Post on 29-Nov-2014
description
Mereka Berani M
elawan Pemiskinan
Mereka Berani Melawan PeMiskinan
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Republik Indonesia
Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia
2011
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Republik Indonesia
Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Tim Penulis: Fakhrulsyah Mega, Luh Nyoman Dewi Triandayani, Yaury G.P. Tetanel Penata Letak: Imam SaptajiDesain Sampul: Imam SaptajiCetakan pertama: 2011
Diterbikan Oleh: Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia Alamat Jl. Merdeka Barat No. 3 Jakarta Pusat Jakarta, 10110Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia No Telepon 021 - 3459-417 021 - 3483 2049
Dicetak Oleh: Origami ‘ArtIsi di luar tanggung jawab percetakan
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atauseluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Mereka Berani Melawan Pemiskinan82 + VI hal, 16x23,5
II IIIMereka Berani Melawan PemiskinanMereka Berani Melawan Pemiskinan
Daftar Isi
Ucapan Terimakasih IV
Kata Sambutan VI-VII
Selayang Pandang Daerah Inovatif Melawan Pemiskinan 1
Dari Tanah Kembali ke Tanah ke Tanah 12
Meretas asa Lewat Gerbang Swara: Ruang Nyata Partisipasi
Masyarakat Dalam Pembangunan Daerah 17
Jaminan Kesehatan Sebagai Wujud Pemenuhan Hak atas Kesehatan
yang Layak Bagi Warga Miskin di Kabupaten Jembrana 20
Kebumen Pelopor Kedaulatan Rakyat Atas Pembangunan
Melalui Kuota Anggaran Kecamatan 25
Ketika Rakyat dan Pemerintah Bersatu Melawan Pemiskinan 30
Rakyat Miskin di Makassar, Sejak Lahir Hingga
Akhir Hayat Hidupnya Bebas! 34
Menjadikan Banda Aceh Kota Ramah Jender 39
“Pelembagaan Partisipasi Rakyat Dalam Pembangunan Bisa!” 46
Perempuan Juga Berhak Dalam Pembangunan
di Kabupaten Gunung Kidul 55
Pemenuhan Hak Atas Rumah Layak Huni bagi Kaum Miskin 62
Dari Desa Bangun Subang 66
Tran sparansi Anggaran: Langkah Kecil Dengan Dampak Besar 71
Reforma Agraria Jalan Baik Menggusur Pemiskinan 78
IV Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu terbitnya buku ini, “Dan Pihak-pihak lain
yang tidak dapat disebutkan satu per satu”:
a Ibu Wakil Walikota Banda Aceh
a Bapak Wakil Bupati Serdang Bedagai
a Bapak Kepala Bappeda Kabupaten Jembrana
a Bapak Kepala Bappeda Kota Kupang
a Bapak Kepala Bappeda Lombok Tengah
a Bapak Ketua Wakil Bupati Garut
a Bapak Plh. Kepala Bappeda Kabupaten Kebumen
a Bapak Staf Khusus Bupati Kabupaten Gunung Kidul
a Bappeda Kabupaten Gunung Kidul
a Bapak Kepala Bappeda Kota Surakarta
a Bapak Kabag. Sosbud Bappeda Kabupaten Sukabumi
a Koordiator Daerah Program SAPA di 15 kabupaten/kota
VMereka Berani Melawan Pemiskinan
SaMButan DePutI MenKoKeSRa
Syukur Alhamdulillah Kita panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa
atas terbitnya buku yang sudah lama Saya dambakan ini, dimana
sejak awal program SAPA dijalankan Saya ingin melihat apakah
ada daerah yang berani berinovasi dalam meningkatkan kualitas
kesejahteraan masyarakat miskin dan atau melawan pemiskinan.
Konstitusi Negara kita menjamin kehidupan warganya secara utuh dalam
menjalani kehidupannya secara humanis, sejahtera lahir batin, serta memiliki
kemandirian. Itulah tujuan berdirinya sebuah negara, yang seluruh warga
negaranya berhak atas kehidupan yang adil, sejahtera dan bermartabat. Itu
artinya negara wajib melindungi, memajukan dan memenuhi hak-hak dasar
warganya dengan tanpa diskriminasi baik laki-laki maupun perempuan, kaum
marginal dan komunitas difable, dan atau kelompok minoritas lainnya.
Sebagai negera ketiga berpenduduk besar didunia setelahCina dan India,
kualitas dan derajat kesejahteraan penduduk Indonesia termasuk rendah
jika dibandingkan dengan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia produktifnya. Data BPS yang dikeluarkan pada bulan Maret, tahun
2011 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 30,02
juta jiwa atau sekitar 12,49 %. Angka tersebut meskipun menunjukkan
kecenderungan penurunan dari tahun ke tahun, sebagai dampak dari
berbagai intervensi kebijakan dan program yang dilakukan pemerintah
dan pemerintah daerah, namun perubahannya belum signifikan jika
dibandingkan dengan meningkatnya alokasi anggaran penanggulangan
kemiskinan setiap tahunnya dalam APBN dan APBD.
Pemerintah sejak tahun 2005 memandang Kemiskinan merupakan
tantangan seluruh pemangku kepentingan pembangunan bangsa. Artinya,
kemiskinan tidak lagi dilihat sebagai tolok ukur gagalnya Pemerintah
melindungi dan memenuhi hak-hak dasar warganya melainkan menjadi
tantangan global pemangku kepentingan dalam mewujudkan masyarakat
adil, makmur, sejahtera, mandiri dan bermartabat.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010–2014 Pemerintah
telah menetapkan arah kebijakan pembangunan Indonesia dalam lima
tahun kedepan adalah “terwujudnya Indonesia yang sejahtera,demokratis
dan berkeadilan”. Untuk mencapainya pemerintah telah pula menetapkan
3 (tiga sasaran pembangunan nasional yakni; (1) Pembangunan
Kesejahteraan Rakyat mencakup bidang; ekonomi, pendidikan, kesehatan,
dan pangan, (2) Perkuatan Pembangunan Demokrasi mencakup bidang
; kualitas demokrasi, dan (3) Pembangunan Keadilan/Hukum mencakup
bidang ; Penegakan hukum.
Pembangunan bidang kesejahteraan rakyat pada Kabinet Indonesia
Bersatu II terfokus pada lima program utama yakni penanggulangan
kemiskinan, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup dan penanggulangan
bencana, serta kebudayaan, kreativitas dan inovasi teknologi. Untuk mencapai
kelima program tersebut maka kebijakan KabinetIndonersia Bersatu II ini
bertumpu pada inclusive growthyaknipro-poor, pro-job, pro-growth dan
pro-environment. pro-poor, pro-job dan pro-justice menjadi prioritas utama
guna diimplementasikan secara sungguh-sungguh dan dilengkapi dengan
pro-environment untuk menunjang pembangunan berkelanjutan.
Inovasi dan atau kebijakan yang berani melawan pemiskinan oleh
pemerintah daerah sebagaimana yang tergambarkan dalam buku ini
patut diberikan apresiasi oleh kita semua. Saya secara pribadi dan
sebagai deputi Menkokesra bidang Penanggulangan Kemiskinan dan
Pemberdayaan Masyarakat mengucapkan selamat atas prestasi yang
dicapai dan mendukung sepenuhnya atas inovasi yang telah dilakukan ini.
Sepatutnya kita belajar dari keberhasilan daerah-daerah ini, karena
dengan keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh masing-masing daerah,
kekhasan karakteristik kemiskinan mampu melakukan terobosan dalam
kebijakandan program penanggulangan kemisknan, terutama yang terkait
dengan pemenuhan hak dasar kepada masyarakat miskin.
Selamat kepada Pemerintah daerah yang sudah berhasil menemukan cara
baru untuk membebaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan, semoga
kedepan dapat diikuti oleh pemerintah daerah lainnya. Terimakasih
DR. Sujana Royat
Deputi Menkokesra Bidang
Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat
VI Mereka Berani Melawan Pemiskinan VIIMereka Berani Melawan Pemiskinan
1Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Sejak otonomi daerah diterapkan pada tahun 1999, salah satu harapan
yang disematkan bagi setiap daerah adalah semakin membaiknya kondisi
dan kualitas kesejahteraan masyarakat. Walaupun kita tahu, bahwa upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bukanlah merupakan
suatu upaya semudah membalik telapak tangan. Penanggulangan
kemiskinan membutuhkan keterlibatan berbagai pihak didalamnya baik
yang berasal dari pemerintah, dunia usaha, organisasi masyarakat sipil,
tidak terkecuali adalah masyarakat miskin itu sendiri. Pemikiran yang
masih membebankan upaya penanggulangan kemiskinan pada satu pihak
sudah saatnya ditinggalkan, karena persoalan kemiskinan yang dihadapi
bukan hanya sekedar persoalan kurangnya pendapatan, pekerjaan yang
bersifat informal, ataupun keterbatasan sarana infrastruktur dasar, akan
tetapi juga menyangkut persoalan kerawanan, keterisolasian, serta
kerentanan dalam berbagai aspek kehidupan.
Oleh sebab itu, persoalan kemiskinan yang dihadapi oleh berbagai
daerah di Indonesia memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri, serta
membutuhkan strategi yang berbeda dalam merespon dan menyelesaikan
persoalan tersebut. Dalam otonomi daerah, kondisi tersebut memberikan
peluang yang seluas-luasnya kepada pimpinan didaerah untuk melakukan
terobosan dan inovasi untuk menurunkan jumlah penduduk miskin, dan
pada saat yang bersamaan meningkatkan kualitas kesejahteraan dengan
memperbaiki sistem layanan publik bagi masyarakat secara luas. Walaupun
demikian, upaya untuk membangun kerjasama multipihak tersebut,
bukanlah sesuatu yang mudah. Setidaknya dibutuhkan keterbukaan, sikap
untuk berbagi, serta kerelaan dari berbagai pihak untuk menerima kritik
dan input tentang kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan
yang dilakukan selama ini.
SeLaYanG PanDanG DaeRaH InoVatIF MeLaWan PeMISKInan
2 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 3Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Terkait dengan hal tersebut, maka sejak tahun 2007, Kementrian
Koordinator Kesejahteraan Rakyat bersama 15 pemerintah kabupaten/
kota dan berbagai kelompok organisasi masyarakat sipil ditingkat pusat
dan daerah mengikatkan diri dalam Program SAPA Indonesia. Program
SAPA Indonesia bertujuan untuk mengembangkan berbagai inovasi dalam
penanggulangan kemiskinan, memberdayakan masyarakat miskin dan
perempuan, mensinergikan database dan mengintegrasikannya dalam
perencanaan dan penganggaran, serta melakukan advokasi terhadap
perubahan kebijakan dan program pembangunan untuk berpihak pada
masyarakat miskin baik pada tingkat nasional maupun daerah. Disamping
itu, Program SAPA sendiri merupakan suatu model kerjasama multipihak
yang terintegrasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta
organisasi masyarakat sipil.
Dalam mengimplementasikan programnya, mitra-mitra yang
tergabung dalam Program SAPA memanfaatkan instrumen Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) yang dibentuk
melalui peraturan presiden. TKPKD dipilih sebagai wadah untuk
mengkonsolidasikan gagasan, kebijakan, serta program bukan hanya
karena aspek legalitas kelembagaannya, melainkan kelembagaan ini
dapat mengakomodasi keterlibatan unsur lain selain pemerintah dalam
forum tersebut. Saat ini di 15 kabupaten/kota yang menjadi daerah
sasaran Program SAPA telah memiliki TKPKD dengan kondisi kelembagaan
yang berbeda-beda.
Perbedaan kelembagaan tersebut menjadi dinamika tersendiri dalam
pelaksanaan program, serta menentukan bagaimana relasi dan kedudukan
antara berbagai pihak yang terlibat dalam membangun kerjasama
multipihak. Setidaknya ada beberapa aspek yang membedakan TKPKD
yang berada di daerah sasaran Program SAPA, misalnya keterwakilan
unsur non pemerintah, pembagian peran dari masing-masing pihak, serta
peran TKPKD dalam mempengaruhi penyusunan kebijakan dan program
penanggulangan kemiskinan di daerah.
Aspek keterwakilan merupakan satu spirit penting yang dijamin regulasi,
untuk memastikan keterlibatan berbagai pihak dalam penanggulangan
kemiskinan. Namun untuk mewujudkan hal tersebut bukanlah hal yang
mudah, hal ini disebabkan oleh beberapa pandangan dan penilaian
yang dimiliki oleh berbagai pihak. Misalnya pandangan bahwa dengan
bekerjasama tersebut akan membuka borok yang dilakukan oleh birokrasi
dan unsur non pemerintah akan mempermalukan mereka didepan publik
masih ada sampai saat ini. Walaupun demikian, terdapat juga beberapa
daerah yang bahkan memberikan peran yang lebih kepada unsur non
pemerintah dalam struktur TKPKD, seperti yang dilakukan di Kota
Surakarta, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Kebumen, Kabupaten
Gunungkidul, serta Kota Makassar. Peran lebih yang dimaksudkan disini
tidak hanya pada posisi struktural dalam kelembagaan TKPKD akan tetapi
juga dalam membangun sinergisitas antar pihak.
Walaupun TKPKD di 15 kabupaten/kota telah menunjukkan dinamika
yang lebih baik dari TKPKD lainnya, namun upaya untuk meningkatkan
peran dalam mempengaruhi kebijakan dan program pembangunan,
khususnya yang terkait dengan kemiskinan masih menghadapi kendala
yang cukup besar. Beberapa persoalan penting yang dihadapi oleh
TKPKD dan sekaligus juga merupakan tantangan dalam model kerjasama
multipihak ini meliputi membangun koordinasi yang efektif, pengendalian
kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, sinkronisasi data
dan target penanggulangan kemiskinan, keterbatasan anggaran, serta
memastikan pelaksanaan kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan memiliki kaitan antara satu pihak dengan pihak lainnya dan
memberikan pengaruh yang besar dalam penurunan jumlah penduduk
miskin.
Ditengah tantangan yang dihadapi dalam mempromosikan kerjasama
multipihak dalam pengurangan jumlah penduduk miskin melalui TKPKD,
beberapa inovasi dan terobosan berhasil dilakukan oleh pemerintah
daerah.Terobosan dan langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah
daerah tersebut dalam kurun waktu 3 tahun telah memperlihatkan hasil
dengan menurunnya jumlah penduduk miskin. Berikut ini adalah data
mengenai perkembangan penurunan jumlah penduduk miskin di 15
kabupaten/ kota.
4 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 5Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Grafik 1. Persentase Jumlah Penduduk Miskin di Daerah Sasaran Program SAPA Indonesia
Sumber Data : Data & Informasi Kemiskinan BPS
Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa persentase penduduk
miskin di 15 kabupaten /kota yang menjadi daerah sasaran Program
SAPA mengalami penurunan dalam kurun waktu 3 tahun. Walaupun
menunjukkan penurunan jumlah penduduk miskin dalam beberapa tahun,
namun masih ada kabupaten/kota yang memiliki angka kemiskinan yang
cukup tinggi (diatas 20 %). Misalnya di Kota Tasikmalaya, Kabupaten
Kebumen, Kabupaten Gunungkidul, serta Kabupaten Lombok Tengah.
Sedangkan angka kemiskinan yang relatif lebih rendah berada di Kota
Banda Aceh, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Bandung, Kabupaten
Jembrana, serta Kota Makasssar.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, kondisi kemiskinan di berbagai
daerah sasaran Program SAPA berbeda-beda. Misalnya kondisi kemiskinan
yang disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur dasar dan keterisolasian
yang disebabkan oleh kondisi geografis yang sulit dijangkau dapat
dijumpai di Kabupaten Kebumen, Gunungkidul, Sukabumi, dan Lombok
Tengah. Sedangkan kondisi kemiskinan lainnya seperti ketidakmampuan
dalam akses pelayanan dasar serta rendahnya kepemilikan asset produktif
dapat dijumpai di Kota Banda Aceh, Kabupaten Serdang Bedagai,
Kabupaten Bandung, Tasikmalaya, Surakarta, Kabupaten Jembrana,
Kota Kupang, dan Kota Makassar. Disamping melihat penurunan
persentase jumlah penduduk miskin, aspek lain yang perlu diperhatikan
dalam penanggulangan kemiskinan adalah perbaikan kesenjangan
pada masyarakat miskin. Berikut ini adalah gambaran mengenai indeks
keparahan kemiskinan di 15 Kabupaten/kota yang menjadi sasaran
Program SAPA Indonesia.
Grafik 2.Grafik Keparahan Kemiskinan di 15 Kabupaten Sasaran Program SAPA Indonesia.
Sumber Data : Data & Informasi Kemiskinan BPS
Indeks keparahan kemiskinan merupakan suatu instrumen untuk
melihat tingkat kedalaman kemiskinan yang terjadi disuatu daerah
dengan melihat kesenjangan atau gap pendapatan masyarakat miskin
dengan garis kemiskinan yang ditetapkan disuatu daerah. Berdasarkan
data diatas, secara umum terlihat bahwa indeks keparahan kemiskinan
mengalami penurunan diseluruh daerah, kecuali di Kota Tasikmalaya yang
mengalami peningkatan. Informasi ini juga menggambarkan bahwa upaya
yang dilakukan pemerintah daerah tidak hanya terkonsentrasi dalam
6 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 7Mereka Berani Melawan Pemiskinan
penurunan jumlah penduduk miskin, akan tetapi juga perlu berkonsetrasi
dalam memperbaiki dan menjaga kualitas kesejahteraannya sehingga
tidak terdapat kesenjangan yang terlalu besar ditingkat masyarakat.
Beberapa daerah yang memiliki indeks keperahan tertinggi terdapat di
Kota Tasikmalaya, Kabupaten Kebumen, serta Kabupaten Lombok Tengah.
Sedangkan, daerah yang memiliki indeks keparahan yang kecil terdapat
di Kabupaten Jembrana & Kota Makassar.
Grafik. 3 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia di Daerah Sasaran Program SAPA
Sumber Data : Indeks Pembangunan Manusia BPS
Indeks pembangunan manusia merupakan salah satu instrumen
yang digunakan untuk melihat kondisi dan kualitas kesejahteraan suatu
bangsa secara lebih komprehensif. Indikator yang diukur dalam indeks
pembangunan manusia terdiri dari 3 indikator utama yaitu kesehatan
(harapan hidup), pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah),
serta ekonomi (daya beli). Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa
indeks pembangunan manusia di hampir seluruh daerah program SAPA
mengalami peningkatan yakni diatas 70, kecuali di Lombok Tengah yaitu
sebesar 60,26. Walaupun demikian, percepatan peningkatan indeks
pembangunan manusia pada setiap daerah dapat dikatakan masih
sangat lambat, jika dibandingkan dengan kebijakan, program, serta
anggaran yang dialokasikan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
pemenuhan hak dasar di masyarakat. Hal ini menunjukkan juga bahwa
upaya peanggulangan kemiskinan yang dilakukan harus memiliki fokus
yang jelas dengan kebijakan, program, dan pendekatan yang lebih sesuai
dengan kondisi masyarakat untuk mencapai target yang diinginkan.
Walaupun memiliki indeks pembangunan yang tinggi, akan tetapi
perkembangan setiap indikator indeks pembangunan manusia yang
dimiliki oleh setiap daerah berbeda-beda. Misalnya dalam angka harapan
hidup yang disajikan dibawah ini.
Grafik Angka Harapan Hidup Tahun 2009 di 15 Kabupaten / Kota
Sumber Data : Indeks Pembangunan Manusia BPS
Indikator harapan hidup merupakan suatu indikator yang memiliki
keterkaitan dengan berbagai aspek dalam bidang kesehatan seperti
kesehatan lingkungan, tingkat kesakitan, serta kualitas asupan gizi
yang sangat menentukan dalam usia seseorang. Dengan mengetahui
prasyarat mendasar dalam suatu indikator yang memiliki keterkaitan
8 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 9Mereka Berani Melawan Pemiskinan
dengan indikator lain, maka pemerintah daerah dapat menyusun
kebijakan dan program yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut. Beberapa inovasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah di
wilayah sasaran SAPA masih berkutat pada penyelesaian dampak dengan
memberikan jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, akan tetapi
belum melakukan terobosan agar masyarakat tidak sakit. Oleh sebab
itu, ukuran keberhasilan dalam pelayanan kesehatan tidak hanya jumlah
orang yang ditangani atau mendapat pelayanan akan tetapi juga semakin
menurunnya orang yang mengajukan klaim untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan gratis tersebut.
Data pada grafik angka harapan hidup pada tahun 2009, menunjukkan
bahwa pencapaian indeks pembangunan manusia yang tinggi disuatu daerah
belum tentu menandai bahwa indikator-indikator yang menyertainya juga
secara otomatis baik. Pada contoh diatas, meskipun Kabupaten Gunungkidul
dan Kabupaten Garut memiliki angka indeks pembangunan manusia yang
hampir sama, akan tetapi jika dilihat secara mendalam pada indikator
harapan hidupnya, usia harapan hidup pada kabupaten Gunungkidul lebih
tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Garut.
Selain memahami akar masalah yang menyebabkan kemiskinan,
pengambil kebijakan juga harus memiliki komitmen yang kuat dalam
penanggulangan kemiskinan. Salah satu indikator yang seringkali digunakan
untuk melihat keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat miskin
adalah alokasi anggaran pembangunan. Saat inikondisi penganggaran di
Indonesia dihadapkan pada dilemma untuk mendanai program-program
penanggulangan kemiskinan ditengah keterbatasan anggaran. Walaupun
dihadapkan pada kondisi demikian, beberapa daerah yang menjadi sasaran
Program SAPA mampu melakukan inovasi program penanggulangan
kemiskinan dengan memberikan layanan pendidikan, kesehatan, serta
pelayanan publik lainnya secara maksimal pada masyarakat miskin. Sehingga
sampai pada suatu titik kesimpulan, bahwa pengaturan anggaran merupakan
kunci utama, dan bukan tergantung pada besar-kecilnya anggaran
pembangunan. Banyak contoh yang dikemukakan dalam penelitian otonomi
daerah yang dilakukan oleh berbagai institusi menunjukkan bahwa tidak
semua daerah yang memiliki anggaran pembangunan yang besar dapat
menghasilkan pelayanan publik yang baik, dalam berbagai kasus justru
ditemukan angka kemiskinan yang cukup besar pada daerah daerah tersebut.
Berikut ini adalah gambaran mengenai profil anggaran kabupaten / kota yang
menjadi daerah sasaran Program SAPA.
Grafik.Perkembangan APBD 15 Kabupaten/ Kota Tahun 2008-2009 ( Dalam Juta Rupiah).
Sumber Data : Statistik Keuangan Daerah BPS
Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa peningkatan anggaran
pembangunan atau APBD diseluruh daerah sebenarnya sangat kecil setiap
tahunnya, hanya beberapa daerah saja yang mengalami peningkatan
anggaran yang cukup tinggi yaitu di Kabupaten Serdang Bedagai,
Bandung, Sukabumi, Ciamis, Subang, serta Kota Kupang. Walaupun
demikian, jika dilihat dari sumber pendapatan, kontribusi pemerintah
pusat masih sangat tinggi dibandingkan dengan kemampuan daerah
dalam membiayai pembangunan didaerahnya. Sistem transfer keuangan
yang masih mendasarkan pada input base yang dianut oleh Indonesia
pada satu sisi menjamin bahwa setiap daerah akan mendapatkan alokasi
anggaran dengan menggunakan sejumlah formulasi pembagian anggaran,
akan tetapi pada aspek lain belum memperhitungkan aspek kinerja dari
anggaran yang diberikan kepada daerah. Hal ini menyebabkan antara
10 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 11Mereka Berani Melawan Pemiskinan
daerah yang melakukan inovasi dan daerah yang tidak melakukan inovasi
akan mendapatkan perlakuan yang sama. Oleh sebab itu, dimasa depan
sistem transfer daerah yang berbasis pada input perlu dirubah dengan
mekanisme transfer yang berbasis pada kinerja. Berikut ini adalah
profil mengenai perbandingan alokasi anggaran pembangunan di 15
kabupaten/kota yang menjadi daerah sasaran Program SAPA.
Grafik. 5 Perbandingan Penerimaan APBD dengan Belanja Tidak Langsung Pada Tahun 2009 di
15 Kabupaten / Kota
Sumber Data : Statistik Keuangan Daerah BPS
Jika disederhanakan ada dua komponen terbesar dalam APBD yaitu
belanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja tidak langsung
adalah belanja yang dianggarkan tidak terkait langsung dengan
pelaksanaan program. Belanja tidak langsung terdiri dari belanja
pegawai berupa gaji dan tunjangan yang ditetapkan dengan undang-
undang, belanja bunga, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja
bagi hasil kepada propinsi, /kabupaten /kota dan pemerintah desa,
belanja bantuan keuangan, serta belanja tak terduga. Sedangkan, belanja
langsung adalah bagian belanja yang dianggarkan yang terkait langsung
dengan pelaksanaan program. Komponen belanja langsung terdiri dari
belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal untuk
melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah.
Pada data yang ditampilkan pada grafiks menunjukkan bahwa belanja
tidak langsung di semua daerah meningkat, kecuali di Kabupaten Serdang
Bedagai. Beberapa daerah menunjukkan perimbangan antara belanja
langsung dan tidak langsung seperti di Kota Makassar dan Kupang. Tetapi
ada juga daerah yang memiliki kesenjangan alokasi antara anggaran belanja
tidak langsung dan belanja langsung yang cukup tinggi seperti yang terjadi
di Kabupaten Bandung, Ciamis, Subang, Garut, Sukabumi, serta Kota Banda
Aceh. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah perlu meninjau
kembali kebijakan penganggaran, termasuk didalamnya adalah melakukan
efisiensi terhadap pengelolaan anggaran, serta mengintegrasikan
perencanaan antar sektor agar dapat mengoptimalkan alokasi anggaran
yang tersedia dalam penanggulangan kemiskinan.
Apresiasi lebih pantas diberikan kepada daerah sasaran Program
SAPA, walaupun berada pada kondisi “keterbatasan anggaran”, namun
TKPKD dan pemerintah daerah mampu melakukan terobosan dalam
kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, terutama yang
terkait dengan pemenuhan hak dasar kepada masyarakat yang secara
detil akan dikupas dalam buku ini. Beberapa inovasi dan terobosan
yang dihasilkan oleh pemerintah daerah justru ketika dihadapkan pada
kondisi daerah yang sangat terbatas baik secara keuangan, sumberdaya,
infrastruktur, maupun dibayangi dengan resiko kegagalan. Inovasi dan
terobosan yang dihasilkan memang belum sempurna dan masih memiliki
berbagai kekurangan, akan tetapi hal ini telah menginspirasi berbagai
pemerintah daerah di Indonesia bahwa hal tersebut dapat diwujudkan
ditengah kondisi keterbatasan yang dihadapi oleh pemerintah daerah.
12 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 13Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Mang Usep buruh tani di Desa Paranggong, Mang Diding petani penyewa
tanah Desa Kertasari, dan Nyi Ntis buruh tani palawija Desa Cipelah pada
hari itu seperti mendapatkan “durian runtuh” ketika aparat Pemerintah
Kabupaten Bandung memberikan sebidang tanah untuk dikelola sebagai
lahan produksi pertanian yang selama ini mereka hanya menggarap
dan atau menyewa tanah terlantar milik perusahaan perkebunan dan
tuan tanah. Sebuah asa telah lama ditunggu akhirnya datang juga, “sim
kuring mah sangat bersyukur antaran Bapak Bupati ges mereka lahan ka
kuring, hatur nuhun bapak bupati”. Itulah ungkapan perasaan para petani
yang telah mendapatkan tanah dari Pemerintah Kabupaten Bandung se
bagai wujud dari kebijakan reforma agraria (RA). Pemerintah Kabupaten
Bandung menyebutnya “dari tanah kembali ketanah”. Ungkapan tersebut
juga dipahami oleh kaum tani di kawasan perkebunan yang terhampar
DaRI tanaH KeMBaLI Ke tanaH dibumi parahiyangan, ungkapan itu bukanlah merupakan suatu ucapan
yang bermakna kematian, tetapi merupakan suatu upaya nyata yang coba
dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bandung dalam penanggulangan
kemiskinan.
Kita semua tahu bahwa tanah bagi Petani adalah aset utama dan
menjadi simbol seorang petani. Jika sekarang masih banyak Petani yang
masuk kategori miskin itu disebabkan oleh ketidak-adilan Negara dalam
melindungi dan memenuhi hak atas tanah bagi kaum tani. Itu artinya
sebab kemiskinan di negeri yang sangat subur sumber daya alamnya
(tanah) bukan hanya disebabkan oleh penyebab tunggal sebagaimana
yang selama ini dibayangkan oleh banyak perencana pembangunan, tetapi
dapat disebabkan oleh banyak faktor yang membutuhkan pemahaman
dan langkah yang konkrit dalam menyelesaikan akar masalah kemiskinan.
Bagi kaum tani, penyebab mereka tetap miskin adalah ketiadaan
kepemilikan asset yang dapat digunakan sebagai faktor produksi dalam
peningkatan pendapatan masyarakat miskin. Berdasarkan kondisi
geografi dan topografi yang dimiliki, Kabupaten Bandung merupakan
salah satu daerah yang memiliki potensi dalam agrobisnis dan pertanian.
Hal ini disebabkan kondisi tanah dan iklim yang sangat mendukung dalam
pengembangan produk pertanian unggulan dalam skala yang cukup besar
seperti teh, cokelat, dan lain-lain. Potensi pengembangan pertanian dan
perkebunan dalam skala besar inilah yang jika tidak dikelola dengan baik,
dapat menyebabkan konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam (tanah)
antara masyarakat dan dunia usaha. Menurut Bapak Yayan Agustian dari
Bappeda Kabupaten Bandung, setidaknya terdapat beberapa hal yang
menjadi sumber dalam konflik agraria di Kabupaten Bandung :
1. Perusahaan tidak mengusahakan usaha agribisnis perkebunan
dengan benar.
2. Perusahaan terlibat kredit macet dan pengusaha sudah sulit
dihubungi.
3. Terdapat garapan lahan HGU (hak guna usaha) oleh masyarakat
dengan tidak terkendali dan liar.
4. Konflik internal dalam perusahaan perkebunan.
14 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 15Mereka Berani Melawan Pemiskinan
5. pengalihan HGU kepada pihak lain melalui proses pencabutan HGU
oleh yang berwenang mengalami banyak permasalahan.
6. Perusahaan perkebunan akan mengalihkan HGU menjadi HGB (hak
guna bangunan).
7. Pengaruh harga komoditi perkebunan yang fluktuatif serta biaya
produksi meningkat.
8. Belum terdapat jaminan regulasi baru yang merangsang investasi
di bidang perkebunan.
Salah satu permasalahan adalah penguasaan lahan/tanah dalam
jumlah yang cukup besar namun tidak dikelola dengan baik. Penguasaan
tanah dalam jumlah cukup besar oleh pihak-pihak tertentu di Kabupaten
Bandung disinyalir telah memberikan kontribusi yang cukup besar
terhadap kemiskinan masyarakat. Setidaknya ada 2 persoalan mendasar
dalam pengelolaan tanah perkebunan yang memiliki dampak langsung
pada kemiskinan masyarakat di Kabupaten Bandung yaitu upah buruh
perkebunan / tani yang sangat rendah di lokasi perkebunan, baik
yang dimiliki oleh badan usaha milik negara (BUMN) atau swasta, serta
pengelolaan tanah terlantar yang dimiliki oleh pemegang hak guna usaha
untuk perkebunan.
Menyadari kondisi tersebut, pemerintah daerah bekerjasama dengan
organisasi masyarakat sipil melakukan upaya reforma agraria sebagai
bagian penting dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan di
Kabupaten Bandung. Pemerintah Kabupaten Bandung menetapkan 3
desa sebagai percontohan dalam upaya tersebut, yaitu Desa Paranggong,
DesaKertasari, serta Desa Cipelah. Ketiga desa tersebut memiliki
persoalan yang berbeda dalam pelaksanaan reforma agraria. Pada Desa
Kertasari upaya yang dilakukan adalah melakukan redistribusi tanah yang
dimiliki PTPN VIII kepada masyarakat miskin. Tanah yang diredistribusi
merupakan tanah-tanah yang disinyalir merupakan tanah terlantar yang
tidak dikelola oleh PTPN VII. Bersamaan dengan habisnya HGU (hak guna
usaha) yang dimiliki oleh PTPN VIII pada tahun 1987 dan sampai saat
ini belum diperpanjang, dijadikan sebagai momentum untuk melakukan
reforma agraria di Desa Kertasari.
Berbeda dengan Desa Kertasari, permasalahan tanah di Desa
Paranggong lebih didominasi oleh konflik dalam pengelolaan tanah
terlantar antara masyarakat miskin dengan pemegang HGU yang berasal
dari pihak swasta. Tanah yang dikuasai oleh pemegang HGU tidak dikelola
sebagaimana mestinya dan cenderung dibiarkan menjadi terlantar selama
bertahun tahun. Melihat kondisi ini, masyarakat miskin berupaya untuk
mengelola tanah pertanian tersebut. Namun pemilik HGU melarang
masyarakat miskin dan buruh tani yang bekerja di lahan yang dikuasai.
Terkait dengan beberapa konflik dalam pengelolaan tanah diatas,
menunjukkan bahwa upaya dalam reforma agraria bukanlah merupakan
suatu hal yang mudah dilakukan dan melibatkan berbagai kebijakan
dan kepentingan berbagai pihak didalamnya. Redistribusi lahan pada
masyarakat miskin, barulah sebuah langkah awal dalam penyelesaian
kemiskinan. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah
memberdayakan masyarakat miskin agar memiliki kemampuan dalam
Seorang Buruh Tani rela menyewa lahan gersang berukuran kurang dari setengah hektar untuk memperbaiki hidup, Meski demikian, usahanya itu tidak membuat keadaannya lebih baik.
16 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 17Mereka Berani Melawan Pemiskinan
mengelola dan menjadikan tanah tersebut sebagai basis produksi dalam
peningkatan pendapatan keluarga.
Selain itu, dibutuhkan keberanian dari pemerintah daerah dalam
melakukan reforma agraria sesuai dengan kewenangan yang diberikan
undang-undang atau peraturan pemerintah. Mahalnya biaya untuk
mengurus pengalihan hak penggunaan tanah menjadi satu tantangan
tersendiri, pemerintah Kabupaten Bandung mengambil langkah untuk
membiayai proses administrasi dalam pengalihan hak pengelolaan tanah
terlantar kepada masyarakat miskin. Biaya pengurusan administrasi
dalam pengalihan hak pengelolaan tanah yang cukup mahal serta ketidak
jelasan kebijakan pemerintah pusat pada pengelolaan lahan terlantar
dituding sebagai salah satu masalah yang menyebabkan reforma agraria
sebagai instrumen penanggulangan kemiskinan tidak dapat berjalan
secara optimal.
Terkait dengan status tanah yang diberikan kepada masyarakat miskin,
merupakan hak pakai dan bukan merupakan hak milik. Hal ini dilakukan
agar tanah yang sudah diberikan tidak diperjual-belikan dikemudian hari
dan menyebabkan masyarakat miskin terjebak kembali dalam perangkap
kemiskinan. Besaran atau luas tanah yang diberikan kepada masyarakat
miskin berbeda-beda dan diberikan dengan mempertimbangkan kebiasaan
dan sejarah pengelolaan tanah yang dilakukan oleh masyarakat. Misalnya
untuk Desa Paranggong, luasan tanah yang diberikan kepada masyarakat
berdasarkan luasan tanah yang dikelola oleh masyarakat miskin sebelum
redistribusi tanah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bandung.
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten
Bandung adalah mengkonsolidasikan SKPD yang terkait untuk
meningkatkan keberdayaan masyarakat miskin dalam pengelolaan tanah
untuk pertanian dalam skala kecil. Upaya yang dilakukan mulai dari
pemberiaan modal usaha, pemberian bibit tanaman, dan sarana produksi,
hingga upaya untuk memperbaiki infrastruktur pertanian. Upaya ini
diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam mendisain kebijakan
reforma agraria sebagai instrumen dalam penanggulangan kemiskinan
yang efektif diKabupaten Bandung.
Serdang Bedagai merupakan kabupaten pemekaran dari Deli Serdang
yang didasarkan pada Undang-undang nomor: 36 tahun 2003 tanggal 18
Desember 2003 dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada 7 Januari
2004 (yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Serdang Bedagai).
Dengan potensi luas wilayah 1.900 km2 dengan panjang garis pantai 95
Km, terdiri dari 17 kecamatan dan 237desa dan 6 kelurahan yang dihuni
sekitar 594.383 jiwa (data BPS tahun 2011).
Visi yang diusung oleh Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai adalah
menjadikan Serdang Bedagai sebagai salah satu kabupaten terbaik di
Indonesia dengan masyarakatnya yang Pancasilais, modern, religius dan
kompetitif.
MeRetaS aSa LeWat GeRBanG SWaRa: RuanG nYata PaRtISIPaSI MaSYaRaKat DaLaM PeMBanGunan DaeRaH
“tenaga kerja sebagai sumbangsih masyarakat dalam pembangunan”
18 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 19Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Untuk mewujudkan visi tersebut, Pemerintah Kabupaten Serdang
Bedagai menyadari bahwa mereka tidak dapat bekerja sendiri, tetapi
harus melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.
Berangkat pada pemikiran tersebut, Pemerintah Kabupaten Serdang
Bedagai mencanangkan strategi pembangunan yang melibatkan
partisipasi masyarakat yang diberi nama “Gerakan Pembangunan Swadaya
Masyarakat” atau yang lebih dikenal dengan “Gerbang Swara”.
Gerbang Swara (Gerakan Pembangunan Swadaya Masyarakat)
Gerbang Swara yang merupakan gerakan kolaborasi antara masyarakat
dan Pemerintah Daerah dalam pembangunan mulai diluncurkan pada
tahun 2005.
Tujuan Gerbang Swara adalah menggerakkan seluruh potensi
dan prakarsa masyarakat Serdang Bedagai untuk berpartisipasi
dalam pembangunan sehingga pembangunan dapat berjalan secara
berkelanjutan. Melalui “Gerbang Swara” masyarakat bukan sekadar menjadi
objek pembangunan, tetapi menjadi pelaku (subyek) pembangunan.
Dengan kata lain, pembangunan diterapkan dengan menggunakan
“wujud nyata kemitraan pemerintah-masyarakat dalam pembangunan: Bupati dan Wakil Bupati bergotong royong dengan masyarakat”
prinsip: Dari, Oleh dan Untuk Masyarakat (DOM).
Sejak diluncurkan, hingga tahun 2009, sebanyak 3.945 kegiatan telah
dilakukan dengan nilai Rp.45.5 miliar. Meliputi pembangunan irigasi,
jalan, gorong-gorong dan rumah ibadah. Semua aktivitas pembangunan
tersebut sepenuhnya melibatkan partisipasi masyarakat yang didasarkan
pada kebutuhan mereka. Di bidang pertanian, kabupaten ini surplus beras
125 ribu ton per tahun dan menjadi lumbung bagi Sumut. Keberhasilan di
bidang ketahanan pangan ini telah meraih penghargaan Ketahanan Pangan
tingkat nasional tiga tahun berturut-turut, 2008, 2009 dan 2010.
Dalam konteks pembangunan pendidikan di Serdang Bedagai,
partisipasi masyarakat dilakukan dalam bentuk hibah bagi pendirian/
pembangunan gedung sekolah. Hibah tersebut berupa pemberian lahan
bagi pendirian gedung sekolah. Beberapa lahan sekolah yang merupakan
hibah masyarakat secara perseorangan maupun kelompok di ataranya:
TK Pembinaan Negeri Kecamatan Teluk Mengkudu, SMP Negeri 2 Teluk
Mengkudu, SMA Negeri 1 Teluk Mengkudu, TK Pembina Negeri Kecamatan
SeiRampah, SMP Negeri 3 Sei Rampah dan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)
Serdang Bedagai.
Selain masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan
pendidikan, dunia usaha dan perkebunan juga memberikan partisipasinya.
Dunia usaha dan perkebunan berpartisipasi dalam pembangunan sekolah,
diantaranya: SMA Negeri 1 Pantai Cermin, SMA Negeri 2 Perbaungan, SMA
Negeri 1 Bintang Bayu, SMA Negeri 1 Dolok Merawan, SMA Negeri 1 Tebing
Tinggi dan Sekolah Luar Biasa (SLB) Kecamatan Pegajahan.
Pembelajaran yang dapat ditarik dari gerakan “Gerbang Swara” yang
dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai adalah bahwa
pembangunan akan lebih berhasil dan berkelanjutan apabila: bertumpu
kepada pemberdayaan dan penguatan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan. Pemerintah hanya menjadi dinamisator dan fasilitator,
sedangkan masyarakat menjadi aktor dari semua kegiatan pembangunan
yang dilakukan. Dengan kata lain pembangunan yang dilakukan dengan
berpegang pada prinsip “Dari, Oleh dan Untuk Masyarakat (DOM)”.
20 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 21Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Membicarakan Kabupaten Jembrana, terlepas dari permasalahan yang
dihadapi saat ini, selalu dikaitkan dengan inovasi yang dilakukan pada
mata kepemimpinan Bupati I Gede Winasa dengan jaminan kesehatan
gratis-nya. Dengan gagasan jaminan kesehatan gratis-nya, Kabupaten
Jembrana menjadi pelopor pemberian jaminan kesehatan gratis pada
masanya. Walaupun pada masa pasca kepemimpinan Bupati I Gede
Winasa jaminan kesehatan yang dikenal dengan nama Jaminan Kesehatan
Jembrana ini menemui kendala terkait dengan keberlanjutannya, tetapi
gagasan tentang pemberian jaminan kesehatan gratis yang dimotori oleh
pemerintah kabupaten/kota dapat dijadikan sebuah pembelajaran bagi
kabupaten/kota lainnya. Apa yang dimaksud dengan Jaminan Kesehatan
Jembrana, bagaimana memulai dan mengelolanya?
Apakah Program Jaminan Kesehatan Jembrana?
Program Jaminan Kesehatan Jembrana dirintis sejak Februari 2002,
dan mulai beroperasi pada Februari 2003. Program ini berupa pemberian
asuransi kesehatan kepada seluruh masyarakat Kabupaten Jembrana,
dan ini bertujuan: 1) meringankan beban masyarakat dalam pembiayaan
kesehatan; 2) memberikan kualitas pelayanan kesehatan yang lebih baik
kepada masyarakat; dan 3) menciptakan kompetisi pelayanan yang sehat
antara pemberi pelayanan kesehatan (PPK) baik negeri maupun swasta.
Program JKJ terdiri atas beberapa komponen, yakni:
1) Lembaga JKJ
Lembaga JKJ adalah lembaga asuransi kesehatan masyarakat Jembrana
yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati Jembrana Nomor :
572 Tahun 2002, tanggal 18 Desember 2002
JaMInan KeSeHatan SeBaGaI WuJuD PeMenuHan HaK ataS KeSeHatan YanG LaYaK BaGI WaRGa MISKIn DI KaBuPaten JeMBRana
2) Peserta JKJ
Peserta JKJ adalah seluruh masyarakat Jembrana terutama keluarga
miskin (Gakin) dan masyarakat umum yang belum terbiayai oleh sistem
pelayanan asuransi kesehatan (ASKES untuk masyarakat PNS, Jamsostek
untuk karyawan perusahan swasta dan asuransi swadana lainnya). Semua
masyarakat mempunyai hak atas premi yang disubsidi oleh pemerintah
Kabupaten Jembrana pada Lembaga JKJ untuk pelayanan kesehatan
tingkat I (PPK-1) pada Puskesmas dan Praktek Dokter/Bidan Swasta yang
menerima JKJ
3) PPK (Pemberi Pelayanan Kesehatan)
Pemberi pelayanan kesehatan yang mengadakan kontrak dengan
lembaga JKJ yaitu : Puskesmas, Praktek Dokter Swasta, Praktek Bidan
Antara PPK JKJ dengan Lembaga JKJ mempunyai hubungan kontrak dimana
kedua belah pihak mempunyai hak dan kewajiban. Apabila PPK JKJ tidak
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sebagaimana
pada kontrak maka pihak Lembaga JKJ dapat memberikan sanksi berupa
skorsing selama beberapa bulan, apabila sanksi tetap dilanggar maka
Deputi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat, DR Adang Setiana Pantau Langsung Program JKJ
22 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 23Mereka Berani Melawan Pemiskinan
“layanan kesehatan JKJ”
pihak Lembaga JKJ dapat melakukan pemutusan hubungan kontrak
Sumber Pembiayaan
Pembiayaan JKJ dilakukan melalui pengalihan subsidi yang semula
diberikan kepada puskesmas dan rumah sakit, kini dialihkan kepada
masyarakat langsung dalam bentuk premi biaya rawat jalan tingkat
pertama melalui lembaga Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ). Selain dari
APBD pembiayaan juga berasal dari dana-dana Gakin, yang sebelumnya
diberikan ke Puskesmas kemudian dialihkan ke JKJ.
Manajemen Pengelolaan JKJ
Manajemen/pengelolaan JKJ menggunakan prinsip-prinsip JPKM yang
telah disempurnakan sesuai dengan program JKJ yaitu :
e Semua dana untuk pelayanan kesehatan disetor ke rekening JKJ pada
Bank Pembangunan Daerah Cabang Negara di Jembrana (BPD Negara).
e Transaksi pembayaran menggunakan sistem klaim, tidak
menggunakan sistem kapitasi seperti aturan JPKM. Dokter umum
mengklaim per pasien sebesar Rp 27.000,- dan Dokter Gigi
mengklaim per pasien sebesar Rp 30.000,-.
e Pembayaran klaim dilakukan oleh Badan Pelaksana JKJ atas dasar
pengajuan klaim oleh PPK. Pengajuan klaim diverifikasi oleh Tim
Verifikasi JKJ, setelah disetujui baru dibayar oleh kasir.
e Ketentuan administrasi bagi seluruh PPK telah tertuang dalam
kontrak, dan diadakan sosialisasi pada pertemuan rutin masing-
masing PPK.
e PPK wajib mengirim laporan data pasien, dan data kesehatan lainnya
sebagai bahan pemantauan kesehatan wilayah oleh Dinas Kesehatan
dan Kesejahteraan sosial Kabupaten Jembrana.
e Diberlakukan demokratisasi pelayanan kesehatan kepada
masyarakat, dimana masyarakat dapat memilih PPK yang dapat
memberikan pelayanan yang lebih baik tanpa dibatasi wilayah, serta
bisa di PPK negeri maupun swasta.
Peran Serta ASKES di Kabupaten Jembrana
Peran Serta ASKES :
e Untuk rawat jalan tingkat pertama (PPK-1) kapitasi Puskesmas
disetorkan ke JKJ untuk tambahan pembiayaan PPK-1 untuk program
JKJ. Peserta ASKES juga mendapatkan kartu JKJ, yang dapat di
pergunakan untuk pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat pertama
(PPK-1) pada praktek dokter swasta atau puskesmas.
e Untuk pelayanan kesehatan lanjutan PPK-2 dan PPK-3, peserta ASKES
tetap mendapat pelayanan pada Rumah Sakit sesuai dengan aturan
pada PT. ASKES.
Monitoring Program JKJ
Monitoring program JKJ di lakukan oleh Dinas Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial Kabupaten Jembrana dan Badan Pengawas Daerah
Kabupaten Jembrana.
24 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 25Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Keberlanjutan
Setelah berjalan selama lebih dari lima tahun, Program JKJ mendapatkan
kendala berupa keberlanjutan program. Selama masa kepemimpinan
Bupati Winasa kendala tersebut tidak muncul ke permukaan. Setelah
Bapak I Gede Winasa tidak lagi menjabat sebagai Bupati Jembrana,
program JKJ mulai menghadapi kendala terkait dengan keberlanjutannya.
Ketika berlangsung proses transisi ke pemerintahan baru (yang tidak lagi
dipimpin oleh Bapak Winasa), peserta JKJ menghadapi masalah ketidak
jelasan pelayanan. Hal ini dikarenakan belum jelasnya pembiayaan JKJ
apakah akan terus dibiayai dari APBD Kabupaten, atau hanya dari APBD
propinsi. Informasi yang kami peroleh, pembiayaan JKJ akan dibiayai dari
APBD propinsi, yakni melalui mekanisme jaminan kesehatan propinsi.
Belajar dari pengalaman Kabupaten Jembrana dengan Progran JKJ-
nya, ketika pemerintah daerah membuat sebuah inovasi, jaminan akan
keberlanjutan menjadi hal yang penting.
Secara politik kedaulatan rakyat hanya terjadi saat setiap warga
negara menentukan pilihan politiknya di bilik suara Pemilu Legislatif,
Pemilu Presiden, dan Pemilu Kepala daerah, setelah itu kedaulatan
rakyat dijalankan oleh wakilnya di gedung Dewan Perakilan Rakyat.
Berbeda dengan Kabupaten Kebumen, sebuah terobosan dimulai dengan
melembagakan kedaulatan rakyat melalui jalur perencanaan pembangunan
yakni perencanaan partisipatif dan kuota anggaran kecamatan.
Perencanaan merupakan kunci dari keberhasilan yang diraih, tidak
terkecuali dengan perencanaan pembangunan atau musyawarah
perencanaan pembangunan yang merupakan kegiatan rutin yang
dilakukan oleh pemerintah daerah setiap tahunnya. Salah satu kunci
keberhasilan dalam perencanaan pembangunan adalah dengan melibatkan
masyarakat dalam menyusun usulan kegiatan yang menjadi rencana
kerja pemerintah dalam waktu satu tahun. Dalam Undang-Undang
perencanaan pembangunan No 25 Tahun 2004 disebutkan dengan tegas
bahwa masyarakat berhak diikutsertakan dalam seluruh proses yang
terkait dengan tahapan penyusunan perencanaan pembangunan tersebut.
Walaupun demikian, dalam prakteknya masyarakat seringkali tidak
dilibatkan, bahkan hanya menjadi pelengkap dalam tahapan perencanaan
pembangunan tersebut.
Tidak dilibatkannya masyarakat ditingkat desa dalam pelaksanaan
musrenbang dilatarbelakangi oleh sejumlah pandangan yang dimiliki oleh
birokrasi pemerintah, bahwa masyarakat desa tidak mampu memahami
proses teknokrasi tersebut, masyarakat seringkali mengusulkan sesuatu
yang tidak dapat didanai, dan sejumlah alasan lainnya. Fakta lainnya adalah
penurunan partisipasi masyarakat dalam kegiatan perencanaan pembangunan
juga disebabkan usulan dalam kegiatan musrenbang tidak pernah dipenuhi
oleh pemerintah daerah, hal inilah yang menyebabkan ketidakpedulian
KeBuMen PeLoPoR KeDauLatan RaKYat ataS PeMBanGunan MeLaLuI Kuota anGGaRan KeCaMatan
26 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 27Mereka Berani Melawan Pemiskinan
masyarakat jika diundang dalam musrenbang ditingkat desa.
Berkaca pada kondisi tersebut, Pemerintah Kabupaten Kebumen melakukan
sejumlah terobosan dan perbaikan terhadap mekanisme pelaksanaan
musrenbang di tingkat desa, kecamatan, bahkan juga di tingkat kabupaten.
Langkah pertama yang dilakukan adalah memastikan hak masyarakat
untuk terlibat dalam setiap perencanaan musrenbang mau pun penyusunan
kebijakan pembangunan lainnya melalui penetapan peraturan daerah tentang
partisipasi masyarakat. Langkah kedua yang dilakukan adalah dengan
menetapkan kuota kecamatan yang merupakan kebijakan daerah untuk
menyediakan alokasi anggaran pada tingkat kecamatan untuk memberikan
jaminan terhadap pelaksanaan usulan masarakat dalam musrenbang tingkat
desa. Alokasi anggaran yang disediakan untuk kuota kecamatan tersebut
sebesar 30 %. Langkah ketiga adalah mensinergikan dokumen RPJM Desa
dengan dokumen RKP Desa serta dengan perencanaan program lainnya.
“proses perencanaan dan penganggaran yang partisipatif tercermin dalam pembahasan anggaran yang melibatkan seluruh stakeholder”
Kuota kecamatan merupakan instrumen yang efektif, bukan
hanya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam forum
perencanaan pembangunan, akan tetapi juga meningkatkan percepatan
pembangunan ditingkat kecamatan. Pelaksanaan mekanisme kuota
kecamatan mengalami beberapa tahapan penyempurnaan, terutama
yang terkait dengan perluasan penerapan kuota kecamatan di Kabupaten
Kebumen. Salah satu aspek penting yang disorot dalam kuota kecamatan
adalah kriteria atau indikator yang digunakan dalam pemberian kuota
kecamatan. Saat ini pemberian indikator kecamatan masih menggunakan
indikator kewilayahan dan pertumbuhan ekonomi sebagai dasar
pemberian kuota kecamatan, akan tetapi pemerintah daerah juga
mulai memikirkan untuk memasukkan kinerja camat sebagai salah satu
indikator dalam pemberian kuota kecamatan. Indikator kinerja kecamatan
yang diusulkan sangat terkait dengan indikator pemenuhan hak dasar
seperti angka kematian bayi, angka kematian ibu, jumlah angka putus
sekolah, pertumbuhan penduduk miskin, serta indikator pertumbuhan
ekonomi. Pada awalnya para camat setuju dengan penerapan indikator
tersebut, akan tetapi setelah dievaluasi oleh tim, banyak camat yang
memiliki kinerja yang rendah. Kinerja camat yang rendah menyebabkan
suatu kecamatan memperoleh alokasi anggaran kuota kecamatan yang
rendah. Pada sisi ini para camat memang dituntut untuk memperbaiki
kinerjanya secara kolektif baik pada tingkat kecamatan maupun ditingkat
desa. Penurunan alokasi anggaran kuota kecamatan ini sempat membuat
ketegangan antara pemerintah kabupaten (dalam hal ini Bappeda), para
camat, serta DPRD. Namun setelah dilakukan dialog dengan melibatkan
berbagai pemangku kepentingan, akhirnya semua pihak dapat memahami
proses tersebut.
Sisi positif lain dari pelaksanaan kuota kecamatan adalah kualitas
usulan masyarakat dalam musrenbang semakin meningkat. Masyarakat
tidak lagi hanya mengusulkan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan
pembangunan sarana fisik semata, akan tetapi juga mulai memikirkan
usulan yang terkait dengan pembangunan manusia ditingkat perdesaan.
Partisipasi dalam musrenbang juga mulai melibatkan perempuan dalam
setiap proses, bahkan keterwakilan perempuan dalam setiap proses
28 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 29Mereka Berani Melawan Pemiskinan
“pembahasan kuota kecamatan dalam rapat pembahasan anggaran”
perencanaan pembangunan diberikan afirmasi dalam pengiriman delegasi
untuk mengikuti musrenbang ditingkat kecamatan dan kabupaten. Selain
itu, desa–desa yang dapat memanfaatkan anggaran kuota kecamatan
diwajibkan untuk menyusun atau telah memiliki dokumen RPJMDes dan
RPKDes.
Salah satu tantangan dalam pelaksanaan kuota kecamatan ini adalah
ketersediaan anggaran pada APBD. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah
anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah pusat cenderung menurun,
hal ini menyebabkan pemerintah kabupaten melakukan rasionalisasi
terhadapalokasi anggaran pada kuota kecamatan, serta melakukan
perubahan pada mekanisme penganggarannya. Anggaran kuota kecamatan
kemudian diintegrasikan dengan tupoksi dari SKPD. Hal ini menyebabkan
SKPD harus melakukan sosialisasi pada masyarakat tentang kebijakan,
program, serta kegiatan yang akan dilakukan dalam waktu 1 tahun dengan
masyarakat. Jika semakin banyak usulan masyarakat yang terkait dengan
kegiatan dari SKPD yang bersangkutan, maka alokasi anggaran untuk
SKPD tersebut akan ditingkatkan. Hal ini dirasakan cukup efektif untuk
mensiasati keterbatasan anggaran serta keinginan pemerintah daerah
untuk tetap mendukung pelaksanaan kuota kecamatan. Sehingga walaupun
persentase kuota kecamatan diturunkan, akan tetapi pada saat bersamaan
ditingkatkan alokasi anggarannya pada kegiatan SKPD.
Selain tantangan dari minimnya alokasi anggaran ditingkat desa,
tantangan lainnya adalah komitmen pemerintah daerah dalam hal ini
SKPD agar meningkatkan porsi kegiatan yang menjadi usulan masyarakat
dibandingkan dengan kegiatan rutin, pengawalan pelaksanaan program
atau kegiatan yang telah disepakati dalam musrenbang, serta perlu
adanya fokus yang jelas dalam mengembangkan potensi ke wilayahan
yang dimiliki oleh masing-masing kecamatan. Terkait dengan pengawalan
pelaksanaan kegiatan ditingkat masyarakat, pemerintah daerah juga
membangun kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil. Peran
organisasi masyarakat sipil sangat efektif tidak hanya dalam melakukan
pengawalan pelaksanaan kegiatan, akan tetapi juga melakukan
pemberdayaan dan pendampingan secara langsung pada pemerintah
ditingkat desa dan masyarakat dalam pelaksanaan kuota kecamatan.
30 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 31Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Kolaborasi pemerintah daerah dengan kelompok masyarakat sipil
di level desa pada awalnya bukanlah sesuatu yang mudah diwujudkan.
Perbedaan pandangan tentang masing-masing menjadi salah satu
kendala. Perbedaan persepsi tersebut semakin diperparah dengan adanya
perbedaan dalam memandang apa yang dibutuhkan oleh masyarakat,
terutama masyarakat miskin. Pemerintah yang masih dipengaruhi
pemikiran bahwa merekalah yang paling tahu kebutuhan masyarakat
karena mereka pengayom masyarakat, melakukan perencanaan program
tanpa melibatkan kelompok-kelompok masyarakat sipil. Sedangkan
kelompok masyarakat sipil yang dipengaruhi pemikiran bahwa pemerintah
selalu salah, semakin tidak terlibat dalam proses perencanaan. Akibatnya,
kebijakan dan program yang dihasilkan oleh pemerintah tidak menjawab
KetIKa RaKYat Dan PeMeRIntaH BeRSatu MeLaWan PeMISKInan
“musrenbang kecamatan” : “pemerintah menyadari pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan”
permasalahan dan kebutuhan masyarakat, terutama masyarakat miskin.
Kelompok masyarakat sipil mengambil posisi oposisi terhadap pemerintah.
Tetapi kondisi ini mulai berubah sekitar tahun 2006. Kehadiran pejabat
pemerintah daerah yang berpikiran “terbuka” akan kehadiran kelompok
masyarakat sipil, membuka peluang bagi kelompok masyarakat sipil
untuk dapat memberikan masukan kepada pemerintah daerah. Beberapa
kelompok masyarakat sipil yang kemudian menggabungkan diri dalam
sebuah wadah yang diberi nama “konsorsium lombok tengah” yang
pada awalnya berada dalam posisi yang selalu “berkonfrontasi” dengan
pemerintah karena tidak adanya ruang dialog damai, akhirnya menjadi
mitra sejajar pemerintah dalam proses perumusan kebijakan di Lombok
Tengah. Hal ini dimungkinkan karena kehadiran orang-orang di jajaran
pemerintah Lombok Tengah yang memberi ruang bagi adanya peran
kelompok masyarakat sipil dalam proses perumusan kebijakan.
Konsorsium Lombok Tengah dan Perubahan yang terjadi
Sejak tahun 2006 hingga sekarang, Konsorsium OMS (Organisasi
Masyarakat Sipil) Lombok Tengah telah banyak melakukan kegiatan-
kegiatan pendampingan fasilitasi maupun program yang berkaitan dengan
proses pemberdayaan masyarakat sipil.
Konsorsium juga senantiasa berupaya untuk mendorong supaya
pemerintah Kabupaten Lombok Tengah mengeluarkan kebijakan yang
berpihak kepada masyarakat, terutama orang miskin dan perempuan.
Upaya ini dilakukan melalui kegiatan-kegiatan: diskusi, hearing dan
audensi dengan Pemda (eksekutif dan legislatif) tentang berbagai persoalan
yang menyangkut publik, membuat media informasi (Tabloid) sebagai
sarana komunikasi di tengah masyarakat, melakukan koordinasi dengan
pelaku pembangunan, terutama yang ada di Kabupaten Lombok Tengah,
seperti Dinas/Instansi yang ada, DPRD, program-program kemiskinan,
program-program pemerintah pusat lainnya, bersama masyarakat desa
mengawal hasil perencanaan dan pembangunan, bersama dengan Pemda
dan stakeholder lainnya menyusun indikator kemiskinan Lombok Tengah
sebagai indikator lokal. Bersama dengan Dinas Kesehatan, melaksanakan
verifikasi data kemiskinan Kabupaten Lombok Tengah pada tahun 2008.
32 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 33Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Melalui kolaborasi yang baik antara Pemerintah Kabupaten Lombok
Tengah dengan konsorsium OMS Lombok Tengah telah dicapai beberapa
perubahan penting, diantaranya: 1) tersusunnya Renstra Desa di 124
Desa di seluruh Lombok Tengah yang difasilitasi secara partisipatif oleh
Konsorsium Lombok Tengah dan Program-Program Penanggulangan
Kemiskinan (P2KP, PPK, SCBD dll); 2) terbukanya ruang partisipasi bagi
masyarakat sipil dalam Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
Daerah (TKPKD), sehingga TKPKD menjadi lebih partisipatif; 3) adanya
peta program-program penanggulangan kemiskinan di seluruh desa (perlu
update sesuai kondisi terkini); 4) ada monev untuk program-program
Penanggulangan Kemiskinan (khususnya jamkesmas dan raskin); 5)
ada kompilasi indikator kemiskinan lokal sebagai upaya mendefinisikan
postur dan kemiskinan yang lebih faktual sebagai dasar delivery program-
program kemiskinan di Lombok Tengah.
“musrenbang kecamatan” : “pemerintah menyadari pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pembangunan”
Bagaimana Mewujudkan Kolaborasi Pemda dan Kelompok Masyarakat
Sipil
Kolaborasi antara Pemerinta Daerah dan kelompok masyarakat sipil
dimungkinkan terjadi apabila kedua belah pihak melepaskan ego masing-
masing demi mencapai tujuan yang sama. Sesungguhnya, kedua belah
pihak memiliki tujuan yang sama. Kondisi ini terjadi di Kabupaten Lombok
Tengah, dimana terjadi kolaborasi yang baik antara Pemerintah Kabupaten
dengan Konsorsium OMS (Organisasi Masyarakat Sipil) Lombok Tengah.
Konsorsium OMS Lombok Tengah yang sekarang berpusat di Kota
Praya Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat pada awalnya
merupakan gabungan atau kumpulan dari 24 Lembaga Swadaya
Masyarakat/Organisasi Masyarakat Sipil. Lembaga ini terbentuk pada awal
tahun 2006, yang waktu pembentukannya difasilitasi oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Lombok Tengah yakni Bappeda, dengan kegiatan
pertama mengawal dan memfasilitasi penyusunan Rencana Strategis Desa
seluruh desa dan kelurahan di Kabupaten Lombok Tengah (dulu, 124
desa). Selanjutnya, kerjasama tersebut terus dibina dan berjalan tidak
hanya dalam memfasilitasi penyusunan Renstra Desa, tetapi juga dalam
setiap proses perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan.
Penutup
Catatan penting yang dapat ditarik dari pengalaman Pemerintah
Kabupaten Lombok Tengah adalah bahwa pelibatan OMS dalam proses
perencanaan pembangunan daerah dan juga proses-proses perumusan
kebijakan lainnya, menghasilkan program dan kebijakan yang lebih
sensitif atas kebutuhan masyarakat, utamanya masyarakat miskin. Untuk
mewujudkan kolaborasi yang baik antara OMS dan Pemerintah Daerah
dibutuhkan komitmen dan perubahan cara pandang dari masing-masing
pihak agar tercipta kesamaan cara pandang dan tujuan. Sikap “anti”
pemerintah dalam diri OMS, dan sebaliknya, sikap “anti” OMS, harus
dihilangkan demi mencapai tujuan bersama, memajukan masyarakat.
Walaupun proses tersebut membutuhkan waktu yang panjang, tetapi
dengan adanya komitmen masing-masing pihak, hal tersebut dapat
dicapai, dan terbukti di Kabupaten Lombok Tengah.
34 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 35Mereka Berani Melawan Pemiskinan
(Bebas biaya bersalin, bebas biaya antar jenazah dan pemakaman, bebas biaya
kesehatan, bebas biaya pendidikan dan bebas pendampingan hukum bagi warga miskin)
Kota Makassar merupakan kota terbesar keempat di Indonesia dan
terbesar di Kawasan Timur Indonesia yang memiliki luas areal 175,79
km2 dengan penduduk 1.112.688, sehingga kota ini sudah menjadi kota
Metropolitan. Sebagai pusat pelayanan di Kawasan Indonesia Timur (KTI),
Kota Makassar berperan sebagai pusat perdagangan dan jasa, pusat
kegiatan industri, pusat kegiatan pemerintahan, simpul jasa angkutan
barang dan penumpang baik darat, laut maupun udara dan pusat
pelayanan pendidikan dan kesehatan.
RaKYat MISKIn DI MaKaSSaR, SeJaK LaHIR HInGGa aKHIR HaYat HIDuPnYa BeBaS!
“partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan”
Menyadari posisi sebagai pusat pelayanan di KTI, Pemerintah Kota
Makasar selalu berupaya untuk meningkatkan pelayanan publik di
daerahnya, terutama terkait dengan pelayanan pendidikan dan kesehatan.
Upaya ini dilakukan pula oleh Pemimpin Daerah Kota Makasar dibawah
kepemimpinan Walikota Ilham Arief Sirajuddin melalui program
“unggulan” IASMO Bebas.
Program IASMO Bebas
IASMOadalah akronim dari “Ilham Arief Sirajuddin dan Soepomo ”tidak
hanya sebagai aikon kampanye pilkada walikota dan wakil walikota
Makassar, melainkan juga sebagai program unggulan yang di “jual”
kepada rakyat Kota Makassar. Ketika pasangan ini memenangkan pilkada
dan menjadi Walikota dan Wakil Walikota Makasar, aikon kampanye
tersebut menjadi Kebijakan utama pemerintah Kota Makasar.
Program ini memberikan jaminan pemenuhan hak kaum miskin atas
biaya persalinan, akte kelahiran, KK, dan KTP; bebas biaya sekolah dan
pengobatan; bebas biaya bantuan hukum; dan bebas biaya pengantaran
jenazah dan pemakaman.
Di bidang pendidikan, IASMO Bebas mencakup sekolah gratis (sekolah
bersubsidi penuh) dan menetapkan bahwa sekolah gratis (sekolah
bersubsidi penuh) adalah sekolah yang ditetapkan oleh pemerintah
Kota Makasar berupa SD dan SLTP dalam wilayah Kota Makasar, yang
melakukan proses belajar-mengajar dengan tidak memungut biaya
apa pun dari siswa. Siswa benar-benar digratiskan dari semua bentuk
pembayaran, baik biaya sekolah maupun seluruh biaya proses belajar
mengajar lainnya, kecuali seragam sekolah. Sasaran program ini 70%
siswa tidak mampu atau orang tua miskin SD, SMP, SMA.
Selain sekolah gratis, program IASMO Bebas di bidang pendidikan
juga memberikan pendidikan gratis, yakni: membebaskan biaya sekolah
pada jenjang pendidikan dasar bagi seluruh siswa baik miskin atau
kaya, sehingga menjamin kelancaran pelaksanaan proses pembelajaran
dalam upaya peningkatan mutu pendidikan dasar SD dan SLTP. Sasaran
program pendidikan gratis adalahsemua siswa SD dan SMP. Sedangkan
yang menjadi pelaksana adalah Dinas Pendidikan dan Sekolah.
36 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 37Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Dinas Pendidikan berfungsi sebagai pengendali program, sedangkan
sekolah mendistribusikan berbagai kebutuhan dan operasional proses
pembelajaran.
Untuk mendapatkan pelayanan gratis ini, calon siswa harus melengkapi
beberapa persyaratan, diantaranya: ijasah, kartu keluarga, dan akte
kelahiran. Sedangkan persyaratan yang dibutuhkan untuk memperoleh
beasiswa adalah: fotocopy kartu keluarga, fotocopy KTP, dan fotocopy
raport yang telah dilegalisir.
Melalui kebijakan tersebut, hal positif yang dirasakan adalah
keringanan pembiayaan sekolah, namun belum serta merta meningkatkan
angka partisipasi sekolah secara signifikan mengingat daya tampung
sekolah yang sangat terbatas dibandingkan dengan calon siswa yang
hendak melanjutkan ke sekolah, baik SD atau sederajat, maupun SMP
atau sederajat.
Di bidang kesehatan, IASMO Bebas memberikan program pelayanan
kesehatan gratis, yang mencakup: (i) pelayanan kesehatan dasar di
Puskesmas dan jaringannnya; dan (ii) pelayanan kesehatan lanjutan di RS
Umum Daya.
Pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas meliputi: (1) pemeriksaan
dokter, pengobatan dan konsultasi kesehatan; (2) pelayanan laboratorium;
(3) tindakan medik dasar (umum & gigi dan mulut); (4) pelayanan kesehatan
Ibu dan Anak (KIA) dan KB; (5) surat keterangan lahir; (6) surat keterangan
sakit; (7) pelayanan tindak medik khusus; (8) persalinan anak; dan (9) rawat
inap (Puskesmas perawatan). Sedangkan pelayanan kesehatan lanjutan di
RSU Daya meliputi: (1) pelayanan lanjutan KIA dan KB; (2) pelayanan surat
keterangan; (3) pelayanan pemeriksaan laboratorium tingkat lanjutan;
dan (4) pelayanan rawat inap kelas III.
Guna menunjang program ini, Pemerintah Kota Makasar dan Pemerintah
Propinsi Sulwesia Selatan mengalokasikan anggaran pelayanan gratis di
Puskesmas pada tahun 2010 sebesar RP.18,108 miliar (APBD Kota sebesar
Rp.10,865 miliar (60%); dan APBD Propinsi sebesar Rp.6,189 (40%)), dari
total dana kesehaan sebesar Rp. 37,161 miliar. Alokasi anggaran untuk
RSU Daya sebesar Rp.4,829 miliar (APBD Propinsi sebesar Rp.1,975 miliar
(40%) dan APBD Kota Rp.2,854 miliar (60%)). “dialog dengan pengguna layanan sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan”
38 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 39Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Untuk memperoleh pelayanan di Puskesmas dan Pustu cukup dengan
membawa kartu kontrol yang diperoleh melalui persyaratan kartu
keluarga.
Pelayanan di rumah sakit didahului dengan persyaratan administrasi
(walaupun pasien dalam keadaan darurat). Sebelumnya akan diwawancara
dulu jenis pelayanan kesehatannya, seperti Jamkesmas, Askes, Umum atau
Jamkesda. Setelah administrasi lengkap, barulah diberikan intervensi oleh
dokter atau petugas kesehatan. Persyaratan administrasi utama adalah
rujukan dari Puskesmas, namun bila tidak ada, cukup bukti kependudukan
dan secepatnya diminta untuk mengurus surat rujukan secepatnya.
Dengan adanya Program IASMO Bebas, hasil yang dirasakan oleh warga
Kota Makasar adalah pelayanan kesehatan lebih bagus karena tidak ada
lagi permintaan pembiayaan. Masyarakat merasa dimudahkan. Tidak ada
lagi pasien yang tidak tertolong karena masalah dana, demikian pula pada
rumah sakit yang ditunjuk.
Penutup
Walaupun masih terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaannya,
misalnya kurangnya sosialisasi tentang program sekolah dan pendidikan
gratis kepada orang tua murid, atau sikap dan perilaku petugas
kesehatan yang tidak simpatik terhadap pasien, program IASMO Bebas
ini memberikan dampak positif bagi masyarakat Kota Makasar. Dengan
adanya program IASMO Bebas, masyarakat merasa dimudahkan, tidak
ada lagi kaum mikin yang menjadi korban keterlantaran pelayanan
publik karena ketidak mampuan mereka atas biaya hidupnya atau karena
masalah dana.
Sejarah kepemimpinan perempuan Aceh kembali terukir ketika seorang
“dara” Aceh yang diwakili Illiza Sa’aduddin Djamal tampil memenangkan
Pilkada Kota Banda Aceh sebagai Wakil Walikota bersama Mawardi Nurdin
sebagai Walikotanya. Kita semua tahu bahwa, belum ada perempuan Aceh
yang menjadi pemimpin setelah Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Laksamana
Malahayati, Sri Ratu Safiatuddin, dimasa kerajaan Aceh dan masa
perjuangan melawan Belanda. Tampilnya Illiza sebagai Wakil Walikota
Banda Aceh, bertekad menjadikan Kota Banda Aceh sebagai kota ramah
gender didasarkan pada sejarah Aceh selama konflik, kaum perempuan
menjadi korban secara ekonomi, politik, sosial, dan phisikis.
MUSRENA (Musyawarah Rencana Aksi Kaum Perempuan) adalah
instrumen utama Pemerintah dalam mewujudkan Kota ramah Gender.
Gagasan ini merupakan perwujudan dari komitmen Walikota dan Wakil
Walikota dan jajaran birokrasinya untuk membuka seluas-luasnya
ruang partipasi bagi seluruh masyarakat khususnya kaum perempuan
dalam keseluruhan proses pembangunan kota. Sesungguhnya apa dan
bagaimana Musrena itu? Tulisan yang bersumber dari wawancara dengan
Ibu Illiza Sa’aduddin Djamal dan beberapa dokumen/laporan sebagai
pendukung ini berusaha menggambarkan hal tersebut.
Apa dan Mengapa Musrena?
Gagasan tentang perlunya Musrena dilatarbelakangi oleh keprihatinan
akan rendahnya partisipasi kaum perempuan di Kota Banda Aceh dalam
proses perencanaan pembangunan, sementara komposisi jumlah
penduduk perempuan dan laki-laki di Kota Banda Aceh relatif berimbang.
Selain itu, ditemui adanya beberapa penyimpangan dari aturan normatif
dan bersifat tidak ramah terhadap keterlibatan perempuan. Dalam proses
perencanaan didapatkan beberapa situasi sebagai berikut :
MenJaDIKan BanDa aCeH Kota RaMaH JenDeR
40 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 41Mereka Berani Melawan Pemiskinan
“partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan”
1) Peserta yang terlibat dalam proses perencanaan, dari Musrenbang
di tingkat desa sampai dengan Musrenbang di tingkat kota,
kebanyakan adalah perangkat pemerintah atau tokoh masyarakat.
Kelompok masyarakat awam jarang sekali terlibat, apalagi kelompok
perempuan. Kalaupun ada kelompok perempuan yang terlibat, hanya
dari kelompok PKK atau isteri dari aparat pemerintah.
2) Minimnya keterlibatan perempuan mengakibatkan usulan yang
dihasilkan kurang berpihak kepada perempuan. Usulan pembangunan
fisik dan infrastruktur masih menjadi primadona, tetapi usulan berupa
perbaikan gizi, peningkatan kualitas hidup anak melalui pemberian
makanan tambahan,posyandu dan usulan serupa lainnya, hampir
tidak pernah muncul.
3) Waktu dan tahapan yang harus dilalui oleh masyarakat dalam proses
ini sangat panjang dan melelahkan, selain itu tidak ada kepastian
bahwa usulan masyarakat akan diakomodir.
4) Minimnya keterwakilan perempuan di DPRD juga sangat menentukan
keluaran/hasil dari negosiasi dalam proses perencanaan
5) Proses perencanaan, seperti halnya proses lain di daur penganggaran,
tidak memperhatikan penerima manfaat dari anggaran yang
direncanakan/disusun. Akibatnya beberapa program yang ada
menjadi netral Gender, bias Gender bahkan buta Gender
Tujuan khusus dari metode perencanaan ini adalah untuk memperkuat
posisi perempuan dalam peroses pengambilan keputusan dan pembuatan
kebijakan yang selama ini didominasi oleh laki-laki, dalam hal-hal berikut:
menyadarkan kaum perempuan akan pentingnya peranan mereka dalam
menentukan arah pembangunan daerah, membangun pengertian yang
lebih baik terhadap kebutuhan perempuan serta memperbaiki kehidupan
mereka melalui program/kegiatan pembangunan daerah. Sedangkan
tujuan umum dari Musrena adalah untuk mewujudkan kota Banda Aceh
sebagai kota yang ramah Gender
Sumber Pembiayaan
Pelaksanaan Musrena pada awalnya dibiayai oleh GTZ-SLGSR, tetapi
Laporan Kota Banda Aceh untuk Metro TV MDG’s Awards 2010
42 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 43Mereka Berani Melawan Pemiskinan
“perempuan bale inong mendiskusikan usulan kegiatan yang akan disampaikan dalam forum Musrena”
untuk selanjutnya, hingga saat ini, pembiayaan pelaksanaan Musrena
berasal dari Pemerintah Kota Banda Aceh. Pada tahun 2008 Pemerintah
Kota Banda Aceh telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 28,052,160;
pada tahun 2009 sebesar Rp 58,066,000; dan pada tahun 2010 sebesar
Rp 38,460,000,- Jika diamati, terjadi penurunan alokasi anggaran
pelaksanaan Musrena pada tahun 2010. Hal ini disebabkan terjadinya
defisit anggaran Pemerintah Kota Banda Aceh.
Proses dan Pengelolaan Musrena
Mekanisme Musrena dilakukan di tingkat gampong dan di tingkat
kecamatan yang kemudian berlanjut pada Forum Integrasi. Musrena
di tingkat gampong bertujuan untuk mencapai kesepakatan usulan
kegiatan desa dengan melakukan kajian desa untuk menggali informasi
terkait dengan kebutuhan, permasalahan, potensi dan sumber daya
serta penentuan cita-cita harapan masa depan masyarakat khususnya
perempuan, yang akan dibiayai dari APBD dan Alokasi Dana Desa (ADD).
Tokoh perempuan akan mengadakan pertemuan dan memilih 2 (dua)
orang perwakilan untuk pelaksanaan Musrena di tingkat kecamatan.
Dengan jumlah kecamatan di kota Banda Aceh sebanyak 9 kecamatan,
pelaksanaan Musrena di tingkat kecamatan dilakukan sebanyak 3 kali,
dimana untuk masing-masing pelaksanaannya menggabungkan 3
kecamatan. Musrena di tingkat kecamatan diikuti oleh dua perwakilan
dari masing-masing gampong. Masing-masing pelaksanaan Musrena
kecamatan akan dilaksanakan selama 2 (dua) hari. Supaya perempuan
dapat mengambil bagian di dalam kedua mekanisme perencanaan, maka
Musrena kecamatan dilaksanakan pada waktu yang tidak bersamaan
dengan pelaksanaan Musrenbang di kecamatan yang bersangkutan.
Peserta Musrena, terdiri dari : anggota PKK, anggota koperasi wanita
terpilih, anggota pengusaha perempuan terpilih, anggota pengajian
perempuan terpilih; aparat Kecamatan dan Muspika setempat.
Dalam pelaksanaan Musrena pertama, peserta Musrena diberi
pengetahuan tentang proses perencanaan pembangunan di daerah,
dimana didalamnya juga dijelaskan tentang Musrena. Setelah terjadi
kesamaan pemahaman, barulah dilanjutkan dengan paparan tentang
program dan anggaran dari masing-masing SKPD. Maksud dari paparan
ini adalah untuk memberikan gambaran kepada peserta Musrena tentang
alokasi anggaran yang tersedia.
Dalam Musrena selanjutnya, paparan tentang proses perencanaan
pembangunan tidak lagi diberikan secara khusus dan panjang
lebar seperti ketika pelaksanaan Musrena pertama karena peserta
Musrena telah memiliki pemahaman tentang hal tersebut. Paparan
lebih dititikberatkan pada alokasi anggaran dan program oleh masing-
masing SKPD. Dengan demikian, peserta Musrena dapat merumuskan
kebutuhan yang akan dituangkan dalam kegiatan dan program lebih
efektif. Perbedaan lainnya adalah, dalam Musrena kedua, didahului
dengan evaluasi dari realisasi usulan-usulan mereka dalam Musrena
pertama (sebelumnya).
Walaupun pemberian pengetahuan tentang proses perencanaan
pembangunan tidak lagi diberikan secara khusus, tetapi dalam
pembukaan Musrena, selalu diberikan pemahaman tentang hal tersebut,
dan juga tentang permasalahan terkini yang dihadapi oleh kaum
perempuan di Kota Banda Aceh khususnya, dan permasalahan yang
dihadapi keluarga secara umum. Dengan demikian, peserta Musrena
44 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 45Mereka Berani Melawan Pemiskinan
memperoleh gambaran tentang apa yang akan mereka usulkan dalam
Musrena. Dengan kata lain, usulan mereka berangkat dari permasalahan
dan kebutuhan riil, bukan berdasarkan keinginan.
Pembelajaran menarik yang dapat ditarik dari pengalaman Musrena
Kota Banda Aceh adalah apa yang disampaikan oleh Ibu Illiza ketika
wawancara, yakni, “dalam komunikasi dengan peserta Musrena, gunakan
bahasa yang sederhana, jangan gunakan bahasa atau istilah pembangunan
(atau perencanaan pembangunan) sehingga sulit dimengerti”.
Tantangan dan Keberlanjutan
Sebagai sebuah upaya peningkatan partisipasi politik perempuan,
tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan Musrena sejak awal adalah
memberikan penyadaran kepada kaum lelaki tentang pentingnya
partisipasi politik perempuan. Tantangan lain adalah mengajak dan juga
memberikan penyadaran kepada kaum perempuan tentang pentingnya
keterlibatan mereka dalam proses perencanaan dan perumusan kebijakan.
“perempuan bale inong belajar tentang perencanaan strategis”
Dengan upaya penyadaran yang terus menerus dan tidak kenal lelah,
tantangan ini dapat diatasi.
Tantangan selanjutnya adalah terkait dengan komitmen Pemimpin
Daerah Kota Banda Aceh untuk terus melanjutkan pelaksanaan Musrena
sehingga upaya mewujudkan Kota Banda Aceh sebagai Kota Ramah Jender
dapat terlaksana, karena tanpa adanya komitmen Pemimpin Daerah dan
jajarannya, serta dukungan seluruh warga Kota Banda Aceh, perjuangan
mewujudkan Kota Banda Aceh sebagai Kota Ramah Jender menjadi suatu
upaya yang sia-sia dan tidak berkelanjutan.
46 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 47Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Sejak lama impian agar setiap proses dalam pelaksanaan
pembangunan melibatkan partisipasi rakyat bukanlah suatu angan-
angan dan mimpi semata, akan tetapi tercermin secara nyata dalam
praktek pembangunan. Sejak disahkannya UU No 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, harapan untuk
melembagakan partisipasi masyarakat secara permanen dalam
penyusunan perencanaan pembangunan muncul kembali. Walaupun
demikian, proses pelembagaan partisipasi tersebut perlu didampingi,
tidak hanya dalam kerangka membuka ruang partisipasi bagi masyarakat
akan tetapi juga memberdayakan masyarakat untuk memanfaatkan ruang
partisipasi tersebut agar dapat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya
bagi masyarakat miskin.
Sebagaimana telah menjadi rahasia umum, proses partisipasi dalam
musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat desa dan kecamatan
“PeLeMBaGaan PaRtISIPaSI RaKYat DaLaM PeMBanGunan BISa!”
“pembangunan infrastruktur: salah satu usulan melalui program P3K”
sering kali hanya dimaknai sebagai suatu proses ritual yang dilakukan
dari tahun ketahun ,dan seringkali mengabaikan keinginan rakyat yang
disuarakan dalam forum tahunan tersebut. Alasan klasik yang selalu
disampaikan oleh birokrasi pemerintah adalah tidak ada alokasi anggaran
atau DPRD tidak menyetujui usulan masyarakat, cukup ampuh untuk
meredam kekecewaan masyarakat. Walaupun demikian, tanpa disadari
kondisi ini menyebabkan munculnya apatisme dan perilaku skeptis
masyarakat terhadap pemerintah daerah.
Terkait dengan hal tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Sukabumi
mencoba untuk mencari solusi terhadap persoalan tersebut dengan
menggulirkan program P3K (Program Pembangunan Partisipasi
Kecamatan). P3K bertujuan untuk memperkuat pendanaan pembangunan
disuatu kecamatan yang tidak dapat dilakukan dengan mekanisme
pendanaan reguler, seperti Alokasi dana Desa (ADD), serta kegiatan
PNPM. Jelasnya P3K memperkuat kegiatan atau program pembangunan
yang tidak dapat didanai oleh ADD dan PNPM. Walau pun demikian,
penyaluran anggaran P3K tidak dilakukan dengan mekanisme penjatahan
sebagaimana mekanisme penyalura anggaran secara reguler akan tetapi
melalui proses kompetisi dalam suatu kecamatan.
Sepintas mekanisme penyaluran anggaran untuk pendanaan kegiatan
dalam suatu kecamatan mirip dengan mekanisme kompetensi yang
dilakukan dalam program PNPM. Masing-masing desa dalam suatu
kecamatan akan mempesentasikan usulan dan menyusun proposal
kegiatan untuk mendapatkan dana P3K. Perbedaannya terletak pada
kewenangan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten kepada
camat untuk memutuskan desa-desa yang layak diberikan P3K. Dalam
prakteknya, camat bukanlah pengambil keputusan tunggal, akan tetapi
ada tim penilai yang dibentuk oleh seorang camat untuk membantu
menilai dan memverivikasi usulan masing-masing desa.
Program P3K yang diinisiasi oleh pemerintah Kabupaten Sukabumi pada
tahun 2008 dan masih bersifat sebagai pilot project yang dilakukan di
beberapa kecamatan. Alokasi anggaran P3K yang diberikan pada tahap awal
uji coba sebesar 500 juta / kecamatan. Besaran alokasi diharapkan dapat
mendorong perbaikan yang signifikan dalam pembangunan infrastruktur
48 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 49Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Program Pembangunan Partisipatif Kecamatan Sukabumi
50 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 51Mereka Berani Melawan Pemiskinan
dasar maupun kegatan ekonomi yang dilakukan di wilayah kecamatan.
Dalam perkembangannya, P3K mulai mendapatkan respon positif dari
masyarakat tidak hanya pada daerah-daerah yang menjadi percontohan
pengembangan program tersebut, akan tetapi juga datang dari kecamatan
lain. Terkait dengan hal tersebut, maka pemerintah daerah berupaya untuk
dapat memenuhi hal tersebut. Namun kendala utama yang dihadapi oleh
pemerintah daerah adalah alokasi anggaran. Oleh sebab itu, pemerintah
daerah memutuskan untuk mengurangi besaran alokasi anggaran yang
diberikan pada suatu kecamatan, yang sebelumnya berjumlah 500 juta /
kecamatan menjadi 250 juta / kecamatan.
Agar pelaksanaan program P3K dapat terlembagakan secara baik,
maka pemerintah daerah terus memperbaiki mekanisme penyelengaraan
program tersebut, termasuk didalamnya adalah membuat petunjuk
operasional yang baku yang menjamin program tersebut berjalan secara
lebih efisien dan efektif. Misalnya pengusulan kegiatan yang akan
dikompetisikan antar desa dalam suatu kecamatan haruslah kegiatan
yang sesuai dengan kebutuhan dan memberikan manfaat yang lebih pada
desa. Selain itu, pemerintah desa juga akan diwajibkan untuk menyusun
RPJMDes sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan bantuan anggaran
dari program P3K. Saat ini banyak pemerintah desa yang dibantu oleh
fasilitator PNPM Perdesaan dalam menyusun dokumen RPJMDes.
Proses pendampingan terhadap masyarakat dan pelaksana program
juga mendapat perhatian dalam pelaksanaan program P3K ini. Salah satu
fokus dalam pendampingan pelaksanaan program P3K adalah pengelolaan
anggaran dan pelaporan kegiatan. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan
program P3K dapat dipertanggung-jawabkan bukan hanya dari aspek
kegiatannya semata akan tetapi juga dari sisi administrasi kegiatan.
Walaupun dalam pelaksanaan uji coba program P3K menuai banyak
respon positif, namun masih ada beberapa kendala yang perlu mendapat
perhatian bagi pemerintah daerah lain yang juga memiliki atau akan
melakukan program seperti P3K. Kendala yang pertama adalah
sumberdaya manusia yang terlibat dalam pelaksanaan program. Oleh
sebab itu, pemerintah daerah perlu mempersiapkan kelembagaan dan
SDM secara baik dan tidak hanya menyerahkan atau memperluas otoritas
kelembagaan ditingkat bawah dalam pelaksanaan program. Kendala
kedua adalah masing-masing kecamatan memiliki potensi yang berbeda-
beda, sehingga memerlukan perencanaan yang sinergi antar wilayah
dan kemauan dari camat untuk melakukan langkah-langkah terobosan
dalam memajukan wilayahnya. Sedangkan kendala ketiga adalah menjalin
kerjasama dengan pihak lain misalnya dengan dunia usaha yang lokasi
usahanya berada di kecamatan tersebut untuk memberikan kontribusi
dalam pembangunan masyarakat di suatu kecamatan.
Selain itu, tantangan keberlanjutan dari suatu program adalah adanya
payung hukum yang menjamin pelaksanaan suatu program tersebut
dapat dilakukan dalam jangka panjang. Pemerintah daerah Kabupaten
Sukabumi, sedang mengkaji pilihan – pilihan kebijakan yang tepat untuk
dapat melakukan program P3K secara berkelanjutan. Misalnya dengan
menjamin alokasi APBD untuk penganggaran program P3K sebesar
20 %. Tantangan lainnya adalah membakukan proses perencanaan
pembangunan yang melibatkan masyarakat dan secara bersamaan
mengurangi mekanisme “titip menitip” program melalui DPRD yang
seringkali dianggap menghancurkan mekanisme perencanaan yang
dibangun secara partisipatif melalui musrenbang.
Dengan disahkannya UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, harapan untuk melembagakan
partisipasi masyarakat secara permanen dalam penyusunan perencanaan
pembangunan muncul kembali. Walau pun demikian, proses
pelembagaan partisipasi tersebut perlu di dampingi, tidak hanya dalam
kerangka membuka ruang partisipasi bagi masyarakat akan tetapi juga
memberdayakan masyarakat untuk memanfaatkan ruang partisipasi
tersebut agar dapat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya bagi
masyarakat miskin.
Sebagaimana telah menjadi rahasia umum, proses partisipasi dalam
musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat desa dan kecamatan
seringkali hanya dimaknai sebagai suatu proses ritual yang di lakukan
dari tahun ke tahun, dan seringkali mengabaikan keinginan rakyat yang
disuarakan dalam forum tahunan tersebut. Alasan klasik yang selalu di
sampaikan oleh birokrasi pemerintah adalah tidak ada alokasi anggaran
52 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 53Mereka Berani Melawan Pemiskinan
atau DPRD tidak menyetujui usulan masyarakat, cukup ampuh untuk
meredam kekecewaan masyarakat. Walaupun demikian, tanpa disadari
kondisi ini menyebabkan munculnya apatisme dan perilaku skeptis
masyarakat terhadap pemerintah daerah.
Terkait dengan hal tersebut, maka Pemerintah Kabupaten Sukabumi
mencoba untuk mencari solusi terhadap persoalan tersebut dengan
menggulirkan program P3K (Program Pembangunan Partisipasi
Kecamatan). P3K bertujuan untuk memperkuat pendanaan pembangunan
disuatu kecamatan yang tidak dapat dilakukan dengan mekanisme
pendanaan reguler, seperti Alokasi dana Desa (ADD), serta kegiatan
PNPM. Jelasnya P3K memperkuat kegiatan atau program pembangunan
yang tidak dapat di danai oleh ADD dan PNPM. Walaupun demikian,
penyaluran anggaran P3K tidak di lakukan dengan mekanisme penjatahan
sebagaimana mekanisme penyalura anggaran secara reguler akan tetapi
melalui proses kompetisi dalam suatu kecamatan.
Dalam perkembangannya, P3K mulai mendapatkan respon positif dari
masyarakat tidak hanya pada daerah daerah yang menjadi percontohan
pengembangan program tersebut, akan tetapi juga datang dari kecamatan
lain. Terkait dengan hal tersebut, maka pemerintah daerah berupaya untuk
dapat memenuhi hal tersebut. Namun kendala utama yang di hadapi oleh
pemerintah daerah adalah alokasi anggaran. Oleh sebab itu, pemerintah
daerah memutuskan untuk mengurangi besaran alokasi anggaran yang
diberikan pada suatu kecamatan, yang sebelumnya berjumlah 500 juta /
kecamatan menjadi 250 juta / kecamatan.
Agar pelaksanaan program P3K dapat terlembagakan secara baik,
maka pemerintah daerah terus memperbaiki mekanisme penyelengaraan
program tersebut, termasuk didalamna adalah membuat petunjuk
operasional yang baku yang menjamin program tersebut berjalan secara
lebih efisien dan efektif. Misalnya pengusulan kegiatan yang akan
dikompetesikan antar desa dalam suatu kecamatan haruslah kegiatan
yang sesuai dengan kebutuhan dan memberikan manfaat yang lebih pada
desa. Selain itu, pemerintah desa juga akan di wajibkan untuk menyusun
RPJMDes sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan bantuan anggaran
dari program P3K. Saat ini banyak pemerintah desa yang dibantu oleh
fasilitator PNPM Perdesaan dalam menyusun dokumen RPJMDes.
Proses pendampingan terhadap masyarakat dan pelaksana program
juga mendaat perhatian dalam pelaksanaan program P3K ini. Salah
satu fokus dalam pendampingan pelaksanaan program P3K adalah
pengelolaan anggaran dan pelaporan kegiatan. Hal ini di maksudkan agar
pelaksanaan program P3K dapat dipertanggung-jawabkan bukan hanya
dari aspek kegiatannya semata akan tetapi juga dari sisi administrasi
kegiatan.
Walaupun dalam pelaksanaan uji coba program P3K menuai banyak
respon positif, namun masih ada beberapa kendala yang perlu mendapat
perhatian bagi pemerintah daerah lain yang juga memiliki atau akan
melakukan program seperti P3K. Kendala yang pertama adalah sumber
daya manusia yang terlibat dalam pelaksanaan program. Oleh sebab
itu, pemerintah daerah perlu mempersiapkan kelembagaan dan SDM
secara baik dan tidak hanya menyerahkan atau memperluas otoritas
kelembagaan ditingkat bawah dalam pelaksanaan program. Kendala
Program Pembangunan Partisipatif Kecamatan Sukabumi
54 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 55Mereka Berani Melawan Pemiskinan
kedua adalah masing-masing kecamatan memiliki potensi yang berbeda-
beda, sehingga memerlukan perencanaan yang sinergi antar wilayah dan
kemauan dari camat untuk melakukan langkah-langkah terobosan dalam
memajukan wilayahnya. Sedangkan kendala ketiga adalah menjalin
kerja sama dengan pihak lain misalnya dengan dunia usaha yang lokasi
usahanya berada di kecamatan tersebut untuk memberikan kontribusi
dalam pembangunan masyarakat di suatu kecamatan.
Selain itu, tantangan keberlanjutan dari suatu program adalah adanya
payung hukum yang menjamin pelaksanaan suatu program tersebut
dapat dilakukan dalam jangka panjang. Pemerintah daerah Kabupaten
Sukabumi, sedang mengkaji pilihan–pilihan kebijakan yang tepat untuk
dapat melakukan program P3K secara berkelanjutan. Misalnya dengan
menjamin alokasi APBD untuk penganggaran program P3K sebesar
20 %. Tantangan lainnya adalah membakukan proses perencanaan
pembangunan yang melibatkan masyarakat dan secara bersamaan
mengurangi mekanisme “titip menitip” program melalui DPRD yang
seringkali di anggap menghancurkan mekanisme perencanaan yang di
bangun secara partisipatif melalui musrenbang.
Perempuan bisa ngomong perencanaan pembangunan? Apa bisa?
pertanyaan-pertanyaan bernada skeptis tersebut seringkali kita dengar
jika berdialog dengan berbagai aparatur pemerintah daerah di Indonesia
tentang pentingnya melibatkan perempuan dalam setiap proses dan
tahapan pembangunan. Penyebab utama dari munculnya pertanyaan-
pertanyaan tersebut adalah kentalnya budaya patriarki dalam sistem
sosial kemasyarakatan. Bahkan pelembagaan praktek dan pola pikir
budaya patri arki tidak hanya tumbuh subur dalam sistem sosial
masyarakat, akan tetapi juga mempengaruhi pola pikir bahkan kebijakan
pembangunan yang dilakukan dalam pemerintahan. Tidak heran jika
dalam berbagai proses pembangunan yang dilakukan, peranan atau
keterlibatan perempuan masih sangat minim bahkan tidak jarang hanya
menjadi pelengkap.
Proses perencanaan pembangunan (musrenbang) yang dimulai dari
tingkat desa sampai dengan kabupaten dipandang sangat strategis
dalam melibatkan perempuan untuk mempengaruhi kebijakan dan
program pembangunan yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah.
Inisiatif untuk mendorong keterlibatan perempuan dalam musrenbang
diawali oleh beberapa organisasi masyarakat sipil yang melakukan
pendampingan secara langsung terhadap kelompok perempuan di
beberapa desa di Kabupaten Gunung Kidul. Upaya pendampingan
terhadap kelompok perempuan penting dilakukan agar dalam proses
perencanaan pembangunan di berbagai tingkatan, perempuan mampu
menyuarakan kepentingannya serta dapat berperan aktif dalam
mempengaruhi kebijakan dan program pembangunan. Tanpa hal
tersebut, maka partisipasi perempuan hanya berakhir sebagai pelengkap
dari pelaksanaan forum tersebut.
PeReMPuan JuGa BeRHaK DaLaM PeMBanGunan DI KaBuPaten GununG KIDuL
56 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 57Mereka Berani Melawan Pemiskinan
”perempuan Gunung Kidul berpartisipasi aktif dalam Musrenbang”
58 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 59Mereka Berani Melawan Pemiskinan
“mainstreaming gender dalam RPJMD Kabupaten Gunung Kidul: buah perjalanan panjang partisipasi politik perempuan Gunung Kidul”
Upaya pendampingan terhadap kelompok perempuan dilakukan
dalam beberapa tahapan itu peningkatan kapasitas perempuan
dalam hal kemampuan untuk menganalisis permasalahan yang ada
dilingkungannya, memahami proses perencanaan yang dilakukan oleh
pemerintah, serta melakukan pengorganisasian terhadap kelompok
perempuan. Upaya untuk melakukan pemberdayaan terhadap perempuan
mulai diintensifkan oleh pemerintah daerah pada tahun 2005, dengan
diluncurkannya sejumlah kebijakan, program, dan kegiatan yang
dilakukan oleh dinas terkait.
Kelompok perempuan juga tidak hanya aktif memperjuangkan
kepentingannya pada proses perencanaan reguler yang dilakukan oleh
pemerintah daerah, akan tetapi juga melalui para wakil rakyat. Dukungan
wakil rakyat terhadap upaya jaringan kelompok perempuan semakin kuat,
karena pada saat bersamaan telah terbentuk juga kaukus perempuan di
DPRD Kabupaten Gunung Kidul. Kaukus perempuan ini bahkan menjadi
mitra kelompok perempuan untuk mendorong lahirnya kebijakan dan
regulasi yang terkait dengan perempuan, seperti peraturan daerah
tentang Pemberdayan Perempuan & Perlindungan Anak.
Pada tahun 2006, Bappeda Kabupaten Gunung kidul secara tegas
mendorong pelibatan perempuan pada pelaksanaan musrenbang di
seluruh desa, dan memberikan kesempatan pada utusan dari setiap
kelompok perempuan yang berada di kecamatan untuk terlibat dalam
pembahasan perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten. Pada
proses ini memang sempat muncul ungkapan yang bersifat skeptis dari
berbagai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) tentang keterlibatan
perempuan yang sebagian besar memiliki pekerjaan sebagai buruh
tani, bakul sayuran, atau pun ibu rumah tangga. Walaupun demikian,
Bapak Eko Subiantoro selaku Kepala Bappeda Kabupaten Gunung Kidul
sangat yakin dengan melibatkan kelompok perempuan dan organisasi
masyarakat sipil, akan memberikan perubahan dalam perencanaan
kegiatan yang selama ini disinyalir tidak banyak mengalami perubahan
dan terkesan bersifat pengulangan dari kegiatan yang dilakukan pada
tahun sebelumnya. Kesempatan yang diberikan oleh Bappeda tidak disia-
siakan oleh kelompok perempuan yang konsisten untuk mengusulkan
60 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 61Mereka Berani Melawan Pemiskinan
pembenahan terhadap penyediaan air bersih dan pencegahan nyamuk
yang menyebabkan wabah demam berdarah. Usulan dari kelompok
perempuan akhirnya menjadi prioritas kerja pemerintah Kabupaten
Gunung Kidul.
Walaupun ibu-ibu yang terlibat dalam kelompok perempuan cukup
vokal dalam menyuarakan aspirasi perempuan, namun keberhasilan
tersebut juga perlu diikuti dengan keterlibatan pada pelaksanaan dan
pengawasan program. Musrenbang merupakan titik permulaan dari
sebuah proses pembangunan, masih adalagi proses lain yang perlu
dilakukan dan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Terkait dengan
hal tersebut, maka keterlibatan kelompok perempuan tidak hanya sekali
saja, akan tetapi dapat berkelanjutan. Hal inilah yang menjadi tantangan
terbesar bagi perempuan di Gunung Kidul.
Pada tahun 2007, usulan masyarakat dalam perencanaan
pembangunan di tingkat desa jika dijumlahkan membutuhkan
pendanaan sebesar 1,7 trilyun rupiah. Meningkatnya usulan masyarakat
dalam musrenbangdes masih menyiratkan bahwa sering kali usulan
yang diajukan masih bersifat keinginan dan belum banyak difokuskan
pada menjawab kebutuhan dan prioritas. Terkait dengan hal tersebut,
maka pemerintah daerah bekerja sama dengan berbagai organisasi
masyarakat sipil untuk menyusun suatu dokumen perencanaan ditingkat
desa (RPJMDes) yang dijadikan sebagai acuan dalam penyusunan kegiatan
serta dokumen rujukan dalam melakukan sinergi dengan program dan
kegiatan lain yang dilakukan oleh pemerintah ditingkat desa. Kelompok
perempuan juga terlibat dalam hal ini, dan didorong tidak hanya terlibat
dalam isu-isu kesehatan dan kesetaraan gender, akan tetapi juga isu
lainnya dalam perencanaan pembangunan di tingkat desa.
Saat ini kelompok perempuan yang tersebar di beberapa kecamatan
di Kabupaten Gunung Kidul telah membentuk JKPG (Jaringan Kerja
Perempuan Gunung kidul) yang saat ini keanggotaannya tersebar di
10 kecamatan. Pada tahun 2011 ditargetkan seluruh kecamatan telah
menjadi anggota dari JKPG, sehingga keberadaan kelompok perempuan
dapat mewarnai perencanaan kebijakan dan program di seluruh wilayah
Kabupaten Gunung Kidul. Strategi kerja yang dilakukan oleh JKPG lebih
banyak bekerja sama dengan pemerintah daerah ketimbang dengan
DPRD, hal ini disebabkan proses atau pelaksanaan kebijakan dan program
yang dilakukan oleh SKPD. Namun di masa depan, diharapkan kerja
sama antara JKPG juga dapat mendorong perubahan ditingkat legislatif,
terutama yang terkait dengan penganggaran program dan kegiatan untuk
memperbaiki pemenuhan hak dasar masyarakat.
Terkait dengan upaya daerah lainnya yang juga ingin melibatkan
perempuan dalam proses pembangunan, beberapa pengalaman yang
dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Gunung kidul mungkin dapat
dijadikan sebagai bahan pembelajaran. Pelibatan kelompok perempuan
dilakukan pada proses informal terlebih dahulu dengan memperkuat
kapasitas perempuan sebelum dilibatkan secara resmi dalam berbagai
forum perencanaan pembangunan di tingkat daerah. Aspek kedua yang
perlu diperhatikan adalah membangun kerjasama dengan berbagai
kelompok kepentingan, karena pemerintah daerah tidak memiliki sumber
daya yang cukup untuk melakukan seluruh kegiatan tersebut. Aspek
ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah keberlanjutan, oleh karena itu
kelompok perempuan yang dibentuk bukan berdasarkan program akan
tetapi memang dibutuhkan oleh masyarakat dan perempuan.
62 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 63Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Beberapa waktu yang lalu, Presiden SBY meluncurkan kluster baru
dalam program-program penanggulangan kemiskinan, yakni kluster
program pro-rakyat untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Salah satu dari program pro-rakyat tersebut adalah
membuat program rumah sangat murah dengan harga Rp5 juta-Rp10
juta, dan rumah murah dengan harga sekitar Rp20 juta-Rp25 juta.
Sebelum Presiden SBY meluncurkan kluster baru di mana salah satu
programnya adalah penyediaan rumah murah, Pemerintah Kota Kupang
di bawah kepemimpinan Walikota Drs. Daniel Adoe dan Wakil Walikota
Drs. Daniel Huriek telah meluncurkan program rumah murah yang
pelaksanaan pembangunannya dimulai pada tahun 2008. Penyediaan
rumah murah ini dilaksanakan dalam kerangka Program Penyediaan
Rumah Sehat yang merupakan salah satu dari 6 program unggulan
mereka, yakni: pendidikan murah bermutu, pelayanan kesehatan gratis,
pemberdayaan ekonomi masyarakat, pelayanan air bersih, rumah sehat
dan pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Penyediaan rumah murah direncanakan dibangun sebanyak 10.000
(sepuluh ribu) unit dengan tipe 23. Hingga tahun ini, telah dibangun
sebanyak 100 unit rumah tipe 24 di atas tanah seluas 200 m2. Walaupun
dibangun di wilayah yang agak jauh dari pusat kota, yakni di Kecamatan
Alak, bangunan rumah berbentuk bangunan permanen, dengan halaman
belakang yang cukup luas, sehingga dapat digunakan untuk perluasan,
bercocok tanam, atau membuka warung. Setiap unit bangunan
beratapkan seng, berplafon, berlantai dan berdinding semen, dan
dilengkapi dengan fasilitas air dari PAM dan listrik. Selain itu, telah
dibangun pula 343 unit rumah di Manulai II.
Kelebihan dari penyediaan rumah murah oleh Pemda ini adalah
diberikannya sertifikat kepemilikan, termasuk tanah di mana bangunan
PeMenuHan HaK ataS RuMaH LaYaK HunI BaGI KauM MISKIn
rumah berada kepada pembeli. Dengan kata lain, Pemda menghibahkan
tanah kepada pembeli rumah.
Memulai dan Mengelola
Pemerintah Kota Kupang, mengawali perwujudan gagasan penyediaan
rumah murah dengan menggandeng pihak-pihak yang nantinya akan
membantu dalam pembangunan hingga pengelolaannya. Koperasi Pegawai
Negeri (KPN) Maju menjadi pihak yang dipilih oleh Pemkot Kupang
untuk pembangunan rumah dan pengelolaan cicilan pada tahap awal.
Pembayaran cicilan selanjutnya akan dilakukan melalui Bank Tabungan
Negara (BTN).
Untuk pendistribusian, pihak Pemkot Kupang membentuk tim seleksi
untuk menentukan apakah calon pembeli layak memperoleh rumah.
Dengan demikian, Pemkot Kupang tidak dipusingkan dengan urusan
pengelolaan dan pendistribusian rumah. Warga miskin berhak mendapat
fasilitas perumahan tersebut jika mendapat rekomendasi dari kelurahan
“fasilitas rumah murah”
64 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 65Mereka Berani Melawan Pemiskinan
yang menyatakan bahwa warga tersebut benar-benar adalah orang
miskin. Sedangkan PNS yang berhak memperoleh fasilitas rumah murah
ini adalah PNS golongan 1 dan 2 yang belum memiliki rumah.
Terdapat model subsidi silang terkait dengan cicilan rumah. Pada
awalnya, cicilan rumah direncanakan sebesar Rp 23.000/bulan, dan
peruntukannya hanya untuk warga miskin. Tetapi dikarenakan ada
kebutuhan akan rumah sehat dan layak dari pegawai negeri sipil
golongan 1 dan 2, maka peluang kepemilikan rumah juga diperuntukkan
bagi PNS golongan 1 dan 2. Berbeda dengan besaran cicilan bagi warga
miskin, cicilan per bulan bagi PNS adalah sebesar 296 ribu per bulan.
Pengembangan: membuka investasi dan bekerja sama dengan pihak
lain
Untuk menjaga keberlanjutan program penyediaan rumah murah
dan memperluas cakupannya, pemerintah Kota Kupang amat menyadari
adanya keterbatasan kemampuan mereka (baik sumber daya finansial,
maupun sumber daya manusia) dan besarnya kebutuhan pendanaan.
Menyadari adanya keterbatasan dan tantangan tersebut, pemerintah Kota
Kupang berupaya menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang dapat
memberikan dukungan, terutama dukungan berupa modal. Beberapa
pihak yang saat ini telah menyatakan kesediaan untuk memberikan
dukungan di antaranya, Kementrian Perumahan Rakyat RI, dan beberapa
lembaga donor internasional.
Tantangan Ke Depan
Seperti halnya program-program inovasi yang dilakukan oleh Pemerintah
Daerah lainnya, tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah jaminan
atas keberlanjutan program ini. Dinamika politik di daerah yang berubah
bersamaan dengan pergantian kepemimpinan merupakan salah satu
penyebab yang dapat mengancam keberlanjutan program, dikarenakan
pergantian kepemimpinan juga diikuti oleh pergantian program dan
kebijakan. Selain itu, ketersediaan anggaran bagi pengadaan rumah
murah juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan, walaupun hal ini
telah diantisipasi oleh Pemerintah Kota Kupang dengan cara mengajak
banyak pihak untuk menjadi investor pengadaan rumah murah.
Jaminan berupa adanya kebijakan yang dapat menjaga keberlanjutan
program walaupun terjadi pergantian kepempimpinan adalah sesuatu
yang penting. Selain itu, faktor utama yang dapat menjamin keberlajutan
program adalah kemauan dan komitmen pemimpin daerah untuk terus
mendukung program dan mengentaskan kemiskinan melalui penyediaan
rumah murah bagi warga miskin.
Penutup
Walaupun masih banyak tantangan, kendala, dan kelemahan,
penyediaan rumah sehat dan layak bagi warga miskin yang diinisiasi oleh
Pemerintah Kota Kupang ini merupakan sebuah upaya yang patut ditiru.
Pemerintah Daerah tidak hanya sekedar menyediakan rumah bagi warga
miskin, tetapi juga memberikan rumah beserta tanahnya yang dibuktikan
dengan adanya sertifikat kepemilikan.
66 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 67Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Sejak era reformasi dan desentralisasi, keinginan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat oleh pemerintah daerah mulai menguat.
Walaupun demikian, keinginan saja tidak cukup, akan tetapi harus
dibarengi dengan aksi konkrit untuk mewujudkan hal tersebut.
Permasalahan kemiskinan merupakan salah satu persoalan yang dihadapi
di Kabupaten Subang, terutama di daerah pedesaan. Pemerintah daerah
menyadari bahwa untuk mengatasi persoalan kemiskinan tersebut,
tidak hanya dengan menyusun kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan yang tepat, akan tetapi juga mendorong desa sebagai
basis utama dalam menggerakan perubahan-perubahan tersebut. Sejak
tahun 2007, pemerintah daerah menginisiasi kebijakan pembangunan
yang mengambil tajuk Desa Mandiri Gotong Royong. Inisiasi kebijakan
pembangunan yang berbasis pada desa dipilih bukan hanya karena
kecenderungan arah pembangunan yang marak dilakukan di berbagai
daerah selama ini, akan tetapi didasarkan pada pengalaman nyata yang
pernah dilakukan di masa-masa sebelumnya. Wakil Bupati Subang Bapak
Ojang Suhandi menyatakan bahwa pada era sekitar tahun enam puluhan,
ketika kondisi negara belum terlalu mapan baik dalam sistem perencanaan
pembangunan, masyarakat desa mampu membangun sendiri fasilitas-
fasilitas publik seperti sekolah, balai desa, dan lapangan olah raga tanpa
bantuan pemerintah. Ironisnya saat ini banyak sekali program dana lokasi
anggaran ke desa baik yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah
propinsi, maupun pemerintan daerah akan tetapi masyarakat desa belum
sejahtera, bahkan ada kecenderungan bahwa penduduk desa semakin
miskin dan hanya dijadikan sebagai objek dari kebijakan pembangunan.
Menyadari kondisi tersebut, pemerintah Kabupaten Subang juga
menyadari bahwa kebijakan Desa Mandiri Gotong Royong pun akan
mengalami nasib yang sama dengan kebijakan pembangunan sebelumnya
jika tidak dilakukan langkah-langkah inovasi dalam melibatkan masyarakat
desa secara aktif dalam kegiatan pembangunan, memperbaiki mekanisme
DaRI DeSa BanGun SuBanG
perencanaan dan pembangunan di tingkat desa, mengintegrasikan
program dan kegiatan antar sektor (SKPD) untuk menyelesaikan
permasalahan di desa secara integratif, serta mengefektifkan anggaran
pembangunan yang disalurkan ke desa untuk memberikan dampak yang
signifikan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal lain yang
perlu dilakukan agar kebijakan dan program pembangunan lebih efektif
adalah dengan mengubah indikator keberhasilan pembangunan yang
selama ini bersifat administratif menjadi indikator pembangunan yang
berorientasi pada hasil dan target kesejahteraan masyarakat. Misalnya
untuk indikator pendidikan bukan hanya tentang berapa fasilitas
pendidkan yang berada di desa, akan tetapi berapa banyak penduduk
di suatu desa yang mampu melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang
pendidikan tertinggi. Indikator keberhasilan pembangunan desa tersebut
dikembangkan sesuai dengan masing-masing sektor sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi dari organisasi. beberapa indikator membutuhkan kerja
sama lintas SKPD bahkan juga lintas pelaku dalam mencapai hal tersebut,
misalnya dalam pengentasan kemiskinan.
“pencanangan hari Saba Desa”
68 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 69Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Gotong Royong sebagai Salah Satu Perwujudan SABA DESA Subang
Aspek lain yang tidak kalah penting dalam pengembangan Desa
Mandiri Gotong Royong adalah memberikan otonomi kepada pemerintah
desa dalam menentukan prioritas masalah yang harus diselesaikan
oleh pemerintah daerah. Terkait dengan hal tersebut, pemerintah
daerah Kabupaten Subang mulai meningkatkan alokasi anggaran
pembangunan di desa sesuai dengan kondisi geografis dan tingkat
kesulitan atau kendala yang dihadapi di suatu desa melalui Bantuan
Keuangan untuk Desa yang melengkapi dana ADD (alokasi dana desa)
yang dianggarkan setiap tahunnya. Saat ini alokasi dana BKUD yang
diberikan oleh pemerntah daerah pada desa berkisar antara 230-250 juta.
Saat ini, memang belum seluruh desa di Kabupaten Subang dimasukkan
dalam Program Desa Mandiri Gotong Royong, hal ini disebabkan oleh
keterbatasan kemampuan penganggaran di tingkat daerah. Oleh sebab
itu, pelaksanaan Program Desa Mandiri Gotong Royong dilakukan secara
bertahap. Pada tahun 2010 Program Desa Mandiri Gotong Royong
dilakukan di 31 desa /kelurahan, dan pada tahun 2011 ditargetkan
dilakukan di 60 desa/kelurahan. Salah satu kendala yang juga dihadapi
oleh pemerintah daerah dalam menjalankan program ini adalah
kemampuan pemerintahan desa untuk mengelola bantuan keuangan
tersebut, agar tidak hanya dapat menjawab kebutuhan masyarakat akan
tetapi juga mampu mempertanggung-jawabkan pengelolaan anggaran
tersebut secara administratif. Hal ini penting diperhatikan karena jika
kapasitas pemerintah desa tidak ditingkatkan, maka akan menjadi kendala
dalam pelaksanaan kebijakan dan program pembangunannya dimiliki
oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Walaupun usia pelaksanaan program ini masih cukup pendek dan
memerlukan perbaikan dalam pelaksanaannya, namun program ini mulai
menunjukkan tanda-tanda keberhasilan dalam meningkatkan swadaya
masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan. Misalnya swadaya
masyarakat dalam pembangunan gedung sekolah dan gelanggang olah
raga di masing-masing desa. Diharapkan dengan meningkatnya kegiatan
pembangunan di tingkat desa secara langsung oleh masyarakat dan
pemerintah daerah akan meningkatkan aktivitas ekonomi maupun kegiatan
masyarakat yang lebih mengarah pada peningkatan produktivitas
masyarakat. Pengembangan desa mandiri ini juga dilakukan untuk
menekankan pengembangan potensi unggulan yang dimiliki desa seperti
kebijakan satu desa satu produkunggulan.
Salah satu terobosan lain yang dilakukan oleh pemerintah daerah
di Kabupaten Subang adalah melakukan Saba Desa atau kunjungan ke
desa untuk mengawal berbagai kebijakan dan program pembangunan
pemerintah daerah di desa. Saba desa yang dilakukan di Kabupaten
Subang sedikit berbeda dengan yang biasanya dilakukan oleh berbagai
daerah lain di Indonesia. Saba Desa memadukan pendekatan sosialisasi,
pengawasan atau pemantauan, sekaligus juga menggali permasalahan
dalam pelaksanaan kebijakan dan program di tingkat desa, serta
melakukan transfer pengetahuan dan informasi kepada pemerintah
dan masyarakat desa. Sosialisasi kebijakan dan program pemerintah
daerah dimaksudkan agar terjadi kesepahaman antara masyarakat dan
pemerintah daerah terhadap suatu kebijakan atau program, sehingga
70 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 71Mereka Berani Melawan Pemiskinan
mengurangi penyimpangan atau penyalahgunaan suatu kebijakan dan
program ditingkat desa. Semua fungsi tersebut dilakukan oleh aparatur
pemerintah daerah yang menduduki jabatan eselon 2-4 setiap hari Jumat
dan harus menginap di desa. Hasil kunjungan dari Saba desa tersebut
dipresentasikan dalam rapat yang dihadiri oleh pimpinan SKPD yang
dipimpin langsung oleh Bupati. Hasil tersebut langsung ditindaklanjuti
dengan menetapkan langkah-langkah strategis yang harus dilakukan
untuk menyelesaikan permasalahan serta melakukan perbaikan terhadap
kebijakan dan program pemerintah daerah.
Diawal pelaksanaan kegiatan ini memang sempat menyulitkan
aparatur pemerintah daerah yang ditugaskan ke desa, apalagi desa-desa
yang cukup jauh dijangkau dari pusat pemerintahan serta mengorbankan
waktu untuk keluarga. Walaupun demikian, kegiatan ini tetap dilakukan
dengan menggilir aparatur pemeringah daerah yang berasal dari berbagai
eselon sesuai dengan tema atau permasalahan yang dihadapi oleh desa.
Wakil Bupati Subang menegaskan bahwa perubahan yang dilakukan pada
awalnya memang menghadapi tantangan karena perubahan-perubahan
yang dilakukan tidak hanya pada sistem dan metode akan tetapi juga
pola pikir dari aparatur pemerintah daerah. Oleh sebab itu, Wakil Bupati
Subang yang juga sekaligus sebagai Ketua TKPKD mengharapkan pada
daerah kabupaten/kota yang ingin melakukan perubahan agar tidak takut
mengambil resiko dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat,
aspek yang kedua adalah manajemen pemerintah daerah harus didasarkan
pada target pencapaian kesejahteraan masyarakat, melakukan koordinasi
dan integrasi kebijakan dan program secara reguler agar anggaran
pembangunan memiliki dampak yang nyata bagi masyarakat.
Sejak era reformasi, gaung tentang good governance selalu menjadi
kata “magis” yang disuarakan oleh media massa, diseminarkan dalam
berbagai forum yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, di
tingkat nasional bahkan daerah. Namun dalam prakteknya, apakah Anda
pernah dihadapkan pada kondisi seperti ini: Sulit mendapatkan dokumen
kebijakan daerah, sulit untuk terlibat dalam menentukan kebijakan
pembangunan di daerah, serta sulit mendapatkan informasi tentang
anggaran pembangunan. Jika anda pernah mengalami kondisi tersebut,
maka patut diduga bahwa Anda sedang menghadapi kondisi pemerintahan
yang bad governance. Sejak era otonomi daerah diberlakukan pada
tahun 1999, salah satu tantangan pelaksanaan desentralisasi adalah
tRanSPaRanSI anGGaRan: LanGKaH KeCIL DenGan DaMPaK BeSaR
“wujud transparansi anggaran: publik terlibat dalam pembahasan alokasi anggaran kota layak anak”
72 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 73Mereka Berani Melawan Pemiskinan
wujud transparansi anggaran: publik terlibat dalam pembahasan alokasi anggaran untuk PKL”
74 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 75Mereka Berani Melawan Pemiskinan
bagaimana mewujudkan transparansi pemerintahan. Di masa-masa
awal desentralisasi banyak daerah yang menginisiasi peraturan daerah
tentang tranparansi, baik pada level proses penganggaran, perumusan
kebijakan, hingga menjamin kepastian terhadap partisipasi warga dalam
perencanaan pembangunan. Sebenarnya regulasi atau kebijakan yang di
buat oleh pemerintah daerah telah diatur atau dijamin dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan diperkuat lagi dengan
kehadiran UU keterbukaan Informasi Publik pada tahun 2009. Walaupun
demikian, harapan untuk mewujudkan transparansi dalam pemerintahan
masih jauh panggang dari api.
Salah satu sebab yang disinyalir menjadi hambatan dalam mewujudkan
transparansi dalam pemerintahan adalah tidak adanya sanksi. Hampir
seluruh perda transparansi yang dibuat mencantumkan dengan
sangat detil tentang tahapan, serta pengaturan terhadap transparansi
berbagai aspek pemerintahan di daerah, namun regulasi tersebut tidak
mencantumkan sanksi jika pemerintah daerah tidak melaksanakan
hal tersebut. Hal inilah yang menyebabkan perwujudan transparansi
bukanlah suatu keharusan melainkan lebih banyak bertumpu pada
kebaikan hati dari pimpinan dan kelembagaan pemerintah di daerah.
Kondisi pemerintahan di Kota Surakarta sebelum tahun 2005 boleh
dikatakan hampir sama dengan daerah lainnya di Indonesia. Transisi
perubahan dari budaya otoritarian kepada reformasi masih disikapi
dengan gamang dan mencari bentuk yang paling tepat dalam menjalankan
roda pemerintahan yang lebih berpihak pada masyarakat. Serupa dengan
daerah lainnya di Indonesia, tuntutan agar pemerintahan daerah lebih
terbuka dan transparan di inisiasi oleh gerakan masyarakat sipil lewat
berbagai forum baik yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pun
di tingkat masyarakat. Pada tahapan ini, organisasi masyarakat sipil
mempelopori dan mempublikasikan kebijakan pembangunan, alokasi
anggaran pembangunan, sembari melakukan kritik terhadap kebijakan
pembangunan dan penganggaran tersebut melalui media massa cetak
dan elektronik. Seringkali upaya tersebut menimbulkan konflik antar
organisasi masyarakat sipil dan pemerintah daerah, bahkan dalam
beberapa kasus seringkali juga menimbulkan konflik horizontal yang
melibatkan masyarakat. Karena dianggap publikasi tersebut menjelek-
jelekan pimpinan daerah.
Berubahnya kepemimpinan daerah di Kota Surakarta merupakan suatu
momentum yang tepat untuk melakukan perubahan, tidak terkecuali yang
terkait dengan upaya untuk mewujudkan transparansi dan keterlibatan
masyarakat dalam pembangunan. Serangkaian dialog dilakukan antara
organisasi masyarakat sipil dan pemerintah daerah untuk memahami
bagaimana mewujudkan dan menghadirkan transparansi dalam
pemerintahan. Salah satu hal yang disepakati adalah mempublikasikan
alokasi anggaran pembangunan setiap tahunnya kepada masyarakat pada
tingkat kelurahan. Berbeda dengan daerah lainnya yang menerjemahkan
transparansi anggaran dengan mengumumkan item atau besaran
APBD secara umum pada media cetak. Pemerintah Kota Surakarta
memilih untuk menginformasikan besaran anggaran dan kegiatan yang
dilakukan dan diterima oleh setiap kelurahan dalam bentuk poster yang
ditempelkan pada ruang publik yang mudah diakses oleh masyarakat.
Setiap warga masyarakat di suatu kelurahan dapat mengetahui berapa
alokasi anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan di kelurahan,
wujud transparansi anggaran: publik terlibat dalam pembahasan alokasi anggaran pendidikan”
76 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 77Mereka Berani Melawan Pemiskinan
program atau kegiatan apa saja yang akan dilakukan, serta siapa yang
melaksanakan kegiatan tersebut. Pada tahap awal publikasi alokasi
anggaran dan kegiatan di tingkat kelurahan ini dilakukan oleh organisasi
masyarakat sipil, namun setelah itu, kegiatan ini didanai sepenuhnya oleh
pemerintah daerah.
Pada awalnya upaya ini memang tidak berjalan dengan baik, dukungan
dari birokrasi dapat dikatakan belum sepenuhnya mendukung upaya
tersebut. Diakui oleh Wakil Walikota Solo Bapak FX Hadirudyatmo upaya
mendorong hal tersebut tidaklah mudah, kami meyakinkan birokrasi
bahwa kami tidak menginginkan birokrasi yang ABS (asal bapak senang),
yang kami butuhkan adalah birokrasi yang profesional dalam membantu
walikota dan wakil walikota dalam mewujudkan visi dan misi yang telah
dijanjikan pada masyarakat secara keroyokan (baca bekerja sama).
Oleh karena itu, kami selalu menekankan dalam setiap kesempatan,
agar birokrasi harus mewujudkan secara konkrit kebijakan yang akan
dilaksanakan, jangan karena waton suloyo.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Kota Surakarta sebenarnya
sangat sederhana dan dapat juga dilakukan oleh kabupaten/kota lainnya
di Indonesia yaitu dengan membangun komunikasi secara intensif dengan
kepala SKPD maupun dengan masyarakat sehingga bisa mendapatkan
informasi secara berimbang dan tidak berat sebelah, langkah kedua
adalah dengan melakukan koordinasi secara teratur terutama yang
terkait dengan permasalahan lintas SKPD, langkah ketiga adalah mencari
solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan juga dapat diterima
oleh masyarakat, serta memberikan dampak/resiko yang seminim
mungkin bagi masyarakat miskin. Langkah keempat adalah dengan
melakukan sosialisasi terhadap kebijakan tersebut agar dapat diterima
dan dipahami oleh seluruh pihak. Langkah kelima adalah merealisasikan
kebijakan tersebut sesuai dengan langkah-langkah yang telah disepakati,
serta yang terakhir adalah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
kebijakan tersebut dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Terkait dengan langkah transparansi penganggaran yang dilakukan oleh
pemerintah Kota Surakarta, upaya yang dilakukan oleh pemerintah Kota
Surakarta setidaknya bukan hanya menjadi keinginan (good will), tetapi
juga diwujudkan secara nyata dalam pemerintahan. Selain itu, masyarakat
dilibatkan dalam mengawasi pelaksanaan program pembangunan
dan mengurangi kleptokrasi atau penyimpangan yang dilakukan oleh
birokrasi. Selain itu, pemerintah daerah juga mendapatkan input dalam
memperbaiki dan menyelesaikan permasalahan pembangunan secara
terukur dan tepat sasaran. Inovasi yang dilakukan oleh pemerintah Kota
Surakarta jelaslah bukan suatu upaya yang dilakukan dalam waktu
singkat, akan tetapi membutuhkan proses dan pentahapan. Terkait
dengan hal tersebut Wakil Walikota Surakarta selaku ketua TKPKD
menyarankan agar upaya transparansi dapat diwujudkan di daerah lain,
maka pimpinan daerah perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Memahami karakter birokrasi yang dipimpinnya.
2. Membangun proses yang partisipatif baik pada tingkat birokrasi
maupun di tingkat masyarakat.
3. Berani mengambil langkah serta melakukan koreksi terhadap kebijakan
maupun terhadap implementasi pelaksanaan kebijakan tersebut.
4. Mempunyai keberanian dalam merealisasikan ide-ide perubahan
tersebut secara nyata dan terukur.
78 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 79Mereka Berani Melawan Pemiskinan
Seorang buruh tani di kaki Gunung Papandayan Garut, bertanya pada
pejabat Kabupaten “mengapa tanah ini tidak boleh Kami garap lagi?” Sang
pejabat menjawab dengan lantangnya bahwa tanah ini sudah menjadi
milik perusahaan besar dari Jakarta. Para petani yang kebingungan dengan
kabar tersebut, mengajukan pertanyaan bertubi-tubi, “Sejak kapan pak?
Kami mau bertani dimana pak? Mengapa kami tidak diberitahu?”. Itulah
fakta keseharian yang dihadapi petani di Garut dan daerah lainnya. Sebuah
ironi di negeri yang subur dan agraris ini, tetapi kaum taninya melarat/
miskin dan harus menjadi buruh tani di tanahnya sendiri.
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan mendefinisikan
kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang,
laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Itu artinya, kemiskinan ditandai dengan terjadinya marjinalisasi hak-hak
dasar manusia. Itu artinya pula, dalam penanggulangan kemiskinan,
negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi
hak-hak dasar masyarakat miskin.
Hak-hak dasar yang dimaksudkan dalam definisi kemiskinan tersebut
adalah hak atas pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan,
air bersih, hak aset tanah, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa
aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik, baik bagi perempuan
maupun bagi laki-laki. Dari kesepuluh hak dasar tersebut, pertanahan
termasuk di dalamnya. Itu artinya, realitas kehidupan petani di kaki
Gunung Papandayan Garut dan daerah lainnya, merupakan bentuk
kegagalan Negara melindungi, menghomrati dan atau memenuhi hak
petani atas tanah untuk kehidupan mereka yang lebih bermartabat.
Sesungguhnya Negeri ini sudah memiliki kebijakan dasar tentang
ReFoRMa aGRaRIa JaLan BaIK MenGGuSuR PeMISKInan
pelindungan, penghormatan dan pemenuhan hak atas tanah bagi selurun
rakyat khususnya kaum tani. Kebijakan Reforma Agraria yang diwujudkan
dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 merupakan
penataan kembali sistem politik pertanahan berdasarkan Pancasila, UUD
1945 serta peraturan perundang-undangan yang mengatur pertanahan.
Reforma Agraria (RA) merupakan upaya khusus Negara menata sistem
dan atau perombakan struktur agraria yang timpang menuju kondisi yang
lebih adil dan sejahtera. Instrumen (RA) yang duginakan oleh Pemerintah
antara lain Land Reform dan Access Reform. Land Reform dimakasudkan
sebagai upaya Negera menghormati dan memenuhi atas tanah dengan
melakukan redistribusi tanah kepada para penerima manfaat yang berhak
(buruh tani, petani penggarap, dan atau petani bertanah kecil) untuk
meningkatkan produktifitas hasil pertaniaan dan kesejahteraan kaum tani.
Dan Access Reform adalah upaya negara membuka dan melindungi kaum
tani atas aksesnya sumber produksi pertaniaan, saprodi, modal kerja
(kredit murah), infrastruktur pertanian, dan akses pada pasar produksi
dengan harga mengntungkan alias layak.
Contoh baik pelaksanaan access reform yang terintegrasi land reform
dapat kita lihat di Kabupaten Garut, tepatnya di Desa Sagara, Kecamatan
Cibalong. Kaum tani yang berprofesi sebagai buruh perkebunan menjadi
80 Mereka Berani Melawan Pemiskinan 81Mereka Berani Melawan Pemiskinan
sasaran pelaksanaan reforma agraria. Sebelumnya, mereka menerima
upah per bulan sebesar 220.000 rupiah. Setelah memperoleh tanah seluas
rata-rata 1 hektar per kepala keluarga yang ditanami karet, pendapatan
mereka per bulan mencapai 7.000.000 rupiah.
Bercermin pada apa yang dialami oleh buruh perkebunan di Desa
Sagara Kabupaten Garut, reforma agraria dapat menjadi salah satu jalan
keluar untuk menggusur pemiskinan bagi kaum tani. Melalui reforma
agraria, masyarakat miskin dapat memiliki aset berupa tanah, sekaligus
memperoleh akses terhadap sumber ekonomi. Dengan modal tersebut,
mereka dapat meningkatkan pendapatan yang mereka gunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka, dan pada akhirnya dapat
meningkatkan kesejahteraan hidup mereka dan juga keluarga mereka.
Itu artinya, reforma agraria sesungguhnya bukan sebagai sebuah
ideologi yang menakutkan melainkan sebagai istrumen dan atau jalan
bagi Negara untuk membela kaum tani dan menggusur kemiskinan
– pemiskinan secara sistematis, sekaligus merevitalisasi lahan tidur/
terlantar. Reforma Agraria merupakan jalan baik dalam menggusur
pemiskinan bangsa.