Post on 24-Dec-2015
description
MAKALAH
HADITS SHAHIH, HASAN, DAN DHA’IF
Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Dr. H. M. Akib, M.Ag.
Disusun oleh Kelompok 5 Psikologi Islam B :
Zuliana Halimatus Sa’diyah (933406914)
Putri Mahsunatul Qoiriah (933407014)
Iva Nur Kiftiyah (933407114)
Annisa Nuril Fadilla (933407314)
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM
JURUSAN USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
KEDIRI
2014
A. PENDAHULUAN
Pengkodifikasian hadits sudah dimulai sejak abad ke-2 H. Pada masa
ini belum ada klasifikasi antara hadits-hadits marfu’, mauquf dan maqthu’.
Setelah tersusun kitab-kitab tadwin, para ulama’ hadits berdasarkan jumlah
perawinya membagi hadits menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Hadits
mutawatir bersifat qath’iy ats-tsubut (absah secara mutlak) yang wajib
diterima dan diamalkan. Sedangkan hadits ahad masih bersifat dhanniy
(dugaan yang kuat akan kebenarannya). Sehingga harus diteliti lagi baik
sanad maupun matannya.
Dari segi kualitasnya, hadits ahad dibagi menjadi tiga, yaitu hadits
shahih, hasan, dan dha’if. Pengklasifikasian ini terjadi pada abad ke-3 H yang
didasarkan atas penelitian terhadap sanad dan matan hadits. Sebuah hadits
harus terbukti keotentikannya atau keshahihannya. Sebuah hadits harus
memiliki kriteria-kriteria otentisitas hadits yaitu: (1) Diriwayatkan dengan
sanad (jalur transmisi) yang bersambung sampai Rasulullah saw; (2) Sanad
tersebut terdiri dari orang-orang yang bertakwa dan kuat ingatannya; (3)
Kandungan matan hadits tidak berlawanan dengan al-Qur’an atau hadits lain
yang diriwayatkan dengan sanad yang kualitasnya lebih unggul; dan (4)
Hadits tersebut tidak mengandung kecacatan. Namun demikian, tetap ada
golongan yang menolak otentisitas hadits, yakni kaum orientalis.
Dari ulasan singkat sejarah hadits diatas, pemakalah akan membahas
lebih lanjut tentang bagaimana penjabaran substansi-substansi dari hadits
shahih, hasan, dan dha’if. Kemudian tentang bagaimana perbedaan pemikiran
ulama’ hadits klasik dengan ulama’ hadits kontemporer. Dan tentang
kontroversi orientalis dalam menilai otentisitas suatu hadits.
B. SETTING HISTORIS
1. Ulama’ Hadits Klasik
1
Pada mulanya, hadits berdasarkan jumlah perawinya dibagi
menjadi hadits mutawatir dan hadits ahad. Sedangkan hadits ahad dibagi
lagi menjadi dua berdasarkan dari segi kehujjahannya, yaitu hadits
maqbul dan mardud. Menurut mayoritas ulama’ hadits maqbul adalah
hadits shahih dan hadits hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits
dha’if.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hadits tersebut salah
satunya intelektualitas para perawi yang berbeda-beda. Kemudian jalur
periwayatan hadits yang bervariasi seperti contohnya riwayat hadits oleh
Bukhari,Muslim,Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibn Majah dan lain-
lain. Kemudian persambungan sanad mulai dari awal sampai akhir.
Disini tingkat kedhabitan perawi sangat penting agar mata rantai sanad
dan matan terjaga.
2. Ulama’ Hadits Kontemporer
Masa ulama’ hadits kontemporer adalah masa pengembangan dan
penyempurnaan sistem penyusunan kitab hadits. Setelah munculnya
Kutub as-Sittah, al-Muwaththa’ karya Imam Malik, serta al-Musnad
karya Ahmad ibn Hanbal, para ulama’ mengalihkan perhatian pada upaya
menyusun kitab-kitab Jawami, kitab Syarah Mukhtasar, Tahrij, kitab
Athraf dan Jawaid, serta menyusun kitab hadits secara tematis. Ulama’
yang masih menyusun kitab hadits yang memuat hadits-hadits shahih
diantaranya Ibnu Hibban (w. 354 H), Ibnu Khuzaimah (w. 331 H), dan
an-Naisaburiy.
Penyusunan kitab pada masa ini mengarah pada usaha
mengembangkan variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang telah
ada, diantaranya dengan mengumpulkan isi kitab Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim seperti yang dilakukan oleh Muhammad Ibnu Abdillah
al-Jauzaqi dan Ibnu al-Furat (w. 414 H). Mereka pun mengumpulkan isi
kitab yang sama, seperti yang dilakukan oleh Ibnu al-Kharrat (w. 583 H),
al-Fairu az-Zabadi dan Ibnu al-Asir al-Jazari. Ada yang mengumpulkan
2
kitab-kitab hadits mengenai hukum, seperti yang dilakukan oleh ad-
Daruquthni, al-Baihaqiy, Ibnu Daqiq al-Ied, Ibnu Hajar al-Asqalaniy, dan
Ibnu Qudamah.1
Masa ini juga merupakan masa penyaringan hadits. Yaitu harus
diketahui seluk-beluk para perawinya, silsilah sanadnya, dan makna
hadits secara tekstual karena sering terjadi perubahan huruf dan syakal
dalam kalimat matan hadits.
C. SUBSTANSI DARI TERMINOLOGI
1. SHAHIH
a. Pengertian Hadits Shahih
1) Menurut Abu Amr ibn ash-Shalah
بنقل اسناده يتصل المسندالذي هو الصحيح الحديث
والمعلال شاذا يكون وال منتهاه الى الضابط .العدل
Hadits shahih adalah musnad yang sanadnya muttashil melalui
periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil
lagi dhabit (pula) sampai ujungnya, tidak syadz dan tidak
mu’allal (terkena ‘illat).2
2) Menurut Imam Nawawiy
وال شذود غير من الضابطون بالعدول سنده مااتصل هو
.علة
Hadits shahih adalah hadits yang muttashil sanadnya melalui
(periwayatan) orang-orang yang adil lagi dhabit tanpa syadz
dan ‘illat.3
Yang dimaksud muttashil disini adalah hadits tersebut
sanadnya bersambung sampai akhir, baik marfu’ (sampai kepada
Rasulullah saw.) maupun mauquf yang berarti hadits tersebut
1 Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, CV Pstaka Setia, Bandung, 2012, hlm. 189.2 Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 276.3 Ibid.
3
diriwayatkan oleh sahabat. Sedangkan hadits yang maqthu’ tidak
termasuk muttashil karena periwayatnya terhenti sampai tabi’in saja.
Perawi yang adil lagi dhabit disebut perawi tsiqah. Disini
dapat kita simpulkan bahwa hadits shahih adalah hadits yang
muttashil sanadnya oleh perawi tsiqah dari perawi lain yang tsiqah
pula sampai akhir, dan tidak syadz dan tidak terkena ‘illat.
b. Kriteria-kriteria Hadits Shahih
1) Persambungan sanad (muttashil)
Yakni setiap perawi dalam sanad bertemu dan menerima
periwayatan dari perawi sebelumnya baik secara langsung (
ة/ ر1 1اش1 6م5ي) atau secara hukum (م3ب dari awal sanad sampai (ح3ك
akhirnya.
a) Pertemuan langsung (mubasyarah), seorang bertatap muka
langsung dengan syaikh yang menyampaikan periwayatan.
b) Pertemuan secara hukum (hukmiy), seorang meriwayatkan
hadits dari seseorang yang hidup semasanya dengan
ungkapan kata yang mungkin mendengar atau mungkin
melihat.
2) Keadilan para perawi (‘adalah ar-ruwah)
Adil secara bahasa artinya seimbang atau meletakkan
sesuatu pada tempatnya. Orang yang adil adalah orang yang
lurus agamanya, baik pekertinya serta bebas dari kefasikan.
Fasik artinya tidak patuh beragama (al-khuruj’an at-tha’ah),
mempermudah dosa besar atau melenggangkan dosa kecil secara
kontinu. Seorang perawi haruslah menjaga muru’ah, artinya
menjaga kehormatan, menjalankan segala adab dan akhlak yang
terpuji dan menjauhi sifat-sifat yang tercela menurut umun dan
tradisi.
3) Para perawi bersifat dhabit (dhabt ar-ruwah)
4
Dhabit berarti kuat dan sempurna hafalannya. Maksudnya,
para perawi itu benar-benar sadar dan paham ketika
meriwayatkan hadits, dan menghafalnya sejak pertama
menerima sampai meriwayatkan suatu hadits. Daya ingat dan
hafalan kuat ini sangat diperlukan dalam rangka menjaga
otentisitas hadits.
4) Tidak terjadi kejanggalan (syadz)
Syadz dalam bahasa berarti ganjil, terasing, atau
menyalahi aturan, maksud syadz disini adalah periwayatan
orang yang tsiqah bertentangan dengan periwayatan orang yang
lebih tsiqah.
5) Tidak terjadi ‘illat
Dalam bahasa arti ‘illat = penyakit, sebab, alasan atau
udzur. Sedang arti ‘illat disini adalah suatu sebab tersembunyi
yang membuat cacat suatu hadits padahal dhahirnya selamat
dari cacat tersebut.
c. Pembagian Hadits Shahih
Pembagian hadits shahih ada dua macam, yaitu:
1) Shahih li dzatihi (shahih dengan sendirinya), yaitu karena sudah
memenuhi 5 kriteria hadits shahih secara maksimal.
2) Shahih li ghairihi (shahih karena sebab lain), yaitu hadits shahih
yang kurang memenuhi syarat-syarat secara maksimal. Seperti
rawinya adil tetapi kurang sempurna kedhabitannya, atau hadits
tersebut berkualitas hasan li dzatihi namun memiliki mutabi’4
yang menguatkan hadits tersebut.
d. Istilah-istilah dalam Hadits Shahih
4 Lihat halaman
5
Ada beberapa istilah yang bisa digunakan oleh ulama’ hadits
dalam menunjuk hadits itu shahih, misalnya sebagai berikut.5
1) 6ح/ ي ص1ح5 6ث/ ح1د5ي ini hadits shahih. Artinya hadits tersebut = ه1ذ1ا
telah memenuhi segala persyaratan hadits shahih baik sanad dan
matannya.
2) 6ح/ ي ص1ح5 6ر3 غ1ي 6ث/ ح1د5ي ini hadits tidak shahih. Artinya hadits = ه1ذ1ا
tersebut tidak memenuhi persyaratan hadits shahih baik
persyaratan yang menyangkut sanad atau matan.
3) 1اد5 ن 5س6 اال6 6ح/ ي ص1ح5 6ث/ ح1د5ي = ه1ذ1ا hadits ini shahih isnadnya.
Berarti hanya shahih dalam sanad-nya saja sedang matan-nya
belum tentu shahih mungkin terjadi adanya kejanggalan (syadz)
atau adanya ‘illat, perlu penelitian lebih lanjut. Berarti
mukharrij-nya baru menanggung 5 syarat hadits shahih yang
menyangkut sanad saja, yaitu muttashil, adil, dhabith, tidak
adanya syadz dan ‘illat. Sedangkan syadz dan ‘illat pada matan
belum terselesaikan penelitiannya. Dengan demikian hadits yang
hanya shahih sanad-nya matan-nya belum tentu shahih. Namun,
jika ungkapan tersebut datangnya dari seorang hafizh yang dapat
dipedomani (mu’tamad) dan tidak menyebutkan ‘illat-nya, maka
lahirnya shahih matan-nya, karena asalnya tidak ada syadz dan
tidak ada ‘illat.
4) 6د 5ي ن ا س1 1 األ6 ص1ح;1 = أ sanad yang paling shahih. Sanad hadits
shahih memiliki tahap tingkatan yang berbeda sesuai dengan
kadar ke-dhabith-an dan keilmuan para perawi hadits tersebut.
Bentuk ungkapan ini yang secara mutlak diperselisihkan di
kalangan para ulama’ kecuali dibatasi di kalangan para sahabat
saja.
5) 1اب5 6ب ال ف5ى 6ئ? ي ش1 ص1ح;1 أ = ه1ذ1ا ini adalah yang paling shahih
dalam bab. Maksudnya hadits paling unggul dalam bab itu,
5 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 156.
6
tidak pasti meunjukkan hadits shahih, bisa jadi haditsnya lemah
atau hanya satu hadits yang memenuhi persyaratan shahih dalam
bab tertentu.
6) Perkataan al-Hakim: 6ن5 ي 6خ1 ي Bالش ط5 ر6 ش1 =ع1ل1ي artinya para
perawi pada sanad yang dinyatakan shahih sesuai dengan
persyaratan Al-Bukhari Muslim. Imam Bukhari dan Imam
Muslim sendiri tidak menjelaskan persyaratan tertentu secara
eksplisit dalam kedua kitabnnya yang melebihi yang disepakati
para ulama’. Namun, sebagian peneliti menyimpulkan adanya
syarat-syarat tertentu. Pendapat yang paling baik maksud
persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah para
perawi sanad itu sesuai dengan yang dikeluarkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua kitabnya atau salah
satunya dengan cara periwayatan yang sama pula.
7) Muttafaq ‘Alaih, maksudnya disepakati keshahihannya oleh
kedua syaikhayn al-Bukhari dan Muslim bukan disepakati para
ulama’ semuanya. Tetapi Ibn ash-Shalah mengatakan, bahwa
kesepakatan umat melaziminya karena mereka sepakat
menerima apa yang disepakati kedua ulama’ tersebut.
e. Tingkatan-tingkatan Hadits Shahih
Tujuh tingkatan hadits shahih mulai dari yang tertinggi sampai
sampai terendah, yaitu sebagai berikut:6
1) Muttafaq ‘Alaih, yakni disepakati keshahihannya oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim, atau akhrajuhu/awahu al-Bukhari
wa Muslim (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim) atau
akhrajuhu/rawahu asy-Syaykhab (diriwayatkan oleh dua orang
guru).
2) Diriwayatkan oleh Imam Bukhari saja.
3) Diriwayatkan oleh Imam Muslim saja.
6 Ibid., hlm. 158.
7
4) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan
Imam Bukhari dan Imam Muslim.
5) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratn
Imam Bukhari saja.
6) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan
Imam Muslim saja.
7) Hadits yang dinilai shahih menurut ulama’ hadits selain Imam
Bukhari dan Imam Muslim daan tidak mengikuti persyaratan
keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
f. Ashahhul Asanid Hadits Shahih
Ashahhul asanid adalah sanad-sanad yang derajat diterimanya
tinggi sebab perawi-perawi di dalamnya terdiri dari orang-orang
terkenal dengan keilmuan, kedhabitan dan keadilannya. Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama’ mengenai hai ini
diantaranya7:
1) Riwayat Ibnu Syihab az-Zuhriy dari Salim ibn Abdillah ibn
Umar dari Ibnu Umar.
2) Riwayat Sulaiman al-A’masy dari Ibrahim an-Nakha’iy dari al-
Qamah ibn Qais dari Abdullah ibn Mas’ud.
3) Imam Bukhari dan yang lain mengatakan, ashahhul asanid
adalah riwayat Imam Malik ibn Anas dari Nafi’ Maula ibn Umar
dari Ibn Umar. Dan karena Imam Syafi’i merupakan orang yang
paling utama yang meriwayatkan dari Imam Malik, dan Imam
Ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan
dari Imam Syafi’iy, maka sebagian ulama’ muta’akhirin
cenderung menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat Imam
Ahmad dari Imam Syafi’iy dari Imam Malik dari Nafi’ dari Ibn
Umar. Inilah yang disebut dengan Silsilah adz-Dzahab (rantai
emas).
7 Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 278.
8
g. Kehujjahan Hadits Shahih
Menurut Imam Syafi’i riwayat hadits dapat dijadikan hujjah
apabila:8
1) Diriwayatkan oleh perawi yang dapat dipercaya.
Yaitu dalam hal amalan baik hadits yang telah
diriwayatkan, mengetahui perubahan arti hadits apabila telah
terjadi pereubahan lafalnya, mampu meriwayatkan hadits secara
lafal dan hafalannya terpelihara, bunyi hadits yang diriwayatkan
sama dengan bunyi hadits yang diriwayatkan oleh orang lain dan
terlepas dari tadlis (menyembunyikan cacat).
2) Rangkaian riwayatnya bersambung.
Keharusan dalam mengetahui hadits yang diriwayatkan,
mengetahui perubahan arti, dan meriwayatkan dengan lafal
dengan benar, sehingga kriteria tersebutdapat menunjukkan
keshahihan hadits.
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih
wajib diamalkan sebagai hujjah atau dalil syara’ sesuai dengan
ijma’ para ulama’ hadits. Ada beberapa pendapat para ulama’
yang memperkuat kehujjahan hadits shahih ini, diantaranya
sebabagi berikut.9
a) Hadits shahih memberi faedah qhat’i (pasti kebenarannya)
jika terdapat di dalam kitab shahihayn (al-Bukhari dan
Muslim) sebagaimana pendapat yang dipilih Ibnu ash-
Shalah.
b) Wajib menerima hadits shahih sekalipun tidak ada seorang
pun yang mengamalkannya, pendapat al-Qasimiy dalam
Qawa’id at-Tahdits.
h. Kitab-kitab yang Memuat Hadits Shahih
8 Musthofa Hasan, Ilmu Hadits, Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm. 219.9 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm.155-156.
9
Karya yang mula-mula sampai kepada kita adalah kitab al-
Muwaththa’ karya Imam Malik (w. 179 H). Namun dalam kitab ini
tidak hanya memuat hadits shahih saja karena masih bercampur
dengan hadits dha’if dan ungkapan-ungkapan hikmah.
Karya pertama yang memuat hadits shahih saja adalah kitab-
kitab karya Imam Bukhari (194-256 H). Karya Imam Bukhari yang
paling populer adalah al-Jami’ ash-Shahih atau yang lebih dikenal
sebagai Shahih Bukhari. Kemudian diikuti Imam Muslim (204-261
H) dengan kitab karyanya Shahih Muslim.
Kedua kitab ini hanya memuat hadits shahih saja, namun
bukan berarti seluruh hadits shahih termuat dalam kitab ini. Imam
Bukhari mengatakan: “Saya tidak memasukkan dalam kitab al-Jami’
kecuali yang shahih saja. Tetapi saya tinggalkan sebagian karena
khawatir terlalu panjang.”10
Sedangkan Imam Muslim mengatakan: “Tidak semua hadits
shahih yang ada pada saya, saya letakkan di sini. Saya hanya
meletakkan yang disepakati keshahihannya. Maksudnya, yang
memenuhi syarat-syarat disepakati.”11
Karya-karya lain yang memuat hanya hadits shahih ialah
Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H), Shahih Ibnu Hibban (w. 354 H),
dan al-Mustadrak Ala ash-Shahihain karya Abu Abdullah al Hakim
an-Naisaburiy (321-405 H).
Selain itu terdapat Musnad Ahmad karya Imam Ahmad Ibn
Hanbal al-Syaibaniy (164-241 H) yang merupakan kitab hadits
terlengkap yang masih ada dan sampai kepada kita. di dalamnya
terdapat hadits shahih, hasan dan dha’if, namun Imam Suyuthiy
mengatakan: “Semua yang ada di dalam Musnad Ahmad adalah
maqbul. Karena hadits dha’if yang ada di dalamnya mendekati
kualitas hasan.”12
10 Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 285.11 Ibid.12 Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 292.
10
Kemudian ada pula empat kitab Sunan yaitu Sunan Abu
Dawud karya Abu Dawud as-Sijistani (202-275 H), Sunan at-
Tirmidziy karya Imam at-Tirmidziy (209-279 H), Sunan an-Nasa’iy
karya Imam an-Nasa’iy (215-303 H), dan Sunan Ibn Majah karya
Imam Ibn Majah al-Quzwainiy (209-273 H). Empat kitab ini
memuat tidak mengkhususkan pada hadits shahih saja, juga terdapat
hadits hasan dan dha’if.
i. Perbedaan Antara Hadits Shahih Klasik dan Kontemporer
Dalam perkembangan ilmu kritik hadits, pada setiap zamannya
selalu muncul para pemikir tertarik untuk meneliti hadits. Kajian
hadits tersebut pada umumnya lebih banyak membicarakan apa yang
seharusnya disebut hadits, bukan apa yang dimaksud dari hadits
tersebut. Disinilah letak perbedaan pemikiran antara ulama’ hadits
klasik dan kontemporer, pada metodologinya dalam mengkaji hadits.
Ulama’ klasik mengkaji hadits menggunakan metode tahlili
(meneliti semua aspeknya: sanad dan matan), metode ijmali
(menafsirkan secara global), dan metode muqaran (membandingkan
dengan al-Qur’an). Memahaminya pun melalui pendekatan
kebahasaan dan kesejarahan (historis). Sehingga yang dihasilkan
adalah makna asli dari hadits tersebut.
Sedangkan ulama’ kontemporer mengkajinya dengan
menggunakan metode maudhu’i (tematik) seperti yang dilakukan
para orientalis. Pemahamannya melalui pendekatan fenomenologi
(dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi pada manusia) dan
hermeneutika (penafsiran pada fenomenologi). Hasil kajiannya
bersifat aplikatif dan solutif.
2. HASAN
a. Pengertian Hadits Hasan
11
Hadits hasan adalah hadits yang telah memenuhi syarat shahih
seluruhnya namun seluruh perawinya atau sebagian kurang
kedhabitannya. Definisi hadits hasan yang paling lengkap
dikemukakan Ibn Hajar (w. 852 H) sebagai Khabar Ahad:13
والشاذ معلل غير المسند متصل الضبط قليل عدل نقله .ما
Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil yang kurang sedikit
kedhabitannya, bersambung-sambung sanadnya sampai Nabi saw
dan tidak mempunyai ‘illat serta tidak syadz.
b. Kriteria-kriteria Hadits Hasan
Syarat-syarat hadits hasan14:
1) Sanadnya bersambung (muttashil)
2) Perawinya adil
3) Perawinya dhabit, tetapi berada dibawah perawi hadits shahih.
4) Tidak ada kejanggalan (syadz)
5) Tidak ada ‘illat
c. Pencetus Istilah Hasan
Menurut Ibnu Taimiyah, orang yang pertama kali
memperkenalkan pembagian hadits dari segi kualitas kepada shahih,
hasan dan dha’if adalah at-Tirmidziy. Awalnya beliau hanya
membaginya menjadi shahih dan dha’if. Namun seringkali beliau
menyebut suatu hadits dengan sebutan “hasan shahih”. Barangkali
inilah yang kemudian oleh para ulama’ menjadi klasifikasi tersendiri
yakni hadits hasan. Menurut at-Tirmiziy hadits hasan adalah hadits
yang berbilangan jumlah sanad-nya dan tidak terdapat seorang
perawi yang tertuduh dusta dan ganjil (syadz).
d. Pembagian Hadits Hasan
13 Moh. Anwar, Ilmu Musthalah Hadits, Al-Ikhlas, Surabaya, 1981, hlm. 60.14 Musthofa Hasan, Ilmu Hadits, Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm.228
12
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam,
hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hadits li dzatihi
dan hasan li ghairihi:15
1) Hadits Hasan Li Dzatihi
Hadits hadits li dzatihi adalah hadits hasan dengan
sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria dan
persyaratan yang ditentukan sebagaimana definisi dan
penjelasan diatas.
2) Hadits Hasan Li Ghairihi
Hadits Hasan li ghairihi ada beberapa pendapat
diantaranya adalah:
و6 1 أ 3ه3 6ل م5ث ى خ6ر1
3 أ 6ق ط1ر5ي م5ن6 و5ى1 ر3 5ذ1ا ا 6ف3 الضBع5ي 6ث3 ه3و1الح6د5ي
6ه3 م5ن ق6و1ى1 أ
Adalah hadits dha’if jika diriwayatkan melalui jalan (sanad)
lain yang sama atau lebih kuat.
Dari dua definisi diatas dapat dipahami bahwa hadits
dha’if bisa naik menjadi hasan li ghairihi dengan dua syarat,
yaitu:
1) Harus ditemukan periwayat sanad lain yang seimbang atau
lebih kuat.
2) Sebab kedha’ifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik,
tetapi ringan seperti hapalan yang kurang atau terputusnya
sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas
perawi.
e. Istilah-istilah dalam Hadits Hasan16
Istilah-istilah yang digunakan dalam hadits hasan:
15 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 160.16 Ibid., hlm. 161.
13
1) Di antara gelar ta’dil para perawi yang digunakan dalam hadits
maqbul atau hasan sebagaimana yang disebutkan dalam kitab al-
Jarh wa at-Ta’dil. Sebagian ulama’ mempersamakan dalam
gelar ta’dil para perawi hadits dalam kata al-jayyid = bagus
antara shahih dan hasan. Sebagian ulama’ lain lebih
berpendapat bahwa sekalipun gelar al-jayyid dengan makna
shahih, tetapi para muhadditsin senior tidak pindah dalam
menilai shahih menjadi al-jayyid tersebut kecuali ada tujuan
tertentu.
2) Perkataan mereka muhadditsin : 1اد5 ن 5س6 ال6 ح1س1ن3 6ث/ ح1د5ي = ه1ذ1ا
ini hadits hasan sanadnya. Maknanya hadits ini hanya hasan
sanadnya saja sedang matannya perlu penelitian lebih lanjut.
Mukharrij hadits tersebut tidak menanggung ke-hasan-an matan
mungkin ada syadz atau ‘illat. Berarti ada kesempatan luas bagi
para peneliti belakangan untuk mengadakan penelitian lebih
lanjut tentang matan hadits tersebut apakah matannya juga hasan
atau tidak.
3) Ungkapan at-Tirmiziy dan yang lain : /6ح ي ص1ح5 ح1س1ن/ 6ث/ = ح1د5ي
ini hadits hasan shahih. Makna ungkapan ini ada beberapa
pendapat, diantaranya:
a) Hadits tersebut memiliki dua sanad, yang shahih dan hasan.
b) Terjadi perbedaan dalam penilaian hadits sebagian
berpendapat shahih dan golongan lain berpendapat hasan.
c) Atau dinilai hasan li dzatihi dan shahih li ghairihi.
f. Ashabul Asanid Hadits Hasan
Seperti hadits shahih yang mempunyai tingkatan-tingkatan
dalam sanadnya, para ulama’ juga membagi sanad-sanad hadits
hasan dalam tingkatan.
Imam adz-Dzahabiy mengatakan: “Tingkat hasan tertinggi
adalah riwayat Bahz Ibn Hukaim dari ayahnya dari kakeknya, Ibn
14
Ishaq dari at-Taimiy dan sanad sejenis yang menurut sebagian
ulama’ dikatakan sebagai sanad shahih, yakni merupakan derajat
shahih terenda. Kemudian sanad yang diperselisihkan antara hasan
dan dha’ifnya, seperti riwayat al-Harits ibn Abdillah, ‘Ashim ibn
Dhamrah, Hajjaj ibn Arthat dan lain-lain.17
g. Kehujjahan Hadits Hasan
Hadits hasan baik li dzatihi maupun li ghairihi dapat dijadikan
hujjah dan diamalkan seperti hadits shahih meskipun tingkatannya
dibawah hadits shahih. Bahkan sebagian ulama’ memasukkannya ke
dalam hadits shahih, seperti al-Hakim (w. 405 H), Ibnu Hibban dan
Ibn Khuzaimah. Namun akan tetap dimenangkan hadits shahih
apabila terjadi kontradiksi dengan hadits hasan.
h. Kitab-kitab yang Memuat Hadits Hasan
Para ulama belum menyusun kitab-kitab khusus yang hanya
memuat hadits-hadits hasan secara terpisah seperti penulisan hadits
shahih, tetapi hadits hasan banyak kita temui pada sebagian kitab,
diantaranya:
1) Jami’ at-Tirmidziy, dikenal dengan Sunan at-Tirmidziy, yang
merupakan sumber untuk mengetahui hadits hasan.
2) Sunan Abu Dawud
3) Sunan ad-Daruquthni
3. DHA’IF
a. Pengertian Hadits Dha’if18
Hadits dha’if adalah bagian dari hadits mardud. Dari segi
bahasa dha’if berarti lemah lawan dari al-qawi yang berarti kuat.
Kelemahan hadits dha’if ini karena sanad-nya dan matan-nya tidak
17Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 301.18 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 163.
15
memenuhi kriteria hadits kuat yang diterima sebagai hujjah. Dalam
istilah hadits dha’if adalah:
ط5ه5 و6 ر3 ش3 م5ن6 ط? ر6 ش1 5ف1ق6د5 ب ن5 6ح1س1 ال ص5ف1ة1 1ج6م1ع6 ي 1م6 ل م1ا ه3و1
Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu
dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.
Jadi hadits dha’if adalah hadits-hadits yang tidak memenuhi
sebagian atau semua persyaratan hadits shahih atau hasan.
b. Kriteria-kriteria Hadits Dha’if
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hadits dha’if adalah hadits
yang tidak memenuhi kriteria hadits shahih dan hasan. Diantaranya:
(1) sanadnya terputus; (2) perawinya tidak adil; (3) perawinya tidak
dhabit; (4) mengandung syadz; (5) mengandung ‘illat.
c. Pembagian Hadits Dha’if
1) Mursal
Definisi hadits mursal yang paling umum digunakan
mayoritas ulama’ adalah:
من وسلم عليه الله صلى الرسول إلى التابعي رفعه ما
أوكبيرا التابعي كان صغيرا أوتقرير أوفعل .قول
Hadits yang dimarfu’kan oleh seorang seorang tabi’iy kepada
Rasul saw, baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, baik
tabi’iy itu kecil atau besar.19
Dengan demikian, seorang tabi’iy menyandarkan sebuah
hadits langsung kepada Rasulullah saw (marfu’) tanpa
menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.
Untuk kehujjahannya, terdapat tiga pendapat yang paling
populer, yaitu:
a) Boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak. Ini
merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, 19 Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 304.
16
Imam Ahmad dan sejumlah ahli fiqh, ahli hadits, dan ahli
ushul.
b) Tidak boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak.
Ini diceritakan oleh Imam an-Nawawiy dari mayoritas ahli
hadits, Imam Syafi’iy dan sejumlah besar ahli fiqh dan ahli
ushul. Imam Muslim dalam Muqaddimah ash-Shahih
mengatakan: “Riwayat yang mursal menurut pendapat kami
dan pendapat ahli hadits tidak dapat menjadi hujjah”.
c) Bisa dijadikan sebagai hujjah bila ada yang menguatkannya.
Misalnya dari jalur lain ia diriwayatkan secara musnad
ataupun mursal, atau diamalkan oleh sebagian sahabat
ataupun oleh mayoritas ahli ilmu.
2) Mu’allaq
Hadits mu’allaq adalah hadits yang terdapat satu perawi
atau lebih yang gugur dari awal sanad. Terputusnya sanad pada
hadits mu’allaq terjadi pada sanad yang pertama, atau pada
seluruh sanad. Sehingga sanadnya tampak tidak berpijak pada
mukharrij hadits.
Mayoritas ulama’ hadits berpendapat, hadits mu’allaq
tidak bisa dijadikan hujjah, kecuali hadits mu’allaq yang
terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Alasan
disebutkan secara mu’allaq dalam kitab tersebut untuk
keringkasan dan menghindari pengulangan yang terlalu sering.
3) Munqathi’
Munqathi’ berasal dari kata inqatha’a yang berarti
berhenti, kering, patah, pecah atau putus. Hadits munqathi’
adalah hadits yang pada sanadnya terdapat perawi yang gugur
pada satu tempat atau lebih secara berurutan.
Mayoritas ahli hadits berpendapat hadits munqathi’ tidak
bisa dijadikan hujjah karena tidak diketahui perawi yang
dihilangkan atau disamarkan. Menurut Shubhi as-Shalih, ke-
17
dha’ifan hadits ini karena tidak adanya kesinambungan dalam
sanad atau tidak muttashil.
4) Mu’dhal
Hadits mu’dhal adalah hadits yang di tengah sanadnya
terdapat dua perawi atau lebih yang gugur dalam satu tempat
atau lebih secara berturut-turut. Hadits ini sama atau bahkan
lebih rendah daripada hadits mursal, sehingga tidak dapat
dijadikan hujjah.
5) Mudallas
Hadits mudallas adalah hadits yang diriwayatkan
periwayat dengan cara menyembunyikan cacat seorang perawi
dalam sanad hadits (tadlis), dan membaguskan perawi secara
dhahirnya. Para ulama’ sangat mengecam tindakan tadlis ini.
Perawi yang melakukannya dinyatakan pendusta bahkan hadits
yang diriwayatkannya dinilai maudhu’.
6) Mu’allal
Jenis hadits ini pada lahiriahnya tampak terhindar dari
cacat, baik pada sanad maupun matan. Namun setelah diteliti
lagi, ternyata terdapat ‘illat, seperti menyambung yang
munqathi’, memarfu’-kan yang mauquf, dan sebagainya yang
mempengaruhi kemuttashilan sanad dan menjadikannya
tergolong hadits dha’if.
7) Mudhtharib
Dinamakan demikian karena terdapat idhthirab
(kekacauan) di dalamnya. Hadits jenis ini diriwayatkan dengan
bentuk yang berbeda-beda dan bertentangan, yang tidak
mungkin mentarjihkan antara kedua bentuk hadits tersebut, baik
perawinya satu atau lebih. Karena seluruh riwayat hadits
tersebut sama kekuatannya. Hal ini mengindikasikan ketidak-
dhabitan perawi sehingga tergolong hadits dha’if.
8) Maqlub
18
Secara tidak sengaja terjadi pemutarbalikan penempatan
kata yang salah atau kalimat pada matannya atau perawi yang
tertukar pada sanadnya oleh salah satu perawi. Sama seperti
hadits mudhtharib, hadits ini tergolong dha’if karena ketidak-
dhabitan perawi.
9) Syadz
Adalah Imam Syafi’iy yang mula-mula memperkenalkan
hadits jenis ini, yaitu bila diantara sekian perawi tsiqah ada
diantara mereka menyimpang dari yang lainnya. Kemudian
generasi selanjutnya bersepakat bahwa hadits syadz adalah
hadits yang diriwayatkan oleh perawi maqbul dalam keadaan
menyimpang dari perawi lain yang lebih kuat darinya.
10) Munkar
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if yang
berbeda dengan perawi-perawi lain yang tsiqah. Hadits jenis ini
hampir sama dengan hadits syadz, bedanya pada hadits syadz
perawinya tsiqah atau shaduq.
Menurut sebagian ulama’ hadits gharib juga merupakan
hadit munkar, seperti kata Imam Ahmad: “Janganlah kalian
menulis hadits-hadits gharib ini. Karena ia merupakan hadits-
hadits munkar, yang umumnya berasal dari perawi-perawi
dha’if.”20
11) Matruk dan Mathruh
Adalah hadits yang perawinya tetuduh melakukan dusta
(muttaham bi al-kidzbi). Ia diketahui sering berdusta atau
terlihat kefasikannya dalam perbuatan maupun perkataan, atau
perawi tersebut sering salah dan lupa. Hadits ini merupakan
hadits dha’if dengan tingkatan terendah.
Sedangkan untuk hadits mathruh, al-Hafidz adz-Dzahabiy
menjadikannya sebagai jenis hadits tersendiri. Namun Syeikh
20 Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 327.
19
Thahir al-Jaza’iriy berpendapat hadits ini sama dengan hadits
matruk. Tidak ada perbedaan secara etimologis maupun
terminologis.
12) Mudraj
Yaitu hadits yang terdapat idraj baik pada sanad maupun
matannya. Idraj adalah penambahan pada hadits yang padahal
bukan termasuk hadits itu. Idraj yang umum terjadi adalah idraj
pada matan, yaitu memasukkan suatu pernyataan perawi
sehingga disalahpahami sebagai sabda Nabi saw.
Mayoritas ulama’ sepakat bahwa melakukan idraj haram.
Apabila perawi melakukan idraj dengan tujuan untuk
menafsirkan atau memberikan penjelasan, hal ini masih bisa
ditolerir. Namun sebaiknya perawi pun menegaskan hal itu.
d. Tingkatan-tingkatan Hadits Dha’if
Sebagai salah satu syarat hadits dha’if yang diamalkan adalah
tidak terlalu dha’if atau terlalu buruk kedha’ifannya. Hadits yang
terlalu buruk kedha’ifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam
fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dha’if yang
terburuk adalah: Maudhu’, Matruk, Munkar, Mu’allal, Mudraj,
Maqlub, kemudian Mudhtharib.21 Namun disini kami tidak
membahas hadits maudhu’, karena menurut kami maudhu’ pada
hakikatnya bukanlah hadits sama sekali.
e. Kehujjahan Hadits Dha’if
Para ulama’ berbeda pendapat dalam pengamalan hadits dha’if.
Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3 pendapat:22
1) Hadits dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam
keutamaan amal (fadhail al-a’mal) atau dalam hukum
21 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 228.22 Ibid., hlm. 165.
20
sebagaimana yang diberitakan oleh Ibnu Sayyid an-Nas dari
Yahya bin Ma’in. Pendapat pertama ini adalah pendapat Abu
Bakar ibn al-Arabi, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Ibnu
Hazm.
2) Hadits dha’if dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadha’il
al-a’mal atau dalam masalah hukum (ahkam), pendapat Abu
Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits
dha’if lebih kuat dari pada pendapat para ulama.
3) Hadits-hadits dha’if dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal,
mau’izhah, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib
(ancaman yang menakutkan).
Pendapat pertama, dari tiga pendapat diatas lebih selamat
karena jika alasan pengamal hadits dha’if dalam fadhail al-a’mal
tidak dalam ahkam sebagaimana pendapat ketiga diatas.
Pendapat kedua, maksud Imam Ahmad dan Abu Dawud
tentang pengamalan hadits dha’if secara mutlak adalah dha’if dalam
persepsi ulama’ klasik yang masih bergabung dengan hadits shahih
yang pada waktu itu hadits hanya terbagi menjadi dua macam yakni
shahih dan dha’if belum timbul hadits hasan.
Pendapat ketiga, sekalipun hadits dha’if telah memenuhi
persyaratan diatas, maksudnya untuk memotivasi beramal dan masuk
bab dalam kehati-hatian akan kemungkinan hadits tersebut datang
dari Rasulullah, bukan menetapkan (itsbat) kebenarannya semata,
maka ia tidak kuat dijadikan sebagai sumber hukum Islam atau
keutamaan akhlak.
f. Kitab-kitab yang Memuat Hadits Dha’if23
Diantara kitab-kitab yang tersusun secara khusus tentang
hadits dha’if adalah sebagai berikut.
1) Al-Marasil, karya Abu Dawud
23 Ibid., hlm. 188.
21
2) Al-‘Ilal, karya ad-Daruquthni
3) Kitab-kitab yang banyak mengemukakan para perawi yang
dha’if adalah seperti Adh-Dhu’afa karya Ibnu Hibban, Mizan Al-
I’tidal karya adz-Dzahabi.
g. Perawi yang Meriwayatkan Hadits Dha’if
Berikut ini adalah nama-nama perawi yang dinilai dha’if
berdasarkan apa yang dikatakan Imam al-Bukhari dalam kitabnya
adh-Dhu’afa ash-Shaghir dan Imam an-Nasa’iy dalam kitabnya adh-
Dhu’afa wa al-Matrukin.
1) Al-Ashbagh ibn Nubatah - نباتة بن األصبغ
2) Asad ibn ‘Amru Abu al-Mundzir al-Bajaliy - عمرو بن أسد
البجلي المنذر أبو
3) Asy’ats ibn Sa’id Abu ar-Rabi’ as-Saman - سعيد بن أشعث
السمان الربيع أبو
4) Ayyub ibn ‘Utbah Abu Yahya - يحيى أبو عتبة بن أيوب
5) Ayyub ibn Waqid Abu al-Hasan al-Kufi - أبو واقد بن أيوب
الكوفي الحسن
6) Badzam, Abu Shalih al-Kalbi Maula Ummu Hani’ - أبو باذام
هانئ أم مولى الكلبي صالح
7) Bahr ibn Kaniz as-Saqa - السقا كنيز بن بحر
8) Basyir ibn Maimun, Abu Shaifiy al-Wasithiy - بن بشير
الواسطي صيفي أبو ميمون
9) Bazi’ – بزيع
10) Bisyr ibn ‘Umarah - عمارة بن بشر
11) Bisyr ibn Harb, Abu ‘Amru an-Nadabiy - أبو حرب بن بشر
الندبي عمرو
22
12) Bisyr ibn Numair al-Qusyairiy al-Bashri - نمير بن بشر
البصري القشيري
13) Ibrahim ibn al-Fadhl - الفضل بن إبراهيم
14) Ibrahim ibn Isma’il ibn Abi Habibah al-Madaniy al-Anshariy -
أبي بن إسماعيل بن األنصاري إبراهيم المدني حبيبة
15) Ibrahim ibn Isma’il ibn Mujammi’ ibn Jariyah al-Anshariy -
األنصاري جارية بن مجمع بن إسماعيل بن إبراهيم
16) Ibrahim ibn Muhajir ibn Mismar al-Madaniy - بن إبراهيم
المدني مسمار بن مهاجر
17) Ibrahim ibn Muhammad ibn Abi Yahya - محمد بن إبراهيم
يحيى أبي بن
18) Ibrahim ibn Muslim al-Hajariy - الهجري مسلم بن إبراهيم
19) Ishaq ibn Ibrahim ibn Nisthasi Abu Ya’qub - بن إسحاق
يعقوب أبو نسطاس بن إبراهيم
20) Isma’il ibn Ibrahim Abu Yahya at-Taimiy - بن إسماعيل
التيمي يحيى أبو إبراهيم
21) Isma’il ibn Qais ibn Sa’d ibn Zaid ibn Tsabit Abu Mush’ab -
مصعب أبو ثابت بن زيد بن سعد قيسبن بن إسماعيل
22) Isma’il ibn Rafi’ - رافع بن إسماعيل
23) Ja’far ibn Abi Ja’far al-‘Asyja’iy - جعفر أبي بن جعفر
األشجعي
24) Ja’far ibn al-Harits al-Wasithiy, Abu al-Asyhab - األشهب أبو
الواسطي الحارث بن جعفر
25) Ja’far ibn az-Zubair asy-Syamiy - الشامي الزبير بن جعفر
26) Jald ibn Ayub al-Bashri - البصري أيوب بن جلد
27) Jasr ibn Farqad - فرقد بن جسر
23
h. Hukum Periwayatan Hadits Dha’if24
Hadits dha’if tidak identik dengan hadits maudhu’ (hadits
palsu). Diantara hadits dha’if terdapat kecacatan para perawinya
yang tidak terlalu parah, seperti daya hafalan yang kurang kuat tetapi
adil dan jujur. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan
hadits dha’if dengan dua syarat, yaitu:
1) Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah.
2) Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal
dan haram, tetapi berkaitan dengan masalah mau’izhah, at-
targhib wa at-tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji),
kisah-kisah dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadits dha’if jika tanpa sanad
sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum)
yang meyakinkan (jazm) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi
cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang
meragukan (tamridh). Misalnya :….= diriwayatkan.
Periwayatan dalam hadits dha’if dilakukan dengan hati-hati
berbeda dengan periwayatan hadits shahih.
4. FUNGSI MUTABI’ DAN SYAHID
Adanya mutabi’ dan syahid dalam suatu hadits, akan memperkuat
kehujjahan dalam hadits tersebut. Namun jika tidak ditemukan mutabi’
dan syahid maka hadits tersebut dihukumi sebagai hadits fard. Kegiatan
untuk mengetahui adanya mutabi’, syahid dan fard dengan meneliti jalur-
jalur sanad dari kitab-kitab yang mungkin memuatnya disebut i’tibar.
Dalam i’tibar yang pertama kali dicari adalah keberadaan mutabi’
yaitu apabila: (1) seorang perawi memiliki kawan dalam meriwayatkan
hadits dari gurunya dengan redaksi yang sama (lafdziy) ataupun mirip
dengan makna yang sama (maknawiy); (2) atau redaksi tersebut sama
24 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2012, hlm. 165.
24
dengan salah seorang gurunya dalam meriwayatkannya dari guru-
gurunya.
Kebersamaan mutabi’ dalam meriwayatkan hadits ini disebut
mutaba’ah. Mutaba’ah dibagi menjadi dua, yaitu mutaba’ah tammah,
apabila terjadi dari guru perawi, dan mutaba’ah qashirah apabila terjadi
dari diatas guru perawi. Contoh mutaba’ah yaitu Imam Muslim
meriwayatkan dari Zuhair ibn Harb dari Sufyan dari Abu az-Zanad dari
al-A’raj dari Abu Hurairah dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda:
صالة aكل عند بالسaواك ألمرتهم على aأشق أن .لوال
Seandainya aku tidak (merasa) memberatkan umatku, niscaya aku akan
memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali (akan) shalat.25
Sejumlah perawi memperkuat Zuhair ibn Harb dengan mutaba’ah
tammah yaitu Sufyan. Sebagian yang lain memperkuatnya dengan
mutaba’ah qashirah yaitu dari Abu Salamah dari Abu Hurairah.
Apabila dalam i’tibar suatu hadits tidak ditemukan mutabi’, maka
harus dicari apakah hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur (sanad)
lain yang berstatus sahabat baik secara lafdziy maupun maknawiy. Dan
inilah yang disebut dengan syahid. Contohnya adalah hadits yang
diriwayatkan at-Tirmidziy dengan sanadnya sendiri dari Salim ibn
Abdullah ibn ‘Umar dari ayahnya, bahwa ia mendengar Rasulullah saw
bersabda:
فليغتصل الجمعة أتى .من
Barangsiapa hendak melaksanakan shalat Jum’at, maka hendaklah ia
mandi terlebih dahulu.26
25 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 332.26 Ibid., hlm. 332-333.
25
Hadits ini memiliki syahid yang terdapat dalam Shahih Bukhari
dan Shahih Muslim berupa hadits Abu Sa’id al-Khudriy dari Rasulullah
saw bahwa beliau bersabda:
محتلم aكل على واجب الجمعة يوم .الغصل
Mandi pada hari Jum’at hukumnya wajib atas setiap yang mimpi
basah.27
Hadits yang tidak terdapat mutabi’ dan syahid maka dihukumi
sebagai hadits fard, yaitu hadits yang diriwayatkan seseorang secara
menyendiri dari sekian perawi yang ada.
5. HADITS MAQBUL DAN MARDUD
Para ulama’ membagi hadits ahad berdasarkan segi kehujjahannya
menjadi dua: maqbul dan mardud. Hadits maqbul adalah hadits yang
telah memenuhi syarat-syarat diterimanya sebagai hujjah. Hadits maqbul
dibagi menjadi dua:
1) Ma’mul bih digunakan untuk mempertegakkan hukum. Hadits ini
yang bisa diamalkan.
a) Hadits muhkam; hadits ini tidak mempunyai lawan sehingga
dapat diamalkan secara pasti.
b) Hadits mukhtalif; yakni hadits yang bertentangan, namun bisa
dikompromikan.
c) Hadits nasikh; hadits yang datang di akhir dan menghapus
ketentuan hukum pada hsdit sebelumnya.
d) Hadits rajih; hadits yang terkuat dari hadits-hadits yang
berlawanan.
2) Ghairu Ma’mul bih yaitu hadits yang tidak dapat digunakan untuk
mempertegakkan hukum. Hadits yang tidak dapat diamalkan.
a) Hadits mutasyabih; hadits yang sukar dipahami maksudnya.
27 Ibid., hlm. 333.
26
b) Hadits mutawaqqaf fih; yakni dua hadits maqbul yang tidak
dapat dikompromikan.
c) Hadits marjuh yaitu hadits yang dilawani oleh yang lebih kuat.
d) Hadits mansukh yaitu hadits yang sudah dihapus hukumnya.
Kemudian hadits mardud adalah hadits yang tidak menunjukkan
keterangan yang kuat sehingga tertolak dan tidak dapat dijadikan hujjah.
diantaranya hadits matruk.
1) Hadits Matruk ‘Anhu
Matruk adalah hadits yang tidak sampai kederajat maudhu’
akan tetapi lebih baik dari maudhu’.
الحد في ء سوا ب لكذ با متهما ن وكا وي لرا ا بهه د نفر ا ما
كثير و ا غفلة ذا ن كا و ا لفسق با متهما و ا ه غير في و ا يث
الوهم
Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi, sedang dia
tertuduh berdusta, baik kedustaannya itu terhadap hadits atau
lainnya. Atau tertuduh mengerjakan ma’siat atau mempunyai
kelalaian, atau banyak benar wahamnya.
Contoh hadits matruk yakni hadits yang diriwayatkan oleh Ibn
‘Adiy, dia berkata: “Telah diceritakan oleh Ya’qub ibn Sufyan ibn
‘Ashim, diceritakan oleh Muhammad ibn ‘Imran, diceritakan oleh
Isa ibn Ziyad, diceritakan oleh Abdur Rahim ibn Zaid dari ayahnya
dan ayahnya dari Sa’id ibn al-Musaiyab dari Umar ibn Khaththab,
katanya Rasulullah saw telah bersabda:
حقا الله لعبد النساء ال لو
Sekiranya tak ada wanita di dunia ini, tentulah hamba Allah
menyembah Allah dengan sebenar-benarnya.
Menurut Ibn ‘Adiy hadits ini matruk karena Abdur Rahim dan
ayahnya. Dan dua orang yang matruk ini tidak boleh diambil
haditsnya.
27
D. APLIKASI METODOLOGI
1. SHAHIH
a. Hadits Shahih Li Dzatihi
Contoh hadits shahih li dzatihi yang diriwayatkan oleh al-
Bukhari dalam kitabnya Jami’ ash-Shahih sebagai berikut.
: : , , سمعت قال أبي سمعت قال معتمر حدaسنا مسدaد حدaثنا
: , عليه الله صلaى aبيa الن كان قال عنهم رضيالله مالك بن أنس
, , , : والجبن والكسل العجز من أعوذبك aي إن aهمa الل يقول سلaم و
القبر, عذاب من وأعوذبك .والهرم
Musaddad telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan
kepada kami Mu’tamir, dia berkata, aku mendengar ayahku berkata,
aku mendengar Anas ibn Malik ra berkata, Rasulullah saw berdoa,
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan,
kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunan, dan saku memohon
kepada-Mu perlindungan dari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati,
dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab kubur.”28
Hadits ini dikatakan shahih karena muttashil, tidak syadz dan
tidak mengandung ‘illat, seluruh perawinya adil dan dhabit yang dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1) Anas ibn Malik ra, beliau termasuk sahabat Nabi saw dan semua
sahabat menilainya tsiqah.
2) Sulaiman ibn Tharkhan (ayah Mu’tamir), dikenal tsiqah lagi ‘abid
(ahli ibadah).
3) Mu’tamir, dia tsiqah.
4) Musaddad ibn Masruhad, dia tsiqah hafidz.
5) Al-Bukhari dikenal sebagai jabal al-hifdzi (gunungnya hafalan)
dan amir al-mukminin fi al-hadits.
28 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah, Teras, Yogyakarta, 2013, hlm. 124.
28
b. Hadits Shahih Li Ghairihi
Contoh hadits shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dari Ubay ibn ‘Abbas bin Sahal dari ayahnya (‘Abbas) dari
neneknya (Sahal) sebagai berikut.
له يقال فرس ئطنا حا في وسلم ءلية لله ا صل للنبي كان
.الحيف
Konon Rasulullah mempunyai seekor kuda, ditaruh dikandang kami
yang diberi nama al-Luhaif.29
Hadits ini sebenarnya berderajat hasan li dzatihi karena Ubay ibn
‘Abbas oleh Imam Ahmad, Ibnu Ma’in dan an-Nasa’iy dianggap
perawi yang kurang baik hafalannya. Namun hadits ini memiliki
mutabi’ yang diriwayatkan oleh ‘Abdul Muhaimin, maka hadits ini
naik derajatnya menjadi shahih li ghairihi.
2. HASAN
a. Hadits Hasan Li Dzatihi
Contoh hadits hasan li dzatihi adalah hadits yang diriwayatkan
oleh Abi Ya’la sebagai berikut.
عن وردان بن سى مو عن ثناضمام حد سعيد بن يد سو ثنا حد
سلم : : و عليه الله صلى الله رسول قال قال يرة هر أبي
, وبينها بينكم ل يحا أن قبل الله إال إله ال أن شهادة من أكثروا
كم موتا .ولقوها
“Banyak-banyaklah membaca syahadat sebelum terhalangi kalian
dengannya, dan talqinkanlah orang-orang yang sedang menghadapi
kematian (sakaratul maut).”30
29 Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits, PT Alma’rif, Bandung, 1974, hlm. 124.30 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah, Teras, Yogyakarta, 2013, hlm. 128.
29
Hadits ini termasuk hadits hasan karena terdapat perawi
Dhammam ibn Ismail. Ibnu ‘Adiy mengatakan bahwa Dhammam ibn
Ismail merupakan seorang yang ‘abid, Imam Nasa’iy mengatakan: “la
ba’sa bih” (tidak apa-apa dengannya), adz-Dzahabiy mengatakan:
“shalih al-hadits”, dan Ibnu Hajar menilainya shaduq rubama akhtha’
(jujur tapi kemungkinan keliru).
b. Hadits Hasan Li Ghairihi
Contoh hadits hasan li ghairihi adalah hadits yang diriwayatkan
Ibnu Majah dari al-Hakam ibn Abdul Malik dari Qatadah dari Sa’id
ibn al-Musayyab dari Aisyah sebagai berikut.
aالحل في فأقتلها غيره وال aيا مصل تدع ال العقربب الله لعن
.والحرم
Allah melaknat kalajengking, janganlah engkau membiarkannya, baik
keadaan shalat atau yang lain, maka bunuhlah ia di tanah halal atau
di tanah haram.31
Hadits ini dha’if karena al-Hakam ibn Abdul Malik seorang
yang dha’if. Namun dalam riwayat ibnu Khuzaimah terdapat sanad
lain yang berbeda perawi di kalangan tabi’in yang berfungsi sebagai
mutabi’ melalui Syu’bah dari Qatadah. Sehingga naik derajatnya
menjadi hasan li ghairihi.
3. DHA’IF
a. Mursal
Contoh hadits mursal adalah hadits riwayat Abdurrazaq dalam
kitab al-Mushannaf sebagai berikut.
: , إذ سلaم و عليه الله صلaى aنبي aأن عطاء عن جريج ابن عن
عليكم السaالم الناسفقال على بوجهه أقبل المنبر .صعد
31 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2013, hlm. 181.
30
Dari Ibnu Juraij, dari Atha’, bahwasannya Nabi saw apabila naik ke
mimbar beliau menghadapkan wajah beliau ke orang-orang lalu
mengucap, “Assalamu’alaikum”.32
Atha’ ibn Rabah adalah seorang tabi’iy besar. Namun pada
hadits ini beliau meriwayatkannya dengan tidak menyebut nama
sahabat periwayat hadits, dan langsung menyandarkannya kepada
Rasulullah saw.
b. Munqathi’
Contoh hadits munqathi’ adalah hadits riwayat Ibnu Majah dan
at-Tirmidziy sebagai berikut.
عن ليث عن إبراهيم بن إسماعيل حدثنا حجر بن علي حدثنا
جدaتها عن الحسين بنت فاطمة أمaه عن الحسن بن الله عبد
دخل إذا وسلaم الله صلaى الله رسو كان قالت الكبرى فاطمة
ذنوبي اغفرلي aرب وقال وسلaم محمaد على صلaى المسجد
فضلك أبواب لي .وافتح
‘Ali ibn Hajar bercerita kepada kami, katanya Ismail ibn Ibrahim
bercerita kepada kami dari Laits dari ‘Abdullah ibn Hasan dari
ibunya Fathimah binti Husain dari neneknya Fathimah al-Kubra
katanya, “Apabila Rasulullah memasuki masjid, ia membaca shalawat
bagi Nabi Muhammad dan berdo’a, ‘Ya Tuhanku, ampunilah dosaku
dan bukalah pintu rahmat-Mu’. Dan jika ia keluar juga membaca
shalawat untuk Muhammad dan berdo’a, ‘Ya Tuhanku, ampunilah
dosaku dan bukalah pintu keutamaan-Mu’”.33
Fathimah binti Husain tidak pernah bertemu neneknya,
Fathimah binti Rasulullah (biasa dikenal Fathimah az-Zahra’ atau
Fathimah al-Kubra). Seperti kita ketahui bahwa Fathimah binti
Rasulullah meninggal satu bulan setelah wafatnya Rasulullah,
32 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah, Teras, Yogyakarta, 2013, hlm. 133-134.33 Dr. Idri, M.Ag., Studi Hadis, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 187.
31
sedangkan saat itu Fathimah binti Husain belum lahir. Disini dapat
diketahui ada perawi yang gugur, sehingga hadits ini munqathi’.
c. Mu’dhal
Contoh hadits mu’dhal adalah hadits riwayat Imam Malik dalam
kitabnya al-Muwaththa’ sebagai berikut.
: : وسلم عليه الله صلaى الله رسول قال قال هريرة أبا aأن
وكسوته طعامه .للمملوك
Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah besabda,”Bagi si budak
mempunyai hak, berupa makanan dan pakaian.”34
Beliau meriwayatkannya langsung dari Abu Hurairah padalah
beliau termasuk tabi’it-tabi’iy. Dengan demikian terdapat perawi yang
gugur. Setelah diadakan penelitian dengan membandingkan pada kitab
lain, ternyata didapati perawi yang gugur adalah Ajlan dan bapaknya.
d. Mu’allaq
Contoh hadits mu’allaq adalah hadits yang diriwatkan al-
Bukhari dalam kitabnya Shahih al-Bukhari sebagai berikut.
: تستتر ال كان القبر حب لصا وسلaم عليه الله صلى aبىa الن وقال
بوله من
Nabi saw bersabda kepada penghuni kubur, “Dahulu ia tidak
membersihkan kencingnya”.35
Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari tanpa menyebut semua
sanadnya, dan hanya mengatakan “Nabi saw bersabda”.
e. Mudallas
Contoh hadits mudallas adalah hadits yang diriwayatkan Imam
Ahmad dan Imam Abu Dawud sebagai berikut.
34 Mohammad Gufron dan Rahmawati, Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah, Teras, Yogyakarta, 2013, hlm. 137.35 Ibid., hlm. 138-139.
32
أبي عن الألجلح ثنا نمير بن ثنا أبي حدثني الله عبد حدثنا
: , وسلaم عليه الله رسول قال قال عازب بن البراء عن إسحاق
قا aيتفر أن قبل لهما aغفر إال فيتصافحان يلتقيان مسلمين من ما
( ضعيف( : إسناد وهذا لغيره صحيح األرنؤوط قال
Dari Abu Ishaq, dari al-Barra’ ibn ‘Azib, dia berkata, Rasulullah
bersabda, “Tidaklah dua orang muslim yang saling bertemu lalu
berjabat tangan melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka
berdua sebelum mereka berpisah”.36
Abu Ishaq al-Sabi’i adalah Amr ibn Abdullah. Sebenarnya
beliau tsiqah, hanya saja beliau dianggap men-tadliskan perawi dalam
hadits ini.
Pada hadits ini beliau meriwayatkan dengan ungkapan yang
mengandung kemungkinan telah mendengar secara langsung, yaitu
dengan menggunakan kata ‘an. Padahal beliau tidak mendengar
langsung hadits ini dari al-Barra’ ibn ‘Azib, tetapi dari Abu Dawud al-
A’ma (Nafi’ ibn al-Harits). Sedangkan Nafi’ ibn al-Harits ini matruk
(tertolak haditsnya) dan tertuduh berdusta.
f. Mu’allal
Contoh hadits mu’allal adalah hadits riwayat Ibnu Majah
sebagai berikut.
عن هري aالز عن يزيد يونسبن حدaثنا الوليد بن aة بقي حدaثنا
, الجمعة صالة من ركعة أدرك من قال عمر ابن عن سالم
الصالة أدرك فقد وغيرها
Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Jumat dan shalat
lainnya, maka telah mendapatkan shalatnya.37
Oleh Abu Hatim ar-Razi, hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah
ini sanad dan matannya salah. Yang benar adalah riwayat az-Zuhriy
36 Ibid., hlm. 141.37 Ibid., hlm. 140.
33
dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, yang mana lafadz “shalat
Jumat” tidak ada.
g. Mudhtharib
Contoh hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan al-
Hakim an-Naisaburiy dalam kitabnya al-Mustadrak ‘ala ash-
Shahihain sebagai berikut.
سألته وأنا مطر بن محمaد بن خعفر بن عمرومحمaد أبو حدثني
حدثنا: الحافظ نصر بن أحمد بن جعفر محمaد أبو حدثني قال
إسحاق أبي عن شيبان عن هشام بن معاوية حدثنا كريب أبو
: الله رضي الصaديق بكر أبو قال aاسقال عب بن عن عكرمة عن
: قال شبت قد أراك سلaم و عليه الله صلaى الله لرسول عنه
مسكوaرت aالش وإذا ءلون وعمaيتسا والواقعة هود .شيبتني
Abu ‘Amr Muhammad ibn Ja’far ibn Muhammad ibn Mathar bercerita
kepadaku dan aku bertanya kepadanya, katanya Abu Muhammad
Ja’far ibn Ahmad ibn Nashr al-Hafidz bercerita kepada kami, katanya
Abu Kuraib bercerita kepada kami, katanya Mu’awiyah ibn Hisyam
bercerita kepada kami dari Syaiban dari Abu Ishaq dari ‘Ikrimah dari
Ibnu ‘Abbas katanya, Abu Bakr ash-Shiddiq ra berkata, “Aku melihat
Engkau tampak muda”. Rasulullah saw menjawab, “Surah Hud, al-
Waqi’ah, ‘Amma Yatasaa-alun, dan Wa Idza asy-Syams Kuwwirat
telah menyebabkanku tampak muda”.38
Menurutnya, hadits tersebut berkualitas shahih sesuai dengan
syarat al-Bukhari. Sedangkan hadits tersebut dapat diketahui
mudhtharib berdasarkan riwayat at-Tirmidziy yang beliau nyatakan
sebagai hadits hasan gharib sebagai berikut.
أبي عن شيبان عن هشام بن معاوية حدثنا كريب أبو حدaثنا
: الله رضي بكر أبو قال aاسقال عب بن عن عكرمة عن إسحاق
38 Idri, Studi Hadis, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 232-233.
34
: والواقعة: هود شيبتني قال شبت قد الله رسول يا عنه
مسكوaرت aالش وإذا ءلون .وعمaيتسا
Abu Kuraib bercerita kepada kami, katanya Mu’awiyah ibn Hisyam
bercerita kepada kami dari Syaiban dari Abu Ishaq dari ‘Ikrimah dari
Ibnu ‘Abbas katanya, Abu Bakr ash-Shiddiq ra berkata, “Wahai
Rasulullah, Engkau tampak muda”. Rasulullah saw menjawab, “Surah
Hud, al-Waqi’ah, al-Mursalat, ‘Amma Yatasaa-alun, dan Wa Idza asy-
Syams Kuwwirat telah menyebabkanku tampak muda”.39
h. Maqlub
Contoh hadits maqlub adalah hadits riwayat Abu Hurairah yang
terdapat dalam kitab Shahih Muslim sebagai berikut.
بصدقة ... تصدaق aرجل aظلaه إال aظل ال يوم الله aهم يظل سبعة
شماله تنفق ما يمينه تعلم ال aى حت .أخفاها
Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari tiada
naungan kecuali naungan-Nya. ... Dan seseorang yang bersedekah
dengan suatu sedekah, lalu ia menyembunyikannya, sampai tangan
kanannya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan oleh tangan
kirinya.40
Jika melihat dalam kitab Shahih al-Bukhari, al-Muwaththa’, dan
lainnya maka akan didapati bahwa redaksi hadits diatas terbalik.
Redaksi yang benar adalah sebagai berikut.
يمينه ... تنفق ما شماله تعلم ال .حتى
Sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang dinafkahkan oleh
tangan kanannya.41
i. Syadz
39 Ibid.40 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 311.41 Ibid.
35
يمينه عن فليضطجع الفجر ركعتي أحدكم صلaى .إذا
Jika salah seorang di antara kamu telah melakukan shalat dua rakaat
fajar maka hendaklah ia berbaring pada lambung kanannya.42
Hadits ini diriwayatkan Imam Abu Dawud dan Imam Tirmidziy
dari hadits Abdul Wahid ibn Ziyad dari al-A’masy dari Abu Saleh dari
Abu Hurairah secara marfu’. Dalam hal ini menurut al-Baihaqiy,
Abdul Wahid adalah mukhalafah (berbeda/melakukan penyimpangan)
dan tafarrud (melakukan penyendirian) dari sekian murid al-A’masy.
j. Munkar
Contoh hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh an-
Nasa’iy dan Ibnu Majah dari ‘Aisyah secara marfu’ sebagai berikut.
: حدaثني قال مقدم بن عطاء بن علي بن عمر بن محمaد أخبرنا
: يذكر عروة بن هشام سمعت قيسقال بن محمaد بن يحيى
: عليه الله صلaى الله رسول قال قالت عائشة عن أبيه عن
يطان aالش غضب أكله إذا آدم aبن فإن aمر بالت البلح كلوا وسلaم
بالجديد الحلق أكل aى حت آدم عاشبن .وقال
Muhammad ibn ‘Umar ibn ‘Ali ibn ‘Atha’ ibn Miqdam bercerita
kepada kami katanya, Yahya ibn Muhammad ibn Qais bercerita pada
kami katanya, aku mendengar Hisyam ibn ‘Urwah menyebutkan
(hadits) dari ayahnya dari ‘Aisyah katanya, Rasulullah saw bersabda,
“Makanlah kurma yang masih muda. Karena jika seseorang
memakannya, maka setan akan marah dan berkata, ‘Seseorang telah
hidup sampai makan ciptaan yang baru”43
Yahya ibn Muhammad ibn Qais dari Hisyam ibn ‘Urwah dari
ayahnya dari ‘Aisyah meriwayatkan secara tafarrud. Juga maknanya
kaku karena tidak sejalan (inkar) dengan prinsip-prinsip syariah,
42 Ibid., hlm. 313.43 Idri, Studi Hadis, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 209.
36
karena setan tidak akan marah hanya karena hidupnya seseorang, tetapi
karena hidup seorang Muslim yang taat kepada Allah swt.
k. Matruk44
l. Mudraj
Contoh hadits mudraj adalah hadits riwayat az-Zuhriy dari ‘Aisyah ra
sebagai berikut.
غارحراء -- في aث يتحن سلaم و عليه الله صلaى aبيa الن كان
العدد-- ذوات aيالي الل aد aعب .وهوالت
Nabi saw bertahannuts –yaitu beribadah—di dalam Gua Hira’
beberapa malam.45
Kalimat aد aعب adalah وهوالت pernyataan az-Zuhriy sebagai
penjelas istilah tahannuts.
E. KONTROVERSI ORIENTALIS TENTANG HADITS
Belum jelas kapan dan siapa orang Barat yang pertama kali melakukan
pengkajian terhadap Islam. Beberapa pakar sejarah mengatakan bahwa kali
pertama orang-orang Barat mempelajari Islam adalah saat kekhalifahan Islam
(pada saat itu Dinasti Umayyah) menguasai Andalusia (sekarang Spanyol)
pada tahun 93 H/711 M.
Setelah penaklukan, bangsa Eropa dengan bebas menimba ilmu dari
Spanyol Islam. Diantaranya Jerbert de Oraliac (938-1003 M), Adelard of
Bath (1070-1135 M), Pierre Le Venerable (1094-1156 M), Gerard de
Gremona (1114-1187 M), Leonardi Fibonacci (1170-1241 M) dan lain-lain.46
Mereka pernah tinggal dan mempelajari Islam di Toledo, Granada, Cordoba,
44 Lihat halaman45 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm. 335-336.46 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm. 7.
37
dan kota-kota lain. Setelah itu mereka pulang ke Eropa dan menyebarkan
ilmunya.
Nama-nama diatas tercatat sebagai orang-orang Barat yang melakukan
pengkajian terhadap Islam pertama kali. Yang selanjutnya disebut
orientalisme. Orientalisme sendiri adalah studi tentang dunia Timur
menggunakan perspektif bangsa Barat, yang dalam perkembangannya
mengalami penyempitan menjadi studi tentang dunia Islam. Maka orientalis
adalah orang-orang yang mempelajari Islam menggunakan logika ontologis
dan dan epistemologis Barat, entah ia orang Barat atau bukan, muslim
maupun nonmuslim.
1. Orientalis Mengkritik Otentisitas Hadits
Pada awal perkembangannya, kajian orientalis hanya pada Islam
yang bersifat umum. Namun selanjutnya terjadi spesifikasi kajian seperti
pada al-Qur’an, hadits, hukum Islam, dan sejarah Islam.
Menurut Prof. Dr. M. M. Azami, orientalis yang pertama kali
melakukan kajian terhadap hadits adalah Ignaz Goldziher (1850-1920 M)
melalui karyanya yang berjudul Muhammadanische Studien pada tahun
1890 M. Buku ini menjadi menjadi ‘kitab suci’ bagi kaum orientalis.
Dalam buku ini Goldziher berhasil menanamkan keraguan terhadap
otentisitas hadits.
Dalam Islam, ulama’ muslim sendiri telah melakukan kritik
terhadap otentisitas (keshahihan) hadits. Yaitu sejak terbunuhnya
Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan pada tahun 36 H, dimana mulai
diberlakukannya Kritik Sanad Hadits yang sebelumnya hanya berlaku
Kritik Matan Hadits. Para ulama’ sesudah generasi mereka menyusun
kriteria-kriteria otentisitas hadits yaitu: (1) Sebuah hadits harus
diriwayatkan dengan sanad (jalur transmisi) yang bersambung sampai
Rasulullah saw; (2) Sanad tersebut terdiri dari orang-orang yang
bertakwa dan kuat ingatannya; (3) Kandungan matan hadits tidak
berlawanan dengan al-Qur’an atau hadits lain yang diriwayatkan dengan
38
sanad yang kualitasnya lebih unggul; (4) Hadits tersebut tidak
mengandung kecacatan.
Empat kriteria tersebut telah ditetapkan dan diterapkan sejak abad
ke-3 sampai kira-kira abad ke 13 Hijriah tanpa ada yang
mempersoalkannya. Baru pada tahun 1890 M dunia kritik hadits
dikejutkan dengan gebrakan Ignaz Goldziher seperti yang telah
disebutkan diatas.
Kemudian muncul Joseph Schacht (1902-1969 M) dengan bukunya
The Origins of Muhammadan Jurisprudence pada tahun 1950 M, yang
kemudian dianggap sebagai ‘kitab suci kedua’ bagi para orientalis. Jika
Goldziher berhasil menanamkan keraguan terhadap otentisitas hadits,
maka Schacht berkesimpulan bahwa tidak ada satu pun hadits yang
otentik.
Tradisi orientalisme menyebar di hampir seluruh wilayah Eropa,
yaitu meliputi: Jerman, Inggris, Perancis, Belanda, Hongaria, Italia,
Spanyol, dan bahkan kini Amerika. Sejatinya orientalisme ini bertujuan
melemahkan Islam, baok dari segi agama, politik, maupun ekonomi.
2. Teori Orientalis Tentang Hadits
Meskipun orientalisme pada umumnya terkesan menyudutkan Islam,
namun ada juga yang benar dan murni mempelajari Islam sebagai ilmu
pengetahuan. Ada pula yang lebih tendesius menggunakan pendekatan
teologis. Berikut tokoh-tokoh dan penjelasannya.
a) Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis berkebangsaan
Hungaria yang dilahirkan dari keluarga Yahudi pada tahun 1850 M. Ia
belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Ia juga berangkat ke Timur
Tengah yaitu Syiria pada tahun 1873 M untuk mempelajari Islam
kepada Syeikh Thahir al-Jazairiy. Ia juga pergi ke Palestina, kemudian
ke Mesir untuk belajar kepada sejumlah ulama’ di al-Azhar selama
setahun.
39
Sepulangnya dari al-Azhar dia diangkat menjadi guru besar di
Universitas Budapest. Karya-karya ilmiahnya banyak dipublikasikan
ke dalam bahasa Jerman, Inggris dan Perancis. Karyanya yang paling
berpengaruh dan menjadi master piece adalah Muhammadanische
Studien. Buku ini dianggap sebagai ‘kitab suci’ dan menjadi sumber
rujukan utama dalam penelitian hadits oleh kaum orientalis.
Goldziher mengatakan, “Bagian terbesar dari hadits tidak lain
adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua, baik
dalam bidang keagamaan, politik, maupun sosial. Tidaklah benar
pendapat yang mengatakan bahwa hadits merupakan dokumen Islam
yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan), melainkan
adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”.47
Bagi Goldziher, hadits Nabawiy adalah hasil tradisi masyarakat
Arab. Hadits bukanlah sumber terpercaya bagi Islam di abad pertama,
namun hanya sebagai sumber yang bernilai tinggi bagi dogma, konflik
dan perhatian para Muslim abad kedua dan ketiga yang telah membuat
dan menyebarkan hadits. Ia tidak menolak kemungkinan bahwa
sahabat telah berusaha menyimpan kata-kata dan perbuatan Nabi saw
dalam bentuk shahifah. Namun Goldziher mempertahankan
pendapatnya bahwa shahifah-shahifah tersebut adalah hasil karangan
generasi Islam abad kedua dan ketiga Hijriah.
Sasaran utamanya adalah az-Zuhriy (w. 123 H), yang ia anggap
sebagai pemalsu hadits pertama kali. Goldziher merubah teks-teks
sejarah untuk memperkuat argumennya tersebut. Menurutnya, az-
Zuhriy mengatakan, “Inna haula`i al-umara akrahuna ‘ala kitabah
ahadits” (Sesungguhnya para pejabat itu telah memaksa kami untuk
menulis hadits). Kata “ahadits” dalam bahasa Arab berarti hadits-
hadits yang belum pernah ada. Padahal pada teks aslinya seharusnya
berbunyi “al-ahadits” seperti yang tertulis pada kitab Ibnu Sa’ad dan
Ibnu ‘Asakir yang berarti menunjukkan pada hadits-hadits Nabawiy.
47 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm. 9.
40
Hal ini ia lakukan agar seolah-olah az-Zuhriy mengakui memang
memalsukan hadits.
Goldziher juga menjelaskan alasan kenapa az-Zuhriy
memalsukan hadits, yaitu karena polemik politik di masanya. Hadits
tersebut berbunyi, “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga
masjid, Masjid al-Haram, Masjid Nabawiy, dan Masjid al-Aqsha”.
Menurut Goldziher, hadits ini dibuat atas perintah Khalifah ‘Abd al-
Malik ibn Marwan (Dinasti Umayyah di Damaskus) yang merasa
khawatir apabila masyarakat Syam (Syiria) setelah pergi ke Mekkah
berbaiat kepada Abdullah ibn al-Zubair yang memproklamirkan
dirinya sebagai khalifah di Mekkah. Dengan adanya hadits tersebut,
maka masyarakat Syam tidak perlu lagi pergi ke Mekkah dan cukup
pergi ke Qubbah as-Sakhra di al-Quds yang saat itu menjadi wilayah
Syam.
Hadits diatas adalah hadits yang terdapat dalam kitab Shahih
Bukhari. Dimana otentisitasnya kitab tersebut diakui oleh umat Islam,
bahkan dianggap sebagai kitab paling otentik setelah al-Qur’an. Hal
ini terus berlangsung sejak abad 3 H (Imam Bukhari wafat 256 H)
hingga tahun abad 14 H (tahun 1890 M saat terbitnya buku
Muhammadanische Studien).
b) Joseph Schacht
Prof. Dr. Joseph Schacht lahir di Silisie, Jerman pada 15 Maret
1902. Sejak saat masih muda, belajar filologi klasik, semitik, teologi
dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas
Leipzig. Ketika berumur 21 tahun, ia telah mencapai gelar doktor
dengan predikat summa cumlaude dari Universitas Berslauw.
Karya terbesarnya adalah The Origins of Muhammadan
Jurisprudence yang terbit tahun 1950, kemudian bukunya An
Introduction to Islamic Law yang terbit tahun 1960. Karyanya ini
memperoleh reputasi yang luar biasa, hingga di berbagai universitas
melarang mahasiswanya mengkritik buku-buku Schacht. Dalam dua
41
bukunya ini, Schacht berpendapat bahwa hadits Nabawiy, terutama
yang berkaitan dengan hukum Islam, adalah buatan para ulama’ abad
kedua dan abad ketiga. Ia berargumen dengan teorinya yang terkenal
yaitu “Projecting Back”.
Sumbangan pemikiran terbesar Schacht adalah orientasi hadits
terhadap Hukum Islam. Asumsi-asumsi Schacht tentang Hukum Islam
adalah48:
1) Hukum Islam bukanlah seperangkat norma yang diwahyukan,
melainkan sebagai fenomena historis yang memiliki kaitan yang
demikian erat dengan realitas sosial.
2) Jika Hukum Islam merupakan realitas historis, maka sumberya
(hadits) juga merupakan akibat dari proses perkembangan
historis.
3) Adopsi tradisi non-Islam semakin berkembang ketika teritorial
Islam mencapai wilayah di luar jazirah Arab, sejak era Khulafa’
ar-Rasyidin dan era Umayyah.
4) Pengangkatan hakim-hakim era Umayyah ditengarai mendorong
upaya penyandaran keputusan berdasarkan landasan-landasan
yang lebih otoritatif, yakni sunnah dari Nabi saw.
5) Munculnya kelompok ahli hadits ternyata jutru menjadi justifikasi
bagi berkembangnya aliran fiqh, yang disandarkan kepada
generasi masa lalu.
Dari sini timbullah teori Projecting Back (proyeksi ke
belakang). Ia melakukan penelitian pada kitab al-Muwaththa’ karya
Imam Malik, kitab al-Muwaththa’ karya Imam Syaibaniy, serta kitab
al-Umm dan ar-Risalah karya Imam Syafi’iy. Padahal kitab-kitab ini
lebih layak disebut kitab-kitab fiqh daripada kitab-kitab hadits,
sehingga hasil penelitian Schacht tidak tepat. Ia mengatakan, “Bagian
terbesar dari sanad hadits adalah palsu. Semua orang mengetahui
bahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat
48 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, UIN-Maliki Press, Malang, 2010, hlm. 172.
42
sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh
kedua dari abad ketiga Hijriah.”49
Ia menjelaskan rekonstruksi bagaimana terbentuknya sanad
hadits. Menurutnya, Hukum Islam baru muncul setelah setelah adanya
pengangkatan qadhi (hakim agama) tepatnya setelah masa asy-Sya’bi
(w. 104 H) pada era kekhalifahan Umayyah.
Pada awal abad ke-2 Hijriah, para fuqaha (ahli fiqh) yang
merupakan benih-benih calon qadhi semakin bertambah. Hal ini
menyebabkan munculnya Aliran Fiqh Klasik. Disini keputusan-
keputusan qadhi memerlukan legitimasi dari orang-orang yang
memiliki otoritas tinggi. Mereka menisbahkan keputusan hukum
mereka pada tokoh-tokoh sebelumnya (memproyeksikan ke belakang)
hingga sampai kepada Nabi Muhammad saw.
Contohnya para qadhi di Iraq menisbahkan keputusan
hukumnya kepada Ibrahim an-Nakha’iy (w. 95 H), kemudian kepada
Masruq ibn al-Ajda’ (w. 63 H), kemudian kepada Abdullah ibn
Mas’ud (w. 32 H), dan yang terakhir kepada Nabi Muhammad saw
sebagai pemegang otoritas tertinggi.
Sebagai konsekuensi adanya Aliran Fiqh Klasik ini, muncullah
Kelompok Oposisi yang terdiri dari ahli-ahli hadits. Kelompok ini
ditengarai sebagai pembuat hadits-hadits palsu yang diharapkan bisa
mengalahkan aturan-aturan yang dibuat oleh para fuqaha klasik tadi.
Kelompok Oposisi ini mengklaim telah menerima hadits-hadits
tersebut secara lisan dengan sanad yang bersambung dari perawi-
perawi yang terpercaya.
Kesimpulannya adalah baik kelompok Aliran Fiqh Klasik
maupun Kelompok Oposisi sama-sama melakukan pemalsuan hadits.
Sehingga Schacht mengatakan bahwa kita tidak akan menemukan satu
hadits pun yang berkaitan dengan Hukum Islam yang dapat dianggap
otentik.
49 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm. 9.
43
3. Bantahan Ulama’ Muslim
Kritik dari para orientalis banyak mendapatkan kritikan dan koreksi
dari para ulama’ kontemporer. Ini sebagai usaha dalam menjaga keutuhan
dan eksistensi Islam dari serangan skeptis orientalis. Mereka diantaranya
adalah Mushthafa as-Siba’i, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Shubhi ash-
Shalih, dan Muhammad Mushthafa al-A’zami.
Mushthafa as-Siba’i berasal dari Syiria, lahir pada tahun 1915 dan
meninggal pada tahun 1964. Beliau menangkal teori-teori Goldziher dalam
bukunya as-Sunnah wa Maknatuha fi at-Tasyri’ al-Islamiy yang
diterbitkan pada tahun 1949. Beliau menganggap Goldziher sama sekali
tidak menggunakan integritas ilmiah dalm meneliti hadits Nabawiy.
Goldziher menuduh az-Zuhriy memalsukan hadits untuk kepentingan ‘Abd
al-Malik ibn Marwan yang beroposisi dengan Abdullah ibn Zubair.
Padahal az-Zuhriy tidak pernah bertemu dengan ‘Abd al-Malik kecuali
setelah tujuh tahun dari wafatnya Abdullah ibn Zubair. Dalam hal ini
Goldziher telah meniggalkan prinsip-prinsip ilmiah.
Tokoh lain yang juga mengkritik pandangan Goldziher tentang
hadits adalah Muhammad ‘Ajaj al-Khatib. Beliau lahir pada tahun 1932.
Meskipun satu masa dengan Muhammad as-Siba’i, beliau melakukan
kritik secara terpisah terhadap orientalis, dalam bukunya as-Sunnah Qabla
at-Tadwin yang diterbitkan pada tahun 1964.
Kemudian Subhi ash-Shalih yang lahir pada tahun 1953 di
Damaskus. Beliau mengoreksi tuduhan orientalis tentang tidak adanya
peninggalan hadits secara tertulis. Orientalis beranggapan bahwa Nabi saw
benar-benar melarang penulisan, padahal tidak demikian. Shubhi ash-
Shalih mengatakan bahwa larangan penulisan tersebut disampaikan secara
umum pada masa awal turunnya wahyu al-Qur’an karena Nabi saw
khawatir hadits akan tercampur dengan al-Qur’an.
Setelah sebagian besar al-Qur’an telah diturunkan, Nabi saw
memberikan izin kepada sejumlah sahabat untuk menulis hadits. Hal ini
44
diperkuat dengan bukti ditemukannya catatan-catatan hadits pada masa
Nabi saw , misalnya catatan Sa’ad ibn ‘Ubadah, Samrah ibn Jundub (w. 60
H), Jabir ibn ‘Abdullah (w. 78 H), ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn ‘Ash (w. 65
H), dan ‘Abdullah ibn ‘Abbas (w. 69 H).
Sedangkan Muhammad Mushthafa al-A’zami, beliau dianggap
sebagai pakar Muslim pertama yang melakukan penghancuran besar-
besaran terhadap teori-teori orientalis dalam kajian hadits. Terutama
terhadap Ignaz Golziher dan Joseph Schacht yang merupakan orientalis
paling berpengaruh dalam hal ini. Beliau melakukan kritik dan koreksi
terhadap orientalis-orientalis tersebut dalam bukunya Studies in Early
Hadith Literature with a Critical Edition of Some Early Texts yang
diterbitkan pada tahun 1890. Di tahun yang sama disaat beliau dianugerahi
King Faisal International Prize.
Dalam studinya di Universitas Cambridge, beliau beruntung karena
diizinkan mengkritik Schacht oleh pihak universitas. Tidak seperti
rekannya Muhammad Amin al-Mishri. Sehingga beliau dapat meneliti
kajian Schacht secara lebih mendalam. Diantara kritik-kritik dan
penjelasan M. M. al-A’zami terhadap tuduhan orientalis adalah sebagai
berikut.
1) Rekayasa sanad dan matan hadits
Menurut para orientalis, sanad dan matan hadits adalah buatan
ulama’ Islam pada abad kedua dan ketiga Hijriah. Bantahan al-A’zami
adalah sebagai berikut.
a) Sejarah membuktikan bahwa sanad telah dipakai sejak masa Nabi
saw, dimana beliau menganjurkan kepada sahabat yang datang di
majelis untuk menyampaikan pengajaran beliau kepada yang
tidak datang dalam majelis.
b) Mayoritas pemalsuan hadits terjadi pada tahun ke-40 Hijriah yang
dipicu karena polemik politik.
45
c) Hasil penelitian orientalis tentang sanad tidak dapat diterima
karena yang mereka teliti adalah kitab-kitab fiqh dan sirah, bukan
kitab-kitab hadits.
d) Teori Projecting Back otomatis gugur karena banyaknya jalan
periwayatan suatu hadits.
e) Dalam perkembangannya, tidak pernah ada sanad yang
mengalami pengembangan maupun perbaikan.
f) Tuduhan sanad yang dipakai hanya untuk memperkuat argumen
suatu pendapat ataupun madzhab tidaklah terbukti dan tidak
sesuai realitas sejarah.
2) Az-Zuhriy memalsu hadits
Ignaz Goldziher menuduh az-Zuhriy membuat hadits yang
berbunyi, “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid,
Masjid al-Haram, Masjid Nabawiy, dan Masjid al-Aqsha” untuk
kepentingan politik. Berikut penjelasan al-A’zami.
a) Hadits tersebut diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk az-
Zuhriy.
b) Az-Zuhriy tidak pernah bertemu dengan ‘Abd al-Malik ibn
Marwan sebelum 81 H.
c) Pada tahun 68 H, pada saat polemik politik itu dimulai, Palestina
belum termasuk wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah.
d) Pembangunan Qubbah as-Sakhrah baru dimulai tahun 69 H (az-
Zuhriy kira-kira berumur 10-18 tahun) dan baru selesai tahun 72
H yang mana mustahil az-Zuhriy membuat hadits palsu pada
umur sekian.
3) Untaian sanad emas (adz-dzahab)
Untaian sanad emas yaitu Malik – Nafi’ – Ibnu ‘Umar. Schacht
meragukan otentisitas hadist yang diriwayatkan dari jalur tersebut
karena waktu itu umur Malik masih diperdebatkan. Selain itu, Nafi’
pernah menjadi hamba sahaya Ibnu ‘Umar. Schacht juga menganggap
46
bahwa Malik menyembunyikan perawi-perawi yang lemah dari sanad
tersebut. Penjelasan al-A’zami dari tuduhan ini adalah sebagai berikut.
a) Umur Malik telah mencapai 24 tahun ketika Nafi’ wafat sehingga
sangat dimungkinkan bertemu, apalagi mereka berdomisili di
wilayah yang sama yaitu Madinah.
b) Meskipun pernah menjadi hamba sahaya Ibnu ‘Umar, namun
Nafi’ adalah orang yang paling dipercaya Ibnu ‘Umar dalam
meriwayatkan hadits.
c) Terdapat sejumlah orang yang meriwayatkan hadits yang sama,
secara lafdziy maupun maknawiy.
4) Teori Projecting Back
Projecting Back adalah teori dimana sanad hadits digunakan
untuk menguatkan suatu keputusan hukum. Keputusan hukum tersebut
dinisbahkan pada tokoh-tokoh sebelumnya (memproyeksikan ke
belakang) yang memiliki otoritas yang semakin tinggi hingga sampai
kepada Nabi Muhammad saw. Penjelasan al-A’zami sebagai berikut.
a) Penggunaan sanad dalam transmisi hadits telah dimulai sejak
setelah pembunuhan Khalifah ‘Utsman pada tahun 35 H (abad 1
H), bukan seperti pendapat Schacht dimana sanad adalah buatan
ulama’ Muslim adab kedua dan ketiga Hijriah.
b) Orang-orang dalam sanad hadits hadits yang dicontohkan Schacht
untuk memperkuat teori ini adalah benar adanya yang hidup
dalam satu generasi dan satu wilayah kota dalam kurun waktu 30
sampai 40 tahun.
c) Teori ini tidak logis karena terdapat beberapa riwayat hadits yang
sama secara lafdziy dan maknawiy dalam berbagai literatur
muhadditsin dari berbagai aliran yang berbeda-beda yang
terpecah-pecah mulai sekitar 30 tahun setelah Rasulullah saw
wafat.
Menurut al-A’zami, kesalahan Schacht dalam meneliti hadits ini
adalah karena sikapnya yang tidak konsisten dalam berteori dan
47
menggunakan sumber rujukan, serta menerapkan metodologi yang
tidak ilmiah. Schacht juga salah memahami istilah-istilah khas yang
digunakan ulama’ dan sejumlah fakta yang berkaitan dengan hadits.
Schacht juga dinilai kurang paham akan kondisi politik dan
kondisi geografis yang dikaji, dan seringnya ia menggunakan
penarikan kesimpulan berdasarkan argumentum e silentio (alasan
ketiadaan bukti).
F. ANALISIS
1. Otentisitas Hadits
Hadits adalah otentik dari Nabi saw. Ulama’ muslim sendiri telah
melakukan kritik terhadap otentisitas hadits. Yaitu sejak terbunuhnya
Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan pada tahun 36 H, dimana mulai
diberlakukannya Kritik Sanad Hadits yang sebelumnya hanya berlaku
Kritik Matan Hadits. Para ulama’ sesudah generasi mereka menyusun
kriteria-kriteria otentisitas hadits yaitu: (1) Sebuah hadits harus
diriwayatkan dengan sanad (jalur transmisi) yang bersambung sampai
Rasulullah saw; (2) Sanad tersebut terdiri dari orang-orang yang bertakwa
dan kuat ingatannya; (3) Kandungan matan hadits tidak berlawanan
dengan al-Qur’an atau hadits lain yang diriwayatkan dengan sanad yang
kualitasnya lebih unggul; (4) Hadits tersebut tidak mengandung kecacatan.
Bukti lain dari keotentikan hadits adalah bahwa sanad telah dipakai
sejak zaman Nabi saw dan adanya tradisi tulis-menulis hadits (dalam
bentuk shahifah) sebagai bentuk pemeliharaan hadits. Kemudian terdapat
beberapa riwayat hadits yang sama secara lafdziy dan maknawiy dalam
berbagai literatur muhadditsin dari berbagai aliran yang berbeda-beda yang
terpecah-pecah mulai sekitar 30 tahun setelah Rasulullah saw wafat. Tidak
mungkin jika mereka yang berbeda-beda aliran dan wilayah, berkompromi
membuat hadits yang sama.
2. Intelektualitas Perawi
48
Salah satu faktor yang membuat keberagaman kualitas hadits adalah
intelektualitas(dhabit) para perawi di dalam sanadnya. Tingkat kedhabitan
masing-masing perwi hadis bebeda. Contohnya dalam kalangan sahabat,
penguasaan hadis tersebut bergantung pada kesempatan mereka bertemu
dengan rasulullah, kesungguhan mereka bertanya dengan sahabat lain,
perbedaan waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal mereka.
Tingkat Dhabit dalam hadist shahih itu kuat dan sempurna
hafalannya. Para perawi itu dalam keadaan sadar dan paham ketika
meriwayatkan hadits, dan menghafalnya sejak pertama menerima sampai
meriwayatkan suatu hadits. Daya ingat dan hafalan kuat ini sangat
diperlukan dalam rangka menjaga otentisitas hadits. Sedangkan didalam
hadist hasan tingkat kedhabitannya lemah dan hanya ditemukan beberapa
perawi yang kuat hafalannya. Akan tetapi didalam hadist hasan ini tidak
ditemukan kejanggalan atau kecacatan hadist. Lain halnya dengan hadis
dho’if tingkat kedhabitan perawinya sangat lemah dan terdapat kecacatan
dan kedustaan hadis.
G. KESIMPULAN
Dari segi kualitasnya, hadits dibagi menjadi tiga: shahih, hasan, dan
dha’if. Hadits shahih adalah hadits yang memenuhi kriteria-kriteria
keotentikan hadits, yang dapat dijadikan hujjah dan wajib diterima serta
diamalkan. Kemudian hadits hasan adalah hadits yang telah memenuhi
syarat-syarat hadits shahih namun perawinya kurang dhabit. Hadits ini dapat
dijadikan hujjah namun kekuatannya masih dibawah hadits shahih.
Sedangkan hadits dha’if adalah hadits yang lemah dan tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah karena tidak memenuhi kriteria-kriteria hadits shahih maupun
hasan.
Perbedaan ulama’ hadits klasik dan kontemporer adalah terletak pada
metodologinya dam mengkaji hadits. Dimana ulama’ hadits klasik
menggunakan metode tahlili, ijmali, dan muqaran. Sedangkan ulama’ hadits
49
kontemporer menggunakan metode maudhu’i seperti yang dilakukan para
orientalis.
Orientalis mulai melakukan kajian terhadap hadits pada abad 19 M/13
H. Mereka menyatakan hadits tidaklah otentik dari Nabi Muhammad saw.
Tokoh-tokoh orientalis ini diantaranya Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, dan
G. H. A. Juynboll. Kemudian tokoh ulama’ Muslim yang mengkritik dan
mengoreksi pandangan orientalis tentang hadits adalah Mustafa as-Siba’i,
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Shubhi ash-Shalih, dan Muhammad Mustafa al-
A’zami.
50
DAFTAR PUSTAKA
‘Ajaj al-Khatib, Muhammad. (2007). Ushul al-Hadits. Jakarta: Gaya Media
Pratama.
Ali Fayyad, Mahmud. (1998). Metode Penetapan Keshahihan Hadits. Bandung:
CV Pustaka Setia.
Anwar, Mohammad. (1981). Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas.
Anwar, Rosihon. (2012). Pengantar Ulumul Quran. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. (1987). Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits I. Jakarta:
Bulan Bintang.
Gufron, Mohammad, & Rahmawati. (2013). Ulumul Hadits: Praktis dan Mudah.
Yogyakarta: Teras.
Hasan, Mustofa. (2012). Ilmu Hadits. Bandung: Pustaka Setia.
Idri. (2010). Studi Hadis. Jakarta: Kencana.
Khon, Abdul Majid. (2012). Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Rahman, Fatchur. (1974). Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits. Bandung: PT
Alma’arif.
Sulaiman, M. Noor. (2008). Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press.
Sumbulah, Umi. (2010). Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press.
Suryadilaga, Alfatih, dkk. (2010). Ulumul Hadits. Yogyakarta: Teras.
Yaqub, Ali Mustafa. (2000). Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
51
Dwi Handoko. Nama-nama Perawi yang Dinilai Dha’if. Diakses dari http://huda-
sarungan.blogspot.com/2012/07/281-nama-nama-perawi-yang-dinilai-dhaif.html,
28 November 2014.
Suryadilaga. Metodologi Syarah Hadits. Diakses dari
http://suryadilaga.wordpress.com/2012/06/06/metodologi-syarah-hadis/, 4
Desember 2014.
Mufdil. Hadits Maqbul dan Hadits Mardud. Diakses dari http://mufdil.wordpress.com/2009/08/06/hadits-maqbul-dan-hadits-mardud/, 8 Desember
Zakaria. Pemikiran Hadis Kontemporer. Diakses dari
http://zakarialombok.blogspot.com/2011/01/pemikiran-hadis-kontemporer.html, 4
Desember 2014.
52