Post on 07-Aug-2015
BAB I
PENDAHULUAN
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita yang
bersangkutan berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang
gawat. Keadaan gawat dapat terjadi apabila kehamilan ektopik terganggu.1
Kehamilan ektopik merupakan keadaan emergensi yang menjadi penyebab
kematian maternal selama kehamilan trimester pertama, karena janin pada
kehamilan ektopik secara nyata bertanggung jawab terhadap kematian ibu, maka
para dokter menyarankan untuk mengakhiri kehamilan.2 Hal yang perlu diingat
ialah bahwa pada setiap wanita dalam masa reproduksi dengan gangguan atau
keterlambatan haid yang disertai dengan nyeri perut bagian bawah, perlu
difikirkan dugaan adanya kehamilan ektopik terganggu.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Definisi
Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai setiap kehamilan yang terjadi
di luar kavum uteri, yaitu bila sel telur yang dibuahi berimplantasi dan
tumbuh di luar endometrium kavum uteri.2 Kehamilan ekstrauterin tidak
sinonim dengan kehamilan ektopik karena kehamilan pada pars interstitialis
tuba dan kanalis servikalis masih termasuk dalam uterus tetapi jelas bersifat
ektopik.1
Gambar 2. Lokasi kehamilan Ektopik3
1.2. Epidemiologi
Frekuensi dari kehamilan ektopik dan kehamilan intrauteri dalam satu
konsepsi yang spontan terjadi dalam 1 dalam 30.000 atau kurang. Angka
kehamilan ektopik per 1000 diagnosis konsepsi, kehamilan atau kelahiran
hidup telah dilaporkan berkisar antara 2,7 hingga 12,9. Angka kejadian
kehamilan ektopik dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Diantara faktor-
faktor yang terlibat adalah meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi dalam
rahim, penyakit radang panggul, usia ibu yang lanjut, pembedahan pada tuba,
dan pengobatan infertilitas dengan terapi induksi superovulasi.2
Angka kejadian kehamilan ektopik di Amerika Serikat meningkat
dalam dekade terakhir yaitu dari 4,5 per 1000 kehamilan pada tahun 1970
menjadi 19,7 per 1000 kehamilan pada tahun 1992. Kehamilan ektopik masih
menjadi penyebab kematian utama pada ibu hamil di Kanada yaitu berkisar
4% dari 20 kematian ibu pertahun.6 Pada tahun 1980-an, kehamilan ektopik
menjadi komplikasi yang serius dari kehamilan, terhitung sebesar 11%
kematian maternal terjadi di Amerika Serikat.2
Di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta angka kejadian kehamilan ektopik
pada tahun 1987 ialah 153 di antara 4.007 persalinan atau 1 di antara 26
persalinan.1,5
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur
antara 20-40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Frekuensi kehamilan
ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0-14,6%.1
Sekurangnya 95 % implantasi ektopik terjadi di tuba Fallopii. Di tuba
sendiri, tempat yang paling sering adalah pada ampulla, kemudian berturut-
turut pada pars ismika, infundibulum dan fimbria, dan pars intersisialis.
Implantasi yang terjadi di ovarium, serviks, atau cavum peritonealis jarang
ditemukan.2
1.3. Faktor Resiko
Ada berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan kehamilan
ektopik. Namun kehamilan ektopik juga dapat terjadi pada wanita tanpa
faktor risiko.1 Lebih dari setengah kehamilan ektopik yang berhasil
diidentifikasi ditemukan pada wanita tanpa ada faktor resiko.6
Faktor risiko kehamilan ektopik adalah: 1,3
1. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya.
Merupakan faktor risiko paling besar untuk kehamilan ektopik. Angka
kekambuhan sebesar 15% setelah kehamilan ektopik pertama dan meningkat
sebanyak 30% setelah kehamilan ektopik kedua.3
2. Penggunaan kontrasepsi spiral dan pil progesteron.
Kehamilan ektopik meningkat apabila ketika hamil masih menggunakan
kontrasepsi spiral (3-4%). Pil yang mengandung hormon progesteron juga
meningkatkan kehamilan ektopik karena dapat mengganggu pergerakan sel
rambut silia di saluran tuba yang membawa sel telur yang sudah dibuahi
untuk berimplantasi ke dalam rahim.3
3. Kerusakan dari saluran tuba
Faktor dalam lumen tuba:1
1) Endosalpingitis dapat menyebabkan lumen tuba menyempit atau
membentuk kantong buntu akibat perlekatan endosalping.
2) Pada Hipoplasia uteri, lumen tuba sempit dan berkeluk-keluk dan hal ini
disertai gangguan fungsi silia endosalping.
3) Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tak sempurna dapat menjadi sebab
lumen tuba menyempit.
Faktor pada dinding tuba:1
1) Endometriosis tuba dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi
dalam tuba.
2) Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan
telur yang dibuahi di tempat itu.
Faktor di luar dinding tuba:1
1) Perlekatan peritubal dengan ditorsi atau lekukan tuba dapat menghambat
perjalanan telur.
2) Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba.
Faktor lain:1
1) Migrasi luar ovum yaitu perjalanan dari ovarium kanan ke tuba kiri atau
sebaliknya. Hal ini dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke
uterus, pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan
implantasi prematur.
2) Fertilisasi in vitro.
1.4. Patologi
Proses implantasi ovum yang dibuahi yang terjadi di tuba pada
dasarnya sama dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara
kolumner atau interkolumner. Implantasi secara kolumner yaitu telur
berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur
selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati
secara dini dan kemudian diresorpsi. Pada nidasi secara interkolumner telur
bernidasi antara dua jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka
telur dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai
desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di
tuba tidak sempurna, dengan mudah vili korialis menembus endosalping dan
masuk ke dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan
pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa
faktor, seperti tempat implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya
perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas.1
Di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus
luteum graviditas dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek.
Endometrium dapat pula berubah menjadi desidua. Setelah janin mati,
desidua dalam uterus mengalami degenerasi dan kemudian dikeluarkan
berkeping-keping atau dilepaskan secara utuh. Perdarahan pervaginam yang
dijumpai pada kehamilan ektopik terganggu berasal dari uterus dan
disebabkan oleh pelepasan desidua yang degeneratif.1
Tuba bukanlah tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi, sehingga
tidak mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian besar
kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai 10 minggu.
Terdapat beberapa kemungkinan mengenai nasib kehamilan dalam tuba
yaitu:1
1) Hasil konsepsi mati dini dan diresorpsi
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati
karena vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorpsi total.
Dalam keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa dan haidnya
2) Terlambat untuk beberapa hari.
Abortus ke dalam lumen tuba Perdarahan yang terjadi karena
pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh villi koriales pada dinding
tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari dinding tersebut
bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat
terjadi sebagian atau seluruhnya. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dan
selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh
darah ke arah ostium tuba abdominale. Perdarahan yang berlangsung terus
menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan (Hematosalping) dan
selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba,
berkumpul di kavum douglas dan akan membentuk hematokel retrouterina.
3) Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan
biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstitialis
terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan
ruptur ialah penembusan villi koriales ke dalam lapisan muskularis tuba
terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena
trauma ringan. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui
ostium tuba abdominale. Bila ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder
dapat terjadi. Dalam hal ini, dinding tuba yang telah menipis oleh invasi
trofoblas, pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur
terjadi di arah ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter
antara 2 lapisan ligamentum tersebut. Jika janin hidup terus, dapat terjadi
kehamilan intraligamenter.
Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba,
tetapi bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi
dikeluarkan dari tuba. Nasib janin bergantung pada tuanya kehamilan dan
kerusakan yang diderita. Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorpsi
seluruhnya, dan bila besar dapat diubah menjadi litopedion.
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh
kantong amnion dan dengan plasenta masih utuh kemungkinan tumbuh
terus dalam rongga perut, sehingga terjadi kehamilan ektopik lanjut atau
kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan
bagi janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan
sekitarnya misalnya ke sebagian uterus, ligamentum latum, dasar panggul
dan usus.
1.5. Jenis Kehamilan Ektopik
1. Kehamilan Pars Interstisialis Tuba
Kehamilan ektopik ini terjadi bila ovum bernidasi pada pars
interstisialis tuba. Keadaan ini jarang terjadi dan hanya satu persen dari
semua kehamilan tuba. Rupture pada keadaan ini terjadi pada kehamilan
lebih tua, dapat mencapai akhir bulan keempat. Perdarahan yang terjadi
sangat banyak dan bila tidak segera dioperasi akan menyebabkan
kematian.1
Tindakan operasi yang dilakukan adalah laparatomi untuk
membersihkan isi kavum abdomen dari darah dan sisa jaringan konsepsi
serta menutup sumber perdarahan dengan melakukan irisan baji (wegde
resection) pada kornu uteri dimana tuba pars interstisialis berada.1
2. Kehamilan ektopik ganda
Sangat jarang kehamilan ektopik berlangsung bersamaan dengan
kehamilan intrauterine. Keadaan ini disebut kehamilan ektopik ganda
(combined ectopic pregnancy). Frekuensinya berkisar 1 di antara 15.000 –
40.000 persalinan. Di Indonesia sudah dilaporkan beberapa kasus.1
Pada umumnya diagnosis kehamilan dibuat pada waktu operasi
kehamilan ektopik yang terganggu. Pada laparotomi ditemukan uterus
yang membesar sesuai dengan tuanya kehamilan dan 2 korpora lutea.1
3. Kehamilan Ovarial
Kehamilan ovarial primer sangat jarang terjadi. Diagnosis kehamilan
tersebut ditegakkan atas dasar 4 kriteria dari Spiegelberg, yakni:1
a. Tuba pada sisi kehamilan harus normal
b. Kantong janin harus berlokasi pada ovarium
c. Kantong janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovary
proprium
d. Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong
janin
Diagnosis yang pasti diperoleh bila kantong janin kecil dikelilingi
oleh jaringan ovarium dengan trofoblas memasuki alat tersebut. Pada
kehamilan ovarial biasanya terjadi rupture pada kehamilan muda dengan
akibat perdarahan dalam perut. Hasil konsepsi dapat pula mengalami
kematian sebelumnya sehingga tidak terjadi rupture, ditemukan benjolan
dengan berbagai ukuran yang terdiri atas ovarium yang mengandung
darah, vili korialis dan mungkin juga selaput mudigah.
4. Kehamilan servikal
Kehamilan servikal juga sangat jarang terjadi. Bila ovum
berimplantasi dalam kavum servikalis, maka akan terjadi perdarahan tanpa
nyeri pada kehamilan muda. Jika kehamilan berlangsung terus, serviks
membesar dengan ostium uteri eksternum terbuka sebagian. Kehamilan
servikal jarang melampaui 12 minggu dan biasanya diakhiri secara operatif
oleh karena perdarahan. Pengeluaran hasil konsepsi pervaginam dapat
menyebabkan banyak perdarahan, sehingga untuk menghentikan
perdarahan diperlukan histerektomi totalis.1
Paalman dan Mc ellin (1959) membuat kriteria klinik sebagai
berikut:1
a. Ostium uteri internum tertutup
b. Ostium uteri eksternum terbuka sebagian
c. Seluruh hasil konsepsi terletak dalam endoservik
d. Perdarahan uterus setelah fase amenore tanpa disertai rasa nyeri
e. Serviks lunak, membesar, dapat lebih besar dari fundus uteri, sehingga
terbentuk hour-glass uterus.
5. Kehamilan ektopik lanjut
Merupakan kehamilan ektopik dimana janin dapat tumbuh terus
karena mendapat cukup zat-zat makanan dan oksigen dari plasenta yang
meluaskan implantasinya ke jaringan sekitar misalnya ligamentum latum,
uterus, dasar panggul, usus dan sebagainya. Dalam keadaan demikian,
anatomi sudah kabur. Kehamilan ektopik lanjut biasanya terjadi sekunder
dari kehamilan tuba yang mengalami abortus atau ruptur dan janin
dikeluarkan dari tuba dalam keadaan masih diselubungi oleh kantung
ketuban dengan plasenta yang masih utuh yang akan terus tumbuh terus di
tempat implantasinya yang baru.5
Angka kejadian kehamilan ektopik lanjut di RSCM, Jakarta dari
tahun 1967 – 1972 yaitu 1 di antara 1065 persalinan. Berbagai penulis
mengemukakan angka antara 1 : 2000 persalinan sampai 1 : 8500
persalinan.5
1.6. Gambaran Klinik
Gambaran klinik kehamilan tuba yang belum terganggu tidak khas
dan penderita maupun dokter biasanya tidak mengetahui adanya kelainan
dalam kehamilan, sampai terjadinya abortus tuba atau ruptur tuba.5
1. Kehamilan ektopik belum terganggu
Kehamilan ektopik yang belum terganggu atau belum mengalami
ruptur sulit untuk diketahui, karena penderita tidak menyampaikan keluhan
yang khas. Amenorea atau gangguan haid dilaporkan oleh 75- 95%
penderita. Lamanya amenore tergantung pada kehidupan janin, sehingga
dapat bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenore karena
kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Tanda-tanda kehamilan
muda seperti nausea dilaporkan oleh 10-25% kasus.5
Di samping gangguan haid, keluhan yang paling sering disampaikan
ialah nyeri di perut bawah yang tidak khas, walaupun kehamilan ektopik
belum mengalami ruptur. Kadang-kadang teraba tumor di samping uterus
dengan batas yang sukar ditentukan. Keadaan ini juga masih harus
dipastikan dengan alat bantu diagnostik yang lain seperti ultrasonografi
(USG) dan laparoskopi.5
Mengingat bahwa setiap kehamilan ektopik akan berakhir dengan
abortus atau ruptur yang disertai perdarahan dalam rongga perut, maka
pada setiap wanita dengan gangguan haid dan setelah diperiksa dicurigai
adanya kehamilan ektopik harus ditangani dengan sungguh-sungguh
menggunakan alat diagnostik yang ada sampai diperoleh kepastian
diagnostik kehamilan ektopik karena jika terlambat diatasi dapat
membahayakan jiwa penderita.5
2. Kehamilan ektopik terganggu
Gejala dan tanda kehamilan tuba tergangu sangat berbeda-beda dari
perdarahan banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya
gejala yang tidak jelas. Gejala dan tanda bergantung pada lamanya
kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan,
derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan umum penderita sebelum
hamil.1
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis yang mendadak
atau akut biasanya tidak sulit. Nyeri merupakan keluhan utama pada
kehamilan ektopik terganggu (KET). Pada ruptur tuba, nyeri perut bagian
bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan
yang menyebabkan penderita pingsan, tekanan darah dapat menurun dan
nadi meningkat serta perdarahan yang lebih banyak dapat menimbulkan
syok, ujung ekstremitas pucat, basah dan dingin. Rasa nyeri mula-mula
terdapat dalam satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke dalam rongga perut,
rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau keseluruh perut bawah dan bila
membentuk hematokel retrouterina menyebabkan defekasi nyeri.1
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada
kehamilan ektopik terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin dan
berasal dari kavum uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan dari uterus
biasanya tidak banyak dan berwarna coklat tua. Frekuensi perdarahan
ditemukan dari 51-93%. Perdarahan berarti gangguan pembentukan Hcg
(human chorionic gonadotropin).1
Yang menonjol ialah penderita tampak kesakitan, pucat dan pada
pemeriksaan ditemukan tanda-tanda syok serta perdarahan rongga perut.
Pada pemeriksaan ginekologik ditemukan serviks yang nyeri bila
digerakkan dan kavum Douglas yang menonjol dan nyeri raba.5 Pada
abortus tuba biasanya teraba dengan jelas suatu tumor di samping uterus
dalam berbagai ukuran dengan konsistensi agak lunak. Hematokel
retouterina dapat diraba sebagai tumor di kavum Douglas.1
Kesulitan diagnosis biasanya terjadi pada kehamilan ektopik
terganggu jenis atipik atau menahun. Kelambatan haid tidak jelas, tanda
dan gejala kehamilan muda tidak jelas, demikian pula nyeri perut tidak
nyata dan sering penderita tampak tidak terlalu pucat. Hal ini dapat terjadi
apabila perdarahan pada kehamilan ektopik yang terganggu berlangsung
lambat. Dalam keadaan yang demikian, alat bantu diagnostik sangat
diperlukan untuk memastikan diagnosis.5
1.7. Diagnosis
Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik
belum terganggu demikian besarnya sehingga sebagian besar penderita
mengalami abortus tuba atau ruptur ruba sebelum keadaan menjadi jelas. Alat
bantu diagnostik yang dapat digunakan ialah ultrasonografi (USG),
laparoskopi atau kuldoskopi.1
Anamnesis : haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu, dan
kadang-kadang terdapat gejala subyektif kehamilan muda.1 Nyeri abdominal
terutama bagian bawah dan perdarahan pervaginam pada trimester pertama
kehamilan merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke diagnosis
kehamilan ektopik. Gejala-gejala nyeri abdominal dan perdarahan
pervaginam tidak terlalu spesifik atau juga sensitif.2
Pemeriksaan umum : penderita tampak kesakitan dan pucat. Pada
perdarahan dalam rongga perut tanda-tanda syok dapat ditemukan. Pada jenis
tidak mendadak perut bagian bawah hanya sedikit menggembung dan nyeri
tekan.1 Kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak dapat didiagnosis
secara tepat semata-mata atas adanya gejala-gejala klinis dan pemeriksaan
fisik.2
Pemeriksaan ginekologi: tanda-tanda kehamilan muda mungkin
ditemukan. Pergerakan serviks menyebabkan rasa nyeri. Bila uterus dapat
diraba, maka akan teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba tumor
di samping uterus dengan batas yang sukar ditentukan. Kavum Douglas yang
menonjol dan nyeri-raba menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Suhu
kadang-kadang naik sehingga menyukarkan perbedaan dengan infeksi
pelvik.1
Hampir semua kehamilan ektopik didiagnosis antara kehamilan 5 dan
12 minggu. Identifikasi dari tempat implantasi embrio lebih awal dari pada
kehamilan 5 minggu melampaui kemampuan teknik-teknik diagnostik yang
ada. Pada usia kehamilan 12 minggu, kehamilan ektopik telah
memperlihatkan gejala-gejala sekunder terhadap terjadinya ruptur atau uterus
pada wanita dengan kehamilan intrauteri yang normal telah mengalami
pembesaran yang berbeda dengan bentuk dari kehamilan ektopik.2
Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel
darah merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik
terganggu, terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut.
Pada kasus tidak mendadak biasanya ditemukan anemia, tetapi harus diingat
bahwa penurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam.1 Perhitungan
leukosit secara berturut menunjukkan adanya perdarahan bila leukosit
meningkat (leukositosis). Untuk membedakan kehamilan ektopik dari infeksi
pelvik dapat diperhaikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang lebih dari
20.000 biasanya menunjukkan infeksi pelvik.1
Penting untuk mendiagnosis ada tidaknya kehamilan. Cara yang paling
mudah ialah dengan melakukan pemeriksaan konsentrasi hormon ß human
chorionic gonadotropin (ß-hCG) dalam urin atau serum. Hormon ini dapat
dideteksi paling awal pada satu minggu sebelum tanggal menstruasi
berikutnya. Konsentrasi serum yang sudah dapat dideteksi ialah 5 IU/L,
sedangkan pada urin ialah 20–50 IU/L.6 Tes kehamilan negatif tidak
menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu karena kematian
hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas menyebabkan human chorionic
gonadotropin menurun dan menyebabkan tes negatif.1 Tes kehamilan positif
juga tidak dapat mengidentifikasi lokasi kantung gestasional. Meskipun
demikian, wanita dengan kehamilan ektopik cenderung memiliki level ß-hCG
yang rendah dibandingkan kehamilan intrauterin.6
Kuldosentesis : ialah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah
terdapat darah dalam kavum Douglas. Cara ini sangat berguna untuk
membuat diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Teknik kuldosentesis yaitu:
a. Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.
b. Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik
c. Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan tenakulum,
kemudian dilakukan traksi ke depan sehingga forniks posterior
ditampakkan
d. Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam kavum douglas dan dengan
semprit 10 ml dilakukan pengisapan.
Hasil positif bila dikeluarkan darah berwarna coklat sampai hitam yang tdak
membeku atau berupa bekuan-bekuan kecil. Hasil negatif bila cairan yang
dihisap berupa :
a. Cairan jernih yang mungkin berasal dari cairan peritoneum normal atau
kista ovarium yang pecah.
b. Nanah yang mungkin berasal dari penyakit radang pelvis atau radang
appendiks yang pecah (nanah harus dikultur).
b. Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku,
darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.
Ultrasonografi : Cara yang paling efisien untuk mengeluarkan adanya
kehamilan ektopik adalah mendiagnosis suatu kehamilan intrauteri. Cara yang
terbaik untuk mengkonfirmasi satu kehamilan intrauteri adalah dengan
menggunakan ultrasonografi. Sensitivitas dan spesifisitas dari diagnosis
kehamilan intrauteri dengan menggunakan modalitas ini mencapai 100%
pada kehamilan diatas 5,5 minggu. Sebaliknya identifikasi kehamilan ektopik
dengan ultrasonografi lebih sulit (kurang sensitif) dan kurang spesifik.2
Gambar 3. USG kehamilan ektopik6
Laparoskopi : hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir
untuk kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain
meragukan. Melalui prosedur laparoskopik, alat kandungan bagian dalam
dapat dinilai. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum
Douglas dan ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis
mempersulit visualisasi alat kandungan tetapi hal ini menjadi indikasi untuk
dilakukan laparotomi.
1.8. Tatalaksana
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi.
Dalam tindakan demikian beberapa hal perlu diperhatikan dan
dipertimbangkan yaitu :
1. kondisi penderita saat itu
2. keinginan penderita akan fungsi reproduksinya
3. lokasi kehamilan ektopik
4. kondisi anatomik organ pelvis
Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu dilakukan
salpingektomi pada kehamilan tuba atau dapat dilakukan pembedahan
konservatif yaitu hanya dilakukan salpingostomi atau reanastomosis tuba.
Apabila kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan syok, lebih baik
dilakukan salpingektomi.
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer pada kehamilan
ektopik terutama pada KET dimana terjadi abortus atau ruptur pada tuba.
Penatalaksanaan pembedahan sendiri dapat dibagi atas dua yaitu pembedahan
konservatif dan radikal. Pembedahan konservatif terutama ditujukan pada
kehamilan ektopik yang mengalami ruptur pada tubanya. Pendekatan dengan
pembedahan konservatif ini mungkin dilakukan apabila diagnosis kehamilan
ektopik cepat ditegakkan sehingga belum terjadi ruptur pada tuba.
a. Salpingotomi linier
Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan yang ideal
dilakukan ada kehamilan tuba yang belum mengalami ruptur. Karena lebih
dari 75% kehamilan ektopik terjadi pada 2/3 bagian luar dari tuba. Prosedur
ini dimulai dengan menampakkan, mengangkat, dan menstabilisasi tuba. Satu
insisi linier dibuat diatas segmen tuba yang meregang. Produk kehamilan
dikeluarkan dengan hati-hati dari dalam lumen. Setiap sisa trofoblas yang ada
harus dibersihkan dengan melakukan irigasi pada lumen dengan
menggunakan cairan ringer laktat yang hangat untuk mencegah kerusakan
lebih jauh pada mukosa. Hemostasis yang komplit pada mukosa tuba harus
dilakukan, karena kegagalan pada tindakan ini akan menyebabkan perdarahan
postoperasi yang akan membawa pada terjadinya adhesi intralumen. Batas
mukosa kemudian ditutup dengan jahitan terputus, jahitan harus diperhatikan
hanya dilakukan untuk mendekatkan lapisan serosa dan lapisan otot dan tidak
ada tegangan yang berlebihan.
Gambar 4. Salpingostomi4
b. Reseksi segmental
Reseksi segmental dan reanastomosis end to end telah diajukan sebagai
satu alternatif dari salpingotomi. Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat
bagian implantasi. Tujuan lainnya adalah dengan merestorasi arsitektur
normal tuba. Hanya pasien dengan perdarahan yang sedikit dipertimbangkan
untuk menjalani prosedur ini. Mesosalping yang berdekatan harus diinsisi dan
dipisahkan dengan hati-hati untuk menghindari terbentuknya hematom pada
ligamentum latum. Jahitan seromuskuler dilakukan dengan menggunakan
mikroskop/loupe.
c. Salpingektomi
Salpingektomi total diperlukan apabila satu kehamilan tuba mengalami
ruptur, karena perdarahan intraabdominal akan terjadi dan harus segera
diatasi. Hemoperitonium yang luas akan menempatkan pasien pada keadaan
krisis kardiopulmunonal yang serius. Insisi suprapubik Pfannenstiel dapat
digunakan, dan tuba yang meregang diangkat. Mesosalping diklem berjejer
dengan klem Kelly sedekat mungkin dengan tuba. Tuba kemudian dieksisi
dengan memotong irisan kecil pada myometrium di daerah cornu uteri,
hindari insisi yang terlalu dalam ke myometrium. Jahitan matras angka
delapan dengan benang absorable 0 digunakan untuk menutup myometrium
pada sisi reseksi baji. Mesosalping ditutup dengan jahitan terputus dengan
menggunakan benang absorbable. Hemostasis yang komplit sangat penting
untuk mencegah terjadinya hematom pada ligamentum latum.
2. Medisinalis
Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan ultrasonografi
transvaginal, memungkinkan kita untuk membuat diagnosis kehamilan
ektopik secara dini. Keuntungan dari ditegakkannya diagnosis kehamilan
ektopik secara dini adalah bahwa penatalaksanaan secara medisinalis dapat
dilakukan. Penatalaksanaan medisinalis memiliki keuntungan yaitu kurang
invasif, menghilangkan risiko pembedahan dan anestesi, mempertahankan
fungsi fertilitas dan mengurangi biaya serta memperpendek waktu
penyembuhan.
Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum pecah
pernah dicoba ditangani menggunakan kemoterapi untuk menghindari
tindakan pembedahan. Kriteria kasus yang diobati dengan cara ini ialah:
1. Kehamian di pars ampularis tuba belum pecah
2. Diameter kantong gestasi = 4cm
3. Perdarahan dalam rongga perut =100 ml
4. Tanda vital baik dan stabil
Obat yang digunakan ialah methotreksat (MTX) 1 mg/kgBB i.v. dan
faktor sitrovorm 0,1 mg/kgBB i.m. berselang seling setiap hari selama 8 hari.
Methotrexate merupakan analog asam folat yang akan mempengaruhi sintesis
DNA dan multiplikasi sel dengan cara menginhibisi kerja enzim
Dihydrofolate reduktase. MTX ini akan menghentikan proliferasi trofoblas.
Pemberian MTX dapat secara oral, sistemik iv,im atau injeksi lokal dengan
panduan USG atau laparoskopi. Dari seluruh 6 kasus yang diobati, satu kasus
dilakukan salpingektomi pada hari ke-12 karena gejala abdomen akut,
sedangkan 5 kasus berhasil diobati dengan lain.1
Efek samping yang timbul tergantung dosis yang diberikan. Dosis yang
tinggi akan menyebabkan enteritis hemoragik dan perforasi usus, supresi
sumsum tulang, nefrotoksik, disfungsi hepar permanen, alopesia, dermatitis,
pneumonitis, dan hipersensitivitas. Pada dosis rendah akan menimbulkan
dermatitis, gastritis, pleuritis, disfungsi hepar reversibel, supresi sumsum
tulang sementara. Pemberian MTX biasanya disertai pemberian folinic acid
(leucovorin calcium atau citroforum factor) yaitu zat yang mirip asam folat
namun tidak tergantung pada enzim dihydrofolat reduktase. Pemberian folinic
acid ini akan menyelamatkan sel-sel normal dan mengurangi efek MTX pada
sel-sel tersebut. Sebelumnya penderita diperiksa dulu kadar hCG, fungsi
hepar, kreatinin, golongan darah. Pada hari ke-4 dan ke-7 setelah pemberian
MTX, kadar hCG diperiksa kembali. Bila kadar hCG berkurang 15% atau
lebih, dari kadar yang diperiksa pada hari ke-4 maka MTX tidak diberikan
lagi dan kadar hCG diperiksa setiap minggu sampai hasilnya negatif atau
evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan USG transvaginal setiap
minggu. Bila kadar hCG tidak berkurang atau sebaliknya meningkat
dibandingkan kadar hari ke-4 atau menetap selama interval setiap minggunya,
maka diberikan MTX 50 mg/m2 kedua.
Stoval dan Ling pada tahun 1993 melaporkan keberhasilan metoda ini
sebesar 94,3%. Selain dengan dosis tunggal, dapat juga diberikan multidosis
sampai empat dosis atau kombinasi dengan leucovorin 0,1 mg/kgBB.
Kontraindikasi pemberian MTX absolut adalah ruptur tuba, adanya
penyakit ginjal atau hepar yang aktif. Sedangkan kontraindikasi relatif adalah
nyeri abdomen.
1.9. Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan
diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Hellman dkk., (1971)
melaporkan 1 kematian diantara 826 kasus, Wilson dkk., (1971) melaporkan
1 kematian diantara 591 kasus. Akan tetapi bila pertolongan terlambat angka
kematian dapat tinggi. Sjahid dan Martohoesodo (1970) mendapatkan angka
kematian 2 dari 120 kasus. Sedangkan Tardjiman dkk., (1973) mendapatkan
angka kematian 4 dari 138 kehamilan ektopik.
Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat
bilateral. Sebagian perempuan menjadi steril setelah mengalami kehamilan
ektopik lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang berulang
dilaporkan antara 0-14,6%. Untuk perempuan dengan jumlah anak yang
sudah cukup, sebaiknya pada operasi dilakukan salpingektomi bilateralis dan
sebelumnya perlu mendapat persetujuan suami dan isteri.1
BAB III
PENYAJIAN KASUS
Nama : Ny. S
Umur : 41 tahun
Alamat : Jalan Medan Seri, Padang Tikar
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : IRT
No RM : 767780
Keluhan Utama : Nyeri perut
Riwayat penyakit Sekarang :
Nyeri perut sejak jam 18.00 tanggal 21.11.12. Nyeri perut dirasakan pada seluruh lapang
perut. Pertama kali nyeri perut dirasakan pada perut bawah, kemudian terasa pada seluruh
lapang perut. Kemudian diurut dukun jam 20.00 tanggal 21.11.12. Keluar darah dari jalan
lahir sejak jam 03.00 tanggal 22.11.12. Darah yang keluar sedikit-sedikit. Os juga
mengatakan kalau pundaknya terasa nyeri. Pasien menyangkal pernah menderita penyakit
serupa. Pasien juga menyangkal pernah menggunakan alat kontrasepsi. Pasien
menceritakan kalau ada keluarganya yang menderita sakit serupa.
Riwayat Perkawinan : Pernikahan ke 3. Pada tahun 2011
Riwayat Obstetrik : G: 4 P: 3 A: 0 M: 1
No. Tempat
Persalina
n
Tahun Hasil
Kehamilan
Jenis
Persalinan
Jenis
Kelamin
Berat
Badan
Keadaan
anak
1. Rumah
dengan
dukun
1992 Preterm Spontan Laki-
Laki
- Meninggal
umur 19
hari
2. Rumah
dengan
1993 Aterm Spontan Laki-laki - Hidup
dukun
3. Rumah
dengan
dukun
2000 Aterm Spontan Spontan - Hidup
4. Yang Ini 2012
Riwayat Penyakit/ Operasi yang Pernah Diderita:
Pasien menyangkal memiliki riwayat penyakit dan pasien menyatakan bahwa dirinya
belum pernah dioperasi.
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 23.11.12 Jam 13.20
Berat Badan : 50 Kg
Tinggi Badan :
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 104 kpm
Pernafasan : 24 kpm
Suhu : 36,5
Mata : Konjungtiva Anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-)
Jantung : S1 dan S2 (+), S3 dan S4 (-), murmur (-), gallop (-)
Paru : Suara nafas dasar (vesikular/vesikular), wheezing (-), rhonki (-)
Abdomen :
Pemerksaan luar :
Inspeksi : Perut tampak menegang, bekas luka (-)
Palpasi : Fundus uteri tak teraba, teraba masa pada abdomen kuadran,
nyeri tekan pada seluruh area abdomen (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+)
Pemeriksaan dalam : Tidak dilakukan
Laboratorium :
Tanggal/Jam 22.11.12/14.15 22.11.12/15.57 22.11.12/16.17
WBC 18,1 15,7 15,3
HGB 8,9 8,6 8,3
HCT 26 24,3 24,2
Diagnosis : KET + Anemia pada G4P3A0M1 H.10 Minggu
Prognosis :
Anak : Ad Malam
Ibu : Ad Bonam
Terapi :
RL + Ketorolak 20 tpm
HAES guyur
Cefotaxim
Pro Laparotomi
Follow Up
23 November 2012 jam 22.00 dilakukan tindakan operasi
Jenis Anestesi : General anestesi
Diagnosis pre operasi : Ruptur tuba pars ampularis dextra.
Laporan operasi
- Pasien dibaringkan di meja operasi
- Dilakukan a/antiseptik pada daerah operasi dan sekitarnya dengan alkohol dan
betadien
- Ditutupkan duk steril
- Dilakukan insisi pfanenstil
- Fascia diperlebar dengan gunting ke arah kranial dan kaudal
- Otot-otot dipisahkan secara tumpul ke kiri dan ke kanan, kemudian peritoneum
parietal dibuka, tampak darah bebas sekitar 700 cc
- Tampak uterus agak membesar.
- Tampak ruptur pada tuba falopi pars ampularis dan tampak janin.
- Janin dikeluarkan, jaringan sisa dibesihkan, dan darah di rongga peritoneum
dibersihkan.
- Peritoneum dijahit satu-satu dengan benang plain 2.0
- Fascia dijahit
- Otot dijahit jelujur terkunci dengan
- Subkutis dijahit subkutikuler.
FOLLOW UP
23.11.12. jam 00.00
S : Nyeri perut (+), Pusing (+), Pandangan kabur (+), nyeri bahu (-)
O: Kes: Somnolen KU: lemah TD: 120/90 mmHg, N: 92 kali/menit R: 24 kali/menit
Bising Usus (-), konjungtiva anemis (+/+)
A: Post Laparotomi KET pada P4A1M1 H 8 Minggu + Anemia, H.I
- RL + Ketorolak 20 tpm
- Ceftriaxon
- tranfusi sampai Hb 10
23. 11. 12
S : Nyeri perut (+), Perdarahan (-), flatus (-)
O: Kes: CM, KU: Lemah TD: 110/80 mmHg, N: 80 kali/menit R: 18 kali/menit, Hb: 8,6
konjungtiva anemis (+/+)
A: Post Laparotomi KET pada P4A1M1 H 8 Minggu + Anemia, H.I
P : - Obs TTV, KU,
- RL + Tramadol 20 tpm
- Ceftriaxon
24. 11. 12
S : Nyeri perut (+), Perdarahan dari jalan lahir (+) sedikit-sedikit.
O: Kes: CM, KU: Baik TD: 100/80 mmHg, N: 80 kali/menit R: 18 kali/menit,
konjungtiva anemis (+/+)
A: Post Laparotomi KET pada P4A1M1 H 8 Minggu + Anemia, H.II
P : - Obs TTV, KU,
- RL 20 tpm
26. 11. 12
S : Nyeri luka (-), Perdarahan dari jalan lahir (-).
O: Kes: CM, KU: Baik TD: 100/80 mmHg, N: 92 kali/menit R: 18 kali/menit
A: Post Laparotomi KET pada P4A1M1 H 8 Minggu + Anemia, H.IV
P : - Obs TTV, KU,
- Amoksilin
- Asam mefenamat
- Vit B1
27. 11. 12
S : Nyeri luka (-), Perdarahan dari jalan lahir (-).
O: Kes: CM, KU: Baik TD: 100/80 mmHg, N: 92 kali/menit R: 18 kali/menit
A: Post Laparotomi KET pada P4A1M1 H 8 Minggu + Anemia, H.V
P : - Obs TTV, KU,
- Pro tranfusi
28. 11. 12
S : Nyeri luka (-), Perdarahan dari jalan lahir (-).
O: Kes: CM, KU: Baik TD: 110/80 mmHg, N: 92 kali/menit R: 18 kali/menit
A: Post Laparotomi KET pada P4A1M1 H 8 Minggu + Anemia, H.VI
P : - Obs TTV, KU,
- Pro tranfusi
29. 11. 12
S : Nyeri luka (-), Perdarahan dari jalan lahir (-).
O: Kes: CM, KU: Baik TD: 110/80 mmHg, N: 88 kali/menit R: 18 kali/menit
A: Post Laparotomi KET pada P4A1M1 H 8 Minggu + Anemia, H.VII
P : - Obs TTV, KU,
- Pro tranfusi
30. 11. 12
S : Nyeri luka (-), Perdarahan dari jalan lahir (-).
O: Kes: CM, KU: Baik TD: 110/80 mmHg, N: 88 kali/menit R: 18 kali/menit
A: Post Laparotomi KET pada P4A1M1 H 8 Minggu + Anemia, H.VIII
P : - Obs TTV, KU,
- Pro tranfusi
Pemeriksaan Lab
Tanggal 23.11.12 26.11.12 29.11.12
WBC 13,2 6,5 8,2
HGB 7,3 7,3 3,9
HCT 26,6 39,7 41,3
BAB V
PEMBAHASAN
Diagnosis Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) ditegakkan dengan melihat
tanda dan gejala pada pasien serta pemeriksaan penunjang yang dilakukan. Pada
anamnesis didapatkan informasi yang mendukung kearah terjadinya KET antara lain
nyeri perut dan perdarahan pervaginam. Nyeri perut pertama kali dirasakan pada perut
kanan bawah yang semakin lama semakin menyebar hingga dirasakan ke seluruh lapang
perut. Nyeri timbul akibat terjadinya ruptur pada tuba. Rasa nyeri mula-mula terdapat
dalam satu sisi, tetapi kemudian rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau
keseluruh perut bawah akibat darah masuk ke dalam rongga perut. Nyeri pada
bahu disebabkan oleh darah pada rongga abdomen telah mengenai saraf nyeri di
subdiafragma. Tanda ini disebut tanda Kehr.
Perdarahan berupa bercak kehitaman merupakan tanda khas pada KET. Hal
ini merupakan akibat dari lepasnya sebagian desidua. Riwayat amenore 8 minggu
makin memperkuat diagnosis ke arah KET. Hal ini dibuktikan juga dengan tes
kehamilan yang memberikan hasil positif. Perut yang menegang merupakan
respon pasien terhadap nyeri abdomen yang dideritanya.
Pada pemeriksaan laboratorium menunjukan bahwa Hemoglobin darah yang
menurun dan leukosit yang meningkat. Hal ini menunjukan bahwa telah terjadi
perdarahan sehingga menunjang diagnosis KET.
Beberapa keadaan yang memberikan gambaran klinik yang hampir sama adalah
infeksi pelvik, abortus, ruptur korpus luteum, torsi kista ovarium dan appendisitis.
Keadaan-keadaan tersebut dapat disingkirkan karena:
Infeksi pelviks : biasanya timbul waktu haid dan jarang setelah mengalami amenore.
Nyeri perut bagian bawah dan tehanan yang dapat diraba pada pemeriksaan vaginal
pada umumnya bilateral. Leukositosis lebih tinggi dari kehamilan ektopik dan tes
kehamilan negatif.
Abortus iminens dan insipiens: perdarahan lebih banyak dan lebih merah sesudah
amenore, rasa nyeri yang lebih kurang berlokasi di daerah median dan bersifat mules.
Pada abortus tidak dapat diraba tahanan di samping atau di belakang uterus. Gerakan
serviks uteri tidak menimbulkan rasa nyeri.
Ruptur korpus luteum: peristiwa ini biasanya terjadi pada pertengahan siklus haid.
Perdarahan pervaginam tidak ada tes kehamilan negatif.
Torsi kista ovarium dan appendisitis: gejala dan tanda kehamilan muda, amenore, dan
perdarahan pervaginam biasanya tidak ada. Tumor pada kista ovarium lebih besar dan
lebih bulat daripada kehamilan ektopik. Pada appendisitis tidak ditemukan tumor dan
nyeri pada gerakan serviks tidak seberapa nyata seperti pada kehamilan ektopik. Nyeri
perut pada bagian bawah pada appendisitis terletak pada titik Mc Burney.
Penanganan awal pasien pada kasus ditujukan untuk menstabilkan hemodinamik
pasien. Ketika pasien datang, hasil pemeriksaan fisik memberi gambaran ancaman
gangguan hemodinamik, dibuktikan dengan peningkatan denyut nadi serta denyut nadi
yang teraba lemah, meskipun tekanan darah masih baik. Dengan melihat adanya ancaman
gangguan hemodinamik serta adanya kecurigaan terjadinya perdarahan aktif
intraabdominal, dikhawatirkan pasien akan jatuh pada kondisi syok hemoragik yang
disebabkan perdarahan aktif oleh karena itu pasien diberikan cairan dua jalur yang berisi
cairan HAES dan RL. Drip ketorolak diberikan untuk mengontrol nyeri.
Dalam kasus ini setelah kondisi hemodinamik pasien stabil, dilakukan operasi
laparotomi. Didapatkan robekan pada tuba falopi pars ampularis dextra. Pars ampularis
tuba palofi merupakan daerah nidasi yang paling sering terjadi pada kehamilan ektopik.
Daerah Dilakukan laparotomi dan parsial salpingektomi, yaitu melakukan eksisi bagian
tuba yang mengandung hasil konsepsi. Pada kasus ini dipilih parsial salpingektomi,
bukan salpingostomi karena resiko tindakan ini adalah kontrol perdarahan yang kurang
sempurna atau rekurensi. Indikasi dari salpingektomi antara lain sebagai berikut:
1. Kehamilan ektopik mengalami ruptur
2. Pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif
3. Terjadi kegagalan sterilisasi
4. Telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya pasien meminta
dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya
5. Pasien meminta dilakukan sterilisasi
6. Perdarahan berlajut pascasalpingotomi
7. Kehamilan tuba berulang
8. Kehamilan heterotopik
9. Masa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm
Setelah operasi selesai dikerjakan, perbaikan fungsi hemodinamik pasien terus
dilakukan. Dilakukan pemantauan terhadap hemoglobin darah dengan memeriksa Hb
pasien untuk menghindari terjadinya syok hipovolemik. Transfusi darah terus dilakukan
hingga kondisi hemodinamik pasien stabil.