Post on 27-Oct-2015
NPM : 2012620112
Kelas : Z
Kelompok : 3
Pusat Kajian Humaniora Universitas Katolik Parahyangan
2012
PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas selesainya
laporan pribadi eksposur ini. Selesainya laporan eksposur ini juga tidak lepas dari
bantuan teman teman satu kelompok eksposur saya, juga dari guru pembimbing
kami, Bapak Yusuf Siswantara. Saya berharap dengan adanya laporan eksposur ini,
bisa membuka wawasan pembaca akan kehidupan para tukang parkir, suka duka
dan persoalan mereka, agar ke depannya dapat lebih peka, berempati dan tergerak
untuk peduli dan menghargai sesama yang terabaikan dan seringkali dipandang
sebelah mata, seperti tukang parkir.
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................4
BAB II KETERLIBATAN DALAM PENDAMPINGAN......................................................6
BAB III STUDI PUSTAKA.........................................................................................................8
BAB IV REFLEKSI IMAN DAN RUMUSAN IMAN...........................................................11
BAB V KESIMPULAN................................................................................................................12
3
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Alasan dan tujuan pemilihan subjek eksposur
Tukang parkir adalah sosok yang sangat sering kita jumpai dalam
kehidupan sehari hari. Mereka membantu para pengemudi untuk memarkir
kendaraan nya dengan benar, sehingga tempat parkir tertata teratur, menimbulkan
keadaan nyaman bagi semua pengemudi yang telah memarkirkan mobilnya.
Mereka juga membantu untuk menjaga keamanan kendaraan yang dititipkan
kepada mereka.
Namun seringkali kita malah memandang mereka sebelah mata, terkadang
kasar kepada tukang parkir yang sesungguhnya ingin membantu kita. Kita
terkadang marah jika ditegur, padahal tukang parkir hanya mengingatkan akan
kewajiban kita menaati peraturan. Kesimpulannya, kita jarang menghargai tukang
parkir, padahal mereka lah yang berusaha menjaga ketertiban, kenyamanan, dan
keamanan kita sebagai pemilik kendaraan bermotor.
4
Saya memilih tukang parkir sebagai subjek eksposur saya, untuk lebih
mengenal dan memahami sosok yang terabaikan ini. Saya ingin mengetahui lebih
jauh seluk beluk, suka duka pekerjaan mereka sebagai seorang tukang parkir,
tentang bagaimana mereka menyelami pekerjaan yang mungkin dianggap rendah
oleh orang lain, tetapi justru sangat penting ini.
1.2 Penjelasan subjek dampingan
Subjek dampingan saya bernama Pak Slamet. Beliau berasal dari kota
Semarang. Beliau pindah ke kota Bandung atas ajakan kakaknya yang sudah lebih
dulu menetap di kota ini. Dulu beliau bekerja membantu kakaknya menjual
minuman di depan Universitas Islam Bandung. Apabila stan minuman kakaknya
sedang tidak ramai dikunjungi orang, beliau sering membantu para tukang parkir
UNISBA untuk mengatur mahasiswa-mahasiswa yang memarkir kendaraannya
disana. Rupanya bantuan pak Slamet dihargai dan dibutuhkan oleh para tukang
parkir lainnya. Mereka pun mengajak pak Slamet untuk menjadi tukang parkir
permanen bersama dengan mereka.
1.3 Sisi keterlibatan dengan subjek
Saya memilih sisi keterlibatan subjek dalam pekerjaannya. Saya memilih
mendatangi beliau pada saat beliau bekerja, namun pada saat tempat parkir sepi,
sehingga saya tidak mengganggu pekerjaan beliau. Dengan memilih sisi ini, saya
bisa mengamati penghayatan subjek akan pekerjaannya, interaksi dengan orang
orang di sekitarnya, termasuk para mahasiswa, pejalan kaki, dan tukang parkir
yang lainnya.
5
BAB II. KETERLIBATAN DALAM PENDAMPINGAN
Saya mendampingi Pak Slamet pada saat ia sedang istirahat dari
pekerjaannya. Ia sebetulnya masih dalam jam kerjanya, namun karena hari sudah
sore dan sudah sedikit orang yang memarkirkan kendaraannya di sana, maka pak
Slamet memiliki waktu luang untuk mengobrol dengan saya. Ia adalah seorang
yang rendah hati dengan senyum lebar. Mengobrol dengannya, saya tidak merasa
bahwa ia menutup nutupi atau merasa malu dengan keadaannya. Ia terbuka
menyampaikan suka dukanya sebagai seorang tukang parkir. Ia bercerita
bagaimana ia memulai pekerjaannya sebagai tukang parkir dari kesediaannya
membantu tukang parkir lain tanpa dibayar. Pada akhirnya karena tukang – tukang
parkir yang lain merasa tertolong dengan bantuannya, mereka memintanya untuk
menjadi tukang parkir juga—dengan gaji tetap. Saya merasa trenyuh mendengar
bagaimana solidaritas para tukang parkir. Mereka dapat mengundang orang lain
untuk ikut dalam pekerjaan mereka, padahal dengan lebih banyak tukang parkir,
mungkin lahan kerja mereka berkurang dan pendapatan mereka berkurang, tetapi
mereka mau melakukannya atas dasar solidaritas dan persaudaraan.
6
Pak Slamet juga bercerita tentang latar belakang keluarganya yang berbeda
beda agama. Ada yang katolik, kristen, dan muslim. Pak Slamet sendiri beragama
muslim. Ia bercerita tentang perbedaan pendapat yang banyak terjadi di
keluarganya, namun tidak sampai memecah tali persaudaraan di antara mereka.
Saya pun sungguh kagum melihat pak Slamet yang supel dan mampu membangun
hubungan yang baik dengan tukang tukang parkir lain yang semuanya beragama
muslim. Mereka saling bercanda dan tampak dekat satu sama lain, tanpa sekat atas
latar belakang agama. Saya berpikir seandainya saja hal ini dapat terjadi di seluruh
Indonesia maka tidak akan ada lagi konflik atas dasar agama, seandainya saja
semua orang mau saling menghargai dan menerima satu sama lain. Satu hal lagi
yang saya kagumi dari pak Slamet adalah kemampuannya mendapatkan
kepercayaan para mahasiswa. Ia bercerita bahwa mahasiswa UNISBA memiliki
kebiasaan yang cukup unik menurut saya, yaitu menitipkan kunci motor/mobil
kepada tukang parkir, termasuk pak Slamet. Hal ini menurut saya adalah bukti
bahwa mereka merasa cukup dekat dengan pak Slamet untuk percaya bahwa kunci
kunci itu akan aman di tangan pak Slamet.
Pak Slamet juga menceritakan tentang keluarganya. Ia memiliki dua anak.
Anak yang kecil masih SD sedangkan yang pertama sudah masuk SMP. Anaknya
yang kedua dulu sering ia ajak ke tempat kerjanya untuk mendampinginya bekerja.
Tetapi sekarang, anaknya itu sudah sibuk dengan tugas tugas sekolahnya, juga
sibuk dengan warnet, game online, dan teman temannya. Walaupun pak Slamet
tidak secara gamblang bercerita bahwa ia merindukan anaknya, tetapi dari nada
suara dan mimik mukanya saya dapat menyimpulkan hal itu. Dari sini saya belajar
bahwa sesibuk apapun kita, hendaknya dapat meluangkan waktu untuk orang tua
karena mereka juga rindu untuk berbagi waktu dengan kita.
Berhubungan dengan pekerjaannya, beliau mengatakan menyukai
pekerjaannya karena memiliki banyak teman tempat berbagi cerita. Akan tetapi
beliau menyayangkan adanya preman preman yang mengganggu keamanan
kampus. Mereka terkadang datang dan mengambil pungutan liar dari para tukang
parkir yang gajinya pun sudah terbatas. Mendengar cerita beliau, saya sungguh
menyayangkan rendah nya perhatian pihak kepolisian akan masalah premanisme
7
yang semakin menjalar di berbagai tempat di Indonesia. Alangkah baiknya bila
masalah ini diatasi, sehingga tidak merugikan orang orang yang lemah seperti pak
Slamet.
BAB III. STUDI PUSTAKA
Salah satu masalah yang dihadapi pak Slamet, dan tukang parkir secara umum
adalah gaji yang terbatas dan sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka
secara penuh, terutama kebutuhan untuk anak yang semakin meningkat dengan
biaya sekolah, buku, dan lain lain. Akan tetapi hal ini bukanlah kesalahan mereka.
Apabila diukur dari kerja keras mereka, mungkin mereka melebihi kerja keras
orang orang kantoran atau pabrik yang memiliki gaji lebih besar. Permasalahannya
adalah pada jaman sekarang, nilai kerja juga dipengaruhi oleh lingkungan dan
masyarakat. Masyarakat menuntut seseorang untuk memiliki pendidikan tinggi
dan skill yang cukup agar dinilai patut menerima gaji yang lebih tinggi. Jadi nilai
kerja sekarang tidak lagi paralel dengan intensitas kerja yang dilakukan.
Man's life is built up every day from work, from work it derives its specific dignity, but at the same time work contains the unceasing measure of human toil and suffering, and also of the harm and injustice which penetrate deeply into social life within individual nations and on the international level. While it is true that man eats the bread produced by the work of his hands5 - and this means not only the daily bread by which his body keeps alive but also the bread of science and progress, civilization and culture - it is also a perennial truth that he eats this bread by"the sweat of his face"6,
8
that is to say, not only by personal effort and toil but also in the midst of many tensions, conflicts and crises, which, in relationship with the reality of work, disturb the life of individual societies and also of all humanity.
(LABOREM EXERCENS, JOANNES PAULUS PP II)
Permasalahannya disini adalah bukan orang orang ini tidak mau untuk
menempuh pendidikan yang lebih tinggi, tetapi mereka tidak bisa melakukannya.
Mereka ditekan oleh keadaan ekonomi keluarga yang tidak mampu membiayai
mereka, dan tekanan untuk cepat cepat bekerja agar bisa menopang ekonomi
keluarga. Untuk menolong mereka keluar dari jerat kemiskinan dibutuhkan
inisiatif dari pemerintah, untuk menolong mereka mendapatkan pendidikan yang
lebih tinggi, supaya mereka memperoleh skill yang dibutuhkan sehingga dapat
meningkatkan derajat hidup mereka. Secara singkat, pendidikan sangat
dibutuhkan karena dapat menolong orang orang ini untuk berjuang demi diri
mereka sendiri, untuk keluar dari kemiskinan. Program seperti BLT yang langsung
memberikan “ikan” dan bukan “kail” tidak banyak menolong karena hanya akan
membuat mereka semakin ketergantungan pada bantuan orang lain dan bukan
dirinya sendiri.
35. It can even be affirmed that economic growth depends in the very first place upon social progress: thus basic education is the primary object of any plan of development. Indeed hunger for education is no less debasing than hunger for food: an illiterate is a person with an undernourished mind. To be able to read and write, to acquire a professional formation, means to recover confidence in oneself and to discover that one can progress along with the others. As We said in Our message to the UNESCO Congress held in 1965 at Teheran, for man literacy is " a fundamental factor of social integration, as well as of personal enrichment, and for society it is a privileged instrument of economic progress and of development''.[36] We also rejoice at the good work accomplished in this field by private initiative, by the public authorities and by international organizations: these are the primary agents of development, because they render man capable of acting for himself.
(“Populorum Progressio”.Encyclical Letter of His Holiness Pope Paul VI promulgated on March 26, 1967)
Selain dari inisiatif untuk menyelenggarakan pendidikan bagi kaum miskin,
pemerintah juga diharapkan dapat menciptakan situasi politik dan ekonomi yang
“bersahabat” bagi kamu miskin. Pemerintah diharapkan mencegah dominasi dan
9
pengaruh kaum kaya dan borjuis dalam menentukan regulasi dan undang undang
sehingga peraturan perundang undangan dapat ditentukan secara adil dan tidak
menekan kaum miskin dan sengsara. Pemerintah justru diharapkan untuk
menjadikan kesejahteraan kaum miskin sebagai tujuan yang harus dicapai dalam
masa pemerintahannya.
33. Individual initiative alone and the mere free play of competition could never assure successful development. One must avoid the risk of increasing still more the wealth of the rich and the dominion of the strong, whilst leaving the poor in their misery and adding to the servitude of the oppressed. Hence programs are necessary in order " to encourage, stimulate, coordinate, supplement and integrate"[35] the activity of individuals and of intermediary bodies. It pertains to the public authorities to choose, even to lay down the objectives to be pursued, the ends to be achieved, and the means for attaining these, and it is for them to stimulate all the forces engaged in this common activity. But let them take care to associate private initiative and intermediary bodies with this work. They will thus avoid the danger of complete collectivization or of arbitrary planning, which, by denying liberty, would prevent the exercise of the fundamental rights of the human person.
(“Populorum Progressio”.Encyclical Letter of His Holiness Pope Paul VI promulgated on March 26, 1967)
10
BAB IV. REFLEKSI IMAN DAN RUMUSAN IMAN
Dalam eksposur ini saya menjadi lebih menghayati tentang iman. Iman
bukanlah sesuatu yang eksklusif, iman tidak bersifat individualis dan egois, dan
untuk dinikmati sendiri. Iman yang sesungguhnya terwujud dalam kepedulian dan
kepekaan kita terhadap sesama, terutama sesama yang lemah dan membutuhkan.
Pada saat kita tidak mempedulikan sesama, maka sama saja kita tidak
melaksanakan iman kita. Bagaimana kita dapat mengasihi Allah yang tidak
kelihatan, apabila mengasihi sesama yang kelihatan saja kita masih susah?
Menurut saya, kesulitan untuk mengasihi sesama itu timbul karena
prasangka kita kepada orang lain. Sebagai contoh, kita menganggap orang miskin
akan selalu meminta bantuan kepada kita, menyusahkan dan mengganggu,
sehingga kita menjauh dari mereka, tidak mau mengenal mereka. Padahal apabila
kita mau berusaha mendalami kehidupan mereka, mengasihi mereka tidaklah sulit.
Orang orang dari golongan bawah justru adalah orang orang yang rendah hati,
cepat menolong dan memberikan bantuan, serta memiliki rasa solidaritas yang
tinggi. Contohnya adalah pak Slamet. Ia tidak pernah meminta balasan atas
waktunya yang ia berikan untuk saya. Pada saat saya menawarkan untuk makan
11
bersama, dengan sopan ia katakan bahwa ia sudah makan, padahal maksud saya
untuk mentraktirnya makan. Karena perasaan tulusnya membantu saya inilah
justru saya semakin berempati kepadanya. Dalam alkitab pun, Yesus selalu bergaul
dengan orang orang yang miskin dan tertindas. Ia bahkan mengatakan bahwa
orang miskin lah yang nantinya memiliki kerajaan Surga. Saya berpikir Yesus
mengatakan hal ini karena melihat sifat sifat orang miskin yang rendah hati dan
mau saling membantu antar sesama mereka.
BAB IV. KESIMPULAN
Iman adalah sesuatu yang perlu dihayati dalam kehidupan sehari hari, tidak hanya
dipelajari dan dihapalkan dari kitab suci. Iman adalah sesuatu yang inklusif, tidak terbatas
hanya ketika kita berada dalam tempat ibadah. Adalah perlu untuk mewujudkan iman
dalam kasih dan kepedulian kepada sesama, sebagai wujud cinta kasih kita kepada Tuhan
sang pencipta manusia.
Bukti keterlibatan :
12