Post on 20-Oct-2015
MENGUPAS MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM SIMBOLISME NASI
TUMPENG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN HERMENEUTIK
Tugas Akhir Mata Kuliah
Filsafat Ilmu
Program Studi Magister Pendidikan
Universitas Pelita Harapan
Oleh :
Marcia Tadjuddin
6920090047
1
Daftar Isi
Judul Halaman
A. Abstrak 1
B. Pendahuluan 1
C. Ulasan
1. Tiga komponen dalam pendekatan hermeneutik: teks, penulis 2
dan penafsir.
2. Lingkaran hermeneutik 1: menginterpretasi makna berdasarkan 3
agama dan ketuhanan.
3. Lingkaran hermeneutik 2: menginterpretasi makna berdasarkan 6
hubungan dengan alam.
4. Lingkaran hermeneutik 3: menginterpretasi makna berdasarkan 10
hubungan sosial kemasyarakatan.
D. Komentar Penulis 12
E. Daftar Referensi 13
2
MENGUPAS MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM SIMBOLISME NASI
TUMPENG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN HERMENEUTIK
A. Abstrak
Nasi tumpeng, atau banyak dikenal luas dengan “tumpeng” saja adalah
sajian khas yang banyak dijumpai dalam berbagai acara perayaan atau
“selamatan” baik di desa-desa maupun di kota-kota besar di pulau Jawa sampai
sekarang. Seperti halnya acara syukuran dan selamatan dalam kebudayaan
Jawa yang sarat akan makna, begitupun dengan tumpeng yang biasanya
menjadi ikon penting dalam acara-acara tersebut.
Walaupun banyak diakui sebagai simbol penting dalam sebuah acara
syukuran atau selamatan, namun sebenarnya tidak banyak orang yang benar-
benar mengerti makna dibalik simbol itu; bahwa tumpeng mengandung makna-
makna mendalam yang mengangkat hubungan antara manusia dengan Tuhan,
dengan alam dan dengan sesama manusia.
B. Pendahuluan
Bentuknya yang khas dan penampilannya yang cantik dan menarik
memang sangat pantas untuk disajikan di kesempatan-kesempatan istimewa
dan menjadikan tumpeng salah satu benda wajib yang harus hadir dalam acara
syukuran atau selamatan. Selain itu variasi lauk pauk dan rasanya yang gurih
dan nikmat sudah lama menjadi santapan favorit dan terkenal sampai ke negara-
negara tetangga.
Dengan reputasi seperti itu, tak heran bila keberadaan dan popularitas
tumpeng masih bertahan di tengah-tengah masyarakat modern sekarang ini.
Masih banyak lembaga-lembaga pendidikan kuliner yang menawarkan kursus
memasak dan menghias tumpeng. Buku-buku masakan tentang cara memasak
nasi tumpeng dan lauk-pauknya serta membuat hiasan pelengkapnya juga
banyak diterbitkan dan dijual di toko-toko buku. Namun lembaga pendidikan
kuliner dan buku-buku masak kebanyakan mengajarkan tentang tumpeng
3
dengan menitik beratkan pada “form” atau bentuknya saja. Bahan-bahannya
adalah berkut ini, demikianlah cara memasaknya, harus dibentuk seperti ini, dst.
Tentu saja dengan begitu “form” atau bentuk tumpeng akan terjaga
kelangsungannya dari generasi ke generasi.
Tetapi bagaimana dengan “meaning” atau makna? Ketika acara syukuran
atau selamatan dihadiri tamu dari negeri lain, tuan rumah dengan bangga akan
menyuguhkan nasi tumpeng kepada mereka sambil memberikan informasi
bahwa ini adalah makanan tradisional yang hanya disuguhkan pada acara
tertentu dan dengan fasih menyebutkan satu persatu jenis lauk pauk, terbuat dari
bahan apa dan bagaimana cara memasaknya. Namun ketika tamu dari negeri
lain ini menanyakan apa arti tumpeng, mengapa dibentuk seperti itu, mengapa
disertai lauk-pauk sedemikian, mengapa hanya disuguhkan pada acara-acara
syukuran dan selamatan, tidak sedikit tuan rumah (dan masyarakat kebanyakan)
yang kemudian terpaku sambil menjawab, “Wah, kalau itu saya tidak tahu.”
Tulisan ini ingin mengupas makna-makna yang terkandung dalam
simbolisme tumpeng dengan menggunakan pedekatan hermeneutik. Interpretasi
dan penjelasan makna-makna akan diulas dalam lapisan-lapisan lingkaran
hermeneutik.
C. Ulasan
1. Tiga komponen dalam pendekatan hermeneutik: teks, penulis dan penafsir.
a. Teks
Yang dirujuk sebagai teks disini adalah objek penginterpretasian makna
tersebut, yaitu nasi tumpeng. Tumpeng, dengan penyusun utama nasi
yang dibentuk kerucut, merupakan makanan komponen pengiring tradisi.
Sebenarnya banyak jenis nasi tumpeng yang disajikan sesuai dengan
acaranya, antara lain: Tumpeng Robyong (untuk upacara siraman atau
perkawinan adat Jawa), Tumpeng Nujuh Bulan (untuk upacara syukuran
kehamilan yang mencapai usia tujuh bulan, Tumpeng Tasyakuran,
Tumpeng Selamatan atau kematian, Tumpeng Medekingan (untuk
upacara kelahiran anak ganjil) dan Tumpeng Pungkur (untuk upacara
4
kematian wanita/pria lajang yang belum menikah). Perbedaannya terletak
pada variasi lauk pauk dan warna nasi. Untuk menghindari ulasan yang
terlalu kompleks, tulisan ini akan mengambil komponen-komponen yang
umum dari berbagai jenis tumpeng di atas sebagai teks.
b. Penulis
Penulis disini adalah yang empunya nasi tumpeng, atau masyarakat dan
kebudayaan dimana nasi tumpeng berasal, yaitu kebudayaan dan
masyarakat Jawa. Dalam masyarakat Jawa, tumpeng harus ada dalam
banyak tradisi mulai dari sejak dalam kandungan, kelahiran, hajatan,
hingga kematian. Masyarakat di Pulau Jawa memandang tumpeng
sebagai simbolisasi yang bersifat sakral. Tulisan ini akan banyak merujuk
pada kebudayaan Jawa sebagai dasar penafsiran makna dari simbolisasi
nasi tumpeng.
c. Penafsir
Posisi penafsir dalam tulisan ini diberikan kepada penulis yang menulis
makalah ini beserta penafsir-penafsir lain yang menjadi sumber referensi.
Ide-ide dari penafsir lain ini akan menjadi bahan penghubung dan
pembentuk penafsiran makna atas simbol-simbol yang terdapat dalam
nasi tumpeng.
2. Lingkaran hermeneutik 1: menginterpretasi makna berdasarkan agama dan
ketuhanan.
Melihat bentuk khas nasi tumpeng yang kerucut meruncing ke atas,
yang akan terlintas di pikiran orang adalah kemiripan bentuknya dengan
gunung. Hal ini tidak sama sekali melenceng. Kata tumpeng memang berasal
dari Bahasa Jawa yang padanan katanya sama dengan gunung. Asal muasal
bentuk tumpeng ini ada dalam mitologi Hindu, di epos Mahabarata. Perlu
diingat bahwa walaupun mayoritas masyarakat Jawa sekarang beragama
5
Islam, masih banyak tradisi masyarakat yang berpijak dari akar-akar agama
Hindu.
Gunung, dalam kepercayaan Hindu adalah awal kehidupan, karenanya
amat dihormati. Dalam Mahabarata dikisahkan tentang Gunung Mandara,
yang dibawahnya mengalir amerta atau air kehidupan. Yang meminum air itu
akan mendapat mendapat keselamatan. Inilah yang menjadi dasar
penggunaan tumpeng dalam acara-acara selamatan.
Selain itu gunung bagi penganut Hindu diberi istilah méru, representasi
dari sistem kosmos (alam raya). Jika dikaitkan dengan bagian puncak
tumpeng, maka ini melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos. Ini
menjelaskan bahwa acara-acara selamatan dimana tumpeng digunakan
selalu dikaitkan dengan wujud syukur, persembahan, penyembahan dan doa
kepada Tuhan.
Selain pengaruh dari agama Hindu, bentuk tumpeng ini juga
dipengaruhi oleh agama atau kepercayaan masyakarat Jawa yang dikenal
dengan nama kejawen. Masyarakat Jawa sendiri sebenarnya lebih
menganggap kejawen sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang
dibarengi dengan sejumlah laku (perilaku). Ajaran kejawen biasanya tidak
terpaku pada aturan yang ketat seperti aturan-aturan agama pada umumnya,
tetapi menekankan pada konsep "keseimbangan". Praktek ajaran ini
biasanya melibatkan benda-benda tertentu yang memiliki arti simbolik.
Gunung berarti tempat yang sangat sakral oleh masyarakat Jawa,
karena memiliki kaitan yang erat dengan langit dan surga. Bentuk tumpeng
bermakna menempatkan Tuhan pada posisi puncak yang menguasai alam.
Bentuk kerucut gunungan (méru) ini juga melambangkan sifat awal dan akhir,
simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan
kembali lagi (berakhir) pada Tuhan.
6
Sebagian besar upacara yang diselenggarakan dalam kebudayaan
Jawa adalah bagian dari ritual kejawen sehingga tentu saja pengadaan
tumpeng dan posisinya yang penting dalam sebuah upacara sangat berkaitan
erat dengan makna simbolis yang terkandung dalam tumpeng itu.
Selain dari bentuk, kita juga bisa menginterpretasikan makna dibalik
warna nasi tumpeng. Ada dua warna dominan nasi tumpeng yaitu putih dan
kuning. Bila kita kembali pada pengaruh ajaran Hindu yang masih sangat
kental di Jawa, warna putih diasosiasikan dengan Indra, Dewa Matahari.
Matahari adalah sumber kehidupan yang cahayanya berwarna putih. Selain
itu warna putih di banyak agama melambangkan kesucian. Warna kuning
melambangkan rezeki, kelimpahan, kemakmuran.
Melihat hubungan antara makna dibalik bentuk tumpeng dan warna
nasi tumpeng, keseluruhan makna dari tumpeng ini adalah pengakuan akan
adanya kuasa yang lebih besar dari manusia (Tuhan), yang menguasai alam
dan aspek kehidupan manusia, yang menentukan awal dan akhir, Wujud
nyata dari pengakuan ini adalah sikap penyembahan terhadap Sang Kuasa
dimana rasa syukur, pengharapan dan doa dilayangkan kepadaNya supaya
hidup semakin baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk
kemuncak tumpeng itu sendiri.. Jadi tumpeng mengandung makna religius
yang dalam sehingga kehadirannya menjadi sakral dalam upacara-upacara
syukuran atau selamatan.
Berikut ini adalah contoh-contoh jenis-jenis tumpeng yang membawa
pengharapan atau doa tertentu kepada Sang Kuasa:
1. Tumpeng Dlupak yang puncak tumpengnya dibuat cekung (seperti
posisi tangan ketika berdoa) bermakna agar keinginan dan harapan si
empunya hajat dikabulkan. Tumpeng Punar digunakan agar kehidupan
keluarga cerah, seperti menyambut kehadiran anak.
7
2. Tumpeng Kendhit dipakai saat pemilik hajat memohon jalan keluar dari
gangguan, kesulitan hidup, dan keselamatan dari ancaman roh jahat.
3. Tumpeng Robyong dibuat agar si pemohon selalu diobyong-obyong
atau dikelilingi sanak saudara tercinta.
4. Tumpeng Among-among bermakna untuk minta perlindungan pada
Tuhan untuk keselamatan anak cucu.
3. Lingkaran hermeneutik 2: menginterpretasi makna berdasarkan hubungan
dengan alam.
Kehidupan orang Jawa sangat lekat dengan alam. Mereka sadar
bahwa hidup mereka bergantung dari alam. Banyak pelajaran yang menjadi
pedoman hidup sehari-hari yang mereka ambil dari alam. (Ch dan
Sudarsono, 2008) Penempatan dan pemilihan lauk pauk dalam tumpeng juga
didasari akan pengetahuan dan hubungan mereka dengan alam.
Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut ditempatkan di tengah-tengah
dan bermacam-macam lauk pauk disusun di sekeliling kerucut tersebut.
Penempatan nasi dan lauk pauk seperti ini disimbolkan sebagai gunung dan
tanah yang subur di sekelilingnya. Tanah di sekeliling gunung dipenuhi
dengan berbagai macam lauk pauk yang menandakan lauk pauk itu
semuanya berasal dari alam, hasil tanah. Tanah menjadi simbol
kesejahteraan yang hakiki.
Kebanyakan penghasilan orang Jawa diperoleh dengan bercocok
tanam. Dengan banyaknya gunung yang terdapat di pulau Jawa dan jenis
tanah vulkanik yang subur dan ideal untuk bercocok tanam, banyak orang
Jawa yang tinggal disekitar daerah gunung dimana mereka menanam padi,
sayur-sayuran, buah-buahan dan memelihara ternak seperti ayam, bebek,
kambing, domba, sapi atau kerbau. Jadi hampir seluruh kebutuhan hidup
mereka didapatkan dari tanah di sekitar gunung. Oleh karena itulah lauk-pauk
8
ditempatkan di sekeliling nasi karena memang dari sanalah mereka berasal.
(tanah di sekitar gunung).
Selain penempatannya, pemilihan lauk juga didasari oleh
kebijaksanaan yang didapat dari belajar dari alam. Tumpeng merupakan
simbol ekosistem kehidupan. Kerucut nasi yang menjulang tinggi
melambangkan keagungan Tuhan Yang Maha Pencipta alam beserta isinya,
sedangkan aneka lauk pauk dan sayuran merupakan simbol dari isi alam ini.
Oleh karena itu pemilihan lauk pauk di dalam tumpeng biasanya mewakili
semua yang ada di alam ini (Shahab, 2006). Bila kita kembali sejenak pada
pembahasan tentang agama dan kepercayaan, dalam kepercayaan Hindu-
Jawa alam terdiri dari alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam
manusia. Di sini, alam tumbuh-tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan,
misalnya kacang panjang dan sayur kangkung. Alam fauna dapat berasal dari
dua unsur: darat dan air, dan diwujudkan melalui daging hewan seperti ayam,
kambing, sapi dan jenis jenis ikan. Adapun alam manusia diwujudkan dalam
bentuk keseluruhan nasi tumpeng itu sendiri, yaitu makhluk yang bergantung
pada tuhan dan alam.
Urap sayuran merupakan jenis menu yang umum dipilih yang dapat
mewakili tumbuhan darat. Jenis sayurnya tidak dipilih begitu saja karena tiap
sayur juga mengandung perlambang tertentu. Sayuran yang harus ada
adalah:
Kangkung
Sayur ini bisa tumbuh di air dan di darat, begitu juga yang diharapkan pada
manusia yang harus sanggup hidup di mana saja dan dalam kondisi apa pun.
Bayam
Bayam mempunyai warna hijau muda yang menyejukkan dan bentuk
daunnya sederhana tidak banyak lekukan. Sayur ini melambangkan
kehidupan yang ayem tenterem (aman dan damai), tidak banyak konflik
9
seperti sederhananya bentuk daun dan sejuknya warna hijau pada sayur
bayam.
Taoge.
Taoge muncul keluar dari biji kacang hijau. Di dalam sayur kecil ini
terkandung makna kreativitas tinggi. Seseorang yang selalu memunculkan
ide-ide baru adalah seseorang yang kreativitasnya tinggi dan bisa berhasil
dalam hidupnya. Taoge juga jenis sayuran yang sangat mudah dihasilkan. Ini
mengandung pengharapan bahwa manusia dapat terus berkembang,
mempunyai anak cucu.
Kacang Panjang
Kacang panjang harus hadir utuh, tanpa dipotong. Maksudnya agar manusia
hendaknya selalu berpikir panjang sebelum bertindak. Selain itu kacang
panjang juga melambangkan umur panjang. Kacang panjang utuh umumnya
tidak dibuat hidangan, tetapi hadir sebagai hiasan yang mengelilingi tumpeng
atau ditempelkan pada badan kerucut.
Dari lauk pauk wakil dari alam fauna, sepertinya lauk yang mewakili
unsur air yang banyak mengandung makna yang bisa diterapkan dalam
kehidupan. Ikan sudah bisa dipastikan mewakili hewan air. Ada tiga jenis ikan
yang bisa dipakai untuk melengkapi jenis lauk-pauk yang terdapat di dalam
tumpeng:
Ikan lele.
Hewan ini melambangkan kerendahan hati sesuai dengan kebiasaan hidup
ikan lele yang selalu berenang di dasar sungai. Kebiasaan hidup lele juga
diharapkan akan diterapkan dalam kehidupan karier manusia, yakni agar
tidak sungkan meniti karier dari bawah.
Ikan bandeng.
10
Ikan bandeng terkenal dengan duri-duri halusnya yang jumlahnya seperti
tidak terbatas. Hampir setiap gigitan, hampir bisa dipastikan ada duri di
dalamnya. Melalui hidangan ini orang berharap setiap saat bisa mendapat
rezeki dan jumlahnya selalu banyak atau bertambah seperti duri ikan
bandeng.
Ikan teri.
Ikan teri ukurannya sangat kecil dan mudah menjadi santapan ikan yang leih
besar apabila ia berenang sendirian. Oleh karena itu ikan teri hidupnya selalu
bergerombol. Ini mengingatkan manusia bahwa mereka tidak bisa hidup
sendiri. Mereka adalah makhluk yang lemah dan membutuhkan bantuan
orang lain untuk hidup. Dengan demikian, ikan teri melambangkan kerukunan
dan kerjasama yang harus dibina sesama manusia.
Satu lagi jenis lauk pauk yang biasanya hadir melengkapi tumpeng
adalah telur. Telur biasanya didadar atau dipindang. Sebetulnya telur dalam
tumpeng harus hadir utuh bersama kulitnya karena kulit telur, putih telur, dan
kuning telur melambangkan tindakan yang manusia harus lakukan dalam
kehidupan yakni menyusun rencana dengan baik, bekerja sesuai rencana,
dan mengevaluasi hasilnya demi kesempurnaan.
Dari berbagai penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa pemilihan bentuk
dan lauk pauk pelengkap tumpeng bukan sekedar kebetulan atau tanpa
alasan. Dasar dasar pemilihannya sangat erat kaitannya dengan hubungan
dan pengertian manusia akan alam. Bahkan dari observasi sederhana yang
jauh dari penjelasan ilmiah, manusia bisa belajar banyak hal dari alam. Hal ini
dinyatakan jelas oleh tumpeng. Setiap kali tumpeng hadir dalam sebuah
acara, kita diingatkan kembali akan hubungan kita dengan alam dan
pelajaran hidup yang kita peroleh dari alam.
11
4. Lingkaran hermeneutik 3: menginterpretasi makna berdasarkan hubungan
sosial kemasyarakatan.
Penjelasan pada bagian ini sudah keluar dari makna simbolis dari
bentuk tumpeng itu sendiri. Bagian ini lebih menyorot makna yang tersirat
dari pelaksanaan tradisi tumpeng itu.
Puncak sebuah upacara dimana terdapat tumpeng didalamnya
ditandai dengan pemotongan bagian teratas atau terlancip kerucut nasi
tumpeng tersebut. Pemotongan ini biasanya dilakukan oleh orang yang paling
dituakan atau dihormati di komunitas dimana upacara itu dilaksanakan. Ini
menyiratkan bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat yang masih
memegang teguh nilai nilai kekeluargaan dan memandang orang tua sebagai
figur yang sangat dihormati.
Hal ini tercermin dalam ungkapan Jawa mikul dhuwur mendhem jero
yang mengandung nasihat kepada anak untuk memperlakukan orang tuanya
secara baik. Anak di sini bisa diartikan sebagai anak keturunan, generasi
muda atau bawahan, sedangkan orang tua bisa diartikan orang tua dalam
hubungan darah, orang yang usianya lebih tua, para pendahulu yang pernah
berjasa, para pemimpin atau atasan. Mikul dhuwur (memikul tinggi) memiliki
arti menghormati setinggi-tingginya dan mendhem jero (menanam dalam-
dalam) artinya menghargai sebaik-baiknya atau penghargaan yang
mendalam terhadap seseorang (Suratno dan Astiyanto, 2009).
Hal ini terwujud ketika orang yang dituakan memotong ujung kerucut
tumpeng dan semua yang hadir memperhatikan dan mengikuti dengan
seksama. Ujung kerucut nasi tumpeng adalah bagian yang paling penting dari
tumpeng dan diperuntukkan khusus untuk orang yang dituakan sebagai tanda
hormat dan bakti. Setelah bagian itu dipotong, barulah yang lain menikmati
bagian tang tersisa dari nasi tumpeng tersebut (bagian bawah kerucut).
12
Dalam tradisi awalnya, upacara dalam adat Jawa merupakan upacara
yang melibatkan seluruh desa atau kampung. Begitu mengetahui
tetangganya mengadakan upacara syukuran atau selamatan, sanak saudara,
kenalan dan orang yang tinggal sekitar tempat acara syukuran diadakan akan
datang menawarkan bantuan tanpa diminta. Mereka terlibat langsung mulai
dari persiapan sampai dengan berakhirnya acara tersebut. Dengan demikian,
seluruh komponen upacara tersebut adalah atas hasil usaha bersama.
Hal ini merupakan hal yang lazim terjadi dalam hubungan
kemasyarakatan orang Jawa yang menjunjung tinggi asas gotong royong.
Ada ungkapan Jawa yang berbunyi urip tulung tinulung (Suratno dan
Astiyanto, 2009) yang berarti bahwa dalam hidup, orang harus saling tolong
menolong. Ajaran ini berangkat dari pandangan bahwa seseorang tidak
mungkin hidup seorang diri. Sudah merupakan kodrat seorang manusia yang
membutuhkan orang lain. Oleh karena itu kita harus hidup saling tolong
menolong.
Hal ini berhubungan dengan ungkapan lain, yaitu nandur kebecikan,
males budi (menanam kebaikan membalas budi). Konsep nandur kebecikan
merupakan peringatan agar seseorang tidak bersikap individualis atau
sombong. Pengertian ungkapan ini juga mengandung ajaran filosofis bahwa
orang yang menanam pasti akan memetik hasilnya. Bila menanam kebaikan,
pasti akan memetik kebaikan pula (baik di dunia ataupun di akhirat).
Keyakinan ini membuahkan sikap murah hati untuk berbuat baik terhadap
orang lain. Bila kita menerima kebaikan dari orang lain, hendaknyalah kita
males budi atau membalas budi sehingga jangan sampai kita hidup dengan
berhutang jasa atau kebaikan terhadap orang lain. Nilai nandur kebecikan,
males budi yang tertanam dalam masyarakat akan menciptakan hubungan
social kemasyaratkan yang sangat harmonis yang salah satunya diwujudkan
dalam sikap gotong royong dalam mempersiapkan dan menjalankan sebuah
upacara syukuran atau selamatan.
13
D. Komentar Penulis
Tumpeng sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia, khususnya ketika memperingati momen dan peristiwa
penting. Dimulai dari masyarakat di pulau Jawa, Madura dan Bali, kini
penggunaan tumpeng sudah menyebar ke bagian pelosok nusantara lainnya
bahkan ke mancanegara seperti Malaysia, Singapura bahkan Belanda. (dikenal
dengan nama rijstafel).
Sayangnya penyebaran tumpeng yang begitu pesat dan meluas tidak
dibarengi dengan makna filosofis yang terkandung didalamnya. Bagaikan kotak
hadiah yang tampak cantik dari luar namun orang lupa menaruh hadiah di
dalamnya, maka berapapun cantik kotak hadiah tersebut, tidak akan punya arti
apa-apa. Analogi inilah yang kira-kira terjadi pada tumpeng. Banyak orang yang
tahu apa itu tumpeng tetapi tidak tahu artinya.
Padahal melihat penjelasan dalam tulisan ini, begitu saratnya makna yang
dikandung tumpeng sehingga bila makna ini dipahami dan diresapi maka setiap
kali tumpeng hadir dalam setiap upacara, manusia diingatkan lagi akan
kekuasaan Sang Pencipta Alam, pentingnya menjaga keharmonisan dengan
alam dan mempelajari nilai nilai hidup darinya serta mempertahankan asas
gotong royong, urip tulung tinulung dan nandur kebecikan, males budi yang
menjadi dasar kerukunan dan keharmonisan hidup bermasnyarakat.
Jika dilihat secara keseluruhan, makna-makna inilah yang menjadi
identitas budaya dan masyarakat Jawa (dan Indonesia pada umumnya)
sehingga hadirnya tumpeng juga mengingatkan kita tentang siapa kita dan apa
yang membuat bangsa kita berbeda dari bangsa lain. Dengan begitu, tumpeng
juga merupakan salah satu perangkat identitas nasional yang harus dijaga dan
dilestarikan, bukan dalam hal bentuk tumpengnya saja melainkan juga makna-
makna atau nilai nilai yang terkandung di dalamnya.
14
Daftar Referensi
Ch, HM. Nasruddin Anshoriy dan Sudarsono, SH. Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Kejawen. http://id.wikipedia.org/wiki/Kejawen , diakses tanggal 15 November 2009.
Lekat Dengan Tradisi, Namun Masih Menyimpan Misteri. http://www.cyberdharma.net/v2/index.php/component/content/article/2-share-t-world/402-lekat-dengan-tradisi-namun-masih-menyimpan-misteri.html , diakses tanggal 14 November 2009.
Makna Dibalik Tumpeng. http://blogs.unpad.ac.id/fadly27/?p=10 , diakses tanggal 14 November 2009.
Makna yang Tersirat dalam Nasi Tumpeng. http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?idwil=0&nNewsId=35459 , diakses tanggal 14 November 2009.
Nasi Kuning. http://id.wikipedia.org/wiki/Nasi_kuning , diakses tanggal 14 November 2009.
Nasi Kuning. http://en.wikipedia.org/wiki/Nasi_kuning , diakses tanggal 14 November 2009.
Shahab, Nadrah. Kerucut yang Penuh Arti. http://ncc.blogsome.com/2006/06/14/228/ , diakses tanggal 14 November 2009.
Sawungpraja, Enest N. Sumarna. Tradisi Nasi tumpeng Kurang Tersentuh. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&dn=20061218095701 , diakses tanggal 14 November 2009.
Suratno, Pardi dan Heniy Astiyanto. Gusti Ora Sare. 90 Mutiara Nilai Kearifan Budaya Jawa. Yogyakarta: Adiwacana, 2009.
Tumpeng. http://id.wikipedia.org/wiki/Tumpeng , diakses tanggal 14 November 2009.
15