Post on 02-Feb-2018
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA
(Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta)
Disusun Oleh :
KUSNUL ISTIQOMAH D0206063
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Komunikasi
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
PENGESAHAN
Telah diuji dan disahkan oleh Panitia Penguji Skripsi
Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Hari :
Tanggal :
Susunan Panitia Penguji:
Ketua : Prof. Drs. H. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D ( )
NIP. 19490428 197903 1 001
Sekretaris : Nora Nailul Amal, S.Sos, MLMed, Hons ( )
NIP. 19810429 200501 2 002
Penguji : Drs. Adolfo Eko Setyanto, M.Si ( )
NIP. 19580617 198702 1 001
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Dekan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul:
KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA
(Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta)
adalah karya asli saya dan bukan plagiat baik secara utuh atau sebagian serta belum
pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik di institusi lain. Saya bersedia
menerima akibat dari dicabutnya gelar sarjana apabila ternyata dikemudian hari
terdapat bukti-bukti yang kuat, bahwa karya saya tersebut ternyata bukan karya saya
yang asli atau sebenarnya.
Surakarta,
Kusnul Istiqomah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
MOTTO
“Hai manusia, sesungguhnya Kami Menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di Sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
(Q.S Al-Hujurat: 13)
“No matter what they say, I have my own way”
(Kusnul)
“Don’t ever let your ambition takes your sanity”
(Kusnul)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
PERSEMBAHAN
母と父に此の卒業論文を捧げます
有難う ございます
(Skripsi Ini Saya Persembahkan Kepada Ibu dan Ayah)
(Terimakasih Banyak)
母へ,母へ,母へ
父へ
(Untuk Ibu, Untuk Ibu, Untuk Ibu)
(Untuk Ayah)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rakmat serta hidayah-Nya, karena hanya atas kehendak-Nya, skripsi
dengan judul KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES AKULTURASI
WARGA JEPANG DI SURAKARTA (Studi Deskriptif Kualitatif Terhadap Peran
Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta) dapat
diselesaikan dengan baik dan lancar.
Penelitian untuk skripsi ini bermula ketika peneliti melihat kesebelas orang
imigran asal Jepang yang memiliki kebudayaan yang berbeda mampu berakulturasi
dengan masyarakat Surakarta. Hal itu terlihat dari cara hidup para imigran tersebut
yang semakin mirip orang Jawa. Sebagai mahasiswa komunikasi, peneliti ingin
melihat kontribusi apa yang diberikan komunikasi antarbudaya terhadap proses
akulturasi tersebut.
Selain itu, pada umumnya komunikasi antarbudaya itu sulit, tetapi kesebelas
imigran tersebut relatif tidak memiliki masalah dengan masyarakat sekitar. Hal itu
terlihat dari tidak adanya konflik yang terjadi di antara mereka dengan masyarakat
sekitar. Peneliti ingin melihat kompetensi apakah yang dimiliki oleh para imigran
tersebut sehingga mampu melakukan komunikasi seperti itu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Dan
pada kesempatan kali ini penulis hendak menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Drs. Adolfo Eko Setyanto, M.Si selaku pembimbing yang telah
memberikan petunjuk dan ilmu selama penyusunan skripsi ini.
2. Hiromi Kano, Miki Orita, Kaoru Serizawa, Yumiko Takenouchi, Akira
Kawakami, Naomi Kawasaki, Mami Yamamura, Hitomi Matsuda,
Keisuke Isobe, Mika Masui, dan Naoko Ujiie karena telah bersedia
menjadi responden penelitian ini. Serta kepada Bpk Hadi Boediono, Bpk
Mulyono, Bpk Sutiman Abdul Rahman, Ibu Santi Staunislavia, Ibu
Theresia Sri Kurniati, Bpk Budi Kadarto, dan Ibu Sri Yuniati selaku
responden dari masyarakat pribumi.
3. Ayahku (alm) dan Ibu tercinta, atas didikan dan kasih sayangnya sehingga
peneliti bisa sampai sejauh ini. Serta atas doa, kerja keras, kesabaran,
ketabahan, dan dukungannya yang tulus.
4. Mas Pendi dan Mas Imam atas nasehat, motivasi, doa dan dukungannya.
5. Keluarga besar Sepon di Doplang.
6. My best Friends: Eke, Ria, Hasna, Arum, Nissa, Dinda and Genk Gemes:
Vaulla, Isni, Mbak Tina, n’ Frenty. Thanks for your friendship.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
7. Teman-teman Saku EO, dan Kom ’06 lainnya yang tidak bisa disebutkan
satu persatu.
8. Ai (Deathgaze) atas suaranya yang merdu yang selalu berhasil membuatku
bersemangat.
9. Akito-sama yang selalu mendampingi.
Penulis berharap, semoga karya ini mampu memberikan manfaat dan mampu
memberikan gambaran untuk penelitian-penelitian berikutnya.
Surakarta,
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………… i
PERSETUJUAN………………………………………………………. ….. ii
PENGESAHAN……………………………………………………….. ….. iii
PERNYATAAN…………………………………………………………… iv
MOTTO…………………………………………………………………….. v
PERSEMBAHAN………………………………………………………….. vi
KATA PENGANTAR……………………………………………………… vii
DAFTAR ISI………………………………………………………………... x
DAFTAR TABEL…………………………………………………………… xiv
DAFTAR BAGAN………………………………………………………….. xv
ABSTRAK…………………………………………………………….. ……. xvi
ABSTRACT…………………………………………………………….……. xviii
I. PENDAHULUAN………………………………………………….. 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
A. Latar
Belakang ………………………………………………….. 1
B. Rumusan
Masalah……………………………………………….. 7
C. Tujuan
Penelitian………………………………………………… 7
D. Manfaat
Penelitian……………………………………………….. 8
E. Telaah
Pustaka…………………………………………………… 9
1. Komunika
si…………………………………………………... 9
a. Pengertian
Komunikasi…………………………………… 9
b. Unsur
Komunikasi………………………………………... 11
2. Multikultu
ralisme…………………………………………….. 16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
3. Komunika
si Antarbudaya……………………………………. 19
a. Pengertian
Komunikasi Antarbudaya……………………. 19
b. Proses
Komunikasi Antarbudaya………………………… 25
c. Fungsi
Komunikasi Antarbudaya………………………… 30
d. Kompeten
si Komunikasi Antarbudaya…………………… 34
e. Komunika
si Antarbudaya yang Efektif………………….. 37
f. Peran
Komunikasi Antarbudaya terhadap Akulturasi……. 43
g. Faktor –
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Komunikasi
Antarbudaya……………………………………………… 45
4. Akulturasi
…………………………………………………….. 51
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
a. Pengertian
Akulturasi…………………………………….. 51
b. Potensi
Akulturasi………………………………………… 60
F. Metodolo
gi Penelitian…………………………………………….. 62
1. Jenis
Penelitian………………………………………………... 62
2. Lokasi
Penelitian……………………………………………… 63
3. Populasi
dan Sensus…………………………………………... 63
4. Teknik
Pengumpulan Data……………………………………. 64
5. Teknik
Analisi Data…………………………………………… 66
6. Validitas
Data…………………………………………………. 67
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
II. DESKRI
PSI LOKASI PENELITIAN……………………………….. 69
A. Kota
Surakarta…………………………………………………...... 69
B. Imigran
Jepang……………………………………………………. 74
C. Profil
Responden………………………………………………….. 79
III. PENYAJ
IAN DAN ANALISIS DATA………………………………. 82
A. Komuni
kasi Antarbudaya Warga Jepang di Surakarta……………. 83
B. Proses
Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang di Surakarta…….. 100
C. Fungsi
Komunikasi Antarbudaya Bagi Warga Jepang di Surakarta. 106
1. Fungsi
Pribadi………………………………………………… 106
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
2. Fungsi
Sosial………………………………………………….. 113
D. Peran
Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga
Jepang di Surakarta……………………………………………….. 117
E. Faktor
Pendukung Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang di
Surakarta………………………………………………………….. 120
1. Aspek-
aspek yang Mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya.. 120
2. Sikap
Saat Berkomunikasi……………………………………. 135
3. Intensita
s……………………………………………………… 142
4. Kompete
nsi Komunikasi Antarbudaya………………………. 144
5. Faktor
Pendukung Akulturasi (Potensi Akulturasi Individu)… 150
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
IV. PENUTUP
…………………………………………………………… 158
A. Kesimpulan
……………………………………………………….. 158
B. Saran……
………………………………………………………… 162
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
DAFTAR TABEL
Tabel 1 High Context Culture-Low Context Culture………………………….. 27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Model Komunikasi Antarbudaya…………………………………… 31
Bagan 1.2 Fungsi-fungsi Pribadi dan Sosial dari Komunikasi…………………. 35
Bagan 1.3 Analisis Data Model Miles dan Huberman…………………………. 71
Bagan 3.1 Model Komunikasi Antarbudaya…………………………………….. 106
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
ABSTRAK
Kusnul Istiqomah, D0206063, KOMUNIKASI ANTARBUDAYA ALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Februari 2010
Sekarang ini, banyak orang-orang asing yang datang ke Indonesia dengan berbagai tujuan. Ada yang datang untuk berwisata, belajar bahkan ada yang datang untuk bekerja termasuk warga Jepang. Begitu juga di Surakarta, bermacam-macam warga asing datang dengan berbagai keperluan termasuk orang Jepang. Setiap imigran harus menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya sehingga mereka mampu bertahan di lingkungan baru tersebut. Seorang imigran mempelajari dan mengadopsi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di negara tuan rumah. Dimana proses tersebut dikenal dengan sebutan akulturasi. Peneliti melihat kesebelas orang imigran asal Jepang yang memiliki kebudayaan yang berbeda mampu berakulturasi dengan masyarakat Surakarta. Hal itu terlihat dari cara hidup para imigran tersebut yang semakin mirip orang Jawa. Sebagai mahasiswa komunikasi, peneliti ingin melihat kontribusi apa yang diberikan komunikasi antarbudaya terhadap proses akulturasi tersebut.
Selain itu, pada umumnya komunikasi antarbudaya itu sulit, tetapi kesebelas imigran tersebut relatif tidak memiliki masalah dengan masyarakat sekitar. Hal itu terlihat dari tidak adanya konflik yang terjadi di antara mereka dengan masyarakat sekitar. Peneliti ingin melihat kompetensi apakah yang dimiliki oleh para imigran tersebut sehingga mampu melakukan komunikasi seperti itu.
Penelitian ini mengambil tempat di wilayah Surakarta dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini menggunakan sensus yaitu mengambil seluruh populasi menjadi objek penelitian. Menurut data dari kantor Imigrasi, di wilayah Surakarta terdapat 15 orang Jepang, namun peneliti hanya mampu menemukan 11 dari jumlah keseluruhan. Untuk menganalisis data, penelitian ini menggunakan model analisis data Miles dan Huberman. Untuk memastikan validitas data, peneliti menggunakan teknik triangulasi data.
Dari hasil penelitian, peneliti dapat menyimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya yang terjadi antara warga Jepang dengan penduduk pribumi sangat membantu kelancaran akulturasi warga Jepang di Surakarta. Komunikasi antarbudaya berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan lingkungan fisik dan sosial seorang imigran. Melalui komunikasi antarbudaya, imigran Jepang bisa menyesuaikan diri dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
lingkungan dan berhubungan dengan lingkungan serta mendapatkan keanggotaan dan rasa memiliki dalam berbagai kelompok sosial yang mempengaruhi mereka. Selayaknya orang-orang pribumi, para imigran Jepang juga memperoleh pola-pola budaya pribumi dari kegiatan komunikasi antarbudaya. Melalui komunikasi massa seorang imigran mengetahui lebih jauh lagi tentang berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya pribumi.
Proses komunikasi antarbudaya tidak bisa lepas dari faktor-faktor pendukung. Aspek-aspek yang mempengaruhi komunikasi antar budaya yang terdiri dari persepsi, proses verbal, proses non-verbal dan konteks komunikasi. Sikap seorang imigran ketika berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya yang meliputi respect, empathy, audible, clarity, humble, adaptability, acceptance, cultural awareness,dan knowledge discovery; intensitas komunikasi, dan kompetensi komunikasi antarbudaya yang dimiliki oleh tiap imigran Jepang juga ikut andil dalam memperlancar komunikasi antarbudaya. Selain komunikasi antarbudaya, potensi akulturasi yang dimiliki seorang individu juga menentukan lancarnya proses akulturasi individu tersebut.
.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
ABSTRACT
Kusnul Istiqomah, D0206063, COMMUNICATION BETWEEN CULTURES IN JAPANESE ACCLUTURATION PROCESS IN SURAKARTA (Descriptive Qualitative Study of Roles of Communication between Cultures in Japanese Acculturation Process in Surakarta). Bachelor Thesis, Department of Communication Science, Faculty of Social and Political Science, Sebelas Maret University, Surakarta, February 2010.
Nowadays, a lot of people come to Indonesia with various kinds of purposes. Some of them come to enjoy the vacation resorts in Indonesia, to study, even work. Various people from all over the world come to Indonesia as well as from Japan. In Surakarta, there are also various kinds of foreign people who came to vacation, study, work, and even marry with host people. Every immigrant has to adapt with host culture so that can survive in the new environment. An immigrant learns and adopts norms and values of host culture which process is known as acculturation. From the observation, it could be said that the acculturation of Japanese people in Surakarta succeed. Therefore, researcher wanted to know the role of communication between cultures toward that acculturation process. And factors that influence the success of those communication between cultures and acculturation.
This research took place in Surakarta region with descriptive qualitative research method. It used census which took every Japanese people who live in Surakarta as research object. According to data from Immigration Department, there are 15 Japanese persons who live in Surakarta, but researcher could find only 11 persons of them. To analyze research data, researcher used Miles and Huberman data analysis model and to validate data, researcher used data triangulation.
According to research result, researcher could say that communication between cultures which conducted between Japanese people and Javanese people, had a great help to Japanese acculturation in Surakarta. Communication between cultures became a way to translate an immigrant’s physic and social environment. Through communication between cultures, Japanese people could do adaptation with their environment, connected to the environment and got membership and sense of belonging in every social group that influenced them. Like host people, Japanese people also got host culture patterns through conducted communication between cultures. And through it, an immigrant knew about many aspects of host socio-culture for further.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Need to be known that process of communication between cultures is inseparable from factors that support it. The conducted communication between cultures had to be supported by some aspects such as perception, verbal process, non-verbal process, and communication context. Attitude while communicate, communication intensity, and communication between cultures competency which had by immigrants also took part in communication between cultures effectiveness. Need to be known that besides communication between cultures, acculturation potency that had by immigrant also determined acculturation process of those immigrants.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Disadari ataupun tidak, kebudayaan Jepang telah berpengaruh pada kehidupan
warga Indonesia. Selama 3,5 tahun Indonesia pernah dijajah oleh Jepang, dan pada
masa penjajahan tersebut Jepang terbukti lebih intens dalam melakukan aksi
akulturasi yakni di bidang politik. Jepang menunjukkan betapa unggulnya budaya
militer mereka sehingga bisa mengalahkan tentara Barat. Pada kenyataanya, memang
banyak pemuda Indonesia yang terpesona dan meleburkan diri menjadi tentara PETA.
Untuk tingkat tertentu dengan politik akulturasinya, Jepang telah menguasai dan
mengendalikan para pemuda untuk loyal dan membela penjajah ini.1
Kita wajib bersyukur karena kebudayaan Indonesia terutama kebudayaan
Jawa adalah kebudayaan dengan jati diri yang kuat sehingga tidak mudah terpengaruh
kebudayaan asing.2 Namun, sisa-sisa pengaruh Negara Jepang masih tampak pada
kehidupan sehari-hari. Misalnya saja penggunaan seragam untuk anak-anak sekolah
1 Beni Belvy, “Akulturasi Menjamin Kehidupan yang Harmonis?” http://www.overseasthinktankforindonesia.com/tag/akulturasi/. 6/7/2010/09.00. 2 Budya Pradipta, “Pertemuan Budaya dan Konsekuensinya”. 26/7/2010/09.15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
dimana kebiasaan penggunaan seragam tersebut adalah warisan atau pengaruh dari
Jepang. Sekarang Indonesia merupakan Negara yang merdeka.
Di Surakarta, bermacam-macam warga asing datang berkunjung baik untuk
keperluan wisata, pendidikan maupun pekerjaaan, termasuk warga Jepang. Sekarang
bukan lagi penduduk Indonesia (Jawa) yang harus menyesuaikan diri dengan
penduduk Jepang, tetapi sebaliknya, para pendatanglah yang harus menyesuaikan diri
dengan tuan rumah.
Di Amerika maupun Eropa banyak orang disebut imigran yang pada
kenyataannya adalah sojourner dan ekspatriat. Sojourner biasanya tinggal di sebuah
negara baru dengan batas waktu tertentu yaitu dari enam bulan dan paling lama lima
tahun dengan tujuan tinggal yang lebih spesifik, misalnya untuk pendidikan.
Sedangkan ekspatriat lebih sering digunakan untuk menyebut pekerja asing yang
tinggal di sebuah negara dengan batasan waktu yang tak terhingga.3 Imigran yang ada
di Surakarta pun ada yang sebagai sojourner dan expatriate. Menurut data dari
Kantor Imigrasi Wilayah Jawa Tengah 2010, tercatat 15 orang warga Jepang yang
tinggal di Surakarta. Namun, peneliti hanya mampu menemukan 11 orang imigran
asal Jepang. Dari kesebelas orang tersebut tujuh orang merupakan soujourner dan
empat orang merupakan expatriate. Tujuan mereka tinggal di Surakarta bermacam-
macam, tujuh orang Imigran tinggal di Surakarta untuk keperluan pendidikan, tiga
orang untuk bekerja, dan satu orang untuk berumah tangga.
3 Fred E. Jandt, “Intercultural Communication: An Introduction, cet.II (Thousand Oaks, California: Sage Publication, 1998) hlm. 311
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Setiap orang ingin kehidupannya berhasil. Oleh sebab itu, di lingkungan baru
tersebut mereka perlu melakukan akulturasi sehingga bisa membaur dengan
masyarakat sekitar dan tujuan mereka tercapai.
Setiap imigran harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya
sehingga mereka mampu bertahan di lingkungan baru tersebut. Seorang imigran
mempelajari dan mengadopsi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di negara
tuan rumah di mana proses tersebut dikenal dengan sebutan akulturasi.4
Berry, Kim, & Boski (1987) telah menjelaskan akulturasi ke dalam dua
dimensi.
“…the value placed on maintaining one’s original cultural identity and the value given to maintaining relationship with other group in one’s new culture…”5
(…nilainya yang terletak pada merawat identitas budaya asli
seseorang dan nilai yang diberikan untuk menjaga hubungan dengan kelompok dalam kebudayaan baru orang tersebut…)
Akulturasi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh imigran untuk
menyesuaikan diri dengan dan memperoleh kebudayaan pribumi.6 Akulturasi terjadi
melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang
signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh pola-pola budaya pribumi
lewat komunikasi, para imigran pun melakukan hal serupa melalui komunikasi.
Karena orang belajar komunikasi dengan komunikasi.
4 Ibid. hlm.315 5 Pernyataan Berry, Kim dan Boski seperti dikutip oleh Fred E. Jandt dalam “Intercultural Communication: An Introduction, cet.II (Thousand Oaks, California: Sage Publication, 1998) hlm.315 6 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (ed), Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan orang‐orang berbeda budaya (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001) hlm. 139
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Proses trial and error selama akulturasi sering mengecewakan dan
menyakitkan. Ada masalah krusial yang sering menghambat proses akulturasi
tersebut. Masalah tersebut adalah komunikasi antarbudaya baik secara verbal maupun
non verbal. Masalah dalam komunikasi verbal sering disebabkan oleh perbedaan
bahasa asli imigran dengan bahasa asli pribumi. Seperti misalnya penggunaan Bahasa
Jepang dan Bahasa Indonesia. Sedangkan masalah komunikasi nonverbal meliputi
perbedan penggunaan dan pengaturan ruang, jarak antarpribadi, ekpresi wajah, gerak
mata, gerakan tubuh lainnya, dan persepsi tentang penting tidaknya perilaku
nonverbal.7
Hal tersebut juga dialami oleh imigran Jepang di Surakarta. Pada awalnya
mereka memiliki kesulitan dalam memahami makna baik secara verbal maupun
nonverbal ketika berkomunikasi dengan penduduk pribumi karena pengetahuan
tentang bahasa Indonesia dan kebudayaan Jawa yang masih sedikit. Namun, dalam
waktu singkat mereka mampu mengatasinya.
Seperti misalnya yang pernah dialami seorang responden, Kaoru Serizawa.
Ketika Kaoru dan rombongan wayang akan pulang setelah pentas, ia ditawari oleh
seorang sinden “monggo, mampir wonten gubug kulo!”, karena mengira sinden
tersebut mengundangnya untuk mampir, Kaoru pun mampir ke rumah sinden
tersebut, padahal ungkapan semacam itu biasa digunakan oleh orang Jawa untuk
berbasa-basi. Kaoru pun turun dari mobil dan ikut masuk ke rumah sinden itu. Dia
melihat ekspresi terkejut di wajah sinden itu, tapi dia tidak mengerti maksud dari 7 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
ekspresi tersebut. Setelah bertanya kepada seorang teman, Kaoru pun mengerti
maksud dari ajakan tersebut. Dari pengalaman yang mereka dapat ketika baru tinggal
di Surakarta, mereka belajar lebih banyak tentang kebudayaan Jawa sehingga
membantu mereka dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Saya melihat secara sepintas kesebelas orang tersebut berhasil di dalam
akulturasi. Hal tersebut terlihat dari cara mereka hidup di Surakarta yang semakin
mirip dengan orang Jawa dari segi komunikasi, cara berpakaian, makanan, gerak
tubuh, tutur kata, dan kebiasaan sehari-hari. Dari segi komunikasi, para imigran
tersebut lebih sering berbasa-basi serta aktif untuk berkomunikasi dengan masyarakat
sekitar meskipun baru pertama kali bertemu yang mana hal tersebut tidak pernah
mereka lakukan ketika di Jepang.
Dari segi berpakaian, mereka pun menyesuaikan dengan gaya berpakaian di
Jawa, mereka juga suka mengenakan batik dan kebaya. Ketika akan pergi kuliah,
mereka mengenakan kemeja dan bersepatu. Mereka juga menerima makanan Jawa
dengan mudah bahkan cenderung menyukainya. Makanan favorit mereka adalah
gado-gado, lotek, nasi goreng, sayur asam, dan ayam goreng.
Selain itu ketika lewat di depan orang yang lebih tua mereka membungkukkan
badan dan ketika mempersilakan tamu masuk ke dalam rumah mereka mengucapkan
“monggo” sambil menunjuk dengan ibu jari. Selain “monggo”, kata-kata dalam
bahasa Jawa yang sering mereka gunakan adalah “maturnuwun” dan “nuwun sewu”.
Selain itu, mereka juga sudah terbiasa dengan cara mandi dan buang air di
Surakarta. Mereka juga mengikuti kebiasaan mandi sehari dua kali yang berbeda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
dengan di Jepang. Di Jepang, mereka terbiasa mandi satu kali dalam sehari ketika
akan pergi tidur. Mereka juga terbiasa dengan jam karet yang berlaku di lingkungan
sekitar mereka. Bahkan ada yang mengikuti kebiasaan jam karet tersebut. Lalu, bagi
imigran Jepang yang menikah dengan penduduk pribumi, mereka juga mengikuti
serangkaian kegiatan yang sudah menjadi kebiasaan di daerah baru mereka. Misalnya
jagong, PKK, dan Dharmawanita.
Mereka juga sudah bisa menerima kondisi lalu lintas di Surakarta yang ramai
dan banyak motor. Menurut mereka, alur lalu lintas di Surakarta sangat ramai dan
berbahaya karena banyak motor, banyak orang yang suka mengendarai motor atau
mobilnya dengan kencang dan salip-menyalip. Bagi imigran yang memiliki
kendaraan sendiri misalnya sepedamotor, mereka juga mengikuti kebiasaan
membunyikan klakson sesuka hati mereka yang berbeda dengan Jepang. Di Jepang,
pengendara akan membunyikan klakson jika keadaannya betul-betul berbahaya.
Sebagai seorang imigran mereka juga menyadari bahwa harus bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berusaha menerima nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat sehingga mereka bisa diterima di lingkungan baru tersebut.
Terkadang terdapat perlakuan dari masyarakat sekitar yang tidak sesuai
dengan pengharapan para warga Jepang, misalnya ketika seseorang menanyakan hal
yang menurut orang Jepang sangat pribadi seperti menanyakan “Kenapa belum
memiliki anak?” dan “Siapa ayah anak ini?”. Reaksi yang timbul dari pertanyaan
semacam itu biasanya adalah rasa tersinggung dan terganggu. Reaksi tersebut sesuai
dengan hasil penelitian Jelena Durovic. Dari hasil penelitian, reaksi yang ditimbulkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
ketika seseorang mendapat perlakuan yang tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan
bermacam-macam antara lain merasa berbeda hingga kemarahan.
“The collected data show that the reactions are numerous and range from indifference, surprise, sadness, irritation, frustration to anger.”8
(data yang terkumpul menunjukkan reaksi yang bermacam-macam
mulai dari merasa berbeda, terkejut, sedih, terganggu, frustasi, dan marah)
Namun, reaksi yang mereka rasakan itu tidak menggangu proses akulturasi
yang sedang berlangsung. Karena mereka menyadari perbedaan budaya yang ada
sehingga bisa memaklumi pertanyaan semacam itu.
Pada umumnya, komunikasi antarbudaya itu sulit dilakukan. Tetapi, kesebelas
orang Jepang yang tinggal di Surakarta itu sekalipun memiliki budaya yang berbeda,
mereka relatif tidak memiliki masalah dengan masyarakat. Hal itu terlihat dari tidak
adanya konflik yang pernah terjadi di antara mereka dengan penduduk pribumi.
Mereka mampu hidup berdampingan dan saling memaklumi. Kompetensi apakah
yang dimiliki oleh para imigran tersebut sehingga mampu melakukan komunikasi
seperti itu? Serta, apakah peran yang disumbangkan komunikasi itu terhadap proses
akulturasi yang mereka alami?
Selain kedua masalah tersebut, peneliti tertarik dengan tema ini karena
memiliki ketertarikan tersendiri dengan Jepang baik kebudayaan, cara hidup maupun
bahasa yang mereka miliki. Terlebih lagi, Jepang dan Indonesia sama-sama negara
budaya konteks tinggi.
8 Jelena Durovic, “Intercultural Communication and Ethnic Identity”, Journal Of Intercultural Communication, issue 16 (April, 2008) hlm. 12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
B. RUMUSAN MASALAH
Di Surakarta peneliti menemukan 11 orang imigran asal Jepang. Meskipun
memiliki latar belakang budaya yang berbeda, imigran-imigran tersebut mampu
membaur dengan masyarakat Surakarta dan mengikuti cara hidup masyarakat
Surakarta. Jika dikaji dari sudut ilmu komunikasi, peran apakah yang disumbangkan
oleh komunikasi antarbudaya dalam memperlancar akulturasi tersebut?
Umumnya komunikasi antarbudaya sering mengalami kegagalan, tetapi tidak
dengan imigran asal Jepang yang ada di Surakarta. Kompetensi apakah yang mereka
miliki sehingga mampu melakukan komunikasi seperti itu?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang bisa diambil dari penelitian ini yaitu :
1. Untuk mengetahui peran Komunikasi Antarbudaya dalam mendukung
kelancaran proses akulturasi warga Jepang di Surakarta.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mendukung Komunikasi
Antarbudaya dalam proses akulturasi warga Jepang di Surakarta.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritik: hasil peneltian ini diharapkan bisa menambah khasanah
pengetahuan terutama di bidang ilmu komunikasi antarbudaya.
2. Manfaat Praktis: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
rekomendasi pada penelitian berikutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
E. TELAAH PUSTAKA
1. Komunikasi
Sejak dilahirkan, manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu yang
menjadi wadah kehidupannya. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Mereka memerlukan
bantuan dari orang lain di sekitarnya. Untuk itu ia melakukan komunikasi. Sebagai
makhluk sosial, manusia akan selalu berkeinginan untuk berbicara, saling tukar
gagasan, mengirim dan menerima informasi, membagi pengalaman, bekerja sama
dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan, dan sebagainya.9
a. Pengertian Komunikasi
Meskipun komunikasi merupakan kegiatan yang sangat dominan dalam
kehidupan sehari-hari, namun tidaklah mudah memberikan definisi yang dapat
diterima semua pihak. Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communicare yang
artinya memberitahukan. Kata tersebut kemudian berkembang dalam bahasa Inggris
communication yang artinya proses pertukaran informasi, konsep, ide, gagasan,
perasaan, dan lain-lain antara dua orang atau lebih.10
Beberapa definisi dari komunikasi yang diungkapkan beberapa ahli adalah
sebagai berikut:
9 Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010) hlm. 1 10 Ibid. hlm. 2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Wilbur Scramm (1955) menjelaskan, “Communication as an act of
establishing contact between a sender and receiver, with the help of message; the
sender and receiver some common experience which meaning to message encode and
sent by the sender; and received and decoded by the receiver”.11 (Komunikasi
merupakan tindakan melaksanakan kontak antara pengirim dan penerima, dengan
bantuan pesan; pengirim dan penerima memiliki beberapa pengalaman bersama yang
memberi arti pada pesan dan simbol yang dikirim oleh pengirim, dan diterima serta
ditafsirkan oleh penerima).
Definisi komunikasi menurut Everett M. Rogers (1955) yaitu
“Communication is the process by which an idea is transferred from a source to
receiver with the intention of changing his or her behavior”.12 (Komunikasi ialah
proses yang di dalamnya terdapat suatu gagasan yang dikirimkan dari sumber kepada
penerima dengan tujuan untuk mengubah perilakunya).
Sedangkan Raymond S. Ross (1974) mengungkapkan “Communication is a
transactional process involving cognitive sorting, selecting, and sharing of symbol in
such a way as to help another elicit from his own experience a meaning or responses
similar to that intended by source”.13 (Komunikasi ialah proses transaksional yang
meliputi pemisahan, dan pemilahan bersama lambang secara kognitif, begitu rupa
sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan dari pengalamannya sendiri arti
atau respon yang sama dengan yang dimaksud oleh sumber). 11 Ibid. 12 Ibid. hlm. 3 13 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Definisi komunikasi menurut Theodore Herbert (1981) “Communication is
the process by which meaning a knowledge is transferred from one person to another,
usually for the purpose of obtaining some specific goals”.14 (Komunikasi adalah
proses di dalamnya menunjukkan arti pengetahuan dipindahkan dari seorang kepada
orang lain, biasanya dengan maksud mencapai beberapa tujuan khusus).
Edward Depari (1990) menyebutkan komunikasi adalah proses penyampaian
gagasan, harapan, dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu,
mengandung arti, dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima
pesan.15
Berdasarkan definisi komunikasi yang telah diuraikan sebelumnya, maka
dapat disimpulkan komunikasi adalah proses transaksi pesan atau informasi yang
mengandung arti, dari pengirim (komunikator) kepada penerima (komunikan) untuk
mencapai tujuan tertentu.16
b. Unsur Komunikasi
Komunikasi merupakan sebuah proses, aktivitas, atau kegiatan terbentuk oleh
karena adanya unsur-unsur komunikasi. Dari komponen-komponen ini selanjutnya
terbentuk proses komunikasi. Karena proses komunikasi yang dilakukan adalah
komunikasi antarbudaya, maka kebudayaan merupakan dinamisator atau “penghidup”
14 Ibid. 15 Ibid. 16 Ibid. hlm. 4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
bagi proses komunikasi tersebut.17 Komponen atau unsur komunikasi tersebut dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
1) Komunikator, sumber informasi (source), adalah individu atau orang yang
mengirim pesan. Pesan tersebut diproses melalui pertimbangan dan
perencanan dalam pikiran. Proses mempertimbangkan dan merencanakan
tersebut berlanjut kepada proses penciptaan pesan. Komunikator dalam
komunikasi antarbudaya adalah pihak yang memprakarsai komunikasi dan
berasal dari latar belakang kebudayaan tertentu. Beberapa studi tentang
karakteristik komunikator yang pernah dilakukan oleh Giles dan Arlenen
Franklyn-Stokes menunjukkan bahwa karakteristik itu di tentukan antara lain
oleh latar belakang etnis dan ras, faktor demografis seperti umur dan jenis
kelamin, hingga ke latar belakang sistem politik. William Gudykunts dan
Young Yun Kim (1995) mengatakan bahwa secara makro perbedaan
karakteristik antarbudaya itu ditentukan oleh faktor nilai dan norma hingga ke
arah mikro yang mudah dilihat dalam wujud kepercayaan, minat dan
kebiasaan. Selain itu faktor-faktor yang berkaitan dengan kemampuan
berbahasa sebagai pendukung komunikasi misalnya kemampuan berbicara
dan menulis secara baik dan benar (memilih kata, membuat kalimat),
17 Alo Liliweri, Dasar‐Dasar Komunikasi Antarbudaya, cet III (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
kemampuan menyatakan simbol non verbal (bahasa isyarat tubuh), bentuk-
bentuk dialek dan aksen, dan lain-lain.18
2) Pesan (message). Pesan atau informasi, ada pula yang menyebut sebagai
gagasan, ide, simbol, stimuli pada hakikatnya merupakan sebuah komponen
yang menjadi isi komunikasi. Pesan ini dapat berupa pesan verbal maupun
non-verbal. Dalam model komunikasi antarbudaya, pesan adalah apa yang
ditekankan atau yang dialihkan oleh komunikator kepada komunikan. Setiap
pesan sekurang-kurangnya mempunyai dua aspek utama: content dan
treatment, yaitu isi dan perlakuan. Pilihan isi dan perlakuan atas pesan
tergantung dari ketrampilan komunikasi, sikap, tingkat pengetahuan, posisi
dalam sistem sosial dan kebudayaan.19
3) Saluran, media (channel), merupakan suatu sarana yang digunakan untuk
menyampaikan pesan dari seorang komunikator kepada komunikan. Dalam
proses komunikasi antarbudaya, media merupakan tempat, saluran yang
dilalui oleh pesan atau simbol yang dikirim melalui media tertulis, media
massa cetak dan media massa elektronik. Akan tetapi kadang-kadang pesan-
pesan itu dikirim tidak melalui media, terutama dalam komunikasi
antarbudaya tatap muka. Ada dua tipe saluran; (1) sensory channel, yakni
saluran yang memindahkan pesan sehingga akan ditangkap oleh lima indra,
yaitu mata, telinga, tangan, hidung dan lidah. Lima saluran sensoris itu adalah
18 Ibid. hlm. 25‐26 19 Ibid. hlm. 28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
cahaya, bunyi, perabaan, pembauan dan rasa. (2) institutionalized means, atau
saluran yang sudah sangat dikenal dan digunakan manusia, misalnya
percakapan tatap muka, material cetakan dan media elektronik.20
4) Komunikan, penerima informasi (receiver), merupakan pihak yang menerima
pesan. Sebenarnya komunikan tidak sekedar menerima pesan, melainkan juga
menganalisis dan menafsirkannya sehingga dapat memahami makna pesan
tersebut. Komunikan dalam komunikasi antarbudaya juga berasal dari suatu
kebudayaan tertentu yang berbeda dengan komunikator. Tujuan Komunikasi
akan tercapai jika komunikan “menerima” (memahami makna) pesan dari
komunikator, dan memperhatikan (attention) serta menerima pesan secara
menyeluruh (comprehension).21 Seringkali seorang komunikan, saat
memperhatikan atau memahami isi pesan sangat tergantung pada tiga bentuk
pemahaman, yaitu: (a) kognitif, komunikan menerima isi pesan sebagai suatu
yang benar; (b) afektif, komunikan percaya bahwa pesan itu tidak hanya benar
tetapi baik dan disukai, dan (c) overt action atau tindakan nyata, di mana
seorang komunikan percaya atas pesan yang benar dan baik sehingga
mendorong tindakan yang tepat.22
5) Umpan balik (feedback), merupakan respon atau tanggapan seorang
komunikan setelah mendapatkan terpaan pesan. Dapat pula dikatakan sebagai 20 Ibid. hlm. 28‐29 21 Ibid. hlm.27 22 Ibid. hlm. 27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
reaksi yang timbul. Tanpa umpan balik atas pesan-pesan dalam komunikasi
antarbudaya maka komunikator dan komunikan tidak bisa memahami ide,
pikiran dan perasaan yang terkandung dalam pesan tersebut.23
6) Gangguan (noise/barier). Gangguan komunikasi seringkali terjadi, baik
gangguan bersifat teknis maupun semantik. Adanya gangguan komunikasi ini
dapat menyebabkan penurunan efektivitas proses komunikasi.24 Gangguan
dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu yang menjadi
penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan,
atau paling fatal adalah mengurangi makna pesan antarbudaya. De Vito
(1997) menggolongkan tiga macam gangguan yaitu:25
(a) Gangguan Fisik yang berupa interfensi dengan transmisi fisik isyarat atau
pesan lain, misalnya desingan mobil yang lewat, dengungan komputer,
kaca mata, dll.
(b) Gangguan Psikologis yang berupa interfensi kognitif atau mental,
misalnya prasangka dan bias pada sumber, penerima, pikiran yang sempit.
(c) Gangguan Semantik yang berupa pembicara dan pendengar memberi arti
yang berlainan, misalnya orang berbicara dengan bahasa yang berbeda,
menggunakan jargon atau istilah yang terlalu rumit untuk dipahami oleh
pendengar.26
23 Ibid. hlm.30 24 Suranto Aw. Op.Cit. Hlm. 7 25 Alo Liliweri. Op.Cit. hlm. 30 26 Alo Liliweri. Op.Cit. hlm. 31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
2. Multikulturalisme
Kebudayaan yang homogen relatif langka sekarang ini. Etnik homogen seperti
Italia, Jepang, Norwegia, dan beberapa negara lain telah berdiri berabad-abad lalu.
Nasionalitas yang turun temurun adalah hal yang benar untuk negara Jerman dan
Israel, keduanya adalah negara modern yang menganugerahi hak-hak kepada
rakyatnya berdasarkan darah. Era 1990an melihat etnisitas diproklamirkan sebagai
pondasi yang layak bagi negara-negara Balkan dan di bagian mantan Uni Soviet.
Negara-negara tersebut adalah negara minoritas. Lebih dari 95% dari Negara-negara
di dunia yang heterogen secara etnik.27
Multikulturalisme bukan sekedar berarti lain ras dan nasionalitas tetapi
memiliki pemahaman yang lebih dalam.
“Multiculturalism does not simply mean other races and nationalities but virtually every conceivable human grouping that separates from the norm, develope a separate identity as well as its normative identity. Indeed each person is of many cultures simultaneously. One has a sexual identity; a racial identity; a religious identity; a class/work identity; a school identity; an identity from the friends one keeps; a family identity; several geographic identities; neighborhood; city; state; country; hemisphere; etc. human tendency to be relatively unconscious of other cultures is dysfunctional in our society as well as in any association, and it is clear that much hostility is created by ignorance of other cultures and the failure to recognize their existence”28
(multikulturalisme bukan secara sederhana diartikan sebagai lain ras dan bangsa tetapi pada hakikatnya setiap kelompok manusia yang bisa digambarkan terpisah dari norma, mengembangkan identitas tersendiri begitu
27 Fred E. Jandt, Intercultural Communication: An Introduction 2nd (Thousand Oaks, Sage Publication, 1998) hlm. 419 28 Pernyataan Executive Committee dari association of Cllege Unions‐International, July 1987 seperti dikutip oleh Fred E. Jandt (1998) dalam Intercultural Communication: An Introduction 2nd (Thousand Oaks, Sage Publication, 1998) hlm. 425
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
juga identitas normatifnya. Tentu saja begitu juga dengan setiap manusia dalam banyak kebudayaan. Seseorang memiliki sebuah identitas seksual; identitas ras; identitas agama; identitas kelas/pekerjaan; identitas sekolah; identitas dari teman-temannya; identitas keluarga; beberapa identitas geografi: lingkungan sekitar, kota, negara bagian, desa, belahan dunia, dll. Kecenderungan manusia yang relatif tidak sadar akan kebudayaan lain tidak berfungsi dalam masyarakat kita begitu juga di asosiasi manapun, dan jelas, permusuhan seperti itu diciptakan oleh ketidakpedulian terhadap kebudayaan lain dan kegagalan untuk mengenali keberadaan mereka).
Multikulturalisme adalah sebuah kata yang digunakan untuk menjelaskan
situasi di dalam suatu masyarakat di mana kelompok-kelompok yang berbeda
didukung untuk menjaga perbedaan etnik mereka, dan untuk berpartisipasi di dalam
kehidupan sehari-hari dengan masyarakat yang lebih luas. Hal ini berlawanan dengan
perbedaan etnik yang dikurangi dan keberagaman diharmonisasikan seperti “melting
pot”, atau di mana perbedaan etnik diijinkan tetapi tidak terlibat kehidupan di
masyarakat yang lebih luas (segregasi).29
Dalam garis pemikiran ini, sebuah masyarakat multikultur mungkin tidak
memiliki sebuah kebudayaan yang berlaku untuk semua kelompok dan tidak ada satu
pun budaya yang boleh mendahului yang lain.30
Studi sosiologi dan antropologi tentang masyarakat majemuk selalu
menggambarkan bahwa multikulturalisme merupakan ideologi dari sebuah
29 David L. Sam dan John W. Berry (ed), The Cambridge Handbook of Acculturation Psychology (New York: Cambridge University Press, 2006) hlm. 20 30 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
masyarakat multikultur yaitu masyarakat yang tersusun oleh keragaman etnik karena
dukungan keragaman etnik atau kebudayaan dalam arti luas.31
Ada beberapa pengertian mengenai multikulturalisme, pertama,
multikulturalisme adalah konsep yang menjelaskan dua perbedaan dengan makna
yang berkaitan. (a) Multikulturalisme sebagai kondisi kemajemukan kebudayaan atau
pluralisme budaya dari suatu masyarakat. Kondisi ini diasumsikan dapat membentuk
sikap toleransi. (b) Multikulturalisme merupakan seperangkat kebijakan pemerintah
pusat yang yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat dapat
memberikan perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku
bangsa.32
Kedua, multikulturalisme merupakan konsep sosial yang diintroduksi ke
dalam pemerintahan agar pemerintah dapat menjadikannya sebagai kebijakan
pemerintah.33
Ketiga, jika dikaitkan dengan pendidikan multikultural, multikulturalisme
merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keragaman latar belakang
kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk
sikap multikulturalisme.34
31 Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur cet. II (Yogyakarta, LKiS, 2009) hlm. 68 32 Ibid. 33 Ibid. 34 Ibid. hlm. 69
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Keempat, multikulturalisme sebagai sebuah ideologi dapat dikatakan sebagai
gagasan bertukar pengetahuan dan keyakinan yang dilakukan melalui pertukaran
kebudayaan atau perilaku budaya setiap hari.35
3. Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi berhubungan erat dengan kebudayaan. Komunikasi yang terjadi
antara orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda mendasari
adanya komunikasi antarbudaya.
Kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku
komunikasi seseorang termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi terhadap
tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda.36
Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif
dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya adalah perbendaharan budaya
yang satu dengan yang lain juga berbeda dan dapat menimbulkan bermacam-macam
kesulitan.37
a. Pengertian Komunikasi Antarbudaya
35 Ibid. 36 Alo Liliweri, Gatra‐Gatra Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001) hlm. 1 37 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (ed), Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan orang‐orang berbeda budaya (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2001) hlm. 21
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Fred E. Jandt menuliskan definisi komunikasi antarbudaya sebagai interaksi
tatap muka di antara orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda
(intercultural communication generally refers to face-to-face interaction among
people of diverse cultures).
Collier dan Thomas (1988) mendefinisikan komunikasi antarbudaya as
communication between people ‘who identify themselves as distinct from’ others in a
cultural sense. (Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang yang
menganggap dirinya sebagai orang yang berbeda dengan yang lain dalam sebuah
kebudayaan).
Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa menyebutkan bahwa komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan,
misalnya suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial.38
Sedangkan Carley H. Dodd menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya
mengarah pada pengaruh variabel-variabel dan perbedaan budaya dalam hasil
komunikasi interpersonal. Perbedaan dalam gaya komunikasi dan sosial, pendangan
terhadap dunia, adat, harapan, aturan, peran, dan mitos menggambarkan sedikit
elemen yang menjelaskan bagaimana kebudayaan membentuk proses komunikasi.39
Beberapa teori komunikasi telah diterapkan pada situasi antarbudaya. Salah
satunya adalah yang berdasar pada teori Uncertainty Reduction oleh Berger dan
Calabrese (1975). Teori tersebut berasumsi bahwa pada fase inisiasi dari interaksi 38 Alo Liliweri, Dasar‐dasar komunikasi antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 10 39 Carley H. Dodd, Dynamics of Intercultural Communication 5th (Boston‐Massachusetts: Mc Graw Hill, 1998) hlm. 4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
dengan orang lain, yang menjadi tujuan utama adalah untuk mengurangi keraguan
terhadap orang itu. Saat itu, kita sedang berusaha untuk mengetahui informasi
mengenai lawan bicara dan untuk membagi informasi mengenai diri kita.40
Yang kedua adalah teori Coordinated Management of Meaning (Cronen,
Pearce, & Harris, 1982). Teori ini menjelaskan mengenai alam sosial dari
komunikasi: konteks dimana komunikasi terjadi, aturan untuk interpretasi kata-kata
dan aksi digunakan, dan aturan untuk menentukan bagaimana harus bersikap saat
seseorang berbicara.41
Kedua teori tersebut pada dasarnya menerangkan bagaimana tingkah laku
dipengaruhi oleh norma dan aturan sosial. Teori Uncertainty Reduction berasumsi
bahwa aturan-aturan dibentuk oleh budaya. Teori Coordinated Management of
Meaning menekankan pada persepsi individu mengenai aturan budaya.42
Karena merupakan salah satu bidang studi ilmu komunikasi, komunikasi
antarbudaya mempunyai obyek formal, yakni mempelajari komunikasi antarpribadi
yang dilakukan oleh seorang komunikator dan komunikan yang berbeda budaya.
Secara umum terdapat dua dimensi studi ilmu komunikasi antarbudaya, yakni
studi yang dikaitkan dengan: (1) komunikasi yang bersifat interaktif-perbandingan
(sumbu X); dan (2) komunikasi yang bersifat antarpribadi-penggunaan media (sumbu
40 Fred Edmund Jandt, Intercultural Communication: An Introduction (London: Sage Publication, 1998) hlm. 38 41 Ibid. 42 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Y). Kemudian, rincian bidang studi ilmu komunikasi dapat dikategorikan
berdasarkan:
Kuadran I: mempelajari komunikasi antarbudaya dengan pokok bahasan proses
komunikasi antarpribadi dan komunikasi antarbudaya termasuk di dalamnya
komunikasi di antara komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan, suku
bangsa, ras dan etnik.
Kuadran II: komunikasi lintasbudaya dengan pokok bahasan perbandingan pola-pola
komunikasi antarpribadi lintasbudaya.
Kuadran III: komunikasi melalui media di antara komunikator dengan komunikan
yang berbeda kebudayaan namun menggunakan media, seperti komunikasi
internasional.
Kuadran IV: mempelajari perbandingan komunikasi massa, misalnya
membandingkan sistem media massa antarbudaya, perbandingan komunikassi massa,
dampak media massa, tatanan informasi dunia baru 43.
Komunikasi antarbudaya memiliki bagian yang disebut unsur-unsur sosio-
budaya yang meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Misalnya unsur yang
berhubungan dengan persepsi, proses verbal, dan proses nonverbal. Unsur-unsur
tersebut membentuk suatu matriks yang kompleks mengenai unsur-unsur yang
sedang berinteraksi bersama-sama, yang merupakan suatu fenomena kompleks yang
disebut komunikasi antarbudaya44.
43 Alo Liliweri, Gatra‐Gatra Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) hlm. 1‐28 44Ibid. hlm. 22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Komunikasi antarbudaya akan mudah dipahami sebagai perbedaan budaya
dalam mempersepsi obyek-obyek sosial dan kejadian-kejadian. Suatu prinsip penting
dalam pendapat ini adalah bahwa masalah-masalah kecil dalam komunikasi sering
diperumit oleh perbedaan-perbedaan persepsi tersebut.
Edward T. Hall membagi kebudayaan ke dalam dua konteks yaitu High-
Context Culture dan Low-Context Culture. High-context culture menunjuk pada
penggunaan pesan konteks tinggi dimana sering diimplikasikan melalui bentuk fisik
atau dianggap sebagai bagian dari kepercayaan pribadi, nilai-nilai, dan norma-norma.
Sangat sedikit yang tersedia dalam bentuk pesan kode, pesan yang eksplisit.
Sedangkan Low-context culture merujuk pada pesan konteks rendah dimana
informasi disebarkan dalam bentuk kode yang eksplisit45.
High-context Asia
Arab
Southern European
Africa
South American
Other Northern European
Low-Context Australian
American
Scandinavia
German
Swiss
45 Myron W. Lustig dan Jolene Koester, Intercultural Competence: Interpersonal Communication Across Cultures, cet.IV (Boston, USA: Allyn and Bacon, 2003) hlm. 111
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Tabel 1. High Context Culture-Low Context Culture46
Konteks kebudayaan dalam berbeda cara mempengaruhi arti dari sebuah
pesan. Ciri konteks kebudayaan terdiri dari pesan verbal dan nonverbal yang kita
gunakan untuk memberikan pemahaman saat berinteraksi dengan orang lain47.
Menurut Hall, dalam high-context culture, isyarat nonverbal sangatlah
penting. Komunikator sangat bergantung pada informasi yang lebih halus atau samar
seperti isyarat ekspresi wajah, suara, dan diam untuk menafsirkan pesan.
Sedangkan low-context culture, lebih mengandalkan pada kejelasan bahasa
dan arti dari setiap kata-kata serta menggunakan lebih sedikit konteks tersirat untuk
mengirim dan menafsirkan pesan.48
Geert Hofstede mengidentifikasi lima dimensi sejalan dengan pola dominan
dari sebuah budaya yaitu power distance (PDI), uncertainty avoidance (UAI),
individualism versus collectivism (IDV), masculinity versus femininity (MAS), dan
long-term versus short-term orientation of time.49
Dimensi-dimensi Hofstede menjelaskan harapan cultural untuk sebuah jenjang
perilaku-perilaku sosial, power distance merujuk pada hubungan dengan orang yang
berkedudukan lebih tinggi atau lebih rendah. Uncertainty avoidance merujuk pada
pencarian seseorang pada kebenaran dan kepastian. Individualism-collectivism
merujuk pada perilaku terhadap kelompok. Masculinity-femininity merujuk pada
46 Beebe. Loc. Cit. 47 Beebe. Loc. Cit. 48 Ibid. 49 Myron W. Lustig dan Jolene Koester, Intercultural Competence: Interpersonal Communication Across Cultures, cet.IV (Boston, USA: Allyn and Bacon, 2003) hlm. 115
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
pengharapan terhadap prestasi dan perbedaan gender, dan time orientation merujuk
pada pencarian seseorang terhadap kebaikan dan idealisme yang tahan lama.50
b. Proses Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi bukan dipandang sebagai sebuah kegiatan yang menghubungkan
manusia dalam keadaan pasif, tetapi komunikasi harus dipandang sebagai sebuah
proses yang menghubungkan manusia melalui sekumpulan tindakan yang terus
menerus diperbaharui. Komunikasi disebut sebagai suatu proses karena komunikasi
itu dinamik. Sebuah proses yang terdiri dari beberapa sekuen yang dapat dibedakan
namun tidak dapat dipisahkan. Semua sekuen berkaitan satu sama lain meskipun
selalu berubah-ubah. Pada hakikatnya proses komunikasi antarbudaya sama dengan
proses komunikasi lain, yaitu proses yang interaktif dan transaksional serta dinamis.51
Wahlstrom (1992) menjelaskan bahwa komunikasi antarbudaya yang interaktif
adalah komunikasi yang dilakukan oleh komunikator dengan komunikan dalam dua
arah/ timbal balik namun masih berada pada tahap rendah. Apabila ada proses
pertukaran pesan itu memasuki tahap tinggi, misalnya saling mengerti, memahami
perasaan dan tindakan bersama maka komunikasi tersebut telah memasuki tahap
transaksional seperti yang diungkapkan oleh Hybels dan Sandra (1992).52
Komunikasi transaksional meliputi tiga unsur penting yaitu (1) keterlibatan
emosional yang tinggi, yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan atas
50 Myron W. Lustig. Op. Cit hlm. 132 51 Alo Liliweri, Dasar‐Dasar Komunikasi Antarbudaya, Cet.III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 24 52 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
pertukaran pesan; (2) peristiwa komunikasi meliputi seri waktu, artinya berkaitan
dengan masa lalu, kini dan yang akan datang; dan (3) partisipan dalam komunikasi
antarbudaya menjalankan peran tertentu.53
Baik komunikasi interaktif maupun transaksional mengalami proses yang
bersifat dinamis, karena proses tersebut berlangsung dalam konteks sosial yang
hidup, berkembang dan bahkan berubah-ubah berdasarkan waktu, situasi dan kondisi
tertentu. Karena proses komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi antarbudaya
maka kebudayaan merupakan dinamisator bagi proses komunikasi tersebut.54
53 Ibid. hlm. 24‐25 54 Ibid. hlm. 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Di bawah ini adalah model komunikasi antarbudaya:
Bagan 1. Model Komunikasi Antarbudaya55 Model komunikasi antarbudaya tersebut menampilkan pengembangan dari
definisi Perceived Cultural Differences (PCD) atau yang bisa diartikan sebagai
55 Carley H. Dodd, Dynamics of Intercultural Communication 5th edition (Boston: McGraw Hill, 1998) hlm. 7
Uncertainty/ anxiety motivate intercultural adaptive communication strategies by forming an arena of potentially positive adaption, Cultural C:
Culture C Is an invented third culture in which A & B experience positive climate, commonality and trust leading to adaptation
Functional strategies utilizing intercultural knowledge and skills involving rules, roles, customs, beliefs, social style, affirmation, approachability and adaptability
Intercultural Communicatin Effectiveness Outcome: Task, Positive Relationships, Cultural Adjustment
Uncertainty Anxiety Dysfunctional strategis such as relying on stereotypes,
withdrawal denial, hostily
Interpersonal relationship
Personality
Culture
Perceived Cultural Difference
Interpersonal relationship
Personality
Culture
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
mengenali perbedaan cultural. William Gudykunst dan Young Kim menerapkan
metafora dari orang asing menjadi orang-orang yang dikenal sebagai “berbeda
denganku”.
Dari tampilan gambar model komunikasi antarbudaya di atas terdapat
keterangan-keterangan: (1) mengindikasi bahwa budaya adalah satu-satunya sumber
yang menerangkan kenapa orang-orang mengenali perbedaan; (2) menjelaskan
dinamika PCD sebagai motivasi yang mengarahkan pada pengurangan ketidakpastian
dan kecemasan; (3) menggambarkan bagaimana kita bisa memajukan pendekatan
yang fungsional maupun tidak fungsional untuk memutuskan dalam perbedaan yang
ada; (4) menunjukkan bahwa membuat budaya ketiga C menyediakan landasan
umum untuk memajukan strategi membangun hubungan; (5) menggarisbawahi
bagaimana kita bisa menggunakan beberapa kemampuan dan insight antarbudaya
yang sederhana namun kuat; dan (6) mengungkapkan hasil antarbudaya positif yang
diinginkan. Singkatnya, model ini adalah model komunikasi antarbudaya yang
adaptive, yang membutuhkan pertisipan-partisipan untuk menunda penilaian dan bias
ketika mereka bertemu dalam budaya ketiga yang dibuat oleh partisipan-partisipan
antarbudaya untuk menemukan tujuan dan ketertarikan bersama. Dengan kata lain, di
luar pandangan ketidaksamaan, partisipan A dan B bisa membagi kebudayaan ketiga
di antara mereka, budaya tentang kesamaan.56
Untuk membuat kebudayaan baru menjadi arena yang adaptif secara
fungsional bukanlah hal yang otomatis. Beberapa konsep dan keahlian membantu kita 56 Ibid. hlm 6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
memahami bagaimana caranya membuat kebudayaan C berhasil. Ada tiga prinsip
yang penting dalam mengembangkan sebuah interaksi yang sukses di dalam budaya
C antara A dan B.57
Pertama, harus ada perasaan positif terhadap orang atau kelompok lain, seperti
kepercayaan, kenyamanan, keamanan, kepastian, atau kecemasan yang kecil. Tanpa
perasaan ini, seseorang mungkin kurang mampu berkomunikasi dengan baik dengan
orang lain yang berbeda. Lebih jauh lagi, penilaian dan efektivitas dalam sebuah
kebudayaan baru mungkin diperkecil atau diperpanjang atau bahkan tidak pernah
terjadi sama sekali.58
Area kedua yang dibutuhkan untuk membuat iklim budaya ketiga yang sukses
melibatkan pengenalan kepercayaan-kepercayaan yang kita bawa pada interaksi
antarbudaya. Kepercayaan tersebut meliputi harapan, ketidakyakinan, salah mengerti
terhadap peraturan atau prosedur, kurangnya strategi yang layak untuk melatih
kompetensi akulturasi, aktifasi tanda yang memicu pemikiran sosial yang negatif
maupun positif seperti stereotip dan atribut. Tanpa mengerti seseorang secara akurat,
kecil kemungkinan untuk bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang lain yang
berbeda.59
Area ketiga yang dibutuhkan adalah aksi komunikasi antarbudaya. Ini berarti
mengembangkan kemampuan dan aksi seperti penampilan komunikasi verbal dan
57 Ibid. hlm. 11 58 Ibid. 59 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
nonverbal, keahlian untuk bertahan, dan menghadapi sistem dan institusi dalam
budaya yang baru.60
c. Fungsi Komunikasi Antarbudaya
Manusia berkomunikasi, termasuk komunikasi antarbudaya, karena ada tujuan
dan fungsi untuk memenuhi “panggilan” relasi melalui cara menyatakan isi. Secara
umum ada empat kategori fungsi utama komunikasi, yaitu: (1) fungsi informasi; (2)
fungsi instruksi; (3) persuasive; dan (4) fungsi menghibur. Apabila empat fungsi
tersebut diperluas maka akan ditemukan dua fungsi lain, yakni: (1) fungsi pribadi;
dan (2) fungsi sosial. Fungsi pribadi komunikasi dirinci ke dalam fungsi; (1)
menyatakan identitas sosial; (2) integrasi sosial; (3) kognitif; dan (4) fungsi
melepaskan diri/jalan keluar. Sedangkan fungsi sosial terinci atas fungsi: (1) fungsi
pengawasan; (2) menghubungkan/ menjembatani; (3) sosial; dan (4) menghibur.
60 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Bagan 1.2 Fungsi-Fungsi Pribadi Dan Sosial Dari Komunikasi61
1) Fungsi Pribadi
Fungsi Pribadi adalah fungsi-sungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui
perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang individu. Fungsi pribadi
terdiri dari beberapa fungsi yaitu:
(a) Menyatakan Identitas Sosial. Dalam proses komunikasi antarbudaya
terdapat beberapa perilaku komunikasi individu yang digunakan untuk
menyatakan identitas diri maupun identitas sosial. Perilaku itu dinyatakan
melalui tindakan berbahasa baik verbal maupun nonverbal. Perilaku
tersebut berfungsi menyatakan asal-usul atau latar belakang kehidupan
61 Alo Liliweri. Op. Cit. hlm. 36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
sosial budaya, misalnya suku bangsa, agama, pendidikan dan
pengetahuan.62
(b) Menyatakan Integrasi Sosial. Inti konsep integrasi sosial adalah menerima
kesatuan dan persatuan antarpribadi, antarkelompok namun tetap mengakui
perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur. Dalam kasus
komunikasi antarbudaya yang melibatkan perbedaan budaya antara
komunikator dengan komunikan maka integrasi sosial merupakan tujuan
utama komunikasi. Prinsip utama dalam proses pertukaran pesan
komunikasi antarbudaya adalah “saya memperlakukan anda sebagaimana
kebudayaan anda memperlakukan anda dan bukan sebagaimana yang saya
kehendaki”. Dengan demikian komunikator dan komunikan dapat
meningkatkan integrasi sosial atas relasi mereka.63
(c) Menambah Pengetahuan (Kognitif). Komunikasi antarbudaya juga dapat
menambah pengetahuan baik bagi komunikator maupun komunikan.
Mereka mendapat pengetahuan baru tentang kebudayaan lawan bicara
dengan saling mempelajari kebudayaan.64
(d) Melepaskan Diri/Jalan Keluar. Kadang-kadang kita melakukan komunikasi
untuk melepaskan diri atau mencari jalan keluar atas masalah yang sedang
dihadapi.65
62 Ibid. hlm. 37 63 Ibid. 64 Ibid. hlm. 38 65 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
2) Fungsi Sosial
Selain fungsi pribadi, komunikasi juga memiliki fungsi sosial yang terdiri
beberapa fungsi yaitu:
(a) Pengawasan. Praktek komunikasi antarbudaya di antara komunikator dan
komunikan yang berbeda kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Dalam
setiap komunikasi antarbudaya fungsi ini bermanfaat untuk
menginformasikan “perkembangan” tentang lingkungan. Akibatnya adalah
kita turut mawas diri seandainya peristiwa itu terjadi pula dalam
lingkungan kita.66
(b) Menjembatani. Dalam proses komunikasi antarpribadi, termasuk
komunikasi antarbudaya, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara
dua orang yang berbeda budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan di
antara mereka. Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol melalui pesan-
pesan yang mereka pertukarkan, keduanya saling menjelaskan perbedaan
tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama.67
(c) Sosialisasi Nilai. Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk mengajarkan
dan memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada
masyarakat lain. Dalam komunikasi antarbudaya seringkali muncul
perilaku non verbal yang kurang dipahami namun yang lebih penting
daripada itu adalah bagaimana kita menangkap nilai yang terkandung
66 Ibid. hlm. 40 67 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
dalam gerakan tubuh, gerakan imajiner dalam perilaku non verbal
tersebut.68
(d) Menghibur. Fungsi menghibur juga sering tampil dalam proses komunikasi
antarbudaya.69
d. Kompetensi Komunikasi Antarbudaya
Spitzberg mengatakan bahwa kompetensi komunikasi antarbudaya adalah
perilaku yang pantas dan efektif dalam suatu konteks tertentu. Kim memberikan
definisi yang lebih detil ketika dia menuliskan bahwa kompetensi antarbudaya
merupakan kemampuan internal suatu individu untuk mengatur fitur utama dari
komunikasi antarbudaya: yakni, perbedaan budaya dan ketidakbiasaan, postur inter-
group, dan pengalaman stress. Apa yang dinyatakan dua definisi itu adalah bahwa
menjadi komunikator yang kompeten berarti memiliki kemampuan untuk berinteraksi
secar efektif dan sesuai dengan anggota dari budaya yang memiliki latar belakang
linguistik-kultural.70
Banyak penelitian dalam kompetensi komunikasi antarbudaya
mengungkapkan lima komponen kompetensi yang mempengaruhi kemampuan
seseorang untuk berinteraksi secara efektif dan pantas dalam budaya yang lain.71
Kelima komponen tersebut adalah:
68 Ibid. 41 69 Ibid. L Larry A. Samovar, dkk, Komunikasi Lintas Budaya: Communication Between Cultures, edisi 7 (Jakarta: Salemba Humanika, 2010) hlm. 460 71 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
1) Motivasi untuk berkomunikasi
Merupakan hal yang logis dan alami untuk mengasumsikan
seseorang termotivasi untuk berinteraksi dengan orang yang dekat dengan
orang tersebut baik secara fisik maupun emosional. Walaupun hal ini
merupakan reaksi yang normal, hal ini kadang menjauhkan seseorang dari
dari usaha untuk memahami pengalaman orang-orang. Pittinsky,
Rosenthal, dan Montoya mengungkapkan bahwa motivasi dalam
hubungannya dengan kompetensi komunikasi antarbudaya berarti
seseorang memiliki keingian pribadi untuk meningkatkan kemampuan
komunikasi.72
Sebagai komunikator yang penuh motivasi, seseorang
menunjukkan ketertarikannya, berusaha untuk berbicara serta mengerti,
dan menawarkan bantuan. Selanjutnya, orang tersebut menunjukkan bahwa
dia ingin berhubungan dengan orang lain dalam level personal dan
memiliki perspektif internasional ketika berinteraksi dengan orang-orang
dari kebudayaan yang berbeda.73
2) Pengetahuan yang cukup mengenai budaya
Komponen pengetahuan dalam kompetensi komunikasi
antarbudaya berarti bahwa seseorang menyadari dan memahami peraturan,
72 Ibid. hlm. 461 73 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
norma, dan harapan yang diasosiasikan dengan budaya orang-orang yang
berhubungan dengan orang tersebut.74
3) Kemampuan komunikasi yang sesuai
Sebagai seorang komunikator yang kompeten seseorang harus
mampu mendengar, mengamati, menganalisis dan menginterpretasikan
serta mengaplikasikan perilaku khusus ini dalam cara yang memungkinkan
orang tersebut untuk mencapai tujuannya.75
4) Sensitivitas
Kompetensi komunikasi membutuhkan partisipan suatu interaksi
yang sensitive satu sama lainnya dan terhadap budaya yang ditampilkan
dalam suatu interaksi. Sensitivitas, menurut Pittinsky, Rosenthal, dan
Montoya, meliputi sifat fleksibel, sabar, empati, keingintahuan mengenai
budaya yang lain, terbuka pada perbedaan, dan merasa nyaman dengan
yang lain.76
Spencer-Roberts dan McGovern menambahkan bahwa
komunikator yang sensitif memiliki rasa toleransi terhadap ambiguitas. Hal
tersebut berarti, saat seseorang melihat suatu kebiasaan dan perilaku yang
aneh dan tidak biasa, orang itu tidak akan bingung karena tidak mengerti
apa yang sedang terjadi atau menentang perilaku dan kebiasaan tersebut.
Hal ini mengarah pada pemikiran lain oleh Pittinsky, Rosenthal, dan 74 Ibid. 75 Ibid. hlm. 462 76 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Montoya yang percaya bahwa komunikator yang sensitif harus lebih
toleran terhadap orang lain dan budaya lain serta menegmbangkan perasaan
allophilia, yaitu menyukai yang lain dan perilaku yang menginspirasi.77
5) Karakter
Seorang filsuf dan guru dari Amerika P.B. Fitzwater mengatakan
karakter merupakan keseluruhan dari pilihan seseorang. Intinya adalah
bagaimana seseorang melaksanakan pilihan tersebut ketika berinteraksi
dengan orang yang berbeda budayanya. Mungkin salah satu sifat yang
paling penting yang diasosiasikan dengan karakter adalah apakah mereka
dapat dipercaya atau tidak. Sifat yang kadang diasosiasikan dengan orang
yang terpercaya adalah kejujuran, peghargaan, kewajaran, dan kemampuan
untuk melakukan pilihan yang tepat, dan juga kehormatan, mementingkan
kepentingan orang lain, ketulusan, dan niat baik.78
e. Komunikasi Antarbudaya yang Efektif
Komunikasi antarbudaya yang efektif melibatkan lebih dari sekedar
memahami norma salah satu kelompok. Telah banyak usaha untuk mengetahui
keahlian yang dibutuhkan untuk lebih efektif dalam komunikasi antarbudaya.
Misalnya dengan menggunkan pendekatan bisnis, pendekatan militer, dan pendekatan
komunikasi.
77 Ibid. 78 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Dengan pendekatan bisnis, Mendenhall dan Oddou (1985) menemukan
beberapa keahlian yang diperlukan yaitu:
1) “Skills related to the maintenance self (mental health, psychological well-
being, stress reduction, feelings of self-confidence).
2) Skills related to the fostering of relationships with host nationals.
3) Cognitive skills that promote a correct perception of the host environment and
its social systems.”79
Pendekatan lain mengenai keberhasilan individu di seberang lautan (daerah
lain) adalah pendekatan militer. Misalnya, AL Amerika Serikat dalam “Overseas
Diplomacy” (1979) berusaha memasuki kesiapan dalam pelayanan overseas. AL
Amerika Serikat menemukan 8 keahlian untuk sukses dalam pelayanan overseas
tersebut, yaitu:
1) Self-Awareness. Kemampuan untuk menggunakan informasi tentang diri
sendiri di dalam situasi yang susah untuk mengerti bagaimana orang lain
melihat diri kita dan menggunakan informasi tersebut untuk mengatasi
situasi yang sulit.
2) Self-respect. Kepercayan diri atau harus percaya dengan diri sendiri, dengan
karakter, dan tingkah laku kita.
3) Interaction. Seberapa efektif kita dalam berkomunikasi dengan orang lain.
4) Empathy. Melihat sesuatu melalui pandangan orang lain atau menjadi tanggap
terhadap perasaan orang lain. 79 Ibid. hlm. 42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
5) Adaptability. Seberapa cepat kita dalam terbiasa dalam lingkungan asing atau
norma yang berbeda.
6) Certainty. Kemampuan untuk berkompromi dengan situasi yang
menginginkan kita untuk melakukan suatu hal walaupun perasaan kita
mengatakan lain. Semakin besar kemampuan kita menerima situasi yang
bertentangan dengan keinginan kita, semakin bisa kita berkompromi dengan
situasi-situasi tersebut.
7) Initiative. Menjadi seseorang yang terbuka terhadap pengalaman baru.
8) Acceptance. Toleransi atau kemauan untuk menerima hal-hal yang
menyimpang dari hal-hal yang biasa bagi kita.80
Deskripsi ketiga yang menggunakan pendekatan komunikasi menemukan 4
keahlian yang hampir sama, yaitu:
1) Personality Strength. Kemampuan personal yang mampu mempengaruhi
komunikasi antarbudaya adalah self-concept, self-disclosure, self-
monitoring, dan social relaxation.
2) Communications Skill. Individu harus kompeten dalam komunikasi verbal
maupun nonverbal, karena kemampuan komunikasi antarbudaya
memerlukan message skills, behavioral flexibility, interaction management,
dan social skills.
80 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
3) Psychological Adjustment. Komunikator yang efektif harus bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan dapat mengatasi
culture shock.
4) Cultural Awareness. Agar kompeten dalam komunikasi antarbudaya, individu
harus memahami adat dan sistem sosial dari kebudayaan tuan rumah.
Memahami bagaimana orang berpikir dan bertingkah laku sangatlah penting
untuk berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat budaya tersebut.81
Keberhasilan komunikasi antarbudaya dapat pula dijelaskan dari perspektif
The 5 Inevitable Laws of Effective Communication (lima hukum komunikasi efektif).
Lima hukum tersebut adalah Respect, Empathy, Audible, Clarity, dan Humble
(REACH).82
1) Respect. Hukum pertama dalam mengembangkan komunikasi antarbudaya
yang efektif adalah sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran
pesan yang kita sampaikan. Pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan
dianggap penting. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap
saling menghargai dan menghormati, maka dapat membangun kerjasama
yang sinergi yang akan meningkatkan kualitas hubungan antarmanusia.83
2) Empathy. Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada
situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu persyaratan 81 Ibid. hlm. 43‐44 82 Suranto AW. Op. Cit. hlm. 194 83 Ibid. hlm. 195
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
utama dalam memiliki empati adalah kemampuan untuk mendengarkan atau
mengerti lebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain.
Rasa empati akan meningkatkan kemampuan kita dalam menyampaikan
pesan dengan cara dan sikap yang akan memudahkan komunikan
menerimanya. Oleh karena itu, memahami perilaku komunikan merupakan
keharusan. Sebelum membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, kita
perlu mengerti dan memahami dengan empati calon penerima pesan.
Sehingga nantinya pesan kita akan dapat tersampaikan tanpa ada halangan
psikologis atau penolakan dari penerima.84
3) Audible. Hukum ketiga ini berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima
oleh penerima pesan.
4) Clarity. Selain pesan harus dapat dimengerti, maka pesan itu sendiri harus
jelas sehingga tidak menimbulkan multi intepretasi atau berbagai penafsiran
yang berlainan. Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan transparansi.
Dalam berkomunikasi kita perlu mengembangkan sikap terbuka (tidak ada
yang ditutupi atau terbuka), sehingga dapat menimbulkan rasa percaya
(trust) dari penerima pesan.85
84 Ibid. 85 Ibid. hlm. 196
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
5) Humble. Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama
untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap
rendah hati yang kita miliki.86
Yukiko Inoue dalam Jurnalnya menyebutkan beberapa keahlian yang penting
untuk menjadi pemain global yang sukses. Terdapat enam jenis keahlian yang
dibutuhkan, yaitu:
1) Tolerance of ambiguity yang
merupakan kemampuan untuk menerima kurangnya kejelasan dan menjadi
bisa menerima situasi yang ambigu dengan baik.
2) Behaviour Flexibility yang
merupakan keahlian untuk mengadaptasi perilaku pribadi pada situasi yang
berbeda.
3) Knowledge discovery, yaitu
kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan baru pada waktu
berkomunikasi.
4) Communicative awareness,
yaitu kemampuan untuk menggunakan penemuan komunikatif dari orang-
orang dengan latar belakang budaya yang lain dan kemampuan untuk
memodifikasi bentuk-bentuk ekspresi sendiri.
5) Respect for otherness,
keingintahuan dan keterbukaan sama dengan sebuah kesiapan untuk 86 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
mengesampingkan ketidakpercayaan terhadap budaya-budaya lain dan
percaya terhadap budaya sendiri.
6) Empathy, yaitu kemampuan
untuk mengerti secara intuisi apa yang orang lain pikirkan dan bagaimana
perasaan mereka dalam situasi yang sedang dihadapi.87
f. Peran Komunikasi Antarbudaya terhadap Akulturasi
Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi merupakan aspek terpenting
dan paling mendasar. Manusia belajar banyak hal lewat respon-respon komunikasi
terhadap rangsangan dari lingkungan. Begitu juga bagi akulturasi. Proses akulturasi
seseorang di lingkungan baru tidak bisa lepas kegiatan komunikasi. Proses
komunikasi dalam hal ini komunikasi antarbudaya menjadi dasar bagi proses
akulturasi seorang imigran.88
Komunikasi antarbudaya yang terjadi memiliki peran yang sangat besar
terhadap akulturasi. Peran komunikasi antarbudaya dalam memperlancar proses
akulturasi tersebut antara lain:
1) Komunikasi antarbudaya berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan
lingkungan fisik dan sosial seorang imigran.89
2) Melalui komunikasi antarbudaya, imigran bisa menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan berhubungan dengan lingkungan serta mendapatkan
87 Yukiko Inoue, “Cultural Fluency as a Guide to Effective Intercultural Communication: The Case of Japan and the U.S., Journal of Intercultural Communication, issue 15 (November, 2007) hlm. 7 88 Dedy Mulyana, dkk. 2003. Op. Cit. hlm. 139 89 Ibid. hlm. 137
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
keanggotaan dan rasa memiliki dalam berbagai kelompok sosial yang
mempengaruhi mereka.90
3) Selayaknya orang-orang pribumi, para imigran juga memperoleh pola-pola
budaya pribumi dari kegiatan komunikasi antarbudaya. Seorang imigran
akan mengatur dirinya untuk megetahui dan diketahui dalam berhubungan
dengan orang lain memalui komunikasi.91 Dengan mempelajari pola-pola
dan aturan-aturan komunikasi pribumi dan dengan berpikiran terbuka,
imigran menjadi toleran akan perbedaan-perbedan dan ketidakpastian
situasi-situasi antarbudaya yang dihadapi.92
4) Melalui komunikasi massa seorang imigran mengetahui lebih jauh lagi
tentang berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya pribumi. Dalam
menyiarkan pesan-pesan yang merefleksikan aspirasi-aspirasi, mitos-mitos,
kerja dan bermain, dan isu-isu spesifik serta peristiwa-pwristiwa dalam
masyarakat pribumi, media secara eksplisit membawa nilai-nilai masyarakat
(societal values), norma-norma perilaku, dan perspektif-perspektif
tradisional untuk menafsirkan lingkungan.93
90 Ibid. 91 Ibid. 92 Ibid. hlm. 147 93 Ibid. hlm. 139
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
g. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Komunikasi Antarbudaya
Terdapat beberapa aspek kultur yang mempunyai pengaruh besar terhadap
komunikasi antarbudaya. Aspek-aspek tersebut bekerja dalam suatu kombinasi dan
saling berhubungan. Aspek-aspek tersebut adalah persepsi, proses verbal, proses
nonverbal, dan aspek konteks.94
1) Persepsi
Salah satu aspek komunikasi antarbudaya adalah persepsi, dimana dalam
aspek ini sebagai seorang individu, partisipan memilih, mengevaluasi, dan
mengorganisir rangsangan dari luar. Persepsi kultural berdasar pada kepercayaan,
nilai-nilai, dan sistem tingah laku.95
Persepsi merupakan suatu cara untuk membuat dunia fisik dan sosial
menjadi masuk akal. Seorang penulis Jerman mengatakan bahwa tidak ada
kenyataan, selain yang ada dalam diri seseorang. Samovar dkk menambahi
bahwa kenyataan itu ada pada diri seseorang, sebagian oleh budaya orang
tersebut.96
Persepsi seseorang mengartikan pengaruh eksternal dengan mengizinkan
orang tersebut untuk menginterpretasi, mengelompokkan dan mengatur stimulus
yang dipilih untuk dimonitor. Seperti yang dinyatakan oleh Gamble dan Gamble
bahwa persepsi merupakan proses seleksi, pengaturan, dan penginterpretasian
94 Larry A. Samovar, et.al., Communication Between Cultures (Belmont: Wadsworth Publishing, 1998) hlm. 51 95 Ibid. 96 Samovar dkk. 2010 ed.7. Op. Cit. hlm. 221
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
data sensor dengan cara yang memungkinkan seseorang mengerti dunia. Dengan
kata lain, persepsi merupakan proses di mana orang-orang mengubah kejadian
dan pengalaman eksternal menjadi pemahaman internal yang berarti.97
Persepsi seseorang angat dipengaruhi oleh budaya. Seperti yang
diungkapkan oleh Chiu dan Hong bahwa setiap proses kognitif dasar, seperti
perhatian dan persepsi merupakan hal yang lunak dan dapat diperoleh melalui
pengalaman budaya.98
Samovar dkk menyimpulkan bahwa ada dua cara bagaimana budaya
mempengaruhi proses persepsi. Pertama, persepsi itu selektif. Hal itu berarti
bahwa terlalu banyak stimulus yang bersaing untuk merebut perhatian seseorang
pada waktu yang sama. Seseorang hanya mengizinkan informasi yang diseleksi
melalui layar persepsi ke dalam pikiran sadar orang tersebut. Apa yang diijinkan
masuk, sebagian ditentukan oleh budaya. 99
Kedua, pola persepsi seseorang dipelajari. Setiap orang lahir ke dunia tanpa
suatu pemahaman. Budaya mengartikan sebagian besar pengalaman seseorang.
Dengan kata lain, persepsi adalah suatu hal yang ditentukan oleh budaya.
Seseorang belajar untuk melihat dunia dengan suatu cara tertentu yang
didasarkan pada latar belakang budaya masing-masing. Sama seperti pada
budaya yang lain, persepsi yang tersimpan pada manusia adalah dalam bentuk
97 Ibid. hlm. 222 98 Ibid. hlm. 223 99 Ibid. hlm. 224
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
kepercayaan dan nilai. Di mana kedua kosep tersebut bekerja sama membentuk
sebuah pola budaya.100
Rogers dan Steinfatt berpendapat bahwa kepercayan bekerja sebagai sistem
penyimpanan bagi pengalaman masa lalu, termasuk pemikiran, ingatan, dan
interpretasi terhadap suatu peristiwa. Kepercayaan dibentuk oleh budaya
seseorang. Kepercayaan adalah hal yang penting karena kepercayaan diterima
sebagai sebuah kebenaran. Kepercayaan biasanya mencerminkan tindakan dan
perilaku komunikasi seseorang.101
Kepercayaan adalah bagian dari suatu budaya dan seseorang tidak akan
mempertanyakannya atau bahkan meminta bukti. Kepercayaan langsung
diterima, karena seseorang tahu bahwa hal itu benar, sehingga kepercayaan itu
tetap bertahan.102
Selain kepercayaan, aspek yang kedua adalah nilai yang terbentuk dari
kepercayaan. Kepercayaan membentuk dasar nilai yang menyediakan aturan
untuk membuat keputusan dan mengatasi konflik. Pentingnya nilai adalah bahwa
nilai terdiri atas sistem yang mewakili apa yang diharapkan atau dibandingkan,
dibutuhkan, dan dilarang. Bukan hanya laporan tentang tingkah laku yang
sebenarnya, namun sistem kriteria di mana tingkah laku dinilai dan sanksi
diterapkan.103
100 Ibid. 101 Ibid. 102 Samovar. Op. Cit. hlm. 225 103 Samovar dkk. 2010. Op.Cit. 226
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
2) Proses Verbal (Bahasa)
Proses verbal yaitu bagaimana kita bicara satu sama lain dan berpikir.
Bahasa adalah aspek penting dalam belajar komunikasi antarbudaya.104
Hampir setiap interaksi komunikasi antarbudaya melibatkan satu atau lebih
individu yang menggunakan bahasa kedua.105
3) Proses Nonverbal.
Aspek yang satu ini tidak bisa lepas dari kegiatan komunikasi dan
setiap budaya memiliki arti yang berbeda-beda terhadap aksi nonverbal.
Barnlund mengatakan:
“Banyak arti penting yang dihasilkan dalam interaksi manusia dapat diperoleh dari sentuhan, lirikan, nuansa vokal, gerakan atau ekspresi wajah dengan atau tanpa pertolongan kata-kata. Mulai dari saat bertemu dan berpisah, orang-orang saling mengamati dengan semua indra mereka, intonasi, cara berpakaian dan sikap diri, mengamati lirikan dan ketegangan wajah, juga memilih kata-kata. Setiap tanda keharmonisan dan tidak keharmonisan mengarah pada interpretasi dari suasana hati yang ada. Di luar evaluasi kinetis, vokal, dan isyarat verbal, keputusan dibuat untuk disetujui atau dibantah, untuk ditertawakan atau dipermalukan, untuk beristirahat atau ditentang, untuk memotong atau melanjutkan pembicaraan.”106
4) Konteks
Semua interaksi manusia dipengaruhi oleh keadaan budaya, sosial
dan fisik, di mana keadaan tersebut dinamakan konteks komunikasi. Budaya
104 Ibid. hlm. 265 105 Ibid. hlm. 279 106 Pernyataan Barnlund seperti yang dikutip oleh Samovar dkk (2010) dalam Komunikasi Lintas Budaya: Communication Between Cultures, edisi 7 (Jakarta: Salemba Humanika, 2010) hlm. 292
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
menetapkan perilaku komunikasi yang pantas dalam konteks sosial dan fisik
yang beragam berdasarkan peraturan yang ada.107
Terdapat tiga variabel yang mempengaruhi konteks komunikasi
yaitu:
(a) Keformalan dan Ketidakformalan
Budaya memiliki pandangan mengenai suatu kejadian dan manusia, mulai
dari yang sangat tidak formal hingga yang sangat formal. Manifestasi
keformalan dan ketidakformalan bisa terjadi dalam banyak bentuk.108
Jika Amerika Serikat terkenal dikenal sebagai budaya yang informal, maka
berkebalikan dengan Jepang. Formalitas juga merupakan bukti dari
bagaimana cara memanggil seseorang dalam suatu budaya. Di Jepang,
terdapat sebutan sensei, -sama, senpai, -san, -kun, dan –chan untuk
memanggil seseorang tergantung dari derajad orang tersebut.
Bangsa Jepang dicirikan seperti buah kelapa yang keras di luar. Bangsa
Jepang menggunakan formalitas sebagai cangkang untuk menjaga jarak
dengan seseorang sambil memutuskan apakah ia menginginkan suatu
hubungan dengan orang tersebut. Sekali cangkang itu ditembus,
bagaimanapun, bangsa Jepang akan menjadi sangat mengasihi, murah hati,
dan kelemahan pribadi bukanlah suatu masalah.109
107 Samovar dkk. 2010. Op. Cit. hlm. 343 108 Ibid. hlm. 347 109 Ibid. hlm. 348
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
(b) Ketegasan dan Keharmonisan Interpersonal
Dimensi kedua yang mempengaruhi konteks komunikasi adalah cara
seseorang menyatakan diri kepada orang lain. Walaupun ada banyak aspek
gaya komunikasi, ketegasan dan keharmonisan interpersonal secara langsung
mempengaruhi ruang lingkup antarbudaya.110
Budaya Amerika Serikat dikenal luas, karena gaya komunikasinya yang
tegas. Sedangkan di Asia Timur dan Asia Tenggara, perjanjian yang
menguntungkan, kesetiaan, dan kewajiban timbal balik merupakan hal yang
penting untuk suatu hubungan yang harmonis.111
Mempertahankan hubungan yang harmonis dan menghindari apa yang
kelihatannya merupakan perilaku yang agresif juga merupakan perhatian
penting di antara bangsa Jepang. Begitu kuatnya perhatian akan perasaan
orang lain, sehingga orang Jepang terkenal menghindari kata “tidak” yang
mereka anggap kasar.112
(c) Hubungan Status (Egalitarian dan Hierarkis)
Variabel ketiga yang mempengaruhi semua konteks komunikasi
berhubungan dengan persepsi dan respons budaya terhadap status. Setiap
budaya dan organisasi memiliki protokol yang didasarkan pada budaya
untuk mengarahkan interaksi antara orang-orang yang posisinya bervariasi.
Menggunakan skala klasifikasi yang luas, suatu budaya secara umum dapat 110 Samovar dkk. 2010. Op. Cit. hlm 349 111 Ibid. 112 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
dikelompokkan sebagai egalitarian dengan sedikit perhatian terhadap
perbedaan sosial atau hierarkis yang menenkankan pada status dan tingkatan.
Negara Jepang adalah negara yang menganut hierarkis. Di Jepang,
perbedaan status terlihat jelas melalui protokol yang mengatur aktivitas
interpersonal dan oraganisasi. Interaksi antara bawahan dan senior
dilaksanakan dalam cara yang formal dan gelar selalu digunakan. Senior
diharapkan untuk melakukan peranan patriarchal sebagai respon terhadap
rasa hormat anggota yang lebih rendah. Dalam budaya yang menggunakan
status sebagai tanda, seperti Jepang, guru diperlakukan dengan sangat
hormat, bahkan dalam situasi ketika mahasiswa tidak diharapkan menjawab
pertanyaan dosennya.113
4. Akulturasi
a. Pengertian Akulturasi
Koentjaraningrat menjelaskan bahwa istilah akulturasi mempunyai berbagai
arti di antara para sarjana antropologi, tetapi semua sefaham bahwa konsep itu
mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing dengan
sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun
diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu sendiri.114
113 Samovar dkk. 2010. Op.Cit. hlm. 353 114 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) Hlm. 247‐248
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Proses akulturasi itu memang ada sejak dulu kala dalam sejarah kebudayaan
manusia, tetapi proses akulturasi yang mempunyai sifat yang khusus baru timbul
ketika kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di Eropa Barat mulai mempengaruhi
masyarakat-masyarakat suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania, Amerika Utara, dan
Amerika Latin.115
Young Yun Kim dalam Komunikasi Antarbudaya menjelaskan bahwa proses
yang dilalui individu-individu untuk memperoleh aturan-aturan (budaya) komunikasi
dimulai pada masa awal kehidupan. Melalui proses sosialisasi dan pendidikan, pola-
pola budaya ditanamkan ke dalam sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan
perilaku kita (Adler,1976). Proses belajar yang terinternalisasikan ini memungkinkan
kita untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki
pola-pola komunikasi serupa. Proses memperoleh pola-pola demikian oleh individu-
individu itu disebut enkulturasi (Herskovits, 1966: 24) atau istilah-istilah serupa
lainnya seperti pelaziman budaya (cultural conditioning) dan pemrograman budaya
(cultural programming).116
Lalu apa yang terjadi bila seseorang yang lahir dan terenkulturasi dalam suatu
budaya tertentu memasuki suatu budaya lain sebagai seorang imigran atau pengungsi
untuk selamanya? Tidaklah mudah memahami perilaku-perilaku kehidupan yang
sering tak diharapkan dan tak diketahui bagi banyak orang pribumi, apa lagi bagi para
115 Ibid. hlm. 248 116 Komunikai antarbudaya: panduan berkomunikasi dengan orang‐orang berbeda budaya, editor dr. deddy mulyana, m.a dan drs. Jalaluddin rakhmat, m.sc. young yon Kim, bandung: remaja rosdakarya,2001 hlm 138
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
imigran. Sebagai anggota baru dalam budaya pribumi, imigran harus menghadapi
banyak aspek kehidupan yang asing. Asumsi-asumsi budaya tersembunyi dan
respons-respons yang telah terkondisikan menyebabkan banyak kesulitan kognitif,
afektif, dan perilaku dalam penyesuaian diri dengan budaya yang baru. Schutz (1960:
108) mengemukakan bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang
dimasukinya bukanlah merupakan tempat berteduh tapi merupakan suatu arena
petualangan, bukan merupakan hal yang lazim tapi suatu topik penyelidikan yang
meragukan, bukan suatu alat untuk lepas dari situasi-situasi problematik tapi
merupakan suatu situasi problematik tersendiri yang sulit dikuasai.117
Proses enkulturasi kedua yang terjadi pada imigran ini biasanya disebut
akulturasi (acculturation). Akulturasi merupakan suatu proses yang budaya pribumi,
yang akhirnya mengarah kepada asimilasi. Asimilasi merupakan derajad tertinggi
akulturasi yang secara teoritis mungkin terjadi.
Proses akulturasi dari seorang imigran selalu didasari oleh proses komunikasi.
Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat
pribumi yang signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh pola-pola
budaya pribumi melalui komunikasi, seorang imigran pun memperoleh pola-pola
budaya pribumi melalui komunikasi.118
Bahkan bila seorang imigran dapat menggunakan pola-pola komunikasi verbal
dan nonverbal secara memuaskan, ia mungkin masih akan mengalami sedikit
117 Ibid. hlm. 138 118 Ibid. hlm. 139
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
kesulitan dalam mengenal dan merespon aturan-aturan komunikasi bersama dalam
budaya yang ia masuki tersebut. Imigran sering tidak sadar akan dimensi-dimensi
budaya pribumi yang tersembunyi yang mempengaruhi apa yang dipersepsikan dan
bagaimana mempersepsi, bagaimana menafsirkan pesan-pesan yang diamati, dan
bagaimana mengekspresikan pikiran dan perasaan secara tepat dalam konteks
relasional dan keadaan yang berlainan.119
Bila kita memandang akulturasi sebagai proses mengembangkan kecakapan
berkomunikasi dalam sistem sosio-budaya pribumi, perlulah diletakkan fakta bahwa
kecakapan berkomunikasi sedemikian diperoleh melalui pengalaman-pengalaman
berkomunikasi. Orang belajar berkomunikasi dengan berkomunikasi. Melalui
pengalaman-pengalaman berkomunikasi yang terus-menerus dan beraneka ragam,
seorang imigran secara bertahap memperoleh mekanisme komunikasi yang ia
butuhkan untuk menghadapi lingkungannya.
Kecakapan berkomunikasi yang telah diperoleh imigran lebih lanjut
menentukan seluruh akulturasinya. Kecakapannya ini terutama terletak pada
kemampuan imigran untuk mengontrol perilakunya dan lingkungan pribumi. Seperti
yang diungkapkan oleh Maslow (1970), kecakapan imigran dalam berkomunikasi
akan berfungsi sebagai seperangkat alat penyesuaian diri yang membantu imigran
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan akan kelangsungan
hidup dan kebutuhan akan “rasa memiliki” dan “harga diri”.120
119 Ibid. hlm 139‐140 120 Ibid. hlm. 140
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan
berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran
dengan lingkungan sosio-budaya yang baru. Kecakapan komunikasi yang
diperolehnya, pada gilirannya menunjukkan derajat akulturasi imigran tersebut.
Derajat akulturasi imigran tidak hanya direfleksikan dalam, tapi juga dipermudah
oleh, derajat kesesuaian antara pola-pola komunikasinya dan pola-pola komunikasi
masyarakat pribumi yang disetujui bersama.
Salah satu kerangka konseptual yang paling komprehensif dan bermanfaat
dalam menganalisis akulturasi seorang imigran dari perspektif komunikasi terdapat
pada perspektif sistem yang dielaborasi oleh Ruben (1975). Dalam perspektif sistem,
unsur dasar suatu sistem komunikasi manusia teramati ketika seorang secara aktif
sedang berkomunikasi, berusaha untuk dan mengharapkan komunikasi dengan
lingkungannya. Sebagai suatu sistem komunikasi terbuka, seseorang berinteraksi
dengan lingkungan melalui dua proses yang saling berhubungan yaitu komunikasi
persona dan komunikasi sosial.121
1) Komunikasi Persona
Komunikasi persona mengacu pada proses-proses mental yang dilakukan
orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosio-
budayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami, dan
merespon lingkungan. Komunikasi persona dapat dianggap sebagai merasakan,
memahami, dan berperilaku terhadap objek-objek dan orang-orang dalam suatu 121 Ibid. hlm. 141
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
lingkungan. Ia adalah proses yang dilakukan individu untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungannya (Ruben, 1975: 168-169). Dalam konteks akulturasi,
komunikasi persona seorang imigran dapat dianggap sebagai pengaturan
pengalaman-pengalaman akulturasi ke dalam sejumlah pola respons kognitif dan
afektif yang dapat diidentifikasi dan yang konsisten dengan budaya pribumi atau
yang secara potensial memudahkan aspek-aspek akulturasi lainnya.122
Variabel komunikasi persona yang penting antara lain kompleksitas
kognitif yaitu setelah seorang imigran mengetahui budaya pribumi lebih jauh,
persepsinya menjadi lebih halus dan kompleks, memungkinkannya menemukan
banyak variasi dalam lingkungan pribumi. Faktor yang erat hubungannya dengan
kompleksitas kognitif imigran adalah pengetahuan imigran tentang pola-pola dan
aturan-aturan sistem komunikasi pribumi.123
Variabel lain dari komunikasi persona dalam akulturasi adalah citra diri
(self image) imigran yang berkaitan dengan citra-citra imigran tentang
lingkungannya. Perasaan terasing, rendah diri, dan masalah-masalah psikologis
lainya yang diderita imigran cenderung berkaitan dengan jarak perseptual yang
lebih besar antara diri dan anggota-anggota masyarakat pribumi (Kim, 1980).124
Selain itu, motivasi akulturasi seorang imigran terbukti fungsional dalam
memudahkan proses akulturasi. Motivasi akulturasi mengacu pada kemauan
imigran untuk belajar tentang, berpartisipasi dalam, dan diarahkan menuju 122 Ibid. hlm. 141 123 Ibid. 124 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
sisitem sosio-budaya pribumi. Orientasi positif yang dilakukan imigran terhadap
lingkungan baru biasanya meningkatkan partisipasi dalam jaringan-jaringan
komunikasi masyarakat pribumi (Kim, 1977).125
2) Komunikasi Sosial
Komunikasi persona berkaitan dengan komunikasi sosial ketika dua
orang atau lebih individu berinteraksi, sengaja atau tidak. Komunikasi sosial
dapat dikategorikan lebih jauh ke dalam komunikasi antarpersona dan
komunikasi massa. Komunikasi antarpersona seorang imigran dapat diamati
melalui derajat partisipasinya dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan
anggota-anggota masyarakat pribumi. Seorang imigran yang mempunyai
hubungan antarpersona dengan etnik yang berkuasa dianggap kurang
terakulturasi dan kurang kompeten dibandingkan dengan seorang imigran yang
terutama berhubungan dengan anggota-anggota masyarakat pribumi.126
3) Lingkungan Komunikasi
Komunikasi persona dan komunikasi sosial seorang imigran dan fungsi
komunikasi-komunikasi tersebut tidak dapat dipahami tanpa dihubungkan
dengan lingkungan komunikasi masyarakat pribumi. Apakah imigran tinggal di
desa atau kota metropolitan, tinggal di daerah miskin atau kaya, bekerja sebagai
buruh pabrik atau eksekutif, semua itu merupakan kondisi-kondisi lingkungan
125 Ibid. hlm. 142 126 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
yang mungkin secara signifikan mempengaruhi perkembangan sosio-budaya
yang hendak dicapai oleh imigran.127
b. Potensi Akulturasi
Pola-pola akulturasi tidaklah seragam di antara individu-individu tetapi
beraneka ragam, tergantung pada potensi akulturasi yang dimiliki sebelum
berimigrasi. Sebagian orang lebih bersedia menerima budaya pribumi daripada
sebagian orang lainnya.128
Potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi dapat mempermudah
akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat pribumi. Potensi akulturasi ditentukan
oleh faktor-faktor berikut129:
1) Kemiripan antara budaya asli (imigran) dan budaya pribumi. Faktor ini
mungkin merupakan faktor terpenting yang menunjang akulturasi.
Misalnya, seorang imigran dari Kanada ke Amerika Serikat akan
mempunyai potensi akulturasi yang lebih besar daripada seorang imigran
Vietnam dari Asia Tenggara.
2) Usia pada saat berimigrasi. Imigran yang lebih tua umumnya mengalami
lebih banyak kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan budaya yang baru
dan mereka lebih lambat dalam memperoleh pola-pola budaya baru.
3) Latar belakang pendidikan. Pendidikan, terlepas dari konteks budayanya,
ternyata memperbesar kapasitas seseorang untuk menghadapi pengalaman 127 Ibid. hlm. 144 128 Ibid. hlm. 144 129 Ibid. hlm. 146
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
baru dan mengatasi tantangan hidup. Dalam beberapa kasus, proses
pendidikan seorang imigran di negeri asalnya meliputi kursus bahasa asing
yang memberi individu suatu bekal untuk mengembangkan kecakapan
berkomunikasi setelah berimigrasi.
4) Beberapa karakteristik kepribadian seperti suka bersahabat dan toleransi.
Karakteristik seperti suka bersahabat, toleransi, mau mengambil resiko,
keluwesan kognitif, keterbukaan, dan sebagainya juga memudahkan dalam
lingkungan yang baru.
5) Pengetahuan tentang budaya pribumi sebelum berimigrasi. Pengetahuan
imigran sebelum berimigrasi tentang daerah tujuan juga mampu
meningkatkan potensi akulturasi imigran. Pengetahuan tersebut bisa
didapat dari kunjungan sebelumnya, kontak-kontak antarpersona, dan lewat
media massa.
Begitu seorang imigran memasuki budaya pribumi, proses akulturasi mulai
berlangsung. Proses akulturasi akan terus berlangsung selama imigran mengadakan
kontak langsung dengan sistem sosio-budaya pribumi.130
Proses akulturasi seorang imigran dapat dipermudah dengan usaha bersama
yang dilakukan imigran sendiri, anggota-anggota masyarakat pribumi, dan komunitas
etnik. Sebagai inti akulturasi interaktif adalah proses komunikasi yang
130 Ibid. hlm. 146
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
menghubungkan individu-individu imigran dengan lingkungan sosio-budaya mereka.
Pentingnya komunikasi bagi akulturasi tidak perlu diragukan lagi.131
F. METODOLOGI PENELITIAN
Kata metodologi (methodology) secara garis besar dapat diartikan sebagai
keseluruhan cara berpikir yang digunakan peneliti untuk menemukan jawaban atas
pertanyan-pertanyan penelitian. Dengan pengertian seperti ini, persoalan metodologi
menyangkut persoalan epistemology pengetahuan (bagaimana pengetahuan
diperoleh), yakni gejala atau realitas yang diteliti. Metodologi, dengan demikian,
meliputi cara pandang dan prinsip berpikir mengenai gejala yang diteliti, pendekatan
yng digunakan, prosedur ilmiah (metode) yang ditempuh, termasuk dalam
mengumpulkan data, analisis data, dan penarikan kesimpulan.132
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif yaitu
hanya memaparkan situasi atau peristiwa, tidak mencari atau menjelaskan
hubungan, serta tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Tujuan dari
deskripsi ini adalah membiarkan pembaca mengetahui apa yang terjadi dalam
program, seperti apa menurut sudut pandang peserta dalam program, dan
kejadian tertentu seperti apa atau kegiatan yang ada dalam program. Dalam
pembacaan melalui catatan penelitian dan wawancara, evaluator mengawali
dengan mencari bagian-bagian data yang ada yang akan diperhalus untuk
131 Ibid. hlm. 148 132 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta, LKiS, 2007) hlm. 83
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
penyajian sebagai deskriptif murni dalam laporan evaluasi. Apa yang
dimaksudkan dengan cara deskripsi akan tergantung pada pertanyaan evaluasi
apa yang diupayakan untuk dijawab. Sering dalam seluruh kegiatan akan
dilaporkan secara rinci dan mendalam karena hal itu menghadirkan pengalaman
program secara khusus. Deskripsi ini ditulis dalam bentuk naratif untuk
menyajikan gambar yang menyeluruh tentang apa yang telah terjadi dalam
kegiatan atau peristiwa yang dilaporkan.133
2. Lokasi penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Wilayah Surakarta dan sekitarnya
sesuai dengan domisili masyarakat Jepang yang ingin diteliti.
3. Populasi dan Sensus
Populasi adalah jumlah keseluruhan unit analisis, yaitu obyek yang akan
diteliti.134 Menurut kamus riset karangan Drs. Komaruddin, yang dimaksudkan
dengan populasi adalah semua individu yang menjadi sumber pengambilan
sampel. Pada kenyataanya, sampel adalah sekumpulan kasus yang perlu
memenuhi syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian.
Kasus-kasus tersebut dapat berupa orang, barang, binatang, hal atau
peristiwa.135
133 Michael Quinn Patton, Metode Evaluasi Kualitatif (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006) hlm. 255 134 Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteran Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998) hlm. 57 135 Mardalis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi Aksara, 1995) hlm. 53
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Berdasarkan data tahun 2010 dari Kantor Imigrasi Surakarta, jumlah
populasi warga Jepang di Surakarta adalah sebanyak 15 orang. Dalam
penelitian ini peneliti tidak akan mengambil sampel untuk diteliti melainkan
melakukan sensus yaitu melakukan penelitian pada seluruh populasi. Sensus
mengharuskan setiap populasi diteliti dan dari segala aspeknya.136
4. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada saat proses penelitian
yaitu :
a) Wawancara (Interview)
Interview adalah alat pengumpulan data yang sangat penting dalam
penelitian komunikasi kualitatif yang melibatkan manusia sebagai subjek
(pelaku, aktor) sehubungan dengan realitas atau gejala yang dipilih untuk
diteliti. Dalam penelitian Komunikasi Kualitatif dikenal setidaknya ada tiga
jenis wawancara (Patton, 2002: 342-347) yaitu: (a) wawancara percakapan
informal, (b) wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara, dan
(c) wawancara dengan menggunakan open-ended standard. Wawancara
percakapan informal lebih menunjuk pada kecenderungan sifat sangat
terbuka dan sangat longgar (tidak terstruktur) sehingga wawancara
memang benar-benar mirip dengan percakapan137. Sedangkan wawancara
dengan pedoman wawancara pada umumnya dimaksudkan untuk
136 Ibid. hlm 56 137Pawito. Op Cit. hlm. 132
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
kepentingan wawancara yang lebih mendalam dengan lebih memfokuskan
pada persoalan yang menjadi pokok dari minat peneliti138. Untuk
wawancara dengan menggunakan standar open-ended sangat membutuhkan
kecermatan dalam penyusunan pertanyaan baik dalam kaitan dengan
susunan item pertanyaan beserta bagian-bagian yang akan dicakup di
dalamnya maupun pilihan kalimat atau kata-kata139.
b) Pengamatan / Observasi
Metode ini merupakan metode yang utama disamping wawancara tak
berstruktur untuk mendapatkan data. Dalam pengamatan ini, nantinya
peneliti akan mengamati bagaimana proses produksi berita dan kemudian
bagaimana khalayak menerimanya dalam bentuk sebuah program acara.
Dalam konteks ilmu komunikasi, penelitian dengan metode pengamatan
atau observasi (observation research) biasanya dilakukan untuk melacak
secara sistematis dan langsung gejala-gejala komunikasi terkait dengan
persoalan-persoalan sosial, politik, dan kultural masyarakat140.
Dalam praktik peggunaannya, metode observasi dapat dibedakan menjadi
dua sesuai dengan tingkat keterlibatan peneliti dalam proses-proses yang
ada pada masyarakat yang diteliti. Yaitu: (a) observasi dengan ikut terlibat
dalam kegiatan komunitas yang diteliti (participant observation) yang
masih dibedakan lagi menjadi berpartisipasi secara penuh (total participant 138 Ibid. hlm. 133 139 Ibid. hlm. 134 140 Ibid. hlm. 111
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
observation) dan partisipasi aktif (active participant observation), (b)
observasi tidak terlibat (non participant observation)141.
Dalm penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode observasi tidak
terlibat (non participant observation).
5. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini akan digunakan teknik analisa data yang berasal
dari Miles dan Huberman (1994) yaitu model interaktif. Teknik analisis ini
pada dasarnya terdiri dari tiga komponen: reduksi data (data reduction),
penyajian data (data display), dan penarikan serta pengujian kesimpulan
(drawing and verifying conclusions).
Bagan 1.3 Analisis data Model Miles dan Huberman142
141 Ibid. hlm. 114‐115 142 Pawito. Op. Cit. hlm 105
Reduksi
data
Penarikan/pengujian
Kesimpulan
Pengumpulan
data
Penyajian
Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Langkah reduksi data melibatkan beberapa tahap. Yaitu, tahap pertama
yang meliputi langkah-langkah editing, pengelompokan dan meringkas data.
Pada tahap kedua, peneliti menyusun kode-kode dan catatan-catatan (memo)
mengenai berbagai hal, termasuk yang berkenaan dengan aktivitas serta proses-
proses sehingga peneliti dapat menemukan tema-tema, kelompok-kelompok,
dan pola-pola data.
Pada komponen kedua yaitu penyajian data melibatkan langkah-langkah
mengorganisasikan data, yakni menjalin (kelompok) data yang satu dengan
(kelompok) data yang lain sehingga seluruh data yang dianalisis benar-benar
dilibatkan dalam satu kesatuan.
Pada komponen terakhir yaitu penarikan dan pengujian kesimpulan,
peneliti pada dasarnya mengimplementasikan prinsip induktif dengan
mempertimbangkan pola-pola data yang ada dan atau kecenderungan dari
display data yang telah dibuat143.
6. Validitas data
Dalam penelitian yang diambil, akan sangat diperlukan triangulasi.
Triangulasi yaitu peneliti menggunakan berbagai teknik pengumpulan data.
Triangulasi merupakan masalah yang penting dan bersifat krusial. Peneliti,
selalu menginginkan agar data yang berhasil dikumpulkan bersifat valid dan
143 Pawito, Op.Cit. hlm. 104‐106
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
reliable144.
Patton menyebutkan terdapat beberapa jenis teknik triangulasi yaitu
triangulasi data (triangulasi sumber), triangulasi metode, triangulasi teori, dan
triangulasi peneliti.
Triangulasi data merujuk pada upaya peneliti untuk mengakses sumber-
sumber yang lebih bervariasi guna memperoleh data berkenaan dengan
persoalan yang sama.
Sedangkan triangulasi metode lebih merujuk pada upaya peneliti
membandingkan temuan data yang diperoleh dengan menggunakan metode
tertentu (misalnya catatan obsevasi) dengan data yang diperoleh dari metode
lain (misalnya transkrip wawancara).
Triagulasi teori menunjuk pada penggunaan perspektif teori yang
bervariasi dalam mengintepretasikan data yang sama. Untuk triangulasi peneliti
dapat dilakukan ketika dua orang atau lebih peneliti bekerja dalam satu tim
yang meneliti persoalan yang sama145.
Dalam penelitian ini, teknik triangulasi yang digunakan adalah teknik
triangulasi data dengan mengakses sumber-sumber yang lebih bervariasi guna
memperoleh data berkenaan dengan persoalan yang sama. Yaitu mengadakan
wawancara dengan Imigran Jepang, orang-orang pribumi yang sering
berinteraksi dengan orang Jepang serta observasi langsung.
144 Ibid. hlm. 97 145 Ibid. hlm 99‐100
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Orang-orang pribumi yang dipilih adalah orang-orang yang sering
berinteraksi dengan imigran Jepang yang tinggal di Surakarta sehingga dapat
memberikan informasi yang terpercaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
A. Kota Surakarta
1. Kondisi Geografis Surakarta
Kota Surakarta yang juga sangat dikenal sebagai Kota Solo, merupakan
sebuah dataran rendah yang terletak di cekungan lereng pegunungan Lawu dan
pegunungan Merapi dengan ketinggian sekitar 92 m di atas permukaan air laut.
Dengan luas sekitar 44 km2 . Kota Surakarta terletak diantara 110 45` 15" - 110 45`
35" Bujur Timur dan 70` 36" - 70` 56" Lintang Selatan. Kota Surakarta dibelah dan
dialiri oleh 3 (tiga) sungai besar yaitu sungai Bengawan Solo, Kali Jenes dan Kali
Pepe. Sungai Bengawan Solo pada jaman dahulu sangat terkenal dengan keelokan
panorama serta lalu lintas perdagangan.
Batas wilayah Kota Surakarta sebelah Utara adalah Kabupaten Karanganyar
dan Kabupaten Boyolali. Batas wilayah sebelah Timur adalah Kabupaten Sukoharjo
dan Kabupaten Karangnyar, batas wilayah sebelah Barat adalah Kabupaten
Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar, sedang batas wilayah sebelah selatan adalah
Kabupaten Sukoharjo. Surakarta terbagi dalam lima wilayah Kecamatan yaitu
Banjarsari, Jebres, Laweyan, Pasar Kliwon, Serengan.146
Suhu udara maksimum Kota Surakarta adalah 32,5 derajad Celsius, sedang
suhu udara minimum adalah 21,9 derajad Celsius. Rata-rata tekanan udara adalah
146 Endri Yulianti, “Media Cetak Berbahasa Jawa dan Pelestarian Budaya Jawa: Studi Deskriptif Kualitatif tentang Suplemen Jagad Jawa dam Harian Umum Solopos dan Pelestarian Budaya Jawa di Surakarta” (Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009) S1 Komunikasi, hlm. 27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
1010,9 MBS dengan kelembaban udara 75%. Kecepatan angin 4 Knot dengan arah
angin 240 derajad. Solo beriklim tropis, di mana musim penghujan dan kemarau
bergantian sepanjang 6 bulan tiap tahunnya.147
2. Sejarah Kelahiran
Sejarah kelahiran Kota Surakarta (Solo) dimulai pada masa pemerintahan
Raja Paku Buwono II di Keraton Kartosuro. Pada masa itu terjadi pemberontakan
Mas Garendi (Sunan Kuning) dibantu kerabat-kerabat keraton yang tidak setuju
dengan sikap Paku Buwono II yang mengadakan kerjasama dengan Belanda. Salah
satu pendukung pemberontakan ini adalah Pangeran Sambernyowo (RM Said) yang
merasa kecewa karena daerah Sukowati yang dulu diberikan oleh keraton Kartosuro
kepada ayahandanya dipangkas. Karena terdesak, Paku Buwono mengungsi ke daerah
Jawa Timur (Pacitan dan Ponorogo). Dengan bantuan pasukan kompeni di bawah
pimpinan Mayor Baron Van Hohendrof serta Adipati Bagus Suroto dari Ponorogo,
pemberontakan berhasil dipadamkan. Setelah tahu Keraton Kartosuro dihancurkan,
Paku Buwono II lalu memerintahkan Tumenggung Tirtowiguno, Tumenggung
Honggowongso, dan Pangeran Wijil untuk mencari lokasi ibu kota kerajaan yang
baru.148
Pada tahun 1745, dengan berbagai pertimbangan fisik dan supranatural, Paku
Buwono II memilih desa Sala sebuah desa di tepi sungai Bengawan Solo sebagai
daerah yang terasa tepat untuk membangun istana yang baru. Sejak saat itulah, desa
147 Ibid. 148 Ibid. hlm. 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Sala segera berubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Melihat perjalanan sejarah
tersebut, nampak jelas bahwa perkembangan dan dinamika Surakarta (Solo) pada
masa dahulu sangat dipengaruhi selain oleh Pusat Pemerintahan dan Budaya Keraton
(Kasunanan dan Mangkunegaran), juga oleh kolonialisme Belanda (Benteng
Varstenberg). Sedangkan pertumbuhan dan persebaran ekonomi melalui Pasar Gedhe
(Hardjonagoro).149
Solo tidak lebih dari sebuah desa terpencil yang tenang, 10 km di sebelah
timur Kartasura, ibukota kerajaan Mataram. Pakubuwana II yang menjadi Raja
Mataram mendukung Cina melawan Belanda, kemudian Pakubuwono II mencari
tempat yang lebih menguntungkan untuk membangun kembali kerajaannya, dan di
tahun 1745 Kerajaan dibongkar dan diarak menuju Kota Surakarta yang terletak di
tepi Kali (Sungai) Bengawan Solo. 18 Februari 1745 dianggap sebagai hari kelahiran
kota yang resmi.
3. Sejarah Pemerintahan
Tanggal 16 Juni merupakan hari jadi Pemerintah Kota Surakarta. Secara de
facto tanggal 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus kekuasaan
Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran. Secara yuridis Kota Surakarta terbentuk
berdasarkan Penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor 16/SD, yang diumumkan pada
149 Ibid. hlm. 26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
tanggal 15 Juli. Dengan berbagai pertimbangan faktor-faktor historis sebelumnya,
tanggal 16 Juni 1946 ditetapkan sebagai hari jadi Pemerintah Kota Surakarta.150
4. Visi Misi
Visi dan Misi Kota Surakarta berdasarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta
Nomor 10 Tahun 2001, tanggal 13 Desember 2001 adalah :
Visi :
Terwujudnya Kota Sala sebagai Kota Budaya yang bertumpu pada potensi
Perdagangan, Jasa , Pendidikan, Pariwisata dan Olah Raga.
Misi:
a. Revitalisasi kemitraan dan partisipasi seluruh komponen masyarakat dalam
semua bidang pembangunan, serta perekatan kehidupan bermasyarakat
dengan komitmen cinta kota yang berlandaskan pada nilai-nilai “Sala Kota
Budaya”.
b. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang memiliki kemampuan
dalam pengusahaan dan pendayagunaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni,
guna mewujudkan inovasi dan integrasi masyarakat madani yang
berlandaskan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
c. Mengembangkan seluruh kekuatan ekonomi daerah, sebagai pemacu
pertumbuhan dan berkembangnya ekonomi rakyat yang berdaya saing tinggi,
150 “Sejarah Pemerintahan” http://www.surakarta.go.id/id/news/sejarah.pemerintahan.html. 10/12/2010/14.00
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
serta mendayagunakan potensi pariwisata dan teknologi terapan yang akrap
lingkungan.
d. Membudayakan peran dan fungsi hukum, pelaksanaan Hak Asasi Manusia
dan demokratisasi bagi seluruh elemen masyarakat, utamanya para
penyelenggara pemerintahan.151
5. Slogan Surakarta
Surakarta memiliki semboyan "Berseri" yang merupakan singkatan dari "Bersih,
Sehat, Rapi, dan Indah", sebagai slogan pemeliharaan keindahan kota. Sedangkan
slogan pariwisata adalah “Solo, The Spirit of Java” (Jiwanya Jawa), sebagai upaya
pencitraan kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa.
B. Imigran Jepang
Jepang mulai memasuki Indonesia ketika tahun 1942 untuk menjajah
Indonesia. Bisa dikatakan itulah kontak pertama antara warga Jepang dengan
penduduk pribumi Indonesia.
Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman.
Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk
Jepang ke AS dan Britania.
Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan
bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia
Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra 151 “Visi Misi Kota Surakarta”http://surakarta.go.id/news/visi.misi.kota.surakarta.html. 10/12/2010/14.00
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan
Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.
Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan
kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan
jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para
Kyai didekorasi oleh Kaisar Jepang pada tahun1943. Tetapi, pengalaman dari
penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang
hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap
penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks,
penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang
Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam
penguasaan Jepang.
Masa penjajahan Jepang di Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan berakhir
pada tanggal 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
oleh Soekarno dan M. Hatta atas nama bangsa Indonesia.152
Asal muasal orang Jepang sebenarnya belum begitu jelas. Namun, dari fakta
bahwa sebagian besar bayi orang Jepang lahir dengan tanda biru yang dikenal dengan
titik Mongolian di dasar tulang punggung, pada umumnya disetujui bahwa orang-
orang Jepang adalah Ras Asia Mongoloid. 153
152 “Sejarah Pendudukan Jepang” http://history1978.files.wordpress.com/2008/08/sejarah‐pendudukan‐jepang.pdf/10/01/2011/17.00 153 Nippon Steel Human Resources Development, Nippon: The Land And Its People (Japan: Gakuseisha, 1993) hlm. 45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Dari seluruh budaya Asia, Jepang merupakan Negara yang minim
menggunakan komunikasi verbal. Bahasa Jepang memiliki kontekstual yang sangat
tinggi dan seringkali bersifat ambigu. Hal itu disebabkan karena kata kerja selalu
diucapkan pada akhir kalimat dan membuat komunikan tidak akan memahami
maksud pesan yang hendak disampaikan hingga kalimat selesai diucapkan.154
Dalam bahasa Jepang, sejumlah kata memiliki bentuk yang berbeda-beda
sesuai dengan situasi yang berlangsung. Sebagai contoh, terdapat banyak cara untuk
menyebut “kamu”: omae, kimi, anata, kisama, anata-sama. Sebagai tambahan, di
Jepang, kata-kata yang digunakan wanita dan pria berbeda. Kata-kata tertentu hanya
bisa digunakan antara suami dan istri untuk mengekspresikan hubungan mereka.
Seorang pria akan menggunakan kata omae dalam dua kondisi: saat memanggil orang
lain dengan kasar dan saat memanggil istrinya. Dengan kata lain, hanya ada satu pria
yang bisa memanggil seorang wanita dengan sebutan omae, yaitu jika pria tersebut
adalah suaminya.155
Orang Jepang memiliki karakteristik yang bisa dikatakan unik. Salah satunya
adalah untuk menumbuhkan kepercayaan kepada orang Jepang perlu waktu dan tidak
mudah. Pada awal perkenalan dengan orang Jepang, terdapat kesan mereka sangat
hati-hati. Akan tetapi, kesan bahwa orang Jepang menghormati orang lain terlihat
154 Larry A. Samovar. 1998. Op. Cit. hlm. 127 155 Ibid. hlm. 128
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
jelas. Dalam mengekspresikan persahabatan ada kesamaan budaya antara orang
Jepang dengan orang Indonesia, yaitu budaya memberikan oleh-oleh atau omiyage.156
Orang Jepang juga termasuk pekerja yang ulet dan pekerja keras serta
memiliki disiplin yang tinggi terhadap apa yang mereka tekuni. Selain dalam bidang
pekerjaan, orang Jepang juga memiliki disiplin waktu yang sangat tinggi.157
Tidak hanya dalam keadaan senang atau gembira orang Jepang tersenyum,
dalam keadaan yang memilukan hati pun orang Jepang bisa tersenyum. Sedemikian
penting arti senyum orang Jepang sampai-sampai ada buku yang berjudul "The
Japanese Smile" yang ditulis oleh Lafcadio Hearn, seorang sastrawan asal Inggris
yang tinggal di Jepang dan menjadi warganegara Jepang sejak 1890 sampai 1904.
Seperti juga sikap membungkuk atau bersimpuh memberi hormat, tersenyum
juga merupakan sikap untuk menyenangkan dan sekaligus menghormati orang yang
diajak bicara atau dihadapi. Sikap demikian adalah wajib bila orang Jepang
menghadapi orang tua, atasan, teman, dll., terutama orang yang harus dihormati.
Namun orang yang bukan orang Jepang dan belum mengenal budaya Jepang pasti
akan terkejut menyaksikan senyum Jepang di tengah duka atau keadaan berat. Hal
tersebut pasti mengundang tanda-tanya bahkan salah persepsi.
Sebenarnya sikap tersenyum, terutama di kalangan wanita, merupakan salah
satu sikap kendali diri yang sudah berakar dalam kebudayaan Jepang. Perlu diketahui
bahwa orang Jepang terbiasa untuk tidak mengungkapkan perasaannya atau emosinya 156 Japan Foundation, Image Jepang: Jepang Di Mata Orang Indonesia (Jakarta: The Japan Foundation, 2005) hlm. 88‐89 157 Ibid. hlm. 93
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
secara ekspresif/jelas. Kalau gembira tidak perlu berteriak atau tertawa lepas
meluapkan kegembiraan, dan dalam kesedihan tidak perlu menangis meraung-raung.
Pokoknya harus bisa mengendalikan perasaan atau emosi, menekan emosi yang
menggebu-gebu, terutama bagi wanita. Emosi baru boleh lepas bebas waktu
berlangsung festival, misalnya ketika kelompok-kelompok ramai-ramai menggotong
omikoshi (kuil kecil), mereka berteriak-teriak dengan gembira.
Namun, berbagai ciri yang disebutkan di atas tidak mutlak selalu demikian
karena sudah banyak terjadi perubahan di kalangan generasi muda Jepang yang
bersikap lebih individualis dan ekspresif seperti budaya Barat.158
Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang bersifat vertikal, artinya
berdasarkan hubungan atas-bawah, sekaligus bersifat patriakal. Sistem ini tidaklah
terkait dengan kelas-kelas dalam masyarakat, melainkan lebih pada penekanan
terhadap kesenioran. Hubungan kesenioran bisa diartikan sebagai hubungan antara
atasan-bawahan, antara siswa kelas yang lebih atas dan siswa kelas yang bawah di
sekolah, atau bisa juga hubungan antara orangtua-anak.
Sistem vertikal dan patriakal ini pada dasarnya masih tetap berakar dalam
masyarakat Jepang karena Jepang belum sampai satu setengah abad terlepas dari
sistem feudal masa lampaunya.
Dapat dikatakan bahwa dalam kenyataan kehidupan Jepang, kesadaran tentang
kesenioran ini sangat berperan dalam masyarakat Jepang, terutama dalam menjaga
158“ Serba‐serbi Karakter Jepang: Kesadaran Kelompok, Kerja Keras, Bushido dan Senyum Jepang” http://www.id.emb‐japan.go.jp/aj305_01.html.30/12/2009/15.16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
berlangsungnya tatanan sosial secara baik. Untuk itu, ada aturan-aturan moral yang
menjaga kelancaran dan kelanggengan hubungan demikian. Mereka yang secara
sosial lebih tinggi kedudukannya merasa terpanggil atau bahkan berkewajiban untuk
melindungi atau mengurus orang-orang yang berkedudukan di bawahnya, baik untuk
urusan sosial maupun pribadi. Di lain pihak, orang-orang yang kedudukannya lebih
rendah merasa patut membalas kebaikan tersebut dengan menyatakan hormat,
kesetiaan. Perasaan demikian disebut on (rasa utang budi). Orang-orang yang tidak
mempedulikan on kurang disukai dalam masyarakat karena dianggap kurang
bermoral.
Kemudian ada pula istilah giri yang dapat dapat diterjemahkan kira-kira
sebagai kewajiban moral dari orang-orang yang merasa menanggung on terhadap
orang-orang tertentu. Contoh nyata dari ungkapan rasa on yang diwujudkan dalam
pemberian yang bersifat giri (kewajiban secara moral) adalah antara lain pemberian
hadiah akhir tahun atau tengah tahun dari orangtua murid kepada guru.159
Di dunia bisnis, orang Jepang terkenal dengan pribadi yang tidak mudah
menyerah, tidak takut pada cobaan dan kesusahan, menjaga harga diri dan
kehormatan bangsa serta melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh.160
Selain itu orang Jepang juga terkenal sanggup berkorban dengan bekerja
lembur tanpa mengharapkan bayaran. Serta orang jepang sangat mengaitkan disiplin
159 “Serba‐serbi Karakter Jepang: Masyarakat yang Vertikal‐Patriakal, Senpai‐Kohai” http://www.id.emb‐japan.go.jp/aj306_01.html. 30/12/2009/15.16 160 Ann Wang Seng, Rahasia Bisnis Orang Jepang: Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia. (Bandung: Hikmah, 2007) hlm. 10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
dengan harga diri. Jika mengalami kegagalan, bukan organisasi dan perusahaan yang
menanggung malu, melainkan para pekerja yang akan merasa malu dan kehilangan
harga diri.161
C. Profil Responden
Menurut data dari Kantor Dinas Imigrasi Surakarta, tercatat 15 warga Jepang
yang tinggal di Solo dengan berbagai keperluan. Ada yang tinggal di Solo untuk
keperluan pendidikan, pekerjaan maupun menjadi ibu rumah tangga biasa. Namun
dalam penelitian di lapangan, peneliti hanya mampu menemukan 11 warga Jepang
saja. Hal tersebut dikarenakan ada beberapa orang yang keberadaanya sulit untuk
ditemukan tanpa rekomendasi dari warga Jepang lain dan ada beberapa orang yang
menolak untuk diwawancarai. Kesebelas warga Jepang tersebut adalah, Hiromi Kano,
Kaoru Serizawa, Yumiko Takenouchi, Naomi Kawasaki, Keisuke Isobe, Mika Masui,
Mami Yamamura, Hitomi Matsuda, Akira Kawakami, Miki Orita, dan Naoko Ujiie.
Sebagian besar tinggal di Solo untuk keperluan pendidikan, yaitu sejumlah
tujuh orang. Tiga orang tercatat sebagai mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS)
Surakarta yaitu, Naomi Kawasaki, Keisuke Isobe, dan Mika Masui. Keisuke Isobe
yang datang ke Solo sejak Februari 2010 lalu dan Mika Masui yang baru datang ke
Solo mulai Agustus 2010 terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Sastra dan Seni Rupa
(FSSR), Jurusan Sastra Indonesia Strata 1. Sedangkan, Naomi Kawasaki yang mulai
tinggal di Solo sejak 2009 lalu tercatat sebagai mahasiswa S2 di FSSR UNS.
161 Ibid. hlm. 69
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Empat orang tercatat sebagai mahasiswa di Institut Seni Indonesia (ISI)
Surakarta yaitu, Kaoru Serizawa mengambil jurusan etnomusikologi yang sudah
tinggal di Solo sejak tahun 1995, Mami Yamamura mengambil jurusan tari yang
mulai tinggal di Solo sejak tahun 2009, Hitomi Matsuda mengambil jurusan
karawitan yang tinggal di Solo mulai tahun 2009, dan Miki Orita yang juga
mengambil jurusan karawitan yang mulai tinggal di Solo sejak tahun 1997.
Lalu, tiga orang lagi tinggal di Solo untuk urusan pekerjaan. Akira Kawakami
sebagai seorang General Manager di PT. Bengawan Solo Garment Indonesia. Dia
sudah tinggal di Solo untuk waktu tiga tahun. Hiromi Kano berprofesi sebagai
seorang sinden dan menikah dengan seniman Jawa yang telah menetap lebih dari 13
tahun di Solo, dan Yumiko Takenouchi yang bekerja sebagai salah satu instruktur di
Yayasan Music Indonesia: Yamaha Music School serta menikah dengan seniman
pribumi. Ia tinggal di Solo sejak tahun 1981.
Satu orang lagi yaitu Naoko Ujiie berprofesi sebagai Ibu rumah tangga. Dia
juga menikah dengan penduduk pribumi, dan mulai menetap di Solo sejak tahun
2008.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
BAB III
PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
Negara Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam
suku bangsa. Di mana setiap suku dan budaya terpelihara dengan baik. Negara
Indonesia adalah contoh yang ideal untuk negara multikultur.
Multikulturalisme adalah sebuah kata yang digunakan untuk menjelaskan
situasi di dalam suatu masyarakat di mana kelompok-kelompok yang berbeda
didukung untuk menjaga perbedaan etnik mereka, dan untuk berpartisipasi di dalam
kehidupan sehari-hari dengan masyarakat yang lebih luas. Hal ini berlawanan dengan
perbedaan etnik yang dikurangi dan keberagaman diharmonisasikan seperti “melting
pot”, atau di mana perbedaan etnik diijinkan tetapi tidak terlibat dalam kehidupan di
masyarakat yang lebih luas (segregasi).162
Sangat pas jika dikatakan Negara Indonesia adalah contoh yang ideal.
Karena semua etnik dan budaya yang berkembang di Indonesia mendapatkan tempat
masing-masing dan tetap bersatu dalam suatu wadah NKRI. Tidak ada pemaksaan
penghapusan terhadap suatu etnik tertentu.
Indonesia sendiri tidak hanya berisi etnik-etnik asli dari Indonesia, tetapi
juga etnik-etnik pendatang seperti Cina dan Arab. Selain itu masih banyak warga
asing yang ada di Indonesia baik untuk kepentingan wisata hingga menetap di
Indonesia. 162 David L. Sam dan John W. Berry (ed), The Cambridge Handbook of Acculturation Psychology (New York: Cambridge University Press, 2006) hlm. 20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
Di Surakarta sendiri terdapat berbagai jenis bangsa yang datang berkunjung.
Salah satunya adalah negara Jepang. Tujuan mereka ke Surakarta pun berbeda-beda.
Ada yang sekedar berwisata, belajar, bekerja, bahkan berumah tangga. Tentunya
begitu memasuki sebuah daerah baru, hal yang tidak dapat dihindari adalah
komunikasi.
A. Komunikasi Antarbudaya warga Jepang di Surakarta
Sejak dilahirkan, manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu yang
menjadi wadah kehidupannya. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Mereka memerlukan
bantuan dari orang lain di sekitarnya. Untuk itu ia melakukan komunikasi. Sebagai
makhluk sosial, manusia akan selalu berkeinginan untuk berbicara, saling tukar
gagasan, mengirim dan menerima informasi, membagi pengalaman, bekerja sama
dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan, dan sebagainya.163
Pentingnya dan pengaruh komunikasi pada manusia secara dramatis
digarisbawahi oleh Keating ketika ia menuliskan, “Komunikasi itu sangat kuat:
mampu membawa teman ke sisi kita atau menceraiberaikan musuh, meyakinkan atau
memperingatkan anak-anak, dan menciptakan mufakat atau garis pertempuran di
antara kita.”164
Dengan kata lain, komunikasi merupakan inti dari hubungan manusia. Baik
yang tinggal di sebuah kota di Kanada, di desa di India, di tanah pertanian di Israel,
maupun di hutan Amazon di Brazil, semuanya mengerjakan aktivitas yang sama 163 Suranto AW. Op. Cit. hlm. 1 164 Pernyataan C. F. Keating seperti dikutip oleh Samovar, dkk dalam Komunikasi Lintas Budaya: Communication Between Cultures, edisi 7 (Jakarta: Salemba Humanika, 2010) hlm. 16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
ketika mereka berusaha untuk berbagi pikiran dan perasaan dengan orang lain. Akibat
yang ditimbulkan ketika mengirimkan pesan mungkin berbeda, namun alasan orang
untuk berkomunikasi cenderung sama.165
Begitu juga bagi imigran Jepang yang datang ke Indonesia khususnya yang
tinggal di Wilayah Surakarta. Mereka mengamini bahwa komunikasi adalah suatu
kebutuhan yang mutlak. Tanpa komunikasi manusia tidak dapat hidup. Karena
mereka juga menyadari bahwa sebagai manusia, mereka tidak dapat hidup sendiri.
Seperti yang diungkapan oleh imigran yang tinggal di Solo. Yumiko Takenouchi
menyebutkan bahwa komunikasi adalah sebuah keharusan.
“Karena itu keperluan setiap hari, setiap saat. Tanpa itu, ga bisa hidup. Bukannya tujuan, ya keharusan. Kita semua ya hidup dengan orang lain.”166
Sedangkan bagi Hiromi Kano, ia melakukan komunikasi untuk hidup nyaman
di daerah ia tinggal.
“Saya, biar hidup nyaman. Karena salah satunya itu kan, aku kan ga bisa semaunya ya,”167
Senada dengan Hiromi Kano, Miki Orita pun mengaku melakukan
komunikasi untuk hidup enak.
“Ya, orang itu ga bisa komunikasi ga bisa hidup. Tujuannya untuk hidup enak. Nyaman dan mungkin saya harus bisa bantu, saya buka hati mereka juga mau bantu.”168
165 Larry A. Samovar, dkk. 2010. Op. Cit. hlm.16 166 Wawancara dengan Yumiko Takenouchi, responden (Yayasan Music Indonesia: Selasa, 30 November 2010, jam 17.00‐18.00) 167 Wawancara dengan Hiromi Kanou, responden (Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010, jam 15.00‐16.00) 168 Wawancara dengan Miki Orita, responden (D’ Mesem: Selasa, 23 November 2010, jam 17.00‐18.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Kaoru mengungkapkan bahwa tujuannya berkomunikasi adalah untuk
mencapai kehidupan yang harmonis.
“Ya untuk mencapai kehidupan yang harmonis. Tetapi menurut saya, itu bukan tujuan ya tapi itu adalah hal yang wajar.”169
Dalam konteks ini, komunikasi yang mereka lakukan merupakan komunikasi
antarbudaya karena melibatkan orang-orang dari latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Carley H. Dodd menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya mengarah
pada pengaruh variabel-variabel dan perbedaan budaya dalam hasil komunikasi
interpersonal. Perbedaan dalam gaya komunikasi dan sosial, pendangan terhadap
dunia, adat, harapan, aturan, peran, dan mitos menggambarkan sedikit elemen yang
menjelaskan bagaimana kebudayaan membentuk proses komunikasi.170
Selayaknya komunikasi, komunikasi antarbudaya pun melibatkan unsur-unsur
komunikasi berupa:
1. Komunikator
Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang
memprakarsai komunikasi dan berasal dari latar belakang kebudayaan
tertentu.171
Dalam penelitian ini, warga Jepang yang tinggal di Solo juga
merupakan komunikator dalam komunikasi antarbudaya tersebut. Warga
169 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, responden (Tempat tinggal Kaoru serizawa: Rabu, 24 November 2010, jam 15.00‐16.00) 170 Carley H. Dodd. Op. Cit. hlm. 4 171 Alo Liliweri.2007. Op. Cit. hlm. 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
Jepang yang tinggal di Solo pun memiliki keinginan untuk menyampaikan
pesan kepada warga di sekitarnya. Baik kepada suami, anak, tetangga, dosen,
atau rekan kerja.
2. Pesan
Dalam model komunikasi antarbudaya, pesan adalah apa yang
ditekankan atau yang dialihkan oleh komunikator kepada komunikan.172
Pesan yang dipertukarkan dalam komunikasi antarbudaya yang terjadi antara
warga Jepang yang tinggal di Solo dengan penduduk sekitarnya bermacam-
macam. Tergantung kepada siapa mereka berkomunikasi.
Jika dengan dosen, hal yang biasa dibicarakan adalah tentang
perkuliahan. Umumnya, mereka berkomunikasi jika ada hal yang kurang
dimengerti saat kuliah, menanyakan jadwal kuliah, untuk mengeluarkan
pendapat, juga mangkritisi cara mengajar. Namun, ada juga yang meminta
saran dosen saat menghadapi suatu situasi yang problematik. Seperti yang
diungkapkan oleh beberapa responden berikut.
“Kalau dengan dosen, biasanya kalau ada yang tidak dimengerti.”173
“Terus apa ya, kalau dosen, misalnya ada pertanyaan “boleh
tanya? Kalau gini, caranya gimana?”. Kalau ada pertanyaan-pertanyaan, pasti tanya.”174
172 Ibid. hlm 28 173 Wawancara dengan Mami Yamamura, Responden (Kos Mami: Jumat, 19 November 2010, jam 20.00‐21.00) 174 Wawancara dengan Hitomi Matsuda, Responden (Gedung H ISI Surakarta: Senin, 29 November 2010, jam 11.00‐12.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
“Kalau di sini kan harus ada komunikasi dengan dosen soalnya jadwalnya sering diubah kan, ada perubahan juga. Otomatis jumlah komunikasinya kan lebih banyak. Kalau ada yang tidak dimengerti di perkuliahan ya kan harus ada pertanyaan.”175
“Dengan dosen ISI juga, biasanya kritik terhadap cara mengajar,
kenapa memakai literature seperti itu, atau kenapa harus mengulang-ulang materi. Kritik apa saja.”176
“Tapi ada dosen, jadi kalau ada masalah saya sering mendapat
nasehat, misalnya saat saya sedang bimbang memutuskan untuk pulang ke Jepang atau tidak.”177
Selain dengan dosen, komunikasi pun dilakukan dengan sesama
rekan kerja baik teman kantor ataupun sesama teman seniman. Pesan yang
dipertukarkan biasanya seputar pekerjaan atau pentas seni. Seperti yang
diungkapkan oleh Hiromi Kano.
“Kalau sama-sama seniman itu kan beda ya. Tapi kan seniman kalau kumpul pasti omongannya sudah..anoo..seni dipanggung. Tapi itu juga beda, laki-laki sama wanita itu beda banget. Kalau saya itu kan lebih suka ngomong itu kan sama seniman laki-laki. Karena topiknya itu benar-benar seni gitu pikirannya. Tapi, kalau sinden itu kan, gosip lagi.”178
“Kalau dengan seniman biasanya tentang kegiatan seni klenengan,
evaluasi pertunjukan, kritik, saran. Kami bertukar pikiran tentang pertunjukan tersebut. Sering ada beda pendapat, tapi itu wajar.”179
“Urusan pekerjaan biasanya.”180
175 Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden (Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam 15.30‐16.30) 176 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru Serizawa: Rabu, 24 November 2010, jam 15.00‐16.00) 177 Wawancara dengan Miki Orita, Responden (D’Mesem: Selasa, 23 November 2010, Jam 17.00‐18.00) 178 Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden (Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010, jam 15.00‐16.00) 179 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru Serizawa: Rabu, 24 November 2010, jam 15.00‐16.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
Selain pembicaraan mengenai kedua hal tersebut, responden juga
berkomunikasi layaknya pembicaraan sehari-hari misalnya menanyakan
kegiatan, menanyakan kabar atau sekedar menyapa.
“Hmm, apa ya? Ya pembicaraan sehari-hari seperti “Dari mana?” gitu.”181
“Ya, hal-hal yang biasa. Menanyakan kabar, dan sebagainya. Yang
ringan-ringan saja.”182
“Ya, paling percakapan biasa sehari-hari. “Hai, lagi apa?”, “Sudah makan?”, “Sudah mandi?”. Ya seperti itu. Iya.”183
Selain ketiga jenis masalah tersebut, mereka juga sering bertukar
cerita mengenai hal-hal yang bersifat pribadi. Mereka juga kerap
mencurahkan isi hati jika menghadapi suatu masalah. Meskipun hal tersebut
tidak dilakukan kepada sembarang orang. Hanya kepada keluarga, sesama
teman dari Jepang dan dengan teman dekat saja mereka biasanya bercerita
tentang masalah pribadinya.
“Dengan teman dekat saja dan teman-teman orang Jepang.”184 “Tidak semua orang. Dengan teman-teman Jepang. Dengan teman
dekat saja.”185
180 Wawancara dengan Akira Kawakami, responden (Food Court SGM: Minggu 21 November 2010, jam 15.00‐16.00) 181 Wawancara dengan Naoko Ujiie, Responden (Tempat tinggal Naoko Ujiie: rabu, 15 desember 2010, jam 16.00‐16.30) 182 Wawancara dengan Yumiko Takenouchi, responden (Yayasan Music Indonesia: Selasa, 30 November 2010, jam 17.00‐18.00) 183 Wawancara dengan Mami Yamamura, Responden (Kos Mami: Jumat, 19 November 2010, jam 20.00‐21.00) 184 Wawancara dengan Mika Masui, Responden (Kantin sastra: Rabu, 17 November 2010, jam 12.00‐12.45)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
“Paling dengan orang Jepang. Sama suami dan anak. Saya masih punya family atau teman yang sering datang ke sini. Ya, mungkin dengan rekan-rekan kerja di sini. Saya di YMI sudah lama, sudah 20 tahun.”186
Meski begitu, ada juga yang menceritakan hal yang bersifat pribadi
kepada dosen dan meminta saran dosen tersebut. Seperti yang diakui oleh
Kurniati, salah satu pengajar tari di ISI Surakarta.
“Ada juga yang cerita tentang masalah pribadinya. Curhat itu kadang-kadang juga ada yang namanya tidak broken home ya, ya memang ada yang cerai dengan suami, gitu. Itu ada yang cerita seperti itu, tapi ceritanya tidak terlalu dalam.”187
3. Media
Dalam proses komunikasi antarbudaya, media merupakan tempat,
saluran yang dilalui oleh pesan atau simbol yang dikirim melalui media
tertulis, media massa cetak dan media massa elektronik. Akan tetapi kadang-
kadang pesan-pesan itu dikirim tidak melalui media, terutama dalam
komunikasi antarbudaya tatap muka. Ada dua tipe saluran; (1) sensory
channel, yakni saluran yang memindahkan pesan sehingga akan ditangkap
oleh lima indra, yaitu mata, telinga, tangan, hidung dan lidah. Lima saluran
sensoris itu adalah cahaya, bunyi, perabaan, pembauan dan rasa. (2)
institutionalized means, atau saluran yang sudah sangat dikenal dan
185 Wawancara dengan Keisuke Isobe, Responden (Kantin KPRI UNS: Senin, 22 November 2010, jam 13.00‐14.00) 186 Wawancara dengan Yumiko Takenouchi, responden (Yayasan Music Indonesia: Selasa, 30 November 2010, jam 17.00‐18.00) 187 Wawancara dengan Theresia Sri Kurniati, Dosen Tari ISI Surakarta (ISI Surakarta: Kamis, 20 Januari 2010, jam 10.15‐10.30)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
digunakan manusia, misalnya percakapan tatap muka, material cetakan dan
media elektronik188.
Dari hasil penelitian, imigran asal negeri matahari terbit tersebut
menggunakan kedua macam tipe saluran tersebut. Melalui pengamatan
peneliti, responden juga menggunakan sensory channel ketika melakukan
komunikasi. Misalnya dengan melakukan tepukan lembut ke bahu lawan
bicara untuk menunjukkan keakraban. Seperti yang dilakukan oleh Hiromi
Kano saat bertemu dengan rekan sesama sinden. Serta seperti yang
dilakukan oleh Keisuke Isobe ketika mengobrol dengan temannya.
Selain itu, mereka juga menggunakan saluran institutionalized
means, yang berupa percakapan tatap muka serta penggunakan media
elektronik maupun cetak untuk memperoleh informasi.
“HP juga, bicara-bicara juga, Internet juga. Teman disini, semuanya pakai itu, sms ya. Apa, ketemu, terus bicara omong, omong, omong.”189
“Ya HP, kalau dengan teman-teman di Jepang ya pakai e-mail.” 190 “Jadi berita-berita juga aku ga tahu kalau ga baca koran.
Sekarang anoo..internet juga itu bisa buka koran. Makanya, internet bagi saya terutama.”191
188 Alo Liliweri. 2007. Loc.Cit 189 Wawancara dengan Hitomi Matsuda, Responden (Gedung H ISI Surakarta: Senin, 29 November 2010, jam 11.00‐12.00) 190 Wawancara dengan Yumiko Takenouchi, responden (Yayasan Music Indonesia: Selasa, 30 November 2010, jam 17.00‐18.00) 191 Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden (Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010, jam 15.00‐16.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
“Selain tatap muka? paling ya HP. Kalau dengan teman di Jepang tentunya pakai e-mail atau facebook.”192
4. Hambatan
Gangguan komunikasi seringkali terjadi, baik gangguan bersifat
teknis maupun semantik. Adanya gangguan komunikasi ini dapat
menyebabkan penurunan efektivitas proses komunikasi.193 Gangguan dalam
komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu yang menjadi penghambat
laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan, atau paling
fatal adalah mengurangi makna pesan antarbudaya.194
Berdasarkan hasil penelitian, semua responden sepakat bahwa
hambatan utama dalam komunikasi yang mereka lakukan adalah bahasa,
baik yang baru datang atau pun yang sudah tinggal dalam waktu yang lama.
Meskipun beberapa orang telah lancar berbahasa Indonesia, namun dalam
pemahaman arti masih sering ditemukan kesulitan, baik sebagai penerima
pesan maupun pemberi pesan. Hal tersebut dikarenakan perbedan persepsi
terhadap pesan yang dipertukarkan serta struktur bahasa Jepang dan bahasa
Indonesia yang sangat berbeda.
“Pronunciation. Sekarang juga “l” dan “r” masih susah. Kata-katanya masih sedikit. Ya, masalah dengan bahasa.”195
192 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru Serizawa: Rabu, 24 November 2010, jam 15.00‐16.00) 193 Suranto Aw. Op.Cit. Hlm. 7 194 Alo Liliweri. 2007. Op. Cit. Hlm. 30 195 Wawancara dengan Hitomi Matsuda, Responden (Gedung H ISI Surakarta: Senin, 29 November 2010, jam 11.00‐12.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
“Bahasa ya. Tapi karena di sini dan karyawan saya tidak bisa bahasa Jepang, ya apa boleh buat.”196
“Oh, masih tetep anu, kemampuan bahasa Indonesia. Lumayan
bisa berkomunikasi sekarang. Tapi saat sungguh-sungguh mau menyampaikan logika atau yang pendapat atau yang perasaan yang sesungguhnya itu kan sulit juga. Kalau penggunaan bahasanya benar, tapi kan tetep pikirannya berbeda, apalagi yang bahasa asing. Semakin lama semakin merasa sulit. Kalau pada awalnya, ga begitu merasa sulit dengan bahasa Indonesia. Pada awalnya ya, kok agak gampang belajar bahasa Indonesia daripada bahasa Inggris, tapi semakin lama semakin merasa sulit. Mungkin ya, itu mungkin karena sudah muncul keinginan saya ingin menyampaikan pendapatnya atau pikiran saya yang sebenarnya.”197
Bahasa mempengaruhi komunikasi antarbudaya dengan dua cara
yaitu masalah penerjemahan antara bahasa-bahasa dan bahasa sebagai
nasionalisme. Selayaknya komunikasi nonverbal, kata-kata sebagai simbol
menjadi penghalang ketika arti sepenuhnya tidak dibagi. Bahkan pembicara
dari bahasa yang sama tidak membagi arti yang sama untuk setiap kata.
Masalahnya tercampur ketika kita mengusahakan penerjemahan antar
bahasa. Cara yang kedua bahasa menjadi penghalang adalah saat
penggunaan bahasa tertentu yang dipaksakan kepada masyarakat dengan
kekuasaan.198
Bahkan ketika kebudayaan-kebudayaan berbicara dengan bahasa
yang sama seperti Australia dan Amerika Serikat, bisa ada perbedan
kosakata. Saat kebudayaan-kebudayaan berbicara bahasa yang berbeda,
196 Wawancara dengan Akira Kawakami, responden (Food Court SGM: Minggu 21 November 2010, jam 15.00‐16.00) 197 Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden (Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam 15.30‐16.30) 198 Fred E. Jandt. Op. Cit. hlm. 142.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
terjemahan adalah hal yang kritis, tapi selalu tidak sempurna. Sechrest, Fay,
dan Zaidi (1972) telah mengidentifikasi lima masalah terjemahan yang bisa
menjadi penghalang bagi komunikasi antarbudaya.199
a) Vocabulary Equivalent
Hambatan pertama adalah kurangnya keseimbangan kosakata.
Contohnya, bayangkan harus menerjemahkan semua pink, burgundy,
orange-red, dan lain-lain ke dalam satu kata “merah”. Sebuah
pembatasan akan membuat frustasi jika kita terbiasa menggunakan kata-
kata deskriptif yang lebih banyak. Bahasa yang sangat berbeda sering
kekurangan kata-kata yang bisa diterjemahkan secara langsung. Misalnya:
seorang businessman Amerika Serikat mungkin menulis sebuah surat
untuk diterjemahkan dalam Bahasa Jepang dengan kalimat “We wonder if
you would prepare an agenda for our meeting.” Kata “wonder” dan
konstruksi dari kalimat tersebut dimaksudkan sebagai cara yang sopan
untuk memberitahukan kepada pihak Jepang untuk menyiapkan agenda.
Kata “wonder” dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dengan kata
“gimon”, yang pada umumnya berarti “doubt”. Kalimat yang telah
diterjemahkan menjadi “We doubt that you would prepare an agenda for
our meeting” (Axtell, 1994).200
199 Ibid. hlm. 143 200 Ibid. hlm. 144
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
Hal tersebut juga dialami oleh warga Jepang yang tinggal di
Solo. Ketika mereka harus mengungkapkan sesuatu namun menjadi sulit
karena belum mengetahui kata apa yang cocok untuk mengungkapkan
maksud mereka.
“Misalnya kalau luka, di sini ada kata “parah” kan. Jadi, dulu belum tahu kata itu. Jadi kalau lukanya parah, saya bilangnya “lukanya besaaaar dan sakiiiiiiit sekali”.”201
b) Idiomatic Equivalent
Lee dalam Fred E. Jandt mengatakan bahwa mempelajari idiom
bahasa bisa menjadi cara yang efektif dalam mempelajari kebudayaan.
Misalnya di Jepang terdapat idiom “Paku yang menonjol harus dipukul”,
di Indonesia idiom tersebut mungkin tidak ada yang memahami makna
dibaliknya. Begitu juga dengan idiom Indonesia bagi warga Jepang.
Misalnya, “Air susu dibalas air tuba”, mungkin orang Jepang tidak
mampu memahami makna yang terkandung dalam idiom tersebut.
c) Grammatical-syntactical Equivalent
Simpelnya berarti bahwa bahasa-bahasa tidak perlu memiliki
tatabahasa yang sama. Seringnya, kita perlu memahami tatabahasanya
untuk mengerti arti dari kata-katanya.202
Bahasa Indonesia dan bahasa Jepang memiliki tatabahasa yang
berbeda. Jika bahasa Indonesia berpola SPO (Subyek, Predikat, Obyek), 201 Wawancara dengan Hitomi Matsuda, Responden (Gedung H ISI Surakarta: Senin, 29 November 2010, jam 11.00‐12.00) 202 Fred E. Jandt . Op.Cit hlm. 145
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
bahasa Jepang berpola SOP (Subyek, Obyek, Predikat). Dalam bahasa
Jepang, kata kerja selalu ditempatkan di akhir kalimat. Misalnya: kalimat
“Saya makan nasi” jika dalam bahasa Jepang menjadi “Watashi(saya) ha
gohan(nasi) wo tabemasu (makan)”. Seperti juga yang dicontohkan oleh
salah seorang responden.
“Itu bahasa Indonesia juga begitu, tapi kalau Bahasa Jepang itu kan beda. Kalau misalnya ya, mau pinjam pulpen. “Mana pulpennya?” kalau itu dibahasa Jepangkan “Borupen wa doko?” kasar banget. Borupen wa, borupen wa doko janai, “Borupen o kashite kudasai” yo, yo? Kalau begitu, mau pinjem pulpennya, kalau sini kan oya tadi “mana pulpennya?”. Tapi kan itu kan namanya, pokoknya jangan ditransfer langsung, ya kan. Itu kan kata-kata sebetulnya bahasa Indonesia, tapi beda.”203
d) Experiential Equivalent
Jika sebuah objek atau pengalaman tidak ada pada kebudayaan
kita, sulit untuk menerjemahkan kata yang merujuk pada objek atau
pengalaman tersebut ke dalam bahasa saat tidak ada kata-kata untuk
itu.204
e) Conceptual Equivalent
Penghalang kelima adalah conceptual equivalent yang merujuk
pada ide-ide abstrak yang mungkin tidak ada dalam gaya yang sama
dalam bahasa yang berbeda. Misalnya orang-orang AS memiliki
pemahaman yang unik terhadap kata “freedom”. Arti itu tidak dibagi
203 Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden (Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010, jam 15.00‐16.00) 204 Fred E. Jandt. Op.Cit. hlm. 145
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
secara universal. Pembicara-pembicara dari bahasa lain mungkin
mengatakan bahwa mereka bebas dan benar dalam budaya mereka, tapi
“freedom” yang mereka maksud tidak setara dengan “freedom” yang kita
alami di AS.205
Sebaliknya, masyarakat pribumi yang sering berkomunikasi dengan
mereka, mengaku tidak ada kesulitan dalam berkomunikasi. Mereka
mengakui bahwa warga Jepang yang hendak tinggal di Solo untuk jangka
waktu tertentu telah memiliki bekal Bahasa Indonesia sebelumnya.
Walaupun bahasa yang dimiliki belum sempurna, namun sudah bisa menjadi
modal untuk berkomunikasi dengan penduduk pribumi. Seperti yang diakui
oleh dosen karawitan maupun tari yang sering mengajar orang Jepang.
“Kesulitan, kalau mereka yang belum apa, persiapan, itu memang sulit. Tapi kebanyakan yang datang ke sini dia udah siap, dari segi bahasanya dia udah siap. Terus dari apa yang akan dia pelajari itu juga sudah siap…. Bahasa tidak jadi kendala. Memang ada satu dua yang datang ke sini yang bahasanya pas-pasan, tapi selama ini dia yang datang ada usaha sekali.”206
“Kalau sulit saya kira, karena begini kalau orang Jepang ke sini,
itu pasti dia sudah mempunyai bekal bahasa yang banyak ya. Jadi tidak terlalu sulit untuk ngomong. Kadang-kadang dia malah sudah tahu bahasa Jawa.”207
Sedangkan bagi warga pribumi yang bisa berbahasa Jepang,
mengkaku tidak menemukan kesulitan yang berarti ketika berkomunikasi.
205 Ibid. hlm. 145. 206 Wawancara dengan Hadi Boediono, Responden (Gedung Karawitan ISI Surakarta: Rabu, 19 Januari 2011, jam 09.15‐09.45) 207 Wawancara dengan Theresia Sri Kurniati, Dosen Tari ISI Surakarta (ISI Surakarta: Kamis, 20 Januari 2010, jam 10.15‐10.30)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
Kesulitan yang mereka rasakan lebih kepada pemahaman terhadap maksud
yang sebenarnya dari orang Jepang. Karena orang Jepang terkenal pandai
untuk menyembunyikan perasaan atau keinginan yang sebenarnya. Selain
itu, menurut mereka kesulitan itu ada pada nuansa. Seperti yang diakui oleh
beberapa responden pribumi.
“Kalau secara bahasa selama ini, tidak ada kesulitan yang berarti…Pada awalnya mungkin kita kalau belum betul-betul mengenal orang-orang Jepang berkomunikasi itu sulit untuk menggali sebenarnya apa maunya mereka, apa sesungguhnya kesenangan mereka, apa sesungguhnya isi hati mereka, gitu. Karena orang Jepang itu, suka atau tidak suka mereka tidak mengatakan terus terang. Mereka sangat pintar menyembunyikan perasaan.”208
“Ga ada, kalau kita sudah biasa ya. Kita kan rata-rata sudah
pernah tinggal di Jepang minimal tiga tahun. Jadi, untuk hubungan kerjasama atau hubungan dalam hal informal pun kita sudah biasa. Insyaallah kita ga ada kendala, kalau kita mendengarkan berita dalam bahasa Jepang pun paling ga 80% kita bisa ngerti.”209
“Masalah kedua pada nuansanya. Jadi nuansa bahasa. Nuansa
berbahasa itu berbeda-beda, jadi misalkan kita ngomong “ya” begitu terjemahan “ya” itu mempunyai arti yang bermacam-macam. Kalau kita tidak mengenal kultur mereka, bahkan kita ngomong “ya”-nya itu “ya” yang seperti apa. Kita ngomong “ya, ya, saya siap!” gitu, itu bagi mereka mengejek. “hai, hai” itu ga boleh. Sekali ngomong “hai” sekali thok. “hai”, itu artinya iya, paham. Tapi kalau “hai, hai” “iya, iya!” jadi kesannya sudah berbeda rasanya, gitu.”210
208 Wawancara dengan Santi Staunislavia, Responden (Kantor Nakamura: Rabu, 19 Januari 2011, jam 11.00‐11.15) 209 Wawancara dengan Sutiman, Responden (LPK Hiro: Kamis, 20 Januari 2011, jam 14.15‐14.30) 210 Wawancara dengan Mulyono, Responden (Fujiyama Gakkou, 19 Januari 2011, jam 16.30‐16.45)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
5. Komunikan
Komunikan dalam komunikasi antarbudaya juga berasal dari suatu
kebudayaan tertentu yang berbeda dengan komunikator. Tujuan komunikasi
akan tercapai jika komunikan “menerima” (memahami makna) pesan dari
komunikator, dan memperhatikan (attention) serta menerima pesan secara
menyeluruh (comprehension).211
Dalam komunikasi antarbudaya yang terjadi antara warga Jepang
yang tinggal di Solo dengan orang sekitarnya, pihak yang menjadi
komunikan bisa dua-duanya. Terkadang warga Jepang yang menerima dan
mengolah informasi yang didapat, begitu juga sebaliknya. Misalnya,
informasi mengenai pentas seni, atau mendapatkan informasi dari media
massa. Berdasarkan hasil pengamatan, terlihat proses saling tukar pesan
antara warga Jepang dengan orang-orang di sekitarnya.
6. Feedback atau Umpan Balik
Merupakan respon atau tanggapan seorang komunikan setelah
mendapatkan terpaan pesan. Dapat pula dikatakan sebagai reaksi yang
timbul. Tanpa umpan balik atas pesan-pesan dalam komunikasi antarbudaya
maka komunikator dan komunikan tidak bisa memahami ide, pikiran dan
perasaan yang terkandung dalam pesan tersebut.212
211 Alo Liliweri. Op.Cit. hlm. 27 212 Alo Liliweri. Op. Cit. hlm.30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
Berdasarkan hasil pengamatan, saat menjadi komunikan dalam
komunikasi antarbudaya yang berlangsung, warga Jepang juga selalu
memberikan umpan balik terhadap pesan yang disampaikan pada mereka.
Umpan balik yang diberikan misalnya, membalas sms yang masuk, tertawa,
mengkritik, menyampaikan pendapat, dan berpikir.
B. Proses Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang di Solo
Dalam komunikasi terdapat sebuah model komunikasi antarbudaya yang
dikembangkan dari teori Uncertainty Reduction oleh Berger dan Calabrese (1975).
Dalam bukunya Carley H. Dodd, model komunikasi tersebut digambarkan sebagai
berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
Gambar 1.3 Model Komunikasi Antarbudaya213
213 Carley H. Dodd, Dynamics of Intercultural Communication 5th edition (Boston: McGraw Hill, 1998) hlm. 7
Uncertainty/ anxiety motivate intercultural adaptive communication strategies by forming an arena of potentially positive adaption, Cultural C:
Culture C Is an invented third culture in which A & B experience positive climate, commonality and trust leading to adaptation
Functional strategies utilizing intercultural knowledge and skills involving rules, roles, customs, beliefs, social style, affirmation, approachability and adaptability
Intercultural Communicatin Effectiveness Outcome: Task, Positive Relationships, Cultural Adjustment
Uncertainty Anxiety Dysfunctional strategis such as relying on stereotypes,
withdrawal denial, hostily
Interpersonal relationship
Personality
Culture
Perceived Cultural Difference
Interpersonal relationship
Personality
Culture
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
Berdasarkan hasil wawancara dam pengamatan di lapangan, model
komunikasi antarbudaya tersebut sangat cocok dengan kegiatan komunikasi yang
dilakukan oleh warga Jepang di Solo. Jika diumpakan, Warga Jepang adalah orang
dengan kebudayaan A dan orang Jawa adalah orang dengan kebudayan B. Masing-
masing merupakan kontributor untuk pengenalan perbedaan dari masing-masing
kebudayaan. Di mana keduanya memiliki hubungan interpersonal, personalitas, dan
kebudayaan yang berbeda. Dodd menjelaskan bahwa hanya kebudayaanlah satu-
satunya sumber yang menjelaskan kenapa orang-orang mengenali perbedaan.
Pengenalan perbedaan budaya tersebut kemudian menjadi sebuah motivasi
untuk mengurangi ketidakpastian dan kekhawatiran. Namun, dalam tahap ini juga
terkandung resiko terjadinya disfungsi strategi seperti masing-masing individu masih
bergantung pada stereotip, penarikan diri, penyangkalan, permusuhan.
Ketidakpastian dan kecemasan memotivasi strategi komunikasi adaptif
antarbudaya dengan membuat sebuah area dari adaptasi positif yang potensial, yaitu
kebudayaan C. Kebudayaan C adalah temuan budaya ketiga dimana A dan B
mengalami iklim yang positif, kelumrahan dan kepercayaan yang membimbing ke
arah adaptasi. Strategi fungsional menggunakan kemampuan dan pegetahuan
antarbudaya seperti peraturan, peran, adat-istiadat, kepercayan, gaya sosial, kepastian,
kemudahan untuk didekati, dan kemampuan adaptasi.
Dari kebudayaan C yang adaptif, maka dapat menghasilkan komunikasi
antarbudaya yang efektif misalnya dalam hal pekerjaan, hubungan yang positif,
aturan budaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
Dalam prakteknya, baik warga Jepang maupun penduduk pribumi
menyadari bahwa mereka memiliki perbedaan. Masing-masing mampu menerima
perbedaan tersebut, terutama warga Jepang. Mereka menyadari bahwa sebagai
pendatang harus menyesuaikan diri dengan kondisi sekitarnya. Hal tersebut mampu
mengurangi kecemasan selama tinggal di Solo dan membuat kehidupan berjalan
lancar.
Seperti beberapa hal yang diungkapkan oleh responden yang mengaku
memiliki kebiasaan-kebiasaan baru selama tinggal di Solo dalam upaya
menyesuaikan diri dengan lingkungan.
“Kalau mau mempersilakan sesuatu, pakai telunjuk. Kalau orang Jepang kan tangannya membuka. Kalau orang Jawa mau lewat di depan orang pasti menunduk dan tangannya di depan. Kalo orang Jepang “Sumimasen” tapi ga pakai tangan di depan.”214
“Kalau pergi ke kampus pakai kemeja, dan pakai sepatu. Jadi berpakaian
rapi.”215 Berdasarkan hasil penelitian, dalam proses komunikasi antarbudaya warga
Jepang dengan warga Jawa, tidak ditemukan adanya disfungsi strategi yang
memperburuk keadaan. Hal tersebut dikarenakan adanya kemiripan antara warga
Jepang dengan Jawa. Kemiripan tersebut diakui oleh warga Jepang yang tinggal di
Solo.
214 Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden (Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010, jam 15.00‐16.00) 215 Wawancara dengan Mami Yamamura, Responden (Kos Mami: Jumat, 19 November 2010, jam 20.00‐21.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
“Ada. Anu ya, Jepang juga Jawa juga anoo ramah-ramah ya. Tidak urusan dewe-dewe gitu lho. Kayaknya itu gitu Jawa ya. Walaupun mempunyai pikiran atau perasaan yang jelek terhadap seseorang tapi tidak bisa ngomong. Orang Jepang juga ga pernah bilang gitu ya. Makanya kadang-kadang ga ngerti gitu ya, tidak mengerti sebenarnya. Fisiknya agak mirip.”216
“Jepang desa dan Jawa itu kan sama ya. Menghormati orang yang lebih
tua atau senior. Di Jawa kan biasanya ada kumpulan ibu-ibu yang ngobrol atau ngrumpi. Dulu di Jepang juga ada. Namanya “Idobatakai”, jadi para wanita berkumpul dan ngobrol di dekat sumur. Lalu, orang Jawa maupun Jepang menghormati orang yang lebih tua. Dan kalau ada rasa ga suka pada orang lain, sulit untuk mengungkapkan langsung.”217
Dari hasil pengamatan, hal tersebut terbukti. Ketika mengikuti Hiromi
Kano pentas pada tanggal 17 Desember 2010 di BI Surakarta, ketika mengobrol
dengan sesorang, ia selalu berusaha menanggapi dengan ramah dan senyum meskipun
kurang suka dengan lawan bicara. Hiromi Kano sempat berbalik ke arah peneliti dan
menunjukkan rasa tidak sukanya kepada orang yang sedang ngobrol dengannya.
Namun, ia tidak mampu menunjukkan hal tersebut kepada orang yang bersangkutan
demi menjaga perasaan lawan bicara.
Kemiripan tersebut diakui membuat mereka nyaman tinggal di Solo.
Karena merasa cocok dengan lingkungan.
“Bagi saya, lebih dekat orang sini. Apa ya, kalau kehidupan keseharian lebih dekat orang sini. Lebih bisa mengerti gitu.”218
“Lama-lama di sini enak. Mungkin sifatnya saya kan cocok, kalau orang yang lain bagaimana.”219
216 Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden (Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010, jam 15.00‐16.00) 217 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00‐16.00) 218 Wawancara dengan Yumiko Takenouchi, responden (Yayasan Music Indonesia: Selasa, 30 November 2010, jam 17.00‐18.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
“Malah, semakin lama saya disini malah semakin nyaman. Mungkin karena desa gitu. Ya, kerukunannya tinggi tapi tidak tidak terlalu, tidak berlebihan, he’em.”220
Proses tersebut kemudian berlanjut kepada pembentukan budaya baru yang
bisa diterima oleh masing-masing pihak. Terdapat toleransi yang berlangsung dalam
masyarakat tersebut. Misalnya, warga Jepang yang tinggal di lingkungan mereka
tidak diwajibkan mengikuti serangkaian kegiatan bersama masyarakat. Misalnya,
PKK dan Dharmawanita. Penduduk maklum, karena mengetahui bahwa mereka
orang asing.
“Saya juga tidak tergabung dalam PKK tetapi orang-orang juga sudah pada tahu, jadi tidak ada yang mempermasalahkannya.”221
“Sekarang saya tinggal di perumahan, kontrak rumah, mugkin saya harus ikut rapat, atau ada acara apa, atau ada apa namanya, jadi mungkin harus terlibat. Tapi karena saya orang asing dan masih sekolah, tapi orang-orang tidak apa-apa, jadi saya berterima kasih dengan tetangga. Seharusnya saya ikut tapi saya masih seperti anak-anak karena masih muda. Jadi saya minta maaf karena tidak ikut.”222
Tidak hanya dari pihak pribumi yang menerima perbedaan warga Jepang
yang tinggal di lingkungan mereka, namun warga Jepang tersebut juga menunjukkan
kontribusi atau niat baik terhadap lingkungan. Misalnya ikut membantu dalam acara
yang sedang berlangsung.
219 Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden (Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam 15.30‐16.30) 220 Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden (Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010, jam 15.00‐16.00) 221 Wawancara dengan Yumiko Takenouchi, responden (Yayasan Music Indonesia: Selasa, 30 November 2010, jam 17.00‐18.00) 222 Wawancara dengan Miki Orita, Responden (D’Mesem: Selasa, 23 November 2010, Jam 17.00‐18.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
“Bagaimana ya, karena mereka baik sekali dengan saya, jadi saya juga berusaha membantu mereka. Kalau mereka butuh bantuan, kalau saya bisa, saya bantu.”223
“Tapi kalau ada Darwis, PKK, kalau aku di rumah ya itu aku
usahakan.”224 Dari saling pengertian tersebut kebudayaan C yang disepakati bisa
terbentuk. Dan dari kebudayaan ketiga yang positif itulah lahir efektifitas komunikasi
antarbudaya. Misalnya lahirnya hubungan yang harmonis, pekerjaan, dan aturan
budaya yang positif.
C. Fungsi Komunikasi Antarbudaya Bagi Warga Jepang di Solo
Komunikasi yang dilakukan oleh warga Jepang dengan lingkungan
sekitarnya tentunya membawa manfaat bagi mereka. Alo Liliweri membedakan
fungsi komunikasi ke dalam dua bentuk yaitu fungsi secara pribadi maupun sosial.
1. Fungsi Pribadi
Fungsi pribadi merupakan fungsi-fungsi komunikasi yang ditunjukkan
melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang individu.225 Fungsi
pribadi tersebut terbagi dalam beberapa sub-fungsi sebagai berikut:
a. Menyatakan Identitas Sosial
Dalam proses komunikasi antarbudaya terdapat beberapa perilaku
komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan identitas diri
223 Ibid. 224 Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden (Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010, jam 15.00‐16.00) 225 Alo Liliweri. 2007. Op. Cit. hlm. 36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
maupun identitas sosial. Perilaku itu dinyatakan melalui tindakan
berbahasa baik secara verbal dan non-verbal. Dari perilaku berbahasa itulah
dapat diketahui identitas diri maupun sosial, misalnya dapat diketahui asal-
usul suku bangsa, agama, maupun tingkat pendidikan seseorang.226
Fungsi tersebut juga dirasakan oleh para imigran Jepang yang
tinggal di Surakarta. Mereka semua sepakat bahwa dengan berkomunikasi,
orang-orang di sekitar mereka menjadi tahu identitas sosial mereka.
Masyarakat pribumi menjadi tahu bahwa mereka merupakan imigran yang
berasal dari negeri para samurai. Bahkan mengetahui profesi ataupun
tujuan imigran itu datang ke Surakarta.
“Karena biasa-biasa to, orang sini kan tanya-tanya gitu. Tapi sebenarnya juga ada yang tahu aku itu sinden. Kan anoo..yang siaran wayang sekarang jarang ya. Tapi dulu kan masih banyak sekali siaran wayang gitu. Kalau begitu masyarakatnya semakin faham.”227
b. Menyatakan Integrasi Sosial
Dalam kasus komunikasi antarbudaya yang melibatkan perbedaan
budaya antara komunikator dengan komunikan maka integrasi sosial
menjadi tujuan utama komunikasi. Dan prinsip utama dalam proses
pertukaran pesan komunikasi antarbudaya adalah: saya memperlakukan
anda sebagaimana kebudayaan anda memperlakukan anda dan bukan
226 Ibid. 227 Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden (Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010, jam 15.00‐16.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
sebagaimana yang saya hendaki. Dengan demikian komunikator dan
komunikan dapat meningkatkan integrasi sosial atas relasi mereka.228
Dalam relasi yang terjadi antara warga Jepang dengan pribumi,
tampaknya prinsip utama tersebut juga diberlakukan sehingga integrasi
sosial tercapai.
Di satu sisi, warga pribumi memaklumi perbedaan yang dimiliki
pendatang tersebut. Misalnya mengizinkan para imigran untuk tidak
mengikuti serangkaian acara ataupun organisasi yang berlaku di
lingkungan tersebut seperti kerja bhakti, PKK, dan Dharmawanita. Hal itu
membuktikan bahwa tidak ada pemaksaan kebudayaan terhadap para
imigran tersebut. Warga pribumi mengijinkan imigran untuk beradaptasi
dengan cara mereka sendiri tetapi tetap memberi bantuan. Hal tersebut
juga tercermin dari pengakuan warga Jepang yang tinggal di Surakarta.
“Tapi kadang-kadang saya tidak punya waktu, kalau di kampung ada PKKnya, kerja bhaktinya ya dan kalau jagong, itu sesuatu yang agak repot ya. Kalau tidak ada waktu, saya minta suami saya mewakili. Belum tentu saya bisa ikut. Saya juga tidak tergabung dalam PKK tetapi orang-orang juga sudah pada tahu, jadi tidak ada yang mempermasalahkannya.”229
Di sisi lain, tampak kesadaran dari dalam diri warga Jepang untuk
diterima di lingkungan baru mereka. Meskipun diijinkan untuk tidak
mengikuti kegiatan tersebut, namun jika ada warga yang butuh bantuan, 228 Alo Liliweri. 2007. Op.Cit. hlm. 37 229 Wawancara dengan Yumiko Takenouchi, responden (Yayasan Music Indonesia: Selasa, 30 November 2010, jam 17.00‐18.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
mereka akan membantu jika mampu. Misalnya, saat diajak untuk latihan
karawitan bersama atau untuk pentas, jika ada waktu luang, maka mereka
akan bersedia membantu.
“Misalnya, kalau ada kelompok karawitan bapak-bapak yang ingin saya ikut latihan, kalau saya ada waktu, saya pasti akan bantu.”230
Selain itu, para imigran sudah bisa menerima perbedaan yang ada
di lingkungan baru mereka. Mereka menyadari bahwa sebagai pendatang,
harus mampu menerima keadaan sekitar dan beradaptasi dengan kondisi
tersebut. Misalnya, mereka sudah terbiasa dengan cara penggunaan kamar
mandi, makanan, lalu lintas, dan kehidupan sosial lainnya. Serta mereka
merasa telah diterima di lingkungan mereka tinggal dari kegiatan
komunikasi tersebut.
“Sangat berbeda dengan Jepang. Panas sekali disini. Lalu, cara memakai kamar mandinya juga berbeda ya. Mau bersih-bersih badan juga berbeda. Cara apa, buang air besar juga beda. Tapi sekarang sudah bisa dan terbiasa.”231
“Jadi mungkin inti yang dikomunikasikan ga begitu penting tapi
sudah berkomunikasi dengan lingkungan itu saya merasa sudah bisa diterima di masyarakat.”232
230 Wawancara dengan Miki Orita, Responden (D’Mesem: Selasa, 23 November 2010, Jam 17.00‐18.00) 231 Wawancara dengan Hitomi Matsuda, Responden (Gedung H ISI Surakarta: Senin, 29 November 2010, jam 11.00‐12.00) 232 Wawancara dengan Miki Orita, Responden (D’Mesem: Selasa, 23 November 2010, Jam 17.00‐18.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
c. Menambah pengetahuan
Fungsi pribadi yang ketiga adalah menambah pengetahuan.
Seringkali komunikasi antarpribadi maupun antarbudaya menambah
pengetahuan bersama, saling mempelajari kebudayaan.233
Bagi warga Jepang yang tinggal di Surakarta, fungsi tersebut
sangatlah dirasakan dan membantu bagi usaha mereka untuk terbiasa
dengan lingkungan. Dari komunikasi yang mereka lakukan, mereka
mengakui mendapatkan banyak pengetahuan baru dari pesan yang
dipertukarkan. Misalnya mengenai nilai-nilai yang berlaku di lingkungan
mereka, informasi tentang pentas seni, pendidikan, maupun urusan
pekerjaan.
“He’em. Ada banyak. Saya sudah banyak menemukan kesulitan dalam komunikasi, kadang-kadang salah paham atau yang ga bisa nyambung, ga bisa apa ya, ya semacam begitulah.”234
“kan saya tinggal di rumah dosen ISI, jadi dia yang mengajari
saya tentang semua yang di sini. Misalnya, kalau bertamu dan disuguhi teh, kalau tidak diminum, itu nanti menyinggung perasaan yang punya rumah. Tapi kalu cepat-cepat diminum dan dihabiskan itu artinya minta tambah lagi. Ya seperti itu.”235
“Hmm, apa ya? Menambah pengetahuan yang pasti.”236
233 Alo Liliweri. Op. Cit. 38 234 Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden (Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam 15.30‐16.30) 235 Wawancara dengan Mika Masui, Responden (Kantin sastra: Rabu, 17 November 2010, jam 12.00‐12.45) 236 Wawancara dengan Keisuke Isobe, Responden (Kantin KPRI UNS: Senin, 22 November 2010, jam 13.00‐14.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
“Jadi, komunikasi aja tidak ada masalah. Jadi, teman-teman saya sering bantu. “Oh. Mungkin gini jadi harusnya gini”.237
“Dan kalau ada pentas, saya diberitahu.”238
Selain itu, mereka juga mendapatkan informasi dari media massa
yang mereka gunakan seperti koran maupun internet.
d. Melepaskan Diri/ Jalan Keluar
Kadang-kadang, kita berkomunikasi dengan orang lain untuk
melepaskan diri atau mencari jalan keluar atas masalah yang dihadapi.239
Sama halnya bagi warga Jepang di Surakarta. Mereka semua
mengakui merasakan manfaat tersebut dari kegiatan komunikasi yang
dilakukan. Ketika sedang mengalami suatu persoalan, kemudian mereka
mengkomunikasikan dengan keluarga ataupun teman terdekat. Dari
komunikasi tersebut, seringkali mereka mendapatkan inspirasi atau bahkan
jalan keluar dari masalah atau persoalan yang tengah mereka hadapi. Baik
masalah perkuliahan maupun masalah pribadi.
“Dengan dosen kalau saya ada kesulian dalam pekuliahan atau untuk cerita dan minta pendapat. Misalnya waktu itu saat saya bingung mau pulang ke Jepang atau tidak. Saya cerita keadaannya kepada dosen dan mendapat nasehat. Dulu saya makan di warung, jadi komunikasinya dengan orang itu. Kalau saya ada masalah saya cerita, lalu dikasih nasihat.”240
237 Wawancara dengan Hitomi Matsuda, Responden (Gedung H ISI Surakarta: Senin, 29 November 2010, jam 11.00‐12.00) 238 Wawancara dengan Miki Orita, Responden (D’Mesem: Selasa, 23 November 2010, Jam 17.00‐18.00) 239 Alo Liliweri. 2007. Op. Cit. hlm 38 240 Wawancara dengan Miki Orita, Responden (D’Mesem: Selasa, 23 November 2010, Jam 17.00‐18.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
“Iya. Kalau saya ada masalah, teman saya bisa bantu.”241 “Ya. Kalau saya ada kesulitan, saya tanya ke suami saya.”242
“Ya, kebanyaakan didapat dari komunikasi. Dari cerita-cerita
dengan teman karawitan, keluarga, anak.”243 Meski begitu, inspirasi tidaklah selalu datang dari rekan bicara.
Setidaknya, hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh salah seorang
responden.
“Iya, itu juga. Tapi inspirasi atau jalan keluar itu tidak harus saya dapatkan dari komunikasi saja. Ya, saya kalau ada masalah, mendapat jalan keluar itu bukan dari teman curhat saya. Kadang-kadang dari tukang becak, supir taksi, atau kondektur bis. Tapi itu bukan berarti saya cerita dengan mereka. Misalnya, mereka lagi ngomong apa apa apa, saya dengar, dan ternyata hal yang mereka bicarakan itu memberi saya inspirasi. “Ooo, iya ya!”. Dulu saya pernah, omongan supir bus itu mengena di hati saya, saat saya ada masalah. Inspirasi atau ilham itu kan bisa datang dari mana-mana. Dari orang, kucing juga bisa.”244
2. Fungsi Sosial
Selain memiliki fungsi pribadi, komunikasi antarbudaya juga
mempunyai fungsi sosial bagi pelaku komunikasi tersebut. Fungsi sosial
tersebut terbagi menjadi beberapa fungsi yaitu:
a. Pengawasan
241 Wawancara dengan Keisuke Isobe, Responden (Kantin Sastra: Senin, 22 November 2010, jam 13.00‐14.00) 242 Wawancara dengan Naoko Ujiie, Responden (Tempat tinggal Naoko Ujiie: rabu, 15 desember 2010, jam 16.00‐16.30) 243 Wawancara dengan Yumiko Takenouchi, responden (Yayasan Music Indonesia: Selasa, 30 November 2010, jam 17.00‐18.00) 244 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00‐16.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
Fungsi sosial yang pertamana adalah pengawasan. Praktek
komunikasi antarbudaya di antara komunikator dan komunikan yang
berbeda kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Dalam setiap proses
komunikasi antarbudaya fungsi ini bermanfaat untuk menginformasikan
“perkembangan” tentang lingkungan. Fungsi ini lebih banyak dilakukan
oleh media massa yang menyebarluaskan secara rutin perkembangan
peristiwa yang terjadi di sekitar kita meskipun peristiwa itu terjadi dalam
dalam sebuah konteks kebudayaan yang berbeda. Akibatnya adalah kita
turut mawas diri seadainya peristiwa itu terjadi pula dalam lingkungan
kita.245
Semua warga Jepang yang tinggal di Surakarta mengaku ikut
waspada jika membaca ataupun mendengar berita, misalnya tentang
perampokan. Namun, mereka menganggap hal tersebut terjadi di mana-
mana. Mereka menjadi waspada, namun tidak berlebihan karena yakin
bahwa peristiwa semacam itu dapat menimpa semua orang dan tergantung
dengan nasib.
“Hmm, kalau itu nasib ya. Jadi ga begitu takut.”246 “Itu kan aku mikirnya, kalau di Jepang itu kan sama ya.
Anoo..saya kira itu cuma nasib. Gimana ya, orang tidur di rumah saja bisa mati lho, truknya masuk. Iya kan? Tidur-tidur enak, truknya masuk, mati
245 Alo Liliweri. Op. Cit. 40 246 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00‐16.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
juga ada kan? Ya, namanya hidup itu kan ya waspada, hati-hati itu penting.”247
b. Menjembatani
Dalam proses komunikasi antarpribadi, termasuk komunikasi
antarbudaya, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara dua orang
yang berbeda budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan di antara
mereka. Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol melalui pesan-pesan
yang mereka pertukarkan, keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir
atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama.248
Fungsi tersebut juga dirasakan oleh semua warga Jepang yang
tinggal di Surakarta. Mereka mengamini bahwa dari kegiatan komunikasi
yang mereka lakukan, mereka menjadi terhubung dengan lingkungan
sekitar meskipun memiliki perbedaan budaya.
c. Sosialisasi Nilai
Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk mengajarkan dan
memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada
masyarakat lain.249
247 Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden (Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010, jam 15.00‐16.00) 248 Alo Liliweri. 2007. Loc. Cit. 249 Ibid. hlm. 41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
Selain dari hasil belajar sendiri dengan cara mengamati lingkungan,
imigran Jepang yang tinggal di Surakarta mempelajari nilai-nilai sosial
yang berlaku di lingkungan mereka tinggal dengan berkomunikasi.
“orang sini sangat baik ya. Mungkin karena orang sini tahu kalau saya orang asing. Jadi, kalau kami ada salah, langsung dikasih tahu.”250
“Hmm, tentu saja ya, saya tanya-tanya kepada dosen tempat saya
tinggal. Dan saya juga mengamati sendiri. Saya mendapat pengetahuan tentang nilai yang ada dari dosen saya.”251
“Ya, itu bisa. Tapi saya juga mengamati sendiri.”252 “Ya semuanya, komunikasi dan belajar sendiri. Tentang
sikap.”253 “Mungkin kalau saya sendiri, ga bisa belajar apa-apa, semuanya
ya oleh karena ada lawan bicara. Kalau saya sendiri mungkin ga begitu sadar atau ga begitu sampai kesadaran, tapi kalau ada lawan bicara antara komunikasi, mungkin saya bisa menangkap perbedaan ada yang persamaan. Kalau begitu ada perbedaan, harus belajar dari ini, apa yang berbeda apa yang dalam cara komunikasinya. Kalau saya ada di sini, kadang-kadang harus mengetahui yang perbedaan itu.”254
d. Menghibur
250 Wawancara dengan Mami Yamamura, Responden (Kos Mami: Jumat, 19 November 2010, jam 20.00‐21.00) 251 Wawancara dengan Mika Masui, Responden (Kantin sastra: Rabu, 17 November 2010, jam 12.00‐12.45) 252 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00‐16.00) 253 Wawancara dengan Yumiko Takenouchi, Responden (YMI: 30 November 2010, jam 17.00‐18.00) 254 Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden (Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam 15.30‐16.30)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
Fungsi menghibur juga sering tampil dalam proses komunikasi
antarbudaya.255 Dari kegiatan yang mereka lakukan, para imigran tersebut
mendapatkan sebuah hiburan.
“Iya, iya, iya. Bisa menikmati, bisa mendapat informasi. Ya, kalau bicara-bicara dengan orang-orang seni.”256
“Ya, dari kegiatan kesenian itu saya mendapatkan hiburan.”257 “Kalau tidak komunikasi, sepi ya.”258 “Ya tetep ada. Ya memang terutama kan pekerjaanku, itu
pekerjaan ya juga hiburan.”259
D. Peran Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di
Surakarta
Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi merupakan aspek terpenting
dan paling mendasar. Manusia belajar banyak hal lewat respon-respon komunikasi
tehadap rangsangan dari lingkungan. Begitu juga bagi akulturasi. Proses akulturasi
seseorang di lingkungan baru tidak bisa lepas kegiatan komunikasi. Proses
komunikasi dalam hal ini komunikasi antarbudaya menjadi dasar bagi proses
akulturasi seorang imigran.260
255 Alo Liliweri. 2007. Loc. Cit. 256 Wawancara dengan Hitomi Matsuda, Responden (Gedung H ISI Surakarta: Senin, 29 November 2010, jam 11.00‐12.00) 257 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00‐16.00) 258 Wawancara dengan Miki Orita, Responden (D’Mesem: Selasa, 23 November 2010, Jam 17.00‐18.00) 259 Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden (Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010, jam 15.00‐16.00) 260 Dedy Mulyana, dkk. 2003. Op. Cit. hlm. 139
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
Dalam proses akulturasi warga Jepang di Surakarta, komunikasi antarbudaya
yang terjadi memiliki peran yang sangat besar. Peran komunikasi antarbudaya dalam
memperlancar proses akulturasi tersebut antara lain:
1. Komunikasi antarbudaya berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan
lingkungan fisik dan sosial seorang imigran.261
Dari pengalaman berkomunikasi dengan penduduk sekitar, mereka
mendapatkan pengetahuan mengenai lingkungan sekitar sehingga hal itu
menjadi bekal bagi mereka untuk menafsirkan hal-hal yang terjadi di
lingkungan mereka. Pemahaman terhadap lingkungan dan sosio-budaya
sangat membantu mereka dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan
sehingga akulturasi semakin lancar.
2. Melalui komunikasi antarbudaya, imigran Jepang bisa menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan berhubungan dengan lingkungan serta mendapatkan
keanggotaan dan rasa memiliki dalam berbagai kelompok sosial yang
mempengaruhi mereka.262
Dari penjelasan mengenai fungsi komunikasi bagi warga Jepang di Surakarta
telah dijabarkan bahwa mereka mendapatkan pengakuan oleh masyarakat
pribumi serta mengenalkan identitas diri mereka. Dengan pengenalan serta
penerimaan warga pribumi terhadap imigran tersebut maka terbentuknya
261 Ibid. hlm. 137 262 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
budaya C yang menjadi tujuan interaksi antarbudaya akan semakin mudah
tercapai, dengan kata lain, akulturasi pun semakin lancar.
3. Selayaknya orang-orang pribumi, para imigran Jepang juga memperoleh pola-
pola budaya pribumi dari kegiatan komunikasi antarbudaya. Seorang imigran
akan mengatur dirinya untuk megetahui dan diketahui dalam berhubungan
dengan orang lain melalui komunikasi.263 Dengan mempelajari pola-pola dan
aturan-aturan komunikasi pribumi dan dengan berpikiran terbuka, imigran
menjadi toleran akan perbedaan-perbedan dan ketidakpastian situasi-situasi
antarbudaya yang dihadapi.264 Mereka menjadi semakin siap dan percaya
diri dalam berhubungan dengan lingkungan sekitar sehingga semakin mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berakulturasi.
4. Melalui komunikasi massa seorang imigran mengetahui lebih jauh lagi
tentang berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya pribumi. Dalam
menyiarkan pesan-pesan yang merefleksikan aspirasi-aspirasi, mitos-mitos,
kerja dan bermain, dan isu-isu spesifik serta peristiwa-pwristiwa dalam
masyarakat pribumi, media secara eksplisit membawa nilai-nilai masyarakat
(societal values), norma-norma perilaku, dan perspektif-perspektif
tradisional untuk menafsirkan lingkungan.265
Para imigran Jepang tersebut akan semakin tahu mengenai lingkungan
tempat mereka tinggal dari pemberitaan-pemberitaan melalui koran, televisi, 263 Ibid. 264 Ibid. hlm. 147 265 Ibid. hlm. 139
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
radio maupun media online. Mereka akan semakin paham bagaimana
caranya bersikap dan beradaptasi di lingkungan baru dengan bekal
pengetahuan tersebut.
Keempat peran tersebut sangat membantu imigran Jepang untuk membaur
dengan masyarakat sekitarnya. Mereka mampu menerima perbedaan makanan dan
cenderung menyukainya misalnya gado-gado. Mereka juga mengikuti cara hidup
orang Jawa misalnya ada yang ikut jam karet, memakai kemeja saat kuliah, memakai
pakaian batik ketika kuliah, bisa memakai kamar mandi yang berbeda dengan yang
biasa mereka gunakan ketika masih di Jepang, kebiasaan mandi dua kali sehari yang
berbeda ketika masih di Jepang. Selain itu, mereka juga suka menyapa orang
meskipun belum mengenalnya serta basa-basi dengan teman atau tetangganya. Lalu,
imigran Jepang yang menikah dengan pribumi pun mengikuti nilai-nilai yang berlaku
di lingkungan mereka misalnya dengan menghadiri pesta pernikahan tetangganya
meskipun bukan teman mereka, ikut kegiatan seperti dharmawanita dan PKK.
Bila kita memandang akulturasi sebagai proses mengembangkan kecakapan
berkomunikasi dalam sistem sosio-budaya pribumi, perlu ditekankan bahwa
kecakapan berkomunikasi sedemikian diperoleh melalui pengalaman-pengalaman
berkomunikasi. Jika seseorang ingin mempertinggi akulturasinya dan secara sadar
berusaha mempermudah proses akulturasinya, maka ia harus menyadari pentingnya
komunikasi sebagai mekanisme penting untuk mencapai tujuan tersebut. Dan,
komunikasi antarbudaya tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
E. Faktor Pendukung Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang di Surakarta
1. Aspek-aspek yang mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya
Terdapat beberapa aspek kultur yang mempunyai pengaruh besar terhadap
komunikasi antarbudaya. Aspek-aspek tersebut adalah persepsi, proses verbal, proses
nonverbal, dan aspek konteks.266
a. Persepsi
Salah satu aspek komunikasi antarbudaya adalah persepsi, dimana
dalam aspek ini sebagai seorang individu, partisipan memilih, mengevaluasi,
dan mengorganisir rangsangan dari luar. Persepsi kultural berdasar pada
kepercayaan, nilai-nilai, dan sistem tingkah laku.267
Persepsi merupakan suatu cara untuk membuat dunia fisik dan sosial
menjadi masuk akal. Seorang penulis Jerman mengatakan bahwa tidak ada
kenyataan, selain yang ada dalam diri seseorang. Samovar dkk menambahi
266 Samovar, et.al. 1998. Op. Cit. hlm. 51 267 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
bahwa kenyataan itu ada pada diri seseorang, sebagian oleh budaya orang
tersebut.268
Gamble dan Gamble mengungkapkan bahwa persepsi merupakan
proses seleksi, pengaturan, dan penginterpretasian data sensor dengan cara
yang memungkinkan seseorang mengerti dunia. Dengan kata lain, persepsi
merupakan proses di mana orang-orang mengubah kejadian dan pengalaman
eksternal menjadi pemahaman internal yang berarti.269
Persepsi seseorang sangat dipengaruhi oleh budaya. Seperti yang
diungkapkan oleh Chiu dan Hong bahwa setiap proses kognitif dasar, seperti
perhatian dan persepsi merupakan hal yang lunak dan dapat diperoleh
melalui pengalaman budaya. 270
Samovar dkk menyimpulkan bahwa ada dua cara bagaimana budaya
mempengaruhi proses persepsi. Pertama, persepsi itu selektif. Hal itu berarti
bahwa terlalu banyak stimulus yang bersaing untuk merebut perhatian
seseorang pada waktu yang sama. Seseorang hanya mengizinkan informasi
yang diseleksi melalui layar persepsi ke dalam pikiran sadar orang tersebut.
Apa yang diijinkan masuk, sebagian ditentukan oleh budaya. 271
Kedua, pola persepsi seseorang dipelajari. Setiap orang lahir ke dunia
tanpa suatu pemahaman. Budaya mengartikan sebagian besar pengalaman
268 Samovar dkk. 2010. Op. Cit. hlm. 221 269 Ibid. hlm. 222 270 Ibid. hlm. 223 271 Ibid. hlm. 224
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
seseorang. Dengan kata lain, persepsi adalah suatu hal yang ditentukan oleh
budaya. Seseorang belajar untuk melihat dunia dengan suatu cara tertentu
yang didasarkan pada latar belakang budaya masing-masing. Sama seperti
pada budaya yang lain, persepsi yang tersimpan pada manusia adalah dalam
bentuk kepercayaan dan nilai. Di mana kedua konsep tersebut bekerja sama
membentuk sebuah pola budaya.272
Rogers dan Steinfatt berpendapat bahwa kepercayaan bekerja sebagai
sistem penyimpanan bagi pengalaman masa lalu, termasuk pemikiran,
ingatan, dan interpretasi terhadap suatu peristiwa. Kepercayaan dibentuk
oleh budaya seseorang. Kepercayaan adalah hal yang penting karena
kepercayaan diterima sebagai sebuah kebenaran. Kepercayaan biasanya
mencerminkan tindakan dan perilaku komunikasi seseorang.273
Orang Jepang memiliki kepercayaan yang kuat bahwa tepat waktu
adalah hal yang penting. Hal tersebut bukan didasari dari agama namun oleh
doktrin yang terus diberikan kepada mereka sejak kecil.
“Bahkan untuk masalah waktu itu memang sudah di doktrin sejak kecil. Budaya menepati waktu itu memang sejak dari kecil. Tidak hanya waktu ya, menepati janji juga. Memang doktrin dari kecil ya, jadi mereka berbuat seperti itu, jujur, tepat waktu itu memang tidak karena faktor agama, saya berdosa kalau ga tepat waktu, saya berdosa kalau bohong, itu karena doktrin dari kecilnya seperti itu.”274
272 Ibid. 273 Ibid. 274 Wawancara dengan Sutiman, Responden (LPK Hiro: Kamis, 20 Januari 2011, jam 14.15‐14.30)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
Hal tersebut juga terlihat ketika peneliti membuat janji bertemu
dengan orang Jepang. Mereka selalu datang tepat waktu. Apalagi bagi orang
yang tinggal di Solo dengan urusan pekerjaan. Namun pernah ada suatu
kejadian, ketika salah seorang responden datang telat selama satu jam. Hal
tersebut bukan karena sengaja namun karena salah mengetik sms. Tapi orang
Jepang tersebut tidak henti-hentinya minta maaf karena telah datang
terlambat.
Selain itu, mereka juga terbiasa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya,
jika memang tujuan datang ke Solo adalah untuk belajar, maka waktu yang
ada benar-benar dimanfaatkan untuk belajar. Seperti yang diungkapkan oleh
pengajar tari yang sering mengajar orang Jepang.
“Yang Jepang itu luar biasa. Itu yang saya amati itu dia itu bener-bener belajar, waktu itu digunakan sebaik-baiknya. Tidak terlalu santai tapi ya tidak terlalu apa ya, serius sekali tapi dia kemampuannya itu luar biasa. Itu yang menjadi murid saya itu semuanya begitu sampai kalau mengajar orang Jepang itu sepertinya tidak terlalu beban. Karena dia juga mudah untuk diberi pemasukan, menerima.”275
Berdasarkan kepercayaan tersebut, orang Jepang memiliki persepsi
bahwa ketepatan waktu di Solo bukanlah prioritas utama dan hal tersebut
sangat bertentangan dengan kebiasaan mereka. Meski begitu, mereka tetap
berusaha untuk tepat waktu karena kepercayaan yang telah didoktrinkan
sejak kecil, tidak mudah untuk dihapus begitu saja. Seperti pengakuan
sebagian besar responden. 275 Wawancara dengan Theresia Sri Kurniati, Dosen Tari ISI Surakarta (ISI Surakarta: Kamis, 20 Januari 2010, jam 10.15‐10.30)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
“Iya, di sini jamnya jam karet ya. Saya datang kuliah, tapi sampai di kelas belum ada siapa-siapa. Saya kaget. Tapi sekarang sudah biasa. Tapi saya tetap tepat waktu.”276
Dalam penelitian, peneliti menemukan ada seorang yang
menyesuaikan diri dengan keadaan ketepatan waktu yang berbeda tersebut.
Salah seorang responden mengaku rugi jika datang tepat waktu di Solo.
“Tepat waktu di sini itu rugi. Saya sudah datang, tapi masih belum ada siapa-siapa. Saya jadi belajar, kalau di Solo, janjian jam tiga berarti datangnya jam empat.”277
Selain itu, berdasarkan pengalaman selama tinggal di Solo, warga
Jepang memiliki persepsi terhadap orang-orang di lingkungan mereka
tinggal adalah rata-rata baik. Mereka merasa nyaman tinggal di Solo karena
suasana kota yang tidak ramai serta penduduk Solo yang ramah-ramah. Di
mata mereka, warga Solo adalah orang yang baik dan suka membantu orang
lain meskipun dengan orang yang belum di kenal. Hal tersebut membuat
mereka nyaman untuk tinggal dan berkomunikasi dengan penduduk pribumi.
“Kalau di sini, langsung membantu. “Ada apa? Ada kesulitan? Saya bisa bantu!”. Misalnya saya, sering dulu naik sepeda onthel, sering bocor bannya, lalu saya ditunjukkan tempat tambal ban. Jadi, ya orangnya baik. Langsung kasih tahu di sana ada tambal ban. Sekarang sudah biasa tapi kalau di Jepang agak kurang senang itu mereka, tapi kalau di sini belum kenal, langsung mau membantu.”278
276 Wawancara dengan Hitomi Matsuda, Responden (Gedung H ISI Surakarta: Senin, 29 November 2010, jam 11.00‐12.00) 277 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00‐16.00) 278 Wawancara dengan Miki Orita, Responden (D’Mesem: Selasa, 23 November 2010, Jam 17.00‐18.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
Sebaliknya, warga pribumi pun memiliki persepsi yang positif
terhadap orang Jepang yang tinggal di dekat mereka. Warga Jepang tersebut
dinilai memiliki sopan santun yang tinggi melebihi orang Jawa sendiri. Sikap
tersebut sangat terlihat terlebih kepada orang yang dianggap sebagai guru.
“Apalagi kalau dia ketemu dengan orang yang lebih tua kemudian ketemu dengan orang yang dia anggap sebagai guru, itu dia sangat hormat sekali. Walaupun mungkin, kalau antara murid dengan guru, walaupun dia lebih tua dari gurunya, dia tetep hormat. Iya, tetep hormat. Sampai sekarang, sampai ketika saya memberi les sama orang-orang Jepang, dia itu justru malah lebih hormat, menghargai seorang guru daripada orang Jawa yang diajar”.279
Kepercayaan adalah bagian dari suatu budaya dan seseorang tidak
akan mempertanyakannya atau bahkan meminta bukti. Kepercayaan
langsung diterima, karena seseorang tahu bahwa hal itu benar, sehingga
kepercayaan itu tetap bertahan.280
Berdasarkan pengalaman-pengalaman selama tinggal di Solo, mereka
mulai memiliki kepercayaan-kepercayaan terhadap lingkungan baru mereka
sehingga melahirkan sebuah persepsi terhadap lingkungan tersebut.
Selain kepercayaan, aspek yang kedua adalah nilai yang terbentuk
dari kepercayaan. Kepercayaan membentuk dasar nilai yang menyediakan
aturan untuk membuat keputusan dan mengatasi konflik. Pentingnya nilai
adalah bahwa nilai terdiri atas sistem yang mewakili apa yang diharapkan
atau dibandingkan, dibutuhkan, dan dilarang. Bukan hanya laporan tentang 279 Wawancara dengan Hadi Boediono, responden (Gedung Karawitan ISI Surakarta, Rabu 19 Januari 2011, jam 09.15‐09.45) 280 Samovar dkk. 2010. Op. Cit. hlm. 225
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
tingkah laku yang sebenarnya, namun sistem kriteria di mana tingkah laku
dinilai dan sanksi diterapkan.281
Hal yang penting mengenai nilai adalah bahwa nilai diterjemahkan
dalam tindakan. Misalnya, orang Jepang sangat menghargai ketepatan
waktu, disiplin, dan kerja keras. Hal itu sangat tampak dari bagaimana
memanfaatkan waktu yang ada dan melakukan hal yang menjadi tujuannya
dengan sungguh-sungguh.
b. Proses Verbal (Bahasa)
Proses verbal yaitu bagaimana kita bicara satu sama lain dan berpikir.
Bahasa adalah aspek penting dalam belajar komunikasi antarbudaya.282
Hampir setiap interaksi komunikasi antarbudaya melibatkan satu atau lebih
individu yang menggunakan bahasa kedua.283
Dalam penelitian ini, peneliti menjumpai bahwa bahasa kedua yang
digunakan oleh orang Jepang untuk berkomunikasi adalah bahasa Indonesia
karena lebih mudah dipelajari daripada bahasa Jawa. Sebelum tinggal di
Solo untuk jangka waktu tertentu, warga Jepang tersebut telah memiliki
bekal bahasa Indonesia. Begitu juga dengan orang Solo, mereka
berkomunikasi dengan warga Jepang tersebut dengan bahasa Indonesia.
Kecuali bagi mereka yang bisa berbahasa Jepang.
281 Samovar dkk. 2010. Op.Cit. 226 282 Ibid. hlm. 265 283 Ibid. hlm. 279
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
Menurut orang-orang yang sering berinteraksi dengan warga Jepang
di Solo, orang Jepang pun sangat santun ketika berbicara dengan orang lain,
apalagi dengan orang yang lebih tua. Hal tersebut membuat orang-orang
pribumi senang terhadap orang Jepang yang tinggal di dekat mereka.
“Mungkin tidak terlalu berbeda ya bagi kita orang Indonesia. Yang sangat terasa apa, apabila dia berbicara dengan orang yang, mungkin orang-orang Barat. Karena dalam bahasa Jepang, orang Jepang itu banyak menggunakan yang namanya aizuchi. Aizuchi itu seperti “oh ya?”, “oh, begitu?”, “oh, masak sih?” gitu. Jadi tanggapan-tanggapan kecil seperti itu kan sama dengan kita, bahasa Indonesia. Bagi orang Jepang artinya saya mendengarkan, gitu.”284
“Orang Jepang itu ketika diajak berbicara selalu memperhatikan. Dia ngerti atau tidak ngerti, itu dia dengarkan dulu. Bahkan, mereka ga mau nyela, tidak berani nyela pada saat kita ngobrol gitu.”285
c. Proses Nonverbal.
Aspek yang satu ini tidak bisa lepas dari kegiatan komunikasi dan
setiap budaya memiliki arti yang berbeda-beda terhadap aksi nonverbal.
Barnlund mengatakan:
“Banyak arti penting yang dihasilkan dalam interaksi manusia dapat diperoleh dari sentuhan, lirikan, nuansa vokal, gerakan atau ekspresi wajah dengan atau tanpa pertolongan kata-kata. Mulai dari saat bertemu dan berpisah, orang-orang saling mengamati dengan semua indra mereka, intonasi, cara berpakaian dan sikap diri, mengamati lirikan dan ketegangan wajah, juga memilih kata-kata. Setiap tanda keharmonisan dan tidak keharmonisan mengarah pada interpretasi dari suasana hati yang ada. Di luar evaluasi kinetis, vokal, dan isyarat verbal, keputusan dibuat untuk disetujui atau dibantah, untuk ditertawakan atau dipermalukan, untuk
284 Wawancara dengan Santi Staunislavia, Responden (Nakamura: Rabu, 19 Januari 2011, jam 11.00‐11.15) 285 Wawncara dengan Mulyono, Responden (Fujiyama Gakkou: Rabu, 19 januari 2011, jam 16.30‐16.45)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
beristirahat atau ditentang, untuk memotong atau melanjutkan pembicaraan.”286
Saat diajak berbicara, biasanya orang Jepang akan diam yang berarti
dia sedang mendengarkan sungguh-sungguh apa yang hendak orang lain
sampaikan pada mereka. Selain itu, sikap tubuh ketika bertemu dengan
orang lain yang dihormati, mereka akan membungkukkan badan. Seperti
yang mereka lakukan ketikan bertemu dengan orang yang lebih senior.
“Iya. Misalnya, ketika akan mulai kelas, ketemu, dia pasti menyapa dulu. Dia duduk memberi hormat. Jadi, itu saya mengatakan cara yang tidak dimiliki oleh kita. Terus kemudian, setiap selesai les atau latihan, dia selalu mengucapkan terimakasih dan memberi hormat.”287
Dari contoh tersebut terlihat bahwa, kebudayaan orang Jepang
mempengaruhi komunikasi non-verbal mereka. Meskipun mereka sudah
lama tinggal di Solo, namun budaya tersebut tidak mudah hilang.
Meski begitu, hal tersebut tidak menghalangi akulturasi yang terjadi.
Masyarakat Jawa merasa senang dengan sikap orang Jepang tersebut.
Dengan adanya sikap tersebut, penduduk pribumi menganggap bahwa orang
Jepang sangat sopan dan menghormati mereka.
d. Konteks
Semua interaksi manusia dipengaruhi oleh keadaan budaya, sosial
dan fisik, di mana keadaan tersebut dinamakan konteks komunikasi. Budaya
286 Pernyataan Barnlund seperti yang dikutip oleh Samovar dkk (2010) dalam Komunikasi Lintas Budaya: Communication Between Cultures, edisi 7 (Jakarta: Salemba Humanika, 2010) hlm. 292 287 Wawancara dengan Hadi Boediono, responden (Gedung Karawitan ISI Surakarta, Rabu 19 Januari 2011, jam 09.15‐09.45)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
menetapkan perilaku komunikasi yang pantas dalam konteks sosial dan fisik
yang beragam berdasarkan peraturan yang ada.288
Seseorang akan berkomunikasi dengan cara yang berbeda tergantung
pada setiap kondisi yang dihadapi. Begitu juga dengan warga Jepang yang
tinggal di Solo. Mereka tahu bagaimana harus berkomunikasi dengan orang-
orang dan keperluan yang berbeda. Dari hasil pengamatan, terlihat terdapat
perbedaan komunikasi tersebut. Misalnya Hiromi Kano, ketika berbicara
dengan orang yang lebih muda dari dirinya, ia bersikap santai tetapi ketika
bertemu dengan guru sindennya, ia sangat hormat.
Selain itu, peneliti sendiri mengalami hal yang menarik. Ketika
pertama kali bertemu dengan para responden, setiap responden sangat terasa
menjaga jarak dan belum bisa menerima peneliti sepenuhnya. Hal tersebut
terlihat dari bagaimana mereka bersikap. Mereka lebih pasif dan tidak
banyak bercanda atau tersenyum. Tetapi, pada interaksi selanjutnya peneliti
merasa lebih diterima karena mereka menunjukkan perubahan sikap
terhadap peneliti. Peneliti disambut dengan hangat, mereka pun sudah mulai
bercanda dan berbicara dengan lebih santai. Serta mulai bertanya-tanya
tentang peneliti.
288 Samovar dkk. 2010. Op. Cit. hlm. 343
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
Terdapat tiga variabel yang mempengaruhi konteks komunikasi
yaitu:
1) Keformalan dan Ketidakformalan
Budaya memiliki pandangan mengenai suatu kejadian dan manusia,
mulai dari yang sangat tidak formal hingga yang sangat formal. Manifestasi
keformalan dan ketidakformalan bisa terjadi dalam banyak bentuk.289
Jika Amerika Serikat terkenal dikenal sebagai budaya yang informal, maka
berkebalikan dengan Jepang. Formalitas juga merupakan bukti dari
bagaimana cara memanggil seseorang dalam suatu budaya. Di Jepang,
terdapat sebutan sensei, -sama, senpai, -san, -kun, dan –chan untuk
memanggil seseorang tergantung dari derajad orang tersebut.
Bangsa Jepang dicirikan seperti buah kelapa yang keras di luar.
Bangsa Jepang menggunakan formalitas sebagai cangkang untuk menjaga
jarak dengan seseorang sambil memutuskan apakah ia menginginkan suatu
hubungan dengan orang tersebut. Sekali cangkang itu ditembus,
bagaimanapun, bangsa Jepang akan menjadi sangat mengasihi, murah hati,
dan kelemahan pribadi bukanlah suatu masalah.290
289 Ibid. hlm. 347 290 Ibid. hlm. 348
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
Hal tersebut juga diakui oleh orang-orang yang sering berinteraski
dengan orang Jepang. Misalnya, sangatlah sulit mendapatkan kepercayaan
dari orang Jepang, namun begitu kepercayaan itu di dapat, orang Jepang
akan sangat mempercayai orang tersebut.
“Yang jelas, kalau orang Jepang, untuk merintis mendapatkan kepercayaan itu sulit sekali. Tapi, setelah kita mendapatkan kepercayan itu orang Jepang itu bisa merekomendasikan ke orang lain. Dalam artian orang Jepang itu mau berhubungan dengan kita itu kalau tanpa rekomendasi dari orang Jepang juga ga mau dia. Jadi, setelah kita dapat satu klien orang Jepang, dapat kolega orang Jepang, itu asal kita ga membuat kesalahan, asal kita bekerja sesuai dengan keinginan mereka, mereka itu dipakai untuk merekomendasikan ke orang lain.”291
Selain itu sikap jaga jarak itu juga terlihat dari bahasa yang
digunakan. Jika mereka menggunkan keigo (bahasa hormat), itu
menunjukkan mereka ingin menjaga jarak dengan lawan bicaranya.
Walaupun keigo juga disebut sebagai bahasa hormat, namun selain untuk
menghormati, keigo juga digunakan untuk menjaga jarak dengan orang lain.
“Jadi seperti kalau dia menggunakan Keigo atau bahasa halus itu sama seperti karma inggil punya orang Jawa, artinya dia sangat menjaga jarak. Meskipun keigo itu katanya bahasa hormat, bukan berarti dia menghormati, ya mungkin ada rasa hormat tapi sebenarnya itu dia menjaga jarak, artinya dia tidak ingin akrab gitu. Sedangkan dengan teman yang sudah akrab apalagi misalnya kita terhadap orang asing pun kalau dia sudah menggunakan bahasa biasa, bahasa teman ya kalau misalnya bahasa Jawanya bahasa ngoko artinya dia membuka diri.”292
291 Wawancara dengan Sutiman, Responden (LPK Hiro: Kamis, 20 Januari 2011, jam 14.15‐14.30) 292 Wawancara dengan Santi Staunislavia, Responden (Nakamura: Rabu, 19 Januari 2011, jam 11.00‐11.15)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
2) Ketegasan dan Keharmonisan Interpersonal
Dimensi kedua yang mempengaruhi konteks komunikasi adalah cara
seseorang menyatakan diri kepada orang lain. Walaupun ada banyak aspek
gaya komunikasi, ketegasan dan keharmonisan interpersonal secara langsung
mempengaruhi ruang lingkup antarbudaya.293
Budaya Amerika Serikat dikenal luas, karena gaya komunikasinya
yang tegas. Sedangkan di Asia Timur dan Asia Tenggara, perjanjian yang
menguntungkan, kesetiaan, dan kewajiban timbal balik merupakan hal yang
penting untuk suatu hubungan yang harmonis.294
Mempertahankan hubungan yang harmonis dan menghindari apa
yang kelihatannya merupakan perilaku yang agresif juga merupakan
perhatian penting di antara bangsa Jepang. Begitu kuatnya perhatian akan
perasaan orang lain, sehingga orang Jepang terkenal menghindari kata
“tidak” yang mereka anggap kasar.295
Hal itu juga diakui oleh orang-orang yang sering berinteraksi dengan
warga Jepang.
293 Samovar dkk. 2010. Op. Cit. hlm 349 294 Ibid. 295 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
“Misalnya dia bilang “no” itu sudah sangat tegas. Tapi kalau kita tidak tahu karakter orang Jepang, kita tidak bisa paham. Jadi, “no” itu tidak secara nyata tapi secara implicit, kita sudah harus paham.”296
3) Hubungan Status (Egalitarian dan Hierarkis)
Variabel ketiga yang mempengaruhi semua konteks komunikasi
berhubungan dengan persepsi dan respons budaya terhadap status. Setiap
budaya dan organisasi memiliki protokol yang didasarkan pada budaya
untuk mengarahkan interaksi antara orang-orang yang posisinya bervariasi.
Menggunakan skala klasifikasi yang luas, suatu budaya secara umum dapat
dikelompokkan sebagai egalitarian dengan sedikit perhatian terhadap
perbedaan sosial atau hierarkis yang menenkankan pada status dan tingkatan.
Negara Jepang adalah negara yang menganut hierarkis. Di Jepang,
perbedaan status terlihat jelas melalui protokol yang mengatur aktivitas
interpersonal dan oraganisasi. Interaksi antara bawahan dan senior
dilaksanakan dalam cara yang formal dan gelar selalu digunakan. Senior
diharapkan untuk melakukan peranan patriarchal sebagai respon terhadap
rasa hormat anggota yang lebih rendah. Dalam budaya yang menggunakan
status sebagai tanda, seperti Jepang, guru diperlakukan dengan sangat
hormat, bahkan dalam situasi ketika mahasiswa tidak diharapkan menjawab
pertanyaan dosennya.297
296 Wawancara dengan Sutiman, Responden (LPK Hiro: Kamis, 20 Januari 2011, jam 14.15‐14.30) 297 Samovar dkk. 2010. Op.Cit. hlm. 353
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
Warga Jepang yang tinggal di Solo untuk tujuan belajar sangatlah
menghormati orang yang menjadi gurunya. Dan hal tersebut membuat sang
guru tersebut merasa dihormati dan menilai bahwa orang Jepang memiliki
kesopanan yang tinggi bahkan melebihi warga Jawa sendiri. Hal tersebut
sangatlah cocok dengan budaya Indonesia yang juga menganut pandangan
hierarkis.
2. Sikap saat berkomunikasi
Keberhasilan komunikasi antarbudaya dapat pula dijelaskan dari
perspektif The 5 Inevitable Laws of Effective Communication (lima hukum
komunikasi efektif). Lima hukum tersebut adalah Respect, Empathy, Audible,
Clarity, dan Humble (REACH).298
a) Respect.
Hukum pertama dalam mengembangkan komunikasi antarbudaya
yang efektif adalah sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran
pesan yang kita sampaikan. Pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan
dianggap penting. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap
saling menghargai dan menghormati, maka dapat membangun kerjasama
yang sinergi yang akan meningkatkan kualitas hubungan antar manusia.299
Untuk memperlancar komunikasi yang dilakukan, setiap imigran
asal Jepang selalu berusaha menghormati orang yang menjadi lawan
298 Suranto AW. Op. Cit. hlm. 194 299 Ibid. hlm. 195
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
bicaranya. Hal tersebut mereka tunjukkan dalam berbagai cara misalnya
dengan menjaga sikap tubuh serta mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
“Oh itu, saya harus hati-hati itu kan sikapnya gitu kan. Kalau misalnya, kalau misalnya, sama kamu juga ya itu. Walau kamu adik, adikku, tapi aku kalau misalnya ngomong (dengan sikap angkuh) “Yo! gimana?” gitu kan ya, kata-katanya walaupun halus, tapi sikapnya begitu, itu kan orangnya seperti piye gitu kan?”300
“Memilih kata-kata supaya sopan dan untuk menghormati orang
lain. Tapi, sekarang sudah terbiasa, jadi otomatis seperti itu.”301
“Saya dengarkan baik-baik.”302
“Kalau cara saya, mendengar lebih secara focus. Tapi yang biasanya yang sedang berkomunikasi tidak mau pakai HP atau apa apa apa, berarti yang secara berkomunikasi saya kan mau focusnya yang mendengar terhadap lawan bicara secara kehormatan. Atau yang dalam satu kelompok, terus kalau lawan bicara ada di belakang, pasti saya menoleh ke arahnya”303
b) Empathy.
Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada
situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu persyaratan
utama dalam memiliki empati adalah kemampuan untuk mendengarkan atau
mengerti lebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain.
Rasa empati akan meningkatkan kemampuan kita dalam menyampaikan
pesan dengan cara dan sikap yang akan memudahkan komunikan
300 Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden (Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010, jam 15.00‐16.00) 301 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00‐16.00) 302 Wawancara dengan Yumiko Takenouchi, Responden (YMI: 30 November 2010, jam 17.00‐18.00) 303 Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden (Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam 15.30‐16.30)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
menerimanya. Oleh karena itu, memahami perilaku komunikan merupakan
keharusan. Sebelum membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, kita
perlu mengerti dan memahami dengan empati calon penerima pesan.
Sehingga nantinya pesan kita akan dapat tersampaikan tanpa ada halangan
psikologis atau penolakan dari penerima.304
Warga Jepang yang tinggal di Surakarta pun selalu berusaha
memahami kondisi lawan bicara sehingga komunikasi dapat berjalan dengan
lancar.
“Apa ya, punya sifat untuk mengerti. Kalau, saya lihat orangnya, saya bisa bicara atau tidak. Gitu, iya. Boleh saya bicara atau tidak, gitu. Kalau, iya orangnya kira-kira mau menerima atau tidak. Ya, kedudukan kan beda-beda. Kalau orangnya tertutup, ya saya tidak akan berkata sesuatu, tapi kalau terbuka saya bicara. Jadi, melihat orangnya. Iya. “305
“Tapi kalau orangnya terbuka dan tidak kaku, saya baru mau
mengkritik. Tapi juga lihat-lihat orangnya. Kalau orang tersebut tidak bisa menerima kritik, saya juga tidak akan mengkritik. Tapi kalau terbuka, saya akan ungkapkan pendapat saya.”306
c) Audible.
Hukum ketiga ini berarti pesan yang kita sampaikan dapat
diterima oleh penerima pesan.
Yang selalu menjadi masalah bagi warga Jepang dalam
berkomunikasi adalah masih sering ditemukan orang yang menjadi lawan
bicara kurang mengerti apa yang hendak disampaikan. Hal tersebut
304 Suranto Aw. Loc. Cit. 305 Wawancara dengan Yumiko Takenouchi, Responden (YMI: 30 November 2010, jam 17.00‐18.00) 306 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00‐16.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
dikarenakan penguasaan bahasa Indonesia yang masih kurang oleh warga
Jepang serta keterbatasan kosa kata. Untuk menyiasati hal tersebut, mereka
biasanya mengulangi pesan yang hendak disampaikan sampai lawan bicara
mengerti apa yang mereka maksud.
“Mungkin “Tolong bicara lebih pelan-pelan”. Kalau masih bingung, saya mau jelaskan gitu, “tolong tulis”. Jadi, komunikasi aja tidak ada masalah. Jadi, teman-teman saya sering bantu. “Oh. Mungkin gini jadi harusnya gini.”307
“Ya memilih kata-kata yang tepat, dan kalau masih ada yang
kurang mengerti, diulangi lagi sampai mengerti.”308
“Kadang-kadang masih ada orang yang kurang mengerti maksud saya. Mungkin karena bahasa Indonesia saya masih kurang. Kalau begitu, saya ulangi sampai orang itu mengerti.”309
“Kadang-kadang masih ada yang tidak mengerti, soalnya ya
wajahnya kan sangat aneh. “Maksudnya apa?”. Beberapa kali sampaikan, tapi tetap tidak bisa, juga ada, atau yang menyambung juga ada. Kalau seperti itu, ya saya yang diberi waktu sebentar dulu nanti sampaikan lagi. Saya susun pikiran saya dulu, nanti coba menyampaikannya lagi.”310
d) Clarity.
Selain pesan harus dapat dimengerti, makna pesan itu sendiri
harus jelas sehingga tidak menimbulkan multi intepretasi atau berbagai
penafsiran yang berlainan. Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan
307 Wawancara dengan Hitomi Matsuda, Responden (Gedung H ISI Surakarta: Senin, 29 November 2010, jam 11.00‐12.00) 308 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00‐16.00) 309 Wawancara dengan Keisuke Isobe, Responden (Kantin KPRI UNS: Senin, 22 November 2010, jam 13.00‐14.00) 310 Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden (Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam 15.30‐16.30)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
transparansi. Dalam berkomunikasi kita perlu mengembangkan sikap
terbuka (tidak ada yang ditutupi atau terbuka), sehingga dapat menimbulkan
rasa percaya (trust) dari penerima pesan.311
Semua responden mengaku jika memang membutuhkan untuk
menyampaikan informasi secara lengkap, maka mereka akan memberikan
informasi secara lengkap pula. Namun, hal tersebut juga tergantung pada
tema apa yang sedang dibicarakan serta siapa yang menjadi lawan bicara.
“Ya, tergantung tema dan orangnya. Kalau memang membutuhkan informasi yang lengkap ya saya berikan secara lengkap.”312
“Ya, tergantung tema dan orangnya. Ada yang bisa semua ada
yang harus ditutupi.”313 “Ya, itu tergantung dengan siapa saya bicara dan apa yang
dibicarakan. Kalau soal kesenian, tidak ada yang saya tutupi. Tapi juga lihat-lihat orangnya. Kalau orang tersebut tidak bisa menerima kritik, saya juga tidak akan mengkritik. Tapi kalau terbuka, saya akan ungkapkan pendapat saya. Kalau hal-hal pribadi, tidak kepada semua orang, hanya kepada sahabat-sahabat saya.”314
“Kadang lengkap, kadang disembunyikan. Sebenarnya mau
menyampaikan, tapi capek. Karena bahasanya masih kurang. Jadi susah kalau mau ngomong.”315
311 Ibid. hlm. 196 312 Wawancara dengan Akira Kawakami, responden (Food Court SGM: Minggu 21 November 2010, jam 15.00‐16.00) 313 Wawancara dengan Keisuke Isobe, Responden (Kantin KPRI UNS: Senin, 22 November 2010, jam 13.00‐14.00) 314 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00‐16.00) 315 Wawancara dengan Naoko Ujiie, Responden (Tempat tinggal Naoko Ujiie: rabu, 15 desember 2010, jam 16.00‐16.30)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
158
e) Humble.
Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama
untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap
rendah hati yang kita miliki.316
Setiap warga Jepang tersebut juga mengaku selalu berusaha untuk
bersikap rendah hati, sehingga tidak menyinggung perasaan lawan bicara
sehingga komunikasi berjalan lancar. Hal tersebut diakui sebagai sesuatu
yang otomatis dilakukan.
“Iya, itu juga otomatis ya.”317
Selain kelima hukum di atas, peneliti menemukan beberapa sikap
yang dimiliki oleh warga Jepang yang tinggal di Solo yang mendukung
komunikasi antarbudaya. Sikap tersebut antara lain:
a) Adaptability, yaitu seberapa cepat seseorang untuk terbiasa dalam lingkungan
asing atau norma yang berbeda.318
Penduduk pribumi yang sering berinteraksi dengan warga Jepang di Solo
mengatakan bahwa warga Jepang tersebut memiliki kemampuan adaptasi
yang cepat. Mereka menilai warga Jepang tersebut sudah terbiasa dengan
lingkungan di Solo.
316 Ibid 317 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00‐16.00) 318 Fred E. Jandt. Op. Cit. hlm. 42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
“Kehebatan orang Jepang itu paling cepat menyesuaikan dengan kondisi lingkungan, adaptasinya dia cepet, makanya sampai sekarang pun meskipun dulu Jepang pernah menjajah negara kita, paling mudah untuk beradaptasi dan kita paling mudah menerima.”319
b) Acceptance, yaitu toleransi atau kemauan untuk menerima hal-hal yang
menyimpang dari hal-hal yang biasa bagi seseorang.320
Dalam penelitian ini, hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana warga Jepang
yang sudah terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan orang Jawa. Misalnya
makanan, cara menggunakan kamar mandi, menyapa orang walaupun belum
dikenal, transportasi yang berbeda, serta keadaan lalu lintas yang berbeda.
c) Cultural Awareness, yaitu pemahaman seseorang terhadap adat dan sistem
sosial dari kebudayaan tuan rumah. Memahami bagaimana orang berpikir dan
bertingkah laku sangatlah penting untung berkomunikasi secara efektif dengan
masyarakat budaya tersebut.321
d) Knowledge Discovery, yaitu kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan
baru pada waktu berkomunikasi.322
Dalam penelitian ini, hal itu terlihat dari pengetahuan-pengetahuan baru
yang mereka dapat dari komunikasi. Sehingga mereka bisa menggunakan
319 Wawncara dengan Mulyono, Responden (Fujiyama Gakkou: Rabu, 19 januari 2011, jam 16.30‐16.45) 320 Fred E. Jandt. Loc. Cit. 321 Ibid. hlm. 44 322 Yukiko Inoue. Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
pengetahuan tersebut sebagai modal berinteraksi dengan masyarakat pribumi
dan beradaptasi.
3. Intensitas
Tingkat keseringan berkomunikasi juga mempengaruhi tingkat
keberhasilan akulturasi seseorang di daerah baru. Semakin sering mereka
berkomunikasi, semakin banyak pengetahuan mereka tentang daerah baru itu
sehingga memudahkan untuk bersikap dan beradaptasi.
Bila kita memandang akulturasi sebagai proses mengembangkan
kecakapan berkomunikasi dalam sistem sosio-budaya pribumi, perlulah
diletakkan fakta bahwa kecakapan berkomunikasi sedemikian diperoleh melalui
pengalaman-pengalaman berkomunikasi. Orang belajar berkomunikasi dengan
berkomunikasi. Melalui pengalaman-pengalaman berkomunikasi yang terus-
menerus dan beraneka ragam, seorang imigran secara bertahap memperoleh
mekanisme komunikasi yang ia butuhkan untuk menghadapi lingkungannya.
Kecakapan berkomunikasi yang telah diperoleh imigran lebih lanjut
menentukan seluruh akulturasinya.323
Dari hasil penelitian, warga Jepang yang ada di Solo bisa dibilang
sangat sering berkomuniaksi dengan lingkungan sekitarnya. Walaupun hanya
sekedar menyapa. Namun hal tersebut telah menunjukkan kesungguhan mereka
untuk menyatu dengan lingkungan baru mereka.
323 Deddy Mulyana dkk. 2003. Op. Cit. hlm. 140
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
“Ya, sering. Karena kuliah saya kan pribadi jadi dengan dosen ya sering. Sekarang kan saya ada kebiasan menjadi penghubung antara pihak Japan dengan pihak Indonesia, jadi ya harus komunikasi. Pada awalnya, saya tinggal langsung di rumah teman saya. Itu artinya, tidak ada orang asing di tempat saya. Makanya, harus diajak berbicara atau harus berkomunikasi untuk kehidupan. Jadi, makanya sebenarnya itu kan sudah ada keperluan untuk hidup.”324
“Sering sekali ya. Dengan lingkungan sekitar rumah maupun sesama
teman seniman. Kalau ada keperluan juga.”325
“Berapa kali? Ga bisa dihitung. Kalau aku disini, terus ada yang lewat, menegur gitu kan? Ya, ya, jadi seperti itu kalau aku tidak sakit. Kalau sakit, di kamar terus jadi ga da komunikasi sama orang. Tapi kalau ga sakit, sepanjang hari buka mulut. Lebih, lebih, 20 kali aja lebih. Melebihi daripada burung og, iya.”326
“Kan, di sini kan toko. Jadi, ya setiap hari.”327 Sebagai inti akulturasi interaktif adalah proses komunikasi yang
menghubungkan individu-individu imigran dengan lingkungan sosio-budaya
mereka. Pentingnya komunikasi bagi akulturasi tidak perlu diragukan lagi.328
4. Kompetensi Komunikasi Antarbudaya
Spitzberg mengatakan bahwa kompetensi komunikasi antarbudaya adalah
perilaku yang pantas dan efektif dalam suatu konteks tertentu. Kim memberikan
definisi yang lebih detil ketika dia menuliskan bahwa kompetensi antarbudaya
merupakan kemampuan internal suatu individu untuk mengatur fitur utama dari 324 Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden (Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam 15.30‐16.30) 325 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00‐16.00) 326 Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden (Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010, jam 15.00‐16.00) 327 Wawancara dengan Naoko Ujiie, Responden (Tempat tinggal Naoko Ujiie: rabu, 15 desember 2010, jam 16.00‐16.30) 328 Deddy Mulyana. Op. Cit hlm. 148
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
162
komunikasi antarbudaya: yakni, perbedaan budaya dan ketidakbiasaan, postur
inter-group, dan pengalaman stress. Apa yang dinyatakan dua definisi itu adalah
bahwa menjadi komunikator yang kompeten berarti memiliki kemampuan untuk
berinteraksi secara efektif dan sesuai dengan anggota dari budaya yang memiliki
latar belakang linguistik-kultural.329
Banyak penelitian dalam kompetensi komunikasi antarbudaya
mengungkapkan lima komponen kompetensi yang mempengaruhi kemampuan
seseorang untuk berinteraksi secara efektif dan pantas dalam budaya yang lain.330
Kelima komponen tersebut adalah:
a) Motivasi untuk berkomunikasi
Merupakan hal yang logis dan alami untuk mengasumsikan seseorang
termotivasi untuk berinteraksi dengan orang yang dekat dengan orang tersebut
baik secara fisik maupun emosional. Walaupun hal ini merupakan reaksi yang
normal, hal ini kadang menjauhkan seseorang dari usaha untuk memahami
pengalaman orang-orang. Pittinsky, Rosenthal, dan Montoya mengungkapkan
bahwa motivasi dalam hubungannya dengan kompetensi komunikasi antarbudaya
berarti seseorang memiliki keingian pribadi untuk meningkatkan kemampuan
komunikasi.331
Seperti hal yang diungkapkan oleh salah seorang responden. Pada
mulanya, dia berkomunikasi hanya untuk sekedar berkomunikasi dengan orang 329 Samovar, dkk. 2010. Op. Cit. 460 330 Ibid. 331 Ibid. hlm. 461
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
163
lain. Tapi lama-kelamaan, keinginan untuk berinisiatif dan meningkatkan
kemampuan komunikasi muncul.
“Kalau pada awalnya, ga begitu merasa sulit dengan bahasa Indonesia. Pada awalnya ya, kok agak gampang belajar bahasa Indonesia daripada bahasa Inggris, tapi semakin lama semakin merasa sulit. Mungkin ya, itu mungkin karena sudah muncul keinginan saya ingin menyampaikan pendapatnya atau pikiran saya yang sebenarnya. Kalau dulu kan, intinya mau komunikakai kan? Makanya tidak perlu yang sesungguhnya. Kalau ini kan setelah bisa komunikasi, ada muncul keinginan untuk itu. Makanya merasa sulit. Yang lain tidak begitu ada kesulitan, kalau saya.”332
Sebagai komunikator yang penuh motivasi, seseorang menunjukkan
ketertarikannya, berusaha untuk berbicara serta mengerti, dan menawarkan
bantuan. Selanjutnya, orang tersebut menunjukkan bahwa dia ingin berhubungan
dengan orang lain dalam level personal dan memiliki perspektif internasional
ketika berinteraksi dengan orang-orang dari kebudayaan yang berbeda.333
“Jika saya sudah tertarik dengan orang ini, tetep berusaha untuk sering bertemu. Kalau sekali berbicara mungkin ga bisa paham tentang dalam berbicara. Tapi jika tidak tertarik juga tidak perlu sih. Soalnya kalau untuk komunikasi, kan memang harus anu, harus ada waktu lama.”334
Sebagai contoh lain, seorang responden menawarkan bantuannya
kepada peneliti untuk memperkenalkan kepada orang-orang Jepang lain yang
tinggal di Solo.
b) Pengetahuan yang cukup mengenai budaya
332 Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden (Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam 15.30‐16.30) 333 Samovar, dkk. Loc. Cit. 334 Wawancara dengan Naomi Kawasaki, Responden (Gedung III FSSR: Selasa, 14 Desember 2010, jam 15.30‐16.30)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
164
Komponen pengetahuan dalam kompetensi komunikasi antarbudaya
berarti bahwa seseorang menyadari dan memahami peraturan, norma, dan
harapan yang diasosiasikan dengan budaya orang-orang yang berhubungan
dengan orang tersebut.335
Dalam penelitian ini, pihak yang harus memiliki pengetahuan tersebut
adalah warga Jepang. Mereka harus memahami bagaimana kondisi sekitar baik
peraturan maupun norma. Sehingga komunikasi yang efektif dapat terjalin dan
mendukung potensi akulturasi.
c) Kemampuan komunikasi yang sesuai
Sebagai seorang komunikator yang kompeten seseorang harus mampu
mendengar, mengamati, menganalisis dan menginterpretasikan serta
mengaplikasikan perilaku khusus ini dalam cara yang memungkinkan orang
tersebut untuk mencapai tujuannya.336
Dari hasil penelitian, setiap individu warga Jepang mengindikasikan
kemampuan tersebut. Mereka pro aktif terhadap lingkungan. Ada keinginan dan
usaha untuk menjadi komunikator yang kompeten. Mereka menerapkan apa yang
telah mereka pelajari tentang lingkungannya agar bisa diterima dan menyatu
dengan lingkungannya.
335 Samovar, dkk. Loc. Cit. 336 Samovar, dkk. 2010. Op. Cit. 462
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
165
Hal tersebut terlihat dari keinginan untuk berinteraksi dengan orang
lain, mendengarkan orang lain dengan sungguh-sungguh dan keinginan untuk
mencapai kehidupan yang harmonis dengan masyarakat.
d) Sensitivitas
Kompetensi komunikasi membutuhkan partisipan suatu interaksi yang
sensitive satu sama lainnya dan terhadap budaya yang ditampilkan dalam suatu
interaksi. Sensitivitas, menurut Pittinsky, Rosenthal, dan Montoya, meliputi sifat
fleksibel, sabar, empati, keingintahuan mengenai budaya yang lain, terbuka pada
perbedaan, dan merasa nyaman dengan yang lain.337
Sensitivitas tersebut juga dimiliki oleh imigran asal Jepang yang
tinggal di Solo. Hal tersebut terlihat dari bagaimana mereka berusaha memahami
lawan bicara dan lingkungan sekitar sehingga komunikasi berjalan lancar.
Mereka semua merupakan individu yang mampu menerima perbedaan yang ada
di sekitar mereka.
Spencer-Roberts dan McGovern menambahkan bahwa komunikator
yang sensitif memiliki rasa toleransi terhadap ambiguitas. Hal tersebut berarti,
saat seseorang melihat suatu kebiasaan dan perilaku yang aneh dan tidak biasa,
orang itu tidak akan bingung karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi atau
menentang perilaku dan kebiasaan tersebut. Hal ini mengarah pada pemikiran
lain oleh Pittinsky, Rosenthal, dan Montoya yang percaya bahwa komunikator 337 Samovar, dkk. 2010. Loc. Cit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
166
yang sensitif harus lebih toleran terhadap orang lain dan budaya lain serta
mengembangkan perasaan allophilia, yaitu menyukai yang lain dan perilaku
yang menginspirasi.338
e) Karakter
Seorang filsuf dan guru dari Amerika P.B. Fitzwater mengatakan
karakter merupakan keseluruhan dari pilihan seseorang. Intinya adalah
bagaimana seseorang melaksanakan pilihan tersebut ketika berinteraksi dengan
orang yang berbeda budayanya. Mungkin salah satu sifat yang paling penting
yang diasosiasiakan dengan karakter adalah apakah mereka dapat dipercaya atau
tidak. Sifat yang kadang diasosiasikan dengan orang yang terpercaya adalah
kejujuran, peghargaan, kewajaran, dan kemampuan untuk melakukan pilihan
yang tepat, dan juga kehormatan, mementingkan kepentingan orang lain,
ketulusan, dan niat baik.339
Karakter imigran Jepang lebih mudah diterima oleh masyarakat
Surakarta. Mereka dinilai memiliki unggah-ungguh seperti orang Jawa yang
membuat orang yang berhubungan dengan mereka merasa senang. Serta orang
Jepang yang datang dengan tujuan belajar sangat menghormati orang yang
menjadi gurunya dan lebih serius dalam mempelajari kesenian serta bidang yang
dipelajari lainnya.
“Tapi kalau tentang ngajeni itu ya, malah ngajeni orang di sana daripada orang di sini. Ramah-tamahnya, orang ramah-ramahnya itu di sana itu
338 Ibid. 339 Ibid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
167
malah lebih sekali. Terus kalau dia itu menganggap dia guru, kalau orang sini seumpama saya ya, mahasiswa ketemu saya, ya udah “ya bu Kur”, tapi kalau di sana pasti “Ibu, apa kabar?” ini, ini, ini. Ya itu bedanya di situ. Jadi, yang saya rasakan itu kok malah lebih menghormat daripada orang Indonesia kalau dengan pengajarnya.”340
“Lain dengan, sama-sama orang asing, misalnya Eropa, orang Jepang itu lain. Bedanya itu, sikapnya menghargai lain, cara duduknya juga lain. Kalau Jepang itu duduknya betul-betul, apa ya, kalau mungkin timpuh ya. Itu, kebanyakan kalau orang Jepang itu timpuh. Dan itu, mungkin kalau orang asing lain, begitu ketemu masuk kelas, latihan, ya udah. Kalau udah jam pulang ya udah. Jadi ga ada hormatnya.”341
“Terus dia sangat teliti sekali, lain dengan Dharmasiswa yang dari
Eropa. Yang Jepang itu luar biasa. Itu yang saya amati itu dia itu bener-bener belajar, waktu itu digunakan sebaik-baiknya. Tidak terlalu santai tapi ya tidak terlalu apa ya, serius sekali tapi dia kemampuannya itu luar biasa.”342
“Memang orang Jepang itu kalau saya bandingkan dengan orang-
orang asing yang lain yang belajar gamelan, dia lebih siap. Makanya, kepandaian orang Jepang dengan kepandaian orang-rang asing lainnya tentang gamelan, dia lebih unggul.”343
5. Faktor Pendukung Akulturasi (potensi akulturasi individu)
Pola-pola akulturasi tidaklah seragam di antara individu-individu tetapi
beraneka ragam, tergantung pada potensi akulturasi yang dimiliki sebelum
berimigrasi. Sebagian orang lebih bersedia menerima budaya pribumi daripada
sebagian orang lainnya.344
340 Wawancara dengan Theresia Sri Kurniati, Dosen Tari ISI Surakarta (ISI Surakarta: Kamis, 20 Januari 2010, jam 10.15‐10.30) 341 Wawancara dengan Hadi Boediono, responden (Gedung Karawitan ISI Surakarta, Rabu 19 Januari 2011, jam 09.15‐09.45) 342 Wawancara dengan Theresia Sri Kurniati, Dosen Tari ISI Surakarta (ISI Surakarta: Kamis, 20 Januari 2010, jam 10.15‐10.30) 343 Wawancara dengan Hadi Boediono, responden (Gedung Karawitan ISI Surakarta, Rabu 19 Januari 2011, jam 09.15‐09.45) 344 Deddy Mulyana dkk. Op. Cit. hlm. 144
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
168
Bagi warga Solo, imigran asal Jepang yang tinggal di wilayah Solo
dinilai sangat mudah beradaptasi. Hal tersebut terlihat dari penerimaan warga
Jepang terhadap suasana, adat, budaya, dan masakan Solo. Mereka dinilai tidak
memiliki kesulitan untu membaur dengan lingkungan sekitar. Meskipun orang
Jepang terkenal tertutup, namun di Solo mereka terlihat sangat mudah membaur.
“Yang di Solo sepengetahuan saya, mereka sudah sangat membaur ya. Karena mereka juga kemana-mana juga naik motor, makannya juga seperti anak kos, lingkunganya juga orang-orang Indonesia.”345
“Jadi mereka, kehebatan orang Jepang itu paling cepat menyesuaikan
dengan kondisi lingkungan, adaptasinya dia cepet, makanya sampai sekarang pun meskipun dulu Jepang pernah menjajah negara kita, paling mudah untuk beradaptasi dan kita paling mudah menerima.”346
“Menyatu, menyatu sekali dan dia bisa cepat bergaul, menyatu,
karena dia di sini malah sering banyak apa ya, komunikasi dan dengan keluarga. Menyatu sekali, kadang-kadang sampai makan itu satu piring dua orang.”347
Potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi dapat
mempermudah akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat pribumi. Potensi
akulturasi ditentukan oleh faktor-faktor berikut348:
a. Kemiripan antara budaya asli (imigran) dan budaya pribumi.
Faktor ini mungkin merupakan faktor terpenting yang menunjang
akulturasi. Misalnya, seorang imigran dari Kanada ke Amerika Serikat akan
345 Wawancara dengan Santi Staunislavia, Responden (Nakamura: Rabu, 19 Januari 2011, jam 11.00‐11.15) 346 Wawncara dengan Mulyono, Responden (Fujiyama Gakkou: Rabu, 19 januari 2011, jam 16.30‐16.45) 347 Wawancara dengan Theresia Sri Kurniati, Dosen Tari ISI Surakarta (ISI Surakarta: Kamis, 20 Januari 2010, jam 10.15‐10.30) 348 Deddy Mulyana dkk. Op. Cit. hlm. 146
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
169
mempunyai potensi akulturasi yang lebih besar daripada seorang imigran
Vietnam dari Asia Tenggara.
Jepang dan Indonesia sama-sama kebudayaan konteks tinggi karena
sama-sama Asia. Namun, Jepang menempati tingkat atas. Jika dibandingkan
Jepang sangatlah mirip dengan Jawa. Apalagi Jepang desa. Di Jepang juga
terdapat aturan yang muda harus menghormati yang lebih tua, terdapat ajaran
sopan santun. Warga Jepang pun mengakui kemiripan Jepang dengan Jawa. Baik
orang Jepang maupun Jawa, sama-sama tidak mampu mengungkapkan isi hati
yang sebenarnya jika tidak suka terhadap orang lain.
“Hmm, iya, agak mirip. Mungkin dengan Jepang zaman dulu mirip, banyak sawah. Orang Solo dan orang Jepang, kalau ada yang tidak disukai tidak bisa bicara secara langsung. Lalu, di Jepang maupun Jawa, sama-sama menghormati yang lebih tua. Ada sopan santun.”349
“Tapi orang sini juga mirip dengan orang Jepang ya. Kalau ga suka,
ga bisa ngomong langsung.”350
“Ada. Anu ya, Jepang juga Jawa juga anoo ramah-ramah ya. Tidak urusan dewe-dewe gitu lho. Kayaknya itu gitu Jawa ya. Walaupun mempunyai pikiran atau perasaan yang jelek terhadap seseorang tapi tidak bisa ngomong. Orang Jepang juga ga pernah bilang gitu ya. Makanya kadang-kadang ga ngerti gitu ya, tidak mengerti sebenarnya. Fisiknya agak mirip.”351
“Jepang desa dan Jawa itu kan sama ya. Menghormati orang yang
lebih tua atau senior. Di Jawa kan biasanya ada kumpulan ibu-ibu yang ngobrol atau ngrumpi. Dulu di Jepang juga ada. Namanya “Idobatakai”, jadi para wanita berkumpul dan ngobrol di dekat sumur. Lalu, orang Jawa maupun
349 Wawancara dengan Mika Masui, Responden (Kantin sastra: Rabu, 17 November 2010, jam 12.00‐12.45) 350 Wawancara dengan Mami Yamamura, Responden (Kos Mami: Jumat, 19 November 2010, jam 20.00‐21.00) 351 Wawancara dengan Hiromi Kano, Responden (Tempat tinggal Hiromi Kano: Selasa, 23 November 2010, jam 15.00‐16.00)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
170
Jepang menghormati orang yang lebih tua. Dan kalau ada rasa ga suka pada orang lain, sulit untuk mengungkapkan langsung.”352
Orang-orang yang sering berinteraksi dengan warga Jepang mengakui
bahwa Jepang dan Jawa memiliki kemiripan. Pertama adalah masalah tata krama.
Baik Jepang maupun Jawa sangat menjunjung tata krama apalagi terhadap
seseorang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya.
“Itu, misalnya dia kelihatan sekali sebagai orang timur, sama dengan kita. Jadi, unggah-ungguhnya ya kalau dalam orang Jawa, unggah-ungguh itu juga banyak. Kemudian, di dalam menghormati sesama itu juga sama dengan kita. Jadi, ketemu, ketemu dengan siapapun pasti menyapa dan apa, hormatnya itu, e, apa ya, apalagi kalau dia ketemu dengan orang yang lebih tua kemudian ketemu dengan orang yang dia anggap sebagai guru, itu dia sangat hormat sekali.”353
“Kalau sebetulnya kalau, ya tidak jauh lah. Saya kira kalau orang
Jepang dengan Indonesia itu tidak jauh saya kira karena ya itu, kadang-kadang kan saya bertemannya dekat sekali, kadang-kadang dia itu malah lebih memikirkan teman, malah begitu.”354
Selain itu, warga Jepang juga dinilai sangat pandai menyembunyikan
perasaan terhadap orang lain. Sama dengan orang Jawa. Untuk menjaga perasaan
orang lain, jika ada hal yang tidak disukai, baik orang Jepang maupun orang
Jawa tidak bisa mengatakan secara langsung kepada orang yang bersangkutan.
Mereka lebih menyimpannya di dalam hati.
352 Wawancara dengan Kaoru Serizawa, Responden (Tempat tinggal Kaoru: 24 November 2010, jam 15.00‐16.00) 353 Wawancara dengan Hadi Boediono, responden (Gedung Karawitan ISI Surakarta, Rabu 19 Januari 2011, jam 09.15‐09.45) 354 Wawancara dengan Theresia Sri Kurniati, Dosen Tari ISI Surakarta (ISI Surakarta: Kamis, 20 Januari 2010, jam 10.15‐10.30)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
171
“Orang Jepang dan orang Jawa itu mirip ya unggah-ungguhnya itu. Ya tadi, penggunaan bahasa, terus basa-basinya dan dalam hal menyimpan perasaan, tidak memperlihatkan perasaan secara langsung.”355
Kemiripan yang lain terletak pada tingkatan bahasa. Jika di budaya
Jawa ada bahasa Ngoko, Krama Alus, dan Krama Inggil, di Jepang juga ada
Keigo dan bahasa teman.
“Bahkan boleh dibilang bahasanya itu sangat mirip, untuk onomatopei itu sangat kaya. Lebih mudah menerjemahkan bahasa Jepang ke bahasa Jawa daripada ke dalam Bahasa Indonesia. Sama seperti orang Jawa ya. Jadi seperti kalau dia menggunakan Keigo atau bahasa halus itu sama seperti karma inggil punya orang Jawa.”356
“Istilahnya, dari segi bahasa pun di Jepang juga, kalau bahasa Jawa
itu ada krama inggil, krama alus, sama bahasa ngoko, di Jepang pun ada tingkatan-tingkatannya. Jadi kita cukup ada persamaannya dalam hal budaya maupun hal bahasa.”357
Dari banyaknya kemiripan tersebut, membuat warga Jepang lebih
nyaman tinggal di Solo. Begitu juga sebaliknya, warga Jawa lebih mudah
menerima dan bergaul dengan mereka.
Meski begitu, tetap saja ada perbedaan. Misalnya manajemen waktu.
Orang Jepang sangat terkenal dengan kedisiplinan dan ketepatan waktu yang
sangat tinggi. Sedangkan di Solo terlihat lebih santai.
b. Usia pada saat berimigrasi.
355 Wawancara dengan Santi Staunislavia, Responden (Nakamura: Rabu, 19 Januari 2011, jam 11.00‐11.15) 356 Wawancara dengan Santi Staunislavia, Responden (Nakamura: Rabu, 19 Januari 2011, jam 11.00‐11.15) 357 Wawancara dengan Sutiman, Responden (LPK Hiro: Kamis, 20 Januari 2011, jam 14.15‐14.30)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
172
Imigran yang lebih tua umumnya mengalami lebih banyak kesulitan
dalam menyesuaikan diri dengan budaya yang baru dan mereka lebih lambat
dalam memperoleh pola-pola budaya baru.
Warga Jepang yang tinggal di Solo, rata-rata masih berusia muda saat
pertama kali tinggal di Solo. 22 hingga 36 tahun, kecuali Akira Kawakami yang
mulai tinggal di Solo saat berumur 55 tahun.
Usia yang bisa terbilang masih muda saat mulai tinggal di Solo
membuat potensi akulturasi semakin besar. Mereka cenderung lebih mudah
manerima perbedaan di sekitar dan mudah beradaptasi.
Meskipun ada yang sudah berusia 55 tahun ketika pertama kali tiggal
di Solo, tapi didukung dengan kemiripan Jepang dan Jawa khususnya Solo serta
tingkat pendidikan yang tinggi, maka usia bukan penghalang untuk akulturasi.
c. Latar belakang pendidikan.
Pendidikan, terlepas dari konteks budayanya, ternyata memperbesar
kapasitas seseorang untuk menghadapi pengalaman baru dan mengatasi
tantangan hidup. Dalam beberapa kasus, proses pendidikan seorang imigran di
negeri asalnya meliputi kursus bahasa asing yang memberi individu suatu bekal
untuk mengembangkan kecakapan berkomunikasi setelah berimigrasi.
Hampir semua responden telah menyelesaikan pendidikan S1 di
Jepang sebelum mulai tinggal di Solo. Akira Kawakami telah lulus S1 jurusan
Industrial Engineering dari Tokyo University of Science, Yumiko Takenouchi
dan Kaoru Serizawa lulusan S1 jurusan Ethnomusicology dari Tokyo University
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
173
of Art and Music, Hiromi Kano merupakan lulusan S1 dari Tokyo College of
Music, Miki Orita merupakan lulusan S1 dari International Christian University
jurusan Linguistic, Hitomi Matsuda merupakan lulusan dari jurusan Sastra
Jepang di Universitas Doushisha Joushi, Naomi Kawasaki lulusan dari
Universitas Hosei di Tokyo jurusan Sosiologi, Mami Yamamura yang
merupakan lulusan dari Universitas Hosei di Tokyo, dan Naoko Ujiie yang
merupakan lulusan dari jurusan Hubungan Internasional di Universitas Daito
Bunka.
Dari latar belakang pendidikan tersebut, peluang akulturasi menjadi
semakin besar. Karena pendidikan memberi mereka bekal untuk
mengembangkan kecakapan berkomunikasi setelah berimigrasi.
Namun, ada dua orang yang belum menyelesaikan kuliahnya di Jepang
saat tinggal di Solo. Mereka adalah Keisuke Isobe dan Mika Masui. Saat mulai
belajar di Solo, merupakan mahasiswa tingkat 7 di Jepang. Tapi dengan usia
yang masih sangat muda, yaitu 21 tahun dan 20 tahun, maka peluang
akulturasinya pun besar.
d. Beberapa karakteristik kepribadian seperti suka bersahabat dan toleransi.
Karakteristik seperti suka bersahabat, toleransi, mau mengambil
resiko, keluwesan kognitif, keterbukaan, dan sebagainya juga memudahkan
dalam lingkungan yang baru.
Warga Jepang yang tinggal di Solo baik untuk urusan belajar maupun
bekerja merupakan individu yang terbuka terhadap hal-hal yang baru, mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
174
juga merupakan individu yang senang berteman, menyukai tantangan, dan
toleran. Kesemua sifat tersebut, mempermudah mereka untuk menyerap hal-hal
baru di sekitar mereka dan mudah beradaptasi dengan kondisi sekitarnya
tersebut. Sehingga, potensi akulturasi mereka semakin besar dengan didukung
faktor-faktor sebelumnya.
e. Pengetahuan tentang budaya pribumi sebelum berimigrasi.
Pengetahuan imigran sebelum berimigrasi tentang daerah tujuan juga
mampu meningkatkan potensi akulturasi imigran. Pengetahuan tersebut bisa
didapat dari kunjungan sebelumnya, kontak-kontak antarpersona, dan lewat
media massa.
Beberapa responden telah memiliki pengetahuan mengenai Solo
sebelum mereka mulai tinggal di Solo. Pengetahuan itu mereka dapat dari
pengalaman kunjungan sebelumnya, ataupun dari teman yang pernah berkunjung
ke Solo, ataupun dari orang Solo yang kebetulan berada di Jepang untuk belajar.
Namun, ada juga yang tidak memiliki pengetahuan apa-apa mengenai
Solo sebelum pindah ke Solo. Seperti yang dialami oleh Akira Kawakami. Dia
sama sekali tidak memiliki gambaran apapun mengenai daerah tujuannya. Tetapi
hal itu tidak menjadi masalah baginya karena begitu sampai di Solo, dia merasa
cocok dan suka suasananya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
175
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
176
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya yang
terjadi antara warga Jepang dengan penduduk pribumi sangat membantu kelancaran
akulturasi warga Jepang di Solo. Manusia belajar banyak hal lewat respon-respon
komunikasi tehadap rangsangan dari lingkungan. Begitu juga bagi akulturasi. Proses
akulturasi seseorang di lingkungan baru tidak bisa lepas kegiatan komunikasi.
Dalam proses akulturasi warga Jepang di Surakarta, komunikasi antarbudaya
yang terjadi memiliki peran yang besar. Proses komunikasi dalam hal ini komunikasi
antarbudaya menjadi dasar bagi proses akulturasi seorang imigran. Peran komunikasi
antarbudaya dalam memperlancar proses akulturasi tersebut antara lain:
1. Komunikasi antarbudaya berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan
lingkungan fisik dan sosial seorang imigran. Dari pengalaman
berkomunikasi dengan penduduk sekitar, mereka mendapatkan pengetahuan
mengenai lingkungan sekitar sehingga hal itu menjadi bekal bagi mereka
untuk memahami hal-hal yang terjadi di lingkungan mereka. Pemahaman
terhadap lingkungan dan sosio-budaya sangat membantu mereka dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga akulturasi semakin lancar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
177
2. Melalui komunikasi antarbudaya, imigran Jepang bisa menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan berhubungan dengan lingkungan serta mendapatkan
keanggotaan dan rasa memiliki dalam berbagai kelompok sosial yang
mempengaruhi mereka. Dengan pengenalan serta penerimaan warga pribumi
terhadap imigran tersebut maka terbentuknya budaya C yang menjadi tujuan
interaksi antarbudaya akan semakin mudah tercapai, dengan kata lain,
akulturasi pun semakin lancar.
3. Selayaknya orang-orang pribumi, para imigran Jepang juga memperoleh pola-
pola budaya pribumi dari kegiatan komunikasi antarbudaya. Seorang imigran
akan mengatur dirinya untuk mengetahui dan diketahui dalam berhubungan
dengan orang lain melalui komunikasi. Dengan mempelajari pola-pola dan
aturan-aturan komunikasi pribumi dan dengan berpikiran terbuka, imigran
menjadi toleran akan perbedaan-perbedan dan ketidakpastian situasi-situasi
antarbudaya yang dihadapi. Mereka menjadi semakin siap dan percaya diri
dalam berhubungan dengan lingkungan sekitar sehingga semakin mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berakulturasi.
4. Melalui komunikasi massa seorang imigran mengetahui lebih jauh lagi
tentang berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya pribumi. Dalam
menyiarkan pesan-pesan yang merefleksikan aspirasi-aspirasi, mitos-mitos,
kerja dan bermain, dan isu-isu spesifik serta peristiwa-pwristiwa dalam
masyarakat pribumi, media secara eksplisit membawa nilai-nilai masyarakat
(societal values), norma-norma perilaku, dan perspektif-perspektif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
178
tradisional untuk menafsirkan lingkungan. Para imigran Jepang tersebut akan
semakin tahu mengenai lingkungan tempat mereka tinggal dari pemberitaan-
pemberitaan melalui koran, televisi, radio maupun media online. Mereka
akan semakin paham bagaimana caranya bersikap dan beradaptasi di
lingkungan baru dengan bekal pengetahuan tersebut.
Komunikasi antarbudaya tersebut tidak lepas dari faktor-faktor yang
mendukungnya sehingga komunikasi antarbudaya yang efektif dapat tercapai. Faktor-
faktor tersebut antara lain:
1. Aspek-aspek yang mempengaruhi komunikasi antar budaya yang terdiri dari
persepsi, proses verbal, proses non-verbal dan konteks komunikasi.
2. Sikap seorang imigran ketika berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya
yang meliputi respect, empathy, audible, clarity, humble, adaptability,
acceptance, cultural awareness,dan knowledge discovery.
3. Intensitas komunikasi. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa komunikasi
yang dilakukan oleh warga Jepang termasuk sering, sehingga komunikasi
antarbudaya yang efektif terjalin.
4. Kompetensi komunikasi antarbudaya yang dimiliki oleh tiap imigran Jepang.
Di mana kompetensi tersebut mengandung lima komponen yaitu motivasi
untuk berkomunikasi, pengetahuan yang cukup mengenai budaya,
kemampuan komunikasi yang sesuai, sensitivitas, dan karakter.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
179
Selain dipengaruhi oleh komunikasi antarbudaya yang terjalin, derajad
akulturasi seorang imigran juga dipengaruhi oleh potensi akulturasi yang dimiliki
oleh tiap individu seperti berikut:
1. Kemiripan antara budaya asli (imigran) dan budaya pribumi. Di mana
budaya Jepang dan Jawa memiliki kemiripan. Keduanya sama-sama
berlatar belakang kerajaan, menjunjung tinggi tata krama, adanya tingkatan
bahasa yang mirip, serta kehidupan sosial yang mirip.
2. Usia pada saat imigrasi. Rata-rata imigran Jepang berusia muda ketika
datang ke Surakarta sesuai tujuan masing-masing. Ketika pertama kali
datang, mereka rata-rata berusia 21-35 tahun.
3. Latar belakang pendidikan. Hampir semua imigran Jepang yang tinggal di
Surakarta telah menamatkan jenjang S1 mereka di Jepang ketika mulai
tinggal di Surakarta.
4. Beberapa karakteristik kepribadian seperti suka bersahabat dan toleransi.
Semua imigran Jepang yang tinggal di Surakarta merupakan pribadi yang
suka tantangan, suka berteman, suka mencoba hal-hal yang baru, serta
mampu menerima keadan sekitar yang berbeda.
5. Pengetahuan tentang budaya pribumi sebelum berimigrasi. Hampir semua
imigran yang tinggal di Surakarta telah memiliki pengetahuan tentang
daerah tujuan ketika akan tinggal dalam wamtu lama. Pengetahuan itu
mereka dapat rata-rata dari orang yang mereka kenal yang pernah pergi ke
Indonesia khususnya Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
180
B. SARAN
Berdasarkan hasil peneltian, ada beberapa yang saran yang ingin diberikan
oleh peneliti yaitu:
1. Akulturasi adalah hal yang tidak terlepas dari komunikasi antarbudaya dan
potensi akulturasi tiap individu. Sebaiknya warga Jepang terus
mempertahankan bahkan meningkatkan efektifitas komunikasi serta
potensi akulturasi yang telah dimiliki. Dari kedua hal tersebut, proses
adaptasi maupun akulturasi akan semakin mudah sehingga labih nyaman
dalam hidup berdampingan dengan masyarakat pribumi.
2. Penerimaan warga pribumi terhadap imigran Jepang di Surakarta sangat
baik. Warga pribumi diharapkan mempertahankan toleransi dan
penerimaan perbedaan dari pendatang tersebut tanpa memaksakan
kebudayaan asli kepada mereka sehingga kebudayaan ketiga akan
terbentuk dan keharmonisan akan tercapai. Selain itu lebih baik jika ada
keinginan untuk memahami perbedaan yang dimiliki oleh imigran Jepang
sehingga akan membantu dalam bersikap ketika berinteraksi dengan
mereka.
3. Penelitian ini hanya mengupas peran Komunikasi Antarbudaya dalam
akulturasi warga Jepang di Surakarta secara garis besar saja karena
beberapa kendala seperti sulitnya mendapatkan akses untuk melakukan
interview dan observasi terhadap keseluruhan warga Jepang di Surakarta.
Bagi penelitian berikutnya, sebaiknya melakukan pendekatan sejak awal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
181
dan menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Sehingga kepercayaan
yang didapat sangat besar sehingga mempermudah akses kepada warga
Jepang. Selain itu, penelitian selanjutnya bisa memperluas area penelitian
sehingga menambah referensi tentang topik ini.