Post on 19-Oct-2015
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
1/71
I. PENDAHULUAN
A. Latar BelakangAsma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran
napas yang ditandai adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada
akibat penyumbatan saluran napas, termasuk dalam kelompok penyakit
saluran pernapasan kronik. Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan
100-150 juta penduduk dunia menderita asma. Sumber lain menyebutkan
bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus
meningkat selama 20 tahun belakangan ini (Depkes RI, 2009).
Pengamatan di 5 provinsi di Indonesia (Sumatera Utara, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan) yang dilaksanakan
oleh Subdit Penyakit Kronik dan Degeneratif Lain Departemen Kesehatan
pada bulan April tahun 2007, menunjukkan bahwa pada umumnya upaya
pengendalian asma belum terlaksana dengan baik dan masih sangat minim
ketersediaan peralatan yang diperlukan untuk diagnosis dan tatalaksana
pasien asma di fasilitas kesehatan (Depkes RI, 2009).
Seperti halnya asma, tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health
Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global
Emergency (PDPI, 2006).
Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus
baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
2/71
2
Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis
di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 %
dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah pendduduk,
terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.Di Afrika hampir 2 kali lebih besar
dari Asia Tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk (PDPI, 2006).
Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis pada tahun
2002. Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia Tenggara yaitu
625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.
Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk,
dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat
kasus TB yang muncul (PDPI, 2006).
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan
penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992
disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua,
sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab
kematian pertama pada golongan penyakit infeksi (PDPI, 2006).
Sementara itu, dari hasil laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL
Departemen Kesehatan tahun, 2001 terdapat 50.443 penderita BTA positif
yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif). Tiga
perempat dari kasus TB ini berusia 15 49 tahun. Pada tahun 2004 WHO
memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
3/71
3
paru menular (BTA positif) pada setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia
masih menduduki urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India
dan China (PDPI, 2006).
Berdasarkan latar belakang tersubut, dapat dikatakan bahwa penyakit
asma dan TB memang merupakan masalah kesehatan di Indonesia, bahkan
dunia. Sehingga diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang baik dan
benar mengenai penanganan dan pengobatan penyakit tersebut. Hal tersebut
akan dibahas dalam praktikum kali ini.
B. Judul PraktikumObat Asma dan TB
C. Pelaksanaan PraktikumSenin, 10 Maret 2014 di Laboratorium Farmakologi Kedokteran Unsoed.
D. Tujuan1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam obat antituberkulosis dan
obat antiasma.
2. Tujuan Khususa. Mahasiswa mampu menjelaskan dasar patologi asma.
b. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme kerja obat antiasma.c. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat
antiasma.
d. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengobatan asma.e. Mahasiswa mengetahui efek samping obat antiasma.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
4/71
4
f. Mahasiswa mampu memahami mekanisme kerja obatantituberkulosis.
g. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obatantituberkulosis.
h. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip dan panduan pengobatantuberkulosis.
i. Mahasiswa mengetahui efek samping obat antituberkulosis.j. Mahasiswa mampu menjelaskan farmakologi obat pernapasan
lainnya.
E. Manfaat1. Mengetahui algoritma terapi dari penyakit asma dan TB2. Mengetahui cara penggunaan obat asma dan TB yang tepat3. Mengetahui mekanisme kerja dan farmakokinetik obat asma dan TB4. Mengetahui efek samping obat asma dan TB5. Mahasiswa mampu membuat peresepan obat TB
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
5/71
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penjelasan Asma1. Definisi Asma
Asma bronchial adalah obstruksi jalan nafas difusi reversible
obstruksi disebabkan oleh hal-hal seperti kontraksi otot yang
mengelilingi bronkus yang menyebabkan penyempitan jalan nafas,
pembengkakan membran yang melapisi bronkus dan kelenjar mukosa
membesar, sputum yang kental banyak dihasilkan dan alveoli mengalami
hiperinflasi, dengan udara yang terperangkap di dalam jaringan paru.
Mekanisme yang pasti dari perubahan ini tidak diketahui tetapi ada yang
paling diketahui adalah keterlibatan sistem imunologis dan sistem saraf
otonom (Harrison, 2011).
Asma berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas
sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas
(breathlessness), dada rasa tertekan (chesttightness), dispneua, dan batuk
(cough) terutama pada malam atau dini hari. Pada individu yang rentan,
gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan
obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi
derajatnya (GINA, 2009).
2. Mekanisme AsmaAsma adalah penyakit obstruksi jalan nafas difus reversibel yang
disebabkan oleh satu atau lebih dari faktor berikut ini (Price, 2005).
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
6/71
6
a. Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi yang menyempitkanjalan nafas.
b. Pembengkakan membran yang melapisi bronchi.c. Pengisian bronchi dengan mukus yang kental.
Pada dasarnya, proses perjalanan penyakit asma dipengaruhi oleh
2 faktor yaitu alergi dan psikologis, kedua faktor tersebut dapat
meningkatkan terjadinya kontraksi otot-otot polos, meningkatnya sekret
mukus pada bronkiolus dan adanya kontraksi pada trakea serta
meningkatnya produksi mukus jalan nafas, sehingga terjadi penyempitan
pada jalan nafas dan penumpukan udara di paru-paru oleh berbagai
macam sebab maka akan menimbulkan gangguan seperti gangguan
ventilasi (hipoventilasi), distribusi ventilasi yang tidak merata dengan
sirkulasi darah paru, gangguan difusi gas di tingkat alveoli (Harrison,
2011).
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos
bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum
adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di
udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan
cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan
untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar
dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila bereaksi dengan antigen
spesifik (Harrison, 2011).
Bila seseorang menghirup alergen maka antibody IgE orang
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
7/71
7
tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terdapat
pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai
macam zat, diantaranya histamin, leukotrient, faktor kemotaktik
eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini
akan menghasilkan oedem lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun
sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot
polos bronkhiolus sehingga menyebabkan resistensi saluran napas
menjadi sangat meningkat (Harrison, 2011).
Selain itu, otot-otot bronchial dan kelenjar membesar. Sputum
yang kental banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflamasi dengan
udara terperangkap di dalam paru. Antibodi yang dihasilkan (IgE)
kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap
antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi menyebabkan
pelepasan produk sel-sel mast (mediator) seperti: histamin, bradikinin,
dan prostaglandin serta anafilaksis dari suptamin yang bereaksi lambat
(Price, 2005).
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronchial
diatur oleh influls saraf vegal melalui sistem parasimpatis. Pada asma
idiopatik atau non alergi, ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang
oleh faktor-faktor seperti infeksi, aktivitas fisik yang berat, asap rokok,
emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat
sehingga merangsang pembentukan mediator kimiawi (Harrison, 2011).
Selain itu, reseptor dan adrenergik dari sistem saraf simpatik
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
8/71
8
terletak pada bronkus ketika reseptor adrenergik dirangsang
bronkokontriksi terjadi, sedangkan bronkodilatasi terjadi ketika reseptor
adrenergik dirangsang. Keseimbangan antara reseptor dan
adrenergic dikendalikan terutama oleh siklik adenosine monofosfat
(cAMP), stimulasi reseptor mengakibatkan penurunan cAMP yang
mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-
sel mast sehingga bronkokonstriksi terjadi. Stimulasi reseptor
mengakibatkan peningkatan cAMP, yang menghambat pelepasan
mediator kimiawi yang menyebabkan bronkodilatasi (Harrison, 2011).
Pelepasan asetilkolin secara langsung menyebabkan
bronchokonstriksi, juga merangsang pembentukan mediator kimiawi.
Pada serangan asma berat yang sudah disertai toxemia, tubuh akan
mengadakan hiperventilasi untuk mencukupi kebutuhan O2.
Hiperventilasi ini akan menyebabkan pengeluaran CO2 berlebihan dan
selanjutnya mengakibatkan tekanan CO2 darah arteri (PaCO2) menurun
sehingga terjadi alkalosis respiratorik (pH darah meningkat) (Price,
2005).
Bila serangan asma lebih berat lagi, banyak alveolus tertutup oleh
mukus sehingga tidak ikut sama sekali dalam pertukaran gas. Sekarang
ventilasi tidak mencukupi lagi, hipoksemia bertambah berat, kerja otot-
otot pernafasan bertambah berat dan produksi CO2 yang meningkat
disertai ventilasi alveolar yang menurun menyebabkan retensi CO2dalam
darah (hipercapnia) dan terjadi asidosis respiratori (pH menurun).
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
9/71
9
Stadium ini kita kenal dengan gagal nafas (Price, 2005).
Gambar II.1.Patofisiologi Asma (Price, 2005).
Allergen
IgE
Menginduksi SelMast Paru
PengeluaranHistamin
Proses Inflamasi(otot polosbronkus)
vasodilatasi
peningkatanpermeabilitas
ekstravasasi
cairan plasma kejaringan
oedem
Peningkatan Ach
Hipersekresimukus
Kontraksi ototpolos bronkus
Bronkokonstriksi
wheezing
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
10/71
10
3. Klasifikasi AsmaTujuan penatalaksanaan asma adalah untuk mengontrol manifestasi
klinis sehingga jarang atau tidak muncul dalam waktu yang lama. Saat
asma terkontrol, serangan dapat dicegah, dan pasien dapat menghindari
manifestasi klinis dan keluhan baik pada siang dan malam hari dan
pasien dapat tetap aktif secara fisik (GINA, 2011).
Tabel II.1.Klasifikasi Asma menurut Level Kontrol (GINA, 2011)
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
11/71
11
Tabel II.2.Klasifikasi Asma (PDPI, 2004).
4. Algortima Terapi AsmaBerikut akan dijelaskan bagaimana algoritma penatalaksanaan
serangan asma di rumah, maupun algoritma penatalaksanaan asma di
rumah sakit. Penjelasannya adalah sebagai berikut (PDPI, 2004).
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
12/71
12
Penilaian berat serangan
Klinis : Gejala (batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah
APE , 80% nilai terbaik / prediksi .
Terapi awal
Inhalasi agonis beta-2 kerja cepat
(setiap 20 menit, 3 kali dalam 1 jam), atau Bronkodilator oral
Gambar II.2.Algoritma Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah (PDPI,
2004).
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
13/71
13
Gambar II.3.Algoritma Penatalaksanaan Serangan Asma (PDPI, 2004).
Pulang
Pengobatan dilanjutkandengan inhalasi agonis beta-2
Membutuhkan kortikosteroidoral
Edukasi pasien- Memakai obat yang
benar
- Ikuti rencanapengobatan
selanjutnya
Dirawat di RS
Inhalasi agonis beta-2 + antikolinergik
Kortikosteroid sistemik Aminofilin drip Terapi Oksigen pertimbangkan
kanul nasal atau masker venturi
Pantau APE, Sat O2, Nadi, kadarteofilin
Dirawat di ICU
Inhalasi agonis beta-2 + anti
kolinergik
Kortikosteroid IV
Pertimbangkan agonis beta-2 injeksi
SC/IM/IV
Aminofilin drip
Mungkin perlu intubasi dan ventilasi
mekanik
Penilaian Awal
Riwayat dan pemeriksaan fisik
Penilaian Ulang setelah 1 jam
Respons baik
Respons baik dan stabil dalam 60menit
Pem.fisi normal APE >70% prediksi/nilai terbaik
Respons Tidak Sempurna
Resiko tinggi distress Pem.fisis : gejala ringansedang APE > 50% terapi < 70% Saturasi O2 tidak perbaikan
Respons buruk dalam 1 jam
Resiko tinggi distress Pem.fisis : berat, gelisah dan kesadaran
menurun
APE < 30% PaCO2 < 45 mmHg PaCO2 < 60 mmH
Serangan Asma Ringan Serangan Asma Sedang/Berat Serangan Asma Mengancam Jiwa
Pengobatan Awal
Oksigenasi dengan kanul nasal Inhalasi agonis beta-2 kerja cepat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) a tau agonis beta-
2 injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan)
Kortikosteroid sistemik :- serangan asma berat
Perbaikan Tidak Perbaikan
Pulang
Bila APE > 60% prediksi / terbaik.
Dirawat di ICU
Bila tidak perbaikan dalam 6-12 jam
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
14/71
14
Gambar II.4.Algoritma Penatalaksanaan Asma Eksarbasi di Rumah
Sakit (GINA, 2011).
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
15/71
15
5. Farmakologi Obat AsmaPengobatan asma bertujuan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan nafas, terdiri atas pelega (reliever) dan pengontrol
(controller) (PDPI, 2004).
a. Pelega (reliever)Pelega (reliever) prinsip pengobatannya adalah dilatasi jalan
napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau
menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti
mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Obat asma
yang termasuk pelega adalah:
1) Agonis beta-2 kerja cepatTermasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin,
fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia.
Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol
mempunyai onset cepat dan durasi yang lama (PDPI, 2004).
Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu
relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan
mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan
modulasi pelepasan mediator dari sel mast. Efek sampingnya
adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan
hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit
menimbulkan efek samping daripada oral (PDPI, 2004).
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
16/71
16
2) Kortikosteroid sistemikSteroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil
belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan
bronkodilator lain (PDPI, 2004).
3) AntikolinergikPemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya
memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada
jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan
tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat
refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan (PDPI, 2004).
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium
bromide dan tiotropium bromide. disarankan menggunakan
kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja cepat
sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau
pada serangan asma yang kurang respons dengan agonis beta-2
saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Efek
samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit (PDPI,
2004).
4) AminofillinAminofillin adalah bronkodilator kuat dan sangat
bermanfaat jika bronkospasme terhadap epinefrin. Dosisnya 250
sampai 500 mg, diberikan perlahan-lahan secara intravena.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
17/71
17
Berdasarkan sifatnya sebagai bronkodilator yang kuat,
aminofilin kerja cepat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi
gejala asma akut, walau disadari onsetnya lebih lama daripada
agonis beta-2 kerja cepat (PDPI, 2004).
5) AdrenalinDapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang
sampai berat, bila tidak tersedia agonis beta-2, atau tidak
respons dengan agonis beta-2 kerja cepat (PDPI, 2004).
b. Pengontrol (controller)Pengontrol (controller) adalah pengobatan asma jangka
panjang yang diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Obat
pengontrol asma adalah:
1) Glukokortikosteroid inhalasiGlukokortikosteroid inhalasi adalah pengobatan jangka
panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Steroid
inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan
sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan
aman pada dosis yang direkomendasikan. Contoh obatnya
yaitu beklometason propionat, budenosid, flunisolid,
flutikason, dan triamsolon asetonid (PDPI, 2004).
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping
lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
18/71
18
iritasi saluran napas atas. Semua efek samping tersebut dapat
dicegah dengan penggunaan spacer, atau mencuci mulut
dengan berkumur-kumur dan membuang keluar setelah
inhalasi (PDPI, 2004).
Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui
absorpsi obat di paru. Risiko terjadi efek samping sistemik
bergantung kepada dosis dan potensi obat sistemik. Penelitian
menunjukkan budesonid dan flutikason propionate mempunyai
efek sistemik yang rendah dibandingkan beklometason
dipropionat dan triamsinolon (PDPI, 2004).
2) Glukokortikosteroid sistemikGlukokortikosteroid sistemik diberikan secara oral atau
parenteral. Untuk jangka panjang penggunaan
glukokortikosteroid inhalasi lebih baik daripada steroid oral
karena efek samping sistemik pemberian oral maupun parental
lebih banyak. Namun, obat ini cocok untuk asma persisten dan
berat (PDPI, 2004).
Lebih baik menggunakan steroid oral yang diminum
selang 1 hari daripada penggunaan melalui jalur parenteral.
Prednison, prednisolon, dan metilprednisolon pun menjadi
pilihan yang terbaik karena karena mempunyai efek
mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae
pada otot minimal (PDPI, 2004).
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
19/71
19
Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid
oral/ parenteral jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi,
diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak,
glaukoma, obesitas, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot.
Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko infeksi
herpes zoster. Pada keadaan infeksi virus herpes atau varisela,
maka glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan (PDPI,
2004).
3) Sodium kromoglikat dan nedokromil sodiumJalur pemberian obat ini adalah secara inhalasi.
Mekanisme kerjanya belum diketahui secara jelas tetapi
diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat
penglepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang
diperantarai IgE. Efek sampingnya minimal seperti batuk atau
rasa obat tidak enak saat melakukan inhalasi (PDPI, 2004).
4) MetilsantinMetilsantin mempunyai efek bronkodilator dan
antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan
hambatan fosfodiesterase yang dapat terjadi pada konsentrasi
tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi melalui
mekanisme yang belum jelas terjadi pada konsentrasi rendah (5-
10 mg/dl). Harga obat ini jauh lebih murah dibandingkan agonis
beta2 kerja lama inhalasi (PDPI, 2004).
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
20/71
20
Contoh obat yaitu aminofilin dan teofilin. Efek samping
berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( >10 mg/kgBB/ hari atau
lebih). Gejala gastrointestinal nausea, muntah adalah efek
samping yang paling dulu dan sering terjadi, selain itu takikardi,
aritmia, dan merangsang pusat nafas (PDPI, 2004).
5) Long Acting 2Agonist(LABA)Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah
salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>
12 jam). Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang diberikan jangka
lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang
bronkokonstriktor (PDPI, 2004).
a) Mekanisme KerjaObat golongan LABA, yaitu selective 2 receptor
agonist memiliki durasi waktu kerja yang diperpanjang
yaitu >12 jam karena memiliki sifat lipofilik tinggi. Selain
itu ia memiliki efek kerja 50 kali lipat dari albuterol
(salbutamol).
Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan fungsi
paru dan melegakan gejala. Salmeterol dan golongannya
bekerja lebih efektif dari teofilin oral, sehingga sama
efektifnya seperti ipratropium (golongan antagonis
kolinergik). Sifat lipofilik yang dimiliki obat ini
meningkatkan durasi ikatannya dengan reseptor sehingga
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
21/71
21
memperpanjang aktivasi reseptor tersebut. (Brunton et al.,
2006).
b) Contoh ObatMenurut Ducharme, et al (2010), beberapa contoh
obat yang termasukLong Acting 2Agonist(LABA) adalah
salmeterol, bambuterol, formoterol, dan clenbuterol.
c) FarmakokinetikObat golongan agonis 2 kerja lama absorbsinya
lambat, mula kerja lambat, dan juga waktu paruh dalam
tubuh panjang atau lama. Sifat tersebut lebih efektif jika
melalui jalur inhalasi dan sering digunakan sebagai
controller .Obat ini kebanyakan dieliminiasi melalui ginjal
(Katzung, 2010).
d) FarmakodinamikReseptor beta-adrenergik ini terkait dengan protein
G stimulatori. Subunit alfa protein G akan mengaktivasi
adenilil siklase yang mengkatalisis produksi cAMP. cAMP
akan menyebabkan penurunan kalsium intraseluler. Melalui
aktivasi protein kinase A, cAMP akan menonaktifkan
myosin light chain kinase dan mengaktivasi myosin light
chain phosphatase(Ramanujan, 2006).
Obat ini juga akan meningkatkan konduktansi kanal
kalium yang diaktivasi kalsium sehingga menyebabkan
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
22/71
22
hiperpolarisasi otot polos saluran nafas. Kombinasi
penurunan kalsium intraseluler, peningkatan konduktansi
kalium membran, dan penurunan aktivitas myosin light
chain kinase menyebabkan relaksasi otot polos dan
bronkodilatasi. Fermeterol dapat digunakan bersamaan
dengan agonis O2 dan teofilin (Goldsmith and Keating,
2004).
e) Efek Samping ObatMenurut Sweetman (2009), beberapa efek samping
dari obat golongan LABA adalah memberikan efek adiktif
saat dikombinasikan bersama ipratropium (inhalasi) atau
teofilin (oral), meningkatkan denyut jantung sehingga
timbul takikardi dan palpitasi, menimbulkan tremor,
meningkatkan kadar glukosa darah, menurunkan kadar
kalium plasma, peningkatan produksi keringat, agitasi,
insomnia, tirotoksikosis, stenosis subaorta, pusing, dan
migrain.
f) Kontra IndikasiKontra indikasi bagi obat golongan LABA menurut
Brunton et al(2006) antara lain untuk pengobatan reliever,
kehamilan, dan gangguan fungsi hepar.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
23/71
23
g) SediaanMenurut Sweetman (2009) salah satu contoh obat
golongan LABA adalah clenbuterol. Clenbuterol memiliki
rentang dosis 20-60 g perhari, dengan dosis maksimal 20
g untuk wanita dan40 g untuk pria.Contoh lainnya adalah
formoterol yang memiliki dosis 12 g, dan salmeterol yang
memiliki dosis 50 g.
6) Leukotrien modifiersa) Mekanisme Kerja dan Contoh Obat
Terdapat dua tipe leukotrien modifiers yaitu
menghambat enzim 5-lipoksigenase sehingga dapat
menghambat produksi leukotriene dari asam arakidonat
(contohnya zileuton), kemudian tipe yang kedua bekerja
dengan cara menjadi antagonis kompetitif reseptor
leukotrien/ leukotriene receptor antagonist/ LTRA
(contohnya zafirlukast, montelukast, dan pranlukast). Namun
efek leukotriene modifiers tidak sekuat kortikosteroid
sehingga jarang menjadi prioritas terapi dalam asma (Fanta,
2009).
b) FarmakokinetikObat leukotrien modifiers diaadministrasikan per oral
dan diabsorpsi secara cepat di usus halus. Zafirlukast
memiliki bioavailabilitas yang tinggi yaitu diatas 90%.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
24/71
24
Sedangkan montelukast memiliki bioavailabilitas 60%-70%
Pada konsentrasi plasma terapeutik, obat ini > 99% terikat
pada protein (Bharathi et al., 2008).
Metabolisme terjadi di hepar oleh enzim CYP3A4
dan CYP2C9. Perlu diketahui bahwa metabolit hanya
memiliki efektifitas 10% sehingga yang memiliki efek
terapeutik adalah obat dasarnya. Waktu paruh zafirlukast 12-
20 jam dengan rata-rata 5,6 jam (Bharathi et al., 2008).
Waktu paruh montelukast berkisar 3-6 jam.
Sedangkan zileuton dimetabolisme oleh enzim CYP dan
UDP-glukorosiltransferase dengan waktu paruh 2,5 jam
(Brunton et al., 2006).
c) FarmakodinamikSisteinil leukotrien (cyst-LT) merupakan sebuah
mediator yang poten untuk menimbulkan efek
bronkokonstriksi. Beberapa contoh cyst-LT adalah LTC4,
LTD4, LTE4. Reseptor yang bertanggung jawab adalah
reseptor cyst-L1 (Montuschi et al., 2010).
Maka dari itu obat LTRA bekerja ada reseptor
tersebut untuk menghalangi cyst-LT berikatan padanya. Efek
dari obat LTRA antara lain mencegah kebocoran
mikrovaskuler, peningkatan produksi mukus, dan
peningkatan influks basofil serta eosinofil pada saluran nafas.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
25/71
25
Sedangkan obat inhibitor 5-lipoksigenase seperti zileuton
akan menghambat kerja enzim tersebut sehingga asam
arakidonat tidak tersintesis. Dengan demikian, leukotrien
juga tidak akan bisa diproduksi, terutama LTB4 (Montuschi
et al., 2010).
d) Efek Samping ObatUntuk obat antagonis reseptor leukotrien, beberapa
efek samping yang dapat ditemukan menurut Brunton, et al
(2006) adalah eosinofilia sistemik, vaskulitis, churg-strauss
syndrome, meningkatkan prothrombin time, gangguan
gastrointestinal, hipersensitivitas, insomnia, peningkatan
tendensi perdarahan.
Untuk obat inhibitor enzim 5-lipoksigenase, beberapa
efek samping yang dapat ditemukan menurut Lu, et al(2008)
adalah peningkatan enzim hepar pada 4%-5%, meningkatkan
konsentrasi plasma teofilin, dan gangguan neuropsikiatrik.
e) Kontra IndikasiMenurut Lu, et al(2008), kontraindikasi penggunaan
obat golongan ini adalah kasus darurat (reliever) dan
gangguan hepar.
f) Sediaanobat zileuton memiliki sediaan lazim 300 mg/600
mg, dosis dewasa 2400 mg/hari QID (Kelly et al, 2005).
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
26/71
26
B. Penjelasan TB1. Prinsip Pengobatan TB
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif
(2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang
digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. Jenis obat utama
(lini 1) yang digunakan adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
streptomisin, etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) adalah
kanamisin, amikasin, kuinolon (PDPI, 2006).
2. Panduan Pengobatan TBWHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu
(Depkes RI, 2009):
a. Kategori 11) 2HRZE/4H3R32) 2HRZE/4HR3) 2HRZE/6HE
b. Kategori 21) 2HRZES/HRZE/5H3R3E32) 2HRZES/HRZE/5HRE
c. Kategori 31) 2HRZ/4H3R32) 2HRZ/4HR3) 2HRZ/6HE
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
27/71
27
Namun, paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan TB di Indonesia adalah (Depkes RI, 2009):
a. Kategori 1: 2HRZE/4(HR)3b. Kategori 2: 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3.
Berikut adalah paduan OAT dan peruntukannya:
a. Kategori 1Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru (Depkes RI,
2009):
1) Pasien baru TB paru BTA positif.2) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif.3) Pasien TB ekstra paru.
Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT dan OAT
kombipak Kategori 1 2(HRZE)/4(HR)3 sebagaimana dalam tabel
berikut.
Tabel II.3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1(Depkes RI, 2009).
Berat Badan
Tahap Intensif
tiap hari selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama
16 mingguRH (150/150)
3037 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
3854 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
5570 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
28/71
28
Tabel II.4. Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 1 (Depkes RI, 2009)
Tahap
Pengobatan
Lama
Pengobatan
Dosis per hari / kali Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Tablt
H
@300
mgr
Kaplet
R
@450
mgr
Tablet
Z
@500
mgr
Tablet
E
@250
mgr
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48
b. Kategori 2Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang
telah diobati sebelumnya, yaitu pasien kambuh, pasien gagal, dan
pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) (Depkes
RI, 2009).
Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT dan
kombipak Kategori 2, 2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E3, sebagaimana
dalam berikut.
Tabel II.5. Dosis paduan OAT KDT Kategori 2(Depkes RI, 2009).
Berat
Badan
Tahap Intensif
tiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
RH (150/150) +
E(400)
Selama 56 hariSelama 28
Hari
Selama 20
minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
29/71
29
+ 500 mg
Streptomisin inj.
+ 2 tab Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT
+ 750 mg
Streptomisin inj.
3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
+ 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT
+ 1000 mg
Streptomisin
inj.
4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 4 tab Etambutol
71 kg 5 tab 4KDT
+ 1000mg
Streptomisin inj.
5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
+ 5 tab Etambutol
Tabel II.6. Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 2(Depkes RI, 2009).
Tahap
Pengobatan
Lama
Pengobatan
Tab
H
@300
mgr
Kap
R
450
mgr
Tablet
Z @
500
mgr
E
S
injeksi
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Tab
@250
mgr
Tab
@400
mgr
Tahap
Intensif
(dosis
harian)
2 bulan
1 bulan
1
1
1
1
3
3
3
3
-
-
0,75
gr
-
56
28
Tahap
Lanjutan
(dosis
3x
semggu)
4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
30/71
30
Catatan:
1) Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimaluntuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat
badan.
2) Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaankhusus.
3) Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu denganmenambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi
4ml. (1ml = 250mg).
c. OAT Sisipan (HRZE)Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang
pada akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif (Depkes RI,
2009).
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk
tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari)
sebagaimana dalam Tabel II.6.
Tabel II.7. Dosis KDT Sisipan: (HRZE)(Depkes RI, 2009).
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28
hari
RHZE (150/75/400/275)
3037 kg 2 tablet 4KDT
3854 kg 3 tablet 4KDT
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
31/71
31
5570 kg 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT
Paket sisipan Kombipak adalah sama seperti paduan paket
untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28
hari) sebagaimana dalam Tabel II.7.
Tabel II.8. Dosis OAT Kombipak Sisipan : HRZE (Depkes RI, 2009).
Tahap
Pengobatan
Lamanya
Pengobatan
Tablet
H
@300
mgr
Kaplet
R
@450
mgr
Tablet
Z
@ 500
mgr
Tablet
E
@250
mgr
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Tahap
intensif
(dosis
harian)
1 bulan 1 1 3 3 28
d. OAT Lini 2Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan
aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak
dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas
karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
32/71
32
pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko
resistensi pada OAT lapis kedua (Depkes RI, 2009).
3. OAT pada AnakSebagian besar kasus TB pada anak pengobatan 6 bulan cukup
adekuat setelah itu lakukn evaluasi baik secara klinis maupun
pemeriksaan penunjang. Evalusi klinis pada TB anak merupakan suatu
parameter terbaik untuk menilai suatu keberhasilan pengobatan. Apabila
terdapat perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak
menunjukkan perubahan yang berarti penggunaan OAT tetap dihentikan
(Depkes RI, 2006).
Gambar II.5.Alur Tatalaksana pasien TB anak pada unit pelayanan
kesehatan dasar (Depkes RI, 2006).
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
33/71
33
Kategori Anak ( 2RHZ/ 4RH)
Tabel II.9.Dosis OAT Kombipak pada anak
Tabel II.10.Dosis OAT KDT pada anak
Prinsip pengobatan TB yang mendasar pada anak adalah
pemberian minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan.
OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun
tahap lanjutan, dosis obat harus tetap disesuaikan dengan berat badan
anak (Depkes RI, 2006).
Keterangan:
a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke Rumah Sakitb. Anak dengan BB 1519 kg dapat diberikan 3 tablet
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
34/71
34
c. Anak dengan BB lebih dari sama dengan 33 kg, dirujuk ke RumahSakit
d. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelahe. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau
digerus sesaat sebelum diminum.
4. Evaluasi Pengobatan TBEvaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik,
radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat
(PDPI, 2006).
a. Evaluasi klinik1) Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama
pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan
2) Evaluasi: respons pengobatan dan ada tidaknya efek sampingobat serta ada tidaknya komplikasi penyakit.
3) Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.b. Evaluasi bakteriologik (026 /9)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak.
1) Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopika) Sebelum pengobatan dimulai.
b) Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif).c) Pada akhir pengobatan.
2) Bila ada fasilitas biakan : pemeriksaan biakan (02 6/9)
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
35/71
35
c. Evaluasi radiologik (02 6/9)Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
1) Sebelum pengobatan.2) Setelah 2 bulan pengobatan.3) Pada akhir pengobatan
d. Evaluasi efek samping secara klinikBila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal
dan darah lengkap.
1) Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin.2) Fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah, asam urat untuk
data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan.
3) Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid.4) Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan
etambutol.
5) Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa ujikeseimbangan dan audiometri.
6) Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukanpemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi
klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi
klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
36/71
36
e. Evalusi keteraturan berobatYang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang
digunakan adalah keteraturan berobat. Diminum/tidaknya obat
tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang
diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan.
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi (PDPI, 2006).
f. Evaluasi penderita yang telah sembuhPenderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui
terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA
dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan
setelah dinyatakan sembuh (PDPI, 2006).
5. Farmakologi Obat TBBerikut dijelaskan mengenai OAT atau Obat Anti Tuberkulosis
(Depkes, 2005).
a. Isoniazid (H)1) Identitas
Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik
isoniazid 100 mg dan 300 mg/ tablet. Nama lain dari isoniazid
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
37/71
37
adalah asam nicotinathidrazida, isonikotinilhidrazida, ataupun
INH.
2) DosisUntuk pencegahan, dewasa 300 mg satu kali sehari, anak
anak 10 mg per berat badan sampai 300 mg, satu kali sehari.
Untuk pengobatan TB bagi orang dewasa sesuai dengan petunjuk
dokter/ petugas kesehatan lainnya. Umumnya dipakai bersama
dengan obat anti tuberkulosis lainnya. Dalam kombinasi biasa
dipakai 300 mg satu kali sehari, atau 15 mgper kg berat badan
sampai dengan 900 mg, kadang-kadang 2 kali atau 3 kali
seminggu. Untuk anak dengan dosis 10 20 mg per kg berat badan.
Atau 2040 mg per kg berat badan sampai 900 mg, 2 atau 3 kali
seminggu.
3) IndikasiObat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk
tuberkulosis aktif, disebabkan kuman yang peka dan untuk
profilaksis orang berisiko tinggi mendapatkan infeksi. Dapat
digunakan tunggal atau bersama-sama dengan antituberkulosis
lain.
4) Kontraindikasi.Kontra indikasinya adalah riwayat hipersensistifitas atau
reaksi adversus, termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan
hati akut, tiap etiologi: kehamilan(kecuali risiko terjamin).
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
38/71
38
5) Kerja Obat.Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman
dalam beberapa hari pertama pengobatan. Efektif terhadap kuman
dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang
berkembang. Mekanisme kerja berdasarkan terganggunya sintesis
mycolic acid, yang diperlukan untuk membangun dinding bakteri.
6) Dinamika/Kinetika Obat.Pada saat dipakai isoniazid akan mencapai kadar plasma
puncak dalam 1 2 jam sesudah pemberian peroral dan lebih
cepat sesudah suntikan im; kadar berkurang menjadi 50 % atau
kurang dalam 6 jam. Mudah difusi ke dalam jaringan tubuh,
organ, atau cairan tubuh. Juga terdapat dalam liur, sekresi
bronkus dan cairan pleura, serobrosfina, dan cairan asitik.
Metabolisme di hati, terutama oleh karena asetilasi dan
dehidrazinasi (kecepatan asetilasi umumnya lebih dominan).
Waktu paruh plasma 2-4 jam diperlama pada insufiensi hati, dan
pada inaktivator lambat. Lebih kurang 75-95 % dosis
diekskresikan di kemih dalam 24 jam sebagai metabolit, sebagian
kecil diekskresikan di liur dan tinja. Melintasi plasenta dan masuk
kedalam ASI.
7) Interaksi.Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450
isoenzymes, tetapi mempunyai efek minimal pada CYP3A.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
39/71
39
Pemakaian isoniazid bersamaan dengan obat-obat tertentu,
mengakibatkan meningkatnya konsentrasi obat tersebut dan dapat
menimbulkan risiko toksik. Antikonvulsan seperti fenitoin dan
karbamazepin adalah yang sangat terpengaruh oleh isoniazid.
Isofluran, parasetamol dan karbamazepin menyebabkan
hepatotoksisitas, antasida dan adsorben menurunkan absopsi,
sikloserin meningkatkan toksisitas pada SSP, menghambat
metabolisme karbamazepin, etosuksimid, diazepam, menaikkan
kadar plasma teofilin. Efek rifampisin lebih besar dibanding efek
isoniazid, sehingga efek keseluruhan dari kombinasi isoniazid dan
rifampisin adalah berkurangnya konsentrasi dari obat-obatan
tersebut, seperti fenitoin dan karbamazepin
8) Efek SampingEfek samping isoniazid, diantaranya:
a) Dalam hal neurologi, diantaranya parestesia, neuritis perifer,gangguan penglihatan, neuritis optik, atropfi optik, tinitus,
vertigo, ataksia, somnolensi, mimpi berlebihan, insomnia,
amnesia, euforia, psikosis toksis, perubahan tingkah laku,
depresi, ingatan tak sempurna, hiperrefleksia, otot melintir,
konvulsi.
b) Hipersensitifitas, demam, menggigil, eropsi kulit (bentukmorbili, mapulo papulo, purpura, urtikaria), limfadenitis,
vaskulitis, keratitis.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
40/71
40
c) Efek hepatotoksik diantaranya SGOT dan SGPT meningkat,bilirubinemia, sakit kuning, hepatitis fatal.
d) Efek metabolisme dan endrokrin, diantaranya defisiensiVitamin B6, pelagra, kenekomastia, hiperglikemia,
glukosuria, asetonuria, asidosismetabolik, proteinurea.
e) Pada hemotologi, yaitu agranulositosis, anemia aplastik, atauhemolisis, anemia, trambositopenia, eusinofilia,
methemoglobinemia.
f) Pada saluran cerna, yaitu mual, muntah, sakit ulu hati,sembelit.
g) Intoksikasi lain, seperti sakit kepala, takikardia, dispenia,mulut kering, retensi kemih (pria), hipotensi postura, sindrom
seperti lupus, eritemamtosus, dan rematik.
9) Peringatan/PerhatianDiperingatkan hati-hati jika menggunakan isoniazid pada
sakit hati kronik, disfungsi ginjal, riwayat gangguan konvulsi.
Perlu dilakukan monitoring bagi peminum alkohol karena
menyebabkan hepatitis, penderita yang mengalami penyakit hati
kronis aktif dan gagal ginjal, penderita berusia lebih dari 35
tahun, kehamilan, pemakaian obat injeksi dan penderita dengan
seropositif HIV. Disarankan menggunakan piridoksin 10-20 mg
untuk mencegah reaksi adversus
.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
41/71
41
10)Overdosis.Gejala yang timbul 30 menit sampai 3 jam setelah
pemakaian berupa mual, muntah, kesulitan berbicara, gangguan
penglihatan atau halusinasi, tekanan pernafasan dan SSP, kadang
kadang asidosis, asetonurea, dan hiperglikemia pada pemeriksaan
laboratorium. Penanganan penderita asimpatomimetik dilakukan
dengan cara memberikan karbon aktif, mengosongkan lambung,
dan berikan suntikan IV piridoksin sama banyak dengan isoniazid
yang diminum, atau jika tidak diketahui, berikan 5 gram suntikan
piridoksin selama 30-60 menit untuk dewasa, dan 80 mg/kg berat
badan untuk anak-anak.
Sedangkan penanganan penderita simpatomimetik,
ditangani dengan memastikan pernafasan yang cukup, dan
berikan dukungan terhadap kerja jantung. Jika jumlah isoniazid
diketahui, berikan infus IV piridoksin dengan lambat 3 5 menit,
dengan jumlah yang seimbang dengan jumlah isoniazid. Jika
tidak diketahui jumlah isoniazid, berikan infus IV 5 gram
piridoksin untuk dewasa dan 80 mg/kg berat badan untuk anak-
anak.
11)Informasi untuk PenderitaSebelum menggunakan obat ini penderita perlu ditanyakan
tentang alergi yang pernah dialami dan penggunaan obat lain bila
menggunakan isoniazid.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
42/71
42
Penderita perlu diberikan informasi tentang cara
penggunaan yang baik dari obat ini dan kemungkinan reaksi yang
akan dirasakan.
a) Jika obat dalam bentuk cair seperti sirup, agar menggunakantakaran yang tepat sesuai petunjuk dalam kemasan obat.
b) Obat ini harus diminum sampai selesai sesuai dengankategori penyakit atau petunjuk dokter/petugas kesehatan
lainnya, dan diupayakan agar tidak lupa. Bila lupa satu hari,
jangan meminum dua kali pada hari berikutnya.
c) Dapat dianjurkan menggunakan Vitamin B6 untukmengurangi pengaruh efek samping.
d) Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perludiberitahukan berat badan kepada petugas,
e) Harus dipakai setiap hari atau sesuai dengan dosis, namunjika lupa segera minum obat jika waktunya dekat ke waktu
minum obat seharusnya. Tetapi jika kalau lewat waktu sudah
jauh, dan dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat
sesuai dengan waktu/dosis berikutnya.
f) Minum sesuai jadwal yang diberitahukan oleh dokter ataupetugas kesehatan lain misalnya pada pagi hari.
g) Jangan makan keju, ikan tuna dan sarden karena mungkinmenimbulkan reaksi.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
43/71
43
h) Sampaikan kepada dokter / petugas kesehatan lain jikamengalami kulit gatal, merasakan panas, sakit kepala yang
tidak tertahankan, atau kesulitan melihat cahaya, kurang
nafsu makan, mual, muntah, merasa terbakar, pada tangan
dan kaki.
i) Menghindari meminum alokholj) Bagi penderita diabetes, agar diberitahu, sebab dapat
mempengaruhi pemeriksaan kadar gula dalam air seni yakni
hasil palsu.
Obat ini harus disimpan jauh dari jangkauan anak anak.
dihindari dari panas dan cahaya langsung, simpan ditempat
kering dan tidak lembab, serta untuk sediaan cairan seperti sirup
agar tidak disimpan didalam kulkas.
b. Rifampisin1) Identitas.
Sediaan dasar yang ada adalah tablet dan kapsul 300 mg,
450 mg, 600 mg.
2) DosisUntuk dewasa dan anak yang beranjak dewasa 600 mg satu
kali sehari, atau 600 mg 2 3 kali seminggu. Rifampisin harus
diberikan bersama dengan obat anti tuberkulosis lain. Bayi dan
anak-anak, dosis diberikan dokter/tenaga kesehatan lain
berdasarkan atas berat badan yang diberikan satu kali sehari
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
44/71
44
maupun 2-3 kali seminggu. Biasanya diberikan 7,5 15 mg per
kg berat badan. Anjuran Ikatan Dokter Anak Indonesia adalah 75
mg untuk anak < 10 kg, 150 mg untuk 10 20 kg, dan 300 mg
untuk 20 -33 kg.
3) IndikasiDiindikasikan untuk obat antituberkulosis yang dikombinasikan
dengan antituberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang.
4) Kerja ObatBersifat bakterisida, dapat membunuh kuman semi-dormant
yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.Rifampicin menghambat
enzim RNA polymerase.
5) Mekanisme kerjaBerdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri
Ribose Nucleotida Acid(RNA)-polimerase sehingga sintesis RNA
terganggu.
6) Dinamika/ Kinetika ObatObat ini akan mencapai kadar plasma puncak (berbeda-
beda dalam kadar) setelah 2- 4 jam sesudah dosis 600 mg, masih
terdeteksi selama 24 jam. Tersebar merata dalam jaringan dan
cairan tubuh, termasuk cairan serebrosfinal, dengan kadar paling
tinggi dalam hati, dinding kandung empedu, dan ginjal. Waktu
paruh plasma lebih kurang 1,5 - 5 jam (lebih tinggi dan lebih lama
pada disfungsi hati, dan dapat lebih rendah pada penderita terapi
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
45/71
45
INH). Cepat diasetilkan dalam hati menjadi metaboltit aktif dan
tak aktif, masuk empedu melalui sirkulasi enterohepar. Hingga
30% dosis diekskresikan dalam kemih, lebih kurang setengahnya
sebagai obat bebas. Meransang enzim mikrosom, sehingga dapat
menginaktifkan obat tertentu. Melintasi plasenta dan
mendifusikan obat tertentu ke dalam hati.
7) InteraksiInteraksi obat ini adalah mempercepat metabolisme
metadon, absorpsi dikurangi oleh antasida, mempercepat
metabolisme, menurunkan kadar plasma dari dizopiramid,
meksiletin, propanon dan kinidin.
Rifampisin adalah suatu enzyme inducer yang kuat untuk
cytochrome P-450 isoenzymes, mengakibatkan turunnya
konsentrasi serum obat-obatan yang dimetabolisme oleh isoenzim
tersebut. Obat obat tersebut mungkin perlu ditingkatkan selama
pengobatan TB, dan diturunkan kembali 2 minggu setelah
rifampisin dihentikan.
8) Efek Sampinga) Efek samping pada saluran cerna, yaitu rasa panas pada perut,
sakit epigastrik, mual, muntah, anoreksia, kembung, kejang
perut, diare.
b) Pada SSP, diantaranya letih rasa kantuk, sakit kepala, ataksia,bingung, pening, tak mampu berfikir, baal umum, nyeri pada
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
46/71
46
anggota, otot kendor, gangguan penglihatan, ketulian
frekuensi rendah sementara (jarang).
c) Hipersensitifitas, dengan gejala demam, pruritis, urtikaria,erupsi kulit, sariawan mulut dan lidah, eosinofilia, hemolisis,
hemoglobinuria, hematuria, insufiensi ginjal, gagal ginjal
akut (reversibel).
d) Pada hematologi diantranya trombositopenia, leukopeniatransien, anemia, termasuk anemia hemolisis.
e) Intoksikasi lain, seperti hemoptisis, proteinurea rantai rendah,gangguan menstruasi, sindrom hematoreal.
9) Peringatan/PerhatianKeamanan penggunaan selama kehamilan, dan pada anak
anak usia kurang 5 tahun belum ditetapkan. Hati-hati penggunaan
pada penyakit hati, riwayat alkoholisme, penggunaan bersamaan
dengan obat hepatotoksik lain.
10)OverdosisGejala yang kadang kadang timbul adalah mual, muntah,
sakit perut, pruritus, sakit kepala, peningkatan bilirubin, cokelat
merah pada air seni, kulit, air liur, air mata, buang air besar,
hipotensi, aritmia ventrikular. Pemberian dosis yang berlebih
pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan pada kelahiran
berhubungan dengan masalah tulang belakang (spina bifida).
Penanganan mual dan muntah dengan memberikan karbon aktif,
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
47/71
47
dan pemberian antiemetik. Pengurangan obat dengan cepat dari
tubuh diberikan diuresis dan kalau perlu hemodialisis.
11)Informasi untuk PenderitaSebelum menggunakan obat ini penderita perlu ditanyakan
tentang :
a) Alergi yang pernah dialami.b) Penggunaan obat lain bila menggunakan rifampisin.
Penderita perlu diberikan informasi tentang cara
penggunaan yang baik dari obat ini dan kemungkinan reaksi yang
akan dirasakan, yakni:
a) Obat ini harus diminum sampai selesai sesuai dengankategori penyakit atau petunjuk dokter/petugas kesehatan
lainnya, dan diupayakan agar tidak lupa. Bila lupa satu hari,
jangan meminum dua kali pada hari berikutnya.
b) Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perludiberitahukan berat badan kepada petugas.
c) Harus dipakai setiap hari atau sesuai dengan dosis, namunjika lupa segera minum obat jika waktunya dekat ke waktu
minum obat seharusnya. Tetapi jika kalau lewat waktu sudah
jauh, dan dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat
sesuai dengan waktu / dosis berikutnya.
d) Minum sesuai jadwalyang diberitahukan oleh dokter ataupetugas kesehatan lain misalnya pada pagi hari.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
48/71
48
e) Beritahukan kepada dokter/petugas kala sedang hamil, karenapenggunaan pada minggu terakhir kehamilan dapat
menyebabkan pendarahan pada bayi dan ibu.
f) Beritahukan kepada dokter / petugas kesehatan lain kalausedang meminum obat lain karena ada kemungkinan
interaksi.
g) Obat ini dapat menyebabkan kencing, air ludah, dahak, danair mata akan menjadi coklat merah.
h) Bagi yang menggunakan lensa kontak (soft lens), disarankanuntuk melepasnya, karena akan bereaksi atau berubah warna.
i) Bagi peminum alkohol atau pernah/sedang berpenyakit hatiagar menyampaikan juga kepada dokter/tenaga kesehatan lain
karena dapat meningkatkan efek samping.
j) Sampaikan kepada dokter/petugas kesehatan lain jikamengalami efek samping berat.
k) Jika akan melakukan pemeriksaan diagnostik kencing dandarah, beritahukan bahwa sedang meminum rifampisin
kepada petugas laboratorium atau dokter dan tenaga
kesehatan lain karena kadang-kadang akan mempengaruhi
hasil pemeriksaan.
12)Penyimpanan Obat Yang BenarObat ini harus disimpan :
a) Jauh dari jangkauan anakanak.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
49/71
49
b) Dihindari dari panas dan cahaya langsung.c) Simpan ditempat kering dan tidak lembab.d) Jangan disimpan obatyang berlebih atau obat yang dibatalkan
penggunaannya.
c. Pirazinamid1) Identitas.
Sediaan dasar pirazinamid adalah tablet 500 mg/tablet.
2) DosisDewasa dan anak sebanyak 1530 mg per kg berat badan,
satu kali sehari. Atau 50 70 mg per kg berat badan 2 3 kali
seminggu. Obat ini dipakai bersamaan dengan obat anti
tuberkulosis lainnya.
3) IndikasiDigunakan untuk terapi tuberkulosis dalam kombinasi
dengan anti tuberkulosis lain.
4) KontraindikasiTerhadap gangguan fungsi hati parah, porfiria,
hipersensitivitas.
5) Kerja ObatBersifat bakterisida, dapat membunuh kuman yang berada
dalam sel dengan suasana asam. Mekanisme kerja, berdasarkan
pengubahannya menjadi asam pyrazinamidase yang berasal dari
basil tuberkulosa.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
50/71
50
6) Dinamika/Kinetika ObatPirazinamid cepat terserap dari saluran cerna. Kadar plasma
puncak dalam darah lebih kurang 2 jam, kemudian menurun.
Waktu paruh kira-kira 9 jam. Dimetabolisme di hati.
Diekskresikan lambat dalam kemih, 30% dikeluarkan sebagai
metabolit dan 4% tak berubah dalam 24 jam.
7) InteraksiBereaksi dengan reagen acetes dan ketostix yang akan
memberikan warna ungu mudasampai coklat.
8) Efek SampingEfek samping hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia,
hepatomegali, ikterus; gagal hati, mual, muntah, artralgia, anemia
sideroblastik, urtikaria.
9) Keamanan penggunaanPada anak-anak belum ditetapkan. Hati-hati penggunaan
pada penderita dengan encok atau riwayat encok keluarga atau
diabetes melitus, dan penderita dengan fungsi ginjal tak
sempurna, juga pada penderita dengan riwayat tukak peptik.
10)Peringatan/PerhatianHanya dipakai pada terapi kombinasi anti tuberkulosis
dengan pirazinamid, namun dapat dipakai secara tunggal
mengobati penderita yang telah resisten terhadap obat kombinasi.
Obat ini dapat menghambat ekskresi asam urat dari ginjal
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
51/71
51
sehingga menimbulkan hiperuremia. Jadi penderita yang diobati
pirazinamid harus dimonitor asam uratnya.
11)OverdosisData mengenai overdosis terbatas, namun pernah
dilaporkan adanya fungsi abnormal dari hati, walaupun akan
hilang jika obat dihentikan.
12)Informasi Untuk PenderitaSebelum menggunakan obat ini penderita perlu ditanyakan
tentang alergi yang pernah dialami, penggunaan obat lain bila
menggunakan pirazinamid. Penderita perlu diberikan informasi
tentang cara penggunaan yang baik dari obat ini dan
kemungkinan reaksi yang akan dirasakan, yakni:
a) Obat ini harus diminum sampai selesai sesuai dengan kategoripenyakit atau petunjuk dokter/ petugas kesehatan lainnya, dan
diupayakan agar tidak lupa. Bila lupa satu hari, jangan
meminum dua kali pada hari berikutnya.
b) Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perludiberitahukan berat badan kepada petugas.
c) Harus dipakai setiap hari atau sesuai dengan dosis, namun jikalupa segera minum obat jika waktunya dekat ke waktu minum
obat seharusnya. Tetapi jika lewat waktu sudah jauh, dan
dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat sesuai dengan
waktu/dosis berikutnya.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
52/71
52
d) Minum sesuai jadwal yang diberitahukan oleh dokter ataupetugas kesehatan lain, misalnya pada pagi hari.
e) Bagi penderita diabetes, agar diberitahu, sebab dapatmempengaruhi pemeriksaan kadar keton dalam air seni yakni
hasil palsu.
f) Sampaikan kepada dokter/petugas kesehatan lain jikamerasakan sakit pada sendi, kehilangan nafsu makan, atau
mata menjadi kuning.
13)Penyimpanan Obat Yang BenarObat ini harus disimpan :
a) Jauh dari jangkauan anakanak.b) Dihindari dari panas dan cahaya langsung.c) Simpan ditempat kering dan tidak lembab.d) Untuk sediaan cairan seperti sirup agar tidak disimpan
didalam kulkas.
d. Etambutol1) Identitas
Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik
Etambutol-HCl 250 mg, 500 mg/tablet.
2) DosisUntuk dewasa dan anak berumur diatas 13 tahun, 15-25
mg mg per kg berat badan, satu kali sehari. Untuk pengobatan
awal diberikan 15 mg/kg berat badan, dan pengobatan lanjutan 25
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
53/71
53
mg per kg berat badan. Kadang kadang dokter juga memberikan
50 mg per kg berat badan sampai total 2,5 gram dua kali
seminggu. Obat ini harus diberikan bersama dengan obat anti
tuberkulosis lainnya. Tidak diberikan untuk anak dibawah 13
tahun dan bayi.
3) IndikasiEtambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis
dengan obat lain, sesuai regimen pengobatan jika diduga ada
resistensi. Jika risiko resistensi rendah, obat ini dapat
ditinggalkan. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak usia
kurang 6 tahun, neuritis optik, gangguan visual.
4) KontraindikasiHipersensitivitas terhadap etambutol seperti neuritis optik.
5) Kerja ObatBersifat bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan
kuman TB yang telah resisten terhadap isoniazid dan
streptomisin. Mekanisme kerja, berdasarkan penghambatan
sintesis RNA pada kuman yang sedang membelah, juga
menghindarkan terbentuknya mycolic acidpada dinding sel.
6) Dinamika/Kinetika ObatObat ini diserap dari saluran cerna. Kadar plasma puncak 2
- 4 jam dengan bioavaliabilitas 77+ 8%. Lebih kurang 40% terikat
protein plasma. Diekskresikan terutama dalam kemih. Hanya 10%
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
54/71
54
berubah menjadi metabolit tak aktif. Klirens 8,6% + 0,8 %
ml/menit/kg BB dan waktu paru eliminasi 3.1 + 0,4 jam. Tidak
penetrasi meninges secara utuh, tetapi dapat dideteksi dalam
cairan serebrospina pada penderita dengan meningetis
tuberkulosa
7) InteraksiGaram aluminium seperti dalam obat maag, dapat menunda
dan mengurangi absorpsi etambutol. Jika diperlukan garam
alumunium agar diberikan dengan jarak beberapa jam.
8) Efek SampingEfek samping yang muncul antara lain gangguan
penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan
penyempitan lapangan pandang. Gangguan awal penglihatan
bersifat subjektif, bila hal ini terjadi maka etambutol harus segera
dihentikan. Bila segera dihentikan, biasanya fungsi penglihatan
akan pulih. Reaksi adversus berupa sakit kepala, disorientasi,
mual, muntah dan sakit perut.
9) Peringatan/PerhatianJika etambutol dipakai, maka diperlukan pemeriksaan
fungsi mata sebelum pengobatan. Turunkan dosis pada gangguan
fungsi ginjal, usia lanjut, kehamilan, ingatkan penderita untuk
melaporkan gangguan penglihatan. Etambutol tidak diberikan
kepada penderita anak berumur dibawah umur 6 tahun, karena
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
55/71
55
tidak dapat menyampaikan reaksi yang mungkin timbul seperti
gangguan penglihatan.
10)Informasi untuk PenderitaSebelum menggunakan obat ini penderita perlu ditanyakan
tentang:
a) Alergi yang pernah dialami karena etambutol.b) Penggunaan obat lain bila menggunakan etambutol.
Penderita perlu diberikan informasi tentang cara
penggunaan yang baik dari obat ini dan kemungkinan reaksi yang
akan dirasakan, yakni:
a) Obat ini diminum dengan makanan atau pada saat perut isi.b) Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perlu
diberitahukan perubahan berat badan kepada petugas.
c) Harus dipakai setiap hari atau sesuaidengan dosis, namun jikalupa segera minum obat jika waktunya dekat ke waktu minum
obat seharusnya. Tetapi jika kalau lewat waktu sudah jauh,
dan dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat sesuai
dengan waktu/dosis berikutnya.
d) Minum sesuai jadwal yang diberitahukan oleh dokter ataupetugas kesehatan lain misalnya pada pagi hari.
e) Sampaikan kepada dokter/petugas kesehatan lain jikamengalami rasa sakit pada sendi, sakit pada mata, gangguan
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
56/71
56
penglihatan, demam, merasa terbakar. Khusus untuk
gangguan mata dapat menghubungi dokter mata.
11)Penyimpanan Obat Yang BenarObat ini harus disimpan :
a) Jauh dari jangkauan anakanak.b) Dihindari dari panas dan cahaya langsung.c) Simpan ditempat kering dan lembab
e. Streptomisin1) Identitas
Sediaan dasar serbuk Streptomisin sulfat untuk injeksi 1,5
gram/vial berupa serbuk untuk injeksi yang disediakan bersama
dengan Aqua Pro Injeksi dan spuit.
2) DosisObat ini hanya digunakan melalui suntikan intra muskular,
setelah dilakukan uji sensitifitas. Dosis yang direkomendasikan
untuk dewasa adalah 15 mg per kg berat badan maksimum 1 gram
setiap hari, atau 25 30 mg per kg berat badan, maksimum 1,5
gram 2 3 kali seminggu. Untuk anak 20 40 mg per kg berat
badan maksimum 1 gram satu kali sehari, atau 2530 mg per kg
berat badan 2 3 kali seminggu. Jumlah total pengobatan tidak
lebih dari 120 gram.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
57/71
57
3) IndikasiSebagai kombinasi pada pengobatan TB bersama isoniazid,
rifampisin, dan pirazinamid, atau untuk penderita yang
dikontraindikasi dengan 2 atau lebih obat kombinasi tersebut.
4)KontraindikasiHipersensitifitas terhadap streptomisin sulfat atau
aminoglikosida lainnya.
5) Kerja ObatBersifat bakterisida, dapat membunuh kuman yang sedang
membelah. Mekanisme kerja berdasarkan penghambatan sintesis
protein kuman dengan jalan pengikatan pada RNA ribosomal.
6) Dinamika/ Kinetika ObatAbsorpsi dan nasib streptomisin adalah kadar plasma
dicapai sesudah suntikan IM 12 jam, sebanyak 5 20 mcg/ml
pada dosis tunggal 500 mg, dan 25 50 mcg/ml pada dosis 1.
Didistribusikan ke dalam jaringan tubuh dan cairan otak, dan akan
dieliminasi dengan waktu paruh 2 3 jam kalau ginjal normal,
namun 110 jam jika ada gangguan ginjal.
7) InteraksiInteraksi dari streptomisin adalah dengan kolistin,
siklosporin, sisplatin menaikkan risiko nefrotoksisitas,
kapreomisin, dan vankomisin menaikkan ototoksisitas dan
nefrotoksisitas, bifosfonat meningkatkan risiko hipokalsemia,
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
58/71
58
toksin botulinum meningkatkan hambatan neuromuskuler,
diuretika kuat meningkatkan risiko ototoksisitas, meningkatkan
efek relaksan otot yang non depolarising, melawan efek
parasimpatomimetik dari neostigmen dan piridostigmin.
8) Efek SampingEfek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif
100g, yang hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat
khusus.
9) Peringatan/PerhatianPeringatan untuk penggunaan streptomisin, hati hati pada
penderita gangguan ginjal, lakukan pemeriksaan bakteri tahan
asam, hentikan obat jika sudah negatif setelah beberapa bulan.
Penggunaan intramuskuler agar diawasi kadar obat dalam plasma
terutama untuk penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
10)Informasi untuk PenderitaSebelum menggunakan obat ini penderita perlu ditanyakan
tentang:
a) Alergi yang pernah dialami.b) Apakah dalam keadaan hamil atau tidak, karena ada risiko
gangguan pendengaran dan gangguan ginjal untuk bayi.
c) Perhatian untuk anak ada kemungkinan mengalami gangguanpendengaran dan ginjal.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
59/71
59
d) Orang tua ada kemungkinan mengalami gangguanpendengaran dan ginjal.
e) Penggunaan obat lain bila menggunakan streptomisin.Penderita perlu diberikan informasi tenang cara
penggunaan yang baik dari obat ini, yakni:
a) Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perludiberitahukan berat badan kepada petugas.
b) Harus dipakai setiap hari ( atau berdasarkan petunjuk dokter)diupayakan datang ke petugas untuk di suntik pada jam yang
sama.
11)Penyimpanan Obat Yang BenarObat ini harus disimpan :
a) Dihindari dari panas dan cahaya langsungb) Jangan disimpan obat yang berlebih, obat yang sudah
dilarutkan dalam air untuk injeksi atau obat yang dibatalkan
penggunaannya.
C. Farmakologi Obat Pernafasan Lain1. Antihistamin
Penurunan efek histamin dalam tubuh dapat dilakukan
dengan beberapa cara. Antagonis fisiologis terutama epinefrin
bekerja melawan histamin pada otot polos yang dapat digunakan
untuk anafilaksis sistemik. Selain itu, juga dapat dilakukan pelepasan
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
60/71
60
inhibitor yang menurunkan degranulasi sel mast yang dipicu oleh
antigen IgE seperti kromolin dan nedokromil. Reseptor antagonis
histamin merupakan jalan lain yang dapat dipakai untuk menurunkan
efek histamin. Antihistamin terdiri atas empat golongan yaitu, AH1,
AH2, AH3, dan AH4. AH3, dan AH4masih belum dapat digunakan
secara klinis (Katzung, 2010).
AH1 merupakan senyawa-senyawa yang secara kompetitif
memblokade histamin yang bisa juga dikatakan bekerja berlawanan
dengan agonis H1 (Katzung, 2010).
Berikut beberapa contoh bentuk sediaan dan dosis obat
(Katzung, 2010):
a. Cetirizin (AH1generasi kedua)Tersedia untuk pemberian oral dalam bentuk tablet 5 mg, 10 mg,
tablet kunyah 5 mg, 10 mg dan sirup 5 mg/5 mL. Dosisnya 5-10
mg/hari.
b. Dimenhidrinat (AH1generasi pertama)Tersedia untuk pemberian oral dalam bentuk tablet 50 mg, dosis
50 mg/hari.
c. Loratadin (AH1generasi kedua)Tersedia untuk pemberoian oral dalam bentuk tablet 10 mg,
dosis 10 mg/hari.
Penjelasan lebih lanjut mengenai antihistamin golongan AH1
adalah sebagai berikut:
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
61/71
61
a. FarmakokinetikAH1 dibagi berdasarkan efek sedatif yang dihasilkan
menjadi generasi pertama dan generasi kedua. AH1 generasi
pertama terutama berperan dakam memblokade reseptor
otonom. AH1 generasi pertama diabsorbsi secara oral dengan
puncak 1-2 jam setelah aborbsi yang kemudian akan
terdistribusi ke seluruh cairan dalam tubuh. Metabolisme terjadi
di hati dengan bantuan sistem mikrosomal. AH1generasi kedua
dimetabolisme sistem CYP3A4. Efek yang dihasilkan obat
berlangsung selama 4-6 jam dosis tunggal (Katzung, 2010).
b. FarmakodinamikKerja terapeutik yang dihasilkan berupa (Katzung, 2010):
1) Sedasi, merupakan efek umum yang ditimbulkan AH1generasi pertama.
2) Antiemetik, beberapa AH1 generasi pertama memiliki efeksignifikan mencegah mual dan muntah
3) Antikolinseptor, banyak AH1 generasi pertama terutamasubgrup etanolamin memiliki efek mirip atropin pada
reseptor muskarinik perifer.
4) Adrenoseptor bloker, prometazin dapat menyebabkanhipotensi ortostatik.
5) Anestesi, beberapa AH1generasi pertama berfungsi sebagaianestesi lokal dengan memblokade kanal natrium.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
62/71
62
c. Contoh Obat1) Cetirizin
a) Mekanisme obat: Antagonis kompetitif reseptor H1.b) Efek: Menurunkan/mencegah efek histamin terhadap
otot polos dan sel imun.
c) Efek samping obat: Alergi.d) Farmakokinetik: Absorbsi secara oral.e) Toksisitas: Sedasi, aritmia.f) Interaksi obat: Minimal.
2) Difenhidramina) Mekanisme obat: Antagonis kompetitif reseptor H1
b) Efek: Sedatif, mencegah efek histamin terhadap ototpolos, sel imun, serta memblokade adenoseptor alfa dan
muskarinik
c) Aplikasi klinis: Alergi, antiemetikd) Farmakokinetik: Absorbsi secara oral maupun
parenteral dengan kerja obat 4-6 jam
e) Toksisitas: Sedatif ketika digunakan untuk hipotensiortostatik, gejala blokade muskarinik
f) Interaksi obat: Sedasi adiktif bersama obat sedatiflainnya termasuk alkohol yang menginhibisi CYP2D6,
dapat memperpanjang efek beta bloker (Katzung, 2010).
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
63/71
63
d. Pemakaian Klinis1) Reaksi alergi
Mencegah maupun mengobati gejala reaksi alergi.
Pada rinitis, AH1 merupakan lini 2 setelah pemberian
glukokortikoid inhalasi. Pada urtikaria, histamin merupakan
mediator utama sehingga AH1 sangat efektif untuk
diberikan. Namun pada asma bronkial, pemberian AH1
sangatlah kurang efektif.
2) Mabuk kendaraan dan gangguan vestibularAH1 yang paling efektif adalh prometazin dan
difenhidramin. Antihistamin terbukti efektif sebagai
profilaksis mabuk kendaraan.
3) Mual dan muntah pada wanita hamil (Katzung, 2010).e. Toksisitas
Beberapa efek yang ditimbulkan antihistamin seperti sedatif
dan antimuskarinik digunakan dengan tujuan terapetik. Efek-
efek lain yang jarang terjadi seperti hipotensi postural dan
respons alergi. Overdosis astemizol atau terfenadin dapat
menginduksi aritmia jantung (Katzung, 2010).
f. Interaksi ObatKombinasi terfenadin atau astemizol dengan ketokonazol,
intrakonazol maupun antibiotik makrolid seperti eritromisin
dapat menyebabkan aritmia ventrikular yang mematikan dengan
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
64/71
64
kerjanya yang menghambat metabolisme obat oleh CYP3A4
sehingga terjadi kenaikan konsentrasi antihistamin dalam darah
(Katzung, 2010).
2. DekongestanDekongestan merupakan obat pelega saluran napas, terdapat
dua mekanisme kerja, yaitu (Katzung, 2010):
a. Direct acting symphatomimetic1) Fenilefrin, merupakan alfa 1 agonis. Efektif sebagai
midriatik dan dekongestan yang berfungsi untuk menaikan
tekanan darah. Biasa diberikan dalam bentuk nasal spray.
2) Xilometazolin dan oksimetazolin merupakan alfa agoniskerja langsung yang dapat digunakan sebagai dekongestan
topikal karena kemampuannya untuk konstriksi mukosa
hidung. Dosis tinggi oksimetazolin menimbulkan hipotensi.
Keduanya merupakan dekongestan topikal kerja lambat.
b. Mixed acting symphatomimetic1) Pseudoefedrin, mampu mengaktifkan reseptor beta serta
dapat masuk sistem saraf pusat sehingga berfungsi sebagai
stimulan sedang. Pseudoefedrin digunakan sebagai
komponen campuran dekongestan.
Membran mukosa dekongestan adalah agonis alfa yang
mengurangi rasa tidak nyaman rinitis maupun common colddengan
menurunkan volum mukosa nasal. Efek ini diperantarai oleh reseptor
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
65/71
65
alfa 1. Pemberian topikal pada dosis tinggi dapat mengakibatkan
perubahn iskemik pada membran mukosa. Dekongestan topikal
efektif untuk pengobatan akut rinitis bersama dengan common cold
dan alergi. Contohnya adalah dekongestan kerja lambat seperti
oksimetazolin. Pemakaian dekongestan topikal selama lebih dari
tiga hari dapat menimbulkan rebound decongestion (Katzung, 2010).
Dekongestan sistemik memiliki waktu kerja lebih panjang
namun menyebabkan efek sistemik seperti gelisah, lelah, dan
insomnia. Dekongestan sistemik juga dapat menstimulasi
adrenoseptor alfa 1 dan meningkatkan tekanan darah melalui
vasokonstriksi. Selain itu, dekongestan oral biasanya dikombinasi
dengan antihistamin, antitusif, ekspektoran, dan analgesik (Katzung,
2010).
Contoh-contoh obat dekongestan (Katzung, 2010).
a. Dekongestan topikal1) Oksimetazolin 0,05% nasal solution, dosis 2-3 semprot
2x/hari.
2) Fenilefrin 0,5% nasal solution, 2-3 semprot 6x/hari.b. Dekongestan sistemik
1) Fenilefrin, dosis 10 mg/6 jam.2) Pseudoefedrin, dosis 60 mg/4-6 jam.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
66/71
66
3. AntitusifAntitusif yaitu obat yang bekerja pada susunan saraf pusat
menekan pusat batuk dan menaikkan ambang rangsang batuk.
Antitusif ini bekerja dengan cara menekan pusat batuk yang terdapat
di medulla, sehingga disebut juga centrally acting drugs. Namun
adapula antitusif yang bekerja di perifer, yang menekan reseptor
batuk di saluran nafas. Beberapa contoh obat, diantaranya (Katzung,
2010):
a. Dekstrometorfan adalah stereoisomer dekstrorotatoris suatuturunan levorfanol yang termetilasi. Dekstrometorfan tampaknya
bebas efek adiktif dan lebih jarang menimbulkan konstipasi
daripada kodein. Dosis antitusifnya yang biasa adalah 15-30 mg,
tiga atau empat kali sehari. Obat ini terdapat dalam berbagai
produk obat bebas. Dekstrometorfan juga terbukti meningkatkan
efek analgesic morfin dan tampaknya juga meningkatkan agonis
reseptor lain.
b. Kodein, mempunyai efek antitusif pada dosis yang lenih rendahdari yang diperlukan untuk analgesia. Karena itu dosis 15 mg
cukup untuk meredakan batuk.
c. Levopropoksifen adalah stereoisomer dekstropropoksifen, suatuagonis opioid lemah. Obat ini bebas efek opioid, walaupun sedasi
merupakan efek sampingnya dosis antitusifnya yang biasa adalah
50-100 mg setiap 4 jam.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
67/71
67
ESO : Konstipasi, Sedasi , Efek samping biasanya ringan dan
jarang terjadi Mual dan pusing. Efek sentral dan depresi pernapasan
hanya terjadi pada dosis sangat besar (Katzung, 2010).
4. MukolitikMukolitik merupakan obat yang bekerja dengan cara
mengencerkan sekret saluran pernafasan dengan jalan mencegah
benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum
(Estuningtyas, 2008).
Agen mukolitik berfungsi dengan cara mengubah viskositas
sputum melalui aksi kimia langsung pada ikatan komponen
mukoprotein. Agen mukolotik yang terdapat di pasaran adalah
bromheksia, ambroksol, dan asetilsistein (Estuningtyas, 2008).
5. Ekspektorana. Mekanisme Kerja
Obat golongan ini akan meningkatkan produksi sekresi
respiratorik sehingga menyebabkan viskositas sekret berkurang.
Hal ini memudahkan ekspulsi sekret keluar dari jalan nafas
melalui batuk (Roach et al., 2007). Dapat juga dikatakan bahwa
ekspektoran membantu penambahan volume sekret respiratorik
(Gutierrez, 2007).
b. Contoh ObatMenurut Gutierrez (2007), beberapa contoh obat yang
termasuk expectorant adalah guaifenesin (gliseril guaiakolat),
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
68/71
68
terpin hydrate, iodida, creosote, antimoni pentasulfida,
guaiakolsulfonat, levoverbenone, senega, tyloxapol.
c. FarmakokinetikObat ini akan dikonsumsi peroral kemudian diabsorpsi
melalui mukosa gastrointestinalis. Setelah itu obat akan
berdifusi dan didistribusikan ke seluruh tubuh terutama di area
respiratori oleh peredaran darah. Obat akan dimetabolisme di
liver (hepar) untuk kemudian diekskresikan secara primer
melalui renal (Gutierrez, 2007).
d. Efek Samping ObatMenurut Bennet, et al (2004), beberapa efek samping dari
ekspektoran adalah nausea, vomitus, uric acid nephrolithiasis,
diare atau konstipasi, mulut kering, meningkatkan efek analgetik
paracetamol, peningkatan efek sedatif alkohol, tranquiliser, pil
tidur, dan anestetik total, serta peningkatan efek obat penurun
tonus otot.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
69/71
69
III. KESIMPULAN
1. Asma merupakan sebuah penyakit obstruksi saluran napas yang berhubungandengan peningkatan kepekaan saluran napas, sehingga memicu episode
wheezing, breathlessness, chesttightness, dispneua, dan batuk terutama pada
malam atau dini hari.
2. Pada prinsipnya, ada dua jenis obat asma yaitu: pelega (reliever) danpengontrol (controller). Obat asma yang termasuk pelega adalah agonis beta2
kerja cepat, kortikosteroid sistemik, antikolinergik, aminofillin, adrenalin.
Sedangkan golongan obat pengontrol diantaranya glukokortikosteroid
inhalasi, glukokortikosteroid sistemik, sodium kromoglikat dan nedokromil
sodium, metilsantin, long Acting 2 Agonist (LABA), dan leukotrien
modifiers.
3. Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan
adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, etambutol. Jenis obat
tambahan lainnya (lini 2) adalah kanamisin, amikasin, kuinolon.
4. Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, danefek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
5. Obat pernapasan lainnya diantaranya golongan antihistamin, dekongestan,antitusif, mukolitik, dan ekspektoran.
5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
70/71
70
DAFTAR PUSTAKA
Bennet S, Hoffman N, Monga M. 2004. Ephedrine and guaifenesin induced
nephrolithiasis.J Altern Complement Med 10 (6) : 967-9.
Bharathi DV, Naidu A, Jagadeesh B, Laxmi KN, Laxmi PR, Reddy PR, Mullangi
R. 2008. Development and validation of a sensitive LC-MS/MS method
with electrospray ionization for quantitation of zafirlukast, a selective
leukotriene antagonist in human plasma: application to a clinical
pharmacokinetic study.Biomed. Chromatogr.22: 645-653, 2008.
Brunton, L.L; Lazo J.S.; Parker K.L. 2006. Goodman & Gilman's The
Pharmacological Basis of Therapeutics. 11th Ed. New York: McGraw
and Hill.
Departemen Kesehatan Repubklik Indonesia (Depkes RI). 2009. Pedoman
Pengendalian Penyakit Asma.Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). 2005. Pharmaceutical
Care untuk Penyakit Tuberkulosis. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). 2006. Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen KesehatanRepublik Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB).
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Ducharme, FM; Ni Chroinin, M; Greenstone, I; Lasserson, TJ. 2010. Addition of
long-acting beta2-agonists to inhaled corticosteroids versus same dose
inhaled corticosteroids for chronic asthma in adults and
children. Cochrane database of systematic reviews (Online)(5):
CD005535. PMID 20464739.
Estuningtyas, A., Azalia A. 2008. Obat Lokal. In Farmakologi dan Terapi,Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Fanta, CH. 2009. Asthma.N Engl J Med360 (10): 100214.
Global Initiative for Asthma (GINA). 2009. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. Available from:
http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=411 [Accessed at 12th
March 2014]
http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=411http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=4115/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi
71/71
71
Global Initiative for Asthma (GINA). 2011. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. Tersedia di:
http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=411 [Accessed at 16March 2011]
Goldsmith, D.R., and Keating, G.M. 2004. Budesonide/fomoterol: A review of its
use in asthma.Drugs Pubmed,2004, 64:1597-1618.
Gutierrez, K. 2007. Pharmacotherapeutics: Clinical Reasoning in Primary Care.
Philadelphia: W.B. Saunders Co.
Harrison, Tinsley Randolph and Dennis L. Kasper. 2011.Harrison's Principles of
Internal Medicine 18th Ed. New York: McGraw-Hill, Medical Pub.
Division.
Katzung, B G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC.
Kelly, HW, CA Sorkness. 2005. Asthma. in Dipiro, et al.Pharmacotherapy : A
Pathopysiological Approach. New York : McGraw Hill.
Lu P, Schrag ML, Slaughter DE, Raab CE, Shou M, Rodrigues AD. 2008.
Mechanism-based inhibition of human liver microsomal cytochrome
P450 1A2 by zileuton, a 5-lipoxygenase inhibitor.Drug Metabolism and
Disposition31 (11): 135260.
Montuschi, P. and M. L. Peters-Golden 2010. Leukotriene modifiers for asthmatreatment.Clinical & Experimental Allergy, 2010 (40) 17321741.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2004.Asma: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Tuberkulosis Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.
Price, S. A., Lorrain M. W. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit edisi 6. Jakarta: EGC.
Ramanujan K. 2006. Common beta-agonist inhalers more than double death rate
in COPD patients, Cornell and Stanford scientists assert. Chronicle. June
29, 2006.
Roach SS, Beggs S, Cosgarea M, Hatfield MT et al. 2007. Introductory Clinical
Pharmacology. 7thed. New York: Lippincott William and Wilkins.
Sweetman, Sean C., ed. 2009. Bronchodilators and Anti-asthma Drugs.
inMartindale: The complete drug reference.36th ed.. London:
Pharmaceutical Press.