Post on 23-Oct-2015
MAKALAH IMUNOLOGI
AUTOIMUNITAS
Oleh :
ATIKA JAYA RANI (13330716)
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
2013
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan karuniaNya serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah ini dengan tepat waktu, guna memenuhi sebagai tugas mata kuliah
Imunologi.
Makalah ini merupakan ringkasan materi bagi para pembaca dalam
pembelajaran yang kami buat secara ringkas. Makalah ini dibuat sedemikian rupa
sehingga dapat menumbuhkan proses belajar mandiri, agar kreativitas dan
pengetahuan materi dari makalah ini dapat optimal sesuai yang diharapkan, dan
dengan adanya makalah ini di harapkan dapat membantu mahasiswa/i dalam
menguasai materi pelajaran yang kami bahas.
Dalam penulisan makalah ini kami sangat menyadari bahwa dalam
penyusunan ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat kekurangan dan
keterbatasan dalam ilmu pengetahuan kami, maka dengan segala kerendahan hati
kami mohon maaf. Sehubungan dengan makalah ini kami mengharapkan adanya
kritik dan saran dari para pembaca yang membangun demi mencapai hasil yang lebih
baik.
Akhirnya kepada Tuhan jugalah kami kembali berdoa mengharapkan semoga
usaha kami ini mendapat ridho-Nya serta dapat memberi manfaat bagi para pembaca.
Jakarta, Oktober 2013
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam keadaan normal, sistem imun dapat membedakan self antigen (antigen
tubuh sendiri) dari antigen asing, karena tubuh mempunyai toleransi terhadap self
antigen (self-tolerance), tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa adakalanya
timbul reaksi autoimunitas. Idealnya, system imun dapat memelihara keseimbangan
antara respon yang efektif terhadap antigen lingkungan dan sistem pengendalian
terhadap sejumlah molekul yang mempunyai kemampuan merusak diri sendiri.
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan oleh kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk
mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Potensi untuk
autoimunitas ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapat
mengekspresikan reseptor spesifik untuk banyak self-antigen.
Autoimunitas terjadi karena self-antigen yang dapat menimbulkan aktivasi,
proliferasi serta diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan
kerusakan jaringan dan berbagai organ. Respons terhadap self-antigen melibatkan
komponen-komponen yang juga terlibat dalam respons imun, seperti antibodi,
komplemen, kompleks imun, dan cell mediated immunity. Baik antibodi maupun sel
T atau keduanya dapat berperan dalam patogenesis penyakit autoimun.
Dalam populasi, sekitar 3,5 % orang menderita penyakit autoimun. 94 % dari
jumlah tersebut berupa penyakit Grave (hipertiroidism), diabetes melitus tipe 1,
anemia pernisiosa, artritisreumatoid, tiroiditis, vitiligo, sklerosis multipel dan LES
(Lupus eritematosus sistemik). Penyakit diemukan lebih banyak pada wanita (2,7
kali dibanding pria).
Dalam autoimunitas, antigen disebut autoantigen, sedang antibodi disebut
autoantibodi. Selautoreaktif adalah limfosit yang mempunyai reseptor untuk
autoantigen. Bila sel tersebut memberikan respon autoimun, disebut SLR (sel
3
limfosit reaktif). Pada orang normal, meskipun SLR terpajan dengan autoantigen,
tidak selalu terjadi respons autoimun oleh karena ada sistem yang mengontrol reaksi
autoimun.
4
BAB II
RUANG LINGKUP DAN ETIOLOGI
A. RUANG LINGKUP
Dalam kaitannya dengan fenomena autoimun harus dibedakan antara pengertian
respon autoimun dan penyakit autoimun. Respons autoimun selalu dikaitkan
dengan didapatkannya autoantibodi atau reaktivitas limfosit terhadap antigennya
sendiri. Respons autoimun tidak selalu harus mempunyai kaitan dengan penyakit
autoimun yang dideritanya, bahkan respon autoimun tidak selalu menampakkan
gejala penyakit autoimun.
Idealnya adalah apabila kita dapat menerapkan istilah ‘penyakit
autoimun’pada kasus-kasus di mana dapat diperlihatkan bahwa proses autoimun
berperan pada patogenesis penyakit dan bukan keadaan di mana autoantibodi
yang tidak berbahaya terbentuk setelah kerusakan jaringan, misalnya antibodi
terhadap jantung yang muncul setelah infark miokard. Namun, peran
autoimunitas pada banyak kelainan masih belum jelas, sehingga untuk
memudahkan kita anggap bahwa semua penyakit yang berkaitan erat dengan
pembentukan autoantibody adalah ‘penyakit autoimun’, kecuali kalau dapat
diperlihatkan bahwa fenomena imunologis yang ada adalah murni merupakan
fenomena sekunder.
Penyakit autoimun dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan, menurut
mekanisme terjadinya, yaitu melalui antibodi/humoral, kompleks imun, selular,
selular dan humoral atau menurut organ yang menjadi sasaran yaitu organ
spesifik dan non organ spesifik atau sistemik.
1. Klasifikasi Penyakit Autoimun Menurut Organ yang Terlibat
5
Contoh alat tubuh yang menjadi sasaran penyakit autoimun adalah darah,
saluran cerna, jantung, paru, ginjal, susunan saraf, endokrin, kulit, otot, alat
reproduksi, telinga-tenggorok dan mata.
Berdasarkan organ yang menjadi sasaran, penyakit-penyakit autoimun
dapat dianggap membentuk spektrum. Suatu upaya untuk mengelompokkan
penyakit-penyakit utama yang dianggap berkaitan dengan autoimunitas dalam
suatu spektrum penyakit autoimun yang organ spesifik dan non organ spesifik
(sistemik) diperlihatkan pada tabel 1.
Tabel 1. Spektrum Penyakit Autoimun
Tiroiditis HashimotoMiksedema primerTirotoksikosisAnemia penisiosaGastritis atopik autoimunPenyakit AddisonMenopause prematur (beberapa kasus)Infertilitas pada pria (beberapa kasus)Miastenia gravisDiabetes juvenileSindroma GoodpasturePemfigus vulgarisPemfigoidOftalmia simpatetikUveitis fakogenikSklerosis multipel (?)Anemia hemolitik autoimunPurpura trombositopenik idiopatikLeukopenia idiopatikSirosis bilier primerHepatitis kronik aktif dengan HBsAg negativeSirosis kreptogenikKolitis ulserativaSindroma SjögrenArtritis reumatoidSklerodermaGranulomatosis WegenerPoly/dermatomiositisLE discoidLupus eritematosus sistemik (SLE)
6
SPESIFIK ORGAN
NON SPESIFIK ORGAN
Pada salah satu ujung spektrum kita lihat penyakit autoimun spesifik
organ dengan autoantibodi spesifik organ. Penyakit Hashimoto pada kelenjar
tiroid merupakan satu contohyang menunjukkan lesi spesifik pada tiroid yang
diinfiltrasi dengan sel-sel mononuklear (limfosit, histiosit, sel plasma),
destruksi sel-sel folikuler dan pembentukan pusat germinal, disertai produksi
antibodi dengan spesifisitas absolut terhadap unsur-unsur tertentu kelenjar
tiroid.
Kalau kita bergerak menuju bagian tengah spektrum, terdapat
kelainan yang cenderung menunjukkan lesi terbatas pada satu organ tetapi
antibodi yang terbentuk tidak spesifik organ bersangkutan. Contoh yang khas
adalah sirosis bilier primer di mana saluran empedu kecil merupakan sasaran
utama infiltrasi sel-sel radang tetapi antibodi dalam serum yang ada –
terutama mitokondrial – tidak spesifik untuk hati.
Pada ujung lain dari spektrum terdapat penyakit autoimun tidak
spesifik organ (sistemik)yang secara luas digolongkan penyakit reumatologik;
salah satu contoh adalah lupuseritematosus sistemik (SLE) yang baik lesi
maupun autoantibodinya tidak terbatas pada organ tertentu. Perubahan
patologiknya tersebar terutama kelainan pada jaringan ikat dengan
nekrosisfibrinoid. Kelainan tampak pada kulit (ruam kupu-kupu ‘lupus’ pada
wajah yang merupakan ciri khas), glomerulus ginjal, sendi, membran serosa
dan pembuluh darah. Di samping itu, unsur- unsur darah juga sering terkena.
Sejumlah besar autoantibodi dapat dijumpai, beberapa diantaranya dapat
bereaksi dengan DNA dan unsur nukleus sel lain di seluruh tubuh.
Ada kecenderungan bahwa pada seseorang dapat dijumpai lebih dari
satu jenis kelainan autoimun dan apabila ini terjadi maka seringkali kelainan-
kelainan itu berada dalam satu kelompok pada spektrum. Jadi penderita
dengan tiroiditis autoimun (penyakit Hashimoto atau miksedema primer)
lebih sering menderita anemia pernisiosa dibanding yang diharapkan pada
populasi umum dengan umur dan jenis kelamin yang sama (10 % vs 0,2 %).
7
Sebaliknya baik tiroiditis maupun tirotoksikosis sering dijumpai pada
penderita anemia pernisiosa dengan frekuensi yang sangat tinggi. Hubungan
lain sering dijumpai antara penyakit Addison dengan penyakit tiroid
autoimun dan pada remaja yang menderita anemia pernisiosa dan
poliendokrinopati termasuk penyakit Addison, hipoparatiroidisme, diabetes
dan tiroiditis.
Tumpang tindih (overlapping) bahkan lebih besar dalam hasil
pemeriksaan serologik. 30% penderita penyakit tiroid autoimun juga
mempunyai antibodi terhadap sel-sel parietal dalam serumnya. Di lain pihak,
antibodi terhadap tiroid dapat dijumpai pada hampir 50 % penderita anemia
pernisiosa. Perlu ditekankan bahwa ini bukan antibodi yang bereaksi silang.
Antibodispesifik tiroid tidak akan bereaksi dengan lambung dan sebaliknya.
Bila serum bereaksi dengan kedua organ, berarti bahwa ada dua populasi
antibodi, satu dengan spesifisitas terhadap tiroid yang lain terhadap lambung.
Kedua antibodi tersebut jarang ditemukan bersamaan dengan antibodi yang
non organ spesifik atau sistemik seperti antibodi terhadap komponen nukleus
dan nukleoprotein (gambar 1).
Gambar 1. Autoantibodi yang tumpang tindih
Pada ujung spektrum tidak spesifik organ, penyakit autoimun sistemik
seperti SLE secara klinis dihubungkan dengan atritis reumatoid dan beberapa
yang lain yang jarang dijumpai tersendiri : anemia hemolitik, leukopenia
8
idiopatik dan purpura trombositopenik, dermatomiositis dan sindrom Sjögren.
Antibodi antinuklear (anti-DNA) dan antiglobulin (faktor rheumatoid)
merupakan gambaran yang umum. Di samping itu sering pula ditemukan
gejala klinis yang sama pada kedua penyakit tersebut.
Sindrom Sjögren menempati posisi yang menarik; di samping
gambaran klinis dan serologis yang dihubungkan dengan penyakit sistemik
seperti disebut di atas, penyakit ini menunjukkan kelainan spesifik organ
yang khas. Sering dijumpai antibodi yang bereaksi dengan saluran kelenjar
liur sekaligus dijumpai pula autoantibodi terhadap tiroid dengan angka
kekerapan tinggi; secara histologik kelenjar air mata dan kelenjar liur yang
terkena menunjukkan perubahan sama seperti yang tampak pada penyakit
Hashimoto, yaitu penggantian unsur-unsur kelenjar dengan jaringan
granuloma limfosit dan sel plasma. Hubungan antara penyakit-penyakit yang
berada pada kedua ujung spektrum pernah dilaporkan, tetapi, seperti dapat
diramalkan dari data serologik (tabel 2) hal ini tidak lazim.
Tabel 2. Hubungan timbal balik data serologik antara penyakit spesifik organ
dan non-spesifik organ pada manusia
Perbedaan dan kesamaan antara penyakit autoimun organ spesifik dan non-
organspesifik (sistemik) terlihat pada tabel 3.
9
Tabel 3. Perbandingan Penyakit Autoimun Organ Spesifik dan Non-Organ
Spesifik
Tabel 4. Klasifikasi Penyakit Autoimun
Klasifikasi Penyakit Autoimun
a. Penyakit autoimun menurut system organ
1) Penyakit autoimun hematologi
a) Anemia hemolitik autoimun (AHA)
(1) AHA antibodi panas
(2) AHA antibodi dingin
10
(3) Hemoglobinuriadingin paroksismal (HDP)
b) Neutropenia ( yang ditimbulkan oleh autoantibodi)
c) Penyakit gangguan pembentukan darah autoimun
(1) Sindrom kegagalanhematopoietik (anemiaaplastik)
(2) Anemia aplastik didapat (AAD)
(3) Sindrommielodisplastik (SMD)
(4) Hemoglobinurianokturnal paroksismal (HNP)
(5) Aplasia sel darahdidapat murni (ASDDM)
(6) Trombositopeniaidiopatik (ITP)
(7) Sindrom kegagalan sumsum kongenital (anemia Fanconi)
(8) Penyakit lain-lain :
Penyakit gangguan proliferasi LGL (large granular
lymphocyte)
Neutropenia siklik (NS)
Trombositopenia amegakariositik (TA)
2) Penyakit autoimun saluran cerna
a) Anemia pernisiosa
b) Aklorhidria (gastritisantral difus)
c) Hepatitis autoimun(HAI)
HAI tipe I
HAI tipe II
HAI tipe III
d) Sirosis bilier primer (SBP)
e) Penyakit inflamasi usus(inflammatory bowel desease/IBD)
f) Crohn dan kolitisulseratif (KU)
3) Penyakit autoimun jantung
a) Miokarditis dankardiomiopati
b) Varian Miokarditis :
Miokarditis sel datia
Miokarditis eosinofilik
Sarkoidosis jantung
11
Miokarditis peripartum dan kardiomiopati
c) Sindrom pasca perikardiotomi dan sindrom pasca infark miokard
(penyakit Dressler)
4) Penyakit autoimun ginjal
a) Nefropati imunoglobulin A
b) Nefropati membran
c) Sindrom nefropati idiopatik
d) Glomerulonefritismesangiokapiler
e) Glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi
f) Nefritistubulointerstisial
g) Sindrom Goodpasture
5) Penyakit autoimun susunan saraf
a) Neuropati autoimun(sindrom Guillan – Barre atau polineuritis
idiopatik akut)
b) Vaskulitis saraf perifer
c) Neuropati perifer lainnya (neuropati idiopatik dengan gamopati
monoklonal dan neuropati demielinisasi motor multifokal)
d) Sindrom paraneoplastik autoimun yang mengenai otak dan saraf
perifer
e) Sklerosis multipel
f) Mielitis transversa
g) Neuritis optik
h) Neuromielitis optika(sindrom Devic)
i) Ensefalomielitisdiseminasi akut (EMDA)
6) Penyakit autoimun endokrin
a) Penyakit autoimunkelenjar hipofisis (hipofisitislimfositik)
b) Tirotoksikosis(penyakit Grave,hipertiroidsm)
c) Goiter
d) Tiroiditis kronis(tiroiditis Hashimoto)
e) Tiroiditis postpartum(tiroiditis yang silent,transient, atau
limfositik)
12
f) Penyakit adrenal autoimun (penyakit Addison)
g) Hipoparatiroidismeautoimun
h) Diabetes melitus
Diabetes melitus tipe I / IDDM (insulindependent DM) /
juvenile DM
Sindrom insulinautoimun
Resistensi insulin tipe B
Penyakit poliglandular autoimun (koeksistensi
endokrinopati)
7) Penyakit autoimun otot
a) Miastenia gravis
b) Polimiositis – dermatomiositis
8) Penyakit autoimun reproduksi
a) Endometriosisautoimun
b) Orkitis autoimun
c) Kegagalan prematur ovarium autoimun
d) Infertilitas
9) Penyakit autoimun telinga dan laring (kepala dan leher)
a) GranulomatosaWegener (GW)
b) Sarkoidosis
c) Tuli autoimun
d) Sialadenitis autoimunrekuren (pseudosialektasisautoimun,
sindrom Mikulicz, sindrom Sicca atau penyakit Sjogren primer,
dan sindrom Sjogren sekunder)
10) Penyakit autoimun kelenjareksokrin – Sicca complex
11) Penyakit autoimun paru
12) Penyakit autoimun kulit
a) Penyakit autoimunyang menimbulkan lepuh :
(1) Pemfigus
(2) Pemfigus foliaseus
(3) Pemfigusvulgaris
13
(4) Pemfiguseritematosus (sindrom Senear – Usher)
(5) Pemfigus bulosa
(6) Dermatitisherpetiformis
(7) Pemfigoid gestasionis
(8) Epidermolisisbulosa (EB)
(9) EB simpleks
(10) EB junctional
(11) EB distrofis
b) Penyakit-penyakit autoimun kulit lain :
(1) Alopesia areata
(2) Vitiligo
(3) Penyakit autoimun nonorgan spesifik (LES)
(4) Sklerosis sistemik
(5) Dermatomiositis
(6) Sklerosis lichen
(7) Graft versus host disease
13) Penyakit autoimun mata
a) Episkleritis
b) Skleritis
c) Sindrom Sjogren (SS) – keratokonjungtivitas sicca(KKS)
d) Uveitis
e) Mooren’s ulcer
f) Penyakit pemfigoid sikatrikal (cicatrical ocular pemfigoid)
g) Skleritis nekrotik
h) Sindrom Vogt – Koyanagi – Harada (VKH)
i) Sindrom Cogan
j) Penyakit Behcet
k) Sklerosis multipel (SM)
l) Vaskulitis retina
m) Sarkoidosis
n) Oftalmia simpatetik
14
o) Koroidopati serpiginus
p) Neuritis optik
q) Neuromielitis optika (sindrom Devic)
r) Penyakit-penyakit mata lain yang diduga berdasarkan autoimun
(miastenia gravis, keratokonjungtivitis limbus superior Theodore,
uveitis yang melibatkan lensa, neuroretinitis dan sindrom
Schlossman)
b. Penyakit autoimun non organ spesifik (sistemik)
1) Lupus eritematosus sistemik (LES)
2) Skleroderma (sklerosis sistemik progresif, sindrom CREST)
3) Sindrom Sjogren (SS)
4) Artritis reumatoid
2. Klasifikasi Penyakit Autoimun menurut Mekanismenya
a. Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibody
Berbagai antibodi dapat menimbulkan kerusakan langsung. Penyakit-
penyakit yang ditimbulkannya serta auto antigennya terlihat pada tabel5
15
Tabel 5. Efek patogenik antibodi humoral langsung).
b. Penyakit autoimun yang terjadi melalui antibodi dan sel T
Pada banyak penyakit autoimun, kerusakan dapat ditimbulkan oleh antibodi
(humoral) serta sel T (tabel 6).
16
Tabel 6. Contoh-contoh penyakit autoimun yang terjadi melalui antibody
3. Penyakit autoimun yang terjadi melalui kompleks antigen-antibodi
Kompleks imun yang terbentuk dalam sirkulasi menimbulkan Penyakit
sistemik seperti LES. Sebaliknya, auto antibodi atau respons sel T terhadap
self antigen menimbulkan penyakit dengan distribusi jaringan yang terbatas,
organ spesifik seperti miastenia gravis, diabetes melitus tipe I dan
sklerosismultipel.
4. Penyakit autoimun yang terjadi melalui komplemen
Oleh sebab yang belum jelas, defisiensi komplemen dapat menimbulkan
penyakit autoimun seperti LES. Di samping itu beberapa alotipe dari
komplemen memudahkan timbulnya autoimunitas. Diduga bahwa
kompleksimun yang mungkin timbul dalam tubuh tidak dapat disingkirkan
oleh system imun yang komplemen dependen.
17
B. ETIOLOGI
1. Teori Fenomena Autoimun
Ada tiga hipotesis yang mencoba menjelaskan tentang fenomena
autoimunitas
Teori klon terlarang (forbidden clones theory)
Teori antigen terasing (sequestered/hidden antigen theory)
Teori defisiensi imun (immunologic deficiency theory)10
a. Teori klon terlarang (forbidden clones theory)
Burnett mengajukan teori forbidden clones, yang menyatakan bahwa tubuh
menjadi toleran terhadap jaringannya sendiri oleh karena sel-sel yang
autoreaktif selama perkembangan embriologiknya akan musnah.
Mutan yang memiliki antigen permukaan akan segera dibinasakan,
sedangkan mutan yang memiliki antigen tersembunyi dapat hidup terus
sehingga berfungsi dalam respon imun dan menimbulkan kerusakan.
18
Gambar 2. Bagan teori klon terlarang
b. Teori antigen terasing (sequestered/hidden antigen theory)
Pada masa embrio merupakan tahap pengenalan antigen. Sequestered atau
hidden antigen adalah antigen yang karena sawar anatomik tidak pernah
terpajan dengan sistem imun misalnya antigen sperma, lensa mata, dan
saraf pusat. Bila sawar tersebut rusak pada tahap dewasa, antigen yang
tadinya terasing sekarang terpapar sehingga limfosit mengenal sebagai
asing sehingga dapat timbul penyakit autoimun.
19
Gambar 3. Bagan teori antigen terasing
c. Teori defisiensi imun
Hilangnya self tolerance mungkin disebabkan oleh karena adanya
gangguan sistem limfoid. Teori ini didasarkan atas kemunduran fungsi
sistemimun. Adanya kenyataan pada pengamatan bahwa penyakit
20
autoimun seringditemukan bersamaan pada individu dengan defesiensi
imun, misalnya padalanjut usia.
Gambar 4. Bagan teori defisiensi imun
Teori – teori lainnya
Determinan antigen baru: Pembentukan autoantibodi dapat
dicetuskanoleh karena timbul determinan antigen baru pada protein
normal. Contohautoantibodi yang timbul akibat hal tersebut ialah
factor rematoid (FR). FR dibentuk terhadap determinan antigen yang
terdapat pada imunoglobulin.
21
Reaksi silang dengan mikroorganisme: Kerusakan jantung pada
demamreumatik anak diduga terjadi akibat produksi antigen terhadap
streptokok A yang bereaksi silang dengan miokard penderita.
Virus sebagai pencetus autoimunitas: Virus yang terutama
mengginfek sisystem limfoid dapat tmempengaruhi mekanisme
kontrol imunologik sehingga terjadi autoimunitas.
Autoantibodi dibentuk sekunder akibat kerusakan
jaringan :Autoantibodi terhadap jantung ditemukan pada jantung
infark. Pada umumnya kadar autoantibodi disini terlalu rendah untuk
dapat menimbulkan penyakit autoimun. Autoantibodi dapat dibentuk
pula terhadap antigen mitokondria pada kerusakan hati atau jantung.
Pada tuberculosis dan tripanosomiasis yang menimbulkan kerusakan
luas pada berbagai jaringan, dapat pula ditemukan autoantibody
terhadap antigen jaringan dalam kadar gula yang rendah.
2. Faktor yang Berperan pada Autoimunitas
Sudah tidak diragukan lagi bahwa penyebab penyakit autoimun adalah
multifaktor. Mungkin sebagian besar, kalau tidak semua, faktor-faktor
tersebut berperan serta dalam berbagai kombinasi pada penyakit yang
berbeda. Walaupun faktor kelainan tersebur jarang dijumpai, asal-usulnya
tetap belum jelas. Selain kepekaan genetik yang kompleks, kita berhadapan
dengan proses penuaan padatimus, atau sel induk limfoid dan kontrol internal
autoreaktivitas. Hormon seks mungkin juga berperan. Belum lagi sejumlah
faktor lingkungan, khususnya mikroba yang dapat menyebabkan berbagai
dampak pada organ sasaran, system limfoid dan jaring-jaring sitokin.
a. Faktor keturunan/genetik
Penyakit autoimun mempunyai persamaan predisposisi genetik.Meskipun
sudah diketahui adanya kecenderungan terjadinya penyakit padakeluarga,
tetapi bagaimana hal tersebut diturunkan, pada umumnya
22
adalahkompleks dan diduga terjadi atas pengaruh beberapa gen. Bukti
yang ada hanyamenunjukkan hubungan antara penyakit dan HLA.
Halotipe HLA merupakanrisiko relatif untuk penyakit autoimun tertentu
(tabel 7).
Tabel 7. Hubungan antara HLA dan penyakit autoimun
Fenomena autoimun cenderung dijumpai pada satu keluarga
tertentu.Misalnya, anggota keluarga generasi pertama (saudara kandung,
orang tua dan anak-anak) dari penderita penyakit Hashimoto
mengandung autoantibodi (gambar 5) dan tiroiditis yang nyata maupun
yang subklinis dengan angka kekerapan tinggi. Persentase anggota
keluarga yang mengandung autoantibodi lebih tinggi dalam keluarga
23
dengan lebih dari seorang anggota keluarga menderita penyakit itu.
Penelitian paralel mengungkapkan hubungan serupa dalam keluarga
penderita anemia penisiosa yang menunjukkan bahwa antibody terhadap
sel-sel parietal sering dijumpai pada anggota keluarga yang cenderung
menderita aklorhidria dan gastritis. Antibodi terhadap mitokondria sering
dijumpai dalam satu keluarga yang anggota keluarganya menderita
sirosis bilier primer, walaupun kekerapannya lebih sedikit. Kembali pada
SLE, pernah dilaporkan adanya gangguan sintesis imunoglobulin dan
kepekaan untuk menderita penyakit jaringan ikat, tetapi mengenai hal ini
masih ada pertentangan yang belum dapat dipecahkan.
Gambar 5. Autoantibodi terhadap tiroid dan lambung pada anggota
keluargagenerasi pertama penderita penyakit Hashimoto dan anemia
pernisiosa
24
Hubungan dalam keluarga ini dapat disebabkan oleh faktor
lingkungan misalnya kuman penyebab infeksi, tetapi ada bukti bahwa
peran satu atau lebih komponen genetik perlu dipertimbangkan secara
serius. Pertama-tama, bilatiroiditis terjadi pada kembar, kemungkinan
bahwa keduanya menderita penyakit yang sama lebih besar pada kembar
identik dibanding kembar tidak identik. Kedua, autoantibodi terhadap
tiroid lebih sering dijumpai pada penderita dengan disgenesis ovarium
yang menunjukkan aberasi kromosom X misalnya XO khususnya
kelainan isokromosom X. Selain itu, ada hubungan yang kuat antara
beberapa penyakit autoimun dengan spesifisitas HLA, misalnya DR3
pada penyakit Addison dan DR4 pada artritis reumatoid (tabel7). Analisis
polimorfisme pada VNTR (variable number of tandem repeat)
mengungkapkan hubungan kepekaan terhadap diabetes non-insulin
dependen pada individu dengan HLA-DR4.
b. Faktor hormon dan seks
Hormon dari kelenjar tiroid, hipotalamus dan adrenal memang
diketahuimempengaruhi homeostasis sistem imun dan rangsangan
terhadap antigen.
Hormon seks berbeda yang terdapat pada pria dan wanita mungkin
juga berperan pada kekerapan untuk menderita penyakit
autoimun.SLEdan artritisreumatoid lebih kerap berlaku pada wanita, dan
myasthenia gravis lebih kerap berlaku pada pria.
25
Gambar 6. Angka kekerapan penyakit autoimun yang meningkat pada
wanita
Ada kecenderungan umum bahwa penyakit autoimun lebih sering
dijumpai pada wanita dibanding pria (gambar 6). Alasan pasti untuk hal
ini belum diketahui. Ada kemungkinan bahwa kadar estrogen yang tinggi
dijumpai pada penderita dan mencit dengan SLE. Kehamilan sering
dikaitkan denganmakin beratnya penyakit, terutama pada artritis
reumatoid, dan kadang-kadang terjadi kekambuhan setelah melahirkan,
pada saat mana terjadi perubahan kadar hormon yang drastis dan
hilangnya plasenta. Juga harus dicatat sering terjadi hipotiroidi
postpartum pada wanita yang sebelumnya telah menderita penyakit
autoimun.
c. Faktor mikroba (infeksi dan kemiripan molekular)
Banyak infeksi yang menunjukkan hubungan dengan penyakit autoimun
tertentu. Beberapa bakteri memiliki epitop yang sama dengan antigen
26
selsendiri. Respons imun yang timbul terhadap bakteri tersebut dapat
bermula pada rangsangan terhadap sel T yang selanjutnya merangsang
pula sel B untuk membentuk autoantibodi (gambar 7).
Gambar 7. Pembentukan autoantibodi
Infeksi virus dan bakteri dapat berkontribusi dalam terjadinya eksaserbasi
autoimunitas. Pada kebanyakan hal, mikroorganisme tidak dapat
27
ditemukan atau diisolasi. Kerusakan tidak disebabkan oleh penyebab
mikroba, tetapi merupakan akibat respons imun terhadap jaringan pejamu
yang rusak. Infeksivirus sebelum berlaku penyakit telah dikaitkan
denganSLE, sklerosis multipel dandiabetes.
Gambar 8. Streptokok grup A dan demam reumatik
Contoh penyakit yang ditimbulkan oleh kemiripan dengan antigen sendiri
adalah demam reumatik (karditis reumatik) pasca infeksi streptokokus
28
grup A, disebabkan antibodi terhadap streptokok yang diikat jantung dan
menimbulkan miokarditis. Homologi juga ditemukan antara antigen
protein jantung dan antigen klamidia dan tripanosoma cruzi. Keduanya
berhubungan dengan miokarditis (tabel 8 dan gambar 9).
Gambar 9. Kemiripan pada autoimunitas
29
Contoh lainnya, penyakit sifilis yang disebabkan oleh Treponema
pallidum, antibodi yang dihasilkan terhadap organisma ini mungkin
bertindak terhadap antigen eritrosit dan menghasilkan anemia.
Pada penderita Hepatitis C dapat ditemukan berbagai autoantibodi.
Infeksi saluran cerna oleh salmonela, sigela atau kampilobakter
dansaluran kencing oleh klamidia trakomatis atau ureaplasma urealitikum
dapat memacu sindrom Reiter. Inflamasi insersi tendon dan ligamen pada
tulang merupakan ciri sindrom Reiter dan artritis reaktif.
Berbagai infeksi yang berhubungan dengan eritema nodosum terlihat
pada tabel 10.
Tabel 10. Infeksi yang berhubungan dengan eritema nodosum
d. Faktor non mikroba (lingkungan, makanan dan obat)
Sinar matahari merupakan perangsang timbulnya kelainan kulit
padaSLE. Pemaparan pada larutan organik dapat mengawali penyakit
autoimun membran basal yang menyebabkan sindroma Good-pasture –
perhatikan frekuensi tinggi penyakit ini pada individu dengan HLA-DR2
yang bekerja pada perusahaan ”dry-cleaning” atau terpapar pada minyak
30
syphon yang berasal dari tanki minyak syphon orang lain. Keadaan yang
lebih mengherankan adalah terjadinya penyakit yang sama pada tikus
Brown Norway yang disuntik dengan air raksa, tetapi hal itu memang
terjadi.
Diet mungkin merupakan salah satu faktor. Minyak ikan
yangmengandung asam lemak tak jenuh omega-3 yang berantai panjang
dianggap menguntungkan bagi penderita artritis reumatoid.
Beberapa jenis penyakit yang disebabkan oleh obat misalnya
SLE,trombositopenia, miastenia gravis, anemia hemolitik autoimun dan
lain-lain. Berbagai obat dapat memacu LES (tabel 11), misalnya
hidralazin, metildopa, prokainamid, sulfalazin, penisilamin,
klorpromazin, sitokin, antibodimonoklonal, kinidin dan kinin,
antikonvulsan (fenitoin, mefenitoin, etoksuksidin, trimetadion,
karbamazepin, valproat dan primidon). Antibodi antifofolipid diinduksi
obat-obatan yang sama yang menginduksi LES, terutama klorpromazin,
fenotiazin dan quinidin. Obat (penisilamin) dapat menginduksi pemfigus
dengan efek direk terhadap epidermis atau indirek melalui modifikasi
sistem imun. Sejumlah obat seperti α-metil-dopa, iproniazid, minosiklin,
asamtienilik, klometasin, halotan dan herbal dai-saiko dapat menginduksi
hepatitis melalui produksi autoantibodi organ non spesifik. IFN-α dan
IFN-β, GM-CSFdan IL-2 dilaporkan berhubungan dengan timbulnya atau
eksaserbasi psoriasis.20
Mekanismenya dihubungkan dengan kemiripan profil Th1 pada
psoriasisidiopatik. Diduga bahwa β-bloker dapat menginduksi psoriasis
melalui ikatan dengan reseptor β di kulit, sehingga menjadi lebih
imunogenik. Antibodi terhadap reseptor yang diproduksi lagi akan
merusak fungsi dan terjadinya psoriasis. Anemia hemolisisdapat terjadi
pada individu rentan yang memakaiantibiotik penisilin.
31
Tabel 11. Obat-obat yang berhubungan dengan LES
e. Sequestered antigen
Sequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak
anatominya,tidak terpajan dengan sistem imun. Pada keadaan normal,
sequestered antigen tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun. Antigen-
32
antigen yang terdapat dalam beberapa tempat tertentu seperti otak, ovari,
plasenta, testis, uterus dan kebuk mata anterior dianggap sebagai antigen
istimewa (immunologically privilege sites) dan tidak mempengaruhi
reaksi imun dalam keadaan normal karena tidak interaksi antara antigen
ini dengan sel T. Perubahan anatomik dalam jaringan seperti inflamasi
(sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia atautrauma), dapat
memajankan sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak terjadi
pada keadaan normal. Contohnya protein intraokular dan sperma.
Uveitis autoimun pasca vasektomi diduga disebabkan respons autoimun
terhadap sequestered antigen.Inflamasi jaringan dapat pula menimbulkan
perubahan struktur pada self antigen dan pembentukan determinan baru
yang dapat memacu reaksi autoimun(gambar 10).
Gambar 10. Penglepasan sequestered antigen
33
f. Kegagalan autoregulasi
Regulasi imun berfungsi untuk mempertahankan homeostasis. Gangguan
dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respons
MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-β) dan gangguan
respons terhadapIL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga
bergantung pada sel Ts atauTr. Bila terjadi kegagalan sel Ts atau Tr,
maka sel Th dapat dirangsang sehingga menimbulkan autoimunitas.
g. Aktivasi sel B poliklonal
Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal olehvirus
(EBV), LPS dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara
langsung yang menimbulkan autoimunitas. Antibodi yang dibentuk
terdiri atas berbagai autoantibodi (gambar 11).
Gambar 11. Aktivasi anergi anti-self sel B
34
BAB III
PATOGENESIS, DIAGNOSIS, DAN PENGOBATAN
A. DAMPAK PATOGEN AUTOANTOBODI HUMORAL
1. Darah
Antibodi terhadap eritrosit memegang peranan dalam destruksi eritrosit pada
anemia hemolitik autoimun 1.
2. Reseptor Permukaan
a. Tiroid
Ada alasan untuk percaya bahwa pembesaran kelenjar tiroid
padatirotoksikosis disebabkan oleh aktivitas antibody yang bereaksi
dengan reseptor pertumbuhan dan secara langsung merangsang
pembelahan sel.
b. Otot
Kelemahan otot sementara yang tampak pada bayi yang dilahirkan oleh
ibudengan miastenia gravis mengingatkan kita pada trombositopenia dan
hipertiroidi neonatal akibat masuknya IgG ibu melewati plasenta dan
padakasus ini IgG tersebut memiliki kemampuan menghambat
transmisineuromuscular. Dukungan kuat terhadap anggapan ini
diperlihatkan olehadanya antibody terhadap reseptor asetilkolin otot
(ACh-R)secara konsisten pada penderita miastenia dan tidak adanya
reseptor ini pada saraf otot
c. Lambung
Kerusakan histopatologik yang mendasari anemia pernisiosa adalah
gastritisatopik dengan infiltrasi sel-sel radang mononuclear disertai
degenerasi kelenjar sekresi dan kegagalan memproduksi asam lambung.
Terjadinya aklorhidriahampir selalu meningkat sejalan dengan
peningkatan aktivitas antibody yang menghambat pompa proton
lambung, suatu ATP-ase yang bergantung padaH+, K+ yang terdapat
pada membrane kanalikuli sekretorik dan mungkin juga reseptor gastrin
35
d. Reseptor seluler lain
Beberapa penderita dengan alergi atopik mengandung antibody
penghambat terhadap reseptor β-adrenergik dan hal ini dapat merupakan
salah satu tipe diantara berbagai factor yang dapat mengganggu
sensitivitas dasar sel mastositdan menyebabkan seseorang mempunyai
resiko tinggi menderita penyakit tersebut. Antibodi yang menutup
reseptor insulin merupakan jenis antibody yang dapat dijumpai pada
penderita akantosis nigrikans (tipe B) disertai resistensi terhadap insulin
3. Jaringan Lain
a. Saluran Cerna
Gastritis atropik jangka panjang yang mempunyai sel parietal tapi tidak
mempunyai antibody terhadap factor intrinsic tidak menunjukkan
keseimbangan B12. Anemia pernisiosa timbul bila antibody terhadap
factor intrinsic memperberat gastritis atopik.
b. Kulit
Suatu antibody dapat menyebabkan penyakit pemfigus vulgaris bila ia
dapatmengenali dan bereaksi dengan antigen 130 kDa pada sel epitel
skuamosa yangmerupakan salah satu jenis molekul adhesi dalam
kelompok cadherin. Samahalnya, antibody teerhadap desmoglein juga
merupakan kandidat untuk penyebab timbulnya gelembung epidermis
pada pemfigus foliaseus
c. Sperma
Pada beberapa pria infertile, antibody pengaglutinasi menyebabkan
agregasisperma dan menyebabkan gangguan penetrasi sperma ke dalam
lender serviks
d. Membran Sel Glomerulus (g.b.m)
Biopsi-biopsi ginjal pada penderita glomerulonefritis tertentu, khususnya
yang berhubungan dengan hemoragi paru (sindroma Goodpasteur),
menunjukkanendapan linier IgG dan C3 sepanjang membrane basal
pembuluh darah kapiler glomerulus. Setelah nefrektomi, antibody
terhadap g.b.m dapat dideteksi dalam serum. Lerner dkk melarutkan
36
antibody g.b.m dari ginjal yang sakit dan menyuntikkannya pada monyet.
Antibodi dengan cepat mengendap pada g.b.m hewan resipien dan
menimbulkan nefritis yang fatal. Sulit mengelak dari kesimpulan bahwa
kerusakan pada manusia merupakan akibat langsung penyerangan g.b.m
oleh antibody pengikat komplemen ini. Kelaianan paru pada sindroma
Goodpasteur disebabkan reaksi silang dengan beberapa diantara antibody
g.b.m.
e. Jantung
Lupus eritematous neonatal adalah penyebab utama terjadinya “complete
heart block’ congenital yang menetap. Hampir semua kasus dihubungkan
dengan anti-La/SS-B atau anti-Ro/SS-A maternal dengan titer tinggi.
Jantung ibu tidak terkena. Alasannya adalah karena anti-Ro dapat
berikatan dengan jaringan jantung neonatus tetapi tidak dengan jaringan
jantung dewasa, kemudian mengganggu arus listrik transmembran
dengan menghambat repolarisasi. Ig Ganti-Ro masuk ke dalam sirkulasi
janin melalui plasenta, dan walaupun jantungmaternal dan janin
keduanya terpapar pada antibodi itu, hanya jantung janinyang terkena.
B. DAMPAK PATOGEN KOMPLEKS DENGAN AUTOANTIGEN
1. Lupus Eritematosus Sistenik (SLE)
Bila autoantibody dibentuk terhadap komponen terlarut kemudian terus-
menerus terpapar padanya, akan terbentuk kompleks yang dapat
mengakibatkan kerusakan yang menyerupai kerusakan pada serum sickness,
terutama bila defek pada komponen komplemen klasik menghambat
pembersihan secara efektif. Jadi walaupun defisiensi komplemen homozigot
jarang menyebabkan SLE yang merupakan model pertama penyakit kompleks
imun, ia mewakili genotip kepekaan penyakit yang paling kuat yang
ditemukan sejauh ini; lebih dari 80% kasus dengan defisiensi C1q dan C4
homozigot menunjukkan SLE. Ada banyak variasi autoantigen pada
lupus,banyak diantaranya terdapat dalam nucleus, dan yang paling
37
patonemonik adalah DNA untaian ganda. Kompleks DNA dan antigennucleus
lain, bersama-sama dengan imunoglobin dan komplemen dapat dideteksi
dengan pewarnaan imunofloresensi biopsy ginjal penderita disfungsi ginjal.
Selamafase aktif penyakit, kadar komplemen serum menurun karena
komponen itu terikat dalam agregat imun dalam ginjal dan sirkulasi.
Pengendapan kompleks dapat tersebar luas dan walaupun 40% penderita
dapat menderita kelaianan ginjal, kerusakan organ yang umumnya terjadi
adalah 98% pada kulit, 98% pada sendi/otot, 64% pada paru, 60% pada darah,
60% pada otak dan 20% pada jantung
2. Atritis Reumatoid
Kelaianan sendi pada arthritis rheumatoid pada dasarnya disebabkan oleh
pertumbuhan ganas sel-sel sinovial sebagai suatu selaput yang melapisi dan
merusak tulang rawan dan tulang. Membran sinovial yang mengelilingi dan
membentuk rongga sendi menjadi sangat seluler sebagai akibat
hipereaktivitas imunologik seperti yang ditunjukkan oleh adanya sejumlah
besar sel-T, terutamaCD4, dalam berbagai stadium maturasi, biasannya
disertai sel-sel dendrite danmakrofag; gumpalan sel-sel plasma sering terlihat
dan bahkan kadang-kadang folikel sekunder dengan pusat-pusat germinal
seolah-olah membrane synovial menjadi kelenjar limfe yang aktif. Memang
telah diduga bahwa sintesis immunoglobulin oleh membrane sinovial
setingkat dengan yang dilakukan oleh kelenjar limfe yang distimulasi.Sintesis
autoantibody terhadap bagian Fc IgG yang dikenal sebagai antiglobulin atau
factor rheumatoid, merupakan cirri khas penyakit ini, dijumpai pada hampir
semua penderita dengan arthritis rheumatoid Salah satu hal yang menarik
pada arthritis rheumatoid adalah penemuan bahwa IgG peenderita mengalami
glikosilasi yang abnormal. Gangguan glikosilasi ini dapat menyebabkan
perubahan pada struktur Fc dengan 3 kemungkinan:
a. Fc mempunyai sifat autoantigenitas yang meningkat
38
b. Kompleks IgG yang saling berikatan dapat lebih kuat terikat satu
dengan yanglain bla galaktosa terminal pada karbohidrat Fab IgG sesuai
dengan bagianlektin pada CH2 yang kosong akibat tidak adanya
galaktosa pada karbohidratFc
c. Interaksi dengan reseptor Fcγ pada sel-sel efektor tertentu atau dengan
system komplemen dapat dimodifikasi
Peningkatan kasdar agalakto-IgG tidak tampak pada arthritis reaktif yang
dirangsang oleh yersina atau chlamidia, juga tidak pada radang kronik yang
lain,tetapi kadar abnormal tinggi dapat dijumpai pada infeksi tuberculosis
aktif,sehingga mendukung duugaan bahwa orgabisme yang tumbuhnya
lambat (mikobakteria) dapat merupakan pencetus penyakit. Pasangan
penderita arthritisrheumatoid juga cenderung mempunyai kadar agalakto-IgG
yang tinggi; apakah ini bukti adanya agen infeksi?
Telah diketahui bahwa wanita hamil yang menderita arthritis rheumatoid
menunjukkan remisi penyakit bila kehamilannya mendekati cukup bulan
tetapi kambuh post partum; bila arthritis rheumatoid menunjukkan remisi,
kadar agalakto-IgG menurun dan bila penyakinya kambuh setelah melahirkan
kadar agalaktosa Ig-G menjadi normal kembali, sehingga menunjukkan
keterlibayannya pada proses penyakit. Penelitian jangka panjang pada
populasi Indian Pima yang hidup berkelompok dan menunjukkan angka
kekerapan arthritis rheumatoid yang tinggi, mengungkapan bahwa perubahan
pada galaktosa IgG merupakan penanda dini bahwa seseorang akan menderita
penyakit ini dikemudian hari kompleks sehingga ini dapat mempunyai nilai
prognostic.
Kompleks dapat distabilkan oleh molekul pengikat-Fcγ multivalent, factor
rheumatoid IgM dan C1q, dan bila terdapat pada rongga sendi ia dapat
mencetuskan reaksi Arthus yang berakibatkan influks sel-sel polimorf, sel-sel
ini kemudian bereaksi dengan kompleks dan menghasilkan reaktiv oxygen
intermediate; (ROI)dan enzim lisosom. Termasuk diantaranya, proteinase dan
kolaginase yang dapat merombak proteoglikan dan fibril kolagen. Kerusakan
lebih lanjut terjadi apabila skompleks itu melekat pada tulang rawan karena
39
kompleks daapat diikat pada permukaann sel polimorf tetapi tidak terjadi
internalisasi (fagosit yag frustasi); akibatnya adalah dilepaskannya hidrolase
lisosom keluar sel dan masuk ke dalam celah antara sel dengan tulang rawan
sehingga ia terlindung dari inhibitor enzimseperti α2-makroglobulin. Agregat-
agregat ini juga dapat merangsang sel-sel seperti makrofag pada batas
sinovial, baik secara langsung melalui reseptor permukaan atau secara tidak
langsung melalui fagositosis dan resisten terhadap perombakan intraseluler.
Sel sinovial yang teraktivasi tumbuh sebagai selaput ganas yang menutupi
tulang rawan dan pada batas jaringan granulasi yang makin lama makin tebal
ini dapat dilihat pengrusakan, yang hampir pasti disebabkan pelepasan
enzim,ROI, dan khususnya IL-1, IL-6, dan TNFα. Makrofag yang teraktivasi
jugamensekresi activator plasminogen dan plasmin yang terbentuk
kemudianmengadakan kolagenase laten yang diproduksi oleh sel sinovial.
Sensitasi pada kolagen yang dirombak partial, menyebabkan kerusakan lebih
parah. Produk yang disekresi oleh makrofag yang distimulasi dapat
mengaktifkan sel kondrosit yang merombak tulang rawan lebih lanjut, dan
munculnya osteoklas yang menyebabkan resorpsi tulang, dan hal ini
mrupakan komplikasi lebih lanjut pada penyakit yang parah. Nodul subkutan
berbentuk granuloma yang mungkin terjadi akibat produksi local antiglobulin
tak terlarut yang saling berikatan.
C. HIPERSENSITIVITAS DENGAN PERANTARAAN SEL-T SEBAGAI
FAKTOR PATOGEN PADAPENYAKIT AUTOIMUN
1. Artritis Reumatoid
Sinovium yang terkena radang kronik penuh dengan sel-T yang teraktivasi
dan perannya yang penting pada proses penyakit. Seperti dijelaskan
sebelumnya bahwasekresi TNFα dan GM-CSF oleh sel-T akan menyebabkan
pembentukan selaput ganas dengan konsekuensi erosi tulang rawan dan
tulang.
40
2. Penyakit Endokrin Spesifik Organ
a. Tiroiditis Autoimun
Infiltrat radang pada tiroiditis autoimun biasanya hanya terdiri atas sel-
selmononuclear dan walaupun bukan merupakan petunjuk pasti, hal ini
dianggap menunjukkan hipersensitivitas sel-T Bukti kuat partisipasi
langsung limfosit-T masih harus dicari walaupun adanya molekul kelas II
pada tirosit penderita dansel-T spesifik antigen dalam kelenjar tiroid
sesuai dengan adanya keterlibatan selini
b. Diabetes Melitus Insulin-Dependen (IDDM)
Seperti halnya pada tiroiditis autoimun, pada IDDM terdapat infiltrasi
radangkronik dan destruksu jaringan spesifik, yaitu destruksi sel-selβ
pulau Langerhans pancreas yang memproduksi insulin. Kelambatan
timbulnya awal penyakit yangdisebabkan oleeh pengobatan awal
siklosporin A dengan kadar yang hanyamemberi dampak sedikit pad
produksi antibody, menunjukan bahwa sel-T efektor adalah penyebab
destruksi karena obat itu ditujukan pada sintesis sitokin oleh sel-T secara
sspesifik. In vitro, respons sel T terhadap antigen-antigen sel
pulau,termasuk glutamic acid decarboxylase, secara langsung
menggambarkan resiko perkembangan ke arah IDDM klinik. Dalam
percobaan pada mencit diabetic non obese (NOD) yang menderita
penyakit diabetes spontan yang sangat mirip dengan IDDM pada manusia
dalam perangai histologik dan berbagai respon autoimunnya. Transfer sel
T yang berasal darimencit diabetic dapat mencetuskan diabetic dini pada
NOD muda; sel-sel CD4+menyebabkan infiltrasi sekitar sel pulau dan
CD8+ menimbulkan insulitis destruktif dalam sel pulau.
c. Sklerosis Multipel (SM)
Dugaan bahwa MS mungkin merupakan penyakit autoimun telah lama
diramalkan berdasarkan kemiripan morfologik dengan ensefalomielitis
41
alergik eksperimental (EAE), yaitu suatu penyakit dengan demielinasi
yang berakibat paralysis motorik. Diduga bahwa sel-T mencetuskan
radang local pada sel-sel endotel jaringan sawar darah-otak yang
menyebabkan antibody dari darah bisa masuk ke dalam jaringanotak
D. NILAI DIAGNOSTIK TES AUTOANTIBODI
Autoantibodi dalam serum sering memberikan penanda diagnostic yang
bermakna.Tes rutin yang paling berguna adalah skrining serum dengan
imunofluoresen pada jaringan potong beku yang diperoleh dari blok berisi
campuran jaringan tiroid danlambung manusia serta ginjal an hati tikus yang
tidak difiksasi. Tes ini dilengkapidengan tes aglutinasi untuk mendeteksi factor
rheumatoid dan tiroglobulin, tiroid peroksidase dan anti-eritrosit serta tes ELISA
untuk mengukur kadar antibodyterhadap factor intrinssik, DNA dan IgG
E. PENGOBATAN PENYAKIT AUTOIMUN
1. Pegontrolan Metabolik
Pada banyak penyakit spesifik organ, upaya memperbaiki metabolisme,
biasanya mencukupi, misalnya pemberian tiroksin pada miksedema primer,
insulin padadiabetes juvenile, vitamin B12 pada anemia pernisiosa, obat
abtitiroid pada penyakit Graves, dan lain-lain. Obat antikolinergik biasanya
digunakan untuk pengobatan jangka panjang miastenia gravis; timektomi
bermanfaat untuk sebagian besar kasus dan dapat dimengerti bahwa kelenjar
pada keadaan imunogenik tertentu mengandung reseptor terhadap Ach
2. Obat Anti Inflamasi
Penderita dengan gejala miastenia berat memberikan respon baik terhadap
steroiddosis tinggi, demikian pula prnyakit autoimun berat yang lain,
42
misalnya SLE dan nefritis kompleks imun di mana obat-obat itu mengurangi
lesi inflamasi.Pada Artritis rheumatoid, selain steroid, obat anti inflamasi
seperti salisilat dan obat sintetik penghambat prostaglandin yang gtak
terhitung banyaknya digunakan secara luas. Sulfasalazin, penisilamin, garam
emas dan anti malaria sepertiklorokuin, semuanya mendapat tempat penting
dalam tempat pengobatan, tetapi cara kerjanya tidak diketahui.
3. Obat Imunosupresif
Pada dasarnya karena siklosporin menghambat sekresi limfokin oleh sel-T,
iadisebut obat anti inflamasi dank arena limfokin seperti IL-2 pada keadaan
tertentu juga dapat meningkatkan proliferasi, siklosporin juga dapat dianggap
sebagai obatanti mitotic. Obat ini telah terbukti bermanfat pada uveitis,,
diabetes dini tipe I,sindroma nefrotik dan psoriasis, dan terbukti menunjukkan
manfaat moderat pada purpura trombositopenia idiopatik, SLE, poliomiositis,
penyakit Crohn, sirosis bilier primer dan miastenia gravis. Pada uji klinik
obat dengan cara ‘double blind’acak, siklosporin menunjukkan penekanan
gejala penyakit secara bermakna selama12 bulan walaupun tidak lengkap
pada kelompok penderita arthritis rheumatoid yang sebelumnya refrakter.
4. Strategi Pengontrolan Imunologik
a. Manipulasi Seluler
Penguatan antigen jelas merupakan peristiwa berkelanjutan pada
penyakitautoimun, sehingga anti CD4 seharusnyya dapat dipakai sebagai
obat yangideal bagi penyakit ini kalau sel T masaih mampu menerima
sinyal tolerogenik alami untuk menghentikan reaksi; hal ini mungkn
tidak terjadi pada tiap kasustetapi pengobatan ini merupakan cara yang
baik untuk menguji apakahmekanisme pengeenalan CD4 masih normal.
b. Pengontrolan Idiotip dengan antibody
Aktivitas imunosupresif yang kuat dari antibody-antiidiotip
menimbulkan banyak harapan akan kemungkinan mengendalikan
produksi antibody denganmemprovokasi interaksi yang tepat dalam
43
system imun. Makin lama makin disadari bahwa secara umum,
penekanan autoimun yang lebih mendasar dapat berhasil dengan
mengunakan unsur-unsur internal jaring-jaring idiotip dan bukan dengan
reagen antiidiotip pyang dihasilkan oleh spesies lain.Yang aneh adalah
bahawa penyuntikkan Ig yang dikumpulkan dari banyak donor normalke
dalam vena menunjukan hasil baik pada sejumlah prnyakit darah
autoimun,abortus berulang diserta antikardiolipin, dermatomiositis
juvenile dan penderitadengan autoantibodii terhadap prokoagulan factor
VIII. Yang terkhir telah diteliti secara rinci dan dampak hambatan fraksi
(Fab’) Ig normal membuktikan bahwa hal itu merupakan reaksi
antiidiotip; seolah-olah Ig normal itu menyusun kembali jaring-jaring
yang dikontrol dengan benar.
c. Vaksinasi dengan idiotip sel-T
Vaksinasi dengan sel-T meningkatkan kinbetik respon terhadap
antigen,meniadakan penekanan spesifik antigen, mengaktifkan sel-T
antiidiotipik danmenghambat arthritis. Munculnya antiidiotip dan
supresor spesifik antigenyang amat cepat segera setelah imunisasi dengan
protein 65 kDa yangdipanaskan merupakan bukti kuat bahwa
sebelumnya telah ada jarring-jaring yang berhubungan dengan epitop
pada antigen seperti yang dianggap dalam konsep ‘immunological
homunculus’. Bila gangguan fungsi jarring-jaring itu menyebabkan
penyakit autoimun, vaksinasi dengan epitop reseptor sel-T merupakan
upaya yang logis untuk mendapatkan kembali control normal.
d. Manipulasi dengan menggunakan antigen
Tujuannya adalah menampilkan antigen yang bersalah dalam konsentrasi
yang cukup dan dalam bentuk demikian rupa hingga ia menghentikan
respon autoimun yang sedang berlangsung. Salah satu strategi adalah
mendesain peptide analog yang akan berikatan erat dengan molekul
MHC yang tepat dan menghentikan respon terhadap autoantigen.
44
e. Plasmaferesis
Penggantian plasma untuk menurunkan derajat endapan kompleks imun
padaSLE hanya menghasilkan manfaat sementara tetapi bermanfaat pada
kasus arthritis yang membahayakan. Hasil yang baik dijumpai pada
sindroma Good pasteur bila tindakan ini diterapkan bersama-sama
dengan obat anti-mitotik, rrasionalnya adalah meningkatkan
kecenderungan membelah diri padasel-sel yang reaktif terhadap antigen,
karena dampak umpan balik IgG akan berkurang bila protein plasma
dikeluarkan
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Teori Autoimunitas. Maret 2008,dari
:http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/09/teori-autoimunitas.html
2. Penyakit Autoimun. Dalam :Imunologi Klinik
3. Baratawidjaja, K.Autoimunitas.Dalam :Imunologi Dasar ed. ke-10.
Jakarta:Balai Perbit FKUI; 2006 : 304– 334.
4. Kresno, S. Penyakit Autoimun.Dalam :Imunologi : Diagnosis dan
ProsedurLaboratorium.Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001 : 286 – 307.
5. Baratawidjaja, K., Rengganis, I.Imunologi Dasar. Dalam :Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI; 2006
6. Subowo.Otoimunitas dan Penyakit Otoimun. Dalam : Imunologi
Klinik .Bandung : Penerbit Angkasa Bandung; 1993 : 37 – 70.
7. Danial. Penyakit – Penyakit Autoimun. 2008, dari
:http://pkukmweb.ukm.my/~danial/Penyakit%20autoimun.html32
m/doc/61604133/Makalah-Imunologi
46