Post on 26-Oct-2021
KOMPARASI KONSEP KOSMOLOGI DALAM PERSPEKTIF
BUDDHA DENGAN KOSMOLOGI SAINS MODERN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama
(S.Ag)
Oleh
JAMILUDIN
NIM : 1112032100023
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2016
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Jamiludin
NIM : 1112032100023
Fakultas : Ushuluddin
Jurusan/Prodi : Studi Agama-agama
Alamat Rumah : Kp. Masjid, Rt/Rw 11/04 Ds. Citumenggung, Pandeglang
Telp/HP : 085288683853
Judul Skripsi : Komparasi Konsep Kosmologi dalam Perspektif Buddha
dengan Kosmologi Sains Modern
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Univeritas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Univeritas Islam
Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Univeristas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 07 Nopember 2016
JAMILUDIN
iii
LEMBAR PERSETUJUAN
KOMPARASI KONSEP KOSMOLOGI DALAM PERSPEKTIF
BUDDHA DENGAN KOSMOLOGI SAINS MODERN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama
(S.Ag)
Oleh:
JAMILUDIN
NIM. 1112032100023
Di bawah bimbingan
Dra. Siti Nadroh, M.A
NIP. 197207141 99070 3 2006
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438/2016 M
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul KOMPARASI KONSEP KOSMOLOGI DALAM
PERSPEKTIF BUDDHA DENGAN KOSMOLOGI SAINS MODERN telah
diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 7 Nopember 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Jurusan Studi Agama-agama.
Jakarta, 7 Nopember 2016
Sidang Munaqosah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Media Zainul Bahri, MA. Dra. Halimah Mahmudy, M.Ag.
NIP: 19751019 200321 1 003 NIP: 19590413 199603 2 001
Anggota
Penguji I Penguji II
Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer Drs. Dadi Darmadi, MA.
NIP: 19510304 198203 1 003 NIP: 19690707 199503 1 001
Pembimbing
Siti Nadroh, M.Ag
NIP: 197207141 99070 3 2006
v
ABSTRAK
JAMILUDIN
Komparasi Konsep Kosmologi Dalam Perspektif Buddha dengan Kosmologi
Sains Modern
Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini adalah penelitian tentang
komparasi konsep kosmologi Buddha dengan kosmologi sains modern. Dalam hal
ini penulis berusaha mencoba mengkomparasikan antara dua pandangan baik
menurut Agama Buddha maupun sains modern dalam melihat proses penciptaan
alam semesta. Secara umum berbicara tentang alam semesta merupakan sebuah
fenomena yang menarik untuk terus dilakukan pengkajian, karena mulai dari
manusia itu lahir sudah memasuki jagad raya sebagai bagian dari penciptaan alam
semesta. Tentu dalam hal agama-agama di sepanjang sejarahnya baik agama
samawi maupun ardhi juga di mulai dari penghayatan kepada alam semesta.
Penelitian ini penting untuk dilakukan karena berisi fakta-fakta yang belum
banyak diketahui terlebih dalam hal persamaan dan perbedaan tentang konsep
kosmologi Buddha dengan kosmologi sains modern dewasa ini.
Penelitian ini bercorak penelitian kepustakaan (liblary research), dengan
menggunakan metode deskriptif analisis, pengumpulan data dan informasi dari
berbagai sumber referensi yang sesuai dengan tema dan permasalahan yang di
angkat. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penulis mengambil buku karangan
Krhisnanda Wijaya Mukti Wacana Buddha Dharma sebagai sumber utama
(primer). Untuk kesempurnaan informasi, penulis juga mengumpulkan buku-buku
yang lainnya yang masih ada kaitannya dengan buku utama.
Dalam metode analisis dan mengolah data yang ada, penulis berusaha
seimbang dalam memberikan argumen filosofi dan ilmiah tanpa berpihak kepada
salah satu pola pemikiran, baik itu paham yang mengatakan alam ini diciptakan
atau paham alam ini ada dengan sendirinya. Dengan adanya bukti-bukti yang telah
teruji dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka dengan sendirinya
kebenaran akan diketahui.
Konsep kosmologi Buddha dengan sains modern bahwasannya Para pakar
ilmu pengetahuan sekarang meyakini, bahwa alam semesta adalah suatu sistim
yang berdenyut , yang setelah mengembang secara maksimal, lalu menciut dengan
segala energi yang ditekan pada suatu bentukan masa; sedemikian besar sehingga
menyebabkan ledakan, yang disebut sebagai "Big bang", yang berakibat pelepasan
energi. Pengembangan dan penciutan alam semesta berlangsung dalam kurun
waktu milyaran tahun. Sekali lagi, Sang Buddha telah memaklumi pengembangan
dan penciutan alam semesta. Beliau bersabda:“ Lebih awal atau lebih lambat,
ada suatu waktu, sesudah masa waktu yang sangat panjang sekali alam semesta
menciut,Tetapi lebih awal atau lebih lambat, sesudah masa yang lama sekali,
alam semesta mulai mengembang lagi.”
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang selalu memberikan kenikmatan baik
jasmani maupun rohani yang tak terhingga kepada kita. Terima kasih kepada
Allah SWT atas ridho-Nya serta kasih sayang-Nya selalu tercurah hingga penulis
dapat menyelesikan skripsi yang berjudul “KOMPARASI KONSEP
KOSMOLOGI DALAM PERSPEKTIF BUDDHA DENGAN KOSMOLOGI
SAINS MODERN” ini dengan baik. Shalawat serta salam, selalu tercurahkan
kepada junjungan Baginda Kanjeng Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya,
sahabatnya, serta pengikutnya yang tercerahkan di jalan Allah.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak
bantuan, petunjuk, bimbingan, dan motivasi dari berabagai pihak. Penulis
mengakui bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terlaksana tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak, maka sebagai tanda syukur dan pengharagaan yang
tulus, penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak dan ibu kedua orang tua tercinta, yang telah mendidik,
memeberikan dukungan baik secara moril maupun materil serta do’a
demia lancarnya studi dan penulisan skripsi ini. Semoga Allah selalu
merahmati kedua orang tuaku yang senatiasa memberi motivasi penulis.
2. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada,
MA. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak
Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., Ketua Jurusan Studi Agama-Agama Dr.
Media Zainul Bahri, MA. Sekretaris Jurusan, Ibu Dra. Halimah SM,
M.Ag.
vii
3. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta atas wawasan serta pengetahuan dan pencerahan
yang diberikan kepada penulis.
4. Ibu Siti Nadroh, MA, selaku “Ibu” Penulis selama menjadi mahasiswa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selaku dosen pembimbing dalam
penulisan skripsi ini yang telah banyak meluangkan waktunya dan tenaga
berbesar hati dan sabar memberikan arahan serta bimbingan kepada
penulis, untuk menghasilkan karya yang terbaik.
5. Ibu Zuwesty Eka Putri, SE, M.Ak yang selalu setia membantu penulis baik
dalam suka maupun duka, atas jasa beliaulah penulis bisa menyelesaikan
karya skripsi ini.
6. Segenap guru-guru sekaligus “Orang tua” penulis, Bapak Dr. KH. Thobib
Al Asyhar, M.Si, Bapak Dr. Malki Ahmad Nasir, MA, Bapak Dr. Faris
Pari, M.Fil, Bapak Mohammad Anwar Syarifuddin, S.Ag.,MA, Bapak
Arovach Bachtiar, Bpk. Dwi Songgo, ST, MM adalah orang-orang yang
senatiasa memberikan motivasi, ilmu, masukan, kritik sarannya yang tak
kenal waktu penulis sering “ganggu”, terima kasih atas semuanya yang
telah bapak-bapak berikan.
7. Para staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin,
terima kasih atas pinjaman buku-bukunya.
8. Keluarga besar penulis kakak, adik, paman, bibi, nenek dan semuanya,
terima kasih atas doa, motivasi dan segalanya yang telah di berikan buat
Aa.
viii
9. Keluarga besar Jurusan Perbandingan Agama angkatan 2012, serta teman-
teman dari berbagai jurusan lain. Khususnya Jurusan Akidah Filsafat dan
Jurusan Tafsir Hadis, penulis tidak bisa sebutkan satu persatu namanya.
Namun, tidak mengurangi rasa kebersamaan serta canda tawa, dan
pengalaman bersama kalian.
10. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat,
kepada kanda dan yunda, terima kasih atas pengalaman serta sarannya.
Dan tidak lupa kepada keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Komisariat Fakultas Ushuluddin (KOMFUF). Terima kasih atas
pencerahannya.
11. Keluarga besar Kuliah Kerja Nyata (KKN) Satria Janari 2015 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Zaky, Zae, Reza, Wendy, Rizal, Jazi, Imas, Rika,
Dini, Devi, Alice, Dianty, Rara, Jauza, dan Kiki yang sempat sama-sama
mengukir abdi karya nan nyata.
12. Keluarga besar Praja Muda Karana (PRAMUKA) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak memberikan ilmu dan
pengalaman yang luar biasa, penulis ucapkan terima kasih banyak.
13. Keluarga besar Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Ciputat yang terus
mengajariku untuk terus mengabadikan diri lewat tulisan-tulisan hingga
berbuah karya.
14. Keluargaku di Lentera Sastra (LENSA) Bang Oliq, Eza, dan Nila yang
terus s’lalu menyemangatiku bukan sekedar di dunia sastra namun pada
semua aspek kehidupan.
ix
15. Keluarga besar Remaja Islam Masjid (RISMA) Al Hidayah, yang telah
banyak memberikan doa, suportnya agar terus semangat pantang
menyerah.
x
MOTO HIDUP
"SABAR ADALAH CAHAYA”
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
MOTO HIDUP .................................................................................................... x
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................................. 16
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 16
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 17
E. Konsep Teoritis ................................................................................... 22
F. Metodologi Penelitian ......................................................................... 25
G. Sistematika Penulisan.......................................................................... 29
BAB II KOSMOLOGI DALAM BUDDHA ..................................................... 31
A. Asal Mula Alam Semesta .................................................................... 31
B. Proses Penciptaan Alam Semesta........................................................ 36
C. Siklus dan Luas Alam Semesta .......................................................... 38
D. Hukum Paticca Samupada................................................................... 46
BAB III KOSMOLOGI DALAM SAINS MODERN ...................................... 53
A. Asal Mula Alam Semesta .................................................................... 53
B. Proses Penciptaan Alam Semesta........................................................ 63
C. Siklus dan Luas Alam Semesta ........................................................... 65
xii
BAB IV KOMPARASI KONSEP KOSMOLOGI BUDDHA DENGAN
KOSMOLOGI SAINS MODERN ....................................................... 68
A. Asal Mula Alam Semesta .................................................................... 68
B. Proses Penciptaan Alam ...................................................................... 74
C. Siklus dan Luas Alam Semesta ........................................................... 78
D. Pandangan Islam Tentang Kosmologi ................................................ 82
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 86
A. Kesimpulan ......................................................................................... 86
B. Saran .................................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 91
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia memang selalu memiliki rasa ingin tahu dengan keadaan
lingkungan alam sekitarnya. Sejak masa yang tak terhitung manusia berusaha
mencari-cari jawaban atas pertanyaan mendasar: darimana asal tempat kita
berada? Darimanakah asal bumi? Setelah mengetahui bumi mengelilingi matahari,
mereka bertanya darimanakah asal tata surya? Setelah tahu bahwa tata surya
adalah bagian dari galaksi, mereka bertanya darimanakah asal alam semesta? Rasa
penasaran manusia diungkapkan dengan berusaha membuat model awal dari alam
semesta, nampaknya sulit untuk menerima alam semesta yang kita amati apa
adanya. Umumnya pengamatan manusia didahului konsep bahwa segala sesuatu
harus memiliki awal, sehingga pengamatan terhadap alam semesta selalu
dihubungkan dengan awal untuk memuaskan rasa penasaran. Hal inilah yang
terjadi bagi mereka yang baru mengenal kosmologi, selalu pertanyaan klasiknya
adalah: darimanakah alam semesta berawal? Manusia akan cenderung tidak puas
bila dikatakan bahwa alam tak diketahui awalnya. Padahal jika kita berusaha
menerima sesuatu hal yang tidak diketahui, tentu kita dapat menilai lebih jernih.1
Bahwasannya bidang ilmu kosmologi ini pada awalnya merupakan kajian
agama yang berupaya mencari jawaban atas asal-usul alam semesta, manusia dan
tuhan, yang melahirkan apa yang disebut dengan filsafat alam semesta yang lebih
bersifat metafisika2 sebelum akhirnya berkembang menjadi kosmologi modern
1Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, (tp, tt), h.
123-124. 2Metafisika adalah salah satu cabang Filsafat yang mempelajari dan memahami penyebab
segala sesuatu sehingga hal tertentu menjadi ada. Sebenarnya disiplin filsafat metafisika telah di
2
yang menggabungkan observasi dan pendekatan matematis untuk menjelaskan
alam semesta secara menyeluruh.3
Filsafat alam dalam banyak manifestasinya dilaksanakan, sebagaimana
telah kita lihat jauh-jauh hari sebelum Aristoteles memberikan kontribusinya yang
penting. Kita melihatnya dalam peradaban Mesir dan di kalangan filsuf Pra
Sokrates. Tetapi, sejauh yang diketahui, tidak ada seorang pun di tempat dan
waktu itu berusaha mendefinisikan segala sesuatu yang mencerminkan apa yang
kita anggap sebagai filsafat alam. Mereka hanya sekedar menulis tentang berbagai
macam topik dan topik ini jatuh ke tangan para sejarawan modern yang
memutuskan apakah yang mereka tulis dikategorikan sebagai filsafat alam.
Karena ilmu pengobatan tidak dikeluarkan dalam Mesir kuno atau di Yunani pada
abad keenam dan kelima Sebelum Masehi, tampaknya tepat memasukannya ke
dalam domain filsafat alam, dan barangkali bahkan ilmu magic juga, meskipun
ilmu magic lebih menjadi bagian dari filsafat alam di Mesir kuno ketimbang di
Yunani pada zamannya Pra Sokrates.4
Bagaimana Aritoteles mendefinisikan dan memahami filsafat alam? Kita
telah melihat bahwa dengan mendefinisikannya dan menyebut satu persatu
mulai semenjak jaman Yunani Kuno. Mulai dari filosof-filosof alam sampai Aristoteles (284-322
SM). Aaristoteles sendiri tidak pernah memakai istilah metafisika. Aristoteles menyebut sesuatu
yang mengkaji hal-hal yang sifatnya diluar fisika sebagai filsafat pertama (prote philosophia)
untuk membedakannya dengan filsafat kedua yaitu disiplin yang mengkaji hal-hal yang bersifat
fisika. Metafisika berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physica yang artinya “yang datang setelah
fisika” metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan memerlukan daya
abstraksi sangat tinggi, ber-metafisika membutuhkan energy intelektual yang sangat besar
sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya. Artikel diakses pada tanggal 14 Juni
2016 dari https://parapsikolog.wordpress.com/arti-metafisika/ 3Berbicara problematika kosmologi sesungguhnya telah di bahas sejak jaman Yunani kuno
yang di pelopori oleh Thales. Thales merupakan filsuf alam pertama yang membicarakan asal
mula (arche, inti sari) alam. Thales beranggapan bahwa asal mula alam adalah air yang diikuti
oleh Anaximander dan Anaximenes. Semua semua filsuf itu merupakan filsuf yang berasal dari
mazhab filsuf alam Ionia. Lihat Lois Kattsoff, Pengantar Filsafat, ter. Soejono Soemargono
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995), h. 263 4 Edward Grant, A History of Natural Philosopy (Yogyakarta: Penerbit Mitra Sejati ,
2011), h. 52.
3
cakupan subjek di mana diterapkan (dalam Meteorology), ia membatasi skupnya.
Ini terlihat nyata dari pembagiannya terhadap ilmu pengetahuan teoritis ke dalam
metafisika, matematika dan filsafat alam, atau fisika. Jelas, ia memikirkan
metafisika dan matematika sebagai hal yang nyata dari filsafat alam. Materi
subjeknya adalah dengan entitas yang tidak mengalami perubahan, sementara
esensi filsafat alam adalah memperlakukan secara menyeluruh benda-benda yang
mengalami perubahan dan pergerakan. Tetapi, apakah Aristoteles benar-benar
memaksudkan semua benda pada perubahan dan pergearakan? Jika demikian,
filsafat alam secara virtual akan mencakup setiap disiplin yang memperlakukan
beberapa aspek dunia fisik, setiap bagian dari sub-divisi darinya berlangsung
perubahan dan pergerakan.5
Oleh karena itu, ilmu pengobatan berkaitan dengan perubahan dalam
tubuh manusia, sepertinya tepat untuk berkesimpulan bahwa Aristoteles
memasukan ilmu pengobatan sebagai bagian dari filsafat alam. Tetapi ini
tampaknya tidak mungkin. Di bagian pembukaan Meteorologi-nya (dikutip
beberapa paragraf sebelumnya), Aristoteles bermaksud menyebutkan atau
menyinggung semua subjek yang membentuk bagian dari program risetnya. Kita
bisa menduga hal ini dari perkataanya bahwa saat studi tentang binatang dan
planet diselesikan, “kita mungkin mengatakan keseluruhan dari pemahaman
orisinil kita akan dilaksanakan.” Tak ada sebutan ilmu pengobatan dalam
“pemahaman original” yang disebutkan, meski ia sering kali mempergunakan
contoh-contoh ilmu pengobatan dan merupakan anak dari seorang dokter.6
5 Edward Grant, A History of Natural Philosopy, h. 52.
6 Edward Grant, A History of Natural Philosopy, h. 53
4
Sebagai tambahan bagi pengecualian ilmu pengobatan dari filsafat Alam,
Aristoteles juga mengecualikan ilmu pengetahuan yang bersifat matematis atau
eksak, seperti optic, harmoni dan astronomi. Beberapa baris sebelumnya
Aristoteles menjelaskan bahwa saat seorang ahli matematika memperlakukan
benda-benda celestial, ia tidak “memperlakukannya sebagai batas dari sebuah
alami; ia juga tidak mempertimbangkan atribut yang ada [yaitu, bentuk benda
celestial] sebagaimana atribut benda-benda tersebut. Itulah sebabnya ia
memisahkan mereka; karena dalam pemikiran mereka terpisah dari pergerakan,
dan ini tidak ada pengaruhnya, pun juga setiap hasil kelirunya jika mereka
terpisah.” Sebagaimana yang telah terlihat, Aristoteles menganggap optik,
astronomi dan harmoni sebagai “cabang yang lebih alam dari matematika,” dan
oleh karenanya tampak lebih matematis ketimbang filsafat alam. Ilmu
pengetahuan ini merupakan “konversi dari geometri. Jika Geometri mempelajari
garis-garis alam, tetapi bukan qua natural, bukannya qua matematis.” Bagi
Aristoteles, ilmu pengetahuan matematis yang bersifat eksak berada diantara
filsafat alam dan matematika murni, barangkali lebih dekat pada matematika
murni ketimbang pada filsafat alam. Tetapi, ilmu pengetahuan eksak secara
keseluruhan tidak masuk baik dalam filsafat alam maupun matematika meski
relevan terhadap keduanya. Karena keduanya dipandang berada di antara dua
disiplin ilmu, ilmu pengetahuan eksak muncul untuk dikenal sebagai ilmu
pengetahuan tengah (scientae mediae) selama Abad Pertengahan.7
Dalam sejarah perjalanan umat manusia, telah muncul berbagai pandangan
mengenai dunia ini, ada yang melihatnya secara positif, ada pula yang negatif, ada
7 Edward Grant, A History of Natural Philosopy, 53-54
5
yang mengakui keberadaannya, ada pula yang menolaknya. Buddhisme misalnya,
memandang dunia dan pengalaman manusia di dalamnya sebagai ilusi atau
khayalan saja, satu-satunya yang nyata adalah realitas ilahi.8 Kehidupan manusia
berlangsung dalam suatu ruang yang sering di sebut dengan dunia atau alam
semesta. Dalam dunia inilah manusia menjalani eksistensinya dengan segala
pengalaman yang diperolehnya. Akan tetapi, manusia tidak hanya sekedar hidup
seperti makhluk hidup lainya. Ia memiliki inteligensi yang cukup untuk mengenali
dirinya sebagai manusia serta lingkungan di sekitarnya. Intelegensi ini
memungkinkan manusia merealisasikan keinginanya untuk mengetahui segala
sesuatu (drive to understand). Dalam perkembangan selanjutnya, manusia juga
ingin mengetahui makna keberadaanya di dunia. Keingintahuan ini pada akhirnya
menghasilkan pengetahuan, baik mengenai dirinya sendiri maupun mengenai
dunia yang dia hidup di dalamnya.9
Pandangan kosmologis manusia-manusia religius tidaklah sembarangan
atau dangkal. Mereka memperlihatkan orientasi kehidupan, pengandaian-
pengandaian dan cara-cara untuk menafsirkan eksistensi suatu pandangan dunia
yang membentuk pengertian manusia tentang dirinya dan tempatnya dalam
kosmos. Ada banyak pandangan religius terhadap dunia dalam tradisi-tradisi
keagamaan umat manusia.10
8Siti Anisah, Konsep Kosmologi Dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya
Dalam Kehidupan Pemeluknya (Skripsi S1 Ilmu Ushuluddin, Fakultas Ushuluddin, IAIN
Walisongo Semarang , 2008), h. 1. 9Siti Anisah, Konsep Kosmologi Dalam Agama Islam dan Buddha, h. 1.
10Siti Anisah, Konsep Kosmologi Dalam Agama Islam dan Buddha, h. 2.
6
Dalam konsepsinya tentang penciptaan alam semesta11
ini faham
Buddhisme mengenal konsep Paticca Samupadda, yang menjadi pijakan dalam
memandang hukum alam semesta ini. Perkataan Paticca Samupadda artinya
muncul bersamaan. Jadi, perkataan Paticca Samupadda artinya kurang lebih yaitu
muncul bersamaan karena syarat berantai, atau terjemahan yang sering terlihat
dalam buku-buku, yaitu pokok permulaan sebab akibat yang saling
bergantungan.12
Prinsip dari ajaran hukum Paticca Samupadda diberikan dalam empat
rumus atau formula pendek yang berbunyi sebagi berikut; pertama, imasming sati
idang hoti (dengan adanya ini maka terjadilah itu), kedua, imassuppada idang
uppajjati (dengan timbulnya ini, maka timbullah itu), ketiga,imasming asati idang
na hoti (dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu) dan keempat,imassa
nirodha idang nirujjati (dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu).13
Arus sebab akibat. Dengan cara ini kita dapat menyelidiki segala
sesuatunya di dunia ini hingga yang terkecil sekalipun ke atas dan ke bawah oleh
karena alam semesta ini dikuasai oleh hukum Paticca Samupadda atau hukum
11
Dr. K.N. Jayatilleke dari Universitas Ceylon mengemukakan pendapatnya sebagai
berikut : "Konsepsi tentang Kosmos (= Alam Semesta) menurut Buddhisme, pada masa-masa awal
dari perkembangannya, itu secara essensial, sama dengan konsepsi modern tentang alam semesta.
Didalam teks berbahasa Pali, yang sampai di tangan kita, secara aksaranya diceriterakan, terdapat
ratusan ribu matahari-matahari, bulan-bulan, bumi-bumi, dan dunia-dunia yang lebih tinggi, yang
membentuk sistem dunia tingkatan minor (= kecil); terdapat seratus ribu kali jumlah sistem dunia
tingkatan minor, yang membentuk sistem dunia tingkatan medium (= tengah-tengah); dan terdapat
seratus ribu kali sistem dunia tingkatan medium yang membentuk sistem dunia tingkatan mayor (=
besar). Didalam terminologi modern, itu tampaknya, apabila satu sistem dunia minor (= culanika
loke dhatu), adalah sama dengan sebuah galaxy, yang melalui telescope yang paling baik, dapat
kita lihat terdapat kira-kira ratusan juta dunia (matahari, bulan-bulan, dan sebagainya) didalamnya,
maka dapat kita renungkan bahwa konsepsi Buddhis tentang sistem dunia-dunia, itu mempunyai
kesamaan yang besar dengan keterangan dari ilmu pengetahuan modern. Lihat Buddhadasa P.
Kirthisinghe, Alam Semesta dan Kosmologi, (tp, tt), h. 1 12
Hamdan Taufiqurrohman, Respon Agama Buddha Terhadap Krisis Lingkungan: Studi
atas Pemikiran Sri Dhammananda, h. 19. 13
Hamdan Taufiqurrohman, Respon Agama Buddha Terhadap Krisis Lingkungan: Studi
atas Pemikiran Sri Dhammananda, h. 19.
7
“bergantungan pada ini, dan timbullah itu”. Tidak ada perhentian atau sela-sela
sedikitpun dalam proses ini. Rangkaian kejadian itu berlangsung terus menerus,
yang satu menimbulkan yang lain. Bagaikan sebuah gelombang menyebabkan
timbulnya gelombang berikutnya, demikian pula arus sebab-akibat ini mengalir
terus yang tiada henti-hentinya. Inti dari hukum Paticca Samupadda ini bahwa
tidak ada sesuatu yang timbul tanpa menimbulkan akibat selanjutnya.14
Kosmologi, ilmu tentang sejarah, struktur, dan cara kerja alam semesta
secara keseluruhan, telah berkembang selama ribuan tahun dalam beberapa
bentuk: bersifat mitologi dan religius, mistis dan filosofis, bersifat astronomis.
Orang-orang Babilon dan Mesir kuno yang membangun sistem mereka dari
campuran mitos kuno, percaya bahwa kosmos merupakan sebuah kotak, dengan
bumi terletak di dasarnya. Gunung-gunung di penjuru bumi menopang langit yang
ada di atasnya. Sungai Nil, yang mengalir di tengah-tengah bumi, merupakan
cabang dari sungai yang lebih besar yang mengalir di sekitar bumi. Di sungai ini
berlayarlah perahu dewa matahari, yang melakukan perjalanan hariannya. Konsep
Mesopotamia menganggap alam semesta berbentuk kubah yang berisi cakram
datar bumi yang dikelilingi oleh air. Air juga membentuk langit di atas kubah; di
situlah tinggal para dewa, matahari dan benda-benda angkasa lainnya. Mereka
muncul setiap hari dan mengatur semua yang terjadi di atas bumi. Lintasan
mereka yang tertaur di langit dipercaya dalam menentukan nasib manusia.15
Selama masa keemasan Yunani konsep kosmis menjadi bersifat
matematis, dengan menggunakan bentuk-bentuk geomatris untuk menujukan
14
Hamdan Taufiqurrohman, Respon Agama Buddha Terhadap Krisis Lingkungan:
Studiatas Pemikiran Sri Dhammananda, h. 20 15
Howard R. Turner, Science in Medieval Islam, An Illustrated Introduction, terj.,
Zulfahmi Andri, Sains Islam Yang Mengagumkan: Sebuah Catatan abad Pertengahan (Bandung:
Nuansa, 2004), cet. I, h. 47
8
empat unsur; api, air, udara, tanah, serta saripati benda-benda langit, dengan suatu
sfera yang melingkupi seluruh alam semesta. Dengan mempertimbangkan
berbagai fenomena mitos dan fisikal yang disebutkan oleh pendahulunya sebagai
kelahiran perkembangan, dan pengaturan kosmos. Aritoteles menggolongkan
segala yang dapat ia terima ke dalam sistem masuk akal namun kaku tentang
mekanika kosmis. Ia menganggap kosmos sebagai suatu sistem cangkang
konsentris yang bersisi benda-benda langit, sfera-sfera ini merupakan benda-
benda fisik nyata, yang terusun secara konsentris dan berotasi, satu di dalam yang
lainya, maisng-masing sfera meneruskan gerakannya ke sfera berkitunya di
bawahnya. Gerakan ketujuh planet diteruskan melalui sfera paling atas oleh
penggerak yang tak bergerak, yang berakitan dengan sfera seperti layaknya jiwa
bagi tubuh. Secara kesleuruhan, kosmologi Yunani klasik diilhami dengan
keyakinan pada hukum-hukum dasar tentang keteraturan dan harmoni.16
Sementara itu orang-orang Cina telah berhasil mengembangkan versi
sendiri tentang kosmos. Pengikut Tao pada tahun keenam hingga keempat
sebelum masehi mendefinisikan dan menggambarkan dua prinsip, yin dan yang,
kekuatan wanita dan pria aktif dan pasif, yang dihasilkan oleh materi dan energi
dan bertanggung jawab dalam menjaga alam semesta melalui interaksi. Salah satu
konsep Cina tentang struktur kosmis menyertakan kubah hemisfera (langit) yang
di bawahnya terdapat bidang yang cembung (bumi). Belakangan muncul teori
tentang sfera langit, alam semesta sferoid; kemudian masih disusul oleh teori
ruang kosong dan teori ruang tak terbatas, tanpa bentuk atau materi, yang di
dalamnya angin menggerakan benda-benda langit. Kosmologi Cina yang awal
16
Siti Nurjanah, Kosmologi dan Sains dalam Islam, h. 9.
9
seperti kosmologi kuni di Barat, menguraikan fenomena yang terlihat menyerupai
ide astrofisika yang ada di masa kita, misalnya benda primordial yang bergerak
membentuk spiral di angkasa dan angin kosmis yang „bertiup‟ menggelombang
dari matahari.17
Kristen awal, yang menyerupai nenek moyang Timur Dekat sebelum
mereka, menggambarkan bumi yang datar yang berbeda di antara bawah tanah
dan benda-benda angkasa. Sementara itu, ide tentang cangkang sferis konsentris
yang berisi tujuh planet yang bergerak mendapatkan popolaritasnya; ciri Platonis
dan Aristoteliannya dijernihkan oleh astronom Helensitik Ptolemeus. Kebanyakan
dari konsep kosmologi Kristen dan Nepolatonik yang awal menambahkan
makhluk malaikat yang bertanggung jawab terhadap pergerakan planet-planet
dalam cangkang ini. Dinamo ilahi tersebut tetap menjadi ikon kosmik selama
berabad-abad. Namun demikian, pada saat peradaban Islam mulai mapan, kaum
muslimin mulai mengembangkan skema kosmologi yang cukup kompleks dan
canggih untuk masuk sebagai fakta empiris kejadian-kejadian angkasa yang
sesungguhnya dapat diamati, seperti detail variasi dalam jalur planet-planet.18
Di masa Kristen Abad Pertengahan, hampir seluruh aktivitas intelektual
diarahkan untuk memahami ciptaan, bentuk, dan pengaturan kosmos yang ditarik
terutama dari keyakinan religius atau tahayul. Konsep-konsep yang didasarkan
pada penalaran semata mempunyai risiko di tuding sebagai bid‟ah oleh gereja.
Namun demikian, dalam mengamati alam kosmos, filosof ilmuan Muslim awal
mengambil sebagian besar dari tubuh pengetahuan yang mereka peroleh dari
17
Siti Nurjanah, Kosmologi dan Sains dalam Islam, 8-9. 18
Siti Nurjanah, Kosmologi dan Sains dalam Islam, 9.
10
Yunani Klasik, warisan intelektual yang sedikit diketahui oleh Eropa Barat kala
itu.19
Begitupula dalam melihat konsep kosmologi yang mana setiap
pemahaman atau ajaran dalam suatu agama yang ada di dunia, memiliki
perbedaan dalam hal cara atau proses penafsiran terlebih dalam hal proses
terjadinya penciptaan alam semesta. Berbicara keselarasan antara konsep
kosmologi dengan sains modern bahwasanya para ahli kosmologi menganut suatu
teori yang menyatakan bahwa pembentukan alam semesta diawali oleh suatu
peritstiwa ledakan dahsyat yang lebih dikenal dengan sebutan teori Big Bang.
Dalam teori Big Bang dinyatakan bahwa pada awalnya alam semesta berada
dalam kondisi yang sangat panas dan padat. Kemudian, selama kurang lebih
miliaran tahun yang lalu terjadilah proses pengembangan dan penyusutan alam
semesta secara terus menerus sampai saat ini. Teori Big Bang ini pada awalnya
hanya diyakini oleh beberapa ahli kosmologi saja karena belum memiliki suatu
evidensi yang jelas.20
Namun seiring berjalannya waktu, Teori Big Bang ini makin diyakini oleh
para ilmuan sebagai suatu teori yang paling merepresentasikan proses awal
terbentuknya alam semesta karena adanya suatu penemuan yang dapat
memperkuat teori ini, yaitu mengenai penemuan radiasi latar gelombang mikro-
kosmis pada tahun 1964, yang dianggap oleh ahli kosmologi sebagai “produk dari
fenomena ledakan dahsyat”. Selain itu, ada pula hasil pengamatan Edwin Hubble
(Astronom AS) pada tahun 1929 yang menyatakan bahwa galaksi-galaksi
bergerak saling menjauh dengan kecepatan yang tinggi sehingga jarak antar
19
Siti Nurjanah, Kosmologi dan Sains dalam Islam, 9. 20
Frenandy, Buddhisme dan Sains (Bandung : Penerbit PVVD, 2012), h. 95
11
galaksi-galaksi bertambah setiap saat. Penemuan ini menujukan alam semesta
tidaklah statis, melainkan mengembang.21
ini menyatakan bahwa alam semesta
merupakan serangkaian pengembangan, penciutan, pengaturan, dan
penghancuran berupa ledakan besar (Big Bang) yang berlangsung secara terus
menerus tanpa akhir. Dengan kata lain, ini adalah suatu rangkaian fenomena yang
tidak berujung pangkal yang kemudian di sebut teori “pulsating” dari alam
semesta. Sang Buddha telah mengajarkan hal yang sama 2500 tahun yang lalu.
Beliau ungkapkan dalam Bhayaberava Sutta (Sutta ke 4 dari Majjhima Nikaya):
“Ketika pikiranku yang terkonsentrasi dengan demikian termurnikan,
tidak tercela, mengatasi semua kekotoran, dapat diarahkan, mudah diarahkan,
serta tenang, Aku memusatkanya pada kelahiran-kelahiran yang lampau, satu,
dua, ….. ratusan, ribuan, banyak kalpa dari penyusutan dunia, banyak kalpa
pengembangan dan penyusutan dunia.”22
Dari sini bisa dilihat bahwa proses penyusutan dan pengerutan tersebut
berlangsung sangat lama. Yang di maksud dengan “kalpa” adalah satuan waktu
India kuno yang berlangsung selama miliaran tahun. Ada beberapa versi
perhitungan kalpa, tetapi yang lazim dipakai adalah bahwa satu kalpa memakan
waktu sekitar 139.600.000 ( seratus tiga puluh sembilan juta enam ratus ribu)
tahun. Sains juga telah mengungkapkan akan banyaknya galaksi dan dunia lain.
Secara mengaggumkan, Buddha juga telah mengajarkan hal yang sama seperti
tertuang dalam Anada Sutta (Angutara Nikaya III, 8, 80):
“Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika-loka-
dharu (tata surya kecil) ? … Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada
garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh
itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu
matahari, seribu bulan, seribu Sumeru, seribu Jambudvipa, seribu Aparayojana,
seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana … Inilah, Ananda, yang dinamakan
seribu tata surya kecil (sahassi-culanika-lokadhatu).”
21
Frenandy, Buddhisme dan Sains, h. 96 22
Ivan Tanuputera, Sains Modern dan Buddhisme, h. 9-10
12
Lebih lanjut, Buddha mengatakan dalam sutta yang sama:
“Ananda, seribu kali sahassi-culanika-lokadhatu dinamakan Dvisahassi-
majjhimanika-lokadhatu. Ananda, seribu kali Dvisahassi-majjhimanika-lokadhatu
dinamakan Tisahassi-Mahasashassi-Lokadhatu. Ananda, bilamana Sang
Tathagatamau, maka Ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di
Tisahassi-mahasahassi-lokadhtu, ataupun melebihi itu lagi.”23
Sesuai dengan kutipan di atas, maka di dalam sebuah Dvisahassi-
Majjhimanika-lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya.
Sedangkan dalam Tisahassi-Mahasahassi-lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 =
1.000.000.000 tata surya. Alam semsesta bukan hanya terbatas pada satu miliard
tata surya saja, melainkan lebih dari itu. Ajaran ini benar-benar sesuai dengan
kosmologi modern begitupun dengan sains modern.24
Pada masa abad ke-17, ahli matematika Perancis bernama Rene Des
Cartes25
membatasi lingkup penelitian sains pada hal-hal yang bersifat materi (res
23
Ivan Tanuputera, Sains Modern dan Buddhisme, h. 11 24
Ivan Tanuputera, Sains Modern dan Buddhisme, h. 11 25 Lahir di La Haye, Perancis, 31 Maret 1596, meninggal di Stockhol, Swedia, 11
Februari 1650 pada umur 53 tahun, juga dikenal sebagai Renatus Cartesius dalam literature
berbahasa Latin, merupakan seorang filsuf dan matematikawan Perancis. Karyanya yang
terpenting ialah Discours de la methode (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641).
Rene Descartes sering disebut sebagai bapak filsafat modern. Rene Descartes lahir di La Haye
Touraine-Perancis dari sebuah keluarga borjuis. Ayah Descartes adalah ketua Parlemen Inggris
dan memiliki tanah yang cukup luas (borjuis). Ketika ayah Descartes meninggal dan menerima
warisan ayahnya, ia menjual tanah warisan itu, dan menginvestasikan uangnya dengan pendapatan
enam atau tujuh ribu franc per tahun. Dia bersekolah di Universitas Jesuit di La Fleche dari tahun
1604-1612, yang tampaknya telah memberikan dasar-dasar matematika modern walapun
sebenarnya pendidikan di bidang hukum. Pada tahun 1612, dia pergi ke Paris, namun kehidupan
sosial di sana dia anggap membosankan, dan kemudian dia mengasingkan diri ke daerah terpencil
di Perancis untuk menekuni Geometri, nama daerah terpencil itu Faubourg. Teman-temannya
menemukan dia di tempat perasingan yang ia tinggali, maka untuk lebih menyembunyikan diri, ia
memutuskan untuk mendaftarkan diri menjadi tentara Belanda (1617). Ketika Belanda dalam
keadaan damai, dia tampak menikmati meditasinya tanpa gangguan selama dua tahun. Tetapi,
meletusnya Perang Tiga Puluh Tahun mendorongnya untuk mendaftarkan diri sebagai tentara
Bavaria (1619). Di Bavaria inilah selama musim dingin 1619-1620, dia mendapatkan pengalaman
yang dituangkannya ke dalam buku Discours de la Methode (Russel, 2007:733). Descartes, kadang
di panggil “Penemu Filsafat Modern”, adalah salah satu pemikir paling penting dan berpengaruh
dalam sejarah filsafat barat modern. Dia menginspirasi generasi filsuf kontemporer dan setelahnya,
membawa mereka untuk membentuk apa yang sekarang di kenal sebagai rasinalisme continental,
sebuah posisi filosofikal pada Eropa abad ke-17 dan 18. Pemikirannya membuat revolusi falsafi di
Eropa karena pendekatan pemikirannya bahwa semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan
bahwa seseorang bisa berfikir. Ini juga membuktikan keterbatasan manusia dalam berfikir dan
mengakui sesuatu yang di luar kemampuan pemikiran manusia. Karena itu, ia membedakan
13
estensa), oleh karena itu hal-hal yang berhubungan dengan pikiran (res cogitans)
berada di luar batas persepsi organ indera. Di tahun 1905 Albert Einstein
mendobrak rintangan tiga dimensi dalam sains dan membawa lingkup sains ke
luar dari paradigma tiga dimensi dan batas Des Cartes. Ini mengoptimalkan
kemampuan manusia untuk mewujudkan pandangan yang lebih realistik terhadap
alam fenomena dan fenomena alam melalui metode ilmiah. Sains modern di abad
ke-20 berkembang setelah rintangan dimensional dilampaui oleh para ilmuan
seperti Albert Einstein, Erwin Schordinger, Louis de Broglie, Paul Dirac, Werner
Heisenbert, Richard Feynman, Murray Gellman, Sir Arthur Eddington, dan
Stephen Hawakins. Sebagaimana kita ketahui, perkembangan sains modern
didasarkan atas teori relativitas, mekanika kuantum dan prinsip ketidakpastian.
Kemudian prinsip-prinsip sain tersebut menghancurkan paradigma klasik yang
membagi alam menjadi materi dan non-materi.26
Pada tahun 1989, Arya Walopa Rahula27
juga mengingatkan bahwa
kehidupan sehari-hari dikelilingi oleh sains. Ia mengatakan: “Kita hampir menjadi
“fikiran” dan “fisik”. Pada akhirnya, kita mengakui keberadaan kita karena adanya alam fikir.
Dalam bahasa latin kalimat ini adalah cogito ergo sum sedangkan dalam bahasa Perancis adalah:
Je penese donc je suis. Keduanya artinya adalah: “Aku berfikir maka aku ada”. (Ing: I think,
therefore I am) Atau, I Think, therefore I exist. Meski paling dikenal karena karya-karya
filosofinya, dia juga telah terkenal sebagai pencipta system koordinat Kartesius, yang
memengaruhi perkembangan kalkulus modern. Ia juga pernah menulis buku sekitar tahun 1629
yang berjudul Rules for the Direction of the Mind yang memberikan garis-garis besar metodenya.
Tetapi, buku ini tidak komplet dan tampaknya ia tidak berniat menerbitkannya. Diterbitkan untuk
pertama kalinya lebih dari lima puluh tahun sesudah Desecartes tiada. Dari tahun 1630 sampai
1634, Desecartes menggunakan metodenya dalam penelitian ilmiah. Untuk mempelajari lebih
mendalam tentang anatomi dan fisiologi, dia melakukan penjajakan secara terpisah-pisah. Dia
bergumul dalam bidang-bidang yang berdiri sendiri seperti ptik, meteorology, matematika, dan
berbagai cabang ilmu lainya. Sedikitnya ada lima ide Desecartes yang punya pengaruh penting
terhadap jalan pikiran Eropa: (a) pandangan mekanisnya mengenai alam semesta; (b) sikapnya
yang positif terhadap penjajakan ilmiah; (c) tekanan yang, diletakannya pada penggunaan
matematika dalam ilmu pengetahuan; (d) pembelaannya terhadap dasar awal sikap skeptic; dan (e)
penitikpusatan perhatian terhadap epistemologi. Artikel di akses pada tanggal 06 Oktober 2016
dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Rene _Desecartes 26
Ivan Tanuputera, Sains Modern dan Buddhisme, h. 95 27
Ia lahir pada tahun 1907 di Walapola, sebuah desa kecil di bagian selatan Sri Lanka.
Pada tiga belas, ia memamsuki Sangha. Convered Sinhala pendidikannya, Pali, Sansekerta,
14
budak dari sains dan teknologi; dan tak lama lagi kita akan mulai memujanya.”
Beliau lebih lanjut berkomentar: “Pertanda awal adalah bahwa banyak orang akan
cenderung mencari dukungan dari sains untuk membuktikan kebenaran
agamanya.” Begitu pula dalam hal konsep penciptaan alam semesta, Kendati
banyak sekali persamaan antara sains dan agamanya.”28
Umat Buddha percaya bahwa dunia di ciptakan pada suatu waktu, tetapi
dunia telah terbentuk jutaan kali setiap detik dan alam terus demikian dengan
sendirinya dan akan berakhir dengan sendirinya. Menurut ajaran Buddha sistem
dunia selalu muncul, berubah, hancur, dan hilang di alam semesta dalam siklus
yang berpenghujung. Saat ini para ilmuan, sejarawan, astronom, biologis, botanis,
antropologis, dan pemikir besar telah menyumbangkan pandangan baru yang luas
tentang asal dunia. Penemuan dan pengetahuan terakhir ini sama sekali tidak
bertentangan dengan ajaran Buddha. Keyakinan Buddha menjadi ajaran yang
relevan dengan perkembangan sains dan teknologi.29
Gambaran alam semesta seperti yang diungkapkan oleh pengetahuan
modern sekarang ini sudah dikemukakan oleh Buddha, tanpa bantuan teleskop.
Buddhisme, sejarah dan filsafat. Ia belajar di Vidyalankara Pirivena dan di University of Ceylon,
di mana ia berhubungan dengan E. F. C. W. Adikaram dan tokoh-tokoh lainya. Setelah masa
tugasnya di Sorbonne, ia menjadi Wakil Rektor Vidyodaya University. Dia mencatat tidak hanya
untuk pengetahua, tetapi juga karena pandangan yang kuat sosialis, serta keyakinannya bahwa para
bhikkhu memiliki kewajiban untuk berperan dalam membimbing kesadaranpolitik rakyat.
Bukunya Bhikshuvakage Urumaya (Heritage dari Bhikkhu) adalah suara yang kuat dalam gerakan
Buddha Nasionalis yang menyebabkan 1.956 kemenangan pemilu of Solomon Bandaranaike. Dia
telah meninggalkan Vidyadoya University di tahun 1969, karena perbedaan politik dengan
pememrintah hari. Setelah itu, ia kemabli ke Barat dan bekerja di banyak intstitusi akademik di
Eropa. Dia kembali ke Sri Lanka selama hari-hari terkahrinya, dan tinggal di kuil dekat Parlemen
Baru di Kotte, sampai kematiannya. adalah seorang Sri Lanka biksu, sarjana dan penulis. Pada
tahun 1964, ia menjadi Profesor Sejarah dan Agama di Northwestern University, sehingga menjadi
bhikkhu pertama yang memegang kursi professor di dunia Barat. Dia juga pernah menjabat
sebagai Wakil Rektor di kemudian Vidyodaya University (saat ini dikenal sebagai Universitas Sri
Jayewardenepura). Dia telah banyak menulis tentang Buddhisme dalam bahasa Inggris, Perancis
dan Sinhala. Dia menulis buku Apa Buddha Diajarkan tentang Buddhisme Theravada. 28
Ivan Tanuputera, Sains Modern dan Buddhisme, h. 97 29
Ivan Tanuputera, Sains Modern dan Buddhisme, h. 97
15
Dalam Abhibhu-sutta, Buddha menjelaskan, “Sejauh bulan dan matahari bergerak
dalam garis edarnya dan sejauh pancaran sinarnya mencapai segala arah, sejauh
itulah luas sistem seribu tata-surya alam semesta. Di dalamnya terdapat seribu
bulan, seribu matahari, seribu poros Simeru – gunung dari segala gunung, seribu
bumi Jambudipa, seribu Aparogoyana di barat, seribu Uttara-kuru di utara, seribu
Pubbavideha di timur, empat ribu samudera raya, empat ribu Maharaja, seribu
surga Catummaharajika, seribu surga Tavatimsaseribu surga Yama, seribu surga
Tusita, seribu surga Nimmanarati, seribu surga Paranimmita-vasavati, dan seribu
tata-surya alam semesta kecil. Sebuah sistem kelipatan seribu dari ukuran tersebut
dinamakan sejuta tata-surya alam semesta madya. Sebuah sistem kelipatan seribu
ukuran ini dinamakan semiliar tata-surya dalam semesta raya”.30
Kalau kita mempertimbangkan kondisi masyarakat pada ribuan tahun lalu
yang masih terbelenggu oleh dongeng dan mitos, maka ajaran Buddha akan
semakin mengagumkan karena pandangan Buddha sudah sangat jauh ke depan.31
Setelah melihat gambaran kerangka kosmologi dalam Buddhisme dan sains
modern, penulis tertarik untuk melakukan analisis lebih jauh, sekaligus
mengkomparasi antara kosmologi Buddha dan sains modern, apakah diantara
keduanya terdapat persamaan dan perbedaanya. Di sini penulis akhirnya
mengambil judul pembahasan skripsi ini yaitu “KOMPARASI KONSEP
KOSMOLOGI DALAM PERSPEKTIF BUDDHA DENGAN KOSMOLOGI
SAINS MODERN”.
30
Krishnanda Wijaya-Mukti, Wacana Buddha Dharma, h. 264-265 31
Krishnanda Wijaya-Mukti, Wacana Buddha Dharma, h. 264-265
16
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk melakukan proses penelitian, agar penelitian yang dilakukan tidak
keluar dari jalur pembahasan maka peneliti membatasinya dalam hal sebagai
berikut:
1. Bagaimana pandangan Buddha dan Sains Modern mengenai konsep
Kosmologi atau proses penciptaan alam semesta dan seluruh isinya.
2. Bagaimana komparasi antara Konsep Kosmologi Dalam Pandangan Buddha
dengan Kosmologi Sains Modern dewasa ini.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasan ini adalah:
1. Mengetahui Proses terjadinya kosmologi atau proses penciptaan alam semesta
menurut prespektif Buddha dengan kosmologi sains modern dewasa ini.
2. Mengetahui komparasi antara Konsep Kosmologi Dalam Pandangan Buddha
dengan kosmologi sains modern dewasa ini.
Manfaat dari penelitian ini dapat dikemukakan menjadi tiga sisi:
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dalam
kosmologi agama-agama dan sains modern dewasa ini, sekurang-kurangnya
dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia akademis.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis
Menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam studi agama-agama yang
khususnya berkaitan dengan konsep kosmologi atau penciptaan alam semesta
menurut perspektif agama Buddha.
17
b. Bagi Lembaga Pendidikan
Sebagai masukan yang membangun guna meningkatakan kualitas sumber
keilmuan yang ada, termasuk untuk para pelajar dan pendidik yang ada
didalamnya.
3. Manfaat Akademis
Dengan manfaat akademis ini, yaitu sebagai prasyarat untuk meraih gelar
sarjana.
D. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil pengamatan dan studi di Perpustakaan telah ditemukan
beberapa penelitian sebelumnya. Adapun review studi terdahulu yang penulis
kaji adalah:
1. Respon Agama Buddha Terhadap Krisis Lingkungan. Karya ini ditulis oleh
Hamdan Taufiqurrohman Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007. Skripsi tersebut lebih menjelaskan respon
Sri Dhammananda dalam mengatasi krisis lingkungan telah menjadi refleksi
kritisnya dalam mengupayakan kestabilan kehidupan alam semesta. Mencari
solusi dari penyebab permasalahan krisis lingkungan telah ditawarkan oleh Sri
Dhammananda dalam bab-bab pembahasan skripsinya. Dengan masih
mengedepankan unsur moralitas dan doktrin agama Buddha yang sangat dekat
dengan alam semesta. Pun dengan kembali kepada ajaran Sang Buddha dan
mengamalkannya adalah menjadi solusi-solusi yang di tawarkan Sri
Dhammananda dengan juga masih berupaya menjaga jarak dengan perkembangan
dunia yang semakin maju sehingga krisis lingkungan dapat di antisipasi dengan
baik, ketika arah pemikiran manusia berubah dan mengedepankan kebutuhan bagi
18
sesamanya bukan hanya kebutuhan dirinya sendiri. Melihat dari judul karya di
atas penulis mengambil beberapa data yang memang berkaitan dengan tema yang
penulis bahas yaitu komparasi konsep kosmologi Buddha dengan kosmologi sains
modern, dimana keduanya sama-sama membahas tentang alam semesta, meski
yang menjadi pembahasan karya Hamdan lebih terfokus pada Respon agama
Buddha terhadap krisis lingkungan, namun dalam hal ini tentu ketika berbicara
lingkungan, hal tersebut juga nyatanya tidak terlepas dari pembahasan alam
semesta, maka dari itu penulis mengambil beberapa data dari karya Hamdan
karena memang pembahasannya terdapat kesamaan sehingga penulis bisa
mendapatkan sumber data tambahan. Yang membedakan karya Hamdan dengan
karya penulis tentunya adalah karya Hamdan pembahasannya lebih kepada
lingkungan menurut pendapat atau pandangan Sri Dhammananda, sedangkan
karya penulis lebih terfokus kepada bagaimana proses penciptaan alam semesta
itu terjadi baik menurut Buddha maupun sains modern.
2. Konsep Kosmologi Dalam Agama Islam Dan Buddha Serta Implikasinya
Dalam Kehidupan Pemeluknya. Karya ini ditulis oleh Siti Anisah Fakultas
Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang 2008. Skripsi tersebut lebih menjelaskan
dalam agama Islam asal mula alam semesta dahulunya adalah suatu yang padu,
langit dan bumi adalah subyek dari kata saifat fatq keduanya lalu terpisah (fataqa)
satu sama lain. Dengan kata lain segala sesuatu termasuk langit dan bumi pada
saat itu belumlah diciptakan juga terkandung dalam titik tunggal ini meledak
sangat dahsyat, sehingga menyebabkan materi-materi yang terkandung terpisah
(fataqa) dan dalam rangkian peristiwa tersebut, bangunan dan tatanan keseluruhan
alam terebntuk. Jika menurut pandangan Buddha bahwasannya seluruh alam ini
19
adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak
kekal. Oleh karena itu disebut sankhata dharma yang berarti ada, yang tidak
mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap dan berubah. Alam semesta adalah
suatu proses kenyataan yang selalu dalam keadaan menjadi. Hakikat kenyataan itu
adalah arus perubahan dari suatu keadaan lain yang berurutan. Melihat judul karya
di atas yaitu Konsep kosmologi dalam agama Islam dan Buddha serta
implikasinya dalam kehidupan pemeluknya, telah jelas bahwa saudari Siti disana
memaparkan dari apa yang namanya konsep penciptaan alam semesta menurut
agama Islam dan Buddha yang mana diantara keduanya menurut Siti ada beberapa
kesamaan dan perbedaan dalam melihat proses penciptaan alam semesta itu
sendiri. Begitu pula dalam hal ini penulis juga sangat tertarik untuk bisa
mengambil beberapa data dari apa yang yang telah saudari Siti jelaskan dan
paparkan dalam skripsinya. Yang membedakan karya Siti dengan penulis tentunya
adalah karya Siti lebih terfokus pada proses penciptaan alam semesta menurut
Islam dan Buddha dan sejauh mana implikasi dari proses alam semesta tersebut di
lihat dari masing-masing penganutnya yaitu antara agama Islam dan Buddha itu
sendiri. Sedangkan karya penulis lebih terfokus kepada bagaimana proses
penciptaan alam semesta itu terjadi baik menurut Buddha maupun sains modern,
meski ada beberapa kesamaan terlebih dalam hal pemaparan kosmologi Buddha-
nya, namun dalam hal ini karya penulis membahas secara lebih mendalam.
3. Bencana Alam Dalam Pandangan Bikku Agama Buddha (Studi Kasus di Vihara
Dhammacakka Jaya Jakarta). Karya ini di tulis oleh Kiki Agustini Jurusan
Perbandingan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010. Skripsi tersebut
lebih menjelaskan bagaimana pandangan Bikku Buddha di Vihara Dhammacakka
20
Jaya Jakarta tentang proses terjadinya bencana alam, bahwasannya Bencana
menurut Buddhis adalah akbiat dari proses alam yang tidak kekal (Gempa) dan
dari Gempa tersebut menimbulkan gelombang Tsunami yang besar dan menelan
korba Ratusan ribu jiwa makhluk. Sedangkan menurut hukum fisika mengatur
kerja alam yaitu siklus hujan, namun karena manusia banyak menebang pohon
sembarang, membuang sampah sembarang sehingga berakibat banjir. Contoh
lainya adalah musim yang kacau yang di sebabkan oleh pemanasan global yang
juga diakibatkan oleh manusia. Ciri alam adalah selalu seimbang, sehingga ketika
alam tidak seimbang, sehigga ketika alam tidak seimbang lagi (rusak) disebabkan
manusia, maka terjadilah fenomena alam yang tidak biasa sehigga mungkin
menjadi bencana bagi manusia. Dalam melihat judul karya di atas yaitu bencana
alam dalam pandangan bikkhu agama Buddha, telah jelas juga bahwa disana
saudari Kiki menjelaskan bagaimana bencana alam menurut pandangan bikkhu
agama Buddha yang banyak menjelaksan bencana alam itu sendiri banyak di
sebabkan oleh kelalaian tangan manusia itu sendiri, sehingga terjadilah bencana
alam seperti banjir, tanah longsor dan lain sebagainya. Tentu jika melihat karya
tersebut, memang masih ada keterikatan dengan alam semesta itu sendiri, dan
dalam hal ini penulis kembali mengambil beberapa sumber data dari skripsi karya
saudari Kiki. Yang membedakan karya Kiki dengan karya penulis tentunya karya
Kiki lebih terfokus pada pembahasan tentang bencana alam menurut pandangan
bikkhu agama Buddha sedangkan karya penulis lebih membahas kepada proses
penciptaan alam semesta menurut Buddha dan sains modern.
4. Filsafat Matematika : Landasan Ilmu Matematika dalam Alam Semesta. Karya
ini di tulis oleh Diah Purwanti Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN
21
Syarif Hidayatullah Jakarta 2010. Skripsi tersebut lebih menjelaskan bagaimana
Alam Semesta dilihat dari landasan Ilmu Matematika, bahwasannya alam
diciptakan Allah dari tiada menjadi ada. Langit dan bumi merupakan satu padu
kemudian Allah memisahkan antara keduanya (teori big bang ). Kronologi Allah
menciptakan alam semesta dalam enam masa; dua masa menciptakan langit, dua
masa untuk menciptakan bumi, dua masa untuk memberkahi bumi, dan dijadikan
segala sesuatu yang hidup. Allah mewujudkan sesuatu dari tiada (creates ex
nihillo) akan tetapi wujudnya itu secara terus menerus atau kekal. Melihat judul di
atas yaitu Filsafat Matematika: Landasan ilmu matematika dan alam semesta,
telah jelas bahwa saudari Diah memberikan pemaparan tentang bagaimana alam
semesta di lihat dari landasan ilmu matematika, tentu dalam hal ini karya Diah
masih ada keterkaitan dengan karya penulis tentang proses penciptaan alam
semesta, dengan demikian kembali penulis mengambil beberapa sumber data dari
karya Diah itu sendiri. Yang membedakan karya Diah dengan karya penulis
tentunya Karya diah lebih membahas kepada bagaimana proses penciptaan alam
semesta di lihat dari landasan ilmu matematika, sedangkan karya penulis lebih
kepada bagaimana proses penciptaan alam semesta menurut Buddha dan sains
modern.
Dengan melihat karya-karya sebelumnya, di sini penulis mendapatkan
beberapa tambahan sumber data, sehingga meski terdapat beberapa kesamaan dari
apa-apa yang di bahas oleh penulis lain sebelumnya, tentunya masih ada beberapa
hal yang belum di bahas secara mendalam, sehingga bagi penulis hal ini perlu
untuk di lanjutkan dalam penelitiannya, hingga yang membedakan skripsi ini
dengan karya-karya diatas bahwasannya skripsi ini lebih menjelaskan tentang
22
pandangan agama Buddha terhadap konsep kosmologi atau proses penciptaan
alam semesta beserta komparasinya dengan kosmologi sains modern dewasa ini,
sehingga bagi penulis tema ini sangat layak untuk dijadikan skripsi.
E. Konsep Teoritis
Dalam menganalisis masalah-masalah yang terdapat dalam skripsi ini,
maka diperlukan adanya gambaran yang obyektif terhadap masalah pokok
tersebut. Untuk itu, dibutuhkan adanya suatu konsep yang bersifat teoritis
mengenai hal-hal yang berakitan dengan Komparasi Konsep Kosmologi Buddha
dengan Kosmologi Sains Modern.
1. Komparasi
Komparasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbandingan.32
Penelitian komparasi adalah penelitian yang dilakukan untuk
membandingkan suatu variabel (objek penelitian), antara subjek yang
berbeda atau waktu yang berbeda dan menemukan hubungan sebab
akibatnya.33
dalam pembahasannya tentang komparasi konsep kosmologi
buddha dengan sains modern, penulis berusaha untuk mencari persamaan
dan perbedaan dinatara keduanya, apakah memang ada persamaan dari
masing-masing prosesnya atau memang berbeda, dalam hal ini penulis
berusaha untuk memberikan paparan lebih jelas terkait mengenai konsep
kosmologi buddha dengan sains modern itu sendiri.
2. Konsep
Konsep adalah abstrak, entitas mental yang universal yang menunjuk pada
kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau hubungan. Istilah
32
Artikel di akses pada tanggal 04 Maret 2016 dari http://kbbi.web.id/komparasi 33
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2010), h. 56
23
konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang
dipahami. Aristoteles dalam The classical theory of concept menyatakan
bahwa konsep merupakan penyusun utama dalam pembentukan
pengetahuan ilmiah dan filsafat pemikiran manusia. Konsep merupakan
abstraksi suatu ide atau gambaran mental, yang dinyatakan dalam suatu
kata atu simbol. Konsep dinyatakan juga sebagai bagian dari pengetahuan
yang dibangun dari berbagai macam kharakteristik.34
3. Kosmologi
Kosmologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu cabang
astronomi yang menyelidiki asal usul, struktur, dan hubungan ruang dan
waktu dari alam semesta; ilmu tentang asal usul kejadian bumi,
hubungannya dengan sistem matahari, serta hubungan sistem matahari
dengan jagat raya; ilmu (cabang dari metafisika) yang menyelidiki alam
semesta sebagai sistem yang beraturan.35
4. Buddha
Buddha dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah agama yang di
ajarkan oleh Shidarta Gautama.36
Buddha berarti seorang yang telah
mencapai Penerangan atau Pencerahan Sempurna dan Sadar akan
Kebenaran Kosmos serta Alam Semesta. “Hyang Buddha” adalah seorang
yang telah yang telah mencapai Penerangan Luhur, cakap dan bijak
menunaikan karya-karya kebijakan dan memperoleh Kebijaksanaan
34
Artikel di akses pada tanggal 14 April 2016 dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Konsep 35
Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/kosmologi 36
Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/Buddha.
24
Kebenaran mengenai Nirvana serta mengumumkan doktrin sejati tentang
kebebasan atau keselamatan kepada dunia semesta sebelum parinirvana.37
5. Teori
Teori menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah pendapat yang didasarkan
pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi;
penyelidikan eksperimental yang mampu menhasilkan fakta berdasarkan
ilmu pasti, logika, metodologi, argumentasi.38
Teori juga merupakan
serangkaian bagian variabel, defenisi, dan dalil yang saling berhubungan
yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena
dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud
menjelaskan fenomena alamiah.39
6. Sains
Sains menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu pengetahuan
pada umumnya; pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik,
teramsuk di dalamnya, botani, fisika, kimia, geologi, zoologi, dan
sebagainya; ilmu pengetahuan alam; pengetahuan sistematis yang
diperoleh dari sesuatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah
pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki,
dipelajari, dan sebagainya.40
37
Budiman Sudharma, Buku Pedoman Umat Buddha (Jakarta : FKUB DKI Jakarta dan
Yayasan Avalokitesvara, 2007), h. 38. 38
Artikel di akses pada tanggal 04 Maret 2016 dari http://kbbi.web.id/teori 39
Artikel di akses pada tanggal 14 April 2916 dari http://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori 40 Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 dari http://kbbi.web.id/sains
25
7. Modern
Modern menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah masa atau zaman
yang ditandai dengan kemajuan peradaban manusia (penemuan baru
bidang teknologi dan sebagainya);41
F. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian digunakan dalam setiap kegiatan atau penulisan
skripsi. Hal ini bertujuan untuk menemukan data yang valid, dan analisa yang
logis rasional. Adapun metodologi yang digunakan dalam penelitian ini antara
lain:
a. Jenis Penelitian
Penelitian Kepustakaan (Library Research)42
adalah segala usaha yang
dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik
atau masalah yang akan atau sedang di teliti. Informasi itu dapat diperoleh dari
buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan
disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia,
dan sumber-sumber tertulis baik cetak maupun elektronik.43
Dengan metode ini
penulis menghimpun, membaca, meneliti dan mengkaji beberapa literature yang
41
Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 dari http://kbbi.web.id/modern 42
Penelitian pustka atau bisa dikatakan studi pustaka atau dengan kata lain literature,
telah banyak disamakan dengan istilah: kajian teori, studi literatur. Bagian ini banyak
menguraikan landasan-landasan berpikir yang mendukung penyelesaian masalah dari penelitian
yang bersangkutan. Kajian pustaka ini (liblary research), merupakan salah satu kegiatan penelitian
yang mencakup tentang; memilih teori-teori hasil penelitian, mengidentifikasi hasil literatur,
menganalisis dokumen dan menerapkan hasil analisis sebagai landasan teori. Lihat. M. Subana dan
Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 77 43 Artikel di akses pada tanggal 23 Agustus 2016 dari http://perkuliahan.com.apa-
pengertian-studi-kepustakaan/
26
ada kaitanya dengan masalah yang akan di bahas dan hubungan dengan skripsi
ini.44
b. Metode Penelitian
Metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif analisis, deskriptif
adalah pemaparan suatu (seperti istilah) dengan kata-kata secara jelas dan
terperinci.45
Sedangkan analisis adalah penyelidikan terhadap suatu persitiwa
untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musabab atau duduk
perkaranya).46
Pengertian analisis juga berarti memecahkan atau menguraikan
suatu keadaan atau masalah keadaaan beberapa bagian atau dibandingkan dengan
yang lain. Jadi deskriptif analisis adalah pemaparan yang jelas dari fakta yang ada.
Dari defenisi di atas, metode deskriptif analisis berarti sebuah cara atau teknik
penelitian dengan menggambarkan suatu pengetahuan dengan tulisan ataupun
ucapan dan kemudian membaginya ke dalam beberapa bagian untuk lebih
lanjutnya diadakan penyelidikan kritis dari pengujian untuk medapatkan hasil
yang benar.
44 Studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu
penelitian. Teori-teori yang mendasari masalah dan bidang yang akan diteliti dapat ditemukan
dengan melakukan studi kepustakaan. Selain itu seorang peneliti dapat memperoleh informasi
tentang penelitian-penelitian sejenis atau yang ada kaitannya dengan penelitiaanya. Dan penelitian-
penelitan yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan melakukan studi kepustakaan, peneliti dapat
memanfaatkan semua informasi dari pemikiran-pemikiran yang relevan dengan penelitiannya.
Untuk melakukan studi kepustakaan, perpustakaan merupakan suatu tempat yang tepat guna
memperoleh bahan-bahan dan informasi yang relevan untuk dikumpulkan, dibaca dan dikaji,
dicatat, dan dimanfaatkan (Roth 1986). Seorang peneliti hendaknya mengenal atau tidak merasa
asing dilingkungan perpustakaan sebab dengan mengenal situasi perpustakaan, peneliti akan
dengan mudah menemukan apa yang diperlukan. Untuk mendapatkan informasi yang diperlukan
peneliti mengetahui sumber-sumber informasi tersebut, misalnya kartu catalog, refernsi umum dan
khusus, buku-buku pedoman, buku petunjuk, laporan-laporan penelitian, tesis, disertasi, jurnal,
ensiklopedia, dan bahan-bahan khusus lain. Dengan demikian peneliti akan memperoleh informasi
dan sumber yang tepat dalam watu yang singkat. Artikel di akses pada tanggal 23 Agustus 2016
dari http://perkuliahan.com.apa-pengertian-studi-kepustakaan/ 45
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 288. 46
Ananda Santoso, dan A.R. Al-Hanif, Kamus Umum Bahasa Indoensia (Surabaya:
Aluimni, t.t) h. 22.
27
c. Sumber Data
Sumber data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi
mengenai data. Berdasarkan sumbernya, data dibedakan menjadi dua, yaitu data
primer dan data skunder.
1. Data primer yaitu data yang dibuat oleh peneliti untuk maksud khusus
menyelesikan permasalahan yang sedang ditanganinya. Data
dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau
tempat objek penelitian. Dalam hal ini peneliti menetukan data primer
merujuk pada buku yang menjadi sumber utama dalam menetukan judul
penelitian yaitu buku Wacana Buddha Dharma karya Krishnanda
Wijaya Mukti.
2. Data skunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain
menyelesikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan
dengan cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data skunder
adalah literatur, artikel, jurnal, serta situs di interent yang berkenaan
dengan penelitian yang dilakukan.47
Dalam hal ini peneliti menetukan
ada beberapa data skunder yang digunakan diantaranya yaitu Buku
Bencana Alam Dalam Pandangan Bhikku Agama Buddha. Karya Kiki
Agustini, Buku Agama Di Dunia Karya Mukti. A Ali, Skripsi Konsep
Kosmologi Dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya Dalam
Kehidupan Pemeluknya Karya Siti Anisah, Buku Juru Bicara Tuhan
Antara Sains dan Agama Karya Ian G. Barbour, Buku Buku Pedoman
Umat Buddha Karya Budiman Sudharma, Buku Kosmologi Studi
47
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
2009), h. 137.
28
Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta Karya Fabian H. Chandra, Buku
Buddhisme dan Sains Karya Frenandy, Buku Metodologi Penelitian
Kualitatif Karya Haris Herdiansyah, Buku Kamus Umum Bahasa
Indonesia Karya W.J.S, Poerwadarminta, Buku Kamus Umum Bahasa
Indoensia Karya Ananda Santoso dan A.R Al-HaniF, Buku Metode
Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D Karya Sugiyono, Skripsi
Respon Agama Buddha Terhadap Krisis Lingkungan: Studi atas
Pemikiran Sri Dhammananda Karya HamdanTaufiqurrohman, Buku
Sains Modern dan Buddhisme Karya Ivan Taniputera.
d. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian kepustakaan ini dikumpulkan dengan cara studi
dokumentasi, yaitu dengan cara melihat atau menganalisis dokumen atau media
tertulis untuk mendapatkan gambaran terkait tema yang diangkat secara jelas dan
rinci.48
e. Analisa Data
Langkah-langkah yang penulis tempuh untuk sampai kepada analisis data,
sebagai berikut: Pertama, penulis menghimpun butir-butir data yang relevan
dengan masalah-masalah yang tercakup dalam kajian skripsi ini dari sumber
primer dan skunder. Kedua, mengklasifikasikan data ke dalam sejumlah
pembahasan. Ketiga, langkah berikutnya adalah mendeskripsikan dan
menganalisis data secara kritis dalam pembahasan masing-masing agar masalah
yang dibicarakan jelas. Dengan demikian digunakan pula metode komparasi, yaitu
membandingkan kedua pandangan atau konsep dalam hal menyikapi kosmologi
48
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Salemba Humanika,
2012), h. 143.
29
atau proses penciptaan alam semesta. Dari perbandingan tersebut diharapkan
dapat ditemukan perbedaan dan persamaan yang pada akhirnya akan di ketahui
implikasinya dalam memahami konsep kosmologi Buddha itu sendiri serta
relevansinya dengan teori sains modern dewasa ini.
f. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan
oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan, maka penulis membagi proposal ini
menjadi lima bab dan setiap babnya dibagi lagi atas sub bab. Adapun sistematika
penulisan ini diuraikan sebagai berikut :
BAB I Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan
pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II Menjelaskan tentang konsep Kosmologi dalam Buddha yang terdiri dari:
Asal Mula Alam Semesta, Proses Penciptaan Alam, Siklus dan Luas Alam
Semesta, Alam-alam Kehidupan, Hukum Paticca Samupada.
BAB III Menjelaskan tentang konsep Kosmologi dalam Sains Modern yang
terdiri dari: Asal Mula Alam Semesta, Proses Penciptaan Alam, Siklus dan Luas
Alam Semesta.
BAB IV Merupakan inti dari pembahasan proposal skripsi ini tentang Relevansi
konsep Kosmologi Buddha dengan Kosmologi Sains Modern yang terdiri dari:
30
Asal Mula Alam Semesta, Proses Penciptaan Alam, Siklus dan Luas Alam
Semesta, dan Pandangan Islam Tentang Kosmologi.
BAB V Penutup. Sebagai bab terakhir dalam penelitian ini, maka bab ini berisi
tentang kesimpulan dari penelitian. Adapun isi dalam bab ini merupakan jawaban
dari rumusan masalah yang telah di sajikan pada awal hingga akhir penelitian.
31
BAB II
KONSEP KOSMOLOGI DALAM BUDDHA
A. Asal Mula Alam Semesta
Awalnya, Sang Buddha tidak membahas berbagai spekulasi tentang
kosmologi (ilmu alam semesta) dan kosmogonik (ilmu asal-usul alam semesta)
yang di kedepankan oleh para cendekia. Beliau tidak ingin menuruti spekulasi-
spekulasi yang tidak jelas maksud dan logikanya, di sisi lain Beliau telah pernah
berjuang sangat keras bergelut dengan pertanyaan yang lebih penting mengenai
penderitaan hidup (dukkha) dan jalan untuk terbebas dari penderitaan.
Bagaimanapun, di kemudian hari, literatur Buddhisme memberikan gambaran dan
penjelasan yang terperinci mengenai kosmos, dikarenakan hal ini memainkan
peranan dalam perjuangan mencapai kebebasan. Sang Buddha berpendapat,
bahwa alam semesta, yang disebut Beliau sebagai Samsara, adalah tanpa awal,
Beliau bersabda:
“Tak dapat ditentukan awal dari alam semesta. Titik terjauh dari
kehidupan, berpindah dari kelahiran, terikat oleh ketidaktahuan dan
keinginan, tidaklah dapat diketahui.”
(Samyutta Nikaya II : 178).1
Para pakar ilmu pengetahuan sekarang meyakini, bahwa alam semesta
adalah suatu sistem yang berdenyut, yang setelah mengembang secara maksimal,
lalu menciut dengan segala energi yang ditekan pada suatu bentukan masa;
sedemikian besar sehingga menyebabkan ledakan, yang disebut sebagi “Big
Bang”, yang berakibat pelepasan energi. Pengembangan dan penciutan alam
semesta berlangsung dalam kurun waktu miliaran tahun. Sekali lagi, sang Buddha
telah memaklumi pengembangan dan penciutan alam semesta. Beliau bersabda:
1 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 11.
32
“Lebih awal atau lebih lambat, ada suatu waktu, sesudah masa waktu
yang sangat panjang sekali alam semesta menciut, tetapi lebih awal atau lebih
lambat, sesudah masa yang lama sekali, alam semesta mulai mengembang lagi”
(Digha Nikaya III : 84)2
Penemuan teleskop konvensional dan teleskop radio belakangan
kemudian, telah memungkinkan para ahli astronomi untuk mengetahui tidak saja
asal dan sifat alam dari alam semesta, tapi juga susunannya. Diketahui sekarang,
bahwa alam semesta terdiri dari sekian miliar bintang, planet, asteroid dan komet.
Semua benda langit tersebut berkelompok dalam bentuk cakram atau spiral yang
disebut galaksi. Planet bumi kita hanya satu titik kecil yang terdapat pada suatu
galaksi yang diberi nama Bimasakti (Inggris: Milky Way). Bimasakti atau Milky
Way terdiri atas kurang lebih 100 miliar bintang dengan jarak ujung ke ujung
60.000 tahun cahaya. Telah diketahui pula bahwa galaksi-galaksi di dalam
semesta ini tersusun berkelompok. Kelompok galaksi dimana Bimasakti kita
berada terdiri dari dua lusin galaksi; kelompok lain, kelompok Virgo misalnya
terdiri dari ribuan galaksi.3
Dibalik kenyataan; bahwa tata surya, galaksi, dan kelompok galaksi baru
diketahui di dunia Barat setelah penemuan peralatan canggih; maka ternyata kitab
suci agama Buddha telah banyak menyebutkan hal tersebut ribuan tahun
sebelumnya. Penganut agama Buddha sejak zaman dahulu telah menggambarkan
galaksi sebagai berbentuk spiral. Istilah dalam bahasa Pali untuk galaksi adalah
cakkavala; yang berasal dari kata “cakka”, yang berarti cakram/roda. Sang
Buddha secara sangat jelas dan tepat menggambarkan kelompok-kelompok
galaksi, yang oleh para ilmuan baru ditemukan. Beliau menyebutnya sebagai
2 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 11.
3 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 11-12.
33
sistim dunia (loka dhatu) dan menambahkan perbedaan dalam ukurannya: sistim
dunia ribuan-lipat, sistim dunia puluhan ribu-lipat, sistim dunia besar, dan
seterusnya. Beliau menyebutkan sistem dunia terdiri dari ribuan matahari dan
planet, walau sebenarnya oleh para ahli astronomi menyebutnya sebagai jutaan.4
“Sejauh matahari-matahari dan bulan-bulan berputar, bersinar dan
memancarkan sinarnya ke angkasa, sejauh itu pula sistim dunia ribuan-
lipat. Didalamnya terdapat ribuan matahari, ribuan bulan.”
(Anguttara Nikaya I : 227)
Dahulu, dalam waktu yang sangat lama, manusia tidak dapat
membayangkan luas alam semesta baik dalam satuan waktu maupun ruang untuk
dapat memahami asal dan luas alam semesta. Pemikiran saat itu terbatas serta
terikat kepemahaman dunia semesta. Di dalam Bible misalnya, dipahami bahwa
seluruh alam semesta diciptakan dalam enam hari dan penciptaan itu terjadi
barulah beberapa ribu tahun lalu.5
Saat ini, para ilmuan astronomi menghitung bintang dalam satuan ribuan
miliar dan mengukur jarak alam semesta dalam satuan tahun cahaya; satu tahun
cahaya adalah jarak yang dapat di tempuh oleh cahaya dalam waktu satu tahun.
Manusia zaman dahulu jelas tidak dapat membayangkan dimensi seperti itu. Sang
Buddha, adalah pengecualian. Kebijaksanaan-Nya, yang tak terbatas, dapat
memahami konsep dari alam semesta yang tak terbatas. Beliau menyebut adanya:
“Daerah gelap, hitam, kelam diantara sistim-sitim dunia, sedemikian rupa
hingga cahaya matahari dan bulan sekalipun tak dapat mencapainya”
(Majjhima Nikaya : 120)6
Waktu yang diperlukan untuk terbentuk dan hancurnya suatu sistim dunia
sangatlah panjang; diperlukan sangat banyak kappa (sebagai satuan waktu) untuk
4 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 12. 5 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 12.
6 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 12.
34
itu. Sewaktu sang Buddha ditanya tentang panjang kurun waktu satu kappa,
Beliau menjawab:
“Sangat panjang kurun waktu satu kappa. Tak dapat diperhitungkan
dengan tahun, abad ataupun ribuan abad”.
“Bila demikian, Guru, dapatkah dengan menggunakan permumpamaan?”
“Dapat. Bayangkan bongkahan suatu gunung besar, tanpa retak, tanpa
celah, padat, berkukuran panjang I mil, lebar I mil dan tingginya juga I
mil. Lalu bayangkan setiap seratus tahun ada seorang datang
menggosoknya dengan sepotong sutra Benares. Maka, akan lebih cepat
bukit itu habis tergosok dari pada suatu masa kappa berlalu. Pula
ketahuilah, lebih dari satu, lebih dari ribuan, lebih dari ratusan ribu
kappa, sebenarnya telah berlalu”.
(Samyuta Nikaya II : 181)7
Disini terlihat, betapa sang Buddha menggunakan perumpamaan seperti
diuraikan diatas untuk memberi gambaran tentang “jarak ruang dalam satuan
waktu”; sama halnya para ahli astronomi saat ini menggambarkan “jarak-jarak di
angkasa luar dengan menggunakan satuan tahun cahaya”.8
Namun, sang Buddha menyebut tentang asal dan perluasan alam semesta
hanya sepintas lalu. Beliau tidak menganggap, bahwa berteori dan berspekulasi
tentang hal tersebut, adalah lebih penting dibanding masalah utama kita, yakni
mengakhiri penderitaan dan mencapai kebahagiaan Nibbana (Sansekerta:
Nirwana). Ketika seseoang sekali waktu mendesak Sang Buddha untuk menjawab
pertanyaan tentang luasanya alam semesta, sang Buddha membandingkan keadaan
orang tersebut sebagai seorang yang terkena panah beracun, namun menolak
diobati dan dicabuti anak panah tersebut, sebelum orang tersebut mengetahui
secara jelas siapa yang melepaskan anak panah tersebut. Sang Buddha, lalu
bersabda:
7 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 13.
8 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 13.
35
“Menjalani hidup yang suci tak dikatakan tergantung apakah alam
semesta ini berbatas atau tidak, atau keduanya atau tidak keduanya.
Sebab apakah alam semesta ini, berbatas atau tidak; tetaplah ada
kelahiran, tetap ada usia lanjut, tetap ada kematian, kesedihan,
penyesalan, penderitaan, keperihan dan keputusasaan; dan untuk
mengatasi semua itulah semua yang Saya ajarkan”
(Majjhima Nikaya I : 430)9
Sangat jelas, dengan hanya berbekal pengetahuan tentang bagaimana alam
semesta terjadi, kita tidak akan dapat mengatasi penderitaan, pula tidak akan dapat
mengembangkan kemurahan hati, kebajikan dan cinta kasih. Buat sang Buddha
pertanyaan menyangkut hal-hal ini jauh lebih penting daripada spekulasi tentang
asal mula alam semesta.10
Walau demikian, konsep sang Buddha tentang alam semesta yang sangat
tepat dan maju, menyebabkan kita bertanya dalam diri; bagaimana bisa Beliau
mengetahui semua itu. Bagaimana mungkin seorang mengetahui tentang
berkelompoknya bima sakti dan bahwa bima sakti itu berbentuk spiral, jauh
sebelum penemuan teleskop? Bagaimana Dia, yang hidup di zaman lampau
demikian menghayati ke-takterbatasan waktu dan ruang? Jawaban satu-satunya
yang mungkin ialah karena, Beliau, sebagai yang disebut oleh Beliau sendiri,
adalah Buddha yang telah mencapai Pencerahan (Inggeris: enlightenment). Batin-
Nya demikian sempurna, bebas dari prasangka dan kekhayalan yang biasanya
mengotori batin orang biasa, pengetahuannya telah berkembang di luar
kemampuan manusia biasa. Sang Buddha menyatakan diri-Nya sebagai “pengenal
alam semesta” (lokavidu) (Majjhima Nikaya I : 337), dan pernyataan Beliau
memang terbukti kebenarannya.11
9 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 14.
10Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 14.
11Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 14
36
B. Proses Penciptaan Alam Semesta
Sutra lain yang banyak menggambarkan alam semesta adalah Avatamsaka
Sutra yang berbahasa Sanskerta. Berikut ini terdapat beberapa kutipan
Avatamsaka Sutra bab 4 yang berkaitan dengan kosmologi Buddhis:
“Putera-putera Buddha, sistim-sistim dunia (galaksi) tersebut memiliki
aneka bentuk dan sifat-sifat yang berbeda. Jelasnya, beberapa di
antaranya bulat bentuknya, beberapa di antaranya segi empat bentuknya,
beberapa di antaranya tidak bulat dan tidak pula segiempat. Ada
perbedaan [bentuk] yang tak terhitung. Beberapa bentuknya seperti
pusaran, beberapa seperti gunung kilatan cahaya, beberapa seperti
pohon, beberapa seperti bunga, beberapa seperti istana, beberapa seperti
makhluk hidup, beberapa seperti Buddha….”12
Penjelasan di atas menggambarkan terdapat berbagai bentuk sistem dunia
(yang mungkin dapat disamakan dengan galaksi). Menurut hasil pengamatan,
beberapa galaksi seperti galaksi Bima Sakti kita dan Andromeda berbentuk spiral
(pusaran), beberapa seperti galaksi M47 dan M89 berbentuk elips (bulat),
beberapa berbentuk tidak beraturan (tidak bulat dan tidak segiempat) seperti
galaksi Awan Magellan dan M82, dan beberapa lainnya berbentuk seperti
makhluk hidup misalnya Nebula Kepala Kuda.
“Terdapat beberapa sistim dunia, Terbentuk dari permata, Kokoh dan
terhancurkan,
Bernaung di atas bunga teratai nan berharga.”
“Beberapa di antaranya terbentuk dari berkas cahaya murni, Yang asalnya
tak dikenal, Semuanya merupakan berkas-berkas cahaya, Bernaung di ruang
kosong.”
“Beberapa di antaranya terbentuk dari cahaya murni, Dan juga bernaung
pada pancaran-pancaran cahaya, Diselubungi oleh awan cahaya, Tempat di
mana para Bodhisattva berdiam.”
Ini menjelaskan komposisi galaksi di alam semesta: ada yang terdiri atas
materi (yang digambarkan seperti permata), ada yang terdiri dari sinar kosmis
12
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 17
37
(yang digambarkan sebagai berkas cahaya), dan ada yang diselubungi awan gas
nebula (yang digambarkan sebagai awan cahaya).13
“Putera-putera Buddha, jika dijelaskan secara singkat, terdapat sepuluh
penyebab dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya sistem dunia, baik
yang telah berlangsung, sedang berlangsung, atau akan berlangsung. Apakah
sepuluh hal itu? Kesepuluh hal itu adalah:
1) Karena kekuatan gaib para Buddha
2) Terbentuk secara alami oleh hukum alam
3) Karena akumulasi karma para makhluk
4) Karena apa yang telah direalisasi oleh para Bodhisattva yang
mengembangkan kemaha-tahuan.
5) Karena akar kebajikan yang diakumulasi baik oleh para Bodhisattva dan
semua makhluk.
6) Karena kekuatan ikrar para Bodhisattva yang memurnikan dunia-dunia itu.
7) Karena para Bodhisattva telah menyempurnakan praktek kebajikan dengan
pantang mundur.
8) Karena kekuatan kebebasan para Bodhisattva dalam kebajikan murni.
9) Karena kekuatan independen yang mengalir dari akar kebajikan semua
Buddha dan saat pencerahan semua Buddha.
10) Karena kekuatan independen ikrar Bodhisattva Kebajikan Universal.”
Kutipan di atas menjelaskan penyebab terbentuknya galaksi yang salah
satunya disebabkan oleh bekerjanya hukum alam sesuai dengan teori kosmologi
modern, sedangkan penyebab lainnya merupakan hasil dari perbuatan (karma)
13 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 18.
38
atau kebajikan makhluk hidup apakah makhluk biasa, seorang Bodhisattva (calon
Buddha), ataupun seorang Buddha.14
Berikut ini terdapat beberapa kutipan dari Avatamsaka Sutra bab 5:
“Sistem Dunia Tepian Bunga, Adalah sama dengan jagad raya, Perhiasannya
sungguh murni, Berada dengan damai di ruang angkasa.”
Ini menyiratkan bahwa benda-benda langit di alam semesta berada dalam
ruang angkasa tanpa ada sesuatu yang menahannya di tempatnya (tidak seperti
kepercayaan orang Yunani yang meyakini Atlas memangkul bumi di atas
punggungnya).
“Dalam setiap sistem dunia itu, Terdapat dunia-dunia yang banyaknya tak
terbayangkan, Beberapa diantaranya sedang tercipta, Beberapa di antaranya
sedang menuju kemusnahannya, Beberapa di antaranya bahkan telah
musnah.”
Menurut kosmologi Buddhis, dunia-dunia (dalam istilah astronomi
mungkin bisa disamakan dengan planet atau benda langit lainnya) di alam semesta
ada yang sedang terbentuk, ada yang sedang berproses menuju kehancuran, dan
ada yang sudah hancur seperti pada kutipan di atas.
C. Siklus Dan Luas Alam Semesta
Alam semesta memiliki luas yang tidak terkira dan apa yang ada di
dalamnya pun tidak terhitung jumlahnya. Namun semua yang terkandung di
dalam alam semesta memiliki dasar penyusun yang sama. Dalam Buddhisme, ada
tiga komponen yang menyusun hakekat alam semesta, yaitu Citta, Cetasika, dan
Rupa. Rupa secara mudah dapat diartikan sebagai materi atau jasmani (sebutan
untuk makhluk). Sedangkan Citta dan Cetasika sebenarnya merupakan bagian
dari Nama atau secara mudah dapat disebut batin. Nama secara rinci terdiri dari
unsur perasaan (Vedana), pencerapan (Sanna), bentuk-bentuk pikiran (Sankhara),
14
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma, h. 19
39
ketiganya termasuk dalam kelompok Cetasika, dan kesadaran (Vinnana), yaitu
Citta.15
Dalam Ananda Vagga, Anguttara Nikaya, Sang Buddha menjelaskan
kepada Ananda tentang luasnya alam semesta sebagai berikut:
“Ananda, apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika
lokadhatu (tata surya kecil)?” “Ananda, sejauh matahari dan bulan
berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan
bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu
tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu gunung Sineru,
seribu Jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu
Pubbavideha, empat ribu maha samudera, empat ribu maharaja, seribu
Catummaharajika, seribu Tavatimsa, seribu Yama, seribu Tusita, seribu
Nimmanarati,seribu Paranimmitavassavati, dan seribu alam Brahma.
Inilah Ananda, yang dianamakan seribu tata surya kecil (Sahasi culanika
lokadhatu). Ananda, seribu kali Sahasi culanika lokadhatu dinamakan
Dvisahassa majjhimanika lokadhatu, seribu kali Dvisahassa majjhimanika
lokadhatu dinamakan Tisahassi Mahasahassi lokadhatu. Ananda,
bilamana Sang Tathagata (sebutan yang digunakan Buddha untuk
menunjuk pada diri-Nya sendiri) mau, maka Ia dapat memperdengarkan
suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi Mahasahassi lokadhatu ataupun
melebihi itu lagi.”
Di sini Buddha menjelaskan terdapat sistem tata surya yang disebut seribu
tata surya di mana terdapat seribu matahari, seribu bulan, dan seribu bumi di mana
dapat ditemukan gunung Sineru sebagai pusat bumi, Jambudipa (benua di sebelah
selatan), Aparayojana (benua di sebelah barat), Uttarakuru (benua di sebelah
utara), dan Pubbavideha (benua di sebelah timur) dengan empat maha samudera
yang mengelilingnya. Di masing-masing benua terdapat penguasanya masing-
masing sehingga dikatakan terdapat empat ribu maharaja dalam seribu tata surya
tersebut. Selanjutnya dalam seribu tata surya terdapat seribu alam surga yang
diliputi nafsu inderawi (alam Catummaharajika, Tavatimsa, Yama, Tusita,
15
Dawai, Alam Semesta Dalam Buddhisme (Surabaya: Penerbit Vihara Dhammadipa,
2007), h. 5
40
Nimmnarati, Paranimmitavassavati) dan seribu alam surga yang tidak diliputi
nafsu inderawi (alam Brahma).
Tentu saja alam semesta lebih luas dari sekedar seribu tata surya karena
Buddha menyebut sampai adanya 1.000 x 1.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata
surya bahkan melebihi itu lagi di mana suara seorang Buddha dapat
diperdengarkan melebihi jangkauan semiliar tata surya.
Dari penjelasan ini kita dapat mengatakan bahwa kemungkinan terdapat
kehidupan lain di alam semesta selain kehidupan manusia di bumi kita ini. Hal ini
dapat dilihat dari pernyataan bahwa terdapat empat ribu maharaja di seribu bumi
dalam seribu tata surya, yang menggambarkan bahwa masing-masing bumi (atau
lebih tepat disebut planet yang memiliki kehidupan) dalam seribu tata surya
tersebut memiliki makhluk hidup yang dipimpin oleh para pemimpin mereka
masing-masing. Kemungkinan kisah-kisah alien dan UFO yang beredar selama ini
juga tersisip suatu kebenaran.
Ketika seseorang mempelajari kosmologi bahwasannya pasti selalu
muncul pertanyaan-pertanyaan klasik yang berawal dari ketidak tahuan.
Pertanyaan klasik tersebut diantaranya:
Berapakah luas alam semesta? Apakah alam semesta memiliki awal atau
akhir? Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dinilai dengan angka (berdasarkan
spekulasi yang belum pasti akurat ), misalnya katakanlah alam semesta berawal
dari 1000 tahun yang lalu? Atau 6000 tahun yang lalu? Sejuta tahun yang lalu?
Semiliar tahun yang lalu? Satu triliun yang lalu? Atau yang lebih panjang lagi satu
41
googol (10100 = Satu dengan 100 nol dibelakangnya), atau alam semesta tak
berawal?16
Lantas kapan bumi terbentuk? Bumi telah banyak kali hancur dan
terbentuk kembali, siklus dari hancur, lalu tebentuk, hingga hancur kembali
disebut satu siklus dunia yang di Tipitaka disebut maha kappa lamanya satu maha
kappa digambarkan pada buku Sutta Pitaka sbb:
Para Bikkhu, jika ada sebuah batu cadas, panjang satu mil, lebar satu mil,
tinggi satu mil tanpa ada retak atau cacat dan setiap seratus tahun.
1 MAHA KAPPA = 4 ASANKHEYYA KAPPA
1 ASANKHEYYA KAPPA = 20 ANTARA KAPA
Menurut pendapat para ilmu-wan jaman sekarang ini, diperkirakan usia
alam semesta yang kita huni sekarang ini kurang lebih empat setengah miliaran
tahun, usia alam semesta ini cukup banyak berbeda dengan teori genesis yang
menganggap bahwa umur alam semesta diciptakan enam ribu tahun yang lalu,
bagaimana menurut pandangan agama Buddha?17
Menurut Tipitaka alam semesta ini melalu satu proses pembentukan dan
kehancuran yang berulang-ulang dan berawal dari asal mula waktu yang awalnya
yang tak terpikirkan. Proses berulang tersebut sudah setua usia waktu itu sendiri
yang tak terbayangkan. Pembentukan yang terakhir adalah alam semsesta yang
kita huni ini. Awal pembentukannya telah berlangsung selama lebih dari satu
Asankheyya kappa yang lampau. Assankheyya berarti tak terhitung sedangkan
kappa berarti siklus dunia maksudnya yaitu masa terbentuknya bumi, hancur dan
terbentuk kembali. Makhluk hidup menempati bumi hanya selama 1 asankheyya
kappa. Antara kappa adalah jarak waktu umur manusia rata-rata 10 tahun naik
16
Fabian H. Chandra, Kosmologi StudiStruktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 1. 17 Fabian H. Chandra, Kosmologi StudiStruktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 2.
42
hingga umur manusia rata-rata menjadi panjang sekali (tak terhitung) dan
kemudian turun lagi menjadi 10 tahun.18
Kalau menurut Kitab Suci Tipitaka Pali empat Asankheyya kappa sama
dengan satu maha kappa dan satu asankheyya sama dengan dua puluh Antara-
kappa, berarti satu maha kappa sama dengan delapam puluh Antarakappa, (satu
Antara-kappa adalah selang waktu umur rata-rata manusia sepuluh tahun, naik
menjadi tak terhitung dan turun kembali menjadi rata-rata sepuluh tahun).19
Sedangkan lamanya mahakappa adalah waktu yang diperlukan untuk
menghabiskan sebuah bukit cadas yang berukuran lebar, panjang, dan dalamnya
satu mil, yang mulus tanpa cacat dengan gosokan sutra yang paling halus setiap
seratus tahun sekali, apabila batu cadas itu habis maka belum satu kappa
terlampaui. Pernyataan yang ada dalam kitab suci ini tidak membantu kita
memperkirakan lamanya satu kappa secara riil. Tetapi ada cara membuat
perkiraan umur bumi berdasarkan kalkulasi sederhana, yaitu:
Anggaplah batu cadas akan habis tergosok setebal 1 mm setelah 10.000
kali gosokan, jika demikian maka batu karang setebal 1 mil yang digosok berputar
selama 100 tahun sekali lamanya adalah,
1,6 km x 1000 m x 1000 mm x 10.000 gosokan x 100 tahun =
1.600.000.000.000 tahun di bagi 2 atau Lebih dari 800 miliar tahun.
Tetapi menurut pendapat seorang pakar ada pendekatan lain yang
membuat kita dapat menghitung secara matematis sederhana berapa lamanya satu
kappa, metode ini agak berbeda dengan metode diatas dan jumlah total hasil
perhitungannya lebih banyak, yaitu dengan perumpamaan biji mustard, ( manual
18
Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 2 19 Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 3
43
of Abhidamma hal. 246). Biji mustard berukuran lebih kecil daripada biji
ketumbar dan lebih besar daripada biji wijen. Apabila ada mustard sebanyak satu
mil kubik dan setiap seratus tahun diambli sebutir maka setelah biji mustard itu
habis maka kurang lebih satu kappa telah berlalu, anggaplah diameter biji mustard
sebanyak satu mil kubik adalah,
Satu mil = 1.600.000 mm = 1,6 x 106
Satu mil kubik = (1,6 x 106)3 = 4, 096 x 108
Anggap saja ukuran biji mustard adalah
2 mm x 2 mm x 2 mm = 8 mm3
Maka banyakanya biji mustard dalam satu mil kubik adalah,
4,096 x 1018 mm3 dibagi 8 mm3 = 5.12 x 1017 butir.
Bila diambil satu butir setiap sertus tahun maka lamanya maha kappa
adalah
+ 5.12 x 1017 x 100 tahun = 5.12 x 1019
Dan satu asankheyya adalah,
5.12 x 1019 tahun dibagi empat yaitu 1.28 x 1019 tahun
Atau 12.800.000.000.000.000.000 tahun
(dua belas juta delapan ratus ribu triliun tahun).
Walaupun kedua metode diatas memiliki jumlah waktu yang sangat
berbeda, tetapi persamaan kedua metode diatas yaitu, sama-sama lama sekali.
Umur alam semesta lebih dari dari satu asankheyya kappa, mengapa berbeda
demikian banyak beda dengan pendapat ahli fisika?20
20
Fabian H. Chandra, Kosmologi StudiStruktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h.5.
44
Bermacam metode para ahli dalam memperhitungkan usia masih terus
disempurnakan, sebagai contoh Metode perhitungan para ahli menggunakan
teknik paruh waktu karbon isotop C14 untuk memperhitungan umur fosil, metode
ini memiliki kelemahan yaitu diantaranya, metode ini hanya mengharapkan
penemuan fosil-fosil yang ada, padahal mungkin saja fosil-fosil yang lebih tua
telah lenyap atau belum ditemukan sehingga para ilmuan menganggap sejarah
makhluk hidup hanya berdasarkan penemuan fosil yang ada dan umurnya hanya
berdasarkan usia fosil tertua yang ditemukan, faktor presisi, peralatan, dan
tekhnologi yang digunakan merupakan variabel tambahan yang harus
diperhitungkan, tekhnik radio isotop karbon C14 hanya akurat dalam mengukur
usia fosil yang tidak lebih dari 65.000 tahun.21
Untuk mengukur usia bumi digunakan teknik radio isotop unsur
Uraniaum, dan uranimu tertua yang ditemukan berusia 4,5 miliar tahun. Kendala
demikian juga ada dalam memperhitungkan umur alam semesta yang didasarkan
pada pengukuran spektrum gelombang cahaya (berdasarkan spektrum redshift
atau geser merah) dari atau gelombang elektro magnetik yang sampai ke bumi, hal
ini membuktikan bahwa perhitungan para ahli hanya berdasarkan apa yang ada,
dan yang diterima oleh bumi. Padahal beberapa banyak gelombang cahaya dan
gelombang elektro magnetik yang tidak sampai ke bum, atau gelombang tersebut
telah sampai ke bumi lama sebelumnya, pada saat teknologi belum berkembang
seperti sekarang ini.22
Sejak zaman Copernicus (yang terkenal dengan bukunya de
revolutionibus) pandangan revolusioner bahwa bumi mengelilingi matahari timbul
21
Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h.6 22 Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h.6
45
seiring dengan penemuan teleskop (pandangan ini mengalahkan pandangan Eropa
sebelumnya yang berdasarkan pandangan filsuf Yunani Aristoteles yang
mendominasi dunia selama dua mellenia yang beranggapan bahwa matahari
mengelilingi bumi). Pandangan ini belakangan berkembang menjadi lebih jauh,
pada awal abad ini para ahli menganggap galaksi andromedia adalah kabut saja
bukan galaksi yang terdiri dari miliaran tatasurya. Pandangan ini berubah setelah
dibuat teleskop yang lebih besar seperti yang ada di Mt. Palmoar misalnya,
kesimpulannya, keterbatasan teknologi menciptakan kendala.23
Pandangan dan teori mengenai alam semesta berubah seiring derap
kemajuan teknologi, setelah penemuan radio teleskop, terlebih setelah di
munculkannya teleskop hubble (teleskop yang ditempatkan di angaksa luar
sehingga tidak terhalang olegh atmosfir bumi) para ahli menganggap bahwa benda
luar angkasa terjauh adalah Quasar (Quasi Stellar Radio).24
Metode yang digunakan oleh Sang Buddha dan para Bhikkhunyya sangat
berbeda, yaitu dengan abhinna (kemampuan adi kodrati). “Dengan pikiran yang
telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari napsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk
dipergunakan, teguh dan tak dapat digoncangkan, ia meningkatkan dan
mengarahkan pikirannya pada pengetahuan mengenai pubbenivasanusati nana”.
(D.I,81). Pubbenivasanusatinana yaitu kemampuan untuk mengingat kelahiran
yang lampau), dengan jalan inilah siklus pembentukan dan kehancuran bumi yang
terjadi berulang-ulang bisa diketahui.25
Terlepas dari pendapat mengenai metode mana yang lebih tepat, yang jelas
pendapat para ahli akan bergeser ke arah umur alam semesta yang lebih tua
23 Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 7. 24
Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 7. 25 Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 7.
46
bukan ke arah umur alam semesta yang lebih muda seperti dalam teori genesis.
Belakangan timbul pendapat yang mengatakan bahwa umur bumi bukan 4,5 miliar
tahun seperti pendapat sebelumnya tetapi umur bumi adalah 5 miliar tahun.26
D. Hukum Paticca Samupada
Dalam Kitab Suci Tipitaka banyak dituliskan saat-saat ketika Bodhisattva
Siddharta Gotama berhasil memahami Hukum Sebab Musabab yang Saling
Bergantungan (Paticcasamuppada),27
sehingga akhirnya Beliau berhasil mencapai
Penerangan Sempurna (Samma-sambuddha). Akan tetapi hal yang terpenting
adalah proses pemahaman hukum itu sendiri yang terjadi sesaat sebelum
pencapaian Penerangan Sempurna. Para Buddha telah mencapai Penerangan
Sempurna mereka melalui proses ini.28
Sang Buddha Gotama menerangkan hukum ini dalam suatu rangkaian
yang terjadi atas dua belas mata rantai, yaitu kondisi-kondisi dan sebab musabab
yang saling bergantungan dari penderitaan manusia serta pengakhirannya.
Rumusan keseluruhan hukum ini telah diringkaskan sebagai berikut:
26
Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 8. 27
Konsep sebab dan akibat (patticasamuppada) agama Buddha telah menjadikan versi
penciptaan alam semesta agama Buddha adalah versi yang unik. Bagi agama Buddha, tiada
permulaan kepada penciptaan alam semesta, tiada doktrin yang disebut sebagai Sebab Utama atau
Tuhan yang bertindak memberikan kekuasaan-Nya untuk menghasilkan penciptaan alam semesta.
Setiap objek dan fenomena yang berlaku adalah hasil daripada kesan hubungan objek dan
fenomena lain (simbiosis antara objek). Sebagai contoh, sebatang pohon tumbuh karena adanya
tanah, air dan udara yang mana kesemua ini adalah rantaian luar yang membantu proses
pertumbuhan pohon tersebut. Proses perangkaian yang berlaku dalam penciptaan alam semesta ini
akan senantiasa wujud dan kekal. Sebab dan akibat (patticasamuppada) adalah sebuah magnum
opus kepada agama Buddha. Justeru, konsep ini adalah asas yang menjadi pegangan kepada agama
Buddha dalam menjelaskan asas teori kejadian alam semesta. Di samping itu, konsep sebab dan
akibat (patticasamuppada) turut dibincangan dalam ruang lingkum dharma dan ia sesuai dengan
imej agama Buddha yang gemar untuk mengaitkan semua doktrik kepercayaannya dengan
dharma. Secara asas formula sebab dan akibat (patticasamuppada) adalah: Apabila ini wujud ,
wujud juga yang lain karena ia berasal daripada yang pertama dan menumbuhkan yang lain.
Apabila ini tidak wujud, tiada juga wujud yang lain karena berhentinya ia, berhenti juga yang lain
(Ames, 2003: 287). Lihat Norakmal Azraf Bin Awaludin, Indriaty Binti Ismail, Asas Penciptaan
Alam Semesta Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, (tp, tt), h. 1373. 28
Mettacittena, Kebebasan Mutlak Dalam Buddha Dhamma, (Jakarta: Madyantika,
1985), h. 1
47
„Imasmim sati idam hot; imasuppada idam upajjati.
Imasmim asati idam nan hoti; imassa nirodha imam nirujjhati.‟
„Dengan adanya ini, adalah itu; dengan timbulnya ini, timbulah itu.
Dengan tidak adanya ini, tidak adalah itu; dengan lenyapnya ini,
lenyaplah itu.‟29
Dengan memahami seluruh fenomena kehidupan ini, agama Buddha
memandangnya sebagai suatu lingkaran dari kehidupan, yang tak diketahui
permulaan dan akhrinya. Dengan demikian masalah „sebab pertama‟ (causa
prima) bukan menjadi masalah dalam filsafat agama Buddha.
Tidak dapat dipikirkan akhir roda tumimbal –lahir; tidak dapat dipikirkan
asal mula makhluk-makhluk yang karena diliputi oleh ketidaktahuan dan
terbelenggu oleh keinginan rendah (tanha) mengembara kesana kemari.
(Samyuta Nikaya, II. 178-193).30
Sehubungan dengan masalah asal mula sebab pertama (causa prima) ini,
Sang Buddha Gotama mengajarkan bahwa asal mula alam semesta tidak dapat
dipikirkan. Alam semesta ini bergerak menurut proses pembentukan (samvattana)
dan penghancuran (vivattana) yang berlangsung terus menerus. Di pihak lain
dalam Paticcasamuppada itu diperlihatkan pula berhentinya segala rangkaian
peristiwa fenomena kehidupan itu dapat dicapai oleh mereka yang telah memiliki
Pandangan Terang (Kebijaksanaan Sempurna). Paticcasamuppada ini adalah
untuk memperlihatkan kebenaran dari keadaan yang sebenarnya, dimana tidak ada
sesuatu itu timbul tanpa sebab. Bila kita mempelajari Hukum Paticcasamuppada
ini dengan sungguh-sungguh, kita akan terbebas dari pandangan salah dan dapat
melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya.31
Konsep sebab dan akibat (patticasamuppada) adalah prinsip melahirkan
sesuatu yang lain. Dengan adanya sebab pertama, melahirkan akibat yang
29
Mettacittena, Kebebasan Mutlak Dalam Buddha Dhamma, h. 1 30
Mettacittena, Kebebasan Mutlak Dalam Buddha Dhamma, h. 1 31
Mettacittena, Kebebasan Mutlak Dalam Buddha Dhamma, h. 1
48
pertama, tanpa sebab yang pertama tidak mungkin akibat yang pertama muncul.
Di samping, prinsip ini menggambarkan semua fenomena yang berlaku di alam
semesta saling bergantungan (karanahetu), telah ditetapkan bahwa sesuatu
fenomena tidak akan boleh bergerak ataukah lagi muncul secara keseorangan
(singularity) tanpa ada ketetapan lain yang menyokong ia muncul. Fenomena
hanya berlaku karena adanya kombinasi ketetapan yang menyokong kepada
kemunculan sesuatu fenomena tersebut. Juga sebaliknya, jika kombinasi ketetapan
ini sudah tidak lagi mampu bertahan, akan menghentikan fenomena tersebut.
Patticasamuppada adalah cara yang logik untuk memahami alam semesta karena
selaras dengan kehendak sains yang mana fenomena yang berlaku adalah hasil
hubungan yang konsisten antara semua unsur alam semesta.32
Selain pengaruh luar yang memanikan peranan dalam sebab dan akibat,
pengaruh idea atau dalaman juga memainkan pernanan dalam proses sebab dan
akibat. Ini dijelaskan oleh Takakusu (1947) sebagai dharma-dhatu yaitu merujuk
pada alam prinsip atau elemen kepada elemen (dalam filsafat Plato disebut
sebagai alam idea). Dharma-dhatu merupakan puncak kepada semua teori sebab
dan akibat karena agama Buddha tidak sama sebagaimana sains Barat yang hanya
meletakan sebab berasal sebab berasal dari tindakan fisikal saja. Agama Buddha
mempercayai sebab dan tindakan juga berasal daripada simpanan idea, tidak
hanya berasal dari tindakan sesuatu yang bersifat fisikal. Bermakna agama
Buddha meyakini bahwa unsur dalaman juga mempengaruhi konsep sebab dan
akibat. Dharma-dhatu menjadi penyebab kepada semua kewujuduan fenomena
32 Norakmal Azraf Bin Awaludin, Indriaty Binti Ismail, Asas Penciptaan Alam Semesta
Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, (tp, tt). h. 1373
49
alam semesta atau boleh juga dikatakan sebagai penyebab kepada segala pengaruh
tindakan yang dilakukan oleh makhluk dan kewujudan.33
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, menujukan konsep sebab dan
akibat (Patticasamuppada) terjelma melaui kualitas luaran dan juga kualitas
dalaman sesuatu fenomena. Kualitas luaran adalah tanah liat, kayu, roda, tali, air
dan pekerja yang mana kesemua kualitas luaran ini akan bekerjasama untuk
menghasilkan sebuah belanga. Manakala kualitas dalaman digelar sebagai idea
sebab dan akibat itu kebodohan, kehendak, tujuan kepada sebab dan akibat
tersebut dan pendorong kepada Sesutu penciptaan yang dijadikan. Kualitas
dalaman adalah faktor pendorong kepada faktor luaran untuk menjadikan sesuatu
fenomena. Ibarat kualitas dalaman ini adalah pemikiran kepada tukang pembuat
belanga yang memikirkan cara bagaimana menghasilkan belanga.34
Agama Buddha akan mengaitkannya dengan etika manusia yang menjadi
asas kepada proses sebab dan akibat berlaku. Jika pengaruh luar dikaitkan dengan
fisikal luaran alam semesta yang bekerjasama menggerakan alam semesta,
pengaruh dalaman atau dhrama-dhatu adalah pengaruh sikap etika makhluk yang
sudah menjadi buruk dan kebodohan yang menjadi asas berlakunya sebab dan
akibat. Oleh sebab itu, kepentingan konsep sebab dan akibat (patticasamuppada)
dikaitkan dengan dharma yang berkaitan dengan etika moral. Sebagaimana yang
dikatakan Sakyamuni:
33
Norakmal Azraf Bin Awaludin, Indriaty Binti Ismail, Asas Penciptaan Alam Semesta
Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, h. 1373-1374. 34
Norakmal Azraf Bin Awaludin, Indriaty Binti Ismail, Asas Penciptaan Alam Semesta
Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, h. 1374
50
Wahai sami, sesiapa yang memahami konsep patticasamupadda akan
memahami dhamma, orang yang memahami dhamma akan dapat
memahami patticasamupadda.35
Penjelasan di atas yang saling menyamakan konsep patticasamuppada dan
dharma karena kedua-duanya adalah doktrin penting. Sebagai contoh Empat
Kebenaran Mulia adalah berkaitan dengan penderitaan, sebab penderitaan,
menghentikan penderitaan dan jalan yang membawa kepada kebebasan dari
penderitaan. Manakala penderitaan, kesengsaraan dan sebagainya adalah pengaruh
dalaman yang memainkan peranan dalam proses sebab dan akibat
(patticasamuppada). Hubungan antara dhrama, sebab dan akibat
(patticasamuppada) seperti air dan empangan. Air yang melalui empangan
mempunyai potensi untuk memghasilkan tenaga elektrik, proses pengaliran air
telah menghilangkan potensina sebagai air kepada agen penyalur aliran elektrik.
Begitu juga dengan kewujudan dhrama yang mempunyai pelbagai potensi
bergantung kepada keadaan.36
Menjelaskan sebab dan akibat (patticasamupadda), Akira (1990: 179-181)
telah membuat enam klasifikasi potensi sebab dan akibat, iaitu:
1. Karanahetu adalah penyebab yang menjadi sebab kewujudan yang lain
iaitu merujuk kepada sebab yang penting. Dengan kata lain, semua dharma
membantu dalam menghasilkan dharma yang lain.
2. Sahabhuhetu atau penyebab serentak adalah dharma yang berkhidmat
secara serentak menjadi sebab dan akibat, bergantungan dan bergabung
antara satu dengan yang lain. Seperti tanah, air, api dan angin secara
35
Norakmal Azraf Bin Awaludin, Indriaty Binti Ismail, Asas Penciptaan Alam Semesta
Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, h. 1374 36
Norakmal Azraf Bin Awaludin, Indriaty Binti Ismail, Asas Penciptaan Alam Semesta
Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, h. 1374
51
serentaknya muncul dalam molekul dan menghasilkan tenaga atau
fenomena.
3. Sabhagahetu atau penyebab yang sama. Biji benih padi hanya akan
menghasilkan tunas padi dan tidak mungkin menghasilkan tunas durian.
4. Samprayuktakahetu atau penyebab yang seiring (concomitant cuase)
adalah deskriptif hubungan yang seiring antara minda (citta) dan fakulti
mental (caitasika) atau otak. Katogeri ini dilihat sebagai fasiliti dan
pengguna fasiliti mesti sama untuk menghasilkan natijah yang harmoni.
Kereta tugasnya adalah membawa pemandu, tetapi pemandu mahu
menggunakan kereta untuk mengadun kek. Maka wujud kesan yang
bercelaru dan tidak-seimbang.
5. Sarvatragahetu iaitu alam semesta tidak semestinya bersifat harmoni
dan seimbang, kuasa kekacauan juga boleh menjana sebab dan akibat,
tetapi dalam bentuk keburukan. Sebagai contoh fenomena bencana alam
semesta, agama Buddha melihat sebab kejadian bencana adalah kerana
adanya kekotoran moral manusia yang menghasilkan akibat buruk iaitu
kemusnahan (samsara).
6. Vipakahetu atau penyebab penghasilan yang merujuk kepada sebab dan
akibat adalah dua jenis yang berlainan. Sebagai contoh penyebab yang
baik menghasilkan kesan yang baik. Penyebab yang buruk mendatangkan
kesengsaraan. Sebab yang baik atau sebab yang buruk akan menghasilkan
hukuman atau penghasilan (vipakaphala) bergantung kepada baik atau
buruknya sebab. Dalam konteks ini, keseronokan atau penderitaan adalah
penghasilan yang timbul apabila perbuatan dilakukan (vipakahetu).
52
Penderitaan atau samsara tidak sahaja merujuk kepada moral manusia
tetapi juga adalah sistem kitaran atau agen penciptaan yang sentiasa berputar
dalam alam semesta. Demikian itu, alam semesta bersifat dinamik dan proses
penciptaan alam semesta tiada pengakhiran, berubah, kuasa yang bersifat
bergantungan antara satu sama lain, faktor yang tidak abadi, statik, tidak luput,
pembentukan sendiri atau kehendak sendiri. Sistem yang merencana kelangsungan
alam semesta adalah samsara yang mana sifatnya kekal abadi. Penekanan agama
Buddha kepada pemahaman konsep samsara adalah sangat penting, yang mana
kegagalan memahaminya akan terjatuh kepada kesengsaraan dan keseronokan
duniawi dan tidak akan dapat melarikan diri dari kitaran karma. Bagi agama
Buddha punca kesengsaraan adalah kebodohan yang melanda manusia itu sendiri.
Kejahilan ini di warisi dari kehidupan sebelum ini.37
37
Terikatnya seluruh entiti alam semesta dengan samsara dan karma, menjadikan konsep
sebab dan akibat (patticasamupadda) mempunyai signifikan sebagai asas penciptaan alam semesta
dan asas doktrin kelahiran semula yang membelengu kewujudan makhluk tanpa jalan keluar
kerana ikatan ini tidak boleh terurai melainkan dengan pencapaian tahap kerohanian yang tinggi
(nirvana). Kesinambungan kelahiran semula yang tiada pengakhiran disebabkan samsara yang
sentiasa wujud dan tidak berakhir sehingga memberi kesan pada kitaran yang wujud dalam proses
proses sebab dan akibat (patticasamupadda). Agama Buddha memiliki teori asas penciptaan yang
unik kerana peranan penciptaan difahami dalam konteks sebab dan akibat (patticasamupadda).
Setelah ditelusuri dengan detil, kepercayaan kepada peranan sebab dan akibat ini berasaskan
kepada kepercayaan samsara yang menjadi tunjang dan agen kepada proses penciptaan alam
semesta yang mana mempengaruhi konsep sebab dan akibat (patticasamupadda).Lihat Norakmal
Azraf Bin Awaludin, Indriaty Binti Ismail, Asas Penciptaan Alam Semesta Agama Hindu dan
Agama Buddha: Kajian Perbandingan, (tp, tt), h.1375
53
BAB III
KOSMOLOGI DALAM SAINS MODERN
A. Asal Mula Alam Semesta
Sejak zaman dahulu telah banyak orang yang ingin menerangkan proses
terjadinya alam semesta. Tentu sebuah penyelidikan terkait hal itu sudah pernah di
kerjakan oleh orang-orang Yunani kuno dan penyelidikan itu berkembang terus
hingga kini dengan menggunakan peralatan dan pengetahuan yang tinggi.
1. Pandangan Yunani Kuno
Tiap-tiap bangsa, betapa juga biadabnya, mempunyai dongeng dan
takhayul. Ada yang terjadi daripada kisah perintang hari, keluar dari mulut orang
yang suka bercerita. Ada yang terjadi daripada muslihat mempertakuti anak-anak,
supaya ia jangan nakal. Ada pula yang timbul karena keajaiban alam, yang
menjadi pangkal heran dan takut. Dari itu orang menyangka alam ini penuh
dengan dewa-dewa serta biduanda dan bidadarinya yang bermacam-macam
namanya. Demikianlah lama kelamaan timbul berbagai fantasi, cetakan pikiran,
yang menjadi barang peradaban manusia bermula.1
Fantasi itu tidak ada batasnya, sebab ia tidak bersangkut dengan yang
lahir. Keadaanya tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, fantasi itu menjadi
pangkal juga daripada perasaan yang indah-indah, pangkal daripada seni, pangkal
daripada “pengetahuan” yang ajaib-ajaib. Fantasi membawa orang yang
meminangnya ke awang-awang. Keluar daripada bumi dan alam tempat ia berdiri.
1 Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986),
h. 1
54
Dengan fantasi itu ia dapat menyatukan ruhnya dengan alam sekitarnya. Ia merasa
dirinya bagian daripada alam. Fantasi yang sampai sana disebut ekstase.2
Orang yang mengadakan fantasi tidak ingin mencari kebenaran buah
fantasinya, karena kesenangan ruhnya adalah terletak dalam fantasi itu. Tetapi
orang kemudian yang mempusakai fantasi itu ada yang ingin hendak mengetahui
kebenarannya lebih jauh. Diantaranya ada yang tidak lekas percaya, ada yang
bersifat kritis, suka membanding dan menguji. Demikianlah, dari fantasi itu
timbul lama-kelamaan keinginan akan kebenaran.3
Dongeng dan takhayul yang dipusakakan dari nenek moyang itu
menimbulkan adat dan kebiasaan hidup, yang menjadi cermin jiwa bangsa yang
memakainya. Pengetahuan pusaka itu bertambah lama bertambah banyak,
ditambah dengan pengalaman tiap-tiap angkatan baru. Semuanya itu masuk ke
dalam pembendaharaan peradaban bangsa, yang disebut kultur. Semuanya itu
menjadi pimpinan bagi angkatan kemudian menempuh jalan penghidupan. Sebab
itu “kata” atau “nasehat” orang tua-tua sangat diindahkan.4
Dongeng dan takhayul serta adat-istiadat itu berpengaruh kemudian atas
cara orang memeluk agamanya. Agama yang datang kemudian mendapati alam ini
penuh dengan berbagai kepercayaan. Kepercayaan alam itu tak mudah
membongkarnya dengan seketika saja. Ia bertahan. Itulah sebabnya, maka agama
yang begitu murni dasarnya dalam masyarakat banyak bercampur dengan barang
pusaka hidup yang tersebut itu. Sebab itu tak salah orang mengatakan, bahwa cara
orang memahamkan agamanya banyak terpegaruh oleh keadaan hidupnya.5
2 Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, h. 1 3 Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, h. 1 4 Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, h. 1-2
5 Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, h. 2
55
Juga orang Grik dahulunya mempunyai dongeng dan takahyul. Tetapi
yang ajaib pada mereka itu ialah, bahwa angan-angan yang indah-indah itu
menjadi dasar untuk mencari pengetahuan semata-mata untuk tahu saja, dengan
tiada mengharapkan keuntungan daripada itu. Ingin tahu menjadi ujud sendirinya
bagi mereka.6
Berhadapan senantiasa dengan alam yang begitu luas, yang sangat bagus
dan ajaib tampaknya pada malam hari, timbul di hatinya keinginan hendak
mengetahui rahasia alam itu. Lalu timbul pertanyaan dalam hatinya, darimana
datangnya alam ini, betapa jadinya, bagaimana kemajuannya dan ke mana
sampainya. Demikianlah beratus tahun alam besar itu menjadi soal pertanyaan,
yang memikat ahli-ahli pikir Grik.7
Tetapi kemudian di sebelah soal alam besar itu, yang berada di luar
dirinya, terdapat olehnya soal alam kecil, yang berada di dalam dirinya. Alam ini
tiada terlihat dengan mata, melainkan dapat dirasai adanya. Lalu timbul
pertanyaan dalam hatinya: apa ujud lahirku? Apa kewajiban hidupku?, betapa
seharusnya sikapku, dan di mana kudapat bahagia? Begitulah jadinya soal alam
dalam pikiran: Di sebelah soal kosmologi (kosmos = alam besar) timbul keinsafan
dalam hati tentang kewajiban hidup soal etik.8
Pada waktu dahulu, orang Yunani mengira bahwa bumi dan langit sangat
dekat, dan bumi adalah sangat kecil bila dibandingkan dengan langit. Mereka
6 Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, h. 2 7 Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, h. 2
8 Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, h. 2-3
56
beranggapan bahwa bumi itu diatur oleh para Dewa, diantaranya, Dewa Zeus9
sebagai Dewa Guntur, dan Dewa Helios10
sebagai Dewa Matahari.
Anggapan itu makin lama, makin tidak lagi diikuti oleh masyarakat,
karena pengamatan yang lebih teliti oleh orang-orang di jamannya. Pyhtagoras
yang hidup 2500 tahun yang lalu menyatakan bahwa bumi seperti bola yang tanpa
ujung dan pangkal. Sedangkan Aritoteles berpendapat bahwa di atas bumi terdapat
delapan langit yang terdiri dari Kristal kaca tembus cahaya. Langit bulan yang
beredar pada bumi dianggap terikat pada bumi merupakan langit yang terdekat.
Kemudian diatasnya terdapat langit mercurius dan venus, diatasnya lagi terdapat
langit matahari, langit mars, langit yupiter, dan langit satrunus. Sedangkan
bintang-bintang terdapat pada langit kedelapan.11
9 Adalah raja para dewa dalam mitologi Yunani. Dalam Theogonia karya Hesiodos, Zeus
disebut sebagai “Ayah para Dewa dan manusia”. Zeus tinggal tinggal di Gunung Olimpus. Zeus
adalah dewa langit dan petir. Simbolnya adalah petir, elang, banteng, dan pohon ek. Zeus sering
digambarkan oleh seniman Yunani dalam posisi berdiri dengan tangan memegang petir atau duduk
di tahtanya. Zeus juga dikenal di Romawi Kuno dan India Kuno. Dalam bahasa latin disebut
lopiter sedangkan dalam bahasa Sansekerta disebut Dyus-pita. Zeus adalah anak dari Kronos dan
Rea, dan merupakan yang termuda diantara saudara-saudaranya. Zeus menikah dengan adik
perempuannya, Hera yang menjadi dewi pernikahan. Zeus tereknal karena hubungannya dengan
banyak wanita dan memiliki banyak anak. Anak-anaknya antara lain Athena, Apollo, Artemis,
Hermes, Ares, Hebe, Hefaistos, Persefon, Dionisos, Perseus, Herakles, Helene, Minos, dan
Mousai. Zeus membagi dunia menjadi tiga dan membagi dunia-dunia tersebut dengan kedua
saudaranya, Poseidon yang menjadi dewa penguasa lautan, dan Hades yang menjadi dewa
penguasa dunia bawah (alam kematian). Pendapat lain mengatakan bahwa pembagian tersebut
dilakukan berdasarkan undian yang dilakukan tiga dewa tersebut. Zeus dikaitkan dengan dewa
Jupiter dari mitologi Romawi, dewa Amun dari mitologi Mesir, dewa Tinia dari Mitologi Etruska,
dan dewa Indra dari mitologi Hindu. Zeus, bersama Dionisos, dihubungkan dengan dewa Sabazius
dari Frigia, yang dikenal sebagai Sabazius di Romawi. Artikel di akses pada tanggal 25 Agustus
2016 dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Zeus/ 10 Adalah dewa Matahari dalam mitologi Yunani. Ia personifikasi dari Matahari. Helios
adalah putra dari Titann Hiperon dan Theia dan kakak dari Eos (fajar), dan Selene (bulan). Helios
digambarkan sebagai seorang dewa dengan mahkota cahaya Matahari yang bersinar. Setiap pagi ia
terbang melintasi langit dengan keretanya yang dijalankan oleh empat ekor kuda, dan kembali ke
Kerajaan Emas, istananya yang dibangun oleh Hefaistos/Hephaestus, setelah seharian melintasi
langit. Terkadang dia didefinisikan dengan Apollo. Persamaan dari Helios di mitologi Romawi
adalah Sol, nama latin Matahari. Artikel di akses pada tanggal 25 Agustus 2016 dari
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Helios
11
Soendjojo Dirjosoemarto, Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa (Jakarta: Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta 2001), h. 12
57
Ptolomeus seorang ahli filsafat Yunani lain yang hidup 100 tahun segtelah
Aritoteles menyusun teori baru mengenai kosmos dan ia mengajarkan kepada para
pengikutnya bahwa benda-benda langit itu semua beredar mengelilingi bumi pada
ruang yang kosong.12
2. Pandangan Lebih Maju Dari Yunani
Copernicus lahir Torum-Polandia (1473-1543) setelah bertahun-tahun
menyelidiki bintang dan planet-planet, ia menarik kesimpulan bahwa hanya bulan
saja yang benar mengelilingi bumi, sedangkan planet lain tidak, tetapi semuanya
beredar mengelilingi matahari.
Galileo Galilei yang pada jamannya telah ditemukan teleskop sebagai alat
yang sangat penting bagi pengamatan benda-benda langit. Pada tanggal 7 Januari
1610 dengan menggunakan teleskop menemukan bahawa Jupiter bukan hanya
sebuah titik cahaya kecil, melainkan berupa sebuah bola besar dengan 4 buah
pinggirannya. Ia menemukan jalur hitam di permukaan bulan di duga laut atau
samudra. Dia juga membenarkan teori Copernicus, maka dia di hukum (dipenjara)
oleh pengadilan gereja sampai meninggal.13
3. Pandangan Modern Terhadap Asal Usul Alam Semesta
Tentu saja para sarjana mempunyai kelebihan cara berfikir dari para filsuf
Yunani, para sarjana lebih mementingkan riset, percobaan, perhitungan,
perbandingan dan penelitian yang cermat dibantu dengan alat-alat yang modern,
sedangkan para filsuf mengutamakan pikiran saja sebagai sentral mengetahui
12 Siti Anisah, Konsep Kosmologi Dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya
Dalam Kehidupanj Pemeluknya, h. 18 13
Soendjojo Dirjosoemarto, Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa, h. 13
58
segala sesuatu. Oleh karena itu para sarjana lebih ilmiah dari filsafat, tetap
pendapatnya tidak mutlak benar.14
Ada dua golongan besar materi yang memperkirakan terjadinya tata surya.
a. Tata surya berasal dari matahari yang sebagian materinya terlepas dan menjadi
planet-planet serta satelit. Teori yang mendukung teori ini adalah:
1. Teori Pasang Surut, yang dikemukakan oleh Jeans. Teori ini menyatakan
bahwa ada bintang besar yang mendekati matahari, sehingga timbul efek
pasang pada kabut matahari, akibat daya tarik bintang tadi, sebagian masa
matahari tertarik dan lepas dari matahari yang selanjutnya mendingin dan
terbentuk planet-planet dan satelit-satelit tata surya.
2. Teori Bintang Kembar, yang menyatakan bahwa matahari merupakan
bintang kembar, kemudian satu bintang meledak dan pecahnya mendingin
membentuk planet dan satelit, karena semua terpengaruh oleh gravitasi
matahari, maka planet itu beredar mengelilingi matahari.15
b. Tata surya berasal dari kabut asap atau nebula, oleh Imanuel Kant dan Pierre
Simon De Laplace. Menyatakan bahwa di angkasa berisi berbagai macam gas.
Gas-gas yang masanya besar menarik gas-gas yang ada di sekelilingnya,
bagian kecil itu menyatukan dirinya sehingga membentuk kabut yang besar
yang selanjutnya menjadi matahari. Akibat tumbukan antara bola-bola gas tadi
menyebabkan kabut itu menjadi panas dan berputar. Kabut itu selanjutnya
mendingin dan mengakibatkan perputarannya menjadi lebih cepat. Kabut itu
juga mengalami pemampatan dan penyusutan yang menambah cepatnya
14
Musthafa K.S, Alam Semesta dan Kehancuranya menurut Al-Qur‟an dan Ilmu Pengetahuan
(Bandung: PT al-Maarif, Bandung 1980, h 25 15
Soendjojo Dirjosoemarto, Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa, h. 14
59
perputaran kabut itu, di tempat perputaran yang paling cepat, yaitu di bagian
khatulistiwa bola kabut itu terlontarkan bola-bola gas yang kemudian
mendingin dan mebentuk planet.
Menurut teori ini, karena perputarannya maka nebula yang berputar itu
menjadi pipih seperti piringan yang di kenal sebagai kabut pilin. Inti kabut
pilin itu merupakan bagian yang paling panas yaitu matahari, dan bagian di
luar mendingin sehingga berkondensasi menjadi planet-planet.
Teori ini kemudian diperbaiki oleh Hoyle dan Hannes Alfven (1950)
yang menjelaskan perlambatan perputaran matahari, yaitu karena medan
magnetik yang menghubungkan matahari dengan piringan gas yang berputar
bersamanya memindahkan momen sudut putar dari matahari ke planet-planet,
sehingga kecepatan perputaran planet bertambah, sedang kecepatan matahari
berkurang.
Mengenai terjadinya alam semesta, George Ganow berpendapat pada
saat-saat permulaan dari timbulnya alam semesta ini adalah bahwa semua
masa (benda-benda) yang akan membentuk alam semesta seperti galaksi-
galaksi, semua nebula, gas-gas, matahari, bintang-bintang, seluruh planet dan
satelit serta zat-zat kosmos lainya, berkumpul menjadi satu di bawah tekanan
yang maha tinggi dan sangat kuat, sehingga menyebabkannya pecah dan
runtuh berantakan (collase). Hal ini yang disebut meledak berkeping-keping.
Kepingan-kepingan itu akhirnya menjadi bintang-bintang, matahari, planet-
60
planet, satelit-satelit, galaksi, nebula dan benda-benda semesta lainya
bertaburan memenuhi ruang kosong.16
Dengan anggapan dasar bahwa hanya satu macam hukum alam yang
berlaku untuk seluruh alam semesta, maka tata surya sebagai satu bagian alam
semesta dalam skala kecil dianggap mewakili alam semesta yang maha besar,
untuk mengajukan hipotesis-hipotesis yang sejalan dengan terjadinya alam
semesta. Dari kosmologi yang telah maju dikemukakan teori tentang
terjadinya alam semesta, dimana teori-teori itu dapat dikelompokan menjadi
tiga teori utama. Sejak tahun 1940-an alam semesta telah diterangkan dengan
3 teori. Ketiganya telah sepakat mengenai satu azas yang sama, bahwa alam
semesta memuai ketiga teori itu adalah:
1. Teori Big Bang
Gagasan big bang didasarkan pada alam semesta, yang berasal dari
keadaan panas dan padat yang mengalami ledakan dahsyat dan
mengembang. Semua galaksi di alam semesta akan memuai dan menjauhi
pusat ledakan. Pada teori big bang, alam semesta berasal dari ledakan
sebuah konsentrasi materi tunggal beberapa tahun lalu yang secara terus
menerus berekspansi sehingga pada keadaan yang lebih dingin. Beberapa
helium yang ditemui dalam bintang-bintang sekarang kemungkinan
berasal dari reaksi nuklir dalam bola api kosmik yang padat.17
16 Kurdi Ismail Haji ZA, Kiamat Menurut Ilmu Pengetahuan Dan Al-Quur‟an (Jakarta:
Pustaka Amani, Jakarta, 1996), h 19
17 Bayong Tjasyono Hk., DEA, Ilmu Kebumian dan Antariksa, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya,
Bandung, 2006), h. 49
61
2. Teori Keadaan Tetap (steady state theory)
Meskipun model big bang (dentuman besar) merupakan hipotesis
yang paling mungkin dalam mendiskusikan asal-usul alam semesta, tetapi
teori lain juga telah diusulkan, misalnya teori keadaan tetap, yang diusulkan
pada tahun 1948 oleh H Bondi T Gol, dan F Hoyle dari Univeristas
Cambridge, menurut teori ini, alam semesta tidak ada awalnya dan tidak akan
berakhir. Alam semesta ini akan terlihat seperti sekarang. Materi secara terus
menerus datang berbentuk atom-atom hydrogen dalam angkasa yang
berbentuk galaksi baru dan mengganti galaksi lama yang menjauhi kita dalam
ekspansinya.18
Berdasarkan asumsi tersebut Bondi dan Gold menganggap sesuatu di
alam semesta ini kelihatannya tetap sama meskipun galaksi-galaksi saling
menjauh satu dengan yang lain. Hal itu diduga karena materi di alam semesta
dapat terbentuk terus menerus dalam ruang kosong dengan kecepatan yang
cukup untuk mengganti materi yang berpindah. Pendapat ini ditunjang oleh
kenyataan bahwa tiap-tiap galaksi terbentuk (lahir), tumbuh, menjadi tua dan
akhirnya mati pada saat bintang-bintang yang mendukung galaksi itu
berevolusi mencapai keadaan bajang putih atau disebut juga katai putih.
Dengan terbentuknya materi-materi baru, maka menurut teori ini, alam
semesta tak terhingga besarnya dan tak terhingga tuanya atau dengan kata lain
tanpa awal dan tanpa akhir.19
18 Bayong Tjasyono Hk., DEA, Ilmu Kebumian dan Antariksa, h. 50-51 19
Siti Anisah, Konsep Kosmologi dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya
Dalam Kehidupan Pemeluknya, h. 22-23
62
3. Teori Osilasi (Oscillating Theory)
Teori osilasi menduga bahwa alam semesta tidak ada awal dan tidak
ada akhirnya. Dalam model osilasi dikemukakan bahwa sekarang alam
semesta tidak constatant, melainkan berekspansi yang dimulai dengan
dentuman besar (big bang), kemudian beberapa waktu yang datang gravitasi
mengatasi efek ekspansi ini sehingga alam semesta akan mulai mengempis
(callapse) akhirnya mencapai titik koalis (gabungan) asal, dimana
temperature dan tekanan yang tinggi akan memecahkan semua materi ke
dalam partikel-partikel elementer (dasar) sehingga terjadi dentuman baru dan
ekspansi mulai lagi.20
Untuk dapat menerima model-model kosmologi yang telah
dikemukakan oleh para ahli, para astronomi terus melakukan pengujian
terhadap model-model tadi, atau berusaha memberikan penjelasan yang lebih
mudah diterima oleh akal pikiran manusia. Hal itu disebabkan oleh
pembuktian model-model kosmologi tidak dapat dinantikan sampai terjadi
perubahan pada masa mendatang yang relativ lama.21
B. Proses Penciptaan Alam Semesta
Seabad yang lalu, penciptaan alam semesta adalah sebuah konsep yang
diabaikan oleh para ahli astronomi. Alasannya adalah penerimaan umum atas
gagasan bahwa alam semesta telah ada sejak waktu tak terbatas. Dalam mengkaji
alam semesta, ilmuan beranggapan bahwa jagat raya hanyalah akumulasi materi
20 Siti Anisah, Konsep Kosmologi dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya
Dalam Kehidupan Pemeluknya, h. 23 21
Siti Anisah, Konsep Kosmologi dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya
Dalam Kehidupan Pemeluknya, h. 23
63
dan tidak mempunyai awal. Tidak ada momen “penciptaan”, yakni momen ketika
alam semesta dan segala isinya muncul.22
Gagasan “keberadaan abadi” ini sesuai dengan pandangan orang Eropa
yang berasal dari filsafat materialisme. Filsafat ini, yang awalnya dikembangkan
di Yunani kuno, menyatakan bahwa materi adalah satu-satunya yang ada di jagat
raya dan jagad raya ada sejak waktu tak terbatas dan akan ada selamanya.
Filasafat ini bertahan dalam bentuk-bentuk berbeda selama zaman Romawi,
namun pada akhir kekaisaran Romawai dan Abad Pertengahan, materialisme
mulai mengalami kemunduran karena pengaruh filsafat gereja Katolik dan
Kristen. Setelah Renaisans, materialisme kembali mendapatkan penerimaan luas
diantara pelajar dan ilmuwan Eropa, sebagian besar karena kesetiaan mereka
terhadap Filsafat Yunani kuno. Imanuel Kant-lah yang pada masa pencerahan
Eropa, menyatakan dan mendukung kembali materialisme. Kant menyatakan
bahwa alam semesta ada selamanya dan bahwa setiap probabilitas, betapapun
mustahil, harus dianggap mungkin. Pengikut Kant terus mempertahankan
gagasannya tentang alam semesta tanpa batas beserta materialisme. Pada awal
abad ke-19, gagasan bahwa alam semesta tidak mempunyai awal bahwa tidak
pernah ada momen ketika jagad raya diciptakan secara luas diterima. Pandangan
ini dibawa ke abad-20 melalui karya-karya matrialis dialektik seperti Karl Marx
dan Friedrich Engels.23
Pandangan tentang alam semesta tanpa batas sangat sesuai dengan
athesime. Tidak sulit melihat alasannya. Untuk meyakini bahwa alam semesta
22
Andre Linde, The Self-Reproducing Inflationary Universe, Vol 271 (t,t, Scientific
American, 1994), h. 48. 23
Mohamad Gofar, Gempa Bumi Dalam Perspektif Al-Quran (Skripsi S1 Tafsir Hadist,
Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta , 2008), h. 22.
64
mempunyai permulaan, bisa berarti bahwa ia diciptakan dan itu berarti, tentu saja,
memerlukan pencipta, yaitu Tuhan. Jauh lebih mudah dan aman untuk
menghindari isu ini dengan mengajukan gagasan bahwa “alam semesta ada
selamanya”, meskipun tidak ada dasar ilmiah sekecil apapun untuk membuat
klaim seperti itu. Georges Poltizer, yang mendukung dan mempertahankan
gagasan ini dalam buku-bukunya yang diterbitkan pada awal abad ke-20, adalah
pendukung setia Marxsime dan Matrealisme.24
Dengan mempercayai kebenaran model “jagad raya tanpa batas”,
Poltizer menolak gagasan penciptaan dalam bukunya Principes Fondamentaux de
Philosophie ketika dia menulis: alam semesta bukanlah objek yang diciptakan,
jika memang demikian, maka jagad raya harus diciptakan secara seketika oleh
Tuhan dan muncul dari ketiadaan. Untuk mengakui penciptaan, orang harus
mengakui, sejak awal, keberadaan momen ketika alam semesta tidak ada, dan
bahwa sesuatu muncul dari ketiadaan. Ini pandangan yang tidak bisa diterima
sains.25
Poltizer menganggap sains berada di pihaknya dalam pembelaannya
terhadap gagasan alam semesta tanpa batas. Kenyataanya, sains merupakan bukti
bahwa jagad raya sungguh-sunggu mempunyai permulaan. Dan seperti yang
dinyatakan Poltizer sendiri, jika ada penciptaan maka harus ada penciptannya.26
Lain halnya dengan penciptaan alam semesta dari ketiadaan, dalam bentuk
standarnya, teori Dentuman Besar (Big Bang) mengasumsikan bahwa semua
bagian jagad raya mulai mengembang secara serentak. Namun bagaimana semua
24 Mohamad Gofar, Gempa Bumi Dalam Perspektif Al-Quran, h. 22. 25 George Poltizer, Principes Fondamentaux de Philosophie, (t,t, Edition Sociales, Paris
1954), h. 84. 26 Mohamad Gofar, Gempa Bumi Dalam Perspektif Al-Quran, h. 23.
65
bagian jagad raya yang berbeda bisa menyelaraskan awal pengembangan mereka?
Siapa yang memberikan perintah? Selain menjelaskan alam semesta, model
Dentuman Besar mempunyai impilkasi penting lain. Seperti yang ditunjukan
dalam kutipan dari Anthony Flew di atas, ilmu alam telah membuktikan
pandangan yang selama ini hanya didukung oleh sumber-sumber agama.27
C. Siklus dan Luas Alam Semesta
Seabad yang lalu, para ilmuan yakin bahwa seluruh alam semesta berada
dalam galaksi kita, Bima Sakti. Namun, selama abad ke-20, kemajuan penting di
bidang astronomi fisika, dan teknologi menyingkapkan betapa luasnya alam
semesta itu. Misalnya, berapa dekade belakangan ini, para astronom menyadari
bahwa mereka tidak tahu apa isi lebih dari 90 persen alam semesta ini. Tidak
hanya itu temuan-temuan yang mengarah ke kesimpulan itu telah membuat para
ilmuan meragukan pemahaman mereka sendiri tentang dasar-dasar ilmu fisika.
Tentu saja, keraguan seperti itu bukanlah hal baru.28
Misalnya, menjelang akhir abad ke-19, para fisikawan mengamati
keganjilan pada kecepatan cahaya. Mereka mendapati bahwa dari sudut pandang
pengamat, cahaya selalu sama kecepatannya tidak soal seberapa cepat si pengamat
itu bergerak. Tetapi, itu tampaknya tidak masuk akal. Problem ini terjawab pada
tahun 1905 melalui teori relativitas khusus Albert Einstein, yang memperlihatkan
bahwa jarak (panjang), waktu, dan massa tidak bersifat mutlak. Lalu, pada tahun
1907, setelah mendapat gagasan baru yang ia sebut “pikiran paling
membahagiakandalam hidup saya”, Einstein mulai mengembangkan teori
27
Harun Yahya, Al-Quran dan Sains: Memahami Metodologi Bimbingan Al-Quran bagi Sains,
(Bandung: Dzikra, 2007), h. 81 28
Artikel di akses pada tanggal 20 Mei 2016 dari http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-
in/102009286
66
relativitas umum, yang ia terbitkan pada tahun 1916. Dalam karya yang
revolusioner ini, Einstein menjelaskan kaitan antara gravitasi, ruang, serta waktu,
dan mempertajam penjelasan Issac Newton tentang fisika.29
Untuk mengukur luas langit atau alam semesta para ahli astronomi
menggunakan satuan cahaya. Kecepatan cahaya dalam I detik adalah 300.000 km.
jarak dari bumi ke bulan 450.000 km ditempuh cahaya dalam waktu 1, 5 detik.
Jarak dari bumi ke matahari 149 juta km di tempuh cahaya dalam waktu 8 menit.
Perhitungan kecepatan cahaya yang digunakan untuk mengukur luas langit atau
alam semesta:
PERHITUNGAN KECEPATAN CAHAYA
Kecepatan cahaya = 300.000 km/s
Jarak 1 menit cahaya = 300.000 x 60 = 18.000.000 km
Jarak 1 jam cahaya = 60 x 18.000.000 = 1.080.000.000 km
Jarak 1 hari cahaya = 24 x 1.080.000.000 = 25.920.000.000 km
Jarak 1 tahun cahaya = 360 x 25.920.000.000 = 9.331.200.000.000
Kecepatan cahaya 1 tahun adalah adalah 9.331,2 Triliun
Bintang Terdekat ke bumi berjarak 4,3 TH/C
Bintang terjauh 14 Miliar TH/C
Konon menurut para ahli astronomi jarak bintang terjauh yang dapat
dilihat dengan peneropong bintang Huble dewasa ini adalah 14 Miliar tahun
cahaya. Sulit bagi kita untuk mebayangkannya. Cahaya yang memiliki kecepatan
29
Artikel di akses pada tanggal 20 Mei 2016 dari http://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-
in/102009286
67
300.000 km/detik jika dipancarkan dari bumi ini diperkirakan baru sampai
ketepian alam semesta setelah 14 Miliar tahun.30
Ilmu astronomi menggambarkan struktur bintang di langit sebagai berikut.
Matahari adalah bintang terdekat kepada kita. Matahari dikelilingi oleh Sembilan
buah planet yang berkeliling di sekitar matahari. Sembilan planet berikut asteroid
dan komet yang berdedar di sekitar matahari termasuk dalam keluarga matahari.
Keluarga matahari bersama dua ratus miliar bintang lainya yang setara atau
bahkan lebih besar dari matarhi berkumpul dalam suatu keluarga yang disebut
galaksi. Matahari kita ini berada dalam salah satu dari lengan galaksi bima sakti
(Milky Way). Galaksi bima sakit dengan beberapa galaksi lain diantaranya
adromeda membentuk sebuah kelompok galaksi yang disebut cluster ribuan
cluster ini akan membentuk satu kelompok yang disebut super cluster. Super
cluster yang berisi ribuan cluster ini bertebaran di dalam semesta membentuk
jagad raya yang maha luas.31
30 Artikel di akses pada tanggal 20 Mei 2016 dari
http://www.fadhliza.com/2008/12/renungan/perhitungan-kecepatan-cahaya.html 31
Artikel di akses pada tanggal 20 Mei 2016 dari
http://www.fadhliza.com/2008/12/renungan/perhitungan-kecepatan-cahaya.html
68
BAB IV
KOMPARASI KOSMOLOGI BUDDHA DENGAN KOSMOLOGI SAINS
MODERN
A. Asal Mula Alam Semesta
Konsep dasar asal mula alam semesta menurut Buddha dan sains modern
memiliki beberapa kesamaan. Bahwasannya asal mula alam semesta menurut
pendapat Sang Buddha, bahwa alam semesta, yang disebut Beliau sebagai
Samsara, adalah tanpa awal, Beliau bersabda:
“Tak dapat ditentukan awal dari alam semesta. Titik terjauh dari
kehidupan, berpindah dari kelahiran, terikat oleh ketidaktahuan dan
keinginan, tidaklah dapat diketahui.”
(Samyutta Nikaya II : 178).1
Dalam pendapat lain Beliau bersabda:
“Ketika pikiran terkonsentrasiku, dengan demikian termurnikan, tidak
tercela mengatasi semua kekotoran, dapat diarahkan, mudah diarahkan,
serta aku memusatkannya pada kelahiran-kelahiran yang lampau, satu,
dua, … ratusan, ribuan, banyak kalpa dari penyusutan dunia, banyak
kalpa dari pengembangan dari penyusutan dunia”
(Bhayaberava sutta, sutta ke-4 Majjhimanikaya)
Dari sini dapat dipahami bahwa proses penyusutan dan pengerutan
tersebut berlangsung sangat lama yang mana yang di maksud kalpa adalah satuan
waktu India kuno yang berlangsung selama miliaran tahun. Menurut ajaran
Buddha seluruh alam ini adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang
mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu Ia disebut sankhata dharma
yang berarti ada yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap dan
berubah. Alam semesta adalah suatu proses kenyataan yang selalu dalam keadaan
menjadi keadaan lain yang sangat berurutan.
1 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 11.
69
Dalam memahami pengembangan dan penciutan alam semesta Belaiu
Bersabda:
“Lebih awal atau lebih lambat, ada suatu waktu, sesudah masa waktu
yang sangat panjang sekali alam semesta menciut, tetapi lebih awal atau
lebih lambat, sesudah masa yang lama sekali, alam semesta mulai
mengembang lagi”
(Digha Nikaya III : 84)2
Dalam memandang tata surya, galaksi, dan kelompok galaksi kitab suci
Agama Buddha telah menyebutkan hal tersebut ribuan tahun bahkan sebelum
dunia Barat menemukan peralatan canggih untuk mengetahuinya. Penganut agama
Buddha sejak zaman dahulu telah menggambarkan galaksi sebagai berbentuk
spiral. Istilah dalam bahasa Pali untuk galaksi adalah cakkavala yang berasal dari
kata cakka, yang berarti cakram/roda. Sang Buddha secara sangat jelas dan tepat
menggambarkan kelompok-kelompok galaksi, yang oleh para ilmuan baru
ditemukan. Beliau menyebutnya sebagai sistim dunia (loka dhatu) dan
menambahkan perbedaan dalam ukurannya: sistim dunia ribuan-lipat, sistim dunia
puluhan ribu-lipat, sistim dunia besar, dan seterusnya. Beliau menyebutkan sistim
dunia terdiri dari ribuan matahari dan palnet, walau sebenarnya oleh para ahli
astronomi menyebutnya sebagai jutaan.3
“Sejauh matahari-matahari dan bulan-bulan berputar, bersinar dan
memancarkan sinarnya ke angkasa, sejauh itu pula sistim dunia ribuan-
lipat. Didalamnya terdapat ribuan matahari, ribuan bulan.”
(Anguttara Nikaya I : 227)
Dahulu, dalam waktu yang sangat lama, manusia tidak dapat
membayangkan luas alam semesta baik dalam satuan waktu maupun ruang untuk
dapat memahami asal dan luas alam semesta. Pemikiran saat itu terbatas serta
2 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 11.
3 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 12.
70
terikat kepemahaman dunia semesta. Didalama bible misalnya, dipahami bahwa
seluruh alam semesta diciptakan dalam enam hari dan penciptaan itu terjadi
barulah beberapa ribu tahun lalu.4
Demikianlah asal mula alam semesta menurut Buddha. Sedangkan asal
mula alam semesta menurut sains modern kita tahu bahwa para pakar ilmu
pengetahuan sekarang meyakini, bahwa alam semesta adalah suatu sistem yang
berdenyut, yang setelah mengembang secara maksimal, lalu menciut dengan
segala energi yang ditekan pada suatu bentukan masa; sedemikian besar sehingga
menyebabkan ledakan, yang disebut sebagi “Big Bang”, yang berakibat pelepasan
energi. Pengembangan dan penciutan alam semesta berlangsung dalam kurun
waktu miliaran tahun.5
Penemuan teleskop konvensional dan teleskop radio belakangan
kemudian, telah memungkinkan para ahli astronomi untuk mengetahui tidak saja
asal dan sifat alam dari alam semesta, tapi juga susunannya. Diketahui sekarang,
bahwa alam semesta terdiri dari sekian miliar bintang, planet, asteroid dan komet.
Semua benda langit tersebut berkelompok dalam bentuk cakram atau spiral yang
disebut galaksi. Planet bumi kita hanya satu titik kecil yang terdapat pada suatu
galaksi yang diberi nama Bimasakti (Inggris: Milky Way). Bimasakti atau Milky
Way terdiri atas kurang lebih 100 miliar bintang dengan jarak ujung ke ujung
60.000 tahun cahaya. Telah diketahui pula bahwa galaksi-galaksi di dalam
semesta ini tersusun berkelompok. Kelompok galaksi dimana Bimasakti kita
4 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 12.
5 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 11.
71
berada terdiri dari dua lusin galaksi; kelompok lain, kelompok Virgo misalnya
terdiri dari ribuan galaksi.6
Mengenai terjadinya alam semesta, George Ganow berpendapat pada
saat-saat permulaan dari timbulnya alam semesta ini adalah bahwa semua
masa (benda-benda) yang akan membentuk alam semesta seperti galaksi-
galaksi, semua nebula, gas-gas, matahari, bintang-bintang, seluruh planet dan
satelit serta zat-zat kosmos lainya, berkumpul menjadi satu di bawah tekanan
yang maha tinggi dan sangat kuat, sehingga menyebabkannya pecah dan
runtuh berantakan (collase). Hal ini yang di sebut meledak berkeping-keping.
Kepingan-kepingan itu akhirnya menjadi bintang-bintang, matahari, planet-
planet, satelit-satelit, galaksi, nebula dan benda-benda semesta lainya
bertaburan memenuhi ruang kosong.7
Dengan anggapan dasar bahwa hanya satu macam hukum alam yang
berlaku untuk seluruh alam semesta, maka tata surya sebagai satu bagian alam
semesta dalam skala kecil dianggap mewakili alam semesta yang maha besar,
untuk mengajukan hipotesis-hipotesis yang sejalan dengan terjadinya alam
semesta. Dari kosmologi yang telah maju dikemukakan teori tentang
terjadinya alam semesta, dimana teori-teori itu dapat di kelom pokan menjadi
tiga teori utama. Sejak tahun 1940-an alam semesta telah diterangkan dengan
3 teori. Ketiganya telah sepakat mengenai satu azas yang sama, bahwa alam
semesta memuai ketiga teori itu adalah:
6 Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 11-12.
7 Kurdi Ismail Haji ZA, Kiamat Menurut Ilmu Pengetahuan Dan Al-Quur’an (Jakarta:
Pustaka
Amani, Jakarta, 1996), h 19
72
1. Teori Big Bang
Gagasan Big Bang didasarkan pada alam semesta, yang berasal dari
keadaan panas dan padat yang mengalami ledakan dahsyat dan
mengembang. Semua galaksi di alam semesta akan memuai dan menjauhi
pusat ledakan. Pada teori Big Bang, alam semesta berasal dari ledakan
sebuah konsentrasi materi tunggal beberapa tahun lalu yang secara terus
menerus berekrpansi sehingga pada keadaan yang lebih dingin. Beberapa
helium yang ditemui dalam bintang-bintang sekarang kemungkinan
berasal dari reaksi nuklir dalam bola api kosmik yang padat.8
2. Teori Keadaan Tetap (steady state theory)
Meskipun model Big Bang (dentuman besar) merupakan hipotesis
yang paling mungkin dalam mendiskusikan asal-usul alam semesta, tetapi
teori lain juga telah di usulkan, misalnya teori keadaan tetap, yang diusulkan
pada tahun 1948 oleh H Bondi T Gol, dan F Hoyle dari univeristas
Cambridge, menurut teori ini, alam semesta tidak ada awalnya dan tidak akan
berakhir. Alam semesta ini akan terlihat seperti sekarang. Materi secara terus
menerus datang berbentuk atom-atom hydrogen dalam angkasa yang
berbentuk galaksi baru dan mengganti galaksi lama yang menjauhi kita dalam
ekspansinya.9
Berdasarkan asumsi tersebut Bondi dan Gold menganggap sesuatu di
alam semesta ini kelihatannya tetap sama meskipun galaksi-galaksi saling
menjauh satu dengan yang lain. Hal itu diduga karena materi di alam semesta
dapat terbentuk terus menerus dalam ruang kosong dengan kecepatan yang
8 Bayong Tjasyono Hk., DEA, Ilmu Kebumian dan Antariksa, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya,
Bandung, 2006), h. 49 9 Bayong Tjasyono Hk., DEA, Ilmu Kebumian dan Antariksa, h. 50-51
73
cukup untuk mengganti materi yang berpindah. Pendapat ini ditunjang oleh
kenyataan bahwa tiap-tiap galaksi terbentuk (lahir), tumbuh, menjadi tua dan
akhirnya mati pada saat bintang-bintang yang mendukung galaksi itu
berevolusi mencapai keadaan bajang putih atau disebut juga katai putih.
Dengan terbentuknya materi-materi baru, maka menurut teori ini, alam
semesta tak terhingga besarnya dan tak terhingga tuanya atau dengan kata lain
tanpa awal dan tanpa akhir.10
3. Teori Osilasi (Oscillating Theory)
Teori osilasi menduga bahwa alam semesta tidak ada awal dan tidak
ada akhirnya. Dalam model osilasi dikemukakan bahwa sekarang alam
semesta tidak constatant, melainkan berekspansi yang dimulai dengan
dentuman besar (Bing Bang), kemudian beberapa waktu yang datang gravitasi
mengatasi efek ekspansi ini sehingga alam semesta akan mulai mengempis
(callapse) akhirnya mencapai titik koalis (gabungan) asal, dimana
temperature dan tekanan yang tinggi akan memecahkan semua materi ke
dalam partikel-partikel elementer (dasar) sehingga terjadi dentuman baru dan
ekspansi mulai lagi.11
Untuk dapat menerima model-model kosmologi yang telah
dikemukakan oleh para ahli, para astronomi terus melakukan pengujian
terhadap model-model tadi, atau berusaha memberikan penjelasan yang lebih
mudah diterima oleh akal pikiran manusia. Hal itu disebabkan oleh
10
Siti Anisah, Konsep Kosmologi dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya
Dalam Kehidupanj Pemeluknya, h. 22-23 11
Siti Anisah, Konsep Kosmologi dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya
Dalam Kehidupanj Pemeluknya, h. 23
74
pembuktian model-model kosmologi tidak dapat dinantikan sampai terjadi
perubahan pada masa mendatang yang relativ lama.12
B. Proses Penciptaan Alam
Konsep dasar proses penciptaan alam semesta menurut Buddha dan Sains
modern memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan, Sutra lain yang banyak
menggambarkan alam semesta adalah Avatamsaka Sutra yang berbahasa
Sanskerta. Berikut ini terdapat beberapa kutipan Avatamsaka Sutra bab 4 yang
berkaitan dengan kosmologi Buddhis:
“Putera-putera Buddha, sistim-sistim dunia (galaksi) tersebut memiliki
aneka bentuk dan sifat-sifat yang berbeda. Jelasnya, beberapa di
antaranya bulat bentuknya, beberapa di antaranya segi empat bentuknya,
beberapa di antaranya tidak bulat dan tidak pula segiempat. Ada
perbedaan [bentuk] yang tak terhitung. Beberapa bentuknya seperti
pusaran, beberapa seperti gunung kilatan cahaya, beberapa seperti
pohon, beberapa seperti bunga, beberapa seperti istana, beberapa seperti
makhluk hidup, beberapa seperti Buddha….”13
Penjelasan di atas menggambarkan terdapat berbagai bentuk sistem dunia
(yang mungkin dapat disamakan dengan galaksi). Menurut hasil pengamatan,
beberapa galaksi seperti galaksi Bima Sakti kita dan Andromeda berbentuk spiral
(pusaran), beberapa seperti galaksi M47 dan M89 berbentuk elips (bulat),
beberapa berbentuk tidak beraturan (tidak bulat dan tidak segiempat) seperti
galaksi Awan Magellan dan M82, dan beberapa lainnya berbentuk seperti
makhluk hidup misalnya Nebula Kepala Kuda.
“Terdapat beberapa sistim dunia, Terbentuk dari permata, Kokoh dan
terhancurkan,
Bernaung di atas bunga teratai nan berharga.”
“Beberapa di antaranya terbentuk dari berkas cahaya murni, Yang asalnya
tak dikenal, Semuanya merupakan berkas-berkas cahaya, Bernaung di ruang
12 Siti Anisah, Konsep Kosmologi dalam Agama Islam dan Buddha Serta Implikasinya
Dalam Kehidupanj Pemeluknya, h. 23 13
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma, h. 14
75
kosong.”
“Beberapa di antaranya terbentuk dari cahaya murni, Dan juga bernaung
pada pancaran-pancaran cahaya, Diselubungi oleh awan cahaya, Tempat di
mana para Bodhisattva berdiam.”
Ini menjelaskan komposisi galaksi di alam semesta: ada yang terdiri atas
materi (yang digambarkan seperti permata), ada yang terdiri dari sinar kosmis
(yang digambarkan sebagai berkas cahaya), dan ada yang diselubungi awan gas
nebula (yang digambarkan sebagai awan cahaya).14
“Putera-putera Buddha, jika dijelaskan secara singkat, terdapat sepuluh
penyebab dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya sistim dunia, baik
yang telah berlangsung, sedang berlangsung, atau akan berlangsung. Apakah
sepuluh hal itu? Kesepuluh hal itu adalah:
1) Karena kekuatan gaib para Buddha
2) Terbentuk secara alami oleh hukum alam
3) Karena akumulasi karma para makhluk
4) Karena apa yang telah direalisasi oleh para Bodhisattva yang
mengembangkan kemaha-tahuan.
5) Karena akar kebajikan yang diakumulasi baik oleh para Bodhisattva dan
semua makhluk.
6) Karena kekuatan ikrar para Bodhisattva yang memurnikan dunia-dunia itu.
7) Karena para Bodhisattva telah menyempurnakan praktek kebajikan dengan
pantang mundur.
8) Karena kekuatan kebebasan para Bodhisattva dalam kebajikan murni.
9) Karena kekuatan independen yang mengalir dari akar kebajikan semua
14
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma, h. 18
76
Buddha dan saat pencerahan semua Buddha.
10) Karena kekuatan independen ikrar Bodhisattva Kebajikan Universal.”
Kutipan di atas menjelaskan penyebab terbentuknya galaksi yang salah
satunya disebabkan oleh bekerjanya hukum alam sesuai dengan teori kosmologi
modern, sedangkan penyebab lainnya merupakan hasil dari perbuatan (karma)
atau kebajikan makhluk hidup apakah makhluk biasa, seorang Bodhisattva (calon
Buddha), ataupun seorang Buddha.15
Demikianlah proses penciptaan alam semesta menurut Buddha. Sedangkan
proses penciptaan alam semesta menurut sains modern bahwasannya gagasan
“keberadaan abadi” ini sesuai dengan pandangan orang Eropa yang berasal dari
filsafat materialisme. Filsafat ini, yang awalnya dikembangkan di Yunani kuno,
menyatakan bahwa materi adalah satu-satunya yang ada di jagat raya dan jagad
raya ada sejak waktu tak terbatas dan akan ada selamanya. Filasafat ini bertahan
dalam bentuk-bentuk berbeda selama zaman Romawi, namun pada akhir
kekaisaran Romawai dan Abad Pertengahan, materialisme mulai mengalami
kemunduran karena pengaruh filsafat gereja Katolik dan Kristen. Setelah
Renaisans, materialismse kembali mendapatkan penerimaan luas diantara pelajar
dan ilmuwan Eropa, sebagian besar karena kesetiaan mereka terhadap Filsafat
Yunani kuno. Imanuel Kant-lah yang pada masa pencerahan Eropa, menyatakan
dan mendukung kembali materialisme. Kant menyatakan bahwa alam semesta
alam semesta ada selamanya dan bahwa setiap probabilitas, betapapun mustahil,
harus dianggap mungkin. Pengikut Kant terus mempertahankan gagasannya
tentang alam semesta tanpa batas beserta materialisme. Pada awal abad ke-19,
15
Tanhadi, Alam Semesta Dalam Buddha Dhamma,(tp, tt), h. 19
77
gagasan bahwa alam semesta tidak mempunyai awal bahwa tidak pernah ada
momen ketika jagad raya diciptakan secara luas diterima. Pandangan ini dibawa
ke abad-20 melalui karya-karya matrialis dialektik seperti Karl Marx dan
Friedrich Engels.16
Pandangan tentang alam semesta tanpa batas sangat sesuai dengan
atesime. Tidak sulit melihat alasannya. Untuk meyakini bahwa alam semesta
mempunyai permulaan, bisa berarti bahwa ia diciptakan dan itu berarti, tentu saja,
memerlukan pencipta, yaitu Tuhan. Jauh lebih mudah dan aman untuk
menghindari isu ini dengan mengajukan gagasan bahwa “alam semesta ada
selamanya”, meskipun tidak ada dasar ilmiah sekecil apapun untuk membuat
klaim seperti itu. Georges Poltizer, yang mendukung dan mempertahankan
gagasan ini dalam buku-bukunya yang diterbitkan pada awal abad ke-20, adalah
pendukung setia Marxsime dan Matrealisme.17
Dengan mempercayai kebenaran model “jagad raya tanpa batas”,
Poltizer menolak gagasan penciptaan dalam bukunya Principes Fondamentaux de
Philosophie ketika dia menulis: alam semesta bukanlah objek yang diciptakan,
jika memang demikian, maka jagad raya harus diciptakan secara seketika oleh
Tuhan dan muncul dari ketiadaan. Untuk mengakui penciptaan, orang harus
mengakui, sejak awal, keberadaan momen ketika alam semesta tidak ada, dan
bahwa sesuatu muncul dari ketiadaan. Ini pandangan yang tidak bisa diterima
sains.18
16 Mohamad Gofar, Gempa Bumi Dalam Perspektif Al-Quran (Skripsi S1 Tafsir Hadist,
Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta , 2008), h. 22. 17 Mohamad Gofar, Gempa Bumi Dalam Perspektif Al-Quran, h. 22. 18
George Poltizer, Principes Fondamentaux de Philosophie, (t,t, Edition Sociales, Paris
1954), h. 84.
78
C. Siklus dan Luas Alam Semesta
Konsep dasar siklus dan luas alam semesta menurut Buddha dan sains
modern memiliki beberapa kesamaan dan perbedaan, dalam pandangan Buddha
bahwasannya siklus dan luas alam semesta menurut Tipitaka alam semesta ini
melalu satu proses pembentukan dan kehancuran yang berulang-ulang dan
berawal dari asal mula waktu yang awalnya yang tak terpikirkan. Proses berulang
tersebut sudah setua usia waktu itu sendiri yang tak terbayangkan. Pembentukan
yang terakhir adalah alam semsesta yang kita huni ini. Awal pembentukannya
telah berlangsung selama lebih dari satu Asankheyya kappa yang lampau.
Assankheyya berarti tak terhitung sedangkan kappa berarti siklus dunia
maksudnya yaitu masa terbentuknya bumi, hancur dan terbentuk kembali.
Makhluk hidup menempati bumi hanya selama 1 asankheyya kappa. Antara kappa
adalah jarak waktu umur manusia rata-rata 10 tahun naik hingga umur manusia
rata-rata menjadi panjang sekali (tak terhitung) dan kemudian turun lagi menjadi
10 tahun.19
Kalau menurut Kitab Suci Tipitaka Pali empat Asankheyya kappa sama
dengan satu maha kappa dan satu asankheyya sama dengan dua puluh Antara-
kappa, berarti satu maha kappa sama dengan delapam puluh Antarakappa, (satu
Antara-kappa adalah selang waktu umur rata-rata manusia sepuluh tahun, naik
menjadi tak terhitung dan turun kembali menjadi rata-rata sepuluh tahun).20
Sedangkan lamanya mahakappa adalah waktu yang diperlukan untuk
menghabiskan sebuah bukit cadas yang berukuran lebar, panjang, dan dalamnya
satu mil, yang mulus tanpa cacat dengan gosokan sutra yang paling halus setiap
19
Fabian H. Chandra, Kosmologi StudiStruktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 2. 20 Fabian H. Chandra, Kosmologi Studi Struktur Dan Asal Mula Alam Semesta, h. 3.
79
seratus tahun sekali, apabila batu cadas itu habis maka belum satu kappa
terlampaui. Pernyataan yang ada dalam kitab suci ini tidak membantu kita
memperkirakan lamanya satu kappa secara riil. Tetapi ada cara membuat
perkiraan umur bumi berdasarkan kalkulasi sederhana, yaitu:
Anggaplah batu cadas akan habis tergosok setebal 1 mm setelah 10.000
kali gosokan, jika demikian maka batu karang setebal 1 mil yang digosok berputar
selama 100 tahun sekali lamanya adalah,
1,6 km x 1000 m x 1000 mm x 10.000 gosokan x 100 tahun =
1.600.000.000.000 tahun di bagi 2 atau Lebih dari 800 miliar tahun.
Tetapi menurut pendapat seorang pakar ada pendekatan lain yang
membuat kita dapat menghitung secara matematis sederhana berapa lamanya satu
kappa, metode ini agak berbeda dengan metode diatas dan jumlah total hasil
perhitungannya lebih banyak, yaitu dengan perumpamaan biji mustard, ( manual
of Abhidamma hal. 246). Biji mustard berukuran lebih kecil daripada biji
ketumbar dan lebih besar daripada biji wijen. Apabila ada mustard sebanyak satu
mil kubik dan setiap seratus tahun diambli sebutir maka setelah biji mustard itu
habis maka kurang lebih satu kappa telah berlalu, anggaplah diameter biji mustard
sebanyak satu mil kubik adalah,
Satu mil = 1.600.000 mm = 1,6 x 106
Satu mil kubik = (1,6 x 106)3 = 4, 096 x 108
Anggap saja ukuran biji mustard adalah
2 mm x 2 mm x 2 mm = 8 mm3
Maka banyakanya biji mustard dalam satu mil kubik adalah,
4,096 x 1018 mm3 dibagi 8 mm3 = 5.12 x 1017 butir.
80
Bila diambil satu butir setiap sertus tahun maka lamanya maha kappa
adalah
+ 5.12 x 1017 x 100 tahun = 5.12 x 1019
Dan satu asankheyya adalah,
5.12 x 1019 tahun dibagi empat yaitu 1.28 x 1019 tahun
Atau 12.800.000.000.000.000.000 tahun
(dua belas juta delapan ratus ribu triliun tahun).
Walaupun kedua metode diatas memiliki jumlah waktu yang sangat
berbeda, tetapi persamaan kedua metode diatas yaitu, sama-sama lama sekali.
Umur alam semesta lebih dari dari satu asankheyya kappa, mengapa berbeda
demikian banyak beda dengan pendapat ahli fisika.21
Menurut pandangan sains modern bahwasannya, kita tahu bahwa untuk
mengukur luas langit atau alam semesta para ahli astronomi menggunakan satuan
cahaya. Kecepatan cahaya dalam I detik adalah 300.000 km. jarak dari bumi ke
bulan 450.000 km ditempuh cahaya dalam waktu 1, 5 detik. Jarak dari bumi ke
matahari 149 juta km di tempuh cahaya dalam waktu 8 menit. Perhitungan
kecepatan cahaya yang digunakan untuk mengukur luas langit atau alam semesta:
PERHITUNGAN KECEPATAN CAHAYA
Kecepatan cahaya = 300.000 km/s
Jarak 1 menit cahaya = 300.000 x 60 = 18.000.000 km
Jarak 1 jam cahaya = 60 x 18.000.000 = 1.080.000.000 km
Jarak 1 hari cahaya = 24 x 1.080.000.000 = 25.920.000.000 km
Jarak 1 tahun cahaya = 360 x 25.920.000.000 = 9.331.200.000.000
21
Fabian H. Chandra, Kosmologi StudiStruktur Dan Asal Mula Alam Semesta, (tp, tt), h.5.
81
Kecepatan cahaya 1 tahun adalah adalah 9.331,2 Triliun
Bintang Terdekat ke bumi berjarak 4,3 TH/C
Bintang terjauh 14 Miliar TH/C
Konon menurut para ahli astronomi jarak bintang terjauh yang dapat
dilihat dengan peneropong bintang Huble dewasa ini adalah 14 Miliar tahun
cahaya. Sulit bagi kita untuk mebayangkannya. Cahaya yang memiliki kecepatan
300.000 km/detik jika dipancarkan dari bumi ini diperkirakan baru sampai
ketepian alam semesta setelah 14 Miliar tahun.22
Ilmu astronomi menggambarkan struktur bintang di langit sebagai berikut.
Matahari adalah bintang terdekat kepada kita. Matahari dikelilingi oleh Sembilan
buah planet yang berkeliling di sekitar matahari. Sembilan planet berikut asteroid
dan komet yang berdedar di sekitar matahari termasuk dalam keluarga matahari.
Keluarga matahari bersama dua ratus miliar bintang lainya yang setara atau
bahkan lebih besar dari matarhi berkumpul dalam suatu keluarga yang disebut
galaksi. Matahari kita ini berada dalam salah satu dari lengan galaksi bima sakti
(Milky Way). Galaksi bima sakit dengan beberapa galaksi lain diantaranya
adromeda membentuk sebuah kelompok galaksi yang disebut cluster ribuan
cluster ini akan membentuk satu kelompok yang disebut super cluster. Super
cluster yang berisi ribuan cluster ini bertebaran di dalam semesta membentuk
jagad raya yang maha luas.23
22
Artikel di akses pada tanggal 20 Mei 2016 dari
http://www.fadhliza.com/2008/12/renungan/perhitungan-kecepatan-cahaya.html 23
Artikel di akses pada tanggal 20 Mei 2016 dari
http://www.fadhliza.com/2008/12/renungan/perhitungan-kecepatan-cahaya.html
82
D. Pandangan Islam Tentang Kosmologi
Manusia dan alam sekitarnya sebagai makhluk Tuhan secara keseluruhan
merupakan penyebab utama terjadinya berbagai macam perubahan sistem
kehidupan tetapi semenjak dahulu kala, kecuali manusia, makhluk hidup yang lain
itu menjadi penyebab timbulnya perubahan secara alami yang bercirikan
keajegan, keseimbangan dan keselarasan. Sedangkan manusia mempunyai potensi
dan kemampuan untuk merubahnya secara berbeda karena perkembangan ilmu
dan teknologi yang dikuasai khusunya, serta perkembangan kebudayaan pada
umumnya.24
Manusia dalam Al-Quran menurut pandangan seorang Orientalis Dirk
Bakker adalah ciptaan dan Tuhan adalah penciptanya,25
manusia adalah makhluk
yang istimewa karena dapat mengikuti tuntunan akal dalam hal-hal yang diketahui
tuntunan iman dalam hal-hal yang tidak diketahuinya.26
Mengenai penciptaan alam semesta, sebagaimana termaktub dalam Al-
Quran, surat Ali Imran; 190-191, memberikan informasi tentang penciptaan,
struktur dan perkembangan (evolusi) alam semesta adalah salah satu hal untuk
mengingat kekuasaan Allah. Sehingga ada empat karakter dalam diri seorang
muslim yang berfikir (ulil albab):
1. Mereka yang senantiasa mengingat Allah sambil berdiri, duduk,
maupun berbaring (segala aktivitasnya);
2. Dan selalu memikirakan tentang penciptaan langit dan bumi (tak henti
menelaah fenomena alam);
24
Moh. Soerjani, Lingkungan Sumber daya Alam dan Kependudukan dalam
Pembangunan (Jakarta: UI Press, 1987), h. 12 25
Dirk Bakker, Man in the Quran, (Holland: Drukkerij Holland, N. V., 1965), h. 12 26
Al-Syayuthi, Al-maqal fi al-insan, (Mesir: Dirasah Qur‟aniyah Dar al-Ma‟arif, 1966),
h. 35
83
3. (bila di jumpainya suatu kekaguman mereka berkata:) “Tuhan kami,
tiadalah Engkau ciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau.”
4. (dan dengan kesadaran bahwa pengembaraan intelektualnya mungkin
sesaat, mereka senatiasa memohon kepada Allah:) “Dan jauhkanlah
kami dari siksa neraka”.27
Kemudian alam semesta bermula juga diterangkan dalam Al-Quran
dengan menggambarkan tentang penegasan kepada orang kafir yang tetap
tidak mau beriman bahwa antara langit dan bumi adalah suatu yang padu,
lalu Allah memisahkan antara keduanya. Dan dari air Allah menjadikan
segala sesuatu yang hidup.28
Al-Quran menyatakan alam semesta datang
dari satu sumber materi dan energi, dan kemudian Allah
mengembangkannya. Islam mengakui konsep singularti alam semesta
(teori Big Bang).
Al-Quran secara jelas menyebutkan bahwa alam semesta ini
mengembang. Alam semesta ini dinamik dengan segala konsekuensinya.
Konsep alam semesta mengembang adalah adalah satu konsep
fundamental dalam Kosmologi Modern. Pengembangan alam semesta
dibuktikan oleh Allah dengan tanda-tanda kekuasaanNya yaitu dengan
menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata yang Dia
sebarkan pada keduanya. Dan Dia mengumpulkan semuanya apabila
dikhendakiNya.29
Banyaknya planet di alam semesta ini memungkinkan
bahwa kehidupan bisa terjadi tidak hanya di bumi kita. Ayat tersebut
27
Al-Qur’an, Surat Ali Imran : 190-191 28
Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya : 30 29
Al-Qur’an, Surat Al-Syura : 29
84
secara eksplisit menjelaskan bahwa adanya makhluk di langit (di luar
bumi) yang berdiam.
Alam semesta ini memang masih lama untuk berkahir menurut
prediksi manusia yang memiliki keterbatasan kemampuan memahami
qudrah dan iradah Allah, karena masih mengembang. Tapi, bumi dan tata
surya kita bisa saja lebih hancur jauh lebih dahulu daripada Alam Semesta.
Namun Allah mempertegas bahwa pasti akan terjadi akhir alam semesta
yang juga di bicarakan dalam Al-Quran, dengan mengetengahkan betapa
dahsyatnya ketika alam semesta berakhir yang lazim disebut dengan
kiamat. Peristiwa tersbeut mengindikasikan bahwa langit dan bumi
kembali menjadi satu.30
Demikian juga Al-Quran bercerita tentang
matahari membengkak sampai menjadi merah dengan temperatur yang
luar biasa panasnya. Saking panasnya sehingga semua air yang ada di
bumi menggelegak dan menguap. Inilah salah satu proses evolusi bintang,
dan matahari kita adalah seperti bintang biasa yang pasti akan mengalami
proses mati.31
Kosmologi sesuai dengan namanya, adalah ilmu yang menyelidiki
dan mepelajari kosmos (alam semesta) yang biasanya didefinisikan
sebagai segala sesuatu selain Tuhan Yang Maha Esa. Berbeda dengan
kosmologi modern/barat, kosmologi dalam Islam berbicara bukan hanya
satu tatanan kosmos yaitu tatanan fisik tetap juga meliputi tatanan dunia
lain yang non fisik. Penelitian kosmologi biasanya diarahkan pada teori
penciptaan alam semesta. Pertanyaan bagaimana alam semesta yang
30
Al-Qur’an, Surat Al-Qiyamah : 8-9 31
Al-Qur’an, Surat Al-Takwir : 1,2,6,11,12
85
beraneka ragam ini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, padahal ada
hokum filosofis yang menyatakan bahwa dari yang satu hanya aka lahir
satu juga, adalah pernyataan fundamental dalam kosmologi yang telah
mengisi benak para filosof muslim, penelitian ini telah telah melahirkan
berbagi teori penciptaan, khusunya teori emanasi (faydh) dan telah
diabadikan dalam berbagai karya filosof mereka.32
32
Ian Richard Netton, Allah Transcendent: Studies in the Structure and Semiotics of
Islamic Philosopy, Theologi and Cosmologi, dalam Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi
Tradisi, h. 158-159.
86
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan beberapa kesimpulan
penting berdasarkan data dan analisis penulis lakukan terhadap penulisan skripsi
yang berjudul “Komparasi Konsep Kosmologi Dalam Perspektif Buddha Dengan
Kosmologi Sains Modern”, dan sekaligus merupakan jawaban terhadap rumusan
masalah yang telah dikemukakan penulis pada Bab I, adapun kesimpulan
pembahasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menurut pandangan Buddha seluruh alam semesta ini adalah ciptaan yang
timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena
itu ia disebut sankhata dharma yang berarti ada, yang tidak mutlak dan
mempunyai corak timbul, lenyap dan berubah. Alam semesta adalah suatu
proses kenyataan yang selalu dalam keadaan menjadi. Hakikat kenyataan itu
adalah arus perubahan dari suatu keadaan lain yang berurutan. Dalam agama
Buddha terjadinya alam semesta adalah timbul dari serangkaian sebab akibat.
Agama Buddha menganggap bahwa terjadinya alam semesta adalah suatu
kebetulan belaka asal mula manusia dan alam, ia mengajarkan absolute
determinisme (bahwa hidup manusia sudah ditentukan secara absolut tidak
bisa diubah-ubah lagi ). Ajaran agama Buddha betitik tolak dari kenyataan
yang dialami oleh manusia dalam hidupnya. Ajarannya tidak dimulai dari
prinsip-prinsip yang transcendent, yang mempersoalkan tentang Tuhan dan
hubungannnya dengan alam semesta dan segala isinya, melainkan dimulai
dengan menjalankan tentang dukkha yang selalu menyerti hidup manusia dan
87
cara membebasakannya dari dukkha tersebut. Ia tidak mempersoalkan tentang
Tuhan, melainkan selalu menekankan pada pengikutnya agar mempraktekan
sila ke-Tuhanan. Ajaran agama Buddha yang tidak membicarakan ketuhanan
dalam asas penciptaan alam semesta dan menggantikannya dengan sebab dan
akibat (patticasmupadda) meletakkan agama ini sebagai kelompok agama
yang tidak membicarakan ketuhanan atau entiti yang bersifat dengan sifat
ketuhanan. Walaupun Helmuth (1970) menyatakan agama Buddha
mempunyai konsep ketuhanan yang berbeda dengan agama-agama lain dan
perbedaan ini tidak bermakna agama Buddha tidak mempunyai konsep
ketuhanan dalam doktrin utama meraka. Ini kerana agama Buddha cuma tidak
terlalu fokus membicarakan mengenai sesuatu realiti yang tidak boleh dilihat
(Tuhan), jiwa, kehidupan selepas mati atau asal-usul alam semesta. Bagi
penulis, dalam konteks asas teori kejadian alam semesta, agama Buddha
adalah agama tidak membicarakan keberadaan Tuhan dalam proses penciptaan
dan menggantikannya dengan konsep sebab dan akibat (patticasamupadda).
2. Konsepsi tentang Kosmos (= Alam Semesta) menurut Buddhisme, pada masa-
masa awal dari perkembangannya, itu secara essensial, sama dengan konsepsi
modern tentang alam semesta. Didalam teks berbahasa Pali, yang sampai di
tangan kita, secara aksaranya diceriterakan, terdapat ratusan ribu matahari-
matahari, bulan-bulan, bumi-bumi, dan dunia-dunia yang lebih tinggi, yang
membentuk sistem dunia tingkatan minor (= kecil); terdapat seratus ribu kali
jumlah sistem dunia tingkatan minor, yang membentuk sistem dunia tingkatan
medium (= tengah-tengah); dan terdapat seratus ribu kali sistem dunia
tingkatan medium yang membentuk sistem dunia tingkatan mayor (= besar).
88
Didalam terminologi modern, itu tampaknya, apabila satu sistem dunia minor
(= culanika loke dhatu), adalah sama dengan sebuah galaxy, yang melalui
telescope yang paling baik, dapat kita lihat terdapat kira-kira ratusan juta
dunia (matahari, bulan-bulan, dan sebagainya) didalamnya, maka dapat kita
renungkan bahwa konsepsi Buddhis tentang sistem dunia-dunia, itu
mempunyai kesamaan yang besar dengan keterangan dari ilmu pengetahuan
modern.
3. Konsep kosmologi Buddha dengan sains modern bahwasannya para pakar
ilmu pengetahuan sekarang meyakini, bahwa alam semesta adalah suatu sistim
yang berdenyut, yang setelah mengembang secara maksimal, lalu menciut
dengan segala energi yang ditekan pada suatu bentukan masa; sedemikian
besar sehingga menyebabkan ledakan, yang disebut sebagai Big Bang, yang
berakibat pelepasan energi. Pengembangan dan penciutan alam semesta
berlangsung dalam kurun waktu milyaran tahun. Sekali lagi, Sang Buddha
telah memaklumi pengembangan dan penciutan alam semesta. Beliau
bersabda:“ Lebih awal atau lebih lambat, ada suatu waktu, sesudah masa
waktu yang sangat panjang sekali alam semesta menciut,Tetapi lebih awal
atau lebih lambat, sesudah masa yang lama sekali, alam semesta mulai
mengembang lagi.”
4. Gagasan Big Bang didasarkan pada alam semesta, yang berasal dari keadaan
panas dan padat yang mengalami ledakan dahsyat dan mengembang. Semua
galaksi di alam semesta akan memuai dan menjauhi pusat ledakan. Pada teori
Big Bang, alam semesta berasal dari ledakan sebuah konsentrasi materi
tunggal beberapa tahun lalu yang secara terus menerus berekspansi sehingga
89
pada keadaan yang lebih dingin. Beberapa helium yang ditemui dalam
bintang-bintang sekarang kemungkinan berasal dari reaksi nuklir dalam bola
api kosmik yang padat.
B. Saran
Ada beberapa saran yang dapat penulis sampaikan dari hasil penelitian ini,
yaitu:
1. Karya ini merupakan karya yang terbuka atas kritik dan saran juga
perkembangan penelitian selanjutnya. Karena berbicara konsep Kosmologi atau
penciptaan alam semesta sangat luas untuk diperbincangkan, begitu juga dalam
kajian setiap agama-agama di dunia yang ada, sehingga dengan banyaknya para
pengkaji Kosmologi di setiap agama bisa memberikan pencerahan atau wajah
baru bagi kajian studi agama-agama khusunya, baik di Indonesia maupun di
seluruh dunia.
2. Dalam proses penyelesaian karya ini, penulis mendapatkan kesulitan terutama
referensi buku-buku terkhusus yang membahas tentang Kosmologi atau
penciptaan alam semesta baik menurut agama Buddha maupun menurut Sains
Modern, yang masih sangat jarang di temukan baik di perpustakaan fakultas
maupun di tempat buku-buku lainya. Maka saran penulis, fakultas khususnya
harus lebih serius memfasilitasi mahasiswanya dengan referensi yang kaya
dan berkualitas, begitu jugda dengan dosen-dosen pengajar, penulis sangat
berharap agar memperbanyak karya-karya pada jurusan yang di ajarnya,
sehingga para mahasisa tidak lagi kesulitan mencari bahan-bahan referensi baik
untuk membuat makalah mapun untuk tugas akhir, yaitu skripsi.
90
3. Berbicara buku-buku yang membahas tentang kajian Kosmologi terkhusus
dalam agama Buddha yang penulis dapatkan dari penerbit, dirasa sangatlah
kurang. Secara tidak langsung hal ini juga menjadi sebuah kendala bagi para
penulis juga pengkaji dalam mempaparakan penelitiannya secara lebih rinci
dan mendalam.
91
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER BUKU
Agustini, Kiki, Bencana Alam Dalam Pandangan Bhikku Agama Buddha. S1
Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2010.
Ali, A. Mukti, Agama-Agama D Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,
1988.
Anisah, Siti, Konsep Kosmologi Dalam Agama Islam dan Buddha Serta
Implikasinya Dalam Kehidupan Pemeluknya. S1 Ilmu Ushuluddin,
Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo Semarang , 2008.
Barbour, Ian G, Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama. Bandung: Penerbit
Mizan, 2002.
Budiman Sudharma, Buku Pedoman Umat Buddha. Jakarta: FKUB DKI Jakarta
dan Yayasan Avalokitesvara, 2007.
Chandra H. Fabian, Kosmologi StudiStruktur Dan Asal Mula Alam Semesta. (tp,
tt).
Dawai, Alam Semesta Dalam Buddhisme. Surabaya: Penerbit Vihara
Dhammadipa, 2007.
DEA, Tjasyono, Hk, Bayong, Ilmu Kebumian dan Antariksa, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006.
Dirjosoemarto, Soendjojo, Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa. Jakarta: Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta 2001.
Frenandy, Buddhisme dan Sains. Bandung: Penerbit PVVD, 2012.
Gofar, Mohamad, Gempa Bumi Dalam Perspektif Al-Quran. Skripsi S1 Tafsir
Hadist, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta , 2008.
Herdiansyah, Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba
Humanika, 2012.
Indriaty Binti Ismail, Norakmal Azraf Bin Awaludin, Asas Penciptaan Alam
Semesta Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, (tp, tt).
92
Kattsoff, Lois, Pengantar Filsafat, ter. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1995.
Linde, Andre, The Self-Reproducing Inflationary Universe, Vol 271. t,t, Scientific
American, 1994.
Mukti, Krishnanda Wijaya. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma-
dan Ekayana Buddhist Centre Jakarta, 2003.
K.S, Musthafa, Alam Semesta dan Kehancuranya menurut Al-Qur’an dan Ilmu
Pengetahuan. Bandung: PT al-Maarif, Bandung 1980.
Narada, Sang Buddha dan Ajaran-ajarannya. Jakarta: Yayasan Dhammadipa,
1992.
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
2006.
Poltizer, George, Principes Fondamentaux de Philosophie. t,t, Edition Sociales,
Paris 1954.
Santoso, Ananda dan Al-Hanif, A.R, Kamus Umum Bahasa Indoensia. Surabaya:
Alumni, 2007.
Subana, M dan Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia,
2001.
Sudharma, Budiman, Buku Pedoman Umat Buddha. Jakarta: FKUB DKI Jakarta
dan Yayasan Avalokitesvara, 2007.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2009.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2010.
Taufiqurrohman, Hamdan, Respon Agama Buddha Terhadap Krisis Lingkungan:
Studi atas Pemikiran Sri Dhammananda. S1 Jurusan Perbandingan
Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2008.
Taniputera, Ivan, Sains Modern dan Buddhisme. Jakarta: Karaniya, 2003.
Turner R. Howard, Science in Medieval Islam, An Illustrated Introduction, terj.,
Zulfahmi Andri, Sains Islam Yang Mengagumkan: Sebuah Catatan abad
Pertengahan,. Bandung: Nuansa, 2004.
93
Yahya, Harun, Al-Quran dan Sains: Memahami Metodologi Bimbingan Al-Quran
bagi Sains. Bandung: Dzikra, 2007.
ZA, Haji, Kurdi Ismail, Kiamat Menurut Ilmu Pengetahuan Dan Al-Quur’an.
Jakarta: Pustaka Amani, Jakarta, 1996.
SUMBER INTERNET
Artikel di akses pada tanggal 04 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/komparasi
Artikel di akses pada tanggal 14 April 2016
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Konsep
Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/kosmologi
Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/Buddha.
Artikel di akses pada tanggal 04 Maret 2016 dari http://kbbi.web.id/teori
Artikel di akses pada tanggal 14 April 2916 dari
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori
Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 dari http://kbbi.web.id/sains
Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/modern
91
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER BUKU
Agustini, Kiki, Bencana Alam Dalam Pandangan Bhikku Agama Buddha. S1
Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2010.
Ali, A. Mukti, Agama-Agama D Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,
1988.
Anisah, Siti, Konsep Kosmologi Dalam Agama Islam dan Buddha Serta
Implikasinya Dalam Kehidupan Pemeluknya. S1 Ilmu Ushuluddin,
Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo Semarang , 2008.
Barbour, Ian G, Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama. Bandung: Penerbit
Mizan, 2002.
Budiman Sudharma, Buku Pedoman Umat Buddha. Jakarta: FKUB DKI Jakarta
dan Yayasan Avalokitesvara, 2007.
Chandra H. Fabian, Kosmologi StudiStruktur Dan Asal Mula Alam Semesta. (tp,
tt).
Dawai, Alam Semesta Dalam Buddhisme. Surabaya: Penerbit Vihara
Dhammadipa, 2007.
DEA, Tjasyono, Hk, Bayong, Ilmu Kebumian dan Antariksa, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006.
Dirjosoemarto, Soendjojo, Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa. Jakarta: Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta 2001.
Frenandy, Buddhisme dan Sains. Bandung: Penerbit PVVD, 2012.
Gofar, Mohamad, Gempa Bumi Dalam Perspektif Al-Quran. Skripsi S1 Tafsir
Hadist, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta , 2008.
Herdiansyah, Haris, Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Salemba
Humanika, 2012.
Indriaty Binti Ismail, Norakmal Azraf Bin Awaludin, Asas Penciptaan Alam
Semesta Agama Hindu dan Agama Buddha: Kajian Perbandingan, (tp, tt).
92
Kattsoff, Lois, Pengantar Filsafat, ter. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1995.
Linde, Andre, The Self-Reproducing Inflationary Universe, Vol 271. t,t, Scientific
American, 1994.
Mukti, Krishnanda Wijaya. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma-
dan Ekayana Buddhist Centre Jakarta, 2003.
K.S, Musthafa, Alam Semesta dan Kehancuranya menurut Al-Qur‟an dan Ilmu
Pengetahuan. Bandung: PT al-Maarif, Bandung 1980.
Narada, Sang Buddha dan Ajaran-ajarannya. Jakarta: Yayasan Dhammadipa,
1992.
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
2006.
Poltizer, George, Principes Fondamentaux de Philosophie. t,t, Edition Sociales,
Paris 1954.
Santoso, Ananda dan Al-Hanif, A.R, Kamus Umum Bahasa Indoensia. Surabaya:
Alumni, 2007.
Subana, M dan Sudrajat, Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia,
2001.
Sudharma, Budiman, Buku Pedoman Umat Buddha. Jakarta: FKUB DKI Jakarta
dan Yayasan Avalokitesvara, 2007.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2009.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2010.
Taufiqurrohman, Hamdan, Respon Agama Buddha Terhadap Krisis Lingkungan:
Studi atas Pemikiran Sri Dhammananda. S1 Jurusan Perbandingan
Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2008.
Taniputera, Ivan, Sains Modern dan Buddhisme. Jakarta: Karaniya, 2003.
Turner R. Howard, Science in Medieval Islam, An Illustrated Introduction, terj.,
Zulfahmi Andri, Sains Islam Yang Mengagumkan: Sebuah Catatan abad
Pertengahan,. Bandung: Nuansa, 2004.
93
Yahya, Harun, Al-Quran dan Sains: Memahami Metodologi Bimbingan Al-Quran
bagi Sains. Bandung: Dzikra, 2007.
ZA, Haji, Kurdi Ismail, Kiamat Menurut Ilmu Pengetahuan Dan Al-Quur‟an.
Jakarta: Pustaka Amani, Jakarta, 1996.
SUMBER INTERNET
Artikel di akses pada tanggal 04 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/komparasi
Artikel di akses pada tanggal 14 April 2016
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Konsep
Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/kosmologi
Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/Buddha.
Artikel di akses pada tanggal 04 Maret 2016 dari http://kbbi.web.id/teori
Artikel di akses pada tanggal 14 April 2916 dari
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Teori
Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 dari http://kbbi.web.id/sains
Artikel di akses pada tanggal 03 Maret 2016 pada http://kbbi.web.id/modern