Post on 07-Jul-2016
LAPORAN PENDAHULUAN KLIEN DENGAN ADULT RESPIRATORY DISTRESS SYNDROM (ARDS)
DI RUANG PERIN RSUD dr. SOEBANDI KABUPATEN JEMBER
disusun guna memenuhi tugas pada Program Pendidikan Profesi NersStase Keperawatan Maternitas Anak
oleh:M. Nurhamzah Fahiqi, S. Kep.
NIM 112311101062
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER2016
1. Kasus (Masalah Utama) (Diagnosa Medis)
Adult Respiratory Distress Syndrom (ARDS)
2. Proses Terjadimya Masalah (Pengertian, Penyebab, Patofisiologi,
Manifestasi Klinis, Komplikasi)
A. Pengertian
Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress
syndrome - ARDS) merupakan manifestasi cedera akut paru-paru,
biasanya akibat sepsis, trauma, dan infeksi paru berat. Secara klinis, hal
ini ditandai dengan dyspnea, hipoksemia, fungsi paru-paru yang
menurun, dan infiltrat difus bilateral pada radiografi dada Gawat nafas
dan hipoksemia akut terjadi dalam 72 jam setelah masalah tersebut
terjadi pada anak yang terjadi pada anak sehat (Thilo & Rosenbreg,
2011).
Sindrom distres respiratorik akut merupakan bentuk edema
pulmoner yang menyebabkan gagal respiratorik akut dan disebabkan
oleh meningkatnya permeabilitas membran alveolokapiler. Cairan
terakumulasi dalam interstisium paru-paru dan ruang alveolar. ARDS
parah bisa menyebabkan hipoksemia yang sulit disembuhkan dan fatal,
tetapi pasien yang sembuh mungkin hanya mengalami sedikit kerusakan
paru-paru atau tidak sama sekali (Farid, 2006).
B. Etiologi
ARDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena
kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak
kehamilan minggu ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula
kemungkinan terjadi ARDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi
surfaktan pada ARDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal
diabetes, seksual sesaria.. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang
matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap
berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana
surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru
kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya
muncul segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
ARDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur.
Sindrom ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru,
sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini. Kelainan
dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/
pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH), pneumonia,
aspirasi. Faktor-faktornya antara lain :
1. Faktor ibu
Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, gravida emmpat atau lebih,
sosial ekonomi rendah maupun penyakit pembuluh darah ibu yang
mengganggu pertukaran gas janin seperti hipertensi, penyakit
diabetes mellitus, dan lain-lain.
2. Faktor plasenta
Faktor plasenta meliputi sulosio plasenta, pendarahan plasenta,
plasenta kecil, plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada
tempatnya.
3. Faktor janin
Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali pusat
melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir,
kelainan kongenital pada neonaatus dan lain-lain.
4. Faktor persalinan
Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan
lain-lain.
C. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya, ARDS dideskripsikan sebagai gagal
nafas akut yang merupakan akibat dari edema pulmoner oleh sebab non
kardiak. Edema ini disebabkan oleh karena adanya peningkatan
permeabilitas membrane kapiler sebagai akibat dari kerusakan alveolar
yang difus. Selain itu, protein plasma diikuti dengan makrofag, neutrofil,
dan beberapa sitokin akan dilepaskan dan terakumulasi dalam alveolus,
yang kemudian akan menyebabkan terjadinya dan berlangsungnya proses
inflamasi, yang pada akhirnya dapat memperburuk fungsi pertukaran gas
yang ada. Pada keadaan ini membrane hialin (hialinisasi) juga terbentuk
dalam alveoli (Amin & Purwoto,2007)
Secara lebih terperinci patofisiologi ARDS berjalan melalui 3 fase,
yaitu fase eksudatif, fase proliteratif, fase fibrinolitik.
Fase-fase patologi ARDS
1. Fase eksudatif
Fase eksudatif merupakan fase pertama yang timbul pada pasien
ARDS, muncul lebih kurang 12 hingga 36 jam, atau hingga 7 hari sejak
paparan pertama pasien dengan factor risiko. Pada fase ini terjadi
kerusakan dari sel endothelial kapiler alveolar dan pneumosit tipe I,
mengakibatkan penurunan kemampuan sawar alveolar untuk menahan
cairan dan makromolekul. Gambaran histologis berupa eosinofilik padat
membrane hialin dan kolaps alveoli. Sel endotel membesar, sambungan
interselular melebar dan vesikel pinocytic meningkat, menyebabkan
membrane kapiler terganggu dan mengakibatkan kebocoran kapiler.
Pneumosit tipe I juga membesar dengan vacuola sitoplasmik, yang sering
terlihat di membrane basal. Lebih lanjut lagi kelainan ini akan
mengakibatkan terjadinya edema alveolar yang disebabkan oleh
akumulasi sel-sel radang, debris selular, protein plasma, surfaktan
alveolar yang rusak, menimbulkan penurunan aerasi dan atelektaksis.
Keadaan tersebut kemudian akan diperburuk dengan adanya oklusi
mikrovascula dan menyebabkan penurunan dari kemampuan perfusi
darah menuju ke daerah ventilasi (Lorrain et al, 2010)
Kondisi tersebut di atas akan menyebabkan terjadinya sintas
(shunting) interpulmonal dan hipoksemia ataupun pada keadaan lanjut
hiperkarbia, disertai dengan peningkatan kerja nafas yang ditandai
dengan gejala dispnea, takipnea, atau gagal nafas pada pasien. Secara
radiologis, kalainan ronsen thorax yang dapat dijumpai pada fase awal
perkembangan ARDS ini, dapat berupa opasitas alveolar dan interstisial
yang melibatkan setidaknya dua per tiga dari keseluruhan lapangan paru
(Udobi et al, 2003).
2. Fase Proliferatif
Fase perkembangan selanjutnya dari ARDS adalah fase proliferative
yang terjadi pada hari ke-7 hingga ke-21 dari awal gejala. Fase
proliferatif ditandai dengan organisasi eksudat dan fibrosis. Paru-paru
yang tetap berat dan solid, dan secara mikroskopik integritas arsitektur
paru-paru menjadi lebih kaku, kapiler jaringan rusak dan ada
progresifitas penurunan profil kapiler di jaringan. Proliferasi intimal jelas
dalam pembuluh darah kecil lebih lanjut mengurangi daerah luminal.
Ruang interstisial menjadi nekrosis yang melebar, dan mengisi lumen
alveolar dengan leukosit, sel darah merah, fibrin, dan puing-puing sel.
Sel alveolus tipe II berkembang dalam upaya untuk menutupi epitel
permukaan yang gundul dan berdiferensiasi menjadi sel tipe I. Fibroblas
menjadi jelas dalam ruang interstisial dan kemudian di alveolar lumen.
Hasil dari proses ini adalah penyempitan ekstrem atau bahkan kolapnya
ruang udara. Fibrin dan puing-puing sel digantikan oleh fibril kolagen.
Tempat utama fibrosis adalah ruang intra-alveolar, tetapi juga terjadi di
dalam interstitium (Levy et al, 2007).
3. Fase Fibrotik (Fibrosis Alveolitis)
Fase terakhir dari perkembangan ARDS adalah fase fibrotic yang
hanya akan dialami oleh sebagian kecil dari pasien, yakni pada minggu
ke-3 atau ke-4 penyakit. Pada fase ini, edema alveolar dan eksudat
inflamasi yang terlihat pada fase awal penyakit akan mengalami
perubahan menuju fibrosis duktal dan interstisial yang intensif. Struktural
asiner akan mengalami kerusakan yang berat, mengakibatkan terjadinya
perubahan mirip emfisema dengan munculnya bula-bula yang besar.
Fibroproliferasi intimal juga akan terjadi pada jaringan mikrosirkulasi
pulmoner yang pada akhirnya akan menyababkan terjadinya oklusi
vaskular yang progresif dan hipertensi pulmoner. Pada akhirnya
konsekuensi fisiologis yang muncul dari perubahan perubahan yang
terjadi ini adalah adanya peningkatan resiko dari pneumothoraks, reduksi
dari komplians paru, dan peningkatan dari ruang mati (dead space)
pulmoner (Price & Wilson, 2002).
D. Manifestasi Klinis
ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah
kerusakan awal pada paru. Setelah 72 jam 80% pasien menunjukkan
gejala klinis ARDS yang jelas. Awalnya pasien akan mengalami dispnea,
kemudian biasanya diikuti dengan pernapasan yang cepat dan dalam.
Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas pada
ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi
oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar,
serta kadang wheezing (Farid, 2006).
Analisa gas darah pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik
(PaO2 sangat rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH).
Foto toraks biasanya memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus
yang mirip dengan edema paru atau batas-batas jantung, namun siluet
jantung biasanya normal (Ware et al,2000).
PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun
konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini
merupakan indikasi adanya pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis
dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi ventilasi. Keadaan inilah
yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di sana-
sini, bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak
adekuat (Farid, 2006)
E. Komplikasi
Komplikasi jangka pendek
1. Ruptur alveoli
Bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel) pada
bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinis
hipotensi, apnea, atau bradikardia.
2. Infeksi
Infeksi disebabkan perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni
yang dapat timbul karena tindakan invasif.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalicia periventrikular
Perdarahan intraventrikuler terjadi oada 20-40% bayi prematur dengan
frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
4. Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Disebabkan karena penghentian terapi surfaktan.
Komplikasi Jangka Panjang
1. Bronchuspolmonary Dysplasia (BPD)
Disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36
minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan
yang digunakan pada wakyi menggunakan ventilasi mekanik, adanya
infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A.
2. Retinopathy premature
Kegagalan fungsi neurologi terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoksiam komplikasi
intrakranial, dan infeksi.
F. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Selain hipoksemia, gas darah arteri sering awalnya menunjukkan
alkalosis pernapasan. Namun, jika ARDS terjadi dalam konteks sepsis,
asidosis metabolik yang dengan atau tanpa kompensasi respirasi dapat
terjadi (Harman, 2011).
Bersamaan dengan penyakit yang berlangsung dan pernapasan
meningkat, tekanan parsial karbon dioksida (PCO2) mulai meningkat.
Pasien dengan ventilasi mekanik untuk ARDS dapat dikondisikan untuk
tetap hiperkapnia (hiperkapnia permisif) untuk mencapai tujuan volume
tidal yang rendah yang bertujuan menghindari cedera paru-paru terkait
ventilator (Harman, 2011).
Kelainan lain yang diamati pada ARDS tergantung pada penyebab
yang mendasarinya atau komplikasi yang terkait dan mungkin termasuk
yang berikut (Harman, 2011).
a. Hematologi. Pada pasien sepsis, leukopenia atau leukositosis dapat
dicatat. Trombositopenia dapat diamati pada pasien sepsis dengan
adanya koagulasi intravaskular diseminata (DIC). Faktor von
Willebrand (vWF) dapat meningkat pada pasien beresiko untuk
ARDS dan dapat menjadi penanda cedera endotel.
b. Ginjal. Nekrosis tubular akut (ATN) sering terjadi kemudian dalam
perjalanan ARDS, mungkin dari iskemia ke ginjal. Fungsi ginjal
harus diawasi secara ketat.
c. Hepatik. Kelainan fungsi hati dapat dicatat baik dalam pola cedera
hepatoseluler atau kolestasis.
d. Sitokin. Beberapa sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-
8, yang meningkat dalam serum pasien pada risiko ARDS.
b. Radiologi
Pada pasien dengan onset pada paru langsung, perubahan fokal
dapat terlihat sejak dini pada radiograf dada. Pada paien dengan onset
tidak langsung pada paru, radiograf awal mungkin tidak spesifik atau
mirip dengan gagal jantung kongestif dengan efusi ringan. Setelah itu,
edema paru interstisial berkembang dengan infiltrat difus. Seiring
dengan perjalanan penyakit, karakteristik kalsifikasi alveolar dan
retikuler bilateral difus menjadi jelas.Komplikasi seperti pneumotoraks
dan pneumomediastinum mungkin tidak jelas dan sulit ditemuakn,
terutama pada radiografi portabel dan dalam menghadapi kalsifikasi
paru difus. Gambaran klinis pasien mungkin tidak parallel dengan
temuan radiografi. Dengan resolusi penyakit, gambaran radiografi
akhirnya kembali normal (udobi et al, 2003)
ARDS menunjukkan perubahan interstisial dan bercak infiltrat
c. Bronkoskopi
Bronkoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi
kemungkinan infeksi pada pasien akut dengan infiltrat paru bilateral.
sampel dapat diperoleh dengan bronkoskop bronkus subsegmental
dalam dan mengumpulkan cairan yang dihisap setelah meberikan cairan
garam nonbacteriostatic (bronchoalveolar lavage; UUPA). Cairan
dianalisis untuk diferensial sel, sitologi, perak noda, dan Gram stain dan
pemeriksaan kuantitatif (Harman, 2011).
G. Penatalakanaan
Tujuan terapi
1. Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan, umumnya bersifat
suportif
2. Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi dan perfusi jaringan
yang adekuat
3. Mencegah komplikasi nosokomial (kaitannya dengan infeksi)
Farmakologi
a. Inhalasi NO2 (nitric oxide) memberi efek vasodilatasi selektif pada
area paru yan terdistribusi, sehingga menurunkan pirau intrapulmoner
dan tekanan arteri pulmoner, memperbaiki V/Q matching dan
oksigenasi arterial. Diberikan hanya pada pasien dengan hipoksia
berat yang refrakter
b. Kortikosteroid pada pasien dengan usia lanjut ARDS / ALI atau fase
fibroproliferatif, yaitu pasien dengan hipoksemia berat yang persisten,
pada atau sekitar hari ke 7 ARDS. Rekomendasi mengenai hal ini
masih menunggu hasil studi multi senter RCT besar yang sedang
berlangsung.
c. Ketoconazole: inhibitor poten untuk sintesis tromboksan dan
menghambat biosintesisleukotrienes mungkin bisa digunakan untuk
mencegah ARDS
Non-farmakologi
1. Ventilasi mekanis dgn berbagai teknik pemberian, menggunakan
ventilator, mengatur PEEP (positive-end expiratory pressure)
2. Pembatasan cairan. pemberian cairan harus menghitung keseimbangan
antara :
Kebutuhan perfusi organ yang optimal
Masalah ekstra vasasi cairan ke paru dan jaringan : peningkatan
tekanan hidrostatik intravascular mendorong akumulasi cairan di
alveolus.
I. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu dikaji
A. Anamesa
1. Identitas
Identitas klien: Nama, Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Agama, Alamat,
No. RM, Tanggal MRS, Sumber informasi.
2. Keluhan Utama :
Pasien dengan ARDS didapatkan keluhan seperti sesak, mengorok
ekspiratori, pernapasan cuping hidung, lemah, lesu, apneu, tidak responsive,
penurunan bunyi napas.
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pada pasien ARDS, biasanya akan diawali dengan tanda-tanda mudah letih,
dispnea, sianosis, bradikardi, hipotensi, hipotermi, tonus otot menurun,
edema terutama di daerah dorsal tangan atau kaki, retraksi supersternal/
epigastrik/ intercosta, grunting expirasi. Perlu juga ditanyakan mulai kapan
keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan
atau menghilangkan keluhan-keluhan tersebut.
4. Riwayat Penyakit Dahulu :
Perlu ditanyakan apakah pasien mengalami prematuritas dengan paru-paru
yang imatur (gestasi dibawah 32 minggu), gangguan surfactan, lahir
premature dengan operasi Caesar serta penurunan suplay oksigen saat janin
saat kelahiran pada bayi matur atau premature, atelektasis, diabetes mellitus,
hipoksia, asidosis
5. Riwayat Maternal
Meliputi riwayat menderita penyakit seperti diabetes mellitus, kondisi
seperti perdarahan placenta, placenta previa, tipe dan lama persalinan, stress
fetal atau intrapartus, dan makrosomnia (bayi dengan ukuran besar akibat
ibu yang memiliki riwayat sebagai perokok, dan pengkonsumsi minuman
keras serta tidak memperhatikan gizi yang baik bagi janin).
6. Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang terkena penyakit -
penyakit yang disinyalir sebagai penyebab kelahiran premature / Caesar
sehinnga menimbulakan membrane hyialin disease.
7. Riwayat psikososial
Meliputi perasaan keluarga pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku keluarga pasien terhadap tindakan
yang dilakukan terhadap bayinya.
8. Status Infant saat Lahir
a. Prematur, umur kehamilan.
b. Apgar score, apakah terjadi aspiksia.
Apgar score adalah : Suatu ukuran yang dipakai untuk mengevaluasi
keadaan umum bayi baru lahir.
c. Bayi premature yang lahir melalui operasi Caesar
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu (> 60 kali/menit),
pernafasan mendengkur, retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung,
sianosis dan pucat, hipotonus, apneu, gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan
sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas mungkin normal kemudian dengan
menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi parau dan pernapasan dalam.
Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan pernafasan dapat
dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan penilaian fungsi kardiovaskuler.
Penilaian fungsi respirasi meliputi:
1. Frekuensi nafas
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi.
Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha
kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik seperti pada syok, diare,
dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat, dan insufisiensi
ginjal kronik. Frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi
pada hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda
memburuknya keadaan klinik.
2. Mekanika usaha pernafasan
Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi
dinding dada, yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit
alveolar. Anggukan kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang
menandakan terjadi gangguan mekanik usaha pernafasan.
3. Warna kulit/membran mukosa
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat
berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin.
4. Kardiovaskuler
a) Frekuensi jantung dan tekanan darah
Adanya sinus tachikardi merupakan respon umum adanya stress, ansietas,
nyeri, demam, hiperkapnia, dan atau kelainan fungsi jantung.
b) Kualitas nadi
Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan
aliran sirkulasi perifer nadi yang tidak adekwat dan tidak teraba pada satu
sisi menandakan berkurangnya aliran darah atau tersumbatnya aliran darah
pada daerah tersebut. Perfusi kulit kulit yang memburuk dapat dilihat
dengan adanya bercak, pucat dan sianosis.
5. Pemeriksaan pada pengisian kapiler dapat dilakukan dengan cara:
a) Nail Bed Pressure ( tekan pada kuku)
b) Blancing Skin Test, caranya yaitu dengan meninggikan sedikit
ekstremitas dibandingkan jantung kemudian tekan telapak tangan atau
kaki tersebut selama 5 detik, biasanya tampak kepucatan. Selanjutnya
tekanan dilepaskan pucat akan menghilang 2-3 detik.
c) Perfusi pada otak dan respirasi
Gangguan fungsi serebral awalnya adalah gaduh gelisah diselingi agitasi
dan letargi. Pada iskemia otak mendadak selain terjadi penurunan
kesadaran juga terjadi kelemahan otot, kejang dan dilatasi pupil.
C. ADL (Activity daily life)
1. Nutrisi :
Bayi dapat kekeurangan cairan sebagai akibat bayi belum minum atau
menghisap
2. Istirahat tidur
Kebutuhan istirahat terganggu karena adanya sesak nafas ataupun
kebutulan nyaman tergangu akibat tindakan medis
3. Eliminasi
Penurunan pengeluaran urine
D. Diagnosis Keperawatan
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan
imaturitas organ paru, torak, dan defisiensi surfaktan
b. Hipotermi berhubungan dengan imaturitas
organ termoregulasi kulit
c. Resiko Infeksi berhubungan dengan belum
optimalnya sistem imunitas dan paparan lingkungan
d. Gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan hiperkaliemia
e. Gangguan perfusi jaringan perifer
berhubungan dengan saturasi oksigen ke jaringan perifer menurun
f. Resiko cidera berhubungan dengan
menurunya saturasi oksigen
E. Rencana Tindakan Keperawatan
NoDiagnosa
keperawatanTujuan Kriteria hasil Intervensi keperawatan Rasional
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan imaturitas organ paru, torak, dan defisiensi surfaktan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pola nafas efektif.
NOC :Kriteria Hasil: 1. Jalan nafas bersih2. Frekuensi jantung
100-140 x/menit3. Pernapasan 40-60
x/menit4. Takipneu atau
apneu tidak ada5. Sianosis tidak ada
NIC :1. Kaji status pernapasan pasien2. Observasi tanda-tanda vital
pasien3. Observasi tanda-tanda distress
pernapasan (mengorok, cuping hidung, retraksi dada)
4. Bersihkan jalan napas dan pastikan airway paten
5. Atur posisi pasien terlentang dengan leher sedikit ekstensi
6. Berikan terapi O2 sesuai dengan kebutuhan
7. Kolaborasi pemberian terapi medikamentosa.
1. Menentukan status keparahan napas dan menentukan terapi yang diperlukan
2. Memantau keadaan umum pasien
3. Mencegah terjadinya kegawatan gagal napas
4. menghilangkan mucus yang menghalangi jalan napas
5. Mencegah penyempitan jalan napas dan membuka jalan napas
6. Memenuhi kebutuhan oksigen pasien
2. Hipotermi berhubungan dengan imaturitas organ termoregulasi kulit
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan suhu tubuh tetap normal (36,5-37,5 °C).
NOC : Kriteria Hasil :
- Suhu 36,5-37,5 °C- Bayi tampak tidak
kedinginanAkral hangat
NIC: Wound Care1. Kaji dan observasi perubahan
suhu pasien2. Atur lingkungan yang nyaman
bagi bayi3. Tempatkan bayi pada tempat
yang hangat (incubator, extra lamp)
4. Atur suhu inkubator
1. Memonitor perkembangan dan perubahan suhu bayi
2. Menciptakan lingkungan yang nyaman untuk bayi
3. Mencegah memburuknya penurunan suhu bayi
4. Menjaga kestabilan suhu tubuh bayi
5. Ganti bedong atau pakaian bayi jika basahKolaborasi pemberian terapi medikamentosa sesuai indikasi
5. Menghindari kehilangan panas bayi melalui perpindahan panas
Mengobati penyebab dan mengurangi gejala
3. Resiko Infeksi berhubungan dengan belum optimalnya sistem imunitas dan paparan lingkungan
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien bebas dari infeksi.
NOC: Kriteria Hasil: 1. Tidak ada demam2. Tidak ada tanda-
tanda infeksi (rubor, 3. Tanda-tanda vital
dalam batas normal
NIC:1. Pantau munculnya tanda-tanda
infeksi (rubor, kalor, tumor, dolor, fungsileosa)
2. Kaji TTV setiap hari3. Kontrol lingkungan sekitar
pasien4. Lakukan perawatan bayi
dengan menjaga teknik aseptic ketika perawatan
5. Kolaborasi pemberian antibiotic
1. Mencegah terjadinya infeksi dan penanganan yang tepat
2. Memantau status pasien secara umum
3. Mencegah terjadinya infeksi dari lingkungan
4. Membersihkan luka untuk mencegah infeksi
5. Membantu mencegah munculnya infeksi secara medikamentosa
F. Daftar Pustaka
Amin Zulkifli, Purwoto J. (2007). ‘Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)’ Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II; Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Farid (2006). Acute Respiratory Distress Syndrome. Maj Farm vol 4 (12). <http://content.ebscohost.com/pdf 1821/pdf/2010/IJM/01Feb06/4949718.pdf> diakses pada 01 april 2013
Guntur AH. (2007). ‘Sepsis’ Dalam : buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II; Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam : FKUI
Harman EM. (2011). Acute Respiratory Distress Syndrome Overview. http://emedicine.medscape.com/article/165139-overview diakses pada 01 april 2013
Udobi KF, Touijer K. (2003). Acute Respiratory Distress Syndrome. Am Fam Physician. Vol. 67 (2) :315-322. http://www.biomedcentral.com/1471-230X/11/35 diakses pada 01 april 2013
Ware LB, Matthay MA.(2000) The Acute Respiratory Distress Syndrome. N Engl J Med vol (342) 1334-1349. www.nejm.org
Wilkinson,J & Ahern, N (2012). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Nanda, Intervensi Nic, Kriteria Hasil Noc. Jakarta : Prima Medika.