Post on 03-Jan-2016
LAPORAN PENDAHULUAN
DAN ASUHAN KEPERAWATAN MIASTENIA GRAVIS
Disusun Oleh:
1. Eka septiarini
2. Eka setya w
3. Fisnosia rahmawati
4. Kiki widianto
5. Oktafian Y.P
6. Qudwatunisa
7. Pradita anartiwi
8. Tri Widianto
Kelas II B
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2013
LAPORAN PENDAHULUAN
A. DEFINISI
Miastenia Gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi
neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang
(volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi
saraf cranial. Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada
wanita antara 15-35 tahun dan pada pria sampai dengan 45 tahun (Brunner &
Suddarth, 2002)
Miastenia gravis merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-satunya
penyakit neuromuscular dengan gabiungan antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot
volunteer dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 – 20 kali lebih lama
dari normal ( price dan Wilson).
B. ETIOLOGI
1. Autoimun : direct mediated antibody
2. Virus
3. Pembedahan
4. Stres
5. Alkohol
6. Tumor mediastinum
7. Obat-obatan :
- Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin, erythromycin)
- B-blocker (propranolol)
- Lithium
- Magnesium
- Procainamide
- Verapamil
- Chloroquine
- Prednisone
C. PATOFISIOLOGI
Dasar ketidaknormalan pada Miestenia Gravis adalah adanya kerusakan pada
transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau
hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada sambungan neuromuscular.
Penelitian memperlihatkan adanya penurunan 70% - 90% reseptor asetilkolin pada
sambungan neuromuscular setiap individu. Mieastenia Gravis dipertimbangkan
sebagai penyakit auto imun yang bersikap langsung melawan reseptor asetilkolin
(AChR) yang merusak transmisi neuromuscular.(Brunner & Suddarth, 2002)
Otot rangka atau otot lurik dipersarafi oleh saraf besar bermielin yang berasal
dari sel kornu anterior medulla spinalis dan batang otak. Saraf-saraf ini mengirimkan
aksonya dalam bentuk saraf-saraf spinal dan cranial menuju ke perifer. Masing-
masing saraf memiliki banyak sekali cabang dan mampu merangsang sekitar 2000
serabut otot rangka. Gabungan antara saraf motorik dan serabut-serabut otot yang
dipersarafi disebut unit motorik. Meskipun setiap neuromotorik mempersarafi banyak
serabut otot, tetapi setiap serabut otot dipersarafi oleh hanya satu neuron motorik
( Price dan Wilson).
Daerah khusus yang merupakan tempat pertemuan antara saraf motorik
dan serabut otot disebut sinaps neuromuscular atau hubungan neuromuscular.
Hubungan neuromuscular merupakan suatu sinaps kimia antara saraf dan otot yang
terdiri atas 3 komponen dasar, yaitu unsure prasinaps, elemen postsinaps, dan celah
sinaps yang mempunyai lebar sekitar 200 A. unsure prasinaps terdiri atas akson
terminal dengan vesikel sinaps yang berisi asetilkolin yang merupakan
neurotransmitter.
Asetilkolin disintesis dan disimpan dalam akson terminal. Membran plasma
akson terminal disebut membran prasinaps. Unsure postsinaps terdiri dari membran
postsinaps ( post-funtional membrane) atau lempeng akhir motorik serabut otot.
D. PATHWAY
Gangguan autoimun yang merusak
Reseptor asetikolin
Jumlah reseptor asetilkolin berkurang
Pada membran postsinaps
Kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju ke sel-sel otot
Karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal
Membran postsinaps pada sambungan neuromuscular
Penurunan hubungan neuromuscular
Kelemahan otot-otot
Otot-otot ocular Otot wajah, laring,
faring
Otot volunteer Otot pernapasan
Gangguan otot levator
Palpebran
Regurgitasi makanan
kehidung pada
saat menelan, suara
abnormal
ketidakmampuan
menutup rahang
Kelemahan otot-otot
rangka
Ketidakseimbangan
batuk efektif kelemahan
otot-otot pernafasan
Ptosis & diplopia 3. resiko tinggi aspirasi
4. gangguan
pemenuhan nutrisi
7. kerusakan
komunikasi verbal
5. hambatan mobilitas
fisik
6. intoleransi aktivitas
1. ketidakefektifan pola
nafas
2. ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
8. Gangguan citra
diri
Krisis miastenia
kematian
E. KLASIFIKASI
Klasifikasi klinis
Kelompok I Miastenia Okular Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan
diplopia. Sangat ringan tidak ada kasus kematian.
Kelompok Miastenia Umum
a. Miastenia umum ringan Awitan (onset) lambat, biasanya pada mata lambat
lahun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar
System pernafasan tak terkena. Respon terhadap
terapi obat baik.
Angka kematian rendah
b. Miastenia umum sedang Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala
ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan
terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar
Disartria, disfagia, cepat lapar, sukar mengunyah
lebih nyata dibandingkan dengan Miastenia Gravis
umum ringan. Otot-otot pernafasan terkena.
Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan
dan aktivitas klien terbatas, tetapi angka kematian
rendah.
c. Miastenia Umum berat 1. Fulminan akut:
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot
kerangka dan bulbar dan mulai terserangnya otot-
otot pernafasan.
Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam
waktu 6 bulan.
Respon terhadap obat buruk.
Insiden krisis miastenik, polinergik, maupun krisis
gabungan keduanya tinggi.
Tingkat kematian tinggi
2. Lanjut:
Miastenia gravis berat timbul paling sedikit 2
tahun setelah awitan gejala-gejala kelompok I atau
II.
Miastenia gravis dapat berkembang secara
perlahan atau tiba-tiba.
Respon terhadap obat dan prognosis buruk
Sumber: price dan Wilson, patofisiologi: konsep klinik proses-proses
penyakit,Jakarta:EGC.1995.
F. MANIFESTASI KLINIK
Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrim dan mudah mengalami
kelelahan, yang umumya memburuk setelah aktivitas dan berkurang setelah istirahat.
Pasien dengan penyakit ini mengalami kelelahan hanya karena penggunaan tenaga
sedikit seperti menyisir rambut mengunyah dan berbicara, dan harus menghentikan
segalanya untuk istirahat. Berbagai gejala yang muncul sesuai dengan otot yang
terpengaruh. Otot-otot simetris terkena, umumya itu dihubungkan dengan saraf
cranial. Karena otot-otot ocular terkena, maka gejala awal yang muncul adalah
diplopia (penglihatan ganda) dan ketosis ( jatuhnya kelopak mata). Ekspresi wajah
pasien yang sedang tidur terlihat seperti patung, hal ini disebabkan karena otot-otot
wajah terkena. Pengaruhnya terhadap laring menyebabkan disfonia ( gangguan suara)
dalam membentuk bunyi suara hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata-kata.
Kelemahan pada otot-otot bulbar menyebabkan masalah mengunyah dan menelan dan
adanya bahaya tersedak dan aspirasi. Beberapa pasien sekitar 15 % - 20% mengeluh
lemah pada tangan dan otot-otot lengan, dan biasanya berkurang, pada otot kaki
mengalami kelemahan yang membuat pasien jatuh. Kelemahan diafragma dan otot-
otot intercostals progresif yang menyebabkan gawat nafas, yang merupakan keadaan
darurat akut. (Brunner & Suddarth, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8.Jakarta:
EGC.).
Secara singkat pasien dengan Miastenia Gravis memiliki manifestasi klinik
berupa:
1. Kelemahan otot mata dan wajah (hampir selalu ditemukan)
Ptosis
Diplobia
Otot mimik
2. Kelemahan otot bulbar
Otot-otot lidah
Suara nasal, regurgitasi nasal
Kesulitan dalam mengunyah
Kelemahan rahang yang berat dapat menyebabkan rahang terbuka
Kesulitan menelan dan aspirasi dapat terjadi dengan cairan è batuk dan
tercekik saat minum
Otot-otot leher
Otot-otot fleksor leher lebih terpengaruh daripada otot-otot ekstensor
3. Kelemahan otot anggota gerak
4. Kelemahan otot pernafasan
Kelemahan otot interkostal dan diaphragma menyebabkan retensi CO2 è
hipoventilasi è menyebabkan kedaruratan neuromuskular
Kelemahan otot faring dapat menyebabkan gagal saluran nafas atas
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratorium
Anti-acetylcholine receptor antibody
85% pada miastenia umum
60% pada pasien dengan miastenia okuler
Anti-striated muscle
Pada 84% pasien dengan timoma dengan usia kurang dari 40 tahun
Interleukin-2 receptor
Meningkat pada MG
Peningkatan berhubungan dengan progresifitas penyakit
2. Imaging
X-ray thoraks
Foto polos posisi AP dan Lateral dapat mengidentifikasi timoma sebagai
massa mediatinum anterior
CT scan thoraks
Identifikasi timoma
MRI otak dan orbita
Menyingkirkan penyebab lain defisit Nn. Craniales, tidak digunakan
secara rutin
3. Pemeriksaan klinis
Menatap tanpa kedip pada suatu benda yg terletak diatas bidang kedua mata
selama 30 dtk, akan terjadi ptosis
Melirik ke samping terus menerus akan tjd diplopia
Menghitung atau membaca keras2 selama 3 menit akan tjd kelemahan pita
suara à suara hilang
Tes untuk otot leher dg mengangkat kepala selama 1 menit dalam posisi
berbaring
Tes exercise untuk otot ekstremitas, dg mempertahankan posisi saat
mengangkat kaki dg sudut 45° pd posisi tidur telentang 3 menit, atau duduk-
berdiri 20-30 kali. Jalan diatas tumit atau jari 30 langkah, tes tidur-bangkit 5-
10 kali
4. Tes tensilon (edrophonium chloride)
Suntikkan tensilon 10 mg (1 ml) i.v, secara bertahap. Mula-mula 2 mg à bila
perbaikan (-) dlm 45 dtk, berikan 3 mg lagi à bila perbaikan (-), berikan 5 mg
lagi. Efek tensilon akan berakhir 4-5 menit
Efek samping : ventrikel fibrilasi dan henti jantung
5. Tes kolinergik
6. Tes Prostigmin (neostigmin) :
Injeksi prostigmin 1,5 mg im,
dapat ditambahkan atropin untuk mengurangi efek muskariniknya spt nausea,
vomitus, berkeringat. Perbaikan tjd pd 10-15 menit, mencapai puncak dlm 30
menit, berakhir dalam 2-3 jam
7. Pemeriksaan EMNG ;
Pada stimulasi berulang 3 Hz terdapat penurunan amplitudo (decrement
respons) > 10% antara stimulasi I dan V. MG ringan penurunan mencapai 50%,
MG sedang sampai berat dapat sampai 80%
8. Pemeriksaan antibodi AChR
Antibodi AChR ditemukan pd 85-90% penderita MG generalisata, &0% MG
okular. Kadar ini tdk berkorelasi dg beratnya penyakit
9. Evaluasi Timus
Sekitar 75% penderita MG didapatkan timus yg abnormal,terbanyak
berupa hiperplasia,sedangkan15% timoma. Adanya timoma dapat dilihat dg CT
scan mediastinum, tetapi pd timus hiperplasia hasil CT sering normal.
H. KOMPLIKASI
1. Gagal nafas
2. Disfagia
3. Krisis miastenik
4. Krisis cholinergic
5. Komplikasi sekunder dari terapi obat
Penggunaan steroid yang lama :
Osteoporosis, katarak, hiperglikemi
Gastritis, penyakit peptic ulcer
Pneumocystis carinii
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan miastenia gravis ditentukan dengan meningkatkan fungsi
pengobatan pada antikolinesterase dan menurunkan serta mengeluarkan sirkulasi
antibody. Terapi mencakup agen-agens antikolinesterase dan terapi imunosupresif,
yang terdiri dari plasmaferesis dan timektomi.
Agen-agens antikolinesterase. Obat ini bereaksi dengan meningkatkan
konsentrasi asetilkolin yang relative tersedia pada persimpangan neuromuscular.
Mereka diberikan untuk meningkatkan respon otot-otot terhadap impuls saraf dan
meningkatkna kekuatan otot. Kadang-kadang mereka diberikan hanya mengurangi
simptomatik.
Obat-obatan dalam pengobatan digunakan piridostikmin bromide (mestinon),
ambenonium klorida (Mytelase), dan neostigmin brimida (prostigmine).
Banyak pasien lebih suka pada piridostigmin karena obat ini menghasilkan
efek samping yang sedikit. Dosis ditingkatkan berangsur-angsur sampai tercapai hasil
maksimal yang diinginkan (bertambahnya kekuatan, berkurangnya kelelahan),
walaupun kekuatan otot normal tidak dapat tercapai dan pasien akan mempunyai
kekuatan beradaptasi terhadap beberapa ketidakmampuan.
Obat-obat antikolinesterase diberikan dengan susu, krekers, atau substansi
penyangga makanan lainya. Efek samping mencakup kram abdominal, mual, muntah,
dan diare. Dosis kecil atrofin, diberikan 1 atau 2 kali sehari, dapat menurunkan atau
mencegah efek samping. Efek samping lain dari antikolinesterase mencakup efek
samping pada otot-otot skelet, seperti adanya vasikulasi (kedutan halus), spasme otot
dan kelemahan. Pengaruh terhadap system saraf terdiri dari pasien cepat marah,
cemas, insomnia, sakit kepala, disartria ( gangguan pengucapan), sinkope, atau pusing
kejang atau koma. Peningkatan ekskresi saliva dan kringat, meningkatkan sekresi
bronchial dan kulit lembab, dan gejala-gejala ini sebaiknya dicatat.
Setelah dosis medikasi telah ditetapkan, pasien memepelajari untuk
mengambil obat sesuai dengan kebutuhan individu dan rencana waktu yang
ditetapkan. Penyesuaian lebih lanjut dioperlukan dalam stress fisik atau emosional
dan terhadap infeksi baru yang muncul sepanjang perjalanan penyakit.
Terapi imunosupresif ditentukan untuk tujuan menurunkan produksi
antibody antireseptor atau mengeluarkan langsung melalui perubahan plasma. Terapi
imunosupresif mencakup kortikosteroid, plasmaferesis dan timektomi. Terapi
kortikosterois dapat menguntungkan pasien dengan miastenia yang pada umumnya
berat. Kortikosteroid digunakan mereka dengan efek terjadinya penekanan respon
imunpasien, sehingga menurunkan jumlah penghambatan antibody. Dosis
antikolinesterase diturunkan sambil kemampuan pasien untuk memepertahankan
respirasi efektif dan kemampuan menelan dipantau. Dosis steroid berangsur-angsur
ditingkatkan dan obat anti kolinesterase diturunkan dengan lambat.
Prednisone, digunakan dalam bebrapa hari untuk menurunkan insiden efek
samping, dan terlihat dengan sukses adanya penekanan penyakit. Kadang-kadang
pasien memperlihatkan adanya penurunan kemampuan otot setelah terapi dimulai,
tetapi ini biasanya hanya sementara. Pada perawatan dirumah sakit, pasien dapat
diberi bell pemanggil yang digunakan dalam situasi darurat dan harus dipantau ketat
tentang adanya tanda-tanda gawat napas.
Penatalaksanaan Pembedahan, pada pasien miastemia gravis thymus
tampak terlibat dalam proses pembentukan antibody AChR. Timektomi (pembedahan
mengangkat timus) menyebabkan pengurangan penyakit substansial, terutama pada
pasien dengan tumor atau hyperplasia kelenjar thymus. Timektomi yaitu membuka
sternum karena seluruh thymus harus dibuang.
Hal ini dianggap bahwa timektomi pada awal perjalanan penyakit adalah
terapi spesifik, sehingga tindakan ini mencegah pembentukan anti reseptor antibody.
Setelah pembedahan, pasien dipantau di ruang perawatan intensif untuk memberikan
perhatian khusus dalam fungsi pernafasan. (Brunner & Suddarth, 2002).
Secara singkat penatalaksanaan miastenia gravis:
1. Periode istirahat yang sering selama siang hari menghemat kekuatan.
2. Obat antikolinesterase diberikan untuk memperpanjang waktu paruh
asetilkolin di taut neuro moskular. Obat harus diberikan sesuai jadwal seetiap
hari untuk mencegah keletihan dan kolaps otot.
3. Obat anti inflamasi digunakan untuk membatasi serangan autoimun.
4. Krisis miastenik dapat diatasi dengan obat tambahan,dan bantuan pernapasan
jika perlu.
5. Krisis kolinergik diatasi dengan atropin (penyekat asetilkolin) dan bantuan
pernapasan,sampai gejala hilang. Terapi antikolinesisterase ditunda
sampaikadar toksik obatb diatasi.
6. Krisis miastenia dan krisis kolinergik terjadi dengan cara yang sama,namun
diatasi secara berbeda. Pemberian tensilon dilakukan
PROSES KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN MIASTENIA GRAVIS
A. PENGKAJIAN
1) Anamnesa
Keluhan utama yang menyebabkan klien miestenia gravis meminta
pertolongan kesehatan sesuai dengan kondisi dari adanya penurunan atau
kelemahan otot-otot dengan manifestasi diplopia (penglihatan ganda) ptosis
merupakan keluhan utama dari 90 % klien miestenia gravis, disfonia
(gangguan bicara), masalah menelan dan mengunyah makanan. Pada kondisi
berat keluhan utama biasanya adalah ketidakmampuan menutup rahang,
ketidakmampuan batuk efektif, dan dispneu.
a. Riwayat penyakit saat ini
Miastenia gravis juga menyerang otot0otot wajah, laring , dan faring.
Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika klien
mencoba menelan (otot-otot palatum); menimbulkan suara yang abnormal
atau suara nasal; dan klien tak mampu menutup mulut yang dinamakan
sebagai tanda rahang menggantung.
Terserangnya otot-otot pernafasan terlihat dari adanya batuk yang
lemah dan akhirnya dapat berupa serangan dispneu dank lien tak lagi
mampu membersihkan lender dari trakea dan cabang-cabangnya.
Pada kasus lanjut, gelang bahu dan panggung dapat terserang dan
terjadi kelemahan semua otot-otot rangka. Biasanya gejala-gejala
miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan memberikan obat
antikolinesterase.
b. Riwayat penyakit dahulu
Kaji factor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang memperberat
kondisi miastenia gravis seperti hipertensi dan diabetes mellitus
c. Riwayat penyakit keluarga
Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai persamaan
dengan keluhan klien saat ini.
2) Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Klien miestenia gravis sering mengalami gangguan emosi dan
kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang. Adanya
kelemahan pada kelopak mata diplopia dan kerusakan dalam komunikasi
verbal menyebabkan klien sering mengalami gangguan citra diri.
3) Pemeriksaan fisik
Miestenia gravis diduga merupakan gangguan autoimun yang merusak
fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuscular.
Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang
progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisasi pada sekelompok
otot tertentu saja. Karena perjalanan penyakitnya sangat berbeda pada masing-
masing klien, maka prognosisnya sulit ditentukan.
a. BI (BREATHING)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk
efektif, produksi sputum, sesak nafas, pengguanaan otot bantu nafas, dan
peningkatan frekuensi pernafasan sering didapatkan pada klien yang
disertai adanya kelemahan otot-otot pernafasan. Auskultasi bunyi nafas
tambahan seperti ronkhi atau stridor pada klien menandakan adanya
akumulasi secret pada jalan nafas dan penurunan kemampuan otot-otot
pernafasan.
b. BII (BLOOD)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan untuk
memantau perkembangan status kardiovaskuler, terutama denyut nadi dan
tekanan darah. Yang secara progresif akan berubah sesuai dengan kondisi
tidak membaiknya system pernafasan.
c. BIII (BRAIN)
Pengkajian BIII merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
1) Tingkat kesadaran
Biasanya pada kondisi awal kesadaran klien masih baik.
2) Fungsi serebral
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah
lakunya, nilai gaya bicara dan observasi ekspresi wajah, aktivitas
motorik yang mengalami perubahan seperti adanya gangguan perilaku,
alam perasaan dan persepsi.
3) Pemeriksaan saraf cranial
Saraf I :
Biasanya pada klien epilepsy tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman tidak ada kelainan.
Saraf II :
Penurunan pada tes ketajaman penglihatan klien sering
mengeluh adanya penglihatan ganda.
Saraf III, IV dan VI :
Sering didapatkan adanya ptosis. Adanya ovtalmoplegia,
mimic dari pseudo ovtal
Saraf V : didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat
kelumpuhan pada otot-otot wajah.
Saraf VII: persepsi pengecapan terganggu akibat adanya gangguan
motorik lidah.
Saraf VIII: tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X: ketidakmampuan dalam menelan.
Saraf XI: tidak ada atrofi otot sternokleidomasteoids dan trapezius.
Saraf XII: J,adanya deviasi pada satu sisi akibat kelemahan otot
motorik pada lidah.
4) System motorik
Karakterisktik utama miastenia gravis adalah kelemahan dari
system motorik. Adanya kelemahan umum pada otot-otot rangka
memberikan manifestasi pada hambatan mobilitas dan intoleransi
aktivitas klien.
5) Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflek dalam pengetukan pada tendon,
ligamentum, atau periosteum derajat reflex pada respons normal.
6) Pemeriksaan sensorik
Pemeriksaan sensorik pada epilepsy biasanya disapatkan
perasaan raba normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan
abnormal di permukaan tubuh.
d. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya didapatkan berkurangya
volume output urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal.
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien miastenia gravis menurun karena
ketidakmampuan menelan makanan sekunder dari kelemahan otot-otot
menelan.
f. B6 (Bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunteer memberikan hambatan pada
mobilitas dan mengganggu aktivitas perawatan diri.
4) Pemeriksaan diagnostic
Edrofonium (dosis awal 2 minggu, dilanjutkan 8 minggu, 30 detik
kemudian) diberikan melalui intravena sebagai uji untuk membedakan kedua
tipe krisis itu.
Bila pada krisis miastenik, klien tetap mendapat pernapasan buatan
(respirator), obat-obat antikholinesterase tidak diberikan dahulu, karena obat-
obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat
mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Stelah krisis terlampaui, obat-obat
dapat mulai diberikan secara bertahap dan seringkali dosis dapat diturunkan.
B. Diagnosis Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernapasan.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas behubungan dengan peningkatan
produksi mucus dan penurunan kemampuan batuk efektif.
3. Risiko tinggi aspirasi berhubungan dengan penurunan control tersedak
dan batuk efktif.
4. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan
menelan.
5. Gangguan aktivitas hidup sehari-hari berhubungan dengan kelemahan
fisik umum, keletihan.
6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuscular, kehilangan kontroll tonus
otot fasial oral.
C. INTERVENSI
DX. TUJUAN NOC & KH NIC INTERVENSI
DX. I
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan pola pernafasan klien kembali efektif.
NOC :
Respiratory status : Ventilation
Vital sign StatusKriteria Hasil :
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan)
NIC :
Airway Management Buka jalan nafas,
guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
Pasang mayo bila perlu Lakukan fisioterapi dada
jika perlu Keluarkan sekret dengan
batuk atau suction Auskultasi suara nafas,
catat adanya suara tambahan
Lakukan suction pada mayo
Berikan bronkodilator bila perlu
Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
Monitor respirasi dan status O2
Terapi Oksigen Bersihkan mulut, hidung
dan secret trakea Pertahankan jalan nafas
yang paten Atur peralatan
oksigenasi Monitor aliran oksigen Pertahankan posisi
pasien Onservasi adanya tanda
tanda hipoventilasi Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
DX II
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan bersihan jalan nafas kembali efektif
NOC :
Respiratory status : Ventilation
Respiratory status : Airway patency
Aspiration ControlKriteria Hasil :
Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal)
Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat menghambat jalan nafas
NIC :
Airway suction Pastikan kebutuhan oral /
tracheal suctioning Auskultasi suara nafas
sebelum dan sesudah suctioning.
Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal
Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter dikeluarkan dari nasotrakeal
Monitor status oksigen pasien
Ajarkan keluarga bagaimaDX na cara melakukan suksion
Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.
Airway Management Buka jalan nafas,
guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Identifikasi pasien perlunya pemasangan
alat jalan nafas buatan Pasang mayo bila perlu Lakukan fisioterapi dada
jika perlu Keluarkan sekret dengan
batuk atau suction Auskultasi suara nafas,
catat adanya suara tambahan
Lakukan suction pada mayo
Berikan bronkodilator bila perlu
Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
Monitor respirasi dan status O2
DX III
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan pasien dapat terhindar dari resiko aspirasi.
NOC :
Respiratory Status : Ventilation
Aspiration control Swallowing Status
Kriteria Hasil :
Klien dapat bernafas dengan mudah, tidak irama, frekuensi pernafasan normal
Pasien mampu menelan, mengunyah tanpa terjadi aspirasi, dan mampumelakukan oral hygiene
Jalan nafas paten, mudah bernafas, tidak merasa tercekik dan tidak ada suara nafas abnormal
NIC:Aspiration precaution
Monitor tingkat kesadaran, reflek batuk dan kemampuan menelan
Monitor status paru Pelihara jalan nafas Lakukan suction jika
diperlukan Cek nasogastrik
sebelum makan Hindari makan kalau
residu masih banyak Potong makanan kecil
kecil Haluskan obat
sebelumpemberian Naikkan kepala 30-45
derajat setelah makan
DX IV
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien tercukupi.
NOC :
Nutritional Status : food and Fluid Intake
NIC :
Nutrition Management
Kaji adanya alergi
Kriteria Hasil :
Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
Tidak ada tanda tanda malnutrisi
Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
makanan Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
Berikan substansi gula Yakinkan diet yang
dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
DX V
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan aktivitas klien normal dan tidak ada kelemahan fisik.
NOC :
Joint Movement : Active
Mobility Level Self care : ADLs Transfer performance
Kriteria Hasil :
Klien meningkat dalam aktivitas fisik
Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah
Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi
NIC :Exercise therapy : ambulation Monitoring vital sign
sebelm/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan
Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera
Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulasi
Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
Latih pasien dalam
(walker) pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan
Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan
DX VI
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien dapat berkomunikasi, mampu mengekspresikan perasaanya dan menggunakan bahasa isyarat.
NOC:
komunikasi:
kemampuan
mengungkapkan
Kriteria Hasil:
a. Menggunakan pesan tertulis
b. Menggunakan bahasa
percakapan vocal
c. Menggunakan percakapan
yang jelas
d. Menggunakan
gambar/lukisan
Menggunakan bahasa non verbal
NIC : Perbaikan
Komunikasi: gangguan
bicara.
Membantu keluarga
dalam memahami
pembicaraan pasien
Berbicara kepada
pasien dengan lambat
dan dengan suara
yang jelas.
Menggunakan kata
dan kalimat yang
singkat
Mendengarkan pasien
dengan baik
Memberikan
reinforcement/pujian
positif pada keluarga
Anjurkan pasien mengulangi pembicaraannya jika belum jelas
D. EVALUASI
1. Diagnosa 1: Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan
kelemahan otot pernapasan.
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) (3)
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal) (4)
c. Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi,
pernafasan) (4)
2. Diagnosa II: Ketidakefektifan bersihan jalan napas behubungan dengan
peningkatan produksi mucus dan penurunan kemampuan batuk efektif.
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) (4)
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal) (4)
c. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah factor yang dapat
menghambat jalan nafas (4)
3. Diagnose III: Risiko tinggi aspirasi berhubungan dengan penurunan control
tersedak dan batuk efktif.
a. Klien dapat bernafas dengan mudah, tidak irama, frekuensi pernafasan normal (4)
b. Pasien mampu menelan, mengunyah tanpa terjadi aspirasi, dan mampumelakukan oral hygiene (4)
c. Jalan nafas paten, mudah bernafas, tidak merasa tercekik dan tidak ada
suara nafas abnormal (4)
4. Diagnosa IV: Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan.
a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan 4b. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan 3c. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi 4d. Tidak ada tanda tanda malnutrisi 3e. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti 4
5. Diagnosa V: Gangguan aktivitas hidup sehari-hari berhubungan dengan
kelemahan fisik umum, keletihan.
a. Klien meningkat dalam aktivitas fisik 4b. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas 4c. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan
kemampuan berpindah 4d. Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker) 3
6. Diagnose VI: Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,
gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuscular, kehilangan kontroll
tonus otot fasial oral.
a. Menggunakan pesan tertulis 4
b. Menggunakan bahasa percakapan vocal 4
c. Menggunakan percakapan yang jelas 4
d. Menggunakan gambar/lukisan 4
e. Menggunakan bahasa non verbal 4
Keterangan skala:1. Tidak pernah menunjukan
2. Jarang menunjukan
3. Kadang menunjukan
4. Sering menunjukan
5. Selalu menunjukan
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth.2002. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8. Jakarta:EGC
Muttaqin,Arif.2008.Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan.Jakarta:Salemba Medika.
Judith & Nancy. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 9. Jakarta:EGC