Post on 23-May-2019
PERLINDUNGAN HUKUM KONSERVASI HEWAN PRIMATA DI
INDONESIA
SKRIPSI
BIMO PRAKORSO
E1A006439
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
ii
PERLINDUNGAN HUKUM KONSERVASI HEWAN PRIMATA DI
INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
BIMO PRAKORSO
E1A006439
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2012
iii
LEMBAR PENGESAHAN
PERLINDUNGAN HUKUM KONSERVASI HEWAN PRIMATA DI
INDONESIA
Oleh :
BIMO PRAKORSO
E1A006439
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Isi dan Format telah
Diterima dan disetujui
Pada Tanggal, 28 Agustus 2012
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II Penguji
Rochati, S.H., M.Hum
NIP. 19541009 198403 2 001
Sri Hartini SH., M.H.
19540426 1980031004
Haedah Faradz S.H.,M.H
NIP. 19590725 1986012001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Hj. Rochani Urip Salami,S.H.,M.S
NIP. 19520603 198003 2 001
iv
SURAT PERNYATAAN
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : BIMO PRAKORSO
NIM : E1A006439
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
PERLINDUNGAN HUKUM KONSERVASI HEWAN PRIMATA DI
INDONESIA
Yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak
hasil karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain dan semua sumber data
maupun informasi telah dinyatakan secara jelas serta dapat diperiksa
kebenarannya.
Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran
sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari
Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang telah saya
peroleh.
Purwokerto, 28 Agustus 2012
BIMO PRAKORSO
E1A006439
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan atas cinta, berkat, dan bimbinganNya penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PERLINDUNGAN HUKUM
KONSERVASI HEWAN PRIMATA DI INDONESIA dengan melalui proses
yang panjang, serta suka dan duka telah penulis lewati. Skripsi ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Adapun penulisan skripsi ini tidak terlepas dari keterlibatan dan interaksi
dengan banyak pihak yang dengan ketulusan hati mau membantu, membimbing,
memberi motivasi, cinta, dan bersama-sama dalam suatu pembelajaran. Dengan
segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga
kepada:
1. Hj.Rochani Urip Salami, S.H, M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman.
2. Rochati, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Skripsi I, dan juga
pembimbing akademik yang telah sudi meluangkan waktu untuk
membimbing, mengarahkan, dan memberi petunjuk dengan penuh
perhatian yang sangat berguna bagi penulis sehingga penulis selalu
terpacu untuk bangkit, berfikir lebih baik, dan penulisan skripsi dan
perkuliahan dapat terselesaikan dengan baik.
3. Sri Hartini SH., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas
segala wawasan, saran, nasihat, dan perhatian yang telah diberikan
kepada penulis selama ini sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
vi
4. Haedah Faradz S.H.,M.H, selaku Dosen Penguji atas segala masukan
yang diberikan kepada penulis.
5. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika FH UNSOED
yang telah mendidik dan membantu selama penulis menuntut ilmu di
kampus ini.
6. Kedua orang tuaku tercinta, yang selalu memberikan dukungan yang
luar biasa dalam membuat skripsi.
7. Pihak-pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih memiliki kelemahan
dan kekurangan. Oleh karena itu segala saran,kritik, masukan yang membangun
sangat berarti dalam penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca maupun pihak lain yang membutuhkan.
Purwokerto, 28 Agustus 2012
BIMO PRAKORSO
E1A006439
vii
PERLINDUNGAN HUKUM KONSERVASI HEWAN PRIMATA DI
INDONESIA
BIMO PRAKORSO
E1A006439
ABSTRAK
Habitat dan kepunahan beberapa jenis satwa liar yang dilindungi selama ini
banyak yang telah rusak ataupun sengaja dirusak oleh berbagai ulah sekelompok
manusia yang tidak bertanggung jawab. Seekor orangutan Kalimantan (pongo
pygmaeus morio) ditemukan terluka dengan dua peluru bersarang di kepala.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum Konservasi hewan
primata di Indonesia. Guna mencapai tujuan tersebut maka peneletian ini
dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data sekunder yang
terkumpul kemudian diolah, disajikan, dan dianalisa secara kualitatif dengan
penyajian data teks naratif.
Hasil penelitian menyatakan bahwa, perlindungan hukum Konservasi hewan
primata di Indonesia dilakukan dengan metode preventif dan juga represif.
Melalui metode preventif perlindungan hukum terhadap primata diarahkan
melalui pelestarian satwa primata, pengkategorisasian primata yang dilindungi,
pelaksanaan konservasi satwa primata. Metode represif dilakukan melalui
penegakan hukum terhadap pelaku yang melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Perlindungan hukum primata dilakukan pula dengan meratifikasi Convention On
International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES)
dengan di keluarkannya Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 Tentang :
Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And
Flora, dikeluarkan pula Surat keputusan (SK) dan Peraturan Pemerintah mengenai
pelestarian satwa liar, di programkannya strategi konservasi primata dalam
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 57/Menhut-II/2008 Tentang Arahan
Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008 – 2018. Primata di Indonesia
perlindungannya masih lemah belum maksimal, begitupula dengan sistem
pengawasannya dan penegakan hukum dalam perlindungan primata di Indonesia
masih sangat lemah.
Kata kunci: Perlindungan, konservasi dan primata
viii
LEGAL PROTECTION CONSERVATION OF PRIMATES IN INDONESIA
BIMO PRAKORSO
E1A006439
ABSTRACT
Habitats and the extinction of some wildlife species are protected during the
many that have been damaged or accidentally damaged by various group of
people who do not act responsibly. Borneo orangutan (Pongo pygmaeus morio) is
found wounded with two bullets lodged in his head. This study aims to determine
the legal protection Conservation of primates in Indonesia. To achieve this goal
then peneletian performed using normative juridical approach. Secondary data
are collected and processed, presented, and analyzed qualitatively with the
presentation of narrative text data.
The results suggest that, legal protection Conservation of primates in
Indonesia conducted by the method of preventive and repressive. Through
preventive method directed the legal protection through conservation of primates
nonhuman primates, primates categorization of protected conservation
implementation of nonhuman primates. Repressive methods performed by law
enforcement against perpetrators who violate the Law. 5 of 1990 on Conservation
of Natural Resources and Ecosystems. Legal protection of primates also done by
ratifying the Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild
Fauna And Flora (CITES) in keluarkannya by Presidential Decree. 43 Year 1978
About: Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna
And Flora, also issued decree (SK) and the Regulation on the Peles ¬ dance of
wildlife, in programkannya primate conservation strategies in the Minister of
Forestry Number: P. 57/Menhut-II/2008 About National Species Conservation
Strategic Directions 2008 to 2018. Primates in Indonesia is still weak protection
is not maximized, nor a system of monitoring and enforcement of the protection of
primates in Indonesia is still very weak.
Keywords: Protection, conservation and primates
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................
LEMBAR PERNYATAAN...............................................................................
KATA PENGANTAR......................................................................…..............
ABSTRAK.........................................................................................................
ABSTRACT……………………………………………………………….........
DAFTAR ISI......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
B. Perumusan Masalah ....................................................................
C. Tujuan Penelitian ........................................................................
D. Manfaat Penelitiaan... .................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perlindungan Hukum…………………………………………...
B. Hukum Lingkungan…………………………………………….
C. Asas-Asas Hukum Lingkungan………………………………..
D. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup…………….
1. Perencanaan……………………………………………..
2. Pemanfaatan Lingkungan Hidup………………………...
3. Pengendalian dan Pengawasan…………………………..
4. Penegakan Hukum Lingkungan………………………….
E. Pelestarian Sumber Daya Hayati……………………………….
I
ii
iii
iv
vi
vii
viii
1
4
4
5
6
7
11
14
14
15
19
25
38
x
F. Primata Indonesia………………………………………………
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan………………………………………………
B. Spesifikasi Penelitian…………………………………………….
C. Sumber Bahan Hukum…………………………………………..
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum……………………………
E. Metode Penyajian Bahan Hukum..................................................
F. Metode Analisis Bahan Hukum………………………………….
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian…………………………………………………..
B. Pembahasan………………………………………………….......
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................
B. Saran ...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….
42
46
46
46
47
47
48
49
65
102
103
104
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber daya alam hayati yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan
anugerah Tuhan Yang Maha Esa, sehingga patut disyukuri dengan
memanfaatkannya melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.1 Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan
untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta
keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia karena hal tersebut
merupakan tanggung jawab bersama.
Habitat dan kepunahan beberapa jenis satwa liar yang dilindungi selama ini
banyak yang telah rusak ataupun sengaja dirusak oleh berbagai ulah sekelompok
manusia yang tidak bertanggung jawab. Upaya ataupun langkah-langkah yang
nyata untuk melindungi satwa liar tersebut perlu segera dilakukan, sebab tidak
tertutup kemungkinan spesies-spesies yang telah punah atau hampir punah
tersebut memiliki peran yang sangat penting bagi keseimbangan ekosistem.
Berbagai faktor menjadikan terancam punahnya satwa liar seperti perdagangan
hewan liar, pembantaian hewan, perburuan, perusakan ekosistem hutan, dan
lainnya.
1Departemen Kehutanan, Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera
dan Kalimantan, Jakarta. 2007, hal. 2.
2
Seekor orangutan Kalimantan (pongo pygmaeus morio) ditemukan terluka
dengan dua peluru bersarang di kepala di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan
Timur. Manajer Area Centre for Orangutan Protection (COP) Kalimantan, Arfiana
Khairunnisa, mengatakan orangutan dalam kondisi terluka itu ditemukan
sekelompok pramuka pada awal Februari 2012 kemudian diserahkan ke Balai
TNK (Taman Nasional Kutai).2
Hal yang lebih mengejutkan bahwa lebih dari setengah responden yang di
wawancarai menyatakan pernah membunuh dan memakan orangutan, seperti
dikutip dari Washington Post, Orangutan ini dibunuh karena dianggap
mengganggu tanaman warga.3
Seperti diberitakan okezone sebelumnya, 750 orangutan dibantai setiap
tahunnya di Indonesia, survei ini dilakukan oleh The Nature Conservancy
bersama dengan WWF dan Asosiasi Ahli Primata Indonesia serta beberapa
pengamat dan 19 organisasi lainnya. Seperti hasil survei yang dilakukan mulai
dari April 2008 hingga September 2008. Survei melibatkan 6.983 orang
responden dari 687 desa di tiga provinsi di Pulau Kalimantan. Setidaknya 750
orangutan tewas dalam periode tersebut, dan penyebab tewasnya adalah karena
diburu oleh manusia.4
Ada primata yang jelas dilindungi karena merupakan hewan langka, adapula
primata yang justru dibantai terang-terangan. Di Kecamatan Taman Sidoarjo,
2 NN, Minggu, 19 Februari 2012 06:57 WIB, Pembantaian Orangutan di
Kalimantan Masih Terjadi , http://metrotvnews.com/read/news/2012/02/19/82359/Pembantaian-Orangutan-di-Kalimantan-Masih-Terjadi/1, diakses pada tanggal 12 Maret 2012.
3Mutya Hanifah, Senin, 14 November 2011 - 15:47 wib, Mengerikan, Pembantaian Orangutan "Hal Biasa", http://travel.okezone.com/read/2011/11/14/407/529219/mengerikan-pembantaian-orangutan-hal-biasa, diakses pada tanggal 12 Maret 2012.
4Loc cit
3
Jawa Timur bupati menginstruksikan kepada petugas untuk menembak mati
monyet liar. Sementara polisi kini mulai menyelidiki asal monyet liar yang
meresahkan warga ini. Monyet liar yang menyerang warga diduga mencapai lebih
dari 20 ekor. Penegasan tembak mati disampaikan langsung Bupati Sidoarjo
Saifulillah saat mendatangi posko penanganan monyet liar di kantor Kecamatan
Taman.5
Perlu dipahami, sebenarnya manusia haruslah dapat membaca situasi alam
mengapa monyet monyet menyerang, mengapa ulat bulu menjadi wabah, gajah
liar yang mengamuk, mengapa hewan-hewan seakan marah kepada manusia. Hal
ini karena terganggunya ekosistem, seperti hutan yang dibakar manusia, hutan
yang telah alih fungsi menjadi ladang dan lainnya.
Hukum itu sendiri merupakan salah satu sarana untuk memberikan
perlindungan kepada semua pihak, tidak terkecuali satwa dan lingkungan hidup
karena fungsi hukum itu sendiri sejatinya untuk melindungi masyarakat dan
mensejahterakan masyarakat. Perlindungan hukum yang nyata terhadap
kelestarian lingkungan khususnya lingkungan hidup termasuk satwa-satwa liar
didalamnya diharapkan dapat berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan dan
satwa agar tidak punah dan tetap dapat bermanfaat bagi generasi sekarang dan
yang akan datang.6
Hukum juga merasa perlu melindungi satwa liar yang hampir punah berikut
ekosistemnya tentu bukan tanpa alasan. Satwa-satwa liar tersebut seperti halnya
manusia merupakan bagian dari alam dan juga bagian dari lingkungan ataupun
5Pramono Putra, Kamis, 16 Februari 2012 10:37 wib, Bupati Perintahkan Tembak
Mati Monyet Liar, http://www.sindonews.com/read/2012/02/16/447/576713/bupati-perintahkan-tembak-mati-monyet-liar, diakses pada tanggal 1 April 2012.
6Tony Suhartono dkk, Pelaksanaan konvensi CITES, WALHI, Jakarta, 2003, hal. 6.
4
ekosistem. Kepunahan berbagai hewan-hewan yang dianggap langka tersebut
apabila terjadi, bukan mustahil akan mengakibatkan terganggunya ekosistem dan
keseimbangan alam seperti misalnya rantai makanan maupun habitat dan
keberadaan hewan langka tersebut. Kajian perlindungan hukum konservasi hewan
primata di Indonesia dimaksudkan untuk mengetahui dan menginventarisasi
peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan untuk memberikan
perlindungan kepada hewan baik preventif maupun represif atau penegakan
hukum.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul : “PERLINDUNGAN HUKUM
KONSERVASI HEWAN PRIMATA DI INDONESIA”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka dapat diambil suatu
perumusan masalah yaitu bagaimanakah perlindungan hukum Konservasi hewan
primata di Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum Konservasi
hewan primata di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
1. Keguanaan teoritis
5
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan
Hukum lingkungan pada umumnya dan khususnya perlindungan hukum
Konservasi hewan primata di Indonesia.
2. Kegunaan Praktis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
mahasiswa dan instansi yang terkait dengan perlindungan hukum
Konservasi hewan primata di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perlindungan Hukum
6
Hukum tidak hanya berfungsi sebagai sarana penyelesaian sengketa, namun
juga mengatur kehidupan manusia secara luas. Baik dalam lapangan yang sifatnya
individual (privaat) maupun yang sifatnya komunal/ umum (public). Seluruh
aspek kehidupan manusia saat ini tidak akan lepas dari hukum. Barangsiapa yang
mencoba untuk menyelesaikan masalahanya melalui jalur lain di luar hukum
maka akan melekat padanya suatu pernyataan buruk yang kita kenal dalam bahasa
Belanda sebagai eigenrichting yang sehari-hari diterjemahkan sebagai main hakim
sendiri.
Tujuan hukum yang paling utama adalah hukum itu bertujuan menjamin
adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan
pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu.7 Sehingga dapat
dikatakan bahwa, hukum memiliki tujuan memberikan perlindungan hukum bagi
masyarakat.
Secara umum dapat dijelaskan bahwa pengertian Perlindungan hukum
adalah tindakan melindungi atau memberikan pertolongan dalam bidang hukum.8
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud Perlindungan
adalah cara, proses, perbuatan melindungi. Pengertian Perlindungan adalah tempat
berlindung, hal (perbuatan dan sebagainya) memperlindungi. Perlindungan hukum
adalah jaminan perlindungan pemerintah dan atau masyarakat kepada
warganegara dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.9
7 Kansil, CST, 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka ,
Jakarta. Hal. 40-41. 8WJS. Purwodarminto, 1959.Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.
224 9 NN, 21 April 2009, Definisi Perlindungan Hukum, http://antilog.in/definisi-perlindungan-
hukum-menurut-ahli-hukum, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011.
7
Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan
terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat
preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum,
yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban,
kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.10
B. Hukum Lingkungan
Koesnadi Hardjasoemantri berpendapat bahwa hukum lingkungan
mencakup aspek-aspek berikut ini:
Hukum Kesehatan Lingkungan, Hukum Perlindungan Lingkungan,
Hukum Tata Lingkungan, Hukum Pencemaran Lingkungan, Hukum
Lingkungan Transnasional/Internasional, Hukum Perselisihan
Lingkungan.11
Menurut pandangan Takdir Rahmadi, hukum lingkungan nasional dilihat
dari permasalahan lingkungan yang menjadi cakupannya dapat dibedakan atas
empat bidang, yakni hukum perencanaan lingkungan, hukum pengendalian
pencemaran lingkungan, hukum penyelesaian sengketa lingkungan, dan hukum
konservasi sumber daya alam. Hukum perencanaan lingkungan, antara lain,
mencakup pokok bahasan analisis mengenai dampak lingkungan dan peruntukan
dan pemanfaatan ruang suatu wilayah, tata guna tanah, tata guna air dan
pembangunan kawasan pesisir (coastal areas). Akan tetapi, bidang penataan
10 Prasko Abdullah, 17 February 2011, Definisi Perlindungan Hukum,
http://prasxo.wordpress.com/, Diakses Pada Tanggal 29 Mei 2011. 11Koesnadi Hardjasoemantri, Masalah Lingkungan, Gadjahmada University Press,
Yogyakarta, 1986, hal. 13
8
ruang telah berkembang sebagai bidang hukum tersendiri, yaitu hukum tata
ruang.12
Pembaharuan hukum lingkungan pada dasarnya dapat menerapkan
pemikiran kepada tiap-tiap elemen masyarakat dalam menentukan suatu
kebijakan (policy) dalam menentukan arah pembangunan lingkungan hidup dan
pemahaman wawasan lingkungan. Dalam mengkaji suatu konsep sosial,
kebijakan bahkan hukum, tidak bisa dilepaskan dari tatanan sosial (order) yang
melatar belakanginya. Suatu konsep, kebijakan, bahkan hukum bisa saja menjadi
tidak relevan karena berada pada suatu tatanan sosial yang sudah berubah.
Pergeseran sistem penyelenggaraan kepemerintahan dari model sentralistik
menuju desentralisasi sekarang ini merupakan bagian dari perubahan tatanan
sosial yang juga turut mempengaruhi implementasi konsep pembangunan yang
berkelanjutan di Indonesia.13
Berdasarkan pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa Lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain.
Jadi, manusia hanyalah salah satu unsur dalam lingkungan hidup tetapi
perilakunya akan mempengaruhi kelangsungan bagi kehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. Makhluk hidup yang lain termasuk binatang
12 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,
2011, hal. 26 13 Arief Hidayat dan FX. Adji Samekto, Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan
di Era Otonomi Daerah, BP. Undip, Semarang, 2007, hal.ix
9
tidak merusak, mencemari atau menguras lingkungan. hal ini juga dijelaskan di
dalam penjelasan Undang-Undang Lingkungan Hidup antara lain sebagai berikut:
“Lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan
Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi
kehidupan dalam segala aspek dan mantranya sesuai dengan wawasan
nusantara.”
Paradigma baru mengenai lingkungan hidup inilah menjadi inspirasi
munculnya suatu paradigma baru mengenai hukum lingkungan. penggunaan
hukum lingkungan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bagian hukum yang
bersangkutan dengan lingkungan fisik dan dapat diterapkan untuk mengatasi
pencemaran, pengurasan dan perusakan (verontreiniging, uitputting en
aantasting) lingkungan (fisik).14
Pengertian hukum lingkungan di sini hanya meliputi lingkungan fisik saja
dan tidak menyangkut lingkungan sosial. Misalnya tidak meliputi pencemaran
kebudayaan akan tetapi masalah lingkungan berkaitan pula dengan gejala sosial,
seperti pertumbuhan penduduk, migrasi dan tingkah laku sosial dalam
memproduksi, mengkonsumsi, dan rekreasi.
Hukum lingkungan pada umumnya bertujuan untuk menyelesaikan masalah
lingkungan khususnya yang disebabkan oleh umat manusia. Kerusakan
lingkungan atau menurunnya mutu lingkungan disebabkan juga oleh bencana
alam yang kadang-kadang sangat dahsyat dan tentunya dapat mengganggu
stabilitas masyarakat dalam suatu lingkungan.
14
Ibid.
10
Masalah lingkungan bagi manusia dapat dilihat dari menurunnya kualitas
lingkungan. Kualitas lingkungan menyangkut nilai lingkungan untuk kesehatan,
kesejahteraan dan ketenteraman manusia. Nilai lingkungan untuk berbagai bentuk
pemanfaatan. Hilang dan berkurangnya nilai lingkungan karena pemanfaatan
tertentu oleh umat manusia. Dilihat dari fungsinya, hukum lingkungan berisi
kaidah-kaidah tentang perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungannya,
langsung atau tidak langsung. Secara langsung kepada masyarakat hukum
lingkungan menyebabkan apa yang dilarang apa yang diperbolehkan. Secara tidak
langsung kepada warga masyarakat adalah memberikan landasan bagi yang
berwenang untuk memberikan kaidah kepada masyarakat.15
C. Asas-Asas Hukum Lingkungan
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa penerapan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup didasarkan atas asas asas sebagai berikut :
1. Asas tanggung jawab negara adalah:
a. Negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun
generasi masa depan.
b. Negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
15 Ibid, hal. 3
11
c. Negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber
daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
2. Asas kelestarian dan keberlanjutan” adalah bahwa setiap orang
memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang
dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya
pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas
lingkungan hidup.
3. Asas keserasian dan keseimbangan adalah bahwa pemanfaatan
lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti
kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta
pelestarian ekosistem.
4. Asas keterpaduan adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau
menyinergikan berbagai komponen terkait.
5. Asas manfaat” adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber
daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya.
6. Asas kehati-hatian adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak
suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda
langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
12
7. Asas keadilan adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional
bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun
lintas gender.
8. Asas ekoregion adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya
alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan
kearifan lokal.
9. Asas keanekaragaman hayati adalah bahwa perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu
untuk mempertahankan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan
sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati
dan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur nonhayati
di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
10. Asas pencemar membayar adalah bahwa setiap penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan
lingkungan.
11. Asas partisipatif adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong
untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan
pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
12. Asas kearifan lokal adalah bahwa dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur
yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.
13
13. Asas tata kelola pemerintahan yang baik adalah bahwa perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi,
transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
14. Asas otonomi daerah adalah bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
D. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
5. Perencanaan
Sejak pertemuan di Rio de Janiero (Brasil), masalah lingkungan hidup
semakin penting dan bersifat global. Masalah pengawasan dan pengelolaan
lingkungan hidup menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan dalam
keberhasilan lingkungan hidup. Memahami ekosistem sangat penting dalam
upaya pengelolaan lingkungan hidup karena pertimbangan sosial sangat erat
kaitannya dengan proses politik dan pengambilan keputusan dalam
pengembangan pengetahuan lingkungan hidup. Perubahan lingkungan hidup
juga dapat mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat desa, baik
perubahan terhadap pola hidup, kepercayaan, emosi maupun pengetahuan
masyarakat.
Lebih lanjut lagi berdasarkan fakta yang didapat dari kehidupan
masyarakat ternyata dominasi materialisme yaitu pandangan terhadap
kehidupan yang lebih baik ternyata mampu mengubah peradaban manusia
yang pada akhirnya mengarah kepada terciptanya krisis lingkungan hidup.
14
Komposisi berbagai etnik dan keunikan sejarah politik, ekonomi dan sosial
budaya di Indonesia telah menyebabkan pola pengawasan dan pengelolaan
lingkungan hidup mempunyai arti khusus. Latar belakang sejarah ini
kemungkinan menyulitkan usaha memajukan pembangunan nasional sektor
industri. Perluasan penggunaan Undang-Undang Lingkungan Hidup yang
kaku akan menjadikan usaha membangun teknologi baru semakin sulit dan
memakan belanja yang mahal. Dengan demikian, penggunaan strategi
pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup diharapkan akan dapat
meneruskan kemajuan ekonomi yang seimbang dengan perkembangan
lingkungan hidup. Pada hakikatnya, liberalisasi ekonomi merupakan satu
proses yang tidak dapat dielakkan. Di samping itu, perlu diingat bahwa
proses pembangunan ekonomi melalui industrialisasi akan bersaing dengan
perubahan lingkungan hidup. Kemerosotan lingkungan hidup disebabkan
dominasi aktivitas yang tidak seimbang dengan kehendak politik, ekonomi
dan sosial budaya. Walau bagaimanapun, kebebasan membuka kawasan
baru bukan saja akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan hidup
tetapi juga akan mengurangi nilai-nilai akhlak yang terwujud dalam
masyarakat.
6. Pemanfaatan Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri dari
berbagai daerah, masing-masing sebagai subsistem yang meliputi aspek
sosial budaya, ekonomi dan fisik, dengan corak ragam yang berbeda antara
subsistem yang satu dengan yang lain, dan dengan daya dukung lingkungan
yang berlainan. Pembinaan dan pengembangan yang didasarkan pada
15
keadaan daya dukung lingkungan akan meningkatkan keselarasan dan
keseimbangan subsistem yang juga berarti meningkatkan ketahanan
subsistem.16
Menurut Emil Salim, secara umum lingkungan hidup diartikan
sebagai segala benda, kondisi, keadaan, dan pengaruh yang terdapat dalam
ruangan yang kita tempati, dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk
kehidupan manusia. Soedjono mengartikan lingkungan hidup sebagai
lingkungan hidup fisik atau jasmani yang mencakup dan meliputi semua
unsur dan faktor fisik jasmaniah yang terdapat dalam alam.17
Pengertian pembangunan berwawasan lingkungan menurut Pasal 1
butir 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup
adalah upaya sadar dan berencana menggunakan dan mengelola sumber
daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk
meningkatkan mutu hidup.
Mengacu pada The World Commission on Environmental and
Development menyatakan bahwa pembangunan berwawasan lingkungan
adalah proses pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi
masa sekarang tanpa mengesampingkan atau mengorbankan kemampuan
generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Selanjutnya Holdren
dan Erlich dalam Zul Endria(2003) menyebutkan tentang pembangunan
berkelanjutan dengan terpeliharanya Total Natural Capital Stock pada
tingkat yang sama atau kalau bisa lebih tinggi dibandingkan dengan
keadaan sekarang.
16
Harun M. Husein, Lingkungan Hidup Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya,
Bumi Aksara, Jakarta,1992, hal 48 17
Ibid, hal 7.
16
Pembangunan berkelanjutan yang dikonsep oleh Stren, While, dan
Whitney sebagai suatu interaksi antara tiga sistem: sistem biologis dan
sumberdaya, sistem ekonomi, dan sistem sosial, yang dikenal dengan
konsep trilogi keberlanjutan: ekologi-ekonomi-sosial. Konsep keberlanjutan
tersebut menjadi semakin sulit dilaksanakan terutama di Negara
berkembang.
Menurut Hariyadi sebagaimana dikutip oleh Zul Endria 2003,
pembangunan berwawasan lingkungan memerlukan tatanan agar sumber
daya alam dapat secara berlanjut menunjang pembangunan, pada masa kini
dan mendatang, generasi demi generasi dan khususnya dalam meningkatkan
kualitas hidup manusia Indonesia. Prinsip pembangunan berkelanjutan
mencakup pemikiran aspek lingkungan hidup sedini mungkin dan pada
setiap tahapan pembangunan yang memperhitungkan daya dukung
lingkungan dan pembangunan di bawah nilai ambang batas.
Sejak dilaksanakannya Konferensi Stockholm 1972, masalah-masalah
lingkungan hidup mendapat perhatian secara luas dari berbagai bangsa.
Sebelumnya, sekitar tahun 1950-an masalah-masalah lingkungan hidup
hanya mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan. Sejak saat itu berbagai
himbauan dilontarkan oleh pakar dari berbagai disiplin ilmu tentang adanya
bahaya yang mengancam kehidupan, yang disebabkan oleh pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup.18
Masalah lingkungan pada dasarnya timbul karena:
1. Dinamika penduduk
18
Ibid, hal 1.
17
2. Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya yang kurang
bijaksana.
3. Kurang terkendalinya pemanfaatan akan ilmu pengetahuan dan
teknologi maju.
4. Dampak negatif yang sering timbul dari kemajuan ekonomi
yang seharusnya positif.
5. Benturan tata ruang.
Dengan adanya Stockholm Declaration, perkembangan hukum
lingkungan memperoleh dorongan yang kuat. Keuntungan yang tidak
sedikit adalah mulai tumbuhnya kesatuan pengertian dan bahasa di antara
para ahli hukum dengan menggunakan Stockholm Declaration sebagai
referensi bersama. Perkembangan baru dalam pengembangan kebijaksanaan
lingkungan hidup didorong oleh hasil kerja World Commission on the
Environment and Development (WCED).19
WCED mendekati masalah lingkungan dan pembangunan dari enam
sudut pandang, yaitu:
1. Keterkaitan (interdependency)
Sifat perusakan yang kait mengkait (interdependent) diperlukan
pendekatan lintas sektoral antar negara.
2. Berkelanjutan (sustainability)
Berbagai pengembangan sektoral memerlukan sumber daya
alam yang harus dilestarikan kemampuannya untuk menunjang
proses pembangunan secara berkelanjutan. Untuk itu perlu
dikembangkan pula kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan
dengan wawasan lingkungan.
3. Pemerataan (equity)
Desakan kemiskinan bisa mengakibatkan eksploitasi sumber
daya alam secara berlebihan, untuk perlu diusahakan
kesempatan merata untuk memperoleh sumber daya alam bagi
pemenuhan kebutuhan pokok.
4. Sekuriti dan risiko lingkungan (security and environmental risk)
19
Ibid., hal. 2
18
Cara-cara pembangunan tanpa memperhitungkan dampak
negatif kepada lingkungan turut memperbesar risiko
lingkungan. Hal ini perlu ditanggapi dalam pembangunan
berwawasan lingkungan.
5. Pendidikan dan komunikasi (education and communication)
Penduduk dan komunikasi berwawasan lingkungan dibutuhkan
untuk ditingkatkan di berbagai tingkatan penduduk dan lapisan
masyarakat.
6. Kerjasama internasional (international cooperation) 20
Pola kerjasama internasional dipengaruhi oleh pendekatan
pengembangan sektoral, sedangkan pertimbangan lingkungan kurang
diperhitungkan. Karena itu perlu dikembangkan pula kerjasama yang lebih
mampu menanggapi pembangunan yang berwawasan lingkungan.
7. Pengendalian dan Pengawasan
Dalam upaya mendukung tujuan pembangunan yang berkelanjutan
telah dilakukan upaya-upaya memasukkan unsur lingkungan dalam
memperhitungkan kelayakan suatu pembangunan. Unsur-unsur lingkungan
yang menjadi satu paket dengan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan
akan lebih menjamin kelestarian lingkungan hidup dan mempertahankan
dan/atau memperbaiki daya dukung lingkungannya.21
Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan
bagian dari setiap kegiatan yang berkaitan, baik secara sektoral maupun
regional. Kegiatan itu akan dilaksanakan melalui pembentukan suatu sistem
tata laksana dan tata cara yang dapat memantapkan kerjasama antar berbagai
lembaga.
Penyelamatan dan pengelolaan lingkungan hidup serta proses
pembangunan berkelanjutan pada umumnya merupakan suatu proses
20
Ibid, hal.2 21
Pramudya Sunu, Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO14001, Grasindo,
Jakarta, 2001, hal. 24
19
pembaruan yang memerlukan wawasan, sikap dan prilaku yang baru yang
didukung oleh nilai-nilai dan kaidah-kaidah. Wawasan ini dapat diperkaya
lagi dengan kearifan tradisional mengenai lingkungan hidup dan keserasian
lingkungan hidup dengan kependudukan.22
Peran serta masyarakat dalam pembangunan amat penting
pengaruhnya dalam upaya meningkatkan daya guna dan hasil guna
pembangunan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup.
Sumber daya alam menjadi milik bersama akan lebih terpelihara
kelestariannya apabila seluruh masyarakat memahami dan memeliharanya.23
Pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup ini tentunya tidak
lepas dari campur tangan dari beberapa dimensi yaitu:
a. Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Dimensi
Politik;
Politik merupakan dimensi yang mendapat perhatian utama
dalam bidang undang-undang, falsafah, teologi, dan sosial, terutama
konsep tentang keadilan. Konsep keadilan menginginkan supaya
setiap individu menerima apa yang wajar bagi dirinya. Perlu diingat
bahwa keterlibatan individu dalam berbagai kedudukan dalam dimensi
politik, merupakan syarat penting untuk dapat mencapai suatu tujuan.
Kesulitan yang timbul dalam mencapai tujuan politik
pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup ialah penggunaan
teknologi untuk pembangunan. Misalnya teknologi yang
menggunakan bahan kimia akan mengurangi kualitas unsur alam dan
22
Ibid., hal. 25 23
Ibid., hal. 26
20
sekaligus mengeluarkan limbah yang mencemari lingkungan hidup.
Memang secara politik negara atau pemerintah dapat mengenakan
syarat yang tidak adil terhadap pembangunan industri dengan
menggunakan alasan untuk melindungi lingkungan hidup dan
ketentraman umum. Untuk pengawasan dan pengelolaan lingkungan
hidup secara periodik sangat memerlukan kekuasan formal. Dengan
demikian kekuasaan dapat dianggap sebagai penjaga pintu keadilan
dan kebebasan. Keadilan inilah yang membedakan baik setiap negara
itu demokratik, otoriter maupun feodal. Pembangunan berkelanjutan
harus berorientasi pada perhatian dan kemampuan politik teknologi.24
Dalam konteks pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup
di Indonesia tidak memikirkan persoalan pencemaran lingkungan
hidup. Ini disebabkan bahan pembangunan meliputi seluruh wilayah
terutama sektor ekonomi. Secara teknikal, tidak dapat dikatakan
bahwa kemampuan politik dalam sistem ekonomi tidak boleh
menyederhanakan sistem politik sebagai faktor ekonomi. Karena itu
sistem politik juga melaksanakan fungsi yang lain misalnya
memberikan perlindungan kepada pihak yang tidak tergantung pada
ekonomi, apalagi jika dikaitkan dengan hubungan internasional.
Indonesia hingga kini masih dikritik dengan adanya praktik
penebangan hutan, dan tindakan lain yang bertentangan dengan
pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peranan politik dalam
sejarah dan pembentukan satu peraturan senantiasa tercatat sebagai
24
Djanius Djamin, Pengawasan dan pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup :
suatu analisis sosial, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007,, hal. 74
21
keperluan dan pengukur untuk menentukan terlaksananya sistem
undang-undang untuk mencapai kesejahteraan.
b. Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Dimensi
Ekonomi;
Disadari atau tidak bahwa pengawasan dan pengelolaan
lingkungan hidup ditinjau dari segi ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari
upaya negara-negara didunia telah mengalami proses industrialisasi
yang sangat pesat, tidak terkecuali di Indonesia. Proses ini akan terus
meluas dalam berbagai bentuk perusahaan, yang bertujuan membasmi
kemiskinan untuk meningkatkan taraf pendapatan yang seimbang.
Konsep ini sangat penting untuk mencapai tujuan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Dengan tujuan tersebut, keutamaan
pembangunan nasional lebih berpijak kepada usaha mempercepat
proses nasional lebih berpijak kepada usaha mempercepat proses
industrialisasi dan pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi.
Tingkat pembangunan ekonomi yang pesat ini membawa
implikasi terhadap kemampuan lingkungan hidup menampung
lingkungan hidup menampung berbagai jenis limbah dan sampah
industri. Persoalan tentang lingkungan hidup menjadi perhatian utama
masyarakat dan pemerintah. Hal ini didorong oleh dampak negatif
pembangunan ekonomi, kepesatan urbanisasi, dan proses modernisasi
yang tidak dapat dihindari.
Dilihat dari dimensi ekonomi, maka usaha untuk pembukaan
kawasan baru sumber alam milik bersama secara berlebihan terjadi
22
karena tidak hadirnya mekanisme pasar yang berorientasikan
lingkungan hidup. Kerusakan yang timbul akibat aktivitas ekonomi ini
akan membawa dampak keluar, misalnya banjir kilat, asap, tanah
longsor dan lain sebagainya. Usaha utama dalam pengawasan dan
pengelolaan lingkungan hidup ialah menjalankan konsep seimbang di
antara pembangunan ekonomi dengan daya dukung sumber alam bagi
terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan.
Faktor kesejahteraan dan kemakmuan merupakan faktor penting
dalam mewujudkan sistem Undang-Undang Lingkungan Hidup yang
kokoh dan berwibawa. Untuk mengetahui sejauhmana dimensi
ekonomi turut berperan dalam mendukung pengawasan dan
pengelolaan lingkungan hidup, perlu dilakukan koordinasi di antara
dimensi politik dengan ekonomi.
c. Pengawasan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Dimensi
Sosial Budaya.
Sosial budaya ialah suatu konsep kehidupan sekelompok orang
maupun beberapa kelompok yang membuat keputusan hidup bersama
melalui usaha untuk memanfaatkan lingkungan hidup dalam rangka
keperluan hidup bersama-sama. Secara dialektik dari masyarakat
supaya dapat berhadapan dengan setiap tahapan perkembangan dan
memberikan ruang gerak yang luas untuk mengkaji semula tahap
perkembangan tersebut.
Berbagai sektor pembangunan di Indonesia yang sangat rumit
untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera
menyebabkan pihak pemerintah perlu merancang suatu kebudayaan
23
yang lebih komprehensif. Strategi ini meliputi seluruh pola kehidupan
masyarakat yang berhubungan langusung dengan faktor, anthropos,
oikhos, tekne dan ethos.25
Meskipun demikian perlu diingat bahwa seluruh alat pendukung
kependudukan berfungsi sebagai instrumen. Ini akan berarti jika
digunakan untuk kepentingan manusia, sedangkan penertian manusia
akan terwujud, apabila ia berhasil mentransformasikan instrumen
tersebut ke dalam dirinya melalui pemahaman yang benar. Dengan
demikian, berlaku suatu perubahan dalam kehidupan menusia untuk
mewujudkan fenomena interaksi yang harmoni di antara lingkungan
hidup dengan manusia.26
Ditinjau dari dimensi sosial budaya tersebut, masyarakat
Indonesia merupakan bangsa yang mencintai lingkungan hidupnya,
sehingga tidak terwujud keinginan untuk merusak lingkungan hidup.
Sosial budaya merupakan wadah estetik yang baik untuk pengawasan
dan pengelolaan lingkungan hidup dalam beretika menurut keputusan
masyawarah untuk mufakat.
Teori pendekatan dalam pengelolaan dan pengawasan
lingkungan hidup ternyata harus didukung oleh pembuat undang-
undang yang bijaksana, teratur dan berwibawa, serta berperilaku
sebagai “abdi negara” dan “abdi masyarakat”. Mekanisme
pelaksanaan pengelolaan dan pengawasan lingkungan hidup, proses
25
S. Poespawardjojo, Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis, Gramedia,
Jakarta, 1993, hal. 33 26
Ibid., hal. 34
24
pemberlakuan harus dijadikan sebagai rangkaian akhir dari putaran
pengaturan, perencanaan dan penerapan suatu sistem hukum. Dengan
demikian kesulitan dalam menerapkan pengawasan dan pengelolaan
lingkungan hidup ialah tingkat kesadaran masyarakat terhadap
undang-undang masih rendah, peraturan belum lengkap, tingkat
kemampuan pelaksanaan undang-undang yang rendah, serta kecilnya
biaya perbelanjaan. Faktor-faktor ini harus diperhatikan agar tidak
terjadi pelanggaran terhadap undang-undang lingkungan hidup. Selain
itu untuk efektivitas pengawasan dan pengelolaan lingkungan hidup
maka undang-undang harus ditetapkan secara adil. Bagi yang
melanggar undang-undang harus membayar ganti rugi, mebayar
pemulihan dan lain sebagainya.
8. Penegakan Hukum Lingkungan
Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement.
Istilah penegakan hukum dalam Bahasa Indonesia membawa kita kepada
pemikiran bahwa penegakan hukum selalu dengan paksaan (force),
sehingga ada yang berpendapat bahwa penegakan hukum hanya
bersangkutan dengan hukum pidana saja.27
Penegakan hukum memiliki arti
yang sangat luas meliputi segi preventif dan represif, cocok dengan kondisi
Indonesia yang unsur pemerintahnya turut aktif dalam meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat.28
Secara konsepsional, maka inti dan arti
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
27
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 48. 28
Ibid, hal 49.
25
yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.29
Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan
aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku.
Pengertian penegakan hukum lingkungan dikemukakan oleh Biezeveld
sebagai berikut:30
Environmental law enforcement can be defined as the application of
legal govermental powers to ensure compliance with environmental
regulations by means of:
a. Administrative supervision of the compliance with
environmental regulations
b. Administrative measures or sanctions in case of non compliance
c. Criminal investigation in case of presumed offences
d. Criminal measures or sanctions in case of offences
e. Civil action (law suit) in case of (threatening) non compliance
Penegakan hukum lingkungan merupakan penegakan hukum yang
cukup rumit karena hukum lingkungan menempati titik silang antara
berbagai bidang hukum klasik.31
Penegakan hukum lingkungan merupakan
mata rantai terakhir dalam siklus pengaturan perencanaan kebijakan tentang
lingkungan yang urutannya sebagai berikut:
1. Perundang-undangan
2. Penentuan standar
3. Pemberian izin
4. Penerapan
5. Penegakan hukum. 32
29
Soeryono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali,
Jakarta,1983, hal. 3 30
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional ,
Airlangga Press, Surabaya, 1996, hal 214 31
Ibid 32
Ibid, hal 52.
26
Menurut Sudikno Mertokusumo, kalau dalam penegakan hukum,
yang diperhatikan hanya kepastian hukum, maka unsur-unsur lainnya
dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan hanyalah
kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan. Dalam
penegakan hukum lingkungan ketiga unsur tersebut yaitu kepastian,
kemanfaatan, dan keadilan harus dikompromikan. Artinya ketiganya harus
mendapat perhatian secara proporsional seimbang dalam penanganannya,
meskipun di dalam praktek tidak selalu mudah melakukannya.33
Berbeda halnya dengan M. Daud Silalahi yang menyebutkan bahwa
penegakan hukum lingkungan mencakup penaatan dan penindakan
(compliance and enforcement) yang meliputi hukum administrasi negara,
bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana. 34
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 menyediakan tiga macam
penegakan hukum lingkungan yaitu penegakan hukum administrasi, perdata
dan pidana. Di antara ke tiga bentuk penegakan hukum yang tersedia,
penegakan hukum administrasi dianggap sebagai upaya penegakan hukum
yang paling penting. Hal ini karena penegakan hukum administrasi lebih
ditujukan kepada upaya mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan
lingkungan. Di samping itu, penegakan hukum administrasi juga bertujuan
untuk menghukum pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan.35
a. Penegakan Hukum Administrasi
33
R.M Gatot Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal
66 34
M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, Alumni Bandung, 2001, hal. 215 35
Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan, dikta kuliah Hukum Lingkungan Unand,
hal 1.
27
Penegakan hukum lingkungan administrasi pada dasarnya
berkaitan dengan pengertian dari penegakan hukum lingkungan itu
sendiri serta hukum administrasi karena penegakan hukum
lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan
warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi
tiga bidang hukum yaitu administrasi, perdata dan pidana. Dengan
demikian penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk
mencapai ketaatan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang
berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan
penerapan (atur dan awasi) atau control and common sarana
administratif, keperdataan dan kepidanaan.36
Penggunaan hukum administrasi dalam penegakan hukum
lingkungan mempunyai dua fungsi yaitu bersifat preventif dan
represif. Bersifat preventif yaitu berkaitan dengan izin yang diberikan
oleh pejabat yang berwenang terhadap pelaku kegiatan, dan dapat
juga berupa pemberian penerangan dan nasihat, sedangkan sifat
represif berupa sanksi yang diberikan oleh pejabat yang berwenang
terhadap pelaku atau penanggung jawab kegiatan untuk mencegah
dan mengakhiri terjadinya pelanggaran.37
Penegakan hukum administrasi memberikan sarana bagi
warganegara untuk menyalurkan haknya dalam mengajukan gugatan
terhadap badan pemerintahan. Gugatan hukum administrasi dapat
terjadi karena kesalahan atau kekeliruan dalam proses penerbitan
36
Ninik Suparni, Pelestarian, Pengelolaan Dan Peneghakan Hukum Lingkungan Hidup,
Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal.161 37
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal 48
28
sebuah Keputusan Tata Usaha Negara yang berdampak penting
terhadap lingkungan.38
Penegakan hukum administrasi yang bersifat preventif berawal
dari proses pemberian izin terhadap pelaku kegiatan sampai
kewenangan dalam melakukan pengawasan yang diatur dalam Pasal
76 UUPPLH, sedangkan yang bersifat represif berhubungan dengan
sanksi administrasi yang harus diberikan terhadap pencemar yang
diatur dalam Pasal 76 sampai Pasal 27 UUPPLH.
Pelanggaran tertentu terhadap lingkungan hidup dapat dijatuhi
sanksi berupa pencabutan izin usaha dan atau kegiatan. Bobot
pelanggaran peraturan lingkungan hidup bisa berbeda-beda, mulai
dari pelanggaran syarat administratif sampai dengan pelanggaran
yang menimbulkan korban. Pelanggaran tertentu merupakan
pelanggaran oleh usaha dan atau kegiatan yang dianggap berbobot
untuk dihentikan kegiatan usahanya, misalnya telah ada warga
masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat pencemaran dan atau
perusakan lingkungan hidup. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk
kepentingan efektifitas hukum lingkungan itu agar dipatuhi dan
ditaati oleh masyarakat. Sanksi itu pula sebagai sarana atau instrumen
untuk melakukan penegakan hukum agar tujuan hukum itu sesuai
dengan kenyataan.39
Siti Sundari Rangkuti menyebutkan bahwa penegakan hukum
secara preventif berarti pengawasan aktif dilakukan terhadap
38
Takdir Rahmadi, Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun, Airlangga
University Press, Surabaya, 2003, hal 25. 39
Siswanto Sunarso, Hukum Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa,
Rineka Cipta, Jakarta, 2005, Hal. 96.
29
kepatuhan, kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang
menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa
peraturan hukum telah dilanggar. Instrumen penting dalam penegakan
hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan
kewenangan yang bersifat pengawasan (pengambilan sampel,
penghentian mesin dan sebagainya). Dengan demikian izin penegak
hukum yang utama di sini adalah pejabat atau aparat pemerintah yang
berwenang memberi izin dan mencegah terjadinya pencemaran
lingkungan. Penegakan hukum represif dilakukan dalam hal
perbuatan yang melanggar peraturan.40
Dalam rangka efektifitas tugas negara, Pasal 82 ayat (1) dan (2)
UUPPLH memungkinkan Gubernur untuk mengeluarkan paksaan
pemerintah untuk mencegah dan mengakhiri pelanggaran, untuk
menanggulangi akibat dan untuk melakukan tindakan penyelamatan,
penanggulangan dan pemulihan. Di samping paksaan pemerintah,
upaya lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui audit
lingkungan. Audit lingkungan merupakan suatu instrumen penting
bagi penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk meningkatkan
efisiensi kegiatan dan kinerjanya dalam menaati persyaratan
lingkungan hidup yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan. Audit lingkungan hidup dibuat secara sukarela untuk
memverifikasi ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan
lingkungan hidup yang berlaku, serta dengan kebijaksanaan dan
40
Siti Sundari Rangkuti, Op.cit, hal. 209
30
standar yang diterapkan secara internal oleh penanggung jawab usaha
atau kegiatan yang bersangkutan.
Penegakan hukum administrasi yang bersifat represif
merupakan tindakan pemerintah dalam pemberian sanksi administrasi
terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup. Sanksi
administrasi berupa:
(1) Pemberian teguran keras.
(2) Pembayaran uang paksa.
(3) Penangguhan berlakunya izin.
(4) Pencabutan izin.41
Mas Achmad Santosa menyebutkan bahwa penegakan hukum
lingkungan di bidang administrasi memiliki beberapa manfaat
strategis dibandingkan dengan peranngkat penegakan hukum lainnya
oleh karena:
1. Penegakan hukum lingkungan dapat dioptimal sebagai
perangkat pencegahan.
2. Penegakan hukum lingkungan administrasi lebih efisien
dari sudut pembiayaan bila dibandingkan dengan
penegakan hukum perdata dan pidana. Pembiayaan untuk
penegakan hukum administrasi hanya meliputi
pembiayaan pengawasan lapangan dan pengujian
laboratorium.
3. Penegakan hukum lingkungan administrasi lebih memiliki
kemampuan mengundang partisipasi masyarakat dimulai
dari proses perizinan, pemantauan, penaatan/ pengawasan
dan partisipasi masyarakat dal;am mengajukan keberatan
untuk meminta pejabat tata usaha negara dalam
memberlakukan sangsi administrasi.42
Perangkat penegakan hukum administrasi sebagai sebuah sistem
hukum dan pemerintahan paling tidak harus meliputi, yang
41
R.M Gatot P. Soemartono, Op.cit, hal . 68. 42
Ibid., hal. 67
31
merupakan prasyarat awal dari efektifitas penegakan hukum
lingkungan administrasi yaitu :
1. Izin, yang didayagunakan sebagai perangkat pengawasan
dan pengendalian.
2. Persyaratan dalam izin dengan merujuk pada AMDAL,
standar baku mutu lingkungan, peraturan perundang
undangan.
3. Mekanisme pengawasan penaatan.
4. Keberadaan pejabat pengawas yang memadai secara
kualitas dan kuantitas
5. Sanksi administrasi.43
b. Penegakan Hukum Perdata
Penggunaan hukum perdata dalam penegakan hukum
lingkungan hidup berkaitan dengan penyelesaian lingkungan hidup
akibat dari adanya perusakan lingkungan oleh pelaku usaha atau
kegiatan. Di sini penegakan hukum perdata berperan dalam bentuk
permintaan ganti rugi oleh korban pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup kepada pihak pencemar yang dianggap telah
menimbulkan dampak pencemaran terhadap lingkungan.
Penggunanaan instrumen hukum perdata dalam penyelesaian
sengketa-sengketa yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup
pada hakekatnya memperluas upaya penegakan hukum dari berbagai
peraturan perundang-undangan.44
Ada dua macam cara yang dapat
ditempuh untuk meyelesaikan sengketa lingkungan hidup:
1. Penyelesaian melalui mekanisme penyelesaian sengketa
di luar pengadilan.
43
Ibid., hal. 68 44
Niniek Suparni, Op. Cit, hal 160
32
2. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan berdasarkan
pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
Tujuan penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah untuk
mencari kesepakatan tentang bentuk dan besarnya ganti rugi atau
menentukan tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pencemar
untuk menjamin bahwa perbuatan itu tidak terjadi lagi dimasa yang
akan datang (Pasal 85 ayat (1) UUPPLH). Penyelesaian sengketa di
luar pengadilan ini dapat dilakukan dengan menggunakan jasa pihak
ketiga baik yang memiliki ataupun yang tidak memiliki kewenangan
untuk membuat keputusan, serta membolehkan masyarakat atau
pemerintah membuat lembaga penyedia jasa lingkungan untuk
membantu menyelesaikan sengketa lingkungan.
Diketahui bahwa dalam kasus pencemaran lingkungan, korban
pada umumnya awam soal hukum dan seringkali berada pada posisi
ekonomi lemah bahkan sudah berada dalam keadaan sekarat.
Sungguh berat dan terasa tidak adil mewajibkan penderita yang
memerlukan ganti kerugian justru dibebani membuktikan kebenaran
gugatannya. Menyadari kesulitan itu maka tersedia alternatif
konseptual dalam hukum lingkungan keperdataan yang merupakan
asas tanggung jawab mutlak. Pasal 88 Undang-undang Nomor 32
Tahun 2009 mengandung sistem “Liability without fault” atau “strict
liability”.
Batasan dari sistem ini adalah kalau pencemaran atau perusakan
lingkungan tersebut menimbulkan dampak yang besar dan penting,
misalnya akibat dari pencemaran tersebut menimbulkan korban yang
33
banyak dan kematian, sehingga korban tidak perlu lagi membuktikan
kesalahan dari pelaku.
Strict liability meringankan beban pembuktian. Kegiatan-
kegiatan yang dapat diterapkan prinsip strict liability diatur dalam
Pasal 35 UUPLH sebagai berikut: usaha dan kegiatan yang
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, serta
kegiatan yang mengahsilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.
c. Penegakan Hukum Pidana
Instrumen pidana ini sangat penting dalam penegakan hukum
lingkungan untuk mengantisipasi perusakan dan pencemaran
lingkungan. Dalam UU No. 32 Tahun 2009 pasal 97 dikenal dua
macam tindak pidana yaitu:
1. Delik materi (generic crimes)
Merupakan perbuatan melawan hukum yang
menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan.
Perbuatan melawan hukum seperti itu tidak harus
dihubungkan dengan pelanggaran aturan-aturan hukum
administrasi sehingga delik materiil ini disebut juga
sebagai Administrative Independent Crimes.
2. Delik formil (spesific crimes)
Delik ini diartikan sebagai perbuatan yang melanggar
aturan-aturan hukum administrasi. Delik formil dikenal
juga sebagai Administrative Dependent Crimes. 45
Dalam UUPPLH Nomor 32 Tahun 2009 pasal 97 dirumuskan
beberapa perbuatan yang diklasifikasikan sebagai kejahatan:
a. Kesengajaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran lingkungan hidup.
45
Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakata,
2009. hal. 13.
34
b. Kesengajaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan
perusakan terhadap lingkungan hidup
c. Kealpaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran lingkungan hidup
d. Kealpaan melakukan perbuatan yang mengakibatkan
perusakan lingkungan hidup
e. Kesengajaan melepas atau membuang zat, energi dan atau
komponen lain yang berbahaya
f. Kesengajaan memberikan informasi palsu atau
menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak
informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan butir
(e)
g. Kealpaan melakukan perbuatan sebagaimana disebutkan
dalam butir (e) dan (f) di atas.
Sanksi pidana dalam perlindungan lingkungan hidup
dipergunakan sebagai ultimum remedium, dimana tuntutan pidana
merupakan akhir mata rantai yang panjang. Bertujuan untuk
menghapus atau mengurangi akibat-akibat yang merugikan terhadap
lingkungan hidup. Mata rantai tersebut yaitu:
1. Penentuan kebijaksanaan, desain, dan perencanaan,
pernyataan dampak lingkungan;
2. Peraturan tentang standar atau pedoman minimum
prosedur perizinan;
3. Keputusan administratif terhadap pelanggaran, penentuan
tenggang waktu dan hari terakhir agar peraturan ditaati;
4. Gugatan perdata untuk mencegah atau menghambat
pelanggaran, penelitian denda atau ganti rugi;
5. Gugatan masyarakat untuk memaksa atau mendesak
pemerintah mengambil tindakan, gugatan ganti rugi;
6. Tuntutan pidana. 46
Fungsionalisasi hukum pidana untuk mengatasi masalah
pencemaran lingkungan diwujudkan melalui perumusan sanksi pidana
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setidaknya ada
dua alasan tentang mengapa sanksi pidana diperlukan. Pertama,
sanksi pidana selain dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
46
Harun M. Husein, Lingkungan Hidup Masalah, Pemelolaan Dan Penegakan Hukumnya,
Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hal 171.
35
manusia seperti harta benda dan kesehatan, juga untuk melindungi
kepentingan lingkungan seperti harta benda dan kesehatan, juga untuk
melindungi kepentingan lingkungan karena manusia tidak dapat
menikmati harta benda dan kesehatannya dengan baik apabila
persyaratan dasar tentang kualitas lingkungan yang baik tidak
dipenuhi. Kedua, pendayagunaan sanksi pidana juga dimaksudkan
untuk memberikan rasa takut kepada pencemar potensial. Sanksi
pidana dapat berupa pidana penjara, denda, perintah memulihkan
lingkungan yang tercemar, penutupan tempat usaha dan pengumuman
melalui media massa yang dapat menurunkan nama baik pencemar
yang bersangkutan.47
Apabila perbuatan pencemaran lingkungan hidup ini dikaitkan
dengan peranan atau fungsi dari hukum pidana tadi maka peranan
atau fungsi dari UUPPLH adalah sebagai social control, yaitu
memaksa warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah yang
berlaku, dalam hal ini adalah kaidah-kaidah yang berkenaan dengan
lingkungan hidup. Kemudian apabila dihubungkan dengan
masyarakat yang sedang membangun, maka dapat dikatakan bahwa
peranan atau fungsi hukum pidana adalah sebagai sarana penunjang
bagi pembangunan berkelanjutan.48
E. Pelestarian Sumber Daya Hayati
Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa
sumber daya alam yang berlimpah, baik di darat, di perairan maupun di udara
47
Takdir Rahmadi, Op.Cit, hal 26. 48
Niniek Suparni, Op. Cit, hal 191.
36
yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang. Modal
dasar sumber daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan, dan
dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada
khususnya dan mutu kehidupan manusia pada umumnya menurut cara yang
menjamin keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, baik antara manusia dengan
Tuhan penciptanya, antara manusia dengan masyarakat maupun antara manusia
dengan ekosistemnya. Pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
sebagai bagian dari modal dasar tersebut pada hakikatnya merupakan bagian
integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan
Pancasila.
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting
dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa
fenomena alam, baik secara masing- masing maupun bersama-sama mempunyai
fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang
kehadirannya tidak dapat diganti. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan
mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, maka
upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi
kewajiban mutlak dari tiap generasi. Tindakan yang tidak bertanggung jawab
yang dapat menimbulkan kerusakan pada kawasan suaka alam dan kawasan
pelestarian alam ataupun tindakan yang melanggar ketentuan tentang
perlindungan tumbuhan dan satwa yang dilindungi, diancam dengan pidana yang
berat berupa pidana badan dan denda. Pidana yang berat tersebut dipandang perlu
karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak
37
dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula
tidak mungkin lagi.
Sifatnya yang luas dan menyangkut kepentingan masyarakat secara
keseluruhan, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat. Peran
serta rakyat akan diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui kegiatan
yang berdaya guna dan berhasil guna. Untuk itu, Pemerintah berkewajiban
meningkatkan pendidikan dan penyuluhan bagi masyarakat dalam rangka sadar
konservasi.
Pasal 3 Undang-Undang 5 Tahun 1990 tentang Undang-Undang Konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menyatakan bahwa, konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya
kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga
dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia.
Akibat sampingan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang
bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta belum
berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di perairan
dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, dan penurunan
potensi sumber daya alam hayati (pemanfaatan secara lestari).
Mengingat negara Indonesia adalah negara berdasar atas hukum, maka
pengelolaan konservasi sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya perlu
diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian
hukum bagi usaha pengelolaan tersebut. Dewasa ini kenyataan menunjukkan
38
bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya yang bersifat nasional belum ada.
Peraturan perundang-undangan warisan pemerintah kolonial yang
beranekaragam coraknya, sudah tidak sesuai lagi dengan tingkat perkembangan
hukum dan kebutuhan bangsa Indonesia. Perubahan-perubahan yang menyangkut
aspek-aspek pemerintahan, perkembangan kependudukan, ilmu pengetahuan, dan
tuntutan keberhasilan pembangunan pada saat ini menghendaki peraturan
perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya yang bersifat nasional sesuai dengan aspirasi bangsa Indonesia.
Upaya pemanfaatan secara lestari sebagai salah satu aspek konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, belum sepenuhnya dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan; demikian pula pengelolaan kawasan pelestarian alam
dalam bentuk taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam, yang
menyatukan fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan
pemanfaatan secara lestari.
Pengertian perlindungan satwa liar tersebut sebelum diuraikan lebih lanjut,
maka pertama sekali yang perlu diketahui ialah pengertian dari satwa liar karena
tidak semua hewan dapat dikategorikan sebagai satwa liar yang dilindungi.
Pemakaian bahasa sehari-hari menunjukkan bahwa satwa dapat diistilahkan
dengan berbagai kata yaitu hewan, binatang maupun fauna ataupun mahluk hidup
lainnya selain manusia yang dapat bergerak dan berkembang biak serta memiliki
peranan dan manfaat dalam kehidupan.
Pengertian satwa itu sendiri menurut UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya seperti yang tercantum
39
dalam Pasal 1 butir 5 yaitu: “Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani,
baik yang hidup di darat maupun di air ” Pengertian satwa liar lainnya antara lain
dirangkum dalam Pasal 1 butir 7 undang-undang tersebut yaitu ”Satwa liar adalah
semua binatang yang hidup di darat, dan/atau di air dan/atau di udara yang masih
mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh
manusia” Pembatasan dalam penggolongan atau pengkategorian lainnya terhadap
satwa liar tersebut juga termuat dalam penjelasan Pasal 1 butir 7 yaitu sebagai
berikut: “Ikan dan ternak tidak termasuk dalam pengertian satwa liar tetapi
termasuk dalam pengertian satwa”
Penjabaran mengenai berbagai pengertian tentang satwa liar yang dilindungi
seperti yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan kriteria satwa dan
perlindungan seperti apa yang akan diberikan, dari berbagai uraian tersebut maka
dapat diambil suatu kesimpulan bahwa perlindungan satwa liar yang dilindungi
ialah suatu bentuk perlindungan yang tidak hanya mencakup terhadap satwa yang
masih hidup saja tetapi juga mencakup kepada keseluruhan bagian-bagian tubuh
yang tidak terpisahkan dari satwa liar tersebut seperti gading dengan gajahnya,
cula dengan badaknya, harimau dengan kulitnya dan sebagainya. Perdagangan
satwa yang dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun yang sudah mati
ataupun bagian-bagian tubuhnya adalah merupakan suatu tindak pidana. Pasal 21
ayat (2) huruf d UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi.
Perlindungan terhadap satwa tersebut umumnya ditujukan pada beberapa
karakteristik tertentu dimana satwa-satwa tersebut terancam kepunahan yaitu:
a. Nyaris punah, dimana tingkat kritis dan habitatnya telah menjadi
sempit sehingga jumlahnya dalam keadaan kritis.
b. Mengarah kepunahan, yakni populasinya merosot akibat eksploitasi
yang berlebihan dan kerusakan habitatnya.
40
c. Jarang, populasinya berkurang.49
F. Primata Indonesia
Primata adalah mamalia yang menjadi anggota ordo biologi Primates. Di
dalam ordo ini termasuk lemur, tarsius, monyet, kera, dan juga manusia. Kata
primata ini berasal dari kata bahasa Latin primates yang berarti “yang pertama,
terbaik, mulia”.50
Seluruh primata memiliki lima jari (pentadactyly), bentuk gigi
yang sama dan rancangan tubuh primitif (tidak terspesialisasi). Kekhasan lain dari
primata adalah kuku jari. Ibu jari dengan arah yang berbeda juga menjadi salah
satu ciri khas primata, tetapi tidak terbatas dalam primata saja; opossum juga
memiliki jempol berlawanan. Dalam primata, kombinasi dari ibu jari berlawanan,
jari kuku pendek (bukan cakar) dan jari yang panjang dan menutup ke dalam
adalah sebuah relik dari posisi jari (brachiation) moyangnya di masa lalu yang
barangkali menghuni pohon. Semua primata, bahkan yang tidak memiliki sifat
yang biasa dari primata lainnya (seperti loris), memiliki karakteristik arah mata
yang bersifat stereoskopik (memandang ke depan, bukan ke samping) dan postur
tubuh tegak.51
Dari 195 spesies primata di dunia, Indonesia mempunyai 40 spesies yang 24
di antaranya merupakan endemik. Artinya, primata-primata itu hanya dapat
ditemukan secara alami di Indonesia. Semua primata itu tersebar mulai di
Kepulauan Mentawai, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali, Nusa
Tenggara, dan pulau-pulau kecil lainnya. Selain itu primata mempunyai peran
49Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa,
Erlangga, Jakarta, 1995, hal. 49. 50
Riskiansya, Kampanye Pelestarian Primata Sejak Dini,
http://dir.unikom.ac.id/jbptunikompp-gdl-s1-2007- -6894/bab-2.doc/pdf/bab-2.pdf, diakses pada
tanggal 25 Agustus 2012. 51 Putri, Pengertian Primata, Aves dan Mamalia, http://putrijusstef.
blogspot.com/2012/02/ pengertian-primata-avesmamalia.html, diakses pada tanggal 2 April 2012.
41
cukup vital dalam menjaga kelestarian hutan. Mereka membantu penyebaran biji
tumbuhan di hutan tak lain karena sebagian besar primata di alam mengkonsumsi
buah dan daun. Selain itu primata dapat dijadikan sebagai obyek wisata alam
bernilai tinggi. Ada banyak wisatawan asing yang datang ke Indonesia hanya
untuk melihat orangutan atau owa di alam. Jika dijadikan obyek ekoturisme tentu
primata-primata itu mendatangkan keuntungan lebih besar dibanding jika diburu
dan dijual sebagai satwa peliharaan.52
Indonesia termasuk negara yang kaya akan keanekaragaman hayati satwa
liar primata. Dari sekitar 195 jenis primata yang ada di dunia, 537 jenis
diantaranya hidup di Indonesia. Sekitar 20 jenis diantaranya, di seluruh dunia
secara alami hanya dapat ditemukan di wilayah Indonesia atau disebut primata
endemik Indonesia. Primata tersebut banyak diantaranya termasuk jenis yang
terancam punah adalah Orangutan.
Keberadaan Orangutan tersebut di Indonesia yang hanya ada di Sumatra dan
Kalimantan akhir-akhir ini sangat memprihatinkan akibat berkurangnya habitat
mereka dan penangkapan liar untuk diperdagangkan. Jenis primata besar ini di
dunia hanya ditemukan di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Orangutan
Kalimantan dibedakan menjadi 2 anak jenis yaitu Pongo pygmaeus dengan
penyebaran dari Kalimantan Barat sampai Sarawak dan Pongo pygmaeus
wurumbii dengan penyebaran dari Barat laut Kalimantan antara sungai Kapuas
dan Barito.
Orangutan termasuk hewan yang terancam kehidupannya di alam, dengan
perkiraan total populasi sekitar 20.000 ekor. Degradasi dan hilangnya habitat
52 Sony. Primata Di Indonesia, http://aksessdunia.com/tag/primata-indonesia/,
diakses pada tanggal 2 April 2012.
42
merupakan ancaman paling besar terhadap spesies ini, walaupun perburuan untuk
dimakan dan perdagangan liar juga menjadi masalah yang sangat besar. Akibat
musim kemarau yang panjang dan kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia
menjadikan ratusan ribu hutan hancur. Kawasan yang dilindungipun tidak lepas
dari kerusakan ini, bahkan kurang lebih 95 % hutan dataran rendah di Taman
Nasional Kutai telah terbakar pada tahun 1998. Hilangnya populasi orangutan dan
habitatnya baik secara langsung atau tidak langsung menjadi bertambah parah.
Berbagai upaya telah dilakukan dalam upaya mempertahankan keberadaan
orangutan di alam yang sejak tahun 1931 telah dilindungi melalui Peraturan
Perlindungan Binatang Liar No. 233. Kemudian setelah itu diperkuat dengan SK
Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/KptsII/1991 dan Undang-undang No. 5
tahun 1990. Oleh IUCN status konservasi Orangutan dimasukkan sebagai
terancam punah atau endangered.53
Ancaman kelestarian orangutan yang demikian banyak tersebut di atas
masih diperparah dengan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang masih
memprihatinkan sehingga memaksa masyarakat melakukan perburuan satwa dan
penebangan hutan. Untuk itu senantiasa diperlukan peran serta dari masyarakat itu
sendiri dalam upaya perlindungan dan penyelamatan orangutan.
Primata khususnya Orangutan dikenal sebagai satwa penyebar biji di alam.
Kalau orangutan punah, secara langsung ataupun tidak akan berpengaruh terhadap
ekosistem, karena orangutan juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
ekosistem tersebut. Misalnya fungsi penyebaran biji, dengan punahnya orangutan
53 Ella Syahputri, Senin, 6 Juni 2011 16:42 WIB, 70 Persen Primata Indonesia
Terancam Punah, http://www.infogue.com/viewstory/2011/06/06/70persen primata_indonesia_terancam _punah/ ?url=http://www.antaranews.com/berita/261752/70-persen-primata-indonesia-terancam-punah, diakses pada tanggal 2 April 2012.
43
maka akan ada jenis-jenis tumbuhan yang selama ini terbantu tumbuhnya oleh
keberadaan orangutan, lambat laun juga punah. Berikutnya, beberapa jenis satwa
dan makhluk hidup lain yang tergantung pada tumbuhan tadi juga akan punah.
Rantai ekosistem akan terganggu, atau bahkan terputus, berikutnya adalah
manusia yang akan merasakan akibatnya.54
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pedekatan
Metode penelitian yang dipakai adalah penelitian yuridis normatif yaitu
penelitian yang menggunakan legis positivis, yang menyatakan bahwa hukum
identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga
atau pejabat yang berwenang. Selain itu konsepsi ini memandang hukum sebagai
suatu sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan
masyarakat.55
B. Spesifikasi Penelitian
54 Nita Murjani dan Leony Aurora, Upaya pelestarian kera besar harus terpadu
dengan REDD+, kata ahli primata, http://www.redd-indonesia.org/ index.php?Option=com_content & view=article&id=372:upaya-pelestarian-kera-besar-harus-terpadu-dengan-redd-kata-ahli-primata &catid=1:fokus-redd&Itemid=50, diakses pada tanggal 2 April 2012.
55 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2005, hal.37.
44
Dalam usaha memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun penulisan
hukum, maka akan dipergunakan spesifikasi penelitian deskriptif. Spesifikasi
penelitian ini adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan
keadaan obyek yang akan diteliti.56
C. Jenis Data
Data yang diperlukan untuk dipakai dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Data sekunder di bidang hukum dipandang dari sudut mengikat dapat
dibedakan :
1) Bahan Hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat
Bahan hukum primer terdiri dari peraturan dasar, peraturan
perundang-undangan, catatan resmi, lembar negara penjelasan,
risalah, putusan hakim dan yurisprudensi.57
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari
kalangan hukum dalam bentuk buku-buku atau artikel. Bahan hukum
sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak
dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan bahan
hukum primer dan sekunder sebagai data sekunder untuk melengkapi
deskripsi suatu realitas.
D. Metode Pengambilan Data
56Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2006, hal. 35. 57Ibid, hal. 113.
45
Data sekunder diperoleh dengan melakukan inventarisasi peraturan
perundang-undangan, dokumen resmi, dan literatur yang kemudian dicatat
berdasarkan relevansinya dengan pokok permasalahan untuk kemudian
dikaji sebagai suatu kajian yang utuh.
E. Metode Penyajian Data
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk teks naratif yang di susun secara
sistematis. Sistematis di sini maksudnya adalah keseluruhan data primer yang
diperoleh akan dihubungkan data sekunder yang didapat serta dihubungkan satu
dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga
merupakan satu kesatuan yang utuh.
F. Analisis Data
Data dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menjabarkan dan
menginterpretasikan data yang berlandaskan pada teori-teori ilmu hukum
(Theoritical Interpretation) yang ada.58
Berdasarkan hasil pembahasan diambil
kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
58 Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1983, hal.93.
46
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Perlindungan dan Konservasi Primata Berdasarkan Instrumen
Internasional
CITES (Convention On International Trade In Endangered Species Of
Wild Flora And Fauna) adalah sebuah rezim perjanjian internasional yang
mengatur perdagangan spesies tertentu dari flora dan fauna liar, yakni
spesies yang termasuk kategori terancam punah, begitu juga bagian-bagian
dari spesiesnya. Konvensi ini didasari adanya kenyataan banyak terjadi
perburuan terhadap spesies terancam, yang kemudian ditindaklanjuti dengan
maraknya perdagangan illegal yang sifatnya mengeksploitasi flora maupun
fauna.
Hilang atau terancam punahnya satwa berarti merupakan ancaman
terhadap hilangnya keanekaragaman hayati (Biodiversity) di muka bumi.
Menurut laporan UNEP pada tahun 1992, ada beberapa hal yang
menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati di muka bumi ini. UNEP
membaginya pada 2 kategori penyebab yaitu : penyebab langsung atau
47
direct causes dan penyebab pokok atau underlying causes. Ada 4 poin dari
penyebab langsung yaitu punahnya sebuah habitat, pengguna sumber daya
biologi tidak berkelanjutan, polus lingkungan hidup, dan permasalahan
dalam hal kebijakan. Penyebab pokok ada 4 poin utama yaitu perdagangan
internasional, laju pertumbuhan penduduk, kemiskinan dan munculnya
species baru.
Ada beberapa penjelasan yang melatarbelakangi pemikiran kenapa
kita perlu melakukan upaya perlindungan terhadap satwa, yaitu, adanya
nilai hakiki yang dimiliki oleh hewan sebagai mahkluk hidup karena adanya
nilai yang terkandung pada species tertentu terhadap peranannya yang
diberikan untuk menyeimbangkan ekosistem dan adanya nilai ekonomis
yanng terkandung dalam konteks sebagai obyek pariwisata dan sumber dari
keuntungan ekonomi seperti digunakan untuk kepentingan kesehatan. Salah
satu fenomena di atas menjadi penyebab terjadinya pengurangan species
(species depletion) adalah kegiatan perdagangan internasional satwa liar
yang sifatnya mengeksploitasi satwa untuk kepentingan komersil. Kegiatan
ini bukan suatu hal yang baru, perdagangan internasional satwa liar telah
dilakukan dalam beberapa abad. Perdagangan satwa mengakibatkan
menurunnya populasi satwa di bumi ini, frekuensi fenomena ini terjadi
begitu cepat memasuki abad ke – 20. Pertambahan penduduk dunia dan
perkembangan pesat sistem transportasi dan komunikasi memacu
meningkatnya jumlah wilayah kegiatan eksploitasi satwa secara komersil
untuk kepentingan perdagangan serta diiringi dengan permintaan atas satwa
yang kemudian mengakibatkan apa yang disebut sebagai pengurangan
species.
48
Perdaganngan menjadi lebih menarik bagi dunia internasional karenna
diperdagangkannya satwa dan bagian tubuhnya seperti : kulit, gading, dan
organ tubuh lainnya, khususnya selama 30 tahun terakhir. Konsumsi sumber
daya alam dari keanekaragaman hayati telah meningkat banyak, contohnya
10 dari 25 perusahaan obat di dunia pada tahun 1997 memperoleh bahan –
bahannya dari sumber keanekaragaman hayati termasuk dari satwa – satwa
dan juga 75 % populasi dunia tergantung pada obat – obat tradisional yang
diperoleh dari satwa. Hal ini membuat perdagangan satwa liar merupakan
suatu bisnis yang nilai nominalnya cukup besar, estimasinya konsrvatif
secara global menilai dari US $ 10 milyar dalam setahun secara berkala dan
paling sedikit US $ 2 – 3 milyar bersifat illegal.
Negara – negara berkembang khususnya negara – negara yang
dijuluki megabibiodiversity merupakan yang paling banyak bergantung
pada satwa menjadikannya sebagai komoditas perdagangan untuk
mendapatkan keuntungan devisa. Namun apabila tingkat dan volume
perdagangan melebihi dari jumlah satwa yang tersedia tanpa diiringi dengan
upaya konservasi maka pendapat dan keuntungan tersebut akan hilang
seiring bersama dengan hilangnya satwa – satwa tersebut.
Seiring dengan tingginya tingkat konsumsi terhadap sumber daya
alam untuk kepentingan perdangan internasional ini membuat tingkat
eksploitasi terhadap beberapa jenis satwa menjadi tinggi juga. Hal ini
membawa pada penurunan populasi atau bahkan membawa kepada
kepunahan satwa tersebut. Pada tahun 2000 menurut International Union
Conservation of Nature (IUCN), kita akan kehilangan antara 20– 50 %
species di bumi, apabila tidak ada langkah pencegahan yang cepat
49
dilakukan. IUCN membagi kategori kepunahan ini ke dalam beberapa
tingkatan :
1. Punah (extinct)
2. Extinct in the wild
3. Terancam punah (critically endangered)
4. Langkah (Endangered)
5. Rawan (Vulnerable)
6. Resiko rendah (Lower Risk)
Untuk melindungi agar species ini tidak punah, perjanjian yamg
bersifat multilateral mutlak diperlukan untuk mengatur atau paling tidak
adanya sebuah mekanisme kontrol untuk melindungi satwa dari kepunahan.
Beberapa perjanjian internasional yang berkaitan dengan masalah
keanekaragaman hayati telah dirintis beberapa saat sebelum Konferensi
Stockholm di mulai Konvensi Ramsar untuk melindungi habitat burung atau
unggas pada tahun 1971, Konvensi untuk melindungi kebudayaan dunia dan
pusaka alam pada 1972 dan Konvensi yang mengatur perdagangan satwa
pada tahun 1973. Konvensi pengaturan perdagangan satwa atau yang
dikenal dengan Convention on International Trade in Endangered Species
of Wild Fauna and Flora (CITES) adalah perjanjian multilateral untuk
menjawab akan salah satu faktor ancaman dari kepunahan species karena
kegiatan perdagangan satwa liar ini melintasi batas negara atau paling tidak
melibatkan dua negara, usaha untuk membuat perjanjian internasional
species tertentu dari eksploitasi yang berlebihan.
Ide pembentukan CITES sendiri mulai dibahas pada tahun 1960-an.
Pada pertemuan anggota IUCN tahun 1963 yang kemudian mendorong
terbentuknya suatu regulasi yang mengatur ekspor dan impor dari satwa
serta bagian dari tubuhnya yang terancam punah. Upaya pembentukan
50
CITES sendiri akhirnya disetujui satu tahun setelah Konferensi Stockholm
pada pertemuan delegasi yang jumlahnya lebih dari 80 negara di
Washington D.C Amerika Serikat pada tanggal 3 Maret 1973, pada tanggal
1 juli 1975 CITES mulai berlaku. tujuan dari sasaran CITES sendiri adalah
untuk memantau perkembangan dan memastikan bahwa pedagangan
internasional satwa tidak akan mengancam satwa dari kepunahan. Regulasi
CITES ini diformulasikan pada tingkat internasional tetapi implementasinya
pada tingkat nasional.
Mekanisme pengendalian perdagangan satwa yang digunakan CITES
adalah mekanisme regulasi appendiks, species – species termasuk tumbuhan
yang dianggap harus dilindungi dan diatur dimasukkan kedalam 3 macam
appendiks. Appendiks I merupakan appendiks tertinggi artinya species
tersebut terancam punah dan perdagangan species ini hanya diijinkan dalam
kondisi tertentu. Appendiks II mengatakan bahwa yang termasuk di
dalamnya bukan merupakan yang terancam punah tetapi akan mungkin
mengalami kepunahan apabila tidak terkontrol ketat dan di monitor untuk
meghindari eksploitasi. Appendiks III adalah kategori species yang
dimasukkan dalam species tertentu yang harus dilindungi di bawah hukum
dalam negerinya dan perlu adanya kerjasama lebih lanjut dengan sesama
negara anggota CITES untuk mengontrol perdagangan internasional
terhadap species tersebut.
Konvensi CITES dikelola oleh suatu sekretariat yang ditetapkan oleh
UNEP18 yang berada di Jenewa, Swiss. Setiap minimal 2 tahun sekali
negara anggota bertemu untuk membicarakan alokasi setiap species untuk
dimasukkan ke dalam tingkat yang berbeda. Di dalam setiap Conference of
51
Parties (CoP) di bicarakan hal – hal yang menyangkut pengadopsian
resolusi baru, mengklarifikasi regulasi sebelumnya, meninjau implementasi
yang dilakukan oleh negara anggota membuat rekomendasi untuk
meningkatkan keefektifan dati konvensi dan membicarakan masalah
financial dan administrasi.
CITES yang terbentuk pada 3 Maret 1973 dan mulai diberlakukan
pada 1 Juli 1975, memiliki aturan –aturan yang jelas dalam penerapan
konvensi CITES tersebut. CITES bekerja dengan memberikan aturan dan
control yang ketat dalam mengatur perdagangan spesies-spesies satwa liar
dan tumbuhan yang terancam punah. CITES merupakan komitmen dari 145
negara anggota mengenai prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh CITES
secara khusus, bahwa perdagangan dalam bentuk apapun dari spesies
tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi telah terjamin
kelestariannya.CITES merupakan suatu proses dimana Negara-negara
anggotanya bekerja sama untuk menjamin bahwa perdagangan tumbuhan
dan satwa liar dan dilaksanakan sejalan dengan perjanjian CITES.
CITES merupakan suatu badan Administrasi yang berkantor di
Gereva, Swiss. Dan menyediakan dokumen-dokumen asli dalam 3 bahasa:
Inggris, Perancis, dan Spanyol. Tujuan dari konvensi ini adalah untuk
mencegah terjadinya kepunahan jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar dimuka
bumi ini yang dapat/mungkin dapat disebabkan oleh adanya kegiatan
perdagangan internasional. Ada 4 hal yang menjadi dasar diadakannya
konvensi karena :
1. Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap tumbuhan dan
satwa liar
52
2. Meningkatnya nilai tumbuhan dan satwa liar bagi manusia
3. Peran dari masyarakat dan Negara dalam usaha perlindungan
tumbuhan satwa liar
4. Makin mendesaknya kebutuhan kerjasama internasional untuk
melindungi jenis-jenis tersebut di eksploitasi yang berkelebihan
melalui perdagangan internasional.
Diterapkannya sistem 2 pintu pengendalian lalu lintas peredaran/
perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang langka, yang pertama di Negara
pengekspor dan yang kedua di Negara pengimpor. Tiap Negara peserta
wajib mengadakan pemeriksaan terhadap spesies yang terdaftar dalam
kategori ApendiksI, II, III yang masuk/keluar dari wilayah Negara tersebut.
Prinsip umum dalam CITES dalam melakukan fungsinya sebagai
rezim yang mengatur perdagangan satwa-satwa tumbuhan liar yang
terancam punah adalah dengan menggunakan metode appendiks :
Appendiks I, yang memuat daftar dan melindungi seluruh
spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk
perdagangan inernasional secara komersial
Appendiks II, yang memuat daftar dari spesies yang tidak
terancam kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila
perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan.
Appendiks III, yang memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa
liar yang telah dilindungi disuatu raga tertentu dalam batas kawasan
habitatnya, dan memberikan pilihan bagi negara-negara anggota
CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke
Appendiks II, bahkan mungkin ke Appendiks I
53
7. Ratifikasi Indonesia atas Convention On International Trade In
Endangered Species Of Wild Fauna And Flora
Ratifikasi Indonesia atas Convention On International Trade In
Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES) dilakukan dengan
dikeluakannya Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 Tentang :
Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna
And Flora pada tanggal 15 Desember 1978 di Jakarta. Pengundangan
peraturan tersebut di dilakukan oleh Presiden Soeharto dibantu Menteri
Sekretaris Negara Sudarmono dan dicatat dalam Lembaran Negara 1978/51.
8. Upaya Perlindungan Primata di Indonesia
Tekanan terhadap keberadaan primata di Indonesia sangat besar.
Perkembangan perekonomian yang seeing membabat hutan yang menjadi
habitat satwa, khususnya primata, menjadi panyebab utama penurunan
populasi berbagai jenis primata. Sejumlah 32 jenis primata dari 40 jenis
yang ada di Indonesia telah tercatat dalam Red Data Book/IUCN. Hal ini
menunjukan tingginya tingkat ancaman terhadap satwa primata. Dari
sejumlah itu, 2 jenis dikategorikan sangai. kritis, 4 jenis
genting/endangered, 7 jenis rentan, 10 jenis hampir terancam, 1 jenis
bergantung upaya konservasi, dan 8 jenis tidak memiliki data yang cukup.
Undang-undang yang melindungi satwa liar di Indonesia sudah cukup
hanyak. Bahkan dimulai sebelum Indonesia merdeka, yaitu dengan
dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Binatang Liar tahun 1931. Setelah
itu bermunculan peraturan pemerintah yang berupa Surat Keputusan
54
Menteri untuk mengatur perlindungan satwa liar di Indonesia. Perundangan
yang sudah dikeluarkan mencakup hampir semua jenis primata, kecuali
Macaca nernestrina (beruk) dan fascicularis (Monyet ekor panjang).
Terdapat beberapa Surat keputusan (SK) yang mengatur pelestarian
satwa liar dan pernah berlaku di Indonesia, yaitu sebagai berikut:
1. Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 No. 266.
2. SK Menteri Pertanian , 26 Agustus 1970 No.
421/Kpts/lim/3/1970.
3. SK Menteri Pertanian, 5 Februari 1972, No.
54/Kpts/UmJ2/1972.
4. SK Menteii Pertanian, 19 Juli 1972, No. 327/Kpts/Um/7/1972.
5. SK Menteri Pertanian, 14 Februari 1973, No.
66/Kpts/Um/2/1973.
6. SK Menton Pertanian, 29 Januari 1975, No.
35/Kpts/Um/1/1973.
7. SK Menteri Pertanian, 21 Februari 1977, No.
90/Kpts/Um/2/1977.
8. SK Menteri Pertanian, 7 Desember 1977, No.
537/Kpts/Um/12/1977.
9. SK Menteri Pertanian, 29 Mei 1978, No. 327/Kpts/Um/5/1978.
10. SK Menteri Pertanian, 2 Desember 1978, No.
742/Kpts/Urn/12/1978.
11. SK Menteri Pertanian, 5 April 1979, No. 247//Kpts/Urn/4/1979.
12. SK Menteri Pertanian, 5 Desember 1979, No. 757/
Kpts/Um/12/1979.
13. SK Menteri Pertanian, 6 Agustus 1980, No. 576/
Kpts/Um/8/1980.
14. SK Menteri Pertanian, 4 Oktober 1980, No. 716/
Kpts/Um/10/1980.
15. SK Menteri Kehutanan, 12 Januari 1987, No. 12/ Kpts/11/1980.
16. SK Menteri Kehutanan, 10 Juni 1991 No. 301/ "{lots-II/199 1.
17. SK Meterei Kehutanan dan Perkebunan, No. 733/Kpts-111.999.
18. Red Data Book (IUCN, 1978).
Cukup banyak surat keputusan untuk melindungi satwa liar umumnya
dan primata khususnya, belum menjamin lestarinya satwa tersebut di dalam,
bila tidak dibarengi dengan penyebaran infoimasi, penerbitan buku untuk
semua kalangan masyarakat.
55
9. Daftar rimata yang dilindungi di Indonesia
No Nama Spesies Keterangan Gambar
1 Orang utan
sumatera
Pongo abelii
Saat ini penyebarannya
hanya di beberapa lokasi di
Sumatera, khususnya di
Sumatera bagian utara dan
Aceh. Penurunan populasi
terutama akibat perburuan
ilegal untuk diperdagangkan
dan hilangnya habitat.
Upaya konservasi yang telah
dilakukan adalah
mengembalikan satwa
tangkapan ke alam melalui
proses rehabilitasi.
2 Bokoi Macaca
pagensis
di tiga pulau di Sipora, Pagai
Selatan dan Utara.
Sementara sub-spesies
siberu dijumpai di Pulau
Siberut. Dikategorikan
sebagai jenis genting (CR)
oleh IUCN. Perburuan dan
hilangnya habitat akibat
pembalakan merupakan
faktor utama penurunan
populasi
3 Bilou
Hylobates
klosii
Sejenis owa yang endemik
Kepulauan Mentawai.
Menghuni kanopi bagian
atas pada hutan hujan tropis
yang masih lebat.
Dikategorikan sebagai jenis
yang rentan (VU). Populasi
menurun pesat karena
perburuan dan kerusakan
habitat.
56
4 Joja
Presbytis
potenziani
Sejenis lutung yang
mendiami hutan primer,
hutan sekunder dan rawa-
rawa. Endemik Kepulauan
Mentawai, terdiri dari dua
sub-species, potenziani yang
terdapat di Pulau Mentawai,
Sipora dan Pagai, serta
siberu yang terdapat di
Pulau Siberut. Dikategorikan
sebagai jenis yang rentan
(VU). Populasinya
cenderung menurun karena
aktivitas perburuan dan
hilangnya habitat.
5 Simakobu
Simias
concolor
Monyet arboreal, endemik
Mentawai. Monotypic.
Sangat sensitif terhadap
pembalakan dibandingkan
ketiga jenis primata endemik
Mentawai lain. Populasinya
kecil dan terpencar.
Ancaman utama terhadap
populasi adalah kerusakan
habitat dan perburuan.
Prioritas Tinggi
6 Lutung banggat
Presbytis hosei
Terdapat di Borneo
(Kalimantan, Malaysia,
Brunei Darussalam), pada
ketinggian 1.000–1.300m.
Populasi belum diketahui
dengan pasti. Terdapat
empat sub-spesies, yaitu
hosei, everetti, sabana dan
canicrus. Populasi
berkurang karena
penyusutan habitat dan
pemburuan. Jenis ini banyak
diburu untuk diambil batu
ginjalnya karena dianggap
berkhasiat bagi kesehatan
manusia.
7 Lutung natuna
Presbytis
natunae
Endemik Pulau Bunguran di
Kepulauan Natuna. Hidup di
hutan primer yang semakin
berkurang luasannya.
Populasi diperkirakan
kurang dari 10.000 ekor
yang tersebar pada dua
57
populasi.
8 Owa jawa
Hylobates
moloch
Endemik Indonesia dan
hanya ditemukan di Jawa
Barat dan Jawa Tengah.
Terdaftar sebagai spesies
yang genting (CR) menurut
kategori IUCN. Ancaman
utama terhadap populasi
berasal dari kehilangan
habitat dan penangkapan
untuk hewan peliharaan.
Populasi Owa jawa di alam
terus berkurang, saat ini
diperkirakan hanya tersisa
antara 2.000-4.000 ekor.
9 Orang utan
kalimantan
Pongo
pygmaeus
Tersebar di Kalimantan.
Populasi alami menurun
akibat perburuan untuk
hewan peliharaan, hilangnya
habitat akibat kebakaran
hutan dan pembalakan.
Dikategorikan sebagai EN.
Terdapat tiga sub-spesies,
yaitu morio, pygmaeus dan
wumbii.
10 Bekantan
Nasalis
larvatus
Endemik Indonesia, tersebar
hanya di Kalimantan.
Habitat sangat terbatas di
daerah hutan bakau.
Jumlahnya semakin
berkurang karena
berkurangnya habitat untuk
peruntukan lain (tambak,
pelabuhan) dan
penangkapan untuk hewan
peliharaan. Jenis ini sangat
populer untuk kebun
binatang karena
penampakannya yang unik.
11 Surili
Presbytis
comata
Primata endemik Jawa Barat
dan Banten. Penyusutan
habitat merupakan ancaman
terbesar bagi populasi Surili.
Saat ini jenis primata ini
hanya dapat dijumpai di
kawasan lindung dan
kawasan konservasi, dengan
jumlah yang tersisa berkisar
antara 4.000-6.000 ekor.
58
Sumber : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 57/Menhut-II/2008
Tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008 –
2018
Selain daftar primata tersebut adalagi suatu pedoman yang daat
dijadikan status konservasi primata yaitu dalam Apendix CITES yang
dilampirkan penulis.
10. Penegakan Hukum Perlindungan Satwa Primata
Penegakan hukum terhadap perlindungan dan konservasi primata
dilakukan melalui sistem peradilan pidana. Terdapat dua kasus pembunuhan
orangutan di area perusahaan perkebunan kelapa sawit yang diproses
melalui sistem peradilan pidana, yakni di Kecamatan Telen dan Kecamatan
Muara Ancalong, Kabupaten Kutai Timur, dan telah diputuskan oleh
Pengadilan Negeri Sangatta.59
Keempat terdakwa juga telah menerima vonis, setelah sebelumnya
sempat menyatakan pikir-pikir pasca sidang putusan 21 Mei 2012 lalu.
Keempat terdakwa kini telah menjalani masa hukuman di rutan Polres
Kutim. Untuk terdakwa Tajar dan Tulil (kasus di Muara Ancalong), majelis
hakim memutuskan menghukum terdakwa dengan pidana penjara 10 bulan
dan denda Rp 50 juta subsider pidana kurungan 2 bulan. Sedangkan untuk
kasus di Telen, majelis hakim, memutuskan kedua terdakwa, Leswin dan
Tadeus, terbukti bersalah dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara
8 bulan dan denda Rp 25 juta subsider pidana kurungan 2 bulan.60
Di Samarinda juga terjadi pelanggaran hukum terhadap pelestarian
primata. Empat terdakwa pembunuh orangutan Kalimantan (pongo
59
Kholish Chered, Selasa, 29 Mei 2012 20:38 WITA , Sudah Vonis, Kasus Pembunuhan
Orangutan Tak Berarti Finish, http://kaltim.tribunnews.com/tribunnews, diakses pada tanggal 20
Juni 2012. 60
Ibid.
59
pygmaeus morio) divonis delapan bulan penjara. Vonis tersebut dijatuhkan
majelis hakim kepada keempat terdakwa pada sidang pembacaan putusan
kasus pembantaian orangutan yang berlangsung di Pengadilan Negeri
Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu 18
April 2012.Vonis hakim itu lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut
Umum (JPU) yang menuntut satu tahun penjara kepada keempat terdakwa.61
Kasus lainnya juga terjadi di Sumatera Utara, kasus perdagangan
orangutan secara ilegal tersebut sudah diputus di PN Kabanjahe, dengan
Putusan Pidana nomor 453/Pid.B/2011/PN.Kbj. Kasus tersebut bermula saat
SPORC yang berpatroli menggagalkan sekaligus menangkap Samsul,
berikut menyita "Julius" diperkirakan berusia 3-4 tahun dan satu unit mobil
yang digunakan pelaku. Setelah pemeriksaan para saksi, saksi ahli, dan olah
TKP, Penyidik Pegawai negeri Sipil (PPNS) Kementrian Kehutanan,
Samsul ancam melanggar Pasal 50 ayat 3 huruf f jo Pasal 78 ayat 5 UU no.
41/1999 tentang Kehutanan jo Pasal 21 ayat 2 huruf a jo Pasal 40 ayat 2 UU
no. 5/1990 jo PP no. 7/1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa jo
Pasal 55 ayat( 1 ) kesatu KUHP.62
Subtansinya, sejumlah pasal yang diancamkan dalam UU dan PP
tersebut, menyangkut setiap orang dilarang menerima membeli atau
menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki
hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan
61
Ajeng Ritzki Pitakasari, Rabu, 18 April 2012, 20:32 WIB, Hakim Cuma Ganjar
Pembantai Orangutan 8 Bulan Penjara,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/04/18/m2og9w-hakim-cuma-ganjar-
pembantai-orangutan-8-bulan-penjara, diakses pada tanggal 22 Juni 2012. 62
NN, Sabtu, 17 Des 2011 09:00 WIB, Setiap Tahun Disita 20-35 Orangutan dari Tempat
Ilegal Pertama di Sumut, Kasus Orangutan Sampai ke Pengadilan,
http://www.analisadaily.com/news/, diakses pada tanggal 23 Juni 2012.
60
yang diambil atau dipungut secara tidak sah dan atau menangkap, melukai,
membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan
memperniagakan satwa yang dilindungi.63
Secara pasti, orangutan Sumatera (Ponggo Abelii) merupakan satwa
liar yang dilindungi. Di habitat alaminya, orangutan Sumatera diperkirakan
hanya tinggal 6.600 ekor. The World Conservation Union-IUCN (badan
internasional untuk konservasi alam) menegaskan orangutan Sumatera
masuk dalam daftar hampir punah.
Dalam dekade terakhir, terjadi ratusan bahkan ribuan kasus
pelanggaran UU no. 5/1990. Mengherankan, di Sumatera kasus yang sampai
ke meja hijau baru kali pertama ini. Padahal, menurut Panut, dalam sepuluh
tahun terakhir antara 20-35 ekor orangutan Sumatera (yang tidak ada di
tempat lain di dunia) disita setiap tahun dari pemilik yang memeliharanya
(tempat ilgal).
Menyikapi hal tersebut, tidak hanya OIC yang menyambut baik upaya
penegakkan hukum dalam melindungi satwa liar itu. Para pemerhati
lingkungan lainnya, layaknya Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan
Wildlife Conservation Society Indonesia juga memiliki harapan sama:
penyelesaian kasus ini akan menjadi langkah penting. Hanya dengan
penegakan hukum yang tegas, orangutan Sumatera dapat terselamatkan
untuk jangka panjang.
Selama lebih 40 tahun (sejak tahun 1970-an), meskipun telah lebih
dari 2.500 penyitaan orangutan ilegal yang dilakukan di Tanah Air,
penuntutan yang pertama terhadap pemilik orangutan ilegal baru terjadi di
63
Ibid.
61
Kalimantan pada 2010. Khusus di Sumatera, baru kasus "Julius" yang
sampai pada penuntutan di tahun 2011.64
B. Pembahasan
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman
hayati. Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati yang dilengkapi dengan
keunikan tersendiri yang menjadikan Indonesia memiliki peran yang penting
dalam perdagangan flora dan fauna di dunia. Hal ini merupakan peluang besar
bagi Indonesia untuk dapat memanfaatkan kekayaan tumbuhan dan satwanya
untuk meningkatkan pendapatan ekonomi, termasuk bagi masyarakat yang tinggal
di sekitar habitat satwa. Namun, pemanfaatan ini harus betul-betul memperhatikan
kondisi populasi berbagai jenis tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan agar
dapat diperoleh pemanfaatan secara berkelanjutan. Untuk pemanfaatan tumbuhan
dan satwa secara berkelanjutan, Indonesia meratifikasi CITES melalui Keppres
No. 43 tahun 1978. Walaupun sudah diratifikasi dalam waktu cukup lama, tetapi
peraturan CITES belum dapat diimplementasi secara optimal untuk mendukung
perdagangan dan satwa yang berkesinambungan. Dikarenakan Pemerintah
Indonesia itu sendiri kurang memperhatikan masalah lingkungan terutama
masalah tumbuhan dan satwa liar yang hampir punah. Dikarenakan semakin
banyaknya pemenfaatan populasi yang disalahgunakan maka pemerintah
64
NN, Pembantaian Orang Utan Jadi Sorotan,
http://nasional.vivanews.com/news/read/263890-pembantaian-750-orangutan-jadi-sorotan-dunia,
diakses pada tanggal 23 Juni 2012.
62
Indonesia membuat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 8 tahun
1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.65
Indonesia mempunyai 386 kawasan konservasi darat dengan luas sekitar
17,8 juta ha dan 30 kawasan konservasi laut dengan luas sekitar 4,75 ha. Dari
kawasan konservasi tersebut terdapat 34 tanaman nasional darat (luas ±11 juta ha)
dan 6 tanaman nasional laut (luas± 3,7 juta ha). Konservasi dilakukan untuk
pelestarian spesies di luar habitat alaminya. Saat ini ada 23 unit kebun binatang,
17 kebun botani, 1114 taman hutan raya, 36 penangkaran satwa dan 2 taman
safari, 3 taman burung, rehabilitasi lokasi orang utan. Dengan keanekaragaman
hayati yang dimiliki Indonesia salah satunya dengan memiliki kawasan konservasi
yang cukup banyak menjadikan Indonesia Negara kaya akan keanekaragaman
hayati ke 2 setelah Brazil. Namun dalam pemanfaatan dan pemeliharaan
keanekaragaman hayati tersebut, Indonesia kurang memikirkan pelestarian alam
yang telah ada.66
Penyelundupan hewan dari Indonesia melewati lintas batas wilayah Negara
sering terjadi. Namun tidak sedikit juga dari kasus tersebut bisa digagalkan karena
pengawasan sudah ketat. Apalagi untuk menyelundupkan anak orang utan cukup
sulit karena harus membunuh induknya orangutan dulu. Pengawasan memang
diperlukan karena jumlah orang utan Kalimantan tinggal 70.000 ekor, sedangkan
orangutan Sumatra tersisa 30.000 ekor harus dilestarikan.
Perdagangan satwa liar di Indonesia menjadi ancaman serius bagi
kelestarian satwa liar, setelah ancaman kerusakan habitat. Perdagangan satwa liar
menjadi ancaman karena lebih dari 95% satwa diperdagangkan adalah hasil
65
NN, Peluang dan Hambatan, http//internasional.fws.gov/cites/cites.html, diakses pada
tangga 25 Juni 2012. 66
NN, “Konservasi yang dimiliki Indonesia, http://www.menlh.go.id/i/art/bab7%20
keanekaragaman%20hayati.pdf, diakses pada tangga 25 Juni 2012.
63
tangkapan dari alam. Bahkan untuk primata dapat dipastikan 100% primata yang
diperdagangkan di Indonesia adalah bukan hasil penangkaran, melainkan
tangkapan dari alam. Setiap tahunnya ada sekitar 1000 ekor orang utan
Kalimantan yang diselundupkan ke Jawa dan juga luar negeri. Untuk menangkap
bayi orang utan, pemburu harus membunuh induknya. Sedikitnya seekor orang
utan mati untuk mendapatkan bayi orangutan. Seditknya 2500 lutung jawa setiap
tahunnya diburu untuk diperdagangkan dan diambil dagingnya. Sekitar 3000 owa
dan siamang setiap tahunnya diburu untuk diperdagangkan di dalam negeri dan
diselundupkan ke luar negeri. Sebanyak 40% satwa liar yang diperdagangkan mati
akibat proses penangkapan yang menyakitkan, pengangkutan yang tidak
memadai, kandang sempit dan makanan yang kurang. Perdagangan satwa liar itu
marak selain akibat lemahnya penegakan hukum dibidang pelestarian satwa liar,
juga adanya hobby sebagian masyarakat dalam memelihara satwa liar di
rumahnya untuk kesenangan. Survey ProFauna menunjukan bahwa hampir 100%
orang utan yang dipelihara oleh masyarakat itu dipelihara dalam sangkar dan
makanan yang tidak memadai. Adapun penyebab terjadinya penyelundupan satwa
liar maupun tumbuhan yang dilindungi, salah satu contoh adalah penyelundupan
orang utan Indonesia Akibat adanya konspirasi penyelundupan LSM yang giat
dalam upaya perlindungan satwa hutan, Profauna Indonesia, menuding adanya
konspirasi penyelundupan ratusan orangutan ke Thailand ratusan orangutan asal
Indonesia telah diselundupkan ke Thailand dan diduga terjadi konspirasi
menyembunyikan hasil selundupan itu. Salah satu tempat yang diduga menjadi
tempat penampungan selundupan orangutan dari Indonesia adalah Safari World di
Bangkok, Thailand. Selain itu, terdapat 115 orangutan berada di Safari World, dan
64
sebagian besar masih berusia sangat muda, dilatih secara keras, kejam, dan tanpa
ampun untuk pertunjukan tinju orangutan.67
Pihak Safari World menyebutkan bahwa 41 orangutan telah mati. Hal itu
bertolak belakang dengan pernyataan mereka selama ini yang menyatakan bahwa
mereka sangat berhasil dalam penangkaran orang utan. Pemerintah Indonesia
telah mengupayakan pemulangan orang utan malang tersebut. Tim Indonesia yang
terdiri dari Departemen Kehutanan, LIPI, Borneo Orangutan Survival Foundation,
Jaringan Pusat Penyelamat Satwa, dan Profauna Indonesia yang datang ke
Thailand terpaksa pulang dengan tangan kosong.
Pejabat berwenang di negara itu tidak kooperatif dalam memulangkan
orangutan ke Indonesia. Oleh karena itu, Profauna Indonesia melakukan aksi
unjuk rasa di depan Kedubes Thailand di Jalan Imam Bonjol Jakarta Pusat untuk
mendesak pemerintah Thailand bekerjasama dalam upaya pemulangan orang utan
yang diselundupkan itu.68
Adanya penyelundupan atas orang utan dan satwa langka Indonesia lainnya
karena telah menjadi korban kebakaran hutan Kalimantan, untuk diselundupkan
ke luar Indonesia. Apalagi staf lapangan Yayasan BOS (Borneo Orang utan
Survival) yang bertugas memadamkan api dan menyelamatkan satwa di kawasan
hutan gambut Mawas, Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
menemukan sejumlah orangutan dan satwa liar lainnya berusaha menyelamatkan
diri dan keluar dari hutan.
Beberapa di antara orang utan dan para primata terkulai lemas karena asap.
Beberapa di antaranya langsung ditranslokasikan ke hutan terdekat yang masih
67
Bambang, “Profauna: Ada Konspirasi penyelundupan Orangutan”,
http://www.gatra.com/2004-08-18/artikel.php?id=43575, tanggal 21 Juni 2012. 68
Ibid.
65
aman. Tapi jika orang yang tidak bertanggung jawab menemukan orang utan dan
memang berniat memburu satwa-satwa liar ini, maka dengan sangat mudah satwa-
satwa itu ditangkap. Musim kebakaran hutan juga membuat banyak orang utan
liar keluar dari hutan dalam kondisi yang lemah. Biasanya hal ini dimanfaatkan
oleh orang–orang yang memang sengaja menunggu moment ini, untuk
mendapatkan orang utan. Jika ada orang utan yang ditangkap oleh para pemburu
ini berarti ada orang utan yang telah dibunuh. Orang utan sangat digemari oleh
orang – orang yang tidak mengerti bahwa orang utan kini di ambang kepunahan
dan sangat penting perannya dalam kelestarian hutan itu sendiri. Karena itu, aparat
terkait diharapkan bisa memperketat pengawasan terutama di area-area
pelabuhan-pelabuhan kecil yang selama ini jauh dari pantauan. Pelabuhan-
pelabuhan kecil atau alur-alur sungai kecil memang sulit dari pengawasan aparat
terkait.
Masalah kebakaran hutan dan penyelundupan merupakan ancaman besar
lainnya yang kini dihadapi orangutan dan satwa langka lainnya adalah masalah
sawitisasi yang kini makin marak di bumi Kalimantan. Banyak perkebunan kelapa
sawit ditanam pada lahan yang tidak sesuai. Bukan hanya tidak sesuai untuk
produksi kelapa sawit yang tinggi, bahkan mendekati atau ditanam di hutan
primer yang statusnya berubah hutan konversi. Di Kalimantan, itu bisa dipastikan
mendekati habitat hidup dan kehidupan orangutan dan satwa langka lainnya.
Keberadaan habitat yang dihuni orangutan itu juga berarti menyangkut
kehidupan paling sedikit lima jenis burung rangkong (hornbills), 50 jenis pohon
buah-buahan yang berbeda. Hal ini menggambarkan suasana hutan tropis yang
sangat baik. Dan ini juga menyangkut kehidupan manusia itu sendiri. Tapi kini
sawitisasi juga mengancam mereka.
66
Berdasarkan data Lembaga Riset Perkebunan Indonesia disebutkan bahwa
Indonesia pada periode 2005-2020 harus melakukan perluasan perkebunan sawit
sekitar 120.000- 140.000 ha/tahun. Artinya dalam 15 tahun sudah harus ada
perkebunan kelapa sawit baru seluas 1,8 s/d 2,1 juta ha. Apalagi Indonesia
memang mentargetkan diri menjadi pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia.
Sebenarnya kelapa sawit yang ditanam di lahan kritis yang kosong banyak
membawa manfaat namun sebagian kelapa sawit direncanakan dan dilaksanakan
di lahan dengan hutan yang kondisinya masih bagus, termasuk hutan gambut yang
dalam yang berdasarkan Keppres harus digunakan untuk tujuan konservasi.69
Data penelitian dan analisa yang dibiayai oleh WWF Indonesia,
menyebutkan untuk di Kalimantan saja perkebunan kelapa sawit memang banyak
ditanam di areal yang tidak sesuai misalnya seperti di dataran tinggi, perbukitan
kapur, dan dataran rendah hutan gambut atau di areal hutan yang memiliki nilai
konservasi yang tinggi. Padahal kebun sawit hanya bisa tumbuh optimal di
dataran yang cukup, tersedia untuk pelaksaan rencana pembangunan kelapa sawit
yang direncanakan pemerintah. Dalam beberapa kasus terjadi peruntukan lahan
sawit yang disalahgunakan, misalnya di Kalimanta Timur saja telah ditemukan
adanya 2,5 juta ha perkebunan kelapa sawit fiktif yang hanya dimanfaatkan untuk
diambil kayunya saja dari hutan tersebut dengan melakukan land clearing. Lalu
ditinggalkan menjadi lahan terlatar. Sementara ekosistem dan segala isi makhluk
hidup di dalam hutan tersebut sudah terlanjur rusak dan nyaris musnah. Lokasinya
kadang sangat berdekatan dengan habitat orang utan liar. Bahkan beberapa di
antaranya sudah merusak hutan tempat hidup dan kehidupan orang utan dan satwa
lainnya. Kadang kondisi orang utan yang ditemukan terjebak di perkebunan
69
Ibid.
67
kelapa sawit sudah sangat mengenaskan. Mereka kekurangan makanan, diburu,
dan beberapa di antaranya terbunuh karena dianggap hama, karena merusak kebun
sawit.
Permasalahan orang utan dan kelapa sawit ini sendiri juga telah diupayakan
jalan keluarnya dalam forum RSPO (Roundtable on Suistnable Palm Oil). BOS
(Borneo Orang utan Survival) sendiri mengupayakan adanya sebuah dialog antara
pihak terkait, sekaligus menyampaikan berbagai alternatif solusi bersama
sehingga tercapai harmoni antara orang utan dan perkebunan kelapa sawit.6
Tumbuhan dan satwa liar di Indonesia merupakan sumber daya alam yang
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai perdagangan baik di dalam negeri,
baik import maupun eksport. Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dapat
bersumber pada penangkaran dari habitat alam dan hasil penangkaran berupa hasil
pengembangbiakan satwa liar (captive breeding), pembesaran satwa liar
(ranching) perbanyakan tumbuhan secara buatan (artificial propagation).
Indonesia merupakan negara yang memilki kekayaan flora dan fauna yang cukup
besar, Indonesia disebut juga sebagai negara Megabiodiversity, Indonesia juga
memiliki keanekaragaman hayati ke-2 di dunia setelah Brazil.70
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman
hayati. Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati yang dilengkapi dengan
keunikan tersendiri yang menjadikan Indonesia memiliki peran yang penting
dalam perdagangan flora dan fauna di dunia. Hal ini merupakan peluang besar
bagi Indonesia untuk dapat memanfaatkan kekayaan tumbuhan dan satwanya
untuk meningkatkan pendapatan ekonomi, termasuk bagi masyarakat yang tinggal
di sekitar habitat satwa. Namun, pemanfaatan ini harus betul-betul memperhatikan
70
Ibid.
68
kondisi populasi berbagai jenis tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan agar
dapat diperoleh pemanfaatan secara berkelanjutan. Penyelundupan orang utan ke
Thailand itu merupakan kasus terbesar di seluruh dunia dalam 50 tahun terakhir.
Padahal, menyelundupkan orang utan bukan pekerjaan mudah. Yang paling
mungkin adalah mengirim bayi-bayi orangutan, sementara untuk bisa memperoleh
bayi-bayi itu, mau tidak mau harus dilakukan dengan jalan kekerasan dan sangat
tidak bermoral, misalnya membunuh induk si bayi, sebab orang utan dewasa
sangat kuat dan sangat melindungi bagi-bayinya, sehingga tak ada manusia yang
sanggup memenangkan perkelahian dengannya tanpa senjata modern dan
mematikan.71
Untuk pemanfaatan tumbuhan dan satwa secara berkelanjutan, Indonesia
meratifikasi CITES melalui Keppres No.43 tahun 1978. Walaupun sudah
diratifikasi dalam waktu cukup lama, tetapi peraturan CITES belum dapat
diimplementasi secara optimal untuk mendukung perdagangan dan satwa yang
berkesinambungan. Dikarenakan Pemerintah Indonesia itu sendiri kurang
memperhatikan masalah lingkungan terutama masalah tumbuhan dan satwa liar
yang hampir punah. Dikarenakan semakin banyaknya pemanfaatan populasi yang
disalahgunakan maka pemerintah Indonesia membuat Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa Liar.
Adapun peluang untuk dapat mengimplementasikan CITES di Indonesia
secara optimal, misalnya semakin banyak pihak yang perduli dan turut serta dalam
pelaksanaan CITES, tetapi beberapa masalah masih harus segera dapat
diselesaikan. Sehingga pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dapat dilakukan
71
Ibid.
69
secara berkelanjutan melalui mekanisme CITES. Namun, dalam pelaksanaan
pengimplementasian CITES memiliki kendala sehingga terjadi penyelundupan
diantaranya penyelundupan orangutan yang dilakukan Thailand terhadap
Indonesia. Adapun banyaknya kendala dalam pelaksanaan CITES, sehingga
terjadi penyelundupan diantaranya :
1. Kurangnya pemahaman CITES sehingga dalam mendukung
pemanfaatan tumbuhan dan satwa secara berkelanjutan masih belum
utuh pada seluruh pihak-pihak yang terkait. Kurangnya pemahaman
tersebut seringkali menimbulkan salah pengertian dan cenderung
untuk menyalahkan satu sama lain dalam menjalankan tugas.
2. Kurangnya pengetahuan data ilmiah yang mendukung, dikarenakan
terlalu banyak jenis tumbuhan serta satwa liar yang ingin
diperdagangkan, sementara otoritas memiliki banyak keterbatasan
untuk menyediakan data bagi jenis tumbuhan dan satwa liar yang
diperdagangkan.
3. Penegakkan hukum belum optimal, sehingga masih terjadi
pelanggaran perdagangan tumbuhan dan satwa liar dengan modus
yang terus berkembang.
4. Belum adanya peraturan nasional yang dapat dipergunakan untuk
mengatasi perdagangan illegal untuk jenis-jenis tumbuhan dan satwa
yang belum dilindungi.
5. Komitmen yang lemah, komitmen pengusaha tumbuhan dan satwa liar
untuk mendukung program konservasi jenis-jenis tumbuhan dan satwa
liar yang diperdagangkan masih rendah. Para pengusaha hanya
mengutamakan kepentingan ekonomi, belum terlalu perduli terhadap
70
aspek kelestarian untuk menjamin pemanfaatan yang berkelanjutan.
Padahal jenis tumbuhan dan satwa liar terus berada dalam ancaman,
tidak hanya dieksploitasi untuk diperdagangkan tetapi penyusutan
habitat.
Pemerintah Indonesia itu sendiri kurang memperhatikan masalah
lingkungan terutama masalah tumbuhan dan satwa liar yang hampir punah serta
penegakan hukum yang dibuat Indonesia untuk pelaku kejahatan kurang berjalan
sebagaimana telah ditetapkan dalam ratifikasi CITES itu sendiri maupun dalam
Peraturan Pemerintah Rapublik Indonesia nomor 8 tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Padahal, dalam CITES sudah ada
peraturan yang telah ditetapkan sesuai dengan Konvensi yang dibuat guna
memikirkan perdagangan spesies secara illegal internasional baik flora maupun
fauna, walaupun telah dilindungi di tingkat nasional dan internasional, namun
perdagangan orangutan masih saja terjadi. Setiap bulannya rata-rata ada 10 ekor
orangutan yang ditangkap di hutan Kalimantan untuk dikirim ke Pulau Jawa. Di
kota-kota besar di Jawa seperti Jakarta dan Surabaya, orang utan itu dijual secara
ilegal di pasar burung dan juga diselundupkan ke luar negeri. Penyelundupan
orang utan asal Indonesia ini melibatkan mafia perdagangan satwa internasional
yang sangat rapi.
Pada tanggal Juni 2010 Polisi Daerah Jakarta dan petugas PHKA
Departemen Kehutanan dengan dibantu oleh ProFauna Indonesia berhasil
menggagalkan rencana penyelundupan dua ekor orang utan ke Thailand. Semula
kedua oangutan itu akan diselundupkan dengan menggunakan pesawat China
airlines lewat bandara Internasional Sukarno Hatta Jakarta. Sebelum kedua orang
71
utan tersebut diterbangkan, puluhan polisi menyergap dan menangkap para
penyelundup orang utan itu.72
Penangkapan penyelundup orangutan itu merupakan hasil kerja keras
ProFauna untuk membongkar sindikat perdagangan primata di Indonesia. Selama
hampir setahun investigator ProFauna menyelidiki sindikat ini. Investigator
ProFauna berkomunikasi dengan para pedagang satwa langka ini. Investigasi ini
benar-benar berbahaya, karena jika mereka tahu maka nyawa adalah taruhannya.
Nama ProFauna sangat dibenci oleh pedagang satwa di Indonesia. Ini dapat dilihat
dari kasus pengeroyokan aktivis ProFauna oleh ratusan pedagang satwa di Pasar
Burung Pramuka Jakarta pada tanggal Juli 2010. Pasar burung Pramuka adalah
pasar satwa terbesar di Indonesia, bahkan mungkin di dunia.73
Investigasi ProFauna membuahkan hasil dengan digagalkannya
penyelundupan orang utan ke Thailand. Polisi menangkap penyelundup satwa itu
dan memasukannya dalam penjara. Kasus penyelundupan orang utan Juni itu
kemudian diproses di pengadilan dengan terdakwa utama adalah orang Thailand
yang berdomisili di Indonesia. Telah menyelundupan orang utan ke luar negeri.
Tapi ini tidak bisa dibuktikan di pengadilan, dikarenakan kurangnya keseriusan
pemerimtah Indonesia dalam menangani kasus ini. Meski penyelundupan orang
utan itu berhasil digagalkan, salah satu orangutan itu mati akibat over dosis.
Orang utan itu diselundupan dengan cara dibius, kemudian dimasukan dalam
kotak kardus kecil.
Anggota ProFauna yang ikut dalam operasi penangkapan itu begitu terpukul
dengan kematian orang utan itu. Menurut Undang-Undang nomor 5 tahun 1990,
72
NN, Rencana Penyelundupan Orang Utan ke Thailand
http://nasional.vivanews.com/news/read/263890- Rencana Penyelundupan Orang Utan ke
Thailand , diakses pada tanggal 23 Juni 2012. 73
NN, Rencana Penyelundupan Orang Utan ke Thailand., loc cit
72
perdagangan orang utan adalah perbuatan kriminal dan pelakunya dapat dihukum
penjara maksimum 5 tahun dan denda Rp 100 juta. Seharusnya pelaku dihukum
seberat-beratnya, mengingat menurut hukum di Indonesia pelaku dapat dihukum
penjara 5 tahun, tapi vonis yang dijatuhkan tidak sesuai dengan hukum yang telah
ada.
Vonis ringan yang dijatuhkan ke penyelundup satwa semakin menunjukan
betapa lemahnya penegakan hukum perlindungan satwa di Indonesia. Jika
pedagang atau penyelundup satwa hanya dihukum ringan, maka penangkapan
satwa liar di alam akan terus berlangsung untuk diperdagangkan. Pemerintah
masih harus bekerja keras untuk mendorong proses penegakan hukum ini, dan
perang melawan perdagangan primata masih berlangsung.74
Penyelundupan orang utan ke Thailand itu merupakan kasus terbesar di
seluruh dunia. Padahal, menyelundupkan orang utan bukan pekerjaan mudah.
Yang paling mungkin adalah mengirim bayi-bayi orang utan, sementara untuk
bisa memperoleh bayi-bayi itu, mau tidak mau harus dilakukan dengan jalan
kekerasan dan sangat tidak bermoral, misalnya membunuh induk si bayi, sebab
orang utan dewasa sangat kuat dan sangat melindungi bagi-bayinya, sehingga tak
ada manusia yang sanggup memenangkan perkelahian dengannya tanpa senjata
modern dan mematikan.
Jumlah spesies primata di Indonesia hingga kini masih belum dapat
dipastikan, antara 35 hingga 41 spesies. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
temuan-temuan sub-spesies yang dinyatakan layak untuk diangkat sebagai suatu
spesies. Salah satu contoh yang telah terjadi belakangan ini adalah orang utan.
74
NN, Hukuman Bagi Pelaku Penyelundupan Satwa Liar Yang Dilindungi,
http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id=85956, diakses pada tanggal 23 Juni 2012.
73
Awalnya Indonesia dinyatakan hanya memiliki satu spesies, Pongo pygmaeus,
dengan dua sub-spesies yaitu P.p. abelii yang terdapat di Sumatera dan P.p.
pygmaeus yang terdapat di Kalimantan. Kini, kedua sub-spesies tersebut sudah
dinyatakan sebagai spesies terpisah, yakni menjadi P. pygmaeus dan P. abelii.75
Contoh spesies yang hingga kini masih diperdebatkan secara taksonomis
adalah genus Tarsius. Banyak sub-spesies dari pulau-pulau sekitar Sulawesi yang
kini dipertimbangkan sebagai suatu spesies, karena ciri morfologis yang berbeda
akibat isolasi geografis/pulau yang cukup lama.
Primata secara umum merupakan satwa yang sangat populer sebagai hewan
peliharaan karena penampakannya yang lucu dan relatif mudah dipelihara. Untuk
mendapatkan anakan primata, biasanya sang induk dibunuh terlebih dahulu,
sehingga menyebabkan mortalitas yang tinggi pada induk. Jenis-jenis primata
yang berpindah dengan cara brakiasi dari dahan ke dahan, misalnya kelompok
orang utan dan owa, memerlukan hutan dengan kanopi yang bersambungan.
Dengan demikian, jenis ini sangat rentan terhadap pembalakan atau sumber
kerusakan hutan lainnya, yang cenderung memutus kanopi hutan.
Uji kriteria yang dilakukan diawali dengan modifikasi dari kriteria umum
disesuaikan dengan kondisi primata pada umumnya. Kriteria yang dipergunakan
dengan nilai untuk menentukan prioritas konservasi. Kajian kriteria yang
digunakan seringkali terhambat karena kurangnya informasi tentang populasi dan
kecenderungannya, khususnya spesies-spesies endemik yang penyebarannya
sempit. Para pakar primata berpendapat bahwa spesies-spesies primata Indonesia
yang perlu mendapat prioritas konservasi umumnya adalah primata endemik
7575
NN, Hukuman Bagi Pelaku Penyelundupan Satwa Liar, loc cit.
74
pulau dan spesies-spesies primata yang habitatnya sudah sangat sempit akibat
berbagai gangguan.
Uji kriteria untuk menentukan spesies prioritas menghasilkan 11 spesies
primata. Dari hasil uji kriteria tersebut, keempat spesies primata Kepulauan
Mentawai tergolong dalam prioritas sangat tinggi, demikian pula beberapa spesies
primata yang sangat endemik. Kedua spesies orang utan Indonesia juga termasuk
dalam kategori spesies prioritas, mengingat jumlahnya yang semakin merosot
karena berbagai faktor.
Beberapa spesies Tarsius juga diperdebatkan untuk dimasukkan dalam
daftar spesies prioritas, khususnya Tarsius pelengensis, T. tumpara, T.
sangirensis, dan P. siamensis. Namun uji kriteria dan indikator menunjukkan
bahwa spesies-spesies Tarsius ini masih belum memperoleh prioritas konservasi.
Melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 57/Menhut-II/2008 Tentang
Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008 – 2018 ditetapkan bahwa,
Arahan kebijakan untuk masing-masing spesies prioritas disajikan pada Tabel
primata yang dilindungi. Permasalahan umum bagi para primata prioritas adalah
kerusakan habitat. Di perlukan upaya pelestarian dan perlindungan yang didukung
oleh penelitian terhadap populasi dan habitat. Kegiatan pemanfaatan, satu-satunya
kegiatan yang memungkinkan adalah pemanfaatan secara non-eksploitatif melalui
ekoturisme. DI beberapa negara lain, ekoturisme dengan menggunakan primata
sebagai daya tarik utama telah terbukti berhasil melestarikan spesies primata
tersebut, sekaligus meningkatkan taraf kehidupan masyarakat lokal. Konservasi
itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con
(together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya
memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara
75
bijaksana (wise use). Konservasi merupakan suatu bentuk evolusi kultural dimana
pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang. Konservasi
juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi
ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang,
sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumber daya alam
untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa
batasan, sebagai berikut :
1. Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi
keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama
(American Dictionary).
2. Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi)
yang optimal secara sosial.
3. Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke
organisme hidup termasuk manusia, sehingga dapat dicapai kualitas
kehidupan manusia yang meningkat termasuk dalam kegiatan
manajemen adalah survai, penelitian, administrasi, preservasi,
pendidikan, pemanfaatan dan latihan.
4. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia
sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar
dan dapat diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang.
5. Kegiatan Konservasi didasari oleh Pasal 5 UU No 5 Tahun 1990 yang
menyatakan bahwa, konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:
a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan.
76
b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya.
c. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya.
Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa sumber alam hayati
dan ekosistemnya yang tinggi keanekaragamannya dengan keunikan, keaslian,
dan keindahan yang merupakan kekayaan alam yang sangat potensial. Karena itu
perlu dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat
melalui perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari Kawasan
Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), yang merupakan
perwakilan ekosistem keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, sumber plasma
nutfah, di daratan dan/atau perairan.
Pengelolaan KSA dan KPA belum sepenuhya efektif hingga saat ini, antara
lain dengan adanya berbagai konflik sosial yang berhubungan dengan belum
memadainya peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan KSA dan
KPA karena peraturan pemerintah yang telah ada belum sepenuhnya mampu
mengantisipasi perubahan lingkungan strategis.76
Lingkungan strategis dimaksud antara lain perubahan sistem pemerintahan
dari sentralistik ke desentralistik, pemekaran wilayah, pesatnya perkembangan
teknologi transportasi yang berhubungan dengan mobilitas manusia, pesatnya
pertumbuhan jumlah penduduk yang berhubungan dengan meningkatnya tekanan
terhadap pemanfaatan sumber daya alam, perubahan paradigma pengurusan hutan
dari berbasis kayu ke berbasis jasa ekosistem, serta perubahan paradigma
76
NN, Pengelolaan KSA dan KPA belum efektif, http//Perhutani.go.id, diakses pada tanggal
20 Agustus 2012.
77
pengelolaan konservasi dari seluruhnya dikelola oleh pemerintah menjadi
pengelolaan bersama para pihak, serta pergeseran yang mengedepankan aspek
ekologi ke aspek ekonomi, dan sosial budaya.
Memperhatikan perkembangan di atas, maka dipandang perlu mengatur
kembali pengelolaan KSA dan KPA, dengan memperhatikan prinsip tata
pemerintahan yang baik, serta harmonisasi berbagai aspek konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya bagi kesejahteraan masyarakat yang
berkelanjutan.
Secara khusus penyelenggaraan konservasi primata diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Berdasarkan ketentuan
konservasi tersebut, dibentuklah suatu kawasan suaka alam. Kawasan Suaka Alam
ialah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah
sistem penyangga kehidupan. Kawasan Suaka Alam terbagi menjadi beberapa
jenis yaitu Cagar alam, Suaka Margasatwa. Cagar Alam yaitu Kawasan suaka
alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan
ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya
berlangsung secara alami. Suaka Margasatwa: Kawasan suaka alam yang
mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang
untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Konservasi alam juga menginstruksikan adanya Kawasan Pelestarian Alam.
Kawasan Peestarian alam ialah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat
maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga
78
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan
tersebut dibagi menjadi Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya dan Taman
Nasional. Taman Wisata Alam ialah kawasan pelestarian alam yang terutama
dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Taman Hutan Raya ialah
kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan atau satwa yang alami
atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,
pariwisata dan rekreasi. Sedangkan Taman Nasional ialah kawasan pelestarian
alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, pariwisata dan rekreasi.
Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan cagar
alam meliputi:
a. Memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang
tergabung dalam suatu tipe ekosistem;
b. Mempunyai kondisi alam, baik tumbuhan dan/atau satwa liar yang
secara fisik masih asli dan belum terganggu;
c. Terdapat komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya
yang langka dan/atau keberadaannya terancam punah;
d. Memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya;
e. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yang dapat
menunjang pengelolaan secara efektif dan menjamin berlangsungnya
proses ekologis secara alami; Dan/atau
f. Mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem
yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan
suaka margasatwa meliputi:
a. Merupakan tempat hidup dan berkembang biak satu atau beberapa
jenis satwa langka dan/atau hampir punah;
b. Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;
79
c. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migrasi tertentu;
dan/atau
d. Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa.
Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman
nasional sebagaimana dimaksud meliputi:
a. Memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik
yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik;
b. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
c. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses
ekologis secara alami; dan
d. Merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona
pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan
keperluan.
Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman
hutan raya meliputi:
a. Memiliki keindahan alam dan/atau gejala alam;
b. Mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan
koleksi tumbuhan dan/atau satwa; dan
c. Merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan, pada
wilayah yang ekosistemnya masih utuh ataupun wilayah yang
ekosistemnya sudah berubah.
Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan
taman wisata alam meliputi:
a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau bentang
alam, gejala alam serta formasi geologi yang unik;
b. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan
daya tarik alam untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;
dan
c. Kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan
pariwisata alam.
80
Sumber: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011
Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian
Alam
Kawasan konservasi primata tersebar di Indonesia adalah sebagai berikut :
Sumber:
http://ani_mardiastuti.staff.ipb.ac.id/file
s/2011/11/Cons_Primates10.pdf
Penunjukan dan penetapan suatu wilayah yang memenuhi kriteria sebagai
KSA dan KPA dilakukan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Keudian pada Penyelenggaraan KSA dan KPA kecuali
taman hutan raya dilakukan oleh Pemerintah. Untuk taman hutan raya,
penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah provinsi atau pemerintah
kabupaten/kota. Penyelenggaraan KSA dan KPA oleh Pemerintah dilakukan oleh
unit pengelola yang dibentuk oleh Menteri. Penyelenggaraan taman hutan raya
oleh pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota dilakukan oleh unit
pengelola yang dibentuk oleh gubernur atau bupati/walikota. Penyelenggaraan
KSA dan KPA tersebut meliputi kegiatan:
81
a. Perencanaan;
b. Perlindungan;
c. Pengawetan;
d. Pemanfaatan; dan
e. Evaluasi kesesuaian fungsi.
Perencanaan KSA dan KPA meliputi inventarisasi potensi kawasan,
penataan kawasan, penyusunan rencana pengelolaan. Inventarisasi potensi
kawasan dilakukan oleh unit pengelola untuk memperoleh data dan informasi
potensi kawasan. Data dan informasi yang diinventarisir meliputi aspek ekologi,
ekonomi, dan sosial budaya. Selain inventarisir potensi kawasan, kegiatan yang
masuk dalam kategori perencanaan yaitu Penataan Kawasan. Penataan kawasan
meliputi penyusunan zonasi atau blok pengelolaan, penataan wilayah kerja.
Zonasi pengelolaan dilakukan pada kawasan taman nasional. Contohnya adalah
sebagai berikut :
Sumber: http://www.dephut.go.id
Penyusunan zonasi atau blok pengelolaan dilakukan oleh unit pengelola
dengan memperhatikan hasil konsultasi publik dengan masyarakat di sekitar KSA
atau KPA serta pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
Penetapan zonasi atau blok dilakukan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Zonasi pengelolaan pada kawasan taman nasional meliputi zona inti, zona rimba,
82
zona pemanfaatan; dan/atau zona lain sesuai dengan keperluan. Zonasi ditetapkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan kriteria.
Blok pengelolaan pada KSA dan KPA selain taman nasional meliputi blok
perlindungan, blok pemanfaatan; dan blok lainnya. Blok-blok tersebut ditetapkan
oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan kriteria. Perlindungan pada
KSA dan KPA termasuk perlindungan terhadap kawasan ekosistem esensial.
Perlindungan dilakukan melalui beberapa cara yaitu pencegahan, penanggulangan,
dan pembatasan kerusakan yang disebabkan oleh manusia, ternak, alam, spesies
invasif, hama, dan penyakit, melakukan penjagaan kawasan secara efektif.
Pelaksanaan perlindungan kawasan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal terdapat kondisi kerusakan yang berpotensi mengancam
kelestarian KSA dan KPA dan/atau kondisi yang dapat mengancam keselamatan
pengunjung atau kehidupan tumbuhan dan satwa, unit pengelola KSA atau KPA
dapat melakukan penghentian kegiatan tertentu dan/atau menutup kawasan
sebagian atau seluruhnya untuk jangka waktu tertentu. Pendanaan pengelolaan
KSA dan KPA bersumber pada APBN atau APBD dan sumber dana lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hutan yang merupakan habitat alami primata didesak sampai ke puncak
gunung. Semakin menyempit luasan hutan maka semakin terdesak pula
keberadaan primata di alam. Selain habitatnya yang semakin terdesak,
penangkapan berbagai jenis primata dari alam semakin hari semakin bertambah.
Penurunan populasi primata di alam semakin tajam.
Setiap tahunnya sekitar 2.500 ekor lutung jawa (Trachypitecus auratus)
ditangkap dan diperdagangkan, sekitar 1000 orangutan (Pongo pygmaeus) keluar
83
dari Pulau Kalimantan dan diperdagangkan sampai ke luar negeri seperti Taiwan
dan Eropa. Sekitar 6.000 sampai 7.000 kukang (Nycticebus coucang) hasil
tangkapan dari alam dijual bebas di pasar primata Pulau Jawa, Bali dan Sumatera.
Yaki (Macaca nigra) jenis primata endemik sulawesi yang dilindungi masih bisa
dijumpai dipelihara oleh masyarakat di Pulau Jawa.77
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Dan Ekosistemnya di bentuk bertujuan untuk memastikan terjaganya
kelestarian primata dan juga jenis satwa lainnya secara umum. Berdasarkan UU
No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Dan Ekosistemnya,
satwa dikelompokan menjadi 2 yaitu satwa yang dilindungi dan satwa yang tidak
dilindungi. Satwa yang dilindungi dilarang untuk diperdagangkan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 Tentang.
Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa dari sekitar 40 jenis primata Indonesia
hanya 2 jenis yang belum dilindungi yaitu monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina), padahal kedua jenis primata
tersebut sudah disebutkan dalam Apendix II CITES. Menurut ketentuan CITES
(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and
Fauna) daftar primata yang masuk appendix II hanya dapat diperdagangkan
secara internasional jika primata tersebut adalah hasil penangkaran.
Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) adalah salah satu satwa primata
yang diketahui dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk pangan, obat-obatan,
kepuasan/peliharaan, rekreasi dan pendidikan/penelitian. Salah satu bentuk
etnozoologi pemanfaatan monyet ekor panjang untuk pangan dan obat-obatan
77
Andrianto, Primata Semakin Menurun, http. http://www.walhi.or.id/, diakses pada tanggal
21 Juni 2012.
84
cukup tinggi terutama di negeri Cina, sehingga permintaan perdagangan akan
satwa tersebut juga tinggi. Monyet ekor panjang juga sering digunakan sebagai
satwa percobaan penelitian di bidang medis, dan permintaan penangkapan
terhadap satwa tersebut juga tinggi. Oleh karena itu, perhatian beberapa pihak
terhadap pelestarian satwa ini perlu ditingkatkan agar permintaan terhadap satwa
ini juga dapat terus terpenuhi.
Perdagangan monyet ekor panjang diatur dalam kuota yang dibuat oleh
pemerintah dan LIPI didasarkan pada status perlindungan satwa ini menurut
peraturan perundangan dan CITES. Lalu seperti apakah bentuk pemanfaatan dan
prospek perdagangan monyet ekor panjang dan kondisi kelestarinnya di alam.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai bentuk pemanfatan monyet ekor
panjang, kuota perdagangan atau penangkapannya, serta kondisi kelestariannya di
alam.
Monyet ekor panjang adalah jenis satwa yang belum dilindungi, namun
demikian pemanfaatannya harus berdasarkan ijin dan tidak melebihi kuota
tangkap yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan hutan dan
konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan. Namun demikian penangkapan
monyet ekor panjang untuk diperdagangkan tidaklah terkontrol
.Penangkapan monyet ekor panjang di alam harus segera dihentikan. Jika untuk
kepentingan penelitian seharusnya monyet tersebut adalah hasil penangkaran,
bukan hasil tangkapan dari alam. Peningkatan kuota tangkap monyet ekor panjang
dari tahun ke tahun menunjukan kegagalan penangkaran monyet di Indonesia.
Departemen Kehutanan perlu mengevaluasi usaha penangkaran monyet ini.
Dalam beberapa kasus satwa liar yang habitatnya terdesak sehingga banyak
yang ke luar dari hutan masuk kawasan garapan masyarakat dan merusak
85
tanaman, pernyataan yang gampang dan mudah adalah disebut "hama". Padahal
jika dirunut ke belakang tidak menutup kemungkinan lahan garapan masyarakat
tersebut dulunya adalah hutan sebagai habitat satwa liar, diantaranya menjadi
habitat monyet ekor panjang.
Secara alami beberapa satwa liar sangatlah sulit untuk berpindah ke lokasi
yang baru, dengan demikian haruslah dikaji lebih dalam jika terjadi kasus
gangguan terhadap lahan pertanian masyarakat oleh satwa liar termasuk monyet
ekor panjang. Janganlah terlalu mudah menyatakan "over populasi" atau
memberikan "vonis" sebagai hama.
Pemerintah hendaknya berpandangan jauh ke depan demi kelestarian satwa
liar, nilai satwa liar tidak hanya dinilai dari uang akan tetapi nilai konservasi jenis
tersebut sangatlah tinggi nilainya demi keseimbangan dan kelestarian alam itu
sendiri. Pemanfaatan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) untuk ekspor
sudah diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 26/Kpts-II/ 1994 tanggal
20 Januari 1994. Dalam keputusan Menteri Kehutanan tersebut ditetapkan bahwa
ekspor monyet ekor panjang harus berasal dari penangkaran dan tidak
diperkenankan hasil penangkapan dari alam yang terus mengalami penurunan
populasi.
Berbicara tentang penangkaran monyet ekor panjang yang ada di Indonesia
selama ini telah gagal, hal ini terbukti dengan fakta selama 3 tahun terakhir yang
selalu mendapat pengganti induk tangkar berasal dari alam sebanyak 2.000 ekor
melalui penetapan kuota tangkap yang resmi dikeluarkan oleh Departemen
Kehutanan Republik Indonesia. Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan
hendaknya melakukan kontrol dan evaluasi yang mendalam terhadap penangkar
monyet ekor panjang yang ada di Indonesia untuk menghindari pemusnahan
86
sistematis terhadap jenis primata ini. Kalau penangkaran hanya berhasil menerima
tangkapan dari alam, label penangkaran sangatlah tidak tepat, mungkin nama yang
lebih tepat adalah "pengepul".78
Informasi yang transparan kepada pihak yang berkepentingan seperti para
ahli primata, kelompok pelestari primata, NGO dan publik tentang kondisi
penangkaran monyet ekor panjang perlu dilakukan oleh pemerintah, sehingga
pemerintah tidak terkesan ketok palu saja dalam menentukan kuota tangkap satwa
liar dari alam. Peran Departemen Kehutanan sebagai pemegang otoritas kebijakan
sangatlah penting dalam upaya konservasi satwa liar yang ada di Indonesia.
ProFauna berharap ada komitmen dan implementasi yang riil dari pemerintah
dalam upaya menyelamatkan satwa liar dan ekosistemnya di Indonesia.
Perlindungan hukum terhadap primata juga dilaksanakan melalui
perlindungan hukum represif, yaitu dilakukannya penindakan-penindakan kepada
para pelanggar hukum melalui sanksi pidana. Rumusan daripada perbuatan pidana
yang dilarang dalam tindak pidana perdagangan ilegal primata yang dilindungi
pada dasarnya tentunya juga harus mengacu pada ketentuan perundang-undangan
yang mengatur mengenai usaha-usaha untuk melestarikan dan melindungi primata
tersebut yaitu Pasal 19 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya yaitu dalam ketentuan:
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam
78
NN, Penangkaran atau Pengepul,
http://www.profauna.org/suarasatwa/id/2008/01/penangkaran_atau_pengepul.html, diaksespada
tanggal 24 Juni 2012.
87
Pasal 21 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya menyatakan bahwa, setiap orang dilarang
untuk :
a. Mengambil, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa liar yang dilindungi dalam
keadaan hidup
b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia
ketempat lain baik didalam maupun diluar Indonesia.
d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-
bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang terbuat
dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain didalam maupun diluar Indonesia
e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan,
atau memiliki telur dan/ atau sarang satwa yang dilindung
Pasal 33 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, menyatakan bahwa:
1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional
2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan
fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis
tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.
3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan
fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman
hutan raya, dan taman wisata alam.
Menurut Pasal 40 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya mengenai ketentuan pidananya
maka kepada si pelaku dapat dikenai hukuman dengan rumusan kualifikasi yaitu:
a. Dengan pidana penjara paling lama 10 ( sepuluh tahun ) dan denda
paling banyak Rp 200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah ) bagi siapa
saja yang melanggar dengan sengaja ketentuan dalam Pasal 19 ayat
(1) dan Pasal 33 ayat (1)
b. Dengan Pidana Penjara paling lama 5 (lima tahun) dan denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 ( seratus juta rupiah ) bagi barang siapa
dengan sengaja sengaja melanggar ketentuan pada Pasal 21 ayat (1)
dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3)
88
c. Dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 ( seratus juta rupiah ) bagi barang siapa
karena kelalaiannya melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (1) d. Dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) bagi barangsiapa karena kelalaiannya
melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3)
Kualifikasi perbuatan pidana yang dirumuskan dalam undang - undang ini
adalah memuat rumusan perbuatan pidana/tindak pidana aktif60 yaitu setiap orang
yang melakukan tindak/perbuatan pidana berupa melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan pada kawasan suaka alam, maupun perbuatan-
perbuatan lainnya seperti menangkap, memburu maupun melukai satwa-satwa liar
yang dilindungi tersebut.
Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati Dan Ekosistemnya yang juga mengatur perlindungan satwa liar tersebut
bila dilihat dari sudut kesalahannya membagi perbuatan pidana terhadap satwa liar
atas dua jenis berdasarkan unsur kesalahannya yaitu Sengaja dan Kelalaian.
a. Bentuk Kesengajaan
1) Sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan-perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam
meliputi : mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas kawasan
suaka alam serta menambah jenis satwa lain yang tidak asli
( Pasal 40 ayat ( 1 ) Jo 19 ayat ( 1 ) dan ( 3 ) UU Nomor 5 tahun
1990)
2) Sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan zona inti Taman Nasional,
meliputi : mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti
89
taman nasional, serta menambah jenis satwa lain yang tidak asli
( Pasal 40 ayat ( 1 ) Jo 33 ayat ( 1 ) dan ( 2 ) UU Nomor 5 Tahun
1990 )
3) Sengaja menangkap, melukai, membunuh,
menyimpan,memiliki, memelihara, mengangkut, dan
memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup
sengaja menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan
memperniagakan satwa yang di lindungi dalam keadaan mati
4) Sengaja mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat
di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia
5) Sengaja memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit,
tubuh atau bagian-bagian lain satwa tersebut atau
mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain
di dalam atau di luar Indonesia ( Pasal 40 ayat ( 2 ) Jo 21 ayat
( 2) a,b,c dan d UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya)
6) Sengaja melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi
zona pemanfaatan dan zona lain dari Taman Nasional, Taman
Hutan Raya dan Taman Wisata Alam (Pasal 40 ayat ( 2 ) Jo 33
ayat ( 3 ) UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya).
b. Bentuk Kelalaian
1) Karena kelalaiannya melakukan pelanggaran sebagaimana
tersebut pada angka 2.1 dan 2.2 di atas : (Pasal 40 ayat 3 Jo 19
90
ayat 1 UU No.5 tahun 1990 dan Pasal 40 ayat 3 Jo 33 ayat 1 dan
2 UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya)
2) Karena kelalaiannya melakukan pelanggaran sebagaimana
tersebut pada angka 2.3 a s/d d dan 2.4 di atas : ( Pasal 40 ayat 3
Jo 33 ayat ( 1 ) dan ( 2 ) UU No.5 tahun 1990 dan Pasal 40 ayat
4 Jo 33 ayat 3 UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya).
Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya kejahatan dengan tujuan agar
tata tertib masyarakat tetap terpelihara, dan sanksi adalah alat ataupun instrument
untuk menegakkan tata tertib tersebut, dengan demikian untuk mencapai tujuan
ketertiban masyarakat, maka pidana dan sanksi pidana mempunyai 3 macam sifat
yaitu :
a. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking)
b. Bersifat memperbaiki (verbetering)
c. Bersifat membinasakan ( onschadelijk maken ) 79
Pemberian sanksi pidana pada dasarnya ditujukan kepada 2 hal yaitu
(pelaku) yang bersangkutan dan yang kedua adalah (sanksi) pidana itu merupakan
suatu pernyataan pencelaan kepada perbuatan si pelaku. Sanksi pidana dalam
rumusan tindak pidana perdagangan ilegal satwa liar yang dilindungi tercantum
dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tersebut yaitu :
1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan
Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 ( dua
ratus juta rupiah ).
79
Adami Chazawi,. Pelajaran Hukum Pidana I, Rajawali Press, Jakarta, 2002, hal. 162
91
2) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah)
3) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan
Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 ( seratus juta
rupiah )
4) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelangggaran terhadap
ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah)
5) Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2)
adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud
dalam ayat (3) dan (4) adalah pelanggaran.
Berdasarkan pada ketentuan pidana dalam Pasal 40 tersebut, maka dapat di
simpulkan bahwa formulasi sanksi pidana/kebijakan penal.80
Sanksi pidana dalam
ketentuan undang-undang tersebut adalah single track sistem dimana hanya
mengandung sanksi pidana saja, tanpa adanya sanksi atau tindakan perbaikan
lainnya.
Penggunaan sanksi pidana juga menyebut pidana pokok (penjara, kurungan
dan denda) yang dikenakan dan adanya pidana tambahan berupa perampasan
tumbuhan maupun satwa langka tersebut untuk diserahkan kepada negara agar
dikembalikan kehabitatnya semula (Pasal 24 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya)
Dalam hal penggunaan pidana pokoknya bersifat gabungan (penjara dan
denda) yang dijatuhkan sekaligus terhadap masing-masing tindak pidananya.
Penjatuhan sanksi pidana hanya dilakukan terhadap orang perorang dan tidak
mencantumkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana tersebut. Penjatuhan
80
Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, 2003, hal.
18
92
sanksi pidana juga tidak menyebutkan pidana minimum khusus, dan hanya pidana
maksimum yang diancamkan. Penjatuhan sanksi pidana didalam undang-undang
ini dirumuskan dengan penyebutan kualifikasi deliknya yaitu kejahatan dan
pelanggaran. (Pasal 40 ayat (5) ).
Ancaman dan penjatuhan sanksi pidana atas suatu tindak pidana dalam
Peraturan perundang-undangan, khususnya undang-undang No.5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada prinsipnya
bertujuan untuk tegaknya kepastian hukum dalam hal perlindungan terhadap
satwa liar berikut ekosistemnya tersebut agar tetap lestari dan terhindar dari
kepunahan yang disebabkan oleh berbagai hal ( salah satunya akibat perdagangan
ilegal ). Sanksi pidana yang diancamkan selain itu juga berfungsi sebagai tekanan
psikologis (psycologie dwang) agar setiap orang takut untuk berbuat jahat dan
membuatanya jera agar tidak lagi mengulangi perbuatannya seperti halnya teori-
teori tujuan pemidanaan atau pemberian sanksi pada umumnya.81
Ditinjau dari beberapa kasus kejahatan baik pembunuhan maupun
perdagangan liar primata dapat dilihat bahwa, penegakan hukum yang dilakukan
masih belum mengedepankan perbaikan untuk primata di masa yang akan datang.
Pada dua kasus pembunuhan orangutan di area perusahaan perkebunan kelapa
sawit yang di putuskan Pengadilan Negeri Sangatta, majelis hakim memutuskan
menghukum terdakwa dengan pidana penjara 10 bulan dan denda Rp 50 juta
subsider pidana kurungan 2 bulan.82
Di Samarinda, empat terdakwa pembunuh orangutan Kalimantan (pongo
pygmaeus morio) divonis delapan bulan penjara. Pada Kasus lainnya juga terjadi
81
Adami Chazawi,.Op cit., hal. 165. 82
Kholish Chered, Selasa, 29 Mei 2012 20:38 WITA , Sudah Vonis, Kasus Pembunuhan
Orangutan Tak Berarti Finish, http://kaltim.tribunnews.com/tribunnews, diakses pada tanggal 20
Juni 2012.
93
di Sumatera Utara, kasus perdagangan orangutan secara ilegal tersebut sudah
diputus di Pengadilan Kabanjahe 10 bulan penjara, dengan Putusan Pidana nomor
453/Pid.B/2011/PN.Kbj.
Selama lebih 40 tahun (sejak tahun 1970-an), meskipun telah lebih dari
2.500 penyitaan orangutan ilegal yang dilakukan di Tanah Air, penuntutan yang
pertama terhadap pemilik orangutan ilegal baru terjadi di Kalimantan pada 2010.
Khusus di Sumatera, baru kasus "Julius" yang sampai pada penuntutan di tahun
2011.83
Kasus Samarinda dan Tenggarong misalnya, 'Orangutan adalah primata
dilindungi dan masuk dalam Appendix I. Selain itu didalam UU Keanekaragaman
Hayati, setiap pelanggaran yang dilakukan terhadap orangutan akan diganjar
hukuman lima tahun. Bentuk lain dari perliundungan terhadap primata asli
Indonesia itu adalah melarang dikeluarkannya izin pengelolaan hutan primer dan
hutan gambut di kawasan yang selama ini menjadi endemik yaitu Kalimantan dan
Sumatera. ''Hutan primer dan hutan gambut merupakan bagian dari ekosistem
maka sudah seharusnya orangutan diproteksi, tetapi penegakan hukum terhdap
satwa dilindungi seakan melihat sebelah mata, bahwa hewan bukanlah manusia
sehingga tidak patut untuk dilindung, dan kalaupun hal tersebut diatur dalam
undang-undang penegakan hukum terhadap primata hanya merupakan formalitas
undang-undang hal ini dapat dilihat dari sedikitnya tersangka yang ditangkap dan
singkatnya pemidanaan yang dijatuhkan.
Hukum itu sendiri merupakan salah satu sarana untuk memberikan
perlindungan kepada semua pihak, tidak terkecuali satwa dan lingkungan hidup
83
NN, Pembantaian Orang Utan di Kalimantan,
http://nasional.vivanews.com/news/read/264918-video--pembantaian-orangutan-di-kalimantan,
diakses pada tanggal 23 Juni 2012.
94
karena fungsi hukum itu sendiri sejatinya untuk melindungi masyarakat dan
mensejahterakan masyarakat. Perlindungan hukum yang nyata terhadap
kelestarian lingkungan khususnya lingkungan hidup termasuk satwa-satwa liar
didalamnya diharapkan dapat berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan dan
satwa agar tidak punah dan tetap dapat bermanfaat bagi generasi sekarang dan
yang akan datang.84
Hukum juga merasa perlu melindungi satwa liar yang hampir punah berikut
ekosistemnya tentu bukan tanpa alasan. Satwa-satwa liar tersebut seperti halnya
manusia merupakan bagian dari alam dan juga bagian dari lingkungan ataupun
ekosistem. Kepunahan berbagai hewan-hewan yang dianggap langka tersebut
apabila terjadi, bukan mustahil akan mengakibatkan terganggunya ekosistem dan
keseimbangan alam seperti misalnya rantai makanan maupun habitat dan
keberadaan hewan langka tersebut. Perdagangan satwa-satwa liar jika tidak juga
segera dihentikan, bukan mustahil pada masa yang akan datang, kita tidak akan
bisa lagi melihat secara langsung Owa, orang utan maupun lutung jawa dan
sebagainya lagi.85
Penegakan hukum terhadap perlindungan satwa liar dan langka itu sendiri
pada hakikatnya merupakan upaya penyadaran masyarakat terhadap pentingnya
perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan khususnya satwa liar secara
berkelanjutan. Bentuk-bentuk kegiatan tersebut antara lain berupa pemberian
informasi, penyuluhan, kampanye, pendirian berbagai suaka margasatwa dan
hutan lindung, operasi penertiban sampai penindakan secara hukum termasuk
pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya ataupun akibat yang terjadi jika
84
Tony Suhartono, Pelaksanaan konvensi CITES, Rajawali, Jakarta, 2003, hal. 6. 85
Rosek Nursahid, Perdagangan Satwa Liar Itu Kejam dan Kriminal, Profauna Indonesia,
2005, Jakarta , hal. 13
95
satwa-satwa tersebut terus diperdagangkan secara bebas harus lebih ditingkatkan.
Penegakan hukum dalam berbagai bentuk bertujuan agar peraturan perundangan
di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat ditaati oleh
seluruh lapisan masyarakat dan kepada pelanggarnya diberikan sanksi yang tegas
agar memberikan efek jera sehingga dapat meminimalkan bahkan sampai
meniadakan lagi kejadian pelanggaran hukum dan pada akhirnya dapat
mendukung upaya Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
sesuai dengan UU No.5 Tahun 1990.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Perlindungan hukum Konservasi hewan primata di Indonesia dilakukan
dengan metode preventif dan juga represif. Melalui metode preventif
perlindungan hukum terhadap primata diarahkan melalui pelestarian satwa
primata, pengkategorisasian primata yang dilindungi, pelaksanaan konservasi
96
satwa primata. Metode represif dilakukan melalui penegakan hukum terhadap
pelaku yang melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Perlindungan hukum primata
dilakukan pula dengan meratifikasi Convention On International Trade In
Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES) dengan di keluarkannya
Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 Tentang : Convention On International
Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora, dikeluarkan pula Surat
keputusan (SK) dan Peraturan Pemerintah mengenai pelestarian satwa liar, di
programkannya strategi konservasi primata dalam Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor : P. 57/Menhut-II/2008 Tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies
Nasional 2008 – 2018. Primata di Indonesia perlindungannya masih lemah belum
maksimal, begitupula dengan sistem pengawasannya dan penegakan hukum
dalam perlindungan primata di Indonesia masih sangat lemah.
B. Saran
Perlunya penegakan hukum terhadap para pelaku perdagangan dan
pembunuhan primata dengan turut serta melibatkan kesadaran hukum pada
masyarakat.
97
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Arif, Barda Nawawi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Citra Aditya.
Bandung.
Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana I. Rajawali Press. Jakarta.
Djamin, Djanius. 2007. Pengawasan dan pelaksanaan Undang-Undang
Lingkungan Hidup : suatu analisis sosial. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta.
Hamzah, Andi. 2005. Penegakan Hukum Lingkungan. Sinar Grafika.
Jakarta.
Hardjasoemantri, Koesnadi. 1986. Masalah Lingkungan. Gadjahmada
University Press. Yogyakarta.
Hidayat, Arief dan FX. Adji Samekto. 2007. Kajian Kritis Penegakan
Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah. BP. Undip. Semarang.
Husin, Sukanda. 2009. Penegakan Hukum Lingkungan Di Indonesia. Sinar
Grafika. Jakata.
Husein, Harun M. 1992. Lingkungan Hidup Masalah Pengelolaan dan
Penegakan Hukumnya. Bumi Aksara. Jakarta.
-----------------------. 1995. Lingkungan Hidup Masalah. Pemelolaan Dan
Penegakan Hukumnya. Bumi Aksara. Jakarta.
Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.
Balai Pustaka. Jakarta.
98
Marpaung, Leden. 1995. Tindak Pidana Terhadap Hutan. Hasil Hutan dan
Satwa. Erlangga. Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud. 2003. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media
Group. Jakarta.
Nursahid, Rosek. 2005. Perdagangan Satwa Liar Itu Kejam dan Kriminal.
Profauna Indonesia. Jakarta.
Poespawardjojo, S. 1993. Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan
Filosofis. Gramedia. Jakarta.
Purwodarminto, WJS. 1959. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.
Jakarta.
Rahmadi, Takdir. 2003. Hukum Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan
Beracun. Airlangga University Press. Surabaya.
--------------------. 2011. Hukum Lingkungan Di Indonesia. PT. Raja
Grafindo Persada.
Rangkuti, Siti Sundari. 1996. Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan
Lingkungan Nasional. Airlangga Press. Surabaya.
Silalahi, M. Daud. 2001. Hukum Lingkungan Dalam Sistem penegakan
Hukum Lingkungan Indonesia. Alumni Bandung.
Soekanto, Soeryono. 1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum. Rajawali. Jakarta.
Soemartono, R.M Gatot. 1996. Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar
Grafika. Jakarta.
Soemitro, Ronny H. 1983. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta. Gia
Indonesia. Jakarta.
Suhartono, Tony dkk. 2003. Pelaksanaan konvensi CITES. WALHI.
Jakarta.
Sunarso, Siswanto.2005. Hukum Lingkungan Hidup dan Strategi
Penyelesaian Sengketa. Rineka Cipta. Jakarta.
Sunggono, Bambang. 2006. Metode Penelitian Hukum. PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Sunu, Pramudya. 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan
ISO14001. Grasindo. Jakarta.
99
Suparni, Ninik. 1994. Pelestarian. Pengelolaan Dan Peneghakan Hukum
Lingkungan Hidup. Sinar Grafika. Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang 5 Tahun 1990 tentang Undang-Undang Konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
PP Rapublik Indonesia nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Sumber Lainnya
Ajeng Ritzki Pitakasari. Rabu. 18 April 2012. 20:32 WIB. Hakim Cuma
Ganjar Pembantai Orangutan 8 Bulan Penjara.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/04/18/m2og9w-
hakim-cuma-ganjar-pembantai-orangutan-8-bulan-penjara. diakses
pada tanggal 22 Juni 2012.
Andrianto. Primata Semakin Menurun. http. http://www.walhi.or.id/.
diakses pada tanggal 21 Juni 2012.
Bambang. “Profauna: Ada Konspirasi penyelundupan Orangutan”.
http://www.gatra.com/2004-08-18/artikel.php?id=43575. tanggal 21
Juni 2012.
Departemen Kehutanan. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah
Sumatera dan Kalimantan. Jakarta.
Ella Syahputri. Senin. 6 Juni 2011 16:42 WIB. 70 Persen Primata Indonesia
Terancam Punah.
http://www.infogue.com/viewstory/2011/06/06/70persen
primata_indonesia_terancam _punah/
?url=http://www.antaranews.com/berita/261752/70-persen-primata-
indonesia-terancam-punah. diakses pada tanggal 2 April 2012.
Kholish Chered. Selasa. 29 Mei 2012 20:38 WITA . Sudah Vonis. Kasus
Pembunuhan Orangutan Tak Berarti Finish.
http://kaltim.tribunnews.com/tribunnews. diakses pada tanggal 20 Juni
2012.
Mutya Hanifah. Senin. 14 November 2011 - 15:47 wib. Mengerikan.
Pembantaian Orangutan " Biasa".
100
http://travel.okezone.com/read/2011/11/14/407/529219/mengerikan-
pembantaian-orangutan--biasa. diakses pada tanggal 12 Maret 2012.
Nita Murjani dan Leony Aurora. Upaya pelestarian kera besar harus
terpadu dengan REDD+. kata ahli primata. http://www.redd-
indonesia.org/ index.php?Option=com_content &
view=article&id=372:upaya-pelestarian-kera-besar-harus-terpadu-
dengan-redd-kata-ahli-primata &catid=1:fokus-redd&Itemid=50.
diakses pada tanggal 2 April 2012.
NN. Minggu. 19 Februari 2012 06:57 WIB. Pembantaian Orangutan di
Kalimantan Masih Terjadi .
http://metrotvnews.com/read/news/2012/02/19/82359/Pembantaian-
Orangutan-di-Kalimantan-Masih-Terjadi/1. diakses pada tanggal 12
Maret 2012.
NN. 21 April 2009. Definisi Perlindungan Hukum. http://antilog.in/definisi-
perlindungan-hukum-menurut-ahli-hukum. diakses pada tanggal 16
Oktober 2011.
NN. Sabtu. 17 Des 2011 09:00 WIB. Setiap Tahun Disita 20-35 Orangutan
dari Tempat Ilegal Pertama di Sumut. Kasus Orangutan Sampai ke
Pengadilan. http://www.analisadaily.com/news/. diakses pada tanggal
23 Juni 2012.
NN. Pembantaian Orang Utan Jadi Sorotan.
http://nasional.vivanews.com/news/read/263890-pembantaian-750-
orangutan-jadi-sorotan-dunia. diakses pada tanggal 23 Juni 2012.
NN. Peluang dan Hambatan. http//internasional.fws.gov/cites/cites.html.
diakses pada tangga 25 Juni 2012.
NN. “Konservasi yang dimiliki Indonesia.
http://www.menlh.go.id/i/art/bab7%20.keanekaragaman%20hayati.pd
f. diakses pada tangga 25 Juni 2012.
NN. Rencana Penyelundupan Orang Utan ke Thailand
http://nasional.vivanews.com/news/read/263890- Rencana
Penyelundupan Orang Utan ke Thailand . diakses pada tanggal 23
Juni 2012.
NN. Hukuman Bagi Pelaku Penyelundupan Satwa Liar Yang Dilindungi.
http://www.gatra.com/artikel.php?pil=23&id=85956. diakses pada
tanggal 23 Juni 2012.
NN. Pengelolaan KSA dan KPA belum efektif. http//Perhutani.go.id. diakses
pada tanggal 20 Agustus 2012.
101
NN. Penangkaran atau Pengepul.
http://www.profauna.org/suarasatwa/id/2008/01/penangkaran_atau_pe
ngepul.html. diaksespada tanggal 24 Juni 2012.
NN. Pembantaian Orang Utan di Kalimantan.
http://nasional.vivanews.com/news/read/264918-video--pembantaian-
orangutan-di-kalimantan. diakses pada tanggal 23 Juni 2012.
Pramono Putra. Kamis. 16 Februari 2012 10:37 wib. Bupati Perintahkan
Tembak Mati Monyet Liar.
http://www.sindonews.com/read/2012/02/16/447/576713/bupati-
perintahkan-tembak-mati-monyet-liar. diakses pada tanggal 1 April
2012.
Prasko Abdullah. 17 February 2011. Definisi Perlindungan Hukum.
http://prasxo.wordpress.com/. Diakses Pada Tanggal 29 Mei 2012.
Putri. Pengertian Primata. Aves dan Mamalia. http://putrijusstef.
blogspot.com/2012/02/ pengertian-primata-avesmamalia.html. diakses
pada tanggal 2 April 2012.
Riskiansya. Kampanye Pelestarian Primata Sejak Dini.
http://dir.unikom.ac.id/jbptunikompp-gdl-s1-2007- -6894/bab-
2.doc/pdf/bab-2.pdf. diakses pada tanggal 25 Agustus 2012.
Sony. Primata Di Indonesia. http://aksessdunia.com/tag/primata-indonesia/.
diakses pada tanggal 2 April 2012.