Post on 28-Dec-2015
FERMENTASI SUBSTRAT CAIR
FERMENTASI NATA DE COCO
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI FERMENTASI
Disusun oleh :
Nama : Tabita Oktaviani
NIM : 11.70.0070
Kelompok : B1
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2014
1. HASIL PENGAMATAN
1.1. Pengamatan Ketebalan Lapisan Nata de coco
Hasil pengamatan untuk ketebalan lapisan Nata de coco yang terbentuk dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de coco
KelTinggi Media
Awal (cm)Tinggi Ketebalan Nata (cm) % Lapisan Nata0 7 14 0 7 14
B1 0,5 0 0,8 0,5 0 160 100B2 1 0 0,9 0,5 0 90 50B3 1,2 0 1,3 1,6 0 108,33 133,33B4 0,5 0 0,8 0,5 0 160 100B5 0,8 0 1 0,7 0 125 87,5
Berdasarkan hasil pengamatan diatas dapat diketahui bahwa data antar kelompok
berbeda-beda. Tinggi ketebalan nata untuk semua kelompok pada hari ke-0 belum
terbentuk nata, sehingga % lapisannya pun 0%. Kemudian tinggi ketebalan nata dan %
lapisan nata yang diperoleh kelompok B1, B2, B4, dan B5 dari hari ke-7 sampai hari ke-
14 mengalami penurunan. Sedangkan kelompok B3, % lapisan nata dari hari ke-7
sampai hari ke-14 mengalami peningkatan.
1.2. Uji Sensori
Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensoris Nata de coco dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Sensoris Nata de coco
Kelompok Aroma Warna Tekstur Rasa B1 ++++ +++ +++ ++B2 ++++ ++++ +++ +B3 ++++ ++++ ++ ++++B4 ++++ ++++ ++ +++B5 ++++ ++++ ++ ++++
Keterangan : Aroma Warna Tekstur Rasa++++ : tidak asam putih sangat kenyal sangat manis +++ : agak asam putih bening kenyal manis ++ : asam putih agak bening agak kenyal agak manis + : sangat asam kuning tidak kenyal tidak manis
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil pengamatan nata de coco pada
kelompok B1 memiliki aroma yang tidak asam, warnanya putih, bertekstur kenyal, dan
rasanya agak manis. Nata de coco kelompok B2 memiliki aroma yang tidak asam,
berwarna putih, teksturnya kenyal, dan tidak manis. Kelompok B3 dan B5 memperoleh
hasil Nata de coco dengan sensoris yang sama, yaitu memiliki aroma yang tidak asam,
warnanya putih, agak kenyal, dan rasanya sangat manis. Sedangkan untuk kelompok B4
Nata de coco yang dihasilkan memiliki aroma yang tidak asam, berwarna putih,
teksturnya juga agak kenyal, dan manis rasanya.
2. PEMBAHASAN
Nata merupakan selulosa bakteri yang dihasilkan dari proses sintesis gula oleh
Acetobacter xylinum. Nata memiliki kandungan air yang sangat tinggi yaitu sekitar
98%, warnanya putih transparan, berbentuk padat, dan teksturnya kenyal (Yoshinaga et
al., 1997). Ciri-ciri bakteri golongan Acetobacter antara lain, bentuk sel bulat panjang
atau batang, tidak memiliki endospora, selnya bersifat gram negatif, bernafas secara
aerob, mampu mengoksidasi alkohol (etanol) menjudi senyawa asam asetat (Pelczar dan
Chan, 1988). Acetobacter xylinum adalah bakteri asam asetat yang tergolong bakteri
gram negatif, aerob, berbentuk batang, dan nonmotil. Suhu optimum pertumbuhan
bakteri ini adalah 250C-300C dan pada pH 4,5 mampu mengoksidasi alkohol (etanol)
menjadi asam asetat (Madigan et al., 1997).
Produk nata dapat dihasilkan atau dapat dibuat dengan menggunakan bahan baku air
kelapa, limbah cair tahu, limbah industri nanas, air singkong, air cucian beras, atau sari
buah jambu (Suryani, 2005). Nata yang menggunakan bahan baku air kelapa sebagai
media disebut nata de coco (Saragih, 2004). Media nata de coco terdiri dari beberapa
unsure, antara lain gula pasir sebagai sumber karbon, air kelapa sebagai sumber vitamin
dan unsur mikro, serta asam asetat glasial sebagai penyesuai pH asam. Nata de coco
cocok untuk makanan diet dan baik untuk sistem pencernaan karena selain memiliki
kandungan serat yang tinggi, produk ini juga kandungan kalorinya rendah (Palungkun,
1992). Air kelapa mengandung air sekitar 91,23 %, protein 0,29 %, lemak 0,15 %,
karbohidrat 7,27 %, dan abu 1,06 %. Selain itu air kelapa juga mengandung sukrosa,
dekstrosa, fruktosa, dan vitamin B kompleks. Kandungan dalam air kelapa tersebut
sangat baik digunakan sebagai media bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum untuk
dapat tumbuh dan berkembang dalam air kelapa dan juga membentuk nata. Dalam
pembuatan nata konsentrasi optimum gula yang digunakan untuk 100 ml substrat adalah
10 gram (Awang, 1991).
Menurut Pambayun (2002), bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan nata
meliputi :
Sari buah
Sumber Karbon
Sumber karbon yang dapat digunakan misalnya monosakarida dan disakarida.
Sukrosa tergolong dalam monosakarida yang paling banyak digunakan karena
murah dan mudah ditemui. Contoh senyawa sukrosa yaitu gula pasir.
Sumber Nitrogen
Sumber nitrogen digunakan untuk mendukung aktivitas dan pertumbuhan bakteri
pembentuk nata. Sumber nitrogen yang sering digunakan yaitu ammonium fosfat
(ZA), urea, dan ammonium sulfat. Ammoniun fosfat (ZA) lebih efektif digunakan
dibandingkan dengan urea karena ZA dapat menghambat pertumbuhan pesaing
bakteri Acetobacter xylinum, yaitu bakteri Acetobacter acesi.
Tingkat Keasaman (pH)
Tingkat keasaman mempengaruhi percepatan pertumbuhan Acetobacter xylinum.
Bakteri tersebut sangat cocok tumbuh dalam kondisi asam sekitar pH 4,3. Biasanya
untuk meningkatkan keasaman atau menurunkan pH maka ditambahkan asam
seperti asam cuka atau asam asetat.
Temperatur (suhu)
Temperatur juga mempengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum. Pada inkubasi
suhu ruang sekitar 28oC Acetobacter xylinum dapat tumbuh. Pada suhu diatas atau
dibawah suhu tersebut maka pertumbuhan bakteri akan terhambat dan pada suhu
40oC akan menyebabkan bakteri tersebut mati.
Oksigen
Acetobacter xylinum yang merupakan bakteri aerobik oleh karena itu bakteri ini
membutuhkan O2. Namun oksigen tidak boleh bersentuhan langsung dengan
permukaan nata ataupun terlalu kencang sehingga penutup yang digunakan harus
mempunyai ventilasi yang baik.
Menurut Effendi (2009), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan nata :
1. Temperatur ruang inkubasi
Temperatur ruang inkubasi harus sesuai dengan pertumbuhan bakteri Acetobacter
xylinum agar dapat tumbuh secara optimal. Umumnya, suhu fermentasi pembuatan
nata adalah 280C (suhu ruang). Apabila suhu fermentasi terlalu rendah, maka nata
yang dihasilkan kurang sempurna. Temperatur yang terlalu tinggi juga akan
mengganggu pertumbuhan bakteri sehingga prose produksi nata terhambat.
2. Kualitas starter
Starter yang memiliki kualitas baik maka akan menghasilkan produk nata yang
berkualitas baik pula. Starter yang berkualitas adalah starter yang tidak
terkontaminasi, berada pada lapisan atas di permukaan media, dan nata yang
dihasilkan tidak terlalu tebal.
3. Kebersihan peralatan yang digunakan
Sebelum digunakan, semua alat yang akan digunakan harus dibersihkan dan
disterilkan terlebih dahulu agar pertumbuhan bakteri tidak terhambat.
4. Jenis dan konsentrasi media
Media fermentasi harus banyak mengandung gula (glukosa) yang nantinya akan
diubah Acetobacter xylinum menjadi selulosa.
5. Waktu fermentasi
Fermentasi pembuatan nata membutuhkan waktu 2 – 4 minggu.
6. Tingkat keasaman (pH)
pH optimum untuk fermentasi nata adalah 3 - 5.
7. Tempat fermentasi
Tempat untuk proses fermentasi harus ditempat yang tidak terkontaminasi, tidak
terkena sinar matahari, dan jangan kontak langsung dengan tanah.
2.1. Cara Kerja dan Fungsi Larutan yang Digunakan
Langkah pertama pembuatan nata de coco dalam praktikum ini
yaitu pertama-tama air kelapa yang sudah disiapkan sebanyak 1L
disaring terlebih dahulu menggunakan kain saring. Penyaringan ini
bertujuan untuk memisahkan kotoran dari air kelapa atau ampas-
ampas kelapa yang masih terikut. Setelah disaring, kemudian
direbus sampai mendidih dan jika sudah mendidih api dimatikan
lalu ditambah gula pasir sebanyak 10% dan diaduk sampai larut.
Proses perebusan berfungsi agar mengurangi kontaminan khususnya kontaminan yang
disebabkan oleh mikroorganisme sehingga tidak mengganggu pembentukan nata de
coco nantinya.
Penyaringan
Gula pasir ditambahkan sebagai sumber karbon selama proses
fermentasi berlangsung karena gula pasir mengandung sukrosa.
Setelah itu ditambahkan ammonium sulfat sebanyak 0,5%.
Tujuan penambahan amonium sulfat adalah untuk sumber
nitrogen yang dapat mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri
Acetobacter xylinum. Kemudian didiamkan sebentar sampai
suhunya turun lalu diukur pH-nya. Apabila hasil pengukuran
pH dengan pH meter tidak mencapai 4-5 maka perlu
ditambahkan asam cuka glasial supaya pH-nya mencapai 4-5,
dan untuk memastikan diukur pH-nya lagi. Asam cuka
glasial atau asam asetat glasial berfungsi untuk menciptakan
kondisi lingkungan yang asam untuk Acetobacter xylinum.
Bakteri Acetobacter xylinum sangat cocok tumbuh pada
kondisi asam yaitu pada pH 4,3 (Pambayun, 2002).
Setelah pH sudah sesuai, kemudian diambil 100 ml dan dimasukkan ke dalam wadah
bening lalu ditutup rapat. Masukkan starter atau biang nata sebanyak 10% ke dalam
wadah tersebut secara aseptis lalu digojog perlahan supaya seluruh starter tercampur
rata dan homogen. Hal ini sesuai dengan pendapat Pato & Dwiloka (1994), bahwa
bahwa jumlah starter yang ditambahkan untuk pembuatan nata berkisar antara 4% -
10%. Penambahan jumlah starter yang terlalu sedikit ataupun terlalu banyak akan dapat
menyebabkan karakteristik nata yang dihasilkan tidak sempurna atau bahkan tidak
membentuk lapisan nata sama sekali. Kemudian air kelapa
dalam wadah yang sudah ditambah starter bakteri ditutup
dengan kertas coklat dan diinkubasi pada suhu ruang selama 2
minggu. Proses inkubasi dilakukan pada suhu ruang karena
bakteri A. xylinum adalah bakteri yang dapat tumbuh pada suhu
ruang. apabila diinkubasi pada suhu diatas atau dibawah suhu ruang maka pertumbuhan
bakteri A. xylinum akan terhambat dan lama-kelamaan akan mati.
Selama inkubasi, diusahakan wadah plastik jangan terguncang atau goyang supaya
lapisan nata yang terbentuk tidak terpisah-pisah. Menurut Budiyanto (2004), selama
Inkubasi
Pengukuran pH
Selesai Perebusan
proses pembentukan nata harus dihindari goncangan atau gerakan karena goncangan
tersebut akan menenggelamkan lapisan nata yang telah terbentuk dan dapat
menyebabkan lapisan nata yang baru akan terpisah dari lapisan nata yang pertama.
Apabila hal ini terjadi maka ketebalan produksi nata tidak standar atau tidak sesuai. Hal
ini juga didukung oleh pernyataan Czaja (2004) bahwa selulosa tidak akan membentuk
lapisan dipermukaan dan menghasilkan serat karena kristalin yang terbentuk kecil
akibat terpencar oleh adanya gerakan atau goncangan.
Pengamatan terhadap nata de coco yang dihasilkan dalam praktikum ini yaitu
pengukuran tinggi pembentukan atau ketebalan lapisan nata de coco di permukaan,
dimana pengamatan dilakukan pada hari ke-7 dan hari ke-14. Setelah 2 minggu, lapisan
atau nata de coco yang sudah jadi lalu
dicuci dengan menggunakan air mengalir
secara berulang kali dan direndam dalam air
selama 3 hari. Tujuan dari proses pencucian
berulang-ulang adalah untuk menghilangkan
asam. Lapisan nata yang terbentuk diukur kembali. Nata
dipotong-potong hingga berbentuk kotak atau dadu kecil lalu
dimasukkan kedalam panci berisi air gula dan dimasak sambil
diaduk hingga mendidih. Penambahan gula pasir bertujuan
untuk memberikan cita rasa manis pada nata. Setelah nata de
coco masak, dilakukan uji sensori dari segi aroma, warna,
tekstur, dan rasa.
2.2. Perbandingan Tinggi Nata
Hasil pengamatan pada Tabel 1. menunjukkan bahwa walaupun semua kelompok dari
B1-B5 menggunakan jumlah starter atau biang nata yang sama yaitu sebanyak 10%
namun hasil % lapisan nata yang diperoleh berbeda-beda. Sebenarnya untuk tinggi awal
Pemasakan
PemotonganPencucian
Nata de coco yang sudah jadi
B1 B2 B3 B4 B5
media dan tinggi ketebalan nata antar kelompok tidak dapat dibandingkan karena
wadah yang digunakan masing-masing kelompok juga berbeda ukuran satu sama lain.
Tinggi ketebalan nata dan % lapisan nata yang diperoleh kelompok B1, B2, B4, dan B5
dari hari ke-7 sampai hari ke-14 mengalami penurunan. Sedangkan kelompok B3, %
lapisan nata dari hari ke-7 sampai hari ke-14 mengalami peningkatan. Penurunan %
lapisan nata dan ketidaksesuaian serta perbedaan hasil mungkin disebabkan karena
terjadinya goncangan yang berlebihan terhadap nata pada proses inkubasi selama 2
minggu. Rahayu et al., (1993) mengatakan bahwa jika selama proses fermentasi terjadi
gangguan berupa goncangan maka nata yang terbentuk di permukaan cairan akan turun
ke bawah sehingga menyebabkan pengukuran % lapisan nata mengalami penurunan.
Selain itu tingkat keaseptisan yang berbeda juga dapat mempengaruhi hasil nata de coco
yang diperoleh. Semakin aseptis atau higienis proses yang dilakukan praktikan maka
aktivitas dari bakteri Acetobacter xylinum menjadi lebih optimal sehingga nata de coco
yang dihasilkan juga baik. Adanya mikroorganisme perusak atau bakteri selain A.
Xylinum dapat mengakibatkan konsentrasi glukosa menjadi berkurang sehingga nata de
coco yang dihasilkan menjadi kurang maksimal atau bahkan mengalami kegagalan
(Tranggono & Sutardi, 1990). Selama proses inkubasi, keberadaan isolat inokulum
harus stabil karena fluktuasi populasi inokulum dapat berpengaruh terhadap banyaknya
serat selulosa yang dihasilkan dan pasti akan mempengaruhi ketebalan nata yang
dihasilkan.
2.3. Uji Sensori Nata de coco
Berdasarkan data dari tabel hasil pengamatan untuk uji sensori nata dilakukan
pengujian terhadap aroma, warna dan rasa dari nata de coco. Dari hasil pengamatan
pada Tabel 2., dapat diketahui bahwa semua nata de coco yang dihasilkan semua
kelompok memiliki aroma yang tidak asam. Aroma asam nata de coco hilang
dikarenakan proses pencucian yang dilakukan berulang-ulang dan berhari-hari. Semua
kelompok nata de coco-nya berwarna putih kecuali kelompok B1 berwarna putih
bening. Hasil pengamatan yang sesuai adalah kelompok B1 karena Awang (1991)
menyatakan bahwa hasil fermentasi air kelapa oleh bakteri Acetobacter xylinum akan
menghasilkan nata de coco yang berbentuk padat, kokoh, kuat, putih transparan, kenyal,
dan rasa mirip dengan kolang-kaling. Warna nata dipengaruhi oleh adanya penambahan
gula yang larut dalam cairan air kelapa dan adanya starter atau biakan Acetobacter
xylinum (Astawan & Astawan., 1991). Kemudian dari segi tekstur, nata de coco
kelompok B1 dan B2 kenyal, sedangkan kelompok B3-B5 teksturnya agak kenyal.
Herman (1979) mengemukakan pendapat bahwa semakin tebal nata yang terbentuk
maka semakin kenyal nata tersebut karena kandungan selulosanya lebih tinggi.
Kekenyalan pada nata dipengaruhi oleh sedikit banyaknya serat atau selulosa yang
terkandung didalam nata. Rasa nata de coco yang dihasilkan antar kelompok berbeda-
beda, ada yang sangat manis sampai yang tidak manis. Perbedaan rasa ini disebabkan
karena konsentrasi atau jumlah gula yang ditambahkan pada proses pemasakan berbeda-
beda tiap kelompoknya.
2.4. Jurnal
Dalam jurnal “Optimalisasi Pemberian Ammonium Sulfat terhadap Produksi Nata de
Banana Skin” mengatakan bahwa faktor penting yang perlu diperhatikan pada
pembuatan nata adalah sumber nitrogen. Sumber nitrogen yang diberikan bertujuan
untuk merangsang pertumbuhan dan aktivitas bakteri Acetobacter xylinum. Penggunaan
ammonium sulfat akan memberi kontribusi pada nata de coco yang dihasilkan berupa
tekstur yang lembut dan cukup efektif juga jika digunakan dalam pembuatan nata de
banana. Tujuan penelitian jurnal ini yaitu menentukan konsentrasi ammonium sulfat
yang paling optimum dapat digunakan untuk pembuatan Nata de Banana Skin. Dan
berdasarkan hasil pengamatan, disimpulkan bahwa pemberian konsentrasi ammonium
sulfat sampai 1,2% memberi efek yang sama terhadap ketebalan, berat, kadar air, dan
rendemen nata. Pemberian ammonium sulfat pada konsentrasi 0,4% telah mencukup
dalam pembuatan Nata de Banana Skin (Evy Rossi et al., 2008).
Nira lontar dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan nata, penelitian ini ada pada
jurnal “Fermentasi Nira Lontar untuk Produk Nata”. Berdasarkan hasil penelitian
sebelumnya, pembuatan nata dengan menggunakan nira aren telah diketahui bahwa
dengan adanya penambahan 2,5 gr ZA dapat menghasilkan rendemen nata rata-rata
94,22 % untuk setiap liter nira aren (Lempang dan Kadir, 2002). Nira lontar hampir
sama seperti nira aren, jadi dapat diperkirakan jika nira lontar sangat mungkin dapat
difermentasi untuk menghasilkan nata. Dan dari hasil penelitian di jurnal ini diketahui
bahwa penggunaan bahan baku nira lontar dengan penambahan ZA 2,5 gr dan asam
asetat 2 ml/liter nira memproduksi lembaran nata yang tipis dengan rendemen nata rata-
rata 34,31%. Jika dibandingkan dengan nira aren, rendemen nata dari nira lontar
tersebut lebih rendah. Rendahnya rendemen nata lontar ini mungkin disebabkan karena
media nira lontar yang sangat rentan terhadap serangan jamur. Hasil analisis keragaman
rendemen nata juga menunjukkan bahwa umur starter dan perbandingan volume starter
dengan nira lontar masing-masing secara terpisah berpengaruh nyata terhadap rendemen
nata lontar, namun interaksi antara kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata
terhadap rendemen nata nira lontar.
A. Jagannath et al., (2008) melakukan penelitian dan menulis sebuah jurnal berjudul
“The Effect of pH, Sucrose and Ammonium Sulphate Concentrations on the Production
of Bacterial Cellulose (Nata de coco) by Acetobacter xylinum. Disitu tertulis bahwa
media dalam pembuatan nata adalah air kelapa karena merupakan media yang sangat
baik bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum. Sumber karbon yang digunakan dalam
penelitian tersebut adalah sukrosa. Bahan-bahan lain yang digunakan juga sama seperti
dalam praktikum ini yaitu ammonium sulfat dan asam cuka glasial hingga pH air kelapa
mencapai pH antara 4-5.
Jurnal “Evaluation of Physical and Mechanical Properties Composite of Nata de coco
Fibers/Resin Filled SiO2, and Al2O3 (Saputra & Darmansyah, 2010)” juga mendukung
jurnal diatas bahwa, nata de coco adalah produk hasil fermentasi air kelapa dengan
menggunakan bakteri Acetobacter xylinum. Serat yang terkandung dalam nata de coco
adalah selulosa. Selulosa yang dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum memiliki
sifat kemurnian tinggi tanpa lignin, pektin, dan hemiselulosa, yang biasanya terdapat di
dalam selulosa tanaman. Hal inilah yang membuat serat nata de coco memiliki potensi
untuk lebih dikembangkan dan tidak hanya sekedar digunakan sebagai bahan makanan
atau minuman olahan, tetapi juga dapat digunakan untuk industri penting lainnya seperti
pembuatan diafragma transduser untuk alat atau instrument speaker dan headphone.
Berdasarkan jurnal “A Comparison Between the Performance of S. Cerevisiae Cells
Immobilized in Nata de coco Biocellulose and Calcium Alginate During Continuous
Bioethanol Production” yang ditulis oleh C.M. Montealegre et al., tahun 2012, selulosa
adalah salah satu bahan yang sangat melimpah di Bumi. Pada umumnya, selulosa
tanaman terikat dengan lignin, selulosa murni dari tanaman yang sulit didapatkan. Nata
de coco yang berasal dari air kelapa merupakan salah satu bentuk selulosa yang
diproduksi oleh bakteri Acetobacter xylinum. Nata de coco dapat dijadikan sebagai
media imobilisasi untuk produksi bioetanol secara terus menerus karena memiliki
kekuatan struktural dan efektivitas biaya.
Berdasarkan jurnal “Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in
Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de coco” (Santosa et al., 2012), nata
de coco mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai minuman instant kaya akan serat
dengan penambahan dekstrin dan CMC (Carboxy Methyl Cellulosa) yang dapat
memberikan pengaruh nyata atau efek signifikan terhadap sifat kelarutan, serat kasar,
kadar air, warna, rasa, dan juga penampilan atau penampakan dari nata de coco instant.
Dalam penelitian ini, penambahan konsentrasi dekstrin dan CMC pada minuman nata
de coco instant adalah 15% dekstrin dan 2,5% CMC. Menurut Palungkun (1996), nata
de coco dapat memberikan efek kesehatan bagi tubuh karena banyak mengandung serat
kasar (dietary fiber) yang sangat dibutuhkan oleh tubuh dalam proses fisiologi.
3. KESIMPULAN
Nata merupakan selulosa bakteri yang dihasilkan dari proses sintesis gula oleh
Acetobacter xylinum.
Nata memiliki kandungan air yang sangat tinggi yaitu sekitar 98%, warnanya putih
transparan, berbentuk padat, dan teksturnya kenyal.
Kandungan dalam air kelapa sangat baik untuk digunakan sebagai media bagi
pertumbuhan Acetobacter xylinum.
Penyaringan bertujuan untuk memisahkan kotoran dari air kelapa atau ampas-ampas
kelapa yang masih terikut.
Proses perebusan berfungsi mengurangi kontaminan khususnya kontaminan yang
disebabkan oleh mikroorganisme lain sehingga tidak mengganggu pembentukan
nata de coco.
Gula pasir digunakan sebagai sumber karbon.
Ammoium sulfat adalah sumber nitrogen yang digunakan untuk mendukung
aktivitas dan pertumbuhan bakteri pembentuk nata.
Asam cuka glasial berfungsi sebagai penyesuai pH asam.
Jumlah starter yang ditambahkan untuk pembuatan nata berkisar antara 4% - 10%.
Goncangan akan menenggelamkan lapisan nata yang telah terbentuk dan dapat
menyebabkan lapisan nata yang baru akan terpisah dari lapisan nata yang pertama.
Tujuan dari proses pencucian berulang-ulang adalah untuk menghilangkan asam.
Adanya mikroorganisme perusak atau bakteri selain Acetobacter xylinum dapat
mengakibatkan konsentrasi glukosa menjadi berkurang sehingga nata de coco yang
dihasilkan menjadi kurang maksimal atau bahkan mengalami kegagalan.
Semakin tebal nata yang terbentuk maka semakin kenyal nata tersebut karena
kandungan selulosanya lebih tinggi.
Semarang, 1 Juni 2014
Praktikan, Asisten Dosen :
- Chrysentia Archinitta
Tabita Oktaviani
11.70.0070
4. DAFTAR PUSTAKA
A. Jagannath; A. Kalaiselvan; S. S. Manjunatha; P. S. Raju & A. S. Bawa. 2008. The effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World J Microbiol Biotechnol (2008) 24:2593–2599.
Astawan, M. & M.W. Astawan. 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pressindo. Bogor.
Awang, S. A. 1991. Kelapa Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. Jakarta.
Budiyanto. K.A. 2004. Mikrobiologi Terapan. Edisi Pertama. Cetakan Ketiga. UMM Press. Malang.
Czaja, W., Romanovicz, D. and Brown R.M. 2004. Structural Investigations of Microbial Cellulose Produced in Stationary and Agitated Culture. Journal Cellulose, Springer in Netherlands. Volume 11, p: 403‐411
C.M. Montealegre et al., 2012. A Comparison Between the Performance of S. Cerevisiae Cells Immobilized in Nata de coco Biocellulose and Calcium Alginate During Continuous Bioethanol Production. International Journal of Chemical Engineering and Applications, Vol. 3, No. 4, August 2012.
Herman, A.H. (1979). Pengolahan Air Kelapa. Buletin Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia 4(1) Halaman 9 – 17.
Effendi, Nurul Huda. 2009. Pengaruh Penambahan Variasi Massa pati (Soluble Starch) Pada Pembuatan Nata de Coco Dalam Medium Fermentasi Bakteri Acetobacter xylinum. Medan.
Lempang, M. dan A. Kadir, W. 2002. Analisis biaya produksi dan kandungan nutrisi nata dari nira aren. Laporan Hasil Penelitian tahun 2002 (tidak diterbitkan) Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi. Makassar.
Madigan MT, Martinko JM, Parker J, 1997. Brock Biology of Microorganism. Edisi ke‐8, New Jersey: Prentince Hall.
Palungkun. R. 1992. Aneka Produk Olahan Kelapa. Cetakan Ketujuh. Penebar Swadaya. Jakarta.
Palungkun. R. 1996. Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pambayun, R. 2002. Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta.
Pato, U. & Dwiloka, B. 1994. Proses & Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Nata de Coco. Sains Teks I (4) : 70-77.
Pelczar dan Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jilid 2. Cetakan pertama. Penerbit UI-Press. Jakarta.
Rahayu, E.S. ; R. Indriati ; T. Utami ; E. Harmayanti & M.N. Cahyanto. 1993. Bahan Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.
Santosa et al., 2012. Dextrin Concentration and Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) in Making of Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol. 1 No. 1, Mar 2012,6-11ISSN : 2252-5297.
Saputra & Darmansyah. 2010. Evaluation of Physical and Mechanical Properties Composite of Nata de coco Fibers/Resin Filled SiO2, and Al2O3. The 1st International Seminar on Fundamental and Application 2010 of Chemical Engineering. November 3-4, 2010, Bali-Indonesia.
Saragih. Y.P, 2004. Membuat Nata de coco. Puspa Swara, Jakarta.
Suryani. A. 2005. Membuat Aneka Nata. Cetakan pertama. Penebar Swadaya. Jakarta.
Tranggono & Sutardi. 1990. Biokimia & Teknologi Pasca Panen. PAU Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.
Yoshinaga F, Tonouchi N, Watanabe K. 1997. Research Progress in Production of Bacterial Cellulose by Aeration and Agitation Culture and Its Application as a New Industrial Material. Biosci. Biotech. Biochem., 61:219‐224.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Rumus :
% Lapisan Nata=tinggi ketebalannata (cm)
tinggi mediaawal(cm)x 100 %
Kelompok B1
Hari ke – 0
% Lapisan Nata= 00,5
x 100 %=0%
Hari ke – 7
% Lapisan Nata=0,80,5
x 100 %=160 %
Hari ke – 14
% Lapisan Nata=0,50,5
x 100 %=100%
Kelompok B2
Hari ke – 0
% Lapisan Nata=01
x 100 %=0 %
Hari ke – 7
% Lapisan Nata=0,91
x 100 %=90 %
Hari ke – 14
% Lapisan Nata=0,51
x 100 %=50 %
Kelompok B3
Hari ke – 0
% Lapisan Nata= 01,2
x100 %=0%
Hari ke – 7
% Lapisan Nata=1,31,2
x 100 %=108,33 %
Hari ke – 14
% Lapisan Nata=1,61,2
x 100 %=133,33 %
Kelompok B4
Hari ke – 0
% Lapisan Nata= 00,5
x 100 %=0 %
Hari ke – 7
% Lapisan Nata=0,80,5
x 100 %=160%
Hari ke – 14
% Lapisan Nata=0,50,5
x 100 %=100 %
Kelompok B5
Hari ke – 0
% Lapisan Nata= 00,8
x 100 %=0%
Hari ke – 7
% Lapisan Nata= 10,8
x 100 %=125 %
Hari ke – 14
% Lapisan Nata=0,70,8
x100 %=87,5%
5.2. Jurnal
5.3. Laporan Sementara