Post on 12-Aug-2015
MAKALAH
BA’I BI TSAMAN AJIL DAN BAI’ AL WAFA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Masail al-Fiqhiyah al-Haditsah
Dosen Pengampu : A. Saefullah, Drs., M.Pd.I.
Oleh :SITI NURLAELA
ROSMIATI
FAKULTAS TARBIYAHPRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID)CIAMIS - JAWA BARAT
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji adalah bagi Allah yang telah menunjukan kita kepada hal ini,
kami tidak akan memperoleh petunjuk kalau sekiranya Allah menunujukan kami
akan hal ini.
Shalawat dan salam adalah untuk Rasulullah yang telah diutus oleh Allah
untuk menyampaikan syari’at yang pasti, yang lurus dan toleran. Asas syari’at ini
adalah kemudahan kepada manusia, penghilangan kesulitan dari mereka. Juga
shalawat dan salam untuk para keluarganya, dan sahabat-sahabatnya yang
menggantikan Beliau dalam memelihara Syari’atnya dan membimbing umatnya.
Adapun materi makalah ini tentang ”Ba’i Bi tsaman Ajil dan Bai’ Al Wafa’
”. Dengan dituliskannya makalah ini, diharapkan kepada semua yang
membacanya dapat memahami secara mendalam tentang hal yang berkaitan
dengan materi yang di kaji dalam makalah kami ini yang pembahasannya tentang
Masail al-Fiqhiyah al-Haditsah.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan
kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca mengaharapkan saran dan kritik
demi kesempurnaan makalah kami ini pada penulisan selanjutnya.
Demikianlah pengantar yang dapat kami sampaikan, semoga Allah memberi
taufik kepada orang yang menghendaki kebenaran, dan menunjukkan kepada
siapa saja yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus.
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qawaid Ushuliyyah (kaidah ushuliyah) adalah kaidah yang berkaitan
dengan bahasa. Dan kaidah ushuliyah ini juga merupakan kaidah yang sangat
penting, karena kaidah ushuliyah merupakan media/ alat untuk menggali
kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-
Sunnah, sehingga dengan kaidah ushuliyah ini, merupakan modal utama dalam
memproduk fiqih. Tanpa kaidah ushuliyah, pengamalan hukum Islam cenderung
belum semuanya.
Karena pentingnya hal tersebut, sehinggga merupakan suatu kebutuhan bagi
kita semua khususnya mahasiswa yang akan meneruskan perjuangan pendahulu-
pendahulu kita dalam membela dan menegakkan islam untuk mempelajari hal ini.
Karena banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti
sama sekali apa itu Qawaid ushuliyah . Oleh karena itu penting bagi seorang
mujtahid maupun calon mujtahid untuk menggali sebuah hukum dengan
mempelajari kaidah ushuliyyah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kaidah ushuliyah ?
2. Apa saja lafadz dan dalalahnya ?
3. Apa yang dimaksud al Amm ?
4. Apa yang dimasud al Khas ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kaidah ushuliyah ?
2. Untuk mengetahui lafadz dan dalalahnya ?
3. Untuk mengetahui al Amm ?
4. Untuk mengetahui al Khas ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kaidah Ushuliyah
1. Pengertian Kaidah Ushuliyah
Qaidah ushuliyah merupakan gabungan dari kata Qaidah dan ushuliyah, kaidah dalam bahasa Arab ditulis dengan qaidah, artinya patokan, pedoman dan titik tolak. Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad) adalah qawa’id. Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl, artinya pokok, dasar, atau dalil sebagai landasan. Jadi, qaidah ushuliyah adalah pedoman untuk menggali dalil syara’, titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode penggalian hukum, kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughawiyah, kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan Arab.
Dalil syara’ itu ada yang bersifat menyeluruh, universal dan global (kuli dan mujmal) dan ada yang hanya di tujukan bagi suatu hukum tertentu dari suatu cabang hukum tertentu pula. Dalil yang besifat menyeluuh itu di sebut pula qaidah ushuliyyah. Dari pengetian ushul fiqih yang telah di kemukakan di atas terkandung maksud bahwa objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbenya. Dengan demikian yang di maksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafadz atau kebahasaan.(Rachmat Syafi’i: 147: 1999)
Dr. Jailany mendefinisikan sebagai:” hukum kulli (bersifat umum) yang berdiri diatasnya furu’ fiqhiyah yang di bentuk dengan bentuk umum dan akurat”. Defenisi ini belummaani’ karena kaidah-kaidah fiqh masih masuk didalamnya.
Kaidah-kaidah ushuliyah menurut Prof. Dr. Muhammad Syabir adalah sebagai suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum syar’iyyah al-Far’iyyah dan dalil-dalilnya yang terperinci.
Dari beberapa pengertian mengenai kaidah ushuliyah di atas penulis simpulkan bahwa kaidah ushuliyah itu merupakan sejumlah peraturan untuk menggali dalil-dalil syara’ sehingga didapatkan hukum syara’ dari dalil-dalil tersebut.
Seperti disebutkan diatas, bahwa qaidah ushuliyah itu berkaiatan dengan bahasa. Dalam pada itu, sumber hokum adalah wahyu yang berupa bahasa. Oleh karena itu qaidah ushuliayah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Mengetahaui qaiadah ushuliayh dapat mempermudah faqih untuk mengetahuai hukum allah dalam setiap peristiwa yang dihadapinya.
Adapun contoh-contoh qaidah ushuliyyah yang dipaparkan oleh prof. Dr. Rachmat Syafe’i,MA. adalah sebagai berikut:
1. Kaidah :
السبب البخصوص اللفظ بعموم العبرةArtinya: “Yang dipandang dasar (titik talak) adalah petunjuk umum dasar
lafazh bukan sebab khusus (latar belakang kejadian).2. Kaidah :
المانع قدم والمانع المقتضى اجتمع اذاArtinya : “Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang
melarang maka didahulukan dalil yang melarang.”3. Kaidah :
التصريح مقابلة في للداللة العبرةArtinya: “Makna implisit tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan
makna eksplisit.”4. Kaidah :
العموم تفيد النفي مقام في النكرةArtinya : “Lafazh nakirah dalam kalimat negatif (nafi) mengandung
pengertian umum.”5. Kaidah :
الظاهر على مقدم النصArtinya : “Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir.”
6. Kaidah :
الوجوب يفيد االمرArtinya : “Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib.”
7. Kaidah :
النص مورود فى جتهاد لال المساغArtinya : “Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.”
8. Kaidah :
المقيد يحمل المطلقArtinya : “Dalalah lafazh mutlak dibawa pada dalalah lafazh muqayyah.”
9. Kaidah :
ضده عن نهي بالشيئ االمرArtinya : “Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya.
LAFAZH DAN DALALAHNYA
1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menyangkut lafazh.
Agar tidak membingungkan para pelaku hukum, maka lafazh–lafazh yang
menunjukkan hukum harus jelas dan tegas, kenyataannya petunjuk(dilalah) lafazh-
lafazh yang terdapat dalam nash syara ‘itu beraneka ragam, bahkan ada yang
kurang jelas (khafa).
Suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebutmubayyan
atau nash. Bila ada dua makna atau lebih tanpa diketahui yang lebih kuat
disebut mujmal. Namun bila ada makna yang lebih tegas dari makna yang ada
disebut zhahir. Dengan demikian yang disebut mujmal adalah lafazh yang cocok
untuk berbagai makna, tetapi tidak ditentukan makna yang tidak dikehendaki, baik
melalui bahasa maupun menurut kebiasaan pemakaiannya (Al-ghazali:145).
Sifat mujmal itu dapat terjadi pada kosa kata (mufradat), seperti lafazh guru’
bisa berarti suci dan haid, dapat juga terjadi pada kata majemuk (munkkab)seperti
mukhathab yang terdapat pada surat Al-baqarah: 237, yang bisa berarti suami
atau wali. Terdapat juga pada kata kerja seperti lafazh asas yang bisaberarti
menghadap dan membelakangi, pada huruf seperti pada wauataf bisa berarti
memulai dan menyambungkan (dan).
Hukum melaksanakan lafazh mujmal bergantung pada bayan atau penjelasan.
Untuk mengungkap lafazh tersebut dapat digunakan beberapa teori yang telah di
ungkapkan oleh para ulama terdahulu. Demikian juga terdapat beberapa teori
ulama tentang tingkat kejelasan lafazh dan cara memadukan antara tingkatan-
tingkatan jelas tidaknya suatu lafazh.Hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut.
2. Tingkatan Lafazh dari Segi Kejelasannya.
Ada dua kelompok pendapat tentang tingkat dilalah Lafazh dari segi kejelasan,
Golongan Hanafiyah dan Golongan Mutakalimin. Masing-masing digambarkan
dengan bagan berikut:
Pembagian lafazh itu sebenarnya dilihat dari segi mungkin atan tidaknya di-takwil
atau di-nasakh. Dilihat dari peringkat kejelasan lafazh itu Menurut golongan
Hanafiyah, dimulai dari yang jelasnya bersifat sederhana (Zhahir),cukup jelas
(nash), sangat jelas (mufassar), dan super jelas (muhkam).
2.1 Pembagian Lafazh dari Segi Kejelasannya menurut Ulama Hanafiah
2.1.1 Zhahir
Berikut beberapa definisi tentang Zahir:
“Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar,
melalui bentuk lafazh itu sendiri.” ( Bazdawi, 1307 H. I:46)
“Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa
harus dipikirkan lebih dahulu.” ( As-Sarakhsi, 1372, I:164)
Untuk memahami zhahir itu tidak memerlukan petunjuk lain,
melainkanlangsung dari rumusan lafazh itu sendiri. Namun, lafazh itu tetap
mempunyai kemungkinan lain, sehingga Muhammad Adib Salih menyimpulkan
bahwa zhahir itu adalah:
“Suatu lafazh yang menunjukan suatu makna dengan rumusan lafazh itu
sendiri tanpa menunggu qarinah yang ada diluar lafazh itu sendiri ,namun
mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh.(Muhammad Adib
Salih,1984,I : 143)
Contoh : ” Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan
haramnya riba. Petunjuk tsb diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan
Qarinah lain.
Masing-masing dari lafazh al-bay‘ dan ar-riba merupakan lafazh ‘amm yang
mempunyai kemungkinan di-takhsis. Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib
diamalkannya sesuai petunjuk lafazh itu sendiri sepanjang tidak ada dalil yang
mentakhsisnya, men-takwil-nya atau me-nasakh-nya.
2.1.2 Nash
Nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak
diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri
yang bisa diketahui dengan qarinah.
Menurut bahasa, Nash adalah raf ‘u asy-syai atau munculnya segala sesuatu
yang tampak, sering disebut manashahat, menurut istilah didefinisikan sebagai
berikut:
“ Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan
dengan lafazh zhahir.” (Ad-Dabusi)
“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil
dari sipembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.” (Al-Bazdawi)
Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud Nash itu adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum yang jelas, yang diambil
menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakhsish dan
ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang
terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasakh pada zaman risalah
(zaman Rasul).”
Sebagai Contoh, pada contoh Zahir sebelumnya, dilalahnya tidak adanya
persamaan hukum antara jual beli dan riba. Pengertiannya diambil dari
susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Disini nash lebih memberi
kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena
maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
Kedudukan hukum lafazh Nash sama dengan hukum lafazh zhahir, yaitu wajib
diamalkan petunjuknya atau dilalah-nya asal tidak ada dalil yang menakwilkan,
mentakhsis atau menasakhnya. Perbedaan antara zhahir dan nash adalah
kemungkinan takwil, takhsis, atau nasakh pada lafazh nash lebih jauh dari
kemungkinan yang terdapat pada lafazh zhahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi
pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka lafazh nash lebih
didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zhahir pada lafazh
Nash.
2.1.3 Mufassar
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk
yang tegas dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau
ditakhsis, namun pada masa Rasullullah masih bisa dinasakh. Menurut (As-
Sarakhsi, 372 H. I: 165 ):
“ Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya
dengan jelas serta tidak ada kemungkinan ditakwil.”
Dengan definisi ini maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi daripada
petunjuk zhahir dan nash. Sebab pada petunjuk zhahir dan nash masih
terdapat kemungkinan ditakwil atau ditaksis, sedangkan pada lafazh mufassar
kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada. Sebagai contoh firman Allah
SWT:
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun
memerangi kamu semuannya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.” ( QS. At-Taubah : 36 )
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil yang
me-nasakh-nya. Apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan
dilalah Nash dan zhahir maka dilalah mufassar harus didahulukan. Lafazh
mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahir-nya, karena tidak
mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa di-nasakh atau diubah
apabila ada dalil yang mengubahnya.
2.1.4 Muhkam
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqama, yaitu
pasti dan tegas. Secara istilah menurut As-Sarakhsi “Muhkam itu menolak
adanya penakwilan dan adanya nasakh.”
Sehingga Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukan makna dengan
dilalah tegas dan jelas serta qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan di-
takwil, di-takhsis, dan dinasakh meskipun pada masa Nabi, lebih–lebih pada
masa setelah Nabi.
Misalnya firman Allah SWT berikut yang sangat jelas dan tegas dan tidak
mungkin diubah :
” Dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.”
Apabila lafazh Muhkam khash, tidak bisa di-takwil dengan arti lain. Dan apabila
lafazhnya ‘amm, tidak bisa di-takhsis dengan makna khash. Contoh Firman
Allah SWT, tentang haramnya menikahi janda Rasullullah. Sehubungan dengan
lafazh muhkam itu tidak bisa di-nashakh, maka muhkam itu terbagi kepada
dua, ada muhkam dzat dan muhkam ghair dzat. Karena terkadang nasakh itu
bisa dari nash itu sendiri atau dari luar nash.
Dilalah muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari
maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Dilalah muhkam lebih kuat daripada
seluruh macam dilalah yang disebut diatas. Jika terjadi pertentangan maka
yang harus didahulukan adalah dilalah muhkam.
2.2 Kegunaan Pembagian Lafazh Menurut Kejelasannya dan Pengaruhnya
terhadap penetapan Hukum
2.2.1 Pertentangan antara zhahir dan nash
Misalnya dihalalkannya menikahi wanita tanpa dibatasi jumlahnya (Zhahir)
”dan dihalalkan bagi kamu apa yang dibelakang (selain) demikian itu bahwa
kamu mencari dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.”(QS. An-
Nisa :24)
yang bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan dibatasi
empat orang saja (Nash).
”Dan jika kamu tidak dapat berlaku adil terhadap anak2 yatim (perempuan),
maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga,
empat.Maka jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (hendaklah
cukup satu saja, atau kawinilah budak –budak yang kamu miliki…..” (QS. An-
Nisa : 3).
Dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab dilalah yang kedua itu dilalah
nash, dan dilalah nash lebih kuat daripada dilalah zhahir.
2.2.2 Pertentangan antara Muhkam dengan Nash
Misalnya, surat An-Nisa : 3 yang menghalakan menikahi wanita dengan
dibatasi empat orang (Nash). Dengan Al-Ahjab ayat 53:
”Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasullullah dan tidak (pula) mengawini
istri- istrinya sesudah ia wafat selama- lamanya……” (QS. Al- Ahzab : 53)
Walaupun dihalakan menikahi wanita mana saja termasuk janda Rasullullah
dengan syarat tidak melebihi empat. Namun ayat Al-Ahjab ayat 53
mengharamkan mengawini janda Rasullullah .Dengan demikian maka harus
diambil dilalah ayat yang kedua, karena dilalah ayat ini muhkam.
2.2.3 Pertentangan antara Nash dengan Mufassar
Dari ‘Aisyah, ia berkata “Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada
Rasullullah dan ia berkata “sesungguhnya aku ini dalam keadaan mustahadah,
sehingga aku tidak bisa bersuci, apakah aku harus meninggalkan shalat ?”
Rasullullah menjawab. “tidak, Karena mustahadah bukan darah haid. Jauhilah
shalat pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan berwudulah untuk setiap
shalat, dan shalatlah sekalipun dalam keadaan mustahadah.”( As-Syaukani, I :
299 ).
Dalam riwayat lain memakai ungkapan, “berwudulah setiap waktu shalat.”(Az-
Zayla’i, I, t,t : 125).
Pada hadits pertama wanita mutahadah wajib berwudu untuk setiap shalat,
sekali saja. sedangkan hadis riwayat kedua, untuk waktu seluruh shalat,
sehingga berlaku untuk beberapa kali, dengan satu wudu selama waktu untuk
melakukan shalat itu masih ada.
Hadis riwayat pertama berbentuk Nash, sedangkan hadis riwayat yang kedua
berbentuk mufassar. Sehingga harus mendahulukan hadis kedua, karena
termasuk mufassar.
2.2.4 Pertentangan antara Mufassar dengan Muhkam
“..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu” ( QS.
Ath- Thalaq : 2) dengan surat An – Nur ayat 4:
“….dan janganlah kamu terima persaksian mereka buat selama-lamanya”
Ayat pertama termasuk mufassar, diterimanya kesaksian yang adil dari siapa
saja. Ayat kedua termasuk muhkam. Ayat ini menunjukkan tidak bisa diterima
kesaksian orang yang menuduh zina (qadzaf ), sungguhpun ia bertobat. Dalam
hal ini menurut sebagian ulama digunakan ayat yang kedua.
2.3 Tingkatan- Tingkatan Kejelasan Lafazh menurut Mutakalimin (Syafi’iyyah)
Menurut Imam Syafi’i tingkatan Kejelasan Lafazh hanya dua, yang tidak
membedakan antara zhahir dengan nash. Pada perkembangan selanjutnya,
setelah Imam Asy-Syafi’i, nash dan zhahir ini dibedakan pengertian masing-
masing, Nash adalah suatu lafazh yang tidak mempunyai
kemungkinan ditakwil, sedangkan zhahir mempunyai kemungkinan untuk
ditakwil. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Gazali,“Suatu lafazh yang sama
sekali tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, baik takwil dekat maupun
takwil jauh.“ Dan ” Lafazh yang tidak mungkin ditakwil, yang diterima serta
muncul dari dalil. Adapun kemungkinan yang didukung dengan dalil maka
lafazh itu tidak keluar dari lafazh nash.” (Al–Gazali, I, 1322 H, : 385- 386).
3. Tingkatan Lafazh menurut Ketidakjelasannya.
3.1 Tingkatan Lafazh menurut Ketidakjelasan menurut Hanafiyah
3.1.1 khafi
Menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi, sedangkan menurut
istilah,
”suatu lafazh yang maknanya menjadi tidak jelas karena hal baru yang ada
diluar lafazh itu sendiri, sehingga arti lafazh itu perlu diteliti dengan cermat
dan mendalam.” (Al-Dabusi)
”suatu lafazh zhahir yang jelas maknanya, tetapi lafazh itu sendiri menjadi
tidak jelas karena ada hal baru yang mengubahnya, sehingga untuk
mengatasinya tidak ada jalan lain, kecuali dengan penelitian yang
mendalam.” (Muhammad Adib Salih, 1982 : 230).
Sebagai contoh pengertian lafazh as-sariq yang tegas pada orang yang
mengambil harta berharga milik orang lain secara diam-diam untuk
dimiliki, pada tempat yang terpelihara. Jika pengertian ini diterapkan pada
masalah lain yang sama, seperti pencopet, pencuri barang-barang dalam
kuburan, korupsi, maka lafazh itu sendiri menjadi tidak tegas.
3.1.2 Musykil
Musykil menurut bahasa ialah sulit, atau sesuatu yang tidak jelas
perbedaannya, sedangkan menurut istilah,
”suatu lafazh yang tidak jelas artinya dan untuk mengetahuinya diperlukan
dalil dan qarinah”. (As-Sarakhsi, I, 1372 H : 168).
”yang dimaksud musykil adalah suatu lafazh yang tidak jelas maksudnya
karena ada unsur kerumitan, sehingga untuk mengetahui maksudnya
diperlukan adanya qarinah yang dapat menjelasan kerumitan itu,dengan jalan
pembahasan yang mendalam.” (Muhammad Adib Salih,1982,I:254).
Perbedaan antara khafi dan musykil itu terletak pada dzatiah lafazh itu sendiri.
Oleh sebab itu, musykil lebih tinggi kadar kemubhamannya daripada
khafi. Sebagai contoh kata an-na pada surat Al Baqarah : 223
yang berarti: kaifa, aina, dan mata. Mana yang lebih cocok dari ketiga
makna tersebut. Para ulama ada yang mengambil pengertian kaifa, seperti
Ibnu Abbas dan Ikrimah dan lain- lain. Mereka mengartikan ayat itu adalah
boleh menggauli istri bagaimana maunya, kecuali pada dubur dan diwaktu
haid. Ada yang mengartikan, selagi ia menghendakinya.
3.1.3 Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak terperinci. Menurut istilah,
”lafazh yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penafsiran dari
pembuat mujmal (Syari’)” (As-Sarakhsi,I,1372H :168)
Jadi mujmal itu adalah suatu lafazh yang dzatiahnya khafi, tidak bisa dipahami
maksudnya, kecuali bila ada penjelasan dari syara’. Ketidakjelasannya
dapat karena peralihan lafazh dari makna yang jelas pada makna khusus yang
dikehendaki syara’, karena sinonim lafazh itu sendiri, ataupun karena lafazh itu
ganjil artinya.
Karena penjelasan mujmal diperoleh dari syara’bukan hasil ijtihad sehingga
mujmal lebih tinggi kadar khafa-nya daripada musykil. Contohnya
lafazh shalat, menurut bahasa berarti doa, tetapi menurut istilah
syara’adalah ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh
Rasullullah.
Namun keharusan adanya penjelasan dari syara’tentang lafazh mujmal itu
timbul masalah, yaitu sejauh manakah penjelasan syara’ itu. Sunnah dapat
memberikan penjelasan mujmal sepanjang tidak ada penjelasan nash Al-
Quran. Oleh sebab itu untuk mencari penjelasan mujmal terlebih dahulu harus
melihat nash Al-Quran.
3.1.4 Mutasyabih
Mutasyabih menurut bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan
dan atau simpang siur. Atau lafazh yang tidak ditunjukkan oleh lafazhnya itu
sendiri kepada maksudnya itu dan tidak terdapat qarinah luar yang
menerangkannya. 3 Menurut istilah,
berdasarkan pendapat sebagian ulama adalah ”suatu lafazh yang maknanya
tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syara, baik Al-Quran maupun
Sunah, sehingga tidak bisa diketahui oleh semua orang, kecuali orang- orang
yang mendalam ilmu pengetahuannya” (Asy-Syarakhsi, I, 1372 H.: 169).
3.2 Pembagian Lafazh Ditinjau dari Segi Ketidakjelasannya menurut Ulama
Mutakallimin
Pendapat golongan Mutakallimin (syafi’iyyah) secara umum dapat dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan mujmal adalah suatu lafazh yang menunjukkan
makna yang dimaksud, tetapi petunjuknya tidak jelas, sehingga makna yang
dimaksud lafazh itu memerlukan penjelasan, seperti,lafazh shalat dan zakat.
Sebagian mereka ada yang menyamakan lafazh mutasyabih dengan mujmal,
yaitu suatu lafazh yang tidak jelas maknanya, dan ada pula yang membedakan
antara mujmal dan Mua’wwal. Hanya saja perbedaan antara mujmal dengan
Mua’wwal terletak pada kuat (rajih) dan lemah (marjuh) makna yang di
maksud. Makna yang dimaksud pada lafazh muawwal adalah lemah (marjuh),
sedangkan makna yang terdapat pada lafazh mujmal adalah kuat (rajih).
Jadi dalam hal ini dalam lafazh mutasyabih adalah lemah (marjuh), Al-asnawi
menegaskan bahwa lafazh mutsayabih itu tidak mempunyai makna yang kuat.
Dari aspek ini, lafazh mutsayabih sama dengan mu’awwal atau mempunyai
makna yang sama dari berbagai makna, sehingga dari aspek ini ia termasuk
lafazh mujmal. Oleh karena itu, mutsayabih lebih umum daripada lafazh
mujmal dan mu’awwal.
B. LAFADZ ‘AM
1. Pengertian Lafadz ‘am
‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah
adalah “LAFADH yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang
termasuk dalam pengertian lafadh itu “.
Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian
umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan
tidak terbatas.
2. Bentuk-bentuk lafadz ‘am
Lafadz ‘am mempunyai bentuk (sighah) tertentu, diantaranya:
a. LAFADH (setiap) كxxxxxxxxل dan .(seluruhnya) جxxxxxxxxامع
Misalnya firman Allah:
و~ت| �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxم~ ة� ال �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxق| �ف~س� ذ�ائ ل� ن �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxك
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)
Dan sabda Rasulullah SAW:
ه| |xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxت� ي ع| ؤ�ل� ع�ن~ ر� ~xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxاع� م�س ل� ر� �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxك
“Setiap pemimpin diminta pertanggungjawaban terhadap yang
dipimpinnya”
ا �xxxxxxxxxxxxxxxxر~ض| ج�م|يع� ا ف|ي األ~ �xxxxxxxxxxxxxxxxم~ م� �ك ق� ل �xxxxxxxxxxxxxxxxل ذ|ي خ� �xxxxxxxxxxxxxxxxو� ال �xxxxxxxxxxxxxxxxه
“Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara
keseluruhan (jami’an)”. (Al-Baqarah:29)
LAFADH كل dan حامع tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan
yang tidak terbatas jumlahnya.
b. Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya. Seperti:
~ن| �ي ام|ل �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxن| ك~ �ي و~ل �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxد�ه�ن� ح و~ال�� ع~ن� أ |xxxxxxxxxxxxxxxxxxxض �ر~ د�ات� ي |xxxxxxxxxxxxxxxxxxxو�ال~ و�ال
“Para ibu (hendaklah) meenyusukan anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-
Baqarah:233)
Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap
yang bernama atau disebut ibu.
c. Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam.
Contoh:
ا �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxب م� الر¤ ر� �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxع� و�ح ~xxxxxxxxxxxxxxxxxxxي� ~ب ه� ال �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxل� الل �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxح� و�أ
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(Al_baqarah: 275).
LAFADH al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di
ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am
yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan
kedalamnya.
d. LAFADH Asma’ al-Mawshu>l. Seperti ma, al-ladhi>na, al-lazi dan
sebagainya. Salah satu contoh adalah firman Allah:
ا ع|ير� �xxو~ن� س� ل ~xxص� ي ا و�س� ار� �xxه|م~ ن| ون �xxط� �ل�ون� ف|ي ب ~ك أ �xxا ي �xxم� |ن ا إ �xxم~ ام�ى ظ�ل �xxت� ~ي و�ال� ال ~xxم� �ون� أ �ل ~ك أ �xxذ|ين� ي �xxن� ال| إ
“Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sebeenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala”. (An-Nisa:10)
e. LAFADH Asma’ al-Syart} (isim-isim isyarat, kata benda untuk
mensyaratkan), seperti kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:
د�ق�وا �xxxص� �ن~ ي |ال� أ ه| إ |xxxه~ل� |ل�ى أ �م�ة� إ ل �xxxة� م�س �xxxة� و�د|ي �xxxة� م�ؤ~م|ن �xxxق�ب �ح~ر|يxxxر� ر� � ف�ت أ �xxxا خ�ط �xxxل� م�ؤ~م|ن �xxxو�م�ن~ ق�ت
“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92)
f. Isim nakirah dalam susunan kalimat nafi> (negatif), seperti kata اح�� ن ال� ج�
dalam ayat berikut:
ه�ن� ور� �xxxxxxxxxxxxxxxxج� وه�ن� أ �xxxxxxxxxxxxxxxxم� ~ت �ي �ت |ذ�ا آ وه�ن� إ �xxxxxxxxxxxxxxxxك|ح~ �ن �ن~ ت �م~ أ ~ك �ي اح� ع�ل �xxxxxxxxxxxxxxxxن و�ال� ج�
“dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10).
3. Dalalah Lafadz ‘am
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu
dzanniy dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian
pula, lafa{dz ‘am setelah di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy
dalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah
ushuliyah yang berbunyi:
ص� ¤xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxخ�ص � |ال � إ ام �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxا م|ن~ ع �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxم
“Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish”.
Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha
dicarikan pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama’, Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am itu qath’iy dalalahnya, selagi
tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena
lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua
satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh, Ulama
Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa
menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum,
yang berbunyi:
ه| ~xxxxxxxxxxxxxxي� ه| ع�ل �xxxxxxxxxxxxxxم� الل ~xxxxxxxxxxxxxxر| اس� ذ~ك �xxxxxxxxxxxxxxم~ ي� ا ل �xxxxxxxxxxxxxxوا م|م� �ل ~ك أ �xxxxxxxxxxxxxxو�ال� ت
“dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah
ketika menyembelihnya”. (Al-An`âm:121)
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi
yang berbunyi:
م¤ . (رواه أبxxxxxxxو داود) �xxxxxxxس� و~ لم� ي� م�ى أ �xxxxxxxه| سxxxxxxxالل | م ~xxxxxxxح� ع�ل�ى اس� ذ~ب �xxxxxxxم� ي| ل ~xxxxxxxالم~س
“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia
benar-benar menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud)
Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath’iy, baik dari segi wurud
(turun) maupun dalalah-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniy
wurudnya, sekalipun dzanniy dalalahnya.
Ulama Syafi’iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat
ditakhshish dengan hadits tersebut. Karena dalalah kedua dalil itu sama-
sama dzanniy. Lafadz ‘am pada ayat itu dzanniy dalalahnya, sedang hadits
itu dzanniy pula wurudnya dari Nabi Muhammad SAW.
4. Macam-macam lafadz ‘am
a. Lafadz ‘am yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau
indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish
(pengkhususan). Misalnya:
|ين� اب� م�ب �xxت| ل ف|ي ك �xxو~د�ع�ه�ا ك� ت ~xxه�ا و�م�س �ق�ر� ت ~xxم� م�س� �ع~ل ا و�ي �xxق�ه ه| ر|ز~ �xxال� ع�ل�ى الل| ر~ض| إ� �ة� ف|ي األ~ و�م�ا م|ن~ د�اب
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah
yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang
itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang
nyata (Lohmahfuz).( Hud:6).
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
b. Lafadz ‘am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus karena ada
indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:
ه|م~ |xxف�س~ �ن |أ وا ب �xxغ�ب �ر~ ه| و�ال� ي �xxس�ول| الل �ف�وا ع�ن~ ر� ل �خ� �ت �ن~ ي اب| أ �ع~ر� �ه�م~ م|ن� األ~ �ة| و�م�ن~ ح�و~ل ~م�د|ين �ه~ل| ال �ان� أل| م�ا ك
ه| |xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxس �ف~ ع�ن~ ن
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui
yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi
berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka
daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120).
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya
orang-orang yang mampu.
c. Lafadz ‘am yang terbebas dari indikasi yang dimaksud makna
umumnya atau sebagian cakupannya. Contoh:
وء� ر� �xxxxxxxxxxxxxxxة� ق �xxxxxxxxxxxxxxxث �ال� ه|ن� ث |xxxxxxxxxxxxxxxف�س~ �ن |أ ن� ب ~xxxxxxxxxxxxxxxص� ب �ر� �ت ات� ي �xxxxxxxxxxxxxxxق� ~م�ط�ل و�ال
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru.( Al-Baqarah: 228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita
yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang
dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.
C. LAFADH KHASH
1. Pengertian lafaz khas
Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti
umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm.
Menurut istilah, definisi khas adalah:
“Al-khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada
perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis,
seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga
belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan,
sekelompok, dan lafadh-LAFADH lain yang menunjukkan bilangan
beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu”.
2. Dalalah Khash
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna
khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy,
bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada
makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
~ح�ج¤ � ف|ي ال ام �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxي� ة| أ �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxث �ال� �ام� ث ي |xxxxxxxxxxxxxxxxxxxد~ ف�ص |xxxxxxxxxxxxxxxxxxxج� �م~ ي ف�م�ن~ ل
Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..(Al-Baqaarah :196)
LAFADH tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak
mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh
lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah
hukumnya pun qath’iy.
Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan
kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang
berbunyi:
اة� �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxاة� ش �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxن� ش~ �ع|ي ب ر~� ل¤ أ �xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxف|ي~ ك
“pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor
kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut
tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh
lafadh itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah
qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat
qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat
adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan
bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat
dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.
Khallaf, Wahhab Abdul, Ilmu Ushul Fikih, cet.1,Pustaka Amani, Jakarta: Shafar 1421 H/ April 2003 M
Muchlis Usman, Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta:1993.
Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh Sebuah Pengenalan Awal, cet.1, Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS), Banda Aceh: 2011
Mukhtar Yahya, Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, cet.1, Alma’rif, Bandung: 1986.
Al-qur’an dan Terjemahannya, Mujamma’ Al-Malik Fahd li Thibaat al Mush-haf, Madinah al Munawwarah, 1994.Jazuli, A, Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), Jakarta, PT. Raja Grafido Persada, 2000.Rifa’i, Moh, Ushul Fiqh,Jakarta, PT.Al-Ma’arif, 1979.Satria Effendi, Prof.Dr.H, M.Zein, Ushul Fiqh, Jakarta, Prenada Media, 2005.
Idrus bin Ali bin Abdul kadir bin Hasan al-
Jufri,http://idrusali85.wordpress.com/2007/08/08/masalah-ijtihad-ijtihad-istinbathi-dan-ijtihad-
tathbiqi/
2. http://grethought.blogspot.com/2007/08/tafsir-dan-takwil.html
3. http://grethought.blogspot.com/2007/08/tafsir-dan-takwil.html
4. Khallaf, Syekh Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Rineka Cipta, Jakarta, 2005
5. Syafe’i, Prof. DR. Rahmat. Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 1999.