Post on 07-Mar-2016
description
1LONTAR - #6 - 2013
B u l e t i n T r i w u l a n V E C O I n d o n e s i a
Foto: Anton Muhajir
Petani Belajar denganBerbagi Pengalaman
#62013
2 LONTAR - #6 - 2013
PEMBACA yang terhormat. Dua
bulan terakhir, sejak Desember hingga
Februari lalu, kami di Bagian Publikasi
VECO Indonesia memindahkan website
dari www.vecoindonesia.org ke web baru
kami di www.veco-ngo.org/vecoindonesia.
Meskipun demikian, website lama masih
ada namun langsung diarahkan ke
website baru.
Ya, kami sekarang menginduk ke
website kantor pusat di Leuven, Belgia.
Hal ini merupakan kebijakan dari kantor
pusat. Di website tersebut juga terdapat
kantor VECO regional lain, seperti
Vietnam, Afrika, dan Amerika Latin.
Semua dalam bahasa Inggris maupun
bahasa lokal.
Dengan tampi lan lebih segar, warna
hi jau dan desain dinamis, kami
berharap, website baru ini akan
menyegarkan materi-materi publ ikasi
kami selain juga lewat LONTAR ini . Tak
hanya untuk kami tapi juga untuk
pembaca yang biasa mencari informasi
terbaru dari kami. Selamat berselancar.
[Redaksi ]
2 Dari Redaksi
3 Editorial
4 Reportase
Petani Belajar dengan
Berbagi Pengalaman
11 Organisasi Petani
12 Kabar Veco
14 Kabar Mitra
1 6 Berita Internasional
1 8 Profil
1 9 Resensi
20 Poster
Lontar (n) daun pohon lontar (Borassus
flabellifer) yang digunakan untuk menulis
cerita; (n) naskah kuno yang tertul is pada
daun lontar; (v) melempar. Maka LONTAR
bagi kami adalah kata kerja (v) sekaligus
kata benda (n). Lontar adalah media
informasi untuk menyampaikan informasi
tentang pertanian yang memperhatikan
ni lai-ni lai lokal, sesuatu yang terus VECO
Indonesia perjuangkan.
Tim Redaksi
Penanggung jawab : Rogier Eijkens
Redaksi : Anton Muhajir
Kontributor : Staf dan Mitra VECO
Indonesia
Layout : Syamsul "Isul" Arifin
Alamat Redaksi
VECO Indonesia
Jl Kerta Dalem No 7 Sidakarya Denpasar
Telp: 0361 - 7808264, 727378,
Fax: 0361 - 723217
Email: admin@veco-indonesia.net,
anton@veco-indonesia.net
Website www.vecoindonesia.org
Twitter @vecoindonesia
Redaksi menerima berita kegiatan,
profil , maupun tips terkait praktik
pertanian berkelanjutan terutama yang
terkait dengan mitra VECO Indonesia
di berbagai daerah. Tulisan bisa dikirim
lewat email ataupun pos ke alamat di
atas.
Dear Readers,
In the past two months, from
December to February, we in the VECO
Indonesia Publications Division have
been migrating our website from
www.vecoindonesia.org to our new site at
www.veco-ngo.org/vecoindonesia.
Visitors to the old site will be redirected to
our new website.
Yes, we are now a part of the website
of the head office in Leuven, Belgium.
This was a decision made by head
office. On the new website you can find
all the other regional VECO offices,
including Vietnam, Africa and Latin
America. All the information is avai lable
in English and local languages.
With its fresh new look in green, and
dynamic design, we hope that this new
website wil l freshen up the material we
publish, other than through LONTAR. Not
only for us, but for our readers who are
looking for information updates from us.
Happy surfing. [The Editor]
2 LONTAR - #6 - 2013
Dari Redaksi Daftar Isi
Materi publikasi ini dicetak menggunakan
kertas daur ulang 50 persen sebagai ko-
mitmen VECO Indonesia pada ekologi
Agar Lebih Segar dan Terintegrasi
Our Website Moves to Head Office
Foto: VECO Indonesia
3LONTAR - #6 - 2013
PEPATAH Cina ini tepat sekali untuk meng-
gambarkan prinsip utama dalam Sekolah Lapang (SL).
Dalam metode ini , petani tak hanya diberi tahu teori di
dalam kelas tapi juga ditunjukkan melalui praktik dan
pengamatan langsung di lapangan.
Para petani tersebut layaknya pelajar atau maha-
siswa ketika kuliah atau bahkan lebih dari i tu. Semua
terl ihat bergairah ketika bekerja bersama-sama. Saya
melihatnya di Mbay, Nagekeo maupun di Bajawa dan
Golewa, Ngada. Dengan
metode itu, maka petani
lebih bisa menerapkan apa
yang mereka pelajari di da-
lam kelas.
Pengertian kelas pun tak
berarti secara fisik tapi lebih
pada fungsi. Kelas tak me-
lulu berada di dalam ru-
angan tapi juga bisa di ha-
laman rumah, kebun, sa-
wah, dan seterusnya. Kelas
SL bisa di mana saja.
Ketika dimulai pada
tahun 1 989 di Indonesia, SL
didesain untuk belajar
tentang pengelolaan hama
terpadu. Namun, saat ini SL
justru di lakukan pula untuk
belajar tak hanya pengen-
dalian hama tapi juga peng-
olahan pascapanen. Perintis
metode SL adalah Badan
Pertanian dan Pangan PBB,
FAO. Hingga kini , sudah
ada lebih dari dua juta
petani di Asia yang menerapkan metode SL ini .
Keunggulan SL adalah karena sistem belajar ini
menjadikan semua peserta, yang semuanya adalah
petani, sekaligus sebagai pemandu. Dengan metode
ini , maka SL telah mengembalikan pengetahuan
petani kepada petani itu sendiri . Ini lah alasan kenapa
SL harus terus didukung. Petani harus menerapkan
pengetahuan mereka sendiri bukan hanya dengan
menerima pengetahuan dari luar yang kadang justru
membuat mereka melupakan sistem pertaniannya
sendiri . [Anton Muhajir]
Belajarlah di Lapangan,
Tak Hanya Kelas
THIS Chinese proverb is very fitting to describe the
main principle of field schools. In this method, farmers
not only learn about the theory in class, but are also
shown how to do things, through hands-on practical
sessions and observations in the field.
These farmers are l ike school pupi ls or university
students; perhaps even more than that. They all look
so passionate when learning together. I saw them in
Mbay, Nagekeo, and in Bajawa and Golewa, Ngada.
Using this method, the
farmers are better able to
apply what they have
learned in class.
Even the classroom
learning is functional rather
than physical. Classes are
not always held inside; they
can also be held in house
yards, gardens, paddy fields
and other outdoor spaces.
In fact, field school classes
can be held anywhere.
When first introduced in
Indonesia in 1 989, field
schools focused on learning
about integrated pest mana-
gement. But today, field
schools are run to learn not
only about pest mana-
gement, but also post-
harvest management. The
field school method was
pioneered by the Food and
Agriculture Organization
(FAO). Today, more than
two mil l ion farmers in Asia learn using this field school
method.
The advantage of the field school is that this
learning system turns all participants, al l of whom are
farmers, into faci l i tator. Using this method, the field
schools transfer knowledge from farmer to farmer. That
is why support for field schools must continue.
Farmers have to apply their knowledge themselves not
just receive knowledge from outside, which actually
makes them forget their own farming systems. [Anton
Muhajir]
Beritahu aku, aku lupa. Tunjukkan aku, aku ingat.
Libatkan aku, aku mengerti.
Learning in the Field,
Not Just in Class
Tell me, I forget. Showme, I remember. Engage me,
I understand.
Editorial
4 LONTAR - #6 - 2013
Foto-foto: Anton Muhajir
Profil Vietnam
Sekolah Lapangan
Petani Belajardengan BerbagiPengalaman
Dengan pemandu sesama petani dan praktik
di lapangan, Sekolah Lapang memudahkan
petani untuk belajar.
DI tengah hamparan sawah di kawasan Mbay, Kabupaten
Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Linda Bate dan Pius Ngetu
bersama dua petani lain melakukan pengamatan terhadap padi-
padinya pada tahun lalu. Dengan maju selangkah demi selangkah,
mereka menghitung antara lain bul ir padi dan jumlah batang serta
mencari hama pada padi.
Berjarak sekitar 3 meter dari empat anggota Asosiasi Petani
Organik Mbay (ATOM) tersebut, Bambang Hermanto juga mencari
hama di rumpun padi lain. Petani sekaligus fasi l i tator dari Yayasan
Pertanian Alternatif Nasional Sumatera Utara (PANSU) ini sesekali
memberikan informasi kepada anggota ATOM tentang apa yang
mereka amati siang itu.
Bambang sudah tiga bulan tinggal di Mbay, salah satu daerah
penghasi l padi di Pulau Flores, NTT, sebagai fasi l i tator bagi anggota
ATOM. Bersama satu temannya dari PANSU, Bambang yang juga
petani, mendampingi petani di Mbay agar bisa beral ih ke pertanian
organik melalui Sekolah Lapang (SL).
Foto-Foto: VECO Indonesia
5LONTAR - #6 - 2013
Reportase
karena bisa langsung praktik,” kata Pius.
Linda dan Pius hanya dua di antara
puluhan petani anggota Kelompok Tani
Kubota di Desa Marapokot, Kecamatan
Aesesa, Nagekeo yang belajar tentang
pertanian organik melalui SL. Di Saung
Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A)
Kubota, sekitar 50 petani lainnya sedang
belajar membuat mikroorganisme lokal
(MOL) dipandu fasi l i tator dari PANSU.
SL merupakan hal baru bagi Pius
dan kawan-kawannya di Kelompok Ku-
bota. Mereka baru mulai belajar melalui
SL sejak Maret 201 2. Sebelum itu, me-
nurut Pius, petani setempat tak terlalu
peduli pada sistem pertanian yang me-
reka gunakan. Selama SL, Pius dan
anggota Kubota lainnya belajar tentang
ekosistem, cara membuat dan memil ih
benih, cara menanam, serta pengen-
dalian hama. Semua proses di lakukan
secara ekologis.
Laboratorium
SL diawali dengan survei dan kontrak
belajar. Survei ini antara lain apakah pe-
tani setempat sudah punya kelompok ta-
ni, apakah kebunnya bisa menjadi media
belajar, dan seterusnya. Jika syarat
sudah terpenuhi, maka dilanjut dengan
kontrak belajar antara pemandu dengan
peserta SL.
SL mulai di laksanakan setiap ming-
gu. Lokasi belajar teori selama SL ini
IN the middle of a paddy field in
Mbay, Nagekeo District, East Nusa
Tenggara, Linda Bate and Pius Ngetu,
along with two other farmers, are
making observations of last year’s rice
crop. One step at a time, they are
counting, among other things, the
number of panicles and stems, and
looking for pests on the rice plants.
Around 3 metres away from these
four members of Asosiasi Petani Or-
ganik Mbay (ATOM), Bambang Her-
manto is also searching for pests in
other clumps of rice. This farmer and
faci l i tator from Yayasan Pertanian Al-
ternatif Nasional Sumatera Utra (PAN-
SU) is simultaneously giving infor-
mation to the ATOM members about
what they are looking for that day.
Bambang has been living for three
months in Mbay, a rice producing cen-
tre on the island of Flores, East Nusa
Tenggara, as faci l i tator for ATOM
members. Along with a colleague from
PANSU, Bambang, who is also a far-
mer, is supporting farmers in Mbay
through field schools to enable them
to switch to organic farming.
That afternoon, they were doing
practical field work, examining rice
plants that were about two months
old. As part of the learning process,
one farmer is recording all these ob-
servations in a notebook. They are
learning directly from the field, not just
theory in the classroom.
This is what differentiates field
schools from other learning methods.
When learning using the field school
Farmer Field Schools
Farmers Learn by Sharing Experiences
With farmer facilitators and practice in the field, field schools are easier for farmers to learn from.
Siang itu, mereka melakukan praktik
lapangan, mengamati tanaman padi be-
rumur sekitar dua bulan tersebut. Seba-
gai salah satu bagian dari proses belajar,
salah satu petani mencatat semua hasi l
pengamatan tersebut di buku tul is.
Mereka belajar langsung dari lapangan,
tak cuma teori di dalam kelas.
Ini lah yang membedakan SL dengan
metode belajar lainnya. Ketika belajar
menggunakan metode SL, petani tak
hanya belajar teori tapi juga langsung
praktik di lapangan. Persentase materi
SL sekitar 25 persen teori dan 75 persen
praktik. Melalui metode ini , petani meng-
aku lebih mudah belajar. “Saya lebih ce-
pat menyerap apa yang saya pelajari
6 LONTAR - #6 - 2013
Reportase
Kini Sayur Sehat LebihTerjangkau di Vietnam
Foto-foto: Anton Muhajir
bisa di saung ataupun sawah. Begitu pu-
la dengan lokasi praktik. Tak selamanya
mereka di sawah karena juga bisa di ha-
laman saung ataupun di rumah salah
satu anggota.
Sebagai lokasi praktik penanaman
padi, anggota Kubota menggunakan dua
petak sawah mil ik Pius Bate. Lahan ini
menjadi semacam laboratorium di mana
seluruh anggota kelompok bisa mem-
praktikkan teori yang mereka pelajari .
Mereka sekaligus melakukan pengama-
tan hasi l praktik. Di sawah yang men-
jadi laboratorium ini lah petani
mengamati dan mencatat apa yang
mereka peroleh selama pengamatan
tersebut.
Petani pun masuk lumpur sawah
demi pengamatan tersebut. “Petani
harus kotor. Kalau mau hasi l lebih baik,
kita harus berani kotor,” kata Bambang
yang sudah sekitar 30 tahun jadi
fasi l i tator SL.
Hasi l pengamatan lalu didiskusikan
baik oleh sesama petani maupun bersa-
ma pemandu. Hal ini memudahkan pe-
tani memahami percobaan yang sedang
mereka lakukan. “Kami jadi bisa mem-
bandingkan apa yang kami pelajari
dengan apa yang kami praktikkan dan
sebaliknya,” tambah Linda.
Menggunakan sistem pertanian baru
yang mereka pelajari dan praktikkan
dengan panduan dari tim PANSU, Pius
dan kawan-kawannya mengaku kini bisa
melihat bahwa sistem baru ini memang
method, farmers not only learn the the-
ory, but also get hands-on practice in the
field. The field school material is around
25 percent theory and 75 percent prac-
tical. Using this method, farmers confirm
it is easier to learn. “I can take in what I
am learning about more quickly because
I get hands-on practical experience,” said
Pius.
Linda and Pius are only two of tens of
farmers who are members of the Kubota
farmer group in Marapokot vi l lage, in the
Aesesa subdistrict of Nagekeo who are
learning about organic farming through
field schools. In Saung, another 50
members of the Kubota Water User Far-
mers’ Association (P3A) are learning to
make local micro-organisms, with a
faci l i tator from PANSU.
Field schools are a new thing for Pius
and his friends in Kubota farmer group.
They have only been learning using this
method since March 2012. Before that,
said Pius, local farmers didn’t care much
about the agricultural system they were
using. During the field schools, Pius and
the other Kubota members have learned
about the ecosystem, how to grow and
select seedlings, how to plant, and how
to manage pests. All these processes
are done ecological ly.
Laboratory
The field schools begin with a survey
and learning contracts. This survey,
among others, asks whether the local
farmers have farmer groups, whether
their gardens could be made into
learning centres, and so on. I f the criteria
are met, the next stage is drawing up a
learning contract between the faci l i tator
and the field school participants.
Field schools start every week. The
theory part of the field school can be
learned either inside or outside in the
fields, and the practical lessons l ikewise.
While they are not in the fields, they
could be in the field huts or at the home
of one of the members.
As the location for their rice planting
practice, the Kubota farmer group
members use two paddy fields belonging
to Pius Bate. This land becomes a kind
of laboratory, where all the group
members can put the theory they have
learned into practice. They also make
direct observations of the results of their
experiments. In these laboratory fields,
the farmers observe and report what
they see during the observations.
The farmers get very muddy making
these observations. “Farmers should be
dirty. I f we want to get better results, we
have to be prepared to get dirty,” said
Bambang, who has been a field school
faci l i tator for around 30 years.
The results of the observations are
then discussed among the farmers and
with the faci l i tator. This helps the farmer
to understand the experiments they are
doing. “We can compare what we have
learned with what we are doing, and vice
versa,” added Linda.
Using the new farming system that
they have learned about and practiced
with the PANSU faci l i tator, Pius and his
col leagues admit that they can see that
this new system is better. As an
example, with this new method, they only
have to use organic inputs to control
pests. Spraying for pests every day can
cost the farmers around IDR 8 mil l ion.
“Now we don’t have to spend any money.
All we have to do is clear the weeds,”
7LONTAR - #6 - 2013
Upscaling
The farmer schools in Mbay are new.
Previously, VECO Indonesia and its
partners in Manggarai and Bajawa ran
field schools. With PANSU Medan, the
pioneers of the field school method in
Indonesia, VECO Indonesia ran these
field schools for coffee farmers in these
locations from Apri l to August 201 0. This
field school program for the coffee chain
was run over one complete cycle. The
locations were Poccoranaka subdistrict
in East Manggarai district, and Bajawa
subdistrict in Ngada district.
During those four months, 78 farmers
who are members of four groups in four
vi l lages completed the entire field school
process. The learning method used in
Reportase
lebih baik. Sebagai contoh, dengan me-
tode baru ini , mereka cukup mengguna-
kan bahan-bahan alami untuk mengen-
dalikan hama. Karena setiap hari harus
menyemprot hama, petani bisa meng-
habiskan biaya sekitar Rp 8 juta. “Seka-
rang tidak ada mengeluarkan biaya
apa-apa. Paling hanya untuk member-
sihkan rumput,” kata Pius.
Ketua ATOM Nobertus Logodai
mengatakan, SL merupakan salah satu
kegiatan organisasi petani produsen padi
ini selain juga Internal Control System
(ICS), pemasaran bersama, dan uji coba
kebun. Saat ini ada sekitar 200 petani
yang tergabung di 17 kelompok.
“Menariknya SL karena petani langsung
praktik di lapangan. Petani bisa
menemukan banyak hal. Mereka juga
bisa saling berbagi pengetahuan dan
pengalaman, seperti penyakit. Petani
bisa saling melengkapi,” katanya.
Menurut Nobertus, metode SL ini
berbeda dengan sistem yang biasa
diajarkan oleh Petugas Penyuluh Petani
(PPL). Penyuluh dari instansi pemerintah
ini biasanya lebih banyak teori daripada
praktik. Materinya juga searah dari PPL.
“Dalam SL, petani menjadi narasumber
tak hanya datang, dengar, dan pulang
tanpa melakukan. Tak banyak wacana
tapi aksi,” Nobertus menambahkan.
Berlimpah
SL di Mbay sendiri termasuk baru.
Sebelumnya, VECO Indonesia dan mit-
ranya di Manggarai dan Bajawa sudah
melakukan SL tersebut. Bersama PAN-
SU Medan, lembaga perintis SL di Indo-
nesia, VECO Indonesia menerapkan SL
ini bagi petani kopi di kawasan tersebut
sejak Apri l hingga Agustus 201 0. Prog-
ram SL untuk rantai kopi ini di laksanakan
selama satu siklus. Lokasinya di Keca-
matan Poccoranaka di Kabupaten
Manggarai Timur dan Kecamatan Baja-
wa di Kabupaten Ngada.
Selama empat bulan tersebut, 78 pe-
tani yang tergabung dalam empat ke-
lompok di empat desa menjalani seluruh
proses dalam SL. Metode belajar dalam
SL adalah dengan pendidikan orang
dewasa dan partisipatoris yaitu dengan
cara: melakukan, menganalisis,
menyimpulkan, dan menerapkan.
Karena petani langsung
mempraktikkan di lapangan, maka
hasi l pertanian mereka pun lebih baik.
Produksi kopi mereka memang me-
ningkat. Nikolaus Raga, Wakil Ketua
Permata yang juga peserta SL di Desa
Beiwali , Kecamatan Bajawa, membe-
rikan contoh. Biasanya, tiap pohon
hanya menghasi lkan sekitar 2-3 kg
kopi gelondong kering. Kini , satu
pohon kopi bisa menghasi lkan lebih
dari dua kali l ipatnya, 5-1 0 kg.
Peningkatan produksi tersebut ka-
rena petani sudah menerapkan penge-
tahuan yang mereka pelajari selama
SL. Misalnya, mereka kini raj in
membersihkan lahan dan pohon kopi.
“Dulu saya takut memangkas pohon
karena saya pikir makin tinggi
pohonnya akan makin bagus banyak
hasi lnya. Ternyata saya salah,” ujar
Nikolaus.
SL mengubah pandangan penge-
tahuan petani sehingga bisa mene-
rapkan sistem pertanian lebih ramah
lingkungan. Selain hemat, hasi lnya
juga lebih meningkat. [Anton Muhajir]
said Pius.
ATOM Chair Nobertus Logodai says
that the field schools are one of the
activities of this rice producer farmer
organisation, along with the Internal
Control System (ICS), col lective
marketing and experimental gardens.
Today, around 200 farmers are
associated in 17 groups. “What makes
the field schools interesting is that the
farmers can practice what they have
learned in the fields. They learn a lot.
They can also share their knowledge and
experience with each other, for example
about diseases. The farmers
complement one another,” he said.
According to Nobertus, this field
school method differs from the way that
government agriculture extension
workers teach. Their methods usually
involve more theory than practice. And
delivery of the content is one way: from
the extension worker to the farmers. “In
field schools, farmers are resource
people. They don’t just come and listen,
and go home without doing anything. I t’s
about action, not theory,” added
Nobertus.
field schools is adult, participatory edu-
cation, which involves doing, analysing,
concluding and applying. Because the
farmers practiced what they had learned
in the fields, their agricultural yields
improved too.
Coffee production increased. Niko-
laus Raga, vice chair of Permata, who
was a participant in the field school in
Beiwali vi l lage in Bajawa subdistrict gave
an example. In the past, one coffee tree
typical ly produces around 2-3 kg of dri-
ed, peeled coffee. Now a coffee tree can
produce more than double that: 5-1 0 kg.
This increased production came
about because the farmers applied the
knowledge they had learned during the
field school. For example, they now
regularly tidy their land and coffee trees.
“I used to be scared to prune the trees
because I thought the tal ler the tree, the
more it would produce. Turns out I was
wrong,” said Nikolaus.
Field schools change farmers’
perceptions, so they are able to adopt
more eco-friendly farming systems. As
well as being cost-effective, production
also increases. [Anton Muhajir]
8 LONTAR - #6 - 2013
Reportase
SELAIN sebagai Wakil Ketua
Perhimpunan Petani Watuata (Permata),
Niko adalah juga pemandu bagi sesama
petani. Dia salah satu pemandu di
organisasi petani di Desa Beiwali ,
Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada,
Nusa Tenggara Timur tersebut. Sejak
dua tahun terakhir, Niko juga mengajari
petani lain tentang cara budi daya hingga
pengolahan bagi anggota Permata.
Niko merupakan salah satu alumni
Sekolah Lapang angkatan pertama di
Kabupaten Ngada hasi l kerja sama VE-
CO Indonesia dengan Pertanian Alter-
natif Nasional Sumatera Utara (PANSU)
yang di laksanakan Lembaga Advokasi
dan Pendampingan Masyarakat (Lap-
mas). Kegiatan serupa juga diadakan di
Kecamatan Poccoranaka, Kabupaten
Manggarai Timur oleh Delsos Ruteng.
Dari SL angkatan pertama yang diada-
kan pada tahun 201 0 ini kemudian dicari
peserta-peserta yang potensial menjadi
pemandu bagi petani lain.
Para petani calon pemandu ini di latih
terlebih dulu sebagai calon pemandu
melalui pelatihan untuk pelatih atau
training of trainer (ToT). Selama 30 hari ,
ToT diadakan di tiga tempat masing-ma-
sing selama sepulu hari yaitu di Mang-
garai pada 14-23 Mei 2011 , di Bajawa
pada 25 Mei - 4 Juni 2011 , serta di Mbay
pada tanggal 6-1 6 Juni 2011 .
Ada beberapa syarat alumni SL yang
bisa menjadi peserta ToT ini . Misalnya
tingkat kehadiran di SL 90 persen, mam-
pu berbicara di depan peserta SL, mam-
pu baca tul is, memil iki kebun atau sawah
yang dikerjakan, sudah menerapkan ha-
si l-hasi l belajar di SL, bersedia melatih
petani lainnya di luar desanya,
bertanggungjawab terhadap perkem-
bangan kelompoknya, dan mendapat
persetujuan dari kelompok SL-nya.
Niko menjadi salah satu dari 21 pe-
tani yang lulus ToT di Bajawa dan bisa
menjadi pemandu bagi petani lain. Ni lai
akhirnya setelah ToT, meliputi sikap,
pengetahuan, dan keterampilan adalah
6. Sejak dua tahun lalu, Niko pun men-
jadi pemandu SL. “Setelah dua tahun
menjadi fasi l i tator, saya merasa sudah
banyak peserta SL yang berhasi l ,”
katanya.
Selain Niko, pemandu lain di
Permata adalah Maria Yuliana Aku.
Seperti juga Niko, petani perempuan
yang akrab dipanggi l Li l i ini juga
mengajari petani lain tentang budi daya
kopi. Sebagai pemandu, dia juga
membantu peserta SL untuk membuat
kurikulum, jadwal, dan rencana SL
lainnya. “Semua materi dibuat secara
partisipatif bersama peserta,” ujar Li l i .
Gambar
Tiap seminggu sekali , Li l i dan Niko
belajar bersama petani lainnya tentang
cara pembuatan pupuk, pemangkasan,
hingga pengolahan pascapanen. Dalam
tiap kelas rata-rata ada sepuluh peserta
dengan dua atau tiga pemandu.
Tak Hanya Petani Tapi juga PemanduPada awalnya Nikolous Raga mengaku agak bingung. Namun, kini dia sudah mahirmenjadi pemandu bagi petani lainnya.
Foto-Foto: VECO Indonesia
9LONTAR - #6 - 2013
Reportase
Sebagai pemandu SL, Li l i dan Niko
mengaku pada awalnya mendapat
banyak tantangan. Bingung mau men-
jelaskan materi hanya salah satunya.
Tantangan lainnya adalah bagaimana
bisa menjelaskan materi SL dalam
bahasa yang bisa dijelaskan kepada
peserta.
Menurut Li l i , salah satu cara yang
dia gunakan adalah dengan media
gambar. Bagi peserta SL yang tak me-
ngerti tul is baca, gambar lebih efektif
untuk memahami penjelasan
pemandu.
Wilhelmina Dhay, Bendahara
Kelompok Tani Perempuan Pappalaka
di Desa Malanusa, Kecamatan Gole-
wa, salah satu peserta SL mengakui-
nya. Karena tak semua anggota
kelompok Pappalaka bisa baca tul is,
maka dalam SL mereka pun kadang-
kadang menggunakan gambar
tersebut.
Cara lain agar peserta lebih mudah
paham adalah dengan praktik. Menu-
rut Wilhelmina, dari seluruh kelas SL,
75 persen di antaranya di lakukan di la-
pangan. Pemandu menunjukkan
langsung bagaimana cara memangkas,
memetik, dan teknik lain dalam budi
daya kopi. “Kalau melihat langsung jadi
kita tinggal meniru apa yang di lakukan
pemandu,” tambahnya.
Akhir tahun lalu, misalnya, sekitar 1 5
anggota Pappalaka ini mempraktikkan
sendiri cara membuat pupuk organik. Li-
ma anggota sedang sibuk memeras ba-
han terbuat dari campuran antara bong-
kol pisang, moke (tuak), dan bahan-bahan
lain. Dua lainnya memandu dengan
AS well as being deputy chair of Per-
himpunan Petani Watuata (Permata),
Niko is also a faci l i tator of other farmers.
He is a faci l i tator in a farmer organisation
in Beiwali vi l lage, Bajawa subdistrict,
Ngada district, East Nusa Tenggara. For
the past two years, Niko has also been
teaching other farmers who are mem-
bers of Permata about everything from
cultivation to management techniques.
Niko is an alumni of the first round of
field schools organised in Ngada district
in partnership between VECO Indonesia
and Pertani Alternatif Nasional Sumatera
Utara (PANSU), and run by Lembaga
Advokasi dan Pendampingan Masya-
rakat (Lapmas). A similar activity was
also run in Poccoranaka subdistrict, in
East Manggarai district, by Delsos Ru-
teng. From this first round of field
schools held in 201 0, potential faci l i tators
for other farmers were found.
These prospective faci l i tators first
went through a training of trainers (ToT)
Not Just Farmers, Facilitators TooNikolaus Raga admits to being rather confused at first. Now, he’s a skilled facilitator ofother farmers.
course. Over a period of 30 days, this
training course was held for 1 0 days
each in three locations: in Manggarai
from 14 to 23 May 2011 , in Bajawa from
25 May to 4 June 2011 , and in Mbay from
6 to 1 6 June 2011 .
There were several criteria for field
school alumni to become participants in
this ToT. For example, a 90 percent rate
of attendance at the field school, the abi-
l i ty to talk in front of field school partici-
pants, being able to read and write,
having a working garden or paddy field,
adopting the lessons learned at the field
school, being wil l ing to train farmers out-
side their own vi l lage, being responsible
for the development of the group, and
having the approval of his or her field
school group.
Niko was one of 21 farmers who
passed the ToT in Bajawa, and became
faci l i tators of other farmers. His final
score for the ToT, including attitude,
knowledge and ski l ls, was six. For the
past two years, Niko has been a field
school faci l i tator. “After two years of be-
ing a faci l i tator, I feel that many of the
field school participants have had suc-
cess,” he said.
Another faci l i tator at Permata is Ma-
ria Yuliana Aku. Like Niko, this women
farmer who is known to her friends as
Li l i , also faci l i tates other farmers about
growing coffee. As a faci l i tator, she also
helps field school participants to prepare
curriculum, schedules and other field
school plans. “All the material is prepar-
ed in a participatory way with the partici-
pants,” explained Li l i .
Pictures
Once a week, Li l i and Niko learn with
the other farmers about how to make
compost, prune, and do post harvest
management. In each class, there is an
average of 1 0 participants and two or
three faci l i tators.
As field school faci l i tators, Li l i and
10 LONTAR - #6 - 2013
Reportase
catatan di buku mereka.
Di tempat lain, masih di rumah yang
sama, ibu-ibu menyiapkan bahan baru,
daun-daunan, moke, dan lain-lainnya
untuk pupuk baru. Setelah lengkap, ba-
han tersebut akan disimpan agar bisa
terfermentasi dan nantinya siap diperas
seperti bahan yang sudah jadi tersebut.
Begitulah sekolah yang efektif bagi
mereka, langsung praktik di lapangan.
Satu lagi strategi para pemandu yaitu
dengan penggunaan bahasa-bahasa lo-
kal. Menurut Niko, penjelasan dari pe-
mandu kadang-kadang susah dimengerti
peserta karena dia tak mengerti isti lah
dalam bahasa setempat. Karena itu, pe-
mandu SL sebaiknya menggunakan ba-
hasa dan isti lah lokal sehingga peserta
lebih mudah mengerti . “Kalau pakai is-
ti lah i lmiah, peserta malah bingung,”
ujarnya. [Anton Muhajir]
Niko admit that initial ly there were lots of
challenges. Being unsure how to explain
the material was just one of them.
Another was how to explain the field
school materials in language that the
farmers could understand.
According to Li l i , one method that
she uses is pictures. For the field school
participants who cannot read or write,
pictures are an effective way for the
faci l i tator to explain things.
Wilhelmina Dhay, treasurer of Pap-
palaka women’s farmer group in Mala-
nusa vi l lage, Golewa subdistrict, is one
of the field school participants to confirm
this. Because not al l members of the
Pappalaka farmer group can read and
write, they sometimes use pictures in
their field schools, too.
Another method that helps partici-
pants to understand is practice. Ac-
cording to Wilhelmina, 75 percent of al l
the field school classes are held in the
fields. The faci l i tators demonstrate how
to prune and pick, and other coffee
cultivation techniques. “I f can see how
to do it for ourselves, al l we have to do
is copy what the faci l i tator does,” she
added.
At the end of last year, for example,
around 1 5 Pappalaka members prac-
ticed making organic ferti l iser them-
selves. While five members busi ly
squeeze the mixture made out of ba-
nana stems, toddy and other ingre-
dients, two others make notes in their
books.
In another part of the same house,
women are preparing the raw materials
– the leaves, toddy and other things –
to make the next round of compost.
When everything is ready, the mixture is
stored and allowed to ferment, before it
is squeezed into compost that is ready to
use. That is what makes the field schools
so effective for them: they are able to
practice what they have learned for
themselves.
Another strategy the faci l i tators use
is using the local language. According
to Niko, the faci l i tators’ explanations can
be difficult for the participants to
understand if they don’t understand
local terms. So, the field school
faci l i tator should use the local language
and local terms to make it easier for the
participants to understand. “I f you use
scienti fic terms, the participants wi l l just
get confused,” he explained. [Anton
Muhaj ir]
11LONTAR - #6 - 2013
Organisasi Petani
Di pinggir jalan raya utama Flores
antara Ende dan Bajawa, dua petani
perempuan sedang menjemur bij i kakao
di atas para-para. Di dalam ruang pe-
ngolahan, dua petani lain sedang mem-
bolak-balik bi j i kakao yang difermentasi.
Begitulah suasana di Unit Pengolahan
Hasi l (UPH) mil ik Asosiasi Petani Kakao
Nangapenda (SIKAP) di Nangapenda,
Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur
(NTT) akhir tahun lalu.
SIKAP merupakan organisasi petani
kakao di kecamatan tersebut. Saat ini
anggota SIKAP sekitar 1 .1 00 petani yang
tersebar di delapan desa. Ada 67 kelom-
pok tani yang bergabung dalam SIKAP.
Untuk menjalankan programnya, SIKAP
memil iki tiga divisi yaitu budi daya,
pemasaran, dan pengolahan.
Pengolahan pascapanen merupakan
salah satu kegiatan SIKAP. Di UPH ini
semua petani anggota SIKAP mengi-
rimkan bij i kakao untuk diolah. Menurut
staf UPH, Abdul Hamid, dalam seming-
gu, UPH menerima sekitar 2 ton bij i
kakao kering atau 6 ton basah untuk
diproses. Proses ini antara lain sortasi
buah, pembelahan, sortasi bi j i basah,
fermentasi, hingga penjemuran. Semua
staf yang mengerjakan di UPH adalah
juga anggota SIKAP. Mereka bahkan
membuat coklat bubuk yang bisa dise-
duh dan langsung diminum layaknya
bubuk coklat di pasar.
Jika sekarang sudah mengolah
sendiri , pada awalnya petani setempat
justru tidak terlalu memberikan perhatian
kepada penanganan pascapanen. Bah-
SIKAP
kan, pola tanam pun mereka tidak per-
hatikan. “Dulu perhatian kami terhadap
budi daya kakao hampir tidak ada. Jadi-
nya lebih seperti hutan kakao daripada
kebun kakao,” kata Abidin, salah satu
anggota SIKAP.
Tanpa perhatian dan perlakuan, se-
perti pemangkasan, pemupukan, panen
sering, dan sanitasi (P3S), maka hasi l-
nya juga tak terlalu bagus. Tiap pohon
hanya menghasi lkan 0,5 kg kakao. Ren-
dahnya hasi l panen ini di ikuti pula deng-
an rendahnya kualitas kakao petani. Bi j i
kempes sehingga tak layak jual. Kualitas
yang buruk mengakibatkan harga pun
rendah. Petani hanya menjual seharga
Rp 12.000 per kg. Bahkan ada yang jual
seharga Rp 7.000 per kg.
Setelah mengikuti Sekolah Lapang
(SL), petani mulai menerapkan P3S.
Abidin menjelaskan, dalam SL mereka
belajar antara lain tentang praktik sam-
bung pucuk dan sambung samping po-
hon kakao. SL menjadi kegiatan lain
SIKAP selain pengolahan pascapanen.
Kini hasi l panen tiap pohon meningkat
jadi 0,9 kg per pohon.
Menurut Ketua SIKAP, Rudolfus
Ndae, divisi budi daya yang mengajari
tentang P3S. Anggota divisi ini bertugas
mendata jumlah komoditas, termasuk
berapa bagus dan tidaknya. Tugas lain
divisi ini adalah memberikan informasi
tentang kakao kepada SIKAP, membantu
tim pemasaran desa dalam pemasaran
bersama; melakukan kegiatan P3S di
kebun; serta membuat promi jamur
pengganti EM4 bakteri pengurai untuk
membuat pupuk organik.
Adapun divisi pemasaran bertugas
mencari kakao-kakao petani dan meng-
umpulkannya untuk dijual secara kolektif.
Dengan metode ini , maka petani tidak
perlu lagi menjual sendiri-sendiri . Dulu,
sebelum ada SIKAP, petani menjualnya
sendiri-sendiri sehingga tergantung pe-
dagang kaki l ima yang memainkan har-
ga. Sistem pembelian oleh pedagang
kaki l ima ini dengan ijon sehingga meru-
gikan petani.
Selain itu, rantai pemasaran pun
panjang. Menurut Rudolf, rantai pema-
saran kakao ini sebelumnya adalah dari
petani kemudian ke pedagang kaki l ima.
Dari pedagang kaki l ima kemudian ke
pedagang kabupaten. Setelah itu baru-
lah ke Mayora. Dengan adanya pema-
saran bersama, maka sekarang lebih
pendek. Dari petani ke koperasi lalu ke
PT Mayora.
Melalu i pemasaran bersama, petani
juga tidak perlu khawati r akan
dicurangi oleh pedagang. Abidin
memberikan contoh. Dulu , dari petani
1 0 kg, namun ketika sampai di
pedagang bisa 9 atau 8 kg. “Kalau
sekarang sudah ada kontrol terhadap
mereka dari petani ,” u jar Abidin . Harga
pun lebih tinggi . Petani bisa menda-
patkan harga kakao Rp 1 8.350 per kg
plus Rp 1 .500 per kg untuk kakao yang
di fermentasi . Sejak 1 3 Juni 201 2, Sikap
juga mendirikan Koperasi Agroniaga
sebagai uni t usaha.
Organisasi petani memberikan keun-
tungan berl ipat ganda bagi anggotanya.
Petani pun Bisa Mengolah Coklat Sendiri
Foto: VECO Indonesia
12 LONTAR - #6 - 2013
Kabar VECO Indonesia
TIM Healthy Food Healthy Living (HFHL) Bali
mengampanyekan pangan sehat melalui momentum
Hari Valentine. Selain membagikan coklat berbahan
baku lokal, mereka juga membagikan flyer, stiker,
dan materi kampanye lainnya. Kampanye pada 1 3 -
14 Februari 201 3 di beberapa lokasi, seperti kampus
Universitas Udayana Denpasar, lampu merah Jalan
PB Sudirman Denpasar, serta sekolah-sekolah di
kawasan jalan Kamboja, Denpasar. Target utama
kampanye ini adalah anak-anak muda, seperti
pelajar dan mahasiswa. Kampanye ini juga didukung
PT Mars, salah satu produsen coklat yang berkantor
di Makassar.
Coklat Sehat saat Hari Kasih Sayang
HFHL merupakan program VECO Indonesia bekerja sama dengan Zuiddag Foundation di Belgia.
Melalui program ini, VECO Indonesia berusaha mengenalkan pangan sehata kepada anak-anak muda,
terutama di Denpasar dan Solo. Mereka yang aktif berkampanye adalah juga anak-anak muda. Jadi,
HFHL adalah kampanye pangan sehat oleh anak muda untuk anak muda. Bentuk kampanye HFHL
beragam namun pada dasarnya menggunakan media komunikasi unik dan berbeda. Kampanye pangan
sehat saat Valentine yang dikenal sebagai hari kasih sayang adalah salah satunya.
“Kami ingin mengenalkan kepada anak-anak muda bahwa coklat termasuk pangan sehat melalui
tema Healthy Happy Valentine sekaligus dukungan bagi petani lokal,” kata Ni Putu Estal ita, anggota tim
HFHL Bali .
TAHUN baru 201 3 bagi VECO Indonesia juga berarti
hadirnya wajah-wajah baru. Sejak Januari 201 3 lalu,
VECO Indonesia menambah dua staf baru, yaitu
Bernadetta Sutrisnowati sebagai Petugas Lapangan
Program HFHL Bali dan Firman Firman Supratman
sebagai Koordinator Program Kerinci, Jambi.
Wati , panggi lan akrab untuk Sutrisnowati , sebenarnya
bukan wajah baru bagi VECO Indonesia. Alumni Fakultas
Ekonomi Universitas Sarjana Wiyata, Yogyakarta ini
pernah bekerja di VECO Indonesia sebagai staf lapangan
pada tahun 2005-2007. Setelah sempat bekerja lepas di
lembaga lain, seperti HEKS Swiss dan Dian Desa, Wati
kini kembali di VECO Indonesia. Berkantor di Bali , Wati
akan bekerja dengan anak-anak muda untuk
mengampanyekan pangan sehat.
Adapun Firman, sebelum bekerja di VECO Indonesia
pernah bekerja sebagai Manajer Internal Control System
(ICS) di PT Casia-Coop. Alumni Fakultas Hukum
Universitas Batanghari Jambi ini juga pernah aktif di
Walhi .
Dua Wajah Baru di VECO Indonesia
Foto-Foto: VECO Indonesia
13LONTAR - #6 - 2013
Kabar Veco
ORGANISASI Buruh
Internasional PBB (ILO),
Agritera, dan VECO Indonesia
melaksanakan pelatihan untuk
pelatih atau training of trainers
(ToT) koperasi pertanian pada
25-28 Februari di Denpasar,
Bali . Kegiatan tersebut di ikuti
20 peserta dari organisasi
petani, koperasi petani, staf
VECO Indonesia, serta Dinas
Koperasi. Mereka berasal dari
Aceh, Bandung, Surabaya,
dan lain-lain.
Pelatihan untuk Pelatih Koperasi Tani
Selama empat hari , dua pemandu yaitu Tom Wambeke (ILO) dan Christian Gouet (organisasi
petani di Perancis) , mendampingi peserta belajar tentang MyCoop. MyCoop singkatan dari
managing your agricultural cooperative atau mengelola koperasi pertanian Anda. Modul ini
diharapkan bisa menjadi panduan bagi petani j ika ingin mendirikan koperasi petani dengan kualitas
lebih tinggi, efisien, dan efektif melayani anggota. Rogier Eijkens, Perwakilan Regional VECO
Indonesia dalam sambutannya mengatakan pelatihan ini merupakan bagian dari upaya VECO
Indonesia untuk mewujudkan koperasi petani di Indonesia.
SEBAGAI bagian dari upaya peningkatan
posisi tawar petani, VECO Indonesia
mengadakan lokakarya Perencanaan
Strategis Program. Lokakarya pada 4-8 Maret
201 3 di Sanur, Bali ini di ikuti peserta dari
bagian program VECO Indonesia serta
beberapa lembaga jaringan, seperti
SwissContact dan Koalisi Rakyat untuk
Kedaulatan Pangan (KRKP). Hadir pula
Perwakilan Regional VECO Vietnam serta
dua staf dari kantor pusat Vredesei landen.
Selama lima hari , para peserta yang
dipandu Steff Deprez membahas rencana
program baru VECO Indonesia l ima tahun
mendatang, 2014 – 201 9. Ada beberapa
Merencanakan Strategi Program Lima Tahun ke Depan
perubahan fokus dan lokasi program VECO Indonesia sebagai bagian dari upaya meningkatkan
kesejahteraan dan posisi tawar petani keci l di Indonesia tersebut.
Rogier Eijkens, Perwakilan Regional VECO Indonesia, tujuan lokakarya adalah merencanakan program
intervensi rantai yang relevan dan realistis di tingkat regional serta mendesain rencana tersebut lebih detai l .
Proses ini penting karena menjadi dasar bagi VECO Indonesia melangkah ke tahap selanjutnya. “Kita tidak
akan mengubah visi dan misi VECO Indonesia. Kita hanya akan menyegarkan kembali ,” ujar Rogier.
14 LONTAR - #6 - 2013
Kabar Mitra
Program KebunPercontohan Kopi Jalesa
JALESA melaksanakan program kebun kopi
percontohan (demplot) untuk kebun kopi arabika
dengan sistem integrasi bidang hortikultura dan
pariwisata. Program ini sudah berjalan sejak
pertengahan tahun 2012 lalu. Salah satu bagian
dari program ini adalah peremajaan tanaman kopi.
Program berlokasi di Lembang (Desa) Sesean
Matal lo, Kecamatan Sesean Suloara', Kabupaten
Toraja Utara, Sulawesi Utara. Tempat ini berjarak
sekitar 1 ,5 jam dari Kota Rantepao ke arah utara.
Hasi l yang kami harapkan dari program tersebut adalah terbentuknya sebuah kebun pecontohan
pengembangan kopi arabika yang akan menjadi model dan contoh bagi petani kopi sekitarnya.
Selain itu juga kebun tersebut akan menjadi pusat destinasi wisatawan untuk agrowisata dan akan
bermuara pada peningkatan penghasi lan masyarakat pada daerah program dan sekitarnya.
Jalesa merupakan mitra VECO Indonesia di Tana Toraja. Program di sini adalah pengembangan
rantai kopi. Selain menjadi pusat produksi kopi, Toraja juga terkenal sebagai daerah tujuan wisata.
[Jalesa]
PERKUMPULAN Indonesia Berseru (PIB) seperti
mendapat durian runtuh saat komunitas anak-anak muda
Dimensi mengontak dan menyatakan minatnya mendukung
pangan lokal. Kelompok diskusi anak muda ini dibentuk pada
akhir 2011 , berawal dari mahasiswa yang merasa bosan saat
berkumpul hanya bersenang-senang untuk diri sendiri .
Semangat Anak MudaMendukung Pangan Lokal
Mereka pun membuat website untuk mengunggah hal-hal yang dianggap penting dan perlu
diketahui khalayak luas, terutama anak muda. Dari diskusi setiap dua minggu sekali , berkembang juga
program video interview. Saat membaca majalah Respect yang diterbitkan PIB, anak-anak muda ini
menyadari pentingnya isu pangan, selain makan di mana dan dengan siapa. Mereka pun meminta
PIB berdiskusi tentang pangan 23 Februari 201 3 lalu.
Lebih menyenangkan, mereka langung bersemangat mendukung para produsen pangan melalui
video interview. Video wawancara petani padi yang menerapkan pertanian alami ini akan disebar ke
berbagai pihak dan diunggah di YouTube. Ini lah bentuk kepedulian, ekspresi dan semangat anak
muda untuk produsen pangan lokal. [Perkumpulan Indonesia Berseru]
Foto-Foto: VECO Indonesia
15LONTAR - #6 - 2013
Kabar Mitra
KOPERASI Serba Usaha (KSU) Jantan
melaksanakan Rapat Akhir Tahun (RAT) perdana pada
1 8 Desember 201 2 lalu. RAT ini dihadiri 78 peserta
dari anggota, pengurus, pengawas, mitra kerja
Yayasan Ayu Tani, VECO Indonesia, Koperas Kredit
(Kopdit) Remaja, Kopdit San Do Minggo Hokeng,
Dinas Koperasi Flores Timur (Flotim), Dinas
Perindustrian dan Perdagangan, Pemerintah
Kecamatan Wulanggitang dan Bupati Flores Timur.
Rapat Perdana KoperasiJANTAN FloresTimur
Ketua KSU Jantan, Aloysius Gedang menyampaikan RAT kali ini merupakan awal baik bagi KSU
yang baru berumur satu tahun tersebut. “Saatnya kita meninggalkan pikiran sebagai orang lemah. Kita
adalah petani professional dan pengusaha,” kata Aloy. Menurutnya, petani harus bertindak nyata untuk
menggerakkan roda KSU Jantan dengan bisnis utama pemasaran kakao.
Pada RAT tersebut, Bupati Flotim juga memberikan bantuan satu unit mobil bak terbuka untuk
mendukung operasional KSU Jantan, terutama dalam pemasaran Bersama. Bupati juga menegaskan
bahwa KSU Jantan akan mendapat 1 petak untuk tempat pelayanan kepada anggota. Setelah dialog,
Bupati Flotim juga mengunjungi dan berdiskusi dengan petani di kebun belajar kakao yang difasi l i tasi
YAT, KSU Jantan, VECO Indonesia dan Litbang Maumere.
MULAI Januari 201 3 lalu, VECO Indonesia memperluas wilayah
program di Nusa Tenggara Timur (NTT) 1 dalam pengembangan
sektor kopi. Wilayah baru tersebut di tujuh desa baru yang masuk
Kabupaten Ngada dan Manggarai. Wilayah baru di Manggarai
tersebut antara lain Desa Bangka Lalak, Likang, dan Cumbi di
Kecamatan Ruteng serta Desa Carep, Kecamatan Langkerembong.
Adapun di Ngada di Desa Dadawea, Radabata, dan Were di
Kecamatan Golewa. Dengan penambahan ini menjadi sekitar 20
desa di Manggarai dan 1 2 desa di Bajawa.
Perluasan Wilayah Dampingan diManggarai dan Ngada
Program pengembangan kopi tersebut di laksanakan bersama dua mitra yang selama ini bekerja
sama dengan VECO Indonesia yaitu Lembaga Advokasi dan Penguatan Masyarakat Sipi l (Lapmas)
Ngada dan Delsos Ruteng. Selain itu, program juga didukung Rainforest All iance (RA), lembaga
sertifikasi.
Fokus program di wilayah-wilayah baru ini adalah untuk budi daya, pengembangan kebun demplot,
sekolah lapang kopi, pengembangan media belajar tentang budi daya kopi, dan tes cita rasa kopi.
Menurut Henderikus AM Gego Koordinator Program NTT 1 , penambahan wilayah program ini dalam
rangka upscaling karena daerah-daerah itu potensial kopi. “Kita perlu untuk meningkatkan kapasitas
petani produsen dalam rangka peningkatan produksi, mutu, dan akses ke pasar secara lebih baik,” kata
Henderikus.
16 LONTAR - #6 - 2013
Kabar Internasional
SEJAK 201 0, VECO memperluas
kegiatannya ke Kivu Selatan dan Ituri .
Kami yakin daerah tersebut tidak hanya
butuh bantuan segera tapi juga program
pembangunan berkelanjutan dan
terstruktur.
Jadi, bagaimana warga Kongo
memulai hidup mereka? Tentu saja
dengan segelas Primus, bir lokal pal ing
terkenal. Tempat pembuatan bir Bral ima
memil iki cabang di ibukota Kivu Selatan.
Bahan-bahan bir ada di label minuman
ini: air, gandum, hop (tanaman lokal) ,
gula, dan. . . beras. Setiap bulan,
perusahaan mengolah 360 ton beras.
Hingga satu dekade lalu, pedagang dari
Pakistan menyediakan beras beras
impor dari Asia.
Pada tahun 2006, setelah perang
besar, Brel ima memutuskan untuk
mengambil perannya sendiri dalam
rekonstruksi sosial ekonomi Kongo.
Bekerja sama dengan petani padi
1 00 Persen Lokal untuk Bir Terkenal
setempat menjadi hal penting bagi
mereka. Saat ini 85 persen beras bahan
baku bir datang dari petani lokal. Kami
ingin nantinya semua bahan tersebut,
1 00 persen, berasal dari petani lokal.
Meskipun demikian, Bral ima bukan
satu-satunya pembeli beras lokal
tersebut. Persaingan bisnis sangat ketat.
Perusahaan tambang di daerah sana,
Banro misalnya, harus menyiapkan
setidaknya 1 0.000 porsi tiap hari dan
beras merupakan bagian utama dalam
menu tersebut. Pedagang besar seperti
DATCO dan OLIVE, menyediakan semua
kebutuhan produk. Mereka bahkan
mengimpor mayones dari Belgia ke toko
makanan dan supermarket. Kini mereka
pun mengurangi impor beras dari
Pakistan.
Salah satu alasannya karena
lamanya waktu pengiriman beras dari
Pakistan ke Kongo. “Butuh beberapa
tahun beras dari Pakistan bisa mencapai
Kongo. Karena itu beras sudah tidak
bagus lagi,” kata Ketal, Manajer DATCO
di Bukavu.
“Beberapa tahun terakhir, kami lebih
banyak membeli beras dari Tanzania.
Namun, kami tetap lebih menyukai beras
lokal,” Ketal menambahkan. Selain
membeli beras untuk tempat pengolahan
bir, DATCO juga membelinya untuk toko
makanan. “Konsumen lokal lebih suka
cita rasa beras lokal,” ujarnya.
Sejak tahun lalu, VECO mendukung
organisasi petani dan koperasi petani
padi Kongo di sungai Ruzizi , yang
berbatasan dengan Rwanda dan
Burundi. Dukungan VECO terutama agar
petani bisa menyimpan padinya dengan
baik sehingga bisa mengatur
penjualannya. Dengan demikian, petani
bisa menjual padi dengan harga lebih
tinggi. [Vredesei landen]
VECO sudah bekerja di Kongo Timur sejak beberapa dekade lalu. Meskipun kondisi di negara tersebut
masih labil akibat perang, namun organisasi petani di sana masih terus mendukung anggota-anggotanya.
Dan mereka berhasil.
17LONTAR - #6 - 2013
Kabar Internasional
Dari perusahaan baja ke LSM pen-
dukung pertanian berkelanjutan,
tidakkah itu perubahan karier yang
tak biasa?
Sepertinya memang ini perubahan
yang tak biasa tapi tidak bagi saya.
Mencari ekonomi berkelanjutan selalu
menjadi bagian dalam karier saya.
Sejak kapan tertarik bekerja di LSM?
Saya selalu terpesona oleh kerja
sama pembangunan dan tema
internasional. Pada tahun 2008, saya
menjadi presiden Entrepreneurs for
Entrepreneurs (EFE) di mana saya
memil iki kesempatan menjembatani
perusahaan dan LSM. Ada dua sisi misi
lembaga ini . Pertama ingin mengumpul-
kan dana bagi proyek LSM yang men-
dukung kewirausahaan di Selatan dan
kedua ingin meningkatkan komunikasi
antara perusahaan-perusahaan dengan
LSM. Saya terutama bekerja di tema
kedua.
Dan karena itu Anda tahu tentang
VECO?
Tepat sekali . Sebagai Presiden EFE,
saya berdiskusi dengan Luuk Zonneveld
tahun lalu. Saya jadi tahu lebih banyak
tentang VECO. Visi dan misinya tiba-tiba
menggoda saya: mendorong kewirausa-
haan organisasi petani di Selatan, me-
ningkatkan pendapatan keluarga petani
dengan pengelolaan rantai pertanian,
dan di atas itu semua, mendukung cerita
lebih besar tentang keberlanjutan.
Citra seperti apa yang Anda punya
tentang VECO?
Nama, tentu saja, saya tahu sekali .
Saya juga memil iki gagasan apa yang
VECO perjuangkan. Saya tahu VECO
terl ibat dalam pertanian dan beberapa
isu lain terkait keberlanjutan. Juga ke-
beragaman dan visi bahwa LSM harus
keluar dari kandangnya sendiri untuk
melakukan perubahan nyata adalah hal-
hal yang membuat saya tertarik. Mem-
bangun jembatan antara perusahaan,
publik, dan organisasi lain menjadi daya
tarik terbesar bagi saya. Sejak tahun la-
lu, saya harus tahu VECO dengan lebih
baik.
Menurut Anda, apa yang dapat Anda
berikan kepada VECO?
Saya memiliki banyak pengalaman di
dunia bisnis dengan isu lingkungan, be-
kerja sama dengan banyak orang, dan
saya sering berhubungan dengan LSM
melalui EFE. Saya yakin bahwa pengeta-
huan tersebut akan berguna bagi VECO.
Luc Bonte, Direktur Baru Vredeseilanden
Sejak 1 April 2013 lalu, Luc Bonte menjadi direktur baru Vredeseilanden.
Dia menggantikan LuukZonneveld yang telah memimpin organisasi ini
selama empat setengah tahun. Sebelum di VECO, Luc adalah Direktur
Eksekutif industri baja Sidmar (ArcelorMittal Ghent). Dia pernah bekerja di
beberapa negara, seperti Brazil, Argentina, Amerika Serikat, Australia,
China, Kazakhstan, dan lain-lain. Tugas utamanya memastikan metode
terkait investasi dan kebijakan perawatan, manajemen produksi, struktur
personil, penggunaan air secara berkelanjutan, dan seterusnya.
Berikut obrolan dengan laki-laki dari Ghent, Belgia yang juga salah satu
pengguna awal energi matahari tersebut
18 LONTAR - #6 - 2013
Profil
Apa enaknya bekerja dengan anak-
anak muda?
Banyak banget. Serasa menjadi
muda kembali 20 tahun. Hehehe. . Dari
segi hubungan, saya merasakan
hubungan emosional sangat positi f
dalam menumbuhkan semangat
"voluntary" mereka. Anak muda itu
sering kali membuat kita terbelalak.
Kadang kita meragukan mereka
apakah bisa kerja. Eh, ternyata mereka
punya potensi luar biasa untuk bisa
menunaikan tugas dengan sangat baik.
Ketika kita beri kepercayaan, mereka
ternyata bisa mempertanggung
jawabkannya. Saya kagum dengan
idealisme, semangat, dan cara mereka
bertanggung jawab.
Bagaimana melibatkan mereka dalam
program HFHL?
Prinsipnya beri mereka kepercayaan.
Jangan terlalu banyak mengatur harus
begini dan harus begitu. Kita cukup satu
dua kali memberikan arahan tentang apa
maksud kita. Mereka akan langsung
tanggap dan berkreasi. Jangan lupa juga
beri mereka sedikit puj ian sebelum kita
mengkritik karyanya. Pujian merupakan
energi positi f dan cukup kuat untuk
mengarahkan mereka menghasi lkan
karya lebih baik.
Mereka anak-anak muda yang masih
kul iah dan sekolah. Tanggung jawab
utama mereka belajar untuk meraih
prestasi akademis. Untuk itulah maka
pelibatan mereka dalam program HFHL
juga harus mempertimbangkan hal ini .
Kami selalu mengupayakan kegiatan
HFHL dilakukan ketika mereka sudah
punya waktu "bebas", artinya tidak lagi
berada dalam jam-jam sekolah ataupun
kuliah.
Sebagai media komunikasi internal
HFHL Solo Raya kita ada Facebook.
Melalui Facebook ini , kami sering
melakukan "koordinasi di langit" untuk
sebuah kegiatan. Kami selalu berdiskusi
tentang berbagai ide kreatif pelaksanaan
program HFHL. Di situ dituang
percakapan dengan gaya anak muda.
Kenapa harus melibatkan anak-anak
muda dalam program ini?
Anak-anak muda adalah pemil ik
masa depan. Masa depan bangsa ini di
tangan mereka. Nah, persoalan
sekarang ini adalah justru pada kalangan
anak-anak muda ini terbangun tren pola
konsumsi makanan serba instan. Fast
food. Cenderung tidak sehat. Ketika ada
"gerombolan" anak muda lain yang
cukup berani melawan tren dan
membangun tren sendiri yaitu pola
konsumsi makanan sehat, maka wooow
kereeeeenn. . . Ini menjadi modal sangat
kuat untuk melakukan penyadaran
konsumen pangan sehat di kalangan
anak anak muda.
Apa capaian paling menarik dalam
program HFHL di Solo?
Ada kegiatan Gerebeg Pangan Sehat
yang diselenggarakan HFHL Solo Raya.
Karena menarik maka dil iput banyak
media televisi dan cetak baik lokal
maupun nasional. Kegiatan tersebut
sekarang diadopsi Pemkot Solo dan
diagendakan sebagai even tahunan.
Selain itu, beberapa SKPD di Pemkot
Solo juga sudah mulai berbicara tentang
pangan sehat.
Untuk meraih capaian yang bagus
dan menarik tidak bisa kita lepaskan dari
jaringan. Karena tangan dan kaki kita
cuma dua, maka tidak mungkin meraih
dan mewujudkan great thing tanpa
bergandeng tangan dengan pihak lain.
Rini Merasa 20 TahunLebih Muda
Pengembangan komunitas anak-anak, dari TKsampai remaja, adalah
salah satu kemampuan Buddhi Hastanti Pancarini. Karena itu, ibu dua anak
ini mengaku amatmenikmati pekerjaan-pekerjaannya sebagai Petugas
Lapangan Program HealthyFoodHealthy Living (HFHL) Wilayah Solo Raya.
Sebelum di VECO Indonesia, Rini pernah menjadiManajerProgram
Yayasan Pengembangan Sosial Ekonomi untukTransformasiMasyarakat,
Karanganyar, Jawa Tengah. Alumni S2 Pendidikan Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Universitas Negeri Solo ini pun selama 13 tahun terbiasa
bekerja di tengah masyarakat.
Rini menceritakan suka dukanya bekerja dengan anak-anakmuda dalam
program HFHL.
Foto-Foto: VECO Indonesia
19LONTAR - #6 - 2013
TAHUKAH Anda, dari l ima tanaman
pangan utama Indonesia, hanya satu jenis
yang merupakan tanaman asli Indonesia?
Padilah satu-satunya tanaman asli negeri ini .
Adapun empat tanaman lain, yaitu jagung,
kedelai, ketela rambat, dan singkong
merupakan tanaman “pendatang”. Meskipun
demikian, budi daya padi pun baru dikenal
justru setelah orang-orang dari Asia bagian
utara datang ke Indonesia.
Begitulah salah satu fakta menarik di
buku Perjalanan Panjang Tanaman
Indonesia ini . Buku setebal 224 halaman ini
menjelaskan berbagai tanaman Indonesia
tak hanya sejarah tapi juga penggunaannya. Ada tujuh
bab dalam buku ini yang terbagi dalam empat bagian
besar, yaitu sejarah tanaman-tanaman di Indonesia saat
ini , pertanian di Indonesia, berbagai jenis tanaman di
Indonesia, serta refleksi tentang masa depan tanaman-
tanaman tersebut.
Untuk memudahkan klasifikasi, berbagai jenis
tanaman yang ditul is tersebut terbagi dalam tujuh jenis
yaitu tanaman di persawahan, tanaman di kebun,
tanaman di pekarangan, tanaman bumbu, tanaman obat,
tanaman hias, dan tanaman perkebunan.
Pada tiap jenis tanaman, seperti padi, kayu
putih, buah nangka, dan seterusnya,
terdapat penjelasan tentang asal-usul dan
penggunaannya.
Informasi dalam buku ini mungkin
bukan hal baru karena rata-rata penjelasan
tiap jenis tanaman itu relatif pendek, sekitar
500-1 .000 kata. Namun, menariknya buku
ini karena menjadikan semua jenis tana-
man itu dalam satu buku sehingga serupa
bunga rampai tentang tanaman-tanaman
tersebut.
Buku ini layak dibaca untuk mereka
yang ingin tahu tentang sejarah tanaman-tanaman di
Indonesia. Lebih sebagai pengetahuan, bukan bekal pan-
duan teknis. Refleksi oleh penulis yang juga mantan Di-
rektur Lembaga Biologi Nasional LIPI menjadikan buku ini
juga semacam tawaran menghadapi masa depan keberl-
anjutan tanaman di Indonesia.
Judul : Perjalanan Panjang Tanaman Indonesia
Penulis : Seti jati D. Sastrapradja
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia, Oktober 201 2
Resensi
BERAWAL dari Prancis pada tahun
1 885, Credit Union (CU), lebih dikenal
dengan isti lah Koperasi Kredit (kopdit) di
Indonesia, kini menyebar di berbagai
belahan dunia. Indonesia hanya salah satu
negara di mana terdapat ribuan kopdit.
Kopdit lebih banyak tersebar di daerah-
daerah pelosok, termasuk Flores. Salah
satu provinsi dengan kopdit terbanyak di
Indonesia adalah Kalimantan Barat.
Lima pendiri dan pelaku kopdit di
Kalimantan membuat buku bersama
tentang perjalanan kopdit ini . Buku setebal
247 halaman ini membahas kopdit di
Indonesia dan pengalaman para penulis
mengelola kopdit. Buku ini terbagi dalam dua bagian
besar. Pertama seluk beluk kopdit dan karakteristik kopdit
berkelanjutan. Kedua, tentang pengalaman langsung para
penulis dalam mengelola kopdit.
Bagian pertama berjudul Tentang Credit Union terdiri
dari l ima bab, yaitu Cerita Credit Union, Fi losofi Credit
Union, Mengelola Pertumbuhan dan Siklus Hidup Credit
Union, Credit Union Berkelanjutan, dan Rencana Suksesi
di Credit Union. Adapun bagian kedua terdiri dari empat
bab yaitu Kisah Lima Sarjana, Pembebasan Masyarakat,
Melek Keuangan, dan Kebebasan Finansial.
Karena itu, secara umum, buku ini
menjelaskan landasan fi losofis tentang
kopdit, pengalaman empiris keberhasi lan
kopdit, serta motivasi pengembangan
kopdit berkelanjutan. Dengan tul isan
populer, buku yang diedit AM Lil ik Agung
ini memberikan informasi komprehensif
tentang kopdit meskipun terlalu fokus di
Kalimantan Barat.
Buku ini penting dibaca bagi para
pelaku usaha bisnis pertanian j ika ingin
belajar tentang keberhasi lan kopdit.
Sebab, kopdit i tu sendiri memang lahir dari
kalangan kaum tani yang menyadari
pentingnya jaringan kerja sama dalam
menghadapi kesul itan dan mengembangkan ekonomi.
Kopdit membuktikan bahwa petani ataupun kelompok
masyarakat kelas bawah lain pun bisa memil iki dan
mengelola usaha mereka sendiri . Buku ini membuka mata
untuk membaca sebagian cerita keberhasi lan tersebut.
Judul : Credit Union, Kendaraan Menuju
Kemakmuran
Penulis : Munaldus, Yuspita Karlena, dkk
Penerbit : Elex Media Komputindo, 201 2
Cerita Keberhasilan Koperasi Kredit di Kalimantan
Bunga Rampai Pengetahuan Tanaman Indonesia
20 LONTAR - #6 - 2013