Post on 26-Dec-2015
description
MAKALAH KIMIA BAHAN ALAM
TERPENOID
Disusun oleh :
Nuraeni
12010059
JURUSAN S1 FARMASI
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI INDUSTRI DAN FARMASI BOGOR
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pola hidup manusia yang tidak seimbang menyebabkan tingginya
pertumbuhan kanker di dunia. Kanker merupakan penyakit akibat pertumbuhan
yang tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker.
Sel-sel ini akan menyebar ke seluruh bagian tubuh sehingga dapat
menyebabkan kematian. Kanker dapat menimpa semua orang dan semua
golongan umur. Oleh karena itu, penyakit kanker merupakan penyakit yang
menjadi salah satu ancaman utama terhadap kesehatan manusia. Hampir 1 juta
individu di Amerika Serikat ditemukan menderita kanker setiap tahun, sekitar
setengah diantaranya meninggal karena penyakit ini. Metode terapi yang lazim
dilakukan selama ini untuk mengatasi kanker adalah radiasi dan kemoterapi.
Metode ini membutuhkan biaya yang mahal dalam proses pengobatannya.
Namun, hasil yang didapatkan belum memuaskan karena masih menimbulkan
efek samping yang membahayakan. Oleh karena itu, pendekatan yang
dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah penggunaaan bahan alam
sebagai alternatif agen antikanker. Salah satu hal yang menjadi pengamatan
para ilmuwan adalah obat-obatan tradisional. Hal ini dilakukan mengingat
potensi obat tradisional tersebut yang telah lama dipercaya oleh masyarakat
mammpu menyembuhkan penyakit tertentu.
Salah satu bentuk pengobatan tradisional adalah metode pengobatan
dengan menggunakan bahan-bahan herbal. Pengobatan herbal merupakan suatu
pengobatan menggunakan berbagai macam ekstrak dari tumbuhan (tanaman
obat), yang dikombinasikan dengan bahan alami lainnya yang diolah secara
modern sehingga dapat membantu membersihkan saluran darah dari
penyumbatan dan menstimulasi sistem kekebalan tubuh untuk bersama-sama
membunuh sel kanker (Anonim, 2010). Senyawa-senyawa aktif dari tanaman
obat akan bekerja serentak dalam menghambat pertumbuhan sel kanker
sehingga lama kelamaan sel kanker akan melemah dan kemudian mati.
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan berbagai
macam sumber daya alam hayati. Salah satu tumbuhan yang banyak hidup di
Indonesia adalah jenis tumbuhan paku-pakuan. Tumbuhan paku merupakan
salah satu divisi tumbuhan yang menjadi kekayaan alam hayati Indonesia.
Pemanfaatan tumbuhan paku sebagai bahan obat tidak terlepas dari
kemampuan tumbuhan paku memproduksi senyawa metabolit sekunder.
Berdasarkan hasil uji bioaktivitas, beberapa metabolit sekunder dari tumbuhan
paku menunjukkan aktivitas biologis yang menarik antara lain sebagai
antikanker (Suyatno, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian fitokimia yang telah dilakukan pada
beberapa spesies tumbuhan paku dapat dinyatakan bahwa tumbuhan paku
mengandung berbagai senyawa bioaktif golongan terpenoid, steroid,
fenilpropanoid, poliketida, flavonoid, alkaloid, stilben, santon, turunan asam
benzoat, lipid, dan senyawaan belerang (Franich, et al., 1998; Ageta & Arai,
1990; Robinson, 1991; Bohm, 1994; Wollenweber, et al., 1998; Adam, 1999
dalam Suyatno, 2011).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diperoleh rumusan
masalah sebagai berikut”
1. Apa nama senyawa dan struktur senyawa Triterpen yang berhasil
diisolasi?
2. Apa nama tumbuhan yang dijadikan sebagai objek pengambilan sampel?
3. Bagaimana cara mengisolasi senyawa triterpen?
4. Bagaimana sifat dan uji bioaktivitas dari senyawa triterpen yang telah
berhasil diisolasi?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari
penyusunan makalah ini adalah:
1. Mengetahui nama senyawa dan struktur senyawa yang telah disolasi.
2. Mengetahui cara mengisolasi senyawa Triterpen.
3. Mengetahui sifat dan uji bioaktivitas dari senyawa triterpen yang telah
berhasil diisolasi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan umum Kanker
Kanker adalah penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak
terkendali. Masalah utama dalam kanker adalah metastasis, yaitu kemampuan
sel dalam berimigrasi ke jaringan yang lebih jauh dan tumbuh di jaringan
tersebut (Murray et al., 2003). Pertumbuhanyang tidak terkendali tersebut
disebabkan oleh kerusakan DNA akibat mutasi di gen vital yang mengontrol
pembelahan sel. Beberapa mutasi mungkin dibutuhkan untuk mengubah sel
normal menjadi sel kanker. Mutasi-mutasi tersebut sering diakibatkan agen
kimia maupun fisik yang disebut senyawa karsinogen (Murray et al., 2003).
Kanker dapat menyebabkan banyak gejala yang berbeda, bergantung
pada lokasinya dan karakter dari keganasan dan ada tidaknya metastasis.
Penyakit kanker ditandai dengan pertumbuhan abnormal selpada jaringan
tumbuh secara terus-menerus dan tidak terkendali. Penyebaran sel kanker dapat
dilakuakn melalui darah dan kelenjar getah bening.
B. Tinjauan Senyawa Terpenoid
Terpenoid merupakan komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai
bau dan dapat diisolasi dari minyak atsiri. Minyak atsiri yang berasal dari bunga
pada awalnya dikenal dari penentuan struktur secara sederhana, yaitu dengan
perbandingan atom hidrogen dan atom karbon dari suatu senyawa terpenoid yaitu
8:5 dan dengan perbandingan tersebut dapat dikatakan bahwa senyawa tersebut
adalah golongan terpenoid (Lenny, 2006). Minyak atsiri bukanlah senyawa murni
akan tetapi merupakan campuran senyawa organik yang kadangkala terdiri dari
lebih 25 senyawa atau komponen yang berlainan. Sebagian besar komponen
minyak atsiri adalah senyawa yang hanya mengandung karbon dan hidrogen atau
karbon, hidrogen dan oksigen yang tidak bersifat aromatik yang secara umum
disebut terpenoid. Minyak atsiri adalah bahan yang mudah menguap sehingga
mudah dipisahkan dari bahan-bahan lain yang terdapat dalam tumbuhan.
Semua senyawa terpenoid berasal dari molekul isoprena CH2=C(CH3)-
CH=CH2 dan kerangka karbonya (carbon skeleton) disusun dengan menyambung
dua atau lebih satuan isoprena tersebut (C5) seperti pada Gambar 1. Berdasarkan
alasan tersebut, maka senyawa terpenoid seringkali dinyatakan dengan istilah
“isoprenoid”. Namun, senyawa isoprena sendiri tidak terdapat di alam, senyawa
yang sebenarnya terlibat adalah isopentenil pirofosfat, CH2=C(CH3)-CH2-CH2-
OPP. Hal ini menyebabkan ada sebagian senyawa terpenoid yang tidak tersusun
dari molekul isoprena tersebut (Tukiran, 2010).
Gambar 1. Struktur isopren
Klasifikasi terpenoid ditentukan dari unit isopren atau unit C-5 atau
penyusun senyawa tersebut. Secara umum, biosintesa dari terpenoid terjadi
dengan 3 reaksi dasar yaitu:
1) Pembentukan isoprena aktif berasal dari asam asetat melalui asam mevalonat.
2) Penggabungan kepala dan ekor dua unit isopren akan membentuk mono-,
seskui-, di-, sester-, dan poli-terpenoid.
3) Penggabungan ekor dan ekor dari unit C-15 atau C-20 menghasilkan
triterpenoid dan steroid.
Mekanisme dari tahap-tahap biosintesis terpenoid adalah asam asetat yang
telah diaktifkan oleh koenzim A melakukan kondensasi jenis Claisen
menghasilkan asam asetoasetat. Senyawa yang dihasilkan ini dengan asetil
koenzim A melakukan kondensasi jenis aldol mnghasilkan rantai karbon
bercabang sebagaimana ditemukan pada asam mevalonat
CH2OHCH2C(OHCH3)CH2COOH. Reaksi-reaksi berikutnya adalah fosforilasi,
eliminasi asam fosfat, dan dekarboksilasi menghasilkan iso-pentil pirofosfat (IPP)
yang selanjutnya berisomerisasi menjadi dimetil alil pirofosfat (DMAPP) oleh
enzim isomerase. IPP sebagai unit isopren aktif bergabung melalui ikatan kepala
ke ekor dengan DMAPP dan penggabungan ini merupakan langkah pertama dari
polimeraisasi isoprena untuk menghasilkan terpenoid.
Penggabungan ini terjadi karena serangan elektron dari ikatan rangkap IPP
terhadap atom karbon dari DMAPP yang kekurangan elektron diikuti oleh
penyingkiran ion pirofosfat yang menghasilkan geranil pirofosfat (GPP) yaitu
senyawa antara bagi semua senyawa monoterpenoid.
Penggabungan selanjutnya antara satu unit IPP dan GPP dengan mekanisme
yang sama menghasilkan farnesil pirofosfat (FPP) yang merupakan senyawa
antara bagi semua senyawa senyawa seskuiterpenoid. Senyawa diterpenoid
diturunkan dari geranil-geranil piofosfat (GGPP) yang berasal dari kondensasi
antara satu unit IPP dan GPP dengan mekanisme yang sama. Reaksi-reaksi
selanjutnya dari senyawa antara GPP, FPP, dan GGPP untuk menghasilkan
senyawa-senyawa terpenoid satu persatu hanya melibatkan beberapa jenis reaksi
sekunder. Reaksi-reaksi sekunder tersebut antara lain hidrolisis, siklisasi, oksidasi,
reduksi, dan reaksi-reaksi spontan yang dapat berlangsung dengan mudah dalam
suasana netral dan pada suhu kamar, seperti isomerisasi, dehidrasi, dekarboksilasi,
dan sebagainya (Achmad, 1986). Mekanisme biosintesis senyawa terpenoid dapat
dilihat dalam Gambar 2.
Secara kimia, terpenoid umumnya larut dalam lemak dan hanya terdapat di
dalam sitoplasma sel tumbuhan. Biasanya terpenoid diekstraksi dari jaringan
tumbuhan dengan memakai eter minyak bumi, eter, atau kloroform, dan dapat
dipisahkan secara kromatografi pada silika gel atau alumina memakai pelarut di
atas tetapi sering kali terdapat kesukaran sewaktu mendeteksi dalam skala mikro
karena hampir semua senyawa terpenoid tidak berwarna dan tidak ada pereaksi
kromogenik yang peka (Harborne, 1987).
Berdasarkan mekanisme reaksi biosintesis senyawa terpenoid, maka
senyawa terpenoid dapat dikelompokkan menjadi seperti pada Tabel 1
(Lenny, 2006)
Tabel 1. Jenis-jenis senyawa golongan terpenoid
Jenis senyawa Jumlah C Sumber
Monoterpenoid 10 Minyak atsiri
Seskuiterpenoid 15 Minyak atsiri
Diterpenoid 20 Resin pinus
Triterpenoid 30 Damar
Tetraterpenoid 40 Zat warna karoten
Politerpenoid≥ 40 Karet alam
Gambar 2. Reaksi biosintesis senyawa terpenoid (Achmad, 1986)
a. Monoterpenoid
Monoterpenoid merupakan senyawa “essence” dan memiliki bau yang
spesifik yang dibangun oleh 2 unit isopren atau dengan jumlah atom karbon 10.
Lebih dari 1000 jenis senyawa monoterpenoid telah diisolasi dari tumbuhan
tinggi, binatang laut, serangga dan binatang jenis vertebrata dan struktur
senyawanya telah diketahui.
Struktur dari senyawa monoterpenoid yang telah dikenal merupakan
perbedaan dari 38 jenis kerangka yang berbeda, sedangkan prinsip dasar
penyusunannya tetap sebagai penggabungan kepala dan ekor dari 2 unit
isopren. Struktur monoterpenoid dapat berupa rantai terbuka dan tertutup atau
siklik. Senyawa monoterpenoid banyak dimanfaatkan sebagai antiseptik,
ekspektoran, spasmolotik, dan sedatif. Disamping itu, senyawa monoterpenoid
yang sudah banyak dikenal sebagai bahan pemberi aroma makanan dan aroma
parfum (Lenny, 2006).
Dari segi biogenetik, perubahan geraniol nerol dan linalol dari yang satu
menjadi yang lain berlangsung sebagai akibat reaksi isomerisasi. Ketiga
alkohol ini, yang berasal dari hidrolisa geranil pirofosfat (GPP) dapat menjadi
reaksi-reaksi sekunder, misalnya dehidrasi menghasilkan mirsen, oksidasi
menghasilkan sitral dan oksidasi-reduksi menghasilkan sitronelal.
Perubahan GPP in vivo menjadi senyawa-senyawa monoterpen siklik
dari segi biogenetik disebabkan oleh reaksi siklisasi yang diikuti oleh reaksi-
reaksi sekunder.
Penetapan struktur monoterpenoida mengikuti suatu sistematika tertentu
yang dimulai dengan penetapan jenis kerangka karbon. Jenis kerangka karbon
suatu monoterpen monosiklik antara lain dapat ditetapkan oleh reaksi
dehidrogenasi menjadi suatu senyawa aromatik (aromatisasi). Penetapan
struktur selanjutnya ialah menentukan letak atau posisi gugus fungsi dari
senyawa yang bersangkutan di dalam kerangka karbon tersebut (Lenny, 2006).
Cara lain untuk menentukan struktur molekul monoterpenoida adalah
dengan mengubah senyawa yang bersangkutan dengan reaksi-reaksi tertentu
menjadi senyawa lain yang mempunyai kerangka karbon yang sama.
Pembuktian struktur suatu senyawa didukung oleh sintesa senyawa yang
bersangkutan dari suatu senyawa yang diketahui strukturnya (Anonim, 2006).
b. Seskuiterpenoid
Seskuiterpen merupakan senyawa terpenoid yang dibangun oleh 3 unit
isopren yang terdiri dari kerangka asiklik dan bisiklik dengan kerangka
naftalen. Senyawa seskuiterpen ini mempunyai bioaktivitas yang cukup besar,
diantaranya adalah sebagai antifeedant, hormon, antimikroba, antibiotik, toksin
serta regulator pertumbuhan tanaman dan pemanis.
Senyawa-senyawa seskuiterpen diturunkan dari cis- isofarnesil pirofosfat
dan trans- farnesil pirofosfat melalui reaksi siklisasi dan reaksi sekunder
lainnya. Kedua isomer farnesil pirofosfat ini dihasilkan in vivo melalui
mekanisme yang sama seperti isomerisasi antara geranil dan nerol.
c. Diterpenoid
Senyawa diterpenoid merupakan senyawa yang mempunyai 20 atom
karbon dan dibangun oleh 4 unit isopren. Senyawa ini mempunyai bioaktivitas
yang cukup luas yaitu sebagai hormon pertumbuhan tanaman, podolakton
inhibitor pertumbuhan tanaman, antifeedant serangga, inhibitor tumor, senyawa
pemanis, antifouling, dan antikarsinogen. Senyawa diterpenoid dapat berbentuk
asiklik, bisiklik, trisiklik, dan tetrasiklik. Tatanama yang lebih banyak
digunakan adalah nama trivial (Lenny, 2006).
d. Triterpenoid
Lebih dari 4000 jenis triterpenoid telah diisolasi dengan lebih dari 40
jenis kerangka dasar yang sudah dikenal dan pada prinsipnya merupakan
proses siklisasi dari skualen. Triterpenoid terdiri dari kerangka dengan 3 siklik
6 yang bergabung dengan siklik 5 atau berupa 4 siklik 6 yang mempunyai
gugus fungsi pada siklik tertentu. Sementara itu penamaan lebih
disederhanakan dengan memberikan penomoran pada tiap atom karbon,
sehingga memudahkan dalam penentuan substituen pada masing-masing atom
karbon. Struktur terpenoida yang bermacam ragam itu timbul sebagai akibat
dari reaksi-reaksi sekunder berikutnya seperti hidrolisa, isomerisasi, oksidasi,
reduksi dan siklisasi atas geranil-, farnesil- dan geranil-geranil pirofosfat
(Lenny, 2006).
Menurut Ageta (1986) dalam Burhan dan Zetra (1997), senyawa
triterpenoid tumbuhan paku secara biogenetik dapat digolongkan ke dalam
empat kelompok. Kelompok pertama adalah triterpenoid yang beranggotakan
senyawa turunan hopana, isohopana, gammaseran, neohopana, fernana,
adianana, filisana, dan 21-epifernana. Kelompok triterpen pentasiklik ini
merupakan turunan skualen. Triterpenoid pentasiklik pada umumnya dibagi
menjadi hopanoid dan nonhopanoid. Senyawa-senyawa yang termasuk
golongan hopanoid adalah hopana dan moretana, sementara itu beberapa
nonhopanoid seperti gammaserana dan senyawa familinya yang disebut
sebagai oleanana. Hopana mengandung 27-35 atom karbon dan berbentuk seri
homolog dengan konfigurasi 17α(H), 21β(H). Senyawa-senyawa yang
termasuk dalam kelompok ini mewakili triterpenoid yang terdapat pada
tumbuhan paku-pakuan dan sebagian besar terdistribusi pada kelas Filicopsida.
Senyawa hop-22(29)-ena (diploptena) (1) dan hopan-22-ol (diplopterol) (2)
adalah dua senyawa turunan hopana tak jenuh yang banyak ditemukan.
kedua adalah yang terdiri dari senyawa-senyawa oleanan, ursan,
friedelan, dammaran, shionan, dan sejenisnya. Jenis oleanan ini pada tumbuhan
paku-pakuan banyak ditemukan pada marga polypodium (Ageta & Arai, 1983;
Ageta & Arai, 1984 dalam Burhan dan Zetra, 1997). Contoh struktur senyawa
triterpen kelompok kedua yang berkerangka dasar ursan adalah α-amirin atau
β-amirin (3) dan yang berkerangka dasar friedelan adalah friedelan (4) (Ageta
& Arai, 1990).
Kelompok ketiga adalah senyawa-senyawa triterpen yang terdiri dari
polipodana, onoseran, seratan, malabarikan, dan kolisan. Contoh senyawa
HO
H
O
β-amirin friedelan
triterpen yang ditemukan pada tumbuhan paku famili polypodiaceae antara lain
hop-17(21)-ene (5), serrat-14-ene (6) (Ageta & Arai, 1990).
Kelompok terakhir adalah yang mewakili perantara biogenetik fitosterol
yang diturunkan dari 2,3-oksidoskualena. Kelompok ini banyak ditemukan
pada akar polypodium formosanum (Ageta & Arai, 1984 dalam Burhan dan
Zetra, 1997). Contoh struktur senyawa triterpen kelompok keempat yang
mewakili perantara biogenetik fitosterol yang diturunkan dari 2,3-
oksidoskualen adalah sikloartenol (7).
BAB III
hop-17(21)-ene serrat-14-ene
sikloartenol
PEMBAHASAN
A. Asal Tumbuhan
Pada jurnal disebutkan bahwa tumbuhan yang digunakan sebagai objek
sampel adalah tumbuhan paku Adiantum philippensis L. Berikut kedudukan
tumbuhan paku Adiantum philippensis L. dalam taksonomi dapat dinyatakan
sebagai berikut:
Divisi : Pterydophyta
Kelas : Pterydopsida
Bangsa : Polypodiales
Suku : Adiantaceae
Marga : Adiantum
Spesies : Adiantum philippensis L.
(Mubashir & Shah, 2011)
Tumbuhan paku Adiantum philippensis L. sering disebut sebagai suplir
kamuding. Tumbuhan ini sering dicirikan dengan batangnya yang pendek.
Secara menyeluruh, terlihat pertumbuhannya yang tegak atau agak tegak.
Sisiknya berwarna coklat gelap, berbentuk sempit, yang panjangnya sampai 3
mm. Tangkai entalnya beralur serta warnanya agak hitam. Masing-masing
tangkai entalnya berukuran 8-18 cm. Anak-anak daunnya berjumlah sampai 12
pasang, yang letaknya agak berseling pada ental yang panjangnya mencapai 30
cm. Bentuk helaian anak daun seperti kipas. Teksturnya tipis tapi kuat.
Kumpulan sporanya terdapat di sepanjang tepi daun (Joane,1989).
Rumpun Adiantum philippensis L. sering mati pada musim kemarau.
Tunas-tunas baru tumbuh kembali pada musim penghujan. Adiantum
philippensis L. termasuk paku tanah, sehingga tumbuhnya sangat dipengaruhi
oleh keadaan tempat tumbuhnya. Tumbuhan ini tumbuh mulai daerah dataran
rendah sampai pada ketinggian 1.000 m. Jenis ini menyukai tanah berbatu-
batu, tanah liat, dan tanah berpasir. Selain itu, jenis ini diperbanyak melalui
spora, pecahan-pecahan rumpunnya mudah sekali ditumbuhkan. Adiantum
philippensis L. umumnya ditanam sebagai tanaman hias (Joane, 1989).
B. Teknik Isolasi
Pada jurnal dijelaskan cara mengisolasi yaitu sampel yang berupa serbuk
kering bagian aerial tumbuhan paku Adiantum philippensis seberat 800 gram
diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut n-heksana. Maserasi
dilakukan pada suhu kamar selama 24 jam sebanyak 4 kali. Selanjutnya hasil
maserasi n-heksana disaring menghasilkan ekstrak n-heksana dan residu. Ekstrak
n-heksana yang diperoleh diuapkan dengan rotary vacuum evaporator
menghasilkan ekstrak padat berwarna hijau gelap seberat 40 g.
Sebanyak 5 g ekstrak yang diperoleh, dipisahkan komponen-komponennya
menggunakan metode kromatografi cair vakum (KCV) menggunakan fasa diam
silika gel Merck 60 GF-254 dengan eluen berturut-turut n-heksana, campuran n-
heksana-etilasetat, dan etilasetat menghasilkan 111 fraksi (@ 15 mL). Hasil
pemisahan dimonitor dengan KLT dengan eluen n-heksana-etilasetat = 4 : 1.
Gabungan fraksi 40-44 yang berupa padatan kuning direkristalisasi dengan
menggunakan metanol menghasilkan isolat A sebanyak 335 mg. Selanjutnya
isolat diuji kemurnian dengan pengukuran titik leleh dan kromatografi lapis tipis
(KLT) tiga sistem eluen. Identifikasi struktur molekul dilakukan dengan metode
spektroskopi (UV, IR, dan MS).
C. Hasil Identifikasi Senyawa Triterpenoid
Hasil Uji Kualitatif Senyawa Triterpenoid
Hasil isolasi dari ekstrak n-heksana bagian aerial tumbuhan paku kamuding
(Adiantum philippensis L.) menghasilkan isolat yang berbentuk serbuk tidak
berwarna dengan titik leleh 186-188 0C. Hasil positif pada uji dengan pereaksi
Liebermann-Burchard (merah jingga) menunjukkan bahwa senyawa hasil isolasi
termasuk golongan terpenoid.
Gambar 3. Reaksi senyawa non fenolik dengen Liebermann-Burchad
D. Hasil Penentuan Struktur Molekul Isolat A
Pada jurnal, senyawa terpenoid yang telah berhasil diisolasi adalah senyawa
neohop-13(18)-ena. Pola fragmentasi yang ditunjukkan dalam spektrum massa
mendukung bahwa isolat merupakan senyawa neohop-13(18)-ena. Puncak ion
fragmen pada m/z 191yang sangat tinggi intensitas relatifnya (100%) mendukung
identifikasi senyawa golongan triterpenoid golongan neohop-13(18)-ena. Puncak
m/z 191 muncul karena terlepasnya gugus C14H23+, selain itu ion-ion pada m/z 41,
55, dan 69 merupakan ciri khas dari terpenoid dengan rumus molekul CnH2n-1
dengan n= 3, 4, dan 5. Berdasarkan data spektroskopi di atas serta perbandingan
dengan data literatur maka dapat disimpulkan bahwa isolat A merupakan senyawa
neohop-13(18)-ena. Berikut struktur senyawanya:
Neohop-13(18)-ena
E. Sifat dan Uji Bioaktivitas BSLT
Sebanyak 5 mg isolat dilarutkan dalam 1 mL kloroform. Larutan yang
terbentuk disebut larutan induk dengan konsentrasi 5000 µg/mL. Larutan induk
kemudian dipipet sebanyak 10, 25, 50, 75, dan 100 µL dan dimasukkan ke
dalam masing-masing vial yang berbeda. Selanjutnya masing-masing vial
dibiarkan sampai pelarutnya menguap. Ke dalam masing-masing vial
dimasukkan 10 ekor larva Artemia salina, kemudian ditambah air laut sampai
volumenya mencapai 5 mL dan dibiarkan selama 24 jam. Setelah 24 jam
dihitung jumlah larva Artemia salina yang mati. Hasil yang diperoleh dianalisis
probit dengan menggunakan program SPSS 16 for windows untuk menentukan
besarnya LC50 senyawa hasil isolasi (Mc Laughlin, et al., 1991).
Berdasarkan hasil uji pendahuluan aktivitas antikanker dengan
menggunakan metode brine shrimp lethality test (BSLT), menunjukkan bahwa
isolat A positif memiliki potensi sebagai antikanker. Hasil dari analisis probit
menggunakan SPSS 16 diperoleh harga LC50 sebesar 67,378 µg/mL.
Adanya aktivitas antikanker pada tumbuhan paku Adiantum philippensis
L. karena kandungan terpenoidnya terutama golongan triterpenoid membuat
tumbuhan ini berpotensi untuk menjadi obat antikanker. Senyawa terpenoid
dikenal sebagai salah satu golongan senyawa kimia dalam tanaman yang
memiliki aktivitas antikanker dan antioksidan (Lisdawati, 2002).
Dari hasil pengujian dengan uji BSLT maka senyawa hasil isolasi dapat
digolongkan sebagai zat yang toksik karena harga LC50 senyawa neohop-
13(18)-ena terletak antara 5-75µg/mL. Dengan demikian senyawa tersebut
mempunyai peluang untuk digolongkan sebagai senyawa yang bersifat
antikanker. Menurut Anderson (1991), bahwa senyawa murni dianggap
memiliki aktivitas biologi apabila nilai LC50 < 200µg/mL. Namun demikian
untuk lebih memastikan berapa besar aktivitas antikanker dari senyawa isolat
perlu dilakukan uji langsung pada sel kanker.
BAB IV
SIMPULAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan terhadap jurnal penelitian yang berjudul
“Senyawa Triterpen Tumbuhan Paku Kamuding dan Potensinya sebagai
Antikanker” oleh Ray Difa dan Suyatno (2012), Jurusan Kimia, FMIPA,
Universitas Negeri Surabaya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Senyawa triterpenoid yang terkandung pada isolat dari daun tumbuhan paku
Adiantum philippensis L. diduga merupakan senyawa neohop-13(18)-ena
dengan rumus molekul C30H50 dan memiliki struktur sebagai berikut:
2. Senyawa neohop-13(18)-ena positif mempunyai aktivitas sebagai antikanker
pada uji pendahuluan menggunakan larva udang laut Artemia salina L. Hal
ini dibuktikan dengan nilai LC50 sebesar 67,378 µg/mL.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, S.A. 1986. Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta: Universitas Terbuka
Ageta, H & Arai, Y., 1990. Chemotaxonomy of Fern 3. Triterpen from
Polypodium polipodiodes. J. Nat. Prod. 53(2) 325-332.
Anonim. 2006. Sekilas tentang senyawa Metabolit Sekunder Non-Fenolik.
http://www.chem_is_try.com. Diakses tanggal 10 September 2011.
Anonim. 2010. Fito- kimia Komponen Ajaib Cegah PJK, DM dan Kanker. Amelia
(Puslitbang Bogor). Kimia@net.mht. Diakses pada tanggal 02 Januari
2011.
Burhan R.Y.P dan Zetra, Y., 1997. Pencarian Bahan-Bahan Kimia Berguna Dari
Tumbuhan Keluarga Paku-Pakuan sebagai Sumber Prekursor Senyawa
Penanda Biologik. Laporan Penelitian. Surabaya : Lemlit ITS. 14-32.
Darmawan, A., Sundowo, A., Fajriah, S., dan Artanti, N. 2006. Uji Aktivitas
Antioksidan dan Toksisitas Ekstrak Metanol Beberapa Jenis Benalu.
Jurnal Kimia Indonesia. 1 (1) 1-4.
Difa, Ray dan Suyatno. 2012. Senyawa Triterpen Tumbuhan Paku Kamuding
(Adiantum philippensis L.) dan Potensinya Sebagai Antikanker. Dalam
Seminar Nasional Kimia (SNAKI) 2012
Harborne, J. B. 1996. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Penerjemah: Kosasih Padmawinata dan Iwang Sudiro.
Bandung: ITB.
Joane, Gilbert. 1989. Cryptograms: Fern and Fern Allies. Jakarta: Pustaka Utama.
Mubashir, Sofi and Shah, Wajahat A. 2011. Phytocemical and Pharmalogical
Review Profile of Adiantum VenustumI. International Journal of
PharmTech Research. Vol 3(2): 827-830.
Suyatno. 2008. Senyawa Metabolit Sekunder dari Tumbuhan Paku Chingia
sakayensis (Zeiller) Holt dan Aktivitas Sitotoksiknya terhadap Sel Murine
Leukimia P-388 secara in vitro. Disertasi. Program Pascasarjana
Universitas Airlangga.
Suyatno. 2011. Keragaman Kimiawi dan Bioaktivitas Metabolit Sekunder dari
Tumbuhan Paku (Pteridophyta). Seminar Nasional Kimia. Jurusan Kimia
Universitas Negeri Surabaya.