapat antara pro dan
kontra terhadap formalisasi PII, tepatnya pada bulan Mei 1998 melalui Muktamar
PII menerima Pancasila sebagai asas tunggal yang dianggap sebagai suatu
keganjilan sikap, dimana PII selama bertahun-tahun telah mempertahankan dan
bersikap keras menolak untuk tunduk pada kebijakan politik yang dikeluarkan oleh
pemerintah di era Orde Baru. Hal ini sebagai penanda dimulainya tahap baru dalam
sikap politik PII di awal reformasi dengan upaya mengembangkan sayap organisasi
yang dilakukan melalui dukungan Jejaring PII di pemerintahan dan menjadi tokoh
masyarakat sebagai faktor penting dalam menjalankan periode kepengurusan
pertama setelah reformasi tahun 2000, dengan mendirikan kembali struktur PII di
seluruh ibukota provinsi di Indonesia, serta jejaring internasional yang sempat
vakum untuk kembali dihidupkan, terutama di Asia Tenggara.
Sistem kaderisasi PII di era Reformasi menggunakan sistem ta’dib dengan
mengkombinasikan tiga model pembinaan kader melalui jalur training, ta’lim, dan
kursus. Sistem kaderisasi ini menandai munculnya kembali PII di ranah kehidupan
publik setelah dibekukan oleh pemerintahan di era Orde Baru. Akan tetapi, masa
reformasi dengan situasi sosial dan politik sangat terbuka untuk bergerak, seakan
menjadi masalah tersendiri bagi PII, seperti kehilangan arah dan mengalami
7
penurunan motivasi dalam sistem kaderisasi yang sangat berbeda dengan masa-
masa perlawanan terhadap Orde Lama dan Orde Baru.
Meskipun permasalahan pelajar di era Reformasi berdasarkan pengamatan
peneliti memiliki banyak problematika, seperti kesenjangan pendidikan antara
golongan ekonomi masyarakat, antara satu daerah dengan daerah lain, masalah
tawuran, dan sebagainya yang diterima oleh PII sebagai lahan garapnya, akan tetapi
PII tidak mampu membangkitkan semangat gerakan yang pernah muncul di masa
sebelumnya. Tahap perkembangan dalam sistem kaderisasi PII pasca reformasi
menunjukkan proses yang datar dan berkisar pada masalah internal kepengurusan
yang ada dalam dinamika internal organisasi.
Adanya dualisme konsep pendidikan di Indonesia yang dipengrauhi oleh
kebijakan politik pemerintah, serta berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi, terjadinya perubahan dalam kehidupan masyarakat telah membangkitkan
semangat gerakan bagi Pelajar Islam Indonesia dalam memodernisasi sistem
pengkaderannya. Oleh karena itu, sangat penting untuk dilakukan penelitian yang
berkaitan dengan “Modernisasi Sistem Pengkaderan Pelajar Islam Indonesia
Dalam Jejaring PII.”
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian pernyataan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian
yang akan diteliti adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah modernisasi sistem pengkaderan Pelajar Islam Indonesia dalam
Jejaring PII?
8
2. Apa yang menjadi faktor internal dan eksternal yang melingkupi modernisasi
sistem pengkaderan Pelajar Islam Indonesia dan bagaimana PII menyiasatinya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, menjelaskan tentang
pertanyaan yang terdapat pada perumusan penelitian, yaitu: menganalisis
dan menjelaskan tentang bagaimana modernisasi sistem pengkaderan
Pelajar Islam Indonesia dalam Jejaring PII.
b. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui faktor internal dan faktor
eksternal yang berdampak dalam modernisasi sistem pengkaderan Pelajar
Islam Indonesia, dan bagaimana upaya yang dilakukan oleh PII untuk
menyiasatinya.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan dan wawasan tentang sosiologi secara umum, dan sosiologi
pendidikan modern dalam menghubungkan antara perkembangan sistem
pengkaderan PII dan jejaring PII untuk melakukan perubahan sistem
pengkaderan sebagai usaha untuk merespon modernisasi, serta dapat
digunakan sebagai panduan dan referensi untuk menambah hasil temuan.
b. Manfaat Praktis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran yang dapat menjadi sumber referensi bagi peneliti, segenap
9
aktivitas Pengurus PII, pelajar, mahasiswa dan masyarakat pada
umumnya.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang sistem pengkaderisasian telah dilakukan oleh beberapa
peneliti terdahulu, sehingga dapat menunjukkan adanya keterkaitan hubungan
antara organsasi dengan permasalahan pada perubahan sosial, terutama pada
modernisasi pendidikan menjadi bahan pertimbangan dengan dicantumkan sebagai
penelitian terdahulu, yang berkaitan dengan organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII)
sehingga dapat menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan yang akan diteliti
dalam skripsi ini.
Pertama, penelitian dalam bentuk jurnal yang dilakukan Sunarto A (2013)
dengan judul “Paradigma Nahdlatul Ulama Terhadap Modernisasi”. Pada
penelitiannya, organisasi ini terus melakukan pembenahan untuk memajukan
internal organisasi. Secara kultural, NU masih tetap mempertahankan tradisi
agama. Akan tetapi, NU juga telah mengadakan modernisasi di dalam bentuk
pemikiran, keintelektualitasan, serta keorganisasian. Sumber ilmu yang dijadikan
NU adalah kitab-kitab kuning (bacaan: klasik). Dengan demikian, NU tidaklah
stagnant, menjadikannya sebagai referensi keilmuan. Di sisi lain, pemikiran orang-
orang NU lebih modern daripada kelompok-kelompok tertentu yang muncul
sebagai kelompok modernitas. Di bidang politik dan tata negara, organisasi NU
lebih mudah menyesuaikan diri atau akomodatif, dengan berbagai perubahan
politik dibandingkan dengan berbagai ormas Islam yang ada di Indonesia. NU lebih
10
transparan, progresif bahkan lebih modernisasi dibandingkan dengan ormas yang
mengklaim diri sebagai golongan pembaharu. Dalam konteks ini, NU lebih
menerima Pancasila sebagai ideologi negara yang signifikan bagi kehidupan
negara.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Jupri (2006) dengan judul “Strategi
Dakwah Pelajar Islam Indonesia dalam Menghadapi Era Globalisasi”. Strategi
dakwah yang dibahas adalah strategi dakwah dalam Bidang Komunikasi Umat,
yang dituangkan dalam kebijakan dan program kerja PB PII Periode 2002-2004.
Penelitiannya dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
deskriptif. Hasil penelitiannya dapat menunjukkan bahwa strategi dakwah PII
dalam bidang komunikasi umat telah dituangkan dalam bentuk kebijakan program
dan rancangan program kerja, yang direalisasikan dalam bentuk kegiatan strategi
dakwah PII dalam bidang komunikasi umat, secara umum diarahkan pada
penguatan komunikasi dan jaringan kerja dengan lembaga lain, menjaga citra
organisasi, serta mensosialisasikan eksistensi PII pada masyarakat luas, dan
memberikan respon proaktif terhadap berbagai persoalan umat. Program kerja PB
PII dalam bidang komunikasi umat, periode 2002-2004 yang telah terlaksana
dengan tuntutan era globalisasi, yaitu pertama, program kerja yang direncanakan
PII adalah merujuk pada problematika umat yang dihadapi saat ini. Kedua, karena
program kerja PB PII 2002-2004 diarahkan pada penguatan persatuan umat, yang
terlihat pada terbentuknya kerjasama kemitraan antara organisasi pelajar, seperti
PII, IRM, dan IPNU dalam menyikapi permasalahan umat.
11
Ketiga, penelitian berupa tesis yang kemudian dijadikan sebuah buku
dengan judul “Gerakan Pelajar Islam Di bawah Bayang-Bayang Negara”, melalui
studi kasus Pelajar Islam Indonesia periode 1980-1997, ditulis oleh Djayadi Hanan
di Universitas Gajah Mada, tahun 1999 sebagai hasil kerjasama PB PII periode
2004-2006. Penelitiannya telah menjelaskan tentang bagaimana pergolakan tentang
penyeragaman asas bagi segenap organisasi politik dan kemasyarakatan, dengan
menggunakan asas Pancasila yang disampaikan pada masa Orde Baru, yaitu
Suharto, melalui penetapan kebijakan pemerintah berbentuk Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pada kebijakan tersebut
muncul pandangan tentang pemaksaan terhadap seluruh organisasi masyarakat
untuk mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal, yang bertolak ukur dari kasus
penolakan Pelajar Islam Indonesia terhadap undang-undang tersebut. Selain itu,
buku ini telah mencatat hasil penelitian tentang keistimewaan dari gejolak kaum
pelajar Islam atas tekanan rezim Orde Baru sebagai hubungan antara Islam dan
negara Orde Baru yang terekam kuat dari kacamata gerakan politik Pelajar Islam
Indonesia.
Keempat, Jurnal Ilmiah Peuradeun (International Multidisciplinary
Journal) oleh Syahminan di UIN Ar-Raniry Banda Aceh (2014), dengan judul
“Modernisasi Sistem Pendidikan Islam di Indonesia Pada Abad 21”. Penelitiannya
menjelaskan tentang pergolakan sejarah, orientasi dan perkembangan modernisasi
sistem pendidikan Islam di Indonesia, mulai dari modernisasi pemikiran, sampai
dengan praktik sistem yang diterapkan. Hasil penelitiannya dapat menyimpulkan
bahwa kelemahan dan kepincangan sistem pendidikan Islam yang telah berjalan
12
dan terlaksana selama ini adalah disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu Pertama,
ketidaksiapan dunia Islam dalam mempersiapkan proses dan pelahiran sistem
alternatif pendidikan Islam, yang dinamis dan adaptif terhadap tuntutan dunia baru.
Kedua, ketidakmampuan dunia Islam pada umumnya, dalam membaca dan
mempersiapkan antisipasi terhadap perkembangan dan perubahan zaman. Di dalam
menghadapi perkembangan industrialisasi dan globalisasi yang begitu cepat, maka
sistem pendidikan Islam harus future oriented, baik dari segi dasar filosofisnya,
metode, kurikulum, maupun dari segi lainnya, sehingga menghasilkan output
dilihat dari para lulusan yang berkualitas, dan mampu berperan di tengah
masyarakat, dengan tidak melepaskan identitasnya yang asasi.
Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Awaluddin (2010) berjudul
“Hubungan Antara Hasil Pelatihan Dasar Kepemimpinan PII Dengan Sikap
Kepemimpinan Siswa di SMA Fatahillah”. Penelitiannya menggunakan metode
penelitian kuantitatif. Hasil penelitiannya dapat menyimpulkan bahwa pelatihan
yang diselenggarakan atas kerjasama PII dengan SMA Fatahillah bertujuan untuk
menambah pengetahuan dan wawasan dasar kepemimpinan bagi para peserta
pelatihan. Selain itu, hasil pelatihan dasar kepemimpinan telah menunjukkan
terdapat hubungan positif dengan sikap kepemimpinan siswa di SMA Fatahillah,
dan juga dapat menjelaskan faktor intern dalam diri siswa yang berpengaruh sangat
kuat terhadap sikap konasi peserta pelatihan. Sikap malas berpikir,
mengembangkan potensi peserta, dan menggali potensi kepemimpinan peserta
pelatihan, antara lain disebabkan karena lemahnya dukungan dari lingkungan
sekitar mereka, baik keluarga maupun sekolah.
13
Berdasarkan pada kelima penelitian terdahulu dapat menunjukkan adanya
perbedaan terhadap penelitian yang akan diteliti dalam skripsi ini. Perbedaan pada
penelitian yang telah dilakukan oleh A. Sunarto yang memfokuskan penelitiannya
pada paradigma Nahdlatul Ulama terhadap modernisasi, penelitian yang dilakukan
oleh Jupri yang lebih memfokuskan studinya dengan melihat pada aspek strategi
komunikasi PII dengan lembaga ormas lainnya, kemudian penelitian yang telah
dijadikan buku sebagai hasil karya dari Djayadi Hanan yang lebih menekankan
gejolak kaum pelajar Islam atas tekanan rezim Orde Baru dari kacamata politik
gerakan pelajar Islam, penelitian yang dilakukan oleh Syahminan yang menjelaskan
pergolakan sejarah, orientasi dan perkembangan modernisasi sistem pendidikan
Islam di Indonesia, mulai dari modernisasi pemikiran, sampai pada praktik sistem
yang diterapkannya secara kompleks di abad 21, dan penelitian yang dilakukan oleh
Awaluddin dengan menekankan hubungan antara hasil pelatihan dasar
kepemimpinan PII dengan sikap kepemimpinan siswa di SMA Fatahillah. Dari
kelima penelitian terdahulu tersebut dapat menunjukkan perbedaan dengan
penelitian ini dilihat dari objek penelitian, yaitu PII sebagai organisasi berbasis
pelajar dan organisasi yang aktif dalam mengenai persoalan dunia pendidikan,
kebudayaan dan dakwah dalam melakukan berbagai perubahan pada sistem
pengkaderannya, sebagai upaya yang berkaitan dengan adanya perubahan sosial
modern, khususnya modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, dengan
menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif maka diharapkan mampu
untuk memberikan gambaran secara mendalam untuk menjawab pertanyaan
penelitian dalam skripsi ini.
14
E. Kerangka Teoritis
1. Pengertian Modernisasi
Modernisasi dalam kamus Sosiologi (Nicholas, Stephan, Turner dalam
Gumilir, 2005:93), meliputi pengertian pada peningkatan keaksaraan, urbanisasi
dan penurunan tradisional. Perubahan ini dilihat dari segi peningkatan diferensiasi
sosial dan struktural. Secara etimologi, modernisasi terdiri dari dua suku kata, yaitu
‘modern’ yang berarti mutakhir, dan ‘sasi’ yang berarti proses, sehingga kata
‘modernisasi’ dapat diartikan sebagai proses pemutakhiran.
Dalam konteks modernisasi sebagai proses pemutakhiran memiliki
relevansi dalam modernisasi sistem pengkaderan PII dilihat dari era Orde Lama
berupaya untuk mengidentifikasi dan merumuskannya dalam metode Dynamic
Group, di era Orde Baru dilakukan proses penyempurnaan ke dalam sistem Ta’dib,
dan di era Reformasi dilakukan sosialisasi sistem Ta’dib sebagai langkah
modernisasi sistem pengkaderan Pelajar Islam Indonesia dalam jejaring PII.
Di dalam bahasa Indonesia selalu dipakai kata modern, modernisasi atau
modernisme, seperti terdapat dalam aliran modern dalam Islam, yakni Islam dan
modernisasi, modernisme dalam masyarakat Barat, sebagaimana dikemukakan oleh
Nasution (1996:11), mengatakan bahwa kata modern, modernisasi atau
modernisme dapat diartikan pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah
paham-paham, adat-istiadat, institusi lama dan sebagainya untuk menyesuaikan
dengan suasana baru yang disebabkan karena pengetahuan dan teknologi modern.
15
Kata ‘modernisasi’ melekat pada hidup yang ditunjukkan oleh ‘keadaan
yang bersifat langgeng’. Dalam konteks ini, Berman dalam Turner (2008:231)
menyatakan bahwa modernisasi menjadi suatu ragam visi dan ide, dengan tujuan
menjadikan laki-laki dan perempuan menjadi subjek dan objek dari modernisasi,
dengan memberikan kekuatan kepada mereka untuk mengubah dunia, sehingga
dapat menjadi jalan bagi mereka untuk melewati rintangan dan membuatnya
menjadi milik mereka.
Modernisasi memerlukan beberapa syarat tertentu, sebagaimana dinyatakan
oleh Soekanto (2007:360-362), yaitu:
a. Cara berpikir yang ilmiah yang berlembaga dalam kelas penguasa ataupun
masyarakat.
b. Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
c. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur, yang terpusat pada
suatu lembaga atau badan tertentu.
d. Penciptaan iklim yang menyenangkan, dan masyarakat terhadap modernisasi
dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.
e. Tingkat organisasi yang tinggi, yang di satu pihak berarti disiplin, sedangkan di
lain pihak, berarti pengurangan kemerdekaan.
f. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial.
Modernisasi memiliki relevansi terhadap penelitian dalam skripsi ini, yaitu
melekat dalam perubahan yang terjadi pada sistem kaderisasi PII pasca reformasi,
dimana para kader dalam Jejaring PII sebagai objek dan subjek penelitian dapat
dilakukan analisis dengan menggunakan teori modernisasi yang mengacu pada
proses kaderisasi PII menghadapi perubahan sosial modern dalam pendidikan dan
kebudayaan adalah seiring dengan terjadinya perubahan paradigma terhadap
pemikiran, sikap dan tindakan dalam proses kaderisasi melalui Jejaring PII
berdasarkan pada tujuan PII untuk kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan, yang
16
berorientasikan pada ke-Islam-an dan kebangsaan bagi rakyat Indonesia dan umat
manusia.
a. Birokrasi
Birokrasi dalam kamus sosiologi, dinyatakan sebagai the Key Concepts
adalah kemajuan dari bentuk organisasi secara administratif berskala besar, yang
hadir dalam kelanjutan kapitalisme, dan kadang kala diambil sebagai ciri khas dari
kapitalisme tersebut (Scott, 2011:21). Birokrasi menurut Weber dalam Scott
(2011:21) dinyatakan bahwa birokrasi tidak membatasi pada kapitalisme, birokrasi
dapat berkembang dan memperkuat untuk memonopoli suatu kondisi. Pada awal
abad ke-20, birokrasi berkembang dalam masyarakat kapitalis yang berbentuk
perusahaan industri berskala besar, dan pada konsep negara kesejahteraan (welfare
state).
Menurut Weber dalam Etzioni (2005:75) menyatakan dengan pendapatnya,
agar struktur organisasi modern dapat berfungsi secara efektif dan efisien sebagai
suatu sarana organisasi, maka struktur tersebut memerlukan wewenang birokratis.
Lebih lanjut, Weber dalam Scott (2011:21) mengemukakan bahwa birokrasi
memiliki beberapa karakteristik struktural yang berbeda, dan juga memiliki
beberapa ciri internal yang berkaitan dengan hal tersebut. Karakteristik struktural
birokrasi meliputi pola otoritasnya yang terpusat (sentralistik) dan jelas, dengan
tingkat hierarki yang berjenjang, pembagian kerja yang rumit, antara spesialisasi
yang luas dan resmi dari berbagai aktivitas yang dilakukan.
17
Berdasarkan pengalaman di benua Eropa bagian barat, Weber dalam
Mas’oed (2004:69) telah menggambarkan tentang perkembangan birokrasi yang
seiring dengan perkembangan modernisasi masyarakat. Peningkatan modernisasi
ekonomi, munculnya ekonomi kapitalis, perkembangan rasionalitas, dan
demistifikasi dalam masyarakat, demokratisasi, dan modernisasi sosial-ekonomi,
pada umumnya adalah menimbulkan masalah administratif, yang semakin lama
semakin banyak, dan semakin kompleks. Akibatnya, muncul keharusan untuk
dilakukannya pembagian kerja yang jelas dalam masyarakat. Kemudian, muncul
birokrasi sebagai tanggapan terhadap kebutuhan zaman. Dalam konteks ini,
birokrasi negara muncul untuk menanggapi perluasan dan kompleksitas tugas
administratif pemerintahan. Kebutuhan yang dianggap semakin mendesak sebagai
akibat merosotnya peranan raja patrimonial dalam pengurusan masalah
pemerintahan. Sedangkan, birokrasi perusahaan atau manajemen industrial muncul
karena terjadinya kemajuan pesat dalam teknik industrial. Dengan demikian,
Mas’oed (2004:70) menyatakan bahwa suatu struktur dalam birokrasi dapat
terbentuk karena adanya fungsi yang harus ditangani, yaitu fungsi teknis
administratif untuk mengkoordinasikan berbagai unsur yang semakin lama semakin
kompleksitas. Teknis ini terjadi sebagai akibat dari modernisasi sosial-ekonomi
dalam masyarakat.
Weber dalam Martin (2005:32) memandang bahwa birokrasi rasional
sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern adalah jauh lebih penting
dari seluruh proses sosial. Proses ini mencakup pada ketepatan dan kejelasan yang
dikembangkan dalam prinsip-prinsip memimpin organisasi sosial. Hal ini dapat
18
memudahkan dan mendorong konseptualisasi ilmu sosial, dan bantuan konseptual
teori Weber tentang birokrasi yang terletak pada penjelasannya yang berkaitan
dengan pendiskusian dari tipe rasional murni.
Legitimasi sebagai otoritas yang sah menjadi dasar bagi hampir semua
sistem otoritas, seperti dikemukakan oleh Weber dalam Martin (2005:44) adalah
bergantung pada lima keyakinan, yaitu:
1. Ditegakkannya peraturan (code) yang sah, maka dapat menuntut kepatuhan dari
para anggota organisasi tersebut.
2. Hukum merupakan suatu sistem aturan abstrak yang diterapkan pada berbagai
kasus tertentu, sedangkan administrasi adalah mengurus berbagai kepentingan
organisasi yang ada dalam batas-batas hukum.
3. Manusia yang menjalankan otoritas juga mematuhi tatanan impersonal tersebut.
4. Hanya anggota yang taat (qua member) yang benar-benar dapat mematuhi
hukum.
5. Kepatuhan seharusnya tidak mengacu pada individu (person) yang memegang
otoritas, melainkan kepada tatanan impersonal, yang menjamin untuk
menduduki jabatan itu.
Berdasarkan konsepsi legitimasi tersebut, maka Weber dalam Martin
(2005:45) dapat merumuskan delapan proposisi tentang penyusunan sistem otoritas
legal, yaitu :
a. Tugas pejabat diorganisir berdasarkan pada aturan yang berkesinambungan.
b. Tugas tersebut dibagi atas bidang yang dibedakan menurut fungsi, dimana
masing-masing bidang dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi.
c. Jabatan tersusun secara hierarkis, hak-hak control dan complain di antara
mereka adalah terperinci.
d. Aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan, baik secara teknis, maupun
secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, maka diperlukan manusia yang
terlatih.
e. Sumber daya organisasi sangat berbeda dengan yang berasal dari para anggota
sebagai individu pribadi.
f. Pemegang jabatan tidak sesuai dengan jabatannya.
g. Administrasi didasarkan pada dokumen tertulis, cenderung menjadikan Badan
(Biro) sebagai pusat organisasi modern.
h. Sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk
aslinya adalah terdapat didalam sebuah staf administrasi birokratik.
19
Kelima konsepsi legitimasi dan delapan prinsip otoritas, seperti dinyatakan
oleh Weber dalam Martin (2005:45-46) adalah berkaitan dengan organisasi staf
administrasi birokratis dimana kepemimpinan dalam staf administrasi birokratis
tidak mendasarkan pada prinsip rasional legal.
Birokrasi dan modernitas memiliki keterkaitan dengan permasalahan di
dalam skripsi ini dilihat dari studi kasus melalui Jejaring PII dalam proses
kaderisasi dari masa ke masa tetap menunjukkan eksistensinya untuk
memperjuangkan tujuan PII dalam kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang
berorientasikan pada ke-Islam-an dan kebangsaan tentunya terjadi dinamika dalam
menghadapi perubahaan sosial modern. Oleh karena itu, birokrasi bersentuhan
dengan Jejaring PII secara administratif dalam organisasi skala besar yang
diantaranya adalah termasuk tokoh penting dalam birokrasi pemerintahan menjadi
bagian dalam proses kaderisasi PII dengan sistem kaderisasi ta’dib untuk
melakukan perubahan dalam era pasca reformasi menuju pada ciri-ciri masyarakat
modernitas dengan adanya pengetahuan dan teknologi baru.
b. Manajemen
Manajemen menurut Linkletter & Maciariello dalam Marciariello &
Yamawaki (2010:11) diartikan sebagai sebuah ilmu budaya dikarenakan
manajemen merupakan ilmu yang berkaitan dengan tradisi disebut dengan ilmu
budaya. Secara etimologi mengacu pada kata ‘budaya’ sebagai ilmu yang berkaitan
dengan dasar ilmu pengetahuan, wawasan diri, kebijaksaan dan kepemimpinan.
20
Kata ‘ilmu’ diartikan sebagai ilmu praktis yand dapat diterapkan. Di dalam
manajemen modern, Drucker menjadi tokoh yang sangat penting.
Manajemen telah didefinisikan oleh beberapa ahli, diantaranya adalah
sebagai berikut.
a. Definisi manajemen menurut G.R Terry dan senada dengan pendapat yang
dinyatakan oleh Andrew F. Sikula dalam Hasibuan (2012:3) dikatakan bahwa
manajemen adalah suatu proses yang khas, terdiri dari tindakan perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian. Tindakan tersebut dilakukan
untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditentukan melalui
pemanfaatan sumber daya manusia, dan sumber daya lainnya.
b. Manajemen didefinisikan oleh James A.F Stoner (2006:8) adalah sebagai proses
perencanaan, pengorganisasian, dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya
dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Manajemen
juga diartikan sebagai seni pencapaian tujuan yang dilakukan melalui usaha
orang lain.
c. Lawrence A. Aplley dan Oey Liang Lee dalam Nurjaman (2014:16)
mendefinisikan manajemen sebagai strategi memanfaatkan tenaga dan pikiran
orang lain untuk melaksanakan suatu aktivitas yagn diarahkan pada pencapaian
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Di dalam manajemen terdapat
beberapa teknik dengan estetika kepemimpinan untuk mengarahkan,
mempengaruhi, mengawasi dan mengorganisasikan kesemua komponen yang
saling menunjang untuk tercapainya tujuan.
21
Berdasarkan dari beberapa pendapat ahli tersebut maka dapat diketahui
tentang definisi manajemen adalah suatu proses maupun strategi dalam melakukan
tindakan berupa perencanaan, pengorganisasian, penggerakan atau penggunaan
sumber daya organisasi yaitu sumber daya manusia atau sumber daya lainnya, serta
pengawasan dan pengendalian untuk menentukan dan mencapai sasaran yang telah
ditentukan oleh organisasi.
Manajemen berkaitan dengan tindakan yang dikatakan sebagai sebuah
aktivitas manajemen, yang secara umum ada di dalam sebuah organisasi, yang
diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif. Hal ini sejalan dengan
pernyataan yang dikemukakan oleh Terry dalam Syafaruddin (2010:41), dengan
menyatakan, “Management is performance of conceiving and achieving desired
result by means of group efforts consisting of utilizing human talent and resources”.
Pendapat ini dipahami bahwa manajemen adalah kemampuan mengarahkan dan
mencapai hasil yang diinginkan dengan tujuan dari usaha-usaha manusia dan
sumber daya lainnya.
Aktivitas manajemen menurut Hersey dan Blanchard (2010:4) dikatakan
sebagai proses bekerjasama antara individu dan kelompok, serta sumber daya
lainnya dalam mencapai tujuan organisasi. Aktivitas tersebut terkait dengan
aktivitas manajerial yang hanya ditemukan dalam wadah sebuah organisasi, baik
organisasi bisnis, pemerintahan, sekolah, industri, rumah sakit dan lain-lain.
(Syafaruddin 2010:41).
22
Manajemen dalam perspektif lebih luas dimaknai sebagai suatu proses
pengaturan dan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki organisasi melalui
kerjasama para anggota untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien.
Oleh karena itu, manajemen dapat dikatakan sebagai perilaku anggota dalam suatu
organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Organisasi dimaksudkan
sebagai wadah bagi operasionalisasi manajemen yang membentuk kegiatan
manajemen. Kegiatan manajemen mencakup pada sejumlah unsur pokok, yaitu
unsur manusia (men), unsur barang (materials), unsur mesin (machines), metode
(methods), uang (money), dan pasar (market). Keenam unsur tersebut masing-
masing memiliki fungsi yang saling berkaitan, dan saling berpengaruh terhadap
pencapaian tujuan organisasi, terutama pada proses pencapaian tujuan secara efektif
dan efisien (Syafaruddin 2010:41).
2. Bentuk-Bentuk Modernisasi dalam Organisasi Islam
Bentuk modernisasi dalam organisasi Islam di Indonesia telah digunakan
ketika memasuki abad ke-20 yang dikenal dalam gerakan modern, yaitu ketika
kaum pembaruan yang secara tegas menggunakan pola-pola modern, baik dari segi
struktur, pola gerak, dasar ikatan, maupun pada kepemimpinan. Kemudian, kaum
tradisional turut menyesuaikan diri dengan menggunakan organisasi modern,
namun cenderung ambivalen karena di satu sisi tetap bertahan dengan pola
komunal-paternalistrik, dan di sisi lain telah mengadopsi struktur modern (Hanan,
2006:31). Oleh karena itu, bentuk modernisasi dalam organisasi Islam di Indonesia
dapat dikatakan tidak terlepas dalam sistem manajemen dan sistem pengkaderan.
23
a. Sistem Manajemen
Pola atau sistem manajemen dianggap tepat untuk dapat mencapai tujuan
yang dicita-citakan oleh sebuah organisasi. Oleh karena itu, pengelola atau manajer
organisasi menerapkan sistem manajemen dengan sistem manajemen bapak
(paternalistic management), sistem manajemen tertutup (closed management),
sistem manajemen terbuka (open management), dan sistem manajemen demokrasi
(democratice management) (Ahmadi, 2002:21).
1) Manajemen Bapak (Paternalistic Management) diartikan bahwa setiap usaha
atau aktivitas organisasi para pengikut atau bawahan selalu mengikuti jejak
bapak. Apa yang dikatakan bapak itulah yang benar. Dalam hal ini, tidak ada
alternatif lain, kecuali mengikuti bapak. Sistem manajemen bapak memiliki
kebaikan dan kelemahan.
Kebaikan sistem manajemen bapak adalah jika bapak atau pemimpin tetap
pada proporsi yang benar, pekerjaan dapat dengan cepat dikerjakan, sehingga
tujuan tercapai dengan baik. Adapun kelemahan sistem ini adalah (1) jika bapak
tidak benar, organisasi akan hancur, karena bawahannya akan turut melakukan
penyelewengan; (2) kemajuan organisasi terbatas karena hanya tergantung
kepada kecakapan bapak, bawahan hanya merupakan robot saja; (3) Kalau
terjadi penggantian pemimpin, maka pemimpin baru akan sulit untuk melakukan
tugas karena para bawahan telah mengkultuskan pemimpin lamanya; (4) Para
bawahan menjadi orang-orang yang “yes man” saja, sehingga daya pikir dan
kreativitasnya tidak ada.
2) Manajemen Tertutup (Closed Management) artinya manajer tidak
memberitahukan atau menginformasikan keadaan organisasi kepada para
bawahannya, walaupun dalam batas tertentu saja. Berbagai keputusan yang
diambil oleh manajer tanpa melibatkan partisipasi bawahannya dalam proses
pengambilan keputusan.
Kebaikan sistem manajemen tertutup adalah kerahasiaan dan keadaan
organisasi sangat terjamin, pengambilan keputusan cepat, karena tidak
melibatkan partisipasi bawahannya dalam proses pengambilan keputusan.
Kelemahan sistem ini adalah (1) bawahan atau pengikut tidak mengetahui
keadaan organisasi; (2) problem dan pemecahan masalah yang dihadapi
organisasi hanya dihadapi manajer; (3) tidak mempersiapkan kader-kader
pengganti di masa depan; (4) menimbulkan sikap apatis para bawahan terhadap
masalah yang dihadapi organisasi.
24
3) Manajemen Terbuka (Open Management) adalah sistem manajemen dimana
manajer banyak menginformasikan keadaan organisasinya kepada para
bawahannya, sehingga bawahan dalam batas-batas tertentu mengetahui keadaan
organisasinya, begitu pula, dalam pengambilan keputusan terlebih dahulu
memberikan kesempatan kepada para bawahannya untuk mengemukakan
pendapatnya;
Kebaikan dari sistem ini adalah (1) bawahan ikut serta memikirkan
kesulitan yang dihadapi organisasi, dan ikut pula memikirkan cara-cara
pemecahan masalah yang dihadapi dan mengembangkan usaha-usaha
organisasi; (2) para bawahan mengetahui arah yang diambil organisasi; (3) para
bawahan akan lebih bergairah dan berpartisipasi tinggi pada tugas-tugasnya; (4)
para bawahan terbina dan terlatih; (5) akan menimbulkan suatu kompetisi yang
sehat sambil mereka berlomba-lomba mengembangkan kecakapan dan
kemampuannya; (6) akan menimbulkan kerjasama yang semakin baik dan
hubungan-hubungan yang semakin harmonis; (7) akan menimbulkan perasaan
senasib dan sepenanggungan serta solidaritas yang semakin baik.
Adapun kelemahan dari sistem manajemen terbuka adalah (1)
pengambilan keputusan lama dan bertele-tele; (2) rahasia keadaan roganisasi
kurang terjamin; (3) kecakapan dan kepemimpinan manajer akan diketahui para
bawahan sehingga wibawa dapat berkurang.
4) Manajemen Demokrasi (Democratic Management) hampir sama dengan sistem
manajemen terbuka, hanya saja manajemen demokrasi hanya dapat digunakan
dalam suatu organisasi jika setiap anggota mempunyai hak suara yang sama
seperti DPR, koperasi dan lainnya. Di dalam manajemen demokrasi, setiap
anggota ikut menetapkan keputusan-keputusan berdasarkan suara terbanyak,
sedangkan dalam manajemen terbuka, keputusan hanya ditetapkan oleh manajer.
Kebaikan sistem manajemen demokrasi adalah: (1) keputusan yang
diambil relatif lebih baik, karena dipikirkan dan diputuskan oleh banyak orang,
(2) kecenderungan untuk bertindak otoriter dapat dihindari, (3) keputusan yang
diambil dipertanggungjawabkan oleh para anggota, (4) ruang lingkup dan arah
keputusan diketahui oleh masyarakat. Kelemahan sistem manajemen demokrasi
adalah: (1) biaya, waktu untuk mengambil keputusan cukup lama bahkan
bertele-tele sebab pemikiran para anggota tidak sama, dan sering beradu
argumentasi, (2) ada pihak yang terpaksa menyetujui keputusan karena kalah
suara.
Dalam penelitian ini, sistem manajemen yang diberlakukan oleh organisasi
Islam di Indonesia, terutama PII dikarenakan adanya unsur-unsur organisasi yang
hampir sama dengan organisasi pada umumnya, yaitu adanya manusia yang
terkumpul dalam satu tujuan, ada tempat kedudukan, adanya tujuan, adanya
25
pembagian kerja, adanya struktur, adanya unsur-unsur teknis dan adanya
lingkungan (Ahmadi, 2002:122). Oleh karena itu, diperlukan suatu pengelolaan
atau manajemen dalam mewujudkan tujuan berdirinya suatu organisasi dengan
menerapkan sistem manajemen yang disesuaikan dengan kepemimpinan dalam
sebuah organisasi.
b. Sistem Pengkaderan
Kader adalah orang yang diharapkan akan memegang pekerjaan penting
dalam organisasi. Di dalam perjuangan agama Islam, diperlukan kader inti. Kader
inti adalah kader yang setia pada cita-citanya dan tidak mau tergoda dunia apapun
(Al-Barry dan Yacub, 2003:349). Sedangkan, pengkaderan adalah proses
mempersiapkan seseorang untuk menjadi penerus di masa depan, yang akan
memikul tanggung jawab penting di lingkungan organisasi (Latifah, 2011:21).
Dengan demikian, sistem pengkaderan sangat diperlukan karena semua manusia,
termasuk yang sekarang menjadi pemimpin, suatu saat pasti akan mengakhiri
kepemimpinannya, baik dikehendaki maupun tidak, proses tersebut bisa saja terjadi
dikarenakan oleh (a) dalam suatu organisasi ada ketentuan periode kepemimpinan
seseorang; (b) adanya penolakan dari anggota kelompok, yang menghendaki
pemimpinnya diganti, baik secara wajar maupun tidak wajar; (c) proses alamiah,
menjadi tua dan kehilangan kemampuan dalam memimpin; dan (d) kematian
(Rivai, 2006:85).
Sistem pengakaderan diartikan sebagai proses bertahap dan terus-menerus
sesuai tingkatan, capaian, situasi dan kebutuhan tertentu yang memungkinkan
26
seorang kader dapat mengembangkan potensi akal, kemampuan fisik, dan moral
sosialnya. Sehingga, kader dapat membantu orang lain dan dirinya sendiri untuk
memperbaiki keadaan sekarang dan mewujudkan masa depan yang lebih
baik sesuai dengan cita-cita yang diidealkan, nilai-nilai yang di yakini serta misi
perjuangan yang diemban.
Sistem kaderisasi mencakup keseluruhan proses kaderisasi, mulai dari
rekrutmen, pembinaan, pelatihan, pendidikan dan pengembangan kader. Sistem
kaderisasi sebagaimana dimaksud dalam organisasi organisasi meliputi: paradigma
kaderisasi, bentuk kaderisasi, tahapan kaderisasi, pelaksana dan fasilitator, Struktur
kaderisasi formal, materi pelatihan kader, pendekatan dan metode pelatihan,
strategi perawatan kader, sertifikasi pelatihan. Bentuk-bentuk pengkaderan terdiri
dari :
a) Kaderisasi formal adalah kaderisasi yang dilakukan melalui pelatihan-pelatihan
kader berjenjang yang bersifat formal dan baku, serta pelatihan-pelatihan
pengembangan kader lainnya.
b) Kaderisasi in-formal adalah kaderisasi yang dilakukan di luar jalur-lajur
pelatihan formal, baik melalui pendampingan atau praktek lapangan.
c) Kaderisasi non-formal adalah kaderisasi yang dilakukan secara langsung melalui
keterlibatan dalam kepenguruan organisasi, kepanitiaan dan kehidupan nyata di
tengah masyarakat.
3. Kerangka Berpikir
Sistem pengkaderan Pelajar Islam Indonesia dalam jejaring PII terdapat
pengaruh dari kebijakan politik pemerintah, berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan terjadinya perubahan perkembangan dalam kehidupan masyarakat
yang tidak terlepas dari modernisasi pendidikan bagi pelajar Islam di Indonesia.
Oleh karena itu, dengan menggunakan teori modernisasi, birokrasi dan manajemen,
27
maka penelitian ini akan menjelaskan tentang modernisasi sistem pengkaderan
Pelajar Islam Indonesia dalam jejaring PII yang dijadikan sebagai alur berpikir
dalam skripsi ini. Adapun skema kerangka berpikir dapat dilihat pada bagan berikut
ini.
Bagan 1.1
Skema Kerangka Berpikir
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian tentang perkembangan sistem pengkaderan Pelajar Islam
Indonesia ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Moleong dalam Haris
Sistem Pengkaderan Pelajar Islam
Indonesia dalam Jejaring PII
Adanya kebijakan politik pemerintah,
berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan terjadinya perubahan
perkembangan dalam kehidupan masyarakat
yang tidak terlepas dari modernisasi
pendidikan di Indonesia
Teori
Modernisasi, Birokrasi dan
Manajemen
Modernisasi Sistem Pengkaderan
Pelajar Islam Indonesia
28
(2012:7-9), penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah yang bertujuan untuk
memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan
mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti
dengan fenomena yang diteliti.
Menurut beberapa ahli penelitian kualitatif, setidaknya terdapat tujuh ciri
penelitian kualitatif, yaitu : 1) konteks dan setingnya bersifat alamiah, 2) tujuannya
adalah untuk memberikan pemahaman tentang suatu fenomena tertentu, 3) adanya
keterlibatan dan hubungan erat yang terjalin antara peneliti dengan subjek
penelitian, 4) tanpa adanya perlakuan atau manipulasi variable, 5) adanya usaha
penggalian nilai, 6) bersifat fleksibel, dan 7) hubungan antara peneliti dengan
subjek penelitian sangat memengaruhi tingkat akurasi data (Haris: 2012: 18).
2. Sumber data
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan
tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen (Moleong, 2013:157).
Dengan demikian, jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder.
a. Data primer. Data ini adalah sumber pertama dimana sebuah data dihasilkan
(Bungin, 2013:129). Sumber data primer dalam penelitian ini adalah data yang
dikumpulkan melalui wawancara berstruktur yang dilakukan pada Jejaring
Pelajar Islam Indonesia, yang terkait dalam proses melakukan perubahan sistem
pengkaderan organisasi PII.
29
b. Data sekunder. Data ini adalah sumber data kedua, sesudah sumber data primer.
Data sekunder dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, seperti buku-
buku, artikel, skripsi, tesis, disertasi, dan media lainnya, baik media cetak,
maupun media online, yang dapat menunjang hasil penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan (observation)
menunjukkan kemampuan dari penelitian untuk melihat bagaimana subjek
penelitian untuk dilakukan pengamatan terhadap subjek dari yang diamati
(Moleong, 2013:175). Agar dapat memperoleh hasil yang valid, maka teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
sebagai berikut.
a. Observasi adalah tata cara menghimpun data atau keterangan yang dilakukan
dengan pengamatan atau pencatatan sistematis terhadap gejala-gejala yang
dijadikan pengamatan (Sudjono, 2006:36). Observasi yang dilakukan dalam
penelitian ini dilakukan dengan pengamatan, pencatatan, serta menghimpun data
dan keterangan melalui keterlibatan langsung, bersentuhan langsung, seperti
mengikuti kegiatan dan mengamati dan menghimpun data yang terkait dalam hal
penelitian ini. Untuk melakukan penelitian, peneliti telah melakukan
pengamatan terhadap perkembangan kaderisasi PII dimulai dari era Orde Lama,
Orde Baru dan era Reformasi sebagai tahapan untuk mengetahui faktor internal
dan eksternal yang berdampak dalam modernisasi sistem pengkaderan PII dalam
jejaring PII.
30
b. Wawancara. Metode wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan atau
tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara (Bungin, 2013:133).
Wawancara merupakan pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan
secara langsung oleh pewawancara (pengumpulan data) kepada responden, dan
jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat perekam.
Wawancara dilakukan melalui tahapan dengan mempersiapkan catatan
pertanyaan secara garis besar, tentang pokok-pokok yang akan ditanyakan,
disebut juga dengan pedoman wawancara (Soehartono, 2011:67-68). Data
dalam penelitian ini adalah berupa dokumen dari Pengurus Besar PII yang dapat
memberikan gambaran tentang modernisasi sistem pengkaderan Pelajar Islam
Indonesia dalam jejaring PII dimulai dari era Orde Lama, Orde baru, dan era
Reformasi. Peneliti juga aktif dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia, dan
dalam melakukan penelitian skripsi ini, peneliti berupaya untuk mengupas
secara obyektif dari sudut pandang secara keilmuan sosiologi.
Pada penelitian ini, peneliti melakukan wawancara kepada sepuluh orang
yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini, dengan cara melakukan
wawancara secara tatap muka langsung, maupun wawancara yang dilakukan
melalui telepon atau sarana komunikasi lainnya dengan mengirimkan pesan
singkat kepada sumber informasi atau informan yang telah ditetapkan dalam
penelitian ini, seperti dapat dilihat pada tabel berikut.
31
Tabel 1.1
Daftar Informan
Nama Informan Jabatan
Ali Rasyid PB PII Periode 2008-2010
Munawar Khalil PB PII Periode 2015-2017
Cecep Sopandi Sekjen PB PII Periode 2013-2015
Ust. M Zainal Muttaqin PW PII Jakarta, Periode 1981-1983
Nuril Anwar PB PII Periode 2006-2008
Awaludin Kabid Eksternal PW PII Jakarta Periode 2006-2008
Ridwan Zulmi Sekjen I PB PII Periode 2008-2010
Abdul Rojak Korpus Brigade PII Periode 2004-2006
Ahmad Zaki Sekjen PB PII Periode 2013-2015
Abdi Rahmat PB PII Periode 2000-2002
c. Dokumentasi. Studi dokumentasi dalam penelitian ini adalah melakukan
observasi terhadap berbagai dokumen yang memiliki keterkaitan dengan sumber
data, diantaranya adalah buku, modul, laporan, foto kegiatan, dan sumber
referensi lainnya untuk memperkuat hasil temuan di lapangan.
4. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Teknik analisis data adalah kegiatan untuk memaparkan data, sehingga
diperoleh suatu kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu referensi. Batasan lain
mengungkapkan bahwa analisis data merupakan proses yang merinci usaha secara
formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh
data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan ide (Moleong,
2013:103).
a. Reduksi Data berarti berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Sehingga
32
memudahkan peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan
memudahkan untuk mencari jika diperlukan. (Sugiyono, 2013:247).
b. Penyajian Data. Setelah mereduksi data, langkah selanjutnya adalah
mendisplaykan data. Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya. (Sugiyono, 2013:249).
c. Penarikan Kesimpulan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah
merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat
berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih remang-
remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan
kausal atau interaktif, hipotesis atau teori (Sugiyono, 2013:253).
5. Waktu dan Tempat
Penelitian skripsi ini dilakukan kurun waktu mulai dari bulan Maret 2016
sampai dengan Februari 2017 di sekretariat PB PII Jakarta. yang beralamat di Jl.
Menteng Raya No. 58 Jakarta Pusat, dan pada beberapa rapat pertemuan Jejaring
PII yang terkait dan memiliki relevansi dengan penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Berisikan tentang pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tinjauan
pustaka, tujuan dan manfaat penelitian, kajian teori, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan.
33
BAB II GAMBARAN UMUM PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII)
Menguraikan tenatng Sejarah berdirinya Pelajar Islam Indonesia (PII).
Tujuan, Fungsi dan Usaha Pelajar Islam Indonesia (PII), Sistem
Pengkaderan Pelajar Islam Indonesia (PII).
BAB III TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Menganalisis dan menjelaskan tentang Bagaimana Perkembangan
Sistem Pengkaderan Pelajar Islam Indonesia (PII) Terhadap Modernisasi
Perubahan sosial, serta Faktor Internal dan Eksternal apa saja yang
mempengaruhi perubahan tersebut.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi tentang kesimpulan dari hasil temuan penelitian sehingga dapat
memberikan kontribusi pemikiran dengan memberikan saran terhadap
pokok permasalahan.
34
BAB II
GAMBARAN UMUM PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII)
A. Sejarah Berdirinya Pelajar Islam Indonesia (PII)
Pelajar Islam Indonesia didirikan di Yogyakarta, pada tanggal 4 Mei 1947.
Para pendirinya adalah Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amien Syahri, dan
Ibrahim Zarkasji. Salah satu faktor pendorong terbentuknya PII adalah dualisme
sistem pendidikan di kalangan umat Islam di Indonesia, yang merupakan warisan
kolonialisme Belanda, yakni pondok pesantren dan sekolah umum, yang dinilai
memiliki orientasi yang saling berbeda. Pondok pesantren berorientasi ke akhirat,
sementara sekolah umum berorientasi ke dunia. Akibatnya, pelajar Islam menjadi
terbelah sebagai dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan. Santri
pondok pesantren menganggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orang
kafir, karena produk kolonial Belanda. Hal ini membuat para santri menjuluki
pelajar sekolah umum dengan “pelajar kafir”. Sementara itu, pelajar sekolah umum
menilai santri pondok pesantren kolot dan tradisional, mereka menjulukinya dengan
sebutan “santri kolot” atau santri “teklekan” (Arsip PB PII 1982:3).
Pada masa itu, sebenarnya sudah ada organisasi pelajar, yakni Ikatan Pelajar
Indonesia (IPI). Namun, organisasi tersebut dinilai belum dapat menampung
aspirasi santri pondok pesantren. Merenungi kondisi tersebut, pada tanggal 25
Februari 1947, ketika Yoesdi Ghozali sedang beri'tikaf di Masjid Besar Kauman
Yogyakarta, terlintas dalam pikirannya, gagasan untuk membentuk suatu organisasi
bagi para pelajar Islam, yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam.
35
Gagasan tersebut, kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri
2 Secodiningratan, Yogyakarta. Pada pertemuan tersebut, dihadiri antara lain oleh
Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji kemudian berhasil
menyepakati untuk mendirikan organisasi pelajar Islam (Thamrin dan Ma’rov,
2013:168-169).
Hasil kesepakatan tersebut, kemudian disampaikan Yoesdi Ghozali dalam
Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), pada tanggal 30 Maret - 1 April
1947. Oleh karena banyaknya peserta kongres yang menyetujui gagasan tersebut,
maka kongres memutuskan untuk melepas GPII Bagian Pelajar untuk bergabung
dengan organisasi Pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan kongres GPII yang
kembali ke berbagai daerah juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi
khusus, Pelajar Islam di daerah masing-masing (Thamrin dan Ma’rov, 2013:169).
Menindaklanjuti keputusan kongres, maka pada hari Minggu (Ahad)
tanggal 4 Mei 1947, diadakan pertemuan di kantor GPII, terletak di Jalan
Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Yoesdi Ghozali,
Anton Timur Djaelani, dan Amien Syahri yang mewakili Bagian Pelajar GPII yang
siap dilebur kedalam organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk, kemudian diikuti
oleh Ibrahim Zarkasji, Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS),
Multazam dan Shawabi dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah
(PERKISEM) Surakarta, serta Dida Gursida dan Supomo NA dari Perhimpunan
Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta. Rapat tersebut dipimpin oleh Yoesdi
Ghozali yang memutuskan untuk berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia
(PII), tepatnya pada pukul 10.00, pada tanggal 4 Mei 1947. Untuk memperingati
36
momen pembentukan PII, maka pada setiap tanggal 4 Mei diperingati sebagai Hari
Bangkit PII (HARBA PII). Peringatan tersebut dianggap sebagai momen
kebangkitan dari gagasan yang sebelumnya sudah terakumulasi, sehingga tidak
digunakan istilah hari lahir atau hari ulang tahun (Ghozali 1953:3).
Kelahiran PII yang eksis mewarnai kehidupan pelajar di sekolah-sekolah,
sempat mendapat kecurigaan di berbagai kalangan, dimana PII dituduh memecah
belah persatuan pelajar umum. Untuk menepis dugaan tersebut, pada tanggal 9 Juni
1947 telah disepakati “Perjanjian Malioboro” dengan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI).
Di dalam perjanjian tersebut, IPI berjanji akan menjelaskan bestaanrecht (hak
hidup) organisasi Pelajar Islam Indonesia, kepada daerah-daerah dan cabang-
cabangnya, jika diperlukan akan membantu berdirinya PII di berbagai tempat yang
belum ada organisasi tersebut (Djaelani, 2000:14).
Berdasarkan perjanjian tersebut telah meneguhkan keberadaan PII sebagai
organisasi pelajar Islam yang disambut baik keberadaannya, dan diberikan haknya
untuk hidup di tengah-tengah masyarakat. Posisi PII sendiri mendapatkan tempat
di hati masyarakat, terutama di beberapa madrasah dan pesantren, sementara
keberadaan IPI sendiri, sulit diterima dikarenakan tidak mempunyai dasar agama
Islam. Pada tanggal 20 hingga 25 Desember 1949, PII menyelenggarakan kongres
pendahuluan di Yogyakarta, dengan bahan pembicaraan tentang persiapan
Konferensi Besar III di Bandung tahun 1950, menjadi sebuah upaya konsolidasi
PII, dan melebarkan sayap gerakan dakwahnya. Hasil keputusan dari pertemuan itu
adalah hanya ada satu organisasi pelajar, yaitu Pelajar Islam Indonesia (PII). Setelah
dilaksanakannya Kongres Pendahuluan PII di Yogyakarta, pada tahun yang sama
37
telah dilaksanakan Kongres Muslimin Indonesia (KMI). Di dalam kegiatan itu, PII
menjadi salah satu panitia. Kegiatan KMI dihadiri oleh para ulama Indonesia yang
memiliki basis massa pesantren sangat besar, seperti K.H. Ali Maksum, K.H. Imam
Zarkasyi, utusan ulama dari Aceh Teuku Daud Beureuh. Peluang itu tidak disia-
siakan oleh PII untuk berdialog dan membicarakan strategi pelebaran dakwah PII
di seluruh tanah air (Djaelani, 2000:20).
Salah satu hasil keputusan dalam Kongres Muslimin Indonesia (KMI)
adalah satu-satunya Organisasi Pelajar Islam adalah “Pelajar Islam Indonesia
(PII)”. Pada saat itu, PII mendapatkan momentumnya, terlebih pada saat Konferensi
Besar III di Bandung tanggal 27-31 Maret 1950 menjadi tonggak sejarah bagi PII.
Tiga organisasi lokal, yaitu Pelajar Islam Indonesia Jakarta Raya, PERPINDO di
Aceh, dan Pelajar Islam Makasar telah melebur dalam tubuh PII. Dengan demikian,
PII pada saat itu merupakan organisasi pelajar terbesar di Indonesia, dengan
memiliki beberapa cabang di hampir seluruh Indonesia (Djaelani, 2000:22).
B. Tujuan, Fungsi dan Usaha Pelajar Islam Indonesia (PII)
Pelajar Islam Indonesia (PII) mempertegas peranan dan eksistensinya
sebagai organisasi berbasis pelajar yang konsern terhadap pendidikan dan dakwah,
serta kebudayaan. Pengimplementasiannya adalah PII menggariskan tujuan
organisasi, yaitu: “Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan
Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia” (PB PII Muktamar
Nasional ke-25, 2004: 137).
38
Tujuan PII adalah “Kesempurnaan pendidikan dan pengajaran bagi seluruh
anggotanya”. Di dalam Kongres I PII, pada tanggal 14 hingga 16 Juli 1947 di Solo,
tujuan tersebut diperluas menjadi “Kesempurnaan pengajaran dan pendidikan yang
sesuai dengan Islam bagi Republik Indonesia”. Pada akhirnya, tujuan tersebut
semakin universal dengan perubahan lagi pada Kongres VII tahun 1958 di
Palembang, menjadi “Kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai
dengan Islam bagi segenap rakyat Indonesia dan umat manusia”. Rumusan tujuan
PII hasil Kongres VII tersebut, yang digunakan sampai saat ini, sebagaimana
tercantum dalam Anggaran Dasar (AD) PII Bab IV pasal 4 (PB PII Dokumen
Sejarah PII, 2010:2).
Tujuan PII memiliki dua hal yang ingin dicapai oleh PII, yakni
kesempurnaan pendidikan dan kesempurnaan kebudayaan. Kedua komponen
tersebut merujuk pada Islam, Islam sebagai sumber nilai dan pandangan dunia,
sedangkan segenap rakyat Indonesia dan umat manusia adalah setting sosio-historis
atau wilayah dakwahnya. Untuk mewujudkan tujuannya, usaha yang dilakukan PII
sesuai dengan Bab VI Pasal 7, adalah:
a. Mendidik anggotanya menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT
b. Mengembangkan dan meningkatkan kemampuan untuk memahami, mengkaji,
mengapresiasi, dan melaksanakan ajaran serta tuntunan Islam dalam kehidupan
pribadi, keluarga dan masyarakat
c. Mencetak kader-kader pemimpin yang memiliki pandangan hidup Islami,
keluasan pandangan global, dan berkepribadian muslim dalam segala bidang
kehidupan
d. Mendidik anggotanya untuk memiliki dan memelihara jiwa independen yang
tangguh
e. Membina mental dan menumbuhkan apresiasi keilmuan serta kebudayaan yang
sesuai dengan Islam
f. Menumbuh-kembangkan semangat dan kemampuan anggota untuk mengikuti,
menguasai, dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
bagi kesejahteraan ummat manusia
39
g. Mengembangkan kecerdasan, kreativitas, keterampilan, minat, dan bakat
anggotanya
h. Membantu dalam pemenuhan dan pengembangan minat, bakat, dan potensi
masyarakat pelajar
i. Membela hak-hak dan mengatasi problematika pelajar
j. Menyelenggarakan kegiatan sosial untuk kepentingan Islam dan umat Islam
serta manusia pada umumnya (PB PII Muktamar Nasional ke-25, 2006: 162).
C. Sistem Pengkaderan Pelajar Islam Indonesia (PII)
Pelajar Islam Indonesia (PII) merupakan salah satu organisasi massa
berbasis kader, sistem kaderisasi yang digunakan oleh organisasi PII yaitu Sistem
Ta’dib. Sistem ta’dib adalah proses pembaharuan dan penyempurnaan dengan
mengembangkan keunggulan-keunggulan pranata kaderisasi yang dimiliki PII di
masa lalu, yang disempurnakan dengan melalui kajian terhadap realitas kekinian,
dan proyeksi tantangan di masa depan, serta kajian terhadap cara pandang idealitas
konsepsi pendidikan Islam. Oleh karena itu, sistem ta’dib bukan sistem kadersisasi
yang sama sekali baru. Penamaan sistem kaderisasi dengan sistem ta’dib adalah
untuk lebih mendekatkan sistem kaderisasi PII dengan konsep pendidikan Islam
(PB PII Sistem Takdib, 2013:1).
Ta’dib merupakan sistem kaderisasi PII yang menggunakan tiga model
pembinaan kader, yaitu melalui jalur training, ta’lim dan kursus. Sistem kaderisasi
PII merupakan suatu pendekatan progresif yang dilakukan dengan proses yang
sangat demokratis dalam pembelajarannya, para kader dididik dengan pendekatan
partisipatif dalam paradigma pendidikan orang dewasa (metode dan falsafah
andragogy) merupakan warna pendekatan training dan kegiatan di PII. Setiap
pelajar dianggap sebagai orang dewasa yang sudah memiliki berbagai pengalaman
tertentu. Belajar bersama adalah upaya untuk saling berbagi pengalaman, kemudian
40
memperoleh pengalaman baru secara bersama-sama pula, sesuai dengan rumusan
dan kebutuhan (Hanan, 2006:224).
Sarana belajar di PII adalah seluruh yang ada di lingkungan PII, termasuk
didalamnya adalah instruktur dan pemandu. Jadi, instruktur memiliki posisi sebagai
fasilitator dan motivator dengan tugas utamanya adalah membangun motivasi
internal setiap kelompok belajar, sedapat mungkin agar bersemangat meningkatkan
diri setinggi mungkin (Hanan, 2006:224). Selain itu, PII merumuskan pendidikan
melalui pengkaderannya sebagai usaha sadar dan terencana untuk menghapuskan
pola kepemimpinan masyarakat tradisional, dengan menumbuhkan pola
kepemimpinan dan masyarakat demokratis. Pengertian pola kepemimpinan
tradisional, ialah dominasi pemimpin terhadap yang dipimpin, yang melahirkan
sistem masyarakat tradisional, sedangkan demokrasi diartikan sebagai kesadaran
kesamaan derajat, dan penghormatan hak asasi manusia (Dananjaya, 2009:295).
Tujuan ta’dib adalah membentuk kader yang berkepribadian muslim,
cendikia, dan berjiwa pemimpin. Tujuan tersebut merupakan tujuan antara bagi
tercapainya tujuan PII berupa kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang
sesuai dengan Islam. Ta’dib merupakan tujuan, karena bertujuan untuk menyiapkan
kader atau sumber daya manusia, yang melakukan tugas pencapaian kesempurnaan
pendidikan dan kebudayaan. Unsur-unsur dalam sistem ta’dib didesain atas dasar
pendirian PII untuk mencapai tujuan yang lebih jauh, yaitu tujuan Izzul Islam wal
Muslimin dalam kerangka Islam sebagai Rahmatan lil-‘alamin (PB PII Sistem
Takdib, 2013:1).
41
1. Pendefinisian Sejarah Pengkaderan Pelajar Islam Indonesia
Pelajar Islam Indonesia (PII) sesuai dengan tujuannya, dimana kegiatan
kaderisasi merupakan bagian dari usaha pendidikan PII, maka hakikatnya dari kader
yang dimaksudkan adalah seseorang yang disiapkan untuk mengemban tugas masa
depan dengan kemampuan, kualitas dan kualifikasi tertentu. Kader merupakan
anggota inti organisasi, dan diharapkan mampu bersikap idealis, sekaligus realistik
(GBHO PII, TAP/2/MUKNAS XVII/1986). “Idealis” berarti senantiasa berusaha
mengubah keadaan yang ada ke arah kondisi yang lebih baik dan ideal, serta tidak
boleh putus asa menghadapi realitas yang pahit sekalipun. Sedangkan “realistis”
berarti mampu melihat realitas dan berpijak tegar di atasnya (Hanan, 2006:103).
Kader dalam kamus ilmiah popular adalah orang yang dididik untuk
menjadi pelanjut tongkat estapet suatu partai atau organisasi, disebut tunas muda
(Nanang, 2000:54-56). Di dalam kamus induk istilah ilmiah, seri intelektual disebut
bahwa kader adalah generasi penerus atau pewaris di masa depan dalam organisasi,
pemerintahan, atau partai politik (Partanto dan Barry, 1994:293-294). Kader
diartikan sebagai orang yang diharapkan akan memegang jabatan atau pekerjaan
penting di pemerintahan, partai dan lain-lain. Sedangkan pengkaderan adalah
proses mempersiapkan seseorang untuk menjadi penerus di masa depan, yang akan
memikul tanggung jawab penting di lingkungan suatu organisasi. Kaderisasi
disebut juga proses pendidikan, termasuk proses belajar di sekolah, peluang yang
diberikan orang tua (pendidikan keluarga), peluang dalam kurikulum dan program
ekstra kurikulum, serta lingkungan.
42
PII mendefinisikan kaderisasinya sebagai kebulatan proses pada terciptanya
kader atau anggota inti organisasi, dimulai dari rekrutmen anggota, pembinaan,
hingga pelaksanaan tugas, atau dalam bentuk seluruh kegiatan PII yang ada
hubungannya dengan kegiatan anggota. Oleh karena itu, ada dua jenis kader yang
mengikuti dan menggerakkan organisasi PII, pertama, kader material, yakni mereka
yang melaksanakan usaha dan program kerja, dengan atau tanpa melalui training-
training formal. Kedua, kader formal yaitu kader yang telah mengikuti dan
mempunyai piagam training formal PII. Seluruh kegiatan PII sesungguhnya
merupakan proses kaderisasi, namun secara khusus, kegiatan kaderisasi
dilangsungkan melalui training. Melalui kaderisasi tersebut diharapkan untuk:
a. Tumbuh dan berkembangnya suasana untuk berjuang dijalan Allah sehingga
melembaga menjadi suatu norma.
b. Berkembangnya kesadaran untuk senantiasa melaksanakan ajaran Islam hingga
menjadi norma kelompok.
c. Tumbuh dan suburnya hasrat untuk selalu sukses studi sehingga setiap kader
senantiasa berusaha untuk menambah pengetahuan dan keterampilan.
d. Berkembangnya sikap saling mengingatkan dalam hal kebenaran dan kesabaran,
keikhlasan, dan keterbukaan.
e. Setiap kesadaran diikuti dengan usaha usaha yang nampak seperti kegiatan
kelompok belajar, pengabdian sosial, kegiatan kemanusiaan, dan lain-lain.
(Buku Induk Kaderisasi PII Periode 1998-2000).
1) Fungsi Training
Training mempunyai fungsi sebagai media kaderisasi formal yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kaderisasi informal berupa
program-program PII lainnya. Sebagai media kaderisasi formal training menjadi
tumpuan utama untuk menghasilkan kader PII untuk kepentingan perjuangan
organisasi dan umat Islam (Buku Induk Kaderisasi PII Periode 1998-2000).
43
2) Karakteristik Kader dan Orientasi Training
Kader yang akan dihasilkan melalui proses training akan mempunyai 12
sifat, serta 8 kemampuan dan kesiapan. Karakter kader tersebut diharapkan
mampu menjawab tantangan dan memecahkan problem PII dan ummat Islam,
sehingga dapat menjaga misi dan eksistensi PII dalam rangka izzul Islam wal
muslimin. Tantangan dan problem PII dan ummat Islam dapat diklasifikasikan
dalam 8 orientasi atau kecenderungan yang selanjutnya akan menjadi orientasi
training PII. Kedelapan orientasi tersebut adalah:
a. Problem Ideologi
b. Problem Kepemimpinan
c. Problem Pendidikan
d. Problem Sosial
e. Problem Keadministrasian (organisasi)
f. Problem Ke-PII-an
g. Problem Sikap dan Tingkah Laku
h. Problem Cara Berfikir
2. Pola Pengkaderan Pelajar Islam Indonesia
Metode dan pola teknik training pengkaderan PII merupakan pola training
participatory, sebagian besar wacana dalam training PII bersifat terbuka ditandai
dengan penerapan metode andragogi, dinamika kelompok, debat, dan dialog. Pada
metode ini tidak lagi menggunakan metode ceramah dan indoktrinisasi semata,
melainkan suatu metode yang diberi nama group dynamics (Buku Induk Kaderisasi
PII, 1998-2000:3).
Group dynamics itu berasal dari bahasa Yunani, dynamics, yang berarti
tenaga, kekuatan (force). Group dynamics adalah suatu ilmu yang mempelajari
berbagai kekuatan yang terdapat pada suatu grup, mempelajari faktor-faktor yang
menjadikan grup itu hidup dan bergerak, keadaan yang menyebabkan grup itu
44
berubah, tanggung jawab dan akibat-akibat apa yang dihadapi oleh grup. Dengan
demikian, group dynamics adalah suatu usaha untuk memperoleh pengertian yang
lebih baik tentang cara-cara agar orang suka mengubah tingkah laku mereka atau
menolak usaha-usaha yang dilakukan orang lain terhadap dirinya. Oleh karena itu,
harus benar-benar mencermati tentang perkembangan hubungan pergaulan,
pengaruh, tekanan-tekanan masyarakat dan sebagainya (Busyairi, 2010:127).
Untuk melengkapi pemahaman penggunaan metode Group Dynamic
dilakukan kajian teoritik dan menyadur buku Achieving in People: Some Aplication
of Group Dynamic Theory, Darwin Cartwright, terbitan Reprinted from Human
Relation., Vol. IV, No. 4, 1951. Kemudian dirumuskan teori pengelolaan kelompok
dan penerapannya dalam training PII. Atas dasar hal tersebut, maka penggunaan
metode dalam training PII meliputi Group Dynamic (GD), Informative Dynamic
(ID), dan Interview. Berdasarkan penggunaan metode tersebut maka dalam
pelaksanaan training digunakan teknik-teknik personal intoduction, expectation,
case study, clossing session dan written assignment (Takdib, Sistem Kaderisasi PII,
2006:13). Selain itu juga telah diperkenalkan beberapa teknik baru dalam
pelaksanaan Dinamik Grup, seperti Personal Intoduction, Ice Breaker (pemeceah
kebekuan), Pengalaman Berstruktur, Creative Thingking (berpikir kreatif), dan
Sharing Ideas (berbagi gagasan) (Takdib, Sistem Kaderisasi PII, 2006:14).
3. Mekanisme Pengkaderan Pelajar Islam Indonesia
Penyempurnaan tujuan dan penjenjangan mekanisme training dalam rangka
mengemban fungsi kaderisasi formal, training difokuskan pada masalah
45
kepemimpinan, yang ditopang dengan pemahaman masalah sosial kemasyarakatan
(dengan sample masyarakat desa), dan masalah pendidikan agama Islam (dengan
sample masalah khilafiyah, baik aqidah maupun fiqih) (Takdib, Sistem Kaderisasi
PII 2006:). Atas dasar pemikiran tersebut, maka training dibagi kedalam tiga jenis,
yaitu:
a. Leadership Training dengan memfokuskan pada masalah kepemimpinan, yang
terdiri dari tingkat dasar (Leadership Basic Training), dan tingkat lanjut
(Leadership Advanced Training).
b. Mental Training dengan memfokuskan pada masalah pendidikan agama Islam
sebagai bekal ruhiyah untuk menghadapi tantangan ideologis.
c. Perkampungan Kerja Pelajar dengan memfokuskan pada masalah sosial
kemasyarakatan.
Tujuan dari setiap jenis training tersebut, adalah:
a. Leadership Basic Training. Bertujuan untuk membentuk kader PII yang
menjawab tantangan dan problem organisasi PII tingkat lokal maupun regional,
dan mampu memahami problem PII dan ummat Islam tingkat nasional.
b. Leadership Advanced Training. Terbentuknya kader PII yang menjawab
tantangan dan problem organisasi PII dan ummat Islam tingkat regional maupun
nasional, dan mampu memahami problem kepemimpinan ummat Islam dalam
dunia internasional.
c. Mental Training (Mentra). Terbentuknya kader PII yang mampu menjawab
problem ajaran Islam dan tantangan ajaran lainnya yang dihadapi ummat Islam
Indonesia untuk mendapatkan kerahmatan dari Allah Swt., dan perkembangan
syiar Islam.
d. Perkampungan Kerja Pelajar (PKP). Terbentuknya kader PII yang mampu
mengintegrasikan diri dan mempelopori masyarakat untuk menjawab tantangan,
dan problem kemasyarakatan ke arah terwujudnya desa sejahtera yang diridhoi
Allah SWT (qaryah thayyibah wa rabbun ghafur).
Selain training formal tersebut, PII juga mengadakan berbagai training
khusus, terdiri dari Training Centre kepengurusan, dan Training Badan Otonom,
yang terdiri dari Training PII-wati yang berkaitan dengan berbagai persoalan
kemuslimahan, Training Brigade yang diorientasikan pada berbagai aspek
ketahanan organisasi, dan Coaching Instruktur yaitu training untuk menyediakan
46
tenaga-tenaga instruktur (Hanan, 2006:105). Kesemua jenis training tersebut,
idealnya ditempuh seluruhnya dengan mekanisme dan jenjang.
Bagan 2.1
Skema Mekanisme dan Jenjang Training PII Sistem Ta’dib
STRUKTU
R &
PROGRAM
PB
PW
PD
PK
KEBUDAYAAN & PERADABAN
EKONOMI
KELEMBAGAAN
JATI DIRI
KEPEMIMPINAN
KEUMMATAN
IMTAQ
SOSIAL POLITIK
LINGKINGAN & KESEHATAN
IPTEK
TUJUAN PII:
KESEMPURNAAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN YANG SEUAI
DENGAN ISLAM BAGI SEGENAP RAKYAT INDONESIA DAN
UMMAT MANUSIA
RAHMATAN LIL’ALAMIN
IZZUL ISLAM WAL MUSLIMIN
KURSUS
BINA TUNAS/
REKRUITMEN
TA”LIM AWWAL
ADVANTRA
TA’LIM ALI
TA”LIM WUSTHO
INTRA
BATRA
PROFIL KADER
MUSLIM, CENDEKIA,
PEMIMPIN
KERJA & SIFAT KADER
KURSUS
KURSUS
KURSUS
47
Penyelenggaraan sistem kaderisasi PII dalam segi pengembangan konsep
terbagi menjadi dua periode, yaitu sebelum dan sesudah tahun 1990-an. Untuk segi
pelaksanaannya, dapat dibagi menjadi masa sebelum tahun 1985, masa 1985 hingga
awal tahun 1990-an, dan masa sesudah tahun 1990-an. Pada pengembangan konsep
kaderisasi PII sebelum tahun 1990-an telah mendapatkan bentuk yang sesuai sejak
tahun 1979 dalam bentuk panduan dan silabus di tahun 1985. Konsep tersebut
ditinjau dan diperbaharui kembali pada tahun 1997 dengan diberi nama Ta’dib
(Hanan, 2006:103).
48
BAB III
TEMUAN HASIL PENELITIAN
A. Perkembangan Sistem Pengkaderan Pelajar Islam Indonesia
Eksistensi PII sebagai organisasi pelajar Islam tertua di Indonesia, juga
dikenal dengan tipologinya sebagai organisasi kader telah menyelenggarakan
proses kaderisasi, yang hingga saat ini dilakukan pengembangan sistem dan pola
kaderisasi PII secara terus-menerus melalui cara pengembangan kurikulum bagi
para pelajar Indonesia yang menjadi basis massa kader PII.
Gema berdirinya Pelajar Islam Indonesia di Yogyakarta 1947, PB PII yang
bertempat di Yogyakarta mulai disibukkan oleh berbagai persiapan kegiatan
organisasi, mulai dari penyelenggaraan Kongres PII Ketiga yang diselenggarakan
pada bulan Maret 1950 di Bandung. Tujuan kongres tersebut adalah untuk
melancarkan hubungan dengan daerah, dan memudahkan hubungan dengan
pemerintah Republik Indonesia Serikat, yang kemudian PB PII membentuk
Konsulat PB PII di Jakarta, diketuai oleh Joesdi Ghazali. Bahkan, ketika Jakarta
kembali ditetapkan sebagai ibukota negara, PB PII turut pindah ke Jakarta. Selain
itu, kesibukan untuk proses kaderisasi sebagai kebutuhan dari organisasi dan
pembinaan ummat, telah dirasakan sejak masa kelahiran Pelajar Islam Indonesia
(PII) (Busyairi 2010:110).
Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji tentang perkembangan
kaderisasi PII yang dilihat dari perubahan sistem pengkaderan dari masa Orde Lama
49
(1950-1965), Orde Baru (1966-1998), dan memasuki masa Reformasi (1998 hingga
saat ini).
1. Sistem Pengkaderan Pelajar Islam Indonesia di Masa Orde Lama (1950-
1967)
Pada masa pemerintahan Orde Lama, sistem pengkaderan PII ditandai
dengan diselenggarakannya kegiatan kaderisasi PII yang dilaksanakan dengan
spontanitas dan terkesan seadanya. Seiring dengan perkembangan organisasi, maka
bentuk kegiatan kaderisasi mengalami penyesuaian dan penyempurnaan, yang
berlangsung terus-menerus secara gradual.
Kegiatan kaderisasi PII pertama kali dilaksanakan pada tanggal 1-10 Juni
1952 dengan nama Latihan Kader. Pelaksanaannya belum dirancang secara
konsepsional dengan menggunakan sistem dan metode yang baku. Penceramah
dicari sesaat sebelum jadwal ceramah dilangsungkan. Konsekuensinya, materi
cenderung disesuaikan dengan penceramah yang bersangkutan. Prawoto
Mangkusasmito dan Mohammad Roem sebagai pimpinan puncak Masyumi, pada
waktu itu berkesempatan untuk menyampaikan ceramah. Kehadiran kedua tokoh
ini telah membawa konsekuensi tersendiri dalam perkembangan dan warna peran
PII (Arsip PB PII, 2013:1).
Walaupun dilaksanakan secara sederhana, dengan tingkat persiapan yang
kurang memadai, setidaknya Latihan Kader telah meletakkan pondasi konsep
kaderisasi PII. Latihan Kader menjadi acuan dan pendorong bagi penyelenggaraan
kaderisasi berikutnya. Secara periodik, dalam setiap penyelenggaraan Latihan
50
Kader yang dilangsungkan berikutnya, selalu dilakukan penyempurnaan sesuai
dengan tingkat kebutuhan dan perkembangan tantangan, yang dihadapi organisasi
dan masyarakat (Arsip PB PII, 2013:1-2).
Pada masa Orde Lama, tahap kaderisasi PII memasuki tahap identifikasi dan
perumusan, diawali dengan penyelenggaraan Seminar Latihan Kepemimpinan pada
tanggal 17-19 Oktober 1958. Perumusan dan penyusunan sistem serta metode
dilakukan oleh Tim Perumus, yang terdiri dari Mukti Ali (mantan Menteri Agama),
Hariri Hadi (Pengurus Perguruan Islam Al-Azhar /mantan pejabat Bappenas), dan
Zabidin Yacob (mantan pejabat Deperin). Penyusunan sistem dan metode ini
banyak dipengaruhi oleh pengalaman dari Tim Perumus yang pernah dengan
mengikuti Youth Leaders Training dan Student Work Camp. Pengaruh tersebut
dapat terlihat dengan dipakainya metode Dynamic Group sebagai metode utama.
Rumusan tersebut kemudian diseminarkan, dan menghasilkan Sistem dan Metode
Latihan Kepemimpinan. Selanjutnya, rumusan ini disahkan pada Kongres Besar PII
V yang diselenggarakan pada tanggal 28 Desember 1958 hingga tanggal 2 Januari
1959 di Madiun (Sejarah Kaderisasi PII, Makalah Arsip PB PII 2010).
Berdasarkan pedoman tersebut, maka dapat dilaksanakan program
kaderisasi secara menyeluruh, kemudian berkembang secara luas ke setiap daerah.
Salah satu perkembangannya adalah dilaksanakannya Leadership Training di
beberapa pesantren, seperti di Gontor (1959), Tebuireng (1959, 1961), Sukabumi
(1960), Tasikmalaya (1961), dan Kotabaru, Pontianak (1961). Oleh karena tingkat
kebutuhan masyarakat pelajar di lingkungan pesantren berbeda dengan tingkat
kebutuhan masyarakat pelajar umum, maka konsep dan pelaksanaan Leadership
51
Training di berbagai daerah pesantren ini, kemudian berkembang menjadi Mental
Training (Sejarah Kaderisasi PII, Makalah Arsip PB PII 2010).
Selain itu, PII juga ikut sebagai peserta dalan Aloka Advanced Course for
Youth Leadership Training Center di Kolombo pada Januari hingga Juni 1955 yang
dihadiri peserta dari berbagai negara, seperti Kenya, Pakistan, Swedia, Filipina,
Amerika Serikat, Jepang dan Indonesia. Delegasi PII diwakili oleh Haririr Hady
yang ikut sebagai peserta dalam acara tersebut, seperti ditunjukkan dalam gambar
berikut.
Gambar 3.1
PII sebagai Peserta dalam Aloka Advanced Course for
Youth Leadership Training Center di Kolombo
pada Januari hingga Juni 1955
Sumber foto : Busyari, 2010, hal. 165.
Mencermati perkembangan tersebut, maka dilakukan suatu upaya dalam
penyempurnaan sistem dan metode, serta konsep kaderisasi hampir secara
menyeluruh. Pada tahun 1961 telah diselenggarakan seminar yang menghasilkan
Sistem dan Metode Mental Training, dan sekaligus dihasilkan pula Sistem dan
Metode Perkampungan Kerja Pelajar (PKP) sebagai konsep pembinaan dan latihan
kepemudaan. Kedua sistem tersebut, terdapat penyempurnaan Dynamic Group. Di
52
samping itu, hal yang sangat penting adalah terjadinya pengembangan orientasi dari
perubahan mental (mental change), dan pengembangan mental (mental
development), menjadi pembentukan sikap mental (mental attitude) yang Islami
(Ta’dib, Sistem kaderisasi PII, PB PII 2010:3).
Menjelang pada masa akhir pemerintahan Orde Lama, yaitu pada masa
Demokrasi Terpimpin di era kepemimpinan Presiden Soekarno, pelaksanaan
kaderisasi PII termasuk kedalam kategori masa kristalisasi kebutuhan sehingga
untuk menyempurnakan sistem dan metode tersebut masih dirasakan. Oleh karena
itu, PII menyelenggarakan beberapa seminar secara berurutan, yaitu
diselenggarakannya seminar PKP di Cipasir, Cicalengka pada April 1963 dengan
menghasilkan sistem dan metode PKP yang disempurnakan, seminar Mental
Training di Rancaekek, Bandung pada Juni 1963 dengan menghasilkan sistem dan
metode Mental Training yang disempurnakan, dan Seminar Leadership Training di
Yogyakarta pada Desember 1963 dengna menghasilkan sistem dan metode
Leadership Training yang disempurnakan, serta pedoman kader yang berisikan
dasar pembentukan kader, pengertian, fungsi dan status, kepribadian, hak dan
kewajiban, serta tingkat dan atribut kader. Beberapa hasil dari seminar kemudian
disahkan menjadi konsep kaderisasi PII yang baru. Tinjauan dari setiap jenis
training tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Leadership Training
Jenis training ini menjadi induk program kaderisasi PII yang diarahkan
pada upaya pembentukan kader yang berkepribadian dinamik, yang
dilaksanakan dengan beberapa cara, yaitu:
53
a. Menanamkan kesadaran peserta untuk memahami, menghayati, meyakini,
dan memperjuangkan Islam sebagai pedoman hidup (way of life).
b. Mengubah dan mengembangkan jiwa peserta kearah jiwa yang penuh
dinamika, sehingga memiliki sembilan sifat utama, dan memiliki kecakapan
untuk memimpin dan menggerakkan anggota untuk berjuang, baik di dalam
wadah PII, maupun di tengah masyarakat. Leadership Training dilaksanakan
dalam dua jenjang, yaitu tingkat dasar dan tingkat lanjut.
2. Mental Training
Mental Training adalah pengembangan Leadership Training yang
diselenggarakan di pesantren, atau masyarakat yang taat melaksanakan ajaran
Islam. Secara prinsip, tidak ada perbedaan yang esensial, antara Mental Training
dan Leadership Training. Perbedaannya hanya pada spesifikasi tujuan mentra,
yaitu “Menciptakan keharmonisan hidup di kalangan pelajar Islam untuk
mencapai Izzul Islam wal muslimin”, melalui beberapa usaha, sebagai berikut.
a. Menghapuskan jurang pemisah atau gap antara pelajar umum, dan pelajar
madrasah/pesantren.
b. Mengusahakan agar masing-masing saling mengisi kekurangannya.
c. Mengajak peserta untuk mempelajari dan mengerti ajaran Islam.
d. Menggembleng peserta dengan tempaan iman, Islam dan ihsan.
e. Membentuk pemimpin yang berjiwa kuat.
f. Memupuk, memelihara, dan mengembangkan rasa cinta pelajar terhadap
ajaran Islam dan ummat Islam.
Spesifikasi dari usaha tersebut bertujuan untuk membawa konsekuensi
pada penambahan materi ajaran Islam. Pada pelaksanaan dan pengembangan
materi ini adalah diarahkan untuk memberikan keseimbangan pengetahuan, dan
penghayatan agama terhadap pelajar di sekolah umum, dan memberikan
pengalaman langsung hidup di lingkungan pesantren. Kemudian, mentra lebih
54
ditujukan untuk pelajar sekolah umum. Materi mentra hampir sama dengan
materi Leadership Training, hanya pada kedalaman muatan yang membedakan.
Mentra dilaksanakan dalam jenjang mentra dasar, dan mentra dakwah. Mentra
dasar lebih berorientasikan pada pengenalan wawasan ajaran Islam, serta
penghayatan tradisi masyarakat Islam. Sedangkan, mentra dakwah
berorientasikan pada pendalaman ajaran Islam, dan praktek dakwah Islam. Akan
tetapi pada pelaksanaannya tidak ada perbedaan yang jelas, antara dua jenjang
mentra tersebut, sehingga dalam praktiknya sangat tergantung pada tingkat
kebutuhan dan kesiapan pada masing-masing wilayah.
3. Perkampungan Kerja Pelajar (PKP)
PKP pada awalnya merupakan program pengabdian sosial dan
kemasyarakatan PII, kemudian dikembangkan menjadi salah satu jenis training
untuk memikul beban kaderisasi. Oleh karena itu, materinya juga hampir sama
dengan materi Leadership Training, namun model kegiatannya yang berbeda.
Peserta diterjunkan ke masyarakat dengan dititipkan kepada satu keluarga untuk
tinggal bersama. Di samping itu, peserta juga harus menyusun kegiatan bersama
untuk masyarakat, dengan memanfaatkan segala potensinya, dan sekaligus
berusaha mendorong dinamika masyarakat ke arah terbentuknya masyarakat
Islami.
PKP dibagi menjadi dua jenjang, yaitu PKP Dasar dan PKP Dakwah.
Untuk tingkat dasar, dipilihkan masyarakat yang sudah baik dengan pengalaman
ajaran Islam. Dengan demikian, peserta lebih banyak belajar dari masyarakat
tersebut. Sebaliknya, untuk tingkat dakwah dipilihkan masyarakat yang masih
55
awam, sehingga peserta lebih banyak memiliki kesempatan untuk berbakti, dan
berdakwah untuk mendorong masyarakat agar mampu mengamalkan ajaran
Islam dengan sebaik-baiknya.
Dirumuskannya pedoman kaderisasi tersebut, kemudian PII
menyelenggarakan program training dalam tiga jalur, berupa Leadership
Training, Mental Training, dan Perkampungan Kerja Pelajar. Beragamnya
model training ini membuat aktivitas kaderisasi menjadi semakin tinggi. Akan
tetapi, semakin dirasakan adanya duplikasi antar model Training, sehingga perlu
diselenggarakannya suatu evaluasi dan penyempurnaan terhadap pelaksanaan
dari konsep kaderisasi.
Adapaun sistem pengkaderan Pelajar Islam Indonesia di Masa Orde Lama
(1950-1967) dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.1
Sistem Pengkaderan PII
di Masa Orde Lama (1950-1967)
Sistem Pengkaderan Metode Kaderisasi Program Kerja
1. Tahap Identifikasi
dan Perumusan
2. Kritalisasi Kebutuhan
Dynamic Group 1. Leadership Training
2. Mental Training
3. Perkampungan Kerja
Pelajar (PKP)
2. Sistem Pengkaderan Pelajar Islam Indonesia (PII) di Masa Orde Baru
(1966-1998)
Pada masa pemerintahan Orde Baru, kebutuhan untuk penyempurnaan
konsep kaderisasi menjadi sangat mendesak disebabkan oleh adanya perkembangan
serta perubahan sebagai tantangan yang dihadapi PII yang berlangsung sangat
56
cepat. Oleh karena itu, PB PII menyelenggarakan Musyawarah Kader, dan
Coaching Instruktur (MUKACI) di Pekalongan, pada tanggal 20 hingga 27 Agustus
1967. Di samping untuk penyempurnaan sistem dan metode, MUKACI juga
berfungsi untuk mengantisipasi problem aktual yang dihadapi PII pada saat itu.
Pada penyelenggaraan acara tersebut, telah berhasil merumuskan Sistem dan
Metode Training PII, yang meliputi:
1. Pemantapan Strategi Training
Model training yang dilakukan, terdiri dari tiga jenis, maka masing-
masing membutuhkan cara penanganan yang berbeda. Untuk itu, perlu
pemantapan pada strategi penggarapan dari setiap jenis training, terutama pada
penggunaan metode.
2. Kurikulum Training
Untuk merespon dan mengantisipasi perubahan dan tantangan yang
dihadapi PII, maka dipandang perlu untuk menyempurnakan materi dalam
training. Penyempurnaan kurikulum banyak pada penyempurnaan dari materi,
antara lain pada kurikulum Mentra yang lebih diarahkan untuk menjawab
problem dan tantangan ajaran Islam, berupa keragaman pemahaman keagamaan,
akibat pengaruh kebijakan Islam dan kolonial Belanda. Keragaman itu telah
meyebabkan lemahnya persatuan ummat Islam, yang ditandai dengan
munculnya berbagai golongan, kekaburan pemahaman tentang Islam, dan
munculnya aliran pemikiran dalam Islam. Untuk menjawab problem tersebut,
maka dirumuskan materi untuk mendalami Al Qur’an sebagai sumber ajaran,
sejarah pertumbuhan Islam, dan sejarah munculnya corak dan ragam aliran.
57
3. Hubungan Antar Jenis Training
Adanya metode training yang berbeda, maka perlu dirumuskan hubungan
pada setiap jenis training dengan mempunyai konsentrasi dan penekanan, namun
berada dalam satu sistem, sehingga dari setiap jenis adalah saling menunjang.
Masih ada yang tersisa dari penyelenggaraan Mukaci, yaitu belum
tuntasnya pembahasan dan perumusan tentang sistem dan metode dari setiap
jenis training, sehingga hanya merekomendasikan sistem dan metode yang
sudah ada yang telah dipakai selama ini. Dengan demikian, Mukaci Pekalongan
belum dapat menyempurnakan sistem dan metode kaderisasi.
Setelah pedoman kaderisasi hasil Mukaci diterapkan selama lebih dari
tujuh tahun, kekurangan itu semakin dirasakan. Untuk itu, bersamaan dengan
Sidang Dewan Pleno Nasional (SDPN) tahun 1974 maka dilakukan pembahasan
sebagai upaya untuk upaya penyempurnaan sistem dan metode kaderisasi.
Pembahasan ini tidak tuntas karena hanya menghasilkan beberapa rekomendasi,
sebagai berikut.
a. Penyelenggaraan training dasar dengan nama training kepribadian sebagai
basis seluruh training PII.
b. Memakai kembali pedoman tentang sistem dan metode training hasil Mukaci
Pekalongan.
c. Diharapkan PB PII untuk menyelenggarakan acara pertemuan Instruktur
Nasional untuk melakukan penyempurnaan konsep kaderisasi secara umum,
maupun konsep training secara khusus.
58
Pada masa konsolidasi PII diantara tahun 1979 hingga tahun 1985,
berdasarkan dari rekomendasi SDPN tahun 1974, maka diselenggarakan Pekan
Orientasi Instruktur Nasional (POIN) di Cibubur, Jakarta, April 1979. Pengurus
Besar PII telah membentuk Tim Perumus, terdiri dari Mohammad Jauhari, Hazim
Abdullah Umar, Taufiq Dahlan dan Masyhuri Amin Muhri. Pembentuk tim
perumus ditujukan untuk mempersiapkan rumusan konsepsi kaderisasi yang
disempurnakan. Tim Perumus berhasil menyempurnakan dan sekaligus melakukan
berbagai kajian teoritik tentang Sistem dan Metode Training PII. Rumusan tersebut
disepakati dalam POIN 1979, dengan garis besar keputusan, sebagai berikut.
1. Fungsi Training
Training mempunyai fungsi sebagai media kaderisasi formal yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kaderisasi informal, berupa
program-program PII lainnya. Media kaderisasi formal training menjadi
tumpuan utama untuk menghasilkan kader PII dengan tujuan untuk kepentingan
perjuangan organisasi dan ummat Islam.
2. Karakteristik Kader dan Orientasi Training
Kader yang akan dihasilkan melalui proses training diharapkan dapat
mempunyai 12 sifat dan 8 kemampuan dan kesiapan. Karakter kader yang
demikian, diharapkan mampu menjawab tantangan dan memecahkan problem
PII dan ummat Islam, sehingga dapat menjaga misi dan eksistensi PII dalam
rangka izzul Islam wal muslimin. Tantangan dan problem PII dan ummat Islam
dapat diklasifikasikan kedalam delapan orientasi atau kecenderungan, dan
59
selanjutnya akan menjadi orientasi training PII. Kedelapan orientasi tersebut
adalah:
a) Problem Ideologi
b) Problem Kepemimpinan
c) Problem Pendidikan
d) Problem Sosial
e) Problem Keadministrasian (organisasi)
f) Problem Ke-PII-an
g) Problem Sikap dan Tingkah Laku
h) Problem Cara Berfikir
3. Penyempurnaan Tujuan dan Penjenjangan Training
Untuk mengembankan fungsi kaderisasi formal, maka pelaksanaan training
difokuskan pada masalah kepemimpinan yang ditopang dengan pemahaman
masalah sosial kemasyarakatan (dengan sample masyarakat desa), dan masalah
pendidikan agama Islam (dengan sample masalah khilafiyah, baik aqidah maupun
fiqih). Atas dasar pemikiran tersebut, maka pelaksanaan training dibagi kedalam
tiga jenis, yaitu:
a. Leadership Training dengan memfokuskan pada masalah kepemimpinan, terdiri
dari tingkat dasar (Leadership Basic Training), dan tingkat lanjut (Leadership
Advanced Training).
b. Mental Training dengan memfokuskan pada masalah pendidikan agama Islam
sebagai bekal ruhiyah untuk menghadapi tantangan ideologis.
c. Perkampungan Kerja Pelajar dengan memfokuskan pada masalah sosial
kemasyarakatan.
Adapun tujuan pelaksanaan dari setiap jenis training tersebut, adalah
sebagai berikut.
60
a. Leadership Basic Training
Terbentuknya kader PII yang menjawab tantangan dan problem organisasi
PII pada tingkat lokal maupun regional ,dan mampu memahami terhadap
problem PII dan ummat Islam pada tingkat nasional.
b. Leadership Advanced Training
Terbentuknya kader PII yang dapat menjawab tantangan dan problem
organisasi PII dan ummat Islam pada tingkat regional maupun nasional, dan
mampu memahami tentang problem kepemimpinan ummat Islam dalam dunia
internasional.
c. Mental Training (Mentra)
Terbentuknya kader PII yang mampu menjawab problem ajaran Islam dan
tantangan ajaran lainnya yang dihadapi oleh ummat Islam Indonesia dengan
tujuan untuk mendapatkan kerahmatan dari Allah Swt., dan perkembangan syiar
Islam
d. Perkampungan Kerja Pelajar (PKP)
Terbentuknya kader PII yang mampu mengintegrasikan diri dan
mempelopori masyarakat untuk menjawab tantangan dan problem
kemasyarakatan ke arah terwujudnya desa sejahtera yang diridhoi Allah Swt.
(qaryah thayyibah wa rabbun ghafur).
Kesemua jenis training tersebut, idealnya ditempuh seluruhnya dengan
mekanisme dan jenjang, seperti tergambar dalam bagan berikut.
61
LAT
PKP
LBT
MENTRA
Bagan 3.1
Skema Mekanisme dan Jenjang Training PII
Pengembangan Metode dan Teknik Training untuk melengkapi pemahaman
penggunaan metode Group Dynamic yang dilakukan melalui kajian teoritik dan
menyadur buku Achieving in People; Some Aplication of Group Dynamic Theory,
Darwin Cartwright, terbitan Reprinted from Human Relation., Vol. IV, No. 4, 1951.
Kemudian, dirumuskan teori pengelolaan kelompok dan penerapannya dalam
training PII. Berdasarkan metode tersebut, maka penggunaan metode dalam
training PII adalah Group Dynamic (GD), Informative Dyamic (ID) dan Interview.
Penggunaan metode tersebut dalam pelaksanaan training menggunakan beberapa
teknik, yaitu tenik personal intoduction, expectation, case study, clossing session
dan written assignment.
Untuk penajaman dan pendalaman terhadap pemahaman dari hasil POIN
1979, dan sebagai upaya tindak lanjutnya adalah diselenggarakannya Coaching
Intruktur Nasional (CIN) di Jakarta 1982, dengan menghasilkan:
62
a. Keseragaman pemahaman dan pendalaman metode Group Dynamic.
b. Perumusan silabus training.
c. Perlunya penyempurnaan silabus training.
Rekomendasi tersebut didasarkan pada penyusunan silabus, yang hingga
saat ini belum dilakukan secara mendasar dan komprehensif, serta antisipatif
terhadap tuntutan perubahan. Hal tersebut disebabkan karena adanya keterbatasan
persiapan dan waktu pembahasan. Selanjutnya, diselenggarakan Latihan Teknik
Dinamik Grup Nasional (LTDGN) dengan tujuan untuk mempertajam pemahaman
tentang metode dan teknik. Latihan ini dilaksanakan pada akhir Desember 1982
sampai awal Januari 1983, bertempat di Universitas Islam Asy-Syafi’iyah (UIA),
Jatiwaringin Jakarta, yang menghasilkan:
a. Diperkenankan teknik-teknik baru dalam pelaksanaan Dinamik Grup seperti
Personal Intoduction, Ice Breaker (pemeceah kebekuan), Pengalaman
Berstruktur, Creative Thingking (berpikir kreatif), dan Sharing Ideas (bagi-bagi
gagasan).
b. Direkomendasikannya kemungkinan teknik-teknik tersebut dipakai dalam
training sesuai dengan kebutuhan.
c. Direkomendasikannya penyusunan buku panduan training.
Upaya tindak dari hasil CIN dan LTDGN, serta untuk merespon perubahan
kebutuhan training PII maka diselenggarakan Musyawarah Instruktur Nasional
(MIN) di PP Darussalam, Tegineneng, Bandar Lampung 1985. Beberapa hasil yang
dicapai dari MIN adalah sebagai berikut.
a. Tersusunnya buku panduan Leadership Basic Training (LBT) yang terdiri dari:
materi, ruang lingkup pembahasan, target dan indikator, waktu, metode,
langkah-langkah, dan pengantar telaah kasul (Case Study).
b. Direkomendasikan kepada PB PII, dan beberapa PW untuk membahas dan
menyusun panduan Mentra, PKP dan LAT dan Pendidikan Intruktur (PI) yang
drafnya sudah dipersiapkan dalam MIN.
c. Direkomendasikannya pemakaian buku LBT dalan training konvensional PII.
63
Ketidaktuntasan pembahasan di MIN ini menimbulkan beberapa implikasi
dalam pelaksanaannya. Pada masing-masing Pengurus Wilayah menyikapinya
secara berbeda. Ada yang beranggapan bahwa hanya panduan LBT yang sudah
boleh digunakan, sementara panduan jenis training lainnya, menggunakan hasil
POIN 1979. Sementara itu, ada Pengurus Wilayah yang melaksanakan dengan
menggunakan draf yang belum disepakati dalam MIN Lampung sebagai pedoman
training Mentra, PKP, dan LAT. Kondisi tersebut telah menciptakan polarisasi dan
keragaman pelaksanaan training di masing-masing Pengurus Wilyah.
Tahap Resistensi (1985-1991) menunjukkan sikap PII terhadap penerapan
UU No. 8 Tahun 1985 tentang Ormas yang membawa pengaruh serius terhadap
pelaksanaan training PII. Paradigma yang melatarbelakangi konsep dan sistem
training yang dipakai PII selama ini adalah didasarkan pada asas legal-formal.
Pergeseran pola gerakan dari asas legal-formal ke informal menyebabkan PII harus
mencari alternatif gerakan, termasuk pada bidang kaderisasi. Kendala eksternal
yang dialami PII menyulitkan pencapaian target dan tujuan training. Upaya untuk
menyesuaikan pola training yang sesuai dengan situasi eksternal dan tantangan
organisasi, kemudian memunculkan rumusan sistem training alternatif.
PB PII merumuskan konsep pembinaan Sebelas Bintang Satu Matahari Plus
Rembulan pada akhir tahun 1985. Berdasarkan konsep tersebut maka terbentuk
pembinaan, melalui:
1. Training Konvensional yang terdiri dari : LBT, Mentra, PKP dan LAT
2. Training Alternatif yang terdiri dari Bimbingan Keilmuan dan Kepelajaran I
(BKK I) / Forum Pacu Study (Forpadi), BKK II, BKK III, Studi Islam Awal
Mula (SIAM) I, SIAM II, SIAM III, Latihan Hubungan Manusia (LHM) I,
LHM II)
64
3. Training Khusus yang terdiri dari Training Tingkat Dasar (TTD) dan Training
Tingkat Lanjut (TTL) PII Wati serta Latihan Brigade Tingkat Dasar (LBTD)
dan Latihan Brigade Tingkat Lanjut (LBTL).
Selain itu, mulai disosialisasikan program pembinaan kader pasca training
berupa Gerakan Usrah dan Gerakan Amal Shaleh (GAS). Gerakan Usrah
mempunyai maksud dan tujuan untuk memberikan pemahaman tentang nilai-nilai
diniyah. Sedangkan GAS menitikberatkan pada upaya pembudayaan dari sikap
hidup muslim sehari-hari. Semula paket training alternatif disusun dengan tujuan
untuk mengantisipasi, jika paket training konvensional tidak bisa dilaksanakan
dikarenakan kendala eksternal (legal-formal). Meskipun demikian, training
konvensional tetap bisa dijalankan, walaupun dengan beberapa modifikasi,
sementara itu, secara bersamaan training alternatif juga dilaksanakan. Akibatnya
adalah berkembang dua jalur training dalam kegiatan kaderisasi PII, sehingga
terjadi duplikasi dalam konsep kaderisasi.
Masa rekonstruksi (1991-1996) sebagai kondisi informal PII dan kondisi
kaderisasi sebagai akibat situasi eksternal tersebut yang mengharuskan PII untuk
melakukan evaluasi mendasar terhadap kegiatan kaderisasi. Konsep kaderisasi
menurut POIN ‘79 dan MIN ‘85 belum menyertakan “pola pembinaan” pasca
training. Dengan demikian maka pembinaan kader pasca training diserahkan
sepenuhnya kepada masing-masing pengurus, baik pengurus wilayah, daerah
maupun komisariat.
Pada masing-masing eselon kepengurusan tersebut adalah tidak
memungkinkan untuk menyusun program dan paket kegiatan secara berkelanjutan
(continue) dan baku sehingga kegiatan pembinaan kader bersifat pragmatis dan
65
sporadic, tergantung dari tingkat aktivitas masing-masing eselon kepengurusan.
Seiring dengan menurunnya kondisi dan aktivitas kepengurusan, maka kegiatan
pembinaan kader menjadi semakin tidak terkontrol. Kondisi ini menyebabkan pola
jalur dan jenjang training tidak sepenuhnya dapat dijalankan dengan baik. Hal ini
ditunjukkan dari banyaknya jumlah kader pasca Batra yang menghilang dan tidak
aktif.
Kegiatan training dan proses kaderisasi yang dialami PII, semakin hari
semakin merosot, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Kondisi tersebut sangat
memprihatinkan, dan dapat mengancam eksistensi PII di masa mendatang. Oleh
karena itu, dilakukan penyempurnaan secara komprehensif menyangkut berbagai
aspek fundamental dalam kaderisasi PII melalui pendekatan kebutuhan objektif.
Konsep ta`dib merupakan solusi terhadap permasalahan kaderisasi tersebut yang
telah diakomodir oleh Muktamar ke-19 di Garut pada Desember 1992. Konsep ini
dipersiapkan dalam lokakarya Tim Kecil Pengurus Besar PII di pondok pesantren
Pabelan pada bulan Ramadhan 1411Hijriah atau tahun 1991 Masehi.
Untuk menindaklanjuti rekomendasi Muktamar tersebut, maka mulai
dilakukan proses penyusunan konsep Ta`dib. Secara berturut-turut dan intensif
diproses melalui forum-forum khusus yang diadakan untuk kepentingan ini baik
pada tingkat PB maupun Forum Nasional. Proses penyusunan ini
ternyata memakan waktu yang cukup lama. Di tingkat PB PII
dilaksanakan Sarasehan terbatas BPPT, Rapat Kerja BPPT, dan Raker serta Rakor
PB.
66
Untuk mengantisipasi kebutuhan pola pembinaan pasca training sekaligus
menjadi faktor utama dalam mempertahankan eksistensi PII yang tercermin dari
kepengurusan yang semakin menurun maka PB PII segera membuat pola Ta’lim.
Sementara itu untuk membuat konsep pelatihan PB PII melakukan peninjauan
terhadap training. Keduanya kemudian dilaksanakan dalam bentuk Lokakarta,
masing-masing Lokakarya Ta’lim dan Semiloka Pelatihan.
1. Lokakarya Ta’lim Nasional
Lokakarya diselenggarakan pada November 1993 di Islamic Center Bekasi.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan sosialisasi dan pembahasan tentang
konsep dan panduan Ta’lim. Penyelenggaraan acara berangkat dari kebutuhan yang
paling mendesak untuk segera merealisir pembinaan lewat jalur Ta`lim sebagai
bagian dari konsep Ta`dib. Lokakarya tersebut berlangsung kurang optimal karena
tanpa didahului dengan perencanaan yang matang sehingga pembahasan mengenai
posisi dan konsepsi jalur Ta`lim dalam perspektif Ta`dib mengundang persepsi
yang berbeda antara PB PII dengan PW yang hadir. Akibatnya tidak didapatkan
titik kesepakatan sehingga tindak lanjut dari acara tersebut tidak seperti yang
diharapkan.
Dengan kata lain, lokakarya tidak menghasilkan rekomendasi bagaimana
penerapan konsep Ta’lim dan panduan kegiatan Ta’lim di wilayah-wilayah.
Masing-masing Pengurus Wilayah mempunyai alternatif sendiri tentang pola
Ta’lim yang kemudian dalam proses pemecahan masalah pembinaan menjadi
sangat beragam. Hal itu tidak mengurangi semangat awal untuk terus melakukan
upaya pembinaan dengan paket Ta’lim. Secara de fakto Ta’lim berjalan dengan
67
sendirinya walaupun beberapa wilayah ada pula yang kesulitan dan sama sekali
tidak berjalan kegiatan Ta’lim.
2. Semiloka Training
Semiloka (Seminar dan Lokakarya) dilaksanakannya menjelang Muktamar
ke-20 pada 21-23 Januari 1995 di Jakarta kegiatan ini dimaksudkan untuk
melakukan evaluasi terhadap penerapan konsep training sekaligus untuk mencari
masukan bagi penyempurnaan konsep training dalam merumuskan konsep
kaderisasi PII perspektif Ta`dib.
Terhitung sejak MIN di Lampung 1985 PII secara nasional belum sempat
lagi melakukan kajian secara komprehensip terhadap konsep dan pola kaderisasi.
Untuk itu Semiloka diadakan, dalam rangka melakukan tinjauan terhadap semua
perangkat training PII mulai dari MUKACI (Musyawarah Kader dan Coaching
Instruktur) di Pekalongan 1967, POIN (Pekan Orientasi Instruktur Nasional) ‘79,
dan MIN (Musyawarah Instruktur Nasional) di Lampung 1985. Evaluasi selama
lebih kurang 12 tahun itu konsep kaderisasi PII, khususnya training baru dapat
diagendakan. Memang terasa cukup berat untuk melakukan tinjauan dengan
maksud evaluasi dan penyusunan ulang tentang konsep kaderisasi PII yang utuh,
kendatipun usaha tersebut tidak dilakukan secara detail, namun tinjauan makro
dicoba dilakukan dengan segala konsekuensi-konsekuensinya, antara lain aspek
pendalaman historis dan filosofis masih sangat terasa kurang. Sekali lagi karena ini
faktor kebutuhan maka evaluasi itu merupakan suatu keharusan.
68
Berangkat dari kesadaran bahwa evaluasi yang sifatnya komprehensif dan
makro itu maka PB PII melalui Tim semiloka melakukan kegiatan pendahuluan
sebelum pelaksanaan Semiloka. Tim melakukan diskusi reguler sebanyak tiga kali,
dengan mengundang narasumber, antara lain: Utomo Dananjaya, Hasyim Umar,
dan Usep Fathudin. Diskusi tim tersebut diharapkan semiloka dapat menghasilkan
target yang optimal.
Seminar yang bertema “Pelatihan dan Pengembangan SDM” dalam upaya
mengakomodasi berbagai pemikiran yang perlu menjadi bahan pertimbangan
dalam penyusunan kebutuhan pembinaan dan pengembangan SDM, dalam hal ini
kaderisasi PII dalam menyusun Ta`dib. Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui
seminar tersebut antara lain:
a. Mengidentifikasi dan merumuskan tantangan serta peluang pendidikan dan
pelatihan dalam pengembangan SDM yang berkaitan dengan organisasi Pelajar
Islam dan kelembagaan ummat Islam secara umum.
b. Menghimpun pemikiran sekitar model-model alternatif pelatihan dan pola
pengembangan SDM dalam rangka pembinaan masyarakat pelajar.
c. Menyusun pola dan strategi pelatihan sebagai bahan penyempurnaan Sistem dan
Metode Pelatihan PII.
Setelah seminar dilanjutkan dengan Lokakarya dengan tiga agenda utama
yaitu:
a. Rekonstruksi orientasi pelatihan PII.
b. Alternatif sistem pelatihan PII.
c. Pengembangan materi pelatihan PII.
69
Lokakarya dihadiri oleh 13 PW, menandakan bahwa sebagian besar PW
sangat memerlukan tentang perlunya rekonstruksi pola kaderisasi PII mengingat
kondisi kaderisasi selama ini berjalan apa adanya, sementara PII sudah mulai akan
berhadapan dengan berbagai masalah baru yang lebih kompleks. Beberapa masalah
mendasar dalam pedoman training sempat dibahas dan dievaluasi serta diperoleh
rekomendasi bagi penyempurnaan konsep training. Kesepakatan yang diperoleh
dari Lokakarya tersebut adalah menindaklanjuti beberapa hal yang menyangkut
upaya penataan sistem dan pola kaderisasi PII yaitu dengan melakukan kajian
lanjutan tentang Profil Pelatihan PII, Silabus dan kurikulum, rekonstruksi pelatihan
PII dan merumuskan pokok-pokok pikiran terhadap konsep Ta’dib. Hasil dari
Lokakarya ini kemudian dibawa ke Muktamar ke-20 namun karena keterbatasan
waktu dan prioritas pembahasan tidak sempat diagendakan secara khusus.
Dalam situasi semacam ini, PB PII hasil Muktamar ke-20 kemudian
memprioritaskan penyelesaian dan penyempurnaan konsep Ta`dib. Untuk
keperluan tersebut dibentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Ta`dib. Secara
spesifik badan ini diberikan mandat untuk melengkapi, mengembangkan, menata-
ulang konsep Ta`dib sehingga menghasilkan pola pembinaan atau konsep
kaderisasi PII secara komprehensif, sistematis, tetapi sekaligus aplicable.
Selama kurun waktu transisi PB PII melakukan rekonstruksi konsep
kaderisasi, pelaksanaan training di wilayah-wilayah tetap berjalan namun dengan
pedoman yang berbeda-beda. Perbedaan itu makin banyak karena kondisi yang
berbeda di setiap wilayah. Sehingga boleh dikatakan pelaksanaan training tidak
mempunyai standar yang baku secara nasional. Kondisi ini tentu tidak
70
menguntungkan bagi kaderisasi PII secara keseluruhan. Untuk itu kebutuhan
terhadap pembakuan pedoman kaderisasi menjadi sangat mendesak untuk segera
dilakukan.
Pada masa akhir pemerintahan orde baru terjadinya gejolak situasi politik
nasional yaitu menjelang terjadinya reformasi pemerintahan dengan ditandainya
runtuhnya rezim presiden suharto, PB PII melaksanakan PORTANAS Untuk
membahas Ta’dib lebih lanjut maka diadakan Pekan Orientasi Ta’dib Nasional
(PORTANAS) pada 1-4 Maret 1997 di Semarang, Jawa Tengah. Forum ini
dimaksudkan untuk sosialisasi awal Ta’dib sekaligus pembahasan untuk
menghimpun masukan bagi penyempurnaan konsep Ta’dib. Dalam Portanas ini
telah diajukan kerangka sistem kaderisasi PII yang baru (lihat bagan sistem dalam
Bab IV) sebagai penyempurnaan sistem yang dihasilkan di POIN 1979. Disamping
itu juga diajukan draf Pedoman dan Silabus Training dan Ta’lim, sedangkan konsep
Kursus dan panduan-panduannya belum bisa diajukan karena belum bisa
diselesaikan. Karena belum lengkapnya konsep yang diajukan pembahasan menjadi
tidak optimal, dan disepakati akan dibahas kembali sebelum disahkan sebagai
sistem kaderisasi PII yang baru.
Hasil Lokakarya Instruktur Nasional (LIN) pada tanggal 20 hingga 25
Nopember 1998 telah menghasilkan pedoman berupa pola kaderisasi Badan
Otonom Korps Pilwati, seperti ditunjukkan pada gambar berikut.
71
Gambar 3.2
Hasil Lokakarya Instruktur Nasional (LIN)
Pedoman Pola Kaderisasi PII
Sumber : Dokumentasi Pribadi Peneliti
Adapun sistem pengkaderan Pelajar Islam Indonesia di Masa Orde Baru
(1966-1998) dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3.2
Sistem Pengkaderan PII
di Masa Orde Baru (1966-1998)
Sistem
Pengkaderan
Metode Kaderisasi Program Kerja
Tahap kebutuhan
untuk
penyempurnaan
konsep kaderisasi.
Musyawarah Kader dan
Coaching Instructure
(MUKACI)
1. Pemantapan Strategi Training.
2. Kurikulum Training.
3. Hubungan Antar Jenis Training.
Pekan Orientasi Instruktur
Nasional (POIN)
1. Fungsi Training.
2. Karakteristik Kader dan Oerintasin
Training.
3. Penyempurnaan Tujuan dan
Penjejangan Training.
72
Sistem
Pengkaderan
Metode Kaderisasi Program Kerja
Tahap kebutuhan
untuk
penyempurnaan
konsep kaderisasi.
Pengembangan Dynamic
Group dalam Coaching
Instruktur Nasional
1. Keseragaman pemahaman dan
pendalaman metode Dynamic
Group.
2. Perumusan Silabus.
3. Penyempurnaan silabus training.
Musyawarah Instruktur
Nasional (MIN)
1. Tersusunnya buku Leadership Basic
Training.
2. Pembahasan dan penyusunan
panduan Mental Training, PKP dan
LAT, serta Pendidikan Instruktur.
3. Merekomendasikan pemakaian
buku Leadership Basic Training
dalam traing konvensional PII.
Merumuskan
Konsep Sebelas
Bintang Satu
Matahari Plus
Rembulan
Pembinaan melalui training
konvensional, training
alternatif, dan training
khusus
1. Training konvensional meliputi
LBT, Mentra, PKP, dan LAT.
2. Training alternatif meliputi
Bimbingan Keilmuan dan
Kepelajaran, Forum Pacu Study,
Latihan Hubungan Manusia.
3. Training Khusus meliputi Training
Tingkat Dasar, Tingkat Lanjut,
Latihan Brigade Tingkat Dasar dan
Tingkat Lanjut.
Masa Rekonstruksi Pola pembinaan melalui
POIN dan MIN
Proses penyusunan Ta’dib
1. Lokarya Ta’lim Nasional.
2. Semiloka Training.
Pekan Oerintasi Ta’dib
Nasional (PORTANAS)
1. Sosialisasi awal Ta’dib.
2. Lokakarya Instruktur Nasional
(LIN).
3. Sistem Pengkaderan Pelajar Islam Indonesia (PII) di Masa Reformasi
Pada masa reformasi, setelah menyesuaikan diri pada UU No.8/1985,
Lokakarya Instruktur Nasional (LIN 98) Muktamar Nasional PII ke-21
mengamanatkan PB PII periode 1998-2000 untuk mengadakan forum pembahasan
final konsep Ta’dib sebagai sistem kaderisasi PII yang baru. Paling lambat empat
bulan setelah terbentuknya kepengurusan PB PII periode 1998-2000 forum tersebut
73
harus sudah dilaksanakan. Karena itu PB PII periode tersebut menjadikan
penyempurnaan dan penyelesaian konsep Ta’dib sebagai prioritas programnya.
Kemudian, pada 20-26 November 1998 diadakanlah Lokakarya Instruktur
Nasional (LIN) di Pandaan, Jawa Timur. LIN 98 ini diikuti oleh para Instruktur PII
se-tanah air sebagai forum yang diamanatkan oleh Muknas ke-21. Forum tersebut
berhasil membahas dan merumuskan penyempurnaan konsep Ta’dib sebagai sistem
kaderisasi PII yang baru. Adapun beberapa hal yang dapat dirumuskan dalam forum
tersebut, adalah sebagai berikut:
a. Buku Induk Kaderisasi PII yang berisi; Sejarah Kaderisasi PII, Konsepsi Dasar
Ta’dib, Orientasi Ta’dib, Sistem Ta’dib, Pedoman Manajemen dan Administrasi
Ta’dib.
b. Pedoman Training dan Panduan-Panduan Training (Batra, Intra, dan Advantra).
c. Pedoman Ta’lim dan Panduan-Panduan Ta’lim (Awwal, Wustho, dan ‘Ali).
d. Pedoman Kursus.
e. Panduan-Panduan Kursus Pra-Batra.
f. Panduan Kursus Pasca Batra (Latihan Manjemen Dasar).
g. Panduan-Panduan Kursus Pasca Intra (Latihan Manajemen Strategis,
Pendidikan Mu’alim, Pendidikan Pemandu Kursus, dan Perkampungan Kerja
Pelajar).
h. Panduan Kursus Pasca Advantra (Pendidikan Instruktur).
i. Pola Kaderisasi Brigade PII.
j. Pola Kaderisasi PII Wati.
Perumusan tersebut menjadi pedoman PII dalam menyelenggarakan proses
kaderisasi bagi pelajar Islam di Indonesia di bidang pendidikan dan kebudayaan
dalam rangka untuk melakukan modernisasi pendidikan di Indonesia sebagai
motivasi dan tujuan didirikannya PII.
Pada masa reformasi, PII telah ikut berkontribusi secara maksimal dalam
menyelenggarkan forum LIN atas kesadaran bersama Ta’lim sebagai upaya yaang
cukup fundamental dalam sistem kaderisasi PII sehingga pada tanggal 27 April
2015, PII telah menyelenggarakan Musyawarah Instruktur Nasional di Bandung.
74
Adapun beberapa kegiatan PII yang dilakukan pada masa Reformasi dapat
dilihat pada gambar berikut.
Gambar 3.3
Kegiatan Ta’lim
Di masa reformasi, Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) sebagai
kepengurusan tertinggi di organisasi PII yang memegang otoritas organisasi
memberikan suatu rumusan strategis yang menjadi arah dan agenda pergerakan.
Rumusan strategis ini berakar dari kesadaran PII sebagai alat perjuangan yang
dijiwai oleh sejarah pergerakan dan berpedoman kepada nilai-nilai yang sesuai
dengan pandangan dalam Islam sehingga rumusan ini disusun sebagai
pengejawantahan diri selaku kader umat. Rumusan manajemen strategis ini disebut
dengan “Membina Negara Jaya Indonesia” atau disingkat menjadi Menej Indonesia
yang mengacu pada Garis-Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) PII tahun 2010-
2018.
Menej Indonesia memfokuskan pada ranah kaderisasi atau sumber daya
insani dengan tetap mencoba berpikir integral meliputi keseluruhan ranah yang ada
di dalam organisasi PII. Menej Indonesia yang mengikuti logika GBHO PII 2010-
75
2018 telah disepakati oleh kader PII dalam Muktamar Nasional ke-27 di Serang,
Banten sebagai bentuk komitmen yang kuat untuk sebuah kemajuan.
Menurut Syed M Naquib Al Attas menjelaskan pandangan alam Islam
dalam membangun modal sosial dan solidaritas sosial, sebagai berikut.
“what is meant by “world view”, according to the perpective of Islam, is
then the vision of reality and truth that appears before our mind‟s eye
revealing what existences is all about; for it is the world of existence in its
totality that Islam is project. Thus by “world view” we must mean ru‟yat
al-Islam li al-wujud.”
“apakah arti dari “pandangan dunia”, berhubungan dengan perspektif Islam
adalah kemudian menjadi visi realitas dan kebenaran yang muncul sebelum
pemikiran pandangan kita terhadap keberadaan seluruhnya; untuk dunia
dengan keberadannya dalam totalis bahwa Islam adalah projek. Oleh karena
itu dengan “pandangan dunia” kita seharusnya mengartikan ru’yat al-Islam
li al-wujud.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, Falsafah Gerak (FG) PII telah
menjelaskan bahwa pandangan alam Islam pasti akan melahirkan kebudayaan yang
bersifat fisik maupun sosial. Kebudayaan ini tidak saja bersifat profan, tetapi
transenden, bukan sesuatu yang sekuler, tetapi sesuatu yang tauhid. Dalam konteks
ini, kebenaran Islam bukan karena kekuasaan politik atau militer melainkan
kebenaran Islam jelas dan terlihat dalam mu’jizat Al-Qur’an.
Modernisasi dalam salah satu contohnya pada penggunaan kata tarbiyah
sebagai konsep pendidikan dalam Islam yang lahir dari istilah education dalam
konsep pendidikan Barat. Karena itulah, kita bisa melihat dalam catatan pemikiran
PII, secara cermat kata yang digunakan itu bukanlah mengikuti zaman. Karena
zaman dan orang kebanyakan bukanlah sesuatu untuk diikuti sebagaimana
prasangka modern. Namun kata yang digunakan oleh PII waktu itu adalah
76
“mengantisipasi zaman”. Antisipasi disini berarti mengukur, memperhitungkan,
atau meramalkan.
Mengingat dan memperhatikan Darma Bakti dan Tafsir Asasi PII yang
dikarang oleh Anton Timur Djaelani, memang tugas dan alasan organisasi PII
berdiri untuk membina generasi yang kuat tersebut. PII adalah bagian dari mata
rantai perjuangan ummat Islam di Indonesia. Dalam sebuah paragraf disebutkan :
“Oleh karena Pelajar Islam Indonesia yakin bahwa Islam itu benar-benar
dapat merupakan kekuatan untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera,
adil dan damai, maka diciptakannyalah organisasi “Pelajar Islam Indonesia
(PII” sebagai tempat mendidik dan melatih diri mencapai cita-cita islam
dengan cara yang teratur.”
Latar belakang kelahiran PII yang bertujuan untuk menyatukan antara
pelajar madrasah/pesantren dengan pelajar sekolah umum pada hakikatnya adalah
suatu upaya untuk menanamkan ilmu yang benar kepada seluruh pelajar. Yang
sesungguhnya karena persepsi ilmu yang salah itulah ummat islam di Indonesia
terpecah sejak saat mudanya.
Karena itulah, tepat sekali saat ini sistem kaderisasi PII bernama Ta‟dib,
yang bermakna pendidikan atau pengadaban. Karena permasalah yang menurut al
Attas disebut dengan istilah the loss of adab tersebut haruslah diselesaikan dengan
mengembalikan adab. Dan itulah hakikat dari menyatukan pelajar pesantren dengan
sekolah umum itu. Atau yang dikenal di PII dengan slogan melahirkan ulama yang
intelek dan intelek yang ulama. Atau dalam istilah lainnya disebut juga dengan
proses Islamisasi Ilmu pengetahuan Kontemporer.
77
Dalam ranah pemikiran, perkara terpenting adalah menanamkan
pemahaman yang benar tentang konsep ta'dib. Maka, untuk mencapai itu para kader
hulu PII (yakni kader pasca LAT) harus memiliki dan memahami secara utuh dan
sistematis kepada pandangan alam Islam. Karena pandangan alam Islam terdiri dari
konsep-konsep yang saling terjalin, pemahaman akan setiap konsep jelas harus
dipenuhi terlebih dahulu.
Mengingat keterbatasan pelaksanaan kaderisasi di PII, juga tentang tinggi
rendahnya kualitas pencapaian tujuan instruksional dalam setiap unit kegiatan
kaderisasi yang diterima oleh kader. Maka langkah utama adalah membangun
komitmen bersama dari para kader PII semua untuk menyadari hal ini dan konsisten
untuk melakukan upaya peningkatan diri dalam ranah pemikiran ini.
Oleh karena itulah, sebuah perencanaan strategis ini dibuat untuk memjadi
sebuah peta bagi perjalanan gerakan PII hingga 20 – 25 tahun kedepan. Berikut
adalah skema yang menunjukan perencanaan strategis Menej Indonesia.
Gambar 3.4
Strategis Menej Indonesia
78
Keterangan :
GM ( Gerakan Masjid )
GSM ( Gerakan Seribu Muadib )
IT ( ILMU TCD )
R. ILMU ( Rumah ILMU )
PMK (PII Membangun Kampus )
IUS IND (IIPK di Universitas-
Universitas Sekuler di Indonesia )
PT PII (Pusat Ta’dib PII )
Langkah - Langkah Pragmatis
SUSPIMNAS ( Kursus Pimpinan
Nasional )
Duta Pelajar
Penerbitan Buku
Wakaf Buku
Sarasehan Instruktur
Di masa Reformasi, Kepentingan PII terhadap perguruan tinggi adalah
untuk merekrut mahasiswa agar melakukan proses Islamisasi ilmu pengetahuan
kontemporer dengan institusi PII sebagai alat perjuangnnya. Kehadiran PII di
perguruan tinggi tidak untuk menjadi alat politik pada politik kampus. Tapi ia lebih
sebagai komunitas epistemik atau minoritas kreatif atau komunitas kajian.
PII akan hadir dengan visi yang kuat kepada mahasiswa. Tawaran untuk
mengembangkan diri dan berkontribusi secara pasti dalam wadah PII akan
mengumpulkan mahasiswa yang berkualitas dan yang secara tulus bergerak untuk
Islam. Tawaran PII untuk menjadi kader ummat dan pemersatu ummat adalah
upaya sistematis yang akan menjadi warna baru dalam pergerakan Islam di kampus.
Selanjutnya, kehadiran PII di perguruan tinggi akan bermanfaat bagi :
1. Pengembangan produk-produk pendidikan dan kebudayaan yang dihasilkan oleh
PII.
2. Perluasan akses pelajar tingkat SMA terhadap PII sebagai pergerakan kader di
tingkat perguruan tinggi yang merupakan alumni SMA/sederajat tersebut.
3. Kestabilan kekuatan struktur sebagai keluangan dan kesempatan yang di
manfaatkan oleh kader-kader PII di perguruan tinggi.
4. Penguatan jaringan kemitraan PII.
79
Adapun sistem pengkaderan PII di masa reformasi dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 3.3
Sistem Pengkaderan PII
di Masa Reformasi (1998 – saat ini)
Sistem Pengkaderan Metode
Kaderisasi
Program Kerja
Penyelesaian dan
penyempurnaan konsep ta’dib
Ta’dib 1. Lokarya Instruktur Nasional
2. Muktamar Nasional
Menej
Indonesia
1. Pengembangan produk-produk
pendidikan dan kebudayaan yang
dihasilkan oleh PII.
2. Perluasan akses pelajar tingkat
SMA terhadap PII sebagai
pergerakan kader di tingkat
perguruan tinggi yang merupakan
alumni SMA/sederajat tersebut.
3. Kestabilan kekuatan struktur
sebagai keluangan dan kesempatan
yang di manfaatkan oleh kader-
kader PII di perguruan tinggi.
4. Penguatan jaringan kemitraan PII.
B. Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Perubahan Sistem
Pengkaderan Pelajar Islam Indonesia
Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya perubahan sistem
pengkaderan PII dalam upaya yang dilakukan oleh PII untuk melakukan
modernisasi pendidikan Islam di Indonesia. Faktor tersebut akan dilakukan analisis
80
yang dibagi kedalam dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal dilihat
dari masa berdirinya PII hingga saat ini memiliki pengaruh terhadap sistem
pengkaderan bagi pelajar Islam di Indonesia.
1. Faktor Internal yang Mempengaruhi Perubahan Sistem Pengkaderan PII
Dalam Memodernisasi Pendidikan Bagi Pelajar Islam di Indonesia
Upaya PII untuk memposisikan organisasinya terhadap modernisasi
pendidikan di Indonesia dihadapkan pada faktor internal dan eksternal yang seiring
dengan terjadinya perubahan sistem pengkaderan PII akibat dikeluarkannya
kebijakan politik pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan. Hal ini dapat
ditemukan mulai dari proses awal pendirian di masa Orde Lama hingga memasuki
masa Reformasi saat ini dapat menunjukkan adanya faktor yang mempengaruhi
terjadinya perubahan sistem pengkaderan PII.
1) Dualisme Kelompok Pendidikan di Indonesia
Dualisme pendidikan di Indonesia terbagi kedalam dua kelompok
pendidikan, yaitu sekolah umum dan pondok pesantren yang memunculkan akibat
pelajar Islam terbelah sebagai dua kekuatan menjadi motivasi didirikannya
organisasi pelajar Islam sebagai sejarah pembuka berdirinya PII, sebagaimana
dinyatakan oleh Ali Rasyid, yang memegang jabatan pada PB PII 2008-2010 dalam
hasil wawancara dengan peneliti, sebagai berikut.
Dalam sejarah kaderisasi dan konteks kelahiran PII terjadi dualisme
pendidikan di Indonesia, antara pelajar sekolah umum dan pesantren
yang satu sama lain saling menyalahkan dan kurang harmonis. Hal ini
memunculkan pergolakan perebutan pemikiran yang ada di organisasi
PII sampai saat ini (Hasil wawancara dengan peneliti, tanggal 20 Juli
2015 jam 13:00).
81
Adanya dualisme pendidkan di Indonesia menjadi salah satu faktor internal
dalam sejarah kaderisasi PII dalam memodernisasi pendidikan yang menjadi pusat
dari kegiatannya dalam sistem pengkaderan PII bagi para pelajar di Indonesia
sehingga muncul pergelokan dalam memperebutkan pemikiran yang hingga saat ini
masih terjadi di dalam internal organisasi PII.
Perebutan pemikiran terhadap dualisme pendidikan di Indonesia
memperlihatkan adanya eksistensi PII untuk melakukan suatu perubahan dalam
proses kaderisasi PII untuk melakukan memodernisasi pendidikan dengan secara
aktif mengkritik kebijakan pemerintah di bidang pendidikan, agar pemerintah dapat
memberikan perhatian terhadap pendidikan di lembaga pendidikan yang bercorak
keagamaan yang diajarkan di pondok pesantren. Hal ini dikemukakan oleh
Munawar Khalil dengan posisi jabatan sebagai Ketua Umum PN PII Periode 2015
– 2017, sebagai berikut.
Dualisme pendidikan di Indonesia masih terjadi karena adanya tidak
kesamaan pendidikan yang dipelajari antara sekolah umum dan
pesantren. Pemerintah saat ini telah peduli dengan beberapa pesantren
yang ditunjukkan dengan memberikan bantuan, seperti pemberian
bantuan kitab suci, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, seharusnya
pemerintah sudah menetapkan suatu standar tertentu di sekolah umum
sebagaimana standar yang ditetapkan di pesantren. Akan tetapi,
apabila kedua lembaga pendidikan ini tidak dapat diseragamkan
dengan nama sekolah Islam modern tetapi pelajarannya tidak sama
dengan yang dipelajari antara di sekolah modern dengan di pesantren,
artinya menjadi konflik dalam pendidikan yang sampai sekarang
masih terjadi. Hal ini menunjukkan keterbatasan negara. Oleh karena
itu, PII berusaha mengambil ruang dalam politik untuk mengikis
kondisi dualisme tersebut (Hasil wawancara dengan peneliti, tanggal
23 Agustus 2015, jam 20:00).
82
Konflik yang terjadi dalam dualisme pendidikan di Indonesia telah
membuka ruang politik bagi PII untuk melakukan berbagai upaya mengkritisi
kebijakan pemerintah di bidang pendidikan. Dalam konteks ini, PII sebagai
organisasi kader dengan basis massanya adalah pelajar Islam, maka PII sangat
konsisten untuk memperjuangkan tujuan pendirian PII dalam menyempurnakan
pendidikan bagi pelajar Islam di Indonesia. Hal ini dikemukakan oleh Ust. M.
Zainal Muttaqin sebagai salah seorang mantan PW PII Jakarta Periode 1981-1993,
sebagai berikut.
Kami terus berjuang dalam dualisme pendidikan di Indonesia untuk
dapat memasukkan proses kaderisasi di berbagai sekolah umum dan
pesantren dengan memberikan training dengan semangat kata tandang
ke gelanggang, karena kami meyakini bahwa tidak ada training seperti
Mental Training yang pada saaat itu dapat melakukan training sehebat
dan sebaik yang dilakukan oleh PII. Hal ini menjadi alasan bagi kami
untuk terus berjuang dalam melakukan proses pengkaderan PII bagi
pelajar Islam di sekolah umum maupun di pesantren (Hasil wawancara
dengan peneliti, tanggal 23 Agustus, jam 11:30).
PII secara aktif terus berjuang untuk melakukan proses pengkaderan bagi
pelajar Islam di sekolah umum dan pesantren dengan cara melakukan training,
seperti Mental Training sebagai keunggulan jenis training yang dianggap oleh PII
sebagai training yang lebih baik dibandingkan dengan jenis training yang
diselenggarakan oleh organisasi massa lainnya. Sistem pengkaderan PII melalui
pelaksanaan training menjadi upaya PII dalam memodernisasi pendidikan di
Indonesia yang terpecah dalam dualisme pendidikan yaitu di sekolah umum dan
pesantren. Hal ini juga dikemukakan oleh Nuril Anwar dengan jabatan organisasi
sebagai Sekretaris Jenderal PBB PII Periode 2006-2008, sebagai berikut.
Tradisi pendidikan PII yaitu proses pengkaderan melalui training dengan
berpedoman pada panduan Ta’dib maka posisi PII di dalam dunia
pendidikan adalah melaksanakan training dan mentoring bagi para
kadernya yang ikut serta, dimulai dari pra-batra sebagai simpatisan,
kemudian diteruskan sampai kepada tingkatan dan jenjang training yang
diselenggarakan di PII.
83
Proses kaderisasi tersebut dilakukan melalui pelatihan training dan
mentoring dengan cara masuk ke dalam sekolah umum dan pesantren
dengan tujuan untuk menciptakan kader yang memiliki jiwa
kepemimpinan dan ke-Islam-an dalam rangka memajukan dunia
pendidikan dengan mengambil peran strategis di bidang pendidikan di
Indonesia yang masih terjadi dualisme pendidikan antara sekolah umum
dan pesantren (Hasil wawancara dengan peneliti, tanggal 21 Juli 2015,
jam 18:30).
Terjadinya dualisme pendidikan menjadi bagian dari faktor internal PII
dalam proses pengkaderisasian dimana terdapat pergolan perebutan pemikiran
terkait dengan terpecah belahnya pelajar Islam di Indonesia yang menempuh
pendidikan di sekolah umum dan pesantren. Untuk menghadapi permasalahan dari
dualisme pendidikan ini, PII telah melakukan berbagai upaya untuk terus
melakukan training dan masuk kedalam sekolah-sekolah, baik di sekolah umum
maupun di pesantren yang bertujuan untuk pengkaderisasian dengan memfokuskan
pada bidang pendidikan guna menciptakan kader yang memiliki jiwa
kepemimpinan dan ke-Islam-an.
Upaya yang dilakukan oleh PII tersebut menunjukkan adanya suatu ragam,
visi, dan ide sebagaimana dinyatakan oleh Berman dalam Turner (2008:31) sebagai
bentuk modernisasi dengan cara memberikan training kepada pelajar Islam di
Indonesia yang terpecah karena adanya dualisme pendidikan di sekolah umum dan
pesantren, sehingga melalui proses pengkaderisasian PII telah berupaya untuk
menunjukkan pemikiran yang dapat dijadikan jalan bagi para pelajar Islam yang
memiliki jiwa kepemimpinan dan ke-Islam-an dalam menghadapi perbedaan jalur
pendidikan yang mereka tempuh tersebut.
84
2) Penerapan Sistem Andragogi
Sistem andragogi merupakan sistem pendidikan orang dewasa sehingga
tradisi yang dibangun oleh PII secara internal adalah melakukan proses
pengkaderisasian di bidang pendidikan, dakwah, kebudayaan yang dilakukan
melalui training dan mentoring, dimulai dari pra-batra sebagai simpatisan,
kemudian secara aktif mengikuti pelatihan hingga sampai pada tingkatan dan
jenjang training yang diterapkan oleh PII. Sistem andragogi membawa pengaruh
dalam proses pengkaderisasian bagi para kader PII, sebagaimana dikemukakan oleh
Nuril Anwar selaku Sekjen PB PII Periode 2006-2008, sebagai berikut.
Tradisi yang dibangun oleh PII dalam upaya menjadikan kader insan
pendidikan yang seutuhnya diterapkan melalui sistem andragogi,
maka apabila diperhatikan, para kader PII yang telah menyelesaikan
training dan mentoring maka mayoritas kader PII bergerak di bidang
pendidikan, seperti menjadi seorang guru, trainer sehingga PII
dikatakan sebagai kader umat yagn dapat berkiprah dimana PII hidup,
dan di bidang apapun, pendidikan yang didapatkan melalui training
dan mentoring PII dapat berpengaruh dalam memodernisasi
pendidikan Islam di Indonesia (Hasil wawancara dengan peneliti,
tanggal 21 Juli 2015, jam 18:30).
Penerapan sistem andragogi menjadi bagian dari faktor yang memberikan
pengaruh terhadap sistem pengkaderisasian PII dalam memodernisasikan
pendidikan ke-Islam-an di Indonesia, meskpin penerapan tersebut dilakukan
melalui jalur non formal tetapi telah membawa pengaruh bagi para kader PII dalam
mengkontribusikan pemikiran di bidang pendidikan Islam. Pengkontribusian
tersebut sebagai cara untuk memberikan perkembangan pendidikan formal di
Indonesia yang cenderung hanya berpedoman pada membaca tanpa memahami dan
mengaplikasikannya yang berbeda dengan sistem andragogi yang diterapkan oleh
85
PII. Hal ini diungkapkan oleh Munawar Khalil selaku Ketua Umum PB PII Periode
2015-2017, sebagai berikut.
Penerapan sistem atau pola andragogi di PII itu sendiri mencermati
adanya kebutuhan bagi para pelajar Islam di Indonesia dengan adanya
dualisme pendidikan maka untuk memodernisasikan pendidikan
dalam menciptakan kader umat dengan Kepemimpinan Kepeloporan
sehingga kade PII dapat terus mengembangkan dan melaksanakan
aktivitas di bidang pendidikan (Hasil wawancara dengan peneliti,
tanggal 23 Agustus 2015, jam:18.30).
Penerapan sistem andragogi ini menjadi salah satu faktor pendorong untuk
terus melakukan upaya penyempurnaan pendidikan dan kebudayaan dengan
wawasan ke-Islam-an yang dilaksanakan melalui pelatihan training dan mentoring
sehingga dapat menciptakan para kader untuk melakukan modernisasi pendidikan
Islam di Indonesia dengan berpedoman pada panduan ta’dib sebagai bentuk
pemikiran secara terbuka yang menyikapi perkembangan di bidang pendidikan bagi
para pelajar Islam di Indonesia.
Hal tersebut mendeskripsikan sebagai bentuk modernisasi yang diterapkan
oleh PII melalui sistem andragogi yang membawa pengaruh pada pola
pengkaderisasian dalam rangka penyempurnaan di bidang pendidikan yang dapat
dikatakan sejalan dengan syarat dari modernisasi menurut Soerjono Soekanto
(1992:360-362) antara lain ditunjukkan oleh PII melalui cara berpikir yang ilmiah
yang berlembaga ataupun bermasyarakat dimana PII dengan menerapkan sistem
tersebut. Dengan kata lain dapat dipandang sebagai birokrasi rasional sebagaimana
dikemukakan oleh Weber dalam Martin (1989:32), dimana sistem andragogi
sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern yang dilakukan melalui
proses training dan mentoring mencakup pada ketepatan dan kejelasan yang
86
dikembangkan dalam panduan ta’dib menjadi prinsip untuk mencetak kader yang
memiliki jiwa kepemimpinan dan ke-Islam-an.
3) Pengembangan Jejaring PII
Metode dan materi yang diajarkan dalam training dan mentoring dalam
proses kaderisasi PII telah mengembangkan jejaring PII dalam memodernisasi
pendidikan Islam bagi para pelajar Islam di Indonesia. Pengembangan jejaring PII
memiliki nilai dalam perkembangan organisasi PII, sebagaimana dikemukakan oleh
Ali Rasyid selaku PB PII Periode 2008-2010 yang mengatakan sebagai berikut.
Jejaring PII melalui training yang dilaksanakan oleh pengurus PII
yang aktif di struktural, baik di tingkat komisariat terendah hingga
pada Pengurus Besar terjadi pengembangan hingga pada alumni PII
memberikan pengaruhnya dalam memodernisasikan pendidikan Islam
di Indonesia, dimana ketika telah menjadi alumni PII, banyak
mendidikan sekolah yang menunjukkan keinginan jejaring PII dalam
melakukan modernisasi di bidang pendidikan (Hasil wawancara
dengan peneliti, tanggal 20 Juli 2015, jam 13:00).
Di dalam memperjuangkan pendidikan bagi para pelajar Islam di Indonesia
telah dapat menunjukkan adanya pengembangan jejaring PII yang secara aktif
berkontribusi untuk mendirikan sekolah sebagai perwujudan hasil yang diperoleh
melalui training dan mentoring yang dilaksanakan oleh PII membawa pengaruh
dalam upaya memodernisasi pendidikan Islam bagi para pelajar Islam di Indonesia.
Oleh karena itu, pengembangan jejaring PII menjadi salah satu faktor yang dapat
mendorong organsisasi PII dalam melakukan modernisasi pendidikan Islam di
Indonesia.
87
Jejaring PII dapat sejalan dengan pernyataan Latifah (2011:21) termasuk
dalam pengkaderan sebagai proses mempersiapkan anggota kader untuk menjadi
generasi penerus yang akan bertanggungjawab terhadap organisasi. Oleh karena itu,
pengembangan jejaring PII melalui keikutsertaan alumni PII dalam
mengkontribusikan pemikiran dan pengalamannya untuk memberikan metode dan
materi menjadi faktor yang dapat membawa PII untuk memodernisasi pendidikan
yang diterapkan oleh PII melalui proses kaderisasi formal, kaderisasi in-formal dan
non-formal yang dapat diaplikasikan bagi kepentingan pelajar Islam dengan
mendidikan sekolah, pesantren dan madrasah bagi para pelajara Islam di Indonesia.
Berdasarkan pada hasil analisis data maka dapat ditemukan tiga faktor
internal yang memberikan pengaruh terhadap proses pengkaderisasian PII dalam
memodernisasi pendidikan bagi pelajar Islam di Indonesia, seperti dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 3.4
Faktor Internal yang Mempengaruhi Perubahan Sistem Pengkaderan PII
Dalam Memodernisasi Pendidikan Bagi Pelajar Islam di Indonesia
Faktor Internal Upaya Hasil
Dualisme
Pendidikan
Mengkontribusikan pemikiran
melalui training ke berbagai
sekolah umum dan pesantren
Memberikan jalan bagi para kader
dalam memodernisasi pola
pengkaderan di bidang pendidikan.
Penerapan
Sistem
Andragogi
Menerapkan materi dan metode
dalam training dan mentoring
dengan sistem andragogi
Mencetak generasi PII dengan
Kepemimpinan Kepeloporan dalam
memodernisasi pendidikan bagi
pelajar Islam di Indonesia
Pengembangan
Jejaring PII
Mengikutsertakan para alumni
PII untuk aktif berkontribusi
dalam pemikiran tentang
modernisasi pendidikan
Jejaring PII terbangun dengan ikatan
yang kuat, serta alumni dapat
mendirikan sekolah berdasarakan
pelatihan dan pengalaman yang
didapat dari PII.
Sumber: Data Primer Peneliti, 2017.
88
2. Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Perubahan Sistem Pengkaderan PII
Dalam Memodernisasi Pendidikan Bagi Pelajar Islam di Indonesia
Faktor eksternal dapat ditemukan berdasarkan pada masa Orde Lama, Orde
Baru dan Reformasi yang mempengaruhi terjadinya perubahan sistem pengkaderan
PII dalam memodernisasi pendidikan bagi pelajar Islam di Indonesia.
1) Bahaya Paham Komunis oleh Partai Komunis Indonesia (PKI)
Bahaya paham komunis yang dikembangkan melalui doktrin dan
ideologinya oleh PKI di masa Orde Lama membawa pengaruh yang sangat besar
terhadap sistem pengkaderan PII yang baru berdiri pada tahun 1947. PII tetap
konsisten untuk menentang bahkan melawan doktrin dan ideologi komunis yang
dikembangkan oleh PKI di Indonesia, sebagaimana disampaikan oleh Ahmad Zaki
yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PB PII Periode 2003 – 2015 dalam hasil
wawancara dengan peneliti, sebagai berikut.
Latar belakang yang mempengaruhi perubahan sistem pengkaderan PII,
terutama ditunjukkan pada perkembangan politik di era tahun 1947 hingga
1967 atau era Orde Lama yang sangat kental dengan PKI. PII dengan
bernafaskan jihad atau doktrinisasi tentang perjuangan Islam menentang
segala bentuk ajaran ideologi komunisme pada saat itu.
Meskipun terjadi perlawanan terhadap ajaran ideologi komunis tersebut, PII
pada era duapuluh tahun pertama (1947-1960an) tetap melaksanakan
kegiatan pengkaderan yang kurikulum sederhana memakai silabus yang
sederhana. Selain itu, PII pun mengirimkan kader terbaik PII pada tahun
1950an dan 1960an untuk mengembangkan pola pendidikan Amerika
melalui program beasiswa. (Hasil wawancara dengan peneliti, tanggal 03
Februari 2017, jam 14:30).
Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa PII sebagai organisasi kader
dimana basis massanya adalah pelajar Islam di Indonesia pada masa Orde Lama
menunjukkan perjuangannya terhadap modernisasi pendidikan di Indonesia dengan
89
cara melakukan penentangan terhadap segala bentuk ajaran dan ideologi komunis
yang dikembangkan oleh PKI di Indonesia. Melalui sistem pengkaderan PII sejak
awal pendirian di tahun 1947 hingga era duapuluh tahun pertama pada tahun 1960-
an dalam penentangannya terhadap ideologi komunis PKI yang menjadi faktor
penghambatan berkembangnya ajaran Islam bagi pelajar Islam di Indonesia, PII
tetap menunjukkan eksistensinya dengan mengirimkan kader terbaiknya dalam
mengembangkan pola pendidikan Amerika, meskipun pada masa Orde Lama, PII
hanya menggunakan silabus sederhana.
Berdasarkan kenyataan tersebut adalah sejalan dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Latifah (2011:21) termasuk dalam pengkaderan sebagai proses
mempersiapkan anggota kader untuk menjadi generasi penerus yang akan
bertanggungjawab terhadap organisasi. Adanya tanggungjawab terhadap organisasi
PII maka sistem jejaring PII terus melakukan aktivitas di bawah tekanan dan
ancaman ajaran dan ideologi komunis yang dikembangkan oleh PKI di Indonesia.
PII terus melakukan perlawanan terhadap ajaran dan ideologi komunis dimana para
kader terbaik PII melakukan upaya untuk modernisasi pendidikan di Indonesia
dengan mengikuti program pelatihan maupun seminar untuk mengetahui penerapan
pola pendidikan Amerika, ketika pada era Orde Lama, PII menjalankan sistem
silabus secara sederhana.
Hal ini dapat menunjukkan adanya faktor eksternal berupa bahaya ajaran
komunis yang dikembangkan oleh PKI di Indonesia tidak menjadi hambaran bagi
PII dalam modernisasi pendidikan di Indonesia melalui jejaring PII tetap berjuang
90
dan mengembangkan pola kaderisasi untuk mengembangkan sistem pengajaran
bagi kader PII dengan menentang ajaran dan ideologi komunis di Indonesia.
2) Asas Tunggal Pancasila dalam Ketetapan Peraturan Pemerintah
Indonesia Bagi Organisasi Massa
PII sebagai organisasi non-formal berbasiskan masa pelajar Islam di
Indonesia harus menghadapi hambatan dalam sistem pengkaderan dikarenakan
adanya kebijakan politik pemerintah yang menetapkan bahwa semua organisasi
massa yang berdiri di Indonesia harus mendaftarkan organisasinya dengan
berasaskan tunggal yaitu Pancasila. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan asas
yang ditetapkan oleh PII dengan berasaskan Islam.
Asas tunggal Pancasila dalam kebijakan politik pemerintah Indonesia di
masa Orde Baru menjadi faktor yang menghambat berkembangnya pola
pengkaderan PII dikarenakan PII ketika dikeluarkannya kebijakan tersebut adalah
berada sebagai organisasi non-formal sehingga segala aktivitas PII tidak terdaftar
secara resmi di pemerintahan yang dapat berakibat terjadinya perpecahan internal
dalam konteks pemikiran tentang asas yang ditetapkan oleh PII, keterbatasan
pendanaan untuk melaksanakan aktivitas pola kaderisasi dan pengajaran,
sebagaimana dinyatakan oleh Ahmad Zaki yang menjabat sebagai Sekretaris
Jenderal PB PII Periode 2003 – 2015 dalam hasil wawancara dengan peneliti,
sebagai berikut.
91
Memasuki era Orde Baru pada masa kediktatoran Presiden RI kedua, yaitu
Soeharto telah melahirkan berbagai versi perundang-undangan yang tidak
berpihak kepada Islam yang menetapkan asas tunggal sehingga pola
pengkaderan saat itu masih berbentuk ideologisasi tetapi lebih subversi
kepada pemerintah yang berpihak saat itu menjauh dari umat Islam. (Hasil
wawancara dengan peneliti, tanggal 03 Februari 2017, jam 14:30).
Dari pernyataan tersebut dapat diketahui terdapat hambatan dalam
perkembangan pengkaderisasian PII dalam memodernisasi pendidikan di Indonesia
di masa Orde Baru yaitu diberlakukannya kebijakan pemerintah yang menetapkan
asas tunggal Pancasila yang menghambat dalam menjalankan aktivitas
keorganisasian PII. Pada saat itu, PII berpandangan bahwa pemerintah tidak
berpihak kepada umat Islam sehingga ideologi Pancasila saat itu tidak dapat
ditetapkan sebagai asas tunggal bagi PII sebagai organisasi massa. Hambatan ini
berdampak dalam perkembangan pola kaderisasi dimana PII saat itu berada di luar
organisasi resmi yang terdaftar di pemerintah sehingga PII menjalankan
aktivitasnya bersifat independen. Hal ini memunculkan keterbatasan PII dalam
mengembangkan sistem pengajaran bagi para pelajar Islam di Indonesia serta
keterbatasan pendanaan bagi PII untuk melakukan sistem kaderisasi dalam
memodernisasi pendidikan di Indonesia.
Hambatan pada asas tunggal yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia
sebagai kebijakan politik bagi organisasi massa dapat dilihat dalam pandangan PII
sebagai organisasi massa yang sejalan dengan pendapat yang dinyatakan oleh Terry
dalam Syafaruddin (2005:41) dimana penerapan manajemen yang membentuk
kegiatan organisasi memiliki relevansi terhadap sejumlah unsur pokok organisasi
yaitu, yaitu unsur manusia (men), unsur barang (materials), unsur mesin
(machines), metode (methods), uang (money), dan pasar (market). Keenam unsur
92
tersebut masing-masing memiliki fungsi yang saling berkaitan, dan saling
berpengaruh terhadap pencapaian tujuan organisasi, terutama pada proses
pencapaian tujuan secara efektif dan efisien.
Kebijakan asas tunggal tersebut membawa dampak bagi perkembangan
organisasi PII di masa Orde Baru dilihat dalam manajemen organisasi PII dalam
menjalankan aktivitasnya mengalami hambatan dalam keterbatasan pada pola
kaderisasinya, metode pengajarannya yang diselenggarakan berada di jalur non-
formal, keterbatasan anggaran untuk melakukan pengembangan pola kaderisasi
untuk memodernisasi pendidikan Islam di Indonesia.
Faktor eksternal yang cenderung mempengaruhi perubahan sistem
pengkaderan PII terutama di era Orde Baru yang disebabkan adanya berbagai
kebijakan pemerintah yang berdampak terjadinya kevakuman dalam
keorganisasian internal PII, dan memasuki era Reformasi, PII menjadi lembaga
yang berada di luar jalur formal. Perbedaan pandangan di tubuh internal organisasi
PII terutama di kalangan jejaring PII yang selama bertahun-tahun bertentangan
dengan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah berkaitan dengan
ketentuan pendirian dari organisasi massa yang diputuskan dalam kebijakan
pemerintah tersebut, dikarenakan PII hanya berasaskan ke-Islam-an. Faktor
eksternal tersebut telah membawa pengaruh sehingga terjadinya perubahan dalam
pola pengkaderan PII.
93
3) Larangan Pemerintah terhadap Aturan Siswi Berjilbab
Fokus PII untuk selalu mengkritis kebijakan pemerintah terutama di bidang
pendidikan adalah didasarkan adanya ketidakberpihakan maupun ketidak-pedulian
dan perhatian dari pemerintah untuk pendidikan agama Islam. Melalui perjuangan
PII, maka jejaring PII yang dibentuk melalui pola kaderisasi terus menunjukkan
eksistensinya di pendidikan ke-Islam-an, dan kepemimpinan bagi para pelajar Islam
di Indonesia. Dalam konteks ini, faktor eksternal sangat membawa pengaruh yang
kuat terhadap eksistensi PII di era reformasi pada saat ini, yang menyebabkan gaung
PII sebagai organisasi pelajar Islam tertua di Indonesia kehilangan motivasi dalam
upayanya untuk memodernisasi pendidikan Islam dalam perubahan pola kaderisasi
PII saat ini.
Kebijakan politik pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan bagi
pelajar Islam di Indonesia menjadi zona bagi PII dalam mengkritisi kebijakan
pemerintah yang tidak berpihak terhadap ke-Islam-an. Oleh karena itu, melalui
jejaring PII terus menunjukkan eksistensinya untuk memperjuangkan pendidikan
Islam bagi para pelajar Islam di Indonesia, sebagaimana pernyataan yang
dikemukakan oleh Abdul Razak sebagai Mantan Koordinator Pusat Keluarga Besar
PII Periode 2004-2006 mengatakan sebagai berikut.
PII memang tidak mendirikan sekolah karena PII merupakan
organisasi massa berbasis para pelajar Islam di Indonesia. PII
memposisikan organisasinya lebih memperjuangkan terhadap nilai
perjuangan kaum pelajar melalui gerakan protes dan gerakan pelajar
yang khusus untuk memperjuangkan nilai ke-Islam-an, contoh
misalkan pada waktu itu, terdapat larangan di sekolah umum tentang
pemakaian jilbab bagi pelajar putri Islam.
94
Para kader PII wati telah berjuang untuk diterapkannya pemakaian
jilbab di sekolah umum. Perjuangan tersebut berkaitan dengan
perjuangan PII dalam memodernisasi pendidikan Islam dengan
menciptakan para kadernya untuk memperjuangan nilai ke-Islam-an
melalui training yang ada di PII (Hasil wawancara dengan peneliti,
tanggal 28 Juni 2015, jam 20:30).
Dari pernyataan tersebut dapat menunjukkan bahwa PII memposisikan
peran organisasinya dalam memperjuangkan nilai ke-Islam-an dengan cara tidak
mendirikan sekolah melainkan melalui gerakan para pelajar Islam untuk terus
mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak atau tidak memberikan
perhatian terhadap nilai ke-Islam-an yang dilakukan oleh para kader PII dalam
rangka memodernisasi pendidikan Islam, baik di sekolah umum maupun di pondok
pesantren dan madrasah melalui penyelenggaraan training yang ada di PII.
Berdasarkan kenyataan tersebut adalah sejalan dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Latifah (2011:21) termasuk dalam pengkaderan sebagai proses
mempersiapkan anggota kader untuk menjadi generasi penerus yang akan
bertanggungjawab terhadap organisasi. Pendapat tersebut sejalan dengan sistem
pengkaderisasian PII berbasiskan pada massa pelajar Islam di Indonesia sehingga
PII terus melakukan perjuangan untuk menentang terhadap larangan yang
menjauhkan ajaran Islam dari para pelajar Islam di Indonesia. Selain itu, sebagai
bentuk tanggung jawab organisasi maka para kader PII melakukan gerakan protes
untuk memperjuangkan dicabutnya pelarangan aturan untuk mengenakan jilbab
bagi siswa di sekolah umum dan terus berjuang untuk memodernisasi pendidikan
Islam di Indonesia melalui gerakan kader PII wati telah menunjukkan eksistensi PII
dalam memodernisasi pendidikan Islam di Indonesia.
95
Hasil analisis data dapat ditemukan adanya faktor eksternal yang
berpengaruh terhadap perkembangan pola kaderisasi PII dalam memodernisasi
pendidikan Islam di Indonesia yaitu dilihat berdasarkan masa Orde Lama, Orde
Baru hingga Reformasi saat ini diketahui adanya hambatan dari berkembangnya
ajaran komunis oleh PKI di era Orde Lama, kemudian terdapatnya kebijakan politik
pemerintah yang menjauhkan ajaran Islam bagi pelajar Islam di Indonesia dilihat di
era Orde Baru dengan menetapkan asas tunggal Pancasila adalah bertolak belakang
dengan asas yang ditetapkan oleh PII dengan berasaskan Islam, hingga pada era
Reformasi para kader PII tetap berjuang untuk menunjukkan eksistensinya ketika
adanya larangan siswi mengenakan jilbab.
4) Arus Demokrasi dan Globalisasi yang menguat di Masa Reformasi
Pasca terjadinya reformasi 1998 dan diikuti dengan berkembangan
teknologi informasi dalam era globalisasi memberikan dampak terhadap
meningkatkan sentiman keagamaan dalam demokrasi di Indonesia, seperti yang
ditunjukkan dalam hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Jaringan Islam Liberal (JIL) tentang orientasi
politik Islam di Indonesia pada awal November 2004 yang menunjukkan di
antaranya terdapat dukungan terhadap agenda Islamis dan dukungan perempuan
tidak boleh menjadi Presiden, dukungan pelarangan terhadap bunga bank, dan
tingginya sikap intoleren kaum Muslim terhadap umat Nasrani (Mujani, dkk,
2005:67).
96
Adanya faktor eksternal tersebut membawa dampak terhadap
perkembangan kaderisasi PII dengan menerapkan Menej Indonesia dengan tujuan
untuk membentuk PII memiliki kader berkualitas dengan budaya organisasi yang
sehat, dinamis, dan mandiri demi terwujudna pelajar Islam yang kritis dan sadar
akan perannya sebagai subyek perubahan.
Modernisasi sistem pengkaderan PII dalam Menej Indonesia menjadi suatu
perencanaan strategis dalam menyikapi adanya faktor arus demokrasi dan
globalisasi yang begitu menguat di masa reformasi dengan melakukan cara
sistematis terhadap pandangan alam Islam dengan konsep yang saling terjalin
dalam ta’dib dalam pelaksanaan kaderisasi mencapai tujuan instruksional pada
setiap unit kegiatan kaderisasi yang diterima oleh kader PII dalam ranah pemikiran
yang kritis terhadap adanya pengaruh dari kemajuan teknologi dan informasi
sehingga terjadinya perubahan dalam kehidupan di masyarakat Indonesia.
Adapun faktor eksternal dilihat dari masa Orde Lama, Orde Baru dan
Reformasi dapat dijelaskan pada tabel berikut.
Tabel 3.5
Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Perubahan Sistem Pengkaderan PII
Dalam Memodernisasi Pendidikan Bagi Pelajar Islam di Indonesia
Faktor
Eksternal
Upaya Hasil
Bahaya Paham
Komunis oleh
Partai Komunis
Indonesia (PKI)
Melakukan perlawanan untuk
menantang ajaran dan ideologi
komunis di Indonesia, serta
mengirimkan kader PII untuk
mengembangkan pola
pendidikan Amerika.
PII menunjukkan eksistensinya di
bawah tekanan ajaran dan ideologi
komunis dalam upaya
memodernisasi pendidikan Islam di
Indonesia dengan mengirimkan
kadernya untuk mengembangkan
pola pendidikan Amerika sebagai
bentuk perlawanan terhadap bahaya
komunis oleh PKI di Indonesia.
97
Faktor
Eksternal
Upaya Hasil
Asas Tunggal
Pancasila dalam
Ketetapan
Peraturan
Pemerintah
Indonesia Bagi
Organisasi
Massa
PII dengan berasaskan Islam
tetap melaksanakan
aktivitasnya dalam pola
kaderisasi dan
mengembangkan metode
pengajarannya sebagai
organisasi non-formal
meskipun terdapat hambatan
dan keterbatasan dalam
mengembangkan metode
pengajaran dan pola kaderisasi
bagi pelajar Islam di Indonesia.
PII mampu menunjukkan
eksistensinya meskipun berada di
bawah tekanan kebijakan pemerintah
yang bertolak belakang dengan asas
yang ditetapkan oleh PII dengan cara
tetap melaksanakan metode
pengajaran serta melakukan pola
kaderisasi dalam memodernisasi
pendidikan Islam di Indonesia.
Larangan
Pemerintah
terhadap Aturan
Siswi Berjilbab
Melakukan gerakan protes dan
tetap melaksanakan pola
kaderisasi PII untuk terus
melakukan upaya agar
pelarangan siswi berjilbab
dapat dicabut oleh pemerintah.
Menciptakan para kadernya untuk
memperjuangan nilai ke-Islam-an
melalui training yang ada di PII
Arus Demokrasi
dan Globalisasi
di Masa
Reformasi
PII menerapkan perencanaan
strategis Menej Indonesia
sesuai dengan GBHo PII 2010-
2018
PII dapat menjadi agen perubahan
dalam pencapaian secara
instruktusional dalam ranah
pemikiran terhadap pengaruh dari
arus demokrasi dan globalisasi dari
kemajuan teknologi dan informasi
yang menimbulkan perubahan dalam
kehidupan masyarakat.
Sumber: Data Primer Peneliti, 2017.
98
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka kesimpulan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Hasil temuan data menunjukkan bahwa Pelajar Islam Indonesia (PII) adalah
organisasi massa berbasiskan pelajar Islam di Indonesia dengan bertipologikan
organisasi kader sehingga PII mengambil perannya di bidang pendidikan,
kebudayaan dan dakwah melalui jalur pendidikan non formal dengan
menyelenggarakan pelatihan, training dan mentoring tentang ke-Islam-an dan
keorganisasian kepemimpinan bagi para pelajar di sekolah umum, pesantren,
madrasah dan berbagai forum serta seminar dengan basis massanya adalah
pelajar Islam.
2. Proses perkembangan PII dapat dilihat dari masa Orde Lama sejak berdirinya
PII pada tahun 1947, berkembang pada masa Orde Baru hingga masa awal
reformasi telah menunjukkan eksistensinya untuk terus memberikan kritik
terhadap kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dengan menerapkan pola
dan sistem kaderisasi menggunakan pedoman ta’dib maka PII tumbuh kuat
bersama dengan jejaringnya dalam melakukan modernisasi pendidikan Islam di
Indonesia.
99
3. Pada pola dan sistem pengkaderisasian PII dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal yang membawa pengaruh terhadap pengkaderisasian PII dalam
memodernisasi pendidikan Islam di Indonesia. Faktor internal dapat dilihat dari
adanya dualisme pendidikan di Indonesia yaitu sekolah umum dan pesantren
yang memunculkan perpecahan bagi pelajar Islam di Indonesia sehingga PII
mampu mengadaptasikannya dalam sistem pengkaderisasian melalui penerapan
sistem andragogi dengan pelatihan, training dan mentoring guna membangun
jejaring PII yang dapat membawa pengaruh dan pengalamannya untuk
memodernisasi pendidikan Islam di Indonesia. Pada faktor eksternal terutama
dapat dilihat dari adanya bahaya komunis yang dikembangkan oleh PKI di era
Orde Lama, ditetapkannya asas tunggal Pancasila dalam kebijakan politik
pemerintah bagi organisasi massa di Indonesia di era Orde Baru, serta adanya
pelarangan siswi mengenakan jilbab di sekolah umum membawa dampak
terhadap perkembangan pola kaderisasi PII dalam memodernisasi pendidikan
Islam di Indonesia dimana PII tetap menunjukkan eksistensinya dalam
memperjuangkan ajaran Islam bagi pelajar Islam di Indonesia untuk
memodernisasi pendidikan melalui metode pengajaran meskipun dihadapi
adanya keterbatasan dalam pendanaan ketika PII menetapkan organisasinya
berada di luar jalur formal pemerintah. Di masa reformasi, terjadinya arus
demokrasi dan globalisasi membawa dampak terhadap modernisasi sistem
pengkaderan PII dengan menerapkan perencanaan strategis Menej Indonesia
sesuai dengan GBHO PII 2010-2018, PII menjadi agen perubahan untuk
mencapai instruksional PII dalam ranah pemikiran kritis terhadap terjadinya
100
perubahan dalam kehidupan masyarakat dengan munculnya sentiment
keagamaan.
B. Saran
Dari penelitian ini, penulis memberikan masukan dalam bentuk saran sebagai
berikut :
1. Dari penelitian ini, peneliti melihat keterbatasan negara dalam menyediakan
sistem pendidikan Islam yang dapat diterima oleh seluruh lapisan umat Islam,
sehingga berbagai lembaga pendidikan dimunculkan oleh masyarakat Indonesia
yang mayoritas masyarakatnya adalah umat Islam. Hal ini memberikan ruang
kepada organisasi PII sebagai organisasi yang bergerak dalam pendidikan dan
kebudayaan untuk tetap mengingat dan kembali kepada peran dan fungsinya
dalam hal memodernisasikan pendidikan Islam di Indonesia, pada posisi
kultural non formal yang begitu penting dan dapat memberikan kemaslahatan
yang baik bagi para pelajar Islam di Indonesia, yang dituangkan dalam aksi
kaderisasinya dengan menampilkan konsepsi pendidikan yang terdepan dan
kekinian sesuai dengan perkembangan zaman.
2. Berdasarkan hasil data dan pengamatan penelitian ini, Pelajar Islam Indonesia
sebagai organisasi yang bergerak dalam dunia pendidikan, kebudayaan dan
dakwah telah memberikan banyak manfaat dan peranan penting dalam hal
kaitan keterbatasan negara dan modernisasi pendidikan Islam di Indonesia yang
dituangkan dalam aksi kaderisasinya sehingga diharapkan baik bagi peneliti,
para aktivis khususnya aktivis PII, KB PII, serta semua pihak yang terkait
101
menyadari, merespon, mempertahankan dan terus berupaya mengembangkan
dalam hal pelajar Islam Indonesia terhadap modernisasi pendidikan Islam di
Indonesia dengan baik dan arif .
3. Berdasarkan hasil data dan pengamatan dalam penelitian ini, Jejaring pelajar
Islam Indonesia sebagai organisasi pelajar independen ekstra sekolah dan
merupakan organisasi pelajar Islam tertua yang masih aktif hingga sekarang dan
memiliki cabang ranting hampir di seluruh provinsi di Indonesia dan telah
memberikan peran dan eksistensinya dalam hal kaitan keterbatasan negara dan
modernisasi pendidikan Islam di Indonesia diharapkan dapat disadari,
dipahami, direnungkan kembali, direspon dengan baik dan terus berupaya
mengembangkan baik bagi peneliti, segenap aktivis PII, KB PII, serta semua
pihak yang berkaitan dalam hal modernisasi pendidikan Islam yang baik ini
sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan khususnya
diskursus konsep pendidikan Islam.
102
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Abuddin, Natta. 2006. Modernisasi : Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press.
Abdul Halim Tuasikal. Sejarah Pelajar Islam Indonesia Dari Kongres Ke Kongres,
editor M. Husni Thamrin. Jakarta: Cipta Jaya, 1998.
Ahmad Adaby Darban. Sejarah Lahirnya Pelajar Islam Indonesia. Yogyakarta:
Panitia.
Ahmadi, A. 2002. Psikologi Sosial. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Al Barry , M.D.Y., dan L. Lya Sofyan Yacub. 2003. Kamus Induk Istilah Ilmiah.
Surabaya: Target Press.
Anthony Giddens. 2009. Konsekuensi Konsekuensi Modernitas, Bantul: Kreasi
Wacana,.
Anthony Giddens. 2009. Problematika Utama dalam teori Sosial. Cetakan I, Edisi
B.Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anton Timur Djaelani. 1976. Tafsir Asas PII : Dasa Warsa Bakti Pelajar Islam
Indonesia. Jakarta: Pengurus Perhimpunan Pusat Keluarga Besar PII, 2000
Daerah Muktamar XIV Pelajar Islam Indonesia.
Azyumardi, Azra. 1999. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Belling dan Totten. 1985. Modernisasi: Masalah Model Pembangunan, Jakarta:
CV. Rajawali.
Berman, Marshall. 1983. All That Is Solid Melts Into Air: The Experience of
Modernity. England: Penguin Books.
Bungin, Burhan. 2013. Metodologi Penelitian Sosial & Ekonomi: Format-format
Kuantitatif dan Kualitatif untuk Studi Sosiologi, Kebijakan Publik,
Komunikasi, Manajemen, dan Pemasaran. Jakarta: Kencana.
Busyari, Badruzzaman. 2010. 80 Tahun Hariri Hady Mensyukuri Nikmat Ilahi.
Jakarta: YPI Al-Azhar.
Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan
Mixed. Terjemahan Ahmad Fawaid. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
103
Dananjaya, Utomo. 2010. Media Pembelajaran Aktif. Bandung: Nuansa.
Djaelani, A.Q. 2000. Komunisme Musuh Islam Sepanjang Sejarah. Jakarta:
Yayasan Pengkajian Islam Madinah-Munawwarah.
Etziono, Amitai. 2005. Organisasi-organisasi Modern (terjemahan). Jakarta: UI
Press.
Gumilar, Rusliwa Somantri. Membebaskan Ilmu Sosial dari Keterperangkapan
Ganda. Jakarta: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 9 Nomor 2
November 2005.
Gumilar, R Soemantri, dkk, 2004, Sosiologi Perkotaan, Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas terbuka.
Haidar Putra Daulay. 2007. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan
Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana.
Harun Nasution, 1996. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah pemikiran dan
gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.
Hanan, Djayadi. 2006. Gerakan Pelajar Islam di Bawah Bayang-Bayang Negara.
Studi Kasus: Pelajar Islam Indonesia Tahun 1980-1997. Yogyakarta: UII
Press.
Haris, Herdiansyah,. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu
Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Hasibuan, Malayu. 2012. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Bumi.
Aksara.
Hersey, Paul dan Kenneth. H. Blanchard. 2010. Manajemen Perilaku
Organisasi: Pendayagunaan Sumber Daya Manusia, Terjemahan Agus
Dharma. Jakarta: Erlangga.
Maciariello Pearce, CL., JA. dan H. Yamawaki. 2010. The Drucker Difference.
Inspirasi Manajemen Terbesar di Dunia Bagi Para Pemimpin Bisnis saat ini.
Jakarta: PT. Ufuk Publishing Home.
Madjid, Nurcholis. 1997. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Proses Perjalanan.
Jakarta: Paramadina.
Martin, Albrow. 2005. Birokrasi (Cetakan Ketiga). Yogyakarta: Tiara Wacana.
104
Mas’oed, Mochtar. 2004. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan
Metodelogi. Jakarta: LP3ES.
Moleong, Lexy J. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya.
Mujani, Syaiful dkk. 2005. Benturan Beradaban: Sikap dan Prilaku Islamis
Indonesia terhadap Amerika Serikat. Jakarta: Nalar.
Nata Abuddin, 2006, Modernisasi : Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta :
Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press.
Nicholas, Stephen, Bryan S. Turner. 2010. Kamus Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Nanang, Fattah. 2000. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Rosdaya
Karya.
Nasution, Harun. 1996. Teologi, Filsafat, Rasional, Pembaruan Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Nurcholis Madjid. 1997. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Proses Perjalanan. Jakarta:
Paramadina.
Nuril Anwar (ed). 2008. Keluar dari Kemelut; Mewujudkan cita-cita Bangsa.
Ciputat: Titian Pena.
Nurjaman, K. 2014. Manajemen Proyek. Bandung: Pustaka Setia.
Piotr Sztomka. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenda Media Group.
Peter F. Drucker. 1982. Manajemen Mencapai Hasil, Jakarta: PT. Gramedia.
Ritzer, George. 2009. Teori Sosial Post-Modern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Rivai, Veithzal. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk. Perusahaan.
Cetakan Pertama. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada.
Robert Heller, Peter Drucker. 2003. Pionir Besar Manajemen Teori Dan Praktek,
Ciracas – Jakarta: PT. Penerbit Erlangga.
Scott, Snell. A. 2011. Manajemen: Kepemimpinan dan Kolaborasi dalam Dunia
yang Kompetitif. Alih Bahasa Chriswan Sungkono dan Ali Akbar Yulianto.
Jakarta: Salemba Empat.
Syafaruddin. 2005. Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. Ciputat: Ciputat Press.
105
Soehartono, Irawan. 2006. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Prenata Media Grup.
Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Stoner, James A.F. 2006. Manajemen. Jilid I. Edisi Keenam. Jakarta: Salemba
Empat.
Sudjana. 2006. Metode Statitik. Edisi 6. Bandung: Tarsito.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung:
CV.Alfabeta.
Syafaruddin, Alwi. 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia Strategi Keunggulan.
Kompetitif. Yogyakarta: Penerbit BPFE.
Sztompka, Piotr. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenata Media Grup.
Thamrin, Moh. Husni & Ma’roov. 2013. Pilar Dasar Gerakan Gerakan PII
Dasawarsa Pertama Pelajar Islam Indonesia. Jakarta: Karsa Cipta Jaya.
Turner, Lynn H. 2008. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika Kencana.
Skripsi
Ardy Jaelani. Pelajar Islam Indonesia (PII) di Yogyakarta. Skripsi S-1 Universitas
Padjajaran, 2011.
Jupri. Strategi Dakwah Pelajar Islam Indonesia Dalam Menghadapi Era
Globalisasi.UIN Jakarta : 2006.
Latipah Siti. Komunikasi Organisasi Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia
Dalam Kaderisasi. UIN Jakarta : 2011.
Yamin Awaluddin. Hubungan Antara Hasil Pelatihan Dasar Kepemimpinan PII
Dengan Sikap Kepemimpinan Siswa Di SMA Fatahillah. Universitas Negeri
Jakarta: 2010.
Dokumen PII
Arsip Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia. 1982.
Buku Induk Kaderisasi PII Periode 1998-2000
GBHO PII, TAP/2/MUKNAS XVII/1986.
106
PB PII Dokumen Sejarah PII, 2010.
PB PII Muktamar Nasional ke-25, 2004.
PB PII Muktamar Nasional ke-25, 2006.
PB PII Sistem Takdib, 2013.
Takdib, Sistem Kaderisasi PII, 2006.
Sumber Internet :
Badan Pusat Statistik Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama
2012.-jumlah sekolah dan analisis pendidikan islam di indonesia 2012. Jakarta:
Pontrenanalisis. Diunduh 12 Maret 2015.
(http://www.sekolahdasar.net/2012/10/jumlah-sd-di-indonesia-ada-
148361.html//http://www.Depdikbud.com//AnalisisStatistikpendidikanislam2
011-2012.pdf).
Sunarto, Ahmad. 2013.- Paradigma Nahdtatul Ulama Terhadap Modernisasi. Jurnal
Sosiologi Islam, Vol. II, No.2, Mei 2014
ISSN: 2089-0192 Nahdlatul Ulama. Diunduh 12 Maret
2015.(http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,42981-
lang,id-c,nasional-t,Jumlah+Pesantren+Tradisional+Masih+Dominan-.phpx)
Syahminan, 2014. –Modernisasi sistem Pendidikan Islam pada abad 21. Jurnal
Ilmiah Peuradeun ( International Multidisciplinary Journal ). UIN Ar-Raniry
Banda Aceh. Di unduh 12 Maret 2015.
https://joumals.aps.org/prx/pdf/10.1103/PhysRevX.4.011015
(http://managementsistem.blogspot.co.id/2012/11/sistem-manajemen.html
pdf.unduh7juni 2016).
Website
http://www.depdikbud.com/analisis/statistik/pendidikan/islam/2011/2012