Post on 13-Jul-2016
description
ETIKA KEPERAWATAN PADA EUTANASIA
Disusun oleh :
WAHYU UJI PRASETYO
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN (NON REGULER)
BINA PERMATA MEDIKA
TANGERANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Eutanasia merupakan upaya untuk mengakhiri hidup orang lain dengan
tujuan untuk menghentikan penderitaan yang dialaminya karena suatu penyakit
atau keadaan tertentu. Di jaman modern ini, tercatat telah banyak sekali kasus-
kasus eutanasia, baik yang terekspose maupun yang tersembunyikan. Terdapat
dua unsur utama yang menjadikan eutanasia menjadi bahan perdebatan yang
sengit di kalangan dokter dan bahkan masyarakat umum. Yang pertama, eutanasia
jelas-jelas suatu tindakan yang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain,
namun selain itu justru alasan dilakukannya eutanasia adalah untuk
menghindarkan pasien dari rasa sakit atau penderitaan yang dianggap terlalu
menyiksa.
Di beberapa Negara di dunia, eutanasia merupakan suatu tindakan yang
dilegalkan, sehingga seorang dokter memiliki kewenangan untuk menjalankan
prosedur eutanasia, namun tentu saja dengan seijin pihak keluarga dan melalui
prosedur perijinan yang sangat ketat. Sedangkan di beberapa Negara yang lain,
pelaku eutanasia ditangkap karena dianggap melakukan tindakan yang melanggar
hukum. Saat ini terdapat banyak Negara yang melarang penyelenggaraan
eutanasia, namun masih banyak pula dokter-dokter yang tetap melakukan
eutanasia, baik yang diketahui maupun tidak, dengan berbagai alasan. Kampanye
anti eutanasiapun banyak kita lihat di situs-situs internet, hal ini menunjukkan
bahwa praktek eutanasia memang masih kerap terjadi.
Dalam makalah ini, akan dipaparkan lebih jauh tentang eutanasia,
mengenai pengertiannya, sejarahnya, pendapat-pendapat seputar eutanasia dan
juga pandangan beberapa Negara dan beberapa Agama tentang penerapan
eutanasia serta hukum terkait eutanasia.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan ditulisnya makalah ini, yaitu:
a. Pembaca mengetahui pengertian dari eutanasia?
b. Pembaca mengetahui bagaimana standar prosedur pelaksanaan eutanasia?
c. Pembaca mengetahui apa saja jenis-jenis eutanasia yang pernah dilakukan?
d. Pembaca mengetahui bagaimana sejarah penerapan eutanasia?
e. Pembaca mengetahui bagaimana hukum eutanasia pada beberapa Negara di
dunia?
f. Pembaca mengetahui bagaimana pandangan Agama terhadap praktek
eutanasia?
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
Euthanasia berasal dari kata Yunani Eu yang berati baik, dan
Thanatos yaitu mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang
mudah dan tanpa merasakan sakit. Oleh karena itu, Euthanasia sering disebut juga
dengan Mercy Killing atau mati dengan tenang. Hal ini menjadi unsur utama hak
asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak tersebut.
Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya
dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas
pemahaman mengenai euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan
yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan
etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep
kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara
etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi
kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.
2.2 Sejarah Euthanasia
Istilah eutanasia pertama kali dipopulerkan oleh Hippokrates dalam
manuskripnya yang berjudul sumpah Hippokrates, naskah ini ditulis pada tahun
400-300 SM. Dalam supahnya tersebut Hippokrates menyatakan; "Saya tidak
akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun
meskipun telah dimintakan untuk itu". Dari dokumen tertua tentang eutanasia di
atas, dapat kita lihat bahwa, justru anggapan yang dimunculkan oleh Hippocrates
adalah penolakan terhadap praktek eutanasia. Sejak abad ke-19, eutanasia telah
memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di
Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai diberlakukan di
Negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan pula
oleh beberapa Negara bagian. Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat
dan beberapa dokter mendukung dilakukannya eutanasia secara sukarela.
Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada
tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada
pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan
eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss
sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.
Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari
pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang
mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk "pembunuhan
berdasarkan belas kasihan".
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan
kontroversial dalam suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur
3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan
lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan
nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak
usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan
eutanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap
eutanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara
tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika. (Wikipedia).
Sebagaimana kita ketahui, nazi yang saat itu dipimpin oleh Adolf Hitler,
menganggap bahwa orang cacat merupakan hambatan terhadap kemajuan suatu
bangsa, sehingga secara besar-besaran nazi melakukan eutanasia secara paksa
kepada semua orang cacat di Berlin, Jerman. Terdapat beberapa catatan yang
cukup menarik terkait dengan praktek eutanasia di beberapa tepat di jaman dahulu
kala, berikut sedikit uraiannya:
a. Di India pernah dipraktekkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-
orang tua ke dalam sungai Gangga.
b. Di Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya
di zaman purba.
c. Uruguay mencantumkan kebebasan praktek eutanasia dalam undang-
undang yang telah berlaku sejak tahun 1933.
d. Di beberapa Negara Eropa, praktek eutanasia bukan lagi kejahatan
kecuali di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai
kejahatan khusus.
e. Di Amerika Serikat, khususnya di semua Negara bagian mencantumkan
eutanasia sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya
dibunuh adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.
f. Satu-satunya Negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para
anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan
persyaratan tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada
beberapa warga Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam
praktek medis, biasanya tidaklah pernah dilakukan eutanasia aktif, akan
tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat digolongkan
eutanasia pasif.
2.3 Klasifikasi
A. Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi:
Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang
sakit.
Misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan
kematian segera, dimana keadaan diperburuk oleh keadaan fisik dan
jiwa yang tidak menunjang.
Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang
lain seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma
medis.
Assisted Suicide, tindakan ini bersifat individual yang pada keadaan
tertentu dan alasan tertentu menghilangkan rasa putus asa dengan
bunuh diri.
Tindakan yang langsung menginduksi kematian dengan alasan
meringankan penderitaan tanpa izin individu bersangkutan dan pihak
yang punya hak untuk mewakili. Hal ini sebenarnya merupakan
pembunuhan, tetapi agak berbeda pengertiannya karena tindakan ini
dilakukan atas dasar belas kasihan
B. Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran
dan staf pengajar pada Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian
Pikiran Rakyat mengatakan bahwa euthanasia dapat dibedakan
menjadi:
Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter
atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri
hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan
zat-zat berbahaya ke tubuh pasien.
Euthanasia pasif, yaitu dokter atau tenaga kesehatan lain secara
sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan
oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau
tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan
melakukan kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan
keluarga pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia
dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk bertahan hidup.
Autoeuthanasia, yaitu seorang pasien menolak secara tegas dengan
sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan
tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan).
Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia atas permintaas
sendiri (APS).
C. Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya
Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga
kategori:
Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan
secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan
lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien.
Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa
yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu
contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis
(autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi
dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk
menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa
penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.
Penolakan tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah
"codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada
dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien
yang bersangkutan.
Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif
yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan
pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara
sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen
bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan
antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang
seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat
penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan
kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh
kebanyakan rumah sakit.
2.4 Pendapat Ahli
Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa
penderitaan” (mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap
penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk
bisa sembuh.
Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan
memiliki arti “mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani
bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat
tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan
Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan
sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup
seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek
atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus
untuk kepentingan pasien itu sendiri”.
2.5 Pandangan Agama
A. Menurut Ajaran Agama Islam
Euthanasia berasal dari kata ‘eu’ yang berarti normal, baik, atau sehat, dan
‘thanatos’ yang artinya mati. Secara harfiah istilah ini berkonotasi positif, yaitu
mati secara baik (dan mudah), tanpa penderitaan. Sehingga sesungguhnya
euthanasia merupakan dambaan dan harapan setiap setiap pemeluk aliran
kepercayaan dan agama. Dalam hal agama hal seperti ini disebut dengan mati
yang husnul khatimah. Tetapi di kalangan medis, euthanasia mengakhiri
kehidupan seseorang secara sengaja dengan tenang dan mudah untuk mengakhiri
penderitaannya.
Dalam agama Islam atau hukum apapun, masalah kematian adalah suatu
keniscayaan, hanyalah Tuhan yang punya kewenangan terhadap hidup
makhluknya. Dengan demikian, manusia tidak diberi hak atau wewenang dalam
mengakhiri hidup seseorang.
Islam sangat menghargai jiwa. Banyak ayat al Quran maupun hadist nabi yang
mengharuskan untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia. Oleh
karenanya, seseorang tidak diperkenankan melenyapkan hidup seseorang.
Manusia dilarang memperlukakan jiwa manusia dengan tidak hormat. Tindakan
menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga pengadilan sesuai dengan
aturan pidana Islam.
Secara normative, memudahkan proses kematian secara aktif ( Euthanasia Aktif
) tidak dibenarkan oleh syara’. Sebab berarti dokter melakukan tindakan aktif
dengan tujuan membunuh si pasien dan mempercepat kematiannya melalui
pemberian obat secara overdosis. Dengan demikian dokter telah melakukan
tindakan pembunuhan, baik dengan penghentian pengobatan, pemberian racun
yang keras, penyengatan listrik, dan lain-lain. Dalam segi agama, perbuatan
tersebut dikategorikan dalam pembunuhan yang diharamkan meskipun factor
yang mendorongnya adalah rasa kasihan kepada pasien dan bermaksud
meringankan rasa sakitnya. Selain itu, euthanasia aktif maupun auto-euthanasia
tidak diperbolehkan, karena alasan sebagai berikut:
1. Dari pihak pasien yang meminta kepada dokter karena tidak tahan lagi
menderita sakit, karena jenis penyakit ini teralu kronis/ gawat dan telah
lama dialami, maka ia meminta kepada dokter untuk melakukan
euthanasia. Pertimbangan lain karena pasien sadar bahwa beban
pengobatannya sangat besar bagi keluarganya. Atau pasien menyadari
bahwa ajalnya sudah sangat dekat, harapan sembuhnya kecil, sehingga
pasien meminta dirinya dilakukan euthanasia. Hal ini tidak boleh
dilakukan karena termasuk bunuh diri, di mana bunuh diri dalam agama
apapun adalah terlarang.
2. Dari pihak keluarga / wali yang merasa kasihan atas penderitaan pasien,
apalagi jika pasien tampaknya tidak tahan lagi menanggung penyakitnya.
3. Kemungkinan lain, bisa terjadi, pihak keluarga tertentu bekerja sama
dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien karena suatu factor
amoral, jelas ini merupakan suatu pembunuhan.
Sedangkan untuk menentukan hukum euthanasia pasif ini terlebih
dahulu perlu dilihat keterkaitannya dengan hukum berobat. Ulama
menyatakan bahwa hukum berobat menjadi sunah, wajib, mubah, atau
haram jika penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Namun apabila
pasien sudah diberi berbagai macam cara pengobatan, baik dengan cara
meminum obat, suntikan, ataupun menggunakan alat-alat pernapasan dan
lain sebagainya dalam waktu yang relative lama tetapi penyakitnya tidak
mengalami kemajuan, pengobatan seperti itu tidak wajib dilakukan,
dengan kata lain, boleh mencabut atau menyudahi proses pengobatannya.
Memudahkan proses kematian semacam ini seyogyanya tidak diembeli
dengan unsure membunuh karena kasih saying, dalam hal ini tidak ada
tindakan aktif dari dokter, tetapi, dokter hanya meninggalkan sesuatu yang
bersifat tidak wajib. Tindakan ini dibolehkan oleh agama bila pihak
keluarga meninginkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk
meringankan beban pasien dan keluarganya.
Peralatan bantu medis yang terpasang pada pasien yang lama koma
misalnya, hal tersebut hanya dipergunakan pasien sekadar untuk
kehidupan lahiriah, yakni yang tampak dalam pernapasan dan peredaran
darah dengan denyut nadi saja, padahal dari segi aktivitas pasien sudah
seperti orang mati, tidak responsive, tidak dapat mengerti sesuatu, dan
tidak dapat merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan syarafnya sudah
rusak. Membiarkan pasien dalam keadaan demikian hanya akan
menghabiskan dana. Selain itu, juga berarti menghalangi penggunaan
alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya dan masih bisa
mendapatkan manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, pasien juga hanya
akan membuat keluarganya merasa sedih dan menderita. Dalam kondisi
seperti ini,medis diperbolehkan melepas seluruh instrument yang dipasang
pada seseorang meskipun jantungnya masih berdenyut, karena
berdenyutnya jantung pasien karena kerja instumen tersebut.
B. Dalam ajaran gereja Katolik Roma
Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk
memberikan pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka
yang menderita sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja
mengenai eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya
menjadi saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi,
melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang
hidup, adalah yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan
menetapkan pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran
iman telah menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de eutanasia")
yang menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin
meningkatnya kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya
promosi eutanasia sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus
Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktek
eutanasia, dalam ensiklik Injil Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang
memperingatkan kita agar melawan "gejala yang paling mengkhawatirkan dari
`budaya kematian' dimana jumlah orang-orang lanjut usia dan lemah yang
meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu." Paus Yohanes Paulus II
juga menegaskan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan yang keliru,
belas kasihan yang semu: "Belas kasihan yang sejati mendorong untuk ikut
menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu tidak membunuh orang, yang
penderitaannya tidak dapat kita tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66).
C. Dalam ajaran Agama Hindu
Pandangan Agama Hindu terhadap eutanasia adalah didasarkan pada ajaran
tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekwensi
murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang
buruk, lahir atau bathin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai
akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk adalah menjadi penghalang
"moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu
tujuan utama dari penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti
kekerasan" atau pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu
perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa
perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu pada saat
reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan manusia adalah
merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang
lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh
diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada
didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai
masa waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya
umurnya waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga
60 tahun maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu
maka rohnya masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia
akan kembali ke dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk
menyelesaikan "karma" nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi
dari awal.
D. Dalam ajaran Agama Buddha
Ajaran Agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan
dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah
merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut di
atas maka nampak jelas bahwa eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang tidak
dapat dibenarkan dalam ajaran Agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran
Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna") Mempercepat kematian
seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah
utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat menjadi "karma" negatif kepada
siapapun yang terlibat dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan
kehidupan seseorang tersebut.
E. Dalam ajaran Gereja Ortodoks
Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang
beriman sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian
dan alam baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan
kasih, iman dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri
adalah merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu
adalah sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan kehidupan
yang diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat
terhadap prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.
F. Dalam ajaran Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki
pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang
yang membantu pelaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai
denominasi tersebut misalnya :
Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya
menyatakan bahwa:
" penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang
kehidupan pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat
dipertanggung jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong
kehidupan tersebut benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup
pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup tersebut".
Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi
sebagai suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan
fundamental. Dalam kasus dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-
sia dan memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan
atau dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang
unik untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya
bahwa kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke
kehidupan yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa
apabila tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu
pemaaf untuk perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi
dunia perawatan kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi
masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy
killing) adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian
Tuhan. Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan
dengan maksud dan tujuan pemberian tersebut.
2.6 Aspek Hukum Euthanasia di Indonesia
Di Indonesia belum ada peraturan perundangan yang secara jelas mengatur
tentang euthanasia.namun demikian ada ketentuan pasal pasal dalam kitab
undang-undang hukum pidana (KUHP) dimana euthanasia ini di atur secara
tersirat,yaitu:pasal 304,pasal 306,dan pasal 344 KUHP.
Pasal 304 KUHP
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam
kesengsaraan,sedang ia wajib memberikan kehidupan,perawatan atau
pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena
menurut perjanjian,dihukum penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
denda paling banyak empat ratus ribu rupiah.
Catatan.
Isi pasal di atas mirip dengan tindakan euthanasia pasif dimana ancaman
pidananya lebih tinggi apabila orang yang dibiarkan itu akhirnya meninggal dunia
seperti yang diatur dalam pasal 306 KUHP ayat 2.
Pasal 304 dan pasal 306 KUHP merupakan ketentuan yang di atur dalam
bab XV KUHP tentang meninggalkan orang yang perlu ditolong.
Pasal 306 KUHP
Kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam pasal 304
mengakibatkan orang mati,sitersalah itu dihukum penjarapaling lama 9 tahun.
Pasal 344 KUHP
Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri,yang disebutnya dengannya dengan nyata dan bersungguh
sungguh,dihukum penjara paling lama 12 tahun.
Catatan
Pasal 344 KUHP ini isinya mirip dengan tindkan euthanasia aktif,karena
ada tindakan menghilangkan nyawa orang lain.
Dalam kaitannya baik dengan euthanasia aktif maupun pasif tanpa
permintaan terdapat ketentuan dalam pasal pasal berikut.
Pasal 388 KUHP
“Barang siapa dengan sengaja nyawa orang lain,dihukum karena makar
mati,dengan penjara paling lama 15 tahun”.
Pasal 340 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu
menghilangkan nyawa orang lain,dihukum,karena pembunuhan yang
direncanakan,dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara
sementara paling lama 20 tahun
Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang lain dihukum
penjara paling lama 5 tahun atau kurungan paling lama 1 tahun
Pasal 345 KUHP
Barang siapa dengan sengaja mengasut orang lain untuk bunuh
diri,membantunya dalam perbuatan itu,atau memberikan daya upaya itu jadi
bunuh diri,dihukum penjara selama lamanya 4 tahun. Kepustakaan menyebutkan
adanya 2 pendapat mengenai hubungan dokter dengan pasien dalam kaitannya
dengan permasalahan mengenai nyawa.pendapat pertama yang di dukung oleh
Van Hamel Noyon Langemayer, Simon, Pompe, dan Hazewinkel Suringa, yang
menyatakan bahwa :
Niat yang secara sadar tanpa tujuan tertentu untuk membunuh atau
mengakibatkan derita bukan merupakan tujuan dari tindakan medis tertentu yang
dilakukan oleh dokter.
Pendapat kedua yang didukung oleh Rang de Doeldeert Hart dan
Fonsdekker yang mengatakan bahwa oleh karenanya maka justru persetujuan dari
orang dirawat yang dipakai sebagai ukuran apakah suatu perbuatan itu
bertentangan atau tidak.menurut pendapat kedua bertujuan pasien merupakan satu
satunya alas an pembenar bagi tidak dipindananya seorang dokter
(Koeswadjie,1996)
Dari apa yang telah diuraikan tersebut dapat disimpulkan bahwa
KUHP,tidak dapat sertamerta diterapkan terhadap kasus di bidang kedokteran-
kesehatan.
Baik dalam pasal 304,306 maupun pasal 344 KUHP tidak disebutkan pern
keluarga.apabila keluarga yang menghendaki tindakan euthanasia, maka doter
harus mempunyai bukti berupa sebuah pernyataan tertulis yang disertai tanda
tangan dan saksi dari pihak keluarga apabila keluarga betul-betul menghendaki
tindakan itu misalnya karena alasan ekonomi dan lain lain.
Namun demikian apabila hal itu dilakukan dengan alasan daya
paksa,maka hal tersebut dapat dimanfaatkan berdasarkan pasal48 KUHP, yang
berbunyi:barang siapa yang melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu
kekuasaan yang tak dapat dihindari tidak boleh dihukum.saat ini kasus euthanasia
masih merupakan suatu dilemma, karena di Indonesia hak untuk mati masih
belum ada.
2.7 Hukum Eutanasia di berbagai belahan Negara
A. Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang
mengizinkan eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak
tanggal 1 April 2002 [6], yang menjadikan Belanda menjadi Negara pertama di
dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit
menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda
secara formal eutanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai
perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Eutanasia" dalam
majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998,
halaman melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan
mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah
mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan
membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para
dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi
kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002,
sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang
belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus
tertentu tidak akan dihukum.
B. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September
2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia
setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia
diNegara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan
eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan
"birokrasi kematian".
Belgia kini menjadi Negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah
Belanda dan Negara bagian Oregon di Amerika ). Senator Philippe Mahoux, dari
partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang
tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan
psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan
kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya
C. Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di
dunia dengan UU yang mengizinkan eutanasia dan bunuh diri berbantuan, meski
reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima
UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien
terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret
1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.
D. Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak Negara bagian di Amerika. Saat
ini satu-satunya Negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit
mengizinkan pasien terminaln ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)
mengakhiri hidupnya adalah Negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan
UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi
undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan eutanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18
tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan
akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga
kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari
diantaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi
tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus
mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa
pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan
mental.Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk
mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang
dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga
simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di
masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU Negara
bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di
Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon
selama tahun 1999. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup
(Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya
euthanasia.
E. Republik Ceko
Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan
berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari
rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan
tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan eutanasia
dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana
selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite
hukum Negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut
dihapus dari rancangan tersebut.
F. Cina
Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutanasia
diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama
"Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap
ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang
melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi
rakyat (Supreme People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun
2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada
kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya
eutanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya.
Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan
BAB III
ANALISA SITUASI
3.1 Kasus terkait 1
Pada suatu publikasi besar – besaran, persidangan yang digelar di
Massachusetts (Commonwealth v. Anne Capute [1982]), seorang perawat praktik
berlisensi disebuah rumah sakit mendapat tuduhan pembunuhan. Jaksa penuntut
menuduh Perawat Capute berniat membunuh pasien ketika ia memberikan 195mg
morfin sesuai instruksi dokter untuk menghilangkan nyeri pasien pada satu kali
pemberian dalam periode 8 jam. Jaksa penuntut berpendapat bahwa jumlah
morfin yang diberi kepada pasien adalah penyebab kematian pasien dan
bahwasanya pasien tidak akan meninggal jika tidak diberi morfin.
Pengacara Perawat Capute mengungkapkan bahwa pasien menderita
penyakit terminal yang menyebabkan kematiannya. Terhadap kemungkinan
dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, jika terbukti bersalah, Capute
menyatakan dihadapan dewan juri bahwa ia memberi morfin untuk membantu
pasien dan bahwa pengacara tidak memahami nyeri dari penderitaan pasien
karena mereka tidak berada disana dan menyaksikan kejadian sesungguhnya.
Karena dewan juri tidak percaya pembuktian dewan penuntut, yakni
bahwa kematian pasien disebabkan oleh obat yang diberikan, Capute dinyatakan
bebas dari tuntutan pembunuhan.
3.2 Kasus terkait 2
Pada 1994, diadakan vote di Oregon mengenai euthanasia. Oregon voters
mengesahkan euthanasia atau yang disebut juga bunuh diri- dibantu (assisted-
suicide). Namun, penetapan hukum pengadilan mengenai hal ini masih ditunda.
Oregon voters berpendapat bahwa dokter atau tenaga medis lain berhak mencari
alternative lain untuk meringankan rasa sakit bagi pasien yang sakit parah dan
memiliki penderitaan tak tertahankan. Publik berpendapat bahwa pasien berhak
menentukan takdir mereka sendiri. Hal ini berarti dokter boleh memberikan
tindakan euthanasia bila pasien tersebut menginginkannya.
Dr. Jack Kevorkian yang telah melakukan ‘bantuan bunuh diri’
(euthanasia) lebih dari 130 pasien terminal didukung oleh banyak orang, termasuk
para juri yang berhasil membebaskan dirinya dari tuntutan pengadilan Michigan
pada 1995. Hingga pada tahun 1998, Dr. Kevorkian memperoleh pengakuan legal
dan etik.
Dalam sebuah berita 60 Minutes, Dr Kevorkian tidak hanya memberikan
pengakuan bahwa ia memberikan obat mematikan kepada pasien, ia bahkan
menunjukan video rekaman bagaimana ia melakukannnya. Pasien tersebut yang
mengidap penyakit Lou Gehrig meminta Dr. Kevorkian untuk membunuhnya.
Pasien tersebut menulis sebuah inform concern dan menandatanganinya. Dr.
Kevorkian mengatakan bahwa motifnya melakukan euthanasia waktu itu hanyalah
ingin melakukan sebuah tes/ percobaan euthanasia aktif. Akhirnya, pada April
1999 pengadilan menvonisnya bersalah sebagai kasus pembunuhan tingkat dua
sehingga dia dijatuhi hukuman dua puluh lima tahun penjara.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pandangan terhadap kasus 1
Penggunaan morfin pada pasien menjelang kematiannya dalam mengatasi
nyeri adalah hal ilustrasi klasik akan masalah ini. Efek morfin yang baik adalah
menghilangkan rasa penderitaan nyeri. Efek yang berbahaya adalah mempercepat
kematian. Tujuan perawat ialah meredakan penderitaan pasien, bukan membunuh
pasien. Efek yang merugikan, yang kemungkinan mempercepat kematian pasien
adalah bahaya yang muncul yang terkandung pada penggunaan obat. Kematian
tidak diharapkan terjadi, tetapi merupakan risiko yang dapat terjadi. Keta efek
yang baik dan yang berbahaya timbul secara simultan. Risiko mempercepat
kematian muncul pada saat yang bersamaan dengan manfaat pasien terbebas dari
nyeri.
Meringankan penderitaan pasien yang menjelang kematian sangatlah
penting. Tugas utama para pemberi layanan kesehatan adalah membebaskan
pasien dari rasa sakit dan penderitaan ketika usaha untuk menyembuhkan sudah
diupayakan secara maksimal tugas ini merupakan alasan yang cukup untuk
menggunakan morfin dengan dosis berapapun untuk mencapai sasaran yang
diinginkan. Walau itu adalah menghilangkan nyeri pada pasien dengan penyakit
terminal bahkan ketika hal tersebut berisiko memperpendek hidup mereka.
Apa yang dilakukan oleh perawat tersebut semata menjalankan tugas,
walau apa yang dilakukannya juga merupakan kewajibannya dalam meringankan
penderitaan pasien untuk menghilangkan rasa nyeri hebat yang dialaminya.
Memberikan perawatan secara moral memang diijinkan,namun pertimbangan atas
penderitaan yang dialami pasien lebih kepada rasa kemanusiaan serta tugasnya
dalam membantu pasien menghilangkan rasa nyeri. Hal ini membantu dalam
menjelaskan mengapa seorang petugas pelayan kesehatan diijinkan untuk
memberikan penghilang rasa nyeri dengan dosis tinggi untuk mengatasi rasa nyeri
pada pasien yang menderita penyakit terminal, bahkan dalam jumlah yang dapat
menyebabkan pasien meninggal lebih cepat.
Euthanasia masih menjadi hal yang diperdebatkan akan keabsahan
hukumnya. Sebagian besar dokter dan perawat masih enggan menggunakan obat
penghilang rasa nyeri dosis tinggi terhadap pasien yang sedang mengahadapi
terminal dengan kondisi yang sangat menyakitkan. Keengganan ini terjadi akibat
rasa takut terhadap hukum karena melanggar kode etik yang berlaku serta gejolak
psikologi yang terjadi dalam diri seorang perawat.
4.2 Pandangan terhadap kasus 2
Banyak kritik yang menentang euthanasia. Walaupun banyak perawat atau
tenaga medis lain yang berpendapat bahwa keluarga pasien koma atau terminal
boleh mencabut respirator, makanan, atau alat medis lainnya, namun mereka
menentang euthanasia aktif. Banyak yang berpendapat bahwa euthanasia dapat
membunuh pasien, bahwa euthanasia dilakukan tanpa keinginan pasien atau
sepengetahuan pasien. Pasien terminal atau koma, tidak punya kemampuan
mengungkapakan keinginannya. Keluarga, dokter, maupun perawat tidak
mengetahui apakah sebenarnya pasien terminal tersebut menginginkan kematian
dan mereka tidak punya hak untuk memutuskan hidup mati pasien tersebut.
Banyak perawat professional dan organisasi kesehatan lainnya yang
menentang euthanasia. ANA (American Nursing Association) telah menyatakan
penentangannya ini kepada public. Begitu pula dengan AMA ( American Medical
Association). Menurut mereka, euthanasia membawa lebih banyak keburukan
daripasa kebaikan. Euthanasia bertentangan dengan peran perawat.
BAB IV
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari beberapa paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
a. Eutanasia berasal dari bahasa Yunani ‘eu’ yang artinya baik dan
‘thanatos’ yang berarti kematian, sehingga istilah eutanasia secara
singkat dapat diartikan sebagai ‘kematian yang baik’.
b. Terdapat dua prinsip utama dalam standar prosedur euthanasia,
yaitu secara fisik (misalnya dengan pemutusan leher, perusakan
otak, atau penembakan kepala) dan secara kimiawi (dengan teknik
inhalasi gas beracun atau suntik subtansi kimia mamatikan)
c. Eutanasia memiliki berbagai klasifikasi berdasarkan beberapa
katagori tertentu.
d. Pada beberapa Negara euthanasia telah dilegalkan sebagai salah
satu tindakan medis, di beberapa Negara yang lain, euthanasia
masih digolongkan sebagai tindakan criminal, termasuk di
Indonesia.
e. Pada umumnya agama menolak dilakukannya euthanasia, karena
dianggap mendahului kehendak Tuhan, sebab, hidup dan mati ada
di tangan Tuhan.
5.2 Saran
Eutanasia merupakan suatu tindakan yang kontroversial, disatu sisi, ada
niatan baik untuk membantu menghentikan penderitaan pasien, disisi lain,
bagaimanapun eutanasia merupakan suatu praktik menghilangkan nyawa orang
lain atau hewan. Saran kami, pembaca lebih banyak lagi mengkaji terkait
dengan isu euthanasia ini, sehingga dapat memandang eutanasia secara holistic
dan menanggapi fenomena euthanasia ini secara bijaksana.
DAFTAR PUSTAKA
Helm. Ann.2005. Malpraktik Keperawatan: Menghindari Masalah Hukum.
Jakarta: EGC.
Potter, Perry. 2005. Fundamental Keperawatan.Vol.1. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
William, Lippincot and Walkins. 2004. Nurse’s Legal handbook. 5th Ed.
USA: Springhouse Corporation.
Zuhroni,dkk. 2003. Islam Untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran
2. Jakarta: Departemen Agama RI.
h ttp://keperawatanreligionnabilah.wordpress.com/materi-2/kasus-
euthanasia-killing-yang-terjadi-di-dunia/.
www.blogperawat.com. 2010. Euthanasia Dalam Keperawatan.