Post on 05-Feb-2018
1
MODEL AKUNTABILITAS KEBIJAKAN PUBLIK
(Studi Kasus Jaringan Implementasi Kebijakan Pedagang Kaki Lima di Kota
Makassar)
Oleh:
Dr. Alwi, M.Si1
alwiazis_63@yahoo.com
A. Pendahuluan
Salah satu bentuk pelayanan publik adalah kebijakan publik atau program-
program pemerintah yang ditujukan kepada publik. Salah satu kebijakan publik yang
dimaksud adalah Kebijakan Pedagang Kaki Lima (PKL). Tujuan kebijakan ini adalah
untuk memberdayakan PKL yang masih tergolong masyarakat miskin. Kebijakan seperti
itu dimaksudkan untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia (Hudson & Lowe, 2004).
Bentuk pelayanan publik berupa kebijakan atau program merupakan salah satu bentuk
perwujudan akuntabilitas pemerintah terhadap publik. Akuntabilitas yang demikian ini
dalam perspektif akuntabilitas disebut akuntabilitas program (Chandler & Plano, 1982;
McKinney & Howard, 1998).
Studi ini lebih diarahkan kepada akuntabilitas publik melalui jaringan
kebijakan pemberdayaan pedagang kaki lima di Kota Makassar. Pedagang kaki lima
(PKL) merupakan kelompok masyarakat yang bergerak dalam bidang usaha skala kecil
dan rentan terhadap kemiskinan. Namun, mereka juga perlu survive termasuk dalam
kehidupan ekonomi, sebagaimana diatur dalam konstitusi pasal 27, bahwa setiap orang
berhak mendapatkan hidup dan pekerjaan yang layak. Di satu sisi, dalam menjalankan
usaha ekonomi PKL merupakan tuntutan konstitusi dan di sisi lain PKL merupakan salah
satu sumber masalah, yang menyebabkan terjadinya kemacetan lalu lintas jalan raya yang
terjadi di semua kota besar di Indonesia, termasuk Kota Metropolitan Makassar.
Berbagai upaya kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Kota Makassar
dalam penanganan PKL di Kota Makassar adalah lahirnya Peraturan Daerah No. 10
Tahun 1990 tentang Pembinaan PKL di Kota Makassar. Kemudian, disusul lahirnya
Keputusan Walikota Makassar No. 20 Tahun 2004 tentang Prosedur Tetap (Protap)
1 Ketua Program Studi Magister Administrasi Publik Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar
2
Penertiban Pedagang Sektor Informal (PKL) di wilayah Kota Makassar. Selain itu, lahir
pula kebijakan Pemerintah Pusat berupa Peraturan Presiden No 125 tahun 2012 tentang
Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
Adanya kebijakan tersebut di atas, namun belum membuahkan hasil, seperti
yang terlihat di sekitar Jalan Cokroaminoto, Pasar Sentral kesemrawutan dan kemacetan
lalu lintas terjadi setiap saat karena PKL telah mengambil sebagian badan jalan tersebut.
Pemandangan yang sama juga dapat disaksikan lapak-lapak pedagang kaki lima yang
semrawut menyebabkan pemandangan kota yang tidak bersih. Masalah yang sama terjadi
di Jalan Hertasning Kota Makassar, masayarakat terutama para pengguna jalan tersebut
sudah merasa resah dengan adanya para PKL yang menjadi peyebab terjadinya
kemacetan lalu lintas (rakyat sulsel.com, sabtu, 07/Juli/2012). Demikian pula,
berdasarkan data Disperindag Kota Makassar (2013), jumlah PKL yang ada di Kota
Makassar mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 jumlah PKL di
Kota Makassar sebanyak 10.426. Pada tahun 2010 mengalami peningkatan menjadi
sekitar 11.328 PKL dan pada tahun 2011 terjadi juga pelonjakan sekitar 11.592 PKL
yang ada di Kota Makassar.
Oleh karena itu, tujuan utama penelitian ini adalah untuk membangun model
akuntabilitas kebijakan publik melalui jaringan implementasi kebijakan PKL di Kota
Makassar, di mana tujuan tahap pertama dari tiga tahap penelitian ini adalah: 1) untuk
mengetahui tanggapan dan harapan PKL dalam implementasi kebijakan pemberdayaan
PKL di Kota Makassar; dan 2) untuk mengetahui tanggapan dan harapan para pemangku
kepentingan dalam implementasi kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Makassar.
B. Tinjauan Pustaka
1. Konsep dan Perspektif Akuntabilitas
Pentingnya akuntabilitas publik dalam konteks pelayanan publik, karena
administrator publik dan birokrasi sebagai penyelenggara pelayanan publik harus
memberikan pelayanan efektif dan efisien. Untuk dapat menjamin akuntabilitas publik,
maka menurut Frederick (1940) birokrasi harus profesional. Birokrasi yang profesional
dapat menjamin penyelenggaraan pelayanan publik yang efektif dan efisien. Keharusan
memberikan pelayanan yang efektif dan efisien, karena publik atau warga yang
3
membayar pajak untuk pembiayaan pembangunan dan pelayanan publik, sehingga
mereka harus mempertanggung jawabkan penyelenggaraannya kepada publik. Hal inilah
yang merupakan esensi dari akuntabilitas publik, sehingga Mosher (1968) menegaskan
bahwa “Responsibility may well be the most important word in all the vocabulary of
administration, public and private.” Tentunya, pertanggung jawaban yang dimaksudkan
Mosher di sini adalah pertanggung jawaban internal birokrasi sebagai penyelenggara
program pemberdayaan masyarakat miskin. Dalam hal ini mekanisme birkrasi seperti apa
yang memungkinkan penyelenggaraan program ini berjalan dengan efektif dan efisien.
Pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan yang sering muncul dalam akuntabilitas
publik (Denhardt & Denhardt, 2007). Mengapa demikian? Karena dalam kenyataannya
banyak program pemberdayaan masyarakat miskin tetapi orang miskin tidak berubah
secara signifikan ke kehidupan yang lebih baik, seperti yang data ditunjukkan pada latar
belakang di atas. Fenomena tersebut menunjukkan mekanisme yang tidak menjamin
penyelenggaraan program yang efektif dan efisien.
Selain nilai efisiensi dalam penyelenggaraan program pengentasan masyarakat
miskin, nilai demokratis juga merupakan nilai esensial dalam penyelenggaraan program
tersebut yang memastikan kepentingan-kepentingan warga tidak terabaikan. Efisiensi
penyelenggaraan suatu program tidak serta merta menjamin terpenuhinya keinginan dan
kepentingan para warga sebagai kelompok sasaran suatu program publik atau kebijakan
publik. Oleh karena itu, pelayanan publik yang diselenggarakan oleh birokrasi
pemerintahan senantiasa dikontrol oleh pejabat-pejabat terpilih oleh warga negara. Para
pejabat inilah yang memastikan apakah program-program yang dibuat pemerintah sesuai
dengan kepentingan mereka sebagai warga negara.
Akuntabilitas publik merupakan suatu konsep yang memiliki ruang lingkup
yang luas. Ia meliputi dimensi administrasi publik, politik, dan hukum. Dimensi yang
disebut pertama, administrasi publik, menjadi orientasi utama dalam pembahasan tulisan
ini, karena ialah yang menyelenggarakan langsung pelayanan publik, mulai pada pada
perumusan kebijkan, implementasi kebijakan sampai pada menilai atau mengevaluasi
kebijakan publik.
Secara konseptual, akuntabilitas publik dalam perspektif ini lebih berorientasi
pada akuntabilitas aministratif atau manajerial (Dwivedi & Jabbra, 1989; Elwood, 1993),
4
yaitu pertanggung jawaban dalam penyelenggaraan kebijakan atau program publik yang
efektif dan efisien. Dalam hal ini, rakyat sebagai pemberi mandat perlu memahami apa
dan bagaimana menjalankan kebijakan atau program publik melalui informasi tentang hal
tersebut. Pada saat ini, belum jelas bagi mereka mekanisme seperti apa untuk
mendapatkan informasi tersebut, karena belum tersedia mekanisme yang baku dalam
pemerintahan dan kalaupun ada, informasi tersebut berasal dari pihak ketiga. Mekanisme
akuntabilitas penyelenggara negara yang ada sekarang berdasarkan tata kenegaraan
adalah mekanisme yang lebih berorientasi pada akuntabilitas politik, yaitu pertanggung
jawaban penyelenggara negara/daerah terhadap wakil rakyat (DPR/D).
Oleh karena itu, penyelenggara negara perlu menyediakan mekanisme
akuntabilitas publik, agar mereka tahu uang telah diberikan melalui pajak digunakan
untuk apa, digunakan dengan benar melalui pelayanan publik yang efektif dan efisien,
atau digunakan untuk kemakmuran rakyat sebagaimana perintah UUD 1945. Hal ini yang
perlu diketahui oleh mereka sebagai pemberi mandat melalui mekanisme akuntabilitas
publik yang efektif, efisien, dan demokratis.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang efektif, efisien, dan ekonomis tidak
selamanya menjamin pelayanan publik yang demokratis. Penulis melihat pelayanan
publik yang demokratis merupakan esensi dari akuntabilitas penyelenggara negara. Oleh
karena itu, seperti apa penyelenggaraan pelayanan publik demokratis, efektif, dan efisien,
dan strategi akuntabilitas publik seperti apa, menjadi fokus diskusi pada tulisan ini.
2. Kebijakan Publik Yang Demokratis: Esensi Akuntabilitas Publik
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa salah satu bentuk pelayanan
publik adalah kebijakan publik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh pencetus
demokrasi, Abraham Lincoln, demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa kedaulatan atau pemberi mandat penyelenggara
negara adalah rakyat. Oleh karena itu, acuan utama penyelenggara negara dalam
pengelolaan negara atau pelayanan publik adalah kepentingan rakyat. Penyelenggara
negara dalam mengelola negara harus bertanggung jawab kepada mereka. Pertanggung
jawaban para penyelenggara negara kepada pemberi mandat, - rakyat, dipahami sebagai
akuntabilitas publik. Pengertian akuntabilitas tersebut sejalan dengan yang dikemukakan
5
oleh Oliver and Drewry (1996), bahwa penyelenggara negara berkewajiban memberikan
penjelasan atau justifikasi atas tindakannya dan kemudian melakukan perbaikan jikalau
mereka melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugasnya.
Pelayanan publik yang demokratis, sebenarnya, pelayanan publik yang
diselenggarakan oleh birokrasi publik dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan
warga negara (Gawthrop, 2002; Lynn, 1996). Kepentingan-kepentingan warga yang
menjadi dasar dalam penyelenggaraan pelayanan publik harus dikedepankan.
Penyelenggara pelayanan publik perlu lebih banyak ”mendengar - listening” warga
ketimbang ”mendikte - telling” dan memberikan ”pelayanan – serving” daripada
”mengarahkan – steering”. Warga negara dan pejabat publik diharapkan bekerja
bersama-sama untuk menentukan dan menyelesaikan masalah bersama dalam suatu cara
yang sifatnya kooperatif dan menguntungkan kedua belah pihak (Denhardt & Denhardt,
2003).
Dalam perspektif administrasi publik, - terutama dalam paradigma new public
service, menekankan penyelenggaraan pelayanan publik yang demokratis. Pelayanan
publik yang seperti ini memandang setiap warga memiliki berbagai kepentingan yang
perlu dipahami oleh penyelenggara negara dan direalisasikannya dalam bentuk kebijakan,
program, dan proyek. Untuk menghindari bias atas pemahaman kepentingan-kepentingan
para warga atau rakyat, maka hendaknya mereka dilibatkan dalam proses perumusan dan
implementasi kebijakan. Adanya kebersamaan antara para penyelenggara negara dengan
warga dalam hal perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan, program, dan proyek,
yang menurut penulis merupakan mekanisme yang esensial akuntabilitas publik.
Sehubungan dengan hal di atas, kebersamaan tersebut akan menghindari
kesalahan interpretasi atas kepentingan-kepentingan para warga sehingga respon para
penyelenggara negara yang berupa kebijakan akan tidak menjadi bias juga. Para
penyelenggara negara memiliki keterbatasan dalam memahami kepentingan-kepentingan
mereka, sebagaimana yang banyak terjadi selama ini, sehingga mekanisme yang
demokratis menjadi penting dalam mengatasi masalah tersebut dan dapat menjadikan
para penyelenggara negara lebih akuntabel.
Dalam studi administrasi publik terdapat banyak perspektif atau paradigma
yang menjelaskan fenomena administrasi publik. Namun, pada saat ini, setidaknya
6
dimulai akhir dekade 80 an dan awal tahun 1990 an yang memperlihatkan ”upaya-upaya
besar” dalam manajemen atau administrasi publik, terdapat tiga perspektif yang
mendapat perhatian banyak ahli dalam bidang ini, yaitu perspektif administrasi publik
klasik – old public administration, manajemen publik baru, - new public management,
dan pelayanan publik baru – new public service. Sebagai suatu paradigma, tentunya,
memiliki perbedaan sudut pandang terutama dari sisi epistemologis.
Perspektif administrasi publik klasik atau birokrasi klasik lebih memfokuskan
pada penyelenggaraan pelayanan publik yang efisien dengan penekanan lebih pada
pengaturan (Weber dalam shafritz dan Hyde, 1987). Penyelenggara (birokrasi
pemerintahan) yang menentukan dan menyediakan pelayanan dan barang-barang publik
(Leach et.al, 1994). Hal yang sama dikemukakan oleh Wilson (shafritz dan Hyde, 1987),
penyelenggaraan pelayanan publik yang efisien dilakukan dengan pemisahan fungsi
politik dan fungsi administrasi. Fungsi politik memusatkan perhatian pada perumusan
kebijakan sedangkan fungsi administrasi adalah menjalankan atau mengimplementasikan
kebijakan yang telah dirumuskan oleh politik.
Perspektif new public mangement merupakan suatu perspektif dalam
administrasi publik yang menitik beratkan penyelenggaraan pelayanan publik yang
efisien dengan menggunakan teknik-teknik manajemen yang banyak dipergunakan pada
organisasi bisnis, - run government like a business (Hughes, 1994). Dalam hal ini,
penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan pada mekanisme pasar. Program-program
pelayanan publik dirancang dan dilaksanakan tergantung pada kebutuhan pasar, -
customers.
Perspektif new public service merupakan suatu paradigma dalam administrasi
publik yang menekankan penyelenggaraan pelayanan publik yang demokratis. Dalam hal
ini, penyelenggara berusaha memahami kepentingan publik (public intrest) dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Kepentingan publik yang menjadi dasar dalam dalam
penyusunan berbagai program pelayanan publik.
Perspektif ini berbeda dengan kedua pendekatan di atas, khususnya
pendekatan new public mangement yang menekankan penyelenggaraan pelayanan publik
seperti yang dilakukan pada organisasi bisnis. Dalam perspektif ini, penyelenggaraan
pelayanan publik tidak menekankan penggunaan teknik-teknik manajemen pada
7
organisasi bisnis, karena organisasi bisnis dan publik masing-masing memiliki orientasi
yang berbeda, sebagaimana yang dikemukakan oleh Denhardt & Denhardt (2003),
”government shouldn’t run like a business; it should be run like a democracy. ....both
elected and appointed public servants are acting on this principle and expressing
renewed commitment to such ideals as the public interest, the governance process, and
expanding democratic citizenchip.”
3. JARINGAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK: Wujud Akuntabilitas
Kebijakan Publik
Akuntabilitas publik memiliki berbagai tipe di antaranya akuntabilitas hukum,
politik, profesional, dan akuntabilitas moral (Dwivedi & Jabra, 1989). Para ahli tentang
konsep ini membagi tipe beragam namun terdapat pengistilahan yang sama, seperti
akuntabilitas kebijakan atau program disebut oleh Dwivedi & Jabra, 1989) sebagai
akuntabilitas politik dan Candler & Plano (1982) menyebutnya sebagai akuntabilitas
program. Akuntabilitas kebijakan atau program merupakan pertanggung jawaban para
pejabat publik tentang perilakunya dan pemanfaata sumber-sumber daya kepada publik,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Bovens ( 2005) bahwa akuntabilitas mengacu
kepada suatu hubungan di antara suatu aktor dengan suatu forum, di mana aktor
mempunyai kewajiban untuk menjelaskan dan menjastifikasi perilakunya, sedangkan
forum dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan, penilaian dan sanksi kepada aktor.
Sebagai wujud akuntabilitas publik, jaringan implementasi kebijakan publik
merupakan suatu wadah yang menghimpun semua pemangku kepentingan dalam
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan dengan prinsip resources sharing.
Oleh karena itu, pada umumnya teori-teori jaringan, seperti teori jaringan dan teori
ketergantungan sumber daya, menjelaskan pemanfaatan sumber-sumber daya secara
bersama sehingga tujuan dapat dicapai dengan efisien, efektif, dan demokratis. Dalam
jaringan implementasi kebijakan memiliki struktur yang tidak khirarkis antara satu aktor
dengan aktor lainnya, semuanya berkedudukan sama dalam organisasi ini yang masing-
masing memiliki sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah
dan mencapai tujuan yang efektif dan efisien serta demokratis.
8
Secara konseptual, jaringan antar organisasi merupakan suatu konsep yang
telah banyak digunakan untuk perumusan kebijakan atau pengambilan keputusan,
implementasi kebijakan, dan strategi untuk memperoleh sumber-sumber daya penting
yang dibutuhkan suatu organisasi serta menyelesaikan masalah-masalah kompleks
organisasi. Munculnya sistem jaringan ini seiring dengan perkembangan zaman yang
tidak lagi berpikir menyelesaikan berbagai masalah secara sendiri-sendiri, melainkan
perlu melibatkan pihak lain atau organisasi lain untuk menyelesaikan masalah-masalah
internal organisasi. Para pakar yang berkonsentrasi dengan hal ini menyadari (dibuktikan
dari berbagai hasil kajian) bahwa efektivitas organisasi, baik publik maupun privat,
sangat ditentukan oleh jaringan antar organisasi (Sydow 2002; Becerra, 1999). Bahkan
hasil penelitian Pfeffer and Salanick (Powers, 2001), menunjukkan bahwa hanya 10
persen kinerja organisasi ditentukan oleh faktor internal, selebihnya (90 persen) didorong
oleh faktor luar organisasi, yang memerlukan jaringan antar organisasi.
Akuntabilitas publik yang demokratis mengharapkan keterlibatan semua
pemangku kepentingan dalam proses perumusan masalah dan implementasi program.
Keterlibatan ini menunjukkan adanya tanggung jawab bersama dalam proses tersebut.
Dalam hal ini, adanya tanggung jawab bersama ini menunjukkan adanya kebersamaan
dalam mengatasi berbagai masalah publik dan nilai ini sangat diperlukan untuk menjamin
keberhasilan pelaksanaan program sebagai ”obat” terhadap penyakit sosial yang telah
diidentifikasi sebelumnya. Akuntabilitas publik yang demokratis memandang kelompok
sasaran kebijakan atau program sebagai warga negara yang memiliki kepentingan
(interests) tertentu yang perlu dipahami dan diakomodir oleh penyelenggara negara
(Denhardt & Denhardt, 2007).
Selain demokratis, penyelenggara pemerintahan negara/daerah perlu
menyelenggarakan amanah rakyat dengan efektif dan efisien. Penyelenggaraan yang
demikian ini memerlukan adanya jaringan antar organisasi berbagai pemangku
kepentingan. Dalam pandangan jaringan antar organisasi bukan hanya mengandalkan
kerja sama antar organisasi pemangku kepentingan tetapi diutamakan adalah
pemanfaatan bersama sumber-sumber daya (resources sharing) di antara organisasi-
organisasi pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses perumusan masalah dan
implementasi program. Ketidak efisienan akan terjadi kalau setiap organisasi masing-
9
masing merumusakan masalah dan menjalankan program yang sama. Dalam hal ini,
jaringan antar organisasi akuntabilitas publik yang demokratis adalah penyelenggara
pemerintahan negara/ daerah melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses
perumusan masalah dan implementasi program serta adanya pemamfaatan bersama
sumber-sumber daya dalam proses tersebut.
4. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Tabel 1 berikut ini menunjukkan fokus penelitian ini yang memperjelas
kedudukakannya dalam pengembangan ilmu adaministrasi publik.
Tabel 1:
Hasil-hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan
Peneliti Judul Penelitian Temuan Penelitian Perbedaan
Adang Djaha
(2012)
Kontrol dan
Akuntabilitas
Birokrasidalam
Pelayanan Pendidikan
Dasar di Kabupaten
Alor
Pengeloaan dana BOS dan
DBEP, birokrasi
cenderung tertutup
daripada transparan.
Kesenjangan antara
perilaku dan pengetahuan
inii dimaknai sebagai
suatu hipokrit
sebagaimana dijelaskan
dalam model “sala” dari
Riggs.
Jaringan
kebijakan publik
sebagai wujud
akuntabilitas
publik
Taufik (2010) Analisis Akuntabilitas
Politik dalam
Penyelenggaraan
Pemerintahan Kota
Akuntabilitas politik
cukup tinggi dari tingkat
kehadiran, kualitas
argumentasi praktikal
Lebih fokus pada
jaringan
implementasi
kebijakan publik
10
Samarinda serta intensitas
pelaksanaan dengar
pendapat yang dilakukan.
Akuntabilitas politik
dipengaruhi oleh
pengawasan dan kontrol
oleh lembaga legislatif
terhadap eksekutif sebagai
pelaku kebijakan publik;
semakin tinggi
akuntabilitas politik
semakin baik kinerja
organisasi publik
sebagai wujud
akuntabilitas
Rahmanurrasjid
(2008)
Akuntabilitas dan
Transparansi dalam
Pertanggung jawaban
Pemerintah Daerah
untuk Mewujudkan
Pemerintahan yang
Baik di Daerah
Implementasi
akuntabiliatas dan
transparansi dalam
pertanggung jawaban
pemerintah aerah
menemui kendala karena
tidak adanya evaluasi atas
penyampaian LPPD,
penyampaian LKPJ tidak
disertai perhitungan
APBD, pembahasan di
DPRD
Menyoroti
akuntabilitas
kebijakan publik
Manggaukang
(2006)
Akuntabilitas
Pemerintahan Lokal
dalam otonomi daerah:
Studi Kasus di
Pemerintah Daerah
Kabupaten Sumbawa
Akuntabilitas pemerintah
lokal dalam otonomi
daerah belum memadai.
Model akuntabilitas yang
sesuai dalam otonomi
daerah adalah model
akuntabilitas
pemerintahan lokal yang
menekankan kemitraan,
koordinasi sosial, dan
dialog
Lebih fokus pada
jaringan
implementasi
kebijakan publik
sebagai wujud
akuntabilitas
Rahmat (2009) Akuntabilitas
Birokrasi Pemerintah
Daerah dalam
Penyelenggaraan
Pelayanan Publik di
Birokrasi akuntabel dalam
penyelenggaran pelayanan
publik. Kebijakan,
kemampuan,
kepemimpinan aparatur,
penampilan fisik
Lebih berfukus
kepada
akuntabilitas
kebijakan publik
11
Kota Makasar organisasi, kehandalan,
daya tanggap, jaminan
kepastian dan empati
mempunyai hubungan
positif dengan
akuntabilitas birokrasi dan
kualitas penyelenggaraan
pelayanan
Berdasarkan tabel hasil penelitian terdahulu yang relevan dan kalau dikaitkan
dengan penelitian ini memiliki fokus yang berbeda, yaitu: 1) semua hasil penelitian di
atas melihat melihat konsep akuntabilitas sebagai pertanggung jawaban yang dilakukan
oleh pejabat publik dalam organisasi secara individu; 2) belum ada yang berfokus pada
akuntabilitas dalam pencapaian nilai-nilai administrasi publik; dan 3) belum ada yang
melihat konsep jaringan sebagai wadah yang menggabungkan nilai-nilai kontradiktif
dalam administrasi publik. Semua yang tidak difokuaskan pada penelitian di atas menjadi
perhatian utama pada penelitian ini.
5. Kerangka Konsep
Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian, tinjauan pustaka, dan hasil-
hasil penelitian terdahulu maka peneliti membangun kerangka konsep sekaligus
menunjukkan state of the art dari penelitian ini. Jaringan implementasi kebijakan publik
sebagai wujud dari akuntabilitas kebijakan publik. Dalam hal ini, organisasi publik dan
pejabat publik baik yang dipilih maupun yang ditunjuk harus menunjukkan perhatiannya
kepada warga negara melalui kebijakan-kebijakan dan program-program yang memenuhi
kebutuhan dan kepentingan dari warga negara. Di satu sisi mereka dituntut bekerja
efisien dan efektif tetap di sisi lain harus juga bekerja dengan memperhatikan kebutuhan
dan kepentingan para warga negara. Akuntabilitas kebijakan yang efisien dan demokratis
menjadi pokok perhatian penelitian ini melalui jaringan implementasi kebijakan publik.
Persoalan pemberdayaan PKL merupakan suatu masalah yang rumit karena
masalah tersbut memiliki kaitan yang banyak dan kompleks sehingga kurang
memungkinkan akan diselesaikan oleh satu lembaga. Persoalan tersebut memuntut
keterlibatan semua aktor atau , pemangku kepentingan untuk menyelesaikannya,
12
demikian pula menuntut sumber-sumber daya yang mencukupi untuk implementasi
program. Fenomena tersebut dijelaskan oleh teori jaringan dan teori ketergantungan
sumber daya serta teori akuntabilitas publik (kontrol eksternal dan profesionalisme
birokrasi). Hal ini ditunjukkan pada gambar kerangka di bawah ini.
Gambar 1: Model Akuntabilitas Kebijakan Yang Efisien dan Demokratis
C. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Kota Makassar, karena kota Makassar merupakan
kota yang paling banyak PKL yang selama 3 tahun terakhir mengalami peningkatan yang
signifikan.
2. Desain Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan kualitatif dengan strategi penelitian studi
kasus. Penggunaan desain penelitian demikian ini untuk mengungkap penyelenggaraan
jaringan implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan berdasarkan konteksnya.
Untuk mendapatkan hasil penelitian sebagaimana yang dimaksud pada tujuan
penelitian ini, maka desain penelitian berbeda antara satu tahap dengan tahap penelitian
Semua hasil –hasil penelitian terdahulu yang disebutkan di atas masih berfokus pada akuntabilitas yang diselenggarakan oleh organisasi secara individu
Fokus penelitian ini pada akuntabilitas kebijakan melalui implementor(TKPPKL) sebagai
organisasiberbasis jaringan
Teori-teori Jaringan dan Teori –teori
Akuntabilitas
Akuntabilitas
Kebijakan Publik
Yang Efisien dan
Demokratis:
13
lainnya. Pada tahun pertama ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang
tanggapan dan harapan PKL dan Pemerintah Kecamatan dan jajarannya serta LPM
dalam implementasi kebijakan pemberdayaan PKL.Tahap ini menggunakan desain
penelitian studi kasus kualitatif dengan tipe deskriptif.
3. Informan
Penentuan informan dalam penelitian ditetapkan secara purposive, yaitu mereka
yang dianggap mempunyai kompetensi dalam kaitannya dengan akuntabilitas kebijakan
PKL. Penetapan yang seperti ini didasarkan pada penilaian dari ahli (atau peneliti
sendiri) untuk tujuan tertentu atau situasi tertentu (Neuman, 1997).
Adapun informan dalam penelitian ini adalah:
a. Walikota Makassar
b. Tim Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL Kota Makassar
c. Kepala Dinas Perdagangan Kota Makassar
d. Kepala Bagian Pemberdayaan Masyarakat Kota Makassar
e. Para PKLdi Kota Makassar
f. LSM pemerhati PKL
g. Para Tokoh masyarakat di Kota Makassar
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data pada penelitian kualitatif, pengumpulan data
dilakukan melalui teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Teknik Wawancara mendalam dilakukan kepada pimpinan lembaga-lembaga
daerah, LSM, dan tokoh masyarakat yang berkaitan langsung dengan implementasi
kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Makassar. Pengamatan dilakukan pada tangibel
object yang berkaitan langsung dengan implementasi kebijakan pemberdayaan PKL di
Kota Makassar. Selain data primer yang dikumpulkan melalui wawancara mendalam
14
tersebut, juga sangat diperlukan dukungan berbagai data sekunder, seperti berbagai
dokumen yang berkaitan dengan kebijakan PKL.
Teknik dokumentasi dalam penelitian ini adalah mengumpulkan data dari
dokumen berupa peraturan-peraturan, gambar-gambar, jurnal-jurnal dan hasil-hasil
penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penanganan kemiskinan di Propinsi
Sulawesi Selatan.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Sesuai dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi
dan dokumentasi diolah dengan cara penggolongan, pengkategorian, dan
pengklarifikasian data.Data diolah melalui reduksi data, maka hasilnya akan dianalisis
dengan menggunakan strategi analisis studi kasus. Analisis data dilakukan berbeda antara
satu tahap dengan tahap lainnya. Pada tahap pertama inipenelitian ini menggunakan:
Analisis deskriptif kasus dan settingnya(Yin, 2000).
D. Hasil dan Pembahasan
1. Deskripsi Tanggapan dan Harapan PKL dalam implementasi kebijakan
pemberdayaan PKL di Kota Makassar
Secara umum penelitian ini akan mengembangkan model akuntabilitas yang
efektif dan efisien di satu sisi dan demokratis di sisi lain melalui jaringan implementasi
kebijakan PKL di Kota Makassar. Sebagai tahap awal penelitian ini berusaha
mendeskirpsikan tanggapan dan harapan para pedagang kaki lima yang berjualan di kota
makassar. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mendeskripsikan tanggapan dan
harapan para pedagang kaki lima di tiga kecamatan di Kota Makassar yaitu Kecamatan
Ujung Pandang, Kecamatan Makassar dan Kecamatan Bontoala.
Berdasarkan tabel 1 di bawah, upaya yang dilakukan oleh pemerintah
Kecamatan sampel yaitu Kecamatan Ujung Pandang, Kecamatan Makassar dan
Kecamatan Bontoala dalam melakukan penataan dan pemberdayaan PKL secara umum.
15
Pada Kecamatan Ujung Pandang para PKL menanggapi bahwa kebijakan
Pemerintah Kecamatan Ujung Pandang terhadap para PKL telah banyak berubah dimana
mereka telah diberikan lokasi khusus untuk berjualan, setelah ditutupnya lokasi jualan
Laguna yang berada dipantai losari, para pedagang diizinkan berjualan disepanjang
anjungan, hal ini berlangsung dipertengahan tahun 2013.
Berdasarkan pengakuan beberapa informan pedagang pisang epe yang
berjualan disekitar anjungan pantai losari, mereka telah diberikan izin awal januari tahun
2014 oleh ibu camat, rata-rata pedagang yang berjualan di anjungan pantai losari berasal
dari lokasi laguna dimana laguna ini adalah kawasan kuliner yang dikelola Dinas
Pariwisata Kota Makassar, tetapi disebabkan adanya konflik kepemilikan lahan dan
premanisme yang terjadi di wilayah kuliner laguna, maka Dinas Pariwisata mengajukan
kepada walikota untuk tidak lagi mengelola wisata kuliner di laguna, dan untuk meredam
gejolak yang terjadi di wilayah laguna yang berlokasi di Kecamatan Ujung Pandang,
maka Walikota menyerahkan kepada Camat Ujung pandang untuk mengelola pedagang
kaki lima yang berjualan di lokasi tersebut.
Tabel 1
Tanggapan dan Harapan para Pedagang Kaki Lima (PKL)
Kota Makassar
LOKASI Tanggapan Harapan
1.Kecamatan Ujung Pandang
2.Kecamatan Makassar
3.Kecamatan Bontoala
Lokasi berjualan
sudah ditata dilokasi
anjungan pantai
losari
Semua pedagang
telah mendapat
tanda pengenal yang
harus digunakan
oleh para PKL
Bantuan modal
kepada PKL
dipermudah
PKL menolak
Berharap jangan digusur
atau dipindah-pindahkan
ketempat yang tidak
strategis
Bersediah membayar
retribusi dengan catatan
tidak digusur-gusur lagi
Berharap pemerintah
memberikan bantuan
gerobak dan kursi yang
seragam kepada semua
PKL
Berharap mendapat
16
direlokasi kewilayah
yang tidak strategis
bantual modal PKLkota
Makassar
Mengharapkan ada pihak
Sponsor yang mau
membiayai penataan
tempat jualan PKL
Sumber: Hasil Reduksi Data, Tahun 2014
Hal yang berbeda terjadi pada kedua kecamatan yaitu Kecamatan Makassar
dan Kecamatan Bontoala yang belum menata lokasi jualan para PKL hal ini bisa dilihat
disetiap ruas jalan dapat dilihat para PKL berjualan, belum adanya penataan ini
disebabkan dikedua kecamatan sampel belum mendapat wewenang dalam menangani
PKL yang berada di wilayah mereka berbeda halnya dengan Kecamaatan Makassar yang
mendapatkan Wewenang melalui Peraturan Walikota Makassar Nomor 80 Tahun 2013
tentang penataan PKL dan pemungutan retribusi.
Para PKL di Kecamatan Makassar dan Kecamatan Bontoala memang terlihat
semrawut dan tidak teratur mengganggu ketertiban, keindahan serta kebersihan
lingkungan.Lokasi berdagang yang sembarangan bahkan cenderung memakan bibir jalan
sangat mengganggu lalu lintas baik bagi pejalan kaki maupun pengendara motor atau
mobil. Selain itu, parkir kendaraan para pembeli yang tidak teratur juga sangat
mengganggu ketertiban. Belum lagi masalah limbah atau sampah. Selama ini para PKL
belum sadar akan pentingnya kebersihan sehingga keindahan di lingkungan pun sulit
diwujudkan. Mutu barang yang diperdagangkan juga harus diperhatikan, sehingga
nantinya tidak merugikan konsumen. (Hasil Pengamatan Penullis 2014).
Langkah yang diambil oleh Pemerintah Kota Makassar untuk memberdayakan
PKL adalah adanya bantuan modal yang diberikan pemerintah yaitu dana bergulir kepada
pengusaha kecil termasuk PKL didalamnya. Dana bergulir ini dikelola oleh LPM disetiap
kelurahan. Jumlah dana yang diperoleh dari pemerintah itu jumlahnya bervariasi
tergantung jenis usaha para PKL yaitu berkisar Rp 500.000,- sampai dengan Rp
2.000.000,-. Program bantuan dana itu, sayangnya tidak menyertakan tenaga pendamping
untuk mendapingi PKL dalam mengelola dana bergulir tersebut sehingga tingkat
keberhasilannya juga sulit diukur. Dana bergulir ini menurut PKL bukan bantuan modal
17
dari pemerintah tetapi sebuah pinjaman lunak yang harus dibayar beserta bunganya
kepada pihak Pemerintah Kota Makassar.
2. Deskripsi tanggapan dan harapan Pemangku Kepentingan Dalam Pemberdayaan
PKL
Dalam implementasi kebijakan pemberdayaan PKL ada beberapa pemangku
kepentingan yang sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan kebijakan tersebut,
yaitu: pemerintah kecamatan, pemerintah kelurahan, LPM, Badan Pemberdayaan
Masyarakat, dan Disperindag. Untuk memahami tanggapan dan harapan para pemangku
kepentingan dalam implementasi kebijakan pemberdayaan PKL di Kota Makassar dapat
dilihat pada tabel 2 di bawah ini.
Pada tabel 2 di bawah ini masih ada kendala-kendala yang dihadapi oleh
Pemerintah Kota Makassar dalam menjalankan pemberdayaan PKL. Kendala yang
dihadapi dalam proses pemberdayaan PKL ini adalah bagaimana merubah pola pikir PKL
dari pola pikir lama ke pola pikir baru, merubah kesadaran PKL akan kebersihan tempat
jualan serta kebersihan barang dagangannya. menurut pihak kecamatan untuk mengubah
kebiasaan membuang sampah disembarang tempat saja sangat sulit dilakukan apalagi
mau merubah pola pikir menjadi berdayaguna. Kebersihan ini pula yang menjadi
hambatan di pihak kelurahan sehingga dibeberapa sampel kelurahan, masing-masih
kelurahan memberikan tanggung jawab kepada para PKL untuk membersihkan lokasi
jualan mereka.
Tabel 2
Tanggapan dan Harapan para Pemanggu Kepentingan
Dalam Pemberdayaan PKL (PKL) Kota Makassar
Pemangku Kepentingan Tanggapan Harapan
Kecamatan Merubah pola pikir
PKL
Lokasi berjualan PKL
Sulit diatur
Tidak mengizinkan
penambahan jumlah
PKL
Pemerintah harus satu
kata dari level atas
sampai leve bawah
dalam melakukan
pemberdayaan PKL
Pemerintah dapat
Menyiapkan Lahan
PKL harus mandiri
dalam usahanya dan
18
dilaksanakan di rumah
masing-masing
PKL perlu mendapat
bantuan modal
Kelurahan Kebersihan lokasi
jualan menjadi
tanggung jawab PKL
Tidak mengizinkan
penambahan jumlah
PKL
PKL ditempatkan
disatu lokasi agar
mudah di kontrol
Memberikan bantuan
modal kepada pkl
SDM PKL yang rendah
dan tingkat emosional
yang tinggi
Sumber: Hasil Reduksi Data, 2014
Pada tabel 2 di atas masih ada kendala-kendala yang dihadapi oleh Pemerintah
Kota Makassar dalam menjalankan pemberdayaan PKL. Kendala yang dihadapi dalam
proses pemberdayaan PKL ini adalah bagaimana merubah pola pikir PKL dari pola pikir
lama ke pola pikir baru, merubah kesadaran PKL akan kebersihan tempat jualan serta
kebersihan barang dagangannya. Menurut pemerintah kecamatan untuk mengubah
kebiasaan membuang sampah disembarang tempat saja sangat sulit dilakukan apalagi
mau merubah pola pikir menjadi berdayaguna. Kebersihan ini pula yang menjadi
hambatan di pihak kelurahan sehingga dibeberapa sampel kelurahan, masing-masih
kelurahan memberikan tanggung jawab kepada para PKL untuk membersihkan lokasi
jualan mereka.
Hambatan yang berikutnya berdasarkan tabel 2 di atas adalah Lokasi berjualan
para PKL yang sangat sulit diatur dapat dilihat pada tiga kecamatan sampel, para PKL
berada disepanjang jalan yang merupakan daerah larangan berjualan, sehingga
keberadaan mereka tidak saja merusak tata kota juga menimbulkan kemacetan terutama
di wilayah-wilayah yang menjadi sentra PKL. Lokasi jualan mereka tidak mengindahkan
aturan yang diberikan pemerintah, jualan meraka bahkan mengambil sebagian ruas jalan
sehingga menggagu arus lalu lintas mobil, motor bahkan bagi pejalan kaki.
Pemangku kepentingan lain yang menentukan kebijakan pemberdayaan PKL
di Kota Makassar adalah Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Badan
Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Kota Makassar, dan Dinas Perdagangan dan
19
Perindustrian (Desperindag) Kota Makassar. Tanggapan dan harapan pemangku
kepentingan ini dapat ditunjukkan pada tabel 3 di bawah ini.
LPM adalah lembaga satu-satunya yang diakui pemerintah dalam melakukan
pemberdayaan masyarakat dan hal ini diperkuat dengan Peraturan Walikota No.1 Tahun
2013. Dalam pemberdayaan PKL, LPM diberikan mandat oleh pemerintah Kota
Makassar untuk menyalurkan dana bergulir kepada para PKL di Kota Makassar dengan
perwakilan LPM di tingkat kelurahan, jumlah LPM di kota makassar sebanyak 142 LPM,
masing-masing kelurahan diwakili satu LPM. Dana yang digulirkan kepada LPM sebesar
Rp50.000.000,- . Dana ini diberikan dalam 2 tahapan yaitu tahap pertama sebesar
Rp25.000.000,- dan tahap kedua sebesar Rp25.000.000,- . Dana bergulir ini diberikan
sebagai bantuan modal para PKL dengan nilai bervariasi tergantung jenis jualan, mulai
dari Rp500.000,- sampai dengan Rp2.000.000,-. Pemberian bantuan modal ini diseleksi
oleh pihak LPM.
Bantuan modal yang diberikan oleh pemerintah ternyata dilapangan tidak
semuanya berhasil, masih banyak didapati para PKL enggan mengembalikan dana
pinjaman ini, para PKL menganggap bahwa dana bergulir ini adalah dana bantuan yang
tidak perlu dikembalikan. Adanya masalah dan kendala ini pihak LPM tetap berharap
untuk memberdayakan para PKL butuh bantuan modal yang banyak sehingga para PKL
bisa menambahkan jumlah dagangan mereka. Dengan bantuan modal pemerintah para
PKL bisa menata jualan mereka, yang dari jualannya hanya asongan, bisa memiliki
gerobak sendiri, atau PKL yang awalnya hanya berjualan kopi dengan bantuan modal
mereka bisa menambahkan dagangan lain didalam warung mereka.
Tabel 3
Tanggapan dan Harapan para Pemanggu Kepentingan
Dalam Pemberdayaan PKL (PKL) Kota Makassar
LOKASI TANGGAPAN HARAPAN
LPM Ada bantuan dana bergulir
dari pemerintah daerah
kepada PKL
Tingkat Kesadaran PKL
Meningkatkan bantuan
modal kepada PKL
20
terhadap kebersihan
sangat rendah
PKL sudah mengganggu
masyarakat
Badan Pemberdayaan
Masyarakat Kota Makassar
Data base jumlah PKL
tidak akurat
Pemerintah memiliki
data akurat sehingga
bantuan-bantuan dapat
diberikan secara merata
Memberikan
Ketrampilan-
ketrampilan khusus
kepada para PKL
Merubah Pola pikir para
PKL
DISPERINDAG Melakukan sosialisasi
kepada PKL (5)
PKL terbentur dalam
persoalan Modal (7)
Melakukan Relokasi
PKL
Menciptakan pencitraan
PKL yang tidak
mengganggu
masyarakat, tidak
mengganggu lalu lintas
dan tidak mengganggu
penataan kota
Sumber: Hasil Reduksi Data, 2014
Berdasarkan tabel 3 di atas, upaya sistematis yang juga dilakukan oleh BPM
Kota Makassar untuk memberdayakan masyarakat miskin termasuk PKL didalamnya
adalah dengan memberikan ketrampilan-ketrampilan khusus kepada PKL selain
memberikan bantuan berupa barang. Dengan memberikan bantuan ketrampilan kepada
mereka, mereka bisa mandiri, tidak lagi memberikan ikan tetapi memberikan pancing
agar mereka bisa mengail rejeki sendiri. Ketrampilan-ketrampilan ini akan bisa mereka
terapkan untuk berusaha, mereka bisa lebih berdaya.
Pihak BPM Kota Makassar lebih memfokuskan pemberian bantuan dalam
bentuk barang dan pelatihan ketrampilan. Bantuan dalam bentuk uang tunai sangat
dihindari. Bantuan uang tidak dapat memberdayakan mereka, malah membuat
masyarakat semakin tidak berdaya, membuat masyarakat malas dan menjadi masyarakat
yang hanya mengharap bantuan saja. Dengan memberikan bantuan dalam bentuk barang
dan ketrampilan, masyarakat akan berusaha sendiri dan akan merubah pola pikir mereka
21
yang selama ini selalu berfikir dengan pola lama, selalu berfikir modal menjadi hambatan
mereka maju dan sejahtera.
Selanjutnya pembinaan PKL yang dilakukan oleh Disperindag masih pada
tataran proses pendataan PKL diKota Makassar, Pendataan ini dibantu oleh pihak
kecamatan dan pihak lainnya. Selain itu, Disperindag juga membantu para PKL untuk
mendapatkan modal usaha dan memberikan bantuan gerobak kepada PKL.
PKL memang susah untuk dihilangkan, kebijakan yang dilakukan oleh
Pemerintah Kota Makassar dengan implementor Pemerintah Kecamatan, Pemerintah
Kelurahan, dan LPM belum bisa terlaksana dengan baik. Hal ini bisa dilihat bahwa
relokasi yang diharapkan sebagai solusi utama terbentur dari tidak ditemukan kata
sepakat oleh pihak pemerintah dan para PKL, sangat sulit menemukan lokasi yang
strategis dengan biaya yang murah. Menangani PKL dan melakukan penertiban PKL
memang bukan hal yang mudah, tetapi sebuah persoalan pasti memiliki jalan keluar
untuk mengatasi masalah tersebut. Penanganan PKL perlu kerjasama dengan berbagai
elemen masyarakat, pemerintah juga dituntut untuk serius dan memiliki integritas dalam
menjalankan kebijakan terkait PKL.
Untuk merubah citra PKL tidaklah mudah tetapi mengubah paradigma
pemerintah tentang PKL yang semata-mata mengganggu keindahan dan ketertiban kota
dan mengubah paradigma bahwa PKL adalah beban pemerintah menjadi PKL adalah aset
untuk menambah PAD kota makassar, tetapi jangan dengan alasan ini maka pemerintah
membiarkan para PKL tumbuh subur dan bisa berjualan tanpa mematuhi aturan yang
berlaku. Pemerintah Kota Makassar harus tegas namun tentunya bukan dengan main
gusur tetapi dibutuhkan komunikasi dua arah dengan penuh keterbukaan.
E. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
a. PKL tidak bersedia untuk direlokasi kedaerah sesuai dengan keinginan
Pemerintah Kota Makassar, mereka berasumsi bahwa dengan dilakukan relokasi
sama dengan membunuh kehidupan mereka sehingga para PKL tetap ingin
berjualan didaerah yang ramai atau didaerah jalan raya karena akan
menguntungkan dagangan mereka, mereka bersediah membayar dengan jumlah
22
lebih dari yang seharusnya tetapi mereka tetap diizinkan berjualan ditempat yang
mereka anggap strategis
b. Pemerintah Kota Makassar dalam penanganan pemberdayaan para PKL masih
pada tataran sosialisasi tentang bagaimana kebersihan lokasi tempat berjualan
para PKL. Pemberdayaan PKL yang dimaksudkan oleh pihak pemangku
kepentingan dalam kebijakan pemberdayaan PKL adalah bagaimana mereka
direlokasi ke daerah luar kota, bagaimana PKL tidak lagi berjualan di Kota
Makassar.
2. Saran
1. Pemerintah perlu duduk bersama dengan para pemangku kepentingan kebijakan
pemberdayaan PKL dalam mengatasi masalah-masalah PKL, terutama masalah
lokasi berjualan para PKL.
2. Pemerintah perlu menata PKL agar bernilai jual pariwisata sehingga cita-cita Kota
Makassar sebagai Kota Dunia bisa terwujud.
3. Pemerintah perlu menganggarkan dana kepada para pihak leading sector untuk
menjalankan program mereka dalam pemberdayaan PKL.
Daftar Pustaka
Adang Djaha, Ajis. 2012. Kontrol dan Akuntabilitas Birokrasi dalam Pelayanan
Pendidikan Dasar di Kabupateen Alor. Disertasi. Makassar: Program Paasca
Sarjana Unhas.
Alwi. 2007. Analisis Tentang Sistem Jaringan Antar Organisasi Dalam Penentuan
Strategi Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi Kasus Pada Badan Pengelola
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (BP-KAPET) Parepare di Provinsi
Sulawesi Selatan. (Disertasi). Program Pascasarjana UNPAD, Bandung.
Alwi. 2005. Strategi Pemberantasan Korupsi Birokrasi Melalui Sistem Jaringan Antar
Organisasi di Indonesia. Artikel Dalam Jurnal Ilmu Administrasi. STIA LAN
Bandung. Vol.2. No. 2
23
Barzelay, Michael, with Armajani, Babak J. 1992. Breaking Through Bureaucracy : A
New Vision for Managing in Government. California : University of California
Press.
Becerra, Raquel L.1999. Interorganizational Service Delivery Systems : Studying a
Different Kind of Arrangement. Dalam Proceeding Twelfth Annual
International conference of Public Administration Theory Network. Florida.
Bevir, M., 2007. Encyclopedia of Governancce. California: Sage Publications, Inc.
Caiden, Gerald E. 1988. The Problem of Ensuring the Public Accoutability of Public
Officials. In Dwivedy, O.P & Jabbra, Joseph G. (Editors). Public Service
Accountability: A Comparative Perspective. USA: Kumarian Press, Inc.
Candler, Ralph C. & Plano Jack, C., 1982. The Public Administration dictionary. New
York: John Wiley & Sons.
Denhardt, Janet V. and Denhardt, Robert B. 2003. The Public Service: Service, not
Steering. USA: M.E. Sharpe, Inc.
Dwivedy, O.P & Jabbra, Joseph G. 1988. Public Service Responsibility and
Accountability. In Dwivedy, O.P & Jabbra, Joseph G. (Editors). Public
Service Accountability: A Comparative Perspective. USA: Kumarian Press,
Inc.
Esman, Milton J. 1991. Management Dimension of Development : Perspectives and
Strategies. USA : Kumarian Press.
Gawthrop, Louis C. 2002. Public Service as the Parable of Democracy. Dalam Jun, Jong
S. 2002. Rethinking Administrative Theory, The Callenge of the New Century.
USA: Praeger Publishers.
Gormley Jr., William T. & Balla, Steven J. 2004. Bureaucracy and Democracy:
Accountability and Performance. USA: CQ Press.
Gulati, Ranjay; Gargiulo, Martin. 1998. Where Do Interorganizational Networks Come
Frome ? Melalui <http://www.ranjaygulati.com/new/research/interorg.pdf>
[3/30/2004]
Hill, Carey. 2002. Network Literature Review: Conceptualizing and Evaluating
Networks. Melalui <http://www.sacyhn.media/pdf/literatureReview.pdf>
[3/30/2004]
Hodge, B.J., & Anthony William P. 1988. Organization Theory. (3rd ed.). USA : Allyn
and Baconn, Inc.
24
Hughes, Owen E. 1994. Public Management & Administration : an Introduction. Great
Britain : The Macmillan Press Ltd.
Jaffee, David. 2001. Organization Theory : Tension and Change. New York : McGraw-
Hill Companies, Inc.
Jones, Gareth R. 2004. Organizational Theory, Design, and Change : Text and Cases.
USA : Pearson Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey.
Leach, Steve, & John Stewart, Kieron Walsh. 1994. The Changing Organization and
Management Of Local Government. Great Britain : The Macmillan Press Ltd.
Lynn, Jr, Laurence E. 1996. Public Management as Art, Science, and Profession. USA:
Chatham House Publisers, Inc.
Osborn, David, & Plastrik, Peter. 2000. Memangkas Birokrasi : Lima Strategi Menuju
Pemerintahan Wirausah. Terjemahan Abdul Rosyid, Ramelan,Jakarta : PPM.
Osborn, David & Gaebler, Ted. 1995. Mewirausahakan Birokrasi. Abdul Rosyid.Jakarta
: Pustaka Binaman Pressindo.
Oliver, Dawn & Drewry, Gavin. 1996. Public Service Reforms: Issues of Accountability
and Public Law. England: Pinter.
Powers, Jennifer Goodall. (2001). The Formation of Interorganizational Relationships
and the Development of Trust, (Dissertation) Melalui
<http://www.pogodesigns.com/jp/jpowers.pdf>[3/30/2004]
Roberts, Nancy. 2000. Wicked Problems and Network Approaches to Resolution. Dalam
International Public Management Review. Vol. 1, Issue 1. – Electronic Journal
<http://www.ipmr.net> [10/18/2003]
Scott, W. Richard. 2001. Institution and Organizations (2nd). USA: Sage Publications
Inc.
Weber, Max. 1987. Bureaucracy. Dalam Shafritz, Jay M. & Ott, J. Steven. Classics of
Organization Theory. (2nd ed.). hlm. 81 – 86. USA ; The Dorsey Press.
Wilson, Woodrow.1987. The Study Of Administration. Dalam Shafritz, Jay M. & Hyde,
Albert C. 1987. Classic of Public Administration. (2nd Edition). USA ; The
Dorsey Press.