Post on 18-Jan-2020
MANAJEMEN PENGELOLAHAN DAN PENGEMBANGAN WAKAF
TAK BERGERAK
(Studi kasus lembaga wakaf PP Muhamadiyah)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
SURYADI
NIM: 1112044100077
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440/2019
v
ABSTRAK
Suryadi, NIM : 1112044100077, Manajemen Peneglolaan dan Pengembangan
Wakaf tak bergerak (Studi Kasus Lembaga Wakaf PP Muhammadiyah), Program
Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Skripsi ini merupakan upaya penjelasan bagaimana sebuah wakaf tak bergerak
yang berupa tanah dapat dikelola dengan baik sehingga dapat menjadi wakaf yang
produktif yang dilakukan oleh PP Muhamadiyah. Hal tersebut memberikan
pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat agar dapat menjadi contoh atau
dapat memanfaatkan wakaf sebaik mungkin sehingga wakaf dapat dikelola dengan
baik sehingga dapat menjadi produktif.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui manajemen pengelolaan
dan pengembangan wakaf tak bergerak (dalam hal ini tanah) yang dilakukan oleh
PP Muhammadiyah.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
yang tertulis atau disebut juga metodelogi kualitatif yang berarti prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini juga menggunakan
penelitian kepustakaan yaitu dengan mengambil referensi pustaka yang relevan
dengan masalah ini.
Berdasarkan hasil penelitian skripsi ini menyimpulkan bahwa Manajemen
Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Tak Bergerak (dalam hal ini adalah
tanah) oleh PP Muhamadiyah dapat dikelola dengan baik karena adanya aturan
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasannya tersendiri.
Kata Kunci : Wakaf tak bergerak, PP Muhamadiyah (Studi kasus
lembaga Wakaf PP Muhamadiyah)
Pembimbing : 1. Sri Hidayati, M.Ag
Daftar Pustaka : Tahun 1954-2019
vi
KATA PENGANTAR
Segala Piju bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah memebrikan
rahmat dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul “Manajemen pengelolahan dan pengembangan wakaf tak bergerak
(Studi kasus lembaga wakaf PP Muhammadiyah)”. Shalawat serta salam semoga
tercurah limpahan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memebawa
ummatnya menuju jalan yang lurus dan yang diridhoi Allah SAW.
Dalam penyelesaian skripsi ini banyak rintangan dan hambatan yang datang
silih berganti. Namun berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak maka
peneliti dapat melewati semuanya tentunya dengan izin yang Maha Kuasa. Oleh
karena itu, penulis merasa perlu mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MA., M.H., Selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berikut para wakil
Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
3. Dr. Hj. Mesraini, SH, M.Ag., dan Ahmad Chairul Hadi, M.A., selaku
Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Sekertaris Program Studi
Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum yang selalu memberikan
semangat dan arahan kepada penulis.
4. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Sri Hidayati, M.Ag. selaku dosen
pembimbing yang selalu siap sedia dan tak kenal lelah saat membimbing
dan senantiasa mengarahkan penulis dalam menyusun skripsi ini dan
menjadi kebanggaan tersendiri kepada penulis karena telah dibimbing
orang hebat seperti beliau.
5. Kedua orang tua, ibuku tersayang Mulwarsih dan ayahku tercinta M.
Daud yang tidak pernah lelah memberikan doanya dan motivasinya
kepada peneliti, serta kakak-kakak ku Metta, Novi dan Riko yang
memberikan semangat disaat penulis merasa terjatuh dan terpuruk.
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………………………………………..…………………….i
PERSETUJUAN BIMBINGAN ………………………………………………..………..ii
SURAT PERNYATAAN ………………………………………………………………..iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN………………………………………………............iv
ABSTRAK………………………………………………………………………...……..v
KATA PENGANTAR……………………………………………………………...........vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….. viii
BAB I PENDAHULUAN
A Latar Belakang Masalah ...................................................................................1
B.Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................................4
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................................4
D.Review Studi Terdahulu ...................................................................................5
E.Metode Penelitian.............................................................................................6
F.Sistematika Penulisan .......................................................................................7
BAB II MANAJEMEN WAKAF
A. Manajemen .....................................................................................................8
1. Pengertian Manajemen ................................................................................8
2. Teori manajemen .........................................................................................8
3. Fungsi Manajemen ..................................................................................... 10
B.Wakaf Dalam Islam....................................................................................... 11
1. Pengertian Wakaf ...................................................................................... 11
2. Dasar Hukum Wakaf .................................................................................. 12
3. Rukun dan Syarat Wakaf ............................................................................ 15
4. Macam-macam Wakaf ............................................................................... 17
5. Undang-undang No 41 tahun 2004 tentang Wakaf ..................................... 18
C. Nazhir ........................................................................................................... 19
1.Pengertian Nazhir ....................................................................................... 19
2.Jenis-Jenis Nazhir ....................................................................................... 20
3.Syarat-Syarat Nazhir ................................................................................... 20
4.Kewajiban dan Hak Nazhir ......................................................................... 22
BAB III TATA CARA PENGELOLAAN PERWAKAFAN DI MUHAMMADIYAH
A. Sejarah Singkat Organisasi Muhammadiyah ................................................ 25
ix
B. Sejarah Perwakafan Di Muhammadiyah ........................................................ 27
C.Tata Cara Perwakafan di Muhammadiyah ...................................................... 29
1.Pendaftaran dan Pengurusan Tanah Wakaf oleh Muhammadiyah................. 29
2.Pemanfaatan tanah wakaf oleh Muhammadiyah .......................................... 36
BAB IV MANAJEMEN PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN WAKAF
A.Manajemen Pengelolaan Wakaf Tak Bergerak oleh Muhammadiyah .............. 47
B. Manajemen Pengembangan Wakaf Tak Bergerak oleh Muhammadiyah ........ 54
C.Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Wakaf Tak Bergerak Muhammadiyah57
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan.................................................................................................... 60
B.Saran.............................................................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ajaran Islam tidak hanya mengandung nilai ibadah saja, namun juga
mengandung nilai sosial, dan ada pula yang mengandung keduanya. Dari
salah satu ajaran Islam yang mengandung keduanya adalah tentang wakaf.
Ditinjau dari nilai sosial, wakaf mempunyai tugas yang berperan penting
dalam sebagian Masyarakat dalam beberapa kondisi. Kebijaksanaan Allah
SWT telah menciptakan manusia dengan sifat dan kemampuan yang berbeda-
beda menimbulkan adanya kaya dan miskin serta kuat dan lemah dalam
masyarakat. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan supaya yang kaya
memperhatikan yang miskin serta yang kuat membantu yang lemah.
Menurut cendekiawan muslim Sayyid Ameer Ali, Hukum wakaf
merupakan cabang yang terpenting dalam hukum Islam, karena ia terjalin ke
dalam seluruh kehidupan ibadah dan perekonomian sosial kaum muslim1.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wakaf merupakan sumber daya
ekonomi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kegiatan-kegiatan
ekonomi. Artinya, pemanfaatan wakaf tidak hanya sebatas untuk kegiatan
keagamaan dan sosial belaka, namun juga dapat digunakan untuk menopang
perekonomian masyarakat.
Untuk mengembangkan kesejahteraan umat, AL-Quran telah
meletakkan dasar terutama agar harta yang dimiliki oleh individu-individu
tidak beredar diantara orang-orang kaya saja, yaitu dalam (Q.S. Al-Hasyr 59 :
7) :
1 Rachmadi,Usman. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2009. hlm
119.
2
Dari ayat diatas telah dijelaskan bahwa Islam melarang konsentrasi
kekayaan pada individu tertentu. Prinsip ajaran Islam ada pada sistem zakat,
shadaqoh, hibah dan wakaf yaitu untuk mengeluarkan sebagian rezekinya
untuk menyantuni orang-orang fakir, miskin, serta orang-orang lemah dalam
masyarakat. Dengan demikian diharapkan wakaf sebagai salah satu
instrumen untuk membangun kesejahteraan umat.dapat berperan aktif
sehingga dapat mengentaskan kemiskinan yang melanda selama ini. Wakaf
merupakan salah satu dari sekian banyak penyerahan harta atau hak milik
secara ikhlas dari seorang kepada orang lain atau kepada suatu kelompok
misalnya yayasan untuk dimanfaatkan sebagai sarana ubudiyah dalam rangka
jihadi sabilillah. Oleh karena itu, Manfaatnya sangat besar untuk
perkembangan umat Islam. Diantaranya ayat-ayat Al-Quran yang mendasari
ibadah Wakaf adalah Q.S Ali Imron (03) : 92
Ditengah permasalahan yang ada berkembanglah suatu perekonomian
yang lebih adil yaitu sistem ekonomi syariah. Instrumen Pengentasan
kemiskinan yang dimiliki ekonomi syariah kini menjadi salah satu alternatif
pengentasan kemiskinan yang sedang dilirik. Salah satu instrumen
pengentasan kemiskinan tersebut adalah wakaf.
3
Tanah merupakan jenis wakaf yang banyak diwakafkan dari seseorang
atau lembaga kepada orang lain atau yayasan. Oleh karena itu dalam
prosesnya tanah yang diwakafkan masih belum berjalan dengan tertib, efisien
serta produktif dalam pelaksanaannya, sehingga dalam berbagai kasus tanah
wakaf banyak yang tidak terpelihara dengan baik,tidak berjalan dengan
optimal dan kurang produktif.
Pada Umumnya wakaf digunakan hanya untuk tanah pemakaman,
mesjid, musholla, sekolah dan masih sedikit sekali yang dikelola secara
produktif. Peruntukan wakaf secara umum di Indonesia memang kurang
mengarah pada pemberdayaan ekonomi umat dan cenderung hanya
digunakan untuk kepentingan peribadatan saja. Hal tersebut dipengaruhi oleh
keterbatasan umat Islam akan pemahaman wakaf yang sebenarnya bisa juga
digunakan ke arah produktif, sesungguhnya peranan wakaf dapat
dimanfaatkan dan ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat jika
dikelola secara produktif.
Berdasarkan uraian di atas, pihak yang memang bertanggung jawab
atas pengelolaan yang terjadi selama ini adalah nazhir (pihak yang mengelola
wakaf). Dalam penelitian ini penulis mengangkat Muhammadiyah sebagai
nazhir. Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi keagamaan yang telah
memperoleh status badan hukum memiliki status sebagai nazhir yang telah
diakui Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004. Oleh karena itu,
Muhammadiyah membentuk suatu majelis yang khusus menangani hal
tersebut,yakni Majelis wakaf dan Kehartabendaan Muhammadiyah sebagai
lembaga yang bergerak dibidang sosial keagamaan dikenal telah berhasil
membantu pemerintah dalam bidang pendidikan,kesehatan serta ekonomi
dalam pengelolaan Aset tanah wakaf menjadi produktif tidak hanya sebagai
tempat peribadatan saja tetapi sudah merambah ke rumah sakit dan lain-lain.
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk meneliti lebih
dalam dan mengangkatnya dalam sebuah judul. “MANAJEMEN
PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN WAKAF TAK
BERGERAK OLEH MUHAMMADIYAH”
4
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya jangkauan yang bisa digali, maka untuk memudahkan
dan mengarahkan pembahasan, penulis membatasi penulisan ini sebagai
berikut :
a. Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah hanya pada
manajemen pengelolaan wakaf tak bergerak yang berupa tanah yang
dikelola oleh Muhammadiyah.
b. Dalam penelitian ini penulis membatasi masalah hanya pada
manajemen pengembangan wakaf tak bergerak yang berupa tanah
yang dikelola oleh Muhammadiyah.
2 Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan maka rumusan masalah yang
penulis jadikan pembahasan dalam skripsi, antara lain :
a. Bagaimana Manajemen Pengelolaan Tanah Wakaf tak bergerak
yang di kelola oleh Muhammadiyah?
b. Bagaimana Manajemen Pengembangan Wakaf tak bergerak yang
dikelola oleh Muhammadiyah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dari perumusan dan pembatasan masalah diatas, maka yang akan
menjadi tujuan penelitian penulis adalah
a. Untuk mengetahui Manajemen Pengelolaan Tanah Wakaf tak
beregrak yang dilakukan oleh Muhammadiyah.
b. Untuk mengetahui Manajemen Pengembangan tanah Wakaf tak
bergerak yang dilakukan oleh Muhammadiyah
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
a. Akademis
Sebagai sarana untuk menambahkan pengetahuan teoritis dan
wawasan mengenai manajemen pengelolahan dan pengembangan
5
wakaf tak bergerak oleh Muhammadiyah sebagai acuan dan
literatur untuk penelitian selanjutnya.
b. Praktis
Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan lembaga
dalam rangka manajemen pengelolahan dan pengembangan wakaf
tak bergerak agar dapat meningkatkan produktivitas wakaf .
c. Masyarakat
Diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat
tentang manajemen pengelolahan dan pengembangan wakaf tak
bergerak agar pemahaman mereka tentang manajemen pengelolaan
dan pengembangan wakaf tak bergerak bertambah.
D. Review Studi Terdahulu
Berikut ini adalah beberapa judul skripsi yang serupa dengan penulis:
1. Hasan Asyari (Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf Produktif di
Yayasan Pondok Pesantren Miftahul Ulum AL-Yasini), UIN Malang.
Pada skripsi Hasan menjelaskan tentang pengelolaan dan pengembangan
wakaf produktif di yayasan pondok pesantren Miftahul Ulum Al-Yasini.
2. Muhammad Razes (Optimalisasi wakaf dalam mewujudkan
kesejahteraan umat), UIN Yogyakarta. Pada skripsi Razes, Menjelaskan
Pengoptimalisasi tanah wakaf yang menghadapi kendala-kendala dalam
pelaksanaannya.
3. Alfi Fauziah (Manajemen Pengelolaan dana zakat, infak, shodaqah dan
wakaf), UIN, Malang. Pada Skripsi Alfi menjelaskan manajemen
pengelolaan dana zakat, infak, shodaqoh dan wakaf.
Dari skripsi tersebut, terdapat perbedaan dengan yang penulis teliti, yaitu:
1. Penulis akan menekankan pada manajemen pengelolaan dan
pengembangan tanah wakaf oleh Muhammadiyah.
2. Pada manajemen pengelolahan tanah wakaf produktif oleh
Muhammadiyah.
3. Manajemen pengelolaan dan pengembangan wakaf tak bergerak oleh
Muhammadiyah.
6
E. Metode Penelitian
Metode Penelitian mengemukakan secara teknis tentang cara atau metode
yang digunakan dalam suatu kegiatan penelitian. Adapun metode penelitian
yang penulis gunakan adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif atau disebut juga metodelogi kualitatif yang berarti
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Dalam penelitian ini adalah manajemen pengelolaan dan pengembangan
wakaf tak bergerak oleh Muhammadiyah.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis sosiologis yaitu suatu pendekatan yang dimaksud
untuk menjelaskan masalah yang diteliti dengan hasil penelitian yang
diperoleh dalam kaitannya dengan peraturan hukum dan melihat
kehidupan dan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat atau
dalam kenyataan. Dalam penelitian ini adalah manajemen pengelolaan
dan pengembangan wakaf tak bergerak oleh Muhammadiyah.
3. Sumber Data
Sumber Data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
a. Data Primer
1. Hasil wawancara dengan tokoh Muhammadiyah
2. Studi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
pengelolaan wakaf produktif oleh Muhammadiyah
b. Data Sekunder
1. Al-Quran
2. Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004
3. Buku-buku dan jurnal yang membahas tentang wakaf
7
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
terdiri atas 5 bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab.
Sistematika penulisan yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang meliputi pengantar umum pada penulisan
skripsi ini, meliputi; Latar Belakang masalah, Pembatasan dan Rumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi terdahulu, Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab II merupakan bab yang membahas tentang landasan teori yang meliputi
tinjauan umum tentang wakaf yang terdiri dari pengertian, dasar hukum,
rukun dan syarat, macam, dan Undang-undang No 41 tentang wakaf
kemudian tentang pengertian, teori dan fungsi manajemen.
Bab III tentang tata cara perwakafan di Muhammadiyah yang meliputi sejarah
singkat organisasi Muhammadiyah, tata cara perwakafan di Muhammadiyah
yang terdiri dari sub bag pendaftaran dan pengurusan, pemanfaatan dan
permasalahan yang terjadi dalam manajemen pengelolaan dan pengembangan
wakaf tak bergerak.
Bab IV tentang manajemen pengelolaan dan pengembangan wakaf oleh
Muhammadiyah yang membahas hasil dan pembahasan yang meliputi
analisis pengelolaan, analisis pengembangan, strategi pengembangan dan
tinjauan hukum Islam terhadap wakaf tak bergerak oleh Muhammadiyah
Bab V tentang Penutup. Dalam bab ini disampaikan beberapa kesimpulan
guna menjawab beberapa pertanyaan mendasar dari permasalahan yang ada di
skripsi ini. Penulis juga akan menyampaikan saran-saran yang diperlukan
sebagai catatan atas permasalahan dalam skripsi ini.
8
BAB II
MANAJEMEN WAKAF
A. Manajemen
1. Pengertian Manajemen
Managemen adalah suatu proses atau kerangka kerja, yang
melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang-orang
kearah tujuan organisasional atau maksud-maskud yang nyata1.
2. Teori manajemen
Manajemen modern pada dasarnya dibangun atas dua konsep
utama, yaitu teori tentang perilaku organisasi (organizational behaviour)
dan manajemen kuantitatif (management science).
a. Teori Perilaku : pandangan-pandangan umum dalam teori perilaku
ini di tandai oleh tiga tingkatan kelompok perilaku, yaitu perilaku
individu per individu; perilaku antar kelompok-kelompok sosial, dan
perilaku antar kelompok sosial. Beberapa nama yang menganut teori ini
antara lain2; Douglas McGregor melalui teori X dan Y nya, Abraham
Maslow yang mengembangkan adanya hierarki kebutuhan dalam
penjelasannya tentang perilaku manusia dan dinamika proses motivasi,
Frederich Herzberg yang menguraikan teori motivasi hiegenis atau teori
dua faktor, Robert Blake dan Jane Mouton yang mejelaskan lima gaya
kepemimpinan dengan kondisi manajerial (managerial grid), Chris
Argyris yang memandang organisasi sebagai sistem social atau sistem
antar hubungan budaya, Edgar Schein yang bayak meneliti dinamika
kelompok dalam organisasi dan sebagainya, Rensis Likert yang telah
mengidentifikasikan dan melakukan penelitiannya secara intensif
mengenai empat sistem manajemen dan Fred Fiedler yang menyarankan
pendekatan contingency pada studi kepemimpinan.
1 Terry, George R. Dasar-Dasar Manajemen, Pt Bumi Aksara, Jakarta,2009, hlm 46. 2 Terry, George R. Dasar-Dasar Manajemen, Pt Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm 68.
9
Adapun pokok-pokok pikiran yang dikemukakan oleh para
penganut teori perilaku tersebut dapat di rangkum sebagai berikut:
1) Organisasi sebagai suatu keseluruhan dan pendekatan manajer
individual untuk pengawasan harus sesuai dengan situasi.
2) Pendekatan motivasional yang menghasilkan komitmen
pekerja terhadap tujuan organisasi sangat dibutuhkan.
3) Manajemen harus sistematik, dan pendekatan yang digunakan
harus dengan pertimbangan secara hati-hati.
4) Manajemen teknik dapat dipandang sebagai suatu proses
teknik secara ketat (peranan prosedur dan prinsip).
Selain empat pokok pikiran di atas, berdasarkan hasil riset perilaku
dapat dikemukakan sebagai berikut:
1) Manajer masa kini harus diberikan latihan dalam pemahaman
prinsip-prinsip dan konsep-konsep manajemen.
2) Organisasi harus menjalankan iklim yang mendatangkan
kesempatan bagi karyawan untuk memuaskan seluruh
kebutuhan mereka.
3) Unsur manusia adalah faktor kunci penentu sukses atau
kegagalan pencapaian tujuan organisasi.
4) Komitmen dapat dikembangkan melalui partisipasi dan
keterlibatan para karyawan.
5) Pola-pola pengawasan dan manajemen positif yang
menyeluruh mengenai karyawan dan reaksi mereka terhadap
pekerjaan.
6) Pekerjaan setiap karyawan harus disusun sedemikian rupa
sehingga memungkinkan mereka mencapai kepuasan diri dari
pekerjaan tersebut.
b. Teori Kuantitatif (management scince): teori kuantitatif
memfokuskan perhitungan manajemen didasarkan atas perhitungan-
perhitungan yang dapat dipertanggung jawabkan keilmiahannya. Dalam
setiap pemecahan masalah harus terlebih dahulu diketahu masalahnya
10
dengan melakukan kegiatan-kegiatan riset ilmiah, riset operasional,
teknik-teknik ilmiah seperti kegiatan penganggaran modal, manajemen
aliran kas, pengembangan strategi produk, perencanaan program,
pengembangan sumber daya manusia dan sebagainya.
Pendekatan-pendekatan semacam ini dikenal sebagai pendekatan
manajemen scince atau ilmu manajemen yang biasanya dengan
prosedur dan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Merumuskan masalah.
2) Menyusun model matematik.
3) Mendapatkan penyelesaian dari model.
4) Menganalisis model dan hasil yang diperoleh dari model.
5) Menetapkan pengawasan atas hasil-hasil.
6) Mengadakan implementasi kegiatan. Pemecahan masalah
manajemen dan pengambilan keputusan manajemen yang
didasarkan atas pendekatan kuantitatif ini harus memberikan
dasar kepada manajer menyangkut dasardasar pendekatan
yang rasional.
3. Fungsi Manajemen
Fungsi pokok managemen menurut George R Terry3: yang
membentuk manajemen sebagai salah satu proses, yaitu:
a. Planning: kegiatan yang menentuan berbagai tujuan dan
penyebab tindakan-tindakan selanjutnya.
b. Organizing: kegiatan membagi pekerjaan diantar anggota
kelompok dan membuat ketentuan dalam hubungan-hubungan
yang diperlukan.
c. Actuating: kegiatan menggerakkan anggota-anggota kelompok
untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugas masing-masing.
d. Controlling: kegiatan untuk menyesuaikan antara pelaksanaan dan
rencana-rencana yang telah ditentukan.
3 George R. Terry, Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009, 73.
11
e. Aliran sistem manajemen: sistem adalah sekumpulan atau
serangkaian dari beberapa unsur yang saling berhubungan atau
saling bergantung sehingga membentuk suatu kesatuan yang
kompleks yang merupakan suatu keseluruhan yang terdiri dari
bagian-bagian dalam susunan yang teratur secara logis berupa
prinsip-prinsip, doktrin atau semacamnya, dalam suatu bidang
pengetahuan atau pemikiran tertentu.
B. Wakaf Dalam Islam
1. Pengertian Wakaf
Menurut Anshori dan Baalbaki wakaf secara etimologi berasal dari
kata waqafa sinonim kata habasa yang memiliki arti berhenti, diam (al-
tamakkust), atau menahan (al-imsak)4. Ibnu Mandzur menambahkan al-
hubus wa wuqifa (sesuatu yang di wakafkan), seperti habasa al-faras fi
sabīlillah (ia mewakafkan kuda di jalan Allah), atau habasa al-dār fi
sabīlillahi (ia mewakafkan rumahnya di jalan Allah)5. Yusuf bin Hasan
menjelaskan, bahwa kata al-waqfu adalah bentuk masdar (gerund) dari
ungkapan waqfu al-syai’ yang berarti menahan sesuatu6.
Sedangkan para ulama memiliki perbedaan pendapat dalam
mengartikan wakaf sehingga membawa perbedaan pada hukum yang
ditimbulkannya. Hal itu sesuai dengan perbedaan mahzab yang telah
dianutnya. Adapun pendapat maasing-masing mahzab adalah sebagai
berikut :
a. Menurut Mahzab Syafi’I
1) Wakaf Menurut Imam Nawawi, menahan harta yang dapat
diambil manfaatnya tetapi bukan untuk dirinya, sementara
benda itu tetap ada padanya dan digunakan manfaatnya untuk
kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
4 Abdul Ghofur Anshori. Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia Yogyakarta: Pilar
Media. 2005. hlm7 dan Rohi Baalbaki. Al-Mawrid. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin. 1995.
hlm1220. 5 Ibnu Mandzur. Lisan al-‘Arab. Kairo: al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah. 1954.
hlm276. 6 Yusuf bin Hasan. Al-Dar al-Naqi fi Syarh Alfāzhi al-Kharqi. Jilid 1. Saudi Arabia: Dār
al-Mujtama’. 1990. hlm548.
12
2) Wakaf Menurut Ibnu Hajar Al-Haitam dan Syaikh Umairah
adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan menjaga
keutuhan harta tersebut, dengan memutuskan kepemilikan
barang tersebut dari pemiliknya untuk hal yang dibolehkan.
b. Menurut Mahzab Hanafi
1) Wakaf menurut A. Imam Syarkhasi yaitu menahan harta dari
jangkuan kepemilikan orang lain (habsul mamluk’an al-tamlik
min al-ghair).
2) Al-Murghiny mendefinisi wakaf ialah menahan harta dibawah
tangan pemiliknya, disertai pemberian manfaat sebagai
sedekah (habsul’aini ala maliki al-Wakif wa tashaduq bi al-
manfa’ab).
c. Menurut Mazhab Malikiyah
Ibnu Arafah mendefinisikan wakaf ialah memberikan manfaat
sesuatu, pada batas waktu keberadaanya, bersamaan tetapnya wakaf
dalam kepemilikan si pemiliknya meski hanya perkiraan
(pengandaian).
2. Dasar Hukum Wakaf
Di dalam Al-quran wakaf memang tidak dijelaskan secara tersurat
tetapi secara tersirat disebutkan oleh ayat-ayat Al-quran dan contoh dari
Rasulullah SWT serta tradisi para sahabat. Dasar hukum wakaf tersebut
sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
Beberapa ayat yang dapat digunakan sebagai pedoman atau
dasar seseorang untuk melakukan ibadah wakaf yaitu. Ayat Al-
Qur’an yang memerintahkan pemanfaatan harta untuk berbuat baik
kepada sesama Ayat tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
i. Surat Ali Imran Ayat 92
13
Artinya: Kamu Sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan
(yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian
harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Dari ayat ini dapat dilihat bahwa kebaikan akan tercapai
dengan wakaf. Hal ini berdasarkan riwayat Abu Thalhah,
ketika beliau mendengar ayat tersebut, beliau bergegas untuk
mewakafkan sebagian harta yang ia cintai, yaitu Beirha
(sebuah kebun yang terkenal). Maka, ayat tersebut kemudian
menjadi dalil atas diisyaratkannya wakaf.
ii. Surat Ali Imran Ayat 115
Artinya: Dan apa saja yang mereka kerjakan, Maka sekali-
kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) Nya, dan
Allah Maha mengetahui orang-orang yang bertaqwa.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa wakaf adalah salah satu
diantara kebaikan-kebaikan. Dan dipastikan barang siapa
yang melakukan kebaikan dengan cara wakaf, maka dia akan
mendapatkan pahala yang berlimpah dari Allah.
iii. Surat Al- Baqarah ayat 261
Artinya: Perumpaan (nafkah yang dikeluarkan oleh ) orang-
orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir,
paada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa dengan berinfaq Allah
akan melipat gandakan pahala tanpa perhitungan hisab bagi
siapa saja yang dikehendaki-Nya, melipat gandakan rizkinya
14
tanpa seorangpun yang mengetahui batas-batasnya,
melipatkgandakan rahmat-Nya yang tidak seorangpun
mengetahui jangkauan ukurannya. Infaq yang dimaksud
dalam ayat ini adalah infaq yang mengangkat derajat manusia
dan tidak mengotorinya, tidak menodai kehormatan dan tidak
mengotori perasaan, infaq yang terjadi dan bersumber dari
hati yang rela dan suci, serta semata-mata bertujuan mencari
keridhaan Allah. Makna infaq dalam ayat ini dapat juga
diartikan sebagai wakaf. Jadi barang siapa yang berwakaf
dengan niatan dan tujuan yang baik pasti akan
dilipatgandakan pahala baginya.
b. Al-Hadist
Dari Ibnu Umar, ia berkata Umar mengatakan kepada Nabi SAW.
Saya mempunyai seratus dirham dikaibar. Saya belum pernah
mendapatkan harta yang paling saya kagumi seperti itu. Nabi SAW
mengatakan kepada Umar. : “Tahanlah (jangan jual, hibahkan, dan
wariskan) asal (pokok)nya, dan jadikan buahnya sedekah untuk
sabilillah (HR Imam Bukhari dan Muslim).
Dari ayat yang lain menceritakan kepada kami Qutaibah ibn
Said, menceritakan kepada kami Muhammad ibn Abdullah Al-
Anshari, menceritakan kepada kami ibnu Aun, bahwa dia berkata
Nafi’ telah menceritakan kepadaku Ibn Umar R.A., ia berkata
bahwa Umar ibn al-Khathhab memperoleh sebidang tanah di
kahibar, kemudian ia menemui Rasullah SAW, untuk memohon
15
petunjuk. Umar berkata: ”Ya Rasullah, saya mendapatkan harta
sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?”
Rasullah bersabda: “Bila engkau mau engkau dapat menahan fisik
tanah itu, lalu sedekahkan manfaat (tanah itu), dia tidak menjual,
tidak mengibahkan dan tidak mewariskannya. (H.R Al-Bukhari).
3. Rukun dan Syarat Wakaf7
a. Rukun Wakaf : Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan
syaratnya. Rukun Wakaf tersebut sebagai berikut:.
1) Wakif (orang yang mewakafkan hartanya)
2) Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan)
3) Nazhir (pihak yang diberi wakaf/peruntukan wakaf)
4) Shighat (pernyataan atau ikrar Wakif sebagai suatu kehendak
untuk mewakafkan sebagian harta bendanya).
b. Syarat Wakaf: Dari rukun-rukun yang telah dipaparkan tersebut,
masing-masing mempunyai syarat tersendiri yang harus dilakukan demi
syahnya pelaksanaan wakaf. Syarat-syarat tersebut sebagai berikut :
1) Wakif (orang yang berwakaf) disyaratkan mempunyai
kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal kompeten ) dalam
membelanjakan hartanya, kecakapan tersebut antara lain adalah
merdeka, berakal sehat, dewasa, tidak boros atau lalai.
2) Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan). Dalam
perwakafannya agar dianggap sah maka harus memenuhi
beberapa syarat sebagai berikut :
a) Harta wakaf tersebut memiliki nilainya. Dimana dalam
praktiknya harta yang diwakafkan dapat bernilai walau
dipindah tangankan dan dapat dimanfaatkan dalam kondisi
bagaimanapun.
b) Harta wakaf jelas bentuknya. Dimana yang artinya harta
yang diwakafkan diketahui dengan yakin ketika benda
7 Elsi Kartika Sari. Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf. PT Grasindo.Jakarta: 2007,hlm32
16
tersebut diwakafkan sehingga tidak menimbulkan
persengketaan.
c) Harta wakaf merupakan hak milik dari Wakif.
d) Harta wakaf itu berupa benda yang tidak bergerak, seperti
tanah atau benda yang disesuaikan dengan wakaf yang ada.
3) Nazhir (pihak yang diberi wakaf/ peruntukan wakaf).
Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini
ada dua macam pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu
(ghaira mu’ayyan). Tertentu (mu’ayyan) adalah yang menerima
wakaf itu apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang
semuanya tertentu. Dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang
tidak tertentu (ghaira mu’ayyan) adalah tempat berwakaf itu
tidak ditentukan secara terperinci. Persyaratan bagi orang yang
menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia
mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li-al-
tamlik), maka orang muslim ,merdeka dan kafir zimmi yang
memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang
bodoh, hamba sahaya dan orang gila tidak sah menrima harta
wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan
pertama ialah yang menerima wakaf dapat menjadikan wakaf itu
untuk kebaikan dengannya, dapat mendekatkan diri dengan
Allah SWT dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan
Islam saja.
4) Shighat (pernyataan atau ikrar Wakif)
Shighat adalah sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan
sebagian harta bendanya. Syarat-syarat shighat berkaitan dengan
ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat, yaitu :
a) Ucapan itu harus mengandung kata-kata yang menunjukkan
kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan
batas waktu tertentu.
b) Ucapan itu harus segera direalisasikan segera, tanpa
disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu.
17
c) Ucapan itu bersifat pasti.
d) Ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan.
Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka
penguasaan atas wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak
dapat menarik lagi pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah
dan penguasaan harta tersebut telah berpindah kepemilikannya kepada
yang menerima wakaf secara umum.
4. Macam-macam Wakaf
Ada berbagai macam wakaf yang dikenal dalam Islam yang
dibedakan berdasarkan atas beberapa kriteria. Menurut Fyzee Asaf. A.A8.
yang mengutip pendapat Ameer Ali Membagi wakaf dalam 3 golongan
sebagai berikut:
a. Untuk kepentingan yang kaya dan yang miskin dengan tidak
berbeda,
b. Untuk keperluan yang kaya dan sesudah itu baru yang miskin, dan
c. Untuk keperluan yang miskin semata-mata.
Sedangkan menurut Ahmad Azhar Basyir9, wakaf terbagi menjadi
wakaf ahli (keluarga atau khusus) dan wakaf umum (khairi). Wakaf ahli
merupakan wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu seseorang
atau lebih, baik keluarga Wakif atau bukan, misalnya mewakafkan buku-
buku untuk anak-anaknya yang mampu mempergunakan, kemudian
diteruskan kepada cucu-cucunya. Wakaf semacam ini dipandang sah dan
yang berhak menikmati harta wakaf adalah mereka yang ditunjuk dalam
pernyataan wakaf. Sedangkan Wakaf Umum merupakan wakaf yang sejak
semula ditujukan untuk kepentingan umum, tidak diusahakan untuk orang-
orang tertentu. Wakaf umum ini sejalan dengan amalan wakaf yang
mengatakan bahwa pahalanya akan terus mengalir, tetap dapat diambil
manfaatnya sehingga wakaf ini dapat dinikmati oleh masyarakat secara
luas dan merupakan sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan
8 Asaf A.A. Fyzee, Pokok-Pokok Hukum Islam II, (Tinta Mas, Jakarta, 1996), hlm 88 9 Ahmad Azhar Basyir, Wakaf, Izarah dan Syirkah (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987) hlm 54.
18
masyarakat baik dalam bidang sosial-ekonomi, pendidikan, kebudayaan,
serta keagamaan.
Dalam pasal 16 Undang-Undang no 41 tahun 2004 Tentang Wakaf,
harta wakaf terdiri dari benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda
bergerak yaitu benda yang keberadaaannya terpaku atau tertancap pada
suatu tempat tertentu, meliputi: hak atas tanah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum
terdaftar, bagunan atau bagian bangunan, tanaman atau benda lain yang
berkaitan dengan tanah, hak milik atas atas satuan rumah susun sesuai
dengan ketentuan syariah dan perundang-undangan yang berlaku, benda
tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan untuk benda bergerak yaitu
benda yang keberadaannya tidak tertancap atau terpaku pada suatu tempat
tertentu, meliputi : uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas
kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lain dengan ketentuan
sesuai syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti
mushaf, buku dan kitab.
5. Undang-undang No 41 tahun 2004 tentang Wakaf
Begitu pentingnya wakaf untuk memberdayakan masyarakat, maka
undang-undang wakaf yang mendukung pengelolaan wakaf secara
produktif sangat diperlukan. Oleh karena itu, sudah selayaknya umat Islam
menyambut baik lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf. Dalam Undang-Undang tersebut wakaf ialah perbuatan hukum
Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan
umum menurut syariah. Dalam undang-undang tersebut pula sudah
dimasukkan rumusan konsepsi fiqih wakaf baru di Indonesia yang antara
lain meliputi benda yang diwakafkan (mauquf bih), peruntukan wakaf
(mauquf alaih), sighat (ikrar) wakaf baik untuk benda tidak bergerak
maupun benda bergerak, kewajiban dan hak nazhir wakaf, dan lain-lain
yang menunjang pengelolaan wakaf produktif benda wakaf (mauquf bih)
19
yang diatur dalam Undang-undang tentang Wakaf itu tidak dibatasi benda
tidak bergerak saja, tetapi juga benda-benda bergerak lainnya yang tidak
bertentangan dengan syariat Islam.
Lahirnya UU 41/2004 dan berbagai peraturan pelaksanaannya
merupakan perwujudan dari gagasan perlunya suatu peraturan negara
mengenai wakaf yang sebelumnya hanya diatur dalam kompilasi hukum
Islam yang ditetapkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor I tahun 1991.
Dengan demikian hukum materi tentang wakaf yang dibahas dalam
berbagai kitab fiqih, dengan uraian yang cukup luas saat ini sudah diadopsi
dalam norma peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Proses taqnin (mempositifkan syariah kedalam hukum nasional ke
dalam undang-undang mennyebabkan materi hukum tentang wakaf dalam
kitab fiqih dan kompilasi hukum Islam telah berwujud menjadi “peraturan
tentang wakaf” yang terdapat dalam UU 41/2004 beserta peraturan
pelaksanaannya.
Sebagai konsekuensi transformasi hukum fiqih wakaf ke hukum
nasional, mengharuskan pelaksanaan perwakafan oleh pemerintah,
lembaga, dan badan atau organisasi keagamaan serta perseorangan harus
berdasarkan berbagai peraturan tentang wakaf yang berlaku di Indonesia.
C. Nazhir
1. Pengertian Nazhir
Nazhir memiliki arti menjaga, memelihara, mengelola serta
mengawasi. Jadi yang dimaksud dengan nazhir adalah orang yang diserahi
kekuasaan dan kewajiban untuk mengurus dan memelihara harta wakaf10.
Jadi pengertian naẓir menurut istilah adalah orang atau badan yang
memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuan harta wakaf11, Sedangkan
menurut Kompilasi Hukum Islam pengertian naẓir adalah kelompok orang
atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan
benda wakaf.
10 Ibnu Syihabal Ramli, Nihayahal Muhtaj, Juz IV, Beirut : Daaral Kitabal Alamiyah, 1996, hlm. 610. 11 Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988, hlm. 91.
20
Nazhir adalah orang atau badan yang menerima benda wakaf dari
wakif untuk dikelola dan dikembangkan. Nazhir dalam wakaf merupakan
salah satu komponen yang paling penting dikarenakan berkembang atau
tidaknya tanah wakaf semua ada ditangan seorang nazhir.
2. Jenis-Jenis Nazhir
Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 9 diperinci jenis-jenis naẓir yang
meliputi :
a. Perseorangan, dengan syarat-syarat :
1) Warga Negara Indonesia
2) Beragama Islam
3) Dewasa
4) Amanah
5) Mampu secara jasmani dan rohani
6) Tidak terhalang melakukan perbuatan hokum
b. Organisasi, organisasi yang hanya dapat menjadi nazhir apabila
memenuhi persyaratan :
1) Pengurus organisasi memenuhi persyaratkan nazhir
perorangan.
2) Organisasi yang dimaksud bergerak dibidang sosial,
Pendidikan, Kemasyarakatan dan/atau Keagamaan Islam.
c. Badan hukum. badan hukum disini hanya dapat menjadi nazhir apabila
memenuhi persyaratan :
1) Pengurus Badan Hukum memenuhi persyaratan nazhir
perorangan.
2) Badan Hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Badan hukum yang dimaksud bergerak di bidang sosial,
Pendidikan, Kemasyarakatan dan/atau Keagamaan Islam.
3. Syarat-Syarat Nazhir
Dalam kitab Fathul Wahab disebutkan bahwa syarat-syarat nazhir
adalah12 :
12 Abi Yahya Zakariaal Anshari, Fathul Wahab, Juz I, Semarang: Toha Putra,t.th, hlm.
259.
21
a. Mempunyai sifat adil
b. Mampu membelanjakan apa yang ada padanya sebagai nazhir,
menjaga asalnya, mengumpulkan hasilnya serta membagikan
kepada yang berhak.
Selain syarat di atas dalam pasal 219 kompilasi hukum Islam juga
dijelaskan syarat-syarat nazhir sebagai berikut :
a. Nazhir Perorangan harus memenuhi persyaratan :
1) Warga Negara Indonesia
2) Beragama Islam
3) Dewasa
4) Sehat jasmani dan rohani
5) Tidak berada dibawah pengampuan
6) Bertempat tinggal dikecamatan letak tanah diwakafkan
b. Jika berbentuk badan hukum nazhir harus memenuhi
persyaratan :
1) Badan Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
2) Mempunyai perwakilan di kecamatan letak tanah
diwakafkan
Nazhir harus didaftarkan pada kantor urusan agama kecamatan setempat
setelah mendengar saran dari camat majelis ulama kecamatan untuk
mendapatkan pengesahan.
Naẓir sebelum melakukan tugas, harus mengucapkan sumpah di
hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-
kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai berikut:
“Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi naẓir
langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tidak
memberikan atau menjanjikan ataupun memberikan sesuatu kepada
siapapun juga. Saya bersumpah bahwa saya untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau
pemberian. Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjunjung
22
tinggi tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya selaku
naẓir dalam pengurusan harta wakaf.”
Berdasarkan pasal 251 ayat 5, jumlah nazhir yang diperbolehkan
untuk satu unit sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-
banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan camat setempat.
4. Kewajiban dan Hak Nazhir
A. Kewajiban Nazhir
Tugas Nazhir menurut UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf
pasal 11. Tugas-tugas nazhir ini diasumsikan dapat menjamin pengelolaan
benda wakaf secara optimal. Adapun Tugas-tugasnya sebagai berikut :
1) Melakukan Pengadministrasian harta benda wakaf
2) Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan, fungsi dan peruntukannya
3) Melindungi dan mengawasi harta benda wakaf. Hal pertama yang
perlu dilakukan dalam rangka melindungi harta benda wakaf,
pelaksanaan perwakafan itu harus dilakukan sesuai prosedur
yang resmi. Sebab dalam aturan perwakafan diatur mengenai
ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan, termasuk sanksi
bagi yang melanggarnya. Aturan perwakafan bersifat preventif
dalam mengantisipasi kemungkinan agar tidak terjadi pelanggaran
dalam pengelolaan perwakafan13.
4) Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Selain tugas diatas dalam pasal 220 Kompilasi Hukum Islam juga
dijelaskan kewajiban nazhir adalah sebagai berikut :
a) Nazhir berkewajiban mengurus dan bertanggung jawab atas
kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan
sesuai dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang
diatur oleh Menteri Agama.
13 Rozalinda, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 59.
23
b) Nazhir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas
semua hal yang menjadi tanggung jawabnya kepada Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.
c) Tata cara pembuatan laporan dilaksanakan sesuai dengan
peraturan Menteri Agama.
B. Hak Nazhir
Beberapa pendapat para ulama mengenai hak Nazhir :
1) Menurut Ulama Hanafiyah Nazhir berhak mendapatkan upahnya
apabila ia melaksanakan tugasnya dengan besaran 1/10, 1/8, dan
sebagainya sesuai ketentuan wakif. Jika wakif tidak menentukan
besarnya maka hakim yang akan menentukan besarnya14.
2) Menurut Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa pihak yang
menetapkan upah nazhir adalah wakif. Seanndainya wakif tidak
menetapkan maka nazhir tidak berhak menerima upah. Nazhir
berkah memperoleh upah apabila nazhir mengajukan upah
kepada hakim ,bila tidak mengajukan maka nazhir tidak berhak
memperoleh upah atau gaji. Sebagian ulama Syafi’iyah
berpandangan bahwa naẓir sebenarnya tidak berhak mengajukan
permohonan gaji kecuali sangat membutuhkan. Mereka
menganalogikan naẓhir dengan seorang wali harta anak kecil
dimana ia tidak berhak mengambil harta anak itu kecuali
secukupnya saja dengan cara yang ma’ruf ketika membutukan.15
Dari pendapat-pendapat fuqaha di atas dapat dikongklusikan
bahwa ulama sepakat naẓir memperoleh upah dari pekerjaan yang
dilakukan dalam pengelolaan wakaf, baik upah itu diambil dari
keuntungan pengelolaan wakaf atau sumber lain. Meskidemikian
pemberian upah naẓir harus seperlunya saja, tanpa ada maksud untuk
memperkaya diri.
14 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama dan
Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf,
(Jakarta: Dompet Dhuafa Republika, 2003), hlm 502. 15 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama dan
Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf,
(Jakarta: Dompet Dhuafa Republika, 2003), hlm. 503.
24
Dalam Peraturan Perundang-undangan persoalan upah naẓir juga
diatur secara singkat. Dalam KHI Pasal 222 menyatakan bahwa:“Naẓir
berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya
ditentukan berdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan
dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat”16.Ketentuan KHI
tersebut belum menentukan kadar upah yang diberikan kepada naẓir.
Ukuran yang digunakan adalah kepantasan atas saran MUI dan KUA.
Berbeda dengan KHI, UU Nomor 41Tahun 2004 sudah menetapkan
kadar upah yang diterima naẓir. Dalam Pasal 12 diatur bahwa “Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, naẓir
dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%
(sepuluh persen)”17. Ketentuan Pasal 12 UU Nomor 41 Tahun 2004 di
atas sangat jelas dimana upah yang diterima naẓir berasal dari hasil
(keuntungan) pengelolaan wakaf maksimal sebanyak 10% (sepuluh
persen).Upah tidak diambil dari substansi atau pokok harta wakaf,
melainkan dari profit atau keuntungan pengelolaan. Karena kalau upah
diambil dari harta wakaf, maka harta wakaf itu pada akhirnya akan
habis18.
16 Rochmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia , (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm.
69. 17 UU No. 41 Tahun 2004 Pasal 12 18 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia Sejarah, Pemikiran, Hukum dan
Perkembangannya, (Bandung: Yayasan Piara, 1997), hlm. 45.
25
BAB III
TATA CARA PENGELOLAHAN PERWAKAFAN DI
MUHAMMADIYAH
A. Sejarah Singkat Organisasi Muhammadiyah
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912
M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran
sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan
atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk
terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim,
cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad
Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta1.
Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”.
Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan
(menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Dan
tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang
ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat
menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian
ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat
Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas
dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai
Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada
tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air.
Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-
ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari
1 Sejarah Muhammadiyah. Dikutip melalui website resmi organisasi:
http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-178-det-sejarah-singkat.html. 2019. diakses 12 Januari 2019.
26
Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan
Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran
para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab,
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal
kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Ssudi Arabia dan bacaan
atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-
ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai
Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi
konservatif.
Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8
Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi
yang bernama ”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan
pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten
Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912),
yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus
1914.
Kelahiran Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas dan pembaruan
dari pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, didorong oleh dan atas pergumulannya
dalam menghadapi kenyataan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia kala
itu, yang juga menjadi tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan.
Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah
ialah antara lain:
1. Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi,
sehingga menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang
mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat
dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar
kemurniannya lagi Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat
Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan
suatu organisasi yang kuat. Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga
pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena tidak
lagi dapat memenuhi tuntutan zaman.
27
2. Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit,
bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, berada dalam
konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme.
3. Dan karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan
pengaruh agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan
zending Kristen di Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di
kalangan rakyat2.
B. Sejarah Perwakafan Di Muhammadiyah
Dalam hubungannya dengan pemikiran pengelolaan harta benda wakaf,
maka Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang telah memperoleh
status badan hukum sejak masa pemerintahan kolonial belanda (1914), telah
menjalankan fungsinya sebagai Nazhir. Status organissasi (keagamaan) sebagai
Nazhir telah diakui Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf, yaitu
dengan memberikan kemungkinan suatu organisasi keagamaan bertindak sebagai
nazhir harta benda wakaf.
Muhammadiyah sejak berdirinya tahun 1912 dikenal dengan semangat
pembaharuan dengan slogan kembali kepada Al-Quran dan As Sunnah, dalam
kegiatannya hampir tidak bisa terpisahkan dari unsur perwakafan tanah, karena
untuk mengurus harta benda wakaf dibentuk suatu majelis yang khusus
menangani hal tersebut, yakni majelis wakaf dan kehartabendaan. Berdasarkan
hasil Muktamar ke-45 di Malang pada tahun 2005, nomenklatur tersebut berubah
kembali menjadi semula (Majelis Wakaf dan Kehartabendaan).
Majelis Wakaf dan kehartabendaan yang dibentuk berdasarkan Anggaran
Dasar Muhammadiyah adalah : organ organisasi pembantu pimpinan, majelis ini
mempunyai tugas pokok untuk mengembangkan dan mengamankan harta wakaf
dan harta kekayaan milik persyarikatan serta membimbing masyarakat dalam
melaksanakan wakaf, hibah, infaq dan shadaqah serta lainnya bersifat wakaf.
Selanjutnya pada jajaran organisasi tersebut, dibentuk pula majelis wakaf
dan kehartabendaan pada tiap-tiap pimpinan wilayah (provinsi), pimpinan daerah
2 Sumber : http://suara-Muhammadiyah.com/, or web http://Muhammadiyah.or.id diakses 12
Januari 2019
28
(kabupaten/kota) dan pimpinan cabang (kecamatan), yang masing-masing adalah
pembantu pimpinan di wilayah, daerah, dan cabang, sekaligus kepanjangan tangan
dari majelis wakaf dan kehartabendaan pimpinan pusat Muhammadiyah.
Persyarikatan Muhammadiyah dalam surat keputusan dalam negeri No.SK
14/DDA/1972 tentang penunjukan persyarikatan Muhammadiyah sebagai badan
hukum yang dapat mempunyai tanah dengan hak milik. Berdasarkan SK tersebut
maka seluruh aset persyarikatan Muhammadiyah diseluruh Indonesia baik wakaf
ataupun non wakaf terdaftar harus atas nama persyarikatan Muhammadiyah,
walaupun yang menghimpun atau nazhir wakaf dapat dilakukan oleh majelis
wakaf dan kehartabendaan wilayah, daerah ataupun cabang di wilayah kerja
masing-masing.
Perwakafan di Muhammadiyah memiliki peranan penting terhadap
perkembangan persyarikatan Muhammadiyah umumnya bagi umat Islam
Indonesia, persyarikatan Muhammadiyah berusaha memanfaatkan tanah-tanah
wakaf selain untuk sarana ibadah juga berusaha memanfaatkan tanah-tanah wakaf
untuk sarana sosial.
Muhammadiyah sebagai lembaga yang bergerak dibidang sosial keagamaan
dikenal telah berhasil membantu program pemerintah khususnya dalam bidang
pendidikan dan kesehatan serta ekonomi, Persyarikatan Muhammadiyah telah
memiliki aset berupa sekolah, mulai dari tingkat taman kanak-kanak (TK) hingga
perguruan tinggi, serta rumah sakit yang tersebar diseluruh Indonesia.
Keberhasilan tersebut tidak luput dari perwakafan yang ada di persyarikatan
Muhammadiyah.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menentukan bahwa tugas pokok Majelis
Wakaf dan Zakat, infaq, Shadaqoh yaitu :
1. Mengembangkan
Mengembangkan disini maksudnya yaitu melakukan suatu usaha
memajukan, memanfaatkan, memproduktifkan aset-aset persyarikatan yang
masih kosong atau terlantar.
29
2. Mengamankan
Mengamankan disini maksudnya yaitu melakukan suatu usaha menjaga,
melindungi, memelihara, serta menyelesaikan segala persengketaan yang
ada terhadap tanah atau harta yang diwakafkan.
3. Membimbing
Membimbing disini maksudnya yaitu memberikan pengarahan, pelatihan
serta tuntunan serta meemberikan motivasi kepada masyarakat untuk
berwakaf, berinfak dan bershodaqoh.
C. Tata Cara Perwakafan di Muhammadiyah
Jenis wakaf yang ada di Muhammadiyah dibagi menjadi dua, yaitu
wakaf khusus, yaitu jenis wakaf yang memang sudah ditentukan langsug
oleh calon wakif. Misalnya calon wakif ingin mewakafkan uang untuk
dibangunkan sekolah. selain itu ada wakaf umum, yaitu calon wakif
menyerahkan seluruhnya harta yang ingin di wakafkan kepada pengelola
Muhammadiyah (nazhir). Misalnya calon wakif ingin mewakafkan uang,
dan pengurus Muhammadiyah merekomendasikan untuk uang
tersebutdapat dikelola untuk memajukan unit usaha Muhammadiyah.
Pada penelitian ini penulis ingin membahas lebih mendalam
mengenai penegelolaan dan manajemen wakaf yang ada di organisasi
Muhammadiyah yang berupa pemanfaatan tanah, atau disebut sebagai
Tanah Wakaf.
1. Pendaftaran dan Pengurusan Tanah Wakaf oleh Muhammadiyah.
Dalam perwakafan hal yang tidak kalah penting adalah
mengenai bagaimana praktek, proses atau tata cara dalam
melaksanakan wakaf yang dalam hal ini wakaf tanah. Proses
perwakafan yang dilakukan harus sesuai dengan peraturan negara
yang telah ditentukan, yaitu tidak hanya berdasarkan UU No 41 Tahun
2005 Tentang Perwakafan saja, melainkan juga berdasarkan dengan
Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2006 Tentang pelaksanaan UU No
30
41 Tahun 2004, Peraturan Menteri Agama No 4 Tahun 2009,
Peraturan Badan Wakaf Indonesia No 2 Tahun 2010, dan terakhir
harus berdasarkan dengan Keputusan Direktur Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam No Dj.III/420 Tahun 2009.
Untuk proses sebuah wakaf yang dalam hal ini wakaf tanah
maka dari itu penulis membuat menjadi 3 alur dimana yang pertama
sebelum tanah di wakafkan, saat tanah diwakafkan dan setelah tanah
diwakafkan.
Bagan 3.1 Tata cara perwakafan di Muhammadiyah
a. Sebelum tanah diwakafkan, ada beberapa hal yang perlu untuk
dipersiapkan terlebih dahulu oleh calon wakif ataupun calon nazhir.
Untuk calon wakif harus memastikan dokumen atau syarat-syarat
yang diwakafkan tersedia, memastikan lokasi wakaf tidak memiliki
sengketa yang diketahui oleh Lurah/Camat, melakukan keabsahan
administrasi harta seperti sertifikat tanah di BPN, terakhir perlu
dipastikan mengenai persetujuan dari anggota keluarga (suami, istri,
anak) untuk berfawakaf. Sedangkan calon Nazhir, harus menerima
penetapan persetujuan sebagai penerima wakaf dari hasil rapat pleno
pengurus Muhammadiyah, dan mengirimkan surat permohonan
kepada Pengurus Pusat Muhammadiyah untuk diterbitkan surat kuasa
sebagai Nazhir.
b. Saat tanah diwakafkan, Tata cara wakaf yang ditentukan oleh
perundang-undangan dimulai dari proses persiapan hingga
pelaksanaan ikrar wakaf yang meliputi :
1) Calon wakif (orang,badan,organisasi atau badan hukum) yang
akan mewakafkan tanah miliknya harus datang langsung
menemui Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai Pejabat
Sebelum Tanah DI
Wakafkan
Saat Tanah DI
Wakafkan
Setelah Tanah
DI Wakafkan
31
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar
wakaf. Berdasarkan PP Nomor 28 Tahun 1977 pasal ayat (5)
calon wakif menyerahkan persyaratan-persyaratan administratif
berupa :
a) Sertifikat tanah milik atau bukti kepemilikan tanah
lainnya. Sertifikat tanah diperlukan sebagai bukti bahwa
tanah yang akan di wakafkan adalah tanah miliknya.
Apabila belum ada sertifikat, bukti kepemilikan bisa
diganti dengan dokumen lainnya seperti : girik, pethuk,
dan lainnya.
b) Surat keterangan dari Kepala Desa atau Lurah. Surat ini
berisi keterangan bahwa tanah yang akan diwakafkan
betul-betul dapat dialihkan kepada pihak lain, karena tidak
terkait oleh sitaan atau sengketa tertentu. Surat keterangan
tersebut dikeluarkan oleh Kepala Desa atau Lurah yang
mewilayahi tanah yang akan diwakafkan. Surat keterangan
tersebut diperkuat oleh Camat setempat.
c) Surat Keterangan Pendaftaran Tanah. Surat keterangan
pendaftaran tanah yang dimaksud adalah surat keterangan-
keterangan pendaftaran tanah yang diatur dalam PP
Nomor 10 Tahun 1961.
d) Ijin Bupati atau Walikota Kepala Sub Direktorat Agraria
Setempat. Pemberian surat ijin ini kewenangannya
didelegasikan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional
(BPN) Kota atau Kabupaten. Surat ijin diperlukan untuk
mengetahui sejauh mana keadaan tanah wakaf pada masa
yang akan datang terkait tata kota. Misalnya, apakah
pemerintah sudah merencanakan penggunaan tanah
tersebut untuk proyek pembangunan tertentu. Jika
ternyata tanah tersebut sudah direncanakah
penggunaannya oleh pemerintah, maka Kepala BPN
setempat atas nama Bupati atau Walikota tidak akan
32
mengijinkan, sebaliknya akan direkomendasikan tanah
yang lain untuk diwakafkan. Rekomendasi ini semata-
mata dimaksud agar pengelolaan tanah wakaf tidak
terganggu oleh sengketa. Dengan demikian salah satu
syarat bagi tanah wakaf tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan pemerintah.
2) Sebelum dilakukan ikrar wakaf, PPAIW melakukan
pemeriksaan yang meliputi:
a) Maksud kehendak wakif, apakah wakaf itu dilakukan
tanpa adanya paksaan.
b) Meneliti dokumen dan surat-surat,apakah sudah
memenuhi untuk pelepasan hak atas tanah (untuk
diwakafkan).
c) Meneliti saksi-saksi yang diajukan calon wakif apakah
sudah memenuhi syarat.
d) Mengesahkan susunan Nazhir
3) Langkah berikutnya, dihadapan PPAIW dan dua orang saksi,
wakif mengucapkan ikrar atau kehendak wakaf yang ditujukan
kepada naẓir yang telah disahkan. Ikrar wakaf tersebut
diucapkan secara lisan dengan jelas dan tegas di hadapan naẓir.
Jika ternyata wakif tidak mampu mengucapkan kehendak secara
lisan (karena tunawicara), maka wakif dapat menyatakan secara
isyarat. Pengucapan ikrar wakaf mencakup:
a) Identitas wakif
b) Pernyataan kehendak
c) Identitas tanah yang diwakafkan
d) Tujuan yang diinginkan
e) Nazhir dan Identitasnya
f) Saksi-saksi
33
Pengucapan ikrar dalam Akta Ikrar Wakaf (AIW) harus
dilihat dan didengar langsung oleh saksi-saksi. Tanpa dilihat dan
didengar saksi-saksi secara langsung, maka kesaksian tersebut
tidak sah. Untuk keseragaman, bentuk dan model ikrar wakaf
yang diucapkan oleh wakif ditetapkan oleh Menteri Agama
sebagaimana diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 Pasal 9
ayat (3). Tentang bentuk dan isi ikrar wakaf tersebut telah
ditentukan dalam peraturan Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam tanggal 18 April 1978 No. Kep/D/75/78. Ikrar
wakaf tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk tertulis
(blangko ikrar wakaf bentuk W.1). Apabila wakif tidak dapat
menghadap PPAIW, maka wakif dapat membuat ikrar tertulis
dengan persetujuan dari Kepala Kementerian Agama Kabupaten
atau Kota yang mewilayahi tanah wakaf tersebut. Naskah
tersebut dibacakan kepada naẓir dihadapan PPAIW. Semua
pihak yang berkompeten selanjutnya menandatangani ikrar
wakaf (bentuk W.1).
4) PPAIW segera membuat Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.2)
rangkap empat dengan dibubuhi materai, dan selambat-
lambatnya satu bulan dibuat AIW harus telah dikirim dengan
pengaturan pendistribusian sebagai berikut :
a) Akta Ikrar Wakaf
i. Lembar pertama disimpan PPAIW
ii. Lembar kedua sebagai lampiran surat permohonan
pendaftaran tanah wakaf ke Kantor Agraria
setempat (W.7)
iii. Lembar ketiga untuk Pengadilan Agama setempat
b) Salinan Akta Ikrar Wakaf
i. Satu lembar pertama untuk wakif
ii. Lembar kedua untuk nazhir
34
iii. Lembar ketiga untuk Kemenag Kabupaten atau
Kota
iv. Lembar keempat untuk Kepala Desa Setempat
Selanjutnya PPAIW mancatat dalam Daftar Akta Ikrar Wakaf
(bentuk W.4 ) dan menyimpannya bersama AIW secara baik.
Adapun isi Ikrar Wakaf (AIW) paling sedikit memuat :
a) Nama dan identitas wakif
b) Nama dan Identitas nazhir
c) Data dan Keterangan harta benda wakaf
d) Peruntukan harta benda wakaf
e) Jangka waktu wakaf
Ketentuan mengenai jangka waktu wakaf dalam AIW
merupakan item tambahan sebagai konsekuensi dari adanya opsi
kebolehan wakaf jangka waktu tertentu. Hal ini sebagaimana
tercantum dalam UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf Pasal
1 yang menyatakan:
“Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
atau kesejahteraan umum menurut syariah”.3
Tujuan dicantumkannya jangka waktu dalam AIW adalah
untuk mengetahui apakah harta benda yang diwakafkan wakif
dilepaskan kepemilikannya dalam jangka waktu selama-lamanya
atau hanya diwakafkan dalam jangka waktu tertentu. Adapun
tata cara perwakafan dan pendaftaran benda wakaf juga di atur
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 dan Pasal 224 sebagai
berikut:
3 UU No 41 tahun 2004 tentang wakaf
35
Pasal 223
1) Pihak yang hendak berwakaf dapat menyatakan ikrar
wakaf dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk
melaksanakan ikrar wakaf.
2) Isi dan bentuk ikrar wakaf ditentukan oleh Menteri
Agama.
3) Pelaksanaan ikrar demikian juga pembuatan Akta ikrar
wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan
sekurang-kurangnya 2 orang saksi.
4) Dalam melaksanakan ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak
yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada
pejabat yang tersebut dalam pasal 215 ayat (6), surat-surat
sebagai berikut:
a) Tanda bukti kepemilikan harta benda
b) Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak
bergerak,
maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa
yang
diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan
pemilikan benda tidak bergerak tersebut.
c) Surat atau dokumen tertulis yang merupakan
kelengkapan dari benda tidak bergerak yang
bersangkutan.
Pasal 224
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan dalam pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama naẓir yang
bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada
Camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang
bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian.
36
c. Setelah tanah diwakafkan, maka nahzir wajib untuk mengelola wakaf
sesuai dengan tujuan wakaf yang dikehendaki oleh Wakif. Adapun
kewajiban yang perlu dilakukan oleh Nazhir, yaitu:
1) Memelihara harta wakaf.
2) Mengembangkan wakaf sehingga tidak membiarkannya
terlantar dan tidak bermanfaat.
3) Melaksanakan syarat dari Wakif yang tidak menyalahi syara’.
4) Memperbaiki aset wakaf yang rusak sehingga kembali
bermanfaat.
5) Membagi hasil wakaf kepada pihak yang berhak
menerimanya tepat waktu dan tepat sasaran.
6) Membayarkan kewajiban yang timbul dan pengelolaan wakaf
dari hasil wakaf itu sendiri.
7) Mempersewakan harta wakaf tidak bergerak, seperti tanah
dan bangunan.
8) Menginvenstasikan harta wakaf untuk tambahan penghasilan.
9) Segala kerusakan harta wakaf disebabkan kelalaian Nazhir,
maka ia harus bertanggung jawab atas kerusakan itu dan
Nazhir dapat diberhentkan dari jabatannya.
2. Pemanfaatan tanah wakaf oleh Muhammadiyah
Jumlah tanah wakaf di Indonesia sangat banyak dan dengan
luasan yang cukup luas, dan sebarannya pun hampir diseluruh wilayah
provinsi di Indonesia. Menurut statistik dari Bimas Islam Kementrian
Agama Republik Indonesia mencapai 353.646 jumlahnya dengan
luasan mencapai 49.026 HA atau setara dengan 490.260.000 m2 . Tanah
ini tersebar diberbagai wilayah diseluruh penjuru Indonesia. Secara
terperinci berikut ini statistik perwakafan di Indonesia:
37
Tabel 3.1
Data Tanah Wakaf Umum Pe-Provinsi se Indonesia4
No
Nama Wilayah Jumlah Luas
[Ha]
Sudah Sertifikat Belum Sertifikat
Jumlah Luas
[Ha] Jumlah
Luas
[Ha]
1 ACEH 12.010 7.967 5.892 833 6.118 7.135
2 SUMATERA UTARA
10.855 8.223 6.256 793 4.599 7.430
3 SUMATERA
BARAT
4.851 592 3.382 406 1.469 187
4 RIAU 7.876 2.053 2.757 453 5.119 1.600
5 JAMBI 6.055 963 3.191 377 2.864 586
6 SUMATERA SELATAN
3.701 418 1.847 141 1.854 277
7 BENGKULU 2.287 409 1.628 234 659 175
8 LAMPUNG 11.140 5.447 6.782 2.766 4.358 2.682
9 KEP. BANGKA
BELITUNG
1.086 201 746 151 340 50
10 KEPULAUAN RIAU 1.327 228 378 56 949 172
11 D K I JAKARTA 6.409 266 3.966 155 2.443 111
12 JAWA BARAT 68.853 4.738 38.698 2.206 30.155 2.533
13 JAWA TENGAH 90.150 4.538 68.176 3.397 21.974 1.141
14 D I YOGYAKARTA 9.791 346 8.830 309 961 37
15 JAWA TIMUR 58.620 3.870 32.869 2.142 25.751 1.728
16 BANTEN 14.408 1.007 8.216 528 6.192 479
17 BALI 1.430 209 1.290 188 140 21
18 NUSA TENGGARA
BARAT
8.372 1.296 5.448 832 2.924 464
19 NUSA TENGGARA
TIMUR
1.309 336 987 210 322 125
20 KALIMANTAN
BARAT
2.592 515 1.507 242 1.085 273
21 KALIMANTAN
TENGAH
2.924 648 1.650 330 1.274 318
22 KALIMANTAN
SELATAN
7.827 905 7.007 783 820 122
23 KALIMANTAN
TIMUR
2.535 655 1.242 197 1.293 457
24 KALIMANTAN
UTARA
390 130 152 99 238 32
25 SULAWESI UTARA 770 102 344 34 426 68
26 SULAWESI
TENGAH
2.145 891 1.361 136 784 755
27 SULAWESI 7.099 903 4.432 361 2.667 542
4 Diolah dari statistik wakaf pada Sumber: http://siwak.kemenag.go.id akses 12 januari 2019
38
SELATAN
28 SULAWESI
TENGGARA
1.096 109 827 71 269 37
29 GORONTALO 1.850 383 936 271 914 112
30 SULAWESI BARAT 2.835 493 912 103 1.923 390
31 MALUKU 417 59 183 30 234 29
32 MALUKU UTARA 301 46 211 25 90 21
33 PAPUA 291 60 141 19 150 41
34 PAPUA BARAT 44 18 29 3 15 15
Jumlah 353.646 49.026 222.273 18.879 131.373 30.147
Dari tabel di atas nampak bahwa sebaran tanah wakaf ada
diseluruh propinsi di Indonesia, meskipun dengan tingkat yang berbeda-
beda. Untuk melihat urutan di propinsi mana yang memiliki tanah yang
paling luas, tabel berikut dapat menunjukkan dengan jelas.
Tabel 3.2
Luas Tanah Wakaf Per-Provinsi dengan Urutan Terluas5
NO Nama Wilayah Luas (m2)
1 SUMATERA UTARA 82.230.000
2 ACEH 79.670.000
3 LAMPUNG 54.470.000
4 JAWA BARAT 47.380.000
5 JAWA TENGAH 45.380.000
6 JAWA TIMUR 38.700.000
7 RIAU 20.530.000
8 NUSA TENGGARA BARAT 12.960.000
9 BANTEN 10.070.000
10 JAMBI 9.630.000
11 KALIMANTAN SELATAN 9.050.000
12 SULAWESI SELATAN 9.030.000
13 SULAWESI TENGAH 8.910.000
14 KALIMANTAN TIMUR 6.550.000
15 KALIMANTAN TENGAH 6.480.000
16 SUMATERA BARAT 5.920.000
17 KALIMANTAN BARAT 5.150.000
5 Diolah dari statistik wakaf pada Sumber: http://siwak.kemenag.go.id akses 12 januari 2019
39
18 SULAWESI BARAT 4.930.000
19 SUMATERA SELATAN 4.180.000
20 BENGKULU 4.090.000
21 GORONTALO 3.830.000
22 D I YOGYAKARTA 3.460.000
23 NUSA TENGGARA TIMUR 3.360.000
24 D K I JAKARTA 2.660.000
25 KEPULAUAN RIAU 2.280.000
26 BALI 2.090.000
27 KEP. BANGKA BELITUNG 2.010.000
28 KALIMANTAN UTARA 1.300.000
29 SULAWESI TENGGARA 1.090.000
30 SULAWESI UTARA 1.020.000
31 PAPUA 600.000
32 MALUKU 590.000
33 MALUKU UTARA 460.000
34 PAPUA BARAT 180.000
Jumlah 490.240.000
Dari data diatas terlihat bahwa wakaf yang paling luas adalah di
daerah Provinsi Sumatera Utara seluas kira-kira 82.230.000 m2 atau
sekitar 8.223 hektar. Sedangkan yang kedua berada di Provinsi Aceh
yang juga dikenal dengan ajaran isamnya yang sangat kuat sehingga
dikenal dengan sebutan serambi mekahnya, dengan luasan tanah
wakafnya 79.670.000 m2 atau sekitar 7.967 hektar. Dan posisi ke-3
teratas yaitu di Provinsi lampung seluas 54.470.000 m2 atau sekitar
5.447 hektar.
Sedangkan tiga provinsi terbawah adalah maluku sekita
590.000m2 atau sekitar 590 hektar,maluku utara sekitar 460.000m2 atau
sekitar 460 hektar dan yang berada di urutan terakhir adalah papua barat
sekitar 180.000m2 atau sekitar 180 hektar.
Dari tabel 3.1 dan tabel 3.2 dapat terlihat terdapat perbedaaan
dimana jumlah banyaknya tanah wakaf juga tidak sebanding dengan
luas tanah yang diwakafkan sebagai contoh jumlah tanah wakaf di
Provinsi Jawa Tengah mencapai 90.150 jumlahnya sedangkan luas
tanahnya hanya 45.380.000m2 atau sekitar 4.538 hektar, begitu pula
40
dengan Provinsi Sumatera Utara memiliki jumlah tanah wakaf 10.855
banyaknya tetapi dengan luas tanah wakaf yng paling luas dengan besar
82.230.000m2 atau sekitar 8.223 hektar. Lebih lanjut dapat di lihat dari
tabel berikut ini
Tabel 3.3
Jumlah tanah wakaf dan luasnya di seluruh Provinsi Indonesia6
NO Nama Wilayah Jumlah Luas (HA)
1 JAWA TENGAH 90150 4538
2 JAWA BARAT 68853 4738
3 JAWA TIMUR 58620 3870
4 BANTEN 14408 1007
5 ACEH 12010 7967
6 LAMPUNG 11140 5447
7 SUMATERA UTARA 10855 8223
8 D I YOGYAKARTA 9791 346
9 NUSA TENGGARA BARAT 8372 1296
10 RIAU 7876 2053
11 KALIMANTAN SELATAN 7827 905
12 SULAWESI SELATAN 7099 903
13 D K I JAKARTA 6409 266
14 JAMBI 6055 963
15 SUMATERA BARAT 4851 592
16 SUMATERA SELATAN 3701 418
17 KALIMANTAN TENGAH 2924 648
18 SULAWESI BARAT 2835 493
19 KALIMANTAN BARAT 2592 515
20 KALIMANTAN TIMUR 2535 655
21 BENGKULU 2287 409
22 SULAWESI TENGAH 2145 891
23 GORONTALO 1850 383
24 BALI 1430 209
25 KEPULAUAN RIAU 1327 228
26 NUSA TENGGARA TIMUR 1309 336
27 SULAWESI TENGGARA 1096 109
28 KEP. BANGKA BELITUNG 1086 201
6 Diolah dari statistik wakaf pada Sumber: http://siwak.kemenag.go.id akses 12 januari 2019
41
29 SULAWESI UTARA 770 102
30 MALUKU 417 59
31 KALIMANTAN UTARA 390 130
32 MALUKU UTARA 301 46
33 PAPUA 291 60
34 PAPUA BARAT 44 18
Dengan melihat data tersebut, terlihat jelas bahwa wilayah yang
memiliki sejarah atau kultur Islam yang kental tidak secara otomatis
menduduki posisi teratas seperti Sumatera barat yang dikenal dengan
sangat religius bahkan memiliki kultur yang sangat dekat dengan Islam
ternyata berada pada urutan-urutan bawah dari semua provinsi yang
ada. Dan juga terlihat jelas bahwa banyaknya jumlah wakaf tidak
sebanding lurus dengan luasan tanah wakaf tersebut. Hal tersebut
dapat dipengaruhi oleh banyak hal salah satunya tingginya jumlah
wakaf bisa jadi karena kesadaran masyarakat yang memang sudah baik
terhadap manfaat wakaf untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat,
sedangkan luasannya terbalik dibandingkan dengan jumlahnya bisa
jadi dikarenakan sempitnya atau sedikitnya luas lahan yang dapat di
wakafkan. Kesimpulan sementara yang dapat diambil yaitu bahwa
domsinasi Islam secara sosio dan kultur tidak selalu berbanding lurus
dengan luas tanahnya, banyak faktor yang dapat mempengaruhi luasan
atau jumlah wakaf bisa dari tingkat kesadaran masyarakat terhadap
wakaf, sempit atau luasnya lahan di provinsi dan bisa juga dari kultur
atau sosio Islam.
Wakaf dalam Islam sebenarnya memiliki makna wakaf abadi
dikarenakan pahala yang diterima oleh pemberi wakaf (wakif) akan
berlipat ganda dan akan terus mengalir selama wakaf itu masih ada dan
masih dipergunakan. Wakaf inilah yang biasa disebut dengan shadaqoh
jariyah yang paling sempurna bentuknya. Berpedoman pada itu banyak
orang yang berlomba-lomba mewakafkan hartanya biasanya berupa
tanah untuk dipergunakan sebagai tempat ibadah, hal ini yang
melatarbelakangi sebagian besar pengembangan tanah wakaf dijadikan
42
tempat ibadah seperti mesjid dan mushola. Hal tersebut dapat dilihat
dari tabel di bawah ini.
Tabel 3.4
Pemanfaatan Tanah Wakaf diIndonesia7
NO Nama Wilayah Jumlah Pemanfaatan Tanah Wakaf
Mesjid Mushola Sekolah Makam Pesantren
Sosial
lainnya
1 ACEH 4.411 5.063
367 844 506
1.233
2 SUMATERA UTARA 4.795 2.085
1.073 2.030 57
817
3 SUMATERA BARAT 2.533 1.300
474 34 136
469
4 RIAU 3.230 2.229
909 778 131
600
5 JAMBI 2.326 1.713
700 688 91
611
6 SUMATERA SELATAN 2.316 759
229 141 67
243
7 BENGKULU 1.348 230
148 341 31
188
8 LAMPUNG 4.715 3.523
841 680 496
897
9 KEP. BANGKA BELITUNG 631 169
79 158 10
39
10 KEPULAUAN RIAU 631 266
105 111 33
185
11 D K I JAKARTA 2.110 3.246
578 43 50
511
12 JAWA BARAT 36.992 10.352
7.857 2.040 3.332
8.427
13 JAWA TENGAH 34.978 34.820
10.160 1.336 2.336
6.944
14 D I YOGYAKARTA 6.442 1.106
844 62 299
617
15 JAWA TIMUR 22.485 21.025
7.814 1.037 2.533
4.080
16 BANTEN 7.053 3.062
1.623 964 439
1.393
17 BALI 435 248
112 199 50
386
18
NUSA TENGGARA
BARAT 3.824
2.029
543 1.122
341
526
19 NUSA TENGGARA TIMUR 765 82
172 175 10
102
20 KALIMANTAN BARAT 1.253 434
205 559 42
117
21 KALIMANTAN TENGAH 1.148 939
299 320 79
145
22 KALIMANTAN SELATAN 1.575 3.145
896 927 165
374
23 KALIMANTAN TIMUR 990 909
184 249 69
134
24 KALIMANTAN UTARA 223 81
37 9 29
21
25 SULAWESI UTARA 487 36
75 92 6
72
26 SULAWESI TENGAH 1.403 132
293 95 50
172
27 SULAWESI SELATAN 5.354 297
493 522 119
314
28 SULAWESI TENGGARA 914 8
62 47 8
59
29 GORONTALO 1.376 42
121 181 36
94
30 SULAWESI BARAT 1.889 177
255 317 68
123
31 MALUKU 299 32
10 71 9
15
32 MALUKU UTARA 108 91
22 40 3
37
7 Diolah dari statistik wakaf pada Sumber: http://siwak.kemenag.go.id akses 12 januari 2019
43
33 PAPUA 144 92
22 0 2
31
34 PAPUA BARAT 3 0
0 1 0
1
Jumlah 159.186 99.722 37.602 16.213 11.633 29.977
Dari data di atas terlihat bahwa penggunaan yang banyak
dimanfaatkan adalah untuk penggunaan mesjid yaitu sebesar 159.185
tanah wakaf disusul dengan mushola diposisi ke-2 yaitu sebesar 99.722
tanah wakaf dan dilanjutkan dengan yang lainnya.
Dari tabel pemanfaatan tanah wakaf diatas, nampak bahwa
pemanfaatan untuk keperluan ibadah dalam hal ini adalah mesjid
dan mushola jumlahnya sangat dominan, sedangkan kebalikkannya
pemanfaatan untuk keperluan sosial masih menduduki urutan rendah.
Sebenarnya pemanfaatan tanah wakaf menjadi tempat ibadah seperti
mesjid ataupun mushola tidak lah salah, hanya saja jika dipaksakan
untuk menjadi tempat ibadah dikarenakan pewakaf hanya ingin
fadhilah atau untuk meraih keutamaan saja dikarenakan kepercayaan
atau keyakinan si pewakaf jika dijadikan mesjid atau mushola maka
pahala akan terus mengalir selama di pergunakan itu akan menjadi
salah jika ternyata di tempat atau wilayah tersebut sudah banyak
terdapat tempat ibadah seperti mesjid atau mushola namun tetap
dipaksakan. Dalam hal tersebut maka pemanfaatan tanah wakaf
tersebut tidaklah optimal dan tidak produktif karena tidak sesuai dengan
kebutuhan atau kepentingan umat di wilayah tersebut.
Tabel 3.5
Daftar Tanah Wakaf Milik Persyarikatan Muhammadiyah Seluruh
Indonesia8
No Daerah
Muhammadiyah Bidang Tanah
Luas Tanah/M2
Sertifikat Wakaf
Sdh Blm
1 Lampung 490 2.552.265 85 405
2 Riau 305 2.346.650 52 253
8 Majelis Wakaf dan kehartabendaan PP Muhammadiyah, pimpinan pusat Muhammadiyah
Jakarta. 2012
44
3 Bengkulu 120 2.040.634 22 98
4 Nusa Tenggara Timur 29 1.223.342 5 24
5 Sulawesi Selatan 277 1.142.289 87 190
6 Jawa Timur 1426 1.123.687 387 1039
7 Sumatera Selatan 230 1.080.050 29 201
8 Jawa Barat 894 1.026.280 281 613
9 D.I. Aceh 233 826.376 27 206
10 Kalimantan Selatan 219 640.123 101 118
11 Sumatera Utara 439 619.761 10 429
12 Sumatera Barat 389 499.090 119 270
13 Kalimantan Timur 94 426.519 9 85
14 Kalimantan Barat 70 384.733 33 37
15 Jambi 50 303.278 25 25
16 Nusa Tenggara Barat 60 265.597 43 17
17 Sulawesi Tengah 80 205.995 3 77
18 Gorontalo 82 163.574 39 43
19 Kalimantan Tengah 21 69.718 2 19
20 DKI Jakarta 41 18.376 4 37
21 Banten 14 17873 0 14
22 Sulawesi Tenggara 9 16.977 0 9
23 Bali 12 10.990 12 0
24 Bangka Belitung 2 8.024 0 2
25 Sulawesi Utara 17 4.290 10 7
26 Sulawesi Barat 30 71 5 25
27 Maluku 0 0 0 0
28 Maluku Utara 0 0 0 0
29 Papua 0 0 0 0
30 Papua Barat 0 0 0 0
JUMLAH 5.633 17.016.562 1.390 4.243
Setelah melihat pesebaran jumlah tanah wakaf dan
pemanfaatannya di seluruh Indonesia, maka pada tabel 3.5 dijabarkan
mengenai jumlah tanah wakaf yang dikelola oleh organisasi
Muhammadiyah di seluruh Indonesia yang termasuk kedalam wakaf
umum. Wakaf umum ini kemudian dikelola untuk dijadikan sebagai
Amal Usaha Organisasi Muhammadiyah. Adapun rincian nya
dijabarkan didalam tabel berikut:
45
Tabel 3.6
Jenis Amal Usaha PP Muhammadiyah
No. Jenis Amal Usaha Jumlah
1 Sekolah 9.448
2. Masjid 6.118
3. Mushola 5.080
4. Rumah Sakit, Rumah Bersalin,
BKIA, BP, dll
2.119
5. Panti Asuhan, Santunan, 318
6. Rehabilitasi Cacat 82
7. Sekolah Luar Biasa (SLB) 71
8. Pondok Pesantren 67
9. Panti Jompo 54
Jumlah Tanah 20.945.504 m2
Benda wakaf yang datang ke Muhammadiyah kebanyakan
berupa tanah untuk dikelola. Berdasarkan jenis amal usaha
Muhammadiyah dapat di simpulkan bahwa Muhammadiyah
memanfaatkan tanah wakafnya kebayakan kedalam bidang pendidikan
terlihat dengan jelas dengan posisi sekolah di urutan pertama, dimana
sekolah tersebut terdiri dari semua jenjang pendidikan seperti TK, SD,
SMP, SMA dan bahkan hingga ke Universitas Muhammadiyah. Oleh
karena itu Muhammadiyah sudah sedikit maju dalam hal bidang
pemanfaatan tanah wakafnya walaupun pemanfaatan tanah wakaf juga
di peruntukkan untuk tempat ibadah, rumah sakit, pondok pesantren,
panti jompo, tahfizh Al-Quran, dan masih banyak lainnya.
Selain dikelola menjadi tempat yang kebermanfaatannya untuk
umat dan bergerak di jalan Allah SWT, tanah wakaf juga bisa
dikembangkan untuk menunjang pembangunan utama yang telah
dilakukan. Misalnya saja dalam pembangunan universitas, untuk
menunjangnya menjadi universitas yang semakin baik, pengelola bisa
mengembangkan dengan menambahkan tempat parkir sepeda,
46
lapangan sepak bola, dan sebagainya. Selain itu misalnya ada
perkebunan seluas 5.000 H yang harus dikelola, untuk memaksimalkan
kebermanfaatan maka dapat ditambahkan membangun pabrik untuk
mengelola hasil perkebunan, bisa juga ditambahkan dengan disedikan
perumahan untuk karyawan, rumah sakit penunjang, dan sebagainya.
Dimana semua ini tidak hanya dijadikan sebagai pelengkap atau
penunjang dari penggunaan utamanya saja.
Tidak dapat dipungkiri wakaf produktif masih sangat banyak
dapat dimanfaatkan dalam bidang-bidang lainnya seperti pertanian,
perindustrian, perdagangan dan jasa yang manfaatnya bukan pada tanah
wakafnya secara langsung, tetapi dari keuntungan bersih dari hasil
pengembangan wakaf yang diberikan kepada orang-orang yang berhak
sesuai dengan tujuan wakaf. Dalam hal pengelolaan dan pengembangan
tanah wakaf yang produktif yang menjadi hambatan utama adalah hal
manajeman wakaf yang apabila tidak diperhatikan maka akan berimbas
pada penyelewengan dan penyalahgunaan dalam perwakafan sehingga
disini Muhammadiyah sebagai nazhir memiliki peran yang sangat
penting dalam hal manajemen perwakafannya, lebih lanjut akan
penulis bahas pada bab selanjutnya.
47
BAB IV
MANAJEMEN PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN
WAKAF
Bab empat ini mengemukakan hasil penelitian berupa hasil wawancara
mendalam dan studi dokumentasi yang merupakan bagian dari proses
pengumpulan data dari peneliti. Pembahasan akan dilakukan untuk menjabarkan
hasil temuan lapangan yang disesuaikan dengan tujuan dari penelitian ini, serta
menganalisis hasil pengumpulan data sesuai dengan keranga teori yang sudah
ditentukan sebelumnya (melalui bab dua).
A. Manajemen Pengelolaan Wakaf Tak Bergerak oleh Muhammadiyah
Sebagai organisasi Islam, yang ingin menguatkan umat dengan Al-
Qur’an dan Sunnah, maka Muhammadiyah kerap kali melaksanakan
kegiatan-kegiatannya dengan melibatkan proses bimbingan atau pengarahan
suatu kelompok masyarakat sesuai dengan tujuan organisasional
Muhammadiyah. Salah satu bentuk kontribusi Muhammadiyah pada
kesejahteraan umat adalah dengan menjadi Nazhir atau pengelola harta
wakaf, oleh karena itu sistem pengorganisasian dibentuk baik dari tingkat
ranting hingga pusat. Muhammadiyah kemudian menempatkan orang-orang
yang dianggap tepat dalam sistem pengorganisasian untuk mengelola dan
mengembangkan benda wakaf yang masuk kedalam organisasi agar
kebermanfaatannya dapat maksimal untuk kepentingan umat.
a. Alur proses perwakafan benda—dalam hal ini tanah, di organisasi
Muhammadiyah
Kecenderungan seorang calon wakif yang ingin mewakafkan
benda/hartanya untuk dapat dikelola menjadi benda yang lebih
bermanfaat bagi umat adalah dengan menyerahkannya kepada pihak-
pihak yang dapat bertanggung jawab akan pengelolaan dan
48
pengembangannya. Pengelola atau nazhir bisa nazhir perseorangan,
nazhir organisasi, atau nazhir berbadan hukum.
Para calon wakif yang datang ke Muhammadiyah biasanya memilih
Muhammadiyah sebagai Nazhir karena telah berbadan hukum dan
memiliki reputasi yang baik dalam pengelolaan dan pengembangan
benda wakaf. Sebagai organisasi besar yang tersebar diseluruh
Indonesia, para calon wakif tidak perlu mendatangi Pengurus Pusat
(PP) Muhammadiyah jika mereka ingin mewakafkan tanahnya, cukup
dengan mendatangi pengurus tingkat ranting/daerah terdekat dengan
lokasi calon wakif berada.
Setelah memilih Muhammadiyah untuk mengelola dan
mengembangkan benda wakaf/tanah wakafnya, maka calon wakif
kemudian melakukan ikrar kepada pengurus Muhammadiyah sehingga
telah resmi menjadi wakif—orang yang mewakafkan harta/bendanya.
Setelah wakif yang melakukan ikrar, pengurus Muhammadiyah juga
melakukan ikrar untuk mengelola tanah wakafnya yang kemudian
pengurus Muhammadiyah disebut sebagai Nazhir. Ikrar yang dilakukan
kedua belah pihak kemudian dituangkan secara tertulis, resmi
disaksikan dan disahkan oleh notaris yang kemudian disebut sebagai
Ikrar Wakaf.
Setelah ikrar wakaf dibuat, maka Nazhir berkewajiban untuk
mengirimkan surat pemberitahuan sekaligus meminta persetujuan PP
Muhammadiyah agar mereka dapat melaksanakan amanat yang telah
diberikan oleh wakif. Setelah PP Muhammadiyah memberikan izin
pelaksanaan, maka Nazhir telah diperbolehkan untuk mengelola tanah
wakaf tersebut.
Tahapan selanjutnya adalah proses perencanaan dalam pengelolaan
tanah wakaf. Proses ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
direncanakan sendiri oleh nazhir atau wakif ingin turut serta dalam
proses perencanaan. Setelah itu hasil diskusi kemudian disusun menjadi
sebuah proposal perencanaan. Tim pembuat perencanaan dapat
mengajukan beberapa ide dan menjadi beberapa proposal, didalamnya
49
lengkap dengan anggaran dan keberamanfaatan apa yang akan
dilakukan untuk tanah wakaf ini. Setelah itu, ide proposal yang dibuat
kemudian diajukan untuk diadakan sidang musyawarah pengurus
Muhammadiyah, tidak jarang pada proses ini juga melibatkan anggota
PP Muhammadiyah. Didalam sidang tersebut, kemudian didiskusikan
ide mana yang paling dibutuhkan dan memiliki kebermanfaatan lebih
untuk umat, teturama disekitar wilayah tanah itu berada.
Setelah ide ditentukan, maka dilakukan penunjukkan tim ahli atau
orang-orang utama yang akan bertanggung jawab dalam pengelolaan
tanah wakaf ini. Muhammadiyah sendiri harus memastikan bahwa
orang-orang yang dipilih adalah mereka yang benar-benar menguasai
hal tersebut. Misalnya pengelolaan tanah akan diperuntukkan sebagai
sarana kesehatan, maka tim ahli ini setidaknya harus memiliki
pengetahuan pada bidang kesehatan dan tidak bisa sembarangan orang
ditunjuk untuk mengelola. Semua harus sesuai dengan bidang masing-
masing yang dikuasai agar tanah yang di wakafkan tidak terbengkalai.
Tahapan terakhir adalah proses pelaksanaan atau pembangunan
tanah wakaf. Pada tahapan ini, tidak semua tanah wakaf pasti langsung
dibangunkan bangunan baru, melainkan dapat dikelola untuk
mengembangkan bangunan yang sudah ada. Adapaun lebih jelasnya
akan dijabarkan pada subbab yang lain.
Berdasarkan dengan keterangan tersebut diatas, peneliti kemudian
menyederhanakan melalui bagan berikut sebagai bagan alur proses
perwakafan di Muhammadiyah:
Wakaf Umum
Wakaf Khusus
Wakif mendatangi
Muhammadiah
sebagai calon Nazhir
(Baik ditingkat Ranting,
Wilayah, Pusat)
Wakif melakukan ikrar akan
memberikan benda wakafnya
Nazhir juga melakukan ikrar untuk
mengelola wakafnya
(Ikarar dituangkan dalam bentuk
Membuat
perencanaan
pengelolaan
benda wakaf
50
Bagan 4.1 : Alur Proses Perwakafan di Organisasi Muhammadiyah
b. Bentuk pengorganisasian dan pengelolaan tanah wakaf
1) Pengorganisasian Sumber Daya Manusia
Pengorganisasian dalam mengelola tanah wakaf, bekaitan
dengan penunjukkan tim ahli. Seperti yang telah dikatakan
sebelumnya, bahwa tim ahli adalah orang-orang yang memiliki
tanggung jawab dalam kebermanfaatan tanah wakaf ini, tanggung
jawabnya bukan hanya kepada Muhammadiyah secara organisasi,
wakif sebagai orang yang mewakafkan hartanya, namun juga
bertanggung jawab terhadap Allah SWT. Sehingga pemilihan tim
ahli ini juga harus berdasarkan dua kriteria utama, yaitu :
- Amanah
- Memiliki ilmu atau keahlian dibidang tersebut
Dua kriteria ini merupakan syarat wajib dan mutlak yang
harus dipenuhi jika ingin mengelola tanah wakaf yang ada di
Muhammadiyah. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Rutny
M Saleh, Wakil Ketua Majelis Wakaf dan Kehartabendaan
Pimpinan Pusat Muhammadiyah:
“Mereka (tim ahli) bisa disebut pengelola, panitia, atau nazir
intern. Apa saja boleh disebut. Asalkan orang yang memang
benar-benar ahli. Tidak bisa sembarangan orang, ini harus
disesuaikan dengan kebutuhan. Kalau mau membangun
rumah sakit, kita tidak bisa meminta ahli ekonomi saja yang
terlibat. Tetapi ahli kesehatan juga perlu untuk membantu
proses pengembangannya” (Rutny, 2019)
Pelaksanaan
Pembangunan
51
Selain harus merupakan orang yang ahli dibidangnya atau
orang yang memiiki ilmu, tim ini harus orang yang amanah. Seleksi
juga dilakukan secara internal, dengan melihat track record
masing-masing orang, sekali lagi hal ini diperkuat karena
Muhammadiyah sangat menjunjung tinggi kepercayaan yang telah
diberikan kepada mereka. Tim ini kemudian bertanggung jawab
dari proses pembangunan awal hingga pengelolaan serta
pengembangan tanah wakaf tersebut. Proses pelaporan juga
menjadi bagian dari kewajiban yang harus mereka jalani.
Didalamnya terdapat orang-orang yang memiliki peranan berbeda-
beda sesuai dengan bidang keahliannya, dengan tujuan yang sama
yaitu berdakwah dijalan Allah SWT. Pada proses ini, PP
Muhamadiyah tidak turut serta dalam penunjukkan nazhir tingkat
wilayah/daerah, mereka hanya perpaku pada pengawasan setelah
proses ini selesai dibentuk saja.
2) Pengelolaan Tanah Wakaf
Muhammadiyah tidak bisa selalu memenuhi keinginan dari
para wakif seratus persen sama. Oleh karena itu Muhammadiyah
membagi dua jenis wakaf, yaitu wakaf khusus dan wakaf umum.
Untuk wakif yang meminta secara spesifik benda wakafnya
dikelola menjadi bangunan tertentu disebut sebagai wakaf khusus.
Sedangkan wakaf umum yaitu wakif memberikan kebebasan
kepada nazhir untuk mengelola tanah wakafnya secara penuh
asalkan tetap untuk kepentingan umat.
Muhammadiyah sendiri lebih banyak mengelola wakaf secara
umum, dimana semua disesuaikan dengan kebutuhan dari daerah
setempat. Misalnya ada wakif yang memiliki tanah seluas 500m2
dan ingin mewakafkannya untuk kepentingan umat dan diserahkan
sepenuhnya kepada Muhammadiyah dalam pengelolaannya. Jika
Muhammadiyah merasa bahwa daerah lain memerlukan
52
pengembangan, maka tanah tersebut juga bisa di jual dan uangnya
bisa digunakan untuk mengembangkan tempat tersebut.
c. Permasalahan yang muncul
Sebagai organisasi berbadan hukum yang sah, mengelola benda
wakaf dari para wakif bukanlah hal yang baru bagi organisasi ini.
Meskipun demikian, permasalahan dalam proses pengelolaan kerap kali
terjadi meskipun tidak terlalu banyak. Hal ini senada dengan yang
dikatakan oleh Wakil Ketua Bidang Pertanahan, Bapak Rutny M. Saleh,
yaitu:
“Sejauh ini memang tidak terlalu banyak masalah yang muncul,
karena kami percaya bahwa proses pengelolaan wakaf ini
merupakan bagian dari panggilan hati. Meskipun ada, bisa jadi
karena faktor ketersediaan dana dari organisasi
Muhammadiyah ini untuk membangun atau mengembangkan
bangunan baru misalnya.” (Rutny, 2019)
Pak Rutny mengatakan bahwa sebagai organisasi,
Muhammadiyah tidak bisa selalu memenuhi keinginan dari para wakif
seratus persen sama. Oleh karena itu Muhammadiyah membagi dua
jenis wakaf, yaitu wakaf khusus dan wakaf umum. untuk wakif yang
meminta secara spesifik benda wakafnya untuk dikelola menjadi
bangunan tertentu disebut sebagai wakaf khusus. Misalnya wakif
mewakafkan tanah dan meminta untuk dibangunkan Rumah Tahfidz
Al-Qur’an. Hal ini yang tidak selalu bisa diakomodir oleh
Muhammadiyah, karena setelah Wakif menghibahkan tanahnya,
Muhammadiyah sendiri tidak selalu memiliki post dana untuk bisa
selalu membangunkan apa yang selalu di minta oleh Wakif. Sedangkan
salah satu peran Nazir adalah melaksanakan pengelolaan benda wakaf
sesuai dengan kehendak Wakif.
53
Melihat kondisi seperti ini, maka Muhammadiyah
mengkategorikan jenis wakaf umum demi menanggulangi
permasalahan ini. Pada wakaf umum, benda wakaf tetap dimanfaatkan
untuk kepentingan dan kemaslahatan umat Islam, namun
pengelolaannya dibicarakan secara bersama-sama. Tanah wakaf yang
tadi tidak bisa langsung di bangunkan Tahfidz Al-Qur’an, disarankan
untuk di jual dan dananya bisa diwakafkan untuk pembangunan sekolah
atau pesantren yang sudah ada. Hal ini merupakan kesepakatan
bersama, Wakif tetap bisa menyumbangkan hartanya di jalan islam, dan
Muhammadiyah sebagai Nazir tetap bisa menjalankan perannya sebagai
pengelola yang amanah. Hal ini didukung oleh pernyataan Rutny:
“Itu tetap namanya mewakafkan. Apakah dalam bentuk wakaf,
sodakoh, maupun infak, sebenarnya yang lebih penting adalah
hati kita sudah diniatkan untuk bisa berkontribusi pada
kepentingan mengembangkan agama” (Rutny, 2019)
d. Bentuk pengawasan
Sebagai organisasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, maka
menjaga amanah dari masyarakat merupakan hal yang sangat prioritas
bagi Muhammadiah. Oleh karena itu, setiap wakaf yang dikelola oleh
Muhammadiyah tidak akan luput dari pengawasan Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, dari tingkat ranting hingga tingkat pusat.
“Karena dibuat dan dibangun dengan mengatasnamakan
Muhammadiyah, maka pengawasan tetap harus dilakukan oleh
Pimpinan Pusat, Jangan sampai nama Muhammadiyah menjadi
tidak benar. Semua harus dilakukan sesuai dengan prinsip-
prinsip perserikatan Muhammadiyah” (Rutny, 2019)
Muhammadiyah sendiri telah membentuk tim bernama Lembaga
Pembina dan Pengawas Keuangan (LPPK), yang memiliki tugas pokok
sebagai berikut:
54
1) Menyusun dan memasyarakatkan sistem pengelolaan adan
Amal Usahanya
2) Membina dan mengawasi pengelolaan keuangan,
persyarikatan, pembantu pimpinan dan amal usahanya.
3) Melakukan kajian tentang sistem keuangan umum sebagai
pertimbangan bagi pimpinan persyarikatan dalam kebijakan
kauangan.
Tim LPPK ini bertugas sebagai auditor internal Muhammadiyah,
dan berperan dalam sistem pengawasan pada pengelolaan dan
pengembangan di seluruh cabang dan ranting Muhammadiyah di
Indonesia. Salah satu kelemahan organisasi Muhammadiyah ini adalah
sistem administrasi dan pelaporannya. Muhammadiyah menganut
sistem amanah dan terpercaya, sehingga selama tidak ada
penyelewengan dana atau kebermanfaatan wakaf, maka dianggap sudah
cukup. Oleh karena itu sering kali laporan dari masing-masing cabang
dan ranting terbiasa dilakukan secara lisan pada rapat-rapat tahunan
yang digelar oleh Muhammadiyah. LPPK juga bertugas setaun dua kali
untuk mengawasi keuangan masing-masing wilayah.
“Gimana yah, dalam setiap pembangunan itu kami tidak
lakukan secara Top Down melainkan secara bottom up. Jadi
ranting, cabang, dan daerah wilayah mereka sendiri yang
membangun. Kami percaya mereka yang membangun dari
kebutuhan dan dari mereka sendiri, sehingga kepercayaan akan
menjadi nilai yang utama” (Rutny, 2019)
B. Manajemen Pengembangan Wakaf Tak Bergerak oleh Muhammadiyah
1. Bentuk Pengembangan tanah wakaf
Selain dikelola menjadi tempat yang kebermanfaatannya untuk
umat dan bergerak di jalan Allah SWT, tanah wakaf juga bisa
dikembangkan untuk menunjang pembangunan utama yang telah
dilakukan. Misalnya saja dalam pembangunan universitas, untuk
menunjangnya menjadi universitas yang semakin baik, pengelola bisa
55
mengembangkan dengan menambahkan tempat parkir sepeda, lapangan
sepak bola, dan sebagainya. Selain itu misalnya ada perkebunan seluas
5.000H yang harus dikelola, untuk memaksimalkan kebermanfaatan
maka dapat ditambahkan membangun pabrik untuk mengelola hasil
perkebunan, bisa juga ditambahkan dengan disedikan perumahan untuk
karyawan, rumah sakit penunjang, dan sebagainya. Dimana semua ini
tidak hanya dijadikan sebagai pelengkap atau penunjang dari
penggunaan utamanya saja namun kebermanfaatannya menjadi lebih
luas.
2. Syarat melakukan pengembangan tanah wakaf
Hal utama yang perlu untuk diperhatikan ketika nazhir ingin
melakukan pengembangan tanah wakaf adalah dengan tidak mengubah
tujuan awal tanah itu dikelola. Jika sedari awal tanah tersebut
diperuntukkan untuk membangun tempat ibadah, maka tidak bisa tiba-
tiba dialih fungsikan menjadi sekolah—dan menghilangkan fungsi
tempat ibadahnya.
Pengembangan yang dilakukan harus bersifat penambah atau
supporting system dari pengelolaan tanah utama. Tujuan dilakukannya
adalah agar kebermanfaatannya dapat menjadi lebih luas, hal ini sangat
baik untuk wakif dari sisi amal jariyah yang diberikan namun juga
sangat baik untuk umat secara umum yang juga dapat menikmati
kebermanfaatan ini.
3. Permasalahan yang timbul ketika proses pengembangan
Pada proses pengembangan terkait dengan jangka waktu benda
wakaf tersebut dikelola oleh Nazir atau dalam hal ini Muhammadiyah.
Kendala yang sering muncul adalah ketika Wakif sudah meninggal
dunia, ahli waris sering kali menuntut kembali benda wakaf yang sudah
diberikan. Hal ini sering terjadi jika pada proses awal pemberian benda
wakaf tidak segera dituangkan dalam akta notaris.
56
“Makanya saya sangat menyarankan untuk sudah clear dan
clean sejak dari awal sekali. Karena kita tidak tahu bagaimana
manusia, kadang niat suka berubah-berubah seiring
berjalannya waktu” (Rutny, 2019)
Selain itu, benda wakaf yang sedang di kelola memerlukan
pengembangan untuk semakin memberikan pelayanan yang berkualitas
bagi umat. Seperti misalnya setelah Universitas di bangun, untuk
meningkatkan prestasi mahasiswanya maka diperlukan adanya
pengembangan fasilitas-fasilitas penunjang. Kendala biaya lagi-lagi
muncul sebagai isu utama dari proses pengembangan benda wakaf ini.
Oleh karena itu kerjasama antar lembaga Muhammadiyah pun perlu
untuk dilakukan. Berdasarkan keterangan sekertaris bidang wakaf
Muhammadiah Bapak Budi, perkembangan organisasi Muhammadiyah
di wilayah pulau Jawa sudah jauh lebih berkembang dan maju
dibandingkan dengan di wilayah lainnya. Sehingga memungkinkan
untuk wilayah yang sudah maju ini membantu organisasi di wilayah
lainnya seperti yang telah dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah
Solo, mereka telah memiliki penghasilan lebih dari ratusan milliar dari
hasil Amal Usaha Muhammadiyah yang telah mereka kembangkan.
Universitas Muhammadiyah Solo telah berhasil memberikan dana
pinjaman untuk pengembangan Universitas Muhammadiyah
Tangerang.
“Kami menyebutnya back to back. Jadi dari kami untuk kami
juga. Semua itu dilakukan tentunya atas sepengetahuan dan
perizinan dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Diteliti dahulu,
apakah Tangerang sanggup untuk membayar kembali. Apa yang
bisa mereka bawa sebagai bukti kesanggupannya. Misalnya
menunjukkan cash flow organisasnya, jumlah mahasiswa yang
sudah ada, dan sebagainya. Setelah itu baru kami membantu
untuk bicarakan dengan pihak bank yang mengelola uang
UMS” (Budi, 2019)
57
“Itu semua yang bisa membuat Muhammadiyah bisa
berkembang dengan baik. Bahkan sampai yang di pelosok-
pelosok daerah” (Rutny, 2019)
4. Bentuk pengawasan dari pusat terhadap pengembangan tanah wakaf
Pengawasan yang dilakukan terhadap pengembangan tanah wakaf
yang ada di bawah naungan Muhammadiyah sama dengan bentuk
pengawasan dalam pengelolaannya, yaitu melalui Lembaga Pembina
dan Pengawas Keuangan (LPPK) Muhammadiyah. Mereka menerima
laporan setahun dua kali dari tingkat ranting, daerah., dan wilayah.
Kegiatan ini dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam proses manajemen
pengelolaan dan pengembangan wakaf di organisasi Muhammadiyah.
C. Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Wakaf Tak Bergerak
Muhammadiyah
Dalam prakteknya dunia perwakafan masyarakat masih berorientasi
pada pemahaman bahwa wakaf merupakan ajaran agama yang bersifat ibadah
saja sehingga masih banyak masyarakat yang mewakafkan hartanya berupa
tanah digunakan untuk sarana ibadah atau tempat ibadah, padahal wakaf
dapat digunakan dalam tatanan sosial artinya wakaf bisa dimanfaatkan untuk
menyejahterahkan umat dan tidak hanya sekedar sebagai sarana individual
saja. Faktanya harta-harta yang diwakafkan dalam hal ini tanah wakaf paling
banyak digunakan untuk dijadikan mesjid atau mushola. Sehingga
keberadaan wakaf ini belum memberikan kontribusi sosial yang lebih luas
karena hanya untuk kepentingan bersifat konsumtif. Pola perkembangan
diatas sangatlah tidak memungkinkan diterapkan lagi disaat zaman yang
sudah berubah serta roda perekonomian yang sudah semakin
memprihaatinkan ini, padahal wakaf sangat potensial sebagai salah satu
instrument Islam untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Penerapan wakaf seperti hal diatas menyebabkan wakaf tidak
berkembang dengan baik bahkan cenderung menjadi beban pengelolaan atau
malah tidak terurus dan bahkan hilang diambil alih oleh orang-orang yang
tidak berkepentingan sehingga pengelolaan wakaf seperti diatas tidak
58
mungkin lagi untuk diterapkan pada masa sekarang maupun masa mendatang.
Hal tersebut adalah akibat dari tidak adanya pengawasan terhadap
pengelolaan wakaf . Wakaf hanya dapat berkembang dengan baik apabila
dikelola secara profesional. Manajemen profesional ini harus dijadikan
semangat dalam pengelolaan harta wakaf dalam rangka mengambil manfaat
yang lebih luas dan lebih nyata untuk kepentingan masyarakat banyak. Oleh
karena itu, untuk mendapatkan pemanfaatan yang profesional sehingga
berdampak pada pengembangan wakaf yang produktif disini peran nazhir
sangat penting.
Dalam hal ini Muhammadiyah sebagai nazhir telah melaksanakan
kewajibannya dengan baik, yaitu telah melakukan pendataan awal yang jelas,
berusaha untuk mengelola dan mengembangkan harta beda wakaf sesuai
dengan tujuan, fungsi, dan peruntukkannya, melakukan pelaksanaan
perwakafan sesuai dengan prosedur resmi dengan melibatkan notaris dalam
pembuatan ikrar wakaf, serta membuat badan pengawas internal dalam proses
pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf dibawah Muhammadiyah.
Meskipun tidak ada keterangan lebih lanjut apakah badan pengawas internal
(LPPK) Muhammadiyah melakukan pelaporan berkala kepada Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dan Badan Wakaf Indonesia.
Selain itu dalam proses pemilihan nazhir juga telah memenuhi persyaratan
utama, yaitu amanah dan telah melalui proses seleksi yang sangat serius di
tataran internal pengurus.
Ketentuan yang menegaskan bahwa organisasi yang ditunjuk wakif
sebagai nazhir, menjadi landasan hukum bagi Muhammadiyah sebagai
organisasi keagamaan untuk bertindak sebagai nazhir. Dalam hal ini yang
dipandang sebagai nazhir adalah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang
dalam pelaksanaannya dapat memberikan kuasa kepada pengurus
Muhammadiyah dimanapun sebagai nazhir, khususnya pengurus dilokasi
harta benda wakaf berada.
59
Muhammadiyah dalam fungsi manajemen pengelolaan dan
pengembangan tanah wakaf.
Muhammadiyah juga telah melaksanakan fungsi manajemen
pengelolaan sebaik mungkin; setelah menerima tanah wakaf dan nazhir
telah ditentukan Muhammadiyah kemudian membuat perencanaan
pengelolaan dan pengembangan dengan sangat baik melalui proses
sidang musyawarah. Dimana hal ini merupakan bentuk keseriusan
Muhammadiyah dalam menindaklanjuti benda wakaf yang harus
dikelola. Selain itu dalam pengorganisasian dan mewujudkan tanah
wakaf yang dipercayakan oleh wakif, Muhammadiyah juga sangat
berhati-hati dalam pemilihan nazhir. Mereka menginginkan orang-orang
yang tepat, yang memiliki pengetahuan serta kemampuan dalam
mengelola dan mengembangkan tanah wakaf tersebut. Hal ini untuk
mencegah kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika tanah wakaf
tidak dikelola oleh orang yang tepat.
Pada tahapan pengawasan, dengan adanya badan internal audit atau
LPPK Muhammadiyah juga merupakan hal yang menambah kredibilitas
Muhammadiyah sebagai salah satu lembaga penerima wakaf. Mereka
memastikan dengan baik bagaimana perkembangan pengelolaan dan
pengembangan tanah wakaf ditingkat ranting atau daerah. Terakhir,
Muhammadiyah yang merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di
Indonesia telah menjalankan fungsi manajemen yang baik dalam tatanan
sistem manajemen pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf. Mereka
tidak hanya melibatkan internal pusat untuk mengatur harta benda wakaf
didaerah tetapi juga memberikan kepercayaan penuh hingga tinggat
ranting untuk bersama-sama bertanggung jawab menjaga amanah wakif.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian yang peneliti lakukan, maka
dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses pengelolaan harta wakaf khususnya tanah, yang dilakukan
oleh organisasi Muhammadiyah dilakukan dari tingkat ranting,
cabang, hingga tingkat daerah. Sedangkan ditingkat pusat hanya
bersifat koordinasi dan pengawasan saja.
2. Calon wakif dapat mendatangi langsung organisasi Muhammadiyah di
daerahnya jika ingin mewakafkan hartanya, dan organisasi langsung
membuat laporan hingga tingkat pusat mengetahui. Sehingga proses
pengelolaan baru bisa dilakukan setelah mendapatkan izin dari tingkat
pusat.
3. Proses perencanaan dalam pengelolaan harta wakaf dapat dilakukan
langsung ditingkat daerah/cabang.
4. Harta wakaf di organisasi Muhammadiyah dibagi menjadi dua; yaitu
wakaf khusus dan wakaf umum. Untuk wakaf khusus merupakan jenis
wakaf yang memang sudah ditentukan langsug oleh calon wakif
sedangkan wakaf umum yaitu calon wakif menyerahkan seluruhnya
harta yang ingin di wakafkan kepada pengelola Muhammadiyah
(nazhir).
5. PP Muhammadiyah memiliki lembaga internal audit sendiri, yang
disebut sebagai Lembaga Pembina dan Pengawas Keuangan (LPPK).
Mereka bertugas sebagai pengawas dan penerima laporan keuangan
dari setiap pengelolaan wakaf di seluruh ranting dan cabang seluruh
Indonesia.
6. Harta wakaf dapat dikembangkan menjadi bentuk lain namun tidak
mengubah tujuan awal dari pengelolaan harta tersebut. Misalnya
awalnya tanah di wakafkan untuk pendidikan, boleh dikembangkan
61
dengan mendirikan sarana olahraga untuk menunjang murid-murid
yang sekolah agar tetap bugar.
7. Masalah yang paling sering timbul dari pengelolaan harta wakaf yaitu
tentang proses sertifikasi di awal oleh wakif, yang kadang belum
sampai selesai ke notaris, sehingga di perjalannnya saat sudah
bertahun-tahun dan pemiliknya meninggal ahli waris suka menuntut
balik.
B. Saran
Berdasarkan beberapa hal yang telah diuraikan maka saran yang dapat
peneliti sampaikan dalam penelitian ini adalah seharusnnya data-data dari
tanah wakaf yang telah di manfaatkan atau telah berkembang bisa terkumpul
di pusat, sehingga mudah dalam hal pencarian data tidak terhenti hanya di
ranting atau daerah saja.
62
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. 2003. Hukum Wakaf Kajian Kontemporer
Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta
Penyelesaian atas Sengketa Wakaf. Jakarta: Dompet Dhuafa Republika.
Ali, Daud.1988. Sistem Ekonomi Islam, Zakat, dan Wakaf. Jakarta: UI Press.
Anshori, Abdul Ghofur. 2005. Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia
Anshari, Abi Yahya Zakariaal & Wahab, Fathul. Juz 1. Semarang: Toha Putra
Baalbaki, Rohi. 1995. Al-Mawrid. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin.
Basyir, Ahmad Azhar. Wakaf, Izarah dan Syirkah.Bandung: PT. Al-Ma’arif,
1987).
Fyzee, Asaf A.A. Pokok-pokok Hukum Islam II, (Tinta Mas, Jakarta, 1996).
Hasan, Yusuf bin. 1990. Al-Dar al-Naqi fi Syarh Alfāzhi al-Kharqi. Jilid 1.
Saudi Arabia: Dār al-Mujtama’
Mandzur, Ibnu. 1954. Lisan al-‘Arab. Kairo: al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa
al-Tarjamah
Praja, Juhaya S. 1997. Perwakafan di Indonesia Sejarah, Pemikiran, Hukum dan
Perkembangannya. Bandung: Yayasan Piara.
Priyono. Pengantar Manajemen. Sidoarjo: Zifatama Publisher, 2007
Ramli, Ibnu Syihabal & Muhtaj, Nihayahal. 1996. Juz IV, Beriut: Daaral Kitabal
Alamiyah.
Rozalinda. 2015. Manajemen Wakaf Produktif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sari, Elsi Kartika. Pengantar hukum zakat dan wakaf. Jakarta:PT Grasindo, 2007
63
Terry, George R., Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009.
Yogyakarta: Pilar Media.
Usman, Rachmadi. 2009. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-undang No 41 tahun 2004 tentang Wakaf
Sumber Lain:
Database internal Majelis Wakaf dan kehartabendaan PP Muhammadiyah,
pimpinan pusat Muhammadiyah Jakarta. 2012.
Data Statistik Wakaf. Dikutip melalui website resmi organisasi:
http://siwak.kemenag.go.id akses pada 12 januari 2019
Sejarah Muhammadiyah. Dikutip melalui website resmi organisasi:
http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-178-det-sejarah-singkat.html.
2019. diakses pada 12 Januari 2019.