Post on 27-Dec-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam suatu negara tentu saja membutuhkan suatu penerimaan pendapatan ke dalam kasnya.
Hal ini untuk kesejahteraan negara itu sendiri. Selama ini yang kita kenal sumber penerimaan negara
diantaranya adalah pajak. Di negara-negara kaum kapitalis pendapatan dibebankan pada rakyatnya,
yang terkadang sering mencekik warganya. Bahkan Negara jika tidak mampu memenuhi
kebutuhannya, maka mereka melakukan pinjaman dari luar negeri. Oleh karena hal tersebut,
manajemen pendapatan pada suatu negara harus dikelola dengan sebaik mungkin demi
keberlangsungan suatu negara dan kesejahteraan rakyatnya.
Pajak merupakan salah satu komponen penting dalam pendapatan negara. Di Indonesia,
pendapatan pajak besarnya sangat signifikan, melebihi dari tujuh puluh persen pendapatan negara
dalam APBN. Penghasilan tersebut digunakan untuk membiayai kepentingan umum mencakup
kepentingan pribadi individu seperti: kesehatan, pendidikan dan kesejahteran . Adanya kepentingan
masyarakat tersebut menimbulkan pungutan pajak sehingga pajak adalah senyawa dengan kepentingan
umum. Pajak mengurangi penghasilan kekayaan individu akan tetapi sebaliknya, perolehan pajak
merupakan penghasilan masyarakat yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui
pembangunan-pembangunan yang pada akhirnya dikembalikan lagi kepada seluruh masyarakat.
Dalam pungutan pajak, terdapat pihak-pihak (orang maupun badan) yang dikenakan pajak atau disebut
sebagai subyek pajak sedangkan segala sesuatu yang akan dikenakan pajak disebut sebagai obyek
pajak. Penentuan subyak dan obyek pajak dilihat dari jenis pajak yang dipungut seperti: pajak
penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan
serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
B. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah antara lain,
1. Mengetahui definisi dan klasifikasi dari pendapatan pajak
2. Memahami cara forecasting yang handal dalam penerimaan perpajakan
3. Mengetahui mengenai kebijakan optimalisasi perpajakan di Indonesia
4. Mengetahui tentang sistem perpajakan
5. Memahami sistem administrasi perpajakan
6. Mengetahui tentang pengendalian kebocoran penerimaan perpajakan
BAB II
ISI
A. Definisi dan Klasifikasi Pendapatan Perpajakan
Menurut P.J.A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum
(undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan
Sedangkan menurut Prof.Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada kas
negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut : "Pajak adalah
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan
surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public
investment"
Berdasarkan UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan,
pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian secara ekonomis (pajak
sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis
(pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang
terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut :
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD
1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dalam undang-undang"
2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan
secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraantor akan melalui jalan
yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka
menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak
memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundag-
undangan.
5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang
diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi
sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi
dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan
Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini
sebagian dikelola oleh Kementerian Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang
dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota .
Pajak Pusat meliputi :
1. Pajak Penghasilan (PPh) diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
yang diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 Tahun 2008.
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama
dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan
usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali dengan UU
No. 42 Tahun 2009.
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di
dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa
adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang
PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%. Yang
dimaksud Dengan Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
peraian, dan ruang udara diatasnya.
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga
dikenakan PPn BM. Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap:
a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya; dan
b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada
waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau pada umumnya barang tersebut
dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
c. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau apabila dikonsumsi dapat
merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
4. Bea Meterai diatur dengan UU No. 13 Tahun 1985.
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris,
serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal
diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.
5. Bea Masuk diatur dengan UU No. 10 Tahun 1995 jo. UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan
Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang
yang memasuki daerah pabean
6. Cukai diatur dengan UU No. 11 Tahun 1995 jo. UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai
Cukai adalah pungutan negara yang dinakan terhadap barang-barang yang mempunyai sifat dan
karakteristik tertentu berdasarkan undang-undang.
7. Bea Keluar diatur dengan UU No. 10 Tahun 1995 jo. UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan
Bea Keluar adalah pungutan negara berdasarkan Undang- Undang Kepabeanan yang dikenakan
terhadap barang ekspor yaitu kulit dan kayu, biji kakao, kelapa sawit, CPO dan turunannya, serta
bijih mineral.
Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota
antara lain meliputi :
Jenis Pajak Provinsi terdiri atas :
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok.
Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
B. FORECASTING (PROYEKSI PENERIMAAN PERPAJAKAN)
Pada bulan Maret, dalam rangka penyusunan pagu indikatif, alur APBN dimulai dari
pembahasan asumsi ekonomi makro yang meliputi pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, suku
bunga Bank Indonesia (3 bulan), harga minyak Indonesia (ICP), dan lifting minyak. Asumsi ekonomi
makro tersebut sebagai dasar penyusunan besaran-besaran APBN, baik pendapatan, belanja negara
maupun pembiayaan anggaran. Penetapan asumsi tersebut dilakukan oleh sebuah Tim Asumsi
Ekonomi Makro yang terdiri dari wakil-wakil Kementerian Keuangan, Bappenas, Bank Indonesia,
BPS, BP Migas, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Berdasarkan asumsi ekonomi makro tersebut, Kementerian Keuangan menghitung besaran
(i) pendapatan negara yang terdiri dari penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak,
(ii) belanja negara yang terdiri dari belanja pemerintah pusat dan belanja ke daerah, dan (iii)
pembiayaan yang dapat dihimpun.
1. KAPASITAS PERPAJAKAN (TAX CAPACITY)
Menurut Howard Chernick pada National Tax Journal Vol 51 no. 3 (September 1998) pp.
531-40 :” fiscal capacity is the maximum amount of revenue a jurisdiction could raise with its existing
tax structure" . Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
244/PMK.07/2011 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah, Kapasitas Fiskal adalah gambaran
kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penerimaan umum Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana pinjaman
lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) untuk
membiayai tugas pemerintahan setelah dikurangi belanja pegawai dan dikaitkan dengan jumlah
penduduk miskin.
Dari dua definisi di atas tampaklah perbedaan yang sangat jauh dimana fiscal capacity
diartikan sebagai jumlah pendapatan maksimum yang secara sah dapat diperoleh dari struktur
perpajakan yang ada. Sedangkan pengertian kapasitas fiskal sebagaimana disebut dalam PMK-244
adalah terkait transfer Dana Alokasi Umum (DAU) dalam sistem penganggaran di daerah. Mengingat
pembahasan makalah ini terkait sistem penganggaran pemerintah pusat, kami ajukan alternatif
pengertian terkait kapasitas perpajakan (tax capacity) menurut George Chun-Yan Kuo dari Harvard
University sebagai berikut : ” government's willingness to tax and its ability to administer and collect
taxes under a particular set of tax laws and regulations in a country".
Untuk menghindari kerancuan penggunaan istilah di luar negeri dan di Indonesia tentang
"kapasitas fiskal", dalam pembahasan ini untuk selanjutnya akan menggunakan istilah kapasitas
perpajakan (tax capacity)
Kapasitas pajak sangatlah bergantung pada basis pajak di negara/daerah. Semakin tinggi
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat, semakin banyak pula kapasitas pajak tercermin
dari Produk Domestik Bruto (PDB) . Kapasitas pajak adalah besarnya tarif yang dikalikan dengan
basis atau jumlah objek (sumber) yang dikenakan pajak. Pengenaan tarif pajak disesuaikan dengan
prinsip keadilan dan daya pikul masyarakat. Sedangkan basis pajak sangat tergantung kepada kegiatan
ekonomi dan peraturan pajak masing-masing negara/daerah.
2. Basis Pajak
Basis pajak adalah objek dan subjek pajak badan usaha atau individu yang didasarkan
pungutannya dengan Undang-undang Perpajakan, baik yang dikeluarkan oleh pusat maupun Undang-
undang Perpajakan Daerah. Mangkoesoebroto (1994) mengemukakan basis pajak adalah wajib pajak
yang berupa orang, atau badan yang disebut dalam Undang-undang. Misalnya pajak penghasilan suatu
perseroan yang menjadi wajib pajak adalah perseroan tersebut. Dari sudut hukum pajak, suatu
perseroan dianggap sebagai suatu individu, sama seperti orang, misalnya wajib pajak untuk pajak
sepeda adalah pemilik sepeda. Pajak atas faktor-faktor produksi dikenakan kepada pemilik faktor
produksi, seperti pemilik tanah, pemilik jasa, dan pemilik modal. Pajak atas produk dikenakan pada
yang memproduksi barang tersebut. Adapun pajak yang dikenakan terhadap penjual adalah pajak
penjual yang dapat dialihkan kepada konsumen. Pajak rumah tangga adalah pajak yang dikenakan atas
kepemilikan/penggunaan barang-barang tahan lama rumah tangga, seperti pajak bumi dan bangunan.
Sedangkan pajak perseroan adalah pajak dikenakan atas laba perusahaan.
Besarnya penerimaan pajak sebagai sumber pembiayaan dalam suatu daerah sangatlah bergantung
pada kemampuan pemerintah mengumpulkannya. Kemampuan tersebut harus didukung pelayanan
aparat fiskus yang baik dan kesadaran masyarakat pajak. Kapasitas pajak di suatu negara/daerah dapat
dirumuskan dalam bentuk sebagai berikut :
Tcj = ts Bj, Dimana :
Tcj = Kapasitas pajak di negara/daerah j
ts = Standar tarif pajak
BBj - Basis pajak di negara/daerah j
3. UPAYA PAJAK (TAX-EFFORT)
Upaya pajak (Tax-Effort) dapat digunakan untuk menganalisis posisi fiskal suatu negara/daerah
yaitu dengan membandingkan penerimaan pajak terhadap kapasitas pajak. Dengan demikian posisi
fiskal adalah sama dengan upaya pengumpulan pajak. Upaya pengumpulan pajak (Tax-Effort) dapat
diperoleh melalui formula berikut :
Tej = Trj/ts Bj = Trj/Tcj
Dimana Tej = Upaya pengumpulan pajak di negara/daerah j
Trj = Penerimaan pajak di negara/daerah j
Nilai Te yang akan diperoleh berkisar antara 0 - 1. Untuk menentukan fiskal di suatu daerah apakah
lemah atau kuat itu tergantung pada standar yang digunakan. Secara sederhana disebutkan, bila Te
mendekati 1, maka posisi fiskal dapat disebut kuat dan bila mendekati 0, posisi fiskal lemah.
Suparmoko (1987) mengemukakan upaya pajak adalah jumlah pajak yang sungguh-sungguh
dikumpulkan oleh kantor pajak dan dibandingkan dengan potensi pajaknya (Tax Potential) yaitu
sejumlah pajak yang seharusnya mampu dikumpulkan dari pajak (Tax Base) dikalikan tarifnya.
Membandingkan rasio antara pajak dan potensi pajar antar daerah disebut sebagai prestasi pajak (Tax
Performance).
Susanti (1994) menyebutkan Tax Effort sebagai kemampuan pemerintah mengumpulkan
dananya melalui pajak.. Dimana Tax-Effort merupakan rasio pajak terhadap basis pajak. Sebagai
proksi (pendekatan) untuk basis pajak digunakan nilai Product Domestic Bruto (PDB). Semakin besar
nilai Tax-Effort (TE), semakin besar pula kemampuan pemerintah dalam menjaring dananya melalui
pajak. Devas (1986) menyatakan bahwa upaya pengumpulan pajak adalah perbandingan penerimaan
pajak dibagi dengan kemampuan bayar pajak. Kemampuan bayar pajak secara keseluruhan dapat
berupa Product Domestic Bruto (PDB).
4. PROYEKSI PENERIMAAN PERPAJAKAN
Penerimaan perpajakan merupakan salah satu pilar penerimaan dalam APBN, hal ini sejalan
dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 8 huruf e.
Amanat tersebut mengimplikasikan bahwa sebagai salah satu unsur pengemban tugas pelaksanaan
dalam pemungutan pendapatan negara, penerimaan perpajakan harus mampu memenuhi kebutuhan
penyelenggaraanpemerintahan negara sesuai dengan kemampuan dalam menghimpun pendapatan
negara.
Mendesaknya tuntutan akan kenaikan pendapatan negara dari perpajakan seiring dengan kebutuhan
belanja negara untuk pembangunan nasional. Permasalahan tersebut mampu dijawab dengan diikuti
kenaikan penerimaan negara dari perpajakan. Namun demikian, meningkatnya pendapatan perpajakan
tersebut tidak diikuti dengan meningkatnya tax ratio (perbandingan antara penerimaan perpajakan
dengan PDB Nominal). Pada era tahun 1990-an, tax ratio masih berada pada kisaran dibawah 10
persen, sedangkan pada era 2000-an tax ratio berkisar antara 11 persen hingga 12 persen.
Dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, tax ratio Indonesia masih relatif lebih rendah.
Sebagai contoh, pada tahun 2004 tax ratio Indonesia hanya sekitar12,2 persen, sementara Malaysia
dan China telah mencapai 16,3 persen dan 15,1 persen. Bahkan Korea mencapai angka yang lebih
tinggi yaitu sebesar 18,9 persen dan Srilangka dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah
mempunyai tax ratio sebesar 15,7 persen. Dengan mencermati kondisi tersebut, Indonesia masih harus
meningkatkantax ratio dengan jalan mengoptimalkan penerimaan perpajakan.
Mekanisme untuk mendapatkan tax ratio yang ideal memang harus didukung strategi
kebijakan perpajakan. Tiga strategi yang dilakukan pemerintah antara lain: (a) reformasi di bidang
administrasi, (b) reformasi di bidang peraturan dan perundangundangan, dan (c) reformasi di bidang
pengawasan dan penggalian potensi. Dampak dari strategi tersebut memang diharapkan
berkesinambungan kedepannya.
Pentingnya peran perpajakan dalam APBN membutuhkan proyeksi penerimaan perpajakan
yang credible agar target akurat dan dapat dicapai. Tepat tidaknya perencanaan besaran penerimaan
perpajakan (target penerimaan perpajakan) akan berpengaruh pada kelancaran pelaksanaan
pembangunan nasional. Meskipun terdapat tujuan untuk meningkatkan penerimaan perpajakan
maupun tax ratio secara signifikan, penetapan target penerimaan perpajakan tidak boleh melebihi
kemampuan dari perekonomian Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, dalam menetapkan target
penerimaan perpajakan harus memperhatikan potensi yang ada serta berbagai faktor perubahan
indikator ekonomi yang sedang terjadi maupun perubahan kebijakan (policy) dan administrasi.
dibangun 5 (model) perpajakan yang mempunyai hubungan keterkaitan. Kelima model tersebut adalah
: 1) Model monitoring penerimaan prpajakan (Model bulanan); 2) Model target penerimaan
perpajakan (Model tahunan); 3) Model dampak kebijakan terhadap penerimaan perpajakan; 4) Model
perhitungan potensi penerimaan perpajakan; dan 5) Model target penerimaan perpajakan per sektor.
Hubungan keterkaitan antara kelima model tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.1
Model Proyeksi Penerimaan Perpajakan
Model monitoring penerimaan perpajakan (model bulanan) mencatat realisasi penerimaan perpajakan
secara berkala setiap bulan untuk memantau perkembangan realisasi penerimaan perpajakan. Realisasi
penerimaan perpajakan tersebut digunakan sebagai dasar untuk menentukan target penerimaan
perpajakan secara bulanan dan sekaligus perkiraan realisasi (outlook) selama satu tahun anggaran.
Hasil dari perkiraan realisasi selama satu tahun tersebut akan digunakan sebagai baseline untuk
menghitung proyeksi penerimaan perpajakan tahun berikutnya, dengan memperhitungkan berbagai
pengaruh dari beberapa indikator ekonomi makro. Pengaruh dari kebijakan perpajakan yang diambil
pemerintah dalam tahun tertentu terhadap penerimaan perpajakan dihitung menggunakan model
dampak kebijakan yang hasilnya dipakai sebagai faktor penambah (potential gain) ataupun faktor
pengurang (potential loss) terhadap perhitungan proyeksi penerimaan perpajakan tahun berikutnya.
Untuk mengetahui apakah perhitungan proyeksi penerimaan pajak sudah akurat maka perlu
diketahui besarnya potensi penerimaan pajak yang sesuai dengan kondisi perekonomian yang
sebenarnya. Dengan membandingkan perhitungan potensi dan proyeksi penerimaan perpajakan akan
diketahui besarnya selisih pajak (tax gap) yang biasa dipakai untuk mengukur tingkat optimalisasi
penerimaan perpajakan. Untuk meminimalisir tax gap tersebut, perlu diupayakan langkah-langkah
yang bersifat administratif yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan perpajakan (extra effort).
Dari penjumlahan perhitungan baseline, potential gain/loss, dan extra effort tersebut akan
menghasilkan suatu proyeksi penerimaan perpajakan yang nantinya akan dipakai untuk menyusun
anggaran (APBN). Dari target tahunan yang telah ditetapkan kemudian dihitung target penerimaan
perpajakan menggunakan model sektoral, untuk menetapkan target penerimaan sesuai dengan sektor-
sektor lapangan usaha.
Data yang digunakan dalam membangun model-model penerimaan perpajakan adalah data
sekunder yang berasal dari internal Departemen Keuangan, yaitu Direktorat Jenderal Perbendaharaan,
Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran dan
Badan Kebijakan Fiskal. Selain itu, pembangunan model-model penerimaan perpajakan juga
memerlukan data yang berasal dari instansi lain seperti Badan Pusat Statistik dan Kementrian Energi
dan Sumber Daya Mineral. Jenis-jenis data yang digunakan antara lain: data penerimaan perpajakan
berdasarkan jenis pajak, data penerimaan perpajakan berdasarkan sektor, data PDB, data indikator
ekonomi makro, data penghasilan rumah tangga di Indonesia dan proporsi upah gaji secara nasional.
B. Kebijakan Optimalisasi penerimaan pendapatan (ekstensifikasi dan instensifikasi)
Ekstensifikasi Perpajakan
Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah Wajib Pajak
terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pengertian
lain dari ekstensifikasi perpajakan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak
untuk memberikan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) kepada Wajib Pajak yang memiliki
penghasilan diatas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak). Kegiatan ekstensifikasi ini bertujuan untuk
menggali potensi pajak yang selama ini belum tersentuh sekaligus merupakan bagian dari modernisasi
administrasi perpajakan.
Upaya yang telah dilakukan untuk proses ekstensifikasi pajak adalah sebagai berikut
(SE-06/PJ.9/2001) :
1. Canvassing, terhadap pengusaha-pengusaha di sentra-sentra ekonomi, seperti mall, plasa.
2. Kerjasama dengan RT/RW/Kelurahan di daerah pemukiman mewah atau masyarakat mampu
supaya kepala keluarga diberi nomor pokok wajib pajak
3. Kerjasama terhadap pihak instansi keimigrasian supaya mewajibkan pemilik paspor untuk
memilki nomor pokok wajib pajak.
4. Mewajibkan pemegang kartu kredit memiliki nomor pokok wajib pajak.
5. Mewajibkan pembeli mobil mewah dan rumah mewah memilki nomor pokok wajib pajak
6. Mewajibkan orang pribadi yang memiliki penghsilan diatas PTKP untuk memiliki NPWP
Sensus Pajak Nasional
Menyadari masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, maka pemerintah
melaksanakan kegiatan Sensus Pajak Nasional. Dengan kegiatan ini diharapkan semua orang atau
badan usaha yang belum melaksanakan kewajiban membayar pajak, dapat melaksanakannya sesuai
ketentuan perpajakan.
Sensus Pajak Nasional adalah kegiatan pengumpulan data mengenai kewajiban perpajakan dalam
rangka memperluas basis pajak dengan mendatangi subjek pajak (orang pribadi atau badan) di seluruh
wilayah Indonesia yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Sensus Pajak Nasional dilaksanakan
dengan tujuan untuk :
1. Perluasan basis pajak
2. Peningkatan penerimaan pajak
3. Peningkatan jumlah penerimaan SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan PPh (Pajak
Penghasilan)
4. Pemutakhiran data Wajib Pajak
Dalam Sensus Pajak Nasional, petugas Ditjen Pajak akan melakukan :
1. Pendataan kepemilikan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak);
2. Konsultasi perpajakan;
3. Sosialisasi hak dan kewajiban Wajib Pajak; dan
4. Pengawasan kepatuhan kewajiban Wajib Pajak.
Dasar hukum pelaksanaan Sensus Pajak Nasional adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentangPajak Bumidan Bangunan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994/li>
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK.03/2011 tanggal 12 September 2011 tentang
Sensus Pajak Nasional.
Berikut ini manfaat yang diharapkan dari penyelenggaraan Sensus Pajak Nasional :
1. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pembiayaan pembangunan nasional
2. Mewujudkan keadilan bagi Wajib Pajak dalam kewajiban perpajakan
3. Mengurangi ketergantungan pembiayaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dari
pinjaman/utang
4. Mewujudkan pembangunan nasional yang lebih baik dengan kemandirian bangsa
5. Meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia
Sasaran Sensus Pajak Nasional adalah bagi mereka yang :
1. Belum ber-NPWP, diberikan NPWP
2. Belum bayar pajak, agar membayar pajak
3. Belum menyampaikan SPT, agar menyampaikan SPT
4. Memiliki utang pajak, agar melunasinya
5. Belum optimal membayar pajak, agar membayar pajak sesuai dengan ketentuan
Intensifikasi
Intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek serta
subjek pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan
ekstensifikasi Wajib Pajak
Tujuan dari intensifikasi pajak adalah mengintensifkan semua usahanya dalam peningkatan
penerimaan pajak dari sisi ektensifikasi pajak pemerintah melakukan perubahan ketentuan peraturan
untuk memperluas cakupan subyek dan objek pajak.
Peraturan yang mendukung proses intensifikasi perpajakan di Indonesia sudah banyak dikeluarkan,
antara lain:
1. Surat edaran direktur jenderal pajak nomor : SE - 29/PJ/2011 tentang rencana dan strategi
pemeriksaan tahun 2011
2. Surat edaran direktur jenderal pajak nomor : SE - 87/PJ/2010 tentang penggalian potensi dan
pengawasan kepatuhan pembayaran pajak wajib pajak bendahara
3. Surat edaran direktur jenderal pajak nomor : SE - 01/PJ/2012 tentang penyempurnaan aplikasi
approweb sebagai sarana pembuatan dan pemutakhiran profil wajib pajak
4. Surat edaran direktur jenderal pajak nomor : SE - 77/PJ/2011 tentang program feeding
5. Peraturan menteri keuangan republik indonesia nomor : 149/PMK.03/2011 tentang sensus
pajak nasional
C. Sistem perpajakan (self assessment dan official assessment)
Sebagai sumber penerimaan Negara yang terbesar untuk menutupi seluruh pengeluaran belanja
dan pembiayaan, Pajak haruslah didukung oleh sistem yang baik. Dalam pemungutan pajak
diberlakukan suatu sistem yang mengatur tata cara pemungutan dan penghitungan pajak, tata cara
tersebut disebut sebagai suatu sistem perpajakan. Seiring dengan perkembangan jaman, sistem
perpajakan mengalami perubahan dari masa ke masa. Dahulu dimana hanya dikenal sistem
pembayaran pajak manual, yaitu dimana para petugas pajak mendatangi wajib pajak untuk menagih
pajak bagi wajib pajak. Namun seiring dengan berjalannya waktu, dikembangkan pula model-model
sistem pemungutan pajak yang lebih efektif, serta efisien dalam hal pemenuhan asas-asas
perpajakannya. Secara umum, ada empat cara sistem pemungutan pajak yang berlaku, yaitu :
- Official Assessment System
Dengan sistem ini, fiskus berperan aktif dalam menghitung dan menetapkan besaran pajak
yang terhutang. Secara umum, sistem ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak terutang ada pada fiskus,
Wajib pajak bersifat pasif,
Utang pajak timbul setelah ditetapkan/terbitnya surat ketetapan oleh fiskus
Menurut Gunadi (1997 : 1), di dalam Official Assessment terdapat dua hal penting, yaitu:
1. Tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan
sebagaimana tercermin dalam sistem penetapan pajak yang sepenuhnya menjadi
wewenang administrasi perpajakan,
2. Pelaksanaan kewajiban perpajakan dalam banyak hal menjadi sangat tergantung pada
pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan. Hal ini
menyebabkan wajib pajak kurang mendapatkan pembinaan dan bimbingan terhadap
kewajiban perpajakannya, serta kurang diikutsertakan dalam memikul beban negara
untuk mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional.
- Self Assessment System (Full)
Yakni Sistem perpajakan dimana wajib pajak menghitung, menetapkan, dan menyetor
sendiri, serta kemudian melaporkan jumlah pajak terutangnya. Ciri-ciri dari sistem ini antara
lain :
- Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.
- Wajib pajak bersifat aktif, karena melakukan sendiri kegiatan menghitung, menyetor dan
melaporkan pajak terutang.
- Fiskus hanya berperan sebagai pengawas (controller).
Sistem ini memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menetapkan hutang
pajaknya. Dengan demikian, wajib pajak juga harus memahami peraturan dan perundang-
undangan pajak yang berlaku.
- Semi Self Assessment System
Sistem pemungutan pajak cara ini memberikan wewenang kepada fiskus dan juga wajib pajak
untuk menentukan besarnya pajak terutang. Sistem ini merupakan sistem campuran antara
Official Assessment System dengan Self Assessment System. Dimana untuk pajak tertentu,
fiskus bertindak aktif dan untuk pajak lainnya wajib pajak yang bertindak aktif.
- Witholding System
Sistem perpajakan dimana pihak ketiga (yang berhubungan dekat dengan wajib pajak),
berperan sebagai pihak penghitung, penetap, dan penyetor, serta kemudian melaporkan pajak
yang sudah dipotong/dipungut tersebut. Khusus bagi negara berkembang sistem ini amatlah
penting. Administrator akan menjadi lebih baik dalam penegakan hukum pajak, dan juga
merupakan solusi bagi pengumpulan pajak yang lebih tertib.
Menurut Leon Yudkin dalam buku a Legal Structure for Effective Income of Tax
Administration, yang dimaksud dengan withholding tax atau pajak potong/pungut adalah :
“A withholding tax is not an income tax, but a means of collecting that tax in as much as
whatever is collected is applied toward the payment of the total income tax liabilities. By
dominating the withheld amount as a tax, the Government can enforce the withholding
liabilities upon the person who under the tax laws is obliged to withhold. Essentially, the
withholding tax requires a payor to withhold”.
Dari kutipan tersebut dapat diartikan bahwa withholding tax (pajak dipotong/dipungut)
bukanlah suatu jenis pajak penghasilan, melainkan sebuah cara atau teknik pemungutan pajak
yang pelaksanaannya kemudian dikalkulasikan dalam pembayaran total pajak terutang.
Dengan mendominasikan pajak potong/pungut sebagai pelengkap jumlah pajak terutang,
pemerintah mampu memaksakan pemungutan/pemotongan pajak tersebut lewat siapapun
yang atas dasar hukum diberikan kewenangan dalam memotong/memungut pajak, sehingga
dibutuhkan dalam pelaksanaannya pihak ketiga yang bertindak sebagai pihak
pemotong/pemungut pajak tersebut.
Berdasarkan sejarah, di Indonesia ada beberapa sistem pemungutan pajak yang pernah
diterapkan, yaitu:
Official Assessment System, dilaksanakan sampai pada tahun 1967,
Semi Self Assessment System, dan witholding dilaksanakan pada periode 1968 – 1983,
Self Assessment System (Full), dilaksanakan secara efektif mulai tahun 1984 atas dasar
undang-undang Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan (KUP) tahhun 1983.
A. Penerapan Official Assessment System
Dengan menggunakan sistem ini, fiskus berhak menetapkan besarnya hutang pajak orang pribadi
maupun badan dengan mengeluarkan surat ketetapan pajak yang merupakan bukti timbulnya hutang
pajak yang berisi perhitungan yang dibuat oleh fiskus. Wajib pajak hanya bersifat pasif dan menunggu
saja ketetapan dari fiskus mengenai hutang pajaknya. Keadaan ini sering dimanfaatkan oleh fiskus
untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Seringkali terjadi tawar-menawar dan negosiasi
antara fiskus dan wajib pajak sebelum surat ketetapan pajak diterbitkan. Dengan kata lain, dapat
disimpulkan bahwa kelemahan sistem ini adalah:
- Pelaksanaan kewajiban perpajakan sangat tergantung pada aparat perpajakan, sehingga
menimbulkan kecenderungan masyarakat sebagai wajib pajak kurang sadar dan bertanggung
jawab dalam memikul beban negara yang pada hakikatnya adalah untuk kepentingannya
sendiri dalam bermasyarakat, bernegara, dan berpemerintahan,
- Kelemahan di atas didukung pula dengan permasalahan dan produk hukum dari peraturan dan
perundang-undangan perpajakan yang lama, yang memuat terlalu banyak peraturan dengan
penetapan bermacam-macam tarif yang cenderung tinggi dan sistem pemungutannya yang
membingungkan sehingga mengakibatkan perlawanan pajak dengan cara menghindar dari
kewajiban perpajakan,
- Ragam dan jenis pajak dalam sistem perpajakan yang lama terlalu banyak,
- Sistem pemungutan pajak yang berbelit-belit.
B. Penerapan Semi Self Assessment System dan Witholding System
Mekanisme pelaksanaan sistem Semi Self Assessment ini berdasarkan suatu anggapan bahwa
wajib pajak pada akhir tahun menaksir sendiri besarnya utang pajak yang harus dibayar pada akhir
tahun pajak dan selanjutnya besarnya pajak terutang yang sesungguhnya harus dibayar ditetapkan oleh
fiskus. Sistem ini diterapkan bersama dengan sistem Witholding dimana besarnya angsuran pajak
ditentukan oleh wajib pajak dan oleh pihak ketiga, sedangkan besarnya pajak terutang akan ditetapkan
kemudian oleh fiskus. Penerapan sistem ini sudah jauh lebih baik daripada sistem sebelumnya,karena
wajib pajak ikut berperan aktif dalam menghitung dan menyetorkan sendiri pajak terhutangnya serta
pihak ketiga menghitung dan menyetor pajak yang dipotong/dipungutnya. Namun masih saja
ditemukan penyelewengan oleh oknum fiskus seperti pembayaran pajak dengan dasar kompromi
dimana fiskus sering menawarkan jasa perhitungan pembayaran pajak yang dimanipulasi dengan
diberi imbalan oleh wajib pajak.
C. Penerapan Full Self Assessment System
Sistem perpajakan inilah yang berlaku saat ini di Indonesia. Sistem ini memberikan kepercayaan
sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk aktif menghitung,menyetor, dan melaporkan pajaknya tanpa
campur tangan dari fiskus. Sehingga dapat meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam
penerimaan negara berupa pajak. Konsekuensi dari sistem ini adalah masyarakat harus benar-benar
mengetahui tata cara perhitungan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelunasan
pajaknya beserta sanksi-sanksinya. Untuk mengetahui peraturan dan perundang-undangan mengenai
ketetapan perpajakan, masyarakat harus rajin membacanya dan berkonsultasi sampai mereka benar-
benar mengerti. Disinilah peran fiskus diperlukan untuk membimbing dan mengawasi wajib pajak.
Sistem ini mempunyai beberapa keunggulan yaitu dapat meningkatkan produktifitas dan murah.
Pemerintah tidak lagi dibebankan kewajiban administrasi menghitung jumlah pajak terutang Wajib
Pajak dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk memberitahukan (sekaligus memerintahkan
pembayaran) jumlah tersebut kepada Wajib Pajak, sehingga waktu, tenaga dan biaya sehubungan
dengan hal tersebut dapat dihemat atau dialihkan untuk melakukan aktivitas parpajakan atau
pemerintahan lainnya. Selain itu sistem Self Assessment akan mendorong Wajib Pajak untuk
memahami dengan baik atas sistem perpajakan yang berlaku terhadapnya. Namun sistem ini masih
memiliki celah kelemahan, yaitu wajib pajak kesulitan dalam memperhitungkan pajaknya sendiri
ataupun bisa menghindari pajak dengan cara menyembunyikan penghasilannya, melaporkan pajak
dengan tidak benar, dan lain sebagainya, dalam keterbatasan fiskus mengakses data wajib pajak.
Sehingga sistem ini harus disertai pengawasan yang ketat dan dilakukan pemeriksaan apabila
diperlukan.
Dalam rangka pengawasan terhadap kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan
berdasarkan sistem Self Assessment, Dirjen Pajak (fiskus) melakukan dua fungsi utama :
1. Fungsi pemeriksaan (audit function) yang ditujukan untuk memantau dan mengawasi
kepatuhan Wajib Pajak agar melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku, dan
2. Fungsi pemungutan atau penagihan (colection function) yang ditujukan untuk meneliti dan
mencatat pembayaran pajak, meneliti bahwa semua pelaporan Wajib Pajak telah diikuti dengan
pelunasan pajak yang terutang, baik sebagian maupun keseluruhan sesuai peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
Dengan fungsi ini, diharapkan penerapan sistem self Assessment dapat berjalan dengan baik
sehingga penerimaan negara dapat optimal.
Sistem Perpajakan apa yang diterapkan di Indonesia saat ini?
Pernyataan bahwa Indonesia menganut sistem perpajakan Self Assessment didasarkan atas UU no.28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan khususnya pasal 12 ayat 1 dan 2 :
1. “Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya
surat ketetapan pajak.”
2. “Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib
Pajak adalah jumlah pajak yang terutang dengan ketentuan peratura perundang-undangan
perpajakan.”
Tetapi, pada pasal 12 ayat 3 menegaskan bahwa prinsip Official Assessment belum sepenuhnya
ditinggalkan yang berbunyi sebagai berikut:
“ Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan
jumlah pajak yang terutang.”
Jadi sesuai ketentuan ini, bila Direktur Jenderal Pajak mendapati ketidakbenaran dalam surat
pemberitahuan, maka akan dilakukan penetapan besarnya pajak terutang dengan prinsip Official
Assessment. Selain itu, untuk pajak tertentu, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan, besarnya pajak
terutang masih ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sendiri.
Bagaimana dengan Witholding System? Sistem perpajakan Indonesia ternyata menganut Witholding
System untuk beberapa pajak tertentu, yaitu dimana wajib pajak menghitung, memotong/memungut,
menyetor, mengadministrasikan dan melaporkan pajak pihak lain yang dipotong/dipungut. Misalnya
seperti PPh pasal 4(2) final, PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh pasal 26.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sistem perpajakan di Indonesia adalah
mengkombinasikan ketiga sistem namun lebih mengarah kepada sistem Self Assessment. Dengan tetap
pada tujuan utama, yaitu penerimaan negara melalui penerimaan pajak dapat optimal.
D. Administrasi perpajakan
1. Administrasi
Administrasi menurut pendapat A. Dunsire yang telah dikutip Yeremias T.
Keban (2006:71) yaitu bahwa:
”Administrasi diartikan sebagai arahan, pemerintahan, kegiatan, implementasi, mengarahkan,
penciptaan prinsip-prinsip implementasi kebijakan, kegiatan melakukan analisis, menyeimbangkan
dan mempresentasikan keputusan, pertimbangan-pertimbangan kebijakan,
sebagai pekerjaan individual dan kelompok dalam menghasilkan barang dan jasa publik, dan sebagai
arena bidang kerja akademik dan teoritis”.
Administrasi merupakan suatu proses dinamis dan berkelanjutan yang digerakkan dalam
rangka mencapai tujuan dengan cara memanfaatkan orang dan material melalui koordinasi dan kerja
sama. Definisi tersebut di atas menunjukkan beberapa batasan istilah administrasi bukan hanya sebatas
kegiatan ketatausahaan yang berkaitan dengan pekerjaan mengatur berkas, membuat laporan
administrative, dan sebagainya.
2. Administrasi Pajak
Administrasi Pajak dalam arti luas dapat dilihat sebagai fungsi, sistem, lembaga dan
manajemen publik. Sementara administrasi pajak dalam arti sempit adalah penatausahaan dan
pelayanan terhadap kewajiban-kewajiban dan hak-hak wajib pajak, baik penatausahaan dan pelayanan
tersebut dilakukan di kantor fiskus maupun di kantor wajib pajak.
Menurut Ensiklopedi perpajakan yang ditulis oleh Sophar Lumbantoruan
(2005:19) Administrasi Perpajakan yaitu:
“Administrasi perpajakan (Tax Administration) ialah cara-cara atau prosedur pengenaan dan
pemungutan pajak”.
Mengenai peran administrasi perpajakan, Liberti Pandiangan (2007:33)
mengemukakan bahwa :
“Administrasi perpajakan diupayakan untuk merealisasikan peraturan perpajakan, dan penerimaan
negara sebagaimana amanat APBN”.
Menurut De Jantscher (2005:20) seperti yang dikutip Gunadi
“Menekan peran penting administrasi perpajakan dengan menuju pada kondisi terkini, dan
pengalaman di berbagai Negara berkembang, kebijakan perpajakan yang dianggap baik (adil dan
efisien) dapat saja kurang sukses menghasilkan penerimaan atau mencapai sasaran lainnya karena
administrasi perpajakan mampu melaksanakannya”.
Menurut Carlos A. Silvani .(2006:72) menyebutkan administrasi pajak dikatakan
efektif bila mampu mengatasi masalah-masalah:
1) Wajib Pajak yang tidak terdaftar (unregistered taxpayers).
Dengan Aministrasi pajak yang efektif akan mampu mendeteksi dan menindak
dengan menerapkan sanksi tegas bagi masyarakat yang telah memenuhi ketentuan menjadi
Wajib Pajak tetapi belum terdaftar. Penambahan jumlah Wajib Pajak secara signifikan akan
menigkatkan jumlah penerimaan pajak.
2) Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).
Administrasi perpajakan efektif akakn dapat mengetahui penyebab Wajib Pajak tidak
menyampaikan SPT melalui pemeriksaan pajak.
3) Penyelundup pajak (tax evaders)
Penyelundup pajak (tax evaders) yaitu Wajib Pajak yang melaporkan pajak lebih kecil
dari yang seharusnya menurut ketentuan perundang-undangan akan lebih terdeteksi dengan
dukungan adanya bank data tentang Wajib Pajak dan seluruh aktivitas usahanya sangat
diperlukan.
4) Penunggak pajak (delinquent tax pavers).
Upaya pencairan tunggakan pajak dilakukan melalui pelaksanaan tindakan penagihan
secara intensif dalam set administrasi pajak yang baik akan lebih efektif melaksanakan upaya
tersebut
3. Reformasi Administrasi Pajak Di Direktorat Jenderal Pajak (Djp)
Seejak tahun 2002, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah meluncurkan program perubahan
atau reformasi administrasi perpajakan yang secara singkat biasa disebut Modernisasi. Adapun jiwa
dari program modernisasi ini adalah pelaksanaan good governance, yaitu penerapan sistem
administrasi perpajakan yang transparan dan akuntabel, dengan memanfaatkan sistem informasi
teknologi yang handal dan terkini. Strategi yang ditempuh adalah pemberian pelayanan prima
sekaligus pengawasan intensif kepada para wajib pajak. Jika program modernisasi ini ditelaah secara
mendalam, termasuk perubahan-perubahan yang telah, sedang, dan akan dilakukan, maka dapat dilihat
bahwa konsep modernisasi ini merupakan suatu terobosan yang akan membawa perubahan yang
cukup mendasar dan revolusioner.
Untuk mewujudkan itu semua, maka program reformasi adminsitrasi perpajakan perlu
dirancang dan dilaksanakan secara menyeluruh dan komprehensif. Perubahan-perubahan yang
dilakukan meliputi bidang-bidang berikut:
Struktur organisasi
Business process dan teknologi informasi dan komunikasi
Manajemen sumber daya manusia
Pelaksanaan good governance
1) Struktur Organisasi
Untuk melaksanakan perubahan secara lebih efektif dan efisien, sekaligus mencapai tujuan
organisasi yang diinginkan, penyesuaian struktur organisasi DJP merupakan suatu langkah yang
harus dilakukan dan sifatnya cukup strategis. Lebih jauh lagi, struktur organisasi harus juga diberi
fleksibilitas yang cukup untuk dapat selalu menyesuaikan dengan lingkungan eksternal yang
sangat dinamis, termasuk perkembangan dunia bisnis dan teknologi.
Untuk mengimplementasikan konsep administrasi perpajakan modern yang berorientasi
pada pelayanan dan pengawasan, maka struktur organisasi DJP perlu diubah, baik di level kantor
pusat sebagai pembuat kebijakan maupun di level kantor operasional sebagai pelaksana
implementasi kebijakan. Sebagai langkah pertama, untuk memudahkan Wajib Pajak, ke tiga jenis
kantor pajak yang ada, yaitu Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan (KPPBB), serta Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa), dilebur menjadi
Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Dengan demikian Wajib Pajak cukup datang ke satu kantor saja
untuk menyelesaikan seluruh masalah perpajakannya. Struktur berbasis fungsi diterapkan pada
KPP dengan system administrasi modern untuk dapat merealisasikan debirokratisasi pelayanan
sekaligus melaksanakan pengawasan terhadap Wajib Pajak secara lebih sistematis berdasarkan
analisis resiko. Unit vertikal DJP dibedakan berdasarkan segmentasi Wajib Pajak, yaitu KPP
Wajib Pajak Besar (LTO - Large Taxpayers Office), KPP Madya (MTO - Medium Taxpayers
Office), dan KPP Pratama (STO - Small Taxpayers Office). Dengan pembagian seperti ini,
diharapkan strategi dan pendekatan terhadap wajib pajakpun dapat disesuaikan dengan
karakteristik Wajib Pajak yang ditangani, sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih optimal.
Khusus di kantor operasional, terdapat posisi baru yang disebut Account Representative, yang
mempunyai tugas antara lain memberikan bantuan konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak,
memberitahukan peraturan perpajakan yang baru, dan mengawasi kepatuhan wajib pajak. Untuk
lebih memberikan rasa keadilan bagi Wajib Pajak, seluruh penanganan keberatan dilakukan oleh
Kantor Wilayah yang merupakan unit vertikal di atas KPP yang menerbitkan surat ketetapan pajak
sebagai hasil dari pemeriksaan pajak.
Struktur Kantor Pusat DJP (KP DJP) ikut disesuaikan berdasarkan fungsi agar sesuai dengan
unit vertikal di bawahnya. Ke depannya KP DJP dirancang sebagai Pusat Analisis dan Perumusan
Kebijakan (Center of Policy Making and Analysis) atau hanya menjalankan tugas dan pekerjaan
yang sifatnya non operasional. Untuk mengantisipasi perkembangan dunia bisnis yang begitu
cepat, maka dibentuk direktorat transformasi yang bertugas untuk selalu melakukan pemikiran dan
perbaikan di bidang business process, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, serta
penyempurnaan organisasi dan sumber daya manusia. Untuk itu struktur KP DJP dibagi menjadi
dua bagian besar, yaitu direktorat yang menangani day-to-day operation (1 sekretariat + 9
direktorat), dan direktorat yang menangani pengembangan/transformasi (3 direktorat). Untuk
memperkuat beberapa fungsi yang dianggap penting, maka dibentuk beberapa direktorat baru
untuk menangani intelijen dan penyidikan perpajakan, ekstensifikasi perpajakan, dan hubungan
masyarakat (public relations), serta beberapa subdirektorat baru yang menangani penelitian
perpajakan, kepatuhan internal, dan transfer pricing.
Mengingat besarnya skala perubahan yang akan dilakukan dalam program ini dan adanya
keterbatasan resources yang dimiliki, termasuk di antaranya keuangan, sumber daya manusia
(SDM), dan infrastuktur, maka implementasi program modernisasi pada kantor operasional pajak
harus dilakukan secara bertahap. Sebagai tahap pertama, dibentuk Kantor Wilayah (Kanwil) dan 2
KPP WP Besar pada bulan Juli 2002 untuk mengadministrasikan 300 Wajib Pajak Badan terbesar
di seluruh Indonesia sebagai pilot project. Karena program modernisasi yang diterapkan pada KPP
WP Besar dianggap cukup berhasil, maka konsep yang kurang lebih sama dicoba untuk diterapkan
pada KPP lain secara bertahap, di mana sampai dengan akhir 2007, 22 Kanwil dan 202 KPP (3
KPP WP Besar, 28 KPP Madya, dan 171 KPP Pratama) telah berhasil dimodernisasi. Pada akhir
2006, struktur organisasi KP DJP disempurnakan bersamaan dengan penerapan sistem
administrasi modern. Pada tahun 2008, seluruh kantor di luar Jawa dan Bali akan dimodernisasi
dengan dibentuknya 128 KPP Pratama untuk menggantikan seluruh kantor pajak yang ada di
daerah tersebut.
2) Business Process dan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Kunci perbaikan birokrasi yang berbeli-belit adalah perbaikan business process, yang
mencakup metode, sistem, dan prosedur kerja. Untuk itu, perbaikan business process merupakan
pilar penting program modernisasi DJP, yang diarahkan pada penerapan full automation dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, terutama untuk pekerjaan yang sifatnya
klerikal. Diharapkan dengan full automation, akan tercipta suatu business process yang efisien dan
efektif karena administrasi menjadi cepat, mudah, akurat, dan paperless, sehingga dapat
meningkatkan pelayanan terhadap Wajib Pajak, baik dari segi kualitas maupun waktu. Business
process dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi kontak langsung pegawai DJP
dengan Wajib Pajak untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya KKN. Di samping itu, fungsi
pengawasan internal akan lebih efektif dengan adanya built-in control system, karena siapapun
dapat mengawasi bergulirnya proses administrasi melalui sistem yang ada.
Langkah awal perbaikan business process adalah penulisan dan dokumentasi Standard
Operating Procedures (SOP) untuk setiap kegiatan di seluruh unit DJP. Sampai dengan akhir
tahun 2007, sekitar 1900 SOP di lingkungan DJP telah berhasil diidentifikasikan, ditulis, dan
dijadikan acuan pelaksanaan tugas dan pekerjaan bagi para pegawai. Selain penulisan SOP,
perbaikan business process dilakukan antara lain dengan penerapan e-system dengan dibukanya
fasilitas e-filing (pengiriman SPT secara online melalui internet), e-SPT (penyerahan SPT dalam
media digital), e-payment (fasilitas pembayaran online untuk PBB), dan e-registration
(pendaftaran NPWP secara online melalui internet). Semua fasilitas tersebut diciptakan guna
memudahkan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Untuk sistem
administrasi internal saat ini terus dilakukan pengembangan dan penyempurnaan Sistem Informasi
DJP (SIDJP). Salah satu fitur penting sistem tersebut adalah case management dan workflow
system yang digunakan untuk administrasi persuratan, proses pelayanan, serta pengadministrasian
account Wajib Pajak. Sistem informasi manajemen internal seperti Sistem Kepegawaian, Sistem
Informasi Keuangan dan Akuntansi, Sistem Pelaporan, dan Key Performance Indicator (KPI) juga
terus dikembangkan.
Untuk kegiatan law enforcement, dikembangkan program pemeriksaan berbasis analisis
resiko (risk analysis), sehingga sumber daya yang ada dapat secara efektif melakukan pemeriksaan
berdasarkan skala prioritas dengan membuat segmentasi resiko yang dihadapi. Untuk menerapkan
keadilan bagi seluruh Wajib Pajak dan besarnya potensi yang dapat digali, maka DJP meluncurkan
program penggalian potensi Wajib Pajak non-filer, yaitu Wajib Pajak yang berhenti mengirimkan
SPT. Masih dalam dalam rangka law enforcement, DJP juga mengembangkan sistem yang dapat
menghimpun berbagai data dari pihak ketiga yang terkait dengan tugas DJP dalam menghimpun
penerimaan negara, yang dinamakan Third Party Data Project. Di samping itu, guna menjadikan
fungsi penagihan lebih efektif dan efisien, saat ini juga tengah dikembangkan dan dilaksanakan
program Debt Management Project.
3) Manajemen Sumber Daya Manusia
Departemen Keuangan secara keseluruhan telah meluncurkan program Reformasi
Birokrasi sejak akhir tahun 2006. Fokus program reformasi ini adalah perbaikan sistem dan
manajemen SDM, dan direncanakan perubahan yang dilakukan sifatnya lebih menyeluruh. Hal ini
perlu dan mendesak untuk dilakukan, karena disadari bahwa elemen yang terpenting dari suatu
sistem organisasi adalah manusianya. Secanggih apapun struktur, sistem, teknologi informasi,
metode dan alur kerja suatu organisasi, semua itu tidak akan dapat berjalan dengan optimal tanpa
didukung SDM yang capable dan berintegritas. Harus disadari bahwa yang perlu dan harus
diperbaiki sebenarnya adalah sistem dan manajemen SDM, bukan semata-mata melakukan
rasionalisasi pegawai, karena sistem yang baik dan terbuka dipercaya akan bisa menghasilkan
SDM yang berkualitas. Diharapkan ke depannya DJP dengan system administrasi perpajakan
modern akan dapat didukung oleh sistem SDM yang berbasis kompetensi dan kinerja.
Sebelum melakukan langkah perbaikan di bidang SDM, DJP melakukan pemetaan
kompetensi (Competency Mapping) untuk seluruh 30.000 pegawai DJP guna mengetahui sebaran
kuantitas dan kualitas kompetensi pegawai. Meskipun program mapping ini masih terbatas
mengidentifikasikan ‘soft’ competency saja, tetapi informasi yang didapat cukup membantu DJP
dalam merumuskan kebijakan kepegawaian yang lebih fair. Kemudian seluruh jabatan harus
dievaluasi dan dianalisis untuk selanjutnya ditentukan job grade dari masing-masing jabatan
tersebut. Selanjutnya beban kerja dari masing-masing jabatan tersebutpun dianalisis yang
kemudian dikaitkan juga dengan pengembangan sistem pengukuran kinerja masing-masing
pegawai. Sebagai catatan, pembuatan dan dokumentasi SOP untuk seluruh proses pekerjaan dapat
dimanfaatkan juga sebagai standar penilaian kinerja. Secara bersamaan dilakukan penilaian
terhadap seluruh pegawai secara lebih obyektif dan konsisten sekaligus standar kompetensi
jabatannya melalui proyek assessment center. Selisih (gap) antara hasil penilaian pegawai dengan
standar kompetensi jabatan yang didudukinya dijadikan dasar perancangan program capacity
building (termasuk pendidikan dan pelatihan) yang lebih fokus dan terarah. Saat ini, DJP sedang
mengembangkan berbagai program pelatihan melalui metode Adult Learning Principles.
Semua itu nantinya akan dimanfaatkan untuk membuat sistem jenjang karir, khususnya
sistem mutasi dan promosi, serta sistem remunerasi yang lebih jelas, adil, dan akuntabel. Dengan
sistem dan manajemen SDM yang lebih baik dan terbuka akan dapat menghasilkan SDM yang
juga lebih baik, khususnya dalam hal produktivitas dan profesionalisme. Dapat dilihat bahwa
perbaikan remunerasi hanyalah salah satu bagian akhir dari program reformasi birokrasi yang
sebelumnya didahului dengan perbaikan di berbagai bidang yang dapat meningkatkan efektivitas
dan akuntabilitas sistem manajemen sumber daya manusia.
Mengingat strategis dan besarnya skala perbaikan sistem dan manajemen SDM, maka dirasa
perlu untuk membentuk suatu unit khusus dengan level eselon III di KP DJP untuk menangani
pengembangan sistem manajemen SDM, pengembangan kapasitas serta pengukuran kinerja, di
samping Bagian Kepegawaian yang memang mempunyai tugas melakukan pembuatan kebijakan
dan implementasi di bidang kepegawaian. Diharapkan, dengan makin transparan dan fairnya
sistem mutasi, promosi, dan remunerasi, DJP dapat menerapkan kebijakan “right man in the right
place”, di mana seorang pegawai dapat menempati suatu jabatan yang tepat sesuai dengan
keahliannya, dan sebaliknya suatu jabatan diisi oleh pegawai yang tepat sesuai dengan standar
kompetensinya.
4) Pelaksanaan Good Governance
Elemen terakhir adalah pelaksanaan good governance, yang seringkali dihubungkan
dengan integritas pegawai dan institusi. Suatu organisasi berikut sistemnya akan berjalan dengan
baik manakala terdapat rambu-rambu yang jelas untuk memandu pelaksanaan tugas dan
pekerjaannya, serta yang lebih penting lagi, konsistensi implementasi rambu-rambu tersebut.
Dalam praktek berorganisasi, good governance biasanya dikaitkan dengan mekanisme
pengawasan internal (internal control) yang bertujuan untuk meminimalkan terjadinya
penyimpangan ataupun penyelewengan dalam organisasi, baik itu dilakukan oleh pegawai
maupun pihak lainnya, baik disengaja maupun tidak.
DJP dengan program modernisasi senantiasa berupaya menetapkan prinsip-prinsip good
governance:
a) Pembuatan dan penegakan kode etik pegawai yang secara tegas mencantumkan kewajiban dan
larangan bagi para pegawai DJP dalam pelaksanaan tugasnya, termasuk sanksi-sanksi bagi
setiap pelanggaran kode etik pegawai. Merupakan pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan
yang mengikat pegawai dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya serta dalam
pergaulan sehari-hari. Tujuan dari penerapan kode etik ini adalah untuk:
meningkatkan disiplin pegawai.
menjamin terpeliharanya tata tertib
menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan iklim kerja yang kondusif
menciptakan dan memelihara kondisi kerja yang professional
meningkatkan citra dan kinerja pegawai.
b) Pemerintah telah menyediakan berbagai saluran pengaduan yang sifatnya independen untuk
menangani pelanggaran atau penyelewengan dibidang perpajakan.
c) Dalam lingkup internal DJP sendiri, telah dibentuk dua subdirektorat yang khusus menangani
pengawasan internal dibawah Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya
Aparatur.
d) Pembentukan compliance center dimasing-masing Kanwil modern untuk menampung keluhan
WP merupakan bukti komitmen DJP untuk selalu meningkatkan pelayanan kepada WP
sekaligus pengawasan bagi internal DJP.
E. Pengendalian kebocoran penerimaan perpajakan
a. Kebocoran Penerimaan Perpajakan
Sehubungan dengan pentingnya peranan Penerimaan Pajak dalam pembangunan nasional,
sangat dibutuhkan adanya sistem dan prosedur pengendalian dan pengawasan yang lebih efektif dalam
Administrasi Perpajakan di Indonesia.
Sistem dan prosedur tersebut dibuat untuk mencegah dan mengendalikan kebocoran-
kebocoran penerimaan perpajakan. Adapun kebocoran-kebocoran penerimaan perpajakan, yaitu:
a. Penggelapan Pajak
b. Penghindaran Pajak
c. Persekongkolan
1. Penggelapan Pajak
Penggelapan pajak dapat dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) atau pegawai Dirjen Pajak
sendiri.
Penggelapan pajak oleh WP dilakukan dengan perbuatan curang oleh WP. Perbuatan curang
tersebut dilakukan ketika:
a) Menghitung
Sistem perpajakan Indonesia menganut sistem self asessment. Namun dengan kebebasan
tersebut, tidak semua WP menjalankan proses self assesment sebagaimana seharusnya.
Misalnya WP tidak menghitung semua omset yang diperoleh untuk suatu masa atau tahun pajak
dan terdapat peritungan pembebanan biaya yang tidak seharusnya terjadi.
b) Memperhitungkan
Wajib Pajak tidak benar memperhitungkan kredit pajak yang telah disetor. Misalnya
pelaporan SPT Masa PPN untuk Masa Majak Mei 2013
Misalnya, dalam pelaporan PPN terdapat Pajak Keluaran: Rp50.000.000,- dan
memperhitungkan kredit pajak sebesar:
a. Pajak Masukan Pembelian BKP/ JKP sebesar Rp20.000.0000,-; dan
b. Kompensasi PPN Masa Pajak sebelumnya kelebihan pajak masa sebelumnya
Rp20.000.000,-
Jadi kredit total Rp40.000.000,- dan status SPT Masa kurang bayar Rp10.000.000,-. Setelah
dilakukan pemeriksaan, ternyata terdapat faktur pajak fiktif (dikonfirmasi ke KPP lawan
transaksinya) dengan PPN sebesar Rp15.000.000,-. Sehingga WP tersebut seharusnya kurang
bayar Rp25.000.000,-.
c) Menyetor
Dari kasus di atas, WP menyetor ke Kas Negara Rp10.000.000,- berdasarkan hasil
pemeriksaan seharusnya yang disetor adalah Rp25.000.000,-.
d) Melapor SPT Masa/ Tahunan
Wajib Pajak seperti contoh di atas menyetor pajak Rp10.000.000,- ke Kas Negara di atas
tanggal 20 , misalnya 31 Mei 2013. WP tersebut melapor SPT Masa dengan jumlah pajak yang
disetorkan dengan jumlah yang salah dan tidak tepat waktu.
2. Penghindaran Pajak
Penghindaran Pajak adalah hambatan-hambatan yang terjadi dalam pemungutan pajak
sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara.
a) Menahan Diri
Wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak.
Contoh: tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau.
b) Pindah Lokasi
Wajib Pajak memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi
ke loksi yang tarif pajaknya rendah.
Contoh: pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka cabang
baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih rendah.
c) Penghindaran Pajak secara Yuridis
Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak
terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan
undang-undang.
Contoh: Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut undang-
undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan
cara: perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan
memberi uang kepada yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras.
Jadi, pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya
berkuarang
3. Persekongkolan
Persekongkolan biasanya dilakukan oleh Wajib Pajak dengan Pegawai Ditjen Pajak yang tidak
taat. Contoh: seorang pegawai DJP menjadi konsultan ilegal dari WP yang diperiksanya supaya pajak
terutangnya lebih sedikit atau menjadi lebih bayar.
b. Pengendalian Kebocoran Penerimaan Perpajakan
Dari penjelasan jenis-jenis kebocoran penerimaan perpajakan di atas, informasi-informasi baik
dari dalam maupun luar Dirjen Pajak sangat diperlukan yang kemudian membentuk peraturan yang
mendukung. Peraturan Menteri Keuangan No. 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Keuangan dan Keputusan Menteri Keuangan No. 152/KMK.09/2011 tentang
Peningkatan Penerapan Pengendalian Intern di Lingkungan Kementerian Keuangan dibentuk untuk
pengendalian internal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Sementara, untuk pengendalian
terhadap kebocoran yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak diatur dalam Undang-undang No. 16
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2009.
1) Pengendalian Internal (KITSDA)
Untuk meningkatkan sistem pengendalian internal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak,
dibentuklah Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA)
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Keuangan dan Keputusan Menteri Keuangan.
Tugas pokok dan fungsi Direktorat KITSDA tersebut adalah:
Direktorat KITSDA mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi
teknis di bidang kepatuhan internal dan transformasi sumber daya aparatur.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut, Direktorat KITSDA menyelenggarakan fungsi:
penyiapan perumusan kebijakan di bidang kepatuhan internal dan transformasi sumber daya
aparatur;
penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang kepatuhan internal dan transformasi sumber daya
aparatur;
penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kepatuhan internal dan
transformasi sumber daya aparatur;
penyiapan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang kepatuhan internal dan
transformasi sumber daya aparatur; dan
pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat KITSDA.
Fungsi KITSDA tersebut juga dipanjangtangankan semua ke Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak di Indonesia kemudian ke semua Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang berada di
wilayah kerja masing-masing Kanwil DJP.
Pada KPP, kita mengenal adanya seksi Pemeriksaan dan Kepatuhan Internal, seksi ini
mempunyai tugas:
menyusun rencana dan laporan kegiatan pemantauan pengendalian intern di unit kerja KPP;
dan
melaksanakan pemantauan pengendalian intern terhadap unit kerja KPP.
Baru-baru ini penangkapan pegawai Ditjen. Pajak oleh KPK di Gambir atau Bandara Soekarno
Hatta menunjukan berfungsi dan meningkatnya sistem pengendalian intern/ whistle blower di
lingkungan Ditjen Pajak. Keberhasilan ini diapresiasi oleh Wakil Menteri Pemberdayaan Aparatur
Negara memaparkan dalam Tribun News Jakarta tanggal 16 Mei 2013:
"Saya menganggap, yang pertama, karena kuatnya sistem pengawasan di negara ini.
Maka, semakin banyak orang yang bisa diawasi dan tertangkap. Ini juga indikasi
whistleblower system yang diterapkan di Kementerian Keuangan berjalan. Artinya,
kawan-kawannya sendiri yang melaporkan."
Tidak hanya sampai disitu saja, KITSDA akan terus meningkatkan kinerjanya untuk
mewujudkan tidak adanya kebocoran Penerimaan Perpajakan oleh pihak internal Ditjen Pajak sendiri.
2) Pemeriksaan Pajak
Berdasarkan Pasal 29 Ayat 1 Undang-undang No. 16 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang
No. 16 Tahun 2009:
“Direktorat Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Ditjen pajak berhak menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya sebagai subjek
pajak dan untuk melaksanakan ketentuan peraturan perpajakan yang telah ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak. Adapun tujuan dari pemeriksaan pajak, yaitu:
Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan:
SPT lebih bayar termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan pajak;
SPT rugi;
SPT tidak atau terlambat (melampaui jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat
Teguran) disampaikan;
Melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; atau
Menyampaikan SPT yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis (risk
based selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan WP yang tidak
dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Tujuan lain, yaitu:
Pemberian NPWP secara jabatan;
Penghapusan NPWP;
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan pencabutan PKP (baca juga: Registrasi
Ulang Pengusaha Kena Pajak);
Wajib Pajak mengajukan keberatan;
Pengumpulan bahan untuk penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Pencocokan data dan/atau alat keterangan.
Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.
Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN.
Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
Penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan dan/ atau;
Pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda
Berdasarkan tujuan pemeriksaan di atas, pemeriksaan dilakukan untuk mengamankan dan
mengendalikan kebocoran penerimaan perpajakan yang dapat menimbulkan kerugian oleh Ditjen
Pajak.
BAB III
KESIMPULAN
Pentingnya peran perpajakan dalam APBN membutuhkan proyeksi penerimaan perpajakan yang
credible agar target akurat dan dapat dicapai. Tepat tidaknya perencanaan besaran penerimaan
perpajakan (target penerimaan perpajakan) akan berpengaruh pada kelancaran pelaksanaan
pembangunan nasional. Meskipun terdapat tujuan untuk meningkatkan penerimaan perpajakan
maupun tax ratio secara signifikan, penetapan target penerimaan perpajakan tidak boleh melebihi
kemampuan dari perekonomian Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, dalam menetapkan target
penerimaan perpajakan harus memperhatikan potensi yang ada serta berbagai faktor perubahan
indikator ekonomi yang sedang terjadi maupun perubahan kebijakan (policy) dan administrasi.
Kebijakan optimalisasi pendapatan perpajakan harus dijalankan secara berkesinambungan. Kebijakan
ini mencakup ekstensifikasi yang bersifat meluaskan dan intensifikasi untuk penggalian potensi dari
wajib pajak yang terdaftar. Hal ini bertujuan untuk mendorong pendapatan penerimaan perpajakan
sampai batas optimal demi terselenggaranya pemerintahan.
Modernisasi administrasi perpajakan sangat penting. Modernisasi itu bertujuan untuk hal-hal sebagai
berikut:
a. Tercapainya tingkat kepatuhan wajib pajak (tax compliance) yang tinggi;
b. Tercapainya tingkat kepercayaan (trust) terhadap adminisrtasi perpajakan yang tinggi;
c. Tercapainya tingkat produktivitas pegawai pajak yang tinggi
Pengendalian kebocoran penerimaan perpajakan di Indonesia dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
Pengendalian Internal khususnya pada Direktorat Jenderal Pajak, yaitu KITSDA untuk menghindari
adanya kebocoran penerimaan perpajakan dari pihak intern Ditjen. Pajak sendiri dan Pemeriksaan
Pajak (Law Enforcement) yang dilakukan di setiap KPP untuk mengatasi kebocoran penerimaan
perpajakan oleh Wajib Pajak.
DAFTAR REFERENSI
Gunadi, dkk., Perpajakan, Jakarta : Lembaga Penerbit FE, 1997
Judisseno, Timsky K., Perpajakan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1997
http://www.wikiapbn.org/artikel/
Subdirektorat_Kepatuhan_Internal_Direktorat_Kepatuhan_Internal_dan_Transformasi_Sumber_Daya
_Aparatur_Ditjen_Pajak
http://www.tribunnews.com/2013/05/16/penangkapan-pegawai-pajak-bukti-sistem-pengawasan-
berfungsi
http://id.wikipedia.org/wiki/Penghindaran_pajak
http://www.pajak.go.id/content/pemeriksaan-pajak
http://nitayudisti.blogspot.com/p/ekstensifikasi-intensifikasi-pajak_31.html
http://www.pajak.go.id/content/sensus-pajak-nasional