Post on 01-Dec-2015
description
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL
BLOK KEDARURATAN MEDIK
SKENARIO 1
NYERI DADA
Disusun Oleh :
Kelompok A5
Clarissa Rayna S. P. G0010045 Paramita Stella G0010149
Elga Putri Indanarta G0010069 Rachma Dinar Okfiani G0010157
Fernando Feliz C. G0010079 Siska Dewi Agustina G0010179
M. Rama Anshorie G0010117 Yohanes Purbanta S. G0010199
Mifta Wiraswesti G0010125 Yusuf Budi Hermawan G0010203
Tutor : Prof. Muchsin Douwes, dr., PFark.,M.OR.,AIFO.,MARS
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seorang laki-laki umur 49 tahun dating ke UGD dengan keluhan nyeri dada.
Nyeri dada dirasakan sejak setengah jam yang lalu dan tidak hilang dengan
istirahat. Riwayat merokok dua pak per hari sejak usia 15 tahun. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan : TD 80/60 mmHg, Nadi: 130x / menit, RR: 20x/
menit, Suhu: 36C. Pemeriksaan fisik: Cor: SI-II Normal, Gallop (-), bising (-).
Pada paru : SD vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-). Pada saat penderita
dilakukan pemasangan dan pemberian Oksigen 4 liter/menit tiba-tiba pasien
mendadak kejang dan tidak sadar. Setelah dilakukan cek respon (AVPU), tidak
didapatkan nadi teraba. Akhirnya dokter menetapkan penderita mengalami henti
napas, henti jantung. Kemudian dilakukan resusitasi jantung paru dan dilakukan
penatalaksanaan ACLS. Akhirnya setelah hemodinamik stabil penderita dipindah
ke ICVCU.
B. RumusanMasalah
1. Bagaimana penanganan kedaruratan medic dengan keluhan nyeri dada?
2. Bagaimana patofisiologi dari manifestasi klinis gejala dan pemeriksaan
yang didapatkan dari pasien?
3. Mengapa pasien mendadak kejang dan tidak sadar ketika dilakukan
pemasangan infuse dan terapi oksigen?
4. Bagaimana penanganan henti napas dan henti jantung?
C. Manfaat Penulisan
1. Memahami penanganan pasien kedaruratan medic dengan keluhan utama
nyeri dada
2. Memahami gejala-gejala dan pemeriksaan yang dilakukan pada pasien
dengan keluhan nyeri dada.
3. Memahami penanganan pasien kejang dan tidak sadar dan mengetahui
penyebab kejang dan tidak sadar.
4. Memahami penanganan pasien dengan henti napas dan henti jantung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Nyeri Dada
Nyeri dada dapat diakibatkan oleh berbagai hal yang berasal dari jantung,
paru, saluran cerna, dan muskuloskeletal.
A. Nyeri dada yang berasal dari jantung
Gangguan Karakteristik Tipikal Pemeriksaan Diagnostik
Angina Tekanan substermalleher,
rahang, lengan, durasi <30
menit
dipsun, diaforesis, N/V
diperberat oleh kerja keras,
hilang
dengan
nitrogliserin/istirahat
EKG s (ST , ST , dan
atau TWI)
Infark Miokardium Infark miokardium Sama
dengan angina namun
Intensitasnya lebih sering
atau tinggi, durasi >30
menit
EKG s (ST , ST dan
atau TWI CPK-MB atau
troponin
Perikarditis Nyeri tajam menyekam
kebahu diperberat oleh
respirasi hilang bila duduk
kearah depan
Suara gesekan pericardium
(pericardial friction rub) EKG
s (ST yang cekung dan
difusi) efusi pericardium
Diseksi Aorta Nyeri mendadak, seperti
teriris atau tersayat pisau,
di pertengahan skapula
posterior atau anterior
Tekanan darah atau nadi
asimetris, Al kasus baru
pelebaran mediastinum pada
rontgen toraks lumen palsu
pada tomografi computer
(CT), ekotransesopagus
(TEE),angiografi, atau MRI
B. Nyeri dada berasal dari paru
Gangguan Karakteristik Tipikal Pemeriksaan Diagnostik
Pneumonia Pleuritik, dispnu, demam,
batuk, sputum
Demam, takipnu, krepitasi
dan konsolidasi, infiltrat
pada rontgen toraks
Pleuritis Nyeri tajam, pleuritik Suara gesekan pleura
(pleural friction rub)
Pneumotoraks Unilateral tajam,
pleuritik onset mendadak
Hipersonol unilateral,
penurunanbunyi nafas,
pneumotoraks pada
rontgen toraks
Edema paru Pleiritik, onset mendadak Takipnu, takikardia,
hipoksemia, Scan
ventilasi/perfusi atau
angiogram paru
Hipertensi pulmonal Dipsnu, beban latihan
fisik
Hipoksemia, P2
’d,S3&S4 di sisi kanan
C. Nyeri dada yang berasal dai saluran cerna
Gangguan Karakteristik Tipikal Pemeriksaan
Diagnostik
Refluks Oesophagus Rasa terbakar substemal,
rasa
asam dimulut ; kombinasi
hipersaliva dan regurgitasi
asam diperberat oleh
makan, posisi berbaring
Pemeriksaan pH
esofagus,
uji perfusi asam
bemstein
EGD
hilang dengan antasida
Spasme Oesophagus Nyeri substermal yang
hebat
diperberat saat menelan
hilang dengan nitrogliserin
atau CCB
Pemeriksaan serial
saluran
cerna atas manometri
Ruptur Mallory Weiss Tercetus karena muntah EGD
Penyakit Ulkus
Peptikum
Nyeri epigastrik yang
hilang
dengan antasida
hematemesis,
menelan
EGD, uji H. pylori
Penyakit Empedu Nyeri perut kuadran kanan
atas, mual/muntah
diperberat oleh makanan
berlemak
USG kuadran kanan atas,
uji fungsi hati
Pankreatitis Rasa tidak nyaman
dipunggung/epigastrium
amilase dan lipase,
CT
abdomen yang abnormal
D. Nyeri dada yang berasal dari muskuloskeletal dan yang lainnya
Gangguan Karakteristik Tipikal Pemeriksaan
Diagnostik
Kostokondritis Nyeri tumpul atau tajam
yang terlokalisir
Nyeri tekan ketika
dipalpasi
Penyakit servikal / OA Tercetus karena gerakan,
berlangsung dalam
hitungan detik hingga
Rontgen foto
jam
Herpes Zooster Nyeri unilateral yang
hebat
Ruam dematomal dan
temuan sensorik
Ansietas “rasa sesak” -
B. Kejang
Ada 2 kemungkinan penyebab terjadinya kejang pada skenario tersebut,
yaitu adanya reaksi shock anafilaksis dan adanya Paul Bert Effect karena
penggunaan oksigen yang kurang dikontrol.
1. Shock Anafilaksis/reaksi anafilaktoid
Shock anafilaksis pada skenario ini kemungkinan karena penggunaan
infus. Shock anafilaksis merupakan reaksi hipersensitivitas yang berhubungan
dengan degranulasi Mast Cell sehingga menyebabkan terlepasnya mediator-
mediator pro inflamasi. Gejala dan tanda reaksi anafilaksis termasuk timbul rasa
kecemasan, urtikaria, angiodema, nyeri punggung, rasa tercekik, batuk,
bronkospasme atau edema laryng.
Pada beberapa kasus, terjadi hipotensi, hilang kesadaran, dilatasi pupil,
kejang hingga “sudden death”. Shock terjadi akibat sekunder dari hipoksia yang
berat, vasodilatasi perifer atau adanya hipovolemia relative akibat adanya
ektravasasi cairan dari pembuluh darah. Namun demikian vascular kolaps dapat
terjadi tanpa didahului gejala gangguan respirasi dan dalam hal ini kematian dapat
terjadi dalam beberapa menit.Jadi gejala Shock anafilaktif adalah gabungan gejala
anafilaksis dengan adanya tanda-tanda Shock yang secara sistimatis dapat
dikelompokan dengan gejala prodromal, kardiovaskuler, pulmonal,
gastrointestinal dan reaksi kulit.
Gejala prodromal pada umumnya adalah perasaan tidak enak, lemah, gatal
dihidung atau di palatum, bersin atau rasa tidak enak didada. Gejala ini
merupakan permulaan dari gejala lainnya.Gejala pulmoner didahului dengan
rhinitis, bersin diikuti dengan spasme bronkus dengan atau tanpa batuk lalu
berlanjut dengan sesak anoksia sampai apneu.Gejala gastrointestinal berupa mual,
muntah, rasa kram diperut sampai diare. Sedangkan gejala pada kulit berupa gatal-
gatal, urtikaria dan angioedema.
2. Paul Bert Effect
Paul Bert Effect merupakan manifestasi dari pembentukan ROS secara
berlebihan sehingga menyebabkan jejas oksidatif pada permukaan membran sel di
susunan saraf pusat karena pemberian paparan oksigen bertekanan tinggi tanpa
kontrol. Gejala dari Paul Bert Effect ini sangat khas yaitu adanya kejang dengan
tipe Tonic-Clonic setelah pemberian oksigen.
Untuk mengantisipasi terjadinya Paul Bert Effect ada beberapa hal yang
harus diperhatikan saat memberikan oksigen, antara lain:
- Konsentrasi oksigen yang masuk harus selalu dikontrol
- Tidak terjadi penumpukan oksigen dalam tubuh secara berlebih
- Resistensi jalan nafas yang cukup rendah
- Pemberian oksigen harus secara efisien dan ekonomis
C. Triage Gawat Darurat Kardio Vaskuler
1. Nyeri dada
Nyeri dada menetap dengan penjalaran ke leher, lengan, atau rahang (khas
iskemia) dan disertai gambaran iskemia pada EKG, tidak berkurang dengan
istirahat atay nitrogliserin. Rasa lemah waktu aktivitas fisik, pucat, dan keringat
dingin, hipotensi, takikardi, irama tidak teratur, bising atau thrill yang tidak ada
sebelumnya, ronki basah. Penderita dengan rasa kematian yang mengancam harus
dianggap gawat sebelum dibuktikan sebaliknya/dievaluasi.
2. Sesak nafas
Sesak nafas dianggap gawat bila frekuensi nafas 40x/menit atau lebih.
Sesak meningkat waktu berbaring, disertai gelisah dan kelihatan sakit berat, batuk
terus menerus (kadang disertai darah atau busa kemerahan), atau disertai nyeri
dada, nyeri punggung, bising diastolik, nadi asimetris, atau aritmia.
3. Gangguan kesadaran
Gangguan kesadaran yang dianggap gawat bisa berupa sinkop disertai
gangguan irama/aritmia atau tekanan darah abnormal.
4. Penderita dengan tekanan darah tinggi
Bila diastolik 130mmHg atau lebih. Diastolik di atas 110mmHg disertai
gangguan sesak nafas, ronki basah/edema paru, angina, nyeri kepala hebat, edema
papil, gangguan neurologik atau kesadaran, kejang atau oliguria.
5. Penderita dengan gangguan irama jantung
Bila menyebabkan atau terdapat hipotensi, tanda iskemia miokard atau
otak, blok, aritmia ventrikuler, atau sinus takikardia yang menetap (terutama bila
ada tanda klinis kelainan jantung organik atau riwayat infark).
6. Rudapaksa dada (thoraks)
Bila terjadi rudapaksa dengan deselerasi cepat, crush injury, jatuh, terpukul,
pada dada oleh karena kemudi, luka tusuk/tembak, benda asing, terbenam, riwayat
bedah jantung/penyakit jantung dan pada inspeksi terlihat kulit pucat, dingin,
cemas, nyeri, disorientasi, tanda rudapaksa dada/punggung, nafas
lambat/cepat/paradoksikal. Nadi dan BJ lemah/hilang, hipotensi, tamponade,
sianosis, nadi asimetris.
D. Gawat Darurat Kardio Vaskuler
1. Syok kardiogenik
Sindrom klinis syok kardiogenik adalah keadaan yang terjadi akibat
ketidakmampuan curah jantung untuk mempertahankan fungsi alat-alat vital
akibat disfungsi otot jantung. Penyebab paling sering adalah infark miokard akut.
a) Gambaran klinis
Tekanan sistolik arteri < 80mmHg (ditentukan dengan
pengukuran intra ateri),
Produksi urin < 20 ml/hari atau gangguan status mental.
Tekanan pengisian ventrikel kiri > 12mmHg
Tekanan vena sentral lebih dari 10 mmH2O dianggap
menyingkirkan kemungkinan hipovolemia
Disertai dengan manifestasi peningkatan katekolamin seperti
gelisah, keringat dingin, akral dingin, takikardi, dll.
b) Patofisiologi
Infark miokard akut/ infark baru pada infark miokard lama kerusakan
iskemik dan nekrosis > 40% yang progresif obstruksi proksimal arteria
koronaria kadar ensim jantung meningkat tinggi syok kardiogenik
c) Gambaran hemodinamik
Tekanan sistolik arteri dan tekanan rata-rata arteri menurun, denyut
jantung meningkat karena adanya disfungsi ventrikel kiri yang berat. Curah
jantung sangat rendah akibat peningkatan tekanan pembuluh sistolik sebagai
akibat kegagalan ventrikel kiri.
d) Tatalaksana
Pendekatan pengobatan
Pemberian cairan kristaloid/koloid dan oksigen
Reperfusi dini dengan trombolisis, angioplasti atau keduanya
menunjukkan hasil yang baik
Pembedahan dini jika semua cara gagal
Monitoring hemodinamik
Pengukuran tekanan pengisian ventrikel dan curah jantung dapat memberi
gambaran beratnya masalah, prognosis dan adanya hipovolemi.
Pompa balon intra aorta
Indikasi pemasangan pompa balon intra aorta adalah:
Hipotensi (sistolik < 90mmHg, tekanan arteri rata-rata
60mmHg atau lebih kecil 30mmHg di bawah tekanan
basal sebelumnya)
Peningkatan tekanan baji arteri (lebih besar 16-18 mmHg)
Indeks jantung yang rendah (< 2 liter/menit/m2)
Kateterisasi jantung
Penderita dengan sakit dada berulang atau berkepanjangan harus segera
dilakukan angiografi koroner untuk memastikan ada tidaknya otot jantung yang
dapat diselamatkan dengan reperfusi. Penderita tanpa tanda-tanda iskemi baru
diperiksa angiografi setelah 24-48 jam untuk menentukan perlu tidaknya tindakan
bedah.
Reperfusi dini
Meskipun reperfusi dini merupakan pendekatan yang rasional dalam
menyelamatkan otot jantung yang terancam rusak, peranan dan saat
pelaksanaannya, seleksi penderita dan metode reperfusi trombolisis, PTCA dan
bedah pintas koroner masih dalam perkembangan dan belum dapat dipastikan.
Pengobatan lain
Tindakan dasar pengobatan infark miokard akut dilakukan bersamaan
seperti mengatasi rasa sakit seperti sedasi dan pengobatan aritmia.
2. Sinkop
a) Etiologi
Penurunan volume penurunan tahanan perifer obstruksi aliran darah
ke otak curah jantung rendah obstruksi dan aritmia sinkop
b) Tatalaksana
ABC
Letakkan penderita posisi kebalikan Tredelenburg (kepala
direndahkan, tungkai bawah ditinggikan) untuk
meningkatkan aliran darah ke otak
Longgarkan pakaian terutama pada leher
Bila serangan di RS segera ambil spesimen darah untuk
pemeriksaan hematokrit, elektrolit, gula darah, dan buat
rekaman EKG 12 sandapan. Berikan 1 ampul dekstrose 50%
intravena
Periksa apakah ada rudapaksa sewaktu sinkop
3. Krisis hipertensi
Suatu sindrom klinis dengan tanda khas berupa kenaikan tekanan darah
sistolik dan diastolik secara tiba-tiba dan progresif. Tekanan darah sistolik naik
menjadi 250mmHg atau lebih, tekanan diastolik menjadi 140mmHg atau lebih.
a) Jenis krisis hipertensi
Ensefalopati hipertensi
Krisis hipertensi karena pelepasan katekolamin
Krisis hipertensi karena perdarahan intrakranial (intraserebral
atau arakhnoid)
Krisis hipertensi yang berhubungan dengan edem paru akut
Krisis hipertensi yang berhubungan dengan penyakit ginjal
biasanya pada glomerulonefritis akut
Diseksi aneurisma aorta akut
Eklampsia dan preeklampsia
b) Tanda dan keluhan
Ensefalopati hipertensi dengan keluhan sakit kepala,
perubahan mental dan gangguan neurologis
Pemeriksaan fisik : papil edema, perdarahan fundus dan
eksudat, kelainan neurologik
Pemeriksaan elektrokardiogram : gambaran iskemia berupa
hipertrofi ventrikel kiri dan perubahan segmen S-T
sedangkan pemeriksaan rontgen dada dapat menunjukkan
tanda bendungan
c) Pengobatan
Prinsip pengobatan adalah menurunkan tekanan darah sistolik dan
diastolik secepat dan seaman mungkin namun harus segera hilang bila pemberian
dihentikan dan sedikit kontraindikasinya. Sodium nitropusside dapat memenuhi
kriteria di atas. Obat lain termasuk nitrogliserin, nifedipin, furosemid juga dapat
dijadikan pilihan.
4. Spel hipoksik
Suatu sindrom yang ditandai dengan serangan gelisah, menangis
berkepanjangan, hiperventilasi, bertambah biru, lemas atau tidak sadar dan
kadang-kadang kejang, yang sering terdapat pada anak-anak dengan penyakit
jantung bawaan biru.
a) Patofisiologi
Spel hipoksik paling sering terjadi pada Tetralogi Fallot defek septum
ventrikel yang besar sehingga ventrikel kanan dan kiri harus berfungsi sebagai
rongga pemompa tunggal penurunan tahanan vaskuler sistemik atau
peningkatan tahanan pada alur keluar ventrikel kanan peningkatan aliran balik
vena sistemik
Faktor-faktor terjadinya akibat menangis lama, aktivitas berat, dehidrasi,
dll. Biasanya serangan tersering pada usia 3 bulan sampai 3 tahun.
b) Tatalaksana
Letakkan pada posisi lutut didekatkan pada dada, supaya
aliran balik vena sistemik berkurang karena darah berkumpul
di ekstremitas bawah
Berikan oksigen 100%
Injeksi morfin sulfat 0,1 mg/kgBB secara subkutan dan dapat
diulang selama 10 menit
Vasopresor secara intravena
5. Diseksi aorta
Diseksi aorta terjadi karena lapisan dinding aorta robek akibat masuknya
darah ke lapisan media. Proses pemisahan dapat terjadi secara akut maupun
kronis. Setelah lewat 2 minggu dianggap fase kronis.
a) Patogenesis
Hipertensi sistemik
Degenerasi jaringan ikat
Robekan intima
Perjalanan hematoma yang menyebabkan diseksi
b) Klasifikasi
De Bakey Lokasi Stanford
Tipe 1 Meluas melampaui aorta desenden Tipe A
Tipe 2 Terbatas hanya di aorta desenden
Lebih distal dari arteri subklavia
kiri
Tipe B
c) Gejala dan tanda
Gejala
Sakit seperti dirobek mulai daerah retrosternal menjalar ke
punggung
Sinkop
Sulit bernafas
Stroke
Iskemia tungkai
Anuria
Sesak saat aktivitas yang progresif akibat regurgitasi aorta
Tanda
Syok
Nadi hilang atau terlambat
Regurgitasi aorta
Edema paru
Efusi perikard
Defisit neurologik
d) Diagnosis
CT scan atau MRI
Rontgen dada memperlihatkan pelebaran mediastinum dan
adanya cairan pleura
Ekokardiografi menunjukkan adanya cairan perikard,
regurgitasi aorta dan flap aorta pada batang aorta
e) Tatalaksana
Memulai pengobatan, menstabilkan tanda-tanda vital dan
menegakkan diagnosis definitif dengan artografi
Tatalaksana definitif dimana obat-obatan diteruskan dan
dilanjutkan intervensi bedah pada kasus-kasus yang
memerlukan.
E. Henti Jantung
Cardiac arrest disebut juga cardiorespiratory arrest, cardiopulmonary
arrest, atau circulatory arrest, merupakan suatu keadaan darurat medis dengan
tidak ada atau tidak adekuatnya kontraksi ventrikel kiri jantung yang dengan
seketika menyebabkan kegagalan sirkulasi (Terdapat empat jenis ritme yang
menyebabkan henti jantung yaitu ventricular fibrilasi (VF), ventricular takikardia
yang sangat cepat (VT), pulseless electrical activity (PEA), dan asistol. Untuk
bertahan dari empat ritme ini memerlukan kedua bantuan hidup dasar/ Basic Life
Support dan bantuan hidup lanjutan/ Advanced Cardiovascular Life
Support (ACLS).
Pada orang yang mengalami henti jantung dapat ditemukan gejala-gejala
yang tiba-tiba sebagai berikut:
Tidak sadar secara tiba-tiba (collapse)
Nadi tidak teraba, hipotensi (tekanan darah turun drastis/hampir tidak ada)
Tidak bernapas
Hilangnya kesadaran secara tiba-tiba merupakan tanda terjadinya
kekurangan oksigen di otak (cerebral hipoksia). Namun, kadang kita bisa
menemukan “tanda-tanda peringatan” yang dapat menunjukan akan terjadinya
henti jantung yaitu rasa lelah, lemah, pandangan kabur dan berkunang-kunang,
pusing, nyeri dada, napas dangkal dan pendek, berdebar-debar (palpitasi), atau
muntah; walaupun tidak semua kejadian henti jantung memberikan tanda
peringatan ini.
Henti jantung mendadak (sudden cardiac arrest/ SCA) berbeda dengan
serangan jantung (cardiac arrest). SCA adalah kondisi yang muncul
apabila jantung berhenti memompa darah ke seluruh tubuh yang diakibatkan oleh
gangguan elektrifitas internal jantung yang mengatur denyut jantung. Sedangkan
serangan jantung (heart attack) disebabkan karena kurang adekuatnya
vaskularisasi otot jantung akibat tersumbatnya pembuluh darah coroner jantung.
Pada serangan jantung oksigen tidak adekuat untuk mencukupi kebutuhan sel-sel
otot jantung sehingga otot jantung menjadi iskemia.
Walaupun henti jantung dan serangan jantung berbeda, namun terdapat
hubungan antara keduanya. Pada serangan jantung, kerusakan otot jantung akibat
iskemia sel jantung dapat mengganggu sistem elektrik internal jantung. Gangguan
sistem elektrik internal ini dapat menyebabkan gangguan ritme jantung menjadi
melambat atau menjadi lebih cepat dan bisa menjadi henti jantung. Dengan kata
lain, orang yang memiliki riwayat serangan jantung memiliki resiko yang lebih
besar henti jantung mendadak dibandingkan orang yang tidak memiliki riwayat.
F. Henti Nafas
Gagal nafas secara garis besar dapat dibagi menjadi dua katagori, yaitu :
hipoksemia (tipe 1) dan hiperkapnia (tipe 2). Gagal nafas hipoksia adalah PaO2
kurang dari 55 mmHg ketika FiO2 0,60 atau lebih. Gagal nafas hiperkapnia
adalah saat PaCO2 lebih dari 45 mmHg. Secara umum definisi dari gagal nafas
adalah ketidakmampuan dari system respirasi untuk menjaga keadaan yang
normal pada pertukaran gas dari atmosfer ke sel seperti yang dibutuhkan oleh
tubuh. Penyebab umum terjadi gagal nafas tersebut adalah antara lain :
1. Infeksi akut misalnya bronchitis akut atau pneumonia.
2. Retensi sputum karena tindakan pembedahan, trauma, penurunan
kesadaran.
3. Bronkospasme misalnya pada pasien dengan asma.
4. Pneumothorak, gagal nafas akut dapat terjadi dengan cepat tergantung
dari ukuran pneumothorak dan beratnya penyakit paru yang mendasarinya.
5. Bullae, mirip dengan pneumothoraks dimana bulla subpleural sering
disangka merupakan suatu pneumothorak.
6. Gagal ventrikel kiri, dapat timbul karena adanya penyakit jantung
iskemik, overload cairan atau kegagalan kedua ventrikel karena keadaan
korpulmonale.
7. Emboli paru, ditemukan secara autopsy sebesar 20-50%, sering sulit
untuk mendiagnose karena adanya penyakit paru lainnya.
8. Pemberian oksigen yang tidak terkontrol, dapat menimbulkan hiperkarbia
akut yang dapat menganggu mekanisme hypoxic drive respirasi. Faktor
utama nampaknya adalah pelepasan CO2 dari hemoglobin oleh oksigen
(efek Haldane) dan memperburuk mismatch ventilasi-perfusi (V/Q) yang
disebabkan karena penurunan dari vasokonstriksi pada daerah pintasan,
sehingga memungkinkan lebih banyak darah vena yang kaya CO2 masuk
kedalan sirkulasi arterial.
9. Sedasi, pemberian sedasi yang berlebihan dapat menimbulkan keadaan
hipoventilasi
Patofisiologi gagal nafas misalnya pada PPOK adalah sebagai berikut:
Faktor yang menyebabkan obstruksi aliran udara pada PPOK termasuk edema dan
hipertropi mukosa, secret, bronkospasme, dan hilangnya elastic recoil paru
(karena hilangnya tekanan permukaan alveolar dan elastin paru disebabkan oleh
destruksi dari dinding alveolar). Berkurangnya recoil elastic akan menyebabkan
penurunan aliran udara ekspirasi, karena tekanan alveolar (mengatur aliran udara
ekspirasi) dan tekanan jalan nafas intraluminal (akan mengembangkan jalan nafas
kecil selama ekspirasi) menurun. Obstruksi aliran udara akan menimbulkan
pemanjangan ekspirasi, hiperinflasi paru, peningkatan kerja pernafasan dan
sensasi terhadap dispneu, semuanya bertambah berat pada pasien dengan PPOK.
Distorsi dan destruksi alveoli menimbulkan hilangnya capillary bed , dan
hipoksia menyebabkan vasokonstriksi areteri pulmoner. Ini akan menyebabkan
hipertensi pulmoner, perubahan vaskularisasi sekunder, dan akhirnya
korpulmonale. Peningkatan hipoksia selama gagal nafas akut akan meningkatkan
tekanan arteri pulmoner dan dapat menimbulkan gagal jantung kanan akut.
Kombinasi dari obstruksi jalan nafas, penyakit parenkim paru dan gangguan pada
sirkulasi akan menimbulkan V/Q mismatch yang sangat besar. Daerah paru yang
tidak mengalami ventilasi dengan baik akan menjadi pintasan parsial atau komplit.
Hal ini akan menimbulkan hipoksia arterial, yang mana ketika bersifat kronis,
akan dapat menyebabkan polisitemia sekunder dan peningkatan hipertensi
pulmoner. Daerah yang kurang perfusi atau kelebihan perfusi akan meningkatkan
ruang rugi. Sehingga sebagai hasil dari V/Q mismatch yang berat, kebutuhan
ventilasi untuk untuk mendapatkan keadaan normokarbia akan meningkat.
Peningkatan ventilasi semenit akan menimbulkan peningkatan kerja pernafasan.
Sejak ekspirasi tidak optimal pada sumbatan jalan nafas, ini bersama dengan
peningkatan ventilasi semenit akan menimbulkan peningkatan dinamis yang
permanent dari kapasitas residu fungsional (FRC) atau hiperinflasi paru. Karena
volume paru meningkat, otot-otot pernafasan (diafragma dan interkosta) akan
menjadi tidak efesien karena terjadi pemendekan serat saraf dan ketidakuntungan
secara mekanik, dan kerja pernafasan akan menjadi meningkat. Ketika kapasitas
otot pernafasan tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan peningkatan ventilasi, akan
terjadi hiperkarbia kronis.
Hiperkarbia kronis jarang terjadi pada PPOK, dan cenderung terjadi pada
fase akhir dari penyakit, berhubungan dengan kompensasi asan-basa ginjal.
Biasanya timbulpada PPOK didominsi oleh bronchitis kronis dengan FEV1
dibawah 1 liter, dan berhubungan dengan polisitemia, korpulmonale, dan retensi
CO2 lainnya dengan pemberian oksigen yang tidak terkontrol. Bagaimanapun
juga, gagal nafas hiperkarbia dapat ditimbulkan oleh peningkatan pintasan paru.
G. Resusitasi Jantung Paru Otak
Tujuan : mencegah mati klinis menjadi mati biologis. Mati klinis
merupakan periode dini suatu kematian yang ditandai dengan henti napas dan
henti jantung/sirkulasi serta terhentinya aktivitas otak yang bersifat reversibel.
Pada mati biologis terjadi proses nekrotisasi semua jaringan. Proses ini dimulai
dari neuron-neuron serebral yang seluruhnya akan rusak dalam waktu ± 1jam dan
diikuti organ-organ lain, seperti jantung, ginjal, dan hati yang akan rusak dalam ±
2 jam. Mati biologis mengikuti mati klinis bila tidak dilakukan resusitasi atau bila
resusitasi tidak berhasil meliputi mati anatomi, mati organ dan batang otak.
Jika terjadi henti jaantung dan henti napas, yang akan dilakukan adalah
resutasi jantung paru (CPR, Cardiopulmonary resuscitation)
Prinsip untuk keberhasilan ditentukan oleh:
Early access to get help. Sesegera mungkin meminta bantuan untuk
mengaktifkan sistem gawat darurat.
Early (correct) CPR to buy time. Sesegera mungkin melakukan
resusitasi jantung paru dengan teknik yang benar.
Early defibrillation to restart heart. Sesegera mungkin mengupayakan
defibrilasi jantung.
Early ALS to stabilize. Sesegera mungkin bantuan hidup lanjutan
memadai diberikan untuk stabilisasi
Fase RJPO
I. Basic Life Support (bantuan hidup dasar)
Tujuannya ialah oksigenasi darurat, menunda kerusakan fungsi organ,
mempertahankan pernafasan dan sirkulasi yang adekuat. Langkah terbaik dan
tercepat untuk penyelamatan korban adalah melakukan pijat jantung. Sebenarnya
tersedia alat defibrilator jantung, semacam alat kejut listrik yang bisa
menghentikan irama jantung yang kacau itu, sesegera mungkin, saat itu juga.
Setiap detik keterlambatan adalah pengurangan kesempatan hidup kembali. Tapi
karena di tempat umum di Indonesia alat semacam itu belum tersedia, dan pijat
jantung masih merupakan metode terbaik maka pentingnya edukasi pijat jantung
disebarluaskan dan diajarkan secara nasional. Bersamaan atau setelah pijat
jantung, harus diberikan bantuan nafas. Kalau perlu berlanjut menjadi nafas
buatan dengan mesin ventilator di ICU. Trik ini agak berbeda dengan doktrin
klasik ABC pada urutan penyelamatan pasien kritis yang mendahulukan A
(Airway, mengamankan jalan nafas), lalu B (Breathing, bantuan nafas) disusul C
(Circulation, membantu sistem jantung dan pembuluh darah). Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa dengan membalik urutan A-B-C menjadi C-AB lebih efektif
menyelamatkan nyawa korban henti jantung. Resusitasi sampai ke emergency bisa
dihentikan jika :
Timbul nadi spontan (5-10 dtk) pada a. Carotis
Datang penolong yang lebih menguasai (dokter, perawat, ahli anestesi
yang terlatih)
Penolong kecapekan sesudah + 30 mnt dengan catatan respon dari
fungsi respirasi dan fungsi jantung (-)
Penderita dinyatakan meninggal oleh dokter, dengan parameter mati
biologis: pemberian sulfas atropin, adrenalin respon (-), dilatasi
maksimal pupil.
II. Advanced Life Support (Bantuan Hidup Lanjutan)
D-Drugs and Fluid Intra-Venous Life Line (Obat-obatan dan cairan Intra
Vena)
Obat-obatan dan cairan Intra Vena diberikan paling baik melalui vena
cephalica/basilica kanan, vena cubiti, vena inguinalis.
Adrenalin (0,5-1 mg Intra Vena)
Diberikan setiap 5 menit sampai nadi spontan kembali. Dalam suasana
asam tidak begitu efektif, responsibilitas maksimal adrenalin pada pH 7,35-7,45.
Jika pembuluh darah sulit ditemukan, beri intracardial (harus oleh ahli), pada bayi
bisa diberi sublingual.
Natrium Bicarbonat (1 mEq/kgBB Intra Vena)
Sebagai buffer, terhadap keadaan asam tidak begitu berpengaruh. Harus
diberikan ke vena yang lebih besar (v. Jugularis interna, v. Subclavia, v. Cubiti, v.
Cava superior, v. Femoralis)
Sulfas Atropin ke SA Node
Tujuannya kontraktilitas menjadi lebih baik.
E-Elyectrocardiography
Untuk mendiagnosa gelombang jantung, mengenali dan menentukan
tatalaksana dari disritmia yang terjadi. Contoh kelainan: ventricular fibrillation,
asystole, bizarre complex
F-Fibrillation
Henti jantung paling sering dengan irama ventricle failure (few minutes)
mengakibatkan asystole, setelah diberikan adrenalin, defibrillator paling efektif
mengatasi VF.
Ventricular fibrilation harus diterapi dengan defibrilation cardiac shock.
Dosis: anak 3 J/kgBB ; dewasa 2-5 J/kgBB. Setelah itu monitor dengan EKG
EMS call (< 5 mnt) lakukan early defibrillation akan meningkatkan angka
keberhasilan. Immediate External Defibrillation : 200 J – 200 J – 360 J (1
rangkaian).
Lidocaine 1-2 mg/kgBB/IV jika diperlukan (mis. Pada Bizarre
Complexes), lanjutkan infus
G-Gaughing
Tujuannya menentukan penyebab henti jantung dan henti napas dengan
pemasangan alat-alat monitor.
H-Human Mentation
Cerebral resuscitation dilakukan penilaian kesadaran sampai ke sel-sel
otak. Mempertahankan homeostasis intrakranial maupun ekstrakranial.
Immediately after restoration of spontaneous circulation and throughout coma
dan Ameliorate post anoxic encephalopathy. Semua tindakan dilakukan dengan
prinsip kemanusiaan.
I-Intensive Care
Tempat melakukan semua tindakan cerebral resuscitaion (monitoring &
supports. Monitoring (CV, tekanan arteri, kateter urin, EKG) Mempertahankan
hemodinamik, normotensi, ventilasi oksigen terkontrol, temperatur, relaksasi,
sedasi, cairan, elektrolit, glukosa, dan tekanan intrakranial. Pasang ventilator
mekanik dengan konsentrasi O2 50%. Perhatikan pCO2 (30-35 mmHg), pH 3,5-
4,5.
Penatalaksanaan Syok Kardiogenik
Langkah 1. Tindakan resusitasi Segera
Tujuannya adalah untuk mencegah kerusakan organ, mempertahankan
tekanan arteri rata-rata untuk mencegah sekuele neurologi dan ginjal. Memberikan
aliran oksigen, intubasi atau ventilasi harus dilakukan segera jika ditemukan
abnormalitas difusi oksigen.
Dopamin dan noradrenalin (norepinefrin) untuk meningkatkan tekanan
arteri rata-rata dengan hipotensi. Dobutamin dan dopamin dalam dosis sedang
untuk keadaan low output tanpa hipotensi yang nyata.
Intra-aortic ballon counterpulsation (IABP) dikerjakan jika tersedia sebelum
transportasi.
Memonitor gas darah dan memberi tekanan udara positif berkelanjutan
jika ada indikasi.
Memonitor EKG dan mempersiapkan alat defribilator, obat antiaritmia
seperti amiodaron dan lidokain
Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan elevasi ST jika
diantisipasi keterlambatan angiografi lebih dari 2 jam.
Pada infark miokard dengan elevasi non ST yang menunggu kateterisasi,
diberikan inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Langkah 2. Menentukan secara dini Anatomi Koroner
Hal ini merupakan langkah penting dalam tatalaksana syok kardiogenik yang
berasal dari kegagalan pompa (pump failure) iskemik yang perdominan. Hipotensi
diatasi segera dengan IABP.
Langkah 3. Melakukan revaskularisasi
Terapi Atrial Flutter :
Pada pasien simtomatis dengan atrial flutter yang baru, terapinya
kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama sinus. Flutter dapat diterminasi
dengan stimulasi atrial dengan menggunakan pacemaker sementara atau
permanen. Prosedur ini digunakan setelah pemasangan kabel pacemaker pada
tindakan operasi. Selain itu, beberapa jenis pacemaker dan implantasi defibrilator
dapat diprogram jika terjadi atrial flutter.
Pasien yang tidak memerlukan tindakan kardioversi segera dapat memulai
terapi farmakologis. Pertama, kecepatan ventrikular diperlambat dengan obat AV
block (beta blocker, CCB, atau digoxin). Setelah efektif diperlambat, dapat diberi
obat yang memperlambat atau memperpanjang periode refraktori (class IA, IC,
III).
Untuk terapi kronik dapat ditangani dengan ablasi kateter. Pada metode
ini, elektroda kateter dimasukkan melalui vena femoralis, melewati inferior vena
cava, dan melakukan lokalisasi dan ablasi pada bagian reentran untuk
menghentikan secara permanen.
Secara umum pengelolaan Syok Kardiogenik meliputi:
Patikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan intubasi.
Berikan oksigen 8 – 15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk
mempertahankan PO2 70 – 120 mmHg.
• Supportif umum : penanggulangan nyeri. Rasa nyeri akibat infark akut yang
dapat memperbesar syok yang ada harus diatasi dengan pemberian morfin.
• Monitoring : Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam
basa yang terjadi. Bila mungkin pasang CVP. Pemasangan kateter Swans Ganz
untuk meneliti hemodinamik.
a) Ukur tekanan arteri
b) Menilai curah jantung
c) EKG, Analisa Gas Darah, Lab (Hb, elektrolit, kreatinin, ureum)
• Perawatan :
a) Selalu jaga jalan nafas bebas
b) Pasang alat pantau jantung
c) Pantau tekanan darah berkala
d) Obat-obatan : vasopressor (dopamine : untuk menaikkan tekanan darah
minimal menjadi 90mmHg dan menambah volume)
e) Koreksi hipovolemia dan asidosis
Syok dapat dibagi dalam tiga tahap yang makin lama makin berat :
tahap 1 syok terkompensasi (non progresif), yaitu tahap terjadinya respon
kompensatorik
tahap 2, tahap progresif, ditandai oleh manifestasi sistemik dari hipoperfusi dan
kemunduran fungsi organ.
tahap 3, tahap refrakter (irreversible ) yaitu tahap kerusakan sel yang hebat tidak
dapat lagi dihindari, dan pada akhirnya menuju pada kematian.
Prognosis paling baik apabila segera dikenali gejala henti jantung dan
segera dilakukan CPR oleh seseorang yang terlatih dalam teknik. Bila ada
fibrilasi ventrikel dilakukan defibrilasi dini. Prognosis jelek adalah pasien asistole,
penanganan terlambat, dan pasien dengan penyakit banyak organ.
Keberhasilan RJP dimungkinkan oleh adanya interval waktu antara mati
klinis dan mati biologis, yaitu sekitar 4 – 6 menit. Dalam waktu tersebut mulai
terjadi kerusakan sel-sel otak rang kemudian diikuti organ-organ tubuh lain.
Dengan demikian pemeliharaan perfusi serebral merupakan tujuan utama pada
RJP.
Tanpa pertolongan medis, 95% korban mati klinis akan mengalami mati
biologis sebelum tiba di RS. Keberhasilan resusitasi dimungkinkan oleh adanya
waktu tertentu diantara mati klinis dan mati biologis. Dikenal pula istilah mati
sosial, yaitu suatu kerusakan otak yang hebat dan ireversibel sehingga pasien tidak
sadar dan tidak responsif, tetapi EEG aktif dan beberapa refleks masih utuh.
Pernapasan bisa spontan atau dibantu dengan alat bantu napas (respirator),
kesadaran koma, kadang-kadang seperti bangun dan membuka mata, tetapi tidak
bisa kontak dengan dunia luar.
Jika henti jantung dan henti napas tidak cepat ditolong, maka akan terjadi
mati biologis yang irreversibel. Setelah tiga menit mati klinis ( jadi tanpa
oksigenisasi ), resusitasi dapat menyembuhkan 75% kasus klinis tanpa gejala sisa.
Setelah empat menit persentase menjadi 50% dan setelah lima menit 25%.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario, didapatkan keluhan nyeri dada sejak setengah jam yang lalu
tidak hilang dengan istirahat dan menjalar ke lengan kiri, leher dan ke punggung.
Hal ini mungkin terkait dengan kebiasaan pasien yang merokok sampai dua pak
per hari sejak usia 15 tahun. Rokok mengandung ribuan senyawa yang bersifat
toksik, karsinogenik dan teratogenik. Senyawa-senyawa kimia dalam rokok
menurunkan HDL dalam tubuh sehingga menimbulkan aterosklerosis. Adanya
plak aterosklerosis ini menyebabkan lumen pembuluh darah menyempit dan
terjadi oklusi pembuluh darah terutama di arteri coronaria. Oklusi ini
menyebabkan aliran darah koroner tidak adekuat dan terjadi iskemia miokard.
Iskemia miokard akan menyebabkan penurunan perfusi jantung yang
berakibat pada penurunan intake oksigen dan akumulasi hasil metabolisme
senyawa kimia. Akumulasi metabolit ini timbul karena suplai oksigen yang tidak
adekuat, maka sel-sel miokard mengompensasikan dengan berespirasi anaerob.
Produk sampingnya disebut asam laktat yang membuat pH sel menurun.
Perubahan metabolisme sel-sel miokard inilah yang menstimulasi reseptor nyeri
melalui symphatetic afferent di area korteks sensoris primer (area 3,2,1
Broadman) yang menimbulkan nyeri di dada.
Nyeri dada yang dirasakan pasien menyebar ke lengan diklasifikasikan
sebagai nyeri alih. Nyeri alih merupakan nyeri yang berasal dari salah satu daerah
di tubuh tapi dirasakan terletak di daerah lain. Nyeri visera sering dialihkan ke
dermatom (daerah kulit) yang dipersarafi oleh segmen medulla spinalis yang sama
dengan viskus nyeri tersebut. Apabila dialihkan ke permukaan tubuh, maka nyeri
visera umumnya terbatas di segmen dermatom tempat organ visera tersebut
berasal pada masa mudigah, tidak harus di tempat organ tersebut pada masa
dewasa.
Saat ini penjelasan yang paling luas diterima tentang nyeri alih
adalah teori konvergensi-proyeksi. Menurut teori ini, dua tipe aferen yang masuk
ke segmen spinal (satu dari kulit dan satu dari otot dalam atau visera)
berkonvergensi ke sel-sel proyeksi sensorik yang sama (misalnya sel proyeksi
spinotalamikus). Karena tidak ada cara untuk mengenai sumber asupan
sebenarnya, otak secara salah memproyeksikan sensasi nyeri ke daerah somatik
(dermatom).
Pada pemeriksaan vital sign, didapatkan RR 20x/menit dan suhu 36oC
yang masih dalam batas normal, nadi 130x/menit dan tekanan darah 80/60 mmHg.
Takikardia dan hipotensi merupakan tanda syok. Syok sendiri dibagi menjadi 2,
yaitu hipovolemik, dimana volume plasma berkurang dan normovolemik, yaitu
volume plasmanya tetap hanya saja pembuluh darah mengalami vasodilatasi
sehingga terlihat seperti volume plasma berkurang relatif. Pada kasus ini, karena
pasien sebelumnya mengalami nyeri dada, maka pasien dikategorikan terkena
syok kardiogenik, yang termasuk bagian dari syok normovolemik.
Pada pemeriksaan fisik pada cor terdapat suara 1 dan 2 yang normal dan
tidak terdapat adanya bunyi gallop atau bising. Hal ini menunjukkan tidak adanya
kelainan pada jantung. Pada pemeriksaan lapang paru juga tidak terdapat suara
tambahan di dekstra maupun sinistra, dan hanya terdapat suara dasar vesikuler
saja yang berarti tidak ada kelainan di paru-paru pasien.
Pada saat diberikan terapi oksigen 4 liter/menit dan infuse tiba-tiba pasien
tidak sadar dan kejang. Pemberian oksigen yang sesuai dosis terapi adalah antara
2-5 liter/menit, tetapi pemberian tersebut harus memperhatikan kebutuhan dan
keadaan pasien sendiri. Sindroma yang sering menyertai pemberian oksigen
adalah Paulbert effect yang disebabkan karena kesalahan pengontrolan terapi
oksigen. Paulbert effect akan menyebabkan kejang tonik klonik pada pasien. Efek
ini disebabkan karena pembentukan ROS yang berlebih pada susunan sel saraf
pusat akibat pemberian oksigen yang tinggi dan tidak dikontrol. Kejang juga bias
disebabkan karena syok anafilaktik akibat pemberian infus. Infus ada banyak
jenisnya dan fungsinya berbeda-beda. Pasien syok anafilaktik biasanya bias
dideteksi apabila pasien sendiri sudah mempunyai gangguan hipersensitivitas tipe
IV. Oleh karena itu, perlu dilakukan tes hipersensitivitas apabila akan diberii nfus
jika waktunya mencukupi. Seorang dokter juga harus siap obat-obat penanganan
syok seperti antihistamin, aminofilin, adrenalin, kortikosteroid, epinefrin, dan
NaCl atau infuse fisiologis lain.
Penanganan kondisi kedaruratan medic pada kasus sebaiknya disesuaikan
dengan penyebabnya, apakah karena reaksi syok dan hipersensitivitas ataupun
karena gangguan di system sirkulasi terutama cor. Henti napas bias diatasi dengan
pemberian oksigen sedangkan henti jantung bias ditangani dengan
menggunanakan teknik Advanced Cardiovaskuler Life Support(ACLS). Prinsip
ACLS hamper sama dengan ATLS, tetapi pada ACLS lebih mengedepankan
penanganan sirkulasi (dimulai dari C). Hal tersebut karena mungkin pasien dapat
bernapas otomatis tetapi terdapat gangguan sirkulasi (jantung) sehingga
kebutuhan oksigen akan berkurang sehingga perlu dijaga system sirkulasinya.
Pasien juga dibawa keruang ICVCU (Intensif Cardiovaculer Care Unit) yaitu
ruangan ICU yang khusus untuk penanganan gangguan kardiovaskuler.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nyeri dada yang dialami pasien kemungkinan besar disebabkan
konsumsi rokok yang sangat berlebihan sejak remaja. Hal tersebut
menimbulkan beberapa komplikasi seperti iskemik miokard akut. Penanganan
kondisi kedaruratan medik pada kasus sebaiknya disesuaikan dengan
penyebabnya, apakah karena reaksi syok dan hipersensitivitas ataupun karena
gangguan di sistem sirkulasi terutama cor.
B. Saran
Tutor sangat membantu tutorial dengan memberikan garis besar
masalah dan memberikan feedback pada info mahasiswa sehingga mahasiswa
lain juga aktif dalam mengungkapkan pendapat. Saran untuk kegiatan diskusi
tutorial adalah partisipasi seluruh anggota kelompok untuk menjaga ketertiban
diskusi dan kemampuan saling menghargai terus ditingkatkan agar tujuan
pembelajaran dapat tercapai dengan sebaik-baiknya oleh seluruh anggota
diskusi.
DAFTAR PUSTAKA
Ismudiati Rilantono et al, Lily. Buku Ajar Kardiologi. 2003. Jakarta:FKUI.
Price, Sylvia. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 2003. Jakarta:
EG
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/02/05/sudden-cardiac-arrest-dan-
bulan-jantung-amerika/
Lilly, L. 2007. Pathophysiology of Heart Disease : Mechanism of Cardiac
Aritmia. Philadelphia : Lippincot William
Price, A. Sylvia, dan Wilson, Lorraine M.. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC
Sovari dan Kocheril. 2009. U.S National Heart, Lung, and Blood Institute. Sudden
Cardiac Arrest Association
Swartz, Mark H.. 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC