Post on 22-Dec-2015
BAB I
PENDAHULUAN
Di Amerika cedera kepala merupakan penyebab kematian terbesar. Cedera kepala
dapat dibagi tiga kelompok berdasarkan nilai GCS, (Glasgow Coma Scale) yaitu:
1. Cedera kepala ringan
GCS > 13
Tidak terdapat kelainan pada CT Scan otak
Tidak memerlukan tindakan operasi
Lama dirawat di RS < 48 jam
2. Cedera kepala sedang
GCS 9-13
Ditemukan kelainan pada CT Scan otak
Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
Dirawat di RS setidaknya 48 jam
3. Cedera kepala berat
Bila dalam waktu 48 jam setelah trauma, nilai GCS < 9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Cedera kepala bertanggung-jawab atas separuh kematian karena
cedera. Merupakan komponen yang paling sering pada cedera
multipel. Ditemukan pada 75 % korban tewas karena kecelakaan
lalu-lintas. Untuk setiap kematian, terdapat dua kasus dengan
cacad tetap, biasanya sekunder terhadap cedera kepala.
Masalah yang biasa dihadapi adalah jauhnya, ketersediaan
fasilitas serta tingkat kompetensi bedah saraf setempat, serta
lambatnya tindakan definitif, organisasi kegawat-daruratan, dan
1
2
profil cedera. Yang terpenting adalah pengelolaan ventilasi dan
hipovolemia yang berperan dalam menimbulkan kerusakan otak
sekunder yang bisa dicegah. Transfer pasien yang memenuhi sarat
dengan segera akan mengurangi kesakitan dan kematian.
Transfer tidak boleh diperlambat oleh tindakan diagnostik.
Penyebab kecacadan atau kematian yang dapat dicegah antara
lain adalah keterlambataan resusitasi atas hipoksia, hiperkarbia
dan hipotensi, keterlambatan tindakan definitif terutama
terhadap hematoma intrakranial yang berkembang cepat, serta
kegagalan mencegah infeksi.
Anatomi, fisiologi dan patofisiologi
Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen :
otak, cairan serebro-spinal dan darah yang masing-masing tidak
dapat diperas. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar
utama yaitu foramen magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku
yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Otak tengah
terletak pada hiatus dari tentorium.
Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah
otak (ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg
(untuk pasien normotensif, dan bergeser kekanan pada pasien
hipertensif dan sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang
bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh
otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi
dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung
secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal
tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi
(perhatikan tekanan darah pasien sebelum cedera).
Volume total intrakranial harus tetap konstan ( Doktrin Monro-
Kellie : K = V otak + V css + V darah + V massa ). Kompensasi
atas terbentuknya lessi intrakranial adalah digesernya css dan
darah vena hingga batas kompensasi, untuk selanjutnya tekanan
3
intrakranial akan naik secara tajam.
Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan
klinik dapat diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan
intrakranial meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh
hal yang meninggikan TIK seperti batuk, membungkuk dan
terlentang, kemudian mulai mengantuk. Kompresi atau
pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan darah,
sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa
berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi sisikontralateral massa.
Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil tidak bereaksi dan
berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya fungsi
batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat,
respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti.
Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia. Peninggian TIK
mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan atau
robekan arteria dan vena batang otak serta gangguan perfusi.
ADO konstan 50 ml/100 gr/menit pada otoregulasi normal. Jadi
ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial, tekanan
intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolik serta distorsi atau
kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada
kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah
akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri.
Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan
TIK yang berakibat gangguan ADO yang berakibat memperberat
edema sehingga merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15
mm Hg harus ditindak.
Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan
pada duapertiga pasien. Sisanya hanya dua gejala. Tidak satupun
khas untuk peninggian TIK, kecuali edema papil, namun
memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya. Simtom lebih
banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak
4
ada korelasi konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya
gejala.
Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera
otak yaitu cedera korteks bilateral serta cedera pada sistem
pengaktif retikuler batang otak disamping peninggian TIK dan
penurunan ADO dapat menurunkan tingkat kesadaran.
Klasifikasi
Didasarkan pada aspek :
a. Mekanisme trauma
(1). Tumpul : kecepatan tinggi, kecepatan rendah
(2). Tajam : cedera peluru, bacok, dll
b. Beratnya
Didasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS)
(1). Cedera kepala ringan (bila GCS 14-15)
(2). Cedera kepala sedang (bila GCS 9-13)
(3). Cedera kepala berat (bila GCS 3-8)
c. Berdasar morfologi :
(1). Fraktura tengkorak.
(a). Kalvaria :
1. Linier atau stelata.
2. Terdepres atau tidak terdepres.
(b). Basiler :
1. Anterior.
2. Media.
3. Posterior.
(2). Lesi intrakranial.
(a). Fokal :
(1). Perdarahan meningeal :
1. Epidural.
2. Subdural.
3. Sub-arakhnoid.
5
(2). Perdarahan dan laserasi otak :
Perdarahan intraserebral dan atau kontusi.
Benda asing, peluru tertancap.
(b). Difusa :
1. Konkusi ringan.
2. Konkusi klasik.
3. Cedera aksonal difusa.
Semua penatalaksanaan disesuaikan dengan pembagian ini.
GCS ditentukan pasca resusitasi.
Catatan : Digolongkan kedalam cedera kepala berat disamping
GCS ≤ 8, adalah bila : perburukan neurologis, fraktura tengkorak
terdepres, pupil atau motor tidak ekual, cedera kepala terbuka
dengan bocornya CSS atau tampaknya jaringan otak.
Dari riwayat dan pemeriksaan, akan diketahui area anatomi, tipe
cedera (akselerasi, deselerasi, impak lokal, tembus atau crush),
patologi cedera serta evolusi cedera ( perburukan akan merubah
saat melakukan tindakan spesifik).
BERDASAR MEKANISME
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan
penetrating. Sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan.
Misalnya fraktura tengkorak terdepres dapat dimasukkan kesalah
satu golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya
cedera tulang. Istilah cedera kepala tertutup biasanya
dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan,
dan cedera kepala penetrating lebih sering dikaitkan dengan luka
tembak dan luka tusuk.
BERDASAR BERATNYA
Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ketidakmampuan
untuk menuruti perintah, mengucapkan kata-kata dan membuka
mata. Pada pasien yang tidak mempunyai ketiga aspek pada
definisi tersebut tidak dianggap sebagai koma. 90% pasien dengan
6
skor total delapan atau kurang, dan tidak untuk yang mempunyai
skor 9 atau lebih, dijumpai dalam keadaan koma sesuai dengan
definisi tsb. Untuk kegunaan praktis, skor total GCS 8 atau
kurang didefinisi sebagai pasien koma. Skor 9 hingga 13
dikelompokkan sebagai cedera kepala sedang, dan skor GCS 14
hingga 15 sebagai ringan.
BERDASAR MORFOLOGI
Walau pasien tertentu yang mengalami perburukan secara cepat
mungkin dioperasi tanpa CT scan, kebanyakan pasien cedera
berat sangat diuntungkan oleh CT scan sebelum dioperasi.
Karenanya tindak lanjut CT scan berulang sangat penting karena
gambaran morfologis pada pasien cedera kepala sering mengalami
evolusi yang nyata dalam beberapa jam pertama, bahkan
beberapa minggu setelah cedera.
Fraktura Tengkorak
Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linear atau
stelata, mungkin terdepres atau tidak terdepres. Fraktura
tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya
perlu CT. Adanya tanda klinis membantu identifikasinya.
Fraktura terdepres lebih dari ketebalan tengkorak memerlukan
operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound
berakibat hubungan langsung antara laserasi kulit kepala dan
permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini
memerlukan operasi perbaikan segera.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma
intrakranial sebesar 400 kali pada pasien sadar dan 20 kali pada
pasien tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak
mengharuskan pasien untuk dirawat.
Lesi Intrakranial
Kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi
7
(atau hematoma intraserebral). Cedera otak difusa, menunjukkan
CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau
bahkan koma dalam
Lesi Fokal
Hematoma Epidural. Klot terletak diluar dura. Paling sering
diregio temporal atau temporal-parietal dan sering akibat
robeknya pembuluh meningeal media, namun mungkin sekunder
dari perdarahan vena/sinus pada sepertiga kasus, terutama
diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Tidak terlalu sering
(0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala),
namun harus selalu diingat dan ditindak segera. Bila ditindak
segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya
biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada
status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural
sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan,
dan 20% pada pasien koma dalam.
Hematoma Subdural. Lebih sering dari hematoma epidural, pada
30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi akibat
robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus
draining, laserasi permukaan atau substansi otak. Kerusakan otak
yang mendasari jauh lebih berat dan prognosisnya lebih buruk
dari hematoma epidural. Mortalitas 60%, diperkecil oleh tindakan
operasi yang sangat segera
Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral cukup
sering, hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural.
Majoritas dilobus frontal dan temporal, walau dapat pada setiap
tempat. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral
traumatika tidak jelas batasannya. Lesi jenis salt and pepper
klasik pada CT jelas kontusi, dan hematoma yang besar jelas
bukan. Terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat
8
laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari. Ingat,
kontusi bukan diagnosis klinis.
Cedera difusa
Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif
yang berkelanjutan, disebabkan cedera akselerasi-deselerasi otak,
adalah jenis cedera kepala yang paling sering.
Konkusi Ringan. Konkusi (cerebral concussion) ringan :
kesadaran tidak terganggu, terdapat suatu tingkat disfungsi
neurologis temporer. Sering terjadi dan karena ringan, sering
tidak dibawa kepusat medik. Bentuk paling ringan, berakibat
konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Pulih sempurna tanpa
disertai sekuele major. Yang sedikit lebih berat menyebabkan
konfusi dengan amnesia retrograd maupun post traumatika.
Konkusi Serebral Klasik. Konkusi serebral klasik : hilangnya
kesadaran. Selalu disertai amnesia retrograd dan post traumatika,
dan lamanya amnesia post traumatika adalah pengukur atas
beratnya cedera. Hilangnya kesadaran sementara, sadar
sempurna dalam enam jam, walau biasanya sangat awal. Tidak
9
mempunyai sekuele kecuali amnesia atas kejadian terkait cedera,
namun beberapa mempunyai defisit neurologis yang berjalan
lama, walau kadang-kadang sangat ringan.
Cedera Aksonal Difusa (CAD). CAD (Diffuse Axonal Injury,
DAI) : koma pasca trauma yang lama(lebih dari enam jam), tidak
dikarenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik. Dibagi menjadi
kategori ringan, sedang dan berat. CAD ringan jarang, koma
berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut
perintah setelah 24 jam. CAD sedang, koma yang berakhir lebih
dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak. Bentuk CAD paling
sering dan merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD.
CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan
paling mematikan. 36% dari semua pasien dengan CAD. Koma
dalam dan menetap untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan
tanda dekortikasi atau deserebrasi dan cacad berat menetap bila
penderita tidak mati, disfungsi otonom seperti hipertensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak
mempunyai cedera batang otak primer. CAD umumnya lebih
banyak berdasarkan pada fisiologi atas gambaran klinik yang
terjadi.
Pemeriksaaan GCS
Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka
mata, respon verbal dan respon motorik. Skor terendah 3 dan
tertinggi 15. Respon motorik dinilai yang terbaik dari kedua sisi.
Respon membuka mata (eye)
(4). Spontan dengan adanya kedipan
(3). Dengan suara
(2). Dengan nyeri
(1). Tidak ada reaksi
Respon bicara (verbal)
(5). Orientasi baik
10
(4). Disorientasi (mengacau/bingung)
(3). Keluar kata-kata yang tidak teratur
(2). Suara yang tidak berbentuk kata
(1). Tidak ada suara
Respon bicara (verbal) untuk anak-anak
(5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek
(4). Menangis, tapi bisa diredakan
(3). Teriritasi secara menetap
(2). Gelisah, teragitasi
(1). Diam saja
Respon motorik (motor)
(6). Mengikuti perintah
(5). Melokalisir nyeri
(4). Menarik ekstremitas yang dirangsang
(3). Fleksi abnormal (dekortikasi)
(2). Ekstensi abnormal (decerebrasi)
(1). Tidak ada gerakan
Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk)
PENGELOLAAN PRA RUMAH SAKIT RUJUKAN
(DENGAN SARANA BEDAH SARAF)
Ikuti protokol trauma.
CEDERA KEPALA RINGAN
Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (GCS 14-
15).
(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran,
amnesia,
nyeri kepala, perdarahan hidung/mulut/telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
11
Kriteria Transport ke Rumah Sakit Non Pusat Trauma:
1. Amnesia post traumatika jelas
2. Riwayat kehilangan kesadaran
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Tanda-tanda Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)
8. Kejang
9. Cedera penyerta yang jelas
10. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-
jawabkan
Dipulangkan :
1. Pasien tidak memiliki kriteria rujuk
2. Beritahukan untuk kerumah sakit bila timbul masalah dan
jelaskan
tentang 'lembar peringatan'
3. Rencanakan untuk kontrol kerumah sakit dalam 1 minggu
CEDERA KEPALA SEDANG
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap
mampu untuk mengikuti perintah sederhana (GCS 9-13).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran,
perdarahan
hidung/mulut/telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera
sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Transport ke pusat trauma/bedah saraf.
CEDERA KEPALA BERAT
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah
12
sederhana karena gangguan kesadaran (GCS ≤ 8). (Tidak
termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS > 8).
PENILAIAN CEDERA KEPALA BERAT
1. OKSIGENASI DAN TEKANAN DARAH
Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%) atau hipotensi
(tekanan darah sistolik <90 mm Hg*) adalah parameter yang
nyata berkaitan dengan outcome yang buruk
Oksigenasi darah : Prosentase saturasi oksigen darah diukur
dengan oksimeter denyut nadi (bila ada).
Tekanan darah sistolik dan diastolik diperiksa sesering yang
dimungkinkan dan dimonitor secara berkelanjutan.
Kerusakan otak sekunder pada cedera kepala berat sering terjadi
dan sangat mempengaruhi outcome.
*) 0-1 tahun : <65; 2-5 tahun : < 75; 6-12 tahun : <80; 13-16
tahun : < 90.
2. SKOR SKALA KOMA GLASGOW
GCS adalah indikator beratnya cedera kepala terutama dalam
kaitannya dengan perbaikan atau perburukan pada pemeriksaan
berulang. Penilaian tunggal GCS tidak dapat memprediksi
outcome, namun perburukan 2 poin dimana GCS sembilan atau
kurang menunjukkan cedera serius. Skor 3-5 : outcome buruk.
GCS didapat dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal
atau pada pasien yang tidak ikut perintah dengan rangsang nyeri
pada pangkal kuku atau anterior ketiak dll. GCS dinilai lagi
setelai penilaian inisial (pada penilaian inisial dapat digunakan
AVPU : cepat, namun tidak menampilkan kuantitas motorik),
setelah jalan nafas terkontrol, setelah resusitasi ventilatori dan
respiratori. Hipoksemi dan hipotensi berdampak negatif terhadap
GCS. GCS dinilai pula sebelum pemberian sedatif atau agen
paralitik, dan setelah obat-obat tsb. dimetabolisasi.
GCS inisial 3-5, atau perburukan dua poin atau lebih
13
memprediksikan outcome buruk. 20 % dengan GCS 3-5 hidup, 8-
10 % dengan hidup yang fungsional.
3. PUPIL
Pupil asimetri : perbedaan kiri dan kanan ≥ 1 mm. Pupil yang
tidak bereaksi terhadap cahaya : reaksi tidak ada atau kurang
dari 1 mm. Perhatikan pula adanya trauma orbital.
Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap
cahaya. Apakah satu atau kedua sisi berdilatasi. Apakah satu atau
kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya dan berdilatasi. Pupil
dinilai lagi setelah resusitasi dan stabilisasi.
Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar
evaluasi. Kelainan pupil membantu menentukan tindakan,
terutama bila berdilatasi unilateral atau, berdilatasi dan tidak
bereaksi terhadap cahaya bilateral, mengarahkan pada herniasi
otak yang memerlukan tindakan darurat untuk menurunkan
tekanan intrakranial. Konstriksi terhadap cahaya adalah fungsi
simpatik. Rangsang cahaya berakibat respons direk (ipsilateral)
dan respons konsensual (kontralateral), tergantung intaknya
sistem aferen yang membawa sinyal dari retina ke otak tengah,
serta sistem eferen parasimpatik pada bagian luar saraf ketiga
dari otak tengah ke pupil. Nuklei saraf ketiga di otak tengah
terletak dekat area yang mengatur kesadaran dibatang otak.
Karenanya pemeriksaan pupil sangat penting pada pasien dengan
gangguan kesadaran. Saraf ketiga keluar dari otak tengah
dibawah unkus, bagian lobus temporal, dan terancam untuk
terkompresi sebagai akibat edema, perdarahan intrakranial, dan
hematoma epidural atau subdural. Kompresi saraf ketiga
unilateral menekan jalur eferen refleks pupil, menghambat
respons cahaya langsung, disaat respons konsensual utuh.
Hipoksemia, hipotensi dan hipotermia juga berhubungan dengan
dilatasi serta reaksi cahaya pupil. Trauma langung pada saraf
14
ketiga disertai tidak adanya trauma intrakranial yang nyata bisa
menyebabkan kelainan pupil walau biasanya disertai dengan
kelainan motorik saraf ketiga. 70 % pasien dengan pupil
berdilatasi bilateral mengalami outcome buruk. Peneliti lain
mendapatkan 91 % tewas. 54 % pasien dengan refleks cahaya
negatif pulih dengan baik.
TINDAKAN TERHADAP CEDERA KEPALA BERAT
1. JALAN NAFAS, VENTILASI DAN OKSIGENASI
Hipoksemia (apnea, sianosis atau saturasi oksigen Hb arterial
[SaO2] < 90 %) harus dicegah atau segera dikoreksi. Bila ada,
saturasi oksigen dimonitor sesering mungkin atau berkelanjutan.
Hipokesemia dikoreksi dengan memberikan oksigen suplemen.
Jalan nafas harus diamankan pada GCS < 9, ketidakmampuan
mempertahankan jalan nafas adekuat, atau bila hipoksia tidak
terkoreksi dengan oksigen suplemen. Intubasi endotrakheal paling
efektif mempertahankan jalan nafas.
Hiperventilasi profilaksis rutin harus dicegah. Indikasi dilapangan
hanya bila terjadi herniasi otak seperti posturing ekstensor atau
kelainan pupil (asimetrik atau tidak bereaksi) yang masih tampak
setelah hipotensi atau hipoksemia dikoreksi. Normal ventilasi
(dengan intubasi dan ventilator bila ada) sekitar 10 X/menit untuk
dewasa, 15-20 X/menit pada anak-anak, dan 20-30 X/menit bagi
bayi. Hiperventilasi ditentukan sebagai 20 X/menit bagi dewasa,
30 X/menit bagi anak-anak dan 35-40 X/menit bagi bayi.
Hiperventilasi dianjurkan sebagai tindakan primer dilapangan
karena mudah dilakukan dan berefek segera. Hiperventilasi
menurunkan tekanan parsial arterial dioksida karbon (PaCO2)
dengan akibat vasokonstriksi, menurunkan aliran darah serebral
(CBF) dan menurunkan tekanan intrakranial (ICP). Namun
hiperventilasi dini profilaktik tidak lagi dianjurkan sebagai
tindakan rutin, karena pada pasien cedera otak traumatika
15
biasanya aliran darah serebral turun menjadi dua pertiga dari
normal dan hiperventilasi lebih menurunkan aliran darah
serebral hingga berpotensi mencapai titik iskemia otak, hingga
memperburuk perfusi otak dan outcome pasien. Hiperventilasi
dilakukan hanya sementara sampai pasien tiba di pusat bedah
saraf dimana analisis gas darah akan menuntun tingkat ventilasi.
2. RESUSITASI CAIRAN
Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatika adalah
untuk mencegah hipotensi dan / atau membatasinya pada durasi
sesingkat mungkin. Hipotesi adalah bila tekanan darah sistolik ≤
90 mm Hg. Pada anak dengan cedera otak traumatika berat usia
0-1 tahun : < 65; usia 2-5 tahun : < 75; usia 6-12 : < 80 dan usia 13-
16 < 90 mm Hg.
Terapi cairan diberikan untuk menunjang kinerja kardiovaskuler
untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat
dan mengurangi peluang kerusakan otak sekunder. Paling umum
di pra rumah sakit digunakan kristaloid isotonik. Diberikan
sejumlah yang dibutuhkan dalam mempertahankan tekanan
darah normal. Volume cairan yang tidak adekuat atau dibawah
daya resusitasi dapat mempresipitasi hipotensi mendadak hingga
harus dicegah. Resusitasi hipertonik dengan salin hipertonik
dengan atau tanpa dekstran memberikan hasil menggembirakan.
Tidak ada bukti bahwa mannitol bermanfaat pra rumah sakit,
kecuali pada pasien dengan peninggian tekanan intrakranial jelas.
Di UGD, tekanan perfusi serebral tidak dapat dihitung karena di
pra rumah sakit tekanan arterial rata-rata (MAP) dan tekanan
intrakranial (ICP) tidak dihitung. (Bahkan mungkin juga di UGD
nya sendiri). Frekuensi denyut jantung dan tekanan darah
digunakan sebagai pengukur indirek pengangkutan oksigen pada
fase pra rumah sakit dan juga pada evaluasi inisial di UGD.
Pengukuran ini kasar hingga sering tidak menunjukkan
16
hubungan yang baik dengan kehilangan darah, namun tidak ada
tindakan lain yang dapat menilai kehilangan darah secara akurat.
Otoregulasi sering gagal pada cedera kepala, meningkatkan
keterancaman otak atas berkurangnya preload. Bila gagal curah
jantung, pengangkutan oksigen juga gagal. Intervensi resusitatif
dimulai segera untuk mencegah turunnya tekanan darah.
Kehilangan darah sulit dinilai hingga tampil hipotensi. Sayangnya
hipotensi tidak jelas bisa ditentukan, misalnya bagi kebanyakan
orang 90 mm Hg, bagi orang lain mungkin 80 atau 100.
Karena penyebab hipotensi umumnya sekunder atas perdarahan
atau kehilangan cairan lainnya, maka volume intravaskuler
tampaknya cara terbaik untuk memperbaiki tekanan darah.
Kristaloid untuk memperkuat preload jantung, mempertahankan
curah jantung (CO), tekanan darah dan pengangkutan oksigen
perifer. Dianjurkan infus cepat 2 liter RL atau salin normal
sebagai bolus inisial pada dewasa. Pada pasien tanpa cedera
kepala, pikirkan bahwa resusitasi tanpa hemostasis bedah
menyebabkan kehilangan darah sekunder akibat bergesernya klot
hemostatik. Begitu pula hemodilusi yang terjadi dapat
memperburuk keadaan pada trauma tertentu seperti trauma
penetrasi torso. Karenanya resusitasi cairan ideal adalah tidak
menyebabkan kehilangan darah sekunder dan hemodilusi.
3. TINDAKAN TERHADAP OTAK
Herniasi serebral : Tanda-tandanya adalah gangguan kesadaran
serta tidak adanya respons, termasuk posturing ekstensor, pupil
berdilatasi, tidak bereaksi terhadap cahaya atau perburukan
neurologis progresif (penurunan GCS lebih dari dua poin dari
sebelumnya pada pasien dengan GCS inisial < 9). Hiperventilasi
adalah intervensi jalur pertama terhadap pasien tersangka
ancaman herniasi otak. Status neurologis memerlukan penilaian
berulang dan bila diikuti hilangnya tanda-tanda herniasi otak,
17
hiperventilasi dihentikan.
Mannitol pra rumah sakit untuk herniasi otak.
Tindakan saat transport pasien : Sedasi, analgesia, dan blok
neuromuskuler (sesuai sarana tersedia) berguna dalam
mengoptimalkan transport pasien cedera kepala.
Penyebab lain perubahan status kesadaran : Hipoglikemia
dilaporkan sebagai pencetus trauma. Hipoglikemia bisa tampil
dengan perubahan kesadaran dengan atau tanpa defisit neurologis
lain. Dianjurkan pasien dengan penurunan kesadaran yang tidak
jelas etiologinya ditentukan glukosanya secara cepat atau
diberikan glukosa secara empiris.
Cedera neuronal bisa akibat trauma inisial (cedera primer) atau
akibat mekanisme indirek (cedera sekunder) seperti hipoksemia,
hipotensi dan edema serebral. Juga bisa akibat keadaan yang
bersamaan seperti hipoglikemia atau keracunan obat. Tujuan
resusitasi adalah mempertahankan perfusi otak dan
meminimalkan cedera neuronal.
Mannitol efektif mengurangi tekanan intrakranial dan dianjurkan
untuk mengontrol peninggian tekanan intrakranial. Namun belum
jelas manfaatnya pada pasien tanpa tanda-tanda herniasi otak.
Walau mekanisme kerjanya kontroversi, manfaatnya adalah
bahwa mannitol merupakan plasma expander kerja cepat dan
efek osmotik diuretiknya. Sebagai plasma expander ia akan
menurunkan hematokrit dan viskositas darah dengan akibat
meningkatkan aliran darah otak dan meningkatkan pengangkutan
oksigen ke otak yang merupakan dasar resusitasi otak. Efek
osmotiknya pada awalnya mengurangi edema intraseluler hingga
menurunkan tekanan intrakranial. Onsetnya setelah 15-30 menit
namun bertahan 90 menit hingga 6 jam. Mannitol bisa
terakumulasi diotak dengan akibat reverse osmotic shift yang
berpotensi meninggikan tekanan intrakranial (karenanya
18
dirumah sakit lebih baik diberikan berulang dari pada infus
kontinyu untuk mengurangi kemungkinan komplikasi ini). Potensi
komplikasi mannitol lainnya adalah gagal ginjal. Perhatikan juga
bahwa mannitol berpotensi menimbulkan hipotensia.
Lidokain intravena mencegah peninggian tekanan intrakranial
saat intubasi endotrakheal. Namun tidak ada bukti peninggian
tekanan intrakranial transien saat manipulasi intubasi
berpengaruh pada outcome. Berikan lidokain 1.5 mg/kg beberapa
menit sebelum laringoskopi dan dianjurkan diberikan bersama
pelindung saraf pusat lain seperti fentanyl (50 ųg, q2-3 menit) atau
thiopental (3-5 mg/kg).
Sedasi dan analgesia adalah kunci penting dalam pengelolaan pra
rumah sakit, terutama bila perjalanan memerlukan waktu
panjang. Langkah pertama terhadap pasien gelisah atau
mengamuk adalah menilai dan mengoreksi hipotensi, hipoksemia,
hipoglikemia dan ketidaknyamanan. Bebat mekanik tidak
dianjurkan dan meletakkan pasien pada risiko kerusakan fisik.
Karena kooperasi pasien penting dalam transport yang aman,
berikan agen farmakologis termasuk blok neuromuskuler (bila
sarana tersedia).
Benzodiazepin (lorazepam 2-5 mg IV ) dan fenothiazin umum
digunakan. Pra rumah sakit bisa diberikan droperidol 5 mg
intravena. Blok neuromuskuler aksi singkat aman digunakan pra
rumah sakit. Rangsang nyeri akan meninggikan tekanan
intrakranial, hingga pemberian sedasi, analgesia dan blok
neuromuskuler bisa dipertimbangkan, walau bukan tanpa risiko
disamping mempengaruhi GCS.
Kadar gula darah kurang dari 80 mg/dl mulai bergejala.
Hipoglikemia ringan tampil dengan diaphoresis, nyeri kepala dan
kelemahan pada 75 % pasien. Defisit neurologis fokal dan kejang
bisa terjadi. Kadar 30 mg/dl tampil dengan konfusi atau delir.
19
Kadar dibawah 10 mg/dl dengan koma dalam yang mungkin
irreversibel. Kontroversi terjadi pada akurasi strip pemeriksa,
dampak perfusi perifer yang buruk terhadap strip pemeriksa,
serta potensi kerusakan akibat pemberian glukosa secara empirik.
Dianjurkan memeriksa kadar gula dari pada memberikan terapi
empirik, kecuali bila kadar gula tidak bisa didapat dan pasien
mengalami gangguan status mental tanpa disertai defisit fokal.
TRANSPORTASI
Semua pasien dengan cedera otak traumatika dengan GCS < 9
langsung dirujuk kefasilitas yang berkemampuan pemeriksaan
CT segera, fasilitas bedah saraf memadai, dan fasilitas pengamat
tekanan intrakranial (bila ada) serta kemampuan menindak
hipertensi intrakranial.
Pasien dengan GCS 9-13 berpotensi mengalami cedera
intrakranial dan tindakan bedah saraf, hingga harus dirujuk
kepusat bedah saraf.
Sebagian kematian akibat cedera adalah tanggung-jawab cedera
kepala. Transportasi merupakan bagian penting yang
mempengaruhi outcome. Langkah yang berpengaruh pra rumah
sakit adalah :
Informasi lengkap yang dikumpulkan petugas pra rumah sakit
dan yang diminta petugas rumah sakit rujukan seperti apakah
pasien sadar, dapat berbicara, membuka mata, atau
menggerakkan ekstremitas dapat membantu menentukan adanya
cedera otak.
Penilaian pra rumah sakit atas mekanisme, jenis dan beratnya
cedera (parahnya kerusakan kendaraan, benturan kaca depan,
penggunaan sabuk pengaman dan alat pengaman lain), kejadian,
dan khususnya pemeriksaan pasien penting untuk menilai situasi
neurologis keseluruhan. Tanda-tanda vital dan oksimetri denyut
nadi bila ada, membantu menemukan hipotensi dan hipoksemia.
20
Skor GCS dan kondisi pupil memberikan informasi beratnya
cedera otak.
Berdasar penilaian pasien, intervensi pra rumah sakit dimulai
untuk mencegah hipotensi atau hipoksemia serta potensi yang
mengancam hidup atau kecacadan lainnya. Disini tingkat
keterampilan penolong sangat menentukan mutu intervensi.
Rumah sakit penerima juga menentukan outcome.
Beberapa faktor berpengaruh pada tindakan yang optimal. Untuk
perkotaan, waktu tanggap pendek, rumah sakit banyak, waktu
transport singkat, berakibat tindakan lebih cepat dan dekat.
Namun dikota UGD lebih sibuk, jalanan macet, dan protokol
mungkin tidak mengizinkan jalan pintas kepusat trauma lain.
Didaerah yang jauh dari pusat trauma, petugas harus diberi
kemudahan memanfaatkan alat transportasi yang lebih cepat. Bila
sarana bedah saraf tidak tersedia, bawa dulu kefasilitas terdekat
untuk stabilisasi pasien, untuk selanjutnya tergantung kebutuhan.
Lakukan penilaian neurologis berulang untuk mengevaluasi atau
menemukan setiap perubahan kondisi dan status neurologis
pasien selama perjalanan.
ALGORITMA PENILAIAN DAN TINDAKAN TERHADAP
CEDERA OTAK TRAUMATIKA (COT) PRA RUMAH SAKIT
(DENGAN FASILITAS BEDAH SARAF).
Nilai, stabilkan dan tindak pasien berdasar protokol resusitasi
dengan memprioritaskan penilaian dan tindakan atas jalan nafas,
pernafasan dan sirkulasi.
Setelah stabilisasi ABC, nilai pasien dengan bertanya : “Kenapa
anda”.
Bila pasien bisa membuka mata, periksa GCS. COT moderat
(GCS 9-13) dan COT berat (GCS 3-8) harus ditransport kepusat
trauma.
21
Bila pasien tidak membuka mata, tekan pangkal kuku atau cubit
kulit anterior aksila untuk merangsang buka mata.
Bila dengan rangsang nyeri tsb. pasien membuka mata, nilai seksi
verbal dan motor dari GCS untuk mendapatkan skor total.
Pasien yang tidak responsif dengan GCS 3-8 harus ditransport ke
pusat trauma dengan kemampuan :
CT scan 24 jam.
Sarana bedah saraf dan kamar operasi 24 jam.
Kemampuan monitor tekanan intrakranial (bila ada) dan
tindakan terhadap peninggian tekanan intrakranial.
Pasien GCS 14-15 ditransport ke rumah sakit non pusat trauma,
dengan UGD berkemampuan resusitasi segera pasien kritis.
Pasien yang tidak membuka mata terhadap rangsang nyeri
langsung ditransport ke pusat trauma tsb.
Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri
pada pangkal kuku dengan posturing ekstensor, atau pasien yang
flaksid, amankan jalan nafas (usahakan intubasi) dan
hiperventiasi (20X/menit untuk dewasa, 30X/menit untuk anak-
anak, 35-40X/menit untuk bayi).
Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri
pada pangkal kuku atau cubitan ketiak dengan fleksi abnormal
atau respons motor GCS lebih tinggi, namun dengan pupil
asimetris dan atau berdilatasi dan tidak bereaksi cahaya, lakukan
hiperventilasi sda.
Semua pasien COT nilai oksigenasinya tiap 5 menit serta saturasi
O2 nya dipertahankan > 90. Tekanan darah sistolik
dipertahankan diatas 90 mm Hg pada dewasa dan usia 12-16; 80
mm Hg bagi usia 5-12; 75 mm Hg bagi usia 1-5; dan 65 mm Hg
untuk bayi kurang dari 1 tahun.
Karena status neurologis bisa berubah, nilai pasien secara lengkap
setiap 5 menit dan tindak atau ubah tindakan bila perlu.
22
PENGELOLAAN PASIEN DIRUMAH SAKIT RUJUKAN
(DENGAN FASILITAS BEDAH SARAF)
Ikuti protokol trauma.
CEDERA KEPALA RINGAN
Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (SKG 14-
15).
(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).
Pengelolaan setelah pasien distabilkan :
1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran,
amnesia,
nyeri kepala, perdarahan hidung / mulut / telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiografi tengkorak
5. Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi
6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik (bila ada).
7. CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari
kriteria
rawat.
Algoritma Pasien COT
Penilaian dan Tindakan padaCedera Otak Traumatika (COT) Pra
Rumah Sakit Rujukan.
Nilai, Tindak, Stabilkan ABC.
23
Apa Pasien Membuka MataTerhadap “Kenapa Anda?”
Nilai Pasien Apa Pasien MembukaMata Terhadap Cubitan
Ketiak/Penekanan Pangkal kuku. Amankan jalan nafas (Intubasi
bila tersedia), Hiperventilasi. Nilai Oksigenasi. Pastikan SaO2 >
90% (Bila tersedia). Nilai Tekanan Darah. Pastikan TDS > 90 mm
Hg
Kriteria Rawat:
1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
24
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-
jawabkan
10. CT scan abnormal
Dipulangkan dari UGD:
1. Pasien tidak memiliki kriteria rawat
2. Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan
tentang
'lembar peringatan'
3. Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu
Majoritas pasien yang datang ke UGD dengan cedera
kepala berada pada kategori ini. Pasien dalam keadaan bangun
saat diperiksa dokter namun mungkin amnestik atas kejadian
sekitar saat cedera. Mungkin terdapat riwayat kehilangan
kesadaran sebentar yang mungkin dikacaukan oleh alkohol atau
intoksikans lain. 3% pasien secara tidak disangka memburuk dan
gawat neurologis bila kelainan status mentalnya tidak segera
diketahui.
Sinar-x tengkorak dilakukan untuk mencari keadaan : fraktura
tengkorak linear atau depressed, posisi kelenjar pineal bila
mengalami kalsifikasi, level air-udara dalam sinus, pneumosefalus,
fraktura fasial, dan benda asing, mengikuti panel yang dirancang
berdasarkan pada tingkat risiko:
1. Untuk kelompok dengan risiko rendah, dengan tanda-tanda dan
gejala-gejala minimal seperti nyeri kepala, pusing, atau laserasi
kulit kepala : pulangkan kelingkungan yang dapat dipertanggung-
jawabkan untuk pengamatan, dengan tidak memerlukan
radiografi tengkorak.
25
2. Untuk kelompok dengan risiko sedang, dengan muntah,
intoksikasi alkohol atau obat, amnesia post traumatika, atau
tanda-tanda fraktura basiler atau depressed : pengamatan ketat,
pertimbangan untuk CT scan atau radiografi foto polos serta
konsultasi bedah saraf.
3. Untuk kelompok dengan risiko tinggi, dengan gejala-gejala
serius seperti tingkat kesadaran yang tertekan atau menurun,
tanda-tanda neurologis fokal atau cedera tembus : konsultasi
bedah saraf dan CT scan emergensi.
Tiga perempat pasien cedera kepala tidak memerlukan sinar-x
tengkorak, tidak berarti menyingkirkan pertimbangan klinis.
Tanda klinis basis yang fraktur, hematoma orbital, rhinorrhea
atau otorrrhea CSS, hemotimpanum, atau tanda Battle, harus
dianggap bukti fraktura basal dan mengharuskan pasien untuk
dirawat.
Idealnya, CT scan dilakukan pada semua pasien, walau
prakteknya serta biayanya, tidak mungkin. Bila pasien alert serta
dibawah pengawasan selama 12-24 jam, dapat ditunda atau bila
perlu dibatalkan.
Tidak ada obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgesik non
narkotik seperti parasetamol. Toksoid tetanus diberikan bila
terdapat luka terbuka. Tes darah rutin tidak perlu bila tidak ada
cedera sistemik.
Cedera kepala ringan dengan CT scan normal dipulangkan bila
ada yang bertanggung jawab dirumah dan dengan menyertakan
'lembar peringatan' untuk menempatkan pasien dalam
pengamatan ketat sekitar 12 jam dan kembali bila sesuatu terjadi.
Bila tidak memiliki relasi yang bertanggung-jawab, pasien tetap di
UGD 12 jam dengan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam
dan kemudian dipulangkan bila stabil.
Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus dirawat dan
26
dikelola sesuai perjalanan neurologisnya. CT scan berikutnya bila
terjadi perburukan neurologis.
CEDERA KEPALA SEDANG
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap
mampu untuk mengikuti perintah sederhana (SKG 9-13).
Pengelolaan:
Di Unit Gawat Darurat:
1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran,
perdarahan
hidung / mulut / telinga, kejang
2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiograf tengkorak bila diduga trauma tembus
5. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi
6. Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin
7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah
8. Tes darah dasar dan EKG
9. CT scan kepala
10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal
Setelah dirawat:
1. Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam
2. CT scan bila ada perburukan neurologis
Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana,
mereka dapat memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak
hampir seperti halnya terhadap pasien cedera kepala berat, walau
mungkin dengan kewaspadaan yang tidak begitu akut terhadap
urgensi.
CEDERA KEPALA BERAT
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah
sederhana karena gangguan kesadaran (SKG ≤ 8). (Tidak
termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS > 8).
27
PENGELOLAAN INISIAL CEDERA KEPALA BERAT
Prioritas pertama pada pasien cedera kepala adalah resusitasi
fisiologis yang lengkap dan cepat. Tidak ada tindakan spesifik
untuk hipertensi intrakranial yang tidak disertai tanda-tanda
herniasi tentorial atau perburukan neurologis progresif yang tidak
diakibatkan oleh kelainan ekstrakranial. Bila tanda-tanda herniasi
transtentorial atau perburukan neurologis yang bukan disebabkan
kelainan ekstrakranial tampil, pikirkan bahwa hipertensi
intrakranial terjadi dan segera tindak dengan agresif.
Hiperventilasi segera lakukan. Mannitol disukai namun dibawah
keadaan resusitasi cairan yang adekuat.
Sedasi dan blok neuromuskuler dapat berguna untuk
mengoptimalkan transport, namun masing-masing mempengaruhi
pemeriksaan neurologis. Jenis sedatif terserah masing-masing
dokter. Blok neuromuskuler digunakan bila sedasi saja tidak
adekuat. Gunakan aksi pendek.
Hipertensi intrakranial berpotensi memperburuk outcome, sayang
semua jenis tindakan terhadap hipertensi intrakranial bukan saja
bisa berkomplikasi serius, namun beberapa berpengaruh langsung
terhadap resusitasi, seperti misalnya diuretika.
1). PENGELOLAAN PADA PASIEN TANPA TANDA-
TANDA
HERNIASI
Sedasi dan relaksan farmakologis bila perlu untuk transport
seperti dijelaskan terdahulu. Mannitol profilaktik tidak diberikan
karena efek deplesi volume oleh kerja diuretiknya. Parameter
ventilatori adalah oksigenisasi optimal dan ventilasi normal.
2). PENGELOLAAN PADA PASIEN DENGAN TANDA-
TANDA
HERNIASI
Tindakan seperti dijelaskan terdahulu. Hiperventilasi mudah
28
dicapai dengan menambah tingkat ventilatori dan tidak
tergantung atau terpengaruh oleh keberhasilan resusitasi volume.
Karena hipotensi bisa berakibat perburukan neurologis dan
hipertensi intrakranial, mannitol kurang disukai kecuali resusitasi
cairan sudah tercapai. Mannitol diberikan bolus seperti telah
dijelaskan. Pasien segera ditranport.
Tujuan resusitasi adalah perbaikan volume sirkulasi, tekanan
darah, oksigenasi dan ventilasi. Tekanan intrakranial harus dijaga
tetap rendah tanpa mempengaruhi tindakan resusitasi. Mannitol
dan hiperventilasi bisa membangkitkan lagi iskemia intrakranial
atau mempengaruhi resusitasi hingga dicadangkan hanya untuk
herniasi atau perburukan seperti telah dijelaskan.
1. RESUSITASI TEKANAN DARAH DAN OKSIGENASI
Hipotensi (TDS < 90 mm Hg) atau hipoksia (apnea, sianosis, atau
saturasi oksigen < 90 % atau PaO2 < 60 mmHg) harus dimonitor
dan dicegah, atau dikoreksi segera. MAP harus dipertahankan
diatas 90 mm Hg dengan infus cairan untuk menjaga tekanan
perfusi serebral (CPP) diatas 70 mm Hg. Pasien dengan GCS < 9,
atau jalan nafas tidak dapat dipertahankan atau bagi yang tetap
hipoksemik walau suplemen oksigen diberikan, memerlukan
intubasi endotrakheal.
Cairan resusitasi seperti RL, salin normal, salin hipertonis serta
mannitol seperti pada tindakan pra rumah sakit rujukan. Sekali
monitor TIK terpasang (bila ada), manipulasi tekanan darah
disesuaikan dengan pengelolaan tekanan perfusi serebral.
Pengelolaan Inisial Cedera Kepala Berat, GCS ≤ 8
29
Diagnostik / Terapi Emergensi. Evaluasi Trauma Umum.
Intubasi Endotrakheal. Resusitasi Cairan. Ventilasi (PaCO2 35
mm Hg). Oksigenasi. Sedasi. ± Paralisis Farmakologis (aksi
pendek).
Herniasi ?* ± Hiperventilasi *
Perburukan ?* ± Mannitol 1 g/kg *
* Hanya bila ada tanda-tanda herniasi atau perburukan
neurologis progresif tidak karena kelainan ekstrakranial.
2. INDIKASI MONITORING TEKANAN
INTRAKRANIAL (TIK)
Bila ada, dilakukan terhadap cedera kepala berat dengan CT
abnormal. Cedera kepala berat adalah bila GCS 3-8 setelah
resusitasi kardiopulmoner. CT abnormal adalah bila dijumpai
hematoma, kontusi (memar), edema atau sisterna basal yang
30
terkompres. Bila CT normal, monitor dilakukan bila dijumpai dua
atau lebih hal berikut : usia diatas 40 tahun, posturing motor uni
atau bilateral, tekanan darah sistolik < 90 mm Hg. Monitoring
tidak rutin bagi cedera kepala ringan atau moderat, kecuali untuk
adanya lesi massa traumatika tertentu.
Sebagian kerusakan otak terjadi akibat impak trauma, namun
kerusakan sekunder bisa beberapa jam hingga beberapa hari
kemudian. Kematian dan kesakitan dapat dikurangi dengan
pengelolaan intensif seperti intubasi, transportasi, resusitasi, CT
dan evakuasi lesi massa intrakranial segera, serta perawatan ICU.
TIK (ICP) normal adalah 0-10 mm Hg (0-136 mm air). Umumnya
diatas 20 mm Hg dianggap batas untuk mulai tindakan. Namun
tekanan perfusi serebral (CPP) lebih penting dari TIK semata.
(CPP=MAP-ICP). Monitoring TIK adalah untuk mengawasi
perfusi otak. Pada pasien hipotensif, peninggian TIK ringan saja
dapat berbahaya. Monitoring TIK saat ini tidak umum dilakukan
kecuali pada pusat cedera kepala yang besar, karena berisiko,
makan waktu, perlu tenaga terlatih dan mahal.
3. HIPERVENTILASI
Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial,
hiperventilasi jangka panjang (PaCO2 ≤ 25 mm Hg) setelah
cedera otak traumatika harus dicegah.
Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 ≤ 35 mm Hg) 24 jam pertama
setelah cedera otak traumatika harus dicegah karena
memperburuk perfusi saat aliran darah serebral berkurang.
Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila
terjadi perburukan neurologis akut, atau untuk jangka yang lebih
lama pada hipertensi intrakranial yang kebal terhadap sedatif,
paralisis, drainase cairan serebrospinal dan diuretik osmotik.
4. MANNITOL
Efektif mengontrol peninggian tekanan intrakranial pada cedera
31
kepala berat dengan dosis 0,25-1 g/kg BB. Indikasi adalah herniasi
transtentorial dan perburukan neurologis yang bukan disebabkan
kelainan ekstrakranial. Cegah hipovolemik dengan penggantian
cairan. Osmolalitas serum harus dibawah 320 mOsm/l agar tidak
terjadi gagal ginjal. Euvolemia dipertahankan dengan
penggantian cairan adekuat. Kateter foley sangat penting. Bolus
intermitten lebih efektif dibanding infus kontinu.
Mannitol penting pada pasien cedera kepala, terutama fase akut
bila diduga atau nyata ada peninggian tekanan intrakranial.
5. BARBITURAT
Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat
dengan hipertensi intrakranial dan hemodinamik stabil, yang
refrakter terhadap tindakan medis atau bedah untuk menurunkan
tekanan intrakranial. Namun risiko dan komplikasi membatasi
penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan
memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau
menindak ketidakstabilan hemodinamik. Pentobarbital diberikan
dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30 menit atau 5
mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1
mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. Bila dilakukan
koma barbiturat, awasi saturasi oksigen arteriovenosa karena
beberapa pasien bisa mengalami hipoksia otak.
6. STEROID
Steroid termasuk methilprednisolon tidak terbukuti bermanfaat
memperbaiki outcome atau menurunkan tekanan intrakranial,
karenanya tidak dianjurkan.
7. ANTI KEJANG PROFILAKTIF
Dianjurkan pada kasus dengan risiko kejang tinggi :
GCS < 10.
Kontusi (memar) kortikal, lihat dari CT.
Fraktur tengkorak terdepres.
32
Hematoma subdural.
Hematoma epidural.
Hematoma intraserebral.
Cedera tembus tengkorak.
Kejang dalam 24 jam sejak cedera.
Alasan pemberian anti kejang adalah bahwa bahwa insidens
kejang pasca trauma relatif tinggi hingga pemberian anti kejang
akan memberikan manfaat karena kejang akan meninggikan
tekanan intrakranial, perubahan tekanan darah, perubahan
pengangkutan oksigen, dan meningkatkan pelepasan
neurotransmiter. Kejang juga berakibat cedera aksidental, efek
psikologis serta hilangnya kemampuan kontrol. Dipercaya bahwa
pencegahan kejang dini mencegah epilepsi kronik karena terbukti
kejang pertama membentuk fokus kejang permanen. Namun anti
kejang juga mempunyai berbagai efek samping hingga hanya
diberikan pada keadaan tsb. dan diberikan tidak lebih dari satu
minggu. Berikan Fenitoin atau carbamazepin seperta pra rumah
sakit.
8. INDIKASI OPERASI
Lesi massa harus dioperasi bila pergeseran garis tengah 5 mm
atau lebih. Setiap pergeseran dapat dilihat pada CT scan,
angiografi, atau ventrikulografi. Semua hematoma epidural,
subdural, atau intraserebral yang mempunyai pergeseran garis
tengah 5 mm atau lebih harus dievakuasi secara operatif.
Hematoma kecil dengan pergeseran ringan tanpa kelainan
neurologi, lakukan pendekatan konservatif, namun bisa terjadi
perburukan, dan pengamatan yang ketat sangat diperlukan. Bila
terjadi perburukan, CT ulang harus dilakukan segera.
Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih harus
dioperasi, kecuali pasien dalam mati otak. Dasar pemikiran ini
adalah terbukti bahwa beberapa pasien dengan pupil yang non
33
reaktif bilateral, gangguan respons okulosefalik, dan postur
deserebrasi sekalipun dapat mengalami perbaikan.
Pasien kontusi dengan sisterna basal terkompres memerlukan
operasi segera. Hematoma lobus temporal besar ( lebih dari 30 cc)
mengharuskan operasi dini.
Bila CT scan tidak dapat dilakukan segera, keputusan operasi
berdasarkan ventrikulografi dan pengamatan TIK. Dari
angiogram, temuan berikut ini indikasi operasi :
1. Massa intra atau ekstra aksial menyebabkan pergeseran
pembuluh
serebral anterior menyeberang garis tengah sejauh 5 mm atau
lebih.
2. Massa ekstra aksial lebih dari 5 mm terhadap tabula interna,
bila ia
berhubungan dengan pergeseran arteri serebral anterior atau
media
berapapun jauhnya.
3. Massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm terhadap tabula
interna. Kecuali untuk pasien dengan atrofi otak yang jelas, setiap
massa intrakranial akan menyebabkan peninggian TIK.
4. Massa lobus temporal menyebabkan pengangkatan arteria
serebral
media atau pergeseran garis tengah. Pasien ini berada dalam
posisi
paling berbahaya, karena pembengkakan ringan dapat
menyebabkan
herniasi tentorial dengan sangat cepat.
Indikasi operasi emergensi lain adalah bila terjadi interval lucid
serta bila terjadi herniasi unkal (pupil / motorik tidak ekual) bila
CT tidak tersedia, fraktura terdepres terbuka, dan fraktura
terdepres tertutup yang lebih dari 1 tabula atau lebih dari satu
34
sentimeter kedalamannya. Operasi juga dipertimbangkan bila
pergeseran garis tengah serta massa ekstra aksial yang kurang
dari 5 mm namun mengalami perburukan atau sisterna basal
terkompres. Operasi tidak dilakukan bila telah terjadi mati
batang otak.
Jalur kritis Mengatasi Hipertensi Intrakranial
Pasang Monitor TIK (bila ada). Pertahankan CPP > 70 mm
Hg.
Hipertensi Intrakranial? Ambang tindakan 20-25 mm Hg atau
secara klinis (lihat teks).
Kandidat operasi segera dibawa keruang operasi. Bila
tidak, pasien dibawa ke ICU. Bila pasien memiliki lesi massa,
mannitol (1 hingga 2 g/kg) harus diberikan dalam perjalanan
keruang operasi. Sebagai tambahan, pasien dapat dihiperventilasi
hingga didapat PCO2 arterial 25 hingga 30 mmHg. Untuk semua
tindakan, waktu adalah essensi. Makin cepat lesi massa
dievakuasi, makin besar kemungkinan untuk pemulihan yang
lebih baik.
35
JALUR KRITIS DALAM MENGATASI HIPERTENSI
INTRAKRANIAL
Algoritma dibuat dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko.
Beberapa tindakan dilakukan bersamaan segera. Termasuk
mengontrol suhu tubuh, pencegahan kejang, peninggian kepala
tempat tidur, pencegahan obstruksi vena juguler, sedasi dengan
atau tanpa paralisis, mempertahankan oksigenasi arterial yang
adekuat, serta resusitasi volume lengkap hingga tekanan perfusi
serebral 70 mm Hg atau lebih.
Bila kateter ventrikuler digunakan, drainase cairan serebrospinal
harus merupakan tindakan pertama menurunkan tekanan
intrakranial. Ventilasi dilakukan dengan PaCO2 pada batas
bawah eukapnia (35 mm Hg). Bila gagal, pikirkan tindakan lain.
Bila drain cairan serebrospinal tidak tersedia, tingkat ventilasi
ditingkatkan hingga PaCO2 30-35 mm Hg, 0-5 mm Hg dibawah
ambang bawah eukapnia. Bila ada, lakukan monitor aliran darah
serebral dan saturasi vena juguler bila hiperventilasi ditingkatkan.
Bila hipokapnia ringan tidak efektif, berikan mannitol dengan
batas osmolalitas serum 320 mOsm/l. Volume diamati ketat dan
dipertahankan euvolemia atau hipervolemia ringan dengan
penggantian cairan. Selama tindakan tetap waspada akan
kemungkinan terjadinya massa yang perlu tindakan bedah.
Bila tindakan tsb. gagal, pikirkan pilihan sekunder yang terbukti
efektif namun dengan komplikasi nyata seperti barbiturat, atau
yang efektif namun belum terbukti memperbaiki outcome seperti
hiperventilasi hingga PaCO2 dibawah 30 mm Hg serta terapi
hipertensif.
RUJUKAN
Chesnut, RM. : Evaluation and Management of Severe Closed
Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The Practice of
Neurosurgery. Baltimore : Williams and Wilkins, 1996. 1401-1424.
36
Austin, RT. : Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The Practice
of Neurosurgery. Baltimore : Williams and Wilkins, 1996. 1611-
1622.
Narayan, RK. : Head Injury. In : Robert G Grossman, ed.
Principles of Neorosurgery. New York : Raven Press, 1991. 235-
291.
Guidelines for Prehospital Management of Traumatic Brain
Injury. Brain Trauma Fondation, New York. © 2000, Brain
Trauma Fondation.
Management and Prognosis of severe traumatic head injury. Part
I : Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain
Injury. A joint project of the Brain Trauma Fondation – American
Association of Neurological Surgeons, Joint Section on
Neurotrauma and Critical Care. © 2000, Brain Trauma
Fondation.
Kelly, FD, Nikas, DL and Becker, DP : Diagnosis and Treatment
of Moderate and Severe Head Injuries in Adult. In : Youmans, ed.
Neurological Surgery. Philadelphia : WB Saunders, 1996. 1618-
1718
Tomio Ohta : Head Injury. In : Tomio Ohta, ed. Illustrated
Neurosurgery. Kyoto : Kinpodo, 1996. 51-81.
BAB III
PENYAJIAN KASUS
Tn. S 27 tahun datang ke Rumah sakit dengan keluhan utama muntah
Primary survey
37
Airway
Penilaian : Bersih, tidak ada sumbatan
Breathing
Penilaian : Pernafasan 20 x/ menit
Circulation
Penilaian : Nadi 92 kali/menit, reguler, akral hangat, CRT <2 detik,
Disability
GCS 15, pupil isokor, refleks cahaya positif
Exposure
Hematoma oksipital
Prioritas 3
Secondary survey
Nama : Tn.S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 27 tahun
Alamat : Jl. Sepakat 1
Pekerjaan : Swasta
Keluhan utama
Muntah
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan muntah yang berisi cairan yang dirasakan
timbul secara mendadak, pasien muntah lebih dari 10 kali setelah pasien
bangun dari pingsan akibat terjatuh dengan kepala bagian belakang
membentur semen. Diantara muntah pasien masih dapat minum air putih.
pasien saat ini mengeluhkan nyeri kepala dan pusing berputar serta benjol
dibagian kepala yang terbentur
Rasa pusing menghilang ketika pasien menutup mata
Pemeriksaanfisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis E4V5M6
38
TTV :
RR : 20 x/menit
HR : 92 x/menit
TD : 120/80 mmHg
Suhu : 36,3 C
Paru
pengembangan dada simetris, fremitus taktil normal, sonor
Jantung
Batas jantung dalam batas normal
Ictus cordis teraba di SIC 5 MCS
S1/S2 regular
Gallop (-) Murmur (-)
Abdomen
Datar, jaringan parut (-), BU (+) 8x/menit, Timpani, Massa(-)
hepar lien tidak teraba, soefl
NT Abdomen (-)
Ekstremitas: akral hangat, crt < 2”, pitting edema (-)
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang pasien datang ke RS Anton soedjarwo dengan keluhan muntah yang
berisi cairan yang dirasakan timbul secara mendadak, pasien muntah lebih dari 10
kali setelah pasien bangun dari pingsan akibat terjatuh dengan kepala bagian
belakang membentur semen. Diantara muntah pasien masih dapat minum air
39
putih. pasien saat ini mengeluhkan nyeri kepala dan pusing berputar serta benjol
dibagian kepala yang terbentur. Rasa pusing menghilang ketika pasien menutup
mata
Pasien ini berumur 27 tahun dengan keluhan berupa luka putus jari-jari
tangan kiri, dengan diagnosis Vulnus amputatum a.r digiti II, III, IV phalange
proksimal dan a.r digiti V phalange medial sinistra Untuk menentukan teknik
atau prosedur yang akan dilakukan selama proses anestesi maka dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang sebelum proses
anestesi dilakukan.
Dari data anamnesis yang dilakukan terhadap pasien, pasien menyangkal
adanya riwayat alergi serta penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, hipertensi,
asma atau sesak napas serta penyakit jantung. Namun pasien mengaku pernah
menderita Gastritis yang sudah lama tidak kambuh. Penilaian riwayat penyakit ini
penting untuk mengetahui pemilihan obat apa yang tepat serta mempertimbangkan
pemilihan teknik anestesi untuk mengurangi kemungkinan terburuk, baik selama
operasi maupun pasca operasi.
Selain anamnesis, dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien dan didapatkan
keadaan dalam batas normal, baik tanda-tanda vital, keadaan mulut dan leher,
thorax, abdomen maupun ekstremitas. Berdasarkan klasifikasi dari ASA , pasien
ini termasuk dalam ASA I dimana pasien dalam keadaan sehat, kelainan bedah
terlokalisir tanpa adanya kelainan sistemik lainnya.
Pada pasien dipilih untuk dilakukan tindakan anestesi umum dengan
intubasi endotrakeal napas terkendali dengan pertimbangan gagalnya metode
anestesi blok. Keuntungan dari tindakan ini antara lain: jalan nafas yang aman dan
terjamin karena terpasang ETT, pasien akan merasa lebih nyaman karena dalam
keadaan tertidur dan terhindar dari trauma terhadap operasi serta kondisi pasien
lebih mudah dikendalikan sesuai dengan kebutuhan operasi, dimana pada operasi
ini pasien dalam keadaan supinasi.
Untuk mencapai trias anestesi yaitu , hypnosis, analgesi dan relaksasi otot
maka setelah dipasang jalur intravena dengan cairan RL (ringer Laktat) sebagai
loading mulai dimasukkanlah obat-obat premedikasi, midazolam 5 mg bertujuan
40
untuk memberikan efek sedasi dan amnesia retrograde, fentanyl 3cc sebagai
analgetik opioid, propofol 40 mg sebagai obat induksi anestesia, muscle relaksan
dengan golongan non-depolarisasi jenis intermediete acting yaitu atrakurium dosis
20 mg. Sebagai obat anestesi maintenance diberikan isofluran 1,5 vol % dengan
tambahan O2 2 lpm dan N2O 2 lpm.
Setelah operasi selesai, pasien segera diperiksa nilai kesadarannya
menggunakan Aldrette score. Penilaian tersebut mencakup penilaian terhadap
kesadaran, warna kulit, aktivitas, kardiovaskuler dan respirasi.
Nilai 2 1 0
Kesadaran Sadar, orientasi
baik
Dapat
dibangunkan
Tak dapat
dibangunkan
Warna kulit Merah muda
Tanpa O2
SaO2>92%
Pucat atau
kehitaman
Perlu O2 agar
SaO2 > 90
Sianosis
Dengan O2
SaO2 tetap < 90
Aktivitas 4 ekstremitas
bergerak
2 ekstremitas
bergerak
Tak ada yang
bergerak
Respirasi Dapat napas
dalam
Batuk
napas dangkal
sesak napas
apneu atau
obstruksi
Kardiovaskuler tekanan darah
berubah < 20%
Berubah 20-30
%
berubah 50 %
Pasien ini mendapat nilai 9/10 yang berarti pasien dapat dipindahkan ke ruang
perawatan.
Pemberian obat-obatan analgesik tetap dilanjutkan hingga pasien kembali
di ruangan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri pada luka pasca operasi. Selain
obat-obatan, terapi cairan juga diberikan secara tepat untuk mengoreksi
kehilangan darah selama operasi.
a. Defisit cairan karena puasa 6 jam 2 x 45 x 6 = 540 cc
41
b. Kebutuhan cairan selama operasi (2 jam 45 menit) = kebutuhan dasar
selama operasi + kebutuhan operasi (2 x 45x 2,75) + (6 cc x45 x 2,75) =
247,5 cc + 742,5 cc = 990 cc
c. Perdarahan yang terjadi kira-kira 250 cc
EBV = 70 cc x 45 = 3150 cc.
Darah yang hilang = 250/3150 x 100% = 7,9 % EBV
Bila perdarahan 10% dari EBV maka dapat diberikan kristaloid subsitusi
dengan perbandingan 1 : 2-4 ml cairan kristaloid. Jadi pada pasien ini :
= 1 : 2-4 ml
= 250 : 500 cc – 1000 cc kristaloid
Jadi perdarahan saat operasi yang keluar sekitar 250 cc dapat diganti
dengan kristaloid sebesar 500 cc-1000 cc
d. Kebutuhan cairan total = 540 +990 + (500-1000) =2030cc – 2530 cc
e. Cairan yang sudah diberikan
- Pra anestesi = 500 cc
- Saat operasi = 1500 cc
f. Total cairan yang masuk = 2000 cc
Jadi kekurangan cairan sebesar 30 cc – 530 cc, maka penambahan cairan
masih diperlukan saat pasien dibangsal ditambah kebutuhan cairan per hari
selama 24 jam.
g. Terapi cairan pasca bedah
Memenuhi kebutuhan air, elektrolit nutrisi
Melanjutkan penggantian defisit pre operatif dan durante operatif
Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan
Kebutuhan elektrolit anak dan dewasa
Na+ = 2 - 4 mEq / kgBB
= (2 x 45) – (4 x 45) = 90 – 180 mEq
42
K+ = 1 – 2 mEq / kgBB
= (1 x 45) – (2x45) = 45 – 90 mEq
DAFTAR PUSTAKA
Pike, Rockville. 2001. Amputation- Traumatic.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000006.html
Reksoprodjo, Soelarto, dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah “amputasi”. Jakarta,
Binarupa Aksara Publisher.
43
Samsuhidrajat R., De JongW. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.
Joenoerham dan Latief, 2004. Anestesia Umum dalam Muhardi, M., et al. 1989.
Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Undang-undang No. 3 tahun 1992