Post on 08-Jul-2016
Penyebab, Gejala, dan Terapi Dalam Penanganan pada Penyakit LepraAndani Delabene (102013270)
Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Selatan No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Pendahuluan
Lepra atau yang lebih dikenal oleh masyarakat umum sebagai Kusta adalah penyakit
tertua yang sudah ada sejak sebelum Masehi. Kusta sendiri berasal dari bahasa India,
“kustha”. Kusta merupakan suatu penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya
adalah Myobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ
lain kecuali susunan daraf pusat. Penyakit Kusta bukan hanya memperburuk estetika
seseorang tetapi juga dapat menyebabkan seseorang dikucilkan dari lingkungannya. Di
Indonesia sendiri kasus Kusta masih cukup banyak dan masih dapat ditemukan di beberapa
wilayah seperti di Maluku, Papua, dan juga di Pulau Jawa.1
Dalam PBL kali ini, terdapat kasus mengenai seorang laki-laki berusia 40 tahun yang
datang ke poliklinik dengan keluhan berupa bercak putuh pada lengan kiri sejak satu bulan,
namun tidak merasa gatal. Berdasarkan kasus tersebut, pada makalah kali ini akan dijelaskan
lebih lengkap mengenai Lepra atau Kusta. 1
Anamnesis2,3
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan yaitu; identitas, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat penyakit keluarga.
Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, dan pekerjaan. Identitas perlu
ditanyakan untuk memastikan bahwa pasien yang dimaksud dan sebagai data penelitian.
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien ke dokter.
Dari hasil anamnesa didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan adanya bercak putih
pada lengan kiri, sejak satu bulan yang lalu, dan tidak ada rasa gatal.
Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita yang kronologis, terperinci dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang
berobat. Berdasarkan scenario kasus dalam melakukan anamnesis, harus diusahakan data
sebagai berikut :
1
- Waktu dan lamanya keluhan berlangsung. Pada kasus ini keluhan berupa bercak putih
dan berlangsuk sejak satu bulan yang lalu.
- Sifat dan berat serangan, warna bercak, adanya gatal, adanya baal pada bercak/lesi
- Lokalisasi dan penyebarannya, menetap atau menjalar, atau berpindah-pindah.
- Aktivitas sehari-hari
- Factor resiko dan pencetus serangan, termasuk factor yang memperberat atau
meringankan keluhan.
- Upaya yang dilakukan dan bagaimana hasilnya
- Jenis obat-obatan yang telah dikonsumsi pasien.
Pada riwayat keluarga, perlu ditanyakan apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat
yang mengalami keluhan yang sama, riwayar perjalanan ke daerah endemis untuk penyakit
tertentu. Riwayat penyakit keluarga penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter,
familial, atau penyakit infeksi.
Riwayat penyakit dahulu untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya
hubungan penyakit yang pernah ia derita dengan penyakitnya sekarang, perlu ditanyakan
seperti; “Pernahkah Anda mengalami keluhan serupa?”, “Apakah ada riwayat alergi” dan
“Apakah Anda menderita Diabetes Melitus?”.
Perlu juga ditanyakan mengenai riwayat pribadi pasien, seperti menanyakan kepada
pasien yang sering bepergian tujuan perjalanan yang ia lakukan untuk mencari kemungkinan
tertular penyakit infeksi tertentu di tempat tujuan perjalanannya. Kemudian juga menanyakan
tentang lingkungan tempat tinggal, termasuk keadaan rumah, sanitasi, sumber air minum,
ventilasi, tempat pembuangan sampah dan sebagainya.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan tanda-tanda vital, inspeksi,
pemeriksaan sensibilitas, pemeriksaan saraf tepi, dan pemeriksaan fungsi saraf otonom.
Untuk melakukan inspeksi, alat bantu yang dapat dipergunakan adalah kaca pembesar.
Pemeriksaan ini mutlak dilakukan dalam ruangan yang terang. Pada inspeksi diperhatikan
lokalisasi, warna, bentuk, ukuran, penyebaran, batas, dan efloresensi yang khusus.1 Pada
penderita lepra akan didapatkan gambaran makula hipopigmentasi yang juga mengalami
achromia (tidak ada pigmen), anestesia (tanpa rasa gatal), atrofi (kulit agak mencekung),
alopesia (tanpa rambut), dan anhidrosis (tidak berkeringat).
2
Selain itu, pasien juga diminta memejamkan mata, menggerakan mulut, bersiul dan
tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah, dikarena penyakit kusta dapat menyebabkan
kerusakan saraf. Pemeriksaan berikutnya adalah melakukan pemeriksaan sensibilitas pada lesi
kulit dengan kapas atau bulu untuk mengetes rasa raba, jarum pentul jarum pentul yang tajam
dan tumpul untuk mengetes rasa nyeri, serta air panas dan dingin dalam tabung reaksi unuk
mengetes rasa suhu.4
Pemeriksaan saraf tepi dilakukan pada N. Aurukularis magnus, N. Ulnaris, dan N. Peroneus lateralis. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran,
konsistensi, penebalan dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia
kesakitan atau tidak saat saraf diraba. Terakhir, perlu dilakukan pemeriksaan fungsi saraf
otonom, yaitu memeriksa ada tidaknya kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya
kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta (uji Gunawan).4
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Bakterioskopik (Kerokan Jaringan Kulit)
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan terhadap bakteri tahan asam, antara lain dengan Ziehl
Neelsen. Pemeriksaan bakteri negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut
tidak mengandung M. leprae.
Pertama-tama kita harus memilih tempat-tempat di kulit yang diharapkan paling
padat oleh bakteri, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil.
Untuk pemeriksaan rutin biasanya diambil dari minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping
telinga bagian bawah dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, berarti yang paling merah di
kulit dan infiltratif.
Kepadatan M. leprae tanpa membedakan solid atau nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan Indek Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut
Ridley. Seperti tertera di bawah ini:
a. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
b. 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
c. 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
d. 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 100LP
e. 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
3
f. 5+ bila 101-1000 BTA dalam 1 LP
g. 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
2. Pemeriksaan Histopatologi
Saat ada kuman M. leprae yang masuk, akan bergantung pada system imunitas
seluler orang tersebut. Jika system imunnya bagus, makan akan banyak ditemukan sel datia
langhans tetapi jika ada massa epiteloid berlebihan berkeliling oleh limfosit disebut tuberkel
akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Sebaliknya, jiak system
imunitas seluler orang tersebut rendah, maka M. leprae akan berkembang biak dalam sel
tubuh manusia lalu menjadi sel Virchow sebagai alat pengangkut penyebarluasan
3. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M. leprae, yaitu antibodi antiphenolic glycoplipid-1 (PGL-1) dan antibodi
antiprotein 16 kD serta 35 kD. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta yang dapat
dilakukan adalah: tes FLA-ABS, tes ELISA, dan tes MLPA (Mycobacterium Leprae
Particle Aglutination).
4. Pemeriksaan Tes Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi
tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukan sistem imun penderita terhadap
M.leprae. 0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil oganisme untuk kemudian
disuntikan intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam atau 2 hari (reaksi
fernandez), dapat juga ditunggu hingga 3-4 minggu (rekasi Mitsuda). Reaksi Fernandez
positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukan kalau penderita bereaksi
terhadap M.leprae, yaitu memberikan respon imun tipe lambat. Sementara itu, Reaksi
Mitsuda bernilai seperti dibawah ini:
a. 0 : Papul berdiameter 3mm atau kurang
b. +1 : Papul berdiameter 4-6mm
c. +2 : Papul berdiameter 7-10mm
d. +3 : Papul berdiameter lebih dari 10mm
4
Diagnosis banding
1. Leucoderma (Vitiligo)5
Leucoderma atau yang dalam dunia medis dikenal sebagai Vitiligo adalah
kelainan kulit kronis yang menyebabkan depigmentasi kulit. Hal ini menyebabkan
perubahan warna pada bagian kulit yang disebabkan penurunan bertahap melanin dari
lapiran dermal atau dikarenakan kerusakan fungsi dari sel-sel melanosit. Awalnya
penderita mungkin tidak menyadari atau mengabaikan perubahan warna karena hanya
bercak putih sedikit saja, tapi seiring denan berjalannya waktu, perubahan warna mulai
membesar dan bahkan bertambah banyak. Depigmentasi kulit biasanya terjadi di dekat
mulut, mata, hidung, jari, kuku, alat keelamin dan umbilikus. Michael Jackson adalah
salah satu penderita Leucorma (Vitiligo).
Tanda-tanda klinis yang dapat dilihat adalah timbulnya bercak putih pada kulit
yang makin lama makin membesar, rambut beruban lebih awal, kehilangan rambut,
rambut di bagian yang terdapat becak berubah menjadi putih, peka terhadap dingin, dan
pasien mungkin sering menderita perubahan suasana hati atau depresi. Penyebab umum
leucoderma bisa disebabkan penyakit lambung kronis atau akut, kekurangan kalsium,
kondisi kulit inflamasi, luka bakar, stres yang berlebihan, penurunan fungsi hati,
mengenakan pakaian ketat, mengenakan sarung tangan ketat, atau menggunakan tato pada
kulit.
2. Pitiriasis Versikolor1
Pitiriasis versikolor atau tinea versikolor disebabkan Malassezia furfur adalah
penyakit jamur superfisial yang kronik, biasanya tidak memberikan keluhan subyektif,
berupa bercak berskuama halus yang berwarna putih sampai coklat hitam, terutama
meliputi badan dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai
atas, leher, muka dan kulit kepala yang berambut. Orang awam biasa menyebutnya
dengan panu.
Kelainan kulit pitiriasis versikolor sangat superfisial dan ditemukan terutama di
badan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak berwarna-warni, bentuk tidak teratur
sampai teratur, batas jelas sampai difus. Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila dilihat
dengan lampu Wood. Bentuk papulo-vesikular dapat terlihat walaupun jarang. Kelainan
biasanya asimtomatik sehingga adakalanya penderita tidak mengetahui bahwa ia
berpenyakit tersebut.
5
Kadang-kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan
berobat. Pseudoakromia, akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan pengaruh
toksis jamur terhadap pembentukan pigmen, sering dikeluhkan penderita. Penyakit ini
sering dilihat pada remaja, walaupun anak-anak dan orang dewasa tua tidak luput dari
infeksi. Menurut Burke (1961) ada beberapa faktor mempengaruhi infeksi, yaitu faktor
herediter, penderita yang sakit kronik atau yang mendapat pengobatan steroid dan
malnutrisi.
4. Pitiriasis Alba1
Pitirasis Alba adalah bentuk dermatitis yang tidak spesifik dan belum diketahui
penyebabnya. Ditandai dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan
menghilang serta meninggalkan area yang depigmentasi. Pitiriasis alba sering dijumpai
pada anak berumur 3-16 tahun (30-40%). Wanita dan pria sama banyak.
Lesi berbentuk bulat, oval atau plakat yang tak teratur. Warna merah muda atau
sesuai warna kulit dengan skuama halus. Setelah eritema menghilang, lesi yang dijumpai
hanya depigmentasi dengan skuama halus. Pada stadium ini penderita datang berobat
terutama pada orang dengan kulit berwarna.
Bercak biasanya multipel 4 sampai 20 dengan diameter antara ½-2 cm. Pada anak-
anak lokasi kelainan pada muka (50-60%), paling sering disekitar mulut, dagu, pipi, serta
dahi. Lesi dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Dapat simetris pada bokong, paha
atas, punggung, dan ekstensor lengan, tanpa keluhan. Lesi umumnya menetap, terlihat
sebagai leukoderma setelah skuama menghilang.
Diagnosis kerja
Working Diagnosis yang diambil adalah lepra atau kusta atau morbus Hansen. Diagnosis
ini dapat diambil atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang serta
adanya gejala klinis yang sesuai, yaitu: didapati lesi makula hipopigmentasi yang tidak gatal,
namun pada bagiaan lesi terasa baal.
Epidemiologi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang saat masih tinggi prevalensinya terutama di
negara berkembang. Kusta merupakan penyakit yang bersifat endemik diseluruh dunia
kecuali Antartika. Di Amerika hanya Kanada dan Chili yang tidak pernah ditemukan
6
endemik dari kusta. Di bagian Selatan Eropa hanya ditemukan sedikit kasus dari kusta.
Angka kejadi tertinggi kasus kusta terdapat dibagian pulau Pasifik, seperti India. India
merupakan negara kedua yang memiliki angka tertinggi dari kusta.
Kasus lepra atau kusta secara mendunia menurun sekitar 90% selama kurun waktu 20
tahun ini karena adanya program kesehatan. Dari data WHO menyatakan ada 220.000 kasus
pada tahun 2006. Kebanyakan pasien terinfeksi saat masih kecil dimana penderita tinggal
bersama penderita kusta. Penderita kusta pada anak-anak baik laki-laki atau perempuan sama
besarnya, namun pada orang dewasa pria lebih sering terkena kusta.
Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun, didapatkan ± 11,39% tetapi
anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita dibawah usia 1
tahun penting dilakukan untuk di cari kemungkinan ada tidaknya kusta konginetal. Frekuensi
tertinggi kusta terdapat pada orang dengan usia 25-35 tahun. Data penelitian semakin rendah
sosial ekonominya maka akan semakin berat penyakitnya, sebaliknya semakin tinggi keadaan
sosial ekonomi masyarakat maka akan semakin membantu penyembuhan. Selain itu dari
penelitian ada perbedaan reaksi infeksi M leprae yang mengakibatkan gambaran klinis di
berbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan faktor genetik yang berbeda.
Etiologi
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen
pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat di biakkan dalam
media artifisial. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, tahan asam dan
alkohol serta positif-Gram.1
Patofisologi1
Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada
kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat
system imunitas seluler (cellular mediated immune)pasien. Kalau sistem imunitas seluler
7
tinggi, penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah
lepromatosa.
M. leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral
dengan vasularisasi yang sedikit.Sumber penularan adalah melalui kontak langsung yang
berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Dapat juga menular melalui mukosa hidung,
tempat tidur, pakaian, dan ada kemungkinan dikarenakan gigitan serangga.
Seperti yang telah disinggung diatas bahwa kondisi imun seseorang dapat menentukan
bentuk gejala yang nantinya akan diderita. Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah
spektrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbaai tipe atau bentuk, yaitu:
TT (tuberkuloid polar, bentuk yang stabil), Ti (Tuberkuoid indefnite), BT (borderline
tuberculoid), BB (mid borderline), BL (broderline lepromatous), Li (lepromatosa idefinite),
dan LL (lepromatosa polar, bentuk yang stabil). Selain bentuk-bentuk determinate, terdapat
juga bentuk indeterminate (I). Tiap-tiap bentuk tersebut diklasifikasikan berdasarkan pada
perbedaan manifestasi klinis yang dibahas lebih lanjut di sub bab berikutnya.
Gejala Klinis
Seperti yang telah disinggung diatas, terdapat bentuk-bentuk penyakit lepra yang
didasarkan pada gejela klinisnya. Satu persatu bentuk-bentuk tersebut akan dibahas di bawah
ini.
a. Lepra tipe Indeterminate (I)
Lepra tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan kemudian
menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya dari 20
sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan
hipoestesia dan gangguan berkeringat. Hasil tes lepromin mungkin positif atau
negatif. Sebagian besar penderita sembuh spontan, namun jika tidak diobati, sekitar
25% berkembang menjadi salah satu tipe determinate.6
8
b. Lepra tipe Determinate
- Lepra tipe Tuberkuloid (TT)
Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit. Kelainan
kulit tersebutdapatberupabercak-bercak hipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar,
kering, serta hipoestesi atau anestesi dan tidak berambut. Kadang kala ditemukan
penebalan saraf kulit sensorik di dekat lesi, atau penebalan pada saraf predileksi
seperti n. auricularis magnus. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan
asam negatif, sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif kuat. Hal ini
menunjukkan adanya imunitas seluler terhadap Mycobacterium leprae yang baik.6
- Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT)
Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun
biasanya lebih kecil dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas.
Dapat dijumpai lesi-lesi satelit. Dapat mengenai satu saraf tepi atau Iebih,
sehingga menyebabkan kecacatan yang luas. Hasil pemeriksaan usapan kulit
untuk basil tahan asam positif pada penderita lepra BT (very few sampai 1+). Tes
lepromin positif.1
- Lepra tipe Mid Boderline (BB)
Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan polimorf. Kelainan
kulit ini dapat berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah
hipopigmentasi dan hipoestesi serta berbentuk anuler dan mempunyai lekukan
yang curam (punchedout). Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam
positif, dengan indeks bakteriologis 2+ dan 3+. Tes lepromin biasanya negatif.
Lepra tipe BB sangat tidak stabil.1
- Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL)
Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa makula atau
bercak-bercak eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan
ukuran yang berbeda-beda dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula, nodul serta
plakat Kelainan saraf ringan. Hasil pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan
asam positif kuat, dengan indeks bakteriologis 4+ sampai 5+. Tes lepromin
negatif.6
9
- Lepra tipe Lepromatosa (LL)
Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang
berjumlah banyalc, kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal,
permukaannya halus serta batasnya tidak jelas, dan papula. Saraf tepi biasanya
tidak menebal, karena baru terserang pada stadium lanjut. Dapat terjadi neuropati
perifer. Mukosa hidung menebal pada stadium awal, menyebabkan sumbatan
hidung dan keluarnya duh tubuh hidung yang bercampur darah. Lama-kelamaan
sel-sel lepra mengadakan infiltrasi, menyebabkan penebalan kulit yang progresif,
sehingga menimbulkan wajah singa, plakat, dan nodul.
Nodul juga dapat terjadi pada mukosa palatum, septum nasi dan sklera.
Alis dan bulu mata menjadi tipis, serta bibir, jari-jari Langan dan kaki
membengkak. Dapat terjadi iritis dan keratitis. Kartilago dan tulang hidung
perlahan-lahan mengalami kerusakan, menyebabkan hidung pelana. Jika laring
terinfiltrasi oleh sel lepra, maka akan timbul suara serak. Akhirnya testis
mengalami atrofi, dan kadang kala mengakibatkan ginekomastia. Hasil
pemeriksaan asupan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks
bakteriologis 5+ sampai 6+. Tes lepromin selalu negative.7
Deformitas atau cacat kusta sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi
dalam deformitas primer dan sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan
merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas,
tulang-tulang jari, dan wajah. Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya
deformitas primer, terutama kerusakan saraf (sensorik, motorik, otonom), antara
lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.
Kerusakan saraf juga terjadi pada penderita lepra. Gejala yang ditunjukan
dari kerusakan N.ulnaris adalah anastesia pada ujung jari anterior kelingking dan
jari manis, clawing kelingking dan jadi manis, atrofi hipotenar dan otot
interosesus serta kedua otot lumbrikalis medial. Gejala pada kerusakan
N.medianus, meliputi anastesia pada ujung jari pada bagian anterior ibu jari;
telunjuk dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari;telunjuk
dan jari tengah, ibu jari kontraktur, serta atrofi otot tenar dan kedua otot
lumbrikalis lateral.
10
Gejala kerusakan dari N.radialis antara lain anastesia dorsum
manus dan ujung proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop), dan tak
mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan. Gejala kerusakan N.popitea
lateralis antaralain anastesia tungkai bawah; bagian lateral dan dorsum pedis, kaki
gantung (foot drop), dan kelemahan otot peroneus. Gejala kerusakan pada
N.tibialis posterior meliputi anastesia telapak kaki, claws toes, paralisis otot
intrinsic kaki dan kolaps arkus pedis.
Jika terjadi kerusakan pada N.fasialis, gejala yang akan tampak antara
lain lagoftalmus, kehilangan ekpresi wajah dan kegagalan mengatupkan
bibir. Terakhir, jika terjadi kerusakan pada N.trigeminus, pasien akan mengalami
anastesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata, selain itu juga akan terjadi
atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai dipakai
sejak1948 dan di Indonesia digunakan pada tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak
1962 oleh Brown dan Hogerzeil, dan rifampisin sejak tahun 1970. Pada 1988 WHO
menambahkan 3 obat alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritrimisin.
a. DDS (Dapson)
DDS merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfone. Bentuk obat
berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tablet. Sifat
bakteriostatik yaitu menghalang/menghambat pertumbuhan kuman kusta. Dosis:
dewasa 100 mg/hari, anak-anak 1-2 mg/kg berat badan/hari. Efek samping jarang
terjadi, berupa anemia hemolitik.
Manifestasi kulit (alergi) seperti halnya obat lain, seseorang dapat alergi
terhadap obat ini. Bila hal ini terjadi harus diperiksa dokter untuk dipertimbangkan
apakah obat harus distop. Manifestasi saluran pencernaan makanan : tidak mau
makan, mual, muntah. Manifestasi urat syaraf; gangguan saraf tepi, sakit kepala
vertigo, penglihatan kabur, sulit tidur, gangguan kejiwaan.
11
b. Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS
dengan dosis 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin
tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan
terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh
diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.
Resistensi pertama terhadap M. Leprae dibuktikan pada tahun 1976 oleh
Kacobson dan Hastings. Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik,
nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.
c. Klofazimin (leprene)
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan
Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang
sehari, atau 3 antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan
dosis lebih yaitu 200-300mg/hari namun awitan kerja baru timbul 2-3 minggu.
Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982.
Efek samping ialah warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan
pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering merupakan
masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan karena klofazimin
adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel retikuloendotelial, muka dan kulit.
Pigmentasi bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obat
dihentikan. Efek samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi, yakni nyeri
abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan
berat badan.
d. Obat Alternatif: Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan flourokuinolon yang paling aktif
terhadap Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis
tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae
hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran
cerna lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri
kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi.
e. Obat Alternatif: Minosiklin
12
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi
daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standart harian
100mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang
menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran
cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness, dan unsteadiness. Oleh sebab itu
tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.
f. Obat Alternatif Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotik mikrolid dan mempunyai aktivitas
bakterisidal terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita
kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99,9% dalam 56 hari. Efek
sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering ditemukan bila
obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.
2. Non-medikamentosa
Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya
memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memakai sarung tangan
bila bekerja dengan benda tajam atau panas dan memakai kacamata untuk melindungi
matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai
dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki
direndam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah.Cara lain ialah secara
kekaryaan, yaitu member lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga
dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan
terapi psikologik (kejiwaan).
Prognosis
Pada lepra yang tidak di terapi, pasien-pasien yang dapat sembuh total hanyalah pasien dengan lepra tipe TT atau pasien BT yang membaik tipenya menjadi TT. Selain itu, penyakit akan menjadi progresif dan kerusakan saraf serta bagian lain dari tubuh tidak terhindarkan. Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, tetapi tidak menghentikan kerusakan saraf. Pengobatan dengan kortikosteroid dapat membantu mengurangi perluasan kerusakan saraf. Yang paling sulit adalah manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan
13
dan kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi komplikasi.
KesimpulanLepra atau morbus Hanses merupakan penyakit yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae. Bakteri tersebut terutama menyerang sistim saraf perifer sehingga dapat mengakibatkan paralisis saraf yang diserangnya. Penderita Lepra biasanya mengalami lesi yang mirip dengan penyakit kulit yang lazim. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan dengan memperhatikan ciri-ciri penyakit lepra, yaitu Achromia, Anesthesia, Alopecia, Athropia, dan Anhidrosis. Selain upaya terapi obat yang penting, upaya rehabilitasi sosial juga sangat dibutuhkan untuk membantu mengembalikan kepercayaan diri dan meningkatkan kualitas hidup dari penderita, di tengah masyarakat. Pemeriksaan dini dapat mencegah adanya kecacatan
14
Daftar Pustaka
1. Kosasih A, I Made Wisnu, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Ed. VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2010
2. Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing;2009.h.25-76, 2871-80.
3. Houghton RA, Gray D, editor. Chamberlain’s Gejala dan Tnada dalam Kedokteran
Klinis. Ed ke-13. Jakarta: PT, Indeks;2010.h.2-45,362-86
4. Prof. Dr. R.S. Siregar, SpKK (K). Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Ed. II.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
5. Sharma S.K. Miracles of urin therapy. New Delhi: Diamond Pocket
Books; 2005.h.104.
6. Amirudin D. Penyakit kusta di Indonesia. Suplement vol. 26 no. 3, 2005; hal 572-68.
7. Vachiramon V, Thadanipon K. Postinflammatory hypopigmentation. British
Association of Dermtologis – Cinical and Experimental Dermatology [serial
online]. Available from URL:http:/www.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1365-
2230.2011.04088.x/pdf
15