Post on 27-Dec-2015
1
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Reaksi substitusi nukleofilik pada alkil halida adalah reaksi yang
melibatkan pergantian atom halogen pada alkil halida (RX) dengan nukleofil (Nu-)
yang berbeda, dimana halogen yang digantikan lepas sebagai ion halida. Reaksi
substitusi nukleofilik dibedakan menjadi substitusi nukleofilik unimolekuler (SN1)
dan substitusi nukleofilik bimolekuler (SN2).
Reaksi SN1 melibatkan nukleofil lemah seperti H2O, dan berlangsung pada
alkil halida tersier karena karbokation tersier distabilkan oleh tiga gugus alkil. Jika
nukleofil yang terlibat merupakan nukleofil kuat, dan substrat berupa alkil halida
primer dan sekunder maka reaksi SN1 tidak dapat terjadi, melainkan menempuh
mekanisme SN2.
Pada makalah ini penulis akan memaparkan tentang reaksi SN2 meliputi
mekanisme reaksi, laju reaksi, stereokimia, pengaruh gugus pergi, dan pengaruh
pelarut. Reaksi SN2 umumnya berlangsung secara cepat tanpa melalui
pembentukan zat antara, terjadi penyerangan nukleofil terhadap alkil halida dari
posisi yang berlawanan dengan posisi gugus pergi (suatu halogen), terjadi inversi
Walden atau inversi konfigurasi. Berikut merupakan reaksi SN2 secara umum:
keadaan transisi
Gambar 1. Reaksi SN2 secara umum
Keterangan:
R-X : substrat
X : gugus pergi
Z : nukleofil
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah
dari makalah ini antara lain:
2
I.2.1. Bagaimanakah mekanisme reaksi dan laju reaksi SN2?
I.2.2. Bagaimanakah stereokimia reaksi SN2?
I.2.3. Bagaimanakah pengaruh gugus pergi terhadap reaksi SN2?
I.2.4. Bagaimanakah pengaruh pelarut terhadap reaksi SN2?
I.3. Tujuan
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan dalam rumusan
masalah, maka tujuan dari makalah ini antara lain:
I.3.1. Mengetahui mekanisme reaksi dan laju reaksi SN2
I.3.2. Mengetahui stereokimia reaksi SN2
I.3.3. Mengetahui pengaruh gugus pergi terhadap reaksi SN2
I.3.4. Mengetahui pengaruh pelarut terhadap reaksi SN2
II. ISI
II.1. Mekanisme dan Laju Reaksi SN2
Definisi
Reaksi Substitusi Nukleofilik pada Alkil Halida
Reaksi yang melibatkan pergantian atom halogen pada alkil halida (RX)
dengan nukleofil (Nu-) yang berbeda, dimana halogen yang digantikan lepas
sebagai ion halida.
Gambar 2. Reaksi Substitusi Nukleofilik Alkil Halida
Reaksi Substitusi Nukleofilik Bimolekular (SN2)
Reaksi SN2 merupakan reaksi substitusi nukleofilik (ditunjukkan oleh
lambang SN) bimolekular (ditunjukkan oleh angka 2). Reaksi disebut bimolekular
karena pada keadaan transisi terlibat dua partikel (RX dan Nu-), kedua partikel ini
juga menentukan laju reaksinya.
3
Mekanisme Reaksi SN2
Secara umum, ciri mekanisme reaksi SN2 meliputi:
1. Reaksi berlangsung dalam 1 tahap tanpa ada zat antara namun terdapat
keadaan transisi.
2. Penyerangan Nu- terhadap RX dari posisi yang berlawanan dengan posisi
gugus pergi (suatu halogen).
3. Terjadi inversi Walden/ inversi konfigurasi .
Perhatikan reaksi berlangsung untuk metil iodida dengan ion hidroksida berikut:
Keadaan Transisi
Gambar 3. Mekanisme Reaksi SN2 pada Metil Iodida
Reaksi yang terjadi antara metil iodida dengan ion hidroksida merupakan
salah satu contoh reaksi SN2. Ion hidroksida (OH-) berperan sebagai nukleofil
yang menggunakan salah satu pasangan elektron bebasnya (PEB) untuk
membentuk ikatan baru dengan atom karbon ujung (Cα) pada metil iodida. Pada
saat yang bersamaan, ikatan antara C-I terputus. Sepasang elektron yang
membentuk ikatan pada C-I tersebut mengarah ke atom I untuk membentuk empat
pasangan elektron bebas dan muatan negatif.
Pada keadaan transisi, terbentuk ikatan baru antara C-OH secara parsial
dan bersamaan dengan itu ikatan C-I terputus pula secara parsial. Dalam
prosesnya, OH- mendekati atom karbon ujung (Cα) dari sisi belakang (sisi
berlawanan dengan posisi gugus pergi, I). Hal ini terjadi karena OH- dan I- sama-
sama memiliki muatan negatif maka untuk meminimalkan tolakan keduanya
diambil posisi sejauh mungkin. Selain itu, jika ditinjau dari sudut pandang
orbitalnya, orbital dari nukleofil (OH-) akan overlap dengan orbital antibonding
dari ikatan C-I. Sejalan dengan meningkatnya interaksi overlap (pembentukan
ikatan) antara orbital OH- dengan antibonding ikatan C-I, interaksi ikatan C-I
4
semakin melemah sampai keadaan transisi terlampaui. Secara geometri orbital,
posisi nukleofil (OH-) harus berada pada posisi yang berlawanan.
Gambar 4. Mekanisme Reaksi SN2 Menggunakan Orbital Molekul
Pada akhir reaksi terjadi inversi Walden, yaitu pembalikan pusat karbon (carbon
center) dari posisi awal. Dapat dianalogikan seperti payung yang terbalik.
Gambar 5. Inversi Konfigurasi Secara Umum
Laju Reaksi SN2
Setiap molekul yang bereaksi dan menghasilkan produk harus melewati
keadaan transisi, baik stukturnya maupun energinya. Agar suatu reaksi dapat
mulai terjadi, beberapa molekul atau ion yang bertabrakan dalam wadah harus
memiliki energy yang cukup untuk mencapai keadaan transisi pada waktu
bertabrakan, energy ini disebut energy aktifasi (Eakt). Hanya molekul yang
memiliki energy sama atau lebih besar dari Eakt yang dapat membentuk produk.
ReaktanCH3I + -OH
Produk CH3OH + I-
Eakt
∆H
H
C OHI
HH
-
Energi
Progres reaksi
5
Gambar 6. Grafik Energi Reaksi SN2
Pengaruh Eakt terhadap laju reaksi adalah semakin rendah Eakt, maka laju
reaksi semaki cepat karena semakin sedikit energy yang diperlukan untuk terjadi
reaksi dan semakin banyak molekul yang memiliki cukup energy untuk bereaksi.
Begitu pula sebaliknya, semakin tinggi Eakt maka keadaan transisi akan lambat
dicapai dan laju reaksi berlangsung lambat.
Laju reaksi merupakan penurunan konsentrasi reaktan per satuan waktu
atau bertambahnya konsentrasi produk per satuan waktu. Laju reaksi bergantung
pada banyak variabel, seperti konsentrasi reaktan, suhu, penambahan katalis,
ukuran partikel dan tekanan. Beberapa variabel tersebut dapat dibuat konstan
untuk suatu eksperimen tertentu. Dalam bab ini, variabel utama yang diperhatikan
adalah konsentrasi pereaksi dan struktur pereaksi.
a. Pengaruh konsentrasi pereaksi terhadap laju reaksi
Pada reksi SN2 laju reaksi bergantung pada konsentrasi kedua partikel,
yaitu konsentrasi nukleofil dan konsentrasi alkil halida. Laju reaksi yang
dipengaruhi oleh konsentrasi kedua reaktan disebut reaksi orde kedua. Menambah
konsentrasi yang mengalami reaksi SN2 akan menambah laju terbentuknya produk
6
karena meningkatkan intensitas tumbukan antara molekul molekul (nukleofil
dengan alkil halida).
Laju SN2 = k [alkil halida] [Nu-]
Dalam persamaan ini [alkil halida] dan [Nu-] menyatakan konsentrasi masing-
masing partikel dalam mol/L, k merupakan tetapan laju (rate constant) yang
harganya sama untuk kondisi eksperimen dan reaksi yang sama.
b. Pengaruh struktur pereaksi terhadap laju reaksi
Alkil halida memiliki 4 tipe, yaitu metil halida, alkil halida primer, alkil
halida sekunder dan alkil halida tersier. Keempat tipe ini memiliki laju reaksi SN2
yang berbeda jika diukur pada kondisi reaksi yang sama (suhu, konsentrasi dan
pelarut). Tabel berikut menunjukkan laju relative rata-rata (dibandingkan dengan
etil halida) dari reaksi sejumlah alkil halida.
Tabel 1. Laju relatif alkil halida
Alkil Halida Laju Relatif
CH3X 30
CH3CH2X 1
CH3CH2CH2X 0,4
CH3CH2CH2CH2X 0,4
(CH3)2CHX 0,025
(CH3)3CX ~0
(Fessenden & Fessenden, Kimia Organik Jilid 1:179)
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa laju reaksi tertinggi
ditunjukkan oleh metil halida, kemudian alkil halida primer, alkil halida sekunder.
Alkil halida tersier tidak bereaksi SN2.
Perbedaan laju reaksi ini diakibatkan oleh kemudahan nukleofil dalam
menyerang atom C ujung (Cα). Bertambahya jumlah gugus alkil yang terikat pada
atom karbon ujung maka pada keadaan transisinya semakin berjejal dengan atom
sehinggan nukleofil sulit untuk menyerang. Jejalan ruang dalam pada suatu
struktur disebut rintangan sterik. Jika gugus-gugus besar berjejalan pada suatu
ruang sempit maka semakin besar tolakan antar gugus-gugus besar tersebut
7
sehingga energy system semakin besar. Semakin besar rintangan sterik dari alkil
halida maka semakin lambat reaksi SN2 berlangsung.
c. Pengaruh nukleofilitas terhadap laju reaksi SN2
Pada reaksi SN2 semakin kuat nukleofilitas maka laju reaksi semakin cepat karena
keadaan transisi semakin cepat terbentuk. Tabel berikut menunjukkan korelasi
antara nukleofilitas dengan laju reaksi SN2.
Tabel 2. Korelasi Nukleofilitas dengan Laju Reaksi SN2
Nukleofil pKa dari asam
konjugasi
k (konstanta reaksi
orde 2)
Log k
CH3O- 15,1 2,5 x 10-4 -3,6
PhO- 9,95 7,9 x 10-5 -4,1-CN 9,4 6,3 x 10-4 -3,2
AcO- 4,76 2,7 x 10-6 -5,6
N3- 4,72 7,8 x 10-5 -4,1
F- 3,2 5,0 x 10-8 -7,3
SO42- 2,0 4,0 x 10-7 -6,4
NO3- -1,2 5,0 x 10-9 -8,3
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa semakin besar nilai pKa maka
semakin kuat sifat kebasaan nukleofil maka laju reaksi SN2 semakin cepat karena
keadaan transisi cepat terlampaui. Hal ini berlaku jika pusat nukleofilitasnya
berada pada periode yang sama.
Jika pusat nukleofil pada periode yang berbeda (dalam satu golongan) maka
nukleofilitas lebih dipengaruhi oleh polarizabilitas. Semakin besar jari-jari atom
maka jarak antara elektron valensi terhadap inti atom semakin besar menyebabkan
tarikan inti melemah sehingga polarisabilitasnya besar dan nukleofilitasnya besar.
Hal tersebut dapat dijelaskan melalui gambar berikut:
8
Gambar 7. Polarizabilitas Pada Nukleofil Ion Halida
II.2. Stereokimia Reaksi SN2
Pada mekanisme reaksi SN2, jika nukleofil menyerang karbon tetrahedral
dari arah depan (front-side attack) atau arah yang sama terhadap kedudukan gugus
pergi, maka akan terbentuk produk yang memiliki retensi konfigurasi. Jika
nukleofil menyerang karbon tetrahedral dari arah belakang (back-side attack) atau
arah yang berlawanan terhadap kedudukan gugus pergi, maka akan terbentuk
produk yang memiliki inversi konfigurasi.
Front-side attack:
Gambar 8. Frontside Attack pada Reaksi SN2 Secara Umum
9
Back-side attack:
Gambar 9. Backside Attack pada Reaksi SN2 Secara Umum
Menurut seorang ahli kimia Jerman, Paul Walden, umumnya hasil
eksperimen dari reaksi SN2 menghasilkan produk yang memiliki inversi
konfigurasi (inversi Walden). Hal ini juga dibuktikan dengan eksperimen-
eksperimen yang dilakukan oleh E. D. Hughes dan C. K. Ingold bahwa reaksi SN2
menghasilkan produk yang memiliki inversi konfigurasi, sehingga reaksi SN2
berlangsung dengan penyerangan nukleofil terhadap karbon tetrahedral dari arah
belakang (back-side attack). Alasan penyerangan nukleofil terhadap karbon
tetrahedral dari arah belakang umunya terjadi karena kedudukan gugus pergi
menghalangi penyerangan nukleofil jika serangan terjadi dari arah depan.
Gambar 10. Penjelasan Frontside dan Backside Attack
Jika ditinjau dari sudut pandang orbitalnya, ketika nukleofil menyerang
dari arah depan, orbital dari nukleofil akan membentuk overlap bonding dan
antibonding dengan ikatan C-X (alkil halida), sehingga overlap antibonding pada
ikatan C-X akan menggagalkan overlap bonding dari nukleofil dengan karbon
tetrahedral, sehingga ikatan antara nukleofil dan karbon tetrahedral tidak dapat
terjadi. Sedangkan ketika nukleofil menyerang dari arah belakang, orbital dari
nukleofil akan membentuk overlap bonding dengan ikatan C-X (alkil halida).
Dengan meningkatnya interaksi overlap, maka akan terbentuk ikatan antara
nukleofil dengan karbon tetrahedral.
10
Front-side attack
Gambar 11. Frontside Attact of Orbital of The C-L bond
Back-side attack
Gambar 12. Backside Attact of Orbital of The C-L bond
Ketika nukleofil menyerang karbon tetrahedral dari arah belakang, maka
keadaan transisi yang terbentuk melibatkan proses rehibridisasi sementara atom
karbon, dari hibridisasi sp3 ke sp2 dan akhirnya kembali ke hibridisasi sp3. Dalam
keadaan transisi, atom karbon mempunyai hibridisasi sp2 dan 3 substituennya
berada pada bidang datar. Dengan 3 substituennya berada pada bidang datar, maka
semua substituen yang terikat pada atom karbon berada pada jarak yang
maksimal, sehingga efek tolakan elektron berkurang. Sejalan dengan
meningkatnya interaksi overlap (pembentukan ikatan) antara orbital nukleofil
dengan antibonding ikatan C-X, interaksi ikatan C-X semakin melemah sehingga
X- (gugus pergi) lepas.
Kereaktifan Gugus Pergi
11
Gambar 13. Mekanisme Inversi Konfigurasi
Pada akhir reaksi terjadi inversi Walden atau inversi konfigurasi, yaitu
pembalikan pusat karbon (carbon center) dari posisi awal. Dapat dianalogikan
seperti payung yang terbalik.
II.3. Pengaruh Gugus Pergi Terhadap Reaksi SN2
Reaksi SN2 tidak hanya dipengaruhi oleh struktur alkil halida dan pelarut
yang digunakan, namun juga dipengaruhi oleh gugus pergi pada alkil halida. Pada
subbab ini akan dibahas bagaimana pengaruh gugus pergi terhadap reaksi SN2.
Kereaktifan reaksi SN2 bergantung pada energi ikatan karbon-halogen dan
kebasaan ion halida. Gugus pergi pada reaksi SN2 ini adalah golongan halogen.
Murry (2008:369) menyatakan bahwa “the best leaving group are those that the
best stabilize the negative charge in transition state”. Berdasarkan penjelasan
Muury, gugus pergi yang baik adalah gugus yang mampu menstabilkan muatan
negatif saat keadaan transisi. Semakin besar kemampuan gugus pergi untuk
menstabilkan muatan negatif pada saat keadaan transisi maka dapat menghasilkan
energi yang rendah pada keadaan transisi sehingga reaksi SN2 dapat berlangsung
lebih cepat. Gugus yang memiliki kemampuan menstabilkan muatan negatif
adalah basa-basa yang paling lemah. Berikut ini merupakan urutan kereaktifan
gugus pergi pada reaksi SN2:
OH- NH2- OR- F- Cl- Br- I- TosO-
Gugus pergi OH- NH2- OR- adalah gugus pergi yang paling lemah
karena gugus-gugus tyersebut merupakan basa kuat, sehingga kemungkinan kecil
untuk terjadinya reaksi SN2. Gugus pergi berupa ion halida seperti F- Cl- Br- I-
12
memiliki kereaktifan yang meningkat, sehingga dapat diketahui bahwa alkil
iodida yang merupakan gugus pergi yang paling baik diantara alkil halida lainnya.
Kereaktifan gugus pergi dapat dilihat dari kebasaan dan energi ikat alkil
halidanya. Berikut ini merupakan data kebasaan yang dilihat dari nilai pKa anion
halida:
Tabel 3. Kereaktifan Gugus Pergi dilihat dari nilai pKaNo. Gugus Pergi pKa dari Asam
KonjugasiKereaktifan
1. I- -9,5 60.0002. Br- -9 30.0003. Cl- -7 10.0004. F- 3.2 200
Berdasarkan data dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa ion iodida memiliki
nilai pKa paling kecil, menunjukkan bahwa keasaman ion iodida paling kuat.
Maka ion iodida memiliki sifat basa paling lemah dan kereaktifan paling tinggi
sehingga ion iodida merupakan gugus pergi yang paling baik.
Selain dilihat dari kebasaan, suatu gugus pergi yang baik dapat dilihat dari
energi ikat alkil halida, semakin besar energi ikat antara gugus alkil dan halida
maka akan sulit ion halida untuk lepas. Sehingga alkil halida yang memiliki
energi ikat tinggi merupakan gugus pergi yang kurang baik. Berikut ini
merupakan data energi ikat dari alkil halida:
Tabel 4. Energi ikat atom karbon dengan ion halida
No Ikatan D (kJ/ mol)1 C – F +485 2 C – Cl +327 3 C – Br +285 4 C – I +213
Berdasarkan data di tabel 3 dapat diketahui bahwa energi ikat atom karbon
terhadap atom fluor paling kuat, sehingga diperlukan energi yang besar untuk
memutuskannya. Oleh sebab itu ion fluorida sulut lepas dari gugus alkil sehingga
ion fluorida merupakan gugus pergi yang kurang baik.
Selain ion-ion halida yang dapat berperan sebagai gugus pergi, terdapat
ion tosilat (alkil tosilat) yang merupakan gugus pergi paling baik diantara gugus
pergi yang lainnya pada reaksi SN2.
13
Gambar 14. Ion tosilat
Pada gugus pergi yang lemah seperti alkil florida. alkohol. eter dan amina.
gugus pergi tidak dapat digantikan oleh nukleofil. sehingga cenderung terjadi
reaksi substitusi lain yaitu SN1. Agar gugus pergi yang lemah dapat mendukung
terjadinya gugus pergi. maka gugus pegi harus diganti menjadi gugus pergi yang
lebih baik dalam arti lebih reaktif. lebih dapat menstabilkan muatan negatif saat
keadaan transisi dan merupakan basa yang lebih lemah. Sebagai contoh alkohol
primer atau sekunder yang diubah menjadi alkil klorida dengan cara
mereaksikannya dengan SOCl2. selain itu alkohol juga dapat diubah menjadi alkil
bromida dengan cara mereaksikannya dengan PBr3.
Gambar 15. Reaksi antara alkohol dengan SOCl2
Gambar 16. Reaksi antara alkohol dengan PBr3
14
Selain kedua cara tersebut. dapat pila dilakukan dengan cara mereaksikan
alkohol dengan para-toluen sulfonilklorida untuk membentuk tosilat yang
merupakan gugus pergi yang lebih baik daripada halogen pada alkil halida.
Gambar 17. Reaksi antara alkohol dengan para-toluen sulfonil klorida
II.4. Pengaruh Pelarut Terhadap Reaksi SN2
Jenis-Jenis Pelarut
Pada prinsipnya suatu senyawa polar akan larut dalam senyawa polar dan
senyawa nonpolar akan larut dalam senyawa nonpolar (like dissolves like).
Terdapat tiga ukuran untuk menunjukkan kepolaran dari suatu pelarut yaitu:
momen dipol, konstanta dielektrik. dan kelarutannya dalam air. Molekul dari
pelarut dengan momen dipol besar dan konstanta dielektrikyang tinggi termasuk
polar. Sedangkan molekul dari pelarut yang yang memiliki momen dipol kecil dan
konstanta dielektrik rendah diklasifikasikan sebagai nonpolar. Sedangkan secara
operational, pelarut yang tidak larut dalam air termasuk nonpolar, sedangkan
pelarut yang larut dalam air termasuk polar. Berdasarkan kepolarannya, maka
pelarut dapat dibedakan menjadi:
1. Pelarut Polar
a. Pelarut Polar Protik
Protik menunjukkan adaya atom hidrogen yang menyerang atom
elektronegatif. Sehingga pelarut protik adalah senyawa yang memiliki
ikatan (O-H) atau (N-H). Contoh pelarut protik adalah air (H2O), metanol
(CH3OH), asam asetat (CH3COOH), dan NH3.
b. Pelarut Polar Aprotik
Aprotik menunjukkan molekul yang yang tidak mengandung ikatan O-H
dan N-H. Pelarut dalam kategori ini biasanya ikatannya merupakan
CH3CH2OH+------Br -------+HOCH2CH3
Etanol dapat mensolvasi ion negatif
DMF dan DMSO tak memiliki H yang mampu mensolvasi ion negatif
HCN(CH3)2 CH3-S-CH3
O O
15
ikatan ganda antara karbon dengan oksigen atau nitrogen. Contoh pelarut
aprotik adalah aseton, dimetil formamida (DMF), dan dimetil sulfoksida
(DMSO).
2. Pelarut Nonpolar
Pelarut nonpolar merupakan senyawa yang memiliki konstanta dielektrik
yang rendah dan tidak larut dalam air. Contoh pelarut kategori ini adalah
benzena (C6H6), karbon teteraklorida (CCl4), dan dietil eter (C2H5OC2H5).
Pelarut untuk Reaksi SN2
Pelarut mempengaruhi nukleofilitas dalam suatu kelompok nukleofil.
Suatu pelarut yang tidak dapat mensolvasi suatu anion akan meningkatkan
nukleofilitas (pelarut aprotik). Sedangkan suatu pelarut yang dapat mensolvasi
suatu anion (menstabilkan ion tersebut) akan mengurangi nukleofilitasnya.
Pelarut yang kurang polar memilih reaksi SN2 karena pelarut tersebut tidak
membantu ionisasi. Pelarut polar aprotik juga mendukung reaksi SN2, karena
pada polar aprotik tidak memiliki atom hidrogen yang menstabilkan suatu anion
sehingga nukleofilitas tetap tinggi. Misalnya dalam pelarut polar aprotik dimetil
formamida (DMF), ion bromida tidak disolvasi sehingga bersifat nukleofil yang
lebih baik daripada dalam etanol dimana ion ini disolvas
16
2.5. Perbandingan Reaksi SN1 dengan Reaksi SN2Berikut ini disajikan tabel perbandingan antara reaksi SN1 dengan reaksi
SN2.Tabel 5. Perbandingan Reaksi SN2 dan Reaksi SN1
No.
Aspek SN2 SN1
1 Struktur alkil halidaMetil halidaPrimer Sekunder
Tersier
TerjadiTerjadiTerjadi namun laju reaksinya lambatTidak terjadi
Tidak terjadiTidak terjadiTerjadi namun laju reaksinya lambatTerjadi
2 Nukleofil Kuat Lemah 3 Pelarut Polar aprotik Polar protik4 Stereokimia Inversi Walden Retensi dan Inversi5 Zat antara pada
keadaan ttransisiTidak ada karena tidak dapat diisolasi
Ada. Berupa karbo kation yang dapat diisolasi
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
A. Reaksi SN2 merupakan reaksi dengan satu tahap reaksi. yaitu penyerangan
nukleofil terhadap RX yang serempak dengan lepasnya gugus pergi. Reaksi
SN2 merupakan reaksi berorde dua. karena laju reaksi bergantung pada
konsentrasi nukleofil dan konsentrasi alkil halida. sehingga persamannya
adalah:
Laju SN2 = k [alkil halida] [Nu-]
B. Serangan nukleofil terhadap karbon tetrahedral pada mekanisme SN2 dapat
terjadi dari arah belakang atau arah yang berlawanan dengan kedudukan
gugus pergi dan akan menghasilkan produk dengan inversi Walden atau
inversi konfigurasi.
C. Gugus pergi yang baik adalah gugus yang mampu menstabilkan muatan
negatif saat keadaan transisi dan merupakan basa-basa yang paling lemah.
Berikut ini merupakan urutan kereaktifan gugus pergi pada reaksi SN2:
F- < Cl- < Br- < I-
Gugus pergi dari kiri ke kanan memiliki kereaktifan yang meningkat.
sehingga dapat diketahui bahwa ion iodida merupakan gugus pergi yang
17
paling baik diantara ion halida lainnya. sehingga ion flourida bukan
merupakan gugus pergi yang baik.
D. Pelarut mempengaruhi nukleofilisitas dalam suatu kelompok nukleofil.
Pelarut polar aprotik mendukung reaksi SN2. karena pada polar aprotik tidak
memiliki atom hidrogen yang menstabilkan suatu ion sehinngga
nukleofilisitas tetap tinggi.
IV. DAFTAR PUSTAKA
IV.1. Bruice. Paula. Tanpa tahun. Organic Chemistry 4th Edition. IV.2. Fessenden & fessenden. 1990. Kimia Organik (jilid 1. edisi 3).
Terjemahan A.H. Pudjaatmaka. 1982. Jakarta: Erlangga.IV.3. Loudon. G. Marc.1995. Organic Chemistry Third Edition.
Redwood city: The Benjamin/Cumming Publishing Company. Inc.IV.4. McMurry. John. 2008. Organic Chemistry 7th Edition. USA:
Thomson Brooks/Cole.IV.5. Patrick.G. 2004. Instant Notes Organic Chemistry 2nd edition. Bios
Scientific Publisher.IV.6. Solomon. T. W. Graham. 1984. Organic Chemistry Third Edition.
Canada: John Wiley & Sons. Inc.
18
19
BERITA ACARA
Telah diselenggarakan presentasi ketiga, Mata Kuliah Organik mengenai Reaksi
SN2, dengan rincian sebagai berikut:
Ruang : H3.206
Jumlah peserta : 20 mahasiswa, 1 dosen dan 1 asisten dosen.
Hari / Tanggal : Kamis / 26 September 2013
Waktu: 30 menit
Jumlah pertanyaan : 5 pertanyaan
Jumlah penanya : 3 mahasiswa
Bersamaan dengan berita acara ini kami lampirkan daftar pertanyaan dan jawaban
mengenai reaksi SN2. Demikian berita acara ini dibuat buat dan digunakan
sebagaimana mestinya.
Malang, 26 September 2013
Dosen Pengampu Ketua Kelompok
Prof. Dra. Srini M. Iskandar, M.Sc., Ph.D Lita Novilia
20
BERITA ACARA
Telah diselenggarakan tutorial Mata Kuliah Organik mengenai Reaksi SN2,
dengan rincian sebagai berikut:
Ruang : H3.206
Jumlah peserta : 19 mahasiswa, dan 1 dosen
Hari / Tanggal : Senin / 30 September 2013
Waktu: 30 menit
Jumlah pertanyaan : 2 pertanyaan
Jumlah penanya : 2 mahasiswa
Bersamaan dengan berita acara ini kami lampirkan daftar pertanyaan dan jawaban
mengenai reaksi SN2. Demikian berita acara ini dibuat buat dan digunakan
sebagaimana mestinya.
Malang, 30 September 2013
Dosen Pengampu Ketua Kelompok
Prof. Dra. Srini M. Iskandar, M.Sc., Ph.D Lita Novilia
21
PERTANYAAN-PERTANYAAN MENGENAI REAKSI SN2
Nama : Ika Farida
NIM : 130331811076
Pertanyaan:
1. Apa fungsinya mengetahui kereaktifan halida sebagai gugus pergi, padahal
sebelumnya telah dijelaskan tentang kereaktifan halida sebagai nukleofil.
Apakah halida dapat berfungsi sebagai nukleofil dan gugus pergi?
2. Apakah pelarut protik dapat mengubah order atau urutan nukleofilitas
nukleofil?
3. Tolong dijelaskan kembali mengenai cuping kecil dan cuping besar pada
stereokimia reaksi SN2!
4. Pelarut polar aprotik tidak memiliki gugus OH dan NH, kedua gugus tersebut
merupakan menyebabkan terjadinya gaya antarmolekul berupa ikatan hidrogen.
Jadi, apakah ikatan hidrogen mempengaruhi nukleofilitas? Bagaimana
mekanismenya?
Jawaban:
1. Halida dapat berfungsi sebagai nukleofil dan gugus pergi. Jika halida sebagai
nukleofil maka kereaktifannya dipengaruhi oleh jenis pelarut. Umumnya
reaksi SN2 didukung oleh pelarut polar aprotik. Pada pelarut aprotik ion
fluorida yang memiliki kereaktifan paling tinggi (nukleofil kuat) dengan
urutan nukleofilitas sebagai berikut:
F->Cl->Br->I-
Sedangkan pada pelarut polar protik, nukleofilitas halida terbalik
susunannya, ion iodida yang memiliki kerekatifan paling tinggi (nukleofilitas
tinggi) dengan urutan nukleofilitas sebagai berikut:
F-<Cl-<Br-<I-
2. Seperti yang telah dijelaskan pada pertanyaan sebelumnya, pelarut polar
protik dapat membalik urutan nukleofilitas dari nukleofil terutama pada ion
halida. Ion iodida yang memiliki kerekatifan paling tinggi (nukleofilitas
tinggi) dengan urutan nukleofilitas sebagai berikut:
F-<Cl-<Br-<I-
22
Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan pelarut polar protik mengandung gugus
OH atau NH, dimana akan mensolvasi ion-ion halida. Dapat dilihat dari
energi ikat asam halida yang dibentuk.
Energi ikat pada HF paling kuat dibandingkan asam halida yang lain,
dikarenakan terjadi ikatan hidrogen antarmolekulmya, sehingga ion fluorida
sulit lepas sebagai nukleofil, sedangkan energi ikat pada HI paling lemah,
sehingga ion iodida dapat dengan mudah untuk lepas sebagai nukleofil dan
menyerang gugus pergi dari arah yang berlawanan.
Selain didukung dari data energi ikatan asam halida yang dibentuk, dalam
sistem periodik, dalam satu golongan, dari atas ke bawah, jari-jari atom
semakin besar. Sehingga ion iodida memiliki jari-jari yang paling besar, jarak
elektron valensi ke inti jauh sehingga polarizabilitasnya tinggi sehingga lebih
reaktif (Murry, 2008: 368). Maka dari jarak yang jauh ion iodida sebagai
nukleofil dapat menyerang atom karbon yang mengikat gugus pergi dari arah
berlawanan dengan gugus pergi.
3. Frontside attack
Ketika nukleofil menyerang dari arah depan, orbital dari nukleofil akan
overlap dengan orbital bonding dan antibonding (cuping besar) dari ikatan C-
Ilmukimia.org/2013/04/asam-asam-biner
23
X (ikatan antara karbon tetrahedral dan gugus pergi), sehingga overlap orbital
antibonding pada ikatan C-X akan menggagalkan overlap orbital bonding dari
nukleofil dengan karbon tetrahedral, sehingga ikatan antara nukleofil dan
karbon tetrahedral tidak dapat terjadi.
Backside attack
Sedangkan ketika nukleofil menyerang dari arah belakang, orbital dari
nukleofil akan overlap dengan orbital antibonding (cuping besar) dari ikatan
C-X (cuping kecil), dengan meningkatnya interaksi overlap, maka akan
terbentuk ikatan antara nukleofil dengan karbon tetrahedral.
4. Seperti yang telah dijelaskan pada jawaban nomor pertama bahwa pelarut polar
protik dapat membalik urutan nukleofilitas nukleofil. Hal tersebut terkait
dengan kemampuan pelarut protik dalam mensolvasi ion halida, terutama pada
ion fluorida dapat terjadi ikatan hidrogen seperti pada gambar:
Pada gambar di atas diperlihatkan ikatan hidrogen yang terjadi pada ion
fluorida sebagai nukleofil dengan pelarut polar protik berupa H2O, ion fluorida
akan terhalangi oleh H2O sehingga sulit untuk menyeranng atom karbon pada
alkil halida.
24
Namun pada ion halida yang lain tidak mengalami ikatan hidrogen dengan
pelarut protik, jadi dapat dikatakan bahwa ikatan hidrogen dalam pelarut protik
tidak mempengaruhi nukleofilitas dari nukleofil.
Nama : Rosydiah
NIM : 130331811095
Pertanyaan:
5. Pada reaksi SN2 tidak terbentuk zat antara namun tercapai keadaan transisi.
Apakah perbedaan zat antara dan keadaan transisi?
Jawaban:
Pada keadaan transisi reaksi SN2 tidak terbentuk zat antara dikarenakan laju
reaksinya sangat cepat saat melalui keadaan transisi sehingga zat antara tidak
dapat diisolasi, berbeda dengan reaksi SN1 yang memiliki dua keadaan transisi
sehingga zat antara dapat diisolasi karena lajunya yang lambat. Selain itu, tingkat
energi pada zat antara lebih rendah dan tidak dapat melampaui tingkat energi
keadaan transisi.
Nama : Sandy Danar C.S
NIM : 130331811100
Pertanyaan:
6. Dikatakan bahwa pada reaksi SN2 alkil halida tersier tidak dapat terjadi reaksi,
namun pada slide dikatakan bahwa dapat juga terjadi reaksi SN2 pada alkil
halida tersier namun lambat, manakah yang benar?
Jawaban:
Pada kimia organik, tidak ada sesuatu yang bernilai mutlak. Alkil halida tersier
sebenarnya dapat mengalami reaksi SN2 namun lajunya sangatlah lambat, oleh
sebab itu cenderung mengalami mekanisme reaksi lain selain reaksi SN2.
25
Nama : Kartika
NIM : 130331811067
Pertanyaan:
7. Terdapat reaksi antara metil halida dengan etanol pada suhu 25oC. Apakah
diperlukan suhu minimum untuk suatu substrat dapat bereaksi menggunakan
mekanisme reaksi SN2?
Jawaban:
Suhu 25oC merupakan suhu ruangan dimana saat peneliti melakukan eksperimen
mengenai reaksi SN2. Sebenarnya setiap substrat memiliki rentang suhu tertentu
untuk terjadinya reaksi SN2. Jika ingin laju reaksi SN2 berjalan lebih cepat dapat
dilakukan dengan meningkatkan suhu atau temperatur, namun jika suhu dinaikkan
terlalu tinggi maka akan cenderung mengalami reaksi Eliminasi.
Selain alasan tersebut, penjelasan tentang suhu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pada dasarnya reaksi SN2 didukung oleh pelarut aprotik, namun umumnya
kebanyakan peneliti menggunakan pelarut polar protik karena lebih mudah untuk
mensolvasi garam yang akan membentuk nukleofil (kita menemui nukleofil bukan
dalam keadaan ion, namun dalam garamnya). Pelarut polar aprotik akan
mensolvasi kation dari garam nukleofil, seperti yang dijelaskan pada gambar
berikut:
Pada gambar di atas dapat terllihat pelarut polar aprotik berupa DMSO akan
mensolvasi kation Na+ yang merupakan kation dari garam nukleofil, sehingga
anion dari garam nukleofil dapat menyerang atom karbon pada alkil halida, oleh
sebab itu reaksi SN2 sangat didukung oleh pelarut polar aprotik.
26
Sedangkan reaksi SN2 dengan pelarut protik akan berjalan lambat sehingga
diperlukan suhu yang tinggi agar reaksi tetap berlangsung.