Post on 03-Apr-2019
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
62 | ISSN: 2356-2447-XIII
MENGGAGAS PERGURUAN TINGGI PESANTREN
Abdul Majid
Wakil Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Sains Al
Qur’an, Kandidat Doktor UIN Sunan Kalijaga Yokyakarta
Abstrak
Perguruan Tinggi Nasional belum mampu secara optimal, membekali sarjananya
dari sisi yang lain, yaitu jiwa dan mental yang beriman dan bertakwa, sehingga
alumninya belum menjadi sarjana yang “utuh” sebagaimana yang diharapkan dalam
rumusan tujuan pendidikan nasional dalam UU. SPN Nomor. 20/2003, yakni
“….manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.” Karena minimnya sarjana yang “utuh” itulah,
maka alumni perguruan tinggi (khusus) nasional dan (umum) luar negeri yang
sekarang menjadi pengelola pemerintahan dan negara, menurut Sumitro
Djoyohadikusumo telah mencapai 30% dari mereka mudah melakukan
penyelewengan, kolusi dan korupsi. Sehingga lebih 10 tahun dari era reformasi
sekarang ini, tujuan pembangunan nasional, yakni mewujudkan masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur, belum bisa terwujud.
Sekarang ini, diperlukan adanya format Pendidikan Tinggi yang kokoh dari sisi
ideologi atau moral dan kuat dalam mengembangkan sains untuk kemajuan
peradaban Islam. Format kelembagaan perguruan tinggi itu adalah Perguruan Tinggi
Pesantren. Ada beberapa alasan dalam memformulasi Perguruan Tinggi Pesantren,
Pertama, jumlah peserta didik usia 13-24 tahun di pedesaan masih di bawah 30%
(survey BPS tahun 2008). Jumlah lembaga pendidikan tinggi yang dikembangkan
oleh Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama belum cukup
memadai. Kedua, keinginan generasi muda pedesaan untuk memperoleh pendidikan
sampai ke tingkat perguruan tinggi semakin kuat. Namun kemampuan ekonominya
untuk membayar sumbangan pembiayaan pendidikan sangat rendah. Sementara itu,
pesantren dapat mengelola dana pembiayaan pendidikan yang sangat terbatas secara
lebih efesien. Ketiga, dosen-dosen yang dibutuhkan dalam berbagai studi 5-10 tahun
ke depan semakin mudah diperoleh, karena lulusan S.2 dan S.3 PTN/PTS dan
PTAIN/STAIN/UIN semakin meningkat dan memerlukan pengembangan diri.
Untuk kemanfaatan ilmunya pada masyarakat yang lebih memerlukan di pedesaan.
Kata Kunci: Perguruan Tinggi, Pesantren
A. Pendahuluan
Menurut data dari situs resmi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, saat ini sudah ada 100 Perguruan Tinggi
Negeri di Indonesia (berbentuk universitas, sekolah tinggi, akademi, politeknik) dan 3.078
Perguruan Tinggi Swasta yang tersebar dari Aceh Sampai Papua, dengan jumlah
mahasiswa sekitar 5 jutaan orang. Sementara itu jumlah Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) ada 52 perguruan tinggi yang berada dibawah pengelolaan Kementrian
Agama, dan perguruan tinggi swasta agama Islam ada 272 perguruan tinggi.1
1 Kompas, Statistika Perguruan Tinggi di Indonesia, http://edukasi.kompasiana.com/2014/03/04/statistika-
perguruan-tinggi-di-indonesia-639224.html, di akses tanggal 10 November 2014
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 63
Perguruan-perguruan tinggi tersebut di atas telah banyak memberikan andil, bagi
pembangunan Sumber Daya Manusia Indonesia. Karena secara nasional, kepemimpinan
dan pengelola negara atau pemerintahan mayoritas merupakan alumni perguruan tinggi
nasional -baik negeri atau swasta-. Hanya sekitar 10% dari mereka yang lulusan luar
negeri. Namun hanya kurang 10% lulusan luar negeri itu hampir semuanya terserap dan
menduduki posisi-posisi penting di setiap departemen, BUMN, dan lembaga
pemerintahan/negara.
Fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai sesuatu yang membanggakan, namun
dalam praktek kerja sosial, mereka memiliki ‘sesuatu yang kurang’ dari lulusan perguruan
tinggi tersebut. ‘Sesuatu yang kurang’ itu menurut Wajoetomo adalah sarjana atau
ilmuwan yang dilahirkan dari perguruan tinggi nasional baru mencerminkan keberhasilan
dari sisi ilmu pengetahuan.
Perguruan Tinggi Nasional belum mampu secara optimal, membekali sarjananya dari
sisi yang lain, yaitu jiwa dan mental yang beriman dan bertakwa, sehingga alumninya
belum menjadi sarjana yang “utuh” sebagaimana yang diharapkan dalam rumusan tujuan
pendidikan nasional dalam UU. SPN Nomor. 20/2003, yakni “….manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”2
Karena minimnya sarjana yang “utuh” itulah, maka alumni perguruan tinggi (khusus)
nasional dan (umum) luar negeri yang sekarang menjadi pengelola pemerintahan dan
negara, menurut Sumitro Djoyohadikusumo telah mencapai 30% dari mereka mudah
melakukan penyelewengan, kolusi dan korupsi.3 Sehingga lebih 10 tahun dari era
reformasi sekarang ini, tujuan pembangunan nasional, yakni mewujudkan masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur, belum bisa terwujud.
Sistemik memang, namun jika dirunut ketimpangan lulusan itu, salah satunya
disebabkan sistem pendidikan nasional yang belum terintegratif. Pendidikan Tinggi Islam
dalam realitas, baru bertujuan menghasilkan sarjana-sarjana di bidang “ilmu-ilmu
pengetahuan agama Islam”. Meskipun jumlahnya sangat banyak, tetapi dalam peta
perguruan di Indonesia kebanyakan menempati posisi pinggiran.4 Sementara pendidikan
tinggi secara nasional dalam peta perguruan tinggi di Asia apalagi di dunia tidak atau
belum mampu bersaing menempati prestasi yang menggembirakan.
Mungkin salah satu sebab karena masih ada dikotomi pendidikan antara perguruan
tinggi umum dan perguruan tinggi agama. Memang, sudah ada beberapa perguruan tinggi
yang memberikan kurikulumnya secara integratif dengan menambah pendidikan -agama
dan moral- secara khusus, misalnya Universitas Islam Malang, Universitas Wahid
Hasyim, UNSIQ Jawa Tengah di Wonosobo, dan juga beberapa perguruan tinggi negeri
seperti pengembangan IAIN menjadi UIN. Semua itu, merupakan ikhtiar untuk
meluluskan sarjana yang “utuh” tadi, yakni menguasai saintek dan kokoh memegang
nilai-nilai agama dan moral.
2 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997, hal. 13. 3 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi , hal. 13.
4 Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 2008), hal. 80
Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
64 | ISSN: 2356-2447-XIII
Upaya pemerintah itu bahkan sudah lebih konkrit, dimana sejak tahun 1990
memberikan kebijakan dan strategi pembangunan pendidikan nasional bersama-sama,
antara lain menjadikan madrasah sebagai bagian dari pendidikan nasional, 6 IAIN telah
menjadi UIN dan 6 Universitas/Institut Negeri ‘Unggulan’ dibawah Kementerian
Pendidikan Nasional (UI, ITB, IPB, UGM, ITS, dan UNAIR) mendidik ribuan santri
pilihan, yang sekarang ini menyelesaikan studinya dalam bidang sains dan teknologi.5
Meskipun demikian, langkah-langkah pemerintah itu belum cukup optimal, karena
bangsa Indonesia kini menghadapi tantangan yang sangat berat, yaitu memberikan
kesempatan pendidikan secepatnya kepada 60% generasi muda yang masih belum
memperoleh haknya dalam pendidikan menengah dan tinggi. 60% generasi muda itu, kata
Zamakhsyari Dhofier (usia antara 14 sampai 24 tahun) suatu jumlah yang sangat besar
(sekitar 25 juta) dan hampir semuanya mereka tinggal di pedesaan. Padahal fasilitas
pendidikan menengah dan tinggi di wilayah pedesaan baru tersedia 30%, dan lebih dari
setengah dari itu disediakan oleh pesantren.6 Karenanya, meskipun pesantren dan
perguruan tinggi adalah dua dimensi pendidikan yang berbeda, namun potensi dan
kekuatan dua jenis lembaga pendidikan ini dapat dipadukan untuk masa depan kemajuan
bangsa. Dimana pesantren dapat ditempatkan sebagai lembaga pendidikan tradisional dan
universitas sebagai representasi lembaga pendidikan tinggi “super” modern. Jaringan
keduanya akan terus menguat dan penguatan itu akan lebih cepat lagi, apabila
kementerian pendidikan nasional dan kementerian agama memberikan bantuan
pengembangan perguruan tinggi di lingkungan pesantren.
Jika mungkin bahkan kedua kementerian tersebut secara simultan mendirikan
“perguruan tinggi pesantren”. Yakni perguruan tinggi yang maju saintek dengan dosen
yang memiliki standar kualifikasi, kompetensi dan professional, dilengkapi perpustakaan
dan sarana prasarana, laboratorium untuk penelitian dan praktek sesuai disiplin ilmu yang
dikembangkan. Sedangkan mahasiswa ditempatkan dalam asrama pesantren dibekali
nilai-nilai agama, moral, etika, budaya adiluhung bangsa dalam kesehariannya untuk
membentuk karakter building keIndonesiaan kepada mahasiswa Perguruan Tinggi Islam.
B. Metode Penelitian
Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kolaborasi library
research and field research. Untuk penelitian kepustakaan digunakan pada waktu peneliti
merumuskan konsep-konsep tentang perguruan tinggi dan dinamikanya, serta
perkembangan pesantren dari yang salaf maupun khalaf. Sedangkan untuk penelitian
lapangan dalam rangka mengkaji model-model perguruan tinggi yang memiliki pesantren
atau boarding bagi para mahasiswanya. Bagaimana proses pendidikan berlangsung di
ruang kuliah, di laboratorium, melakukan penelitian ilmiah, dan pembentukan karakter
mahasiswa di dalam pesantren kampus.
Dalam analisis data peneliti akan mengembangkan metode penelitian dengan
pendekatan triangulasi secara mendalam ataupun pendekatan interkoneksitas dengan
5 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa, (Yogyakarta:
Pesantren Nawesea Press, 2009), hal. 153.
6 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. 154.
Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 65
memperhatikan aspek sosiologis, antropologis, historis, agama dan sains dari berbagai sisi
perguruan tinggi pesantren, seperti model pendekatan Geertz, Martin Van Buerneisen,
Karel Amstrong, Zamakhsyari Dhofier, HM. Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan dan
juga digunakan oleh para peneliti dalam studi agama, sosial, budaya dan sains.
C. Kerangka Penelitian
jika proses habituasi pendidikan terintegratif di pesantren dilakukan oleh sistem
manajemen PTP yang baik, maka kekuatan mindset sarjana PTP terwujud dan dengan
kata lain tujuan pendidikan nasional menjadi niscaya.
TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL
SARJANA
SAINTEK
SEMI AHLI
AGAMA &
SARJANA
SAINTEK
SEKULE
R
PROSES
NORMATIF
PROSES
NORMATIF
PTP
PROSES HABITUASI
PENDIDIKAN
TERINTEGRATIF DI
PESANTREN
SARJANA
SAINTEK
PLUS
MORAL
SARJANA
ULAMA
TRANSFORMA
TIF, HUMANIS,
QUR’ANI
SARJANA
BERMORAL
PLUS
SAINTEK
T
A
N
T
A
N
G
A
N
T
A
N
T
A
N
G
A
N
G
L
O
B
A
L
I
S
A
S
I
G
L
O
B
A
L
I
S
A
S
I
MANAJEMEN PTP*
SARJANA BERIMAN BERTAQWA, BERAKHLAK MULIA,
SEHAT, BERILMU, CAKAP, KREATIF MANDIRI,
DEMOKRATIS DAN BERTANGGUNG JAWAB
PTA PT
Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
66 | ISSN: 2356-2447-XIII
D. Kerangka Teori
1. Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang
mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem
terbuka.7 Selanjutnya perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah
tinggi, institut, dan universitas. Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan
pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Dalam penyelenggaraan pendidikan
dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik
dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.8
Ada dua jenis pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia, yaitu: perguruan tinggi di
bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional yang terbagi 2 yaitu : perguruan tinggi
negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS), dan perguruan tinggi di bawah nauangan
Kementerian Agama yaitu: perguruan tinggi agama negeri (STAIN/IAIN/UIN) dan
perguruan tinggi agama swasta -baik Islam atau non-Islam-. Antara lain Sekolah Tinggi
Ilmu Tarbiyah, Sekolah Tinggi Teologi, Institut Agama Islam Sunan Giri, Institut Ilmu
Al-Qur’an dan lain-lain.
Sebagai perbandingan, di Australia, Jerman, Perancis, dan sejumlah negeri di Timur
Tengah, tidak dikenal istilah perguruan tinggi negeri (PTN). Di negara-negara tersebut,
semua perguruan tinggi sepenuhnya dibiayai oleh pemerintahnya masing-masing.
Besarnya dana yang di terima oleh masing-masing PT didasarkan pada perhitungan
proporsional dari banyaknya jumlah mahasiswa. Pengelolanya bukan pemerintah
melainkan professional board yang menetapkan seluruh kebijakan PT, termasuk
pengangkatan pimpinan universitas, fakultas, kepala jurusan, dan jabatan-jabatan lain. Di
USA sejak berdiri sampai berkembang menjadi negara super power mulai abad ke-20,
hampir seluruh universitas adalah swasta. Pemerintah USA baru mendirikan PTN setelah
terus menginginkan menjadi negara super power untuk memacu percepatan kemajuan
sains dan teknologi, dengan menyediakan dana pengembangan sebesar-besarnya dalam
pembangunan laboratorium sains dan teknologi.9
Demikian, di negara Islam seperti Mesir. Pembaharuan pendidikan di Mesir tidaklah
terjadi dalam kevakuman kebudayaan dan peradaban masyarakatnya. Bermula dari
pembaharuan Muhammad Ali Pasha ketika menjadi Gubernur Mesir (1220 H/1805 M10
Dimana, Mesir ketika itu mempunyai system pendidikan tradisional yang berpusat pada
Kuttab, masjid, madrasah dan Universitas Al-Azhar. Ali Pasha melihat bahwa pendidikan
sangat perlu bagi kemajuan suatu negara. Tetapi bukan pendidikan yang bercorak
tradisional. Sebaliknya hanya sekolah-sekolah modern seperti Baratlah yang dapat
7 Lihat, Pasal 19 UU. SPN Nomor 20 Tahun 2003 8 Undang-Undang RI, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(Bandung : Citra Umbara, 2010), hal. 69-71.
9 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. 153. 10 Trevon Mostyn (ed), at al., Cambridge Encyclopedia of the Moddle East and North Africa,
(Sydney:Cambridge University Press, 1998), hal. 78.
Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 67
mengeluarkan tenaga-tenaga ahli dalam berbagai bidang pekerjaan11Karena itu, dia
memperbaharui kurikulum pendidikan di Mesir untuk memajukan pendidikan yang ada.
Baik pendidikan tingkat rendah, tingkat menengah maupun tingkat tinggi. Kurikulum
tingkat tinggi diadakan tambahan isi kurikulum dengan matematika, dan sains lain sesuai
jurusan masing-masing. Termasuk mata pelajaran bahasa global ketika itu, Arab, Inggris,
Perancis, Italia, serta materi agama dijadikan sebagai salah satu materi kurikulum.12
Sementara itu, institusi perguruan tinggi di Indonesia bertujuan membantu
pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia yang berkemampuan, berkarakter
sekaligus berkepribadian. Lebih-lebih perguruan tinggi yang mengembangkan pendidikan
keIslaman, akan terus berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pengamalan nilai-
nilai dan moralitas keislaman yang terimplementasi dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Berikutnya, sebagai subsistem pendidikan nasional, perguruan tinggi Islam
memberikan isi kurikulumnya dengan tambahan-tambahan ilmu keislaman (teologi dan
moral). Perguruan tinggi Islam tersebut berupaya mentransformasikan nilai-nilai Islam
yang ada dalam Al-Qur’an sebagai inspirasi kehidupan melalui pembacaan, pemaknaan,
pemahaman dan pengamalan isi yang terkandung di dalamnya.
Dan sebagai sub-sistem pendidikan komtemporer, Perguruan Tinggi Islam harus
dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan kehidupan kekinian dan yang akan datang.
Lebih-lebih dalam suasana menguatnya hukum global dengan tabiat adanya perubahan
serba cepat yang mensyaratkan mutu, kualitas, kecepatan dan kreatifitas. Lebih-lebih
dalam proses reformasi dan penguatan pendidikan tinggi dengan paradigma dan wacana
yang telah ditawarkan, nampaknya belum dapat memberikan solusi terhadap berbagai
persoalan yang berkembang di masyarakat. Sebagaimana kita saksikan bahwa lembaga
pendidikan tinggi (akademi/institut/universitas) sebagian besar masih berkutat pada
masalah SDM, pembiayaan, sarana-prasarana, sebagai alasan klasik untuk pembenaran
atas kurangnya kualitas lulusan dari hasil proses pendidikan yang dilakukan perguruan
tinggi. Konsekuensi dari persoalan ini perguruan tinggi tidak punya waktu dan konsentrasi
yang cukup untuk melakukan perubahan kearah manajemen yang lebih profesional,
mandiri, transparan dan akuntabel. Apalagi dalam upaya yang serius untuk menelaah
kurikulumnya, meningkatkan sumberdaya manusia, guna mewujudkan para alumni yang
berkualitas dari sisi penguasaan saintek, dengan kekokohan agama moral.
Bahkan banyak PTN/PTAIN dan PTS/PTAIS dalam proses pengelolaan dan
pengembangannya telah terjebak pada masalah politik dan bisnis. Ini tidak berarti bahwa
perguruan tinggi tidak boleh mengikuti dinamikan politik dan bisnis, tetapi
keterlibatannya kalau bisa bukan dalam kerangka politik dan bisnis yang pragmatis,
melainkan dalam kerangka politik kebangsaan dan kenegaraan serta penguatan moral,
intelektual dan profesional. Sehingga dengan kerangka ini akan menaikkan bergaining
serta daya saing pendidikan tinggi baik secara institusional, maupun personal terutama
para alumninya.
11 Abdul Mukti, Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir; studi tentang Sekolah-Sekolah Modern
Muhammad Ali Pasha, (Bandung : Cita Pustaka Media Perintis, 2008), hal. 76.
12 C.E Bosworth, The Encyclopedia of Islam, Volume I, V, E, J. Brill, 1986, hal. 908.
Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
68 | ISSN: 2356-2447-XIII
6. Pesantren
Menurut bahasa, pesantren diartikan sebagai sebuah kehidupan yang unik,
sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahiriahnya. Pesantren adalah sebuah
kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya. Dalam
kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan: rumah kediaman pengasuh (di daerah
berbahasa Jawa disebut Kyai, di daerah berbahasa Sunda disebut ajengan, dan di daerah
berbahasa Madura disebut nun atau bendara, disingkat ra); sebuah surau atau masjid,
tempat pengajaran diberikan (bahasa Arab madrasah, yang juga terlebih sering
mengandung konotasi sekolah); dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren (santri,
pengambilalihan dari bahasa Sansekerta dengan perubahan pengertian).13
Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang tumbuh sejak awal kedatangan
Islam di Indonesia, yang dalam perjalanan sejarahnya telah menjadi obyek penelitian para
sarjana yang mempelajari Islam di wilayah ini, yaitu sejak Brumund menulis sebuah buku
tentang system pendidikan di Jawa pada tahun 1857.14 Lembaga-lembaga pesantren itulah,
yang paling menentukan watak keislaman kerajaan-kerajaan Islam, dan yang memegang
peranan terpenting bagi penyebaran Islam, sampai ke pelosok pedesaan. Dari pesantren ini
pula, asal-usul sejumlah manuskrip tentang pengajaran Islam di Asia Tenggara.
Hal ini sebagaimana dikatakan beberapa peneliti orientalis, semisal Van Den Berg,
Hurgronje, Geertz. Mereka betul-betul menyadari bahwa pengaruh pesantren sangat kuat
dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan
orang-orang pedesaan di Indonesia. Meskipun mereka baru mengerti sebagian kecil saja
dari ciri-ciri pesantren dan menyentuh aspek kesederhanaan bangunan-bangunan dalam
lingkungan pesantren, kesederhanaan cara hidup para santri kepada kyainya dan dalam
beberapa hal, pelajaran dasar mengenai kitab-kitab klasik. Seperti halnya, pesantren
menurut Raden Ahmad Djajadiningrat (1901-1917) lebih banyak menjelaskan tentang
susahnya kehidupan pesantren. Ia sama sekali tidak mengungkapkan sisi positif kehidupan
pesantren. Karena ia hanya tinggal sebentar di pesantren. Itupun pada saat usianya masih
sangat muda dan belum memahami kekuatan tradisi pesantren. Sebagai catatan pula
tentang pesantren menurut karya-karya Prof. Sartono Kartodirdjo yang dikatakannya lebih
menekankan pada aspek-aspek politik kehidupan pesantren. Karena perhatiannya
menyangkut tentang peranan politik pesantren dalam gerakan protes di pedesaan di
Indonesia pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20.15
Sebagian pandangan di atas seolah-olah bisa dibenarkan, karena pesantren
sebagaimana kita tahu adalah pranata (pendidikan) tradisional. Sebagaimana pranata
sosial lainnya, pesantren juga sempat dicurigai sebagai sarang kejumudan, konservatisme.
Ia menjadi penghalang besar bagi usaha-usaha pembangunan yang sering mengatasnama-
kan modernisasi. Celakanya, pandangan yang mempertentangkan pembangunan dengan
kebudayaan sebagai kubu pelindung konservatisme diabsahkan kebenarannya oleh para
13 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-esai Pesantren, (Yogyakarta : LKiS, 2001). hal. 3.
14 J.F.B. Brumund, “Het Volksondderwijs order de Javanen”, di kutip Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren -Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya mengenai Masa Depan Indonesia (Jakarta : LP3ES, 2011), hal. 38.
15 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. 39.
Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 69
ilmuwan sosial-budaya. Dimana watak ideologis pembangunan dan ilmu-ilmu sosial-
budaya yang melingkupinya memang bersifat ethnosentris, diskriminatif dan memiliki
jangkauan terbatas.16
Namun demikian, terdapat beberapa ilmuwan yang mencoba mengambil prakarsa
untuk menemukan hubungan kreatif antara kebudayaan dan pembangunan. Dengan
menggunakan asas-asas antropologis sebagai peralatan metodologisnya, mereka
berpendapat bahwa kebudayaan tradisional (pesantren) dapat, dan harus, digunakan
sebagai media/ alat bagi pembangunan bangsa. Lebih-lebih meningkatkan Sumber Daya
Manusia (SDM) Indonesia dengan membelajarkan 60% penduduk usia 14-25 tahun (25
juta) yang ada dan tinggal di pedesaan di sekitar pesantren.
Perkembangan pesantren sebagaimana yang dilakukan oleh para Kyai-nya adalah
mengayunkan langkahnya melaju ke Indonesia masa depan lebih cepat. Mereka
melakukan perubahan dan menambah ilmu pengetahuan modern di lembaga-lembaga
pesantrennya sejak tahun 1998. Jumlah lembaga pesantren juga ditambah berlipat ganda,
dari 7.536 pada tahun 1998 menjadi 21.521 pada tahun 2008. Penambahan berikutnya
mencapai rata-rata 2.000 buah setiap tahunnya.17 Kyai-kyai pimpinan pesantren
menyadari bahwa saatnya telah tiba, pesantren memadu modernitas pendidikan ke dalam
pesantren untuk membangun Peradaban Indonesia Modern.
E. Pembahasan
Perguruan Tinggi Pesantren
Menurut Rahman adalah sangat strategis untuk menguarai benang kusut krisis
pemikiran dalam Islam yang berdampak pada stagnasi dan kemunduran peradaban umat
Islam itu melalui pendidikan (tinggi) Islam, yang darinya dapat diharapkan berbagai
alternatif solusi atas problem-problem yang dihadapi umat manusia. Hal ini untuk
tercapainya tujuan pendidikan tinggi Islam di Indonesia yang diorientasikan pada lahirnya
sarjana (cendikiawan muslim) dengan memiliki tiga kemampuan menganalisis,
melakukan inovasi, dan memimpin sesuai dengan tuntutan persoalan kemasyarakatan dan
bidang keilmuan, maupun profesi yang ditekuninya.18 Kemudian untuk upaya yang lebih
baik pada abad 21 ini, perguruan tinggi harus dapat mengantisipasi berbagai tuntutan yang
berkembang, antara lain adalah:
1. Persaingan tenaga kerja global sebagai konsekuensi logis diberlakukannya
perjanjian ASEAN-AFTA (mulai tahun 2002), WTO-GATT dan APEC (mulai
tahun 2010).
2. Mampu menyiapkan out put pendidikan yang berkompeten, tidak hanya dalam hal
penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan ketrampilan; melainkan juga
penguasaan sikap dan semangat kerja, kemampuan berkomunikasi inter dan
intrapersonal, kepemimpinan dan analisis persoalan serta dapat berkerja dalam
berbagai lintas budaya, peradaban dan adat istiadat.
16 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, hal. ix.
17 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hal. 267. 18 H.A.R Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21,
(Magelang:Tera Indonesia, 1998), hal. 207.
Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
70 | ISSN: 2356-2447-XIII
3. Dapat menyelenggarakan program pendidikan yang lebih humanis untuk
memberikan peluang yang lebih besar kepada masyarakat agar dapat memperoleh
manfaat dari penyelenggaraan pendidikan, jaminan mutu pendidikan, kesiapan
untuk menyelesaikan masalah dan pemenuhan tuntutan kebutuhan, namun dengan
biaya yang relatif terjangkau.
4. Penyempurnaan kurikulum sebagai pedoman penyelenggaraan program studi yang
dapat menjaga keserasian antara program yang diselenggarakan dengan aspirasi
stakeholders.
5. Mampu mengakomodasi berbagai kepentingan termasuk kepentingan politik
dengan adil dan proporsional, pemenuhan kebutuhan belajar sepanjang hayat,
internasionalisasi pendidikan tinggi dalam arti reconvergent phase of education.19
Perguruan Tinggi Islam (PTI) di Indonesia, meskipun jumlahnya relatif banyak (lebih
dari 453 PT),20 tetapi dalam peta perguruan tinggi di Indonesia yang terbaik dan terbesar
masih didominasi oleh 6 PTN (UI, UGM, ITB, IPB, UNAIR, ITS). Meskipun 6 PTN
inipun baru UI yang masuk 50 besar perguruan tinggi Asia. Lebih-lebih dalam kompetesi
perguruan tinggi global, PTI hampir-hampir tidak muncul. Termasuk PTI yang ada di
Mesir, Turki dan Timur Tengah. 100 besar perguruan tinggi di dunia masih dominasi
Barat (non Islam).
Permasalahan PTI yang utama adalah orientasinya yang terpengaruh dengan transfer
of knowledge, sebatas yang terkait erat dengan masalah kerja dan perolehan gelar
akademik, bukan untuk mengembangkan kemampuan manusia secara kaffah.21 Hal ini
dikarenakan problem mendasar yang paling esensial menurut Zamroni antara lain adalah
problem ideology.22 Lebih-lebih PTI sampai abad ke-20 masih terpengaruh dengan adanya
dikotomi ilmu antara ilmu-ilmu agama (tradisional) dan ilmu-ilmu umum (modern).
Dimana Perguruan Tinggi Islam, termasuk -Universitas Al-Azhar di Mesir- sejak berdiri
abad ke-10 sampai pertengahan abad ke-20 M terbatas mengembangkan ilmu-ilmu
keagamaan saja. Ilmu-ilmu yang dikembangkan selama lebih dari 9 abad itu terbatas pada
ilmu-ilmu Ushulluddin, Adab, Dakwah, Syari’ah, dan Tarbiyah. Belum dikembangkan
ilmu-ilmu alam (natural sciences), ilmu-ilmu social (social sciences), dan humaniora
(humanity), sebagaimana yang dikembangkan pada perguruan tinggi-perguruan tinggi di
Eropa, Amerika, dan di negara maju lain.23
Dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum ini, juga mempengaruhi
perkembangan pendidikan (Islam) di Indonesia sampai pertengahan abad ke-20. Sehingga
pendidikan Islam itu adalah pesantren, madrasah, dan PTI (PTAIN/STAIN/UIN), yang
mengembangkan ilmu-ilmu keislaman. Sedangkan sekolah dan perguruan tinggi (umum)
19 TIM Perumus, Buku Panduan Universitas Sains Al-Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo, (Wonosobo,
UNSIQ Press), hal. 9.
20 Sutrisno, Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam –membentuk Insan Kamil yang Sukses
dan Berkualitas, (Yogyakarta : Fadilatama, 2011), hal. 41. 21 Djohar, Pendidikan Alternatif: Mencari Terobosan Baru dalam Kemandegan Pendidikan di Indonesia,
Makalah Seminar Pemikiran dan Metodologi Pendidikan, LP3 dan FAI UMY, tanggal 25 Februari 2002.
22 Zamroni, Sosok Ideal PendidikanTinggi Islam dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial , Peny. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ, (Yogyakarta : Aditya Media, 1997), hal. 28.
23 Sutrisno Hadi, Pembaharuan, hal. 91.
Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 71
mengembangkan ilmu-ilmu alam, social, dan humaniora. Karena itulah, maka intelektual
dan cendikiawan muslim di sepertiga akhir abad ke-20 berikhtiar membongkar kejumudan
tersebut. Karena paradigma ilmu pada Perguruan Tinggi Islam adalah:
1. Ilmu itu secara keseluruhan telah terkandung dalam ajaran Islam. Perkembangan
suatu ilmu senantiasa bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam.
2. Islam tidak mengenal dikotomi ilmu dan agama. Keduanya tidak dapat
dipisahkan, tetapi dapat dibedakan dalam setiap posisi dan perannya. Kebenaran
ilmu bersifat empiric dan relative.
3. Ilmu itu merupakan hasil upaya dari manusia. Sejak awal inisiasi, pengembangan
dan pengamalan ilmu sudah diniatkan untuk mengabdi kepada Sang Maha
Pencipta.24
Sesuai dengan paradigma di atas, maka diperlukan adanya format kelembagaan yang
kokoh dari sisi ideologi atau moral dan kuat dalam mengembangkan sains untuk kemajuan
peradaban Islam. Format kelembagaan perguruan tinggi itu adalah “Perguruan Tinggi
Pesantren”. Ada beberapa alasan dalam memformulasi perguruan tinggi pesantren itu :
1. Jumlah peserta didik usia 13-24 tahun dipedesaan masih di bawah 30% (survey
BPS tahun 2008). Jumlah lembaga pendidikan tinggi yang dikembangkan oleh
Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama belum memadai.
2. Keinginan generasi muda pedesaan untuk memperoleh pendidikan sampai ke
tingkat perguruan tinggi semakin kuat. Namun kemampuan ekonominya untuk
membayar sumbangan pembiayaan pendidikan sangat rendah. Sementara itu,
pesantren dapat mengelola dana pembiayaan pendidikan yang sangat terbatas
secara lebih efesien.
3. Dosen-dosen yang dibutuhkan di berbagai studi 5-10 tahun ke depan semakin
mudah diperoleh, karena lulusan S.2 dan S.3 PTN/PTS dan PTAIN/STAIN/UIN
semakin meningkat dan memerlukan pengembangan diri. Untuk kemanfaatan
ilmunya pada masyarakat yang lebih memerlukan di pedesaan.
Beberapa alasan di atas diperkuat dengan akar budaya dan tradisi pesantren yang
dapat membentuk pribadi berkarakter disiplin, kerja keras, sikap saling percaya, ikhlas,
jujur, dan bertanggung jawab. Dimana pribadi berkarakter itu, telah berabad-abad dimiliki
dan diwariskan nenek moyang bangsa Indonesia, dan sekarang ini sudah sulit ditemukan.
F. Kesimpulan
Perguruan Tinggi Islam (PTI) harus mampu melakukan pembaharuan untuk
mengem-bangkan manusia “muslim” secara kaffah. PTI seharusnya mengembangkan tiga
ranah yang dimiliki manusia yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotorik (pengetahuan, sikap
dan perilaku) atau mengembangkan potensi indera, akal dan hati manusia secara
maksimal. Lebih-lebih dalam globalisasi abad ke-21 yang menuntut adanya manusia-
manusia yang berkualitas, baik fisik, intelektual, maupun moralnya.
Mengembangkan manusia yang memiliki seluruh aspek kehidupan secara integral,
selaras, serasi, dan seimbang, PTI (Perguruan Tinggi Islam) di Indonesia secara sadar
24 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos-Wacana Ilmu, 1999), hal. 209.
Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
72 | ISSN: 2356-2447-XIII
harus berani mengkaji ulang visi, misi dan paradigma yang mendasarinya. Bangunan ilmu
pengetahuan yang masih dikotomik antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu modern harus
diubah menjadi pandangan baru yang lebih holistik, integral, dan kontemporer.
Mengingat perguruan tinggi yang ada di Indonesia, termasuk PTI belum dapat
menunjukkan bukti adanya kemajuan dari sarjana-sarjana yang dihasilkan, yakni; dengan
penguasaan terhadap saintek dan memiliki kekuatan moral yang kokoh, dan untuk
menjawab itu diperlukan terwujudnya “perguruan tinggi pesantren”. Yakni perguruan
tinggi yang maju saintek dengan dosen yang memiliki standar kualifikasi, kompetensi dan
professional, dilengkapi perpustakaan dan sarana prasarana, dilengkapi laboratorium
untuk penelitian dan praktek sesuai disiplin ilmu yang dikembangkan. Sedangkan
mahasiswa ditempatkan dalam asrama pesantren dibekali nilai-nilai agama, moral, etika,
budaya adiluhung bangsa dalam kesehariannya untuk membentuk karakter building
keIndonesiaan kepada mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa.
Dartar Pustaka
Abdul Mukti, Pembaharuan Lembaga Pendidikan di Mesir -studi tentang Sekolah-
Sekolah Modern Muhammad Ali Pasha, Bandung : Cita Pustaka Media Perintis,
2008.
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi -Esai-esai Pesantren, Yogyakarta : LKiS,
2001.
C.E Bosworth, The Encyclopedia of Islam, Volume I, V, E, J. Brill, 1986.
H.A.R Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad
21, Magelang : Tera Indonesia, 1998.
Djohar, Pendidikan Alternatif: Mencari Terobosan Baru dalam Kemandegan Pendidikan
di Indonesia, dalam Seminar Pemikiran dan Metodologi Pendidikan, Makalah LP3
dan FAI UMY, tanggal 25 Februari 2002.
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta : Logos-Wacana Ilmu, 1999.
Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan, Yogyakarta : Kota Kembang, 2008.
Sutrisno, Pembaharuan dan Pengembangan Pendidikan Islam, membentuk Insan Kamil
yang Sukses dan Berkualitas, Yogyakarta : Fadilatama, 2011.
TIM Perumus, Buku Panduan Universitas Sains Al-Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo,
Wonosobo, UNSIQ Press
Trevon Mostyn (ex.ed), at al., Cambridge Encyclopedia of the Moddle East and North
Africa, (Cambridge, New York, New Rochelle, Melbourne, Sydney : Cambridge
University Press, 1998
Undang-Undang RI, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Bandung : Citra Umbara, 2010
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren -Pendidikan Alternatif Masa Depan, Jakarta :
Gema Insani Press, 1997
Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 73
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa,
Yogyakarta : Pesantren Nawesea Press, 2009
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Pandangan Hidup Kyai dan visinya
mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta : LP3ES, 2011
Zamroni, Sosok Ideal PendidikanTinggi Islam -dalam Pendidikan Islam dalam
Peradaban Industrial , Penyunting Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ, Yogyakarta:
Aditya Media, 1997
Abdul Majid, Menggagas Perguruan Tinggi Pesantren