Post on 29-Dec-2019
KEDUDUKAN HUKUM AKTA JAMINAN FIDUSIA YANG DIBUAT
OLEH NOTARIS DI LUAR WILAYAH KERJANYA
(Studi Notaris di Bandar Lampung)
(Skripsi)
Oleh:
PUTRI AYU PARAMESWARI
NPM 1412011339
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ABSTRAK
KEDUDUKAN HUKUM AKTA JAMINAN FIDUSIA YANG DIBUAT
OLEH NOTARIS DI LUAR WILAYAH KERJANYA
(Studi Notaris di Bandar Lampung)
Oleh
PUTRI AYU PARAMESWARI
Notaris dalam menjalankan jabatannya harus sesuai dengan Undang-Undang
Jabatan Notaris (UUJN) dan Kode Etik Notaris. Salah satu kewenangan Notaris
yaitu membuat akta otentik dan salah satu akta otentik tersebut adalah Akta
Jaminan Fidusia (AJF). Pembuatan AJF harus dibuat sesuai dengan wilayah
jabatan Notaris itu sendiri. Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah
pelaksanaan pembuatan AJF yang dibuat oleh notaris, bagaimanakah kedudukan
hukum AJF yang dibuat oleh notaris di luar wilayah kerjanya, dan apakah
pengawasan yang dilakukan terhadap notaris apabila terdapat akta jaminan fidusia
yang dibuat oleh notaris di luar wilayah kerjanya?
Penelitian ini adalah penelitian normatif empiris, dengan tipe penelitian deskriptif
dan pendekatan yuridis-empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik
wawancara dan studi pustaka. Analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuatan AJF harus sesuai dengan UU
Jaminan Fidusia (UUJF). Syarat formal harus sesuai Pasal 5 UUJF yaitu dibuat
dalam bahasa Indonesia dan merupakan AJF. Syarat materil sesuai Pasal 6 UUJF
yaitu memuat identitas para pihak, data perjanjian pokok yang dijamin fidusia,
uraian mengenai benda yang menjadi objek, nilai penjaminan, dan nilai benda
yang menjadi objek. Proses pembuatan AJF yaitu penerima fidusia menghadap
notaris dan pembuatan AJF dilakukan. Setelah AJF telah dibuat maka harus
dilakukan pendaftaran AJF untuk mendapatkan sertifikat jaminan fidusia.
Kedudukan hukum AJF yang dibuat di luar wilayah kerja Notaris adalah akta
yang bersangkutan kehilangan dan berkedudukan sebagai akta di bawah tangan.
Notaris memiliki pengecualian untuk membuat akta di luar wilayah kerjanya yaitu
dalam penyerahan surat wasiat rahasia atau surat wasiat olografis tertutup untuk
dibuka oleh Balai Harta Peninggalan termasuk dalam tugas jabatan Notaris dan
penyerahan surat-surat wasiat harus dilakukan kepada Balai Harta Peninggalan di
dalam daerah siapa warisan tersebut terbuka, dalam hal tersebut Notaris
diperbolehkan untuk membuat akta di luar wilayah kerjanya. Pengawasan
dilakukan oleh Majelis Kehormatan Notaris dan Majelis Pengawas Daerah serta
sanksi yang diberikan apabila Notaris terbukti membuat akta di luar wilayah
kerjanya adalah dengan memberikan peringatan tertulis, pemberhentian
sementara, dan diberhentikan secara hormat.
Kata Kunci: Kedudukan Hukum, Akta, Notaris, Wilayah Jabatan
KEDUDUKAN HUKUM AKTA JAMINAN FIDUSIA YANG DIBUAT
OLEH NOTARIS DI LUAR WILAYAH KERJANYA
(Studi Notaris di Bandar Lampung)
Oleh
PUTRI AYU PARAMESWARI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
i
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bandar Lampung pada tanggal 19
September 1996 sebagai anak pertama dari empat
bersaudara, putri dari pasangan Bapak Bambang Sugiono
Tamin dan Ibu Triandari Lestianingrum.
Riwayat pendidikan formal yang penulis tempuh dan
selesaikan adalah Sekolah Dasar Kartika II-5 Bandar
Lampung lulus pada tahun 2008, Sekolah Menengah Pertama Darma Bangsa
Bandar Lampung lulus pada tahun 2011, dan Sekolah Menengah Atas Darma
Bangsa Bandar Lampung pada tahun 2014. Pada tahun yang sama penulis
terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada tahun
tahun 2017, penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sidowaras
Kecamatan Bumi Ratu Nuban Kabupaten Lampung Tengah.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti seminar daerah maupun
nasional dan organisasi kemahasiswaan yaitu terdaftar sebagai anggota Badan
Intelektual Muda (BIM) Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2014-
2015, anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas
Lampung pada tahun 2015-2016, anggota Persatuan Mahasiswa Hukum untuk
Seni (PERSIKUSI) pada tahun 2014-2016, menjabat sebagai Wakil Gubernur
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Lampung pada
ii
tahun 2016-2017 serta pada tahun 2014-2016 aktif menjadi penyiar salah satu
radio di Bandar Lampung.
iii
M O T O
Manusia berencana, Allah yang mementukan.
Dan orang-orang yang berusaha untuk (mencari keridaan) Kami
Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.
(Q.S. Al-Ankabut: 69)
Allah tidak akan mempercepat atau memperlambat sesuatu
melainkan untuk kebaikan kita.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu namun ia amat baik bagimu
dan boleh jadi engkau mencintai sesuatu namun ia amat buruk bagimu
Allah Maha Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.
(Q.S. Al Baqarah: 216)
iv
PERSEMBAHAN
Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala kerendahan hati
Kupersembahkan skripsi ini kepada:
Kedua Orangtuaku Tercinta
Bapak Bambang Sugiono Tamin dan Ibu Triandari Lestianingrum
serta Eyang Kakung Sudarto dan Eyang Putri Halipah
yang selalu sabar yang selama ini telah memberikan cinta, kasih sayang,
kebahagian, pengorbanan, motivasi, nasihat serta semangat melalui bait doa,
setiap tetesan keringat, setiap langkah kaki, yang semuanya hanya untuk
keberhasilan masa depan dan kebahagiaanku
Adik-adikku Tersayang Tika, Juna, dan Ica
terimakasih atas perhatian dan semangat
yang telah kalian berikan
Almamater
Universitas Lampung
v
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan atas
kehadirat Allah SWT, sebab karena hanya dengan kehendak-Nya, maka penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Kedudukan Hukum Akta Jaminan
Fidusia yang dibuat Notaris di luar Wilayah Kerjanya” (Studi Notaris di Bandar
Lampung).
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Penulis menyadari bahwa
dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapatkan
bimbingan dan saran dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini
penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Armen Yasir (Alm), S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Bapak Prof. Dr. I Gede Wiratama, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan Bidang
Akademik dan Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Lampung.
3. Bapak Dr. Sunaryo, S.H, M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
4. Ibu Rilda Murniati, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak membantu penulis dengan penuh kesabaran, kesediaan meluangkan
vi
waktunya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan,
saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.
5. Ibu Selvia Oktaviana, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan, masukan dan saran kepada penulis dalam proses
penyusunan sampai dengan selesainya skripsi ini.
6. Bapak Dr. M. Fakih, S.H., M.S., selaku Dosen Pembahas I yang telah
memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam proses perbaikan
skripsi ini.
7. Bapak Depri Liber Sonata, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II yang telah
memberikan masukan dan saran kepada penulis dalam proses perbaikan
skripsi ini.
8. Ibu Rehulina, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan dan arahan selama saya menempuh pendidikan di
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
9. Para narasumber: Notaris Tony Azhari, S.H., Notaris Asvi Maphilindo Volta,
S.H. dan Ibu Sri Yuliani S.H., M.H., atas informasi dan bantuan yang
diberikan selama pelaksanaan penelitian.
10. Seluruh dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung,
khususnya Dosen Bagian Hukum Keperdataan yang penuh dedikasi dalam
memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuan secara
teknis maupun administratif yang diberikan kepada penulis selama
menyelesaikan studi.
11. Sahabat CELLIku Jihan Al Litani, Hani Regina Sari, Virenia Phalosa Rimau,
Nita Triani, Nadya Dwi Putri, Nyiayu Ryanti, Karina Gita , Yuenchi Arwindi
vii
terimakasih atas segala bantuan, semangat serta canda tawa selama masa
perkuliahan ini, semoga kelak kita bisa sukses bersama-sama.
12. Sahabat-sahabatku Zehan Adela, Arninda Rahman, Maharani Anissa Santun,
Nimas Pertiwi, Aria Rizky Utami, Lany Parma Sari, Dani Alfarizi, Sonya
Ruslan, Audrya Chandra, Selly Permata Bunda terimakasih atas segala
bantuan, semangat, serta kebersamaan selama ini semoga kelak kita semua
bisa menjadi orang yang sukses.
13. Teman-teman Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum UNILA
2014-2016 yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu terimakasih
atas segala pengalaman serta pelajaran yang telah kita lewati.
14. Teman-teman PERSIKUSI FH UNILA 2014-2016 yang tidak bisa penulis
sebutkan namanya satu persatu terimakasih atas segala keceriaan yang telah
kalian berikan selama ini.
15. Teman-teman seperjuangan HIMA Perdata yang tidak bisa penulis sebutkan
namanya satu persatu terimakasih atas segala bantuan dan motivasi yang telah
kalian berikan selama ini.
16. Teman-teman seperbimbingan Jihan Al Litani, Tiara Ratu Puspita Hakim,
Darwin Ricardo, Credho Leonardo, Aria Alim Wijaya terimakasih kawan-
kawan atas segala bantuan semoga kita bisa selalu kompak dan sukses untuk
kedepannya.
17. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Hukum Unila yang
tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu terimakasih atas segala ilmu
dan kebersamaan yang telah diberikan.
viii
18. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam
penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu namanya.
Semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis akan mendapatkan
balasan pahala yang besar di sisi Allah SWT dan akhirnya penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bandar Lampung, 17 Oktober 2018
Penulis
Putri Ayu Parameswari
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... v
PERNYATAAN ................................................................................................ vi
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... vii
MOTO ................................................................................................................ ix
PERSEMBAHAN .............................................................................................. x
SANWACANA .................................................................................................. xi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xv
I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 7
C. Ruang Lingkup .............................................................................................. 7
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................ 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 10
A. Fungsi dan Kewenangan Notaris Sebagai Pejabat Umum ............................ 10
1. Sejarah Pengaturan Notaris di Eropa ..................................................... 10
2. Sejarah Pengaturan Notaris di Indonesia ............................................... 14
3. Notaris sebagai Pejabat Umum .............................................................. 18
4. Kewenangan Notaris .............................................................................. 19
5. Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) ............................................................ 21
6. Kode Etik Notaris .................................................................................. 22
7. Domisili Hukum Notaris ........................................................................ 25
B. Akta dan Kekuatan Pembuktian Akta ........................................................... 27
1. Pengertian Akta dan Jenis-jenis Akta .................................................... 27
2. Kekuatan Pembuktian Akta ................................................................... 31
C. Tinjauan Umum Jaminan Fidusia ................................................................. 34
1. Pengertian Jaminan ................................................................................. 34
2. Pengertian Jaminan Fidusia..................................................................... 35
3. Objek Jaminan Fidusia ............................................................................ 36
4. Subjek Jaminan Fidusia .......................................................................... 37
D. Majelis Pengawas Notaris dan Majelis Kehormatan Notaris......................... 38
x
1. Kewenangan Majelis Pengawas Daerah................................................... 39
2. Kewajiban Majelis Pengawas Daerah...................................................... 40
3. Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah...................................... ......... 40
4. Kewajiban Majelis Pengawas Wilayah....................................... ............ 41
5. Kewenangan Majelis Pengawas Pusat...................................... .............. 41
6. Majelis Kehormatan Notaris...................................... ............................. 42
E. Kerangka Pikir .............................................................................................. 44
III. METODE PENELITIAN .......................................................................... 47
A. Jenis Penelitian ............................................................................................. 48
B. Tipe Penelitian .............................................................................................. 49
C. Pendekatan Masalah ...................................................................................... 49
D. Data dan Sumber Data .................................................................................. 50
E. Metode Pengumpulan Data ........................................................................... 52
F. Metode Pengolahan Data...................................... ........................................ 54
G. Analisis Data ................................................................................................. 55
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................................... 56
A. Pelaksanaan Pembuatan Akta Jaminan Fidusia yang dibuat oleh Notaris di
Bandar Lampung ........................................................................................... 56
1. Syarat Pembuatan Akta Otentik .............................................................. 56
2. Sistematika Pembuatan Akta Otentik ...................................................... 57
3. Syarat Pembuatan Akta Jaminan Fidusia...................................... .......... 60
4. Prosedur Pembuatan Akta Jaminan Fidusia...................................... ...... 61
B. Kedudukan Hukum Akta yang dibuat Notaris serta Pengecualian Notaris dalam
membuat Akta di luar Wilayah Kerjanya................................................ ....... 63
1. Kedudukan Hukum Notaris................................................ ........................ 64
2. Kedudukan Hukum Akta Otentik................................................ ............... 64
3. Kewajiban Notaris membuat Aktta di dalam Wilayah Kerjanya................ 65
4. Kedudukan Hukum Akta Jaminan Fidusia yang dibuat Notaris di luar
Wilayah Kerjanya... ................................................................................... 67
5. Pengecualian Notaris dalam membuat Akta di luar Wilayah Jabatannya... 70
C. Pengawasan Terhadap Notaris Apabila Terdapat Akta Jaminan Fidusia yang
dibuat di luar Wilayah................................................ .................................... 72
1. Pihak yang Berwenang melakukan Pengawasan terhadap Notaris.......... .. 72
2. Prosedur Pemberian Sanksi terhadap Notaris yang membuat Akta Jaminan
Fidusia di luar Wilayah Kerjanya................................................ .............. 75
V. PENUTUP ..................................................................................................... 86
A. Kesimpulan ................................................................................................... 86
B. Saran ............................................................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan hukum dalam masyarakat dapat diikat dalam suatu perjanjian tertulis.
Perjanjian tertulis dapat dibuat dalam bentuk akta otentik ataupun akta di bawah
tangan. Berdasarkan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disingkat KUHPdt), akta otentik adalah suatu akta yang (dibuat) di
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (selanjutnya disingkat UU),
dibuat oleh atau di hadapan pejabat-pejabat umum yang berwenang untuk itu, di
tempat di mana akta dibuatnya. Pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta otentik adalah notaris.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya
disingkat UUJN) menentukan bahwa notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam UU ini atau berdasarkan UU lainnya. Istilah
Notaris pada dasarnya berasal dari bahasa Latin, notarius yaitu nama yang
diberikan pada orang-orang Romawi dimana tugasnya adalah menjalankan
pekerjaan menulis atau orang-orang yang membuat catatan pada masa itu. Notaris
dalam menjalankan jabatannya pada awalnya didasarkan pada
ketentuan Reglement Op het Notaris-ambt in Indonesie No. 1860 (Stb. No.3) yang
2
mulai berlaku 1 Juli 1860. Peraturan ini berlaku hingga dikeluarkannya Undang-
Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pada tahun 2014 dikeluarkan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris sebagai revisi dari
Undang-Undang No. 30 Tahun 2004.1 Notaris sebagai suatu profesi memiliki
persatuan perhimpunan organisasi profesi. Satu-satunya organisasi notaris yang
diatur dalam UUJN adalah Ikatan Notaris Indonesia (INI). Fungsi INI adalah
untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan notaris yang terkait dengan
organisasi itu sendiri.2
Kewenangan Notaris menurut Pasal 15 UUJN adalah membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya sepanjang pembuatan akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat atau orang lain yang ditetapkan oleh UU. Selanjutnya
mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal pembuatan surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (legalisasi). Notaris juga
mempunyai wewenang untuk membantu pemerintah dalam melayani masyarakat
dalam menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum melalui akta
otentik yang dibuat oleh atau di hadapannnya, mengingat akta otentik sebagai alat
bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan
hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat.
1 Freddy Harris dan Lenny Helena, Notaris Indonesia, Jakarta: PT Lintas Cetak Djaja,
2017, hlm. 28. 2 Ibid., hlm. 52.
3
Wewenang notaris meliputi empat hal. Pertama, notaris harus berwenang
sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu. Kedua, notaris harus berwenang
sepanjang mengenai orang, untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Notaris tidak
diperbolehkan membuat akta, di dalam mana notaris sendiri, istrinya, keluarga
sedarah atau keluarga semenda3 dari notaris itu dalam garis lurus tanpa
pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga,
baik secara pribadi maupun melalui kuasa, menjadi pihak. Maksud dan tujuan dari
ketentuan ini ialah untuk mencegah terjadinya tindakan memihak dan
penyalahgunaan jabatan. Ketiga, notaris harus berwenang sepanjang mengenai
tempat, dimana akta itu dibuat. Bagi setiap notaris ditentukan daerah hukumnya
(daerah jabatannya) dan hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya itu ia
berwenang untuk membuat akta otentik. Keempat, notaris harus berwenang
sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris tidak boleh membuat akta
selama ia masih cuti atau dipecat dari jabatannya, demikian juga notaris tidak
boleh membuat akta sebelum ia memangku jabatannya (sebelum diambil
sumpahnya).4
Akta otentik yang dibuat oleh notaris merupakan sebuah alat pembuktian untuk
menyatakan adanya suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak dan
sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti. Akta itu dikatakan otentik apabila
dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Otentik artinya sah. Notaris adalah
pejabat yang berwenang membuat akta, maka akta yang dibuat di hadapan notaris
adalah akta yang otentik atau akta itu sah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa
3 Satu pertalian kekeluargaan karena perkawinan, yaitu pertalian antara salah seorang
dari suami isteri dan keluarga sedarah dari pihak lain. 4 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cet 3, Jakarta: Erlangga, 1996,
hlm. 49.
4
seringkali masyarakat membuat perjanjian yang ditulis sendiri oleh pihak-pihak
dan tidak dibuat di hadapan notaris. Tulisan yang demikian disebut akta di bawah
tangan. Akta di bawah tangan dibuat oleh mereka sendiri, tidak disaksikan oleh
pejabat umum. Isinya tidak ada kepastian. Tanggalnya tidak pasti, artinya apa
betul ditanggali sebenarnya atau ditandatangani oleh pihak yang bersangkutan,
apakah isinya benar menurut hukum. Serba tidak ada kepastian.5 Suatu perjanjian
tidak harus dibuat dalam bentuk akta otentik, kecuali terhadap bentuk-bentuk
perjanjian tertentu yang diwajibkan oleh UU harus dibuat dalam bentuk akta
notaris atau akta otentik, seperti akta jaminan fidusia. Selain akta-akta yang telah
ditetapkan oleh UU untuk dibuat secara otentik, maka para pihak diberikan
kebebasan untuk memilih apakah akan membuat suatu perjanjian dalam bentuk
akta otentik ataukah cukup dalam bentuk akta di bawah tangan.6
Akta jaminan fidusia merupakan perjanjian pengikut atau tambahan (accesoir)
dari perjanjian pokok yang telah dibuat sebelumnya yaitu perjanjian kredit. Bank
dalam melakukan perjanjian kredit juga melakukan perjanjian pengikatan
jaminan (accesoir) sebagai penerapan salah satu prinsip 5 c yaitu collateral
atau agunan, maka saat dipenuhi syarat perjanjian kredit pada bank harus diikat
dengan adanya jaminan. Jaminan dalam perjanjian kredit dibuat dalam suatu akta
jaminan yang meliputi Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) maupun akta
jaminan fidusia sebagai akta pelengkap pada akta perjanjian kredit.7 Di dalam
5 A. Kohar, Notaris dalam Praktek Hukum, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 24-30.
6 Arko Kanadianto, Perjanjian Sebaiknya Akta Notaris atau Bawah Tangan?,
http://arkokanadianto.com/2017/05/perjanjian-sebaiknya-akta-notaris-atau-bawah-tangan/ diakses
pada Kamis, 22 Maret 2018-10.45 WIB. 7 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta : Prenada Media, 2005,
hlm. 20.
5
menjalankan prakteknya, di luar jaminan pokok yaitu jaminan hak tanggungan,
terdapat banyak pihak yang menyertakan akta jaminan fidusia sebagai jaminan
tambahan atas kekurangan nilai dari jaminan pokok tersebut. Di dalam pembuatan
akta jaminan fidusia terdapat kemungkinan bahwa objek yang dijadikan jaminan
fidusia berada di luar wilayah kerja notaris dan perjanjian dibuat di luar wilayah
kerja notaris. Sebagai contoh, bagaimana apabila terdapat seseorang yang
melakukan suatu perjanjian fidusia dimana perjanjian tersebut dilakukan di
Bandar Lampung dan objek berada di Bandar Lampung, sedangkan pihak tersebut
ingin membuat akta perjanjian fidusia dengan menggunakan Notaris yang berada
di DKI Jakarta. Hal tersebut dapat mempengaruhi kedudukan seorang Notaris
yang hanya memiliki wilayah kerja satu Provinsi dan dilarang untuk membuat
akta di luar wilayahnya.
Notaris dalam menjalankan tugasnya harus tunduk pada UUJN dan Kode Etik
Notaris, begitupun dalam hal pembuatan akta. Pasal 18 UUJN menentukan bahwa
seorang notaris hanya berkedudukan di satu tempat di kota/kabupaten, dan
memiliki kewenangan wilayah jabatan seluruh wilayah provinsi dari tempat
kedudukannya. Berdasarkan ketentuan tersebut, notaris harus berwenang
sepanjang mengenai tempat dimana akta dibuat maksudnya setiap notaris
ditentukan wilayah jabatannya sesuai dengan tempat kedudukanya. Untuk itu
notaris hanya berwenang membuat akta yang berada di dalam wilayah jabatannya.
Notaris dalam menjalankan tugasnya wajib bertanggung jawab terhadap Kode
Etik Notaris dan UUJN dengan membuat akta di dalam wilayah jabatannya.
6
Apabila Notaris membuat akta di luar wilayah jabatannya berarti Notaris tersebut
telah melanggar ketentuan yang ada dalam UUJN. 8
Berdasarkan Pasal 17 UUJN yang mengatur mengenai hal-hal yang dilarang
dilakukan oleh notaris salah satunya menentukan bahwa notaris dilarang
menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. Seorang notaris yang memiliki
wilayah kerja di Provinsi Lampung berhak untuk membuat akta di Lampung
Barat, Lampung Selatan, Tulang Bawang, dan lain sebagainya, karena daerah-
daerah tersebut masih masuk dalam wilayah kerjanya yaitu Provinsi Lampung.
Notaris tersebut tidak berhak membuat akta di wilayah DKI Jakarta ataupun
Palembang karena batas yuridiski adalah provinsi.
Notaris harus senantiasa menjalankan jabatan berdasarkan Kode Etik Notaris agar
dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan UUJN dan tidak melakukan perbuatan
yang dilarang oleh UUJN. Majelis Pengawas Notaris dan Majelis Kehormatan
Notaris juga bersama-sama senantiasa mengawasi dengan baik kepatuhan dan
indikasi adanya pelanggaran yang dilakukan oleh para notaris, baik ada atau tidak
adanya laporan mengenai pelanggaran tersebut. Notaris wajib membuat akta di
dalam wilayahnya apabila terbukti melanggar maka Majelis Pengawas Notaris
akan memberikan sanksi.9 Terjadinya pembuatan akta di luar wilayah kerja
Notaris dapat disebabkan oleh faktor ketidaktahuan masyarakat terhadap adanya
batasan wilayah notaris dalam menjalankan jabatannya serta adanya kelalaian
notaris yang dapat merugikan para pihak yang berkepentingan. Apabila terjadi
pembuatan akta di luar wilayah kerja notaris tersebut, maka yang menjadi
8 G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit., hlm. 50.
9 Freddy Harris dan Lenny Helena, Op.Cit. hlm. 114.
7
permasalahannya adalah kedudukan akta otentik yang telah dibuat serta dapat
menimbulkan kerugian bagi para pihak yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas, maka cukup alasan dan dasar pertimbangan untuk
melakukan penelitian terhadap pelaksanaan pembuatan akta notaris dan
kedudukan akta yang dibuat notaris di luar wilayah kerjanya serta upaya hukum
apabila terdapat akta yang dibuat Notaris di luar wilayah kerjanya yang
dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “Kedudukan Hukum Akta
Jaminan Fidusia yang dibuat oleh Notaris diluar Wilayah Kerjanya”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang
menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pelaksanaan pembuatan akta jaminan fidusia yang dibuat oleh
notaris?
2. Bagaimanakah kedudukan hukum akta jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris
di luar wilayah kerjanya?
3. Apakah pengawasan yang dilakukan terhadap notaris apabila terdapat akta
jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris di luar wilayah kerjanya?
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini terdiri dari lingkup bidang ilmu hukum dan lingkup
kajian. Lingkup bidang ilmu hukum dalam penelitian ini adalah hukum
keperdataan. Sedangkan lingkup kajian penelitian ini adalah Undang-Undang
8
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:
a. Memperoleh pemaparan dengan jelas, rinci dan sistematis tentang pelaksanaan
pembuatan akta oleh notaris yang ada di Bandar Lampung.
b. Memperoleh pemaparan dengan jelas, rinci dan sistematis tentang kedudukan
hukum dari suatu akta yang dibuat oleh notaris di luar wilayah kerjanya.
c. Memperoleh pemaparan dengan jelas, rinci dan sistematis tentang sanksi yang
akan diberikan apabila terdapat akta yang dibuat oleh notaris di luar wilayah
kerjanya.
E. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini dapat berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan mengenai
akta yang dibuat oleh Notaris. Penelitian ini juga dapat menjadi sumbangan
pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum perdata murni.
b. Kegunaan Praktis
Selain kegunaan teoritis, penelitian ini pun memberikan kegunaan praktis pada
penelitian ini sebagai berikut:
a. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dan masyarakat luas
mengenai akta yang dibuat oleh notaris.
9
b. Sebagai bahan rujukan dan informasi bagi pihak yang memerlukan khususnya
untuk menyusun penulisan hukum guna melengkapi persyaratan dalam
mencapai gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum, bagian Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung.
c. Sebagai salah satu syarat akademis bagi penulis untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Fungsi dan Kewenangan Notaris Sebagai Pejabat Umum
1. Sejarah Pengaturan Notaris di Eropa
Pada zaman Romawi kuno terdapat kelompok pelajar berprofesi sebagai scribae,
yaitu seseorang yang mempunyai tugas untuk mencatat berupa nota dan minuta dari
berbagai catatan kegiatan atau keputusan yang disimpan dan dikeluarkan salinannya,
baik menyangkut hubungan privat maupun publik. Jabatan ini muncul karena
kebutuhan masyarakat pada waktu itu yang dalam perkembangan zaman, jabatan
tersebut disebut juga Notaris berasal dari kata Nota Literaria, yaitu lettermerk atau
karakter, yang mana para notarii tersebut menuliskan atau menggambarkan suatu
“perkataan penuh”. Untuk pertama kali, nama notarii diberikan kepada orang-orang
yang pekerjaannya mencatat atau menuliskan pidato yang diucapkan dahulu oleh
Cato (de Oudere) dalam senat Romawi, dengan mempergunakan abrevation
(resume isi materi) atau Characters.10
Pada abad ke-V dan abad ke-VI, nama notarii diberikan secara khusus kepada para
penulis pribadi dari para kaisar, sehingga arti pada umumnya dari notarii hilang dan
pada akhir abad ke-V perkataan notarii diartikan sebagai hofbeambten yang
10
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit., hlm. 4.
11
melakukan berbagai ragam pekerjaan kanselarij kasiar dan semata-mata pekerjaan
administratif. Hofbeambten ada beberapa tingkatan, pekerjaan utama adalah menulis
segala sesuatu yang dibicarakan dalam constitorium kaisar pada acara-acara rapat
kenegaraan. Jabatan notarii ini, kehidupannya sangat dekat dan erat dengan para
penguasa pada zamannya, seperti raja dan paus. Untuk kerajaan-kerajaan di roma
menggunakan istilah Tabularii, yang pada akhirnya juga disebut dengan notaris.
Sedangkan dalam lingkup paus atau pemerintahan gereja, profesi seperti notaris
disebut dengan Tabellio dan Notarius Publicus, yang pada akhirnya lebih dikenal
dengan sebutan Notarius. Secara kebahasaan notaris berasal dari kata Notarius
untuk tunggal dan Notarii untuk jamak. Notarius merupakan pejabat yang
menjalankan tugas untuk pemerintah dan tidak melayani masyarakat pada
umumnya. Mereka yang melayani masyarakat pada umumnya dikenal dengan
sebutan Tabelliones. Tabelliones merupakan pejabat yang melakukan penulisan
untuk masyarakat umum yang membutuhkan keahliannya.11
Fungsi pejabat ini pada dasarnya telah sama dengan fungsi notaris pada zaman
sekarang, namun tidak memiliki sifat resmi karena itulah tu;isan-tulisan yang
dibuatnya tidak bersifat otentik. Pada tahun 537 pekerjaan dan kedudukan dari
tabelliones diatur dalam suatu constitutie meskipun pejabat tabelliones tetap tidak
mempunyai sifat resmi. Pada saat itu tugas penulisan tidak hanya dikerjakan oleh
tabelliones melainkan ada pula pejabat yang dikenal sebagai tabularii. Tabularii
merupakan pejabat yang memiliki tugas administrasi yaitu memegang dan
mengerjakan buku-buku keuangan serta mengadakan pengawasan atas administrasi
11
Ibid., hlm. 10.
12
dan magistrat kota. Tabularii juga bertugas menyimpan surat-surat dan diberi
wewenang untuk membuat akta. Berbeda dengan tabelliones dan notarius, tabularii
telah memiliki sifat resmi karenanya memiliki hak untuk menyatakan secara tertulis
bahwa perbuatan-perbuatan hukum yang ada dari para pihak membutuhkan jasanya.
Meskipun demikian pernyataan secara tertulis dibuat oleh tabularii belumlah
memiliki kekuatan otentik dan belum mempunyai kekuatan ekseskusi.12
Keberadaaan suatu lembaga semacam notariat tidak hanya berkembang di Italia,
namun juga di negara lain, seperti Perancis. Kemunculan notaris di Perancis terjadi
ketika Raja Lodewijk mengangkat notaris sebagai pejabat meskipun hanya berlaku
khusus di kota Paris. Pada tahun 1304 Raja Philips mengangkat para notaris di
seluruh Perancis dan menetapkan perangkat hukumnya. Pada abad ke 13, akta yang
dibuat oleh notaris bersifat sebagai akta umum yang diakui di abad 15 akta notaris
mempunyai kekuatan pembuktian tetapi hal ini tidak pernah diakui secara umum.
Pada saat itu akta notaris belum diterima sebagai alat bukti mutlak mengenai isinya
dan dapat disangkal apabila terdapat bukti sebaliknya dengan alat bukti saksi. Akta
notaris dapat dikesampingkan bila dari keterangan saksi diperoleh bukti bahwa apa
yang diterangkan di dalam akta tersebut keliru. Setelah saat itu akta notaris dibuat
tidak sekedar untuk mengingat kembali peristiwa yang telah terjadi, melainkan
untuk kepentingan pembuktiannya.13
Kekuatan eksekusi akta notaris tidak dijumpai dalam perundang-undangan hukum
Belanda Kuno (Oud Nederlands) hingga berlakunya undang-undang Perancis yang
12
Ibid., hlm. 11. 13
Ibid., hlm. 12.
13
dinamakan Ventose Wet (Undang-Undang No. 25 Ventose Tahun XI) yaitu sekitar
1803 yang mengatur tentang Loi organique du Notariat Ventose Wet kemudian
diberlakukan di negara-negara yang menjadi jajahan Perancis termasuk Belanda.
Amanat Raja tanggal 8 November 1810, Ventose Wet yang memuat peraturan
tentang notariat di Perancis diberlakukan di Belanda. Ketentuan ini menjadi
landasan hukum pemberlakuan hukum Perancis tentang notariat di Belanda.
Belanda dijajah Perancis pada periode tahun 1806 sampai 1813 oleh Raja Louis
Napoleon,sebagai negara jajahan Perancis, Belanda mengadopsi sistem kenotariatan
bergaya Latin yang dianut Perancis.Dekrit Kaisar tanggal 8 November 1910 dan
tanggal 1 Maret 1811 berlakulah undang-undang kenotariatan Perancis di Belanda.
Peraturan buatan Perancis ini (25 Ventose an XI tanggal 16 Maret 1803) sekaligus
menjadi peraturan umum pertama yang mengatur kenotariatan di Belanda.14
Setelah lepas dari kekuasaan Perancis pada tahun 1813, peraturan buatan Perancis
tersebut tetap digunakan sampai tahun 1842, yaitu pada saat Belanda mengeluarkan
Undang-Undang tanggal 19 Juli 1842 (Nederland Staatblad No.20) tentang Jabatan
Notaris. Undang-undang Jabatan Notaris atau Wet op het Notarisambt (Notariswet)
pada dasarnya tetap mengacu pada UU buatan Perancis sebelumnya (Ventosewet)
dengan penyempurnaan pada beberapa pasal, misalnya tentang penggolongan
notaris, dewan pengawas, masa magang, dan proses teknis pembuatan akta. Oleh
karena perkembangan kebutuhan masyarakat maka UU ini mengalami perubahan
14
Ibid., hlm. 14.
14
pada tanggal 24 Desember 1970 Staatblad No.612 dan terakhir tanggal 3 April 1999
Staatblad No. 190.15
2. Sejarah Pengaturan Notaris di Indonesia
Lembaga notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan masuknya
Verenidge Oost Indische Compagnie (VOC) ke Indonesia. Jan Pieterszoon Coen
pada waktu itusebagai Gubernur Jendral di Batavia (sekarang Jakarta) antara tahun
1671 sampai 1629, untuk keperluan para penduduk dan pedagang di Jakarta
menganggap perlu mengangkat seorang notaris, yang disebut Nutarium Publicum,
sejak tanggal 27 Agustus 1620 mengangkat Melchior Kerchem, seorang sekretaris
College van Schepenen (urusan perkapalan kota) di Jakarta untuk merangkap
sebagai notaris yang berkedudukan di Jakarta. Tugas Melchior Kerchem sebagai
notaris dalam surat pengangkatannya, yaitu melayani dan melakukan semua surat
libel, surat wasiat di bawah tangan, persiapan penerangan,akta perjanjian
perdagangan, perjanjian kawin, sirat wasiat dan akta-akta lainnya dan ketentuan-
ketentuan yang perlu di kotapraja.16
Pada tahun 1625 jabatan notaris dipisahkan dari jabatan Sekretaris College van
Schepenen, yaitu dengan dikeluarkan instruksi untuk para notaris pada tanggal 16
Juni 1625. Instruksi ini hanya terdiri dari 10 (sepuluh) pasal, antara lain menetapkan
bahwa notaris wajib merahasiakan segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya dan
tidak boleh menyerahkan salinan-salinan dari akta-aka kepada orang-orang yang
15
Ibid., hlm. 15. 16
Ibid., hlm. 16.
15
tidakberkepentingan. Pada 7 Maret 1822 Staatblad No.11 dikeluarkan Instructie
voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie. Pasal 1 instruksi tersebut
mengatur secara hukum batas-batas dan wewenang dari seorang notaris, dan juga
menegaskan notaris bertugas untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan
maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan
memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan
grossenya, demikian juga memberikan salinannya yang sah dan benar.17
Pada tahun 1860, Pemerintah Belanda menganggap telah tiba waktunya untuk
sedapat mungkin menyesuaikan peraturan-peraturan mengenai notaris di Hindia
Belanda dengan berlaku di Belanda dan oleh karena itu sebagai pengganti peraturan-
peraturan yang lama, maka pada tanggal 1 Juli 1860 ditetapkan Reglement op het
Notaris Ambt in Nederlands Indie (Staatblad Tahun 1860 No.3) atau dikenal dengan
sebutan Peraturan Jabatan Notaris (selanjutnya disebut PJN). Setelah Indonesia
merdeka keberadaan notaris di Indonesia tetap diberlakukan berdasarkan asas
konkordansi, dimana berarti termasuk segala peraturan, lembaga, institusi
dikonversi/dilanjutkan selama tidak bertentangan dengan Pancasila. Oleh karena itu,
Reglement op het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Staatblad Tahun 1860 No.3)
tetap berlaku. Sejak tahun 1948 kewenangan pengangkatan notaris dilakukan oleh
Menteri Kehakiman berdasarkan Peraturan Pemerintah Tahun 1948 No. 60, tanggal
30 Oktober 1948 tentang Laporan Pekerjaan, Susunan, Pimpinan dan Tugas
Kewajiban Kementrian kehakiman.18
17
Ibid., hlm 17. 18
Ibid., hlm 18.
16
Pada tahun 1949 melalui Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den
Haag, Nederland, tanggal 23 Agustus-22 September 1949, salah satu hasil KMB
terjadi Penyerahan Kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia
Serikat untuk seluruh wilayah Indonesia (kecuali Irian Barat).Adanya penyerahan
kedaulatan tersebut, membawa akibat kepada status notaris berkewarganegaraan
Belanda yang ada di Indonesia, harus meninggalkan jabatannya. Oleh karena itu,
terjadi kekosongan notaris di Indonesia, untuk mengisi kekosongan tersebut sesuai
dengan kewenangan yang ada pada Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat
dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1954 menetapkan dan mengangkat wakil
Notaris untuk menjalankan tugas jabatan notaris dan menerima protokol yang
berasal dari notaris yang berkewarganegaraan Belanda.19
PJN yang berlaku sejak tahun 1860 terus dipakai sebagai satu-satunya undang-
undang yang mengatur kenotariatan di Indonesia sampai tahun 2004,
sedangkan dari berbagai segi PJN sudah tidak sesuai dengan perkembangan
jaman. Apabila dibandingkan dengan peraturan induknya yaitu Notariswet
sendiri telah beberapa kali mengalami perubahan untuk menyesuaikan
dengan perkembangan hukum dan bisnis di negeri Belanda, sehinga perubahan
terhadap PJN adalah sebuah hal yang sudah tidak bisa dihindarkan. Perubahan
terhadap PJN baru dapat terlaksana sejak diundangkannya Undang-Undang
No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) pada tanggal 6 Oktober
2004 yang berlaku sebagai Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia berdasarkan
Staatblad 1860 No. 3 yang berlaku sejak tanggal 1 juli 1860 sudah tidak berlaku
19
Ibid., hlm 19.
17
lagi. Sejak diundangkannya UUJN pada tanggal 6 Oktober 2004 tersebut maka
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 91 telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku
lagi Reglement op het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Staatblad Tahun 1860
No.3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 No.
101, Ordonantie 16 September 1931 Tentang Honorarium Notaris; Undang-
Undang No. 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris
Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 No. 101, Tambahan Lembaran
Negara No. 700), Pasal 54 Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 34, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4379), dan Peraturan Pemerintah No. 11
Tahun 1949 Tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.20
UUJN merupakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh
dalam satu UU yang mengatur tentang jabatan Notaris sehingga dapat tercipta
suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di wilayah Negara
Republik Indonesia. UUJN menjadi satu-satunya UU yang mengatur tentang
Jabatan Notaris di Indonesia sejak diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004.
Pada tahun 2014 dilakukan perubahan terhadap UUJN dengan Undang-Undang No.
2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris, yang diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014 sebagai revisi
terhadap UUJN dengan adanya pembaharuan yang terjadi dalam masyarakat.21
20
Ibid., hlm 21. 21
Ibid., hlm 22.
18
3. Notaris Sebagai Pejabat Umum
Istilah pejabat umum dipakai dalam Pasal 1 UUJN sebagai pengganti Staatblad
Nomor 30 tahun 1860 tentang Peraturan Jabatan Notaris, yang dimaksud dengan
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Notaris
dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum, tetapi kualifikasi Notaris sebagai pejabat
umum tidak hanya untuk notaris saja, karena sekarang ini seperti Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) juga diberikan kualifikasi sebagai pejabat umum kepada pejabat
lain selain kepada notaris, bertolak belakang dengan makna dari pejabat umum itu
sendiri, karena seperti PPAT hanya membua akta-akta tertentu saja yang berkaitan
dengan pertanahan dengan jenis akta yang sudah ditentukan, dan Pejabat Lelang
hanya untuk lelang saja.22
Tugas dan kewenangan PPAT berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah No.
24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998
tentang PPAT, PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang
akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pembagian
hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik,
pemberian Hak Tanggungan, pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
22
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2008, hlm. 13.
19
Wewenang notaris pada prinsipnya merupakan wewenang yang bersifat umum,
artinya wewenang ini meliputi pembuatan segala jenis akta kecuali yang
dikecualikan tidak dibuat oleh notaris. Dengan kata lain, pejabat-pejabat lain selain
notaris hanya mempunyai kewenangan membuat akta tertentu saja dan harus
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Notaris adalah
pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan
umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu
akta otentik, menjamin kepasian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan
grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu
peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang
lain.23
Wewenang utama notaris yaitu untuk membuat akta otentik. Otentisitas dari
akta notaris bersumber dari Pasal 1 UUJN dimana notaris dijadikan sebagai
“pejabat umum”, sehingga akta yang dibuat oleh notaris karena kedudukannya
tersebut memperoleh sifat sebagai akta otentik.24
Akta yang dibuat oleh seorang
notaris dalam sistem civil law merupakan akta autentik yang sempurna sehingga
dapa dijadikan alat bukti yang sah di pengadilan.25
4. Kewenangan Notaris
Kewenangan Notaris dalam Pasal 15 Ayat (1) UUJN sampai Pasal 15 Ayat (3)
UUJN, dibagi menjadi tiga, yaitu:26
23
Ibid. hlm. 13. 24
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit., hlm. 48. 25
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Op.Cit., hlm 78. 26
Ibid., hlm. 79.
20
a. Kewenangan Umum Notaris
Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris yaitu
membuat akta secara umum. Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris
sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta
notaris, maka yang dapat dipahami adalah notaris dalam tugas jabatannya
memformulasikan keinginan atau tindakan para pihak ke dalam akta autentik,
dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku. Akta notaris sebagai akta
otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu
dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti yang lainnya. Jika misalnya ada pihak
yang menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka pihak yang menyatakan
tidak benar inilah yang wajib membuktikan pernyataannya sesuai dengan hukum
yang berlaku. 27
b. Kewenangan Khusus Notaris
Kewenangan notaris ini dapat dilihat dalam Pasal 15 Ayat (2) UUJN, yang
mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum
tertentu, seperti mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
di bawah tangan dengan mendaftarkannya di dalam suatu buku khusus,
membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya dalam suatu
buku khusus, membuat akta risalah lelang, dan lain-lain.28
27
Ibid., hlm. 80. 28
Ibid., hlm. 81.
21
c. Kewenangan Notaris yang Akan ditentukan Kemudian
Dalam Pasal 15 Ayat (3) UUJN, dengan kewenangan yang akan ditentukan
kemudian adalah wewenang yang berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang
kemudian (ius constituendum).29
Wewenang notaris yang akan ditentukan
kemudian, merupakan wewenang yang akan ditentukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan uraian di atas, bahwa kewenangan notaris yang
akan ditentukan kemudian tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh lembaga negara (Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan
Rakyat) atau Pejabat Negara yang berwenang dan mengikat secara umum. Dengan
batasan seperti ini, maka peratura perundang-undangan yang dimaksud harus dalam
bentuk UU dan bukan di bawah UU.30
5. Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I.)
Notaris sebagai suatu profesi memiliki persatuan perhimpunan organisasi profesi.
Salah satu organisasi profesi notaris tertua adalah Ikatan Notaris Indonesia,
selanjutnya disebut I.N.I., yang merupakan kelanjutan dari “de Nerderlandsch-
Indische Notarieele Vereeniging” yang dahulu didirikan di Batavia pada 1 Juli
1908.31
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman No. M-01.HT.03.01 Tahun
2003 Pasal 1 butir 13 dinyatakan bahwa “Organisasi Notaris adalah Ikatan Notaris
Indonesia sebagai satu-satunya organisasi pejabat umum yang profesional yang
29
Ibid., hlm 82. 30
Ibid., hlm 83. 31
Freddy Harris dan Lenny Helena, Op.Cit., hlm. 52.
22
telah disahkan sebagai badan hukum.” I.N.I. juga merupakan satu-satunya
organisasi Notaris yang tercantum dalam UUJN.32
Setiap calon notaris yang ingin diangkat wajib mendaftarkan dirinya sebagai
anggota I.N.I., dan lulus ujian kode etik yang diselenggarakan I.N.I.. Ujian ini
penting karena setiap notaris harus mengetahui akidah dasar dalam jabatan notaris,
berikut juga pengetahuan mengenai struktur, anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga I.N.I..33
Setiap notaris juga wajib lulus Ujian Kode Etik yang dilaksanakan
oleh I.N.I. sebagai organisasi yang menaungi dan melakukan pengawasan terhadap
pelanggaran Kode Etik Notaris. Hal ini dikarenakan seorang notaris diharapkan
beretika sebaik-baiknya dalam mengemban ataupun menjalankan jabatan.34
6. Kode Etik Notaris
Pasal 1 angka 2 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) menyatakan
bahwa Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah
seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan lkatan Notaris Indonesia
yang selanjutnya akan disebut "Perkumpulan" berdasarkan keputusan Kongres
Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati
oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan
tugas jabatan sebagai notaris, termasuk didalamnya pars Pejabat Sementara Notaris,
Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus.
32
Ibid., hlm. 53. 33
Ibid., hlm. 54. 34
Ibid., hlm. 50.
23
Kode etik profesi merupakan self control, pengawasan dari organisasi hanya
meliputi sebagian kecil akan terjadinya pelanggaran yang dilakukan individu
bersangkutan. Organisasi juga tidak bisa sepenuhnya mengawasi tiap tindak laku
dari anggota yang dinaungi. Tiap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota
organisasi biasanya berdasarkan adanya laporan dari masyarakat atau rekan profesi.
Adanya harmonisasi penegakan kode etik dari individu bersangkutan dengan rekan
seprofesi, masyarakat dan organisasi profesi. Kode etik harus ditegakkan untuk tetap
menjaga martabat dan integritas kehormatan profesi yang sekaligus juga melindungi
masyarakat dari penyimpangan atau penyalahgunaan keahlian.35
Notaris harus
senantiasa menjalankan jabatannya menurut Kode Etik Notaris yang ditetapkan
dalam Kongres Ikatan Notaris Indonesia yang telah mengatur mengenai kewajiban
dan larangan yang harus dipatuhi oleh Notaris dalam menegakkan Kode Etik
Notaris.36
Seorang notaris harus bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa
tanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan
Notaris. Di dalam pasal 3 Ayat (17) Kode Etik menyebutkan bahwa notaris dan
orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan notaris wajib melakukan
perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan
dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam:
a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
35
Ibid., hlm. 51. 36
Ibid., hlm. 52.
24
b. Penjelasan Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris;
c. Isi Sumpah Jabatan Notaris;
d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga I.N.I..
Ketentuan yang terdapat dalam UUJN juga termasuk dalam Kode Etik. Apabila ada
pelanggaran yang dilakukan terhadap UUJN maka dapat pula dikenakan sanksi
berdasarkan ketentuan Kode Etik. Namun demikian sanksi yang diberikan atas
pelanggaran Kode Etik hanya merupakan sanksi disipliner yang berlaku intern di
dalam organisasi notaris dalam hal ini organisasi notaris yaitu I.N.I.. Sanksi-sanksi
tersebut dapat berupa teguran, peringatan, schorsing (pemecatan sementara) dari
keanggotaan perkumpulan, dan onzetting (pemecatan) dari keanggotaan
perkumpulan.37
Sanksi-sanksi dalam Kode Etik ini juga memerlukan pengawasan
dari Dewan Kehormatan. Dewan Kehormatan Notaris hanya berwenang melakukan
pengawasan dan penjatuhan sanksi untuk pelanggaran-pelanggaran yang diatur
dalam Kode Etik Notaris.38
Ketentuan yang tidak diatur dalam kode etik mungkin diatur dalam UUJN,39
begitu
pula sebaliknya. Sehingga ketika tidak ditemukannya kesalahan dalam kode etik
tidak serta merta hal tersebut bukan pelanggaran jabatan atau sebaliknya. Majelis
Pengawas, Majelis Kehormatan dan Dewan Kehormatan bersama-sama senantiasa
mengawasi dengan baik kepatuhan dan indikasi adanya pelanggaran yang
37
Freddy Harris dan Lenny Helena, Op.Cit., hlm. 54. 38
Ibid., hlm.55. 39
Pelanggaran UUJN menjadi tanggung jawab Majelis Pengawas dan Majelis Kehormatan
25
dilakukan oleh para Notaris, baik ada atau tidak adanya laporan mengenai
pelanggaran tersebut.40
7. Domisili Hukum Notaris
Domisili merupakan berasal dari kata domicile atau woonplaats yang artinya tempat
tinggal. Domisili atau tempat tinggal adalah tempat seseorang dianggap selalu hadir
melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajibannya, meskipun ia bertempat tinggal
di tempat lain. Menurut Pasal 17 KUHPdt, tempat kediaman itu seringkali ialah
rumahnya ataupun kotanya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap orang
dianggap selalu mempunyai tempat tinggal di mana ia sehari-harinya melakukan
kegiatannya atau di mana ia berkediaman pokok. Menetapkan tempat kediaman
seseorang terkadang merupakan suatu hal yang sulit, karena selalu berpindah-
pindah. Untuk memudahkan hal tersebut, maka dibedakan antara tempat kediaman
hukum (secara yuridis) dan tempat kediaman yang sesungguhnya. Tempat tinggal
dapat berupa wilayah atau daerah atau dapat pula berupa rumah kediaman kantor
yang berada dalam wilayah atau daerah tertentu. Tempat tinggal manusia pribadi
biasa disebut tempat kediaman, sedangkan tempat tinggal badan hukum biasa
disebut alamat.41
Pengertian domisili dalam hukum perdata adalah tempat kedudukan resmi yang
dapat berupa tempat tinggal, rumah, kantor atau kota yang mempunyai kedudukan
hak serta kewajiban di mata hukum. Domisili berbeda dengan alamat. Secara uum
40
Freddy Harris dan Lenny Helena, Op.Cit., hlm. 57. 41
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata:Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, 2000,
hlm. 32.
26
domisili adalah kediaman atau tempat tinggal yang tetap dan resmi, sementara
alamat adalah tempat yang biasa digunakan untuk menemui seseorang atau surat
menyurat. Contohnya adalah A orang asli Lampung yang berdomisili di Bandar
Lampung. Saat ini A sedang bekerja di Jakarta dan tinggal bersama saudaranya di
Jalan Durian Sawit Jakarta Selatan, dengan demikian Bandar Lampung adalah
domisilinya dan Jakarta Selatan adalah alamatnya. 42
Domisili atau tempat tinggal terdiri dari tempat tinggal sesungguhnya dan tempat
tinggal yang dipilih. Tempat tinggal sesungguhnya yaitu tempat yang bertalian
dengan hak-hak melakukan wewenang seumumnya. Tempat tinggal sesungguhnya
dibedakan antara tempat tinggal sukarela/bebas yang tidak terikat hubungannya
dengan orang lain dan tempat tinggal yang wajib atau tidak bebas yaitu yang
ditentukan oleh hubungan yang ada antara seseorang dengan orang lain, misalnya
tempat tinggal suami istri, tempat tinggal anak yang belum dewasa di rumah orang
tuanya. Tempat tinggal yang dipilih yaitu tempat tinggal yang berhubungan dengan
hal-hal melakukan perbuatan hukum tertentu saja. Tempat tinggal yang dipilih ini
untuk memudahkan pihak lain atau untuk kepentingan pihak yang memilih tempat
tinggal tersebut. Tempat tinggal yang dipilih ada dua macam yaitu tempat kediaman
yang dipilih atas dasar UU misalnya dalam hukum acara dalam menentukan waktu
eksekusi dari vonis dan tempat kediaman yang dipilih secara bebas misalnya dalam
melakukan pembayaran memilih kantor notaris.43
42
Ibid., hlm. 33. 43
Ibid., hlm. 35.
27
Domisili Notaris adalah adalah suatu tempat yang didaftarkan pertama kali
melakukan laporan kepada walikota, pengadilan negeri, kantor wilayah Badan
Pertanahan Nasional, dan Badan Pertanahan Nasional Kota pada saat pengangkatan..
Misalkan apabila Notaris melaporkan alamat rumahnya dikarenakan kantor dan
alamat rumah merupakan satu tempat, domisili Notaris tersebut sama dengan
rumahnya dan apabila alamat rumah dan kantor berbeda domisili Notaris tersebut
adalah tempat yang ia daftarkan pertama kali saat melakukan laporan untuk
pengangkatannya.
B. Akta dan Kekuatan Pembuktian Akta
1. Pengertian Akta dan Jenis-jenis Akta
Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat
peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian.44
Pada umumnya akta merupakan suatu surat
yang ditandatangani, memuat keterangan tentang kejadian-kejadian atau hal-hal
yang merupakan dasar dari suatu hak atau sesuatu perjanjian dapat dikatakan bahwa
akta itu ialah suatu tulisan dengan mana dinyatakan sesuatu perbuatan hukum.45
Akta terbagi menjadi dua, yaitu:
44
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1988, hlm.
149. 45
R. Tresna, Komentar HIR, Jakarta: PT Pradnya Paramitha, 1993, hlm. 142.
28
a. Akta Otentik
Pasal 1868 KUHPdt menyatakan bahwa akta otentik adalah suatu akta yang (dibuat)
di dalam bentuk yang ditentukan oleh UU, dibuat oleh atau di hadapan pejabat-
pejabat umum yang berwenang untuk itu, di tempat di mana akta dibuatnya.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUJN, Pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta otentik adalah notaris.
Menurut Pasal 1 angka 7 UUJN, Akta notaris yang selanjutnya disebut akta adalah
akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara
yang ditetapkan dalam UU ini. Pasal 1870 KUHPdt menentukan bahwa suatu akta
otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang
yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang
dimuat di dalamnya. Artinya, akta notaris menurut KUHPdt Pasal 1870 dan HIR
Pasal 165 (Rbg 285) yang mempunyai kekuatan pembuktian mutlak dan mengikat
Akta notaris merupakan bukti yang sempurna sehingga tidak perlu lagi dibuktikan
dengan pembuktian lain selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan.
Suatu akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya dapat menjadi akta otentik
apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPdt, yaitu
akta harus dibuat “oleh” atau “di hadapan” seseorang pejabat umum, akta itu harus
dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dan pejabat umum oleh
atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai kewenangan untuk membuat
akta tersebut. Berdasarkan Pasal 1869 KUHPdt Jo Pasal 16 ayat (8) UUJN, bila salah
satu syarat yang ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPdt itu tidak terpenuhi maka akta
29
yang dibuatnya tidak otentik, hanya mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah
tangan apabila akta itu ditandatangani oleh para penghadap.46
Akta otentik dibagi
menjadi dua, yaitu:
(1) Akta otentik yang dibuat oleh pejabat atau yang dinamakan akta relaas atau akta
pejabat (ambtelijke akten)
Akta yang dibuat oleh notaris dapat merupakan suatu akta yang memuat relaas atau
menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan
yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni notaris sendiri, didalam
menjalankan jabatannya sebagai notaris. Dengan kata lain, akta yang dibuat
sedemikian dan yang memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan serta
dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat oleh notaris. Contohnya berita acara rapat
para pemegang saham dalam perseroan terbatas.47
(2) Akta yang dibuat dihadapan notaris atau yang dinamakan akta partij
Akta yang partij adalah akta yang berisi suatu keterangan dari apa yang terjadi
karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan notaris, artinya
diterangkan oleh pihak lain kepada notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk
keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan notaris dan memberikan
keterangan itu atau melakukan perbuatan itu di hadapan notaris, agar keterangan atau
perbuatan itu dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta otentik. Akta yang seperti
46
Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004, hlm
100. 47
G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit., hlm 51-52.
30
itu dinamakan akta yang dibuat dihadapan notaris. Contohnya perjanjian hibah,
wasiat, kuasa, dan lain sebagainya.48
b. Akta di Bawah Tangan
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang
berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum. Berdasarkan pasal 1874 KUHPdt yang
dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah
tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang
dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Akta di bawah tangan terdapat pada
Pasal 1874 KUHPdt sampai Pasal 1880 KUHPdt.49
Adapun yang termasuk akta di
bawah tangan ialah:50
(1) Legalisasi
Legalisasi adalah akta dibawah tangan yang belum ditandatangani, diberikan pada
notaris dan dihadapan notaris ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan,
setelah isi akta dijelaskan oleh notaris kepada mereka.
(2) Waarrmerken (akta dibawah tangan yang didaftar)
Waarrmerken adalah akta dibawah tangan yang didaftarkan untuk memberikan
tanggal yang pasti. Akta yang sudah ditandatangani diberikan kepada notaris untuk
didaftarkan dan beri tanggal yang pasti. Pada waarmerken tidak menjelaskan
48
Ibid., hlm. 52. 49
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung: Alumni, 1992, hlm.
43. 50
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Kode Etik Notaris, Mengenal Profesi Notaris,
Memahami Praktik Kenotariatan, Ragam Dokumen Penting yang diurus Notaris danTips Tidak Tertipu
Notaris, Jakarta: Raih Asa Sukses, 2009, hlm .28.
31
mengenai siapa yang menandatangani dan apakah penandatangan memahami isi
akta. Dengan kata lain waarrmerken adalah suatu surat atau akta atau tulisan yang
dibuat oleh yang berkepentingan yang sudah diberi tanggal dan ditandatangani untuk
diregister atau dicatat dalam suatu buku yang disediakan untuk itu di kantor notaris.
Waarrmerken hanya mempunyai kepastian tanggal saja dan tidak ada kepastian tanda
tangan, pada saat di waarmerking suatu itu sudah ditandatangani oleh yang
bersangkutan. Jadi yang memberikan waarrmerken tidak mengetahui dan karena itu
tidak mengesahkan tentang tanda tangannya.51
2. Kekuatan Pembuktian Akta
Hal terpenting dalam masalah kekuatan pembuktian suatu akta otentik ialah
kekuatan pembuktiannya yang lengkap. Bukti lengkap ialah bukti yang sedemikian
sehingga hakim memperoleh kepastian yang cukup untuk mengabulkan akibat
hukum yang dituntut oleh penggugat, tanpa mengurangi kemungkinan adanya bukti
tentang kebalikannya. Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa sekalipun
suatu akta otentik memiliki suatu kekuatan pembuktian lengkap namun tidak
tertutup kemungkinan untuk suatu pembuktian tentang kebalikannya.52
Menurut Pasal 1870 KUHPdt suatu akta otentik memberikan di antara para pihak
beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka suatu bukti
yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. Akta otentik merupakan suatu
bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu
51
Ibid., hlm. 30. 52
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Bandung: Alumni, 1992, hlm.
405.
32
penambahan pembuktian. Ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan
sempurna.53
Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai
pembuktian sebagai berikut:54
a. Lahiriah ( Uitwendige Bewijskracht )
Kemampuan lahiriah akta notaris merupakan akta itu sendiri untuk membuktikan
keabsahannya sebagai akta otentik. Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta
otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat
akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti
sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta
otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang
menyangkal keontetikan akta notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada Minuta
dan Salinan serta adanya Awal akta (mulai dari judul) sampai dengan akhir akta.55
b. Formal ( Formale Bewisjskracht )
Akta notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut
dalam akta benar dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang
menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang
sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan
kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu)
menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para pihak/
53
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Pradnya Paramitha, 2005, hlm.27. 54
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
Bandung: PT Refika Aditama, 2009, hlm. 72-74. 55
Ibid., hlm. 74.
33
penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan,
didengar oleh notaris (pada akta pejabat/berita acara), dan mencatatkan keterangan
atau pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak). 56
Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan
formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal,
bulan, tahun, dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat,
disaksikan, dan didengar oleh notaris. Selain itu juga harus dapat membuktikan
ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan
di hadapan notaris, dan ketidakbenaran tanda tangan para pihak saksi, dan notaris
ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain,
pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik
untuk menyangkal aspek formal dari akta notaris. Jika tidak mampu membuktikan
ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun.57
c. Materiil ( Materiele Bewijskracht )
Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang tersebut dalam
akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihakpihak yang membuat akta atau
mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian
sebaliknya. Keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat
(atau berita acara), atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan di
hadapan notaris dan para pihak harus dinilai benar. Perkataan yang kemudian
dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang
56
Ibid., hlm.75. 57
Ibid., hlm. 76.
34
datang mengadap notaris yang kemudian/keterangannya dituangkan/dimuat dalam
akta harus dinilai telah benar berkata demikian. Jika ternyata pernyataan/keterangan
para penghadap tersebut menjadi tidak benar, maka hal tersebut tanggungjawab para
pihak sendiri. Dengan demikian, isi akta notaris mempunyai kepastian sebagai yang
sebenarnya, menjadi bukti yang sah di antara para pihak dan para ahli waris serta
para penerima hak mereka.58
C. Tinjauan Umum Jaminan Fidusia
1. Pengertian Jaminan
Berdasarkan Pasal 1131 KUHPdt Jaminan adalah segala barang-barang bergerak
dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi
jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitor itu. Berdasarkan Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR Tahun 1991 tentang
Jaminan Pemberian Kredit yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan
kreditur bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang
diperjanjikan. Jaminan dapat dikatakan juga sebagai agunan, yang mana agunan
berdasarkan Pasal 1 angka 23 UU Perbankan menentukan agunan adalah jaminan
pokok yang diserahkan debitor dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari’ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Perjanjian pengikatan jaminan bersifat accesoir artinya
perjanjian pengikatan jaminan keberadaannya tergantung dari perjanjian pokonya
58
Ibid., hlm. 77.
35
yaitu perjanjian kredit. Tujuan agunan ini untuk mendapatkan fasilitas pemberian
kredit dari bank.59
2. Pengertian Jaminan Fidusia
Berdasarkan pengertian fidusia dan jaminan fidusia yang diatur dalam Pasal 1 UU
No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UU Jaminan
Fidusia) adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan sehagaimana dimuksud dalam UUHT yang tetap berada
dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap
kreditor lainnya.
Jaminan fidusia dapat diuraikan bahwa dalam jaminan fidusia terjadi pengalihan hak
kepemilikan, dimana pengalihan hak kepemilikan atas benda yang menjadi objek
jaminan fidusia dilakukan dengan cara Ganstitutitum possessorium (verklaring van
houderschap) yang berarti pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan
melanjutkan penguasaan atas benda tersebut yang berakibat bahwa pemberi fidusia
seterusnya akan menguasai benda dimaksud untuk kepentingan penerima fidusia.
Benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang dapat
dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud; yang
59
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 2007, hlm.18.
36
terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak
yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.60
3. Objek Jaminan Fidusia
Objek jaminan fidusia sebelum UU Jaminan Fidusia dibentuk, pada umumnya
benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari
benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan
kendaraan bermotor. Oleh karena itu, guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang
terus berkembang, maka menurut UU Jaminan Fidusia ini objek jaminan fidusia
diberikan pengertian yang luas. Berdasarkan UU Jaminan Fidusia objek jaminan
fidusia dibagi menjadi dua, yaitu benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak
berwujud dan benda yang tidak bergerak khususnya benda yang tidak dibebani oleh
hak tanggungan, yang dimaksud sebagai bangunan yang tidak dibebani adalah
Rumah Susun.61
Objek jaminan fidusia ditentukan dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang UU
Jaminan Fidusia dan ditentukan dalam pasal 1 ayat (4) serta pasal 3 UU Jaminan
Fidusia bahwa jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau
jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan
maupun diperoleh kemudian. Dari ketentuan tersebut objek jaminan fidusia bisa satu
benda tertentu atau lebih. Benda-benda tersebut yang menjadi objek jaminan fidusia
adalah benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum, benda
60
Ibid., hlm. 60. 61
J. Satrio, Hukum Jaminan Dan Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2007, hlm.196.
37
berwujud, benda tidak berwujud termasuk piutang, benda bergerak, benda tidak
bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan, benda yang tidak bergerak
yang tidak dapat diikatkan dengan hipotik, benda yang sudah ada maupun terhadap
benda yang diperoleh kemudian, hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek
jaminan fidusia, benda persediaan (inventory, stock perdagangan).62
4. Subjek Jaminan Fidusia
Para pihak yang menjadi subjek jaminan fidusia adalah pemberi dan penerima
fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perorangan atau atau korporasi pemilik benda
yang menjadi objek jaminan fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah orang
perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin
dengan jaminan fidusia. Pemberi fidusia dalam hal ini tidak harus debiturnya
sendiri, bisa pihak lain, dalam hal ini bertindak sebagai penjamin pihak ketiga yaitu
mereka yang merupakan pemilik objek jaminan fidusia yang menyerahkan benda
miliknya untuk dijadikan sebagai jaminan fidusia. Pemberi fidusia yang terpenting
adalah harus memiliki hak kepemilikan atas benda yang akan menjadi objek
jaminan fidusia pada saat pemberian fidusia itu diberikan. Demikian pula dengan
penerima jaminan fidusia, dalam UU Jaminan Fidusia tidak terdapat pengaturan
yang khusus berkaitan dengan syarat penerima fidusia, berarti perseorangan atau
korporasi yang bertindak sebagai penerima fidusia ini bisa warganegara Indonesia
maupun warga negara asing, baik yang berkedudukan di dalam maupun di luar
62
Ibid., hlm. 198.
38
negeri sepanjang digunakan untuk kepentingan pambangunan di wilayah
Indonesia.63
D. Majelis Pengawas Notaris dan Majelis Kehormatan Notaris
Majelis Pengawas Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan
kewajiban untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 67 UUJN menyebutkan bahwa pengawasan atas
Notaris dilakukan oleh Menteri dengan membentuk Majelis Pengawas yang terdiri
dari Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas
Pusat. Pengawasan terhadap notaris merupakan pelaksanaan fungsi pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan dan perilaku notaris. Tugas tersebut
dilaksanakan oleh Majelis Pengawas Notaris sebagai perpanjangan tangan Menteri
Hukum dan HAM RI yang memiliki kewenangan pengawasan notaris.64
Majelis Pengawas berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas unsur pemerintah
Kepala Divisi Pelayanan Hukum sebanyak 3 (tiga) orang, organisasi notaris
sebanyak 3 (tiga) orang dan ahli atau akademisi sebanyak 3 (tiga) orang. Pasal 67
UUJN mengatakan apabila dalam suatu daerah tidak terdapat unsur instansi
pemerintah, keanggotaan dalam Majelis Pengawas diisi dari unsur lain yang
ditunjuk oleh Menteri. Majelis Pengawas Notaris terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu
Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah, dan Majelis Pengawas
Pusat.Majelis Pengawas Daerah dibentuk di kabupaten/kota. Majelis Pengawas
63
Ibid., hlm. 200. 64
Freddy Harris dan Lenny Helena, Op.Cit.,hlm.144.
39
Wilayah dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Provinsi. Majelis Pengawas Pusat
dibentuk dan berkedudukan di Ibukota negara. 65
1. Kewenangan Majelis Pengawas Daerah
Kewenangan Majelis Pengawas diatur dalam Pasal 70 UUJN. Kewenangan Majelis
Pengawas Notaris meliputi:
a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode
Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris;
b. melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;
c. memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
d. menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul notaris yang
bersangkutan;
e. menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima
Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
f. menunjuk notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol
Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (4);
g. menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode
Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam UU ini; dan
h. membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf
b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g kepada Majelis Pengawas
Wilayah.
65
Freddy Harris dan Lenny Helena, Op.Cit., hlm. 151.
40
2. Kewajiban Majelis Pengawas Daerah
Pasal 71 UUJN menyebutkan bahwa kewajiban Majelis Pengawas Daerah ialah:
a. mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan
menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah
tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;
b. membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis
Pengawas Wilayah setempat, dengan tembusan kepada notaris yang
bersangkutan, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Pusat;
c. merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;
d. menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari
Notaris dan merahasiakannya;
e. memeriksa laporan masyarakat terhadap notaris dan menyampaikan hasil
pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, notaris yang
bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris.
f. menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.
3. Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah
Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah menurut Pasal 72 UUJN, yaitu:
a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas
laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;
b. memanggil notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan;
c. memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;
41
d. memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang
menolak cuti yang diajukan oleh notaris pelapor;
e. memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis;
f. mengusulkan pemberian sanksi terhadap notaris kepada Majelis Pengawas Pusat
berupa pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan
atau pemberhentian dengan tidak hormat.
g. membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana
dimaksud.
Keputusan Majelis Pengawas Wilayah tentang sanksi baik peringatan lisan maupun
peringatan tertulis bersifat final.66
4. Kewajiban Majelis Pengawas Wilayah
Kewajiban Majelis Pengawas Wilayah, yaitu:
a. menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf
a, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f kepada notaris yang bersangkutan
dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris; dan
b. menyampaikan pengajuan banding dari notaris kepada Majelis Pengawas Pusat
terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti.
5. Kewenangan Majelis Pengawas Pusat
Pasal 77 UUJN yang menyebutkan bahwa kewenangan Majelis Pengawas Pusat
ialah:
66
Freddy Harris dan Lenny Helena, Op.Cit., hlm. 154.
42
a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam
tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
b. memanggil notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud;
c. menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; dan
d. mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat
kepada Menteri.
6. Majelis Kehormatan Notaris
Berdasarkan Pasal 1, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7
Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris, Majelis Kehormatan Notaris
adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pembinaan
Notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk kepentingan
penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi minuta akta dan
pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta
atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.
Pembentukan Majelis Kehormatan Notaris adalah amanah UUJN, Pasal 66 A
memerintahkan bahwa untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut
umum atau hakim terhadap pengambilan minuta akta dan pemanggilan notaris,
diperlukan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris. Menteri membentuk Majelis
Kehormatan Notaris yang berjumlah 7 (tujuh) orang, terdiri atas unsur notaris
sebanyak 3 (tiga) orang, pemerintah sebanyak 2 (dua) orang), dan ahli atau
43
akademisi sebanyak 2 (dua) orang. 67
Majelis Kehormatan Notaris terdiri atas
Majelis Kehormatan Pusat dan Majelis Kehormatan Wilayah. 68
Majelis Kehormatan Pusat dibentuk oleh Menteri dan berkedudukan di ibukota
Negara Republik Indonesia. Sedangkan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah
dibentuk oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri dan berkedudukan di Ibukota
Provinsi. Komposisi dari susunan Majelis Kehormatan ditunjukan untuk menjaga
obyektifitas dalam menjalankan dan melakukan penilaian dalam menjalankan
tugasnya.69
67
Habib Adjie dan Muhammad Hafidh, Memahami Majelis Kehormatan Notaris, Semarang:
Sinergi Offset, 2016, hlm. 24. 68
Ibid., hlm 27. 69
Ibid., hlm 28.
44
E. Kerangka Pikir
Berdasarkan kerangka konsep dan teori yang telah diuraikan di atas, maka yang
menjadi kerangka pikir peneliti adalah sebagai berikut:
Keterangan:
Berdasarkan bagan di atas, para pihak bersama dengan notaris membuat akta
otentik yang diperlukan untuk kepentingan para pihak. Salah satu pihak yang
memiliki kepentingan untuk membuat akta otentik adalah debitor dan kreditor
dalam akta perjanjian kredit. Bank dalam melakukan perjanjian kredit juga
melakukan perjanjian pengikatan jaminan (accesoir) sebagai penerapan salah satu
prinsip 5 c yaitu collateral atau agunan, maka saat dipenuhi syarat perjanjian kredit
pada bank harus diikat dengan adanya jaminan. Jaminan dalam perjanjian kredit
dibuat dalam suatu akta jaminan yang meliputi akta pembebanan hak tanggungan
Para pihak Notaris
Akta yang dibuat Notaris di
dalam wilayah kerjanya
Pembuatan Akta Jaminan Fidusia di
muka Notaris
Kedudukan hukum
Sanksi
Akta yang dibuat Notaris di luar
wilayah kerjanya
Kedudukan hukum
45
(APHT) sebagai akta pelengkap maupun akta jaminan fidusia sebagai akta
tambahan pada akta perjanjian kredit. Akta jaminan fidusia merupakan perjanjian
pengikut atau tambahan (accesoir) dari perjanjian pokok yang telah dibuat
sebelumnya yaitu perjanjian kredit. Di dalam menjalankan prakteknya, di luar
jaminan pokok yaitu jaminan hak tanggungan, terdapat banyak pihak yang
menyertakan akta jaminan fidusia sebagai jaminan tambahan atas kekurangan nilai
dari jaminan pokok tersebut.
Di dalam pembuatan akta jaminan fidusia terdapat kemungkinan bahwa objek yang
dijadikan jaminan fidusia berada di luar wilayah kerja notaris dan perjanjian dibuat
di luar wilayah kerja notaris. Sebagai contoh, bagaimana apabila terdapat seseorang
yang melakukan suatu perjanjian fidusia dimana perjanjian tersebut dilakukan di
Bandar Lampung dan objek berada di Bandar Lampung, sedangkan pihak tersebut
ingin membuat akta perjanjian fidusia dengan menggunakan Notaris yang berada di
DKI Jakarta. Hal tersebut dapat mempengaruhi kedudukan seorang Notaris yang
hanya memiliki wilayah kerja satu Provinsi dan dilarang untuk membuat akta di
luar wilayahnya sesuai yang telah ditentukan dalam Pasal 17 UUJN dan Pasal18
UUJN.
Notaris dalam hal membuat sebuah akta otentik harus memenuhi ketentuan
Undang-Undang yang berlaku, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris dan harus melaksanakan tugasnya sesuai dengan Kode Etik Notaris. Notaris
46
wajib membuat akta di dalam wilayahnya apabila terbukti melanggar maka Majelis
Pengawas Notaris akan memberikan sanksi.
Berdasarkan uraian singkat di atas, maka perlu kita ketahui bagaimanakah
pelaksanaan pembuatan akta jaminan fidusia, kedudukan akta jaminan fidusia yang
dibuat oleh notaris di luar wilayah kerjanya serta sanksi yang diberikan apabila
tedapat akta jaminan fidusia yang dibuat di luar wilayah kerja notaris itu sendiri
dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Selain itu,
sebagai suatu perbandingan, perlu kita ketahui pula bagaimanakah kedudukan akta
notaris yang dibuat sesuai dengan aturan yang berlaku pada UUJN maupun Kode
Etik Notaris, yaitu dengan membuat akta di dalam wilayah kerja notaris itu sendiri.
47
III. METODE PENELITIAN
Penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukan hanya
sekedar mengamati dengan teliti terhadap sesuatu objek yang mudah terpegang, di
tangan. Penelitian merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris yaitu research, yang
berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari). Dengan demikian secara
penelitian berarti mencari kembali.70
Penelitian pada umumnya bertujuan untuk
menemukan, mengembangkan, atau menguji kebenaran suatu pengetahuan.
Menemukan berarti berusaha memperoleh sesuatu untuk mengisi kekosongan atau
kekurangan. Mengembangkan berarti memperluas dan menggali lebih dalam
sesuatu yang sudah ada. Menguji kebenaran dilakukan jika apa yang sudah ada
masih atau menjadi diragu-ragukan kebenarannya.71
Berdasarkan segi fokus kajiannya, penelitian hukum dapat dibedakan menjadi tiga
tipe yaitu penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif-empiris atau
normatif-terapan, dan penelitian hukum empiris.72
70
Sunggono Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2001, hlm. 27. 71
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Salatiga: Ghalia Indonesia, 1982, hlm,
15. 72
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2004, hlm. 52.
48
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif-empiris.
Penelitian hukum normatif-empiris pada dasarnya merupakan penggabungan
antara penelitian hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur
empiris. Metode penelitian normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap
peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat.73
Penelitian
normatif bermaksud untuk mempelajari kaedah hukum yaitu dengan cara
mempelajari, menelaah, peraturan perundang-undangan konsep- konsep, dan
teori-teori yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
Unsur normatif dalam penelitian ini adalah dengan mengkaji Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris, bahan-bahan pustaka yang terkait akta notaris,
jabatan profesi notaris, Kode Etik Notaris, organisasi notaris, Majelis Pengawas
Notaris serta Majelis Kehormatan Notaris. Unsur empiris penilitan ini berasal dari
data yang dihimpun dari Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I), Majelis Kehormatan
Notaris, dan Majelis Pengawas Notaris di Bandar Lampung sebagai data
pendukung untuk mengetahui pelaksanaan pembuatan akta yang dibuat oleh
Notaris di Bandar Lampung, kedudukan hukum dari suatu akta yang dibuat di luar
wilayah kerja notaris serta sanksi yang diberikan apabila terdapat akta yang dibuat
di luar wilayah kerja notaris.
73
Ibid., hlm. 102.
49
B. Tipe Penelitian
Tipe penelitian dalam penulisan ini adalah tipe penelitian deskriptif. Tipe
penelitian deskriptif merupakan tipe penelitian yang bersifat pemaparan dan
bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan
hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai
gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam
masyarakat.74
Pada penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi secara lengkap dan jelas
mengenai pelaksanaan pembuatan akta yang dibuat oleh notaris di Bandar
Lampung, kedudukan hukum akta yang dibuat oleh notaris di luar wilayah kerja,
dan upaya hukum yang dilakukan apabila terdapat akta yang dibuat oleh notaris di
luar wilayah kerjanya.
C. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis
empiris dilakukan dengan meneliti secara langsung ke lapangan untuk melihat
secara langsung penerapan peraturan perundang-undangan atau aturan hukum
yang berkaitan dengan penegakan hukum, serta melakukan wawancara dengan
beberapa responden yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai
pelaksanaan penegakan hukum tersebut. Pendekatan dalam masalah yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris dengan tipe
74
Ibid., hlm. 50.
50
nonjudicial case study yaitu pendekatan studi kasus hukum tanpa konflik.75
Penelitian ini dilakukan dengan penelitian lapangan yang ditujukan pada
kewenangan notaris dalam melaksanakan jabatannya.
D. Data dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang didapat oleh peneliti langsung dari
sumbernya dalam penelitian ini sumber yang dimaksud adalah notaris. Data
sekunder yaitu data yang diperoleh melalui bahan pustaka dengan cara
mengumpulkan dari berbagai sumber bacaan yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti. Data sekunder, terdiri dari:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari
berbagai macam peraturan, Undang-Undang dan peraturan lainnya, yang meliputi:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
b. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia;
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
d. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02 Tahun 2004
tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan
Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris;
75
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 87.
51
e. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 25 Tahun 2014
tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, Pemberhentian, dan
Perpanjangan Masa Jabatan Notaris;
f. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang PPAT
g. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2016
tentang Majelis Kehormatan Notaris;
h. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR Tahun 1991
tentang Jaminan Pemberian Kredit;
i. Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I.).
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer yang bersumber dari literature-literatur, makalah,
dokumen, serta tulisan ilmiah yang terkait dengan permasalahan ini.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, ensiklopedia, dan internet yang
terkait dengan penelitian ini.
52
E. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Untuk memenuhi data-data yang
dibutuhkan maka metode pengumpulan data yang digunakan ialah sebagai
berikut:
1. Studi Wawancara
Proses wawancara dilakukan berdasarkan pertanyaan terstruktur yang disusun
oleh peneliti. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data pendukung dalam
penelitian ini. Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh
keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu, dalam suatu wawancara
terdapat dua pihak yang mempunyai kedudukan yang berbeda yaitu pengejar
informasi yang biasa disebut pewawancara atau interviewer dan pemberi
informasi yang disebut informan atau responden. Terkait hal ini, pewawancara
ialah peneliti. Sedangkan proses wawancara dilakukan di Majelis Pengawas
Daerah Notaris kota Bandar Lampung, Majelis Kehormatan Wilayah Lampung,
dan Ikatan Notaris Indonesia Lampung untuk mendapatkan data pendukung guna
mengetahui pelaksanaan pembuatan akta yang dibuat oleh Notaris di Bandar
Lampung, kedudukan hukum akta yang dibuat oleh Notaris di luar wilayah kerja,
dan upaya hukum yang dilakukan apabila terdapat akta yang dibuat oleh Notaris
di luar wilayah kerjanya.
Wawancara dilakukan kepada 3 (tiga) orang narasumber, yaitu:
a. Notaris Tony Azhari, S.H.
Tony Azhari, S.H. adalah Notaris yang berkedudukan di Bandar Lampung dan
merupakan Pj. Ketua Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I). Notaris Tony Azhari, S.H.
53
diresmikan melalui Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
RI No. C-458.HT.03.01-TH.2003 dan dilantik pada 23 Agustus 2003. Kantor
Notaris Tony Azhari, S.H. beralamat di Jalan Gajah Mada No.107, Tanjung
Agung Raya, Kedamaian, Bandar Lampung. Notaris Tony Azhari, S.H. sudah 15
tahun berprofesi sebagai seorang notaris, Notaris Tony Azhari, S.H. juga
merupakan Pj. Ketua Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I)., oleh karena itu Notaris
Tony Azhari, S.H. memiliki pengalaman yang memadai sebagai narasumber
dalam penelitian ini.
b. Notaris Asvi Maphilindo Volta, S.H.
Asvi Maphilindo Volta, S.H. adalah notaris yang berkedudukan di Bandar
lampung dan merupakan Ketua Majelis Kehormatan Notaris Bandar Lampung.
Notaris Asvi Maphilindo Volta, S.H. diresmikan melalui Surat Keputusan Menteri
Hukun dan Perundang-undangan Republik Indonesia No. C-301.H.T.03.02-
TH.2000 dan dilantik pada 21 Juni 2000. Kantor Notaris Asvi Maphilindo Volta,
S.H. beralamat di Jalan Diponegoro No.31 H-1, Teluk Betung, Sumur Batu,
Bandar Lampung. Notaris Asvi Maphilindo Volta, S.H. sudah 18 tahun berprofesi
menjadi seorang notaris dan merupakan Ketua Majelis Kehormatan Notaris
Bandar Lampung, oleh karena itu Notaris Asvi Maphilindo Volta, S.H. memiliki
pengalaman yang memadai sebagai narasumber.
c. Sri Yuliani, S.H., M.H.
Sri Yuliani, S.H., M.H. merupakan Ketua Majelis Pengawas Notaris Bandar
Lampung. Sri Yuliani, S.H., M.H. telah menjabat sebagai Ketua Majelis
54
Pengawas Notaris kota Bandar Lampung selama 2(dua) periode atau selama dua
tahun dan telah menjadi anggota Majelis Pengawas Notaris selama 12 (dua belas)
tahun. Oleh karena itu, narasumber memiliki pengalaman yang memadai untuk
dijadikan sebagai narasumber penelitian ini.
2. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu melakukan
serangkaian kegiatan studi dokumentasi dengan cara membaca dan mengutip
literatur-literatur, mengkaji peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan permasalahan yang dibahas.
F. Metode Pengolahan Data
Tahap-tahap pengolahan data dalam penelitian ini adalah:
1. Pemeriksaan Data (editing)
Pemeriksaan data yaitu pembenaran apakah data yang terkumpul melalui studi
pustaka, dokumen, dan wawancara sudah dianggap lengkap, relevan, jelas, tidak
berlebihan, dan tanpa kesalahan.
2. Penandaan Data (coding)
Penandaan Data yaitu pemberian tanda pada data yang diperoleh, baik berupa
penomoran ataupun penggunaan tanda atau simbol atau kata tertentu yang
menunjukkan golongan/kelompok/klasifikasi data menurut jenis dan sumbernya,
dengan tujuan untuk menyajikan data secara sempurna, memudahkan rekonstruksi
serta analisis data.
55
3. Penyusunan/Sistematisasi Data (constructing/systematizing)
Penyusunan/sistemasisasi data yaitu kegiatan menabulasi secara sistematis data
yang sudah diedit dan diberi tanda dengan mengelompokkan secara sistematis
data yang sudah diedit dan diberi tanda itu menurut klasifikasi data dan urutan
masalah.
G. Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif
dilakukan dengan mendeskripsikan serta menggambarkan data dan fakta yang
dihasilkan dari suatu penelitian di lapangan dengan suatu interpretasi, evaluasi,
dan pengetahuan umum. Analisis data dilakukan secara deskripstif kualitatif,
artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian
kalimat yang mudah dibaca, dimengerti untuk diinterpretasikan dan ditarik
kesimpulan. Data kemudian dianalisis dengan metode induktif, yaitu suatu cara
berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum dilanjutkan dengan
penarikan kesimpulan yang bersifat khusus untuk mengajukan saran-saran. Serta
disajikan tersusun secara sistematis sehingga diberikan penafsiran dan gambaran
yang jelas sesuai dengan pokok bahasan untuk kemudian ditarik kesimpulan-
kesimpulan terhadap permasalahan dalam penelitian ini.
86
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan dari penelitian ini
adalah:
1. Syarat formal dan materil serta prosedur dalam pembuatan akta jaminan fidusia
harus dipenuhi agar menjadi akta otentik yang sah dan sempurna. Syarat formal
pembuatan akta jaminan fidusia harus berdasarkan Pasal 5 UU Jaminan Fidusia,
yaitu disusun dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia.
Syarat materil dalam membuat akta jaminan fidusia sesuai Pasal 6 UU Jaminan
Fidusia hal-hal yang harus dipenuhi adalah adanya identitas pihak Pemberi dan
Penerima Fidusia, data perjanjian pokok yang dijamin fidusia, uraian mengenai
benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, nilai penjaminan, dan nilai Benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Proses pembuatan akta jaminan fidusia
yaitu penerima fidusia menghadap notaris dan pembuatan akta jaminan fidusia
dilakukan dimana setelah akta jaminan fidusia telah dibuat maka harus
dilakukan pendaftaran akta jaminan fidusia untuk mendapatkan sertifikat
jaminan fidusia.
2. Kedudukan hukum akta otentik yang dibuat di luar wilayah kerja Notaris adalah
akta yang bersangkutan kehilangan otensitasnya atau dapat dikatakan bahwa
87
akta yang dibuatnya itu tidak otentik serta mempunyai kekuatan seperti akta
yang dibuat di bawah tangan. Notaris dalam pembuatan akta otentik terdapat
pengecualian untuk membuat akta di luar wilayah kerjanya yaitu ketentuan Pasal
942 jo. 937 KUHPdt mengharuskan Notaris untuk menjalankan jabatannya di
luar wilayahnya. Penyerahan surat wasiat rahasia atau surat wasiat olografis
tertutup untuk dibuka oleh Balai Harta Peninggalan termasuk dalam tugas
jabatan Notaris (notariele ambtsbediening) dan penyerahan surat-surat wasiat
sedemikian menurut Pasal 942 KUHPdt harus dilakukan kepada Balai Harta
Peninggalan di dalam daerah siapa warisan tersebut terbuka, dalam hal tersebut
Notaris diperbolehkan untuk membuat akta di luar wilayah kerjanya.
3. Pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Majelis Kehormatan Notaris dan
Majelis Pengawas Notaris yang senantiasa selalu melakukan pembinaan agar
Notaris bekerja sesuai dengan ketentuan dalam UUJN dan Kode Etik Notaris.
Apabila Notaris terbukti melakukan pelanggaran dengan membuat akta di luar
wilayah kerjanya, maka sanksi yang diberikan adalah dengan memberikan
peringatan tertulis, melakukan pemberhentian sementara, dan diberhentikan
secara hormat.
B. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah pembuatan akta Notaris harus memenuhi syarat
dan prosedur yang telah ditentukan dan mengikuti format akta notaris yang telah
yang telah dibakukan oleh Depkumham maupun organisasi Notaris itu sendiri.
Pembuatan akta jaminan fidusia harus memenuhi ketentuan pada UU jaminan
88
fidusia agar akta yang dibuat dapat menjadi akta otentik yang sah dan berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak. Notaris harus membuat akta di dalam
wilayah kerjanya agar sesuai dengan kewenangannya yang telah diatur dalam UUJN
dan dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai UUJN serta Kode Etik Notaris.
Apabila Notaris membuat akta di luar wilayah kerjanya hal tersebut tidak hanya
dapat merugikan Notaris tetapi juga dapat merugikan para pihak yang bersangkutan.
Sanksi yang telah ditentukan apabila terdapat Notaris yang membuat akta di luar
wilayah kerjanya diharapkan dapat menjadi pertimbangan Notaris agar selalu
menjalankan tugasnya sesuai dengan kewenangannya dan selalu mematuhi Kode
Etik Notaris di dalam menjalankan jabatannya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku/Literatur
Adjie, Habib. 2009. Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat
Publik. Bandung: PT Refika Aditama.
. 2008. Hukum Notaris Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Adjie, Habib dan Muhammad Hafidh. 2016. Memahami Majelis Kehormatan Notaris.
Semarang: Sinergi Offset.
Bambang, Sunggono. 2001. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Harris, Freddy dan Lenny Helena. 2017. Notaris Indonesia. Jakarta: PT Lintas Cetak Djaja.
Hermansyah. 2005. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Kamelo, H. Tan. 2006. Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang didambakan.
Bandung: Alumni.
Koesoemawati, Ira dan Yunirman Rijan. 2009. Kode Etik Notaris, Mengenal Profesi Notaris,
Memahami Praktik Kenotariatan, Ragam Dokumen Penting yang diurus Notaris danTips
Tidak Tertipu Notaris. Jakarta: Raih Asa Sukses.
Kohar, A. 1983. Notaris dalam Praktek Hukum. Bandung: Alumni.
Makarao, Taufik. 2004. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Meliala, Djaja S. 2007. Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan.
Bandung: Nuansa Aulia.
Mertokusumo, Sudikno. 1988. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
Naja, H.R Daeng. 2005. Hukum Kredit dan Bank Garansi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Notodisoerjo, R. Soegondo. 1982. Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, cet. 1.
Jakarta: CV Rajawali.
Samudera, Teguh. 1992. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Bandung: Alumni.
Satrio, J. 2007. Hukum Jaminan Dan Hak-Hak Jaminan Kebendaan. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
Setiawan. 1992. Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata. Bandung: Alumni.
Soemitro,Ronny Hanitijo. 1982. Metode Penelitian Hukum. Salatiga: Ghalia Indonesia.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. 2000. Hukum Perdata: Hukum Benda. Yogyakarta: Liberty.
. 2007. Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty.
Subekti. 2005. Hukum Pembuktian. Jakarta: PT Pradnya Paramitha.
Suharno. 2003. Analisa Kredit. Jakarta: Djambatan.
Suharnoko. 2007. Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Prenada Kencana.
Tobing, G.H.S. Lumban. 1996. Peraturan Jabatan Notaris, Cet 3. Jakarta: Erlangga.
Tresna, R. 1993. Komentar HIR. Jakarta: PT Pradnya Paramitha.
B. Undang-Undang dan Peraturan Lainya
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02 Tahun 2004 tentang Tata
Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja,
dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 25 Tahun 2014 tentang Syarat dan
Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, Pemberhentian, dan Perpanjangan Masa Jabatan
Notaris.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis
Kehormatan Notaris.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.
37 Tahun 1998 tentang PPAT
Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR Tahun 1991 tentang
Jaminan Pemberian Kredit.
Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I.).
C. Website
http://arkokanadianto.com/2017/05/perjanjian-sebaiknya-akta-notaris-atau-bawah-tangan/
diakses pada Kamis, 22 Maret 2018-10.45 WIB.
https://notariscimahi.co.id/akta-notaris/pengertian-akta-notaris-syarat-prosedur-pembuatan-
akta-notaris/ diakses pada Sabtu, 28 April 2018-19.30 WIB