Post on 23-Mar-2022
LAPORAN PENELITIAN PASCASARJANA
UNIVERSITAS LAMPUNG
REKAYASA MEDIA KULTUR BERBASIS TINGKAT KERJA OSMOSIS UNTUK
MENINGKATKAN PRODUKSI UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei).
Tim pengusul
Dr. SUPONO, S.Pi. M.Si (NIDN 0002107003, SINTA ID: 258084)
Dr. MUNTI SARIDA, S.Pi., M.Sc. (NIDN: 0023098301 SINTA ID:38287)
REHULINA TRESIA PINEM, S.Pi. (NPM 20200410050
MANAJEMEN WILAYAH PERISISR DAN LAUT
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS LAMPUNG
2021
RINGKASAN
Budidaya udang vaname telah berkembang pesat di Indonesia sejak tahun 2000. Teknologi
Budidaya udang vaname telah banyak dikembangkan seperti teknologi,biofloc, recirculating
aquaculture system (RAS), sistem heterotrof, sinbiotik, dan lain-lainnya. Input teknologipun
telah berkembang dengan pesat seperti penggunaan nano bubble untuk meningkatkan kandungan
oksigen terlarut dalam tambak. Sementara rekayasa yang berbasis kondisi fisiologis udang
sebagai kultivan masih jarang dilakukan Udang vaname merupakan spesies eurihalin yaitu
mampu beradaptasi pada rentang salinitas yang luas sehingga dapat hidup dengan baik pada
rentang salinitas rendah sampai tinggi. Permasalahan yang muncul di lapangan adalah
pertumbuhan udang vaname masih fluktuatif dan belum optimal. Salah satu yang diduga sebagai
penyebabnya adalah belum adanya manajemen budidaya yang berbasis tingkat kerja osmosis
udang. Padahal udang vaname akan tumbuh optimal pada kondisi isoosmosis dengan media
kultur. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, manajemen media kultur yang berbasis
pada Tingkat kerja osmosis (TKO) pada pembesaran udang vaname belum dilakukan. Salinitas
yang sesuai dengan TKO udang (isoosmosis) diduga dapat meningkatkan performa udang karena
energi untuk pertumbuhan tidak digunakan untuk adaptasi lingkungan. Tujuan dari penelitian ini
adalah: (1) mempelajari tingkat kinerja osmosis (TKO) udang vaname yang dipelihara pada
berbagai tingkat salinitas media dan (2) menganalisis pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup,
dan konversi pakan udang vaname yang dipelihara pada berbagai tingkat salinitas. Salinitas air
media budidaya berpengaruh terhadap pertumbuhan, survivalrate, biomasa, dan feed conversion
ratio udang vaname. Salinitas 15 menunjukkan performa terbaik untuk pertumbuhan, biomasa
dan FCR, sedangkan salinitas 20 menghasilkan tingkat kelangsungan hidup terbaik (79,3%).
Penambahan kalium 100 mg/l KCl pada media kultur udang vanname salinitas rendah
menghasilkan pertumbuhan dan sintasan udang yang terbaik. Mineral kalium KCl dengan
konsentrasi tersebut dapat menurunkan tingkat kerja osmotik, meningkatkan laju pertumbuhan,
kelangsungan hidup dan efisiensi pakan. Luaran yang telah dihasilkan dari penelitian ini antara
lain: artikel scopus Q3 (penelitian pendahuluan), Artikel yang telah diseminarkan pada Seminar
Internasionel 5st SHIELD, dan satu artikel untuk Seminar Nasional ICAI 2021 dan artikel jurnal
internasional.
Kata Kunci : Vaname, Isoosmosis, Tingkat kerja osmosis, eurihalin, salinitas media
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) telah berkembang pesat di di Indonesia
sejak diperkenalkan untuk pertama kalinya di tahun 2000 sehingga menempatkan Indonesia
sebagai produsen udang utama di dunia. Pertumbuhan cepat, tingat kelulushidupan tinggi,
kepadatan penebaran tinggi, serta konversi pakan yang rendah membuat udang jenis ini menjadi
primadona baru budidaya udang di Indonesia. Selain itu, udang vaname diminati pasar dunia
dengan harga yang tinggi sehingga berapapun udang yang dihasilkan sampai saat ini masih bisa
diserap di pasar dengan harga yang relatf stabil. Saat ini, udang vaname mendominasi tambak-
tambak intensif yang ada, sementara udang lokal seperti windu dipelihara di tambak-tambak
tradisional.
Teknologi Budidaya udang vaname telah banyak dikembangkan seperti teknologi,biofloc
(Avnimelech, 2015), recirculating aquaculture system (RAS), sistem heterotrof (Supono, 2014),
sinbiotik (Huynh et al., 2018), dan lain-lainnya. Input teknologipun telah berkembang dengan
pesat seperti penggunaan nano bubble untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut dalam
tambak. Sementara rekayasa yang berbasis kondisi fisiologis udang sebagai kultivan masih
jarang dilakukan.
Udang vaname merupakan spesies eurihalin yaitu mampu beradaptasi pada rentang
salinitas yang luas sehingga dapat hidup dengan baik pada rentang salinitas rendah sampai tinggi.
Udang vaname dapat mentolerir salinitas yang luas, dari 0,5-45 ppt. Hal ini yang
memungkinkan udang vaname dapat dipelihara jauh dari pesisir/pantai dengan produktivitas
yang masih baik. Budidaya udang dengan salinitas rendah dapat menurunkan virulensi (tingkat
keganasan) dari virus (Dayna et al., 2015). Meskipun mempunyai kemampuan beradaptasi
terhadap salinitas yang luas, udang vaname akan tumbuh optimal pada media isoosmotik dimana
salinitas media sama dengan tingkat kerja osmotik (TKO) udang.
Perbedaan salinitas media dengan osmolaritas cairan pada udang (hemolim) akan
menyebabkan kebutuhan energi meningkat untuk beradaptas sehingga pertumbuhan udang
mengalami perlambatan. Teknologi budidaya yang diterapkan seharusnya mengacu pada tingkat
kerja osmosis udang atau dalam kondisi isoosmosis, namun demikian sampai saat ini budidaya
udang vaname yang dilakukan oleh petambak udang tidak memperhatikan salinitas yang tepat
sesuai dengan tingkat kerja osmosis udang. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
mengenai rekayasa media kultur berdasarkan tingkat kerja osmosis untuk meningkatkan
performa udang vaname.
1.2. Tujuan Khusus
2. Mempelajari tingkat kinerja osmosis (TKO) udang vaname yang dipelihara pada
berbagai tingkat salinitas media
3. Menganalisis pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, dan konversi pakan udang
vaname yang dipelihara pada berbagai tingkat salinitas.
1.3. Urgensi Penelitian
Saat ini perkembangan teknologi budidaya udang vaname telah berkembang pesat baik
peralatan maupun sistem yang digunakan. Namun demikian sampai saat ini budidaya udang
masih sering mengalami kegagalan karena pertumbuhan lambat, tingkat kelangsungan hidup
rendah, maupun karena penyakit. Budidaya udang berbasis pada fisiologis udang dan media
kultur perlu mendapatkan perhatian yang serius untuk dikembangkan mengingat udang vaname
merupakan spesies eurihalin yang dapat hidup pada rentang salinitas yang luas. Tingkat kerja
osmosis (TKO) udang vaname tentu akan mempengaruhi energi yang dikeluarkan jika dipelihara
pada media yang tidak isoosmosis sehingga perlu pemahaman TKO udang vaname pada
berbagai umur udang dan salinitas media. Dengan membudidayakan udang vaname pada
kondisi isoosmosis akan meningkatkan pertumbuhan udang maupun imunitas udang yang
akhirnya dapat menghasilkan biomasa udang yang maksimal.
1.4. Temuan yang diharapkan
Temuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah teknologi budidaya udang vaname
berbasis tingkat kerja osmosis udang yang mampu menghasilkan pertumbuhan dan tingkat
keleulushidupan udang terbaik.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. State of the art
Budidaya udang vaname saat ini mendominasi spesies yang dibudidayakan di tambak
baik di dunia maupun di Indonesia. Budidaya udang vaname mayoritas mengunakan sistem semi
intensif dan intensif, bahkan beberapa petambak dengan modal besar mengunakan sistem supra
intensif. Penerapan teknologi telah banyak berkembang dan dilakukan oleh petambak seperti
teknologi biofloc (Avnimelech, 2015), recirculating aquaculture system (RAS) (Suantika et al.,
2018), sinbiotik (Huynh et al., 2018), heterotroph system (Supono et al., 2014), maupun nano
bubble (Rahmawati et al., 2020). Pengunaan media kultur pun juga mengalami perkembangan
seperti kolam bundar (round pond), kolam beton, dan lining pond (Ranjan dan Boyd, 2018).
Penelitian tentang tingkat kerja osmosis (TKO) terhadap kultivan telah banyak dilakukan
oleh peneliti sebelumnya seperti Hamka et al (2013) yang meneliti TKO kerang hijau, Putri et
al. (2015) yang meneliti tentang TKO pada Bawal Bintang, dan (Temmy et al., 2017) yang
meneliti TKO pada berbagai salinitas media pada ikan kerapu tikus. Penelitian ringkat kerja
osmosis udang vaname telah dilakakukan oleh Herlinah dan Septiningsih (2014) pada sistem
biofloc yang menunjukkan bahwa TKO udang vaname sebesar 687,67 mOsm/kg sampai 780
mOsm/kg. Widodo et al. (2011) meneliti tentang pengaruf aplikasi Kalium terhadap tingkat
kerja osmosis udang vaname yang dipelihara pada media air tawar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan kalium pada media kultur berpengaruh terhadap TKO udang
vaname. Salsabiela (2020) melakukan penelitian pada pembenihan udang yang diablasi pada
berbagai salinitas media. Media terbaik untuk ablasi udang vaname pada salinitas 25-29 ppt.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, manajemen media kultur yang berbasis
pada Tingkat kerja osmosis (TKO) pada pembesaran udang vaname belum dilakukan. Salinitas
yang sesuai dengan TKO udang (isoosmosis) diduga dapat meningkatkan performa udang karena
energy untuk pertumbuhan tidak digunakan untuk adaptasi lingkungan. Media kultur yang sesuai
dengan kebutuhan udang sangat penting dalam mendukung pertumbuhan, tinkat kelangsungan
hidup, maupun konversi pakan. Olh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang
media kultur yang isoosmosis pada budidaya udang vaname.
2.2. Biologi udang vaname
Pemberian nama ilmiah udang putih atau udang vaname pertama kali dilakukan oleh
Boone pada tahun 1931 dengan nama Penaeus vannamei (Holthuis, 1980). Nama lain udang
vaname menurut FAO adalah : whiteleg shrimp (Inggris), crevette pattes blanches (Prancis),
white shrimp (Mexico, Nicaragua, Costa Rica, Panama), langostino (Peru), camaron cafe
(Colombia), dan camaron patiblanco (Spanyol). Taksonomi udang vaname menurut
Holthuis (1980) adalah sebagai berikut:
Filum :Arthropoda
Kelas : Crustacea
Subkelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Subordo : Natantia
Infraordo : Penaeidea
Superfamili : Penaeoidea
Famili : Penaeidae
Genus : Penaeus
Subgenus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei Boone, 1931
Distribusi udang vaname antara lain di perairan Pasifik Selatan meliputi Mexico, Peru
Selatan dan Utara, serta Sonora. Habitatnya berada di kedalaman 0-72m, dasar berlumpur,
udang dewasa berada di laut lepas, sementara fase juvenil hidup di estuarin. Panjang maksimal
udang vaname mencapai 230 mm dengan panjang carapace 90 mm.
Udang vaname termasuk dalam Ordo Decapoda Crustacean yang termasuk di dalamnya:
jenis udang, lobster, dan kepiting. Sebagai famili Penaeidae, udang vaname betina menyimpan
telur untuk dibuahi dan menetas pada stadia naupli. Udang vaname memiliki ciri khusus pada
rostrumnya dimana gigi rostrum atas (dorsal) berjumlah 8-9 dan bagian bawah (ventral)
berjumlah 2 buah, termasuk dalam subgenus Litopenaeus karena udang vaname betina memiliki
thelycum yang terbuka (Wyban dan Sweeney, 1991). Tubuh udang vaname terdiri dari 2 bagian
utama yaitu kepala dada (cephalothorax) dan perut (abdomen). Cephalotorax tertutup oleh
kelopak kepala yang disebut carapace. Udang vaname mempunyai 5 pasang kaki renang
(pleopod) dan 5 pasang kaki jalan (pereopod). Bagian tubuhnya terdiri dari carapace (kepala)
dan abdomen (perut). Cephalotorax terdiri dari 13 ruas (kepala: 5 ruas, dada : 8 ruas) dan
abdomen 6 ruas, terdapat ekor dibagian belakang. Pada cephalotorax terdapat anggota tubuh,
berturut-turut yaitu antenulla (sungut kecil), scophocerit (sirip kepala), antenna (sungut besar),
mandibula (rahang), 2 pasang maxilla (alat-alat pembantu rahang), 3 pasang maxilliped, 3
pasang pereiopoda (kaki jalan) yang ujung-ujungnya bercapit disebut chela. Insang terdapat di
bagian sisi kiri dan kanan kepala, tertutup oleh carapace. Pada bagian abdomen terdapat 5
pasang pleopoda (kaki renang) yaitu pada ruas ke-1 sampai 5. Sedangkan pada ruas ke-6 kaki
renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas atau uropoda. Ujung ruas keenam ke
arah belakang terdapat telson.
Pada awalnya, udang vaname termasuk omnivora atau pemakan detritus. Studi terbaru
berdasarkan isi usus menunjukkan bahwa udang vaname termasuk karnivora. Udang vaname di
alam memangsa udang kecil, moluska, dan cacing, sementara pada tambak intensif, makanan
tesebut tidak tersedia. Pertumbuhan udang vaname akan optimum pada tambak budidaya yang
memiliki komunitas bakateri.
Udang vaname termasuk hewan nocturnal, yaitu aktif makan pada malam hari. Udang
vanamei membutuhkan pakan dengan kandungan protein 35%, lebih rendah dari kebutuhan
udang yang lainnya seperti P. monodon dan P. japonicus. Penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan protein 45% tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan 35% (Wyban dan
Sweeney, 1991). Udang vaname juga termasuk continuous feeder, yaitu makan terus menerus.
4.4. Molting dan Pertumbuhan.
Pertumbuhan dan pertambahan ukuran udang merupakan fungsi dari frekuensi molting
(Solis, 1988). Semakin sering udang molting, semakin cepat pula pertumbuhan udang.
Frekuensi molting dipengaruhi oleh umur udang. Semakin besar udang semakin kecil frekuensi
moltingnya. Seperti halnya Filum Artropoda lainnya, pertumbuhan udang vaname dipengaruhi
oleh dua faktor, yaitu: frekuensi molting dan pertambahan berat setelah molting. Karena udang
dilindungi oleh carapace yang keras, untuk tumbuh harus mengalami pergantian carapace baru
yang lebih besar. Setelah molting, carapace yang baru lunak dan perlahan-lahan akan mengeras
tergantung ukuran udang. Udang kecil akan mengeras dalam beberapa jam, sedangkan udang
besar membutuhkan waktu 1-2 hari (Wyban dan Sweeney, 1991). Pada saat molting, nafsu
makan menurun tetapi akan meningkat drastis setelah carapace mengeras.
Frekuensi molting udang dipengaruhi oleh ukuran udang. Semakin besar ukuran udang,
semakin besar waktu antar molting (intermolt) atau semakin kecil frekuensi moltingnya. Pada
fase larva, molting terjadi setiap 30-40 jam (pada suhu 28oC). Udang ukuran 1-5 gram, juvenil
udang akan mengalami molting setiap 4-6 hari, sedangkan udang ukuran 15 gram juvenil udang
akan melakukan molting setiap 15 hari. Proses molting dikontrol oleh dua hormon yaitu molt-
inhibiting hormone (MIH) dan gonad inhibiting hormone. MIH dihasilkan oleh kelenjar sinus
organ X sementara GIH dihasilkan oleh sel neurosecretory organ X.
Kondisi lingkungan dan faktor nutrisi juga berpengaruh terhadap frekuensi molting.
Suhu yang lebih tinggi akan meningkatkan molting pada udang. Beberapa faktor lain yang dapat
mempengaruhi molting udang antara lain : cahaya, salinitas, dan photoperiod (Bishop dan
Herrnkind, 1976). Penyerapan oksigen pada waktu molting kurang efisien sehingga kadang
ditemukan kematian karena kekurangan oksigen (hypoxia). Molting dianggap sebagai proses
fisiologis yang menyebabkan stres pada udang, sehingga petambak harus hati-hati untuk
memaksa udang melakukan molting. Setelah molting berlangsung, (carapace masih lunak),
udang lainnya akan menyerang bahkan memakannya (kanibal). Udang yang baru molting
biasanya akan membenamkan diri dalam lumpur di tengah tambak untuk menghindari gangguan
dari udang lainnya.
Siklus hidup udang vaname dianggap sebagai katadromus. Udang dewasa akan memijah
di laut lepas juvenil akan migrasi ke pantai. Di habitat alam, udang vaname dewasa mengalami
matang gonad dan memijah di laut lepas (offshore) dengan kedalaman sekitar 70m dengan
salinitas sekitar 35 ppt. Telur akan menetas menjadi larva dan berkembang di laut lepas sebagai
bagian dari zooplankton. Post larvae udang vaname akan bergerak terus ke arah pantai dan
menetap di dasar estuarin. Di daerah estuarin ini kaya akan nutrien, salinitas dan suhu
berfluktuasi. Setelah beberapa bulan di estuari, udang dewasa akan bergerak ke laut lepas
setelah organ seksual sempurna, matang gonad, dan melakukan pemijahan (Wyban dan
Sweeney, 1991).
Udang vaname memiliki karateristik yang sangat unik jika dibandingkan dengan jenis
udang yang lainnya. Pertumbuhan udang vaname berlangsung secara cepat sampai ukuran 20
gram dengan kenaikan 3 gram per minggu dengan kepadatan penebaran 100 ekor/m2, sementara
pertumbuhan setelah ukuran tersebut mengalami penurunan, yaitu sekitar 1 gram/minggu.
Udang vaname termasuk organisme eurihalin, yaitu tahan terhadap perubahan salinitas yang
luas. Udang vaname mampu hidup dengan baik pada salinitas 2 ppt sampai 40 ppt, tetapi akan
yumbuh dengan cepat pada salinitas yang lebih rendah ketika lingkungan dan cairan pada udang
(hemolim) berada dalam kondisi isoosmotik.
Rasa udang vaname pada salinitas rendah dan tinggi mengalami perbedaan. Udang
vaname yang dipelihara pada salinitas yang lebih tinggi akan memiliki kandungan asam amino
bebas yang lebih tinggi pula akibatnya memiliki rasa yang lebih manis. Pada pembesaran udang
vaname, ketika menjelang panen, diusahakan salinitas air ditingkatkan untuk memproleh rasa
yang lebih manis alami (Wyban dan Sweeney, 1991).
Udang vaname sebagai organisme poikilotermal, aktivitasnya diperngaruhi suhu
lingkungan. Suhu tubuhnya mengikuti suhu lingkungan. Jika suhu lingkungan naik maka suhu
tubuhnya akan naik dan metabolismenya juga mengalami kenaikan, akibatnya nafsu makan akan
meningkat, begitu sebaliknya. Udang vaname akan mengalami kematian jika suhu air turun
sampai 15oC atau di atas 33
oC selama 24 jam atau lebih (Wyban dan Sweeney, 1991).
2.3. Sistem Budidaya
Tingkatan sistem budidaya udang tergantung dari input teknologi yang digunakan dan
kepadatan penebaran. Sistem budidaya udang vaname secara umum terbagi menjadi 4, yaitu:
ektensif/tradisional, semi intensif, intensif dan supra intensif. Menurut FAO, perbedaan keempat
sistem tersebut adalah:
1. Ekstensif, memiliki kriteria: luas lahan 5-10 ha, kedalaman 0,7-1,2 m, kepadatan
penebaran 4-10 ekor/m2, mengandalkan pakan alami, udang dipelihara selama 4-5
bulan dengan berat 11-12 gram, dan produktivitas kolam 150-500 kg/ha/siklus.
2. Semi intensif, memiliki kriteria: Luas lahan 1-5 ha, kedalaman 1,0-1,2 m, kepadatan
penebaran 10-60 ekor/m2, pakan alami dan buatan, produktivitas 500 - 2.000
kg/ha/siklus, dan mulai ada penambahan aerasi
3. Intensif, memiliki kriteria: Luas lahan 0,1-1,0 ha, kedalaman tambak > 1,5 m,
kepadatan penebaran 60 – 300 ekor/m2, menggunakan pakan buatan dengan frekuensi
4-5 kali/hari, menggunakan aerasi yang kuat (1 HP menopang 500 kg udang), FCR
1,4-1,8, dan produktivitas mencapai 7-20.000 kg/ha/siklus.
4. Super intensif, memiliki kriteria: kepadatan penebaran 300-450 ekor/m2,
Menggunakan aerasi kuat, produktivitas 28.000 – 68.000 kg/ha/siklus.
Berbeda dengan udang jenis lainnya, udang vaname memiliki banyak keunggulan
sehingga sangat potensial sekali sebagai kultivan untuk dipelihara di tambak. Produktivitas
yang tinggi, marketable, dan mudah dibudidayakan menjadi alasan utama petambak udang
beralih membudidayakannya. Berikut ini adalah keunggulan udang vaname sebagai kultivan
pada tambak air payau:
2.4. Spesies Eurihalin
Kemampuan organisme air beradaptasi terhadap perubahan salinitas berbeda-beda.
Berdasarkan kemampuan dalam beradaptasi terhadap lingkungan, organisme akuatik terbagi
menjadi dua golongan, yaitu stenohalin dan eurihalin. Organisme akuatik yang tergabung dalam
kelompok stenohalin mempunyai kemampuan terbatas terhadap perubahan salinitas sehingga
hanya mampu hidup pada media dengan rentang salinitas yang terbatas, misalnya udang windu
(Penaeus monodon). Sementara organisme akuatik yang termasuk golongan eurihalin
mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap rentang salinitas yang luas, misalnya udang
vaname atau vaname (Penaeus vannamei). Meskipun mempunyai kemampuan beradaptasi
terhadap salinitas yang luas, udang vaname akan tumbuh optimal paada media isoosmotik
dimana salinitas media sama dengan tingkat kerja osmotik (TKO) udang. Tingkat kerja osmotik
udang vaname pada fase intermolt adalah 861,00 mOSM/l H2O atau setara dengan 29,5 ppt
(Supono et al., 2014).
Udang vaname secara luas telah dibudidayakan menggantikan udang windu yang banyak
mengalami permasalahan penyakit dan survival rate yang rendah. Udang vaname dapat
dibudidayakan dengan densitas yang tinggi meskipun tanpa ganti air. L. vannamei merupakan
spesies eurhalin dan dapat dibudidayakan pada salinitas 0-50 ppt, meskipun pertumbuhan terbaik
diperoleh pada salinitas 10-25 ppt.
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1. Road Map
Budidaya udang yang
berkelanjutan dan menguntungkan
Budidaya Udang Vaname
Salinitas rendah di Lampung
Timur
Budidaya Udang vaname dengan
sistem biofloc pada fase pendederan
Aplikasi Teknologi Biofloc berbasis
Mikroorganisme Lokal untuk
meningkatkan produksi Udang
Vaname (L. vannamei)
International Journal of waste
Resources 2014
AACL BIOFLUX (Q3) Jurnal Sinta 3
Rekayasa Media Kultur Berbasis Tingkat Kerja Osmosis untuk Meningkatkan Produksi Udang
Vaname (Litopenaeus vannamei).
Budidaya Udang vaname
salinitas rendah pada kolam
beton
Bioremediasi Berbasis Mikroorganisme
Lokal untuk menanggulangi Limbah
Organik tambak Udang di Provinsi
Lampung
Kegiatan penelitian yang
diusulkan tahun 2021
International Conference of
Aquaculture Indonesia (ICAI 2017)
International Conference of
Aquaculture Indonesia (ICAI 2016)
Budidaya udang vaname pada
salinitas air tawar
Penambahan Berbagai Mineral pada budidaya
udang vaname pada media isoosmosis (2022)
Luaran :
-Artikel Jurnal Scopus Q3
- Artikel Seminar
internasional
- artikel Seminar LPPM
Unila
Gambar 1. Roadmap Penelitian
3.2. Waktu dan Tempat
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret-Oktober 2021
bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian, Universitas
Lampung. Pengujuan tingkat kerja osmosis udang dilakukan di laboratorium
Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung.
3.3. Bahan dan Alat
Bahan yang diperlukan paada penelitian ini terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1. Bahan penelitian
No Bahan Kegunaan
1 Udang PL 10 Hewan uji
2 Air laut Media kultur
3 Air tawar Dilusi air laut
4 Dolomit Meningkatkan alkalinitas
5 Kaporit Sterilisasi air
6
Peralatan yang diperlukan paada penelitian ini terdapat pada Tabel 2
Tabel 2. Peralatan penelitian.
No Bahan Kegunaan
1 Kontainer Vol 100 L (20 unit) Hewan uji
2 Water quality checker Pengujian DO, suhu
3 pH meter Mengukur pH air
4 automatic micro-osmometer Mengukur tingkat kerja osmosis
udang
5 Blower 100 watt Suplai oksigen terlarut
6 Selang dan batu aerasi Suplai oksigen terlarut
3.4. Tahapan Penelitian
1. Tahap I : Pengukuran Tingkat kerja osmosis udang windu PL 10 dan
ukuran 3 gram
2. Tahap II : Pemeliharaan udang vaname pada media isooosmosis, salinitas
5 ppt, 10 ppt, 15 ppt, 20 ppt, dan 25 ppt
3.5. Pengumpulan data:
Data yang dikumpulkan meliputi: data tingkat kerja osmosis (TKO) udang
PL 10 dan ukuran 3 gram, TKO udang pada akhir penelitian pada masing-masing
perlakuan, data performa udang, data kualitas air (Amonia, Oksigen terlarut, suhu,
dan pH), dan data total vibrio count (TVC). Osmolaritas hemolim udang untuk
menentukan TKO diukur dengan menggunakan alat automatic micro-osmometer,
dengan menggunakan rumus (Anggoro dan Muryati, 2006) :
Salinitas (‰ ) = osmolaritas + 5,4081
29,3489
3.6. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan menggunakan rancangan acap lengkap dengan
5 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan penelitian (independent variable) terdiri
dari salinitas media kultur yang berbeda: 5 ppt, 10 ppt, 15 ppt, 20 ppt, dan 25 ppt.
Sedangkan dependent variable penelitian ini adalah: pertumbuhan (growth rate),
tingkat kelangsungan hidup (survival rate), feed conversion ratio (FCR).
3.7. Pemeliharaan udang vaname
Pemeliharaan udang dilakukan dalam wadah volume 70 liter dengan
kepadatan 1 ekor/l atau 70 ekor per wadah. Pemberian pakan dengan
menggunakan blind feeding program selama 35 hari pemeliharaan. Sebelum
digunakan, air disterilkan dengan menggunakan kaporit/klorin dengan konsentrasi
30 mg/l. Salinitas air media diatur sesuai dengan perlakuan yang telah ditetapkan.
Pengenceran air laut menggunakan rumus seperti yang dilakukan oleh Akbar
(2012): :
Sn = (S1 x V1) + (S2 x V2)
V1 + V2
Sn : salinitas yang dikendaki S1 : salinitas air laut
S2 : salinitas air pengencer
V1 : volume air laut
V2 : volume air pengencer
3.8. Analisis Data
Data tingkat kerja osmosis udang dan kualitas air (DO, suhu, pH, TVC)
dianalisis secara deskriptif, pertumbuhan, tingkat kelangsungan hidup, dan
konversi pakan dianalisis secara statistic dengan mengunakan Anova. Jika
terdapat perbedaan yang nyata, dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.
3.9. Rincian tugas Pelaksana penelitian
No Tim Peneliti Tugas
1 Supono (Ketua) Mengkoordinir kegiatan penelitian
Budiaya udang vaname
Analsis data
Membuat laporan kegiatan
2 Munti Sarida (anggota) Uji osmolaritas udang
Pembahas tingkat kerja osmosis udang
Membuat laporan
3 Rehulina Tresia Pinem
(Mahasiswa)
Persiapan peralatan dan bahan penelitian
Membantu dalam uji osmolaritas udang
Membantu dalam proses budidaya udang
Analisis kualitas air (fisika, kimia, dan biologi)
BAB 4. HASIL YANG DICAPAI
4.1. Kandungan Mineral air media kultur
Hasil pengukuran kandungan mineral pada air yang digunakan dalam penelitian
ini terdapat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Kandungan makromineral Air media penelitian
No Parameter uji Satuan Hasil Metode
1 Alkalinitas mg/L 140,0 EPA Metdod 310.1
2 Kalsium (Ca) mg/L 448,1 EPA 200.7 Revisi 5
3 Kalium (K) mg/L 410,2 EPA 200.7 Revisi 5
4 Magnesium (Mg) mg/L 823,8 EPA 200.7 Revisi 5
5 Natrium (Na) mg/L 7.644,8 EPA 200.7 Revisi 5
4.2. Performa udang vaname yang dipelihara pada salinitas berbeda
Pengujian terhadap udang vaname yang dipelihara pada berbagai salinitas
yang berbeda yaitu 5 ppt, 10 ppt, 15ppt, 20 ppt, dan 25 ppt menghasilkan
performa seperti yang terdapat pada Gambar 2 (pertumbuhan), Gambar 3
(pertumbuhan spesifik), Gambar 4 (survival rate), Gambar 5 (biomasa), dan
Gambar 6 (Feed conversion ratio).
Gambar 2. Pertumbuhan udang vaname L. vannamei yang dipelihara pada
berbagai salinitas
Berdasarkan hasil uji statistik Anova pada selang kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa pemeliharaan udang vaname pada media salinitas yang berbeda
berpengaruh nyata terhadap nilai berat mutlak udang vaname. Berdasrkan uji
Duncant diketahui bahwa perlakuan salinitas 15 ppt (C) berbeda nyata dengan
perlakuan salinitas 5 ppt (A), 10 ppt (B), 20 ppt (D) dan 25 ppt (E). Perlakuan
salinitas 15 ppt menghasilkan nilai berat mutlak tertinggi yaitu 2,8 ± 0,16 g/e.
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
A B C D E
ber
at m
utl
ak (
g/e)
PERLAKUAN A: 5 ppt, B: 10 ppt, C: 15 ppt, D: 20 ppt, E: 25 ppt
Berat Mutlak
0,56 ± 0,17a
1,4 ± 0,23c
2,8 ± 0,16d
0,86 ± 0,29ab 1,2 ± 0,11bc
Gambar 3. Specific growth rate (SGR) udang vaname L. vannamei yang
dipelihara pada berbagai salinitas
Berdasarkan hasil uji statistik Anova pada selang kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa pemeliharaan udang vaname pada media salinitas yang berbeda
berpengaruh nyata terhadap nilai SGR udang vaname. Berdasrkan uji Duncant
diketahui bahwa perlakuan salinitas 15 ppt (C) berbeda nyata dengan perlakuan
salinitas 5 ppt (A), 10 ppt (B), 20 ppt (D) dan 25 ppt (E). Perlakuan salinitas 15
ppt menghasilkan nilai SGR tertinggi yaitu 12,3 ± 0,14%.
0
2
4
6
8
10
12
14
A B C D E
SGR
(%
/har
i)
PERLAKUAN A: 5 ppt, B: 10 ppt, C: 15 ppt, D: 20 ppt, E: 25 ppt
SGR
8,35 ± 0,79a
10,64 ± 0,39c
12,3 ± 0,14d
9,38 ± 0,86ab 10,27 ± 0,24bc
Gambar 4. Survival rate (SR) vaname L. vannamei yang dipelihara pada
berbagai salinitas
Berdasarkan hasil uji statistik Anova pada selang kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa pemeliharaan udang vaname pada media salinitas yang berbeda
berpengaruh nyata terhadap nilai SR udang vaname. Berdasrkan uji Duncant
diketahui bahwa perlakuan salinitas 20 ppt (D) berbeda nyata dengan perlakuan
salinitas 5 ppt (A), 10 ppt (B), 15 ppt (C), dan 25 ppt (E). Perlakuan salinitas 20
ppt menhasilkan nilai SR tertinggi yaitu 79,33 ± 6,5%.
0
20
40
60
80
100
A B C D E
SUR
VIV
AL
RA
TE (
%)
PERLAKUAN A: 5 ppt, B: 10 ppt, C: 15 ppt, D: 20 ppt, E: 25 ppt
SURVIVAL RATE
47,67 ± 6,65a 56,67 ± 2,51ab
63,67 ± 11,84b 79,33 ± 6,5c
61,33 ± 2,51b
Gambar 5. Biomasa udang vaname L. vannamei yang dipelihara pada berbagai
salinitas
Berdasarkan hasil uji statistik Anova pada selang kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa pemeliharaan udang vaname pada media salinitas yang berbeda
berpengaruh nyata terhadap nilai biomassa udang vaname. Berdasrkan uji
Duncant diketahui bahwa perlakuan salinitas 15 ppt (C) berbeda nyata dengan
perlakuan salinitas 5 ppt (A), 10 ppt (B), 20 ppt (D) dan 25 ppt (E). Perlakuan
salinitas 15 ppt menghasilkan nilai biomassa tertinggi yaitu 251,33 ± 33,38 gram.
0
50
100
150
200
250
300
A B C D E
Bio
mas
sa (
g)
PERLAKUAN A: 5 ppt, B: 10 ppt, C: 15 ppt, D: 20 ppt, E: 25 ppt
Biomassa
40,67 ± 17,5a
114 ± 19,4b
251,33 ± 33,38c
98,33 ± 29,3b 106 ± 11,5b
Gambar 6. Feed conversion ratio (FCR) udang vaname L. vannamei yang
dipelihara pada berbagai salinitas
Berdasarkan hasil uji statistik Anova pada selang kepercayaan 95% menunjukkan
bahwa pemeliharaan udang vaname pada media salinitas yang berbeda
berpengaruh nyata terhadap nilai FCR udang vaname. Berdasarkan uji Duncant
diketahui bahwa perlakuan salinitas 5 ppt (A) dan 10 ppt (B) berbeda nyata
dengan perlakuan salinitas 15 ppt (C), 20 ppt (D) dan 25 ppt (E). Perlakuan
salinitas 15 ppt menghasilkan nilai FCR terendah yaitu 1,5 ± 0,01.
Dari hasil analisis data tersebut, salinitas 15 ppt merupakan media yang
terbaik untuk pemeliharaan udang vaname karena menghasilkan performa yang
terbaik untuk pertumbuhan, biomasa, maupun feed conversion ratio (FCR).
Sementara untuk kelangsungan hidup terbaik terjadi pada salinitas media 20 ppt.
Udang vaname dapat mentolerir salinitas yaang luas, dari 0,5-45 ppt, tetapi
tumbuh sangat baik pada salinitas rendah sekitar 10-15 ppt (dimana lingkungan
dan hemolim udang berada dalam kondisi iso osmotic (Wyban dan Sweeny,
1991; Davis et al., 2002)
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
A B C D E
FCR
PERLAKUAN A: 5 ppt, B: 10 ppt, C: 15 ppt, D: 20 ppt, E: 25 ppt
FCR 1,9 ± 0,2b
1,8 ± 0,01b
1,5 ± 0,01a 1,6 ± 0,01a
1,8 ± 0,02b
4.2. Penambahan Kalium (K) pada Media Salinitas Rendah
4.2.1. Tingkat Kelangsungan Hidup (SR)
Tingkat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) udang vaname pada
penelitian perlakuan penambahan kalium pada media bersalinitas 5 ppt dapat
dilihat pada Gambar 7 di bawah ini. Berdasarkan uji statistik masing-masing nilai
tengah setiap perlakuan (ANOVA uji F- satu arah) pada tingkat kepercayaan 95%
(p<0,05) menunjukkan bahwa penambahan kalium dalam bentuk garam KCl
berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup udang vanname (Lampiran 9).
Tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan penambahan KCl
dengan konsentrasi 100 mg/l, sedangkan tingkat kelangsungan hidup terendah
terdapat pada perlakuan tanpa penambahan KCl 0 mg/l.
Gambar 7. Tingkat Kelangsungan Hidup udang vaname
47,66 ± 6,65a
60,66 ± 2,51b
74,00 ± 7,93c
50,33 ± 3,51ab
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 50 100 150
Tin
gk
at
kel
an
gsu
ng
an
hid
up
(%
)
Konsentrasi kalium (mg/L)
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 95% (p>0,05), perlakuan A (0
mg/l) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan B (50 mg/l), perlakuan C (100
mg/l) namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan D (150 mg/l). Perlakuan B (50 mg/l)
menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan C (100 mg/l) namun tidak berbeda
nyata dengan perlakuan D (150 mg/l). Sedangkan, perlakuan C (100 mg/l) menunjukkan
hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan D (150 mg/l).
4.2.2. Pertumbuhan Berat Mutlak
Pertumbuhan berat mutlak atau growth rate (GR) udang vanname selama perlakuan
dapat dilihat pada Gambar 8 dibawah ini. Berdasarkan uji statistik sidik masing-masing nilai
tengah populasi setiap perlakuan (ANOVA uji F- satu arah) pada tingkat kepercayaan 95%
(p<0,05) menunjukkan bahwa penambahan kalium dalam bentuk garam KCl berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan berat mutlak udang vaname. Pertumbuhan berat mutlak tertinggi terdapat
pada perlakuan penambahan KCl dengan konsentrasi 100 mg/l, sedangkan pertumbuhan berat
mutlak terendah terdapat pada perlakuan tanpa penambahan KCl 0 mg/l.
Gambar 8. Pertumbuhan berat mutlak udang vaname
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 95% (p>0,05), perlakuan A (0
mg/l) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan B (50 mg/l), namun
0,58 ± 0.17a
0,90 ± 0,10ab
1,38 ± 0,33c
0,97 ± 0,06b
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
1,8
0 50 100 150
Bob
ot
mu
tlak
(g/h
ari
)
Konsentrasi kalium (mg/L)
berbeda nyata dengan perlakuan C (100 mg/l) dan perlakuan D (150 mg/l). Perlakuan B (50
mg/l) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan C (100 mg/l) namun tidak
berbeda nyata dengan perlakuan D (150 mg/l). Sedangkan, perlakuan C (100 mg/l) menunjukkan
hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan D (150 mg/l).
4.2.3. Specific Growth Rate (SGR)
Nilai laju pertumbuhan spesifik atau spesific growth rate (SGR) udang vaname selama
pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan analisa uji statistik masing-masing nilai
rata-rata populasi setiap perlakuan (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% (p<0,05)
menunjukkan bahwa penambahan kalium dalam bentuk garam KCl berpengaruh nyata terhadap
laju pertumbuhan spesifik udang vaname. Laju pertumbuhan spesifik tertinggi terdapat pada
perlakuan penambahan KCl dengan konsentrasi 100 mg/l, sedangkan Laju pertumbuhan spesifik
terendah terdapat pada perlakuan tanpa penambahan KCl 0 mg/l.
Gambar 9. laju pertumbuhan spesifik udang vaname
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 95% (p>0,05), perlakuan A (0
mg/l) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan B (50 mg/l), perlakuan C (100
mg/l) dan perlakuan D (150 mg/l). Perlakuan B (50 mg/l) menunjukkan hasil yang tidak
8,37 ± 0,80a 9,47 ± 0,25b
10,47 ± 0,66b
9,67 ± 0,15b
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
0 50 100 150
Laju
per
tum
bu
han
sp
esif
ik (
%h
ari
)
Konsentrasi kalium (mg/L)
berbeda nyata dengan perlakuan C (100 mg/l) dan perlakuan D (150 mg/l). Sedangkan,
perlakuan C (100 mg/l) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan D (150
mg/l).
4.2.4. Feed Conversion Ratio
Nilai konversi pakan atau feed convertion ratio (FCR) udang vaname selama pemeliharaan
dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan analisa statistik sidik ragam masing-masing nilai
rata-rata populasi setiap perlakuan (ANOVA) pada selang kepercayaan 95% (p<0,05), diperoleh
hasil bahwa perlakuan penambahan kalium dalam bentuk garam KCl berpengaruh nyata terhadap
nilai laju pertumbuhan harian udang vaname. Nilai konversi pakan tertinggi terdapat pada
perlakuan tanpa penambahan KCl dengan konsentrasi 0 mg/l, sedangkan nilai konversi pakan
terendah terdapat pada perlakuan penambahan KCl 100 mg/l.
Gambar 10. Feed convertion ratio (FCR)
Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 95% (p>0,05), perlakuan A (0
mg/l) menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan B (50 mg/l), perlakuan C (100
mg/l) dan perlakuan D (150 mg/l). Perlakuan B (50 mg/l) menunjukkan hasil yang tidak
berbeda nyata dengan perlakuan C (100 mg/l) dan perlakuan D (150 mg/l). Sedangkan,
perlakuan C (100 mg/l) menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan D (150
mg/l).
1,9 ± 0,16b
1,3 ± 0,10a
1,2 ± 0,05a
1,4 ± 0,20a
0
0,5
1
1,5
2
2,5
0 50 100 150
Rasi
o k
on
ver
si p
ak
an
Konsentrasi kalium (mg/L)
KESIMPULAN
1. Salinitas air media budidaya berpengaruh terhadap pertumbuhan, survivalrate, biomasa,
dan feed conversion ratio udang vaname. Salinitas 15 menunjukkan performa terbaik
untuk pertumbuhan, biomasa dan FCR, sedangkan salinitas 20 menghasilkan tingkat
kelangsungan hidup terbaik (79,3%).
2. Penambahan kalium 100 mg/l KCl pada media kultur udang vanname salinitas rendah
menghasilkan pertumbuhan dan sintasan udang yang terbaik. Mineral kalium KCl
dengan konsentrasi tersebut dapat menurunkan tingkat kerja osmotik, meningkatkan laju
pertumbuhan, kelangsungan hidup dan efisiensi pakan.
DAFTAR PUSTAKA
Avnimelech, Y. 2015. Biofloc Technology – A Practical Guide Book. Second edition. The World
Aquaculture Society, Baton Rounge, Louisiana, United State, 182 hal.
Davis, D. A., Saoud, I. P., McGraw, W. J., Rouse, D. B., 2002. Considerations for Litopenaeus
vannamei reared in inland low salinity waters. In: Cruz-Suárez, L. E., Ricque-Marie, D.,
Tapia-Salazar, M., Gaxiola-Cortés, M. G., Simoes, N. (Eds.). Avances en Nutrición
Acuícola VI. Memorias del VI Simposium Internacional de Nutrición Acuícola. 3 al 6 de
Septiembre del 2002. Cancún, Quintana Roo, México
Dayna, P., Raval,I.H., Joshi,N., Patel,N.P.,Haldar, S.,andMody,K.H.(2015). Influenceof
low salinity stress on virulence and biofilm formation potential in Vibrio
alginolyticus, isolated from the Gulf of Khambhat, Gujarat India. Aquatic
Living Resources, 28: 99–109
Hamka, Z Burhanuddin, Faisal 2013. Optimasi tingkat kerja osmotik benih ikan kerapu tikus
(Cromileptes altivelis) yang dipelihara pada salinitas berbeda. Octopus. 2 (1) : 135
Herlinah dan E. Septiningsih. Tingkat kerja osmotik udang vaname, Litopenaeus vannamei pada budidaya sistem intensif dengan aplikasi bioflok dan pergiliran pakan. Prosiding
Forum Inovasi Teknologi Akuakultur : 43-48.
Holthuis, L.B. 1980. FAO Species Catalogue Vol. 1. Shrimp and Prawn of the world. An
annotated catalogue of spesies of interest to fisheries. FAO Fish. Synop. 125 Vol. 1 :
271 hal.
Huynh TG, Cheng AC, Chi CC, Chiu KH, Liu CH. A synbiotic improves the immunity of white
shrimp, Litopenaeus vannamei: Metabolomic analysis reveal compelling evidence. Fish
Shellfish Immunol. 2018 Aug;79:284-293. doi: 10.1016/j.fsi.2018.05.031. Epub 2018
May 18. PMID: 29778843.
Putri A.K., SAnggoro, Djuwito. 2015. Tingkat Kerja Osmotik Dan Perkembangan Biomassa
Benih Bawal Bintang (Trachinotus Blochii) Yang Dikultivasi Pada Media Dengan
Salinitas Berbeda." Jurnal Management of Aquatic Resources, vol. 4, no. 1, 2015, pp.
159-168.
Rahmawati S.I, Saputra R.N, Hidayatullah A., Dwiarto A., Junaedi H., Cahyadi D., i Saputra
H.K.H., Prabowo W.T., Kartamiharja U.K.A., Shafira H., Noviyanto A., Rochman
N.T.2020. Enhancement of Penaeus vannamei shrimp growth using nanobubble in
indoor raceway pond. Aquaculture and Fisheries.
https://doi.org/10.1016/j.aaf.2020.03.005
Ranjan A., Boyd C.E. 2018.. Appraising pond liners for shrimp culture. Global Aquaculture
Advocate. May.
Salsabiela, M. 2020. Pola Osmoregulasi Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) Dewasa
Yang Diablasi dan Dikultivasi pada Berbagai Tingkat Salinitas.Gema Wiralodra, 11 (1):
143-153
Suantika G, Situmorang ML, Nurfathurahmi A, Taufik I, Aditiawati P. 2018. Application of
Indoor Recirculation Aquaculture System for White Shrimp (Litopenaeus vannamei)
Growout Super-Intensive Culture at Low Salinity Condition.J Aquac Res Development 9:
530. doi: 10.4172/2155-9546.1000530
Supono, J. Hutabarat, S.B. Prayitno, dan Y.S. Darmanto. 2014. White Shrimp (Litopenaeus
vannamei) Culture Using Heterotrophic aquaculture System on Nursery Phase.
International Journal of waste Resources 4 (2) :1000142
Temmy, S. Anggoro, N. Widyorini. 2017. Tingkat kerja osmotik dan pertumbuhan kerang hijau
perna viridis yang dikultivasi di perairan tambak lorok semarang. Journal of Maquares, 6
(2) : 164-172
Widodo A.F., B. Pantjara, N. B. Adhiyudanto, Rachmansyah. 2011. Performansi fisiologis udang
vaname, Litopenaeus vannamei yang dipelihara pada media air tawar dengan aplikasi
kalium. J. Ris. Akuakultur 6 (2): 225-241
Wyban, J.A, and J.N. Sweeney. 1991. Intensive shrimp production technology. The Ocean
Institute Honolulu, Hawai. 158 hal.
Lampiran 1. Surat Keterangan bimbingan mahasiswa aktif