Post on 22-Aug-2019
i
KATA PENGANTAR DIREKTUR PEMBERDAYAAN WAKAF
Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt atas rahmat dan inayah-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw dan keluarganya.
Buku Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis ini disusun sebagai panduan bagi para pengelola wakaf (Nazhir) agar dapat memberdayakan tanah-tanah wakaf secara produktif. Sebagaimana kita ketahui bersama, banyak tanah wakaf di Indonesia yang belum diberdayakan sehingga kurang memberi manfaat nyata di tengah-tengah masyarakat.
Diharapkan buku ini menjadi salah satu rujukan dalam mengembangkan wakaf masa depan untuk kesejahteraan masyarakat banyak. Buku ini berisi kajian strategis mengenai pengelolaan dan pemberdayaan wakaf dan sekaligus panduan praktis bagi pengoptimalan fungsi Nazhir agar berfungsi sebagaimana mestinya.
Kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian buku ini, kami ucapkan terima kasih. Semoga Allah swt senantiasa meridhai usaha kita semua. Amin.
Wassalaam,
Jakarta, Juli 2006
Direktur, Dr. H. Sumuran Harahap, MH, MM NIP. 150 150 192 389
ii
KATA SAMBUTAN DIRJEN BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM
Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
Salah satu upaya yang dilakukan Departemen Agama dewasa ini adalah memberdayakan wakaf yang merupakan salah satu instrument dalam membangun kehidupan social ekonomi umat. Dalam hubungan ini Departemen Agama akan terus berupaya mendorong dan memfasilitasi pemberdayaan tanah wakaf produktif strategis yang tersebar di wilayah tanah air.
Bagian-bagian penting dari konsep pemberdayaan tanah wakaf produktif strategis, terutama mengenai potensi dan peluang maupun hambatan dan tantangan pengembangannya perlu ditulis secara sistematis dan dipublikasikan agar dapat dipahami oleh semua pihak yang terkait.
Untuk itu, kami menyambut baik penerbitan buku ini karena memuat hal-hal pokok yang perlu disosialisasikan di lingkungan masyarakat, organisasi massa Islam, dan para Nazhir yang mengelola tanah wakaf.
Dengan kehadiran buku ini diharapkan perhatian terhadap pemberdayaan tanah wakaf lebih meningkat sesuai dengan harapan dan keinginan kita bersama.
Semoga Allah swt menyertai niat dan upaya yang kita lakukan.
Wassalaam, Jakarta, Juli 2006 Direktur Jenderal, Prof. Dr. Nasaruddin Umar NIP. 150
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………. i Kata Sambutan……………………………………………………………. ii
Bagian Pertama Pendahuluan…………………………………………………………….. 1 A. Aspek Histories Tanah Wakaf………………………………… 1 B. Aspek Teologis Tanah Wakaf…………………………………. 7 C. Aspek Sosiologis Tanah Wakaf……………………………….. 12 Bagian Kedua Dasar Hukum Wakaf………………………………………………….. 17 A. Dasar Hukum Islam……………………………………………….. 17 B. Dasar Hukum Pemerintah RI
1. Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 20 2. Undang-undang No. 60 Tahun 1960 tentang
Pokok Agraria……………………………………………….…… 26 3. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977…….……. 28 4. Inpres RI No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI…….…….. 30
Bagian Ketiga Potensi dan Peluang……………………………………………………. 35
A. Banyaknya Harta Wakaf yang Belum Dikelola Secara Optimal……………………………………………………….. 35
B. Sumber Daya Manusia (SDM) dalam Pengelolaan Wakaf Produktif…………………………………… 39
C. Kesadaran Umat Islam Terhadap Penerapan Sistem Ekonomi Syariah…………………………………………. 43
D. Dukungan Pemerintah dan Kondisi Politik dalam Pemberdayaan Civil Society ……………………………. 48
2
E. Banyaknya perbankan Syari’ah yang Siap Mengelola Wakaf Produktif……………………………… 50
Bagian Keempat Hambatan dan Tantangan…………………………………………… 59
A. Paham Umat Islam Tentang Wakaf………………………….. 59 B. Banyak Tanah Wakaf yang Tidak Strategis
dan Pro-kontra Mengenai Pengalihan Wakaf untuk Tujuan Produktif………………………………… 67
C. Banyaknya Tanah Wakaf yang Belum Bersetifikat………. 74 D. Nazhir Masih Tradisional-Konsumtif.……………………….. 75 Bagian Kelima Pengembangan……………………………………………………………. 78 A. Program Jangka Pendek…………………………………………… 79 B. Program Jangka Menengah dan Panjang……………………. 89 C. Strategi Pengembangan dan Pemberdayaan……………….. 114 Bagian Keenam Daftar Pustaka……………………………………………………………… 122
Bagian Pertama
PENDAHULUAN
A. Aspek Historis Tanah Wakaf
Perwakafan tanah dan tanah wakaf di Indonesia adalah termasuk dalam bidang Hukum
Agraria, yaitu sebagai perangkat peraturan yang mengatur tentang bagaimana penggunaan dan
pemanfaatan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia, untuk kesejahteraan bersama seluruh
rakyat Indonesia, bagaimana hubungan hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa
serta hubungan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
Oleh karena perwakafan di Indonesia umumnya berobyek tanah, maka masalah perwakafan tanah
diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) dalam pasal 49 ayat (3) yang berbunyi :
“Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Pelaksanaan dan pengaturan perwakafan tanah hak milik di Indonesia dapat dibagi dalam tiga
kurun waktu:
- Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.
- Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, sebelum adanya Peraturan pemerintah No.
28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
1
- Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah
No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik.
Sebelum Kemerdekaan RI
Lembaga perwakafan sebenarnya sudah sering
dilaksanakan oleh orang-orang Indonesia yang beragama Islam jauh sebelum kemerdekaan. Hal
ini wajar karena di Indonesia banyak berdiri
kerajaan-kerajaan Islam, seperti Demak, Pasai dan sebagainya.
Sekalipun lembaga perwakafan itu merupakan lembaga yang berasal dari ajaran agama Islam,
tetapi seolah-olah sudah merupakan kesepakatan di antara para ahli hukum bahwa lembaga
perwakafan tersebut merupakan masalah dalam Hukum Adat Indonesia, sebab diterimanya
lembaga ini berasal dari suatu kebiasaan dalam pergaulan kehidupannya. (Ahmad azhar Basyir,
1977, 13, sebagaimana dikuti oleh Drs. A. Faishal Haq dan Drs. H. A. Saiful Anam, 1994, 30-31).
Maka tidak jarang orang membangun masjid atau pesantren untuk kepentingan bersama secara
bergotong royong.
Sejak zaman dahulu persoalan tentang wakaf ini telah di atur dalam Hukum Adat yang sifatnya
tidak tertulis dengan mengambil sumber dari Hukum Islam. Di samping itu oleh Pemerintah
Kolonial dahulu telah pula dikeluarkan berbagai
2
peraturan yang mengatur tentang persoalan
wakaf, antara lain :
(a) Surat Edaran Sekretaris Governemen pertama tanggal 31 Januari 1905, No. 435,
sebagaiman termuat di dalam Bijblad 1905 No. 6196, tentang Toezict op den bouw van
Muhammedaansche bedehuizen. Dalam Surat Edaran ini sekalipun tidak diatur secara
khusus tentang wakaf, akan tetapi dinyatakan bahwa pemerintah tidak bermaksud melarang
atau menghalang-halangi orang Islam memenuhi keperluan keagamaannya. Tetapi
untuk pembuatan tempat-tempat ibadah, baru boleh dilaksanakan apabila benar-benar
dikehendaki oleh kepentingan umum. Surat Edaran tersebut ditujukan kepada para
Kepala Wilayah di Jawa dan Madura kecuali
daerah Swapraja, sepenjang belum dilakukan pendaftaran tanah-tanah atau rumah ibadah
Islam yang ada di Kabupaten masing-masing. Dalam daftar tersebut supaya diusulkan asal-
usulnya, ada pekarangannya atau tidak, serta ada wakafnya atau tidak. Kecuali itu, Bupati
diwajibkan pula untuk benda-benda tak bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari
peredaran umum,baik dengan nama wakaf ataupun dengan nama yang lain.
(b) Surat Edaran dari Sekretaris Governemen tanggal 4 Juni 1931 No. 1361/A, yang dimuat
dalam Bijblad 1931 No. 125/3 tentang Toezict van de Regeering op Mohammedaansche
bedehuizen, Vrijdagdiensten en wakafs. Syrat
3
Edaran itu pada garis besarnya memuat
ketentuan agar Bibblad tahun 1905 No. 6169
diperhatikan dengan baik, dengan maksud supaya mendapatkan suatu register yang
berguna untuk memperoleh kepastian hukum dari harta wakaf ini. Untuk mewakafkan harta
tetap diperlukan izin Bupati, yang menilai permohonan itu hanya dari segi tempat harta
tetap itu dam maksud pendirian. Bupati memberi perintah supaya wakaf yang
diizinkannya dimasukkan ke dalam daftar, yang dipelihara oleh Ketua Pengadilan
Agama. Dari setiap pendaftaran diberitahukan kepada Asisten Wedana untuk bahan baginya
dalam pembuatan laporan kepada Kantor Landrente.
(c) Surat Edaran dari Sekretaris Governemen
tanggal 24 Desember 1934 No. 1361 No. 3088/A sebagaiman termuat dalam di dalam
Bijblad tahun 1934 No. 13390 tentang Toezict van de Regeering op Mohammedaansche
bedehuizen, Vrijdagdiensten en wakafs. Surat Edararan ini sifatnya hanya mempertegas apa
yang disebutkan dalan Surat Edaran sebelumnya, yang isinya memberikan
wewenang kepada Bupati untuk memimpin dan menyelasikan perkara, jika untuk tanah-
tanah tersebut ada persengketaan, asal diminta oleh para pihak yang bersengketa.
(d) Surat Edaran Sekretaris Governemen tanggal 27 Mei 1935 No. 1273/A sebagaimana
termuat dalam Bijblad 1935 No. 13480. Surat
4
Edaran inipun bersifat penegasan terhadap
surat-surat edaran sebelumnya, yaitu khusus
mengenai tata cara perwakafan, sebagai realisasi dan ketentuan Bijblad No.
6169/1905 yang menginginkan registrasi dari tanah-tanah wakaf tersebut. Dengan kata lain
setelah perwakafan itu diketahui oleh Bupati, maka dengan demikian Bupati dapat
mendaftar tanah wakaf tersebut dalam suatu daftar yang telah tersedia, khususnya untuk
meneliti apakah ada suatu peraturan umum yang dianggar dalam pelaksanaan maksud itu
(Abdurrahman, 1979 : 22).
Perwakafan Setelah Kemerdekaan
Sebelum PP No. 28 Tahun 1977
Peraturan-peraturan tentang perwakafan tanah
yang dikeluarkan pada masa penjajahan Belanda, sejak Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal
17 Agustus 1945 masih terus
diberlakukan,berdasarkan bunyi pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 : “Segala
Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama sebelum diadakan yang
baru menurut Undang-undang Dasar ini”.
Untuk menyesuaikan dengan alam
kemerdekaan Negara Republik Indonesia, maka telah dikeluarkan beberapa petunjuk tentang
perwakafan, yaitu petunjuk dari Departemen Agama RI tanggal 22 Desember 1953 tentang
Petunjuk-petunjuk Mengenai Wakaf. Untuk
5
selanjutnya perwakafan ini menjadi wewenang
bagian D (ibadah sosial), Jawatan Urusan Agama.
Pada tanggal 8 Oktober 1956 telah dikeluarkan Surat Edaran No. 5/D/1959 tentang prosedur
Perwakafan Tanah.
Beberapa paraturan perwakafan tanah di atas
dirasakan kurang memadai dan masih banyak kelemahan-kelemahannya, yaitu belum
memberikan kepastian hukum mengenai tanah-tanah wakaf. Oleh karenanya, dalam rangka
penertiban dan pembaharuan sistem Hukum Agraria kita, permasalahan mengenai perwakafan
tanah ini mendapat perhatian yang khusus, sebagaiman kita lihat dalan pasal 49 Undang-
undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yang
berbunyi :
(1) Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha
dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan tersebut dijamin pula
akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang
keagamaan dan sosial.
(2) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan
suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung
oleh negara dengan hak pakai.
(3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
6
Dari bunyi ketentuan pasal 49 ayat (3)
tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam rangka
menertibkan dan melindungi tanah-tanah wakaf, pemerintah harus memberikan pengaturannya
yang tertuang dalan bentuk suatu Peraturan Pemerintah. Tetapi Peraturan Pemerintah yang
diperintahkan oleh pasa 49 (3) UUPA tersebut baru ada 17 tahun kemudian, sehingga praktis
pada periode ini juga dipergunakan peraturan yang ada sebelumnya.
Perwakafan Tanah setelah berlakunya PP No.
28 Tahun 1977
Telah diutarakan di atas bahwa peraturan-
peraturan tentang perwakafan tanah di Indonesia masih belum memenuhi kebutuhan maupun
belum dapat memberikan kepastian hukum dalam
rangka melindungi tanah-tanah wakaf ini. Dari sebab itulah maka sesuai dengan ketentuan
dalam pasal 49 ayat (3) UUPA, pemerintah pada tanggal 17 Mei 1977 menetapkan Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Sebagai pertimbangan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang
perwakafan Tanah Milik dinyatakan sebai berikut :
(1) Bahwa wakaf adalah suatu lembaga
keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan
kehidupan keagamaan, khususnya umat yang
7
beragama Islam, dalam rangka mencapai
kesejahteraan spiritual dan material menuju
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
(2) Bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang
perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara
perwakafan juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan
disebabkan tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah
yang diwakafkan.
(3) ………..dan seterusnya.
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 ini, maka semua peraturan
perundangan tentang perwakafan sebelumnya,
sepanjang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 ini, dinyatakan
tidak berlaku lagi. Sedangkan hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun
1977 ini, akan diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sesuai
bidangnya masing-masing.
B. Aspek Teologis Tanah Wakaf
Wakaf yang diajarkan oleh Islam mempunyai sandaran ideologi yang amat kental dan kuat
sebagai kelanjutan ajaran tauhid. Yaitu, segala sesuatu yang berpuncak pada keyakinan terhadap
8
keesaan Tuhan harus dibarengi dengan kesadaran
akan perwujudan keadilan sosial. Islam
mengajarkan kepada umatnya agar meletakkan persoalan harta (kekayaan dunia) dalam tinjauan
yang relatif, yaitu harta (kekayaan dunia) yang dimiliki oleh seseorang atau sebuah lembaga
harus mempunyai kandungan nilai-nilai sosial (humanistik). Prinsip pemilikan harta dalam Islam
menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang (QS : 9 : 103).
Sebagai salah satu instrumen ekonomis yang berdimensi sosial, perwakafan tanah merupakan
konsekuensi logis dari sistem pemilikian dalam Islam. Pemilikan harta benda dalam Islam harus
disertai dengan pertangung jawaban moral. Semua yang ada di langit dan bumi ini adalah
milik Allah. Pemilikan manusia atas harta benda
merupakan amanah atau titipan belaka. Pengertian tersebut sesuai dengan ayat al-Quran
dalam surat al-Maidah ayat 17 dan 120 :
11
Artinya : “Kepunyaan Allah-lah apa yang ada di bumi dan langit dan apa yang ada di antara
keduanya” (QS : 5 : 17)
Menurut al-Maududi (1985 : 3) sebagaimana dikutip oleh Imam Suhadi, bahwa pemilikan dalam
Islam itu harus disertai dengan tanggung jawab
moral. Artinya, segala sesuatu (harta benda) yang selama ini dimiliki oleh seseorang atau sebuah
9
lembaga, secara moral harus diyakini secara
ideologis bahwa ada sebagian darinya menjadi
hak bagi pihak lain, yaitu untuk kesejahteraan sesama, seperti fakir miskin atau di dermakan ke
lembaga-lembaga sosial, lembaga kemanusiaan atau lembaga pemberdayaan lainnya.
Dalam sejarah Islam, ada tokoh yang sangat kita kenal yaitu Tsa’labah. Dia adalah salah
seorang sahabat Nabi yang dahulunya sangat miskin tapi taat beribadah, seperti rajin ke masjid
dan mendatangi majelis ta’lim Rasulullah. Suatu ketika dia memohon didoakan kepada Rasulullah
agar diberi kelapangan rejeki oleh Allah dalam rangka menambah ketaatan yang lebih. Rasulullah
sebenarnya enggan mendo’akannya karena khawatir Tsa’labah tidak mampu mengemban
amanat apabila diberi limpahan rejeki yang
banyak. Tapi Tsa’labah kemudian meyakinkan Rasulullah bahwa dia berjanji akan selalu
mensyukurinya karena dia tahu persis bagaimana rasanya menjadi orang yang kesulitan ekonomi
seperti sekarang ini. Akhirnya Rasulullah pun mendo’akannya dan suatu waktu menjadi
kenyataan bahwa Tsa’labah betul-betul dikarunikan harta yang berlimpah. Namun, lambat
laun Tsa’labah menjadi lupa akan kewajiban-kewajiban beribadah yang seharusnya dia
lakukan. Yang lebih membuat Rasulullah menyesal adalah bahwa Tsa’labah betul-betul
tidak ingat akan masa lalunya yang sangat miskin. Padahal dia tahu betul bagaimana
10
kewajiban orang yang mempunyai kelebihan harta
terhadap sesamanya yang miskin.
Potret sosok Tsa’labah tersebut menunjukkan kepada kita bahwa ada pergeseran ideologis yang
maha dahsyat oleh seseorang yang mengaku beriman, yaitu hilangnya kepedulian sosial
terhadap sesama. Ideologi yang harusnya included (masuk) dalam keyakinan kepada Allah
adalah sifat keseimbangan atau keseluruhan dalam hidup, bukan kesendirian atau
kemanunggalan yang mutlak karena faktor kemampuan pribadi. Namun, di balik kesuksesan
yang dilakukan oleh seseorang, ada “tangan” yang tak tersentuh, yaitu kekuasaan Allah yang
Maha Kuasa dan Pemberi Rejeki.
Berkaitan dengan masalah perwakafan, dalam
pandangan Rachmat Djatnika (1983 : 31), tanah
wakaf mempunyai fungsi multi dimensional dalam membantu kesejahteraan, perkembangan atau
kemajuan masyarakat. Azas keseimbangan dalam hidup merupakan azas hukum yang universal.
Azas tersebut diambil dari maksud tujuan perwakafan ialah beribadah atau pengabdian
kepada Allah merupakan keseimbangan antara manusia (makhluk) dengan khalik (pencipta),
keseimbangan tersebut akan menimbulkan keserasian dirinya dengan hati nuraninya dan
mewujudkan ketenteraman dan ketertiban dalam hidup. Azas keseimbangan telah menjadi azas
pembangunan nasional, yaitu keseimbangan antar kepentingan dunia dan akhirat, antara
11
kepentingan materiil dengan spirituil, dan
kepentingan pribadi dengan masyarakat.
Azas pemilikan terhadap harta benda adalah tidak mutlak, tetapi dibatasi atau disertai dengan
ketentuan-ketentuan yang merupakan tanggung jawab moral akibat dari pemilikan tersebut.
Pengaturan manusia berhubungan dengan harta benda merupakan hal yang esensiil dalam hukum
dan kehidupan menusia. Pemilikan harta benda menyangkut bidang hukum, sedang pencarian dan
pemanfaatan harta benda menyangkut bidang ekonomi, dan keduanya bertalian erat, tidak
terpisahkan.
Dalam perwakafan tanah milik, setelah tanah
tersebut diwakafkan mempunyai akibat hukum yaitu ditarik dari lalu lintas peredaran hukum yang
menurut istilah hukum Barat disebut in dode hand
yang artinya di tangan mati, akibat seterusnya tanah yang diwakafkan kemudian menjadi milik
Allah dan manfaat benda digunakan untuk kepentingan umum. Pemilikan harta benda dalam
kehidupan manusia menurut ajaran Islam sangat berbeda secara ideologis dengan sistem ekonomi
yang berideologi liberal kapitalistik dan komunistik. Aliran liberal kapitalis yang bersumber
dari teori laisser faire laisser aller memandang hak milik sebagai hak mutlak, setiap orang (individu)
bebas untuk mencari, memiliki dan menggunkan menurut kemauannya sendiri, secara bebas,
sehingga memberi peluang untuk berlomba bersaing dan memberi peluang bagi golongan
yang kuat untuk praktek-praktek eksploitasi dan
12
menidas golongan yang lemah. Sedangkan
komunisme sebagai lawan liberal kapitalisme ialah
tidak mengakui hak milik perseorangan, tetapi semua harta benda, dimiliki, dikuasi dan diatur
oleh negara, tetapi karena negara dan penguasa dikuasi golongan partai komunis proletar, maka
terjadilah penindasan terhadap golongan yang bukan proletar. Dan Islam berada pada arah
kedua ideologis tersebut, yaitu membangun keseimbangan hidup yang teratur dan terukur,
sebagaimana perwakafan tanah.
Dalam peruntukannya, tanah mempunyai
keterkaitan yang sangat erat dengan kelanjutan hidup manusia. Siapa pun dan dimana pun,
seseorang akan selalu membutuhkan tanah. Karenanya, tanah termasuk harta benda primer
yang melekat dengan kehidupan itu sendiri.
Paradigma pemahaman masyarakat Indonesia terhadap tanah menjadi sangat penting ketika
dihubungkan dengan perkembangan penduduk seperti sekarang ini. Sudah barang tentu,
penyediayaan tanah baik sebagai tempat pemukiman, lahan pertanian atau sebagai areal
pembangunan akan menempati persoalan pokok dan tentu saja akan menjadi salah satu persoalan
sosial yang cukup peka. Karena harus diakui, bahwa untuk saat ini terlihat semakin
meningkatnya kebutuhan tanah sementara areal tanah semakin sempit. Karena itulah, secara
ideologis, pemberdayaan wakaf tanah untuk kesejahteraan umat manusia mendapati
urgensinya.
13
C. Aspek Sosiologis Tanah Wakaf
Setelah memiliki landasan ideologis yang bersumber pada kalimat tauhid (la ilaaha illallah),
wakaf mempunyai kontribusi solutif terhadap persoalan-persoalan ekonomi kemasyarakatan.
Kalau dalam tataran ideologis wakaf berbicara tentang bagaimana nilai-nilai yang seharusnya
diwujudkan oleh dan untuk umat Islam, sedangkan pada wilayah paradigma sosial-
ekonomis, wakaf menjadi jawaban konkrit dalam
realitas problematika kehidupan (sosial-ekononis) masyarakat. Penjabaran paradigma ideologis ini
bisa dicontohkan, bahwa penguasaan harta (kekayaan) oleh seseorang (lembaga) secara
monopolistik akan bisa melahirkan eksploitasi oleh kelompok minoritas (kaya) terhadap mayoritas
(miskin). Eksploitasi sosial-ekonomis ini pada gilirannya nanti akan menimbulkan dis-harmoni
sosial sebagai virus (penyakit) masyarakat yang berisiko sangat tinggi. Harta tidaklah hanya
dimiliki dan dikuasai sendiri, melainkan juga harus dinikmati bersama. Ini tidak berarti bahwa Islam
itu melarang orang untuk menjadi kaya, melainkan suatu peringatan kepada umat manusia
bahwa Islam mengajarkan fungsi sosial harta
(kekayaan dunia). Dengan itulah kemudian diciptakan lembaga wakaf, disamping lembaga-
lembaga lainnya.
Sayyid quthb (1964) pemikir Islam dari Mesir
dengan gaya pendekatan yang komprehensif
14
dalam bukunya al-‘adalah al-Ijtima’iyyah fil Islam
berhasil memformulasikan teori keadilan sosial
dalam Islam dan instrumen pendukungnya, termasuk wakaf, bukan sebatas teori utopis
belaka melainkan kajiannya berangkat dari fakta sejarah peradaban Islam otentik. Setelah
mengupas pandangan Islam mengenai kasih sayang, kebajikan, keadilan dan jaminan sosial
yang menyeluruh antara orang yang mampu dan yang tidak mampu, antara kelompok yang kaya
dengan yang miskin, antara individu dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat,
bahkan antara segenap umat manusia, Quthb selalu membeberkan fakta historis bagaimana
konsep tersebut membumi dalam perjalanan kesejarahan generasi terbaik Islam. Sebagai
contoh, Quthb mengisahkan sepenggal cerita
sejarah solidaritas kalangan sahabat ; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Diantara implementasi
keadilan sosial melalui prakarsa wakaf tanah dalam pengalaman kesejarahan awal Islam telah
dibuktikan Umar bin Khatthab sebagai warga sederhana yang bersedia secara ikhlas atas
petunjuk Nabi saw untuk mewakafkan satu-satunya aset berharga yang dimilikinya berupa
sebidang tanah di Khaibar untuk kemaslahatan umat.
Fungsi sosial dari perwakafan tanah mempunyai arti bahwa penggunaan hak milik
tanah seseorang harus memberi manfaat langsung atau tidak langsung kepada masyarakat.
Dalam ajaran pemilikan terhadap harta benda
15
(tanah) tercakup di dalamnya benda lain, dengan
perkataan lain bahwa benda (tanah) seseorang
ada hak orang lain yang melekat pada harta benda (tanah) tersebut seperti yang dimaksud
dalam firman Tuhan aurat adz-Dzariyat, ayat 19 :
19
Artinya : “Dan di dalam harta benda mereka ada hak bagi orang yang minta (karena tidak punya)
dan bagi orang-orang yang terlantar”. (QS : adz-Dzariyat : 19)
Kepemilikan harta benda (tanah) yang tidak
menyertakan kepada kemanfaatan terhadap orang lain merupakan sikap egoisme kehidupan
yang salah. Hidup sendiri dan mandiri dalam
ketunggalan yang mutlak, dan dalam keesaan yang tidak mengenal ketergantungan apa pun,
hanyalah sifat bagi Allah semata. Manusia yang mencapai kesadaran batin yang tinggi
memandang alam semesta di sekitarnya sebagai suatu kesatuan, dimana kehadiran yang satu
terkait, tergantung dan berkepentingan dengan kehadiran yang lain. Dalam hubungan ini, Al-
Quran memberikan petunjuk untuk selalu memelihara kebersamaan sebagai makhluk sosial
dan menempatkan nilai-nilainya ke dalam pola hubungan kemanusiaan dengan tetap saling
menghormati, menjaga, melindungi, mengasihi dan menyantuni sebagaimana diatur dalam sistem
ajarannya, seperti perwakafan tanah.
16
Bagian Pertama
DASAR HUKUM WAKAF
A. Dasar Hukum Islam
Dalil yang menjadi dasar disyari’atkannya
ibadah wakaf bersumber dari :
(a) Ayat al-Quran, antara lain :
.(77)الحج : نوحلفت مكلعل ريخا الولعافو
“Perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan” (QS : al-Haj : 77).
)ال ميلع هب اهلل ناف ءيش نا موقفنا تمو نوبحا تما موقفنى تتح ربال واالنت نل
(.29عمران :
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian
(yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja
yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahui”. (QS : Ali Imran : 92).
سنبلة مثل الذين ينفقون اموالهم في سبيل اهلل كمثل حبة انبتت سبع سنابل في كل
(.962)البقرة : مائة حبة واهلل يضاعف لمن يشاء واهلل واسع عليم.
“Perumpamaan (nafakah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir menumbuhkan seratus biji. Allah melipatgandakan
(ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki.
17
Dan Allah Maha Kuasa (Karunianya) Lagi Maha
Mengetahui”. (QS : al-Baqarah : 261).
(b) Sunnah Rasulullah saw.
ة ان رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم قال : اذا مات ابن ادم انقطع عن ابي هريرعمله اال من ثالث، صدقة جارية، او علم ينتفع به او ولد صالح يدعو له )رواه
( مسلم
Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rsulullah saw bersabda : “Apabila anak Adam (manusia)
meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim)
Adapun penafsiran shodaqah jariyah dalam hadits tersebut adalah :
ذكره في باب الوقف النه فسر العلماء الصدقة الجارية بالوقف
Hadits tersebut dikemukakan di dalam bab wakaf,
karena para ulama penafsirkan shodaqah jariyah dengan wakaf” (Imam Muhammad Ismail al-
Kahlani, tt., 87)
Ada hadits Nabi yang lebih tegas menggambarkan dianjurkannya ibadah wakaf,
yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar :
عن ابن عمر رضى اهلل عنهما أن عمر بن الخطاب أصاب أرضا بخيبر، فأتى نبي صلى اهلل عليه وسلم يستأمره فيها، فقال: يارسول اهلل، إنى أصبت أرضا ال
18
بخيبر لم أصب ماال قط أنفس عندى منه، فما تأمرنى به؟ قال: إن شئت حبست صدق بها عمر انه ال يباع وال يوهب وال يورث، وتصدق أصلها فتصدقت بها فت
بها فى الفقرآء وفى القربى وفى الرقاب وفى سبيل اهلل وابن السبيل والضيف ال عروف ويطعم غير متمولجناح على من وليها ان يأكل منها بالم
“Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat
Umar ra. Memperoleh sebidang tanah di Khaibar,
kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata : Ya
Rasulallah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta
sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ? Rasulullah menjawab :
Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkah (hasilnya). Kemudian
Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak diwariskan dan tidak juga dihibahkan. Berkata
Ibnu Umar : Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian,
sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang
menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan
dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk
harta“ (HR. Muslim).
Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan :
تي لي عن ابن عمر قال : قال عمر للنبي صلى اهلل عليه وسلم ان مائة سهم البخيبر لم اصب ماال قط اعجب الي منها قد اردت ان اتصدق بها، فقال النبي صلعم
: احبس اصلها وسبل ثمرتها )رواه البخارىومسلم(.
Dari Ibnu Umar, ia berkata : “Umar mengatakan kepada Nabi saw. Saya mempunyai seratus
dirham saham di Khaibar. Saya belum pernah
19
mendapat harta yang paling saya kagumi seperti
itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi
saw mengatakan kepada Umar : Tahanlah (jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya
(modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Sedikit sekali memang ayat al-Quran dan as-
Sunnah yang menyinggung tentang wakaf. Karena itu sedikti sekali hukum-hukum wakaf
yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Meskipun demikian, ayat al-Quran dan
Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fikih Islam. Sejak masa
Khulafa’u Rasyidin sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum
wakaf melalui ijtihad mereka. Sebab itu sebagian
besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan
menggunakan metode ijtihad yang bermacam-macam, seperti qiyas dan lain-lain.
B. Dasar Hukum Pemerintahan RI
Ada beberapa peraturan perundang-undangan
yang mengatur masalah perwakafan di Indonesia, yaitu :
1. Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
20
Dalam Undang-undang ini dapat dijelaskan
dalam beberapa substansi di bawah ini:
a. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah. (ketentuan umum dan pasal 2)
b. Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan. Ketentuan ini merupakan payung
hukum bagi perbuatan wakaf, sehingga harta benda wakaf tidak boleh dicabut kembali dan
atau dikurangi volumenya oleh wakif dengan alasan apapun. (pasal 3)
c. Adapun tujuan dari perbuatan Wakaf itu
sendiri berfungsi untuk menggali potensi ekonomi harta benda wakaf dan dimanfaatkan
untuk kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umum. (pasal 5)
d. Dalam setiap perbuatan wakaf harus memenuhi unsur-unsurnya, (pasal 6) yaitu:
(1) Wakif; (2) Nazhir;
(3) Harta Benda Wakaf; (4) Ikrar Wakaf;
(5) Peruntukan Harta benda wakaf; (6) Jangka waktu wakaf;
e. Pihak yang ingin mewakafkan (Wakif) meliputi: (pasal 7) (1) perseorangan; (2)
organisasi; dan (3) badan hukum.
21
f. Demikian juga bagi nazhir (pengelola) wakaf
meliputi: (pasal 9) (1) perseorangan; (2)
organisasi; dan (3) badan hukum. g. Adapun Nazhir mempunyai tugas: (pasal 11)
(1) melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
(2) mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi
dan peruntukannya; (3) mengawasi dan melindungi harta benda
wakaf; (4) melaporkan pelaksanaan tugas kepada
Badan Wakaf Indonesia. h. Salah satu terobosan dalam Undang-undang
ini adalah pengaturan benda wakaf bergerak berupa uang dan sejenisnya (giro, saham dan
surat berharga lainnya), selain harta benda
wakaf tidak bergerak (tanah dan bangunan) (pasal 16). Pengaturan ini merupakan salah
satu upaya pemerintah agar wakaf dapat berkembang secara cepat dan dapat dijangkau
oleh semua kalangan. Wakaf uang jika dikelola secara profesional dan transparan, maka akan
memberikan efek ekonomi yang positif secara revolusioner.
i. Wakaf benda bergerak berupa uang dapat dilakukan melalui Lembaga Keuangan Syariah
(LKS): (pasal 28). Adapun pelaksanaan wakaf uang secara lebih rinci akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf.
22
j. Dari hasil pengelolaan wakaf secara produktif
tersebut, dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan: (pasal 22) (1) sarana dan kegiatan ibadah;
(2) sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
(3) bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;
(4) kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau
(5) kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah
dan peraturan perundang-undangan. k. Dalam pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf secara produktif, nazhir dapat bekerja sama dengan pihak ketiga seperti IDB,
investor, perbankan Syariah, LSM dan lain-
lain. Agar terhindar dari kerugian (lost), nazhir harus menjaminkan kepada Asuransi Syari`ah.
Hal ini dilakukan agar seluruh kekayaan wakaf tidak hilang atau terkurangi sedikitpun (ma’a
baqai ‘ainihi): (pasal 42). Upaya supporting pengelolaan dan pengembangan wakaf juga
dapat dilakukan dengan memaksimalkan peran UU Otonomi Daerah dan pembuatan
Perda-Perda yang mendukung pemberdayaan wakaf secara produktif.
l. Perubahan status harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: (pasal 40)
a. dijadikan jaminan; b. disita;
c. dihibahkan;
d. dijual;
23
e. diwariskan;
f. ditukar; atau
g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
h. kecuali apabila untuk kepentingan umum m. Harta benda wakaf yang sudah diubah
statusnya karena ketentuan pengecualian sebagaimana wajib ditukar dengan harta
benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta
benda wakaf semula. (pasal 41 ayat (3)) n. Wakaf dengan wasiat dilakukan paling
banyak 1/3 dari jumlah harta warisan setelah dikurangi utang pewasiat kecuali dengan
persetujuan seluruh ahli waris. (pasal 25) o. Dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan
dan pengembangan harta benda wakaf, akan
dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang bersifat independen dan dapat membentuk
perwakilan di Propinsi dan Kabupaten jika dianggap perlu. (pasal 47 & 48) . Adapun
tugas Badan Wakaf Indonesia: (pasal 49): (1) melakukan pembinaan terhadap Nazhir
dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf;
(2) melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
berskala nasional dan internasional; (3) memberikan persetujuan dan/atau izin
atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf;
(4) memberhentikan dan mengganti Nazhir;
24
(5) memberikan persetujuan atas penukaran
harta benda wakaf;
(6) memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan
kebijakan di bidang perwakafan. (7) Pertanggungjawaban Badan Wakaf
Indonesia kepada menteri Agama dan harus diumumkan kepada masyarakat.
(pasal 61) p. Untuk menyelesaikan sengketa terhadap
harta benda wakaf, harus menggunakan mediasi, arbitrase atau pengadilan (pasal
62) q. Adapun ketentuan pidana tersebut sebagi
berikut: (pasal 67) (1) bagi yang dengan sengaja menjaminkan,
menghibahkan, menjual, mewariskan,
mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya tanpa izin di pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) bagi yang dengan sengaja mengubah
peruntukan harta benda wakaf tanpa izin di pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus
juta rupiah). (3) bagi yang dengan sengaja menggunakan
atau mengambil fasilitas atas hasil pengelolaan dan pengembangan harta
benda wakaf melebihi jumlah yang
ditentukan, dipidana dengan pidana
25
penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(4) Sedangkan bagi PPAIW dan Lembaga Keuangan Syariah yang melakukan
pelanggaran, maka akan diberikan sanksi administrasi: (pasal 68)
a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara atau
pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi lembaga keuangan
syariah; c. penghentian sementara dari jabatan
atau penghentian dari jabatan PPAIW. r. Dalam rangka menertibkan perbuatan wakaf,
maka harta benda wakaf harus didaftarkan
dan diumumkan paling lama 5 tahun sejak undang-undang ini diundangkan. (pasal 69)
2. Undang-Undang Pokok Agraria
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) masalah wakaf dapat kita ketahui pada pasal 5,
pasal 14 ayat 91) dan pasal 49 yang memuat
rumusan-rumusan sebagai berikut:
a. Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa Hukum
Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara……………….segala sesuatu dengan
26
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar
pada hukum agama.
Dalam rumusan pasal ini jelaslah bahwa hukum adatlah yang menjadi dasar hukum
agraria Indonesia, yaitu hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-
undangan Republik Indonesia yang di sana sini mengandung unsur agama yang telah
diresipir dalam lembaga hukum adat, khususnya lembaga wakaf.
b. Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme
Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya untuk keperluan negara, untuk
keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa dan setrusnya. Dalam rumusan pasal 14 UUPA terkandung perintah kepada
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk membuat sekala prioritas penyediaan,
peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa dalam bentuk peraturan yang
dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk pengaturtan
tentang penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan kepentingan suci lainnya.
c. Pasal 49 UUPA menyatakan bahwa hak milik tanah-tanah badan keagamaan dan sosial
27
sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam
bidang keagamaan sosial, diakui dan
dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin akan memperoleh tanah yang cukup untuk
bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. Perwakafan tanah milik
dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal ini memberikan ketegasan
bahwa soal-soal yang bersangkutan dengan pribadatan dan keperluan suci lainnya dalam
Hukum Agraria akan mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya. Terkait dengan
perumusan tersebut pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan peraturan
tentang perwakafan tanah hak milik, yaitu PP No. 28 Tahun 1977.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
PP No. 28 Tahun 1977 terdiri atas tujuh bab,
delapan belas pasal, meliputi pengertian tentang wakaf, syarat-syarat sahnya wakaf, fungsi wakaf,
tata cara mewakafkan dan pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian perselisihan dan
pengawasan wakaf, ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.
Maksud dikeluarkannya PP No. 1977 adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum
mengenai tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai dengan tujuan wakaf. Berbagai
penyimpangan dan sengketa wakaf dengan
28
demikian dapat dikurangi. Namun demikian masih
dirasakan adanya hambatan dan atau
permasalahan terkait dengan PP No. 28 Tahun 1977, antara lain :
a) Tanah yang dapat diwakafkan hanyalah tanah hak milik dan badan-badan sosial keagamaan
dijamin dapat mempunyai hak atas tanah dengan hak pakai. Bagaimanakah wakaf tanah
dengan hak guna bangunan atau guna usaha yang di dalam praktek dapat diperpanjang
waktunya sesuai dengan pemanfaatan wakaf.
b) Penerima wakaf (Nazhir) disyaratkan oleh
peraturan yang mempunyai cabang atau perwakilan di kecamatan atau di mana tanah
wakaf terletak, dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan dan justru
menimbulkan hambatan. Terkait dengan
masalah tersebut bagaimana jika Nazhir itu bersifat perseorangan atau perkumpulan yang
tidak memiliki cabang atau perwakilan ?
c) PP No. 28 Tahun 1977 hanya membatasi
wakaf benda-benda tetap, khususnya tanah. Bagaimana wakaf yang obyeknya benda-benda
bergerak selain tanah atau bangunan ?
d) Hambatan-hambatan lain yang bersifat yuridis,
misalnya kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya sertifikasi wakaf, kesediaan tenaga
yang menangani pendaftaran atai sertifikasi wakaf, serta peningkatan kesadaran para
Nazhir akan tugas dan kewajibannya.
29
4. Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 berisi perintah kepada Menteri
Agama RI dalam rangka penyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum
Perwakafan sebagaimana diatur oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia pada dasarnya
sama dengan Hukum Perwakafan yang telah
diatur oleh Perundang-undangan yang telah ada sebelumnya. Dalam beberapa hal, Hukum
Perwakafan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut merupakan pengembangan dan
penyempurnaan pengaturan perwakafan sesuai dengan hukum Islam.
Beberapa ketentuan Hukum Perwakafan menurut KHI yang merupakan pengembangan
dan penyempurnaan terhadap materi perwakafan yang ada pada perundang-undangan sebelumnya,
antara lain :
a) Obyek Wakaf
Menurut KHI, bahwa obyek wakaf tersebut tidak hanya berupa tanah milik sebagaimana
disebutkan dalam PP No. 28 Tahun 1977.
Obyek wakaf menurut KHI tersebut lebih luas. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal
215, point (1) wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
30
selama-lamanya guna kepentingan ibadat
atau keperluan umum lainnya sesuai dengan
jaran Islam, dan point (4) benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak
bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut
ajaran Islam.
b) Sumpah Nazhir
Nazhir sebelum melaksanakan tugas harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan. Hal ini diatur dalam pasal 219 ayat 4 yang selengkapnya berbunyi
sebabai berikut : Nazhir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di hadapan
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang
saksi dengan isi sumpah sebagai berikut :
“Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi Nazhir langsung atau tidak
langsung dengan nama atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan ataupun
memberikan sesuatu kepada siapapun juga”.
“Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuai dnegan jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung atau
tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian”.
“Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi tugas dan tanggung jawab
yang dibebankan kepada saya selaku Nazhir
31
dalam pengurusan harta wakaf sesuai dengan
maksud dan tujuannya”.
c) Jumlah Nazhir
Jumlah Nazhir yang diperbolehkan untuk satu
unit perwakafan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang
diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan
dan Camat setempat (pasal 219, ayat 5).
d) Perubahan Benda Wakaf
Menurut pasal 225 perubahan benda wakaf hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu
setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan berdasarkan saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
e) Pengawasan Nazhir
f) Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nazhir dilakukan secara
bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan
dan Pengadilan Agama yang mewilayahinya (pasal 227).
g) Peranan Majelis Ulama dan Camat
KHI dalam hal perwakafan memberikan
kedudukan dan peranan yang lebih luas kepada Majelis Ulama Indonesia kecamatan dan Camat
setempat dibanding dengan ketentuan yang diatur oleh perundang-undangan sebelumnya. Hal ini
32
antara lain bisa kita lihat dalam beberapa pasal di
bawah ini :
Pasal 219 ayat (3) dan ayat (5) :
(3) Nazhir dimaksud dalam ayat (1) dan (2)
harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran
dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan pengesahan.
(5) Jumlah Nazhir yang diperoleh untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud pasal 215
ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang
diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama
Kecamatan dan Camat setempat.
Pasal 220 ayat (2) :
(2) Nazhir diwajibkan membuat laporan secara
berkala atau semua hal yangmenjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat (1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama
Kecamatan dan Camat setempat.
Pasal 221 ayat (2)
(2) Bilamana terdapat lowongan jabatan Nazhir karena salah satu alasan sebagaimana
tersebut dalam ayat (1) meka penggantinya diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
33
Pasal 222:
Nazhir berhak mendapatkan penghasilan dan
fasilitas, yang jenis dan jumlahnya ditentukan berdasarkan kelayakan atas saran Majelsi
Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.
Pasal 225 ayat (2):
(2) Penyimpangan dari ketentuan
tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu
setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama Kecamatan
dan Camat setempat dengan alasan :
a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan
wakaf seperti diikrarkan oleh wakif
b. karena kepentingan umum.
Pasal 227:
Perwakafan benda, demikian pula pengurusnya yang terjadi sebelum dikeluarkannya
ketentuan ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan ini.
34
Bagian Pertama
POTENSI DAN PELUANG
A. Banyaknya Harta Wakaf yang Tidak
Dikelola Secara Optimal
Menurut data Departemen Agama terakhir
terdapat kekayaan tanah wakaf di Indonesia sebanyak 403.845 lokasi dengan luas
1.566.672.406 M2. Dari total jumlah tersebut 75 % diantaranya sudah bersertifikat wakaf dan
sekitar 10% memiliki potensi ekonomi tinggi, dan
masih banyak lagi yang belum terdata.
Namun pada umumnya tanah-tanah wakaf
tersebut pengelolaannya bersifat konsumtif dan tradisional. Ada beberapa kondisi dimana tanah
wakaf di Indonesia dikelola secara konsumtif dan tradisional, yaitu :
a. Sempitnya pola pemahaman masyarakat terhadap harta yang akan diwakafkan, yaitu
berupa harta benda yang tidak bergerak dan hanya untuk kepentingan yang bersifat
peribadatan, seperti masjid, musholla, madrasah, pemakaman, yayasan yatim piatu
dan lain sebagainya. Dan sifat wakaf itu sendiri hanya ditempatkan pada kemutlakan yang
harus dikembalikan kepada Allah semata
sehingga kondisi apapun yang terjadi terhadap harta wakaf tersebut didiamkan sedemikian
35
rupa dan tidak terawat secara baik sehingga
banyak yang terbengkelai.
b. Pada umumnya masyarakat yang mewakafkan hartanya diserahkan kepada orang yang
dianggap panutan dalam lingkup masyarakat tertentu seperti ulama, kyai, ustadz dan tokoh
adat lainnya dengan mengikuti tradisi lisan dan dalam kenyataannya sekarang banyak
menimbulkan masalah persengketaan dengan ahli waris yang menggugat para Nazhir. Atau
banyak pula yang disalahgunakan oleh para Nazhir nakal dengan menjual sebagian atau
seluruh harta wakaf yang ada. Sementara di lain pihak, orang yang diserahi untuk
mengelola wakaf (Nazhir) tersebut ternyata tidak mempunyai kemampuan yang baik agar
wakaf bisa didayagunakan secara optimal
untuk kepentingan masyarakat dan kehidupan keberagamaan. Akibatnya wakaf tak terurus
secara rapi dan tidak menyentuh kepentingan masyarakat banyak.
c. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pendaftaran tanah wakaf. Hal ini memberikan
peluang terjadinya penyalahgunaan atau bahkan pengambilan paksa oleh pihak yang
tidak bertanggung jawab. Tidak terhitung jumlahnya, berapa banyak tanah yang jatuh ke
tangan pihak ketiga yang sama sekali tidak terkait dengan kepentingan perwakafan. Belum
misalnya terjadinya kasus-kasus penyerobotan tanah wakaf karena lemahnya system
36
perlindungan hukum dan lemahnya kemauan
dan kesadaran dari pihak-pihak terkait.
Dari kondisi tersebut kemudian muncul UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok
Agraria, PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, PP No. 1 Tahun 1978
Tentang Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977, Inpres RI No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dan yang paling akhir adalah lahirnya Undang-undang No. 41 Tahun 2004
tentang Wakaf. Keradaan peraturan perundang-undangan tersebut, khususnya UU No 41 Tahun
2004 tentang Wakaf salah satunya bertujuan untuk mengamankan, mengatur dan mengelola
tanah wakaf secara baik. Sehingga setelah munculnya berbagai peraturan perundang-
undangan di atas, kondisi harta perwakafan lebih
terjaga dan terawat, walaupun belum dikelola dan dikembangkan secara optimal.
Harus diakui, pengelolaan tanah wakaf secara produktif terhitung masih sedikit. Sebagai contoh
harta wakaf yang dikelola dan dikembangkan secara baik adalah : Yayasan Pemeliharaan dan
Perluasan Wakaf Pondok Moderen Gontor Jawa Timur, Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung,
Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Badan Wakaf Universitas Muslimin
Indonesia (UMI) Makassar, Yayasan Wakaf Paramadina dan lain-lain. Sedangkan sebagian
besar wakaf yang ada, untuk memelihara dan melestarikan saja masih kekurangan dana dan
37
masih menggantungkan dana dari luar dana
wakaf.
Dengan demikian wakaf yang ada di Indonesia sementara ini relatif sulit berkembang
sebagaimana mestinya jika tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dan total oleh semua pihak
yang terkait dalam rangka memperbaiki system dan profesionalisme pengelolaan.
Karena menurut kaca mata ekonomi, sebenarnya tanah wakaf yang begitu luas dan
menempati beberapa lokasi yang strategis memungkinkan untuk dikelola dan dikembangkan
secara produktif. Sebagai contoh misalnya, cukup banyak tanah wakaf yang di atasnya di bangun
masjid atau musholla, sedang sisa tanahnya yang masih luas bisa dibangun gedung petemuan untuk
disewakan kepada masyarakat umum. Hasil
penyewaan gedung tersebut dapat digunakan untuk memelihara masjid. Atau misalnya ada
tanah wakaf yang terletak cukup strategis dalam usaha bisa dibangun ruko atau gedung
perkantoran yang bisa dikelola sendiri atau disewakan dan hasilnya bisa untuk perawatan
gedung wakaf yang telah ada atau untuk menunjang kegiatan atau pemberdayaan ekonomi
lemah yang ada di sekitarnya.
Ada satu contoh lain yang sesungguhnya bisa
dilakukan dengan pemanfaatan tanah wakaf dikaitkan dengan program penenaman jati unggul.
Dalam program ini setiap pohon jati dikonversikan dalam satu saham senilai umpamanya Rp.
38
30.000,-. Jika diterbitkan 1000 pohon jati
umpamanya, bisa terkumpul Rp. 30.000.000,-.
Sementara tanah wakaf yang ada bisa ditanami pulihan, bahkan ratusan ribu pohon, sehingga
secara potensial tanah wakaf dapat menghimpun dana yang sangat besar. Karena nilai saham itu
tumbuh secara pasti setiap hari, sebagaimana pohon jati itu sendiri, maka saham pohon jati di
atas tanah wakaf itu bisa diperjualbelikan setiap saat. Ini merupakan bisnis yang sangat prospektif
dan bisa dilakukan oleh oraganisasi-organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah.
B. Sumber Daya Manusia (SDM) dalam Pengelolaan Wakaf Produktif
Dalam pengelolaan harta wakaf produktif, pihak yang paling berperan berhasil tidaknya
dalam pemanfaatan harta wakaf adalah Nazhir wakaf, yaitu seseorang atau sekelompok orang
dan badan hukum yang diserahi tugas oleh wakif
(orang yang mewakafkan harta) untuk mengelola wakaf. Walaupun dalam kitab-kitab fikih ulama
tidak mencantumkan Nazhir wakaf sebagai salah satu rukun wakaf, karena wakaf merupakan
ibadah tabarru’ (pemberian yang bersifat sunnah). Namun demikian, setelah memperhatikan tujuan
wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari hasil harta wakaf, maka keberadaan Nazhir sangat
dibutuhkan, bahkan menempati pada peran sentral. Sebab di pundak Nazhir lah tanggung
jawab dan kewajiban memelihara, menjaga dan
39
mengembangkan wakaf serta menyalurkan hasil
atau manfaat dari wakaf kepada sasaran wakaf.
Terlalu banyak contoh pengelolaan harta wakaf yang dikelola oleh Nazhir yang sebenarnya tidak
mempunyai kemampuan memadai, sehingga harta wakaf tidak berfungsi secara maksimal,
bahkan tidak memberi manfaat sama sekali kepada sasaran wakaf. Untuk itulah
profesionalisme Nazhir menjadi ukuran yang paling penting dalam pengelolaan wakaf jenis
apapun. Kualifikasi profesionalisme Nazhir secara umum dipersyaratkan menurut fikih sebagai
berikut, yaitu : beragama Islam, mukallaf (memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan
hukum), baligh (sudah dewasa) dan ‘aqil (berakal sehat), memiliki kemampuan dalam mengelola
wakaf (professional) dan memiliki sifat amanah,
jujur dan adil.
Menurut Eri Sudewo, mantan CEO Dompet
Dhuafa Republika, dari persyaratan minimal seorang atau lembaga Nazhir dalam pandangan
fikih tersebut bisa dijabarkan sebagai berikut :
(a) Syarat moral
Paham tentang hukum wakaf dan ZIS, baik dalam tinjauan syari’ah maupun
perundang-undangan negara RI
Jujur, amanah, adil dan ihsan sehingga
dapat dipercaya dalam proses pengelolaan dan pentasharrufan kepada sasaran wakaf
40
Tahan godaan, terutama menyangkut
perkembangan usaha
Pilihan, sungguh-sungguh dan suka tantangan
Punya kecerdasan. baik emosional maupun spiritual
(b) Syarat manajemen
Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang
baik dalam leadership
Visioner
Mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual, social dan pemberdayaan
Profesional dalam bidang pengelolaan harta
(c) Syarat Bisnis
Mempunyai kainginan
Mempunyai pengalaman dan atau siap
untuk dimagangkan
Punya ketajaman melihat peluang usaha
sebagaimana layaknya entrepreneur
Dari persyaratan yang telah dikemukakan di
atas menunjukkan bahwa Nazhir menempati pada pos yang sangat sentral dalam pola pengelolaan
harta wakaf. Ditinjau dari segi tugas Nazhir, dimana dia berkewajiban untuk menjaga,
mengembangkan dan melestarikan manfaat dari harta yang diwakafkan bagi orang-orang yang
berhak menerimanya, jelas bahwa fungsi dan
41
tidak berfungsinya suatu wakaf tergantung dari
pada peran Nazhir. Meskipun demikian Nazhir
tidak memiliki kekuasaan mutlak terhadap harta yang diamanatkan kepadanya. Para ulama
sepakat bahwa kekuasaan Nazhir wakaf hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk
dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf yang dikehendaki oleh wakif (orang yang berwakaf).
Dari sinilah masalahnya, sebagai Nazhir harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan
di atas sehingga mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam mengelola wakaf dengan
maksimal dan optimal sesuai dengan harapan para wakif secara khusus dan kaum muslimin
secara umum. Sehingga pengalaman-pengalaman pengelolaan harta wakaf yang tidak produktif
seperti yang lalu tidak terulang lagi.
Dilihat dari persyaratan yang ada, sesungguhnya bukan menjadi hal yang sulit
mencari orang atau lembaga yang bisa dipercaya untuk mengelola harta wakaf, khususnya untuk
kepentingan pengelolaan wakaf produktif. Apalagi sekarang banyak bermunculan lembaga-lembaga
ekonomi dan keuangan Syaria’h yang mendidik Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas
baik, bersamaan dengan semangat yang tinggi untuk menerapkan system ekonomi Syariah.
Penguatan kualias SDM yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan bisnis Islami telah
banyak melahirkan para ahli di bidang ini. Barangkali bukan menjadi hal yang sulit bagi
umat Islam Indonesia sekarang mencari SDM
42
yang ahli di bidang manajemen dan bisnis,
termasuk di dalamnya bidang perwakafan
sebagaimana mereka mengelola sebuah usaha yang bersifat komersial. Karena secara potensi
ekonomi, harta wakaf cukup memberikan harapan bagi pengembangan ekonomi umat Islam masa
depan. Dan sudah saatnya semua pihak yang terkait dengan harta wakaf, baik pemerintah,
masyarakat, para wakif dan calon wakif, LSM dan lembaga lainnya membuka peluang untuk
mengembangkan harta wakaf secara produkti. Produktifitas hasil yang ini pulalah sebenarnya
menjadi dambaan umat Islam dan umat lain pada umumnya dalam rangka peningkatan
kesejahteraan sosial ekonomi.
C. Kesadaran Umat Islam Terhadap
Penerapan Sistem Ekonomi Syariah
Masalah wakaf merupakan masalah yang
sampai saat ini kurang dibahas secara intensif.
Hal ini disebabkan karena umat Islam hampir melupakan kegiatan-kegiatan yang berasal dari
lembaga perwakafan. Masalah mis-management dan korupsi diperkirakan menjadi penyebab
utama, sehingga kegiatan lembaga perwakafan ini kurang diminati atau bahkan ditinggalkan oleh
umat Islam lebih kurang seabad yang lalu.
Oleh karena itu tulisan-tulisan yang berkaitan
dengan kegiatan perwakafan sangat lah jarang. Baru pada tahun-tahun terakhir ini muncul
kembali minat umat Islam untuk menggiatkan
43
kembali kehidupan lembaga perwakafan.
Munculnya minat tersebut seiring dengan
kesadaran orang untuk mencari Sistem Ekonomi Syari’ah (SES) sebagai alternatif dari system
ekonomi kapitalis dimana pelaksanaan system yang terakhit ini telah terbukti tidak memberikan
manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Sistem tersebut hanya memberi
manfaat pada sebagian kecil umat manusia, yaitu kelompok-kelompok yang kebetulan memiliki
‘power’ dalam kehidupan perekonomian yang ada. Selain itu, berbagai krisis ekonomi selalu
menyertai perjalanan hidup system ekonomi kapitalis, sementara usaha-usaha untuk mencari
jalan keluar dari krisis yang ada selalu menimbulkan korban di pihak yang lemah saja
yang merupakan mayoritas pelaku-pelaku system
ekonomi kapitalis yang nota bene di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim.
Tumbuhnya minat masyarakat untuk menggali potensi system ekonomi Syari’ah, disebabkan oleh
beberapa kelemahan system ekonomi kapitalis, yaitu :
(a) Masalah ketidakstabilan system
Pelaksanaan system ekonomi kapitalis ternyata
diikuti dengan berbagai masalah yang pada akhirnya membuat system ekonomi yang ada
menjadi tidak stabil dan berbagai krisis. Berbagai resesi ekonomi dunia telah menyertai perjalanan
system ekonomi kapitalis tersebut, yang penyelesaiannya menelan berbagai ongkos
44
ekonomi yang sangat mahal dan hanya
menguntungkan bagi kelompok-kelompok tertentu
saja. Resesi ekonomi dunia pada tahun 1929 menyadarkan orang bahwa ternyata ada
kelemahan dalam system ekonomi kapitalis yang ada. “The ini visible hands” ternyata tidak bekerja
dengan sempurna dan memerlukan bantuan ‘negara’ untuk mengatasi ketidaksempurnaan
yang ada dalam system kapitalis.
(b) Masalah pembagian pendapatan
Pembagian pendapatan yang ada di dunia ini menjadi tidak seimbang. Lebih kurang 80 % dari
pendapatan dunia dikuasai oleh penduduk negara-negara maju sementara negara-negara
berkembang hanya menguasai sisanya 20 % pendapatan dunia yang ada. Ini merupakan
gambaran yang mengusik rasa keadilan kita,
khususnya umat Islam yang sebenarnya menduduki wilayah yang mempunyai potensi
ekonomi yang cukup besar. Sistem yang ada dibuat sedemikian rupa sehingga penggunaan
sumber-sumber daya yang ada di dunia ‘diatur’ oleh negara-negara maju tersebut.
Kecenderungan ini akan terus berlangsung di masa yang akan datang, sehingga perlu dipikirkan
berbagai strategi guna memperbaiki system yang tidak adil tersebut.
(c) Masalah kemiskinan
Dari berbagai masalah yang ada, maka
masalah kemiskinan dan pembagian pendapatan merupakan masalah utama yang harus dicarikan
45
jalan keluarnya, termasuk stagnasi tingkat
kemakmuran di negara maju. Berbagai krisis yang
melanda perekonomian dunia yang menyangkut system ekonomi kapitalis dewasa ini telah
memperburuk tingkat kemiskinan yang nyata sebagai ekses langsung mauoun tidak langsung
serta pola pendapatan di dalam perekonomian negara-negara yang ada, khususnya keadaan
perkonomian di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam.
Dari beberapa kelemahan system ekonomi kapitalis tersebut, umat Islam semakin sadar akan
pentingnya penerapan system ekonomi Syari’ah (SES). Disamping mampu mengatasi kelemahan-
kelemahan yang ada, system ekonomi Syariah bisa melepaskan ketergantungan ekonomi yang
selama ini mengancam kemandirian bangsa.
Sistem ekonomi Syari’ah berbeda dengan system ekonomi konvensional dalam banyak hal.
Memang pada saat ini terdapat berbagai madzhab pemikiran yang bertujuan untuk mengembangkan
apa yang dimaksudkan dengan SES. Dari semua madzhab yang ada, terlihat bahwa yang menjadi
dasar berpijak dari sistemya adalah al-Quran dan al-Hadits. Al-Quran dan al-Hadits dijadikan
landasan pembangunan seluruh elemen SES yang ada. Dari al-Quran dan al-Hadits maka kita dapat
memperoleh nilai-nilai fundamental yang merupakan landasan dari SES.
Secara umum dapat dikatakan bahwa salah satu ciri utama dari pada system tersebut adalah
46
pelarangan riba dalam kegiatan perekonomian.
Sementara itu, kita tahu bahwa ‘bunga’
merupakan salah satu variable dalam system ekonomi konvensional yang menentukan jalannya
system yang ada. Dengan demikian, pelarangan riba dalam seluruh aspek kegiatan ekonomi
merupakan ciri utama dari SES. Ciri umum lainnya adalah variable zakat yang merupakan variable
kunci untuk menggerakkan roda perekonomian dalam SES.
Variable kunci lainnya dalam SES adalah pemberdayaan wakaf. Karena wakaf merupakan
wahana mobilisasi sumber daya perekonomian yang mempunyai kekuatan social yang cukup
dahsyat apabila dikelola secara profesional. Dan pemberdayaan wakaf bisa dijadikan strategi untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat
serta sebagai upaya melepaskan ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap bantuan-bantuan
(pinjaman utang) luar negeri. Dengan pemberdayaan wakaf serta lembaga-lembaga
keuangan Syari’ah lainnya dengan sendirinya akan menjadikan negeri yang independen dan
lepas dari campur tangan asing, baik ekonomi, politik, social dan budaya.
Dari kesadaran penuh akan kelemahan system ekonomi kapitalis (konvensional) dan keinginan
yang kuat masyarakat Islam dalam menerapkan system ekonomi Syari’ah merupakan momentum
dan peluang yang cukup besar untuk memberdayakan wakaf produktif sebagai salah
47
satu variable yang cukup strategis bagi penerapan
SES.
D. Dukungan Politik Pemerintah Dalam
Pemberdayaan Civil Society
Munculnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang dibidani ICMI-MUI di awal 1990-an sebagai
bank Syari’ah pertama di tanah air merupakan dukungan pemerintah Orde Baru yang sarat
dengan nuansa politis. Namun demikian, hadirnya BMI menjadi tonggak awal kesadaran terhadap
pentingnya bank Islam yang mengajarkan system keuangan tanpa bunga sebagai alternatif system
yang telah ada. Bersamaan perjalanan waktu, keinginanan masyarakat mendirikan lembaga-
lembaga keuangan Syari’ah lainnya seperti Asuransi Takaful, Reksadana Syari’ah, BPR
Syari’ah, Baitul Mal Wat-Tamwil (BMT) dan lain-lain bermunculan bagaikan jamur di musim hujan
sebagai respon positif bagi kebijakan pemerintah
yang mendukung system keuangan yang didasarkan pada ajaran Islam.
Lebih-lebih di era reformasi seperti sekarang ini, lembaga-lembaga keuangan Syari’ah,
khususnya perbankan Syari’ah bermunculan di hampir seluruh pelosok nusantara. Tentu saja
kemunculan lembaga-lembaga tersebut atas dukungan penuh dari kebijakan-kebijakan otoritas
moneter negeri ini. Dukungan politik pemerintah dan keinginan yang kuat masyarakat muslim
terhadap penerapan system keuangan
48
berdasarkan Syari’at Islam membuka peluang
yang seluas-luasnya terhadap seluruh pengelolaan
harta dan keuangan demi kesejahteraan masyarakat banyak.
Saat negeri kita dilanda krisis ekonomi yang berkepenjangan seperti sekarang ini, pemerintah
menyadari akan pentingnya partisipasi semua pihak. Masyarakat dituntut ikut serta
memberdayakan ekonomi melalui system yang relevan dengan dinamika social sebagai akibat
dari kebebasan berpolitik, berkumpul (berserikat), berpendapat dan lain-lain. Penguatan lembaga-
lembaga pemberdayaan yang dilahirkan atas kemauan masyarakat sendiri didorong oleh
pemerintah agar berjalan dengan baik agar memberikan peran yang lebih berarti bagi
kesejehteraan ekonomi umat.
Salah satu lembaga pemberdayaan ekonomi umat yang berbasis pada ajaran Islam selain
lembaga zakat adalah lembaga perwakafan. Lembaga perwakafan memang sudah ada sejak
Islam masuk di negeri ini, namun pembardayaannya dirasa masih jauh dari harapan
yang sesungguhnya. Walaupun dalam beberapa contoh perberdayaan wakaf sudah cukup baik
untuk kesejehteraan masyarakat, namun secara umum wakaf masih menjadi kekayaan umat yang
belum dirasakan manfaatnya secara maksimal.
Potensi besar yang dimiliki oleh wakaf sebagai
salah satu variable penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak didorong oleh
49
pemerintah secara politik dengan beberapa
peraturan perundang-undangan wakaf agar
berfungsi secara produktif. Munculnya inovasi-inovasi dari kalangan civil society seperti Dompet
Dhuafa Republika (DDR) yang mengeluarkan sertifikat wakaf tunai misalnya, merupakan
bentuk kepedulian yang tumbuh dari kesadaran masyarakat. Dan ini merupakan sinyal positif
secara politik dimana umat Islam diberi kebebasan dalam mengelola seluruh potensi
kekayaan yang dimiliki sesuai dengan system keuangan Syari’ah. Tentu saja yang diuntungkan
bukan saja masyarakat banyak yang kelak akan merasakan manfaat yang sesungguhnya dari
wakaf, tapi juga pihak pemerintah yang bijak akan mendapatkan dukungan penuh dari
masyarakatnya.
Otomatis, kondisi politik yang saling menguntungkan antara pemerintah dan
masyarakat tersebut menjadi peluang yang sangat lebar bagi pemberdayaan wakaf produktif
dalam rangka mengatasi krisis ekonomi yang yang berkepanjangan.
E. Banyaknya Perbankan Syari’ah yang
Siap Mengelola Wakaf Produktif
Pemikiran ekonomi Islam hingga kini masih didominasi oleh dua ajaran. Pertama, ajaran
tentang larangan riba yang dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan bisnis nyata, telah
menghasilkan pendangan yang mengharamkan
50
bunga bank (interest, rente). Hampir saja
pandangan ini menghalangi umat Islam untuk
berhubungan dengan lembaga perbankan, apalagi mendirikan bank. Hal ini menyebabkan umat
Islam tertinggal dalam perkembangan ekonomi dan bisnis, karena system kredit perbankan
merupakan faktor kunci dalam pembangunan ekonomi dan pertumbuhan bisnis. Karena itu,
maka ekonom muslim (yang umumnya berpendidikan Barat), cepat-cepat mengingatkan
umat Islam bahwa sesungguhnya yang dilarang oleh Islam Itu bukannya lembaga perbankan,
melainkan bunga bank yang mendasari mekanisme perbankan.
Tokoh Muhammadiyah, Kasman Singodimejo, menerbitkan buku kecil yang intinya adalah
mewajibkan umat Islam untuk mendirikan bank.
Wacana itu kemudian, di kalangan gerakan Islam ditindaklanjuti dengan pemikiran mengenai
lembaga keuangan, khususnya perbankan yang non ribawi. Setelah itu maka sejak kira-kira
dasawarsa 1970-an, bertepatan dengan krisis energi yang dikenal dengan istilah oil shock yang
melahirkan negara-negara pengekspor minyak bumi yang menghasilkan surplus dolar itu, mulai
lahir satu persatu apa yang disebut “bank Islam”.
Tumbuhnya bank-bank Islam di Eropa Barat
dan beberapa negara Islam tidak lepas dari pengaruh surplus dolar yang ‘bergentayangan’
mencari saluran. Dengan demikian tidak terlalu jika disimpulkan bahwa tumbuhnya bank-bank
Islam adalah merupakan respon terhadap gejala
51
surplus dolar pada tingkat global. Bahkan dapat
ditafsirkan pula bahwa lembaga perbankan Islam
(di Indonesia lebih dikenal dengan ‘perbankan Syari’ah) itu adalah hasil ‘konspirasi’ para ekonom
dan professional muslim, lulusan universitas-universitas Barat yang berhasil membuat lembaga
yang bisa memutarkan modal. Salah satu wujud rekayasa teknokrasi pada tingkat internasional
adalah Islamic Development Bank (IDB) yang berpusat di Jeddah, Saudi Arabia. Modal IDB
sebagian besar berasal dari negara-negara penghasil minyak bumi, yang kebanyakan adalah-
adalah negara-negara muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang
beranggotakan negara-negara Islam, termasuk Indonesia.
Telah banyak makalah dan buku ditulis
mengenai bank Islam dan system keuangan Islam, tidak saja oleh sarjana-sarjana muslim,
tetapi juga oleh sarjana-sarjana non muslim. Demikian juga telah banyak ditulis buku-buku dan
artikel-artikel ilmiah mengenai ekonomi Islam. Dalam tulisan tersebut, system moneter non-
ribawi selalu disebut sebagai yang paling menonjol, sehingga terkesan seolah-olah bahwa
system moneter, khususnya perbankan Islam inilah yang menemukan bentuknya, bahkan telah
sampai pada tingkat operasional, dengan terbentuknya lebih dari 50 bank-bank Islam di
dunia, termasuk di di negara-negara industri maju, khususnya di Eropa Barat. Bahkan sebuah
52
bank Amerika, City Bank, telah mengeluarkan
produk perbankan Syari’ah.
Di Indonesia berkat upaya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim
se-Indonesia (ICMI) pada tahun 1992, telah berhasil di dirikan Bank Muamalat Indonesia
(BMI), yang kini nilai assetnya telah mencapai 1,5 trilitun. Terlepas dari motivasi politik yang
dikemas sebagai sebuah dukungan dari aspirasi umat Islam saat itu, BMI telah memberikan
inspirasi bank-bank konvensional membuka bank bersistem Syariah, seperti Bank Mandiri Syari’ah
(BMS), BNI syari’ah, Bank IFI Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah dan sebagainya. Kemudian
juga terbentuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan lebih dari BPR-Syari’ah. Di tingkat
pedesaan kini telah berkembang lebih dari 3000
lembaga kredit mikro Syari’ah yang disebut dengan Baitul Mal wat-Tamwil (BMT) yang
dipelopori oleh ICMI.
Selain lembaga bank, telah pula dibentuk
lembaga asuransi Syari’ah (takaful). Demikian pula, dengan bantuan dana dari IDB, sebesar 75
juta dolar US, telah beroperasi sebuah reksadana (mutual fund) Syari’ah, yang kini telah berhasil
mengembalikan dana pinjamannya senilai 100 juta dolar US. Kesemuanya pada dasarnya adalah
lembaga keuangan yang mendasarkan diri pada aturan Syari’ah, yang secara teoritis telah
berkembang pesat, bahkan tidak saja telah diajarkan di perguruan tinggi Islam, melainkan
juga universitas-universitas di Barat, misalnya
53
Universitas Harvard (AS), Universitas Oxford
(Inggris) atau Universitas Wolonggong (Aystralia).
Lembaga perbankan dan keuangan tersebut telah ikut berperan dalam memberdayakan
ekonomi umat, dengan fasilitas kredit. Hanya saja perlu dicatat, bahwa produk yang paling popular
adalah murabahah untuk membiayai sektor perdagangan. Produk-produk mudharabah atau
musyarakah untuk membiayai investasi di bidang industri dan pertanian, masih sangat terbatas,
yaitu pangsanya masih kurang dari 15 % saja. Lagi pula, BMI umpamanya, hanya bisa
membiayai proyek-proyek yang kreditnya didukung dengan kolateral dan telah bekerja
minimal dua tahun, dengan laporan keuangan yang rapi. Investasi baru, dengan demikian tidak
mungkin dibiayai. Bank juga tidak mau menerima
tanah atau asset lain yang merupakan harta wakaf. Universitas Asy-Syafi’iyyah misalnya,
berhasil merubah setifikat tanah wakaf menjadi tanah hak milik. Faktor ini merupakan
penghambat penggunaan tanah wakaf sebagai salah satu modal usaha, terutama yang dibiayai
dengan kredit.
Berdasarkan tinjauan fikih, terdapat dua
pandangan atas posisi Nazhir yang berkaitan dengan masalah wakaf. Pertama, pendapat yang
menyatakan behwa Nazhir adalah penerima, penyalur sekaligus pengelola harta (dana) wakaf.
Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa Nazhir hanyalah sebagai penerima dan penyalur
harta (dana) wakaf, sedangkan wewenang
54
pengelolaan harta (dana) wakaf harus dipisahkan
dengan wewenang penerimaan dan penyaluran
untuk menghindari adanya kemungkinan negatif (moral hazard).
Munculnya bank-bank Syari’ah, khususnya yang dimotori oleh bank-bank besar konvensional
di hampir seluruh pelosok tanah air memberikan angin besar dan optimisme tinggi bagi umat
Islam, termasuk di dalamnya pengelolaan harta (dana) wakaf secara produktif. Untuk harta wakaf
yang berbentuk harta tak bergerak seperti tanah dan bangunan, pihak bank Syari’ah bisa
menjadikannya sebagai agunan (jaminan) peminjaman sejumlah dana dalam rangka
pengembangan harta wakaf yang lain. Sedangkan kalau dalam bentuk tunai (cash waqf), pihak bank
langsung bisa mengelola, mengembangkan dan
menyalurkan harta wakaf yang dipercayakan kepada bank tersebut.
Peranan perbankan Syari’ah dalam wakaf setidaknya memiliki beberapa keunggulan yang
diharapkan dapat mengoptimalkan operasional harta (dana) wakaf, yaitu:
(a) Jaringan kantor
Relatif luasnya jaringan kantor perbankan
Syari’ah dibandingkan dengan lembaga keuangan Syari’ah lainnya merupakan keunggulan tersendiri
bagi perbankan Syari’ah di dalam memberikan peran pengelolaan harta (dana) wakaf, baik
langsung maupun tidak langsung. Dengan luas jaringan yang mencapai 174 kantor (2001, BI) di
55
hampir seluruh wilayah Indonesia serta tingkat
pertumbuhan jumlah kantor bank Syari’ah yang
mencapai 2,1 % per-bulan, maka fenomena ini merupakan faktor penting di dalam
mengoptimalkan pemasyarakatannya (sosialisasi), penggalangan dana wakaf serta penyalurannya.
Dengan relatif luasnya jaringan kantor perbankan diharapkan akan lebih mengefektifkan
sosialisasi keberadaan produk wakaf tunai seiring dengan tingginya akses masyarakat terhadap jasa
perbankan. Sebagai implikasi dari efektifnya sosialisasi tersebut serta semakin luasnya
jaringan kantor, maka pada tahap selanjutnya panggalangan dana wakaf tunai juga akan
semakin optimal. Begitu pula dengan aktivitas penyalurannya, luasnya jaringan kantor akan
sangat membantu efektifitas serta efisiensi
penyampaian harta (dana) wakaf kepada mauquf ‘alaih.
(b) Kemampuan sebagai Fund Manager
Sebagai lembaga perantara antara Surplus
Spending Unit dengan Deficit Spending Unit, lembaga perbankan pada dasarnya merupakan
lembaga pengelola dana (masyarakat). Dengan demikian, sebuah lembaga perbankan dengan
sendirinya haruslah –tidak boleh tidak—merupakan lembaga yang memiliki kemampuan
untuk mengelola dana. Dalam kaitan dengan
56
wakaf tunai, merupakan suatu alternatif yang
patut dipertimbangkan dan dapat dipertanggung
jawabkan kepada publik, khususnya kepada wakif.
Dengan memahami bahwa pilihan produk
keuangan Syari’ah masih terbatas di pasar dalam negeri, maka pilihan untuk menempatkan dana
pada produk-produk Syari’ah di pasar internasional menjadi sangat besar. Di sampaing
itu penanaman dana di pasar internasional juga dapat dipandang sebagai upaya memperkecil
resiko melalui diversifikasi penanaman dana. Untuk itu, efektifitas serta optimalisasi
pengelolaan dana perbankan Syari’ah tersebut memiliki akses sekaligus berberan dalam pasar
keuangan Syari’ah internasional.
(c) Pengalaman, Jaringan Informasi dan Peta
Distribusi
Sebagai pengelola dana untuk kemudian disalurkan kepada pihak tertentu, lembaga
perbankan akan memiliki pengalaman, informasi serta data distribusi kemana dana tersebut
dialirkan. Dalam praktek operasional selanjutnya, ketiga hal tersebut menjadi faktor yang akan
selalu dipertimbangkan di dalam mengoptimalkan pengelolaan dana. Jaringan informasi serta peta
distribusi juga memungkinkan untuk terbentuknya database informasi mengenai sektor usaha
maupun debitur yang akan dibiayai termasuk oleh dana eks wakaf. Dalam kaitan dengan wakaf
tunai, maka pengelolaan wakaf tunai oleh lembaga perbankan, tidak saja akan
57
mengoptimalkan pengelolaan dana akan tetapi
juga akan mengefektifkan penyaluran dana wakaf
tunai sesuai dengan yang dinginkan oleh wakif.
(d) Citra positif
Dengan adanya ketiga hal tersebut di atas yang menjadi faktor positif pada lembaga
perbankan Syari’ah yang menjadi wakaf tunai, maka diharapkan akan menimbulkan citra positif
pada gerakan wakaf tunai itu sendiri maupun pada perbankan Syari’ah pada khususnya. Selain
itu danya pengawasan dari Bank Indonesia (BI) akan menimbulkan akuntabilitas yang positif dari
pengelolaan wakaf tersebut. Pemunculan citra positif tersebut dipandang penting, tidak saja
untuk mensukseskan serta mengoptimalkan keberadaan wakaf tunai tersebut, akan tetapi juga
sebagai upaya untuk menghindari citra yang
kurang baik, seperti halnya yang terjadi pada pengelolaan wakaf pada umumnya.
58
Bagian Keempat
HAMBATAN DAN TANTANGAN
A. Paham Umat Islam Tentang Wakaf
Sejak datangnya Islam, wakaf telah dilaksanakan
berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar
masyarakat Islam Indonesia, yaitu paham Syafi’iyyah dan
adat kebiasaan setempat. Pola pelaksanaan wakaf sebelum
adanya UU No. 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar
Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun
1977 tentang : Perwakafan Tanah Milik, masyarakat Islam
Indonesia masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan
keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan
hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling
percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu,
kebiasaan memandang wakaf sebagai amal shaleh yang
mempunyai nilai mulia di hadirat Tuhan tanpa harus
melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap
milik Allah semata dan tidak akan pernah ada pihak yang
berani mengganggu gugat.
Paham masyarakat Indonesia tersebut terlihat sangat
lugu karena tingginya sikap jujur dan saling percaya
antara satu dengan yang lain di masa-masa awal.
Walaupun pada akhirnya nanti bisa menimbulkan
persengketaan-persengketaan karena tiadanya bukti-bukti
yang mampu menunjukkan bahwa benda-benda
bersangkutan telah diwakafkan. Keberadaan perwakafan
tanah waktu itu dapat diteliti berdasarkan bukti-bukti
catatan di Kantor Urusan Agama (KUA) di kabupaten dan
kecamatan, bukti arkeologi, Candra Sengkala, piagam
59
perwakafan dan cerita sejarah tertulis maupun lisan.
(Djatnika : 1977)
Selain tradisi lisan dan tingginya kepercayaan kepada
penerima amanah dalam melakukan wakaf, umat Islam
Indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan
Syafi’iyyah sebagaimana mereka mengikuti madzhabnya,
seperti tentang : ikarar wakaf, harta yang boleh
diwakafkan, kedudukan harta setelah diwakafkan, harta
wakaf ditujukan kepada siapa dan boleh tidaknya tukar
menukar harta wakaf.
Pertama, ikrar wakaf. Sebagaimana di sebutkan di atas
bahwa kebiasaan masyarakat kita sebelum adanya UU No.
5 tahun 1960 dan PP No. 28 tahun 1977 hanya
menggunakan pernyataan lisan saja yang didasarkan pada
adat kebiasaan keberagamaan yang bersifat lokal.
Penyataan lisan secara jelas (sharih) menurut pandangan
As-Syafi’i termasuk bentuk dari pernyataan wakaf yang
sah. Akan tetapi dalam kasus masjid, bila seseorang
memiliki masjid dan mengijinkan orang atau pihak lain
melakukan ibadah di masjid tersebut, maka tidaklah
otomatis masjid itu berstatus wakaf. Pernyataan wakaf
harus menggunakan kata-kata yang jelas seperti waqaftu,
habastu atau sabbaltu atau kata-kata kiasan yang
dibarengi dengan niat wakaf secara tegas. Dari pandangan
Imam Asy-Syafi’I tersebut kemudian ditafsirkan secara
sederhana bahwa pernyataan wakaf cukup dengan lisan
saja.
Namun demikian ketika ada orang yang mewakafkan
harta bendanya dengan tulisan atau isyarat untuk
menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang
diinginkan bukan berarti wakafnya tidak sah. Pernyataan
60
tulisan mewakafkan sesuatu justru bisa menjadi bukti yang
kuat bahwa si wakif telah melakukannya, lebih-lebih itu
dinyatakan di hadapan hakim dan Nazhir wakaf yang
ditunjuk.
Kedua, harta yang boleh diwakafkan. Benda yang
diwakafkan dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut ;
(1) Benda harus memiliki nilai guna. Tidak sah
hukumnya mewakafkan sesuatu yang bukan benda,
misalnya hak-hak yang bersangkut paut dengan
benda, seperti : hak irtifaq, hak irigasi, hak lewat, hak
pakai dan lain sebagainya. Tidak sah pula
mewakafkan benda yang tidak berharga menurut
syara’, yakni benda yang tidak boleh diambil
manfaatnya, seperti benda memabukkan dan benda-
benda haram lainnya. Karena maksud wakaf adalah
mengambil manfaat benda yang diwakafkan serta
mengharapkan pahala atau keridhaan Allah atas
perbuatan tersebut.
(2) Benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan
untuk diwakafkan. Kebiasaan masyarakat Indonesia
dalam sejarahnya dan juga sampai sekarang pada
umumnya mewakafkan harta berupa benda yang
tidak bergerak, seperti tanah, bangunan untuk masjid,
madrasah, pesantren, rumah sakit, panti asuhan dan
lain sebagainya. Dan pandangan ini secara kebetulan
juga telah disepakati oleh semua madzhab empat.
Garis umum yang dijadikan sandaran golongan
Syafi’iyyah dalam mewakafkan hartanya dilihat dari
kekekalan fungsi atau manfaat dari harta tersebut,
61
baik berupa barang tak bergerak, barang bergerak
maupun barang kongsi (milik bersama) (Asy-
Syarbini : 1958 : 376). Namun demikian, walaupun
golongan Syafi’iyyah membolehkan harta bergerak
seperti uang, saham dan surat berharga lainnya, umat
Islam Indonesia belum bisa menerima sepenuhnya
karena dikhawatirkan wujud barangnya bisa habis.
(3) Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui)
ketika terjadi akad wakaf. Penentuan benda tersebut
bisa ditetapkan dengan jumlahnya, seperti seratus juta
rupiah, atau bisa juga menyebut dengan nisbahnya
terhadap benda tertentu, misalnya separuh tanah yang
dimiliki, dan lain sebagainya. Wakaf yang tidak
menyebutkan secara jelas terhadap harta yang akan
diwakafkan, maka tidak sah hukumnya, seperti
mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki, sejumlah
buku dan sebagainya.
(4) Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi
milik tetap (al-milk at-tamm) si wakif (orang yang
mewakafkan) ketika terjadi akad wakaf. Oleh
karenanya, jika seseorang mewakafkan benda yang
bukan atau belum menjadi miliknya, walaupun
nantinya akan menjadi miliknya, maka hukumnya
tidak sah, seperti mewakafkan benda atau sejumlah
uang yang masih belum diundi dalam arisan,
mewakafkan tanah yang masih dalam sengketa atau
jaminan jual beli dan lain sebagainya.
Ketiga, kedudukan harta setelah diwakafkan. Di
lingkungan umat Islam Indonesia bahwa semangat
pelaksanaan wakaf lebih bisa dilihat dari adanya
62
kekekalan fungsi atau manfaat untuk kesejahteraan umat
atau untuk kemaslahatan agama, baik terhadap diri
maupun lembaga yang telah ditunjuk oleh wakif. Karena
tujuan dan kekekalan manfaat dari benda yang
diwakafkan, maka menurut golongan Syafi’iyyah yang
dianut pula oleh mayoritas masyarakat muslim Indonesia
berubah kepemilikannya menjadi milik Allah atau milik
umum. Wakif sudah tidak memiliki hak terhadap benda
itu. Menurut mereka, wakaf itu sesuatu yang mengikat, si
wakif tidak dapat menarik kembali dan membelanjakannya
yang dapat mengakibatkan perpindahan hak milik, dan ia
juga tidak dapat mengikrarkan bahwa benda wakaf itu
menjadi hak milik orang lain dan lain sebagainya. Ia tidak
dapat menjual, menggadaikan, menghibahkan serta
mewariskan.
Keempat, harta wakaf ditujukan kepada siapa?
Dalam realitas masyarakat kita, wakaf yang ada selama ini
ditujukan kepada dua pihak :
(1) keluarga atau orang tertentu (wakaf ahli) yang
ditunjuk oleh wakif. Apabila ada seseorang yang
mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu
kepada cucunya, maka wakafnya sah dan yang
berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang
ditunjuk dalam pernyataan wakaf.
Di satu sisi, wakaf ahli ini baik sekali karena si wakif
akan mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari
amal ibadah wakafnya, juga kebaikan dari
silaturrahminya dengan orang yang diberi amanah
wakaf. Akan tetapi di sisi yang lain, wakaf ahli ini
sering menimbulkan masalah, seperti : bagaimana
kalau anak yang ditunjuk sudah tidak ada lagi
63
(punah), siapa yang berhak mengambil manfaat dari
harta wakaf itu ? Lebih-lebih pada saat akad
wakafnya tidak disertai dengan bukti tertulis yang
dicatatkan kepada negara. Atau sebaliknya,
bagaimana jika anak cucu si wakif yang menjadi
tujuan wakaf itu berkembang sedemikian rupa,
sehingga menyulitkan bagaimana cara pembagian
hasil harta wakaf. Dan ini banyak bukti, di
lingkungan masyarakat kita sering terjadi
persengketaan antar keluarga yang memperebutkan
harta yang sesungguhnya sudah di wakafkan kepada
orang yang ditunjuk. Dalam masalah ini, Ahmad
Azhar Basyir, MA dalam bukunya “ Hukum Islam
tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah” menulis:
menghadapi kenyataan semacam itu di beberapa
negara yang dalam perwakafan telah mempunyai
sejarah lama, lembaga wakaf ahli itu sebaiknya
diadakan peninjauan kembali untuk dihapuskan.
(2) Wakaf yang ditujukan untuk kepentingan agama
(keagamaan) atau kemasyarakatan (wakaf khairi).
Wakaf seperti ini sangat mudah kita temukan di
sekitar kehidupan masyarakat kita, yaitu wakaf yang
diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid,
sekolahan, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak
yatim dan lain-lain. Wakaf dalam bentuk seperti ini
jelas lebih banyak manfaatnya dari pada jenis yang
pertama, karena tidak terbatasnya orang atau
kelompok yang bisa mengambil manfaat. Dan inilah
yang sesungguhnya semangat yang diajarkan oleh
wakaf itu sendiri.
64
Kelima, boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf.
Dalam masalah ini, mayoritas wakif dari umat Islam
Indonesia berpegang pada pandangan konservatifnya Asy-
Syafi’i sendiri yang menyatakan bahwa harta wakaf tidak
boleh ditukar dengan alasan apapun. Dalam kasus masjid
misalnya, Imam Syafi’i menegaskan bahwa tidak boleh
menjual masjid wakaf secara mutlak, sekalipun masjid itu
roboh. Dan ini mudah kita temukan bangunan-bangunan
masjid tua di sekitar kita yang nyaris roboh dan
mengakibatkan orang malas pergi ke masjid tersebut
hanya karena para Nazhir wakaf mempertahankan
pendapatnya Imam Syafi’i.
Sebagai perbandingan, kalau menurut pendapatnya
Imam Ahmad bin Hanbal justru membolehkan menjual
harta wakaf dengan harta wakaf yang lain. Dalam kasus
masjid di atas, menurutnya, masjid tersebut (yang sudah
roboh) boleh dijual apabila masjid itu sudah tidak lagi
sesuai dengan tujuan pokok perwakafan sebagaimana
tujuan atau niat wakif ketika akad wakaf dilangsungkan.
Namun demikian hasil dari penjualannya harus
dipergunakan untuk membangun masjid lain yang lebih
bisa dimanfaatkan peruntukannya secara maksimal. (Abu
Zahrah : 1971) Jadi pada dasarnya, perubahan peruntukan
dan status tanah wakaf ini tidak diperbolehkan, kecuali
apabila tanah wakaf tersebut sudah tidak dapat lagi
dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf, maka terhadap
wakaf yang bersangkutan dapat diadakan perubahan, baik
peruntukannya maupun statusnya.
Persyaratan ketat atas penukaran harta wakaf karena
kita tahu, tidak semua orang di dunia ini baik akhlaknya,
demikian juga dengan Nazhir (pengelola harta wakaf).
65
Sering kita temukan orang atau lembaga yang diberi
amanah wakaf (Nazhir) yang dengan sengaja
mengkhianati kepercayaan wakif dengan merubah
peruntukan atau status tanah wakaf tanpa alasan yang
meyakinkan. Hal-hal yang demikian ini tentu
menimbulkan reaksi dalam masyarakat, khususnya bagi
mereka yang berkepentingan dalam perwakafan tanah.
Sebelum dikeluarkannya PP No. 28 tahun 1977, keadaan
perwakafan tanah tidak atau belum diketahui jumlahnya,
bentuknya, penggunaan dan pengelolaannya disebabkan
tidak adanya ketentuan administratif yang mengatur. Itulah
urgensi dikeluarkannya PP No. 28 tahun 1977 yang
disebut dalam konsiderannya. Dan jelas sekali kondisi di
atas sangat mengganggu nilai-nilai yang terkandung dalam
ajaran wakaf itu sendiri tentang sosialisme harta (kekayaan
dunia) untuk menciptakan keseimbangan sosial di tengah-
tengah masyarakat.
Keenam, adanya kebiasaan masyarakat kita yang ingin
mewakafkan sebagian hartanya dengan mempercayakan
penuh kepada seseorang yang dianggap tokoh dalam
masyarakat sekitar, seperti kyai, ulama, ustadz, ajengan
dan lain-lain untuk mengelola harta wakaf sebagai Nazhir.
Orang yang ingin mewakafkan harta (wakif) tidak tahu
persis kemampuan yang dimiliki oleh Nazhir tersebut.
Dalam kenyataannya, banyak para Nazhir wakaf tersebut
tidak mempunyai kemampuan manajerial dalam
pengelolaan tanah atau bangunan sehingga harta wakaf
tidak banyak manfaat bagi masyarakat sekitar. Keyakinan
yang mendarah dan mendaging bahwa wakaf harus
diserahkan kepada seorang ulama, kyai atau lainnya,
sementara orang yang diserahi belum tentu mampu
66
mengurus merupakan kendala yang cukup serius dalam
rangka memberdayakan harta wakaf secara produktif di
kemudian hari.
B. Banyaknya Tanah Wakaf Yang Tidak Strategis dan
Pro-Kontra Mengenai Pengalihan Wakaf Untuk
Tujuan Produktif
Menurut data Departemen Agama terakhir terdapat
kekayaan tanah wakaf di Indonesia sebanyak 403.845
lokasi dengan luas 1.566.672.406 M2. Dari total jumlah
tersebut tidak seluruhnya berlokasi strategis secara
ekonomis. Tanah perkebunan, sawah, ladang dan lain-lain
yang diwakafkan ternyata banyak yang mempunyai nilai
ekonomis sangat minim. Letak ketidakstrategisan secara
ekonomi bisa ditinjau dari aspek :
(a) Lokasi tanah. Letak tanah yang jauh dari pusat-pusat
perekonomian sangat mempengaruhi terhadap nilai
tanahnya. Tentu saja hal yang menjadi kendalanya
adalah faktor transportasi, baik dalam proses-proses
pengolahan maupun pengambilan hasil-hasil tanah
tersebut. Banyak tanah wakaf di Indonesia berupa
sawah, perkebunan, lapangan terbuka atau lainnya
tidak tergarap secara baik karena kendala transportasi
yang sangat jauh dari pusat-pusat ekonomi atau
kegiatan social yang ada. Katakanlah tanah yang
diwakafkan tersebut subur dan sangat mungkin bisa
menghasilkan panen yang bagus, tetapi karena faktor
jarak atau transportasi yang tidak sesuai dengan hasil
panen yang didapat, akhirnya tanah-tanah tersebut
terbengkelai atau tidak terurus.
67
(b) Kondisi tanah. Tanah yang gersang atau tidak subur
jelas tidak menguntungkan secara ekonomi.
Walaupun letak tanah strategis secara ekonomi, tapi
jika tidak mempunyai kekuatan ekonomi yang
memadai, maka tanah tersebut akan ditinggalkan atau
tidak diurusi oleh para Nazhir wakaf. Lebih-lebih
tanahnya gersang dan letaknya pun sangat jauh dari
pusat-pusat ekonomi. Kondisi tanah wakaf seperti ini
memang dibutuhkan kemampuan para Nazhir untuk
mengelola secara produktif yang tidak selalu
berorientasi pada penggarapan di bidang agraria,
namun tentu saja hambatan yang umum dialami
dunia perwakafan di Indonesia adalah minimnya
kemampuan para Nazhir wakaf untuk memecahkan
persoalan tersebut.
(c) Kemampuan pengelolaan tanah yang minim. Di
samping karena faktor letak yang tidak strategis
secara ekonomi dan kondisi tanah yang gersang,
hambatan yang cukup mencolok untuk mengelola
tanah wakaf secara produktif adalah kemampuan
Sumber Daya Manusia (SDM) penggarap yang tidak
professional. Kondisi ini banyak dialami oleh para
Nazhir wakaf yang ada di pedesaan di hampir seluruh
pelosok nusantara, bahwa kemampuan penggarap
masih sangat minim. Katakanlah tanah wakaf
tersebut sudah digarap sesuai dengan standar
kemampuan rata-rata di lingkungan tanah wakaf
tersebut, namun hasilnya masih belum maksimal,
atau paling tidak hanya sekedar kembali modal
penggarapan.
68
Keadaan tersebut merupakan kenyataan di lapangan
dimana banyak tanah-tanah wakaf belum bisa digarap
secara produktif sehingga menghasilkan out-put ekonomi
yang lebih baik untuk kesejahteraan masyarakat banyak.
Di samping kendala teknis tanah yang tidak strategis
secara ekonomis, di dalam masyarakat kita masih terjadi
pro-kontra pengalihan atau pertukaran tanah wakaf untuk
tujuan yang produktif maupun pemanfaatannya. Misalnya,
ada seorang wakif yang mewakafkan tanah kebunnya
untuk pesantren di pusat kota, sementara tanah yang wakif
miliki di pedesaan jauh dari pesantren tersebut. Sementara
pesantren tidak memiliki modal yang cukup untuk
mengelola tanah wkaf tersebut, sehingga tanah wakaf
seperti itu tidak bisa dikelola secara baik karena kendala
transportasi dan sarana lain. Namun ketika para wakif
ditawarkan bahwa tanah wakaf tersebut sebaiknya dijual
dan hasil penjualan untuk kepentingan pesantren seperti
gedung perpustakaan misalnya, ternyata para wakif
banyak yang menolaknya karena memegangi paham
bahwa wakaf tidak bisa dijual.
Memang kendala pemahaman untuk mengalihkan
tanah-tanah yang tidak strategis secara ekonomis dengan
tanah-tanah yang atau sarana lain yang strategis secara
ekonomis masih menjadi hambatan yang nyata. Hal ini
bisa dimaklumi karena adanya pemahaman yang kuat dan
mendalam bahwa wakaf merupakan harta yang bersifat
abadi dimana kepemilikannya dikembalikan penuh kepada
Allah sebagaimana dikembalikan kepada arti wakaf itu
sendiri, yaitu harta yang ‘berhenti’ untuk Allah, sehingga
apapun kondisi harta wakaf tersebut harus dibiarkan dan
tidak boleh dirubah-rubah oleh alasan apapun.
69
Sebenarnya menurut pandangan ulama madzhab
empat, persoalan pengalihan harta wakaf cukup dinamis
dan fleksibel, namun masyarakat Indonesia terkenal
dengan kuatnya memegangi pendapat Imam Syafi’i.
Sebagai perbandingan pandangan mengenai hal ini bisa
lihat sebagai berikut:
Apabila harta wakaf sudah tidak memberi manfaat
lagi, seperti: wakaf sebidang tanah ditanami jeruk,
sedangkan jeruknya sudah tidak berbuah lagi. Atau kurang
memberi manfaat, seperti : wakaf sebidang tanah sawah
untuk ditanami padi, akan tetapi bila ditanami padi kurang
baik hasilnya. Bolehkan dengan harta lainnya? Dalam hal
ini para ulama berbeda pendapat :
Menurut Ulama Hanafiyah
Dalam penukaran harta wakaf, mereka membagi menjadi 3
(tiga) macam :
Bila si wakif pada waktu mewakafkan harta
mensyaratkan bahwa dirinya atau pengurus harta wakaf
(Nazhir) berhak menukar, maka penukaran harta wakaf
boleh dilakukan. Tapi Muhammad berpendapat bahwa
: “wakafnya sah, sedang syaratnya batal”.
Apabila si wakif tidak mensyaratkan dirinya atau orang
lain berhak menukar, kemudian ternyata wakaf itu
tidak memungkinkan diambil manfaatnya, misalnya :
wakaf bangunan yang sudah roboh dan tidak ada yang
membangunnya kembali, atau tanah yang tandus, maka
dibolehkan menukar harta wakaf dengan seijin hakim.
Jika harta itu bermanfaat dan hasilnya melebihi biaya
pemeliharaan, tapi ada kemungkinan untuk ditukar
70
dengan sesuatu yang lebih banyak manfaatnya, maka
dalam hal ini ulama Hanafiyah berbeda pendapat, Abu
Yusuf berpendapat : “boleh” menukarnya karena lebih
bermanfaat bagi si wakif dan tidak menghilangkan apa
yang dimaksud oleh si wakif. (Abu Zahrah, 1971 :
171). Hilal dan kamaluddin bin al-Himam berpendapat
: “tidak boleh” menukarnya sebab hukum pokok dari
wakaf adalah tetapnya barang wakaf, bukan
bertambahnya manfaat. Tapi boleh menukarnya dalam
keadaan darurat atau memang ada ijin atau syarat dari
si wakif. (Abu Zahrah, 1971 : 172).
Menurut Ulama Malikiyah
Golongan Malikiyah berpendapat “tidak boleh”
menukar harta wakaf yang terdiri dari benda tak bergerak,
walaupun benda itu akan rusak atau tidak menghasilkan
sesuatu. Tapi sebagian ada yang berpendapat “boleh” asal
diganti dengan benda tak bergerak lainnya jika dirasakan
bahwa benda itu sudah tidak bermanfaat lagi.
Sedangkan untuk benda bergerak, golongan Malikiyah
“membolehkan”, sebab dengan adanya penukaran maka
benda wakaf itu tidak akan sia-sia. (Abu Zahrah, 1971 :
163).
Menurut Ulama Syafi’iyyah
Imam Asy-Syafi’I sendiri dalam masalah tukar
menukar harta wakaf hampir sama dengan pendapatnya
Imam Malik, yaitu sangat mencegah adanya tukar
menukar harta wakaf. Imam Syafi’I berpendapat : “tidak
71
boleh” menjual masjid secara mutlak, sekalipun masjid itu
roboh.
Tapi golongan Syafi’iyyah berbeda pendapat tentang
benda wakaf benda tak bergerak yang tidak memberi
manfaat sama sekali :
Sebagian menyatakan “boleh” ditukar agar harta wakaf
itu ada manfaatnya.
Sebagian menolaknya. (Abu Zahrah, 1971 : 164).
Dalam kitan al-Muhadzdzab diterangkan : “apabila ada
orang yang mewakafkan pohon korma, kemudian pohon
itu kering (mati) atau binatang ternak lalu lumpuh atau
tiang untuk masjid kemudian roboh atau rusak, dalam
masalah ini ada dua pendapat : (a) tidak boleh dijual,
seperti halnya masjid, (2) boleh dijual, karena yang
diharapkan dari wakaf adalah manfaatnya. Jadi lebih baik
dijual daripada dibiarkan begitu saja, kecuali yang
berkenaan dengan masjid. Sebab masjid masih dapat
ditempati sholat walalupun dalam keadaan roboh. (As-
Sairazi, tt : 445).
Menurut Imam Ahmad Bin Hanbal
Imam Ahmad Bin Hanbal berpendapat bahwa boleh
menjual harta wakaf, kemudian diganti dengan harta
wakaf lainnya. Pendapat Imam Ahmad lebh lunak
dibandingkan dengan pendapat Imam Malik dan Imam
Syafi’I, walaupu tidak selunak pendapat Imam Abu
Hanifah.
Lebih jelasnya beliau menyatakan bahwa menjual
masjid itu diperbolehkan bila masjid tersebut tidak sesuai
lagi dengan tujuan pokok perwakafan, seperti masjid yang
72
sudah tidak dapat menampung jama’ahnya dan tidak
mungkin untuk diperluas, atau sebagian masjid itu roboh
sehingga tidak dapat dimanfaatkan. Maka dalam keadaan
seperti ini masjid boleh dijual kemudian uangnya
digunakan untuk membangun masjid yang lain. (Abu
Zahrah, 1971 : 165).
Diantara pendapat para ulama madzhab tersebut yang
cukup “ngotot” mempertahankan harta wakaf dalam
keadaan apapun adalah Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Masyarakat muslim Indonesia sebagaimana sudah
dijelaskan di atas adalah penganut setia madzhab
Syafi’iyyah yang sangat mencegah adanya tukar menukar
harta wakaf. Keyakinan yang kuat dan turun temurun itu
sampai saat ini cukup dominan di lingkungan masyarakat
kita, sehingga tanah-tanah yang tidak strategis secara
ekonomis sebagaimana di atas tidak terkelola secara baik.
Memang ini menjadi kendala sekaligus tantangan bagi
Nazhir dan prospek perwakafan secara umum. Kalau kita
sudah bisa mengatasi masalah ini sebenarnya terbuka
peluang yang cukup besar untuk mengelola tanah-tanah
wakaf yang tersedia di lingkungan umat Islam. Tentu saja
tidak cukup sekedar menyegarkan kembali pemahaman
umat Islam tentang wakaf itu sendiri, tapi yang paling
penting dan mendesak adalah bagaimana SDM
perwakafan mampu mengelola, mengembangkan,
mendistribusikan dan menjaga agar wakaf tetap
mempunyai manfaat bagi kesejahteraan umat Islam
khususnya dan umat lain pada umumnya.
73
C. Banyaknya Tanah Yang Belum Bersertifikat
Tanah wakaf yang mempunyai kepastian hukum ialah
mempunyai syarat-syarat administrasi yang telah diatur
oleh ketentuan PP No. 28/1977 serta peraturan
pelaksanaannya, khususnya mempunyai sertifikat tanah.
Tanah wakaf tersebut dapat dimanfaatkan sesuai dengan
tujuan wakaf, serta dapat dikembangkan.
Sebaliknya, tanah wakaf yang tidak mempunyai
persyaratan seperti ketentuan PP No. 28/1977, tidak
mempunyai kepastian hukum. Sehingga terdapat data-data
tanah wakaf dimiliki orang lain yang tidak berhak, mejadi
sengketa dan tidak dapat dimanfaatkan sebagaimana
mestinya.
Memang ada kendala kenapa tanah wakaf di Indonesia
sampai saat ini masih banyak yang belum mempunyai
sertifikat tanah wakaf karena banyaknya tanah wakaf yang
tidak mempunyai bukti perwakafan, seperti surat-surat
yang memberikan keterangan bahwa tanah tersebut telah
diwakafkan. Tanah wakaf yang tidak mempunyai bukti
administratif tersebut karena banyak para wakif yang
menjalankan tradisi lisan dengan kepercayaan yang tinggi
jika akan mewakafkan tanahnya kepada Nazhir perorangan
maupun lembaga, khususnya pelaksanaan wakaf sebelum
PP No. 28 Tahun 1977.
Di samping faktor awal keengganan Wakif dalam
pembuatan sertifikat wakaf, di lingkungan internal
birokrasi sendiri, khususnya BPN terdapat beberapa
kendala. Kendala utama adalah faktor pembiayaan
administrasi proses sertifikasi wakaf yang belum memadai
dari pihak pemerintah, khususnya Departemen Agama.
74
Anggaran bantuan sertifikasi dari Departemen Agama
memang selalu diajukan, namun karena keterbatasan
anggaran Negara, sehingga belum mendapat alokasi dana
yang memadai.
D. Nazhir Wakaf Masih Tradisional-Konsumtif
Salah satu hal yang selama ini menjadi hambatan riil
dalam pengembangan wakaf di Indonesia adalah
keberadaan nazhir (pengelola) wakaf yang masih
tradisional. Ketradisionalan nazhir dipengaruhi,
diantaranya:
Karena masih kuatnya paham mayoritas umat Islam
yang masih stagnan (beku) terhadap persoalan wakaf.
Selama ini, wakaf hanya diletakkan sebagai ajaran
agama yang kurang memiliki posisi penting. Apalagi
arus utama mayoritas ulama Indonesia lebih
mementingkan aspek keabadian benda wakaf daripada
aspek kemanfaatannya. Sehingga banyak sekali benda-
benda wakaf yang kurang memberi manfaat kepada
masyarakat banyak, bahkan dibiarkan begitu saja
karena adanya pemahaman –mengikuti pendapat Imam
Syafi’i—yang melarang adanya perubahan benda-
benda wakaf, meskipun benda tersebut telah rusak
sekalipun. Dari sinilah kemudian benda-benda wakaf
tidak bisa dikembangkan secara lebih optimal.
Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
nazhir wakaf. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa
banyak para wakif yang diserahi harta wakaf lebih
karena didasarkan pada kepercayaan kepada para tokoh
agama seperti kyai, ustadz, ajengan, tuan guru dan lain
75
sebagainya, sedangkan mereka kurang atau tidak
mempertimbangkan kualitas (kemampuan)
manajerialnya, sehingga benda-benda wakaf banyak
yang tidak terurus (terbengkelai).
Lemahnya kemauan para nazhir wakaf juga menambah
ruwetnya kondisi wakaf di tanah air. Banyak nazhir
wakaf yang tidak memiliki militansi yang kuat dalam
membangun semangat pemberdayaan wakaf untuk
kesejahteraan umat. Naifnya lagi, diantara sekian
banyak nazhir di tanah air ada yang justru mengambil
keuntungan secara sepihak dengan menyalahgunakan
peruntukan benda wakaf, seperti menyewakan tanah
wakaf untuk bisnis demi kepentingan pribadi atau ada
juga yang secara sengaja menjual dengan pihak ketiga
dengan cara yang tidak sah.
Padalah, kehadiran nazhir sebagai pihak yang
diberikan kepercayaan dalam pengelolaan harta wakaf
sangat lah penting, yang tidak bisa dipandang sebelah
mata. Walaupun para mujtahid tidak menjadikan nazhir
sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat
bahwa wakif harus menunjuk nazhir wakaf yang mampu,
baik yang bersifat perseorangan maupun kelembagaan
(badan hukum). Pengangkatan nazhir wakaf yang mampu
ini bertujuan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus,
sehingga harta wakaf itu tidak sia-sia.
Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara
dan mengurusi wakaf mempunyai kedudukan yang penting
dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan
nazhir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya
benda wakaf tergantung dari nazhir itu sendiri. Untuk itu,
sebagai instrument penting dalam perwakafan, nazhir
76
harus memenuhi syarat-syarat yang memungkinkan, agar
wakaf bisa diberdayakan sebagaimana mestinya.
Mengingat salah satu tujuan wakaf ialah
menjadikannya sebagai sumber dana yang produktif, tentu
memerlukan nazhir yang mampu melaksanakan tugas-
tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab.
Apabila nazhir tidak mampu melaksanakan tugas
(kewajiban) nya, maka Qadhi (pemerintah) wajib
menggantinya dengan tetap menjelaskan alasan-alasannya.
77
Bagian Kelima
PENGEMBANGAN
Meskipun wakaf telah memainkan peran yang
sangat penting dalam pembangunan masyarakat Muslim sepanjang sejarah perkembangan Islam,
namun dalam kenyataannya, persoalan perwakafan belum dikelola secara baik
sebagaimana tujuan para wakif itu sendiri, khususnya di Indonesia. Untuk itu sudah
waktunya kita mengkaji, menganalisis dan menerapkan strategi pengelolaan dalam rangka
pengembangan wakaf secara berkesinambungan agar harta wakaf, khususnya tanah wakaf yang
strategis bisa dijadikan salah satu alternatif nyata dalam pemberdayaan ekonomi umat. Di Indonesia
memang masih sedikit orang yang mewakafkan tanahnya dalam bentuk tanah produktif,
andaikata ada, untuk mengelola tanah tersebut
masih memerlukan biaya yang tidak sedikit dan biaya tersebut harus diusahakan. Oleh karena itu
sudah saatnya umat Islam Indonesia memikirkan cara mengelola wakaf yang ada ini supaya dapat
mendatangkan kemanfaatan pada semua pihak, baik bagi wakif maupun mauquf ‘alaih
(masyarakat).
Hal ini penting dilakukan karena dalam
kenyataannya di negeri kita, kondisi tanah wakaf justru banyak yang menurun nilainya karena tidak
adanya pemeliharaan dan pengembangan asset
78
secara baik. Agar tetap memberikan manfaat
kepada mauquf ‘alaih (penerima wakaf) seperti
fakir miskin atau mustahiq lainnya, perlu adanya tekad semua pihak untuk bau membau dalam
mengembangkannya.
Jika kita perhatikan beberapa pengelolaan
wakaf yang diterapkan di beberapa negara muslim lainnya, nampaknya Indonesia harus mengacu
pada manajemen wakaf yang dilakukan di Mesir, Yordania dan Bangladesh. Untuk mengelola wakaf
produktif di Indonesia, hal yang harus dilakukan adalah merencanakan program, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Berikut ini akan diuraikan program-program yang terkait, yaitu :
A. Program Jangka Pendek
Dalam rangka mengembangkan tanah wakaf
secara produktif, satu hal yang dilakukan oleh pemerintah dalam jangka pendek adalah
membentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI). Pembentukan BWI sebagaimana yang
diamanatkan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pasal 47 sampai dengan pasal 61
ditegaskan bahwa Badan Wakaf Indonesia (BWI)
dibentuk dan berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesi dan dapat
membentuk perwakilan di provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan.
Adapun tugas dari lembaga ini adalah:
79
a. melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam
mengelola dan mengembangkan harta benda
wakaf;
b. melakukan pengelolaan dan pengembangan
harta benda wakaf berskala nasional dan internasional;
c. memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda
wakaf;
d. memberhentikan dan mengganti Nazhir;
e. memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
f. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di
bidang perwakafan.
Dilihat dari tugas kelembagaan, keberadaan
Badan Wakaf Indonesia (BWI) mempunyai posisi sangat strategis dalam pemberdayaan wakaf
secara produktif. Pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) bertujuan untuk
menyelenggarakan koordinasi dengan Nazhir dan pembinaan manajemen pengelolaan wakaf secara
nasional, baik bersifat nasional dan internasional dan terlantar maupun pembinaan terhadap
Nazhir. Keberadaan Badan Wakaf Indonesia (BWI) bersifat independen dan profesional yang
bersinergi dengan peran pemerintah sebagai regulator, fasilitator, motivator dan public service.
80
Untuk itu, Badan Wakaf Indonesia (BWI)
sebagai pioneer pengembangan wakaf secara
nasional akan diisi oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang benar-benar mempunyai kemampuan
dan kemauan dalam mengelola wakaf, berdedikasi tinggi dan memiliki komitmen dalam
pengembangan wakaf. Bentuk organisasi Badan Wakaf Indonesia (BWI) terdiri dari paling sedikit
20 (dua puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang terdiri dari unsur masyarakat
dari berbagai disiplin ilmu dan latar belakang, seperti ekonom yang memiliki basis syariah,
ulama, praktisi bisnis, arsitektur, ahli perbankan Syari’ah, dan cendekiawan lain yang memiliki
perhatian terhadap perwakafan secara umum.
Pola organisasi dan kelembagaan BWI harus
merespon terhadap persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Meminjam istilah
Prof. Dr. Mannan, harus disertai dengan semangat perubahan. Di tingkat masyarakat, persoalan
yang paling mendasar adalah kemiskinan, baik dalam arti khusus, yaitu seperti yang dicerminkan
dengan tingkat pendapatan masyarakat, maupun dalam arti luas, yang mencakup aspek kesehatan,
pendidikan atau pemenuhan hak-hak asasi manusia pada umumnya. Persoalan-persoalan
tersebut juga bisa disebut sebagai persoalan umat Islam juga. Tapi dari sudut organisasi-organisasi
Islam, persoalan-persoalan itu menjadi tanggung jawab gerakan Islam juga. Tapi dari sudut misi
organisasi, persoalan itu menjadi tanggung jawab
81
gerakan Islam. Oleh sebab itu, organisasi-
organsasi Islam berkepentingan juga untuk
mengakses sumber daya wakaf.
Untuk mengatasi kemiskinan, wakaf
(khususnya tanah produktif strategis yang sudah ada di hampir seluruh pelosok nusantara)
merupakan sumber dana yang cukup potensial. Selama ini, program pengentasan masyarakat dari
kemiskinan bergantung dari bantuan kredit dari luar negeri, terutama dari Bank Dunia. Tapi dana
itu terbatas dari segi jumlah maupun waktu. Dalam hal ini pengembangan tanah wakaf
produktif strategis dapat menjadi alternatif sumber pendanaan dalam pemberdayaan ekonomi
umat secara umum. Di Qatar dan Kuwait, dana yang dihasilkan dari wakaf, bersama-sama
dengan sumber lain, khususnya zakat, dana wakaf
yang di peroleh dari pengusahaan tanah wakaf, misalnya di bidang real estate atau pendidirian
gedung-gedung perkantoran yang disewakan atau dikelola sendiri, dipakai untuk membiayai program
kemiskinan, baik langsung oleh pemerintah maupun disalurkan lewat LSM.
Tanah wakaf produktif strategis bisa dikerjakan secara kolektif, tapi bisa pula dikerjasamakan
dengan pihak swasta, baik dalam maupun luar negeri. Proyek-proyek yang dikerjakan bisa
berupa pertanian padi sawah atau palawija, sehingga bisa menghasilkan cadangan pangan
dan lumbung bibit, pertenakan, perikanan dan perkebunan. Model ini merupakan analogi dari
wakaf ahli, dimana wakif memberikan wasiat agar
82
hasil pengelolaan wakaf dapat dipakai untuk
menyantuni anggota keluarga yang kekurangan
atau membutuhkan dana. Dalam model ini anggota keluarga besar seseorang diperluas
menjadi warga desa, sehingga setiap bagian warga desa yang mengalami kemiskinan dan
kesulitan lain seperti kesehatan dan pendidikan, dapat disantuni dari dana hasil pengelolaan wakaf
tersebut. Model ini dapat diterapkan secara nasional. Karena itu untuk merespon model ini,
lembaga Nazhir bisa didirikan di setiap desa.
Untuk menjalankan semua rencana praktis di
atas, sebagai lembaga yang sangat strategis, BWI harus didukung oleh Sumber Daya Manusia
(SDM) yang benar-benar mempunyai kemampuan dan kemauan dalam urusan wakaf, berdedikasi
tinggi dan memiliki komitmen dalam
pengembangan wakaf serta memahami masalah wakaf serta hal-hal yang terkait dengan wakaf.
Untuk menjalankan roda organisasi secara efektif, struktur BWI anggotanya harus terdiri dari para
ahli dari berbagai disiplin ilmu yang ada kaitannya dengan pengembangan wakaf produktif, seperti:
ahli manajemen, ekonom, praktisi bisnis, ahli hukum wakaf, ahli hukum perdata, ahli perbankan
Syari’ah, ahli pertanian, dan cendekiawan lain yang memiliki perhatian terhadap perwakafan
secara umum.
Adapun wilayah tugas badan wakaf ini bisa
dikelompokkan dalam tiga hal, yaitu sebagai berikut:
83
Tugas Administratif
Tugas administratif BWI dalam pengelolaan
tanah wakaf produktif strategis yang selama ini sudah ada, tapi belum terkelola secara baik
adalah :
a. Menginventarisir seluruh tanah wakaf yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan secara produktif di seluruh wilayah nusantara.
Tanah yang dianggap mempunyai potensi produktif meliputi pada bidang: pertanian,
perkebunan, pembangunan gedung-gedung perkantoran dan pengelolaannya,
pembangunan real estate, pembangunan
industri rumah tangga dan pengelolaannya serta bentuk-bentuk usaha lainnya yang
relevan dengan ketentuan dengan system Syari’ah Islam.
b. Mengorganisir dan membina lembaga-lembaga Nazhir tanah wakaf yang sudah ada untuk
memberdayakan tanah-tanah wakaf tersebut dengan membuat kebijakan-kebijakan yang
mengarah pada peningkatan kemampuan para Nazhir wakaf sehingga mereka dapat
mengelola wakaf yang menjadi tanggung jawabnya secara produktif. Tugas BWI disini
lebih menempati pada posisi motivator, fasilitator, regulator, koordinator dan
education. (1) Fungsi motivator, BWI
mempunyai tugas sebagai lembaga yang memberikan rangsangan atau stimulus
terhadap lembaga Nazhir yang ada agar
84
memaksimalkan fungsi pengelolaan secara
professional dalam rangka kesejahteraan
masyarakat banyak. (2) Fungsi fasilitator, BWI memberikan fasilitas-fasilitas yang
memungkinkan terhadap para Nazhir, baik yang bersifat fisik maupun non fisik dalam
mengoptimalkan peran pengelolaan, pengembangan, pelaporan dan pengawasan
kelembagaan. (3) Fungsi regulator, BWI menjadi pihak yang memantau seluruh
kebijakan dan peraturan perundang-undangan perwakafan yang dianggap tidak relevan
dengan perkembangan kekinian untuk kemudian menyusun dan atau mengusulkan
perubahan kebijakan bersama Departemen Agama, baik yang bersifat internal, maupun
ekternal (yang bersifat kelembagaan negara).
(4) Fungsi koordinator, BWI menjadi lembaga yang mengkoordinir seluruh arah kebijakan
keNazhiran di Indonesia dalam menjalankan program-program yang bersifat nasional. (5)
Fungsi education, BWI mempunyai tugas pemberdayaan secara nasional dalam
memasyarakatkan dunia perwakafan di tengah-tengah masyarakat melalui jalur pendidikan,
baik formal maupun informal, seperti seminar, pelatihan keNazhiran, work shop perwakafan
dan kegiatan-kegiatan lain yang relevan terhadap peningkatan pemahaman masyarakat
tentang perwakafan.
c. Mendorong kepada Nazhir dalam
mengembangkan wakaf tunai (cash waqf) dari
85
pusat sampai tingkat daerah bersama dengan
lembaga keuangan Syariah (LKS). Fungsi LKS
ini sebagai lembaga custodian (tempat penitipan), sedangkan pengelolaannya tetap
dipegang oleh Nazhir yang ditunjuk oleh Wakif.
Tugas Pengelolaan Wakaf Mandiri
Selain tugas administrasi yang bersifat
nasional, BWI juga mempunyai kewenangan
dalam mengumpulkan, mengelola dan mengembangkan wakaf khusus untuk harta benda
wakaf yang terlantar, berskala nasional dan internasional. Tugas pengelolaan wakaf mandiri
ini, BWI sebagai pengelola wakaf atau lembaga yang diserahi atau diberi kekuasaan atau diberi
tugas untuk mengawasi harta wakaf. Dalam hal ini, BWI berhak untuk bertindak atas harta wakaf,
baik untuk mengurusnya, memeliharanya dan mendistribusikan hasil wakaf kepada pihak atau
orang yang berhak menerimanya ataupun mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan
harta itu tumbuh dengan baik dan kekal.
BWI dalam posisi ini langsung memegang
peranan yang sangat penting agar harta itu dapat
berfungsi sebagaimana mestinya dan dapat berlangsung terus menerus. BWI mempunyai
kewajiban menjaga, memelihara dan mengembangkan sesuai dengan tugas-tugas
sebagai Nazhir pada umumnya. Namun yang membedakan dengan lembaga Nazhir yang sudah
ada, bahwa hasil pengelolaan dan pengembangan
86
yang dilakukan oleh BWI dapat diberikan kepada
mauquf ‘alaih yang bersifat nasional, atau
penyelesaian problem-problem sosial secara makro.
Tentu saja wilayah tugas BWI ini diharapkan tidak tumpang tindih dengan Nazhir yang sudah
ada. Karena ada kekhawatiran bahwa BWI yang juga berfungsi sebagai operator akan
mengakibatkan konflik kepentingan dengan Nazhir-nazhir yang dibinanya. Oleh karena itu
BWI harus dapat memisahkan antara peran koordinatif dan pembinaan dengan peran
operator. Sehingga BWI dapat menjadi pioneer lembaga wakaf yang kredibel dan professional
yang bisa dijadikan rujukan oleh lembaga-lembaga Nazhir di seluruh Indonesia.
Tugas Promosi Program
Badan Wakaf Indonesia (BWI) selain mengemban kedua tugas tersebut, juga
mempunyai tanggung jawab dalam mensosialisasikan (mempromosikan) program
kelembagaan agar diapresiasi oleh masyarakat luas. Paling tidak, tugas BWI dalam
mempromosikan program ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
a. Masyarakat (umat Islam) semakin memahami pentingnya wakaf sebagai amal ibadah yang
tidak berhenti pada aspek pemberian yang
semata untuk Allah, tapi juga menyangkut aspek pengelolaan secara maksimal dalam
87
rangka mencapai kesejahteraan masyarakat
banyak.
b. Mendorong kepada para Nazhir (lembaga pengelola wakaf) agar meningkatkan
profesionalisme pengelolaan dengan menggali seluruh potensi yang memungkinkan untuk
dikembangkan, baik terhadap harta wakaf yang bergerak maun tidak bergerak.
c. Meningkatkan kreatifitas pada Nazhir dalam menemukan formula penanganan kendala dan
kesempatan dalam rangka mengoptimalkan peran wakaf di tengah-tengah kehidupan
masyarakat yang membutuhkan peran kelembagaan secara konkrit.
d. Merangsang kepada para wakif atau calon wakif untuk selalu meningkatkan kuantitas
harta untuk diwakafkan secara produktif.
e. Mengenalkan seluruh produk kelembagaan BWI kepada masyarakat, khususnya para wakif,
Nazhir dan mauquf ‘alaih agar diapresiasi secara positit.
f. Mengajak kepada lembaga-lembaga atau
perorangan yang peduli terhadap kelembagaan wakaf agar menjalin kemitraan dalam
mengelola perwakafan dalam rangka melebarkan potensi dan kualitas hasil menuju
pembangunan system sosial yang berkeadilan.
88
B. Program Jangka Menengah dan
Panjang
Mengembangkan lembaga-lembaga Nazhir yang sudah ada agar lebih kredibel (professional
dan amanah). Lembaga-lembaga Nazhir yang sudah ada, khususnya di bawah naungan
organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Al-Washliyah, Persis, Al-Irsyad,
dan lembaga wakaf lainnya harus diarahkan,
dibina dan diberikan stimulus (rangsangan) agar tanah-tanah yang strategis dapat dikembangkan
secara produktif. Dalam rangka upaya tersebut Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga
perwakafan nasional yang berfungsi mengkoordinir seluruh aspek pelaksanaan
perwakafan secara nasional bersama dengan lembaga-lembaga Nazhir yang bersangkutan
harus memberikan dukungan manajemen bagi pelaksanaan pengelolaan tanah-tanah produktif
strategis.
Setidaknya, dukungan manajemen yang harus
dilakukan secara mendesak adalah hal-hal seperti berikut ini :
(1) Dukungan Sumber Daya Manusia (SDM)
Nazhir
Sebagaimana disebut dalam bab 3, bahwa
Nazhir mempunyai peran sentral dalam pengelolaan harta wakaf secara umum. Karena itu
eksistensi dan kualitas SDM nya harus betul-betul diperhatikan. Dalam tinjauan fikih Islam,
persyaratan seseorang menjadi Nazhir (baik
89
perseorangan maupun kelembagaan) adalah :
beragama Islam, mukallaf (memiliki kecakapan
dalam melakukan perbuatan hukum), baligh (sudah dewasa) dan ‘aqil (berakal sehat),
memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf (professional) dan memiliki sifat amanah, jujur
dan adil.
Dari sekian persyaratan yang ada bisa kita
pahami dan mungkin telah diterapkan oleh lembaga-lembaga Nazhir. Namun kemampuan
professional seorang atau lembaga Nazhir perlu dijabarkan secara panjang lebar karena
menyangkut keseluruhan system yang berkaitan dengan aspek pengelolaan. Dan kemampuan
professional inilah yang sebenarnya menjadi problem utama dalam perwakafan di Indonesia.
Ukuran profesionalisme Nazhir dalam pengelolaan
harta wakaf, khususnya tanah wakaf produktif strategis adalah :
a. Mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang baik dalam leadership (kepemimpinan). Seseorang
atau lembaga yang diberikan kepercayaan dalam pengelolaan harta wakaf, khususnya
tanah wakaf produktif strategis, dituntut memiliki kemampuan pribadi yang memadai
dalam kepemimpinan. Aspek kepemimpinan dalam lembaga keNazhiran menjadi ukuran
baik tidaknya pengelolaan dan pengembangan secara produktif. Minimnya kualitas
kepemimpinan dalam lembaga keNazhiran menjadi bukti tidak berjalannya system
pengelolaan yang baik dalam lembaga
90
perwakafan selama ini. Lembaga-lembaga
Nazhir yang ada selama ini masih didominasi
oleh struktur kepengurusan yang otoriter dan tertutup. Untuk itulah, kepemimpinan yang
baik dalam lembaga keNazhiran bisa dilihat dalam tiga aspek, yaitu :
Pertama, transparansi. Dalam kepemimpinan yang professional, transparansi menjadi ciri
utama yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin. Ketika aspek transparansi sudah
ditinggalkan, maka kepemimpinan tidak akan berjalan dengan baik, bahkan membuka
peluang terjadinya penyelewengan yang tak terkendali. Adanya transparansi kepemimpinan
dalam lembaga keNazhiran harus dijadikan tradisi untuk menutup tindakan ketidakjujuran,
korupsi, manipulasi dan lain sebagainya.
Transparansi adalah aspek penting yang tak terpisahkan dalam rangkaian kepemimpinan
yang diajarkan oleh nilai-nilai Islam.
Kedua, public accountability
(pertanggungjawaban umum). Pertanggungjawaban umum merupakan wujud
dari pelaksanaan sifat amanah (kepercayaan) dan shidiq (kejujuran). Karena kepercayaan
dan kejujuran memang harus dipertanggung jawabkan baik di dunia maupun di akhirat
kelak.
Ketiga, aspiratif (mau mendengar dan
mengakomodasi seluruh dinamika lembaga keNazhiran). Seorang Nazhir yang dipercaya
91
mengelola harta milik umum harus mendorong
terjadinya sistem sosial yang melibatkan
patisipasi banyak kalangan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pola
pengambilan keputusan secara sepihak oleh kalangan elit kepemimpinan. Sehingga
mengurangi, bahkan menutup potensi-potensi yang berkembang, --yang bisa jadi—mungkin
jauh lebih baik atau sempurna. Kaedah prinsip dalam gerakan yang aspiratif merupakan
cermin dari sifat adil dalam diri atau lingkungannya.
Memiliki visi yang jelas
Seseorang atau lembaga Nazhir harus
mempunyai visi yang jelas dan terarah dalam pengelolaan harta wakaf, khususnya tanah wakaf
produktif strategis. Visi sangat diperlukan karena
untuk menggali potensi dan membuka peluang yang ada dalam rangka menambah values (nilai)
wakaf untuk kepentingan masyarakat banyak. Ketiadaan visi dalam pengelolaan akan
menciptakan suasana atau iklim yang tidak menguntungkan bahkan merugikan sama sekali.
Memang harus diakui bahwa lembaga-lembaga Nazhir yang ada selama ini tidak banyak yang
memiliki visi yang jelas dan terarah, sehingga wakaf hanya ditempatkan pada kerangka teori
ibadah yang memberikan janji pahala yang terus mengalis pada wakif, sementara kemanfaatan
untuk kehidupan sosial sangat minim, bahkan tidak sama sekali.
92
Mempunyai kecerdasan yang baik secara
intelektual, sosial dan pemberdayaan
Tentu saja bukan setiap orang bisa menjadi Nazhir, tapi orang yang mempunyai kecerdasan
intelektual (IQ), sosial dan pemberdayaan harta wakaf yang baik harus menjadi persyaratan
mutlak. Kemampuan dalam leadership dan visi yang jelas sangat dipengaruhi oleh kecerdasan
yang dimiliki. Kemampuan kecerdasan Nazhir yang minim hanya akan menambah beban
lembaga wakaf. Karena itu ketentuan yang mensyaratkan kemampuan kecerdasan minimal
seseorang atau lembaga Nazhir harus dilakukan, atau kalau perlu dicamtumkan dalam klausul UU
atau peraturan di bawahnya, sehingga nanti harapkan Nazhir dikelola oleh orang-orang yang
memiliki wawasan yang luas sekaligus mampu
menerapkan dalam manajemen perwakafan secara umum.
Mempunyai kemampuan yang memadai dalam
bidang pengelolaan harta
Disamping memiliki kualitas leadership, visi
dan kecerdasan yang baik, seorang Nazhir atau lembaga Nazhir harus menguasai dan
mempraktekkan pengelolaan harta wakaf secara memadai. Kemampuan manajemen operasional
lembaga keNazhiran harus didukung oleh aspek pendukung manajemen moderen dalam system
ekonomi berdasarkan Syari’at Islam (SES). Sistem ekonomi Syari’ah berbeda dengan system
93
ekonomi konvensional dalam banyak hal. Memang
pada saat ini terdapat berbagai madzhab
pemikiran yang bertujuan untuk mengembangkan apa yang dimaksudkan dengan SES. Dari semua
madzhab yang ada, terlihat bahwa yang menjadi dasar berpijak dari sistemya adalah al-Quran dan
al-Hadits. Al-Quran dan al-Hadits dijadikan landasan pembangunan seluruh elemen SES yang
ada. Dari al-Quran dan al-Hadits maka kita dapat memperoleh nilai-nilai fundamental yang
merupakan landasan dari SES.
Secara umum dapat dikatakan bahwa salah
satu ciri utama dari pada system tersebut adalah pelarangan riba dalam kegiatan perekonomian.
Sementara itu, kita tahu bahwa ‘bunga’ merupakan salah satu variable dalam system
ekonomi konvensional yang menentukan jalannya
system yang ada. Dengan demikian, pelarangan riba dalam seluruh aspek kegiatan ekonomi
merupakan ciri utama dari SES. Ciri umum lainnya adalah variable zakat yang merupakan variable
kunci untuk menggerakkan roda perekonomian dalam SES.
Variable kunci lainnya dalam SES adalah pemberdayaan wakaf. Karena wakaf merupakan
wahana mobilisasi sumber daya perekonomian yang mempunyai kekuatan sosial yang cukup
dahsyat apabila dikelola secara profesional. Dan pemberdayaan wakaf bisa dijadikan strategi untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat serta sebagai upaya melepaskan ketergantungan
ekonomi Indonesia terhadap bantuan-bantuan
94
(pinjaman utang) luar negeri. Dengan
pemberdayaan wakaf serta lembaga-lembaga
keuangan Syari’ah lainnya dengan sendirinya akan menjadikan negeri yang independen dan
lepas dari campur tangan asing, baik ekonomi, politik, sosial dan budaya.
(2) Dukungan Advokasi
Setelah diadakan inventarisasi secara nasional dan spesifik terhadap tanah-tanah wakaf
strategis, hal yang segera dilakukan adalah membentuk tim advokasi terhadap tanah-tanah
wakaf yang masih sengketa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tanah-tanah wakaf yang
diserahkan kepada Nazhir wakaf sebelum PP No. 28 Tahun 1977 banyak yang tidak mempunyai
bukti wakaf, sehingga tanah wakaf yang
seharusnya menjadi milik Allah dan hak masyarakat banyak berpindah ke tangan-tangan
orang yang tidak bertanggung jawab. Keberpindahan kepemilikan tanah wakaf bisa saja
dilakukan oleh : oknum Nazhir yang nakal, keluarga wakif yang merasa mempunyai hak atas
tanah maupun orang lain yang mempunyai kepentingan dengan tanah-tanah tersebut.
Menurut beberapa pengurus Nazhir lembaga-lembaga keagamaan seperti Muhammadiyah, NU,
Persis dan lain-lain, bahwa tanah wakaf yang diserahkan kepada lembaga-lembaga tersebut
banyak yang digugat oleh ahli waris dari si wakif. Apalagi misalnya tanah-tanah wakaf tersebut
95
mempunyai potensi yang cukup besar terhadap
pengembangan ekonomi di masa depan, seperti di
pinggir jalan, dekat pasar atau pusat perbelanjaan dan sebagainya. Tugas pembentukan tim advokasi
ini bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga Nazhir yang bersangkutan dengan bekerjasama dengan
Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai pihak yang memberikan pengayoman dan pembinaan secara
kelembagaan.
(2) Dukungan Keuangan
Upaya pengembangan tanah wakaf produktif
strategis sangat tergantung oleh dukungan keuangan yang memadai untuk membiayai
seluruh operasionalisasi pengelolaan dan cadangan devisa yang memungkinkan. Dukungan
keuangan ini bisa dilakukan melalui lembaga-
lembaga keuangan terkait, khususnya lembaga perbankan Syari’ah, lembaga-lembaga investasi
atau perseorangan yang memiliki modal cukup dengan system bagi hasil atau instrumen lembaga
ekonomi Islam lainnya, seperti zakat, infak dan sedekah (ZIS). Atau kalau menungkinkan
menjalin kerja sama dengan lembaga asing yang mempunyai concern (kepedulian) terhadap
pengembangan harta wakaf seperti Islamic Development Bank (IDB), lembaga-lembaga
perbankan negeri Muslim lainnya atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam maupun luar
negeri yang berminat dalam pemberdayaan tanah wakaf produktif strategis.
96
(3) Dukungan Pengawasan
Dukungan ini diperlukan agar tanah wakaf produktif strastegis yang ada menjadi aman
karena dirasakan adanya upaya pihak-pihak tertentu, termasuk oknum Nazhir yang ingin
menukar dengan tanah-tanah yang tidak strategis. Dukungan pengawasan yang bersifat
internal sudah menjadi keharusan, bersamaan dengan kepedulian masyarakat sekitar terhadap
keutuhan tanah-tanah wakaf. Disamping pengawasan yang bersifat umum tersebut, juga
diperlukan pengawasan pengelolaan agar para pelaksana keNazhiran yang mengurusi langsung
terhadap tanah-tanah wakaf tersebut dapat menjalankan perannya secara baik dan benar,
sehingga mengahasilkan keuntungan yang
memadai. Aspek pengawasan pengelolaan internal ini meliputi : manajemen organisasi, manajemen
keuangan dan manajemen pelaporan kepada pihak atau lembaga yang lebih tinggi.
Dari keempat dukungan manajemen tersebut sesungguhnya sudah mengcover seluruh konsep
manajemen moderen untuk mengelola tanah-tanah wakaf produktif strategis dengan baik,
sepanjang Nazhir sebagai pemegang konsep mau berkomitmen pada criteria yang dibangun.Namun
manusia pada prinsipnya adalah makhluk yang malas kecuali bila mendapat tekanan dan
pengawasan yang ketat. Dalam hal ini punishment menjadi instrumen penting dalam menegakkan
97
dimensi etis dalam pengelolaan ekonomi.
Masalahnya adalah ketika punishment hanya
dilakukan oleh manusia yang pada dasarnya memiliki sifat yang sama buruknya, maka
penerapan konsep manajemen moderen menjadi kehilangan “khasiatnya” dalam memajukan
lembaga keNazhiran.
Konsep manajemen moderen hanya mampu
membatasi gerak manusia secara fisik. Tetapi tidak mampu mengeliminir niat-niat terselubung
(jahat) yang sangat mungkin tersedia dalam diri seseorang, termasuk para Nazhir wakaf sekalipun.
Sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran (91 : 8), bahwa manusia memiliki potensi jahat dan
potensi baik. Dalam teori manajemen moderen, usaha preventif untuk menghindari potensi
penyelewengan seseorang dilakukan dengan
menerapkan system kontrol berupa aturan-aturan.
Untuk itulah, disamping harus mempunyai kapabilitas manajemen yang memadai, seorang
atau lembaga Nazhir wakaf harus memiliki kesadaran transcendental, yaitu kesadaran
spiritual dimana manusia ketika melakukan sesuatu didasari dan ditujukan untuk sesuatu
yang bersifat vertical, bukan untuk kepentingan pribadi-pribadi. Apalagi yang dikelola adalah
harta-harta yang sejatinya merupakan milik Allah untuk kesejahteraan umat manusia. Adanya
kesadaran spiritual tersebut seorang Nazhir akan sangat anti melakukan tindakan-tindakan
penyelewengan, meskipun ia mampu
98
melakukannya. Inilah internal control yang lahir
dari keimanan yang kuat.
Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif
Strategis
Tanah-tanah wakaf produktif strategis yang sudah diinventarisir oleh Departeman Agama RI
yang meliputi seluruh propinsi di Indonesia dapat diberdayakan secara maksimal dalam bentuk :
a. Asset wakaf yang menghasilkan produk barang atau jasa.
Secara teoritis, Islam mengakui bahwa tanah (semua unsur tanah, termasuk tanah wakaf
produktif strategis) sebagai faktor produksi. Dalam hazanah pemikiran klasik yang masih
relevan dengan masa sekarang ini, bahwa tanah yang dianggap sebagai suatu faktor produksi
penting mencakup semua sumber daya alam yang digunakan dalam proses produksi, seperti
pemukaan bumi, kesuburan tanah, sifat-sifat
sumber daya udara, air mineral dan sebagainya. Baik al-Quran maupun as-Sunnah banyak
memberikan tekanan pada pentingnya pemberdayaan tanah secara baik. Al-Quran
sangat menganjurkan agar tanah yang kosong dikelola secara produktif (ahya’ al-amwat).
Oleh karena itu, tanah wakaf yang dianggap strategis harus dikelola secara produktif dalam
rangka meningkatkan nilai wakaf untuk kesejahteraan umat banyak. Bentuk
99
pengelolaannya diwujudkan dalam bentuk-bentuk
usaha yang dapat menghasilkan untung, baik
melalui produk barang atau jasa. Tentu saja pemilihan produk-produk yang akan dikelola harus
memperhatikan hal-hal berikut ini :
Produk barang atau jasa yang ditawarkan
harus benar-benar unik (memiliki kelebihan) yang mampu memberikan keunggulan
komparatif dengan produk sejenis sekalipun yang sudah ada di pasaran atau lapangan.
Memastikan bahwa konsumen potensial adalah : (1) mereka yang benar-benar membutuhkan
produk barang atau jasa tersebut sesuai dengan karakterisitik dan fungsi yang dimiliki,
(2) mereka yang memiliki daya beli atau dana yang cukup, (3) mereka yang mempunyai
wewenang atau kekuasaan yang
memungkinkannya mengambil keputusan untuk membeli.
Memastikan posisi konsumen potensial dengan menjawab pertanyaan berikut ini : (a) siapakah
konsumen target terbaik lembaga ini ? (b) dimanakah kategori persaingan produk
lembaga ini ? (c) Apakah keuntungan utama yang diperoleh calon konsumen target lembaga
dari produk barang atau jasa ?
Pola pengelolaan tanah wakaf strategis melalui
usaha-usaha produktif bisa dilakukan sebagaimana di atas jika Nazhir wakaf memiliki
dana yang cukup untuk membiayai operasional usaha. Sementara pada umumnya, para wakif
100
yang menyerahkan tanah kepada Nazhir tidak
disertai dengan unsure pembiayaan usaha yang
dimaksud. Memang ini menjadi kendala yang cukup serius ketika tanah-tanah tersebut akan
dikelola secara produktif. Kalaulah misalnya sebagian tanah wakaf dijual dan dana hasil
penjualannya untuk pembiayaan usaha, maka secara otomatis akan mengurangi nilai wakaf
dalam tataran nominal pemberian awalnya dan hal ini masih menjadi kontroversi di tengah-
tengah masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, maka diperlukan pihak ketiga yang mau
bekerjasama dengan Nazhir-Nazhir yang ada bersama dengan lembaga penjamin. Lembaga
penjamin ini sangat dibutuhkan ketika prospek usahanya ternyata mengalami kerugian yang
sangat tidak diharapkan dalam pengelolaan
wakaf. Sedangkan harta yang telah diwakafkan mempunyai sifat abadi yang tidak boleh kurang.
b. Asset wakaf yang berbentuk investasi usaha.
Asset wakaf ini adalah kekayaan lembaga
Nazhir hasil pengelolaan usaha produk barang atau jasa yang suskses untuk kemudian
dikembangkan melalui investasi kepada pihak ketiga atau lembaga Nazhir wakaf yang lain.
Bentuk investasi usaha yang akan dilakukan harus memenuhi standar Syari’ah, yaitu :
Akad Musyarakah
Akad ini merupakan bentuk partisipasi usaha
yang melibatkan kedua belah pihak atau lebih (termasuk Nazhir wakaf) dalam suatu usaha
101
tertentu dangan menyertakan sejumlah modal
dengan pembagian keuntungan sesuai
kesepakatan bersama. Apabila terjadi kerugian, masing-masing harus menanggung sesuai batas
(kadar) modal yang ditanamkan. Pihak-pihak yang terlibat dalam akad tersebut mempunyai hak
untuk ikut serta, mewakilkan atau membatalkan haknya dalam pengelolaan (manajemen) usaha
tersebut. Modal yang diserahkan dalam akad musyarakah ini dapat uang atau harta benda yang
dinilai dengan uang.
Akad Mudlarabah
Yaitu suatu akad (kontrak) yang memuat penyerahan modal khusus atau semaknanya
dengannua dalam jumlah, jenis, dan karakter
(sifat) dari orang yang diperbolehkan mengelola harta kepada orang lain yang aqil (berakal),
mumayyiz (dewasa) dan bijaksana yang ia pergunakan untuk berusaha (produk atau jasa)
dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya menurut nisbah pembagiannya
dalam kesepakatan. Dari pengertian tersebut, maka modal usaha dalam akad mudlarabah
sepenuhnya berasal dari pemilik modal (shohibul mal). Selaian itu pemilik modal tidak terlibat
dalam manajemen usaha. Adapun, keuntungan dibagi menurut nisbah yang disepakati oleh kedua
belah pihak. Manakala terjadi kerugian, yang menaggung adalah pemilik modal. Pihak pengelola
102
tidak menanggung rugi secara materi, tetapi
cukuplah ia menanggung kerugian tenaga dan
waktu yang dikeluarkan selama menjalankan usaha, selain tidak mendapatkan keuntungan.
Semua hasil usaha, baik yang didapatkan melalui pengelolaan produk barang/jasa atau
melalui keuntungan dengan cara berinvestasi kepada pihak ketiga sesuai system Syari’ah yang
dijalankan, adalah untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak. Yaitu
berbentuk dua asset wakaf : pertama, asset yang dapat langsung dikonsumsi dan dimanfaatkan oleh
masyarakat, seperti : untuk membiayai pengelolaan, pengembangan dan pembianaa
sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan lain-lain yang bertujuan melayani urusan kemanusiaan dan
kebajikan umum. Kedua, asset wakaf yang
berbentuk investasi SDM dan kebudayaan dalam jangka panjang, yaitu diperuntukkan
pengembangan bidang pendidikan, pelayanan kebudayaan seperti beasiswa, perpustakaan,
perkuliahan, lembaga penelitian ilmiah untuk kajian iptek dan keagamaan dan lain-lain, dan
pengembangan bidang kesehatan seperti : pelayanan kesehatan masyarakat kurang mampu,
pelayanan rumah sakit, dokter dan obat-obatan.
103
Menangkap Peluang Usaha
Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif
Sebelum para Nazhir wakaf memulai usaha yang bersifat produktif, maka hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah mengamati situasi lingkungan secara cermat. Kira-kira usaha apa yang cocok
untuk mengelola kebaradaan tanah wakaf yang dinilai strategis itu agar nantinya dapat menuai
hasil yang optimal. Untuk itu, lakukan
pengamatan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini :
(a) Apakah ada peluang usaha produktif yang memungkinkan terhadap lokasi tanah wakaf ?
(b) Apakah liku-liku usaha yang akan dilakukan telah diketahui benar, mulai dari cara
mengawalinya, membuat, menjual (memasarkan), menyimpan, sampai cara
mendapatkan modal usaha tersebut ?
(c) Adakah pesaing dan calon pesaing di lapangan
usaha itu dan sejauh mana para pesaing itu telah dikenali ?
(d) Seberapa besarkah pasar yang akan dicapai ?
(e) Bila usaha yang akan dikerjakan
memerlukan pemasok, sudahkah diketahui benar siapa yang akan menjadi supplier dan
apakah ada supplier potensial lainnya ?
104
(f) Bila usaha itu berupa barang, sudahkan
diketahui teknik pembuatan barang yang
dimaksud ?
(g) Seberapa banyak modal sudah di tangan
atau bagaimana pula bila memerlukan pinjaman atau investasi dari pihak ketiga
dalam rangka penambahan modal ?
(h) Bagaimana cara mendapatkan tenaga kerja
yang diperlukan ?
(i) Apakah sudah dimengerti seluk beluk peralatan
yang diperlukan ?
(j) Apakah sudah diketahui segala peraturan dan
ketentuan yang menyangkut bidang usaha, seperti undang-undang gangguan, izin usaha,
pajak, kutipan resmi, kebersihan, tata kota dan sebagainya?
Daftar pertanyaan di atas –yang masih dapat
ditambah atau dikurangi sesuai dengan kebutuhan dan sifat usaha yang diinginkan—sangat
membantu identifikasi peluang usaha. Inti dari pertanyaan ini adalah bahwa situasi lingkungan
usaha harus diperhatikan dengan seksama sebelum memutuskan jenis usaha apa yang akan
dilakukan.
Setelah diketahui situasi lingkungan melalui
daftar pertanyaa di atas, selanjutnya dapat dilakukan analisis terhadap kekuatan dan
sekaligus kelemahan diri sendiri dengan melakukan identifikasi terhadap apa yang
diketahui, dikuasai, dan dimiliki sebagai situasi
105
internal pendukung pada saat akan dilakukan
pengambilan keputusan dan pemilihan bidang
usaha yang diinginkan.
Agar diperoleh hasil pengamatan sistuai
internal dan eksternal secara tepat, penyusunan matrik analisis kualitatif peluang usaha dapat
dijadikan media dalam melakukan analisis hasil pengamatan lingkungan internal dan eksternal.
Pertanyaannya kemudian adalah, adakah kekuatan atau kelemahan diantara yang
disebutkan dalam matrik itu. Jika ada, lakukanlah suatu keputusan dengan mempergunakan kotak
atau ruangan yang mempertemukan antara kekuatan dan kelemahan sebagai bagian internal
dengan peluang usaha yang mungkin dapat ditangkap sebagai bagian dari eksternal
lingkungan.
Memulai Sebuah Usaha
Jika identifikasi terhadap peluang usaha telah
dilakukan dan alternatif usaha apa yang akan dikerjakan telah didapat, berarti langkah
pemberdayaan produktif telah mulai pada langkah pertama dari lima langkah yang harus dikerjakan
lembaga Nazhir, yaitu : (1) memilih peluang usaha dan jenis bidang usaha, (2) mendirikan
atau membentuk badan usaha, (3) mempersiapkan kegiatan usaha, (4)
merencanakan kegiatan usaha. Adapun langkah
selanjutnya adalah memulai melakukan proses perencanaan ke arah relasi usaha.
106
Mendirikan atau Membentuk Badan
Usaha
Setelah melakukan langkah-langkah
sebagaimana disebutkan di atas, pengamatan
selanjutnya diarahkan kepada alternatif pilihan sarana atau wadah apa yang paling baik memulai
usaha pemberdayaan. Langkah memilih bentuk badan usaha, pada dasarnya lebih banyak ditinjau
dari aspek legal yuridis yang mengatur tingkah laku badan usaha dalam dunia usaha. Selama ini
memang lembaga-lembaga Nazhir wakaf lebih banyak yang berbentuk yayasan atau badan
wakaf, namun untuk mempermudah upaya pemberdayaan produktif melalui usaha sebaiknya
dengan mendirikan badan usaha di bawah naungan yayasan wakaf.
Dalam kondisi system ekonomi yang berlaku sampai saat ini dimana hubungan usaha juga
tidak luput dari sejumlah ketentuan perundangan,
ada tiga jenis aplikasi syarikah yang mungkin dilakukan.
Pertama, dalam hubungan usaha dengan lembaga pemerintah (lembaga keuangan maupun
non keuangan) yang belum atau tidak mengakui pola dan mekanisme syarikah Pada jenis yang
pertama ini, pola dan mekanisme syarikah secara konsisten hanya dilakukan dalam konteks internal
badan usaha. Hubungan usaha dengan lembaga lain dilakukan dengan tetap berpayung pada
107
badan hukum konvensional yang formal, seperti
PT, CV atau koperasi.
Kedua, dalam hubungan usaha dengan lembaga pemerintah (lembaga keuangan maun
non keuangan) yang telah mengaku dan mengadopsi pola dan mekanisme syarikah. Pada
jenis yang kedua, pola dan mekanisme syarikah dapat dilakukukan secara terbuka, baik internal
maupun eksternal. Misalnya, hubungan usaha dengan sejumlah lembaga keuangan syari’ah milik
pemerintah, seperti BNI Syari’ah dab Bank Syari’ah Mandiri (BSM).
Ketiga, dalam hubungan usaha dengan lembaga non pemerintah (LSM, swasta) serta
perseorangan. Penerapan syarikah dalam bentuk hubungan usaha yang ketiga ini sangat
bergantung pada sikap lembaga bersangkutan.
Saat ini, telah ada sejumlah lembaga non pemerintah yang telah mengakui dan mengadopsi
pola mekanisme syarikah. Diantaranya, Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank IFI Syari’ah,
Baitu Mal Wat-Tamwil (BMT), Dompet Dhuafa Republika (DDR) dan lain-lain.
Mempersiapkan Kegiatan Usaha
Langkah selanjutnya adalah mempersiapkan
kegiatan usaha dengan berpegang pada perencanaan yang sudah dipersiapkan sebagai
sarana melakukan langkah dalam merumuskan alternatif kegiatan untuk mencapai sasaran usaha
108
yang ingin diraih. Penyusunan langkah strategis
harus segera dilakukan, kemudian diikuti dengan
langkah-langkah taktis jengka pendek yang semuanya dituangkan ke dalam program kerja
lengkap dengan anggaran yang telah diperhitungkan secara seksama.
Jika langkah-langkah ini telah ditempuh, supervisi dan monitoring terhadap kegiatan usaha
akan dapat dilakukan dengan mudah, yang pada gilirannya akan dapat mengendalikan manajemen
usaha.
Merencanakan Kegiatan Usaha
(a) Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam perencanaan usaha
Perencanaan merupakan suatu proses yang diawali dengan pencarian data, analisis sitauasi
internal dan eksternal, hingga penyusunan rencana kegiatan yang akan dilakukan dalam
suatu periode tertentu untuk mencapai tujuan dan sasaran, serta bagaimana proses evaluasi akan
dilakukan sampai akhir masa perencanaan. Jadi perencanaan memang merupakan proses awal
guna mencapai tujuan dan dituangkan serta
dijabarkan dalam rencana langkah-langkah konkrit.
Membuat suatu perencanaan usaha pada dasarnya harus berdasarkan dan sesuai dengan
visi dan misi usaha sebagaimana ditampakkan dalam bagan alur berpikir perencanaan usaha.
109
Dalam kesempatan ini akan ditunjukkan bagian
yang paling penting dalam proses pembuatan
perencanaan usaha, yaitu memahami dan mengenal situasi lingkungan dengan melakukan
analisis terhadap situasi internal dan eksternal yang lebih dikenal dengan SWOT : Strength
(kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (peluang) dan Threat (ancaman). Analisis ini
menjadi dasar dan sangat penting bagi pembuatan perencanaan usaha. Dengan
mengenal situasi internal dan eksternal, dapat dilakukan pengambilan keputusan yang tepat
untuk menjalankan kegiatan usaha.
(b) Analisis SWOT Sebagai Langkah Awal
Perencanaan Usaha
Tidak mudah menggunkan analisis SWOT untuk
mengetahui situasi internal dan eksternal
perusahaan. Kegagalan dalam melakukan analisis berarti gagal pula dalam mencari titik-titik temu
faktor-faktor strategis yang terdapat dalam lngkungan internal dan eksternal. Kendati
demikian, diakui oleh para manajer dan praktisi usaha bahwa analisis SWOT merupakan salah satu
media yang efektif guna menyusus suatu strategic planning atau perencanaan strategis lembaga
usaha.
Sebelum kita melakukan analisis lingkungan
dengan analisis SWOT, paling tidak ada lima hal yang harus diperhatikan, yang capkali merupakan
problem dalam mengimplementasikan SWOT di lapangan, yaitu sebagai berikut :
110
Hati-hati, jangan salah dalam menghubungkan
faktor internal dan eksternal.
Jangan terpukau hanya pada faktor kekuatan saja, sedangkan kelemahan yang sangat
sensitive justru kurang mendapat perhatian, atau dilupakan.
Jangan meremehkan faktor tantangan, betapapun kecilnya.
Sebaliknya, jangan berlebihan atau terlalu memperhatikan kelemahan.
Jangan meletakkan kereta di depan kuda, artinya : jangan bersikap, “kerjakan dulu,
strategic planning belakangan”.
Perumusan Perencanaan Usaha
Jika identifikasi dan analisis SWOT sudah selesai dilakukan, berarti organisasi sudah
berhasil menyelesaikan 50% dari pekerjaan perencanaan usaha. Langkah berikutnya adalah
melakukan perumusan perencanaan. Tahapan ini meliputi tiga jenis jenjang perencanaan, yaitu :
strategi induk, strategi program jangka panjang menengah dan program jangka pendek.
a. Strategi Induk
Perencanaan strategis lebih terfokus pada
strategi induk lembaga yang berisikan visi, misi dan tujuan. Karena itu, penerapan syariat dalam
111
perencanaan strategis tampak jelas pada ini
Strategi Induk. Strategi Induk merupakan rencana
strategis untuk melihat sisi organisasi : 5, 10 atau 20 tahun (lazimnya untuk 5 tahun) mendatang.
Berfikir strategis akan membawa cakrawala atau wawasan jauh ke depan dan tidak terjebak pada
suasana hari ini atau hari kemarin. Rencana jangka panjang ini sangat diperlukan sebagai
barometer atau petunjuk arah aksi organisasi yang dikaitkan dengan kemampuan serta peluang
yang ada.
Visi adalah cara pandang menyeluruh dan
futuristic (mengarah pada masa depan) terhadap keberadaan lembaga. Misi ini merupakan
pernyataan yang menjelaskan alasan poko berdirinya lembaga dan membantu mengesahkan
fungsinya dalam mesyarakat atau lingkungannya.
Adapun tujuan adalah akhir perjalanan yang dicari organisasi untuk dicapai melaui eksistensi dan
operasinya serta merupakan sasaran yang lebih nyata dari pada pernyataan misi.
Dalam perencanaan strategis, juga ditetapkan acuan, standar atau tolak ukur strategis dan
operasional bagi perjalanan lembaga usaha. Tolok ukut strategis lebih bersifat kualitatif dan
bersandarkan pada nilai-nilai utama yang dianut lembaga usaha. Sementara itu, tolok ukur
operasional lebih bersifat kuantitatif dan didasarkan atas kesepakatan hasil perhitungan
dan analisis bersama dalam menjalankan aktivitas lembaga.
112
Berdasarkan syariat, visi, misi dan tujuan suatu
lembaga usaha hendaknya menggambarkan
orientasi manajemen syariat. Apalagi lembaga Nazhir wakaf yang akan melakukan usaha adalah
lembaga yang jelas-jelas mempunyai dimensi syariat. Visinya adalah menjadikan lembaga
Nazhir sebagai wahana pengembangan usaha produktif dalam meraih keuntungan dan ridha
Allah untuk kepentingan umat sebanyak-banyaknya. Misi dan tujuannya bahwa keberadaan
lembaga ini adalah untuk kesejahteraan masyarakat dengan mewujudkan SDM
professional yang memiliki kematangan kepribadian, berpola pikir dan pola sikap yang
islami.
Adapun tolok ukur operasional –sesuai dengan
sifatnya—disepakati sesuai dengan kebutuhan
lambaga yang berkaitan dengan tknis penyelenggaraan kegiatan usaha. Tolok ukur
tersebut dapat diformulasikan sebagai SMART, yaitu : Specific (sesuatu yang unik, khas),
Measurable (sesuatu yang dapat diukur/kuantitatif), Attainnable (sesuatu yang
dapay dicapai), Realistic (sesuatu yang nyata), dan Times basis (berorientasi waktu).
b. Strategi Program Jangka Menengah
Disebut strategi program jkarena berisikan
rencana-rencana fungsional yang berfungsi untuk mengimplementasikan strategi induk yang telah
ditetapkan. Disebut jangke menengah karena
113
waktu pencapaian rencana tersebut adalah
lazimnya –setengah dari jangka waktu pencapaian
strategi induk.
Rencana fungsional kerap berupa kebijakan
departemental yang tampak pada garis-garis besar haluan kerja lembaga.Sebagai contoh,
rencana fungsional bidang produksi, bidang administrasi dan keuangan, bidang pemasaran,
bidang penelitian dan pengembangan dan lain-lain. Rencana fungsional ini akan diderivikasikan
dan menjadi induk bagi program-program jangka pendek.
c. Program Jangka Pendek
Pengertian program jangka pendek adalah
program yang dilakukan untuk jangka waktu satu tahu dan disesuaikan dengan tahun kalender
untuk mempermudah mnegikuti pencapaian sasarannya. Dengan demikian, dalam program
jangka pendek ini harus tertuang semua yang hendak kita capai, mulai dari profitabilitas,
pemasaran, anggaran keuangan, personalia, peralatan, dan cara evaluasinya. Rencana
anggaran pada dasarnya merupakan alat kendali manajemen yang yang sangat berguna dan
sangat membentu untuk melakukan pengawasan. Akan lebih spesifik lagi apabila detail waktunya
diperinci lagi menjadi program bulanan, triwula,
setengah tahunan sehingga kita dapat lebih mudah lagi mengikuti dan melakukan antisipasi
jika terdapat deviasi dalam pelaksanaannya.
114
Demikian rincinya program jangka pendek
sehingga dikenal pula sebagai rencana taktis dan
anggaran.
Karakteristik program jangka pendek di atas
mesti disesuaikan dengan formulasi tolok ukur SMART.
Implementasi Pelaksanaan Usaha
Implementasi perencanaan bertumpu pada
pengorganisasian SDM. Aktifitas ini mencakup distribusi kerja di antara individu dan kelompok
kerja dengan mempertimbangkan tingkatan manajemen, tipe pekerjaan, pengelompokan
bagian pekerjaan, serta mengusahakan agar bagian-bagian itu menyatu seluruhnya dalam
sebuah tim sehingga mereka dapat bekerja secara efektif dan efesien. Tim yang dimaksud adalah tim
yang solid, guna mengawala organisasi agar tetap kondusif dalam rangka pencapaian visi, misi dan
tujuan yang telah ditetapkan. Suatu tim dimana seluruh anggotanya bersinergi dalam kesamaan
visi, misi dan tujuan organisasi. Suasana tersebut dapat diringkas dalam formula 3 in 1, yakni
kebersamaan seluruh anggota dalam kesatuan
bingkai ide atau pemikiran, perasaan, dan aturan main. Tentu saja interaksi yang terjadi berada
dalam koridor amar ma’ruf nahi munkar.
Bentuk struktur otganisasi –sangat bergantung
pada posisi organisasi lembaga usaha dan strategi induk yang telah disepakati. Adapun bentuk yang
115
terbaik adalah struktur organisasi yang cocok
dengan lingkungan oraganisasinya beserta cirri
khas internalnya.
Evaluasi dan Umpan Balik Bagi
Perencanaan Usaha
Tahapan paling akhir dan proses dari proses
perencanaan strategis adalah penilaian dan pemberian umpan balik. Penilaian dilakukan
sesuai dengan prosedur organisasi yang dikembangkan, yakni dengan mengacu pada tolok
ukur strategis dan operasional. Hal ini guna mendapatkan kepastian akan ketepatan
pencapaian strategis induk organisasi. Apapun hasilnya, akan menjadi rekomendasi masukan
bagi perbaikan dan/atau penyempurnaan perencanaan strategis dan implementasi program
berikutnya.
Penilaian organisasi biasanya dilaksanakan
secara berkala dan berjenjang. Program kerja
tahunan dievaluasi bersamaan dengan selesainya program, kemudian seluruh program dinilai secara
keseluruhan pada akhir tahun anggaran. Forum penilaian ini, dilakukan evaluasi total terhadap
kesesuaian perjlanan organisasi lembaga usaha dengan strategi induk yang telah ditetapkannya,
sehingga forum tersebut dapat saja menghasilkan rekomendasi berupa perlunya tindakan
penyesuaian program terhadap strategi induk.
116
Kategorisasi Tanah Wakaf Produktif
Strategis dan Jenis-jenis Usaha yang Dianggap Cocok
Kategori
Tanah
Jenis Lokasi
Tanah
Jenis Usaha
Pedesaan Tanah
Persawahan
Pertanian
Tambak ikan
Tanah
Perkebunan
Perkebunan
Home industri Tempat Wisata
Tanah Ladang Atau Padang Rumput
Palawija Real estate Pertamanan
Home industri
Tanah Rawa Perikanan
Tanah Perbukitan Tempat Wisata Bangunan
Home industri Penyulingan
air mineral Dll
Perkotaan Tanah Pinggir Jln. Raya Dekat Jalan
Protokol
Perkantoran Pusat
Perbelanjaan Apartemen
Hotel/Penginapan
Gdg.
Pertemuan Dll
Dekat Jalan Utama
Perkantoran Pertokoan
117
Pusat Perbelanj.
Rumah Sakit
Rumah Makan Sarana
Pendidik. Hotel/Penginap
an Apartemen Gdg.
Pertemuan Pom Bensin
Apotek Wartel/Warnet Bengkel Mobil
Dll.
Dekat Jalan
Tol
Pom Bensin
Bengkel Rumah Makan
Outlet Warung Wartel
Dll.
Dekat
Jalan Lingkungan
Perumahan
Klinik Apotek
Sarana Pendidikan
Wartel/Warnet
Outlet Warung
Jasa Photo Copy
Dll.
Tanah Dekat/ di Sarana
118
Dalam Perumahan
Pendidikan Klinik Apotek
Outlet Warung
Catering BMT
Dll.
Tanah Dekat Keramaian
(Pasar, Terminal, Stasiun, Sekolah
Umum dll.)
Pertokoan Rumah Makan
Bengkel BPRS/BMT
Warung Wartel/Warnet
Klinik Jasa Penitipan Dll.
Tanah Pantai
Pinggir Laut Tambak Ikan Obyek Wisata
HI Kerajinan Dll
Rawa Bakau Perkebunan
C. Strategi Pengembangan
Untuk mengelola, memberdayakan dan
mengembangkan tanah wakaf yang strategis dimana hampir semua wakif yang menyerahkan
tanahnya kepada Nazhir tanpa menyertakan dana untuk membiayai operasional usaha produktif,
tentu saja menjadi persoalan yang cukup serius. Karena itu, diperlukan strategi riil agar bagaimana
tanah-tanah wakaf yang begitu banyak di hampir
119
seluruh propinsi di Indonesia dapat segera
diberdayakan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat banyak. Strategi riil dalam mengembangkan tanah-tanah wakaf produktif
adalah dengan kemitraan.
Lembaga-lembaga Nazhir harus menjalin
kemitraan usaha dengan pihak-pihak lain yang mempunyai modal dan kertarikan usaha sesuai
dengan posisi tanah strategis yang ada. Jalinan kerja sama ini dalam rangka menggerakkan
seluruh potensi ekonomi yang dimiliki oleh tanah-tanah wakaf tersebut. Sekali lagi harus ditekankan
bahwa system kerja sama dengan pihak ketiga tetap harus mengikuti system syariah, baik
dengan cara musyarakah maupun mudlarabah sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Pihak-
pihak ketiga itu adalah sebagai berikut :
Lembaga investasi usaha yang berbentuk badan usaha non lembaga jasa keuangan.
Lembaga ini bisa berasal dari lembaga lain di luar wakaf, atau lembaga wakaf lainnya yang
tertarik terhadap pengembangan atas tanah wakaf yang dianggap strategis.
Investasi perseorangan yang memiliki modal cukup. Modal yang akan ditanamkan berbentuk
saham kepemilikan sesuai dengan kadar nilai yang ada. Investasi perseorangan ini bisa
dilakukan lebih dari satu pihak dengan komposisi penyahaman sesuai dengan kadar
yang ditanamkan.
120
Lembaga perbankan Syari’ah atau lembaga
keuangan Syari’ah lainnya sebagai pihak yang
memiliki dana pinjaman. Dana pinjaman yang akan diberikan kepada pihak Nazhir wakaf
berbentuk kredit dengan system bagi hasil setelah melalui studi kelayakan oleh pihak
bank.
121
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, HE. Zainal, SH, MS, MPA, Wakaf dalam
Perundang-Undangan Indonesia, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002
Al-Munawar, Said Agil Husin, Prof. Dr., H, MA, Pengembangan Wakaf dalam Rangka Membangun Kesejahteraan Masyarakat, Makalah Seminar : Wakaf Tunai – Inovesi Islam : Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, (Jakarta : Program Pasca Sarjana UI-PKTTI), November, 2001 Budi Utomo, Setiawan, Dr., Saatnya Wakaf Tunai Menyejahterakan Perekonomian Umat Kontemporer, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002 Chirzin, M. Habib, Drs., Wakaf Sektor Ketiga Sebagai Sumber Pembangunan Umat : Jaringan dan Kerjasama, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002 Daud Ali, Mohammad, Sistem dan Pengembangan Ekonomi Islam Melalui Zakat dan Wakaf, (Jakarta : UI Press)
Djatnika, Rachmat, Tanah Wakaf, (Surabaya : Al-Ikhlas), 1983 E. Nasution, Mustafa, Dr., Wakaf Tunai : Strategi untuk Menyejahterakan dan Melepaskan Ketergantungan
122
Ekonomi, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002
Haq, A. Faishal & Anam, A. Saiful, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, (Pasuruan : PT. GBI), 1994, Cet. ke-4. Hasan, K. N. Sofyan, SH, MH, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, (Surabaya : Al-Ikhlas), 1995, Cet. ke-1 Hasanah, Uswatun, Dr., Manajemen Kelembagaan Wakaf, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002 Hasanah, Uswatun, Dr., Wakaf dalam Aturan Undang-Undang di Indonesia, (Jakarta : Republika), Senin, 21 April, 2003 Direktorat Peningkatan Zakat dan Wakaf Ditjen BIPH, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perwakafan Tanah Milik, (Jakarta : Depag RI), 2002 Ibrahim, M. Anwar, Dr., Wakaf dalam Syari’at Islam, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia : Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya, (Bandung : Yayasan Piara), 1995 Raharjo, M. Dawam, Prof. Dr., Pengorganisasian Lembaga Wakaf dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002
123
Republika, Dimensi Transendental Dalam Bisnis Islami, Rubrik Iqtishad, Jakarta, Senin, 31 Maret, 2003 Sabiq, Sayyid, Fiqhu as-Sunnah, Darul Kitab al-‘Arabi, Libanon, 1971
Saroso dan Ngani, Naco, Tinjauan Yuridis tentang Perwakafan Hak Milik, (Yogyakarta : Liberty), 1984
Suhadi, Imam, Prof. Dr., Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta : PT Dana Bhakti Prima Yasa), 2002 Sutarmadi, Ahmad, Dr., Upaya Konkrit Pengembangan Perwakafan di Indonesia, Makalah Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, (Batam, Depag RI), Januari, 2002 Tabloid Fikri, Nadzir Wakaf, Konsultasi Wakaf Tunai, Jakarta, edisi 50, Agustus, 2002 Tabloid Fikri, Pengalihan Wakaf, Bolehkah ?, Konsultasi Wakaf Tunai, Jakarta, edisi 51, Agustus, 2002 Tim Penyusun Perbankan Syari’ah Bank Indonesia, Peranan Bank Syari’ah dalam Wakaf Tunai, Makalah Seminar : Wakaf Tunai – Inovesi Islam : Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial, (Jakarta : Program Pasca Sarjana UI-PKTTI), November, 2001 Usman, Suparman, Drs. H., SH, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta : Darul Ulum Press), Mei, 1999 Yusanto, Ismail, SE, et al., Menggagas Bisnis Islami, (GIP : Jakarta), 2001
124