Post on 17-Apr-2022
MANAJEMEN ANASTESI PADA KASUS GREEN CODE
DI RSUP SANGLAH DENPASAR
Oleh:
dr. Putu Agus Surya Panji, SpAn,KIC
DEPARTEMEN/KSM ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA /
RSUP SANGLAH DENPASAR
2019
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii
ABSTRAK ............................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................3
2.1. Sistem Green Code di RSUP Sanglah Denpasar .......................................................3
2.2. Gawat Janin................................................................................................................5
2.3. Manajemen Anestesi pada Kasus Green Code ............................................. 11
BAB III LAPORAN KASUS...................................................................................................21
BAB IV DISKUSI KASUS .....................................................................................................26
BAB V KESIMPULAN ...........................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................30
iii
ABSTRAK
Pasien perempuan 33 tahun dengan diagnosis G2P1001 37 minggu 3 hari
Tunggal/Hidup Persalinan Kala I + distosia bahu. Pada pasien dilakukan tindakan
Sectio Secarea Cito pada tanggal 5 Juni 2019. Teknik anestesi yang digunakan pada
pasien ini adalah regional anestesi.
Pasien dengan status fisik ASA II memiliki permasalahan aktual yaitu gravida
dengan distosia bahu. Sebelum tindakan operasi pasien tidak diberikan obat-
obatan pre medikasi. Penanganan pre operatif lain terhadap pasien adalah berupa
edukasi psikologis terkait persiapan operasi, tindakan yang akan dilakukan, serta
komplikasi yang mungkin muncul dari operasi yang akan dijalani.
Pasien diinduksi dengan Bupivacain Heavy 0,5% 12,5 mg. Medikasi lain yang
diberikan pada pasien adalah Oksitosin 10 IU dilanjutkan 30 IU drip, Methergin 0,4
mg IV dan Ondansetron 4 mg IV. Saat operasi, tidak terjadi komplikasi apapun.
Status hemodinamik pasien stabil. Penanganan nyeri akut pasien pasca operasi yang
diberikan adalah morfin 20mg dalam 20 ml Normal Salin kecepatan 0,6 ml/jam dan
paracetamol 500mg setiap 6 jam. Pasca oeprasi pasien dirawat di ruangan dengan
kontrol nyeri oleh bagian anestesi.
v
ABSTRACT
A 33-year-old female patient with a diagnosis of G2P1001 37 weeks 3 days
single/live delivery phase I + shoulder dystocia. The patient performed Cito Sectio
Secarea on June 5th, 2019. The anesthetic technique used in this patient was regional
anesthesia.
Patients with physical status ASA II have actual problem which is gravida
with shoulder dystocia. Before surgery the patient was not given pre-medication.
Other preoperative treatments for patients are in the form of psychological education
related to surgery preparation, actions to be taken, and complications that may arise
from the surgery.
The patient was induced with 0.5% Bupivacain Heavy 12.5 mg. Another
medication given to patient was Oxytocin 10 IU followed by 30 IU drip, Methergin
0.4 mg IV and Ondansetron 4 mg IV. During surgery, no complications occured. The
patient's hemodynamic status was stable. Acute pain management for postoperative
patients given was morphine 20 mg in 20 ml Normal Saline speed of 0.6 ml / hour
and paracetamol 500 mg every 6 hours. When post operative patient was treated in a
room with pain control by the anesthesia.
1
BAB I
PENDAHULUAN
Periode saat bayi lahir sampai 28 hari kehidupannya disebut sebagai masa
perinatal. Masa perinatal ini adalah saat paling sering ditemukan adanya masalah
pada bayi baru lahir. Timbulnya masalah pada bayi saat perinatal jika dilihat dari
faktor ibu adalah karena pemeriksaan selama kehamilan yang tidak adekuat,
pertolongan saat persalinan yang tidak tepat.Angka kematian perinatal di Indonesia
masih tinggi yaitu 73 per 1000 kelahiran hidup. Angka ini merupakan angka tertinggi,
dibandingkan angka kematian perinatal negara ASEAN lain. RSUP Sanglah sebagai
RS rujukan, memiliki angka kematian neonatal sebesar 64 per 1000 kelahiran hidup
pada tahun 2004 (Patel, 2015).
Setiap tahun diperkirakan empat juta bayi meninggal pada bulan pertama
setelah dilahirkan dan dua pertiganya meninggal pada tujuh hari pertama
kehidupannya (angka kematian neonatal dini). Angka kematian neonatal dini
merupakan indikator status kesehatan suatu negara yang mencerminkan kualitas
kontrol ibu hamil selama kehamilan. Angka kematian neonatus dini di negara
berkembang sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan negara maju. Hal ini
menunjukkan negara maju memiliki kualitas kontrol saat kehamilan, pelayanan serta
tindakan saat persalinan negara-negara maju yang lebih baik dibandingkan negara
berkembang. Penyebab kematian neonatal dini yang tersering adalah asfiksia, sepsis,
prematuritas dan berat badan lahir rendah. Penyebab asfiksia paling sering terjadi saat
proses persalinan (Patel, 2015).
Pelayanan di bidang obstetri terutama pada kasus gawat janin merupakan
sesuatu yang sangat penting. Keterlambatan waktu evakuasi janin dari dalam rahim
ke luar rahim akan memperpanjang lamanya hipoksia (kekurangan oksigen) pada
janin dan dapat berakibat terjadinya asfiksia berat atau mungkin kematian janin saat
masih di dalam rahim, kematian saat lahir (still birth) atau kematian perinatal.
Sanjaya (2008) melaporkan bahwa di Instalasi Rawat Darurat Rumah Sakit Sanglah
2
Denpasar dari tanggal 1 Januari 2006 sampai dengan 31 Agustus 2006 ditemukan 134
kasus yang didiagnosis sebagai gawat janin (Sanjaya, 2008).
Idealnya, pada kasus gawat janin diperlukan waktu sesegera mungkin melahirkan
janin untuk mengatasi kekurangan oksigen (hipoksia). Kecepatan tindakan
evakuasi janin dari dalam kandungan ke luar kandungan sangat menentukan
kualitas luaran bayi baru lahir (neonatus). Di RSUP Sanglah Denpasar telah
diterapkan sistem green code untuk meningkatkan response time terhadap kasus
gawat janin. Pentingnya penatalaksanaan pada kasus gawat janin melatarbelakangi
laporan kasus ini. Pada laporan ini akan dibahas mengenai manajemen anestesi pada
pasien Green Code di RSUP Sanglah Denpasar (Sanjaya,2008).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Green Code di RSUP Sanglah Denpasar
Green code adalah sistem penanganan gawat darurat di bidang Obstetri yaitu
penanganan pada kehamilan yang mengancam keselamatan dari resiko kecacatan atau
kematian janin dengan dilakukan persalinan melalui tindakan Sectio Caesaria. Green
code (kode hijau) merupakan kode yang digunakan RSUP Sanglah untuk
mempercepat response time dalam penanganan fetal distress (gawat janin). Sistem
Green Code telah dilaksanakan sejak tahun 2007 di Instalasi Gawat Darurat RSUP
Sanglah Denpasar. Pelaksanaaan satu sistem management gawat janin dengan sistem
Green Code memerlukan waktu rata-rata kurang dari 10 menit yaitu mulai dari
penentuan diagnosis gawat janin sampai incisi kulit abdomen (RSUP Sanglah, 2015).
Berdasarkan Standar Pelayanan Gawat Darurat RSUP Sanglah, tim Green Code
terdiri atas dokter spesialis obsgyn, dokter spesialis anak, dokter spesialis anestesi,
perawat OK, bidan/perawat kamar bersalin, petugas laboratorium dan MOD
(Manager On Duty). Prosedur umum dalam kasus Green Code di RSUP Sanglah
antara lain (RSUP Sanglah, 2015):
1. Pasien yang datang ke IGD Kebidanan segera dilakukan pemeriksaan dan
dilakukan assessment oleh dokter spesialis Obsgyn.
2. Apabila pada pemeriksaan tersebut ditemukan adanya gawat janin maka
segera diputuskan untuk mengaktifkan system Green Code.
3. Salah satu petugas menghubungi petugas operator telpon di pesawat 300
untuk mengumumkan bahwa ada persiapan Green Code di IGD Kebidanan.
4. Petugas operator telpon segera mengumumkan panggilan “Persiapan Green
Code di IGD Kebidanan” lewat pengeras suara sebanyak 3 kali.
5. Tim Green Code segera merespon setelah mendengar panggilan.
4
6. Tim Kebidanan mempersiapkan pasien untuk tindakan SC seperti :
pemasangan IV line, pengambilan sampel darah, pemasangan kateter urin
termasuk pemberian informed consent kepada keluarga tentang kondisi pasien
dan tindakan yang akan dilakukan serta memastikan kelengkapan rekam
medis pasien.
7. Dilakukan resusitasi intra uterin untuk menjaga kondisi janin serta ibunya
agar tetap dalam kondisi stabil, dengan pasien ditidurkan pada posisi miring
kiri serta diberikan oksigen.
8. Dokter spesialis anestesi melakukan evaluasi pra anestesi dan menyiapkan
obat dan alat anastesi yang diperlukan untuk tindakan pembiusan.
9. Tim OK menyiapkan kamar operasi termasuk alat-alat (instrument) dan
perlengkapan lainnya serta mengatur petugas yang akan terlibat dalam
tindakan SC yang akan dilakukan.
10. Dokter sepsialis anak dengan timnya langsung menuju ke OK untuk
mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan resusitasi
bayi.
11. Setelah persiapan, operator telpon kembali dihubungi untuk mengumumkan
tindakan “Green Code”.
12. Petugas operator telpon segera mengumumkan panggilan “Green Code” lewat
pengeras suara sebanyak 3 kali.
13. Pasien segera didorong ke kamar operasi (diharapkan dalam waktu 8 menit
bayi bisa dilahirkan)
14. Setelah pasien dipindahkan ke meja operasi, dilakukan pembiusan oleh dokter
spesialis anestesi.
15. Pembiusan telah dilakukan, tindakan SC oleh dokter spesialis Obsgyn
dimulai.
16. Segera setelah lahir bayi, dokter spesialis anak melakukan tindakan resusitasi
jika diperlukan.
17. Dokter spesialis anak segera memutuskan perawatan lanjutan pada bayi yang
dilahirkan apakah perlu perawatan intensif atau tidak.
5
18. Perawatan ibu post operasi diputuskan oleh dokter anestesi bersama dokter
obsgyn apakah memerlukan perawatan intensif atau tidak.
19. Dokumentasi ditulis dengan lengkap oleh tim Green Code.
2.2 Gawat Janin
2.2.1 Definisi
Gawat janin menunjukkan suatu keadaan bahaya yang secara serius
mengancam kesehatan janin. Gawat janin juga umum digunakan untuk menjelaskan
kondisi hipoksia yang bila tidak dilakukan penyelamatan akan berakibat buruk yaitu
menyebabkan kerusakan atau kematian janin sehingga harus diatasi secepatnya atau
janin secepatnya dilahirkan. Keadaan tersebut dapat terjadi baik pada antepartum
maupun intrapartum (Cunningham, 2012). Tanpa oksigen yang adekuat, denyut
jantung janin kehilangan variabilitas dasarnya dan menunjukkan deselerasi lanjut
pada kontraksi uterus. Bila hipoksia menetap, glikolisis anaerob menghasilkan asam
laktat dengan pH janin yang menurun. 1 Gerakan janin yang menurun atau berlebihan
menandakan gawat janin. Tetapi, biasanya tidak ada gejala-gejala subjektif.
Seringkali indikator gawat janin yang pertama adalah perubahan dalam pola denyut
jantung janin (bradikardia, takikardia, tidak adanya variabilitas, atau deselerasi lanjut)
(Cunningham, 2012).
2.2.2 Etiopatofisiologi
Ada beberapa kemungkinan penyebab gawat janin, namun biasanya gawat
janin terjadi karena beberapa mekanisme yang berkesinambungan. Kondisi janin dan
ibu hendaknya dianalisa untuk kemudian membuat pemeriksan khusus dalam
membuktikan kebenaran analisa tersebut. Faktor yang menyebabkan gawat janin
ialah (Manuaba F, 2017):
a. Faktor ibu
6
• Anemia / kekurangan darah sehingga hemoglobin juga akan berkurang dan
menyebabkan oksigen berkurang.
• Hipertensi merupakan kompensasi tubuh akibat adanya sumbatan pada
vaskuler. Sumbatan tersebut dapat mengurangi aliran pada vaskuler, dalam hal
ini adalah pada plasenta, sehingga janin tidak dapat memenuhi kebutuhan yang
cukup akan nurisi dan oksigen.
• Diabetes mellitus dapat menjadikan aliran darah menjadi mengental (viskositas
meningkat). Maka dari itu akan dapat menimbulkan gangguan pada laju/aliran
darah, terutama pada plasenta.
b. Faktor uteroplasental
• Kelainan tali pusat
Pada kasus tertentu, terkadang tali pusat sedemikian pendeknya sehingga perut
anak berhubungan dengan plasenta. Tali pusat harus lebih panjang dari 20-30cm
untuk memungkinkan kelahiran anak, bergantung pada apakah plasenta terletak
dibawah atau diatas. Tali pusat yang terlalu pendek dapat menimbulkan hernia
umbilikalis, solusio plasenta, persalinan tak maju dan karena tali pusat tertarik
terjadi inversio uteri. Sebaliknya, tali pusat yang terlalu panjang memudahkan
terjadinya lilitan tali pusat.
• Trauma
Gawat janin dapat disebabkan karena trauma seperti benturan yang dapat
menimbulkan edema pada plasenta sehingga menyebabkan pada pelepasan
sebagian atau seluruh permukaan plasenta.
c. Faktor janin
• Kompresi tali pusat dapat menyebabkan terhambatnya aliran darah dari ibu ke
janin.
• Penurunan kemampuan janin membawa oksigen di karenakan oleh hemoglobin
yang turun atau dari plasenta yang tidak berfungsi secara normal
Bila pasokan oksigen dan nutrisi berkurang, maka janin akan mengalami
retardasi organ bahkan risiko asidosis dan kematian. Bermula dari upaya redistribusi
7
aliran darah yang akan ditujukan pada organ penting seperti otak dan jantung dengan
mengorbankan visera (hepar dan ginjal). Hal ini tampak dari volume cairan amnion
yang berkurang (oligohidramnion). Bradikardia yang terjadi merupakan mekanisme
dari jantung dalam bereaksi terhadap tekanan (misalnya hipertensi pada kompresi tali
pusat) atau reaksi kemoreseptor akibat asidemia.
2.2.3 Gejala dan Tanda Klinis
Pada keadaan gawat janin, ibu akan mengalami kegagalan dalam pertambahan
berat badan dan uterus tidak bertambah besar.Biasanya berat badan ibu tidak naik
selang 2 kali ANC (Ante Natal Care) atau turun dari ANC sebelumnya pada trimester
2 dan 3. Kenaikan berat badan pada BMI normal adalah antara 11-16 kg. Uterus yang
lebih kecil daripada umur kehamilan yang diperkirakan memberi kesan retardasi
pertumbuhan intrauterin atau oligohidramnion. Selain itu, gerakan janin akan
berkurang dibandingkan sebelumnya. Ibu juga akan merasakan keluarnya air per
vaginam yang tidak dapat dikendalikan, bau amis, dan warna putih agak keruh.
Keluhan-keluhan tersebut seringkal disertai juga dengan sakit perut yang hilang
timbul (Cunningham, 2012).
Berikut adalah hal – hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan keadaan
gawat janin:
1. Denyut jantung janin (DJJ)
Pola frekuensi denyut jantung janin dapat digunakan untuk mengidentifikasi
janin normal atau abnormal. Kardiotokografi adalah alat elektronik yang
digunakan untuk tujuan memantau atau mendeteksi adanya gangguan yang
berkaitan dengan hipoksia janin dalam rahim melalui penilaian pola denyut
jantung janin dalam hubungan dengan adanya kontraksi ataupun aktivitas janin
dalam rahim. Kardiotokografi merupakan suatu metode pemeriksaan yang telah
ditetapkan sebagai suatu pemeriksaan standar rutin untuk menentukan
kesejahteraan janin. Meskipun pemeriksaan kardiotokografi menunjukkan hasil
dengan tingkat positif palsu yang tinggi, yaitu sekitar 64 % dan evaluasinya juga
8
sangat subyektif, tetapi saat ini tetap menjadi metode penapisan diagnosis
hipoksia akut pada janin, karena tidak ada cara pemeriksaan lain yang lebih
obyektif dan non invasif. Pemantauan dan pencatatan denyut jantung janin yang
segera dan kontinyu dalam hubungan dengan kontraksi uterus memberikan suatu
penilaian kesehatan janin yang sangat membantu selama persalinan (Hariadi,
2014). Indikasi-indikasi kemungkinan gawat janin:
1. Bradikardi
Denyut jantung janin kurang dari 120 denyut per menit.
2. Takikardi
Akselerasi denyut jantung janin yang memanjang (>160 denyut/menit) dapat
dihubungkan dengan demam pada ibu yang sekunder terhadap infeksi
intrauterine. Prematuritas juga dihubungkan dengan denyut jantung janin yang
meningkat.
3. Variabilitas denyut jantung dasar yang menurun
Hal ini menandakan depresi sistem saraf otonom janin yang dapat terjadi oleh
karena medikasi ibu (atropine, skopolamin, diazepam, fenobarbital, magnesium
dan analgesic narkotik).
4. Pola deselerasi
Deselerasi lanjut menunjukkan hipoksia janin yang disebabkan oleh insufisiensi
uteroplasenta. Deselerasi yang bervariasi menunjukkan kompresi sementara
waktu saja dari pembuluh darah umbilicus. Peringatan tentang peningkatan
hipoksia janin adalah deselerasi lanjut, penurunan atau tiadanya variabilitas, dan
bradikardia yang menetap. (Datta, 2014).
2. Mekonium
Mekonium akan keluar dari usus janin pada keadaan stres hipoksia, telah terbukti
bahwa pasase mekonium disebabkan karena rangsangan saraf dari saluran pencernaan
yang sudah matur. Pada saat janin aterm, saluran pencernaan menjadi matur, terjadi
stimulasi vagal dari kompresi tali pusat yang akan menyebabkan timbulnya peristaltik
dan relaksasi dari spinkter ani yang menyebabkan keluarnya mekonium. Walaupun
9
etiologinya belum dipahami dengan baik, namun efek dari mekonium telah
diketahui.Pasase mekonium pada janin yang matur difasilitasi oleh myelinisasi
serabut saraf, peningkatan tonus parasimpatis dan bertambahnya konsentrasi motilin
(suatu peptida yang yang merangsang kontraksi usus). Ditemukan adanya hubungan
antara kejadian gawat janin dengan peningkatan kadar motilin.Mekonium secara
langsung merubah air ketuban, menekan efek antibakteri dan selanjutnya
meningkatkan risiko infeksi perinatal, juga dapat mengiritasi kulit janin sehingga
meningkatkan kejadian erythema toksikum. Namun komplikasi yang paling
berbahaya dari keluarnya mekonium in utero adalah aspirasi air ketuban yang
mengandung mekonium sebelum, selama dan sesudah persalinan (Hariadi, 2014).
Mekonium menyebabkan inflamasi dan obstruksi jalan nafas. Mekonium yang
teraspirasi ke jalan nafas akan menimbulkan fenomena katup bola dimana udara yang
melewati mekonium pada saat inspirasi akan terperangkap di bagian distal pada saat
ekspirasi, menyebabkan peningkatan resistensi ekspirasi paru, kapasitas residu
fungsional dan diameter anteroposterior rongga dada. Udara yang terjebak di bagian
distal saluran pernafasan menyebabkan hiperekspansi alveoli dan atelektasis dan
menimbulkan terjadinya ventilasi yang tidak seimbang dan shunt intrapulmoner.
Kebocoran udara terjadi pada sekitar 50 % bayi dengan aspirasi mekonium, dan
umumnya terjadi pada saat dilakukan tindakan resusitasi. Hipertensi pulmonar
merupakan komplikasi yang sering ditemukan.Aspirasi mekonium merupakan
penyebab utama dari penyakit yang berat dan kematian pada bayi baru lahir (Hariadi,
2014).
3. pH darah janin
pH darah janin memberikan informasi yang objektif tentang status asam basa
janin. Sesuai dengan American College Of Obstetricians and Gynecologists,
pengukuran pH pada darah kapiler kulit kepala dapat membantu untuk
mengidentifikasi keadaan gawat janin. Pengambilan darah janin harus dilakukan di
luar his dan sebaiknya ibu dalam posisi tidur miring (Cunningham, 2012).
Pemeriksaan darah janin ini dilakukan bila terdapat indikasi sebagai berikut:
10
a. Deselerasi lambat berulang
b. Deselerasi variabel memanjang
c. Mekonium pada presentasi kepala
d. Hipertensi ibu
e. Osilasi/ variabilitas yang menyempit
Kontraindikasi pengambilan sampel darah janin:
a. Gangguan pembekuan darah janin
b. Presentasi fetus yang tidak dapat dicapai
c. Infeksi pada ibu
Syarat pengambilan sampel darah janin:
a. Pembukaan lebih dari 2 cm
b. Ketuban sudah pecah
c. Kepala sudah turun hingga dasar pelvis
Cara pengambilan sampel darah:
1. Masukkan amnioskopi melalui serviks yang sudah didilatasi setelah ruptur
membran
2. Oleskan lapisan jel silikon untuk mendapatkan tetesan darah pada tempat insisi
3. Buat insisi tak lebih dari 2 cm dengan pisau tipis
4. Aspirasi darah dengan tabung kapiler yang telah diberi heparin
5. Periksa pH darah
6. Setelah insisi, hentikan perdarahan
Jika pH kulit kepala yang lebih besar dari 7,25, hal ini menandakan pH normal.
Sedangkan pH kulit kepala yang kurang dari 7,20 menandakan hipoksia janin dengan
asidosis. Jika hal ini terdeteksi maka persiapan kelahiran segera dilakukan (Datta,
2014).
Jika terjadi pH patologis, hal ini membuat rangsangan pada kemoreseptor yang
mengakibatkan :
11
a) Takikardi
b) Irama detak jantung irregular, rangsangan saraf simpatikus dan saraf vagus yang
bersamaan
c) Detak jantung menurun dan irama tidak teratur
d) Rangsangan saraf vagus mempengaruhi sfingter ani terbuka sehingga mekonium
keluar
e) Metabolisme anaerobik membuat cadangan glukosa menurun dan kontraksi
melemah sehingga terjadi kegagalan total dan janin mati (Cunningham, 2012).
2.3 Manajemen Anestesi pada Kasus Green Code
Anestesi obstetri berbeda dari anestesi bedah lainnya karena waktu untuk
persiapan operasi dan anestesi dapat diubah dari beberapa jam hingga hanya beberapa
menit untuk menyelamatkan dua nyawa, ibu dan bayi yang belum lahir. Gawat janin
adalah salah satu indikasi untuk mempercepat proses persalinan. Diagnosis gawat
janin didasarkan pada denyut jantung janin, apakah cepat, lambat, tidak teratur, dan
apakah terdapat mekonium selama persalinan. Gawat janin dikatakan jika denyut
jantung janin lebih dari 160 denyut per menit, di bawah 120 denyut per menit, atau
jika memiliki irama jantung yang tidak teratur. Gawat janin terjadi akibat asfiksia.
Asfiksia dapat terjadi baik antepartum atau intrapartum, ketika ada penurunan dalam
aliran darah uterus yang menyertai setiap kontraksi uterus. Kontraksi menurunkan
aliran darah uterus dan perfusi plasenta dengan cara kompresi eksternal pada vaskular
uterus. Plasenta mungkin tidak dapat membantu penyediaan pertukaran gas yang
memadai selama persalinan, karena adanya kontraksi menurunkan pertukaran gas.
Pemantauan janin secara efektif dapat memprediksi dan mendiagnosis asfiksia janin
selama kehamilan dan persalinan. (Dongare dan Nataraj,2018)
2.3.1 Persiapan Preoperatif
Ketika memilih anestesi regional atau general untuk persalinan seksio caesar,
sebaiknya mempertimbangkan outcome pada ibu dan neonatus. Studi mengenai
neonatal difokuskan pada pH tali pusat, skor Apgar, kebutuhan akan bantuan ventilasi
12
saat lahir dan skor neurobehavioral. Anestesi regional adalah metode yang disukai
untuk operasi caesar pada wanita sehat, namun anestesi general masih diperlukan
dalam kasus-kasus tertentu. Penggunaan anestesi general digunakan pada ibu
melahirkan berisiko tinggi. Pilihan teknik anestesi harus sesuai dengan situasi klinis.
Jika waktu adalah faktor pembatas, diperlukan anestesi general karena teknik ini
menawarkan waktu induksi yang lebih cepat. Morbiditas dan mortalitas yang terkait
dengan anestesi general adalah aspirasi isi lambung dan kesulitan saat intubasi trakea.
(Dongare dan Nataraj, 2018) Kematian yang terkait dengan anestesi umum umumnya
terkait dengan masalah jalan nafas, seperti ketidakmampuanuntuk intubasi,
ketidakmampuan untuk ventilasi, atau aspirasipneumonitis, sedangkan kematian
berhubungan dengananestesi regional umumnya terkait dengan penyebaran blokade
dermatomal yang berlebihan atau lokaltoksisitas anestesi (Morgan dan Mikhail, 2013)
.Terdapat persepsi bahwa risiko anestesi general lebih besar daripada anestesi
regional. Bayi dapat dipengaruhi secara langsung melalui transfer obat melewati
transplasenta atau secara tidak langsung dengan perubahan perfusi janin-plasenta,
atau keduanya. Risiko efek langsung dari transfer plasenta paling besar dengan
anestesi umum, karena paparan dari obat yang diberikan ke ibu. (Dongare dan
Nataraj, 2018)
Evaluasi pra-anestesi untuk operasi caesar darurat harus dengan assessment
yang cepat untuk menentukan risiko jalan napas sulit, perdarahan obstetrik dan risiko
aspirasi. Investigasi pra operasi yang diperlukan adalah hitung darah lengkap, blood
grouping dan cross matching dan jika benar-benar diperlukan fungsi ginjal, tes fungsi
hati dan profil koagulasi (Lie dan Mok, 2017).
Semua pasien yang datang untuk operasi caesar perlu dipersiapkan untuk
anestesi umum dan tindakan untuk mencegah perdarahan. Persiapan pra operasi
termasuk resusitasi dalam rahim janin yang diantaranya adalah menghentikan
oksitosin, pasien posisi tidur miring ke kiri, pemberian oksigen, pemberian cairan
kristaloid, vasopresor intravena jika tekanan darah menurun, obat tokolitik seperti
terbutaline 250mcg (s.c), pemberian profilaksis aspirasi asam, persiapan jalan nafas
13
yang sulit, mengamankan akses intravena (harus memiliki 2 akses IV), persiapan
pencegahan perdarahan dan pemantauan invasif jika diperlukan. Semua ibu yang
datang untuk operasi caesar darurat berisiko tinggi mengalami aspirasi, terutama
karena pedoman terbaru menyarankan agar ibu mengonsumsi makanan padat dan cair
selama persalinan normal. Natrium sitrat oral, ranitidine, dan metoclopramide IV
dapat digunakan sebagai profilaksis aspirasi asam. Sodium sitrat 30 ml harus
diberikan setidaknya 20 menit sebelum induksi anestesi umum. Studi menganjurkan
bahwa itu dapat diberikan sesaat sebelum dipindahkan ke ruang operasi. Kerugian
dari natrium sitrat adalah tingginya insiden mual dan muntah. Oleh karena itu, tidak
disarankan pada pasien yang menerima anestesi regional (Smith dkk, 2011).
2.3.2 Anestesi Spinal
Anestesi tulang belakang atau spinal melibatkan penempatan obat bius ke dalam
kantung tulang belakang yang terletak di dalam tulang belakang. Spinal biasanya
dilakukan pada tingkat punggung bagian bawah (lumbar vertebrae). Setelah anestesi
disuntikkan ke dalam kantung spinal, konduksi sumsum tulang belakang dan saraf
tulang belakang tepengaruh.(Patel,2015)
Keuntungan dari anestesi regional meliputi (1) kurang paparan neonatal
terhadap obat-obatan yang berpotensi depresan, (2) penurunan risiko aspirasi paru
ibu, (3) ibu yang terjaga saat kelahiran anaknya. Bila dibandingkan dengan teknik
epidural, anestesi spinal memiliki onset lebih cepat dan dapat diprediksi; dapat
menghasilkan blok yang lebih baik; dan tidak memiliki potensi toksisitas obat
sistemik yang serius karena dosis anestesi lokal yang lebih kecil. Terlepas dari teknik
regional yang dipilih, seseorang harus siap untuk memberikan anestesi umum kapan
saja selama prosedur (Morgan dan Mikhail, 2013).
Pada anestesi regional, pasien harus menerima bolus kristaloid intravena yang
tepat yaitu Ringer laktat (biasanya 1000-1500 mL) atau koloid (biasanya 250-500
mL) pada saat blokade saraf. Bolus semacam itu tidak akan konsisten mencegah
14
hipotensi tetapi sebenarnya dapat menghilangkan hipovolemia yang sudah ada
sebelumnya. Setelah injeksia nestesi lokal, fenilefrin dapat dititrasi untuk
mempertahankan tekanan darah. Pemberian efedrin (5-10 mg) mungkin diperlukan
pada pasien hipotensi dengan berkurangnya detak jantung. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa fenilefrin menghasilkan asidosis neonatal yang lebih sedikit
dibandingkan dengan efedrin (Morgan dan Mikhail, 2013)..
Dokter anestesi menusukkan jarum halus di punggung bawah dan
melewatkannya diruang epidural melalui dura untuk memasuki ruang subarachnoid di
mana terdapat saraf tulang belakang dan cairan serebrospinal. Pasien biasanya
ditempatkan pada dekubitus lateral atau posisi duduk. Di lateral, pasien diposisikan
dengan punggung paralel dengan sisi meja operasi. Paha tertekuk ke atas, dan leher
tertekuk ke depan. Dalam posisi duduk, kaki pasien diletakkan di atas bangku
sementara pasien duduk tegak, kepalanya tertekuk sambil lengan memeluk bantal.
Setelah itu larutan lidokain (50–60 mg) atau bupivakain (10–15 mg) disuntikkan.
Bupivakain paling banyak digunakan dalam operasi obstetri karena onset yang cepat.
Dosis dan volume bupivacaine harus disuntikkan pada tingkat yang sesuai di ruang
L3-L4.(Patel, 2015) Penggunaan 22-gauge atau lebih kecil, jarum tulang belakang
pencilpoint (Whitacre, Sprotte, atau Gertie Marx) mengurangi kejadian sakit kepala
pasca tusukan. Menambahkan 10–25 mcg fentanyl atau 5–10 mcg sufentanil ke
dalam larutan anestesi lokal meningkatkan intensitas blok dan memperpanjang
durasinya tanpa mempengaruhi neonatal. Penambahan morfin (0,1-0,3 mg) dapat
memperpanjang analgesia pasca operasi hingga 24 jam, tetapi membutuhkan
pemantauan untuk depresi pernapasan pasca operasi. Pada pasien obesitas, standar
3,5 inci (9 cm) jarum spinal mungkin tidak cukup panjang untuk mencapai ruang
subaraknoid. Dalam kasus ini, jarum spinal yang lebih panjang dari 4,75 inci (12 cm)
hingga 6 inci (15,2 cm) mungkin diperlukan. Untuk mencegah jarum yang lebih
panjang ini tertekuk, beberapa ahli anestesi lebih suka jarum berdiameter lebih besar,
seperti jarum Sprotte 22-gauge atau, 2,5-in. (6,3 cm) (Morgan dan Mikhail, 2013)..
15
Komplikasi anestesi spinal diklasifikasikan sebagai minor atau major. Komplikasi
minor terdiri dari perubahan status fisiologis pasien. Komplikasi minor meliputi
nausea dan muntah, insufisiensi pernapasan, sakit kepala pasca tusukan lumbar lebih
umum pada jarum yang lebih besar dan pasien yang lebih muda, dan nyeri punggung.
Komplikasi utama atau major termasuk cedera saraf, meningitis, dan disfungsi
neurologis lainnya, tetapi ini jarang terjadi. (Patel,2015)
2.3.3 Anestesi Epidural
Anestesi epidural biasanya melibatkan jarum berdiameter lebih besar daripada
jarum yang digunakan pada anestesi spinal untuk penempatan kateter yang
memungkinkan suplementasi anestesi jika perlu dan menyediakan rute yang sangat
baik untuk pemberian opioid pasca operasi. Jarum epidural melewati jaringan yang
sama seperti jarum anestesi spinal tetapi ujung jarum epidural diposisikan dalam
ruang epidural yang terletak tepat sebelum ruang dura dan subarachnoid (Patel,
2015).
Prosedur standar untuk pemberian anestesi epidural pada dasarnya sama
dengan blok subarachnoid. Prosedur aseptik harus dipertahankan sepanjang prosedur.
Setelah pembersihan dilakukan pada punggung ibu hamil, lokasi tusukan yang
direncanakan antara dua vertebra yang berdekatan dilakukan menggunakan anestesi
lokal. Tusukan di lokasi menggunakan jarum 19G. Jarum epidural dimasukkan ke
dalam kulit melalui ligamentum supraspinous, dengan jarum menunjuk ke arah
cephalad. Ini kemudian maju ke ligamen interspinous sampai terdapat sensasi
berbeda dari peningkatan resistensi yang dirasakan saat jarum masuk ke ligamentum
flavum. Kadang-kadang, kehilangan resistensi dapat menyebabkan beberapa
kesulitan menempatkan epidural. Saat jarum memasuki ligamentumflavum, biasanya
ada sensasi yang berbeda dari peningkatan resistensi, karena ligamen tersebut padat
dengan konsistensi kasar (Patel,2015).
16
Setelah aspirasi negatif dan dosis uji negatif, total 15-25 mL anestesi lokal
disuntikkan secara perlahan dalam peningkatan 5 mL untuk meminimalkan risiko
toksisitas anestesi lokal sistemik. Lidocaine 2% (biasanya dengan epinefrin 1:
200.000) atau chloroprocaine 3% umum digunakan. Tambahan fentanil, 50-100 mcg,
atau sufentanil, 10-20 mcg, sangat meningkatkan intensitas analgesia dan
memperpanjang durasinya tanpa mempengaruhi bayi dalam rahim. Beberapa praktisi
juga menambahkan natrium bikarbonat (7,5% atau 8,4% larutan) ke dalam larutan
anestesi lokal (1 mEq / 10 mL lidokain) untuk meningkatkan konsentrasi basa bebas
nonionisasi dan menghasilkan onset yang lebih cepat dan penyebaran anestesi
epidural yang lebih cepat. Jika rasa sakit muncul, anestesi lokal tambahan diberikan
dalam peningkatan 5 mL. Setelah melahirkan, suplementasi opioid intravena juga
dapat digunakan. Nyeri yang tetap dan tidak dapat ditoleransi dan yang terbukti tidak
responsif terhadap tindakan ini memerlukan anestesi umum dengan intubasi
endotrakeal. Mual dapat diobati secara intravena dengan antagonis reseptor 5-HT3
seperti ondansetron4 mg (Morgan dan Mikhail, 2013)..
Morfin epidural (5 mg) pada akhir operasimemberikan efek anti nyeri yang
baik hingga sangat baik pasca operasi selama 6-24 jam. Peningkatan insiden (3,5-
30%)infeksi herpes simplex labialis berulangtelah dilaporkan 2-5 hari setelah
pemberian morfin epidural dalam beberapa penelitian. Pasca operasianalgesia juga
dapat diberikan infus epidural terus menerus dengan fentanyl, 25-75 mcg / jam, atau
sufentanil, 5-10 mcg / jam. Butorphanol epidural, 2 mg, juga dapat memberikan efek
anti nyeri pasca operasi yang efektif, tetapi somnolen adalah efek samping (Morgan
dan Mikhail, 2013)..
Walaupun obat yang digunakan dalam teknik spinal dan epidural serupa,
sekitar sepuluh kali volume anestesi diperlukan untuk teknik epidural untuk mencapai
tingkat anestesi yang sama untuk operasi caesar dibandingkan dengan anestesi spinal
(Patel,2015).
17
2.3.4 Kombinasi Anestesi Epidural Spinal
Teknik kombinasi epidural spinal mempunyai beberapa keuntungan yaitu
kecepatan onset, kebutuhan yang lebih rendah untuk analgesik tambahan, insiden
hipotensi yang lebih rendah, dosis anestesi lokal lebih rendah. Jika blokdilakukan
dengan benar, teknik ini dapat dikaitkan dengan semua keuntungan tersebut.
Kombinasi anestesi epidural spinal memberikan onset lebih cepat untuk
menghilangkan rasa sakit saat setelah injeksi. Anestesi kombinasi epidural spinal
tampaknya aman untuk kasus preeklampsia / eklampsia berat (Patel,2015).
Untuk seksio sesarea, teknik ini menggabungkan manfaat anestesi spinal yang
cepat, andal, dan intens dengan fleksibilitas kateter epidural. Kateter ini juga
memungkinkan suplementasi anestesi dan dapat digunakan untuk analgesia pasca
operasi. Seperti disebutkan sebelumnya, obat yang diberikan secara epidural harus
diberikan dan dititrasi dengan hati-hati karena lubang dural yang dibuat oleh jarum
tulang belakang dapat memfasilitasi pergerakan obat epidural ke CSF dan
meningkatkan efeknya (Morgan dan Mikhail, 2013).
2.3.5 Anestesi General
Anestesi general memiliki keuntungan seperti (1) awitan yang sangat cepat,
(2) kontrol terhadap jalan nafas dan ventilasi, (3) kenyamanan yang lebih besar untuk
ibu melahirkan yang memiliki ketakutan yang tidak wajar terhadap jarum atau
operasi, dan (4) berpotensi hipotensi lebih kecil daripada anestesi regional. Anestesi
umum juga memfasilitasi manajemen jika terjadi komplikasi hemoragik parah.
Kerugian utamanya adalah risiko aspirasi paru, potensi ketidakmampuan untuk
intubasi atau ventilasi pasien, dan depresi janin yang diinduksi obat. Akan tetapi,
teknik anestesi saat ini membatasi dosis agen intravena sehingga depresi janin
biasanya tidak bermakna secara klinis dengan anestesi umum ketika kelahiran terjadi
dalam 10 menit induksi anestesi. Terlepas dari jenis anestesi, neonatus yang
18
dilahirkan lebih dari 3 menit setelah insisi uterus memiliki skor Apgar dan nilai pH
yang lebih rendah (Morgan dan Mikhail, 2013). Masalah utama dengan anestesi
umum untuk persalinan sesar adalah timbulnya kesadaran ibu yang terkait dengan
penggunaan dosis kecil dan anestesi konsentrasi rendah dengan tujuan meminimalkan
efek pada neonatal. Penggunaan konsentrasi rendah dari agen anestesi volatile kuat
akan berhasil mencegah kesadaran tanpa efek neonatal yang merugikan atau
perdarahan uterus yang berlebihan. Seperti disebutkan di atas, desflurane 4,5% atau
sevoflurane 1,5% dalam 50% nitro oksida telah terbukti menjamin hal-hal diatas
(Dongare dan Nataraj,2018).
Aspirasi paru dari isi lambung dan kegagalan intubasi endotrakeal adalah
penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu terkait dengan anestesi umum. Semua
pasien harus menerima profilaksis terhadap pneumonia aspirasi dengan 30 mL
natrium sitrat 30-45 menit sebelum induksi. Pasien dengan faktor risiko tambahan
yang memengaruhi aspirasi juga harus menerima ranitidine intravena, 50 mg, atau
metoclopramide, 10 mg, atau keduanya, 1-2 jam sebelum induksi; faktor-faktor
tersebut termasuk obesitas morbid, gejala gastroesophageal reflux, jalan napas sulit,
atau bedah persalinantanpa periode puasa elektif (Morgan dan Mikhail, 2013).
Antisipasi dari intubasi endotrakeal yang sulit dapat membantu mengurangi
kejadian kegagalan intubasi. Pemeriksaan leher, mandibula, gigi, dan orofaring
membantu memprediksi pasien mana yang mungkin mengalami masalah. Prediktor
yang berguna untuk intubasi sulit meliputi klasifikasi Mallampati, leher pendek,
mandibula yang menyusut, gigi seri rahang atas yang menonjol, dan riwayat intubasi
sulit. Insiden intubasi yang gagal pada pasien hamil yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien bedah yang tidak hamil mungkin karena edema jalan napas, gigi
penuh, atau payudara besar yang dapat menghalangi pegangan laringoskop pada
pasien dengan leher pendek. Posisi kepala dan leher yang tepat dapat memfasilitasi
intubasi endotrakeal pada pasien obesitas. Berbagai bilah laringoskop, pegangan
laringoskop pendek, setidaknya satu tabung endotrakeal ekstra stiletted (6 mm),
forceps Magill (untuk intubasi hidung), jalan nafas masker laring (LMA), LMA
19
intubasi (Fastrach), dan bronkoskop beroptic, laringoskop berbantuan video
(GlideScope atau Stortz CMAC), kemampuan untuk ventilasi jet transtracheal, dan
mungkin Combitube esofagus-trakea harus tersedia (Morgan dan Mikhail, 2013).
Ketika potensi kesulitan dalam mengamankan jalan nafas dicurigai, alternatif
untuk induksi cepat dengan laringoskopi konvensional, seperti anestesi regional harus
dipertimbangkan. Kami telah menemukan bahwa laringoskopi berbantuan video telah
sangat mengurangi timbulnya intubasi trakea yang sulit atau gagal. Pada kasus gawat
janin, jika ventilasi spontan (dengan masker atau LMA) dengan tekanan krikoid
mungkin dilakukan, persalinan dapat dilakukan. Dalam hal demikian, zat volatil yang
kuat dengan oksigen digunakan untuk anestesi, tetapi begitu janin dilahirkan, nitro
oksida dapat ditambahkan untuk mengurangi konsentrasi zat volatil; sevoflurane
mungkin merupakan agen volatil terbaik karena paling tidak mungkin menekan
ventilasi. Ketidakmampuan untuk memberikan ventilasi kepada pasien kapan saja
mungkin memerlukan krikotirotomi atau trakeostomi segera (Morgan dan Mikhail,
2013).
Teknik yang Disarankan untuk Seksi Caesar yaitu sebagai berikut (Morgan dan
Mikhail, 2013) :
1. Pasien ditempatkan terlentang dengan irisan di pinggul kanan bawah untuk
perpindahan rahim kiri
2. Denitrogenasi dilakukan dengan oksigen 100% selama 3-5 menit.
3. Pasien disiapkan dan dibungkus untuk operasi.
4. Ketika dokter bedah siap, induksi urutan cepat dengan tekanan krikoid dilakukan
menggunakan propofol, 2 mg / kg, atau ketamin, 1-2 mg / kg, dan suksinilkolin, 1,5
mg / kg. Ketamin digunakan sebagai pengganti propofol pada pasien hipovolemik.
Agen-agen lain, termasuk methohexital dan etomidate, memberikan sedikit
manfaat pada pasien.
20
5. Dengan beberapa pengecualian, operasi dimulai hanya setelah penempatan yang
tepat dari endotrakeal tube terkonfirmasi. Hiperventilasi berlebihan (PaCO2 <25
mm Hg) harus dihindari karena dapat mengurangi aliran darah uterus dan telah
dikaitkan dengan asidosis janin.
6. Lima puluh persen nitro oksida dalam oksigen dengan hingga 0,75 MAC dari zat
volatil konsentrasi rendah (misalnya, 1% sevoflurane, 0,75% isoflurane, atau 3%
desflurane) digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Dosis volatil yang rendah
membantu memastikan amnesia tetapi umumnya tidak cukup untuk menyebabkan
relaksasi uterus yang berlebihan atau mencegah kontraksi uterus setelah oksitosin.
Relaksan otot dengan durasi sedang (atracurium, cisatracurium, atau rocuronium)
digunakan untuk relaksasi, tetapi dapat menyebabkan blokade neuromuskuler yang
berkepanjangan pada pasien yang menerima magnesium sulfat.
7. Setelah neonatus dan plasenta lahir, 20–80 unit oksitosin ditambahkan ke cairan
intravena, dan ditambahkan 20 unit untuk cairan berikutnya.
8. Jika rahim tidak berkontraksi dengan mudah, opioid harus diberikan, dan agen
terhalogenasi harus dihentikan. Methylergonovine (Methergine), 0,2 mg
intramuskular atau dalam 100 mL salin normal sebagai infus intravena lambatjuga
dapat diberikan tetapi dapat meningkatkan tekanan darah arteri.
9. Pada akhir operasi, relaksan otot sepenuhnya terbalik, pasien diekstubasi.
21
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Natalina
No. RM : 19024820
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 33 tahun
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Desa Lajuk, Porong, Sidoharjo
Diagnosis : G2P1001 37 minggu 3 hari T/H PK I + distosia bahu
Tindakan : Sectio Cesarean Cito
MRS : 5Juni 2019 (06.00 WITA)
3.2 Anamnesis
Pasien perempuan berusia 33 tahun rujukan dari klinik Tiara Husada dengan
keluhan nyeri perut sejak 9 jam sebelum masuk rumah sakit.Keluhan nyeri perut
dirasakan muncuk secara tiba-tiba dan hilang timbul dengan intensitas sedang
berat dimana pasien tidak bisa beraktivitas, hanya berbaring di tempat tidur.
Pasien mengaku keluhannya tersebut tidak membaik dengan beristirahat saja,
bahkan semakin lama semakin nyeri sehingga pasien datang ke IGD Rumah Sakit
22
Sanglah. Keluhan tersebut dikatakan disertai dengan keluarnya air dan lendir
darah dari kemaluan. Gerak janin dirasakan masih baik. Keluhan demam
sebelumnya disangkal.
Riwayat penyakit dahulu : Pasien tidak pernah menderita penyakit
sistemik seperti hipertensi, diabetes mellitus,
penyakit lainnya.
Riwayat operasi : Pasien tidak pernah menjalani operasi
sebelumnya
Riwayat alergi : Riwayat alergi terhadap obat dan makanan
tidak ada.
Riwayat makan minum terakhir : Tanggal 4 juni 2019 (pukul 20.00 WITA)
Riwayat sosial : Pasien saat ini tidak bekerja. Tidak
mengonsumsi minuman berlakohol dan
merokok.
Riwayat Obstetri : - Hamil pertama/Aterm/Spontan/Laki-
laki/3000g
- Hamil ini
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
BB : 80 kg, TB : 160 cm, BMI : 31,25 kg/m2, Suhu aksila : 36,8oC, NRS diam:
3/10, NRS bergerak : 6/10
SSP : Kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6, pupil isokor 3 mm/3 mm,
RC/RK +/+
Respirasi : Frekuensi 22 kali/menit, tipe vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-),
SpO2 99%
KV : TD 130/70 mmHg, HR 114 kali/menit, bunyi jatung S1-S2 tunggal,
regular, murmur (-), gallop (-)
23
GIT : Supel, fundus uteri setinggi 2 jari di bawah prosesus xifoideus
UG : BAK spontan
MS : Fleksi defleksi leher normal, Mallampati II, geligi utuh
Status Obstetri
Mammae:
Inspeksi
Simetris, hiperpigmentasi aerola mammae (+)
Abdomen:
Inspeksi
Tampak perut membesar, disertai adanya striae gravidarum
Palpasi
Pemeriksaan Leopold
I. Tinggi fundus uteri 2 jari di bawah prosesus xifoideus. Teraba bagian bulat
dan lunak (kesan bokong).
II. Teraba bagian keras, datar dan memanjang di perut bagian kiri (kesan
punggung) dan teraba bagian kecil di perut bagian kanan (kesan ekstremitas).
III. Teraba bagian bulat, keras dan susah digerakkan (kesan kepala).
IV. Bagian bawah masuk pintu atas panggul (divergen).
- His (+) 3-4 kali dalam 10 menit dengan durasi 30-35 detik tiap his.
- Gerak janin (+)
Auskultasi
Bising usus (+), denyut jantung janin (DJJ) terdengar paling keras di sebelah kiri
bawah umbilikus dengan frekuensi 148 kali/menit.
Vagina:
V/v normal
Ketuban (-)
Blood slym (+)
24
3.4 Pemeriksaan Penunjang
• Darah Lengkap (5/6/19)
WBC 22,9x103µ/µL (4,1-11,0), HGB 10,11 g/dL (12,0-16,0), HCT 32,96%
(36,0-46,0), PLT 401,5 x103µ/µL (140-440)
• Faal Hemostasis (6/4/19, 01.55 WITA)
PT 12.2 detik (10,8-14,4), APTT 25,6 detik (24-36), INR 0,96 (0,9-1,1)
3.5 Permasalahan dan Kesimpulan
Permasalahan Aktual : Gravida dengan distosia bahu
Permasalahan Potensial : Perdarahan, instabilitas hemodinamik
Kesimpulan : Status Fisik ASA II
3.6 Persiapan Anestesi
Informed consent, SIO, puasa, STATICS, obat anestesi dan emergency, infus
warmer, komponen darah, IV line bore besar, spinal set.
3.7 Manajemen Operasi
➢ Teknik Anestesi RA BSA
Pre medikasi : tidak ada
Induksi : Bupivacain Heavy 0,5% 12,5 mg
Medikasi lain : - Oksitosin 10 IU lanjut 30 IU drip
-Ondansetron 4 mg IV
-Methergin 0,4 mg IV
Durante operasi
Hemodinamik : TD 90-110/60-70 mmHg, Nadi 80-100x/menit, SpO2 99-
100%
Cairan masuk : RL 1000 ml
Cairan keluar : Urin 100 ml, perdarahan 600 ml
25
Lama operasi :1 jam 20 menit
Ditemukan : lahir bayi laki-laki langsung menangis dengan berat badan
3600 gram, panjang 51 cm, Apgar Score 7/9
➢ Post Operasi
Analgetik : Morfin 20mg dalam 20 ml NS kecepatan 0,6 ml/jam,
paracetamol 500mg setiap 6 jam
Perawatan : Rawat Cempaka II Obstetri
26
BAB IV
DISKUSI KASUS
Green code adalah sistem penanganan gawat darurat obstetri yang
mengancam keselamatan dari resiko kecacatan atau kematian janin dengan dilakukan
persalinan melalui tindakan Sectio Caesaria. Green code (kode hijau) merupakan
kode yang digunakan RSUP Sanglah untuk mempercepat response time dalam
penanganan gawat janin. Pelaksanaaan satu sistem management gawat janin dengan
sistem Green Code memerlukan waktu rata-rata kurang dari 10 menit mulai dari
penentuan diagnosis gawat janin sampai insisi kulit abdomen.
Pasien kasus ini, pasien mengeluhkan nyeri perut sejak 9 jam sebelum masuk
rumah sakit yang muncul secara tiba-tiba dan hilang timbul. Keluhan tersebut
disertai dengan keluarnya air dan lendir darah dari kemaluan. Gerak janin dirasakan
masih baik. Riwayat penyakit dahulu, riwayat operasi dan riwayat alergi disangkal.
Pasien saat ini tidak bekerja. Tidak mengonsumsi minuman berlakohol dan merokok.
Pasien mengaku kehamilan ini adalah kehamilan kedua. Saat kehamilan pertama
pasien melahirkan bayi laki-laki seberat 3000 gram secara spontan dengan usia
kehamilan cukup bulan.
Pada pasien telah dilakukan evaluasi praoperasi dan tidak didapatkan adanya
riwayat penyakit pasien yang dapat mengubah manajemen pasien selama dilakukan
operasi. Pada pemeriksaan fisik umum tidak terdapat kelainan. Pada pemeriksaan
status obstetrik ditemukan tanda-tanda persalinan dimana sudah terdapat his
sebanyak 3-4 kali dalam 10 menit dengan durasi 30-35 detik tiap his dan terdapat
blood slym. Frekuensi denyut jantung janin 148 kali/menit dan gerak janin dirasakan
baik. Pada pemeriksaan penunjang, ditemukan hasil laboratorium adanya
leukositosis dengan WBC 22,9x103µ/µ L, anemia dengan kadar Hb 10,11 g/dL, HCT
menurun yaitu 32,96%, dan peningkatan PLT 401,5x103µ/µL. Sedangkan pada faal
hemostasis masih dalam batas normal.
27
Kasus ini belum termasuk gawat janin. Pasien mengeluhkan nyeri perut
hilang timbul disertai dengan keluarnya air dan lendir darah dari kemaluan. Tidak
terdapat mekonium pada saat observasi, dan juga denyut jantung janin masih dalam
batas normal yaitu 148 kali/menit. Hanya saja pasien mengalami proses kala I yang
lama akibat distosia bahu yang dicurigai karena bayi makrosomia sehingga janin
harus segera dievakuasi untuk menghindari resiko gawat janin. Oleh karena kasus
tersebut belum pada fase gawat janin, maka aktivasi Green Code tidak dilakukan,
namun tindakan yang dilakukan berupa Sectio Secarea Cito.
Pada pasien ini dilakukan teknik RA BSA dengan tanpa premedikasi. Pasien
diinduksi dengan Bupivacain Heavy 0,5% 12,5 mg. Dosis bupivacaine yang
digunakan telah sesuai dengan teori yang menyarankan penggunaan bupivacaine
pada anestesi regional spinal antara 10-15 mg. Bupivacaine paling banyak digunakan
dalam operasi obstetri darurat karena onsetnya yang cepat. Selain itu, pasien juga
diberikan medikasi lain yaitu Oksitosin 10 IU dilanjutkan 30 IU drip, Methergin 0,4
mg IV yang bertujuan untuk meningkatkan kontraksi uterus pasca melahirkan
sehingga pasien terhindar dari resiko perdarahan. Pasien juga diberikan Ondansetron
4 mg IV yang bertujuan untuk mencegah terjadinya aspirasi. Hal tersebut berkaitan
dengan teori menyebutkan bahwa ibu melahirkan dianggap berisiko tinggi untuk
mengalami aspirasi karena sfingter esofagus yang rileks yang disebabkan oleh
progesteron, waktu pengosongan lambung yang lama, dan tekanan uterus yang berat
pada diafragma.
Saat operasi berlangsung, status hemodinamik pasien masih dalam batas
normal yaitu tekanan darah dalam rentang 90-110/60-70 mmHg, nadi dalam rentang
80-100x/menit, dan saturasi oksigen 99-100%. Dengan lama operasi 1 jam 20 menit,
lahir bayi laki-laki langsung menangis dengan berat badan 3600 gram, panjang 51
cm, Apgar Score 7/9. Setelah operasi diberikan analgetik morfin 20mg dalam 20 ml
NS kecepatan 0,6 ml/jam, paracetamol 500mg setiap 6 jam. Berdasarkan teori,
penambahan morfin dapat memperpanjang analgesia pasca operasi hingga 24 jam,
tetapi membutuhkan pemantauan untuk depresi pernapasan pasca operasi.
28
BAB V
KESIMPULAN
Masa perinatal adalah saat bayi lahir sampai 28 hari kehidupannya paling
sering ditemukan adanya masalah pada bayi baru lahir. Kasus gawat janin dengan
keterlambatan waktu evakuasi janin akan memperpanjang lamanya hipoksia pada
janin dan dapat berakibat terjadinya asfiksia berat atau mungkin kematian janin saat
masih di dalam rahim, kematian saat lahir (still birth) atau kematian perinatal. Kasus
gawat janin diperlukan waktu sesegera mungkin melahirkan janin untuk mengatasi
kekurangan oksigen (hipoksia) (Sanjaya, 2008).
Green code adalah sistem penanganan gawat darurat di bidang Obstetri yaitu
penanganan pada kehamilan yang mengancam keselamatan dari resiko kecacatan atau
kematian janin dengan dilakukan persalinan melalui tindakan Sectio Caesaria.
Pelaksanaaan sistem management gawat janin dengan sistem Green Code
memerlukan waktu rata-rata kurang dari 10 menit yaitu mulai dari penentuan
diagnosis gawat janin sampai incisi kulit abdomen. (RSUP Sanglah, 2015).
Anestesi untuk operasi caesar menjadi salah satu yang paling umum dilakukan
di seluruh dunia. Anestesi regional telah menjadi teknik yang lebih disukai untuk
kelahiran caesar. Dibandingkan dengan anestesi umum, anestesi regional dikaitkan
dengan penurunan angka kematian ibu, kebutuhan akan obat yang lebih sedikit,
penurunan kehilangan darah dan kontrol nyeri pascaoperasi yang sangat baik.
Kelebihan anestesi umum daripada anestesi regional diketahui meliputi induksi yang
lebih cepat, hipotensi yang lebih sedikit, dan kecemasan ibu yang lebih sedikit dan
penerapannya dalam situasi di mana ada kontraindikasi untuk anestesi regional.
Meskipun literatur yang tersedia menunjukkan bahwa kedua teknik tersebut aman.
Kehilangan kontrol jalan napas telah dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang
parah selama anestesi umum (Patel,2015).
29
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea. 2012.
Intrapartum Assessment. Williams obstetrics. Ed.22. Stamford: Appleton and
Lange.
Datta S. Fetal Distress. 2014. Anesthetic and Obstetric Management of High-Risk
Pregnancy. Ed.3. New York : Springer.
Dongare A, Nataraj S. 2018, Anaesthetic Management of Obstetric Emergencies
Department of Anaesthetic, Bengaluru, Karnataka.
Hariadi R. Gawat Janin. 2014. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Ed.1. Surabaya :
Himpunan Kedokteran Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
Lie SA, Mok MU. 2017. Peri-Operative Management of Caesarean Section for the
Occasional Obstetric Anaesthetist – an Aide Memoire. Proc Singapore Health.
Manuaba F. 2017. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC.
Morgan GE, Mikhail M. 2013. Morgan Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th
Edition. Mc Graw Hill Education.
Patel N, 2015. Anesthesia for Cesarean Delivery-Department of Anesthesia Gujarat
Adana Instituteof Medical Science.
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. 2015. SPO Pelayanan Gawat Darurat
Green Code.
Sanjaya H. 2008.Meningkatkan Response Time di IRD dengan Emergency Code
Sebagai Implementasi Patient Safety. Indonesian Hospital Management
Award.
30
Smith I, Kranke P, Murat I, Smith A, O’Sullivan G, Soreide E. 2011. Guidelines from
the European Society of Anaesthesiology. Eur J Anaesthesiol.