Post on 14-Aug-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dunia pendidikan pada dasarnya memiliki dasar pemikiran dan paradigma
tersendiri dalam pengembangannya. Pendidikan sebagai upaya yang dilakukan
oleh manusia merupakan aspek dan hasil budaya terbaik yang mampu disediakan
oleh setiap generasi kepada generasi muda berikutnya. Pendidikan juga
mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan bagi perkembangan
dan pembangunan bangsa dan negara. Kemajuan suatu bangsa bergantung pada
bagaimana bangsa tersebut mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber
daya manusia dalam hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang
diberikan kepada anggota masyarakat terutama kepada peserta didik.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka dapat dikatakan bahwa persoalan
yang berkaitan dengan pendidikan adalah persoalan kompleks. Persoalan yang
tidak hanya berhenti di satu fase (waktu) kehidupan saat ini saja, tapi akan selalu
terkait dengan fase (waktu) kehidupan di masa mendatang. Persoalan yang timbul
dalam pendidikan selalu membutuhkan pemikiran-pemikiran teoritis sebagai dasar
pijakan dalam pengambilan keputusan kependidikan serta pemahaman gejala
faktual dan aktual yang melibatkan pembicaraan yang merupakan unsur langsung
dalam dunia pendidikan (Sukardjo 2010).
Dengan kemajuan zaman dan tantangan yang diberikan dewasa ini, tenaga
pendidik idealnya harus tetap terus belajar dan kreatif dalam rangka
mengembangkan, mengikuti, mengimbangi, dan menyesuaikan khasanah
keilmuannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan termasuk perkembangan
ilmu kependidikan. Dengan demikian, pemahaman beragam unsur dan kendala
dalam dunia pendidikan dapat diantisipasi.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengantisipasi permasalahan
yang timbul dalam dunia pendidikan adalah dengan berpijak pada teori-teori
pendidikan. Pijakan ini diharapkan memberikan kejelasan yang terkait dengan
hakekat pendidikan. Dengan demikian, penguasaan atas dasar-dasar pendidikan
diharapkan menjadi cakrawala yang memberikan bekal pada pelaku pendidikan
1
dalam rangka mengatisipasi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam
pendidikan pada umumnya dan proses pembelajaran pada khususnya.
Dari uraian di atas, para pendidik dan para perancang pendidikan serta
pengembang program-program pembelajaran perlu menyadari akan pentingnya
pemahaman terhadap hakekat belajar dan pembelajaran. Teori yang dapat
dijadikan landasan dalam pembelajaran antara lain adalah teori humanistik dan
revolusi sosio-kultural. Teori yang muncul pada era tahun 1940-an karena adanya
ketidakpuasan dengan pendekatan teori belajar behavioristik dan psikoanalis.
Sebagai sebuah aliran dalam psikologi, aliran ini dapat dikatakan masih muda,
bahkan beberapa ahlinya masih hidup dan terus menelurkan konsep yang relevan
dengan bidang pengkajian psikologi, yang sangat menekankan pentingnya
kesadaran, aktualisasi diri, dan hal-hal yang bersifat positif tentang manusia
(Rachmahana 2010).
Namun pada kenyataannya, asumsi-asumsi yang melandasi program-
program pendidikan seringkali tidak sejalan dengan hakekat belajar, hakekat
orang yang belajar dan hakekat orang yang mengajar (Rosdiana 2010). Dunia
pendidikan, lebih khusus lagi dunia belajar, didekati degan paradigma yang tidak
mampu menggambarkan hakekat belajar dan pembelajaran secara komprehensif.
Praktik-praktik pendidikan dan pembelajaran seringkali diwarnai oleh landasan
teoritik dan konseptual yang tidak akurat.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1. Bagaimana teori humanistik dan teori revolusi sosio-kultural dapat
mendukung pembelajaran?
2. Bagaimana bentuk implementasi teori humanistik dan teori revolusi sosio-
kultural dalam pembelajaran?
2
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui teori humanistik dan teori revolusi sosio-kultural dalam
mendukung pembelajaran.
2. Mengetahui bentuk implementasi teori humanistik dan teori revolusi sosio-
kultural dalam pembelajaran.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Teori Humanistik
Psikologi humanistik atau disebut juga psikologi kemanusiaan
adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah
laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi
diri manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif,
sedangkan bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya
merupakan pelengkap bagi penekanan tradisional behaviorisme dan
psikoanalis.
Psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi
pendidikan yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik
(humanistic education) keseluruhan melalui pembelajaran nyata.
Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam
berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistik.
Teori belajar humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar
untuk memanusiakan manusia (Uno 2006). Oleh karena itu, proses belajar
dapat dianggap berhasil apabila si pembelajar telah memahami lingkungan
dan dirinya sendiri (Sukardjo 2010). Dengan kata lain, si pembelajar
dalam proses belajarnya harus berusaha agar mampu mencapai aktualisasi
dengan sebaik-baiknya.
2.1.1 Tokoh – Tokoh Teori Humanistik
1) Arthur W. Combs
Makna adalah konsep dasar yang sering digunakan dalam teori
humanistik. Seberapa besar kebermaknaan dari suatu materi bagi siswa
(peserta didik) menjadi peran sentral dalam teori ini. Jadi, guru tidak dapat
memaksakan suatu materi yang tidak relevan dengan kehidupan mereka.
Untuk itu ada kalanya tenaga pendidik memahami perilaku siswa dengan
menyelami dunia persepsi mereka (Sukardjo 2010).
4
Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan
berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun
dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal makna yang terkandung
dalam materi tersebut tidak menyatu dengan makna yang diharapkan siswa
(Sukardjo 2010). Combs mengilustrasikan lukisan persepsi diri dan
persepsi dunia seseorang dengan menggunakan dua lingkaran (besar dan
kecil) yang bertitik pusat sama (Gambar 2.1).
.
Gambar 2.1 Ilustrasi Combs 1. Lingkaran A menggambarkan persepsi diri seseorang sedangkan lingkaran B yang lebih besar menggambarkan persepsi dunia yang lebih luas.
Makin jauh kebermaknaan persepsi dari peristiwa-peristiwa
(lingkaran B) dengan persepsi diri (lingkaran A), makin berkurang
pengaruhnya terhadap perilaku siswa. Sehingga, hal-hal yang mempunyai
sedikit hubungan keterkaitan diri, akan makin mudah terlupakan oleh
siswa. Sebaliknya, apabila makin dekat kebermaknaan persepsi diri
(lingkaran A) dengan peristiwa-peristiwa dalam persepsi dunia (lingkaran
B), makin besar pengaruhnya terhadap perilaku siswa. Sehingga, hal-hal
tersebut akan mudah diingat oleh siswa (Gambar 2.2).
.
B
5
A
B
A
A
B
Gambar 2.2 Ilustrasi Combs 2. Lingkaran A menggambarkan persepsi diri seseorang sedangkan lingkaran B yang lebih besar menggambarkan persepsi dunia yang lebih luas.
2) Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua
hal, yaitu suatu usaha yang positif untuk berkembang dan kekuatan untuk
melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa
individu berperilaku dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat hierarkis.
Pada dasarnya setiap individu memiliki perasaan takut. Takut untuk berusaha dan
berkembang, takut untuk mengambil peluang, takut untuk mencoba hal-hal baru,
dan sebagainya. Namun di sisi lain, setiap individu juga memiliki dorongan yang
kuat untuk menjadi lebih maju dan berkembang menuju keutuhan, keunikan diri,
ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri, dan juga
menerima diri sendiri.
Manusia sebagai individu memiliki berbagai macam kebutuhan-kebutuhan
yang berkecenderungan meningkat dalam kehidupannya. Sebagai contoh, ketika
manusia telah berhasil memperoleh kebutuhan pertama seperti kebutuhan
fisiologis, barulah mereka ingin memperoleh kebutuhan yang berada di atas
kebutuhan pertama dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia ini menurut
Maslow memiliki implikasi penting yang harus diperhatikan oleh guru pada saat
mengajar. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin akan
berkembang apabila kebutuhan dasar siswa belum terpenuhi.
Dalam artikel “Some Educational Implications of the Humanistic
Psychologist”, Maslow berpendapat bahwa yang terpenting dalam melihat
manusia adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi
perkembangan positif manusia. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut
sebagai potensi manusia. Para pendidik yang beraliran humanistik biasanya
memfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.
Kemampuan positif di sini erat kaitannya dengan pengembangan emosi
positif yang terdapat dalam domain afektif, misalnya keterampilan membangun
6
dan menjaga hubungan dengan orang lain, mengajarkan kepercayaan, memahami
perasaan orang lain, kejujuran dan sebagainya. Intinya adalah mengajarkan
peningkatan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari.
Selain menitikberatkan pada hubungan interpersonal, para pendidik yang
beraliran humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu
peserta didik didik dalam membuat, berimajinasi, berintuisi, merasakan, berfantasi
dan mempunyai pengalaman. Pendidik humanistik mencoba untuk melihat dalam
spektrum yang luas mengenai perilaku manusia.
Melihat hal-hal yang dikembangkan oleh para pendidik humanistik, tampak
bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi (emotional quotation)
dalam dunia pendidikan. Karena berpikir dan merasakan berjalan saling
beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikan salah satu
potensi terbesar manusia.
3) Carl Rogers
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu kognitif (kebermaknaan) dan
experiential (pengalaman). Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke
dalam pengetahuan terpakai. Experiential learning menunjuk pada pemenuhan
kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup
keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan
adanya efek membekas pada siswa. Menurut Rogers, yang terpenting dalam
proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan
dan pembelajaran, yaitu :
a) Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar.
Artinya siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
b) Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
c) Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide
baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
d) Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang
proses.
Salah satu model pendidikan terbuka yang dikembangkan oleh Rogers
mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif. Model ini menekankan
7
kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung, yaitu empati,
penghargaan, dan umpan balik positif (Hadis 2006). Ciri-ciri guru fasilitatif
adalah :
a) Merespon perasaan siswa.
b) Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah
dirancang.
c) Berdialog dan berdiskusi dengan siswa.
d) Menghargai siswa.
e) Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan.
f) Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa
g) Tersenyum pada siswa
Dari penelitian itu, diketahui bahwa guru yang fasilitatif mampu
mengurangi angka membolos, meningkatkan angka konsep diri,
meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik, mengurangi tingkat
masalah yang berkaitan dengan kedisiplinan, serta menjadikan siswa lebih
spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.
2.1.2 Prinsip-prinsip Teori Belajar Humanistik
Dari bukunya Freedom to Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-
prinsip dasar humanistik yang penting di antaranya :
a) Memberi kesempatan pada siswa untuk maju sesuai dengan kemampuan
belajarnya.
b) Manusia mempunyai kemampuan belajar secara alami.
c) Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran yang dirasakan
memiliki relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri.
d) Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya.
e) Adanya potensi negatif yang rendah membuat siswa dapat lebih mudah
memperoleh pengalaman belajar bermakna bagi dirinya sendiri.
f) Belajar akan lancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar.
8
g) Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberikan hasil yang
mendalam.
h) Kepercayaan pada diri siswa ditumbuhkan dengan membiasakan untuk
mawas diri.
i) Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar.
2.1.3 Aplikasi belajar humanistik
Aplikasi teori humanistik lebih mununjuk kepada roh atau spirit selama
proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru
dalam pembelajaran humanistik sebagai fasilitator bagi para siswa dengan
memberikan motivasi terkait dengan kesadaran mengenai makna belajar dalam
kehidupan siswa. Guru memberikan fasilitas pengalaman belajar siswa dan
mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran (Dakir 1993).
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student centered) yang memaknai
proses pengalaman belajarnya sendiri. Dengan peran tersebut, diharapkan siswa
memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif, dan
meminimalkan potensi negatif yang ada dalam dirinya.
Tujuan pembelajaran dari humanistik lebih menitikberatkan pada proses
belajar daripada hasil belajar yang pada umumnya melalui serangkaian proses
antara lain :
a) Merumuskan tujuan belajar yang jelas.
b) Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat
jelas, jujur dan positif.
c) Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar
atas inisiatif sendiri.
d) Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, dan memaknai proses belajar
secara mandiri.
e) Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat, memilih
pilhannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko
dari perilaku yang ditunjukkan.
9
2.1.4 Kelebihan dan Kelemahan Teori Humanistik
Teori humanistik sering dikritik karena sifatnya yang terlalu
deskriptif (meskipun semua teori belajar sebenarnya bersifat deskriptif).
Kelemahan lain adalah sukarnya menerjemahkan teori ini ke langkah-
langkah yang lebih praktis dan konkrit (Suciati & Prasetya 2001). Namun,
karena sifatnya yang deskriptif itulah maka teori ini seolah memberi arah
proses belajar. Semua tujuan belajar bersifat ideal dan teori humanistik
inilah yang menjelaskan bagaimana tujuan ideal itu seharusnya.
Teori humanistik akan sangat membantu dalam proses pemahaman
belajar serta melakukan proses belajar dalam dimensi yang lebih luas, jika
kita mampu menempatkannya dalam konteks yang tepat. Kalaupun teori
ini sulit untuk diterjemahkan ke dalam langkah-langkah yang lebih konkrit
dan praktis, namun ide-ide yang diberikan dalam teori ini setidaknya telah
membuka mata kita agar lebih memahami hakekat jiwa manusia.
2.2. Teori Revolusi Sosio-kultural
2.2.1 Tokoh-tokoh Teori Sosio-kultural
Ada 2 tokoh yang mendasari terbentuknya teori belajar sosio-
kultural:
1) Piaget
Piaget berpendapat bahwa belajar ditentukan karena adanya karsa
individu artinya pengetahuan berasal dari individu. Siswa berinteraksi
dengan lingkungan sosial yaitu teman sebayanya dibanding orang-orang
yang lebih dewasa. Penentu utama terjadinya belajar adalah individu yang
bersangkutan (siswa), sedangkan lingkungan sosial menjadi faktor
sekunder. Keaktifan siswa menjadi penentu utama dan jaminan kesuksesan
belajar, sedangkan penataan kondisi hanya sekedar memudahkan belajar.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses
genetik, yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dalam
bentuk perkembangan system syaraf. Makin bertambah umur seseorang,
makin komplekslah susunan sel syarafnya dan semakin meningkat pula
kemampuannya. Kegiatan belajar terjadi seturut dengan pola tahap-tahap
10
perkembangan tertentu dan umur seseorang. Ketika individu berkembang
menuju kedewasaan, ia akan mengalami adaptasi biologis dengan
lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan
kualitatif di dalam struktur kognitifnya. Perolehan kecakapan intelektual
akan berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang
mereka rasakan dan ketahui pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat
suatu fenomena baru sebagai pengalaman atau persoalan.
Untuk memperoleh keseimbangan atau ekuilibrasi, seseorang harus
melakukan adaptasi dua bentuk dan terjadinya secara simultan, yaitu
asimilasi dan akomodasi. Melalui asimilasi siswa mengintregasikan
pengetahuan baru dari luar ke dalam struktur kognitif yang telah ada pada
dirinya. Sedangkan melalui akomodasi siswa memodifikasi struktur
kognitif yang ada dalam dirinya dengan pengetahuan yang baru. Adaptasi
akan terjadi jika telah terdapat keseimbangan di dalam struktur
kognitifnya. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari
pengalaman, dan kedewasaan akan terjadi melalui tahap-tahap
perkembangan tertentu (Budiningsih 2005).
Teori konflik-sosiokognitif ini mampu berkembang luas dan
mendominasi bidang psikologi dan pendidikan. Namun, bila dicermati ada
beberapa aspek dari teori Piaget yang dipandang dapat menimbulkan
implikasi kontraproduktif pada kegiatan pembelajaran jika dilihat dari
perspektif revolusi sosio-kultural saat ini. Dilihat dari locus of cognitive
development atau asal-usul pengetahuan, Piaget cenderung menganut teori
psikogenesis. Artinya, pengetahuan berasal dari dalam individu. Dalam
proses belajar, siswa berdiri terpisah dan berinteraksi dengan lingkungan
sosial. Siswa mengkonstruksikan pengetahuannya lewat tindakan yang
dilakukannya terhadap lingkungan sosial. Pemahaman atau pengetahuan
merupakan penciptaan makna pengetahuan baru yang bertolak dari
interaksinya dengan lingkungan sosial. Kemampuan menciptakan makna
atau pengetahuan baru itu sendiri lebih ditentukan oleh kematangan
biologis. Menurut Piaget, dalam fenomena belajar lingkungan sosial hanya
berfungsi sekunder, sedangkan faktor utama yang menentukan terjadinya
11
belajar, tetap pada individu yang bersangkutan. Teori belajar semacam ini
lebih mencerminkan ideologi individualisme dan gaya belajar sokratik
yang lazim dikaitkan dengan budaya Barat yang mengunggulkan self-
generated knowledge atau individualistic pursuit of truth yang dipelopori
oleh Sokrates.
2) Vygotsky
Jalan pikiran seseorang dapat dimengerti dengan cara menelusuri
asal usul tindakan sadarnya dari interaksi sosial (aktivitas dan bahasa yang
digunakan) yang dilatari sejarah hidupnya. Peningkatan fungsi-fungsi
mental bukan berasal dari individu itu sendiri melainkan berasal dari
kehidupan sosial atau kelompoknya.
Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sosial budaya. Peserta didik
memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi
sehari-hari baik lingkungan sekolah maupun keluarganya secara aktif.
Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif sesuai dengan teori
sosiogenesis yaitu kesadaran berinteraksi dengan lingkungan dimensi
sosial yang bersifat primer dan dimensi individual bersifat derivatif atau
turunan dan sekunder. Oleh karena itu, teori belajar Vygotsky disebut
dengan pendekatan co-konstruktivisme artinya perkembangan kognitif
seseorang di samping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga
ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
Menurut Vygotsky, perkembangan kognisi peserta didik dapat
terjadi melalui kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga dengan
yang lainnya. Perkembangan peserta didik terjadi dalam budaya dan terus
berkembang sepanjang hidupnya dengan berkolaborasi dengan yang lain.
Dari perspektif ini para penganut aliran sosio-kultural berpendapat bahwa
sangatlah tidak mungkin menilai seseorang tanpa mempertimbangkan
orang-orang penting di lingkungannya.
Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham dengan konsep
yang diajukan Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang potret
12
perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari
kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Ia menekankan bahwa proses-proses
perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan
pembelajaran dengan orang–orang yang ada di lingkungan sosialnya.
Selain itu, Vygotsky juga menekankan bagaimana peserta didik dibantu
berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di
dalam bidang-bidang tersebut.
2.2.2 Prinsip-Prinsip Teori Revolusi Sosio-kultural
Ada 3 konsep penting dalam teori sosiogenesis Vygotsky tentang
perkembangan kognitif sesuai dengan revolusi sosio-kultural dalam teori
belajar dan pembelajaran yaitu hukum genetik tentang perkembangan
(genetic law of development), zona perkembangan proksimal (zona of
proximal development), dan mediasi.
1) Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development)
Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan
berkembang melewati dua tataran, yaitu interpsikologis atau intermental
dan intrapsikologis atau intramental. Pandangan teori ini menempatkan
intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif
terhadap pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif
seseorang. Sedangkan fungsi intramental dipandang sebagai derivasi atau
keturunan yang tumbuh atau terbentuk melalui penguasaan dan
internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut.
2) Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)
Vygotsky membagi perkembangan proksimal (zone of proximal
development) ke dalam dua tingkat. Pertama, tingkat perkembangan aktual
yang tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas
atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri (intramental). Kedua,
tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah
bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya
yang lebih kompeten (intermental). Jarak antara keduanya, yaitu tingkat
13
perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial ini disebut zona
perkembangan proksimal. Zona perkembangan proksimal diartikan
sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang
yang masih berada dalam proses pematangan (Tudge 1994).
3) Mediasi
Menurut Vygotsky, semua perbuatan atau proses psikologis yang
khas manusiawi dimediasikan dengan alat-alat psikologis berupa bahasa,
tanda dan lambang, atau semiotika.
Dalam kegiatan pembelajaran, anak dibimbing oleh orang dewasa
atau teman sebaya yang lebih kompeten untuk memahami alat-alat
semiotik ini. Anak mengalami proses internalisasi yang selanjutnya alat-
alat ini berfungsi sebagai mediator bagi proses-proses psikologis lebih
lanjut pada diri anak. Mekanisme hubungan antara pendekatan sosio-
kultural dan fungsi-fungsi mental didasari oleh tema mediasi semiotik,
artinya tanda-tanda atau lambing-lambang beserta makna yang terkandung
di dalamnya berfungsi sebagai penghubung antara rasionalitas sosio-
kultural (intermental) dengan individu sebagai tempat berlangsungnya
proses mental.
Ada dua jenis mediasi, yaitu: pertama, mediasi metakognitif adalah
penggunaan alat-alat semiotik yang bertujuan untuk melakukan self-
regulation yang meliputi: self planning, self monitoring, self checking, dan
self evaluating. Mediasi metakognitif ini berkembang dalam komunikasi
antar pribadi. Selama menjalani kegiatan bersama, orang dewasa atau
teman sebaya yang lebih kompeten biasa menggunakan alat-alat semiotik
tertentu untuk membantu mengatur tingkah laku anak. Selanjutnya anak
akan menginternalisasikan alat-alat semiotik ini untuk dijadikan sarana
regulasi diri.
Kedua, mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk
memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu atau
subject-domain problem. Mediasi kognitif bisa berkaitan dengan konsep
spontan (yang bisa salah) dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin
kebenarannya). Konsep-konsep ilmiah yang berhasil diinternalisasikan
14
anak akan berfungsi sebagai mediator dalam pemecahan masalah. Konsep-
konsep ilmiah dapat berbentuk pengetahuan deklaratif (declarative
knowledge) yang kurang memadai untuk memecahkan berbagai persoalan,
pengetahuan procedural (procedural knowledge) berupa metode atau
strategi utnuk memecahkan masalah. Menurut Vygotsky, untuk membantu
anak mengembangkan pengetahuan sungguh-sungguh bermakna dapat
dilakukan dengan cara memadukan antara konsep-konsep dan prosedur
melalui demonstrasi dan praktik.
2.2.3 Aplikasi Teori Sosio-kultural
Aplikasi teori sosio-kultural dalam pendidikan. Penerapan teori
sosio-kultural dalam pendidikan dapat terjadi pada 3 jenis pendidikan
yaitu:
1) Pendidikan informal (keluarga)
Pendidikan peserta didik dimulai dari lingkungan keluarga, dimana
peserta didik pertama kali melihat, memahami, mendapatkan pengetahuan,
sikap dari lingkungan keluarganya. Oleh karena itu, perkembangan
perilaku masing-masing peserta didik akan berbeda manakala berasal dari
keluarga yang berbeda, karena faktor yang mempengaruhi perkembangan
peserta didik dalam keluarga beragam, misalnya: tingkat pendidikan orang
tua, faktor ekonomi keluarga, keharmonisan dalam keluarga dan
sebagainya.
2) Pendidikan nonformal
Pendidikan nonformal yang berbasis budaya banyak bermunculan
untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku pada peserta
didik, misalnya kursus membatik. Pendidikan ini diberikan untuk
membekali peserta didik hal-hal tradisi yang berkembang di lingkungan
sosial masyarakatnya.
3) Pendidikan formal
Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat
dari beberapa segi antara lain:
15
Kurikulum. Khususnya untuk pendidikan di Indonesia
pemberlakuan kurikulum pendidikan sesuai Peraturan Menteri Nomor 24
Tahun 2006 tentang pelaksanaan KTSP, Peraturan Menteri Nomor 23
Tahun 2006 tentang standar kompetensi, dan Peraturan Menteri Nomor 22
tahun 2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar, jelas bahwa
pendidikan di Indonesia memberikan pengetahuan, keterampilan, nilai,
dan sikap kepada peserta didik untuk mempelajari sosio-kultural
masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional melalui beberapa
mata pelajaran yang telah ditetapkan, di antaranya: pendidikan
kewarganegaraan, pengetahuan sosial, muatan lokal, kesenian, dan olah
raga.
Siswa. Dalam pembelajaran KTSP peserta didik mengalami
pembelajaran secara langsung ataupun melalui rekaman. Oleh sebab itu,
pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap bukan sesuatu yang verbal
tetapi peserta didik mengalami pembelajaran secara langsung. Selain itu,
pembelajaran memberikan kebebasan peserta didik untuk berkembang
sesuai bakat, minat, dan lingkungannya pencapaiannya sesuai standar
kompetensi yang telah ditetapkan.
Guru. Guru bukanlah narasumber segala-galanya, tetapi dalam
pembelajaran lebih berperanan sebagai fasilitator, mediator, motivator,
evaluator, desainer pembelajaran dan tutor. Masih banyak peran yang lain,
oleh karenanya dalam pembelajaran ini peran aktif siswa sangat
diharapkan, sedangkan guru membantu perilaku siswa yang belum muncul
secara mandiri dalam bentuk pengayaan, remedial pembelajaran.
2.2.4 Kelebihan dan Kekurangan Teori Revolusi Sosio-Kultural
Berdasarkan teori Vygotsky akan diperoleh beberapa keuntungan, di
antaranya peserta didik memperoleh kesempatan yang luas untuk
mengembangkan zona perkembangan potensinya melalui belajar dan
berkembang. Pembelajaran perlu lebih dikaitkan dengan tingkat
perkembangan potensialnya daripada tingkat perkembangan aktualnya.
Kelebihan lainnya adalah pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan
16
strategi untuk mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada
kemampuan intramental. Peserta didik diberi kesempatan yang luas untuk
mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan
pengetahuan prosedural yang dapat dilakukan untuk tugas-tugas atau
pemecahan masalah. Proses belajar dan pembelajaran tidak bersifat
transferal tetapi lebih merupakan co-konstruktivisme, yaitu proses
mengkonstruksi pengetahuan atau makna baru secara bersama-sama antara
semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Kelemahan dari teori revolusi sosio-kultural yaitu terbatas pada
perilaku yang tampak, proses-proses belajar yang kurang tampak seperti
pembentukan konsep, belajar dari berbagai sumber belajar, pemecahan
masalah dan kemampuan berpikir sukar diamati secara langsung. Oleh
karena itu, perlu diteliti mengenai perilaku pada proses belajar.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan paparan mengenai teori belajar humanistik dan teori sosio-
kultural, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut teori humanistik, tujuan belajar adalah memanusiakan manusia.
Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungannya
dan dirinya sendiri, sedangkan teori revolusi sosio-kultural menekankan
kepada peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang terutama berasal dari
kehidupan sosial atau kelompoknya, dan bukan sekedar dari individu itu
sendiri.
2. Aplikasi teori humanistik dalam kegiatan pembelajaran cenderung
mendorong siswa untuk berpikir induktif. Teori ini juga sangat
mementingkan faktor pengalaman dan keterlibatan siswa secara aktif dalam
belajar, sedangkan implementasi teori revolusi sosio-kultural dapat
tercermin dalam tiga lingkungan sosial belajar, meliputi pendidikan
informal (keluarga), pendidikan nonformal (masyarakat), dan pendidikan
formal (sekolah).
18
DAFTAR PUSTAKA
Dakir. 1993. Dasar-Dasar Psikologi. Jakarta: Pustaka Belajar.
Hadis A. 2006. Psikologi dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Budiningsih CA. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Suciati, Prasetya P. 2001. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta : PAU-PPAI, Universitas Terbuka.
Sukardjo. 2010. Landasan Pendidikan: Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Rachmahana SR. 2008. Psikologi humanistik dan aplikasinya dalam pendidikan. Jurnal Pendidikan Islam El-Tarbawi 1: 99-114.
Tudge J. 1994. Vygotsky: The Zone of Proximal Development, and Peer Collaboration: Implications for Classroom Practice. Cambrige: University Press.
Uno HB. 2006. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
19