Post on 27-Feb-2018
MAKA
KDA
ALAH PRO
KONTRIALAM PDAN I
PU
PE
OPOSAL O
IBUSI PENCAMPLIK
Sri Ra
Cut R
USAT SOKEBIJABADAN
ENGEMB
PERASIO
SEKTOAPAIANKASINY
Oleh:
SumaryanEdi Basun
Hastuti Suangga DityaRabiatul Ad
SIAL EKAKAN PE
PENELIBANGAN
2014
ONAL PEN
OR PERN TARGYA PAD
nto no uhartini a Yofa dawiyah
KONOMI ERTANIATIAN DAPERTAN
ELITIAN T
RTANIGET MDA SD
DAN AN AN NIAN
TA. 2014
IAN DGs
DGs
2
3
KONTRIBUSI SEKTOR PERTANIAN DALAM PENCAPAIAN TARGET MDGs DAN
IMPLIKASINYA PADA SDGs
Ringkasan
Sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals – MDGs)
akan berakhir Tahun 2015 dan akan dilanjutkan dengan Sustainable Development
Goals (SDGs). Sebagai kelanjutan MDGs maka modal dasar pencapaian SDGs
adalah pencapaian target MDGs. Agenda pokok SDGs adalah merampungkan
pencapaian target MDGs yang tersisa,meningkatkan kualitas pencapaian target
yang telah ada; dan terkait dengan mandat Rio+20 akan meningkatkan bobot
perhatian pada aspek sosial dan lingkungan hidup. Berprinsip pada sinergi sosial-
ekonomi-lingkungan, strategi pencapaian SDGs akan berbasis pendekatan
partisipatif pada proses perencanaan dan pelaksanaan yang bersifat bottom-up.
Pada dasarnya 8 sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development
Goals - MDGs) saling terkait dan strategi pencapaiannya membutuhkan
pendekatan multi disiplin dan lintas sektor yang terkoordinasikan secara sistematis
dan konsisten. Semua sektor berkontribusi, baik langsung maupun tidak langsung
dalam suatu konstelasi yang kompleks dan dinamis. Oleh karena itu manfaat
utama dari pengetahuan, data, informasi dan rekomendasi dari hasil kajian
empiris mengenai kontribusi suatu sektor dalam pencapaian MDGs adalah untuk
menyempurnakan kebijakan dan penentuan skala prioritas program/kegiatanpada
sektor tersebut; tetapi kurang relevan untuk dasar pertimbangan penentuan
alokasi anggaran antar sektor dalam kebijakan fiskal.
Adalah fakta bahwa dimensi ekonomi makin mendominasi nilai-nilai
peradaban modern. Mengacu fakta tersebut maka sasaran nomor 1 MDGs yaitu
eradikasi kemiskinan dan kelaparan seringkali dipandang sebagai epicentrum
sasaran MDGs.
Sektor pertanian adalah penghasil pangan. Sementara itu aktor utama
pertanian adalah petani serta buruh tani yanghampir semuanya tinggal di
pedesaan. Jumlahnya sangat besar dan secara umum tingkatkesejahteraannya
tertinggal darikelompok masyarakat yang lain. Oleh karena itu meskipun kontribusi
relatif sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) makin
4
rendah tetapi peran sektor ini sangat strategis, baik dalam pencapaian MDGs
maupun SDGs.
Sampai saat ini data dan informasi dari hasil penelitian/kajian empiris yang
mencerminkan kinerja/kontribusi sektor pertanian dalam pencapaian target MDGs
belum tersedia. Setidaknya jawaban atas sejumlah pertanyaan berikut belum
tersedia.Pertama,penurunan jumlah penduduk miskin komunitas petani dan
perbandingannya dengan penduduk pedesaan pada umumnya; serta variasinya
antar agroekosistem. Kedua, hubungan antara pertumbuhan sektor pertanian
wilayah dengan penurunan jumlah petani miskin. Ketiga, perkembangan
penyerapan tenaga kerja di pedesaan dan implikasinya terhadap pendapatan
petani serta variasinya antar agroekosistem. Keempat, hubungan antara status
perkembangan perekonomian desa dengan distribusi pendapatan.Kelima,
implikasinya terhadap strategi yang harus ditempuh dalam pencapaian SDGs.
Untuk kepentingan perumusan program, jawaban atas pertanyaan tersebut perlu
ditelusuri lebih lanjut sehingga diketahui faktor-faktor penjelasnya.
Penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas. Data
yang akan dianalisis terdiri dari atas data sekunder lingkup nasional dan tingkat
provinsi serta data primer dari hasil survey.Data sekunder yang akan dianalisis
adalah data SUSENAS dari dua atau tiga titik waktu, data perkembangan PDRB
setiap provinsi yang tersedia, dan data-data lainnya yang relevan yang akan
diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan dari instansi lain yang terkait. Data
primer yang akan dianalisis adalah data hasil survey kerjasama penelitian PSEKP –
JICA – IFPRI dan dari hasil survey yang akan dilakukan pada tahun ini.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada dasarnya misi pembangunan hampir semua negara konvergen dengan
misi Millenium Development Goals (MDGs) yang pasca 2015 akan dilanjutkan
dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Sebagai ilustrasi, agenda
kebijakan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin; distribusi pendapatan yang
5
lebih merata; pelestarian lingkungan; kesetaraan gender;perbaikan kesehatan
ibu;penurunan tingkat kematian anak;peningkatan akses kaum tertinggal pada
pendidikan;dan pemberantasan penyakit HIV, malaria, dan penyakit menular
lainnya adalah agenda pokok pembangunan yang dihadapi oleh hampir semua
negara, terutama negara-negara berkembang. Perbedaan antar negara pada
umumnya hanya terletak pada level dan implikasinya pada prioritas penanganan
dalam jangka pendek – menengah. Dengan kata lain upaya pencapaian target
MDGs tidak relevan jika dikaitkan dengan dengan motif pencitraan di gelanggang
internasional karena pada hakekatnya selaras dengan agenda pembangunan
nasional.
Menjelang 2015 hampir semua negara berkepentingan melakukan
akselerasi pencapaian MDGs.Pencapaian MDGs adalah modal dasar untuk
pembangunan milenium pasca 2015 yaitu SDGs. Sebanyak 192 negara sepakat
bahwa dalam SDGs terkandung muatan satu mandat hasil pertemuan The United
Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) yang diselenggarakan
di Rio de Janeiro pada Juni 2012. Tantangan utamanya adalah mencapai
pembangunan berkelanjutan melaluiperbaikan lingkungan hidup tanpa
mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial; sedangkan
strateginya berbasis partisipatif dengan pemberian bobot yang lebih besar pada
pendekatan bottom up. Mengingat bahwa SDGs pada dasarnya merupakan
kelanjutan dari MDGs maka pembelajaran dari MDGs sangat berharga perumusan
sasaran, indikator, target, dan strategi pencapaian SDGs. Pembelajaran tersebut
hanya dapat diperoleh dari hasil monitoring, kajian, dan penelitian empiris.
Pada dasarnya motivasi dan orientasi pembangunan milenium adalah
“human development” sehingga strategi pencapaian sasarannya terkait dengan
nilai-nilai yang dianut masyarakat dalam perkembangan peradaban. Dalam
konteks itu ternyata nilai-nilai yang dianut masyarakat dalam peradaban modern
didominasi dimensi ekonomi. Kecenderungan ini berlaku pada lingkup global,
regional, nasional, bahkan pada sebagian besar komunitas lokal1. Oleh karena itu
1Banyak bukti menunjukkan bahwa berbagai kasus konflik sosial berakar dari permasalahan ekonomi. Secara empiris banyak kasus menunjukkan bahwa kemiskinan yang diderita individu, rumah tangga, ataupun suatu komunitas menyebabkan akses mereka pada kecukupan pangan, fasilitas perumahan, kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup yang layak; bahkan keaamanan, keadilan dan kemerdekaan menjadi sangat terbatas.
6
sasaran nomor 1 yaitu “eradikasi kemiskinan dan kelaparan” seringkali dipandang
sebagai epicentrum sasaran MDGs.
Kunci sukses pencapaian MDGs dan SDGs terletak pada kinerja sektor
pertanian2. Ini merupakan implikasi logis dari kodisi berikut. Pertama, mayoritas
penduduk miskin berada di negara-negara berkembang yang nafkah utamanya
bergantung pada sektor pertanian. Kedua, adanya keterkaitan yang sangat erat
antara kemiskinan dan kerawanan pangan; sedangkan penghasil pangan adalah
sektor pertanian, (iii)sektor pertanian sangat rentan terhadap perubahan iklim
sehingga masa depan ketahanan pangan akan diwarnai oleh pertumbuhan
pasokan pangan yang tidak stabil dan harga pangan makin volatil. Implikasinya,
sebagian penduduk yang semula telah berhasil keluar dari kemiskinan potensial
untuk kembali jatuh miskin. Ditambah pula dengan munculnya penduduk miskin
yang baru maka secara agregat persentase penurunan jumlah penduduk miskin
menjadi lebih lambat.
Di dalam negeri, monitoring dan evaluasi terhadap pencapaian MDGs
lingkup nasional dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian
terkait. Secara umum perkembangan yang telah dicapai sampai saat ini
menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Beberapa indikator MDGs secara
nasional telah tercapai dan sebagian besar target MDGs secara nasional
diperkirakan akan tercapai (on track).Meskipun demikian untuk mempertahankan
dan meningkatkan kinerja capaian MDGs masih perlu upaya-upaya khusus antara
lain pada target penurunan angka kematian ibu melahirkan, pencegahan
HIV/AIDS dan peningkatan tutupan lahan. Pada saat yang sama, kesenjangan
antardaerah dalam pencapaian sasaran MDGs perlu terus diperkecil, antara lain
dengan memberikan perhatian yang lebih besar bagi daerah-daerah yang kinerja
pencapaian MDGs-nya masih di bawah rata-rata nasional (BAPPENAS, 2012).
Hasil monitoring dan evaluasi tersebut menyajikan gambaran agregat
mengenai tingkat pencapaian MDGs untuk setiap sasaran dan status
perkembangan menuju 2015. Termasuk pula didalamnya rekomendasi mengenai
2 Bagi Indonesia, sektor pertanian terbulti pula sebagai “sektor kunci” resiliensi perekonomian nasional dari guncangan negatif yang dahsyat akibat krisis finansial Tahun 1998 yang lalu.
7
target dan strategi yang perlu dilakukan dalam pencapaian MDGs dalam waktu
yang tersisa serta agenda lanjutannya. Sudah barang tentu untuk kepentingan
Kementerian/Lembaga terkait dalam rangka peningkatan kinerja pencapaian dan
kelanjutannya masih diperlukan adanya kebijakan dan program yang relevan
dengan mandatnya masing-masing. Untuk perumusan kebijakan dan program
tersebut dibutuhkan data dan informasi dari hasil-hasil penelitian/kajian empiris
lingkup makro maupun mikro.
Hasil kajian lingkup makro bermanfaat dalam penentuan skala prioritasyang
lazimnya merupakan salah satu agenda dalam perumusan kebijakan dan program
kegiatan. Pengkajian lingkup dibutuhkan untuk memperolehpemahaman,
pengetahuan, data, dan informasi mengenai: jenis, tipe, dan sumber-sumber
permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam implemetasi kebijakan dan
program, sebagaimasukan untuk melakukan validasi empiris atas hasil penelitian
lingkup makro, untuk memperoleh kejelasan tentang aspek-aspek teknis yang
mempengaruhi dinamika pembangunan di sektor pertanian dan keterkaitannya
dengan sektor-sektor lain beserta keragamannya, dan untuk mengetahui aspek-
aspek sosial – ekonomi – budaya yang sifatnya spesifik lokal yang harus
dipertimbangkan dalam merumuskan strategi kebijakan dan pelaksanaan program.
1.2. Dasar Pertimbangan
Terjadinya peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga terentaskan
dari kemiskinan dan kelaparan adalah hasil pembangunan dari berbagai sektor
melalui peran langsungnya maupun peran tidak langsungnya melalui kaitan ke
depan (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage) dalam sistem
ekonomi. Disisi lain, proses terbentuknya kemiskinan tidak hanya melibatkan
variabel-variabel ekonomi tetapi juga melibatkan aspek-aspek sosial, budaya,
hukum, dan politik dalam suatu konstelasi hubungan yang sangat rumit. Dengan
demikian kontribusi suatu sektor dalam eradikasi kemiskinan dan kelaparan
sesungguhnya sangat sulit diukur dan di sisi lain kurang relevan jika dialamatkan
untuk “klaim keberhasilan atau ketidak berhasilan” yang dicapai suatu sektor dan
kemudian digunakan sebagai justifikasi dalam alokasi anggaran antar sektor dalam
kebijakan fiskal.
8
Mengacu pada prinsip itu maka motivasi dan orientasi kajian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana kemajuan yang dicapai dalam pembangunan
pertanian berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan petani khususnya dan
rumah tangga pedesaan pada umumnya. Relevansi dan legitimasi kajian ini
didasarkan atas pertimbangan bahwa salah satu misi pembangunan pertanian
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani; yang dalam Rencana Strategis
Kementerian Pertanian 2010 – 2014 juga ditempatkan sebagai salah satu dari
empat target sukses Kementerian Pertanian (Kementerian Pertanian, 2010).
Berdasarkan kondisi obyektif bahwa sampai saat ini masih banyak banyak rumah
tangga petani yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Dalam kaitannya dengan kontribusi sektor pertanian pada pencapaian
MDGs dan implikasinya pada strategi pencapaian SDGs pengetahuan, data, dan
informasi berikut ini sangat diperlukan. Pertama, perkembangan penurunan
kemiskinan pada komunitas petani dan perbandingannya dengan penduduk
pedesaan pada umumnya; serta variasinya antar agroekosistem. Kedua,
hubungan antara pertumbuhan sektor pertanian wilayah (provinsi) dengan
penurunan jumlah petani miskin. Ketiga, perkembangan penyerapan tenaga kerja
di pedesaan dan implikasinya terhadap pendapatan petani serta variasinya antar
agroekosistem. Keempat, hubungan antara status perkembangan perekonomian
desa dengan distribusi pendapatan. Kelima, implikasinya terhadap strategi yang
harus ditempuh dalam pencapaian SDGs. Dengan mengetahui level dan variasi
pencapaian serta faktor-faktor yang mempengaruhinya diharapkan dapat
berkontribusi dalam perumusan kebijakan, strategi, dan program peningkatan
kinerja sektor pertanian dalam peningkatan kesejahteraan petani.
1.3. Tujuan
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kontribusi sektor pertanian dalam
pencapaian MDGs. Mengacu pada mandat Kementerian Pertanian, ruang
lingkupnya difokuskan pada sasaran nomor 1 dalam MDGs yaitu eradikasi
kemiskinan dan kelaparan terutama pada komuniats petani khususnya dan di
wilayah pedesaan pada umumnya. Untuk itu rincian tujuannya adalah:
9
1. Untuk mengetahui perkembangan proporsi penduduk miskin pada
komunitas petani khususnya dan di pedesaan pada umumnya, serta
variasinya antar provinsi dan antar agroekosistem.
2. Untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait
dengan status perkembangan perekonomian wilayahdan kondisi
agroekosistem terhadap penyerapan tenaga kerja dan penurunan
kemiskinan.
3. Untuk mengidentifikasi simpul-simpul kritis peningkatan kesejahteraan
petani khususnya dan masyarakat pedesaan pada umumnya, serta
implikasinya pada strategi pencapaian SDGs.
4. Untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan pertanian dalam rangka
akselerasi pencapaian target MDGs dan strategi pencapaian SDGs.
1.4. Keluaran yang Diharapkan
Diharapkan dari penelitian ini akan dihasilkan keluaran berupa hasil analisis,
data, dan informasimengenai:
1. Perkembangan proporsi penduduk miskin pada komunitas petani khususnya
dan di pedesaan pada umumnya, serta variasinya antar provinsi dan antar
agroekosistem.
2. Pengaruh faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait dengan status
perkembangan perekonomian wilayah dan kondisi agroekosistem terhadap
penyerapan tenaga kerja dan penurunan kemiskinan.
3. Simpul-simpul kritis peningkatan kesejahteraan petani khususnya dan
masyarakat pedesaan pada umumnya, serta implikasinya pada strategi
pencapaian SDGs.
4. Untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan pertanian dalam rangka
akselerasi pencapaian target MDGs dan strategi pencapaian SDGs.
1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak
Hasil kajian ini berguna dalam penyempurnaan program akselerasi
peningkatan kesejahteraan petani yang secara eksplisit merupakan salah satu
butir dari empat target sukses Kementerian Pertanian dan selaras dengan
10
pencapaian MDGs.Rekomendasi, data dan informasi tersebut juga akan berguna
dalam penyempurnaan strategi kebijakan dan program sektor pertanian dalam
pencapaian SDGs.Dampaknya adalah terjadinya peningkatan efisiensi dan
efektivitas program pembangunan sektor pertanian dalam rangka peningkatan
kesejahteraan petani dan perbaikan lingkungan; yang pada dasarnya selaras
dengan pencapaian MDGs dan SDGs.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoritis
Sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals – MDGs)
merupakan komitmen internasional tentang sasaran pembangunan manusia
(human development) dan Indonesia ikut di dalamnya. Sasaran yang akan dicapai
dalam MDGs dijabarkan dalam 8 tujuan3. Tujuan nomor 1 adalah “menanggulangi
kemiskinan dan kelaparan” dan serigkali dipandang sebagai epicentrum sasaran
MDGs karena: (1) pencapaian target ini merupakan komponen penunjang utama
untuk pencapaian tujuan MDGs lainnya, (2) secara empiris populasi global yang
tergolong miskin dan mengalami kelaparan masih sangat besar jumlahnya.
Sampai dengan 2015, target yang akan dicapai untuk tujuan nomor 1
tersebut adalah: (a) menurunkan hingga setengahnya proporsi penduduk
berpendapatan kurang dari USD 1(Purchasing Power Parity – PPP) per hari dalam
kurun waktu sekitar 15 tahun dari 1990 – 2015, (b) menciptakan kesempatan
kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak untuk semua, termasuk
perempuan dan kaum muda, dan (c) menurunkan hingga setengahnya proporsi
penduduk yang menderita kelaparan dalam kurun waktu 1990-2015.
Sekitar 70 persen kelompok sasaran MDGs hidup di wilayah pedesaan,
terutama di Asia dan Afrika; dan dari kelompok tersebut sebagian besar adalah
penduduk yang menggantungkan nafkah utamanya dari pertanian. Oleh karena itu
3 Terdapat 8 sasaran MDGs yaitu: (1) eradikasi kemiskinan ekstrim dan kelaparan, (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua, (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan (8) membangun kemitraan global untuk pembangunan.
11
peranan sektor pertanian dalam pencapaian MDGs sangat strategis. Dalam
Rosegrant et al (2006) dinyatakan: “Given that the majority of poor people live in
villages or rely on agriculture, and that agriculture paves the way for economic
growth in the poorer nations, agricultural and rural development will underlie
progress on the broad array of economic and social indicators that the MDGs
emphasize”.
Peran strategis sasaran nomor 1 ini tidak akan berhenti pada pencapaian
sasaran MDGs, tetapi juga untuk sasaran pada pembangunan milenium pasca
2015 yang disepakati dengan istilah Sustainable Development Goals (SDGs).
Alasannyasebagai berikut. Pertama, adalah fakta bahwa jumlah penduduk miskin
sangat besar sehingga tidak mungkin dapat ditanggulangi dalam jangka pendek
dan menengah. Kedua, implikasi dari perubahan iklim terhadap ketahanan pangan
karena pertumbuhan vegetatif dan produktif komoditas pertanian sangat rentan
terhadap variabilitas iklim yang sangat tajam atau ekstrim(IPCC, 2007; FAO,
2007). Kondisi ini menyebabkan: (i) pertumbuhan produksi pangan melemah, (ii)
harga pangan cenderung meningkat dan semakin volatil. Pada gilirannya, hal itu
menyebabkan laju penurunan angka kemiskinan menjadi lebih lambat karena: (i)
sebagian individu atau rumah tangga yang semula telah terangkat dari garis
kemiskinan (dan masih berada di dekat border line garis kemiskinan) sangat
potensial terjatuh kembali menjadi miskin, dan (ii) munculnya barisan kelompok
miskin yang baru.
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan.Faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dan
kelaparan sangat banyak, mencakup aspek ekonomi maupun sosial budaya. Dari
sudut pandang ekonomi, penyebab kemiskinan terkait dengan tiadanya atau
sangat terbatasnya kemampuan individu untuk mengakses kesempatan
memperoleh pendapatan sehingga kebutuhan dasarnya tidak dapat dipenuhi. Dari
sudut pandang sosial budaya, kemiskinan seringkali dipandang sebagai outcomes
dari interaksi sosial dimana sistem kelembagaan yang berlaku mengalami
kegagalan dalam mencegah terpinggirkannya sebagian anggota komunitas untuk
berpartisipasi optimal dalam mengakumulasikan nilai-nilai yang dijunjung
12
komunitas tersebut sehingga harkatnya sebagai manusia sangat tertinggal dari
kelompok lainnya. Oleh karena itu kemiskinan bersifat multi dimensi. Kemiskinan
mengacu pada ukuran absolut maupun ukuran relatif. Implikasinya, pengentasan
kemiskinan membutuhkan pendekatan multi disiplin dan lintas sektor yang
terkoordinasikan dengan harmonis dan konsisten. Mengacu pada akar penyebab
dan proses terbentuknya kemiskinan, perumusan strategi pengentasan kemiskinan
harus mempertimbangkan dengan seksama implikasi dari keragaman di ranah
akar rumput (grass root). Kondisi sosial, kultural, dan geografis adalah beragam
sehingga pendekatan “one size fits for all” tidak mungkin diterapkan. Oleh karena
itu MDGs dan SDGs disusun untuk men-drive pembangunan dengan pendekatan
multi sektor (Maftuchan, 2013).
Dengan tetap menyadari bahwa eradikasi kemiskinan merupakan hasil kerja
multi sektor, secara teoritis kontribusi sektor pertanian dalam pencapaian sasaran
nomor 1 MDGs mencakup aspek-aspek berikut:
1. Ketahanan pangan. Sebagai sektor penghasil pangan maka kontribusi langsung
sektor pertanian dalam pencapaian MDGs adalah melalui peranannya dalam
mendukung tercukupinya ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau
oleh sebagian besar atau seluruh lapisan masyarakat.
2. Pengurangan kemiskinan. Sektor pertanian merupakan gantungan nafkah tak
kurang dari 30 persen rumah tangga. Sebagai contoh, pada tahun 2008 saja
jumlah rumah tangga pertanian pangan utama (padi, jagung, kedele, dan
tebu) adalah sekitar 17.8 juta(Sumaryanto, 2009). Rincian jumlah unit
usahatani menurut jenis komoditas yang diusahakan adalah sebagai berikut.
Untuk komoditas padi, jagung, kedele masing-masing adalah sekitar 14.99,
6.71, 1.16 juta unit usahatani; sedangkan tebu adalah sekitar 195 ribu unit
usahatani.
3. Lapangan kerja, termasuk untuk kaum muda dan perempuan.Pasar tenaga
kerja di bidang pertanian, terutama pada usaha pertanian rakyat pada
umumnya informal sehingga relatif mudah diakses oleh tenaga kerja tanpa
perlu adanya persyaratan formal yang menunjukkan kualifikasi
keterampilan/pengetahuannya. Dalam hal penyerapan tenaga kerja
perempuan, pada sistem usahatani terdapat jenis-jenis kegiatan yang ternyata
13
menjadi semacam “jatah” pekerjaan untuk tenaga kerja perempuan, misalnya
pada kegiatan tanam atau penyiangan.
4. Pendukung utama sektor non pertanian di pedesaan. Cukup banyak industri
pengolahan hasil pertanian berskala mikro dan industri rumah tangga di
pedesaan yang mengandalkan tenaga kerjanya dari kelompok miskin.
5. Jaring pengaman sosial dan pengentasan kemiskinan. Karakteristik sektor
pertanian tidak terlepas dari jejak sejarah yang di dalamnya sarat dengan
bentuk-bentuk kelembagaan sosial yang terkait dengan pemerataan
pendapatan. Seiring dengan perkembangan sistem perekonomian desa
sebagian kelembagaan tersebut memang mengalami degradasi. Namun di
sebagian wilayah pedesaan (terutama yang jauh dari perkotaan), kelembagaan
sosial yang fungsinya selaras dengan jaring pengaman sosial masih banyak
ditemukan; dan berperan nyata dalam pengentasan kemiskinan di wilayah
tersebut.
Kontribusi sektor pertanian dalam pencapaian MDGs tidak dapat dijelaskan
hanya melalui penelitian empiris lingkup makro. Alasannya sebagai berikut.
Pertama, data makro yang tersedia hanya memadai untuk mengukur
perkembangan penduduk miskin yang pekerjaan utamanya berada di sektor
pertanian. Di sisi lain, kendatipun profesinya petani namun sumber pendapatan
sebagian besar rumah tangga pertanian di Indonesia berasal dari berbagai
sumber, termasuk dari bekerja ataupun berusaha pada sektor non pertanian.
Dalam perumusan kebijakan, rekomendasi dan data ataupun informaso yang
dihasilkan dari analisis lingkup makro tersebut akan berguna setidaknya dalam
penentuan kelompok sasaran dalam program pengentasan kemiskinan melalui
sektor pertanian, tetapi tidak dapat menjawab pertanyaan “bagaimana cara
mengentaskannya”. Untuk itu harus dilengkapi dengan kajian lingkup mikro yang
datanya dikumpulkan dari suatu survey yang dirancang untuk menjawab tujuan
tersebut.
2.2. Hasil-hasil Penelitian Terkait
Publikasi Badan Pusat Statistik (2014) menyajikan bahwa per September
2013 proporsi penduduk miskin adalah 11.47 persen. Jika dirinci menurut wilayah,
14
di perkotaan adalah 8.52 persen, sedangkan di pedesaan 14.42 persen. Pada
tahun 1990 proporsinya adalah 15.10; di perkotaan 16.80 persen, sedangkan di
pedesaan 14.30 persen. Dengan urutan yang sama, pada tahun 2000 angkanya
adalah 19.14 persen; di perkotaan 14.60 persen, di pedesaan 22.38 persen4. Pada
tahun 2010, proporsi penduduk miskin masih mencapai 13.33 persen; di
perkotaan 9.87 persen, sedangkan di pedesaan 16.56 persen. Angka-angka
tersebut menunjukkan bahwa: (i) proporsi penduduk miskin makin kecil tetapi laju
penurunannya bervariasi antar periode, (ii) proporsi penduduk miskin di pedesaan
lebih besar daripada penduduk perkotaan, (iii) dinamika penurunan kemiskinan di
perkotaan lebih sensitif terhadap perkembangan ekonomi nasional, (iv) laju
penurunan jumlah penduduk miskin di perkotaan lebih cepat daripada di
pedesaan, dan (v) untuk menurunkan proporsi penduduk miskin menjadi
separuhnya dalam periode 1990 – 2013 masih diperlukan kerja keras.
Fakta tersebut agak berbeda dari optimisme yang secara implisit termuat
dalam laporan hasil monitoring dan evaluasi atas pencapaian target MDGs dalam
BAPPENAS (2012) yang menyatakan bahwa dalam periode yang 1990 – 2011
Indonesia berhasil menurunkan tingkat kemiskinanmenjadi hampir setengahnya.
Kemajuan juga telah dicapai dalam upayauntuk lebih menurunkan lagi tingkat
kemiskinan, sebagaimanadiukur oleh garis kemiskinan nasional dari tingkat saat ini
sebesar13.33 persen (2009) dan diperkirakan dapat menuju targetnya sebesar 8-
10 persen pada tahun 2014. Prevalensikekurangan gizi pada balita telah menurun
dari 31 persen pada tahun 1989 menjadi 18.4persen pada tahun 2007, sehingga
Indonesia diperkirakan dapat mencapai target MDGsebesar 15.5 per sen pada
tahun 2015.
Menurut Tangka (2013), penentuan garis kemiskinan di Indonesia kurang
tepat jika hanya menggunakan batas ambang garis kemiskinan sebesar USD 1 per
kapita per hari seperti yang ditetapkan oleh bank dunia. Kemiskinan adalah
masalah yang sangat kompleks, sehingga pengukurannya perlu memperhitungkan
faktor-faktor penting lain. Hal ini antara lain disebabkan : (1) situasi yang dialami
masyarakat saat ini sangat berbeda dengan sebelum tahun 1996 di mana
4 Tahun 2000 merupakan tahun kedua proses pemulihan ekonomi dari kontraksi dahsyat perekonomian nasional yang terjadi pada tahun 1998.
15
Indonesia belum mengalami berbagai krisis dan inflasi, (2) angka kemiskinan
Indonesia tahun 1990 sebesar 15.1 persen sebagai dasar penentuan target
penduduk yang hidup di bawah kemiskinan kurang tepat.Dasar perhitungan
tersebut sebaiknya tidak diperbandingkan dengan tahun-tahun berikutnya yang
memiliki situasi yang berbeda,(3) dalam laporan PBB penggunaan indikator USD 1
per kapita per hari tidak dapat memberi gambaran kemiskinan yang valid karena
profil kemiskinan di setiap daerah tidak sama.
Terlepas dari belum adanya metode pengukuran yang tanpa kritik,
pencapaian atas target penurunan angka kemiskinan adalah suatu keberhasilan
yang pantas diapresiasi. Akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa berpuas diri atas
capaian itu tidaklah layak. Secara filosofis, pengentasan kemiskinan adalah agenda
pokok pembangunan manusia yang tak akan pernah selesai. Kemiskinan
merupakan kegagalan dalam banyak dimensi kehidupan manusia yang dapat
terlihat seperti kelaparan, kesehatan yang buruk, malnutrisi, pengangguran,
tingkat pendidikan yang rendah, tempat tinggal yang tidak layak, kerentanan,
ketidakberdayaan, terkucilkan dalam lingkungan sosial, dan lain sebagainya
(Kakwani and Silber, 2008)5.
Prioritas ke depanuntuk menurunkan kemiskinandan kelaparan adalah
dengan memperluas kesempatan kerja, meningkatkan infrastrukturpendukung,
dan memperkuat sektor pertanian (BAPPENAS, 2012). Perhatianan khusus
perlu diberikan pada:(i) perluasan fasilitas kredit untuk usaha mikro, kecil, dan
menengah (UMKM); (ii)pemberdayaan masyarakat miskin dengan meningkatkan
akses dan penggunaan sumberdaya untuk meningkatkan kesejahteraannya; (iii)
peningkatan akses penduduk miskinterhadap pelayanan sosial; dan (iv) perbaikan
penyediaan proteksi sosial bagi kelompoktermiskin di antara yang miskin.
Kendala utama dalam pembiayaan yang dihadapi petani (yang merupakan
penggerak utama sektor pertanian) adalah keengganan lembaga pembiayaan
dalam memberikan pinjaman. Keengganan ini disebabkan karena petani (yang
dianggap melakukan bisnis dalam skala mikro/kecil) tidak dapat memenuhi
5 Kajian yang akan dilakukan ini tidak berpretensi untuk mempersoalkan kontroversi tersebut dan tidak pula diorientasikan untuk mencari metode pengukuran yang dianggap tepat karena kemiskinan bersifat multi dimensi sehingga indikator yang digunakan dalam pengukuran masih selalu mengundang kritik; tergantung sudut pandang yang diterapkan untuk mengevaluasinya.
16
persyaratan seperti tidak memiliki peringkat kredit, juga tidak memelihara catatan
yang diperlukan untuk dilakukan penilaian (appraisal). Selain itu, petani juga
kekurangan agunan berharga (Jacob Yaron et al, 1997). Oleh karena itu, petani
biasanya melakukan pinjaman kepada individu-individu yang dapat memberikan
pinjaman dengan skala kecil (Ledgerwood, 1999), namun permasalahan
berikutnya adalah banyak dari individu-individu tersebut yang memberikan
pinjaman dengan bunga yang tinggi (rentenir).
Peran penting sektor pertanian dalam pengentasan kemiskinan telah
banyak dibuktikan dalam berbagai tinjauan maupun penelitian empiris(Thirtleet al,
2002; Thurlow, 2004; Thurlow et al, 2004; Christensen et al, 2010; Cervantes-
Godoy, and Dewbre 2010; Dedan et al, 2012). Terutama pada negara-negara
berkembang, peranannya makin menonjol ketika didukung pengembangan
infrastruktur yang memadai. Ini selaras dengan berbagai penelitian yang
menunjukkan bahwa infrastruktur pertanian dan pedesaan adalah basis bagi
peningkatan produktivitas (Van Blarcom et al, 1993; Van De Walle, 1996; Zhang
and Fan, 2000).
Bagi Indonesia, fakta menunjukkan bahwa peran sektor pertanian dalam
perekonomian nasional sangatstrategis. Setidaknya ada 5 agumen mendasar
dibalik julukan itu. Pertama, perannya sebagai sektor penyedia pangan bangsa.
Kedua, perannya sebagai penyedia lapangan kerja karena meskipun kontribusi
relatif sektor pertanian dalam pembentukan pendapatan nasional (PDB) terus
menurun seiring dengan makin berkembangnya sektor industri, jasa, dan
manufaktur; tetapi sektor ini masih tetap merupakan penyerap lapangan kerja
terbesar (Kementan, 2010). Ketiga,pada masa krisis ekonomi (1998 – 2003),
sektor pertanian adalah yang paling mampu bertahan dan bahkan mampu
berperan sebagai penyelamat ekonomi nasional dari kontraksi ekonomi yang
dahsyat. Keempat, oleh karena proporsi jumlah penduduk miskin di pedesaan
lebih banyak dan sebagian besar dari pedesaan tersebut struktur ekonomi dan
kesempatan kerjanya didominasi pertanian maka peranan sektor pertanian
sebagai gantungan nafkah mayoritas penduduk pedesaan dan dalam pengentasan
kemiskinan menjadi sangat penting. Kelima, dalam hubungannya dengan implikasi
perubahan iklim maka peranan sektor pertanian untuk menjawab tantangan makin
17
strategis karena meskipun di satu sisi sektor ini termasuk paling rentan, tetapi di
sisi lain paling potensial pula sebagai pemain utama aksi mitigasi perubahan iklim
sebagaimana dinyatakan dalam IPCC (2001), IPCC (2007) dan FAO (2007).
Mengacu pada situasi dan kondisi empiris di lapangan, upaya akselarasi
kontribusi sektor pertanian dalam pencapaian MDGs dapat dilakukan melalui
kombinasi dari beberapa pendekatan berikut. Pertama, rehabilitasi dan perluasan
lahan pertanian. Untuk perluasan lahan pertanian, upaya jangka pendek yang
dapat ditempuh adalah pendekatan fungsional. Perluasan luas baku lahan
pertanian akan berdampak pada jangka menengah dan panjang dan berdasarkan
kondisi obyektif layak untuk dilakukan di Luar Pulau Jawa dan sebagian lokasi di
Pulau Jawa. Rehabilitasi lahan pertanian diorientasikan untuk mengembalikan
kesuburan lahan. Ini terutama diperlukan di sebagian besar desa yang selama ini
telah mengalami over intensifikasi pertanian. Kedua, perbaikan infrastruktur fisik
dan pengelolaan sistem irigasi pada pedesaan yang usahataninya berbasis sistem
usahatani sawah. Ketiga, percepatan dan perluasan aplikasi teknologi adaptif
terhadap iklim ekstrim melalui penerapan pola tanam dan sistem budidaya
tanaman yang lebih produktif dan berwawasan lingkungan. Keempat, perbaikan
sistem tataniaga pertanian; baik di pasar input maupun pasar output usahatani.
Selama ini kebijakan dan program tersebut di atas telah dilakukan. Akan
tetapi hasilnya pada tataran “grass root”, terutama dalam kontekspeningkatan
kesejahteraan petani tentu saja bervariasi. Pemahaman mengenai sumber-sumber
variasi dan faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhinya sangat penting
sebagai masukan untuk perumusan kebijakan akselerasi peningakatan pendapatan
petani.
III. METODOLOGI
3.1. Kerangka Pemikiran
Kemiskinan dan kelaparan adalah dua kondisi yang saling terkait.
Gambaran sederhananya adalah bahwa karena miskin maka daya belinya sangat
rendah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya (mengalami
18
kelaparan). Namun tidak semua individu yang mengalami kelaparan terjadi akibat
miskin. Kemiskinan cenderung berimpit dengan kelaparan jika tingkat kemiskinan
berada pada tingkatan ekstrim. Artinya, individu atau rumah tangga yang
mengalami tingkat kemiskinan ekstrim, ciri utamanya adalah kekurangan pangan
(mengalami kelaparan). Kelompok sasaran utama dari sasaran nomor 1 dalam
MDGs adalah kelompok tersebut. Berdasarkan perhitungan, ukuran kuantitaif yang
mencerminkan tingkat kemiskinan ekstrim adalah pendapatan per kapita sebesar 1
USD (satu dollar Amerika) per hari.
Sebagai bagian integral sistem perekonomian, kontribusi sektor pertanian
dalam lingkup makro mencakup aspek pembentukan output, nilai tambah,
penciptaan lapangan kerja dan pendapatan, penciptaan devisa, dan pemenuhan
kebutuhan konsumsi pangan maupun sebagai pemasok bahan baku bagi
perkembangan sektor-sektor ekonomi lainnya terutama indstri pengolahan.
Dengan analisis Input – Output (I-O), aspek-aspek tersebut dapat diukur. Akan
tetapi untuk mengkaji kontribusi sektor pertanian dalam pencapaian MDGs,
pendekatan tersebut tidak sesuai karena sejumlah alasan berikut. Di satu sisi,
kemiskinan adalah suatu konsep yang mengacu pada status sosial-ekonomi
individu, rumah tangga, atau kelompok. Proses terbentuknya kemiskinan terjadi
melalui interaksi yang melibatkan berbagai faktor yang meliputi dimensi ekonomi,
sosial-budaya, hukum, bahkan sosial-politik. Berbagai sektor berkontribusi melalui
peran dan fungsinya dalam suatu konstelasi hubungan yang rumit. Di sisi lain,
data I-O mengacu pada gambaran agregat mengenai nilai output dan input dalam
sistem perekonomian serta alokasinya antar sektor. Orientasi utamanya adalah
untuk mengetahui hakekat keterkaitan antar sektor ekonomi beserta implikasinya
dalam sistem perekonomian.
Dari pendekatan lingkup makro, pada umumnya yang dapat
diketahuiadalah perkembangan penurunan persentase penduduk miskin menurut
wilayah administratif. Informasi tersebut berguna sebagai bahan evaluasi untuk
menyusun skala prioritas dan kelompok sasaran program pengentasan
kemiskinan. Akan untuk kepentingan pembangunan sektoral, diperlukan kajian
lebih lanjut karena dari data yang tersedia belum dapat menyentuh langsung
variabel-variabel terkait dengan dimensi teknis yang sifatnya instrumentatif.
19
Sebagai contoh, melalui aspek manakah berkurangnya kemiskinan dan kelaparan
tersebut terbentuk? Melalui peningkatan produktivitas pertaniankah atau melalui
skala usaha? Melalui pengembangan usahatani apa yang akan efektif untuk
mengurangi angka kemiskinan? Berlaku untuk seluruh agroekosistemkah atau
pada agroekosistem tertentu saja? Kelompok manakah yang terangkat
pendapatannya, apakah semua kelompok termasuk rumah tangga yang pekerjaan
utamanya buruh tani? Melalui mekanisme pasar semata ataukah ada mekanisme
kelembagaan yang menjadi determinan sistem pembagian pendapatan? Semua
informasi ini hanya dapat diperoleh dari analisis lingkup mikro berbasis data hasil
survey tingkat rumah tangga di pedesaan. Mengingat bahwa informasi ini sangat
penting untuk perumusan kebijakan dan program yang lebih operasional maka
kajian-kajian empiris berbasis analisis lingkup mikro ini sangat dibutuhkan.
Pada analisis lingkup mikro cakupan analisis meliputi aspek-aspek
penguasaan sumberdaya pertanian, aplikasi teknologi, produktivitas usahatani,
struktur kesempatan kerja dan pendapatan, peranan anggota rumah tangga usia
muda dan perempuan pada kegiatan kerja produktif pada sektor pertanian
khususnya maupun sektor non pertanian pada umumnya, pola konsumsi pangan,
dan sebagainya. Sumber karagaman lain yang mempengaruhi kontribusi pertanian
terhadap eradikasi kemiskinan dan kelaparan yang perlu dianalisis adalah
pengaruh perbedaan agroekosistem, tingkat kepadatan agraris, struktur
perekonomian desa, kondisi infrastruktur pertanian dan pedesaan, dan
sebagainya.
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan (ruang lingkup, pendekatan untuk menjawab masing-masing tujuan penelitian)
Motivasi dan orientasi kajian ini adalah untuk menghasilkan rekomendasi
kebijakan dan program sektor pertanian dalam rangka akselerasi peningkatan
pendapatan petani yang dalam Renstra Kementan 2010 – 2014 merupakan salah
satu dari empat target sukses pembangunan pertanian periode tersebut. Perlu
digaris bawahi bahwa pada hakekatnya peningkatan kesejahteraan petani
merupakan salah satu misi pembangunan pertanian yang akan berlaku sepanjang
masa.
20
Berangkat dari motivasi dan orientasi tersebut, fokus kajian ini diarahkan
pada komunitas petani khususnya dan rumah tangga pedesaan pada umumnya.
Alasan memperluas cakupan kajian pada penduduk pedesaan didasarkan atas
argumen: (i) mayoritas penduduk pedesaan berasal dari rumah tangga petani, (ii)
dinamika perekonomian desa ditentukan oleh dinamika pertanian, (iii)
pemahaman mengenai kesejahteraan petani hanya dapat dilakukan dengan
mengaitkannya dengan kesejahteraan rumah tangga pedesaan karena sebagian
besar akar kelembagaan sosial pada komunitas pertanian banyak yang berimpit
dengan kelembagaan pedesaan. Pendalaman kajian pada lapis terbawah
komunitas tersebut selaras dengan pencapaian MDGs khususnya sasaran nomor 1
dan implikasinya pada strategi pencapaian SDGs.Untuk itu terdapat empat
kegiatan yang akan dilakukan sebagai berikut.
3.2.1. Menganalisis perkembangan proporsi penduduk miskin pada komunitas petani khususnya dan penduduk pedesaan pada umumnya, serta variasinya antar provinsi maupun antar agroekosistem.
Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan dengan pendekatan lingkup makro dan
lingkup makro. Terkait ketersediaan datanya, pendekatan lingkup makro ditujukan
untuk mengetahui perkembangan dan variasinya antar provinsi, sedangkan
pendekatan lingkup mikro ditujukan untuk mengetahui variasi antar
agroekosistem.
Pada lingkup makro, perkembangan proporsi penduduk miskin di pedesaan
per provinsi telah tersedia dalam publikasi BPS dari beberapa titik waktu. Untuk
perkembangan yang terjadi pada komunitas petani, pendekatannya adalah
sebagai berikut: (1) melakukan pemilahan rumah tangga petani dari total populasi
pedesaan, (2) identifikasi rumah tangga petani miskin menurut metode
pengukuran yang diterapkan BPS. Analisis akan dilakukan untuk setiap provinsi.
Selain mengkaji perkembangan proporsi petani miskin, akan dilakukan pula
distribusi pendapatannya.
Pada pendekatan lingkup mikro, pemilahan petani menurut tipe
agroekosistem desa dapat dilakukan. Pada data lingkup mikro mengingat
populasinya adalah penduduk pedesaan maka pemilahan sub populasi petani dari
21
populasi pedesaan dapat dilakukan dengan beberapa metode. Metode yang akan
diterapkan adalah yang hasil pengukurannya konsisten hasil kajian-kajian
terdahulu dan hasil kajian kualitatif berdasarkan hasil survey yang akan dilakukan
dalam kajian ini.
3.2.2. Menganalisispengaruh faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait dengan status perkembangan perekonomian wilayah dan kondisi agroekosistem terhadap penyerapan tenaga kerja dan penurunan kemiskinan.
Analisis lingkup makro diorientasikan untuk mengetahui pengaruh tingkat
perkembangan perekonomian wilayah terhadap peningkatan jumlah penduduk
miskin yang terentaskan dari kemiskinan. Dengan beberapa keterbatasannya,
variasi tingkat perkembangan perekonomian wilayah ini tercermin dari struktur
PDRB.
Analisis lingkup mikro ditujukan untuk mengetahui pengaruh
perkembangan perekonoman desa dan tipe agroekosistem terhadap penyerapan
tenaga kerja dan penurunan kemiskinan. Indikator tingkat perkembangan
perekonomian desa tercermin dari struktur kesempatan kerja dan pendapatan
rumah tangga, sedangkan indikator tipe agroekosistem tercermin dari sistem
usahatani dominan desa yang bersangkutan.
Meskipun profesinya bertani, sebagian dari pendapatan mayoritas rumah
tangga petani di Indonesia berasal dari sektor non pertanian. Oleh karena itu
terentaskannya rumah tangga tersebut dari kemiskinan dapat berasal dari
peningkatan pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian maupun dari luar
pertanian.
Pada lingkup agreat desa, seiring perkembangan ekonomi terjadilah proses
urbanisasi. Cirinya, peranan sektor non pertanian dalam penyerapan tenaga kerja
dan penciptaan pendapatan meningkat. Jika peningkatannya lebih besar daripada
peningkatan yang terjadi pada sektor pertanian maka peranan sektor pertanian
dalam struktur kesempatan kerja dan pendapatan di pedesaan menurun. Dalam
konteks ini terjadi proses timbal balik. Makin banyak rumah tangga petani yang
sumber utamanya dari sektor pertanian mendorong terjadinya proses urbanisasi,
di sisi lain terkait dengan multiplier effect sektor-sektor ekonomi tersebut maka
22
semakin besar pula rumah tangga petani yang akan mengandalkan peningkatan
pendapatannya dari sektor non pertanian – sampai terjadi kejenuhan pada sektor
non pertanian.
Proses urbanisasi desa tersebut bervariasi. Sumber-sumber variasi antara
lain tipe agroekosistem wilayah pertanian dominan di desa tersebut,
konektivitasnya terhadap pusat-pusat pertumbuhan ekonomi modern, dan aspek
sosial budaya yang mempengaruhi orientasi angkatan kerja pada jenis-jenis
pekerjaan yang diminatinya. Sejauh mana pengaruhnya terhadap penyerapan
tenaga kerja pedesaan dan penurunan kemiskinan pada komunitas petani dapat
dikaji melalui pendekatan lingkup makro yang diperdalam dengan kajian lingkup
mikro.
3.2.3. Identifikasi simpul-simpul kritis peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan umumnya, serta implikasinya pada strategi pencapaian MDGs.
Kemiskinan adalah salah satu fenomena dari tingkat pencapaian (status)
kesejahteraan yang sangat rendah. Indikator yang mencerminkan kesejahteraan
cukup banyak meliputi aspek pendapatan, konsumsi, pemilikan aset, status
kesehatan, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Di sisi lain, faktor-faktor
penyebabnya juga melibatkan banyak variabel, dalam dimensi ekonomi maupun
sosial budaya. Untuk mengkaji substansi permasalahan ini, data lingkup makro
yang tersedia hanya sebagian kecil sehingga akan terlibat dengan penggunaan
variabel “proxy” yang cukup banyak. Selain itu(kecuali SUSENAS, SAKERNAS), unit
onservasi pada sebagian besar data sekunder lingkup makro pada umumnya
adalah wilayah, bukan rumah tangga. Dengan kata lain identifikasi simpul-simpul
kritis peningkatan kesejahteraan tidak dapat hanya mengandalkan kajian lingkup
makro. Oleh karena itu pendekatan yang akan diterapkan dalam kegiatan
identifikasi simpul-simpul kritis ini akan mengandalkan data mikro hasil survey.
Pemanfaatan data mikro hasil survey juga memungkinkanuntuk melakukan
kajian aspek kelembagaan sosial yang terkait dengan pengentasan
kemiskinan.Selain itu, substansi permasalahan yang terkait dengan aspek
lingkungan dan pemerataan yang hasilnya akan dimanfaatkan dalam perumusan
strategi pencapaian SDGs pada level “grass root” lebih mudah didekati dengan
23
kajian lingkup mikro. Selebihnya, kedalaman kajian tentang kemiskinan memang
membutuhkan unit observasi individu atau rumah tangga yang lazimnya diperoleh
dari hasil survey lingkup mikro.
3.2.4. Merumuskan rekomendasi kebijakan pertanian dalam rangka akselerasi pencapaian target MDGs dan strategi pencapaian SDGs.
Dengan memanfaatkan sintesis hasil kegiatan 3.2.1 – 3.2.4, pendekatan
yang diterapkan dalam perumusan kebijakan berpijak pada kerangka pikir berikut.
Esensi dari kebijakan dan program akselerasi pengentasan kemiskinan adalah
peningkatan efektivitas program pemberdayaan kelompok miskin melalui
pendekatan multi disiplin dan lintas sektor secara sinergis. Pemberdayaan
kelompok miskin tidak dapat mengandalkan pendekatan teknokratis melalui sistem
kelembagaan formal semata karena akar penyebab kemiskinan melibatkan pula
aspek sosial budaya.
3.2.5. Lokasi Penelitian
Untuk kajian lingkup makro, cakupannya adalah nasional dengan tingkat
rincian provinsi. Pada masing-masing provinsi akan dilakukan pemilahan wilayah
menurut desa vs kota dan menurut status perkembangan ekonomi yang
tercermina pada kontribusi relatif sektor pertanian dalam PDRB.
Pada kajian lingkup mikro, justifikasi pemilihan lokasi penelitian mengacu
pada tujuan untuk memperoleh variasi tipe agroekosistem dan tingkat
perkembangan perekonomian desa. Secara garis besar terdapat 4 tipe
agroekosistem yaitu: (i) pesawahan, (ii) lahan kering dominan usahatani
pangan/hortikultura/ternak, (iii) lahan kering dominan perkebunan, dan (iv) desa
pantai berbasis perikanan tangkap.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, penelitian akan dilakukan di
Provinsi Lampung, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.
3.2.6. Responden
Pengayaan informasi atas data sekunder pada kajian lingkup makro
dilakukan dengan menggali data kualitatif yang terkait dengan program-program
24
pengentasan kemiskinan. Ini dapat digali melalui wawancara dengan pihak-pihak
yang berkompeten pada instansi yang terkait dengan asal perolehan data
sekunder tersebut.
Responden untuk kajian lingkup mikro mencakup rumah tangga pertanian
dan pedesaan. Rumah tangga pertanian adalah rumah tangga yang mengelola
usahatani sedikitnya satu musim dalam satu tahun kalender pertanian. Termasuk
dalam kategori ini adalah rumah tangga yang mengelola usahatani dari
menggarap lahan milik orang lain, atau jika peternak adalah yang mengelola
usaha ternak milik pihak lain. Rumah tangga pedesaan adalah rumah tangga yang
domisilinya di pedesaan, termasuk di dalamnya rumah tangga pertanian.
Responden pada penelitian ini adalah sub sampel dari sampel rumah
tangga pada survey rumah tangga pedesaan pada peneliian kerjasama JICA –
IFPRI – PSEKP pada tahun 2010 yang lalu. Sub sampel tersebut difokuskan pada
lapis bawah dan tengah dalam konteks pendapatan yang diproksi dari total
pengeluaran rumah tangga masing-masing responden pada survey 2010 tersebut.
Selain rumah tangga sampel, kelompok tani dan aparat desa juga akan dijadikan
responden pada penelitian ini, utamanya untuk menggali informasi pada aspek
kelembagaan.
3.3. Data dan Metode Analisis
3.3.1. Data
Data yang akan dianalisis mencakup data sekunder dan data primer. Data
sekunder digunakan untuk analisis lingkup makro, sedangkan data primer
digunakan untuk analisis lingkup mikro.
Data sekunder yang akan dianalisis adalah data SUSENAS dan data PDRB
Provinsi serta Statistik Pertanian dari beberapa titik waktu. Data ini akan dieproleh
dari Badan Puat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian di Pusat maupun di
Daerah lokasi penelitian.
Data yang akan dianalisis untuk kajian lingkup mikro terdiri dari: (i) data
hasil survey pada kerjasama penelitian kerjasama penelitian JICA – IFPRI – PSEKP
yang dilaksanakan pada tahun 2010 yang lalu, dan (ii) data primer yang akan
dikumpulkan melalui resurvey sebagian rumah tangga pada sebagian desa-desa
25
lokasi penelitian yang disebutkan pada butir (i). Data yang akan dikumpulkan
pada survey ini lebih banyak ditujukan untuk menggali aspek-aspek kualitatif
yang dapat menjelaskan peranan kelembagaan yang terkait dengan sektor
pertanian maupun kelembagaan sosial di pedesaan yang terkait dengan program-
program pengentasan kemiskinan.
3.4. Metode Analisis
3.4.1. Analisis perkembangan proporsi penduduk miskin pada komunitas petani dan penduduk pedesaan serta variasinya provinsi dan antar agroekosistem.
Metode analisis yang akan diterapkan mengkuti metode pengukuran
kemiskinan yang dilakukan BPS. Terkait dengan itu maka analisis perkembangan
proporsi penduduk miskin di pedesaan antar provinsi dapat dilakukan dengan
memanfaatkan hasil pengukuran yang telah dilakukan lembaga tersebut.
Untuk mengkaji perkembangan yang terjadi pada komunitas petani,
prosedurnya adalah sebagai berikut. Langkah pertama adalah melakukan
pemilahan komunitas petani dari seluruh populasi. Ini dapat dilakukan dengan
mengidentifiksi rumah tangga menurut jenis pekerjaan utama. Langkah berikutnya
adalah menghitung rumah tangga yang termasuk kategori di bawah garis
kemiskinan dengan metode pengukuran seperti tersebut di atas untuk setiap
provinsi. Data yang akan dianalisis adalah data SUSENAS beberapa titik waktu.
Untuk mengetahui variasi penduduk miskin antar agroekosistem, data yang
digunakan adalah data hasil survey pada kerjasama penelitian JICA – IFPRI –
PSEKP yang dilakukan pada tahun 2010. Total jumlah contoh pada survey tersebut
adalah 2200 rumah tangga dari 98 desa pada 7 provinsi, mencakup rumah tangga
petani maupun non pertani. Identifikasi tipe agroekosistem mengacu pada sistem
usahatani dominan pada desa yang bersangkutan.
Metode yang diterapkan untuk mengidentifikasi rumah tangga miskin pada
komunitas petani maupun pada komunitas mengikuti metode pengukuran yang
dilakukan BPS. Dalam rangka pendalaman, akan dilakukan pula identifikasi rumah
tangga miskin dengan menggunakan ukuran “setara beras”.
Kemiskinan mencakup ukuran absolut maupun relatif. Garis besar
mengenai kemiskinan relatif tercermin dari distribusi pendapatan. Untuk itu, dalam
26
kajian ini juga akan dilakukan analisis distribusi pendapatan. Ukuran yang akan
dipakai adalah Indeks Gini dan visualisasinya dapat disajikan dengan kurva
Lorenz. Ini akan diterapkan pada kajian lingkup makro maupun lingkup mikro
tersebut di atas.
3.4.2. Analisis tentang pengaruh faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait dengan status perkembangan ekonomi wilayah dan kondisi agroekosistem terhadap penyerapan tenaga kerja dan penurunan kemiskinan.
Kajian lingkup makro ditujukan untuk mengetahui status perkembangan
ekonomi wilayah terhadap penurunan proporsi penduduk miskin. Unit analisisnya
adalah provinsi.Tipologi tingkat perkembangan wilayah didasarkan atas peranan
sektor pertanian dalam struktur PDRB dan proporsi penduduk pedesaan terhadap
total populasi masing-masing provinsi. Selain tingkat perkembangan wilayah,
variabel lain yang diduga mempengaruhi penurunan proporsi penduduk miskin
adalah pertumbuhan PDRB riil sektor pertanian, pertumbuhan total PDRB riil, dan
nilai tukar petani. Metode sederhana untuk mengkajinya adalah dengan
menggunakan regresi.
Pada analisis lingkup mikro, kajiannya mencakup pula aspek penyerapan
tenaga kerja. Selain tingkat perkembangan ekonomi wilayah, faktor lain yang
diduga sebagai sumber variasi adalah tipe agroekosistem. Serupa dengan analisis
pada lingkup makro, penyederhanaan dalam pengambilan kesimpulan juga akan
didekati dengan memanfaatkan regresi tetapi faktor penjelasnya akan lebih
lengkap, sesuai dengan ketersediaan datanya. Unit analisisnya adalah desa dan
rumah tangga.
3.4.3. Identifikasi simpul-simpul kritis peningkatan kesejahteraan petani khususnya dan masyarakat pedesaan pada umumnya, serta implikasinya pada strategi pencapaian SDGs.
Indikator kemiskinan yang paling populer adalah daya beli. Daya beli
ditentukan oleh pendapatan dan harga barang dan jasa yang berlaku pada
komunitas yang bersangkutan. Mengingat bahwa kemiskinan bersifat multi
dimensi maka validitas pengukuran kemiskinan berdasarkan satu variabel
27
seringkali menjadi sasaran kritik yang berakar pada perbedaan sudut pandang dan
konteks (Kakwani and Silber, 2008). Dengan tetap menyadari keterbatasan yang
ada jika orientasinya adalah untuk mengkaji perkembangan (dengan data “time
series”), sampai saat ini daya beli merupakan ukuran yang paling banyak dipakai.
Akan tetapi jika orientasinya untuk memperbandingkan tingkat kemiskinan antar
komunitas dalam suatu waktu tertentu dengan pendekatan “cross section” maka
validitasnya menurun. Selain adanya sumber variasi yang berasal dari perbedaan
harga barang dan jasa pada sisi konsumsi maupun sisi produksi (termasuk tingkat
upah), turunnya validitas dari ukuran tersebut juga terkait dengan: (i) sifat
kumulatif pendapatan dan nilai aset antar waktu, (ii) implikasi dari sifat
“kemiskinan relatif”. Terkait dengan itu maka kajian tentang kemiskinan perlu
dilengkapi dengan kajian aspek-aspek pada pemilikan aset rumah tangga dan
distribusi pendapatan pada komunitas yang bersangkutan.
Kemiskinan adalah suatu “status” yang mengacu pada ketertinggalan dalam
kesejahteraan. Oleh karena itu untuk pendekatan untuk mengidentifikasi simpul-
simpul kritis pengentasan pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan.
Serupa dengan kemiskinan, kesejahteraan juga multi dimensi. Jika
dipandang sebagai variabel maka merupakan variabel laten endogen (latent
endogenous variable – misalnya dilambangkan sebagaiη ) yang tidak dapat
diamati secara langsung. Terhadap variabel ηini yang dapat diamati adalah
himpunan variabel yang representatif sebagai ndikatornya dan himpunan variabel
yang diduga mempengaruhinya.
Estimasi sebaran populasi menurut ηdapat dilakukan dengan pendekatan
Structural Equation Modeling (SEM) dengan model Multi Indicators Multi Causes
(MIMIC). Model ini sebenarnya sudah cukup lama diketahui. Pertama kali
diperkenalkan oleh Jöreskog and Goldbreger (1975). Beberapa contoh
pemanfaatan model ini misalnya pada kajian sektor informal (Giles and Tedds,
2002, Breusch, 2005; Buehn and Schneider, 2008) ataupun estimasi kapasitas
adaptasi petani terhadap perubahan iklim (Sumaryanto dkk, 2012).
Interpretasi atas ηtidak dapat dilakukan karena merupakan angka-angka
“simpul” yang menjembatani himpunan variabel penyebab dari berbagai aspek
28
yang berbeda dengan himpunan indikator dari beberapa dimensi. Akan tetapi
himpunan nilai ηmempunyai ukuran pemusatan, ukuran dispersi, dan bentuk
sebaran. Oleh karena itu dapat digunakan untuk konsisten untuk melakukan
pemeringkatan, misalnya dengan pendekatan percentile, pemeringkatan berbasis
varian, dan lain sebagainya. Untuk memperoleh gambaran lebih rinci, dapat
dilakukan dengan teknik dekomposisi melalui komparasi ukuran pemusatan
maupun dispersi variabel-variabel penyebabnya ataupun variabel-variabel
indikatornya.
Bentuk dasar model ini adalah bahwa vektor variabel-variabel indikator
( 1)y p terhubungkan oleh suatu variabel laten ( ) dengan vektor variabel-
variabel penyebab ( 1)x q . Meniru presentasi model MIMIC pada penelitian Giles
and Tedds (2002) pada kajiannya mengenai sektor informal di Canada, hubungan
antara y, , dan x adalah sebagai berikut:
i i iy (1)
i i ix (2)
dalam hal ini ( 1)q dan 1 1 adalah vektor-vektor parameter yang tidak
diketahui, sedangkan galatnya yaitu ( 1)i p dan (skalar)i diasumsikan
mempunyai nilai tengah nol, sedangkan varian 1( , , )pdiag dan yang
satu dengan lainnya tidak berkorelasi.
Model yang terdiri atas persamaan (1) dan (2) tersebut di atas tidak
menentukan skala untuk semua parameternya, sehingga diperlukan adanya suatu
persyaratan normalisasi. Ini dapat dilakukan dengan mengadopsi pendekatan
konvensional yaitu dengan cara menetapkan unsur pertama dari vektor tersebut
bernilai satu, jadi 1 1 .
Dalam model MIMIC, x adalah “weakly exogenous” dimana distribusinya
kondisional terhadap x. Ini berimplikasi pada struktur sebarannya, nilai tengah,
maupun varian variabel-variabel yang diobservasi. Jadi:
E( ) E ( ) ,i i i i i i iy x x x x (3)
var( ) var ( ) vari i i i i i i i iy x x x x (4)
29
Persamaan (3) dan (4) dapat dinyatakan dalam bentuk reduksinya (reduced form)
sebagai berikut:
i i iy x v (5)
dimana dan (0, )iv , dan . Secara umum, struktur model
MIMIC berimplikasi restriktif pada parameter reduced form dan .
Metode estimasi yang tak bias untuk model MIMIC adalah maximum
likelihood (ML). Perangkat lunak yang mudah digunakan adalah AMOS, LISREL,
dan STATA 12. Dalam penelitian ini yang akan digunakan adalah STATA 12.
Terdapat beberapa bentuk model MIMIC, tergantung pada jumlah variabel
penjelas (x) dan indikator (y) yang dilibatkan dalam model. Bentuk final model
MIMIC yang akan diterapkan dalam penelitian ini akan dapat ditentukan setelah
eksplorasi atas data yang dikumpulkan selesai dilakukan. Untuk sementara, diduga
bahwa indikator yang sesuai untuk merefleksikan “kesejahteraan” antara lain:
pendapatan per kapita, total nilai aset rumah tangga, konsumsi beras per kapita,
pangsa pengeluaran rumah tangga untuk pangan pokok, nilai rekening listrik, dan
sebagainya; sedangkan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi η (tingkat
kesejehteraan) adalah nilai pemilikan aset produktif (lahan, ternak, peralatan
pertanian), produktivitas kerja, jumlah anggota rumah tangga usia kerja, beban
tanggungan rumah tangga, umur kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah
tangga, dan sebagainya.
Data yang akan dianalisis adalah data hasil survey pada penelitian
kerjasama JICA – IFPRI – PSEKP pada tahun 2010 karena jumlah observasinya
sangat memadai (lebih dari 2000), aspek yang digali lengkap, dan relevan untuk
kajian ini karena implementasi kebijakan pencapaian sasaran MDGs di Indonesia
secara efektif berlaku pada periode 2000 – 2015.
30
IV. ANALISIS RISIKO
Tabel 1. Daftar Risiko, Penyebab dan Dampak
No Risiko Penyebab Dampak 1 Rendahnya keterbukaan
informasi responden Rasa kekhawatiran dari informasi yang diberikan tersebut berdampak kurang baik terhadap usahanya
Data kurang lengkap, akurat, dan rinci
2 Tugas-tugas kantor untuk kegiatan non penelitian bersifat dadakan dan sporadis
Tuntutan pekerjaan dari atas yang kurang terjadwal dengan baik
Mengganggu pelaksanaan kegiatan penelitian
3 Perubahan anggaran DIPA untuk kegiatan penelitian
Perubahan lingkungan yang mengharuskan dilaksanakan justifikasi perubahan anggaran
Ketepatan perencanaan dan pelaksanaan terganggu sehingga dapat memperlambat pelaksanaan
Tabel 2. Daftar Penanganan Risiko
No Risiko Penanganan 1 Rendahnya keterbukaan informasi
pedagang dan pengusaha/industri Melakukan teknik wawancara secara baik dan benar, melalui pendampingan petugas instansi terkait dan memberikan penjelasan urgensi penelitian ini bagi responden
2 Tugas-tugas kantor yang sporadis Mengatur pembagian tugas dan tanggungjawab diantara tim pelaksana penelitian
3 Perubahan anggaran DIPA untuk kegiatan penelitian
Membuat perencanaan penelitian dengan strategi Plan-A dan Plan-B, sehingga jika terjadi perubahan anggaran tinggal dilaksanakan salah satu dari plan tersebut
V. TENAGA PELAKSANAAN
Tabel 3. Susunan Tim Pelaksana
No N a m a Gol. Jabatan
Fungsional/ Bidang Keahlian
Kedudukan dalam Tim
1. Dr. Sumaryanto IV/c Peneliti Madya Ketua 2. Edi Basuno Ph.D IV/d Peneliti Utama Anggota 3. Ir. Sri Hastuti Suhartini, M.Si III/d Peneliti Muda Anggota 4. Cut Rabiatul Adawiyah, SP III/a Peneliti Pertama Anggota 5. Rangga Ditya Yofa, SP III/a Staf Peneliti Anggota
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Kemiskinan di Indonesia. Badan Pusat Statistik.
31
BAPPENAS. 2012. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
Breusch, T., 2005. Estimating the Underground Economy using MIMIC Models. Available from: [http://129.3.20.41/eps/em/papers/0507/0507003. pdf].
Buehn, A. and Schneider, F., 2008. "MIMIC Models, Cointegration and Error Correction: An Application to the French Shadow Economy". CESIFO Working Paper, No. 2200.Cervantes-Godoy, D. and J. Dewbre (2010), "Economic Importance of Agriculture for Poverty Reduction", OECD Food, Agriculture and Fisheries Papers, No. 23, OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/5kmmv9s20944-en
Christensen, L., L. Demery, and J. Kuhl. 2010. The (Evolving) Role of Agriculture in Poverty Reduction: An Empirical Perspective. WIDER Working Paper 2010/36 (Helsinki, UNU-WIDER).
Dedan Oriewo Ong'anya, Jackline M. Omuya, Kennedy Mwengei B. Ombaba, and Phyllis A. Arogo. 2012. The Role of Agricultural Growth on Millenium Development Goals in Kenya: A Strategy of Poverty Reduction. Journal of Emerging Trends in Economics and Management Sciences (JETEMS) 3(4): 324-331.
E. O. Oriola. 2009. Irrigation agriculture: An option for achieving the millennium development goals in Nigeria. Journal of Geography and Regional Planning Vol. 2(7), pp.176-181, July, 2009.
FAO. 2007. Adaptation to climate change in agriculture, forestry and fisheries: Perspective, framework and priorities, Interdepartmental Working Group on Climate Change, Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nations, Rome.
Giles, D., and L. Tedds (2002), "Taxes and The Canadian Underground Economy", Canadian Tax Foundation Toronto, Paper n. 106, Canada.
IPCC. 2001 Climate change 2001: impacts, adaptation, and Vulnerability. Cambridge University Press, New York.
IPCC. 2007. Summary for Policymakers. In Climate Change 2007: Impacts, Adaptati on and Vulnerability. Contributi on of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Parry, M.L., O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden, and C.E. Hanson (eds), Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom, 7-22.
Jöreskog, K. and A. Goldberger (1975) 'Estimation of a Model with Multiple Indicators and Multiple Causes of a Single Latent Variable', Journal of the American Statistical Association, 70(351).
Kakwani, N. and J. Silber. 2008. Quantitative Approaches to Multidimensional Poverty Measurement (Ed.). PALGRAVE MACMILLAN, Houndmills, Basingstoke, Hampshire RG21 6XS and 175 Fifth Avenue, New York, N.Y. 10010. 265 halaman.
32
Ledgerwood, J. 1999. Microfinance Handbook: An Institutional And Financial Perspective I.
Maftuchan, A. 2013. Pembiayaan Pembangunan Pasca-2015: Memperbanyak Sumber, Melipatgandakan Alokasi, dan Mendemokratiska Pengelolaan, Indonesia dan Perjalanan Menuju MDGs: Agenda Ke Depan, Jurnal Analisis Ekonomi, Vol 18 No 1 Agustus 2013, Bandung
Rosegrant, Mark W., C. Ringler, T. Benson, X. Diao, D. Resnick, J. Thurlow, and M. Torero. 2006. Agriculture and achieving the Millennium Development Goals. International Food Policy Research Institute (FPRI), Washington, D.C. Report No. 32729-GLB.
Sumaryanto. 2009. Eksistensi Pertanian Skala Kecil Dalam era Persaingan Pasar Global. Makalah utama yang disampaikan pada Seminar Nasional "Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani" yang diselenggarakan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Badan Litbang Pertanian, Depertemen Pertanian pada Tanggal 14 Oktober 2009 di Bogor.
Tangka, Mike Verawati. 2013. Pencapaian MDGs di Indonesia Hingga Tahun 2013. Jurnal Analisis Sosial 18(1):1-17: Indonesia dan Perjalanan Meraih MDGs: Agenda ke Depan
Thirtle, C., L. Beyers, L. Lin, V. McKenzie-Hill, X. Irz, S. Wiggins, and J. Piesse. 2002. The Impact of Changes in Agricultural Productivity on the Incidence of Poverty in Developing Countries. Report to Department for International Development (DfID) no. 7946. London & East Kilbride, UK.
Thurlow, J. 2004. "Growth and Market Opportunities in Zambian Agriculture." International Food Policy Research Institute, Washington, DC.
Thurlow, J., and P. Wobst. 2004. "The Road to Pro-Poor Growth in Zambia: Past Lessons and Future Challenges." Forthcoming Development Strategies and Governance Division Discussion Paper, International Food Policy Research Institute, Washington, D.C. Input paper into the World Bank project "Operationalizing Pro-Poor Growth," Washington, D.C.
Van Blarcom, B., O. Knudsen, and J. Nash. 1993. "The Role of Public Expenditures for Agriculture." World Bank Discussion Paper # 216. The World Bank, Washington, DC.
Van De Walle, D. 1996. Infrastructure and Poverty in Viet Nam. Washington, DC: The World Bank.
Yaron, J., P. B. Mc Donald, Jr., et al. 1997. Rural Finance: Issues, Design, and Best Practices. The World Bank. Washington, D.C.
Zhang, X., and S. Fan. 2000. "Public Investment and Regional Inequality in Rural China." Discussion Paper No. 71, Environment and Production Technology Division, International Food Policy Research Institute, Washington, DC.