Post on 24-Jul-2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1. Latar belakang
Tenaga kerja merupakan partner kerja bagi perusahaan dan sekaligus
sebagai subjek yang sangat penting dalam pembangunan nasional sehingga
perlu terus di tingkatkan kualitas kesehatan dan produktifitas kerjanya antara
lain melalui keselamatan dan kesehatan kerja(K3).
Berkaitan dengan hal tersebut,perlu dilakukan berbagai upaya untuk
mewujudkan tempat,kondisi dan lingkungan kerja yang aman,sehat,dan bebas
dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Salah satu masalah yang menuntut perhatian kita berkaitan dengan
penyakit yang dapat memepengaruhi kesehatan dalam dunia kerja dewasa ini
adalah masalah penyakit tuberculosis (TB) di tempat kerja.Di Indonesia kondisi
ini dapat dilihat bahwa 75% pasien TB berada pada usia produktif (15-59
tahun) dengan prevalensi 110 per 100.000 penduduk pada tahun 2004 (Depkes
RI).
Kondisi tersebut dapat menganggu produktifitas kerja dan produktifitas
perusahaan,sekaligus berdampak buruk terhadap pembangunan sektor
ketenagakerjaan,mengingat TB Merupakan penyakit yang mudah tertular antara
sesama pekerja melaui kondisi tempat kerja yang tidak higienis.
Undang-undang no 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 3
ayat (1) huruf h,menyatakan bahwa salah satu syarat K3 adalah pengusaha di
wajibkan untuk mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja
baik fisik,maupun psikis,keracunan,infeksi,dan penularan.
Guna mewujudkan cita-cita undang-undang tersebut.Pemerintah
berkomitmen untuk melakukan upaya perlindungan kesehatan tenaga
kerja ,antara lain melaui menteri tenaga kerja dan transmigrasi yang terkait
dengan pencegahan dan pengendalian terhadap penularan penayakit di tempat
kerja.pada tahun 1999 pemerintah melalui Departemen Kesehatan telah
mencanangkan gerakan nasional terpadu Pemberantasan TBC.karena itu
1
diharapkan setiap pekerja dan perusahaan lebih aktif dalam gerakan nasional
pemberantasan TB Khususnya di tempat kerja.
Tuberculosis (TBC) merupakan penyakit infeksi kronik yang dapat di
sembuhkan bila berobat dengan baik .Di Indonesia setiap tahunnya seperempat
juta kasus baru TB ditemukan dengan jumlah kematian sekitar 140.000 jiwa.
Sebagian besar penderita TB berada di usia produktif (15sd 55 tahun)
Menurut data BPJS tahun2006 jumlah usia produktif sebanyak 159.257.680
orang dan yang merupakan angkatan kerja sebanyak 106.281.795 (66,73%)
orang.Di mana sebagian besar waktu dalam hidupnya berada di tempat kerja.
Artinya populasi pekerja yang menderita Tb Besar sekali.70% pekerja kita
bekerja di sektor informal dan pada umumnya pendidikan rendah,hygiene diri
rendah,lingkungan kerja yang buruk, dilain pihak pengetahuan penanganan TB
untuk pengusaha dalam penanggulangan TB masih kurang.Sehingga jika
terdapat penderita TB di dalam pekerja maka solusinya adalah Pemecatan.
Selain itu masalah operational biaya perusahaan terhadap penanggulangan dan
pengobatan dianggap masalah yang merugikan perusahaan.oleh karena itu perlu
adanya pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi.
TB adalah penyakit infeksi kronis menular yang masih merupakan masalah
kesehatan di dunia termasuk Indonesia (global epidemic). World health
organization dalam Annual Report On Global Tb Control 2003 meyatakan
terdapat 22 negara yang dikategorokan high burden countries terhadap TB.
Indonesia menduduki peringkat ke tiga setelah india dan china dalam
menyumbang kasus TB di dunia. Estimasi insiden menular (BTA+) di
Indonesia adalah 107 per 100.000 penduduk untuk tahun 2004. Sedangkan
untuk tahun yang sama prevalensi TB 110 per 100.000 penduduk (Survey
Prevalen Nasional, 2004)
Apabila dikaitkan dengan pengaruh terhadap keadaan ekonomi, TB akan
mempengaruhi ekonomi rumah tangga, masyarakat dan bangsa, karena TB
sebagian besar 75% menyerang usia produktif (15-59 tahun). Seorang pasien
TB diperkirakan akan mengalami kerugian ekonomi secara langsung untuk
berobat dan biaya tidak langsung untuk transportasi serta kerugian 3 sampai 4
2
bulan waktu kerja yang sebanding dengan 20-30% pendapatan rumah tangga
setahun. Apabila seseorang meninggal karena TB, maka kerugian keluarga
sebanding dengan mengestimasi kerugian ekonomi secara nasional yang
diakibatkan TB, hamper sama dengan total anggaran kesehatan pemerintah
Indonesia.
Komitmen internasional terhadap penanggulangan TB antara lain
dinyatakan pada deklarasi Amsterdam tahun 2000, dimana Menteri kesehatan
menyetujui untuk mencapai 70% angka deteksi kasus 2005 dan keberhasilan
pengobatan sebesar 85% Millennium Development Goals (MDG), mendukung
komitmen politis yang ada untuk menghentikan dan menurunkan penularan TB
pada 2015.
Komitmen Nasional pemerintah Indonesia menerapkan penanggulangan TB
sebagai otoritas kesehatan nasional. Sebagai bukti komitmen ini, pemerintah
Indonesia menyediakan sejumlah dana untuk pengendalian TB dan pada 1999
menteri kesehatan mencanangkan Gerakan Nasional Terpadu TB atau
Gendurnas TB.
Program penanggulangan TB dengan strategi DOTS di Indonesia sudah
dilaksanakan sejak tahun1995, hingga saat ini telah banyak mencapai beberapa
kemajuan. Kemajuan tersebut dapat dilihat dari kecenderungan peningkatan
pencapaian indicator program (CDR, CR dan Conversoin Rate). Unit pelayanan
kesehatan (UPK) yang melakukan program DOTS selain puskesmas, mulai
dikembangkan ke BP4, rumahsakit TB paru (RSTP), RSPI, serta Rumash Sakit
Umum baik Pemerintah dan swasta seta RS POLRI, RSTNI, poliklinik lapas,
dokter praktek swasta dsb.
Selain di UPK di atas, tempat kerja merupakan salah satu lingkungan
potensial dalam penganggulangan TB melalui penyelenggaraan pelayanan
kesehatan kerja, mengingat hal hal sebagai berikut :
Tempat kerja merupakan lingkungan yang spesipik dengan populasi yang
terkontaminasi pada tempat dan waktu yang sama.
3
Pekerja umumnya tinggal di sekitar perusahaan di perumahan yang padat dan
lingkungan tidak sehat.
Pelayanan kesehatan kerja di perusahaan pada umumnya telah melaksanakan
upaya pelayanan kesehatan akan tetapi pelayanan TB belum menerapkan
strategi DOTS/
Sebagian pihak management perusahaan masih bersikap diskriminatif terhadap
pasien TB, misalnya masih ada pekerja yang menderita TB di PHK atau di tolak
pada saat akan melamai kerja.
Program TB strategi DOTS di tempat kerja sangat penting, mengingat jumlah
industry yang meningkat.
75% Kelompok TB adalah usia produktif sehingga program TB DOTS di
tempat kerja akan memberikan kontribusi pada produktivitas perusahaan dan
ekonomi nasional.
Oleh karena itu diperlukan pedoman nasional penanggulangan TB di tempat
kerja sebagai acuan sebagai penerapan penanggulangan TB secara nasional
khususnya di tempat kerja.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet
nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang
mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas.(Widoyono,
2008)
2.2 Penyebaran TBC
Tuberkulosis Paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil
mycobacterium tuberculosis.Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit
saluran pernapasan bawah.Di Indonesia,merupakan salah satu penyakit salran
pernapasan bagian bawah.Di Indonesia,Penyakit ini merupakan penyakit infeksi
terpenting setelah eradikasi penyakit malaria.
Sebagian besar basil mikobacterium tuberculosis masuk kedalam jaringan
paru melalui airborne infection dan selanjutnya mengalami proses yang di kenal
sebagai fokus primer dari Ghon.Pada stadium permulaan ,setelah pembentukan
fokus primer,akan terjadi beberapa kemungkinan :
Penyebaran bronkogen
Penyebaran limfogen
Penyebaran hematogen
Keadaan ini hanya berlangsung beberapa saat. Penyebaran akan berhenti
bila jumlah kuman yang masuk sedikit dan telah berbentuk daya tahan tubuh yang
spesifik terhadap basil tuberkulosis.tetapi jumlah basil tuberculosis yang masuk
kedalam saluran pernapasan cukup banyak,maka akan terjadi tuberculosis milier
atau tuberculosis meningitis.
Kelanjutan proses tersebut ,dapat terjadi penyebaran infeksi primer ke
saluran getah bening dan kelenjar getah bening setempat (local) sehingga
5
Infeksi Primer
Penyebaran Basil TB
Sumber penularan
Out break of tuberculosis
Sembuh Spontan
Pembentukan primer kompleks
Sembuh 90%
Penyebaran endogen basil TB
10 %
Mati
terbentuklah suatu primer kompleks dari ranke.Dalam perjalanan penyakit lebih
lanjut ,sebagian besar penderita penderita tuberculosis primer (90%) akan sembuh
sendiri dan 10% akan mengalami penyebaran
Gambar perjalanan penyakit Tuberculosis
Mikobacterium tuberculosis tipe humanus,dan tipe bovinus adalah
mikobacterium yang paling banyak menimbulkan penyakit tuberculosis pada
manusia. Basil tersebut berbentuk batang,bersifat aerob,mudah mati pada air
mendidih (5 Menit pada suhu 800C,dan 20 menit pada suhu 600C),dan muda mati
apabila terkena sinar ultraviolet (Sinar matahari),Basil tuberculosis tahan hidup
berbulan-bulan pada suhu kamara dan dalam ruangan yang lembab.
Identifikasi basil dapat dilakukan dengan cara hapusan, Fluoresensi, biakan pada media khusus dan inokulasi basil pada hewan percobaan,bahan-bahan untuk identifikasi dapat diambil dari dahak secara langsung,kumbah lambung,kumbah saluran pernafasan dengan bantuan alat bronkoskopi dan dari cairan plura.bahan
6
hapusan tersebut di cat dengan cara Ziehl Nielsen dan dapat dibaca dengan gradasi yang diusulkan oleh Gaffky atau bronchorst.
Proses dapat meluas dengan cara :
1. Penyebaran langsung basil tuberculosis kedaerah sekitarnya.
2. Penyebaran basil tuberculosis dengan saluran pernafasan
(brongenik,duktal,canalicular asemination)
3. Penyebaran basil tuberculosis melalui saluran limfe,penyebaran secara
limfogen inilah yang bertanggung jawab terhadap proses dipleura,dinding
toraks dan tulang belakang.
4. Penyebaran hematogen
Menurut weigert penyebaran dengan cara ini menghasilkan tuberculosis
milier ,tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan terlebih dahulu :
1. Proses berasal dari paru dan telah meluas sampai menembus vena
pulmonalis.
2. Pecahnya proses yang terdapat di dinding vena sehingga hasil tuberculosis
ikut aliran darah
3. Basil tuberculosis berasal dari kelenjar mediastinum yang pecah.
4. Penyebaran yang berasal dari tuberculosis ekstra pulmoner.
2.3 Epidemiologi
Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia.
Pada tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB, karena
pada sebagian besar Negara di dunia, penyakit TB tidak terkendali, ini disebabkan
banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular
(BTA positif). Pada tahun 1995, diperkirakan setiap tahun terjadi sekitar 9 juta
penderita baru TB dengan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Di negara-
negara berkembang. kematian TB merupakan 25% dari keseluruhan kematian yang
sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TB dan 98% kematian
akibat TB di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang (Depkes RI, 2006).
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah
pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina
7
dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Pada tahun
2004, ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB
BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2006). Setiap tahunnya,
Indonesia bertambah dengan seperempat juta kasus baru TB paru dan sekitar
140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TB paru. Bahkan,
Indonesia adalah negara ketiga terbesardengan masalah TB paru di dunia setelah
India dan Cina. Terdapat sekitar 9 juta kasus baru dan kirakira 2 juta kematian
karena TB paru pada tahun 2005. Perkiraan insidensinya adalah 8,9 juta kasus baru
TB paru pada tahun 2005. Diperkirakan 1.6 juta orang (27/100,000) meninggal
karena TB paru pada tahun 2005, termasuk mereka yang juga memperoleh infeksi
HIV (219,000). Penemuan kasus di Indonesia pada tahun 2005 adalah 68%, telah
mendekati target global untuk penemuan kasus pada tahun 2005 yaitu sebesar 70%
(Depkes RI, 2008 ).
Penularan TB paru terjadi melalui batuk, bersin, berbicara atau meludah.
Mereka akan mengeluarkan kuman TB ke udara yang dikenal sebagai basil (WHO,
2007). Basil ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada
ada tidaknya sinar ultra violet, ventilasi yang baik dan kelembaban. Dalam suasana
lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan (Suhaymi,
2008). Penderita TB paru dengan status BTA (Basil Tahan Asam) positif dapat
menularkan sekurangkurangnya kepada 10-15 orang lain. Seseorang yang tertular
dengan kuman TB belum tentu menjadi sakit TB paru. Kuman TB dapat menjadi
tidak aktif (dormant) selama bertahun-tahun dengan membentuk suatu dinding sel
berupa lapisan lilin yang tebal. Bila sistem kekebalan tubuh seseorang menurun,
kemungkinan menjadi sakit TB paru menjadi lebih besar (Depkes RI, 2008).
Berbagai masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan perumahan
masih sangat menonjol terutama yang berkaitan dengan masalah air bersih,
pembuangan kotoran manusia, pengelolaan sampah, kualitas udara dan
pencahayaan dalam rumah. Salah satu penyakit yang terkait dengan masalah
perumahan adalah TB (Depkes RI, 2005). Luas ventilasi rumahdan pencahayaan
memegang peranan penting dalam penyebaran bibit penyakit, baik kuman yang
sudah ada di dalam rumah maupun dibawa oleh angin bersama debu-debu halus.
8
Mycobacterium tuberkulosis sangat peka terhadap udara dalam ruangan
kuman ini mampu bertahan bila suhu dan kelembaban udara memungkinkan dan
tidak bisa bertahan hidup bila terkena sinar matahari langsung maupun udara yang
panas (Wahyuni, 2005).
Penderita TBC anak (0 – 14 tahun) di Kabupaten Jember pada tahun 2005
sebanyak 54 orang, tahun 2006 sebanyak 74 orang dan pada tahun 2007 adalah 80
orang. Dilihat dari data ini diketahui bahwa penderita TBC anak meningkat dari
tahun 2005 sampai 2007 (Dinkes, Kab. Jember, 2008). Hasil penelitian Tim peneliti
mantoux test RS Paru Jember pada bulan November tahun 2007 di wilayah kota
Kabupaten Jember sangat mengejutkan, di mana ditemukan 17 kasus (11%) siswa
terinfeksi TB dari 123 siswa SD yang diperiksa. Hasil ini melebihi ARTI (Annual
Risk of TB Infection) di Indonesia yaitu bervariasi sebesar 1 – 3%, di mana ARTI
sebesar 1% berarti 10 dari 1000 orang terinfeksi TB (Depkes, RI, 2006). Dengan
ditemukannya infeksi TB pada anak berarti di sekitarnya terdapat sumber
penularan, yaitu penderita TB paru dengan sputum BTA positif. Penularan sering
terjadi pada kontak erat serumah (Widjayanti dan Sadjimin, 2002).
Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Gejala utama adalah batuk selama 2
minggu atau lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak, dahak
bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1
bulan. Penyakit TB paru ditanyakan pada responden untuk kurun waktu ≤1 tahun
berdasarkan diagnosis yang ditegakkan oleh tenaga kesehatan melalui pemeriksaan
dahak, foto toraks atau keduanya.
9
Tabel 1. Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru
menurut provinsi, Indonesia 2013
Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga
kesehatan tahun 2013 adalah 0.4 persen, tidak berbeda dengan 2007 (Gambar 1).
Lima provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%),
DKI Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%) dan Papua Barat (0.4%).
10
Tabel 2. Prevalensi TB paru berdasarkan diagnosis dan gejala TB paru
menurut karakteristik, Indonesia 2013
Proporsi penduduk dengan gejala TB paru batuk ≥2 minggu sebesar 3,9
persen dan batuk darah 2.8 persen (Tabel 2). Berdasarkan karakteristik penduduk,
prevalensi TB paru cenderung meningkat dengan bertambahnya umur, pada
pendidikan rendah, tidak bekerja. Prevalensi TB paru terendah pada kuintil teratas.
(Tabel 3.4.4). Dari seluruh penduduk yang didiagnosis TB paru oleh tenaga
11
kesehatan, hanya 44.4% diobati dengan obat program. Lima provinsi terbanyak
yang mengobati TB dengan obat program adalah DKI Jakarta (68.9%). Di
Yogyakarta (67,3%), Jawa Barat (56,2%), Sulawesi Barat (54,2%) dan Jawa
Tengah (50.4%) (Buku Riskesdas 2013 dalam angka).
Penyakit Tuberculosis (TB) paru disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis dan telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, sehingga merupakan
salah satu masalah dunia. Kejadian TB paru di negara industri 40 tahun terakhir ini
menunjukkan angka prevalensi yang sangat kecil. Diperkirakan terdapat 8 juta
penduduk terserang TB paru dengan kematian 3 juta per tahun dan 95%
penderitanya berada di negara-negara berkembang (WHO, 1993). TB paru di
Indonesia menurut WHO (1999 dan 2004) menunjukkan di Indonesia terdapat
583.000 kasus, kematian 140.000 dan 13/100.000 penduduk merupakan penderita
baru. Prevalensi TB paru pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256
kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya merupakan kasus baru atau kasus
baru meningkat 104/100.000 penduduk (DEPKES, 2002).
Konsekuensi yang dapat terjadi pada penderita TB paru yang tidak
melakukan pengobatan, setelah lima tahun menderita diprediksikan 50% dari
penderita TB paru akan meninggal. Sedangkan sekitar 25% akan sembuh sendiri
dengan daya tahan tubuh tinggi dan 25% lainnya sebagai "kasus kronis" yang tetap
menular (WHO, 1996). Kekhawatiran menurunnya kualitas kesehatan manusia di
dunia, akhirnya WHO tahun 1993 mencanangkan kedaruratan global penyakit TB
12
paru. Kekhawatiran dan perhatian dunia semakin kentara saat muncul epidemi
HIV/AIDS, sehingga diperkirakan penderita TB paru semakin meningkat.
Genderang perang terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis akhirnya dilakukan
berbagai program penanggulang, termasuk di Indonesia (DEPKES, 2002).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2001) penderita TB paru 95% berada
di negara berkembang dan 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif
(15 – 50 tahun) dengan tingkat sosial ekonomi rendah. Di Indonesia TB paru
merupakan penyebab kematian utama ketiga setelah penyakit jantung dan saluran
pernafasan. Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =
ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2 %. Hal ini
berarti pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, setiap tahun diantara 100.000
penduduk, 100 (seratus) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang
terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB paru, hanya 10 % dari yang terinfeksi
yang akan menjadi penderita TB paru. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan
seseorang menjadi penderita TB paru adalah daya tahan tubuh yang rendah;
diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS. Di samping itu tercapainya cakupan
penemuan penderita TB paru secara bertahap dengan target sebesar 70% akan
tercapai pada tahun 2005 (DEPKES, 2002).
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) (1995) TB paru merupakan
penyebab kematian nomor satu untuk penyakit infeksi di Indonesia dan SKRT
(2001), prevalensi TB paru klinis 0,8% dari seluruh penyakit di Indonesia
(DEPKES, 2002). Penemuan penderita TB paru menurut Profil kesehatan Jawa
Tengah tahun 2002 sebesar 8.648 penderita dengan angka penemuan penderita
(CDR) 22%. Penemuan penderita BTA positif tahun 2003 sebanyak 10.390
penderita yang dilaporkan dari 35 Kabupaten / Kota, 11 BP4 dan 1 Rumah Sakit
Paru dengan angka penemuan penderita (CDR) 28,5% dan ditemukan jumlah
penderita baru BTA positif 39.061 kasus. Angka tersebut meningkat dibandingkan
tahun sebelumnya sebesar 1.742 kasus (Dinkes Propinsi Jateng, 2002).
Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Pati tahun 2005 kasus TB paru baru
ditemukan 254 kasus dengan (CDR) 26,19 % dan tahun 2006 sampai dengan
triwulan ketiga sebanyak 171 kasus dengan (CDR) 13,05 % (DKK Pati, 2006).
Penyakit TB paru sebagian besar terjadi pada orang dewasa yang telah
13
mendapatkan infeksi primer pada waktu kecil dan tidak ditangani dengan baik.
Morbiditas TB paru terutama akibat keterlambatan pengobatan, tidak terdeteksi
secara dini, tidak mendapatkan informasi pencegahan yang tepat dan memadai
(Miller, 1982).
Faktor-faktor yang erat hubungannya dengan kejadian TB paru adalah
adanya sumber penularan, riwayat kontak penderita, tingkat sosial ekonomi, tingkat
paparan, virulensi basil, daya tahan tubuh rendah berkaitan dengan genetik,
keadaan gizi, faktor faali, usia, nutrisi, imunisasi, keadaan perumahan meliputi
(suhu dalam rumah, ventilasi, pencahayaan dalam rumah, kelembaban rumah,
kepadatan penghuni dan lingkungan sekitar rumah ) dan pekerjaan (Amir dan
Alsegaf, 1989). Lamanya perlindungan akibat vaksin BCG merupakan perdebatan,
pengalaman dari suatu pengkajian berpendapat 7-12 tahun hingga 50 tahun setelah
pengembangan vaksin ( Nelson, 1992).
Hasil penelitian dengan kohort, case control dan meta analisis serta
eksperimen yang terseleksi bahwa vaksin BCG mempunyai efektifitas sekitar 50%
dalam mencegah TB paru, biasanya tidak menetap lama dan bervariasi dari strain
satu kestrain lainnya (Colditz, 1993). Kontak yang berlebihan dengan kuman
Mycobacterium tuberculosis adalah kontak yang berlangsung terus menerus selama
3 bulan atau lebih . Masalah kontak ini terutama dilihat dari kebiasaan penderita
yang kurang baik dalam pengeloalan ludah / sekret, kepadatan penghuni dan
kondisi perumahan rakyat pada umumnya kurang memenuhi syarat (Bloom Barry,
1994), Menurut cakupan Penderita baru BTA positif dari 2003-2006 di BP4 Pati
tahun 2003 – 2006 jumlah penderita TB paru 419 kasus baru. Tujuan untuk
mengetahui faktor–faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru pada usia
dewasa.
14
BAB III
TBC DI TEMPAT KERJA
3. 1. Prinsip penanggulangan TB Di tempat kerja
Beberapa keuntuntungan penanggulangan TB di tempat kerja adalah
pekerja berkumpul secara regular pada waktu yang pasti, system komunikasi
relative mudah dan pada beberapa tempat kerja memiliki system pelayanan dan
fasilitas kesehatan kerja sehingga dapat digunakan untuk keperluan pencegahan,
penanganan pasien dan dukungan lainnaya.
Perusahaan memiliki kemampuan management untuk menyukseskan
kegiatan penganggulangan TB, karena mempunyai kemampuan dalam proses
menganalisa dan management proyek, kemampuan dibidang pegadaan dan hal
hal yang tekait masalah kebutuhan dan suplay (supply and demand) serta dalam
mencapai hasil (target) pendekatan yang sama dalam menjalankan inisiatif
usaha akan memungkinkan menjalankan program DOTS di tempat kerja yang
diharapkan juga akan mengharapkan hasil yang optimal, melalui kapasitas
ketenagaan, pendanaan, dan dukungan managerial. Monitoring program juga
akan dapat dilaksanakan, sejalan dengan praktek perusahaan seperti triwulan
kemajuan usaha.
Dalam penerapan TB di tempat kerja, penting untuk memperhatikan
prinsip prinsip yang dapat dijadikan pedoman oleh stack holder pada
penanggulangan tb di tempat kerja, khususnya tenaga kesehatan yang akan
terlibat langsung
A. Perlindungan pasien keluarga dan tempat lain di lingkungan kerja
Selalu berpihak kepada pasien, menjaga kerahasiaan kondisi
medic dan catatan medic, sangant krusial untuk menjamin
kepercayaan diri tenaga kerja untuk mengobati penyakitnya.
15
Lemahnya kepercayaan dapat menyebabkan terlambatan dalam
diagnose pasien tb. Staff medis tidak boleh menyebarluaskan
status pasien pada karwayan lainnya atau kepihak managemnent
yang belum paham DOTS. Dia hanya memberikan petunjuk
kepada staff management pada saat pasien tersebut memerlukan
waktu istirahat dan juga apabila memerlukan beban kerja dan
tanggung jawab akibat perubahan status kesehatannya.
Memberikan manfaat kesejahteraan social bagi pasien dan
keluarganya. Jaminan kesejahteraan social bagi pasien dan
keluarga akan membantu pasien menyelesaikan pengobatan.
Keuntungan kejahteraan dapat berupa pemberian OAT dan
pelayanan Cuma Cuma, pemberian gaji stetap selama
pengobatan (bila mungkin pemberian konpensasi atas hilangnya
pendapatan), bebas biaya transport ke UPK dan pemberian
makan tambahan. Yang paling penting dalam memotivasi dalam
berobat teratur dan tuntas, adalah adanya dukungan social yang
disesuaikan dengan pemberian pelayanan dan lama pengobatan
Memberikan perlindungan kepada orang lain yang berada di
tempat kerja untuk tidak tertular oleh pasien TB di tempat kerja
sejalan dengan prinsip perlindungan keselamatan dan kesehatan
kerja (K3), maka setiap orang yang berada di tempat kerja
mempunyai hak untuk tidak tertular TB di tempat kerja. Yang
dimaksud orang lain dalam hal ini adalah orang yang selain
tenaga kerja dan pijhak management yang berada di tampat
kerjauntuk kepentingan tertentu, seperti supler, tenaga magang,
tamu, DSB.
Membantu pasien TB menyesuaikan beban kerja/tugas dengan
kondisi kesehatannya, terutama untuk kurang lebih 2-4 minggu
awal pengobatan pada umumnya pasien TB setelah menjalani
pengobatan yang tepat dan teratur selama 2- 4 minggu pertama
pasien tersebut sudah tidak menularkan lagi kepada orang lain
walaupun masih dalam masa pengobatan. Melalui observasi
16
medis perkembangan pasien, jika diperlukan dapat dilakukan
penyusewaian beban kerja dan perubahan tugas tugas sampai
kesehatannya dan kesegarannya pulih.
Untuk menjamin keberhasilan pengobatan diperlukan seorang
pengawas observasi medic (POB)
B. Menjamin tempat kerja yang aman
Menggunakan kampanye penyuluhan untuk mengurangi stigma.
Kampanye penyuluhan kesehatan yang efekif ditujukan untuk
mengatasi sikap dan pengetahuan yang salah terhadap pasien
TB. TB secara tradisional dipandang sebagai penyakit yang
mematikan untuk orang miskin dan stigma social yang kuat yang
akan mengakibatkan kesulitan pasien TB untuk memeriksakan
dan mencari pengobatan
Mengembangkan dan menerapkan kebijakan management yang
jelas. Kebijakan kerahasiaan bagi para pekerja, diskriminasi,
jangka waktu istirahat pada awal masa pengobatan, penyesuaian
pekerjaan apabila dianggap perlu harus dijelaskan secara rinci
dan dibuat mudah dalam penerapannya. Kebijakan tersebut
diatas harus dijelaskan kepada pekerja yang sakit TB, segera
setelah pekerja terdiagnosa sebagai pasien TB. Untuk menjamin
keterlaksanaannya kebijakan tersebut ada baiknya dimuat dalam
perjanjian kerja bersama (PKB) yang akan mengikat ke 2 pihak
Menerapkan pengawasan lingkungan fisik. Pengawasan
lingkungan fisik berkaitan dengan TB ditujukan untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya penularan TB melalui
udara dari pasien kepada tenaga kerja lainnya.
Penularan TB sebagian besar melalui udara (air born
transmission). Kondisi lingkungan fisik yang buruk
meningkatkan resiko terjadinya penularan TB, misalnya,
ruangan yang ventilasinya kurang.
Pengendalian lingkungan fisik di tempat kerja merupakan cara
yang efektif dalam mengendalikan penyebaran TB. Dengan
17
aliran udara segar yang cukup kedalam ruangan tempat kerja.
Akan meminimalisir konsentrasi droplet nuclei infectious dalam
udara lingkungan kerja
C. Langkah membangun kemitraan
1) Identifikasi, calon mitra yang dianggap potensial untuk
menyelesaikan masalah kesehatan yang dihadapi. Untuk itu
perlu dilakukan identifikasi organisasi dan penjajagan. Dapat
digunakan formulir kuesioner kemitraan yang terlampir.
2) Sosialisasi tentang program tuberkulosis kepada calon mitra,
sehingga mitra bisa memilih peran keterlibatannya dalam
penanggulangan tuberkulosis.
3) Penyamaan persepsi, agar diperoleh pandangan dalam
penanganan masalah yang dihadapi bersama, maka para mitra
perlu bertemu untuk saling memahami kedudukan, tugas dan
fungsi masing-masing secara terbuka dan kekeluargaan.
4) Pembentukan Komitmen, masing-masing pihak sangat penting
terutama komitmen para pengambil kebijakan sehingga apa yang
menjadi kesepakatan dan tujuan bersama dapat tercapai.
5) Pengaturan peran, peran masing-masing sektor dalam
penanggulangan tuberkulosis perlu disepakati bersama, lebih
baik secara tertulis jelas yang dituangkan dalam dokumen resmi
berupa Nota Kesepakatan (MoU) antara duabelah pihak.
6) Komunikasi intensif, Untuk menjalin dan mengetahui
perkembangan kemitraan dalam melaksanakan program
tuberkulosis perlu dilakukan komunikasi antar mitra secara
teratur dan terjadwal, dan dapat diselesaikan masalah di
lapangan secara langsung.
7) Melakukan kegiatan, kegiatan yang disepakati harus
dilaksanakan dengan baik sesuai dengan rencana kerja tertulis
hasil kesepakatan bersama.
18
8) Pemantauan dan penilaian, disepakati sejak awal, bila perlu
hasil pemantauan ini dapat untuk penyempurnaan kesepakatan
yang telah dibuat.
D. Stakeholder penanggulangan TB di tempat kerja
Unit/pihak yang bertanggungjawab dalam penanggulangan masalah TB
memiliki tugas dan fungsi sesuai dengan bidang dan kewenangannya.
3. 2. Strategi DOTS
Program nasional penanggulangan TB merupakan strategi DOTS
(directly observed treatment short-course chemotherapy) sesuai dengan
rekomendas WHO, karena DOTS saat ini merupakan strategi yang cost
effective, dan hal ini sudah terbuktidalam program nasional maupun di
beberapa Negara lain.
Penerapan yang efektif kelima komponen strategi DOTS akan dapat
mengurangi penularanTB, mengurangi resiko terjadinya multy drug resistance
(MDR). Mengurasi resiko gagal pengobatan, kambuh (relaps) TB dan
kematian akibat TB. Uraian menunjukan kelima komponen strategi DOTS,
mettode dan alasannya.
Komponen strategi DOTS :
a. Komitment politis dari para pengambil keputusan, termasuk
dukungan dana
b. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik
c. Pengobatan dengan bantuan OAT jangka pendek dengan
pengawasanlangsung oleh pengawas menelan obat (PMO)
d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu
terjamin
e. Pencatatan dan pelaporan secara baku utuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.
3. 3. Penerapan strategi DOTS
19
Dalam dunia usaha, manajer menetapkan visi dan misi strategis untuk
perusahaan. Mereka juga mengembangkan budaya dan konsep untuk
pertumbuhan, keuntungan dan produktivitas. Pendekatan yang sama akan
membantu ketika akan mengembangkan strategi DOTS TB di tempat kerja.
Manajer senior memegang peran penting dalam kepemimpinan dan peran
advokasi dalam promosi dan pengembangan program kesehatan di tempat kerja.
Ketika seorang manajer menerapkan dan mensosialisasikan kebijakan
pencegahan dan pengobatan TB pada perusahaannya, mereka menempatkan
suatu nilai kesehatan para pekerja dan mengutamakan integrasi program DOTS
TB kedalam budaya usaha perusahaan.
Kegiatan DOTS TB di tempat kerja memerlukan komitmen yang
berkesinambungan dan kebijakan yang konsisten.
Prakondisi yang diperlukan untuk keberhasilan DOTS TB di tempat kerja.
Saat peluncuran:
Jaminan bahwa program dikembangkan menjangkau seluruh pekerja,
Jaminan bahwa program berkolaborasi dengan Dinas Kesehatan, Dinas
Tenaga Kerja serta pihak-pihak terkait setempat,
Menyepakati garis besar tujuan program dan komit terhadap
pelaksanaan jangka panjang.
Menjamin bahwa jajaran tempat kerja memahami dan respek terhadap
pentingnya program,
Menjamin bahwa jajaran tempat kerja memahami kebijakan baru dan
peran mereka dalam pelaksanaan.
Saat program berlangsung:
Jaminan kebijakan sebagai dasar,
Jaminan bahwa kasus tercatat dan terlapor serta hasilnya dilaporkan ke
Subdit TB, atau Dinkes setempat,
Mendorong advokasi program yang efektif.
Review kegiatan:
20
Penanganan isu-isu dan pemanfaatan peluang untuk menyukseskan
tujuan,
Alokasi sumber daya yang memadai secara rutin,
Tahap pelaksana program TB di tempat kerja,
Membangun jejaring (internal & eksternal, alur/map, peran, fungsi
dan tanggung jawab logistic, biaya operasional, rujukan, sistem
pelaporan),
Menjamin kelangsungan penanggulangan TB.
3. 4. Langkah-langkah program DOTS TB di tempat kerja
a. Pembentukan kelompok kerja TB,
b. Penyusunan konsep dan kebijakan pelaksanaan program TB strategi
DOTS di tempat kerja di Indonesia,
c. Advokasi untuk mendapatkan komitmen,
d. Assessment di tempat kerja,
e. Sosialisasi program TB strategi DOTS di tempat kerja khususnya
kepada pihak manajemen (peran manajer) dan petugas poliklinik
industri serta masyarakat pekerja,
f. Pengembangan sistem dan jejaring pelaksanaan program TB strategi
DOTS di industri,
g. Advokasi kepada pihak manajemen industri, Departemen
Perindustrian, SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) dan
organisasi lain terikat,
h. Menyusun rencana kerja,
i. Pelatihan petugas medis, paramedis dan petugas laboratorium,
j. Implementasi program TB strategi DOTS di industri,
k. Pertemuan koordinasi,
l. Monitoring dan Supervisi,
m. Evaluasi.
3. 5. Membangun Jejaring
21
Tempat kerja memiliki potensi yang besar dalam penemuan pasien
tuberkulosis (case finding) dan menjamin keteraturan dan keberlangsungan
pengobatan pasien (case holding). Akan tetapi ada beberapa keterbatasan antara
lain sarana prasarana, SDM kesehatan dan OAT. Untuk itu perlu dikembangkan
jejaring perusahaan (tempat kerja), baik internal maupun eksternal.
Suatu sistem jejaring dapat dikatakan berfungsi secara baik apabila
penemuan pasien dan pengobatan berjalan dengan baik dengan angka
keberhasilan >85% dari angka DO (drop out rate) < 5% di setiap perusahaan
(tempat kerja).
Garis Komando
Garis Koordinasi
Garis rujukan pelayanan dan manajemen
Garis rujukan pelayanan
22
Dinas Kesehatan
Rumah Sakit
Puskesmas
Dinas Naker Apindo SP/SB
P2K3 Manajemen Perusahaan
Unit SP/SB
TIM DOTS PERUSAHAAN:
Mgt. HSE/HRD
Penanggung jawab Yankesja
Unsur SP/SB
Anggota P2K3
Unit Pelaksana Pelayanan TB DOTS
Perusahaan
Keterangan:
Fungsi masing-masing unit:
1. Dinas Kesehatan
Bertanggungjawab terhadap manajemen program
penanggulangan TB di wilayahnya termasuk di tempat kerja.
Menjamin ketersediaan obat anti TB (OAT), reagensia, formulir
pencatatan pelaporan dan sarana pendukung lainnya.
Mengumpul, mengolah dan menganalisa data penderita TB dari
perusahaan dan memberikan umpan balik ke tim DOTS
perusahaan atau unit pelayanan kesehatan kerja di perusahaan
yang bersangkutan.
Bersama dengan Dinas Tenaga Kerja, melakukan pembinaan,
monitoring, dan evaluasi pelaksanaan program penanggulangan
TB di tempat kerja.
2. Dinas Tenaga Kerja
Bertanggungjawab terhadap terlaksananya program
penanggulangan TB di tempat kerja.
Melaksanakan pembinaan dan pengawasan program
penanggulangan TB di tempat kerja sebagai bagian dari program
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Memberdayakan kelembagaan dan SDM K3 dalam mendukung
keberhasilan program penanggulangan TB di tempat kerja.
Mengkoordinir peran asosiasi pengusaha dan serikat
pekerja/buruh atau pihak lain terkait dalam pelaksanaan program
penanggulangan TB di tempat kerja.
23
Memfasilitasi pengusaha dalam berkontribusi dalam pelaksanaan
program penanggulangan TB di tempat kerja.
Bersama dengan Dinkes, melakukan pembinaan, monitoring, dan
evaluasi pelaksanaan program penanggulangan TB di tempat
kerja.
3. Asosiasi pengusaha
Pembinaan dan sosialisasi program penanggulangan TB di
tempat kerja kepada anggota.
Memfasilitasi anggota dalam keterlibatan dan pelaksanaan
program penanggulangan TB di tempat kerja.
4. Serikat pekerja/buruh
Pembinaan dan sosialisasi program penanggulangan TB di
tempat kerja kepada anggota.
Memfasilitasi anggota dalam keterlibatan dan pelaksanaan
program penanggulangan TB di tempat kerja.
5. Perusahaan
5.1 Manajemen Perusahaan
Menyediakan sumberdaya dan fasilitas pendukung.
Mengembangkan sumberdaya kesehatan yang ada di perusahaan.
5.2 Tim DOTS perusahaan
Menyusun perencanaan DOTS di perusahaan.
Mengkoordinasikan pelaksanaan DOTS di perusahaan.
Memonitor dan evaluasi pelaksanaan DOTS.
Menjamin mutu dan kelangsungan program.
24
5.3 Unit pelaksana pelayanan TB DOTS di perusahaan
Melaksanakan penemuan suspek, diagnosa, pengobatan dan
pengawasan langsung pengobatan (PMO).
Melakukan rujukan ke unit pelayanan kesehatan setempat bila
diperlukan.
Melaksanakan pencatatan yang sesuai sistem yang baku dan
menyampaikan ke Dinas Kesehatan melalui puskesmas setempat.
5.4 Puskesmas
Menerima rujukan spesimen dahak dan suspek TB dalam
menegakkan diagnosa TB dari Unit pelaksana pelayanan TB DOTS
perusahaan.
Menerima rujukan pasien TB untuk penanganan lebih lanjut.
Membantu pendistribusian OAT, reagensia dan logistik TB lainnya.
Mengumpulkan data pencatatan pasien TB dari Unit pelaksana
pelayanan TB DOTS perusahaan dan disampaikan ke Dinas
Kesehatan setempat.
Bersama dengan petugas Disnaker/Pengawas Ketenagakerjaan
melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan
program penanggulangan TB di tempat kerja.
5.5 Rumah Sakit
Menerima rujukan spesimen dahak dan suspek TB dalam
menegakkan diagnosa TB dari Unit pelaksana pelayanan TB DOTS
perusahaan.
Menerima rujukan pasien TB untuk penanganan lebih lanjut.
Tugas dan fungsi tersebut diatas disesuaikan dengan kemampuan dan
kondisi masing-masing perusahaan.
25
3. 6. Menjamin kelangsungan penanggulangan TB
Hal utama untuk menjamin kelangsungan DOTS di tempat kerja adalah
komitmen dalam kelangsungan kegiatan penanggulangan TB (khususnya
berkaitan dengan penurunan risiko terjadinya MDR TB), melalui:
Membangun kapasitas stakeholder bekerjama dengan NTP;
Menyusun perencanaan bersama dengan pembagian
peran/tanggungjawab dalam kegiatan penanggulangan TB pada seluruh
stakeholder yang terlibat;
Membangun komitmen dalam menjamin kelangsungan kegiatan.
PELAKSANAAN PENANGGULANGAN TB DI TEMPAT KERJA
Dalam bab ini akan dibahas tentang kegiatan penanggulangan TB yang
dapat diterapkan di tempat kerja sebagai bagian dari program strategi DOTS
nasional dan memberikan arah/pedoman pelaksanaan. Adanya perbedaan
karakteristik industri/perusahaan akan memberikan perbedaan dalam peran dan
tanggungjawab pelaksanaan di tempat kerja. Sebagai ilustrasi, di suatu tempat
kerja hanya akan berperan dalam mendeteksi suspek, setelah suspek TB
diidentifikasi selanjutnya dirujuk untuk diagnosa ke UPK DOTS. Dapat juga
yang akan berperan dari menemukan pasien sampai mengobati pasien sampai
sembuh. Pilihan terakhir ini termasuk melaksanakan pengawasan langsung
menelan obat (DOT = direct observed treatment) di tempat kerja. Di
lingkungan industri yang besar mungkin dengan jumlah kasus yang banyak,
akan memungkinkan penerapan program DOTS secara penuh di tempat kerja.
Pedoman secara lengkap dapat merujuk ke Buku Pedoman Nasional
Penanggulangan TB.
3. 7. Penemuan pasien TB di tempat kerja
26
Seorang pasien TB menular (TB paru BTA+) sebelum dia sembuh atau
mati, berpotensi menularkan ke orang lain. Sampai saat ini penanggulangan TB
yang paling efektif adalah segera menemukan pasien dan menyembuhkannya,
sehingga penularan dapat ditekan. Penemuan pasien secara nasional umumnya
dilaksanakan di UPK bagi orang yang datang dengan keluhan gejala umum TB.
Penemuan pasien TB melalui dua langkah, identifikasi suspek dan
melakukan diagnosa pada orang yang dinyatakan sebagai suspek TB.
Identifikasi suspek
Identifikasi suspek dilakukan dengan menanyakan seseorang apakah
memiliki gejala-gejala umum TB ketika mereka berkunjung ke UPK di tempat
kerja.
Pekerja diduga TB jika memiliki gejala-gejala sebagai berikut:
Gejala utama:
Batuk terus menerus selama 2-3 minggu;
Berdahak, khususnya bercampur darah.
Gejala tambahan:
Kehilangan berat badan secara signifikan.
Berkeringat di malam hari dan demam.
Badan lemah, nafsu makan berkurang.
Sesak nafas dan sakit di dada.
3. 8. Pengobatan
Tujuan pengobatan:
Menyembuhkan pasien,
27
Mencegah kematian dan kecacatan,
Mencegah kekambuhan dan terjadinya kekebalan ganda obat,
Memutus rantai penularan.
Sebelum pengobatan dimulai, pasien TB harus diklasifikasikan berdasarkan
pada beberapa faktor:
Organ tubuh yang diserang TB (paru atau ekstra paru),
Hasil pemeriksaan dahak (BTA positif atau BTA negatif),
Riwayat pemberian OAT sebelumnya (pasien baru atau kambuh/gagal).
Sesuai pedoman nasional penanggulangan TB, program nasional menetapkan
paduan standar sesuai kategori penyakit.
Saat ini program nasional menggunakan OAT tablet fixed-dose combination
(FDC) dan kombipack untuk kasus-kasus dengan kejadian tidak diharapkan
(KTD) atau efek samping obat.
Paduan Obat TB
Obat anti TB yang direkomendasikan WHO ada beberapa macam, dan setiap
negara menetapkan salah satu pilihan yang disesuaikan dengan ketersediaan
anggaran, akses pasien ke unit pelayanan kesehatan dasar, kemampuan
jangkauan petugas kesehatan, dan hasil terbaik di lapangan.
Tabel paduan OAT setiap kategori yang direkomendasi oleh WHO
Kategori Diagnosa
TBTipe Pasien TB
Paduan OAT
Fase Intensif Fase Lanjutan
Kategori I 1. Pasien baru TB paru
BTA positif
2 HRZE* 4(HR)3*
2. Pasien baru TB paru
BTA negatif rontgen
2 HRZE 4HR
28
positif
3. Pasien TB ekstra paru 2 HRZE 6HE
Kategori II 1. Pasien TB kambuh 2 HRZES/HRZE* 5H3R3E3*
2. Pasien gagal 2 HRZES/HRZE 5 HRE
3. Pasien setelah lalai
(after default)
5 HRE
Sisipan Pasien yang masih BTA
positif pada akhir
pengobatan fase intensif
HRZE*
Program penanggulangan TB nasional menerapkan paduan OAT dengan (*)
3. 9. Kepatuhan Pengobatan
Kepatuhan pengobatan bertujuan agar pasien berobat secara tepat, tuntas
dan sembuh, sehingga terhindar dari kemungkinan terjadinya bahaya resistensi
obat.
Cara menjamin kepatuhan agar pasien tidak putus berobat dilakukan dengan
cara
1. Konseling pada awal pengobatan dan sebaiknya melibatkan anggota
keluarganya. Beberapa hal penting dalam konseling:
Tentang penyakit yang diderita,
Jenis dan jumlah OAT serta lamanya pengobatan,
Kemungkinan efek samping OAT,
Akibat ketidakteraturan pengobatan,
Kesepakatan waktu pengambilan obat dan pemeriksaan ulang
dahak.
29
2. Penetapan Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan memberdayakan
petugas K3 atau karyawan yang ditunjuk untuk mengawasi secara
langsung pasien minum obat.
3. Mendekatkan tempat pelayanan kepada pasien dengan memanfaatkan
unit pelayanan kesehatan di tempat kerja atau unit pelayanan kesehatan
terdekat lainnya.
4. Mengidentifikasi kemungkinan munculnya permasalahan yang
menyebabkan pasien putus berobat.
5. Pada akhir fase awal pengobatan, pasien perlu menyepakati kembali
rencana pengobatan fase lanjutan.
6. Membuat kesepakatan jadwal waktu untuk pengambilan OAT ke UPK
antara pasien dan petugas.
7. Apabila pasien terlambat mengambil OAT paling lama 2 hari dari
jadwal, maka petugas kesehatan harus melacak pasien tersebut.
Pengawasan Langsung Pengobatan (Directly Observed Treatment = DOT)
Untuk menjamin kepatuhan pengobatan perlu dilakukan pengawasan
langsung (DOT). Pengawasan langsung dapat dilakukan oleh petugas kesehatan
atau PMO. PMO bisa berasal dari petugas kesehatan, petugas K3, karyawan dan
anggota keluarga yang sebelumnya telah mendapat pembekalan tertentu agar
bisa berfungsi sebagai pengawas pengobatan seperti paramedis/medis pada
pasien yang dirawat. DOT juga menjamin akuntabilitas layanan TB dan
mencegah terjadinya kekebalan terhadap obat.
3. 10. Kejadian yang tidak diharapkan (KTD)
OAT dapat menyebabkan urin dan air mata berwarna kemerahan. Pasien
perlu diberi pengertian sebelum mulai pengobatan bahwa efek samping ini hal
yang normal/biasa. Efek samping OAT dapat dikelompokkan menjadi dua;
30
pertama adalah efek samping ringan berupa perasaan tidak enak, kelainan kulit
seperti gatal-gatal, kesemutan, gangguan otot, demam, menggigil dsb. Efek
samping ini pada umumnya dapat diatasi melalui obat-obat simptomatis.
Sedangkan efek samping kedua adalah efek samping berat; termasuk dalam
kelompok ini adalah terjadinya icterus, sindrom respirasi berat, purpura, anemi
hemolitik akut, syok dan gagal ginjal. Apabila terjadi indikasi efek samping
berat maka segera pasien melapor ke UPK untuk mendapatkan penanganan.
3. 11. Penyediaan dan distribusi OAT serta alat kesehatan
Program nasional penanggulangan TB akan menyediakan OAT dan
diberikan secara cuma-cuma kepada pasien TB, termasuk untuk
penanggulangan TB di tempat kerja. Distribusi OAT dilaksanakan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota melalui mekanisme yang ada.
Kebutuhan reagensia, bahan laboratorium (kaca slide, pot dahak) dan bahan
lainnya seperti formulir pencatatan pengadaannya oleh Dinas Kesehatan
setempat. Sedangkan untuk mikroskop dan prasarana laboratorium diharapkan
ada kontribusi dari industri/perusahaan.
3. 12. Pencatatan dan Pelaporan
Sistem pencatatan dan pelaporan dalam program penanggulangan TB
penting untuk memastikan agar pasien TB mendapat pengobatan yang tepat dan
mendapatkan OAT yang adekuat.
Sistem pencatatan dan pelaporan program penanggulangan TB strategi DOT
ada tiga komponen utama ;
Registrasi seluruh pasien yang didiagnosa TB.
Pencatatan hasil pengobatan
Pelaporan hasil program (penemuan kasus,hasil follow-up tahap
intensif dan pengobatan) ke Dinas Kesehatan setempat.
31
Efektifitas penanggulangan TB membutuhkan system pencatatan
menggunakan formulir baku sejak awal diagnosa dan klasifikasi sampai akhir
pengobatan.
System standar pelaporan program DOTS nasional meliputi :
Di tingkat UPK :
Kartu pengobatan TB
Kartu identitas pasien
Registrasi laboratorium TB
Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak
Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS
Formulir rujukan/ Pindah pasien TB
Formulir hasil akhir pengobatan
Ditingkat kabupaten kota :
Registrasi TB kabupaten
Laporan triwulan penemuan kasus baru dan kambuh
Laporan triwulan hasil pengobatan pasien
Laporan triwulan hasil pemeriksaan dahak akhir tahap intensif
Formulir sediaan untuk cross check
Laporan penerimaan dan pemakaian OAT di kabupaten kota
3. 13. Upaya promosi kesehatan dan pencegahan dan di Tempat Kerja
Promosi kesehatan di tempat kerja adalah proses pemberdayaan masyarakat
pekerja dalam memelihara,meningkatkan dan melindungi kesehatannya
melalui peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan,serta
mengembangkan lingkungan sehat.
Promosi mencakup aspek perilaku,lingkungan atau suasana yang
mempengaruhi perkembangan perilaku yang terkait dengan aspek social
budaya,pendidikan,politik,dan pertahanan/keamanan.
32
Strategi promosi terdiri dari tiga komponen utama yaitu advokasi
kesehatan,komunikasi,dan mobilisasi social. Dalam menjalangkan strategi
diatas memerlukan masukan seperti data dasar masalah tuberculosis dan
promosi kesehatan,ketenagaan,buku pedoman,media promosi dan sumber
dana.
Secara Operasional tujuan yang ingin di capai dalam upaya promosi
penanggulangan tuberculosis di tempat kerja meliputi :
Meningkatkan dukungan politis dan sumber daya dari
pengambil/pemimpin/penyandang dana
Meningkatkan pengetahuan sikap dan perilaku penderita
Meningkatkan pengetahuan sikap dan perilaku PMo
Meningkatkan pengetahuan ,sikap dan perilaku petugas kesehatan
Meninkatkan peran serta aktif lintas sektor,LSM,kelompok potensial
dalam pelaksanaan promosi tuberculosis
Aspek yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan TB :
Menyakinkan bahwa TB disebabkan oleh kuman bukan penyakit
keturunan
Menemukan dan menyembuhkan sebanyak mungkin pasien TB adalah
salah satu upaya pencegahan yang paling efektif dn efisisen.
Perilaku hidup sehat,faktor lingkungn fisik,kepadatan hunian dan gizi
juga berpengaruh terhadap penularan TB
Sirkulasi udara yang baik di ruang kerja sangat penting dalam
mencegah penularan TB
Segerah memeriksaan diri ke unit pelayanan kesehatan kerja apabila
mengalami batuk lebih dari dua minggu.
3. 14. Monitoring dan Evaluasi
Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk
menilai keberhasilan pelaksanaan program. Pemantauan dilaksanakan secara
berkala dan terus-menerus,untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah
33
dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan supaya dapat dilakukan
tindakan perbaikan segera.Evaluasi biasanya dapat dilakukan setiap 6 bulan
sampai dengan 1 tahun.dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan dan
target yang telah di tetapkan sebelumnya dicapai.
Indikator evaluasi utama dalam hubungannya dengan pengobatan pasien :
Jumlah Petugas yang telah dilatih
Ketersediaan Logistik
Pencatatan dan pelaporan yang baku.
DAFTAR PUSTAKA
Widoyono.2002.Penyakit tropis epidemiologi,penularan,pencegahan dan pemberantasanya.
Edisi 2 Jakarta:Erlangga
34
Asril Azwar,Tuberculosis Paru,dalam ilmu Penyakit Dalam,Balai Penerbit
FKUI,Jakarta,1987.
http://depkes.go.id/downloads/riskesdas2013/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Pegawai. 2009. Modul pemeriksaan kapasitas fungsi paru. Jakarta.
Irwanshari. 2009. Penyakit Paru Akibat Gangguan Kerja.
http://wwwiwanshari.blogspot.com diakses 25 november 2014.
Mukono, H.J. 2008. Pencemaran udara dan pengaruhnya terhadap gangguan
saluran pernafasan, Airlangga University Press, Surabaya.
Muktar, et.al, 2009. Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan, Universitas
Indonesia,Jakarta.
Pudjiastuti, W. 2003. Modul Pelatihan bagi Fasilitator Kesehatan Kerja. Jakarta:
Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan RI
Suma’mur. 2008. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja (HIPERKES) Edisi 1.
Jakarta: Gunung Agung.
Suma’mur. 2014. Higiene perusahaan dan kesehatan kerja (HIPERKES) Edisi 2.
Jakarta: Gunung Agung.
35