Post on 05-Dec-2015
description
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. UK
Umur : 52 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat : Kemayoran Gempol, Kebon Kosong.
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Status marital : Menikah
Suku : Jawa
ANAMNESA
Keluhan Utama
Nyeri Perut kanan atas
Keluhan Tambahan
Kuning, BAB seperti dempul, demam, mual-muntah.
Riwayat Penyakit Sekarang
Dua minggu SMRS pasien mengeluh nyeri perut kanan atas yang menjalar kepunggung
dan bertambah berat saat mengambil napas. Nyeri hilang timbul. Nyeri juga dirasakan
terutama didaerah ulu hati ketika pasien selesai makan.
Pasien mengeluh demam yang dirasakan hilang timbul, yang dirasakan mulai terasa
menjelang sore, mengigil (+), keringan dingin (+), riwayat berpergian jauh disangkal, batuk
dan pilek disangkal, BAK lancar tapi seperti teh, BAB hitam disangkal. Pasien minum
tradisonal gejala panas membaik, riwayat berobat 6 bulan karena penyakit paru disangkal.
Riwayat perut membesar disangkal. Riwayat mendapatkan transfusi darah disangkal.
± 4 hari SMRS pasien mengatakan gejala semakin memberat. Demam (+), mengigil (+),
mual dan muntah ± 4x berisi makan yang dimakan, mulai mengeluh nyeri pada perut kanan,
menjalar ke bagian ulu hati, lalu menjalar ke punggung, nyeri dirasakan hilang timbul seperti
tertusuk – tusuk, nafsu makan mulai menurun, istri pasien mengatakan mata pasien mulai
terlihat kuning dan badan – badan mulai terasa gatal, BAK masih terlihat seperti teh dan BAB
terlihat putih dan sedikit encer. Pasien berobat keklinik dan dokter mengatakan pasien
terkena terkena liver kemudian diberikan obat anti nyeri.
± 1 hari SMRS pasien masih mengeluhkan nyeri pada perut semakin berat, terutama bila
mengambil napas, pasien mengatakan telapak tangan sudah terlihat kuning, keluhan BAK
dan BAB masih sama.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien tidak pernah
menderita penyakit keganasan sebelumnya. Hipertensi disangkal. Diabetes mellitus
disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan pasien. Riwayat penyakit
keganasan di keluarga (-), Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-).
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak mempunyai riwayat alergi obat. Pasien tidak pernah dirawat di RS
sebelumnya. Pasien tidak pernah minum obat dalam jangka waktu yang lama.
Riwayat Psikososial
Istri mengatakan sering sekali makan makanan yang mengadung lemak dan santan, jeroan
(+), merokok (+) ± 4 – 5 batang/ hari, alkohol (-), kopi (+) 5-10 kali / minggu.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis
Status gizi : gizi cukup
Vital Sign
TD : 130/80 mmHg
HR : 96x/menit
RR : 24x/menit
Suhu : 36.8o C
Status Generalis
Kepala : normochepal
Mata :
Pupil : bentuk bulat, diameter 3 mm/3 mm
Refleks pupil : +/+, isokor
Konjungtiva : anemis +/+
Sklera : ikterik +/+
Hidung : Hiperemis (-), sekret (-), darah (-)
Mulut : Lidah kotor (-), stomatitis (-), mukosa Kering (+)
Faring : T1/T1 hiperemis (-)
Telinga : Sekret (-), darah (-)
Leher : pembengkakan KGB (-), Kelenjar Tiroid (-)
Thorax :
Paru-paru
Inspeksi : normochest, pergerakan dada simetris
Palpasi : tidak ada pergerakan dada tertinggal, nyeri tekan (-), vokal fremitus sama
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : vesikular (+/+) normal, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
Bunyi jantung I dan II murni regular
Murmur (-), gallops (-)
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), asites (-), scar luka operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, metalic sound (-)
Palpasi : datar, lembut. Teraba massa didaerah epigastrium. Hati dan limpa tidak
teraba. Murphy sign (+). Nyeri tekan (+) pada hiponkondrium kanan.
Perkusi : hipertimpani seluruh kuadran abdomen
Ekstremitas : akral dingin, RCT < 2 detik, edema (-/-)
Rectal Toucher :
Sfingter ani kontraksi baik, mukosa rectum teraba smooth tidak berbenjol-benjol, tidak
teraba adanya massa atau benjolan di jam 1, 3, 6, 9, 12. Pole tidak teraba. Pada
handschoon terlihat lendir, tidak ada kotoran.
RESUME
Laki – laki 52 tahun RUQ pain (+) sejak 2 minggu SMRS demam (+), mengigil (+), keringan
dingin (+), nausea(+) ,vomitus(+), riwayat berpergian jauh disangkal. riwayat berobat 6 bulan
karena penyakit paru disangkal,nyeri pada perut kanan, menjalar ke bagian ulu hati, lalu
menjalar ke punggung, nyeri dirasakan hilang timbul seperti tertusuk – tusuk, anoreksia (+),
ikterik (+), pruritus (+), BAK seperti teh (+) dan bab berwarna dempul (+).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
- Ureum : 16 mg/dl
- Kreatinin : 0,5 mg/dl
- Asam Urat : 1,2 mg/dl
- Amilase Pankreatik : 1485 ()
- Lipase Darah : 4230 ()
- GDS : 104mg/dl
- AST : 148 ()
- ALT : 366 ()
- Alkali Fosfatase : 171
- Bilirubin total : 6,3 ()
- Bilirubin direk : 4,0 ()
- Bilirubin indirek : 2,3 ()
- Hb : 11,4
- Leukosit : 15, 41 ()
- LED : 15 ()
- Trombosit : 225
- Hematokrit : 33 ()
- Eritrosit : 5,8
- Hbs Ag : negatif
2. Pencitraan
Abdomen 3 posisi : gambaran parsial ileus obstruktif. Suspek kolelitiasis.
USG : Kolesistisis dengan kolelitiasis multiple. Pankreas tidak membesar, parenkim
homogen.
3. EKG
Dalam batas normal.
ANALISA KASUS
Laki-Laki, 52 tahun
Ikterus (+)
Pireksia (+)
Nyeri tajam perut kanan atas (+)
Nyeri post – prandial (+)
Hilang timbul (+)
Menjalar ke ulu hati punggung (+)
Mual -muntah (+)
Anoreksia (+)
BAK kuning seperti teh (+)
Feses akolis (+)
Pruritus (+)
Kulit : Ikterik (+)
Mata :
Konjungtiva : anemis (+)/(+)
Sclera : ikterus (+)/(+)
Mulut : Mukosa Kering (+)
Abdomen :
Nyeri tekan (+) Hipokondrium
dextra, Hepatomegali (-), massa (-),
Murphy’s sign (+)
WD : Ikterus Obstruktif e.c Kolelitiasis dengan gejala Kolesistisis
Penatalaksanaan
Resusitasi cairan : Aminofluid dengan Asering
Nasogastric Tube : Diet cair
Antibiotik : ceftriaxone
Antinyeri : ketorolac
Intervensi operative : Kolesistektomi
Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Kandung Empedu dan sistem biliaris ekstrahepatik
Kandung empedu bentuknya seperti pir, panjangnya sekitar 7 - 10 cm. Kapasitasnya
sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc. Organ
ini terletak dalam suatu fosa yang menegaskan batas anatomi antara lobus hati kanan dan kiri.
Bagian ekstrahepatik dari kandung ampedu ditutupi oleh peritoneum.
Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum dan kolum. Fundus
bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang sedikit memanjang di atas tepi hati,
dan sebagian besar tersusun atas otot polos dan jaringan elastik, merupakan tempat
penampungan empedu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu, dan
ujungnya akan membentul leher (neck) dari kandung empedu. Leher ini bentuknya dapat
konveks, dan mebentuk infundibulum atau kantong Hartmann. Kantong Hartmann adalah
bulbus divertikulum kecil yang terletak pada permukaan inferior dari kandung kemih, yang
secara klinis bermakna karena proksimitasnya dari duodenum dan karena batu dapat
terimpaksi ke dalamnya. Duktus sistikus menghubungkan kandung empedu ke duktus
koledokus. Katup spiral dari Heister terletak di dalam duktus sistikus, mereka terlibat dalam
keluar masuknya empedu dari kandung empedu.
Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri sistika; yang akan terbagi
menjadi anterior dan posterior, secara khas merupakan cabang dari arteri hepatika kanan,
tetapi asal dari arteri sistika bervariasi. Arteri sistika muncul dari segitiga Calot (dibentuk
oleh duktus sistikus, common hepatic duct dan ujung hepar). Drainase vena dari kandung
empedu bervariasi, biasanya ke dalam cabang kanan dari vena porta. Aliran limfe masuk
secara langsung ke dalam hati dan juga ke nodus-nodus di sepanjang permukaan vena porta..
Persarafannya berasal dari vagus dan cabang simpatik yang melewati celiac plexus
(preganglionik T8-9). Impuls dari liver, kandung empedu, dan bile ducts melewari aferen
simpatetik melalui splanknik nerve dan menyebabkan nyeri kolik. Saraf muncul dari aksis
seliak dan terletak di sepanjang arteri hepatica. Sensasi nyeri diperantarai oleh serat viseral,
simpatis. Rangsangan motoris untuk kontraksi kandung empedu dibawa melalui cabang
vagus dan ganglion seliaka.
FISIOLOGIHati memproduksi empedu terus-menerus dan eksresi ke kanalikuli empedu. Orang
dewasa yang normal rata-rata menghasilkan dalam 500 sampai 1000 mL empedu sehari.
Sekresi empedu responsif terhadap neurogenik, rangsangan humoral, dan kimia. Stimulasi
vagal meningkatkan sekresi empedu, sedangkan stimulasi saraf splanknikus berfungsi dalam
menurunkan aliran empedu. Asam klorida, protein dicerna sebagian, dan asam lemak dalam
duodenum merangsang pelepasan secretin dari duodenum yang pada akhirnya dapat
meningkatkan produksi empedu dan aliran empedu. Empedu mengalir dari hati melalui
duktus hepatika, ke dalam duktus hepatik umum, melalui saluran empedu umum, dan
akhirnya ke duodenum. Dengan sfingter Oddi utuh, aliran empedu diarahkan ke kantong
empedu.
Empedu terutama terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, protein, lipid, dan pigmen
empedu. Natrium, kalium, kalsium, dan klorin memiliki konsentrasi yang sama dalam
empedu seperti dalam plasma atau cairan ekstraseluler. PH dari empedu hati biasanya netral
atau sedikit basa, tetapi bervariasi dengan meningkatnya diet protein PH empedu dapat
berubah menjadi lebih asam. Garam empedu primer, kolat dan chenodeoxycholate, disintesis
dalam hati dari kolesterol. Mereka terkonjugasi dengan taurin dan glisin, dan bertindak dalam
empedu sebagai anion (asam empedu) yang seimbang dengan natrium. Garam empedu
diekskresikan ke dalam empedu oleh hepatosit dalam membantu pencernaan dan penyerapan
lemak di usus. ( Boyer J: Bile secretion—models, mechanisms, and malfunctions. A
perspective on the development of modern cellular and molecular concepts of bile secretion
and cholestasis. J Gastroenterol 31:475, 1996. [PMID: 8726846]).
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu.
Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu. Empedu hati tidak dapat segera
masuk ke duodenum; akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke
duktus sistikus dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan
pembuluh darah mengabsorpsi air dan garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam
kandung empedu kira-kira 10 kali lebih pekat daripada empedu hati. Secara berkala kandung
empedu mengosongkan isinya ke dalam duodenum melalui kontraksi simultan lapisan
ototnya dan relaksasi sfingter Oddi. Rangsang normal kontraksi dan pengosongan kandung
empedu adalah masuknya kimus asam dalam duodenum. Adanya lemak dalam makanan
merupakan rangsang terkuat untuk menimbulkan kontraksi.
Sekitar 80% dari asam empedu yang terkonjugasi diabsopsi di ileum terminal. Sisanya
yang asam empedu takterjonjugasi oleh bakteri usus dibentuk asam empedu sekunder yaitu
deoxycholate dan lithocholate. asam empedu takterjonjugasi diserap di usus besar, diangkut
kembali ke hati, terkonjugasi, dan disekresikan ke dalam empedu. Akhirnya, sekitar 95% dari
asam empedu diserap kembali dan dikembalikan melalui sistem vena portal ke hati, yang
disebut sebagai sirklus enterohepatik. Lima persen diekskresikan dalam tinja, dalam jumlah
yang relatif kecil asam empedu.
Dua penyakit saluran empedu yang paling menyolok, dipandang dari frekuensinya
adalah pembentukan batu (koletlitiasis) dan radang kronik penyerta (kolesistitis). Walaupun
masing-masing keadaan ini dapat timbul secara sendiri-sendiri, keduanya sering timbul
bersamaan dan akan dibicarakan bersama-sama.
Kolesterol dan fosfolipid disintesis di hati adalah kandungan lipid utama yang
ditemukan dalam empedu. Sintesis fosfolipid dan kolesterol oleh hati diatur oleh asam
empedu. Warna empedu adalah karena adanya pigmen bilirubin diglucuronide, yang
merupakan produk metabolisme dari pemecahan hemoglobin, dan konsentrasi empedu 100
kali lebih besar dari pada dalam plasma. Setelah di usus, bakteri mengubahnya menjadi
urobilinogen, sebagian kecil yang diserap dan disekresikan ke dalam empedu.
Metabolisme bilirubin normal
Pada individu normal, pembentukan dan ekskresi bilirubin berlangsung melalui langkah-
langkah seperti diperlihatkan pada GAMBAR 1. Sekitar 85% bilirubin terbentuk dari
pemecahan eritrosit dalam sistem monosit makrofag. Masa hidup rata-rata eritrosit adalah
120 hari. Setiap hari sekitar 50 ml darah dihancurkan, menghasilkan 200 sampai 250 mg
bilirubin..
Pada katabolisme hemoglobin (terutama terjadi dalam limpa), globulin mula-mula dipisahkan
dari hem, setelah itu hem diubah menjadi biliverdin. Bilirubin tak terkonjugasi kemudian
dibentuk dari biliverdin. Bilirubin tak terkonjugasi berikatan lemah dengan albumin, diangkut
oleh darah ke sel-sel hati. Metabolisme bilirubin oleh sel hati berlangsung dalam tiga
langkah, pengambilan, konyugasi, dan ekskresi. Pengambilan oleh sel hati memerlukan
protein sitoplasma atau protein penerima.. Konjugasi molekul bilirubin dengan asam
glukuronat berlangsung dalam retikulum endoplasma sel hati. Langkah ini bergantung pada
adanya glukuronil transferase, yaitu enzim yang mengkatalisis reaksi. Konjugasi molekul
bilirubin sangat mengubah sifat-sifat bilirubin.
Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam lemak, tetapi larut dalan air dan dapat diekskresi
dalam kemih. Sebaliknya bilirubin tak terkonjugasi larut lemak, tidak larut air, dan tidak
dapat diekskresi dalam kemih. Transpor bilirubin terkonjugasi melalui membran sel dan
sekresi ke dalam kanalikuli empedu oleh proses aktif merupakan langkah akhir metabolisme
bilirubin dalam hati. Agar dapat diekskresi dalam empedu, bilirubin harus dikonjugasi.
Bilirubin terkonjugasi kemudian diekskresi melalui saluran empedu ke usus halus.
Bilirubin tak terkonjugasi tidak diekskresikan ke dalam empedu kecuali setelah proses
fotooksidasi. Bakteri usus mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi serangkaian senyawa
yang dinamakan sterkobilin atau urobilinogen. Zat-zat ini menyebabkan feses berwarna
coklat. Sekitar 10% sampai 20% urobilinogen mengalami siklus enterohepatik, sedangkan
sejumlah kecil diekskresi dalam kemih.
Mekanisme Patofisiologik Kondisi Ikterik
Terdapat 4 mekanisme umum di mana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi:
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati
3. Gangguan konjugasi bilirubin
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intra-hepatik dan
ekstrahepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau mekanik
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang pertama,
sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia
terkonjugasi.
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah merupakan
penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering
disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi
suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan hati. Akibatnya kadar bilirubin tak
terkonjugasi dalam darah meningkat. Meskipun demikian, kadar bilirubin serum jarang
melebihi 5 mg/100 ml pada penderita hemolitik berat, dan ikterus yang timbul bersifat ringan,
berwarna kuning pucat. Karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air, maka tidak
dapat diekskresikan ke dalam kemih, dan bilirubinuria tidak terjadi. Tetapi pembentukan
urobilinogen menjadi meningkat (akibat peningkatan beban bilirubin terhadap hati dan
peningkatan konjugasi dan ekskresi), yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi
dalam feses dan kemih. Kemih dan feses dapat berwarna gelap.
Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin
S pada anemia sel sabit), sel darah merah abnormal (sferositosis herediter), antibodi dalam
serum (Rh atau inkompatibilitas transfusi atau sebagian akibat penyakit hemolitik autoimun),
pemberian beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma (pembesaran limpa dan peningkatan
hemolisis).
Pada orang dewasa, pembentukan bilirubin secara berlebihan yang berlangsung kronik dapat
mengakibatkan pembentukan batu empedu yang banyak mengandung bilirubin; di luar itu,
hiperbilirubinemia ringan umumnya tidak membahayakan.
Pengobatan langsung ditujukan untuk memperbaiki penyakit hemolitik. Akan tetapi, kadar
bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg/100 ml pada bayi dapat mengakibatkan kern
ikterus
2. Gangguan pengambilan bilirubin
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat albumin oleh sel-sel hati dilakukan
dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkannya pada protein penerima. Hanya
beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin
oleh sel-sel hati: asam flavaspidat (dipakai untuk mengobati cacing pita), novobiosin, dan
beberapa zat warna kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus biasanya
menghilang bila obat yang menjadi penyebab dihentikan.
3. Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan (< 12,9 mg/100 ml) yang mulai terjadi pada
hari kedua sampai kelima lahir disebut ikterus fisiologis pada neonatus. Ikterus neonatal yang
normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronil transferase. Aktivitas
glukoronil transferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu
kedua, dan setelah itu ikterus akan menghilang.
Ketika bilirubin yang tak terkonjugasi pada bayi baru lahir melampaui 20 mg/100 ml, terjadi
suatu keadaan yang disebut kern ikterus. Keadaan ini dapat timbul bila suatu proses hemolitik
(seperti eritroblastosis fetalis) terjadi pada bayi baru lahir dengan defisiensi glukoronil
transferase normal. Kernikterus atau bilirubin ensefalopati timbul akibat penimbunan
bilirubin tak terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini
tidak diobati maka akan terjadi kematian atau kerusakan neurologik berat.
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonyugasi
Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor- faktor fungsional maupun
obstruktif, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi. Karena bilirubin
terkonjugasi larut dalam air, maka bilirubin ini dapat diekskresi ke dalam kemih, sehingga
menimbulkan bilirubinuria dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen
kemih sering berkurang sehingga feses terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin
terkonjugasi dapat disertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan
kadar fosfatase alkali dalam serum, AST, kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan
garam-garam empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang
diakibatkan oleh hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning dibandingkan dengan
hiperbilirubinemia tak terkonyugasi. Perubahan warna berkisar dari kuning-jingga muda atau
sampai kuning-hijau bila terjadi obstruksi total aliran empedu. Perubahan ini merupakan
bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain dari ikterus obstrukfif. Kolestasis
dapat bersifat Intrahepatik (mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstrahepatik
(mengenai saluran empedu di luar hati). Pada kedua keadaan ini terdapat gangguan biokimia
yang sama.
TABEL 1. Ciri Yang Membedakan Ikterus Hemolitik, Hepatoselular dan ObstruktifCiri klinis Hemolitik Hepatoselular Obstruktif
Warna kulit Kuning pucatJingga-kuning muda sampai tua
Kuning-hijau muda sampai tua
Warna kemihNormal (dapat gelap karena urobilin)
Gelap (bilirubin terkonyugasi)
Gelap (bilirubin terkonyugasi)
Warna fesesNormal atau gelap (sterkobilin)
Pucat (sterkobilin menurun)
Warna seperti dempul
Pruritus Tidak ada Tidak menetap Biasanya menetap
Bilirubin serum, indirek atau tak terkonyugasi
Meningkat Meningkat Meningkat
Bilirubin serum, direk atau terkonyugasi
Normal Meningkat Meningkat
Bilirubin kemih Tidak ada Meningkat Meningkat
Urobilinogen kemih
Meningkat Sedikit meningkat Meningkat
Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah penyakit hepatoselular dimana sel
parenkim hati mengalami kerusakan akibat virus hepatitis atau berbagai jenis sirosis. Pada
penyakit ini, pembengkakan dan disorganisasi sel hati dapat menekan dan menghambat
kanalikuli atau kolangiola. Penyakit hepatoselular biasanya menyebabkan gangguan pada
semua fase metabolisme bilirubin—pengambilan, konjugasi, dan ekskresi—tetapi karena
ekskresi biasanya yang paling terganggu, maka yang paling menonjol adalah
hiperbilirubinemia terkonyugasi. Penyebab kolestasis intrahepatik yang lebih jarang adalah
pemakaian obat-obat tertentu, dan gangguan herediter Dubin-Johnson serta sindrom Rotor.
Pada keadaan ini, terjadi gangguan transfer bilirubin melalui membran hepatosit. Obat yang
sering menimbulkan gangguan ini adalah halotan (anestetik), kontrasepsi oral, estrogen,
steroid anabolik, isoniazid, dan klorpromazin.
Penyebab tersering kolestasis ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu, biasanya pada
ujung bawah duktus koledokus; karsinoma kaput pankreas dapat pula menyebabkan tekanan
pada duktus koledokus dari luar; juga karsinoma ampula Vateri. Penyebab yang lebih jarang
adalah striktur yang timbul pasca peradangan atau setelah operasi, dan pembesaran kelenjar
limfe pada porta hepatis. Lesi intrahepatik seperti hepatoma kadang-kadang dapat
menyumbat duktus hepatikus kanan atau kiri
EPIDEMIOLOGI
Choledocholithiasis banyak didapatkan pada ras Asia terutama di daerah Asia
Tenggara. Kolelitiasis banyak didapatkan pada perempuan dibandingkan pria. Angka
insidensi batu empedu 40% terjadi pada umur lebih dari 60 tahun, sedangkan batu primer
pada duktus koledoktus terjadi 8-15% pada pasien dengan umur kurang dari 60 tahun dan 15-
60% terjadi pada umur lebih dari 60 tahun.
KOLELITHIASIS
Batu empedu pada hakekatnya merupakan endapan satu atau lebih komponen
empedu: kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, dan protein. Kolesterol hampir tidak
larut dalam air dan bilirubin sukar larut dalam air. Batu empedu dapat terbentuk dari bilirubin
saja, kolesterol saja, atau dapat berupa batu campuran kolesterol. Batu campuran ini juga
mengandung kalsium. Batu bilirubin murni biasanya kecil, majemuk, hitam, dan dikaitkan
dengan kelainan hemolitik. Batu empedu ini jarang ditemukan. Batu kolesterol murni
biasanya besar, soliter, bulat atau oval, berwarna kuning pucat.
Batu kolesterol campuran paling sering ditemukan, majemuk, berwarna coklat tua.
Batu empedu campuran sering dapat terlihat pada radiogram, sedangkan batu murni mungkin
translusen.
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada bagian
saluran empedu lainnya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme
yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung
empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada
pembentukan batu empedu. Sejumlah penyelidikan menunjukkan bahwa hati penderita
penyakit batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol
yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti
sepenuhnya.
Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,
perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung
empedu atau spasme sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor
hormonal, khususnya selama kehamilan, dapat dikaitkan dengan perlambatan pengosongan
kandung empedu, menyebabkan insidens yang tinggi pada kelompok ini.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan
batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Mukus meningkatkan
viskositas, dan unsur selular atau bakteri dapat berperanan sebagai pusat presipitasi. Akan
tetapi, infeksi mungkin lebih sering menjadi akibat dari pembentukan batu empedu, dari pada
sebab pembentukan batu empedu.
MANIFESTASI KLINIS
Presentasi klinis bervariasi bergantung dari derajat dan level obstruksi, dan ada atau
tidaknya infeksi biliaris. Riwayat penyakit kolelitiasis pada pasien bukanlah syarat esensial
untuk menegakkan diagnosis koledokolelitiasis karena batu empedu dapat tidak memberikan
gejala sama sekali (25-50% kolelitiasis dapat bersifat asimtomatis). Gejala nyeri pada
kuadran kanan atas abdomen sering dikeluhkan pasien. Nyeri biasanya bersifat lokal,
moderate, dan intermiten. Adanya nyeri yang sangat berat biasanya disebabkan adanya
penyakit lain yang menyertainya. Keluhan nyeri biasanya disertai adanya mual dan muntah.
Ikterus yang terjadi disebabkan naiknya level bilirubin direk yang secara klinis biasanya
memberikan gambaran klinis mata pasien menjadi kuning-oranye atau kuning-kehijauan.
Keluhan ikterus disertai adanya riwayat warna feses menjadi pucat dan warna urin mirip air
teh pada 50% kasus. Ikterus dapat terjadi secara episodik.
Waktu timbulnya penyakit adalah penting. Timbulnya nausea, anoreksia dan ikterus,
secara cepat dan makin lama makin berat, kemungkinan besar menunjukkan pasien menderita
hepatitis virus. Pada ikterus cholestatik biasanya timbul gejala penyakit pelan-pelan, dan
seringkali diseratai dengan pruritus. Kenaikan suhu badan yang tinggi dengan menggigil
kemungkinan besar menunjukkan cholangitis disertai dengan cholestatis extrahepatal.
Riwayat keluarga juga penting dalam hubungan dengan ikterus, anemia, splenektomi,
dan cholesistektomi, riwayat yang jelas banyak membantu diagnosis dalam ikterus hemolitik,
hiperbilirubinemia, dan baru empedu.
Adanya kontak dengan penderita virus hepatitis terutamanya pada perawat rumah
sakit, anak-anak sekolah dan asrama. Bilamana penderita mendapat satu suntikan dalam
waktu 6 bulan sebelumnya, maka kemungkinan diagnosis adalah hepatitis virus B.
Penyuntikan disini termasuk pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, BCG,
vaksinasi, tes mantoux, pengobatan gigi, tato dan transfusi darah. Obat-obatan apa yang
pernah dimakan sebelumnya misalnya clorpromazin dan lain-lain obat yang hepatotoksik
perlu ditanyakan. Juga penderita yang pernah mengalami dispepsia, adanya reaksi tidak enak
terhadap makanan yang mengandung lemak dan timbulanya nyeri kolik pada perut kanan
atas, dapat menunjukkan adanya kemungkinan menderita choledocholitiasis.
Apabila warna urin gelan dan tinja pucat, terdapat kemungkinan penyakit
hepatoseluler atau ikterus cholestatik. Pada ikterus hemolitik biasanya tinja berwana kehitam-
hitaman. Pada ikterus hepatoseluler penderita merasa sakit, ikterus pada penderita sirosis
biasanya ringan dan disertai dengan tinja berwarna hitam. Sebaliknya penderita dengan
hepatitis alkoholik akut mungkin mengalami ikterus yang kuat tapi tinja pucat. Kolik bilier
mungkin terjadi secara kontinus untuk beberapa jam daripada intermitten. Nyeri pada
epigastrium atau pada punggung, mungkin terdapat pada penderita karsinoma pankreas.
Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan kolesistitis akut, tetapi beratnya nyeri
dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Seringkali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak,
nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Rasa nyeri (kolik empedu) merupakan
gejala khas dan diakibatkan karena penyumbatan sementara duktus sistikus oleh batu.
Meskipun disebut "kolik", tetapi rasa sakitnya menetap. Seringkali timbul segera sesudah
makan, dan terpusatkan di epigastrium atau kuadran kanan atas dan menyebar menuju
skapula kanan. Timbul pula pola sakit lain. Rasa sakit semakin menghebat dan kemudian
berkurang sesudah beberapa menit sampai beberapa jam. Serangan mungkin sering terjadi,
atau, dipisahkan oleh interval asimtomatik yang lama. Beberapa pasien merasa mual dan
muntah-muntah. Intoleransi terhadap makanan berlemak tak ada kaitan khusus dengan batu
empedu. Flatulensi, bersendawa, dipepsia dan sebagainya terjadi baik pada pasien yang yang
menderita penyakit saluran cerna bagian atas lain atau malahan yang tanpa terlihat adanya
penyakit organik.
Kolelitiasis menjadi penyebab 95 % kasus kolesistitis akut. Batu dapat merusak
duktus sistikus, sehingga timbul peradangan dan dalam beberapa saat saja terjadi infeksi
akibat bakteri. Kolesistitis akalkulus ada kaitannya dengan salah satu keadaan berikut ini:
penyumbatan duktus sistikus oleh mekanisme lain (misalnya : tumor), oklusi arteria sistika,
infeksi bakterial primer atau puasa yang berkepanjangan (misalnya pada pasien yang
menerima nutrisi parenteral total).
Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan tenang dalam kandung empedu
dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat menyebabkan komplikasi. Komplikasi yang
paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus
atau duktus koledokus. Obstruksi seperti ini dapat bersifat sementara, intermiten, atau
permanen. Kadang-kadang, batu dapat menembus dinding kandung empedu dan
menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebabkan ruptura
dinding kandung empedu.
DIAGNOSIS
Diagnosis kolesistitis dan kolelitiasis akut atau kronik sering didasarkan pada
kolesistografi atau ultrasonografi yang dapat menunjukkan adanya batu atau malfungsi dari
kandung empedu.
Kolesistitis kronik harus dapat dibedakan dari jenis penyakit saluran cerna bagian atas
lainnya. Dianjurkan membuat suatu scan film mengenai saluran cerna bagian atas. Rasa sakit
yang radikular, angina pektoris, pankreatitis, kolon teriritasi, dan karsinoma saekum dapat
menyerupai kolik empedu.
Kolesistektomi profilaksis bagi kolelitiasis yang tak menimbulkan gejala-gejala
dianjurkan sebagai tindakan pada penderita diabetes, pada setiap pasien yang kandung
empedunya tak dapat diperagakan melalui radiasi sinar X, pada pasien yang batu empedunya
besar atau mempunyai banyak batu empedu kecil-kecil, dan juga pada pasien yang
mengalami pengapuran kandung empedu. Masih diperdebatkan apakah kolesistektomi
sebagai sarana penanganan terapi patut dilaksanakan tanpa adanya faktor-faktor tersebut
diatas. Secara umum dapat dikatakan bahwa mereka yang sudah lanjut usia dan risikonya
kurang menguntungkan sebaiknya jangan menjalani tindakan kolesistektomi profilaksis.
Tetapi kemungkinannya pada pasien yang masih muda harus dipertimbangkan.
Pengobatan yang lazim pada kedua keadaan ini adalah pembedahan untuk
mengangkat kandung empedu (kolesistektomi) dan/atau pengangkatan batu dari duktus
koledokus (koledokolitotomi), yang diharapkan dapat menyembuhkan pada sekitar 95 %
kasus.
Kalau diagnosis sudah ditegakkan dengan pasti, maka pada saat yang sesuai, sedini
mungkin, harus segera dilakukan operasi. Operasi tak perlu dilakukan pada waktu yang
canggung kecuali kalau terjadi suatu komplikasi. Tetapi operasi harus dilakukan pada saat
perawatan dirumah sakit itu juga. Meskipun biasanya kolesistisis akut dapat teratasi tanpa
operasi, kemungkinan kolesistektomi masih dapat dilakukan sesuai pertimbangan dikemudian
hari, tetapi penundaan tersebut akan memperpanjang lama penyakit tanpa ada keuntungannya
yang memadai. Tetapi masih ada fleksibilitas, dan kecuali itu harus dipertimbangkan juga
keadaan kerja, sosial dan faktor-faktor lain berkenaan dengan pasien yang bersangkutan.
Kalau diagnosis belum jelas atau kalau keadaan umum pasien buruk maka sementara
dapat dilaksanakan penanganan sesuai dengan apa yang diperkirakan sampai diagnosis
ditegakkan atau gangguan yang berkaitan diperbaiki.
Pasien yang menderita empiema atau perforasi merupakan keadaan darurat yang
sesungguhnya dan operasi harus dilangsungkan dengan segera. Kolesistitis emfisema (infeksi
anerobik yang menimbulkan gelembung udara didalam dinding dan lumen kandung empedu)
merupakan suatu bentuk kolesistitis virulen dan harus segera ditangani dengan operasi yang
mendesak.
KOLEDOKOLITIASIS DAN KOLANGITIS
Sekitar 15 % penderita kolelitiasis, batu empedu keluar dari kandung empedu melalui
duktus sistikus dan kemudian masuk kedalam duktus koledokus. Batu-batu juga mungkin
terbentuk didalam saluran duktus koledokus sendiri. Kadangkala ini disebabkan karena stasis
yang terjadi dalam duktus koledokus, tetapi ini merupakan suatu perkecualian yang jarang
sekali terjadi. Batu dapat melewati ampula Vater menuju ke dalam duodenum, atau dapat
juga bertahan di dalam ampula sehingga menimbulkan penyumbatan.
Sekitar 50 % penderita koledokolitiasis tak memperlihatkan gejala-gejala yang ada
kaitannya dengan duktus koledokus. Pada 50 % yang lain koledokolitiasis dapat
menyebabkan kolik empedu, kolangiotis, ikterus obstruktif, pankreatitis atau kombinasi
keadaan tersebut diatas.
Episode kolik disebabkan karena tersumbatnya duktus koledokus oleh batu, yang
berlangsung intermiten. Episode ini serupa dengan serangan-serangan yang tampak pada
penderita kolesistitis kronik. Kalau batu masuk kedalam ampula, atau kalau tergelincir keatas
masuk ke duktus sehingga tak ada penyumbatan, maka rasa nyeri itu mereda. Kalau
penyumbatan terus berlangsung, maka rasa sakit akibat peregangan saluran empedu terus
berlanjut.
Kolangitis adalah infeksi pada cabang-cabang saluran empedu. Ada tiga buah
persyaratan; bakteria, penyumbatan dan tekanan yang meningkat. Kolangitis paling sering
disebabkan oleh koledokolitiasis, meskipun ada pula jenis-jenis penyumbatan saluran lainnya
yang mungkin menjadi pangkal penyebabnya. Akibat refluks kolangiovenosa bakteri dari
saluran empedu yang tersumbat kedalam sirkulasi vena hepatika, maka timbul septikemia.
Gejala klasik kolangitis (trias Chargot) adalah demam dan mengigil, ikterus dan kolik
empedu, meskipun pada banyak pasien kompleks gejala-gejala ini tak dialami secara
keseluruhan. Kalau kolangitis sangat berat (kolangitis supuratif akut), maka dapat terjadi
hipotensi dan gangguan mental. Juga terjadi leukositosis.
Ikterus merupakan kelainan yang paling nyata pada beberapa penderita
koledokolitiasis. Riwayat medis yang menyatakan adanya kolik empedu atau kolangitis
merupakan bukti yang kuat bagi penentuan diagnosis tersebut, tetapi meskipun tak ada
sejarah medis demikian tak tak dapat dikesampingkan kemungkinan terjadinya penyumbatan
oleh batu empedu. Ikterus yang berfluktuasi akibat penyumbatan intermiten sering terjadi
pada koledokolitiasis, Kandung empedu biasanya tak melebar karena dindingnya menebal
karena radang kronik, berbeda dengan dilatasi yang nyata terlihat pada penyumbatan
neoplastik duktus koledokus.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Urine
Adanya bilirubinuria merupakan tanda yang dini dari hepatitis virus dan hepatitis
akibat obat-obatan. Tidak adanya urobilinogen menunjukkan obstruksi total pada duktus
choledokus, dan bila ini terjadi lebih lama dari 7 hari maka menunjukkan kemungkinan
adanya obstruksi lengkap yang dapat disebabkan oleh keganasan. Urobilinogen positif
dengan tes bilirubin negatif dapat menunjukkan kemungkinan pasien menderita ikterus
hemolitik.
Tinja
Tinja yang akolis dapat terjadi obstruksi pada traktus biliaris. Adanya darah
tesembunyi dalam tinja mungkin terjadi pada karsinoma ampulla vaterii atau karsinoma dari
traktus digestivus atau juga pada penderita sirosis dengan hipertensi portal.
Tes Biokimia
Kadar serum bilirubin menentukan berat ringannya ikterus. Kenaikan yang sangat
tinggi pada bilirubin tidak berkonjungasi (indirect) terdapat pada ikterus hemolitik,
sedangkan kenaikan yang tinggi pada bilirubin konjungasi (direct) terdapat pada ikterus
obstruktiva. Serum alkali fosfatase lebih besar dari 30 KA atau lebih besar dari 10 Bodansky
Units menunjukkan obstruksi biliaris, bilamana tidak ada penyakit pada tulang. Kenaikan
tersebut juga dapat dijumpai pada penderfta sirosis dengan sedikit ikterus.
Perubahan kadar albumin dan kenaikan globulin biasanya terdapat pada penyakit
ikterus hepatoseluler. Pemeriksaan elektroforese adalah penting. Kadar serum albumin yang
normal dengan kenaikan alfa 2 dan beta globulin pada ikterus kolestatik, yang bertentangan
dengan albumin yang menurun dan kenaikan gamma globulin yang terdapat pada ikterus
hepatoseluler.
Hematologi
Jumlah leukosit yang rendah dengan limfositosis relatif terdapat pada ikterus
hepatoseluler. Lekositosis polimorf mungkin terdapat pada hepatitis virus yang sangat berat.
Lekositosis dapat dijumpai pada ikterus obstruktiva dengan kolangitis akut atau pada
penyakit dengan keganasan.
Bila waktu protrombin memanjang, perlu diberi vitamin K, 10 mg tiap hari, dan bila
dalam 3 hari normal kembali maka menunjukkan adanya ikterus obstruktiva, sedangkan pada
ikterus hepatoseluler mengalami sedikit perubahan.
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak spesifik untuk mendiagnosis
Choledocolithiasis. Leukositosis merupakan indikasi infeksi atau inflamasi, tapi hasil ini
tidak spesifik. Peningkatan serum bilirubin total dan direk mengindikasikan adanya obstruksi
pada duktus koledoktus. Sekitar 60% pasien Choledocolithiasis memiliki serum bilirubin
direk lebih dari 3 mg/dl. Serum amilase dan lipase meningkat pada pankreatitis akut.
Peningkatan alkali fosfatase dan gamma-glutamil transpeptidase dapat memprediksikan
adanya batu pada duktus koledoktus. Protrombin time meningkat pada pasien prolonged
Choledocolithiasis. SGOT dan SGPT meningkat pada pasien dengan komplikasi cholangitis,
pankreatitis, atau keduanya. Kultur darah memberikan hasil positif pada 30-60% pasien
cholangitis.
Pencitraan
Sebagai pemeriksaan rutin perlu dibuat foto toraks, terutama untuk melihat apakah
terdapat peninggian dan gambaran yang ireguler dari diafragma kanan. Pada penderita
dengan hepatomegali yang diduga karena sirosis hati, perlu dibuat foto esofagus, untuk
melihat apakah ada varises esofagus.
Pada penderita yang diduga dengan ikterus kolestatik, perlu dibuat kolesistografi. Ada
beberapa cara kolesistografi, diantaranya indirect dan direct. Yang termasuk direct ialah:
percutaneus transhepatic cholangiography, kolangiografi laparoskopik dan sirurgis
kolangiografi.
Pencitraan yang dapat digunakan dalam menunjang diagnosis Choledocolithiasis yang
dapat digunakan adalah transabdominal USG, endoscopic USG, CT-scan, MRI, Endoscopic
Retrograde Cholangiopancreography (ERCP) , dan Percutaneous Transhepatic
Cholangiography (PTC). Cholangiography adalah Golden Standart untuk menegakkan
diagnosis batu pada duktus koledoktus.
Pengobatan
Penderita koledokolitiasis harus dievaluasi fungsi hatinya. Masa protrombin yang
memanjang harus diobati dengan vitamin K yang diberikan parenteral sebelum dilakukan
operasi. Koledokolitiasis asimtomatik dapat dideteksi dengan palpasi adanya batu atau
dengan kolangiografi yang dapat memperagakan adanya batu dalam duktus koledokus pada
waktu kolesistektomi. Pengobatan medis dari kolelithiasis dapat dengan cara melarutkan
batu empedu kolesterol dengan minum asam kenodeoksikolat sedang dalam pemantauan.
Sampai sekarang asam kenodeoksikolat tampaknya dapat melenyapkan batu pada sekitar
sepertiga penderita, tetapi akibat sampingannya serta konsekwensi jangka panjang
(pembentukan batu baru kalau pengobatan dihentikan) masih sedang dievaluasi. Pengobatan
adalah kolesistektomi dan koledokolitotomi. Sejumlah kecil pasien perlu dioperasi ulang
untuk mengeluarkan batu dalam duktus koledokus. Kolik empedu yang diakibatkan karena
penyumbangan duktus koledokus oleh batu empedu, ditangani dengan kolesistektomi dan
koledokolitotomi. Kolangitis akut biasanya memberi respons terhadap antibiotika IV, yang
harus diarahkan melawan bakteri aerobik dan anaerobik gram-negatif. Operasi darurat
dilakukan kalau pasien masih belum memperlihatkan perbaikan. Kalau episode akut mereda,
direncanakan operasi elektif.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Choledocolithiasis dapat bersifat non-surgical atau surgical. Modalitas
yang dapat digunakan dalam terapi non-surgical adalah ERCP, percutaneous extraction, dan
ESWL (Extracorporeal Shock Wave Litotripsy). Sedangkan terapi surgical adalah open
choledochotomy, transcystic exploration, drainage procedures, cholecystectomy.
Medikamentosa yang dapat digunakan berupa (1) antibiotik—sebagai profilaksis ataupun
terapi bila terbukti terdapat infeksi, (2) agen H-2 antagonist, sukralfat, dan proton pump
inhibitor—profilaksis terhadap stress ulcer. Antibiotik intravena yang digunakan dalam
terapi cholangitis adalah derivat penisilin (misal piperasilin) untuk bakteri gram-negatif, atau
sefalosporin generasi kedua atau ketiga (misal seftazidim, seftriakson, sefotaksim) untuk
bakteri gram-negatif, ampisilin untuk bakteri gram positif, dan metronidazol untuk bakteri
anaerob. Beberapa penelitian melaporkan penggunaan golongan kuinolon (misal
siprofloksasin, levofloksasin) atau kotrimoksazol (SMZ-TMP) sebagai terapi yang efektif
recurrent cholangitis.
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidayat, de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. 560-576. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta; 2005
Bellows, C.F. www.aafp.org/afp. Management of Gallstone. 2005
Allen, Jeff. www. E-Medicine. Com. Cholelithiasis. 2005
Myceck, M.J. Farmakologi. Edisi 2. 309. Widya Medika. Jakarta; 2001
_____________. Kamus Saku Kedoteran Dorland. Edisi 25. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta; 1998
Holzbach, T.R. www.karger.ch. Newer Pathogenetic Concepts In Cholesterol Gallstone
Formation: A Unitary Hypothesis. 1997
Isselbacher et al. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi 13. 1688-
1693. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta; 1995
Price, S.A. Patofisiologi. Jilid 1. Edisi 4. 453-454. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta;
1995
LAPORAN KASUS
Kolelitiasis dan Kolesistisis
(IKTERUS OBSTRUKTIF)
Oleh :
Audia Nizhma Nabila K.
2007730019
Pembimbing :
Dr. H. Adriansyah, Sp.B
TUGAS KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU BEDAHRUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA
CEMPAKA PUTIH 2011