Post on 04-Jun-2019
i
UJI EFEKTIVITAS SARI LIDAH BUAYA (Aloe vera)
SEBAGAI LARVASIDA Aedes sp.
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan
Diploma III Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kendari
Jurusan Analis Kesehatan
OLEH:
ALFRIDA FITRAH AMALIA
P00341015002
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
2018
v
MOTTO
Melangkahlah ke arah depan
Janganlah engkau mundur
Walau rintangan begitu banyak
Tetap hadapi dengan ikhlas dan penuh kesabaran.
Karna Allah maha mengetahui,
Manusia yang benar benar berjuang untuk meraih kesuksessan,
Akan mendapat hasil yang setimpal
Karya Tulis ini Kupersembahkan Kepada
Ayahanda dan ibunda tercinta
Almamaterku,
Keluargaku tersayang
Sahabat-sahabatku tersayang
Agama, bangsa dan negaraku
v
vi
ABSTRAK
Alfrida Fitrah Amalia (P0031015002) Uji efektivitas sari lidah buaya (Aloe
vera) sebagai larvasida Aedes sp. Dibimbing oleh bapak Akhmad dan ibu Ruth
(xiii+ 5 Daftar Tabel + 16 Daftar Gambar + Daftar Lampiran + 42 Halaman).
Tanaman lidah buaya merupakan tanaman yang sudah banyak dikenal orang sejak
ribuan tahun silam, biasanya digunakan sebagai penyubur rambut, penyembuh
luka dan perawatan luka, dapat digunakan sebagai bahan baku industri farmasi
dan kosmetik, dan sebagai bahan pembuatan makanan dan minuman. Tanaman
lidah buaya juga dapat digunakan sebagai larvasida alami karena mengandung
saponin dan flavonoid yang bersifat toksis untuk larva. Saponin sendiri dapat
menghambat kerja enzim yang dapat mengakibatkan penurunan kerja alat
pencernaan dan penggunaan protein bagi serangga. Saponin juga dapat merusak
membran sel dan mengganggu proses metabolisme serangga. Flavonoid
merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat
saluran pencernaan serangga dan juga bersifat toksis Tujuan Penelitian ini adalah
untuk menguji efektivitas sari lidah buaya (Aloe vera) sebagai larvasida Aedes sp
dalam konsentrasi yang berbeda. Penelitian ini bersifat ekperimental karena larva
Aedes sp mendapat perlakuan langsung dan di masukkan dalam sari lidah buaya
dengan berbagai konsentrasi yaitu 10%, 20%, 40%, 60%, 80% sampel larva
sebanyak 250 ekor larva Aedes sp yang dibagi menjadi 25 ekor larva lalu
dimasukkan pada masing-masing konsentrasi. Penelitian ini di lakukan dua kali
pengulangan pada masing-masing kelompok konsentrasi dan diamati setelah 24
jam Kesimpulan: konsentrasi sari lidah buaya yang efektif sebagai larvasida
Aedes sp yaitu konsentrasi 80% sedangkan konsentrasi yang tidak efektif yaitu
konsentrasi 10%,20%, 40%, dan 60 % Saran : Sebaiknya peneliti selanjutnya
menggunakan murni bagian daun lidah buaya dan Penelitian ini dapat menjadi
bahan masukan dan informasi bagi peneliti selanjutnya.
Kata Kunci : Sari Lidah Buaya (Aloe vera), Larvasida, Larva Aedes sp
Daftar Pustaka : 28 buah (2005-2016)
vi
vii
RIWAYAT HIDUP PENELITI
A. Identitas Diri
Nama : Alfrida Fitrah Amalia
NIM : P00341014002
Tempat, Tanggal Lahir : Kendari, 19 Agustus 1996
Suku / Bangsa : Bugis, tolaki / Indonesia
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
B. Pendidikan
1. TK Mekar Lapoa, tamat tahun 2004
2. SD Negeri 1 Lapoa, tamat tahun 2009
3. SMP Negeri 10 Kendari , tamat tahun 2012
4. SMK Tunas Husada Kendari, tamat tahun 2015
5. Sejak tahun 2015 melanjutkan pendidikan di Politeknik Kesehatan
Kemenkes Kendari Jurusan Analis Kesehatan
vii
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan
rahmat dan hidayah Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang
berjudul “Efektivitas sari lidah buaya (Aloe vera) sebagai larvasida Aedes sp”
sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Diploma III Jurusan
Analis Kesehatan pendidikan di Politeknik Kesehatan Kemenkes Kendari.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW, beserta
keluarga, para sahabat, dan umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir
zaman.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Akhmad, SST., M.Kes
selaku pembimbing I dan Ibu Ruth Mongan, B.Sc.,S.Pd., M.Pd selaku
pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya memberi bimbingan, petunjuk,
arahan dengan penuh kesabaran dari awal penulisan ini hingga selesainya
penulisan karya tulis ilmiah ini. . Ucapan terimakasih juga saya tujukan kepada :
1. Ibu Askrening, S.Kp., M.Kes selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Kendari.
2. Bapak DR. Drs. La Ode Mustafa Muchtar, M.Si selaku Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sulawesi Tenggara yang telah
memberikan izin untuk melakukan penelitian.
3. Ibu Anita Rosanty, SST.,M.Kes selaku ketua jurusan analis kesehatan
4. Ibu Fonnie E. Hasan, DCN.,M.Kes, dan bapak Muhaimin Saranani,
S.Kep.,NS.,M.Si, selaku dewan penguji atas kesediannya menguji,
memberikan saran dan koreksinya kepada penulis
5. Teristimewa dan tercinta tak terhingga penulis ucapkan terima kasih kepada
Ayahanda Suwardi, S.Pt.,M.Si dan Ibunda Hasbiana atas cinta, kasih sayang,
perhatian, kesabaran, doa dan pengorbanan yang tidak dapat penulis balas
sampai kapan pun dan dengan apapun
6. Saudaraku Melly Pratiwi S atas segala cinta, kasih sayang, dukungan, doa dan
bantuannya untuk penulis
7. Sahabat-sahabatku Karnila, Okta, Aca dan Muzadila terima kasih semua canda,
tawa, suka, suka, duka selama ini.
viii
ix
8. Teman-teman angkatan 2015 Epran, Marsih, Sadah, Yani, Nopa, Fera, Amsar,
Richardo, Aida, Uli dan teman-teman seperjuanganku yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu mahasiswa/mahasiswi jurusan analis kesehatan yang dari
awal kita bersama hingga saat ini, terimakasih atas bantuan dan dukungan yang
kalian berikan.
9. Terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam bentuk apapun yang tidak
dapat ditulis satu persatu, dengan tulus penulis mengucapkan terima kasih dan
semoga Allah SWT, memberi balasan yang sesuai.
Penulis berharap karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang terkait dan semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT.
Kendari, Mei 2018
Penulis
ix
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ..................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... iii
KATA PENGESAHAN .......................................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................. v
MOTTO .................................................................................................................. vi
ABSTRAK .............................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 5
F. Manfaat Penelitian .................................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 7
A. Tinjauan Umum Tentang Lidah Buaya (Aloe vera) ........................... 7
B. Tinjauan Umum Tentang Aedes sp ...................................................... 16
BAB III KERANGKA KONSEP............................................................................ 29
A. Dasar Pemikiran ................................................................................... 29
B. Kerangka pikir ...................................................................................... 30
C. Variabel Penelitian ............................................................................... 31
x
xi
D. Defenisi Operasional Prosedur dan Kriteria Objektif .......................... 31
BAB IV METODE PENELITIAN ......................................................................... 32
A. Jenis Penelitian .................................................................................... 32
B. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 32
C. Populasi dan Sampel ............................................................................ 32
D. Prosedur Penelitian ............................................................................. 33
E. Instrumen penelitian ............................................................................. 35
F. Jenis Data .............................................................................................. 36
G. Pengolahan Data .................................................................................. 36
H. Analisis Data ........................................................................................ 36
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................................... 37
A. Gambaran Umum Lokasi penelitian .................................................... 37
B. Variabel Penelitian ............................................................................... 37
C. Pembahasan .......................................................................................... 39
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 43
A. Kesimpulan .......................................................................................... 43
B. Saran .................................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN LAMPIRAN
xi
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Karakteristik Tiga jenis Tanaman Lidah buaya .................................. 10
Tabel 1.2 Perbedaan larva Aedes agypti dan Aedes albopictus instar IV ........... 19
Tabel 4.1 Komposisi sari lidah buaya dan air keran Pada Konsentrasi 10%, 20%,
40%, 60%, 80% .................................................................................. 35
Tabel 5.1 Distribusi Lokasi Pengambilan Sampel ............................................. 37
Tabel 5.2 Jumlah kematian larva Aedes sp pada berbagai konsentrasi sari
lidah buaya setelah 24 jam perlakuan .................................................. 38
xii
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Izin Penelitian dari Poltekkes Kemenkes Kendari
Lampiran 2 : Surat Izin Penelitian dari Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara
Lampiran 3 : Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
Lampiran 4 : Dokumentasi Penelitian
Lampiran 5 : Lembar Hasil Penelitian
Lampiran 6 : Surat Keterangan Bebas Pustaka
xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue, yang masuk ke dalam peredaran manusia
melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes, misalnya Aedes aegypti atau Aedes
albopictus. Penyakit demam berdarah dengue dapat muncul sepanjang tahun
dan dapat menyerang seluruh kelompok umur. Penyakit ini berkaitan erat
dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat (Dinkes sultra, 2016).
Pada tahun 2016 terjadi kasus demam berdarah dengue terbeesar di
seluruh dunia. Wilayah Amerika melaporkan lebih dari 2.38 juta kasus
demam berdarah dengue, di mana Brasil sendiri mencatat sekitar 1.5 juta
kasus dan 1.032 kematian yang telah dilaporkan di wilayah tersebut. Wilayah
Pasifik Barat melaporkan lebih dari 375.000 kasus dugaan Demam Berdarah
Dengue, dimana Filipina melaporkan 176.411 dan Malaysia 100.028.
Kepulauan Solomon mencatat kasus demam berdarah dengue yang dicurigai
dari 7.000 kasus tersebut. Di Wilayah Afrika, Burkina Faso melaporkan kasus
demam berdarah dengue dengan 1.061 kasus. Pada tahun 2017 wilayah
Amerika telah mencatat 50.172 kasus demam berdarah, dari data tersebut
terlihat bisa dikatakan terjadinya pengurangan dibandingkan dengan
periodepada tahun-tahun sebelumnya (WHO, 2017).
Di Indonesia kasus demam berdarah dengue pada tahun 2016 tercatat
sebanyak 202.314 kasus, dengan angka kematian 1.593. Pada awal Januari
hingga Mei pada tahun 2017 Kementrian kesehatan mencatat jumlah
penderita demam berdarah dengue di Indonesia sebanyak 17.877 kasus,
dengan 115 angka kematian (Kemenkes RI, 2017).
Pada tahun 2016 di Sulawesi Tenggara merupakan tahun dengan
kasus demam berdarah dengue tertinggi dalam beberapa tahun terakhir,
jumlah penderita demam berdarah dengue yang dilaporkan sebanyak 3.433
kasus, melonjak lebih dari 2 kali lipat dibanding tahun sebelumnya, 33 kasus
di antaranya meninggal dunia (Incidence Rate/Angka Kesakitan 132.5 per 1
1
2
100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR)/Angka Kematian =
1.0%, angka ini lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai
1.4%. Sebaran kasus demam berdarah dengue menurut kabupaten/kota di
mana dari 17 daerah hanya 2 kabupaten yaitu Kabupaten Konawe Kepulauan
dan Muna Barat yang bebas dari demam berdarah, ini berarti penularan
demam berdarah telah menyebar pada hampir seluruh kabupaten/kota di
Sulawesi Tenggara, 6 kabupaten/kota dengan jumlah kasus yang relatif tinggi
adalah Kota Kendari, Baubau, Kabupaten Muna, Konawe Selatan, Kolaka,
Konawe, dan Kolaka Utara. Kejadian kasus tertinggi dialami Kota Kendari
yang mencapai 1.093 kasus, ini adalah jumlah kasus tertinggi dalam 6 tahun
terakhir. Pada semua kabupaten/kota tersebut telah ditetapkan sebagai daerah
Kejadian Luar Biasa (KLB) pada kasus demam berdarah dengue tahun 2016
(Dinkes Sultra, 2016).
Kematian akibat demam berdarah dengue yang dilaporkan sebanyak
33 orang dari total 3.433 kasus demam berdarah dengue jumlah tersebut
berasal dari 10 kabupaten/kota. Kasus kematian tertinggi dilaporkan oleh
Kota Kendari dan Konawe Selatan masing-masing dengan 7 dan 6 kasus.
Kematian akibat demam berdarah dengue dikategorikan tinggi jika CFR >
2%, CFR DBD Sulawesi Tenggara sebesar 1%, dengan demikian angka
kematian akibat Demam Berdarah Dengue di Sulawesi Tenggara masih
berada pada kategori sedang. Meskipun CFR relatif turun, peningkatan kasus
yang signifikan dari tahun ke tahun harus terus diwaspadai. Untuk itu
diperlukan upaya yang lebih serius dalam hal peningkatan kualitas
lingkungan, kualitas pelayanan kesehatan dan peningkatan kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) di rumah sakit dan puskesmas (dokter, perawat, dll)
dan penatalaksanaan bagi penderita di sarana-sarana pelayanan kesehatan
guna menekan peningkatan jumlah kematian akibat demam berdarah di masa
mendatang (Dinkes Sultra, 2016).
Kasus demam berdarah dikota Kendari telah terjadi dibeberapa
wilayah, dimana sebagian wilayah yang ada dikota Kendari menjadi daerah
endemis terjadinya demam berdarah dengue salah satunya terjadi didaerah
3
Kelurahan. Mokoau Kec. Kambu tercatat sebanyak 41 kasus demam
berdarah dengue pada tahun 2016.
Penyebaran yang terjadi pada kasus demam berdarah dapat
disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kasus
termaksud lemahnya upaya program pengendalian demam berdarah dengue,
sehingga upaya program pengendalian Demam Berdarah Dengue perlu lebih
mendapat perhatian terutama pada tingkat kabupaten/kota dan Puskesmas.
Penyebaran kasus demam berdarah dengue juga dapat disebabkan oleh
mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan,
perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk serta 3 faktor
epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Selain
itu Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian, kemungkinan
disebabkan karena curah hujan yang tinggi sepanjang tahun dan adanya
lingkungan biologi yang menyebabkan nyamuk lebih mudah berkembang
biak.
Departemen Kesehatan sendiri pada tahun (2010) telah meluncurkan
beberapa program pengendalian demam berdarah dengue. Salah satu langkah
yang digunakan adalah dengan mengendalikan vector demam berdarah
dengue yaitu nyamuk Aedes sp diantaranya, Kimiawi dengan insektisida dan
larvasida, Biologi dengan menggunakan predator, manajemen lingkungan
seperti mengelola atau meniadakan habitat perkembangbiakan nyamuk atau
gerakan Pengendalian Sarang Nyamuk (PSN), penerapan peraturan
perundangan, meningkatkan peran masyarakat dalam pengendalian vector.
Pengendalian vektor dapat juga dilakukan dengan menggunakan
tumbuhan/tanaman
Tanaman lidah buaya sudah dikenal sejak ribuan tahun silam,
biasanya digunakan sebagai penyubur rambut, penyembuh luka dan
perawatan luka, dapat digunakan sebagai bahan baku industri farmasi dan
kosmetik, dan sebagai bahan pembuatan makanan dan minuman. Selain itu
berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Monika Noshirma dan
Ruben Wadu Willa (2016) beberapa tanaman salah satunya lidah buaya dapat
4
digunakan sebagai larvasida alami karena mengandung saponin dan
flavonoid. Larvasida alami yaitu suatu metode untuk menghambat
pertumbuhan larva nyamuk serta mematikan nyamuk dengan menggunakan
tumbuh-tumbuhan alami. Tanaman lidah buaya mempunyai kandungan
senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan larva dan mematikan larva
diantaranya saponin dan flavonoida. Saponin sendiri dapat menghambat kerja
enzim yang mengakibatkan penurunan kerja alat pencernaan dan penggunaan
protein bagi serangga. Saponin dapat merusak membran sel dan mengganggu
proses metabolisme serangga. Flavonoid merupakan senyawa pertahanan tum
buhan yang dapat bersifat menghambat saluran pencernaan serangga dan juga
bersifat toksis.
Berdasarkan Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sheila
dkk (2015) tentang efek larvasida ekstrak daun lidah buaya (Aloe vera)
dimana terhadap Aedes agypti menggunakan metode penelitian laboratorik.
Larva sebanyak 480 larva dibagi menjadi 5 perlakuan dengan pengulangan 4
kali. Perlakuan ini menggunakan konsentrasi ekstrak daun lidah buaya yaitu
0,25 %, 0,5 %, 0,7% dan 1% dan aquades sebagai kontrol negatif. Hasil
penelitiannya ekstrak daun lidah buaya (Aloe Vera) berefek larvasida
terhadap Aedes agypti instar III Pada konsentrasi 1%.
Dari uraian di atas mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian
tentang uji efektivitas sari lidah buaya sebafai larvasida terhadap Aedes sp
dengan menggunakan konsentrasi 10%, 20%, 40%, 60%, 80% serta
menggunakan 25 ekor larva Aedes sp instar III, pada masing-masing
konsentrasi selama 24 jam dengan 2 kali pengulangan. Metode yang
digunakan sangat sederhana tanpa menggunakan ekstrak daun lidah buaya
dengan menggunakan larutan etanol, dimana penelitian sebelumnya
menggunakan estrak daun lidah buaya menggunakan larutan etanol dan
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sari lidah buaya. Dalam
penelitian ini lidah buaya dipilih karena tanaman ini sudah sangat dikenal
masyarakat dan sering ditemui dan tanaman in tidak mengenal musim.
5
Pengambilan sampel pada penelitian ini diambil pada salah satu daerah
endemis Demam Berdarah Dengue (DBD) dikota Kendari yaitu di Kel
Mokoau dengan melakukan pemasangan ovitrap pada 10 rumah warga.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas sari lidah buaya sebagai
larvasida larva Aedes sp.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka rumusan masalah yang akan
dibahas dalam penelitian adalah :
Apakah sari lidah buaya (Aloe vera) efektif sebagai larvasida Aedes sp
C. Tujuan Khusus
1. Tujuan Umum
Untuk menguji efektifitas sari lidah buaya (Aloe vera) sebagai larvasida
Aedes sp.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menguji konsentrasi dari sari lidah buaya (Aloe vera)
konsentrasi 10% yang efektif sebagai larvasida Aedes sp.
b. Untuk menguji konsentrasi dari sari lidah buaya (Aloe vera)
konsentrasi 20% yang efektif sebagai larvasida Aedes sp.
c. Untuk menguji konsentrasi dari sari lidah buaya (Aloe vera)
konsentrasi 40% yang efektif sebagai larvasida Aedes sp.
d. Untuk menguji konsentrasi dari sari lidah buaya (Aloe vera)
konsentrasi 60% yang efektif sebagai larvasida Aedes sp.
e. Untuk menguji konsentrasi dari sari lidah buaya (Aloe vera)
konsentrasi 80% yang efektif sebagai larvasida Aedes sp.
D. Manfaat Penelitian
1. Aspek Teoritis
Memberikan bukti ilmiah tentang larvasida alami terhadap kematian
larva Aedes sp dari sari lidah buaya (Aloe vera) .
2. Aspek Aplikatif
a. Meningkatkan pemanfaatan sari lidah buaya sebagai larvasida
terhadap Aedes sp. Dengan harapan dapat membantu untuk
6
menurunkan angka kejadian penyakit infeksi virus dengue yang
ditransmisikan melalui nyamuk tersebut.
b. Memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat terkait manfaat
sari lidah buaya (Aloe vera) yang dapat digunakan sebagai larvasida
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Lidah Buaya (Aloe vera)
Aloe vera atau biasa lebih dikenal sebagai lidah buaya merupakan
tanaman asli dari Afrika Selatan, Madascar dan Arabia. Tanaman ini
termaksud ke dalam golongan liliaceae ( Maghadasi & Verma, 2011).
Tanaman lidah buaya sudah dikenal sejak ribuan tahun silam. Biasanya
digunakan sebagai penyubur rambut, penyembuh luka dan perawatan luka.
Tanaman ini bermanfaat sebagai bahan baku industry farmasi dan kosmetik.
Disamping itu, dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan makanan dan
minuman kesehatan (Hartawan, 2012)
Tumbuhan lidah buaya ini tumbuh ditempat yang berhawa panas
dan ditanam pada pot dan pekarangan rumah sebagai tanaman hias. Tanaman
ini tahan terhadap kekeringan karena didalam daun banyak tersimpan
cadangan air yang dapat dimanfaatkan pada waktu kekurangan air (Raina,
2011). Tanaman lidah buaya termaksud semak rendah, tergolong tanaman
yang bersifat sukulen dan menyerupai tempat yang kering. Batang tanaman
pendek, mempunyai daun yang bersap-sap melingkar, panjang daun 40-90
cm, lebar daun 6-13 cm, dengan ketebalan kurang lebih 2,5 cm dipangkal
daun dan bunga berbentuk terompet atau tabung kecil sepanjang 2-3 cm (Irni
Furnawanthi, 2007)
1. Klasifikasi Ilmiah Atau Taksonomi Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera)
Klasifikasi ilmiah atau taksonomi dari lidah buaya adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Division : Angiosperma
Class : Monocots
Ordo : Asparagales
Family : xanthorrhoeaceae
Subfamili : Asphodeloideae
7
8
Genus : Aloe
Spesies : A.vera
2. Jenis Dan Varietas Tanaman Lidah Buaya
Ada lebih dari 350 jenis lidah buaya yang termaksud dalam suku
liliaceae dan tidak sedikit merupakan hasil persilangan. Ada tiga jenis
lidah buaya secara komersial di dunia yaitu Aloe Vera atau Aloe
barbadensis Miller, Cape aloe atau Aloe ferox Miller dan Sacotrine Baker
aloe atau Aloe perry Baker.
Tabel 2. 1 Karakteristik Tiga jenis Tanaman Lidah buaya
No
Karakteristik
Aloe barbadensis
mille
Aloe ferox
Miller
Aloe perry
Baker
1 Batang tidak terlihat jelas
terlihat jelas
(tinggi 3-5
mm)
Ti-dak terlihat
jelas
(lebih kurang
0,5 m)
2 Bentuk lebar Lebar di
Lebar di
bagian
Daun dibagian bawah bagian bawah Bawah
3
Lebar daun
6-13 cm
10-15 cm
5-8 cm
4 Lapisan lilin Tebal Tebal Tipis
Pada daun
5 Duri Di bagian pinggir
Di bagian
pinggir
Di bagian
pinggir
Daun
dan bawah
daun daun
6
Tinggi bunga
25-30 (tinggi
tangkai 35-40 cm
25-30 cm
(mm) bunga 60-100 cm)
7
Warna bunga
Kuning
Merah tua
Merah terang
Sumber: http//repository.usu.ac.id (2013).
9
Gambar 2.1 Aloe ferox Miller (Sumber : Wikipedia n.d., diakses 8
januari 2018)
Gambar 2.2. Sacotrine Baker aloe atau Aloe perryi Baker.
(Sumber : puraloe n.d., diakses 8 januari 2018)
10
Gambar 2.3. Aloe Vera atau Aloe barbadensis Mille
(Sumber : Wikimedia commons n.d., diakses 8 Januari 2018)
Dari ketiga jenis diatas yang paling banyak dimanfaatkan
adalah spesies Aloe barbadensis Miller karena jenis ini mempunyai
banyak keunggulan yaitu tahan hama,ukurannya dapat mencapai 1 m
(Setiawan Dalimartha,2008).
3. Karakteristik Tanaman Lidah buaya
Batang tanaman lidah buaya berserat atau berkayu. Pada umumnya
sangat pendek dan hampir tidak terlihat karena tertutupi oleh daun yang
rapat dan sebagian tertanam dalam tanah. Melalui batang ini akan tumbuh
tunas yang akan menjadi anakan (sucker) (Irni Furnawanthi, 2007). Aloe
vera yang bertangkai juga muncul dari batang melalui celah-celah atau
ketiak daun. Batang Aloe vera ini dapat di stek untuk perbanyakan tanaman.
Peremajaan tanaman ini dilakukan dengan memangkas habis daun dan
batangnya, kemudian dari sisa tunggul batang ini akan muncul tunas-tunas
baru atau anakan (Bayu satya, 2013)
11
Gambar 2.4.Batang lidah buaya
Daun lidah buaya berdaging tebal, panjang dan mengecil ke ujung.
Apabila daun dibelah terlihat daging berwarna hijau ,dingin dan banyak
mengandung lendir. Panjang daun sekitar 15-37 cm, sedangkan lebarnya 2-6
cm. Daun berwarna hijau segar dengan bintik garis putih kecil-kecil, terlihat
jelas saat daun masih muda. Tepi daunnya berduri lunak dan daunnya tidak
mempunyai tulang (Irni Furnawanthi, 2007). Daun lidah buaya ini bersifat
sukulen (banyak mengandung air) dan termaksud tanaman yang tahan
terhadap kekeringan karena didalam daun banyak tersimpan cadangan air
yang dapat dimanfaatkan untuk berkembang pada waktu kekurangan air
(Bayu Satya, 2013)
12
Gambar 2.5.Daun tanaman lidah buaya
Bunga lidah buaya berbentuk terompet atau tabung kecil
sepanjang 2-3 cm, bunga berwarna kuning, orange atau jingga. Bunga
berukuran kecil, tersusun dalam rangkaian berbentuk tandan. Bunga
berukuran kecil, berbentuk tandan, dan panjangnya bisa mencapai 1 meter.
Bunga biasanya muncul bila ditanam didaerah dipegunungan (Bayu Satya,
2013)
Gambar 2.6.Bunga lidah buaya
Akar lidah buaya mempunyai sistem perakaran yang pendek
dengan akar serabut ,panjang akarnya bisa mencapai sampai 50-100 cm.
untuk pertumbuhannya tanaman menghendaki tanah yang subur dan gembur
di bagian atasnya (Raina, 2011)
13
Gambar 2.7.Akar tanaman lidah buaya
4. Zat Yang Terkandung Dalam Tanaman Lidah Buaya
Lidah buaya mengandung senyawa aktif didalamnya diantaranya
fenolik (aloenin, aloenin B, isobarbaloin, barboloin, anthranol, asam aloetat,
aloe emodin, dan yak eter), enzim (oksidase, katalase, lipase, aminase,
amylasae), vitamin (B1, B2, B6, B12, C), kalsium, natrium, kalium,
mangan, seng, polisakarida, karbohidrat, asam amino, lemakdan hormon
Selain itu daun lidah buaya (Aloe vera) merupakan salah satu tumbuhan
yang mengandung saponin, flavonoida dan tanin (Prapti Utami, 2012).
Saponin dapat menghambat kerja enzim yang berakibat penurunan
kerja alat pencernaan dan penggunaan protein bagi serangga. Saponin
merupakan senyawa yang berasa pahit, menyebabkan bersin dan sering
mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir. Flavonoida merupakan salah
satu jenis golongan fenol alam terbesar dan banyak ditemukan dalam
tumbuh-tumbuhan. Senyawa-senyawa ini merupakan zat berwarna merah,
ungu, dan biru. Flovonoida bila masuk mulut serangga dapat menimbulkan
kelayuan pada saraf dan kerusakan spirakel yang mengakibatkan serangga
tidak bisa bernafas dan akhirnya mati (Lenny, 2006).
5. Manfaat Tanaman Lidah Buaya
Lidah buaya merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat
diantaranya sebagai pengobatan, perawatan rambut dan sebagai bahan
industri makanan.
a. Pengobatan
14
Pada tahun 1934 seorang ilmiah bernama Dr.C.E.Collings
pertama kali mengemukakan bahwa lidah buaya menyembuhkan
penyakit kulit akibat radiasi pada dahi seorang wanita 31 tahun. Luka
sembuh dalam 3 bulan. Kulit kembali normal dengan sedikit bekas
dan tanpa perubahan warna kulit. selain penyakit kulit, lidah buaya
dapat mengobati luka bakar. Bagian lidah buaya yang digunakan
untuk mengobati penyakit tersebut adalah potongan daun lidah buaya
atau salep yang dibuat dari kombinasi getah dan cairan lidah buaya
(Rostita dan Tim Redaksi Qanita, 2008).
Seorang ilmuwan bernama S. Levenson dan K. Somova berasal
dari Rusia juga pernah menggunakan getah lidah buaya untuk
mengobati penyakit pada gigi. Sebanyak 150 pasien diobati dengan
cara menyuntikkan ekstrak getah lidah buaya pada gigi yang
terinfeksi. Sakit pada gigi berkurang pada semua pasien (Rostita dan
Tim Redaksi Qanita, 2008).
Ike (2015) berdasarkan penelitiannya Lidah buaya (Aloe
vera) mampu menurunkan kadar glukosa darah. Pada daging lidah
buaya yaitu berfungsi untuk memperbaiki pangkreas. Senyawa yang
berperan penting dalam penurunan kadar glukosa yaitu Cromium,
inositol (merupakan bagian dari Vitamin B kompleks) dan Vitamin A.
adapun senyawa lain sebagai penurun glukosa darah yaitu
Monopolisakarida, selulosa, glukosa, mannose, aldepentosa, yang
berfungsi memenuhi metabolisme tubuh untuk memproduksi muco
polisakarida, menekan kadar glukosa dan trigliserida post pandrial dan
menurunkan ratio glukosa post andrial. Pada tumbuhan Aloe vera
yang digunakan sebagai pengobatan maupun terapi adalah bagian
daging.
b. Perawatan Rambut
Lidah buaya (Aloe vera) dapat mengurangi kerontokkan
rambut dan menguatkan akar rambut. Karena lidah buaya
mengandung zat-zat bermanfaat untuk mengurangi kerontokkan
15
rambut seperti Vitamin A, asam amino, Cu, Inositol, enzim, mineral
dan lain-lain (Swce W et al, 2000).
c. Bahan Industri Makanan
Lidah buaya memiliki aktifitas biologi dan kandungan
kimia bergizi seperti vitamin (B1, B2, B6, B12, C), kalsium, natrium,
sehingga lidah buaya cocok dibuat berbagai produk makanan karena
kandungan bergizinya sangat bermanfaat bagi tubuh. Produk
makanan yang dimaksud adalah dodol, manisan, cendol, dan Jus.
Lidah buaya juga dapat dimanfaatkan untuk memanjangkan rambut
dengan cepat secara alami. bagian gel lidah buaya mempunyai
kandungan kimia antrakuinon (Rostita dan Tim Redaksi Qanita,
2008).
d. Sebagai Larvasida
Salah satu cara untuk mengendalikan penyakit demam
berdarah adalah dengan mengendalikan vektornya, dengan cara
memutuskan siklus kehidupan nyamuk menggunakan larvasida dan
insektisida. Salah satu tanaman yang bisa dapat dijadikan larvasida
yaitu tanaman lidah buaya.
Shella Arivia. (2006) Tanaman lidah buaya mempunyai
kandungan saponin, flavonoida, tanin. Saponin dan flavonoida
merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat
menghambat saluran pencernaan larva dan juga bersifat toksis.
Saponin dapat merusak membran sel dan mengganggu proses
metabolisme serangga.
Senyawa flavonoid berfungsi sebagai inhibitor pernapasan
sehingga menghambat sistem pernapasan nyamuk maupun larva yang
dapat mengakibatkan nyamuk maupun larva Aedes sp mati. Senyawa
flavonoid sebagai inhibitor pernapasan yang kemudian akan
menimbulkan kelayuan pada syaraf serta kerusakkan pada sistem
pernapasan dan mengakibatkan larva tidak bisa bernapas dan akhirnya
mati (Keerti dkk, 2011).
16
Senyawa Tanin akan menyebabkan penurunan aktifitas enzim
protease dalam mengubah azam amino. Senyawa tanin dapat mengikat
enzim protease dengan terikatnya enzim oleh tanin, maka kerja dari
enzim akan menjadi terhambat, sehingga proses metabolisme sel dapat
terganggu dan larva akan kekurangan nutrisi. Sehingga akan berakibat
menghambat pertumbuhan larva dan jika proses ini akan berlangsung
secara terus menerus maka akan menyebabkan kematian larva (Efrain,
2010).
Saponin dapat menurunkan aktivitas enzim pencernaan dan
penyerapan makanan. Selain itu dapat menurunkan tegangan
permukaan selaput mukosa truktus digetivus larva sehingga dinding
digesttivus menjadi korosif (Harditomo, 2010).
B. Tinjauan Umum Tentang Aedes sp
Nyamuk Aedes sp merupakan vektor penyebar virus Dengue .
Virus dengue adalah penyebab penyakit Demam Berdarah Dangue (DBD).
Jenis Aedes sp yang dimaksud adalah Aedes aegypti dan Aedes albopictus
namun, dalam penularan virus dengue nyamuk Aedes aegypti lebih
berperan dari pada nyamuk Aedes albopictus karena habitat Aedes aegypti
lebih dekat dengan lingkungan hidup manusia daripada habitat nyamuk
Aedes albopictus yang berada di kebun-kebun dan rawa-rawa (Umi, 2011).
Di Asia Tenggara, Aedes agypti atau juga dikenal sebagai
Stegomyia agypti merupakan vektor utama penyebab epidemi virus-virus
dengue. Sedangakan Aedes albopictus adalah vector sekunder yang juga
menjadi sumber penularan virus dengue (Soedarto, 2012)
1. Klasifikasi Ilmiah atau Taksonomi Aedes sp
Nyamuk Aedes sp. Diperkirakan mencapai 950 spesies
tersebar di seluruh dunia. Urutan klasifikasi dari nyamuk Aedes sp
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Uniramia
17
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Subordo : Nematosera
Familia : Culicidae
Sub family : Culicinae
Tribus : Culicini
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti
Aedes albopictus
(Soedarto, 2012)
2. Morfologi Aedes agypti.
Aedes Aegypti merupakan vector dari penyakit dengue
fever/yellow fever tipe urban/kota, juga merupakan vector dari
wuchereria bancrofti. Jenis nyamuk aedes aegepty ini biasanya
terdapat pada daerah tropic dan subtropik. Aedes albopictus adalah
spesies nyamuk hutan yang telah beradaptasi dengan lingkungan hidup
manusia di daerah suburban dan bahkan di daerah urban. Nyamuk ini
meletakkan telurnya dan berkembang biak di air yang terdapat
dilubang pohon, potongan bambu dan lipatan daun yang terdapat
dihutan maupun dikontainer didaerah urban (Soedarto, 2012)
a) Telur
Telur Aedes Aegypti maupun Aedes albopictus berbentuk
lonjong warna kehitaman dengan bentuk anyaman sepertikasa pada
dinding telur. Telur dapat bertahan lama terhadap kekeringan
(Bariah Ideham & Suhitam Pusawarati, 2009).
Gambar 2.8.bentuk telur aedes aegypti
18
Gambar 2.8. Telur nyamuk Aedes sp
(Sumber: Starbulletin 2008, diakses 4 Februari 2018)
b) Larva
Pada stadium larva aedes sp mempunyai empat tingkatan
hidup yang berbeda yang disebut dengan instar (Wati, 2010)
1) Instar 1
Tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2
mm, duri-duri pada dada (thorax) belum begitu jelas dan
corong pernapasan (siphon) belum menghitam.
Gambar 2.9. Larva Instar I Aedes aegypti (Sumber: Gama,
Z.P., dkk 2010)
2) Instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum
jelas dan corong pernapasam sudah berwarna hitam, larva
instar II mendapatkan oksigen dari udara, dengan meletakkan
corong udara (siphon) pada permukaan air seolah-olah badan
larva berada pada posisi membentuk sudut dengan suhu
permukaan air sekitar 300c, larva instar II dalam bergerak tidak
terlalu aktif.
19
Gambar 2.10. Larva Instar II Aedes aegypti
(Sumber: Gama, Z.P., dkk , 2010)
3) Instar III
Tubuhnya 4-5 mm, duri-duri dada mulai jelas dan corong
pernapasan berwarna coklat kehitaman.
Gambar 2.11. Larva Instar III Aedes aegypti
(Sumber: Gama, Z.P., dkk 2010)
4) Instar IV
Struktuk anatominya telah lengkap dan tubuhnya dapat
dibagi jelas kepada bagian kepala (chepal), dada (thorax) dan
perut (abdomen). Larva ini berukuran paling besar 5 mm.
Larva ini berukuran paling besar 5 mm. larva ini tubuhnya
langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis
negative dan waktu.
20
Tabel 1.2 Perbedaan larva Aedes agypti dan Aedes albopictus instar
IV
No Aedes agypti Aedes albopictus
1 pada abdomen ke -8 terdapat Sisik sikat (comb scale)
satu baris sisik sikat (comb scale) Tidak berduri lateral
yang pada sisi lateralnya terdapat
duri-duri
2 terdapat gigi pekten (pectin) pada gigi pekten (pectin teeth)
siphon dengan satu cabang dengan dua cabang
3 sikat ventral memiliki 5 pasang sikat ventral memiliki 4
Rambut pasang rambut
4 Hidup domestik pada kontainer di hidup dan berkembang di
dalam dan di sekitar rumah kebun dan semak-semak
Keterangan :
1. Larva Aedes aegypti instar IV Larva
2. terdapat gigi-gigi sisir dalam satu baris pada larva aedes
aegypti
3. Larva Aedes albopictus.
4. terdapat seperti sisir dalam satu baris
1 2
3 4
21
c) Pupa
Menurut Achmadi (2011), pupa nyamuk Aedes Aegypti
mempunyai bentuk tubuh bengkok, dengan bagian kepala dada
(cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian
perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca „koma‟. Tahap pupa
pada nyamuk Aedes sp umumnya berlangsung selama 2-4 hari.
Saat nyamuk dewasa akan melengkapi perkembangannya dalam
cangkang pupa, pupa akan naik ke permukaan dan berbaring
sejajar dengan permukaan air untuk persiapan munculnya nyamuk
dewasa.
Gambar 2.14.pupa Aedes sp
(Sumber : Florida medical entomology
laboratory of florida 2016, diakses 4
Februari 2018 )
d) Nyamuk
Aedes sp dewasa, berukuran lebih kecil dibandingkan
dengan nyamuk rumah (Culex quimquefasciatus), mempunyai
warna dasar yang hitam. Probosis bersisik hitam, palpi pendek
dengan ujung hitam bersisik putih perak. Oksiput bersisik lebar,
22
berwarna putih terletak memanjang. Femur bersisik putih pada
permukaaan posterior dan setengah basal, anterior dan tengah
bersisik putih memanjang. Tibia berwarna hitam. Tarsi belakang
berlingkaran putih pada segmen basal satu sampai keempat dan
segmen kelima berwarna putih. Sayap berukuran 2,5-3,0 mm
(Ananya Bar, 2013).
Nyamuk Aedes agypti maupun Aedes albopictus secara
morfologis kedua nyamuk tersebut tidaklah berbeda satu sama
lainnya, akan tetapi terdapat satu hal yang membedakan antara
keduanya, yaitu garis atau strip putih yang ada pada bagian skutum
di punggungnya (Supartha, 2008)
Pada nyamuk Aedes agypti, garis atau strip putih yang ada
dibagian punggungnya membentuk pola seperti kecapi (lyre)
dengan warna yang terang keperakan, sementara nyamuk aedes
albopictus memiliki garis atau strip tunggal yang membujur atau
berbentuk longitudinal di bagian punggungnya dengan warna putih
Keperakkan (centers for disease control and prevention 2012).
Gambar 2.15. Bentuk nyamuk dewa Aedes aegypti dan Aedes albopictus
(Sumber: Merdeka 2016, diakses 4 Februari 2018)
23
3. Daur hidup/Siklus Hidup
Terdapat empat stadium nyamuk Aedes sp pada siklus
hidupnya, yaitu bentuk telur, larva, pupa dan dewasa. Stadium telur,
larva, dan pupa hidup didalam air sedangkan stadium dewasa betina
biasanya mengisap darahmanusia dan binatang. Telur yang baru
diletakkan berwarna putih, tetapi sesudah 1-2 jam berubah menjadi
hitam (Soedarto, 2012)
Gambar 2.16. Siklus hidup nyamuk Aedes sp
Sumber: M. Sivnathan
Setelah 2-4 hari telur akan menetas menjadi larva yang selalu
hidup di dalam air. Larva terdiri atas 4 substadium (instar) dan
mengambil makanan dari tempat perindukannya. Pertumbuhan
larva stadium I sampai dengan stadium IV berlangsung 6-8 hari.
Untuk tumbuh menjadi nyamuk dewasa diperlukan waktu 1-3 hari
sampai beberapa minggu. Pupa jantan menetas terlebih dahulu,
nyamuk jantan biasanya tidak pergi jauh dari tempat perindukkan,
24
menunggu nyamuk betina berkopulasi. Nyamuk betina kemudian
menghisap darah yang diperlukannya untuk pembentukkan pada
telurnya (Soedarto, 2012)
a) Stadium Telur
Nyamuk betina Aedes sp bertelur sebanyak 50-120 butir
telur pada bejana yang mengandung sedikir air, misalnya pada
vas bunga, gentong penyimpan air, bak air di kamar mandi, dan
bejana penyimpan air yang ada didalam rumah (indoors). Selain
itu ban bekas, gelas plastik, dan wadah-wadah yang terisi air
hujan di luar rumah (outdoors) dapa menjadi tempat
berkembang biak nyamuk ini. Telur diletakkan pada permukaan
yang lembab dari wadah, sedikit diatas garis batas atau
permukaan air. Pada satu siklus gonotropik, seekor nyamuk
betina umumnya meletakkan telurnya di beberapa tempat
bertelur. Pada lingkungan yang memiliki suhu hangat dan
lembab perkembangan embrio telah lengkap dalam waktu 48
jam dan dapat menetas jika tersiram air. Dalam keadaan kering
telur nyamuk dapat bertahan hidup sampai satu tahun lamanya,
tetapi akan segera mati jika di dinginkan kurang dari 10oc. tidak
semuanya telur menetas dalam waktu bersamaan,bergantung
pada keadaan lingkungan dan iklim saat itu (Staf bagian
Parasitologi, 2000)
b) Stadium Larva dan Pupa
Lamanya stadium larva tergantung pada temperature,
makanan yang tersedia dan kepadatan larva dalam satu wadah.
Dalam kondisi optimal, perkembangan larva sampai menjadi
nyamuk dewasa membutuhkan waktu sekitar 7-10 hari
(termaksud stadium pupa yang lamanya 2 hari). Jika suhu
rendah, masa perkembangan larva menjadi nyamuk dewasa
dapat berlangsung beberapa minggu lamanya (Soedarto, 2012).
25
Di sebagian besar daerah Asia Tenggara, Aedes aegepty
sering bertelur pada wadah (breeding places) buatan yang
terdapat di dalam atau di dekat rumah (wadah dosmetik),
misalnya wadah penyimpan air, gentong dari semen, bak mandi,
vas bunga, tong air dari logam atau kayu, tandom air, bak
plastic, gelas plastic, botol, bekas aki, pipa air atau talang air
(Soedarto, 2012)..
Meskipun lebih jarang dijumpai, habitat alami larva
nyamuk dapat ditemukan di daerah urban, misalnya lubang
pohon, pelepah daun pisang, atau tanaman lainnya dan
tempurung kelapa. Di daerah dengan penyedian air yang tidak
teratur, sehingga meningkatkan jumlah habitat untuk tempat
berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti (Soedarto, 2012).
c) Stadium Nyamuk Dewasa
Ketika menjadi nyamuk dewasa, ia akan keluar dari pupa.
Nyamuk akan segera mengadakan kopulasi dengan nyamuk
betina. Dalam waktu 24-36 jam sesudah kopulasi,nyamuk betina
akan mengisap darah yang menjadi sumber protein essential
untuk pematangan telurnya. Untuk melengkapi satu siklus
gonotropik, seekor nyamuk betina Aedes aegypti dapat
melakukan lebih dari satu kali mengisap darah. Selain itu
nyamuk ini termaksud nerveous feeder yang mengisap darah
lebih dari satu manusia. Sifat-sifat ini akan meningkatkan
jumlah kontak antara manusia dan nyamuk yang penting dalam
epidemiologi penularan dengue dan penyakit arbovirus lainnya,
karena meningkatkan efisiensi penularan penyakit. Karena itu
dapat terjadi infeksi dengue dialami oleh orang serumah dengan
gejala awalnya terjadi kurang dari 24 jam perbedaannya antara
satu penderita dengan penderita lainnya (Soedarto, 2012).
26
4. Bionomik Nyamuk Aedes sp
a. Tempat Perindukan atau Berkembang Biak
Penyebaran Aedes Aegypti di Asia Tenggara meliputi
kawasan tropis maupun sub tropis, terletak di antara 40oLU dan
40O
LS yang sesuai dengan isoterm 20oC. Nyamuk ini terutama di
daerah urban (perkotaan) dan terkait dengan pembangunan
penyedian air dan meningkatnya system transportasi. Di daerah
urban dimana penduduk selalu menyediakan tendon air atau bejana
(countainer) untuk menyimpan air cadangan populasi nyamuk ini
selalu tinggi. Di Negara-negara dengan curah hujan lebih dari 200
cm pertahunnya, misalnya Myanmar dan Thailand,kepadatan
populasi nyamuk Aedes Aegypti di daerah semi urban lebih tinggi
dari pada didaerah urban.
Di daerah Timur, zoogeografis diperkirakan terdapat 16
spesies lain dari sub genuss Stegomyia di samping Ae.aegypti di
antaranya Ae.albopictus yang terbanyak dan terpenting. Di asia
tenggara didapat bukti bahwa pada permulaan abad ke-20.Ae.
aegypti hanya ditemukan di daerah pantai, kemudian bergeser dan
selanjutnya lebih sering dijumpai di daerah pedalaman (Soedarto,
2012).
b. Perilaku menghisap darah
Pada umumnya hanya nyamuk betina yang menggigit dan
menularkan virus dengue. Nyamuk ini akan menghisap darah pada
siang hari (09.00-10.00 ) atau sore hari (16.00-17.00). Nyamuk ini
akan bertelur tiga hari setelah menghisap darah, karena darah
merupakan sarana untuk mematangkan telurnya (WHO, 2005)
c. Perilaku Istirahat
Setelah selesai menghisap darah, nyamuk betina akan
beristirahat sekitar 2-3 hari untuk mematangkan telurnya. Nyamuk
Aedes aegypti hidup domestik, artinya lebih menyukai tinggal di
dalam rumah daripada di luar rumah.lebih dari 90 % myamuk
27
Aedes aegypti beristirahat ditempat tempat yang terkena sinar,yaitu
tempat-tempat yang lembab dan kurang terang seperti kamar
mandi, dapur, dan WC. Di dalam rumah nyamuk ini beristirahat di
baju-baju yang digantung, kelambu, dan tirai. Sedangkan di luar
rumah nyamuk ini beristirahat pada tanaman-tanaman yang ada di
luar rumah (Soedarto, 2012).
d. Penyebaran
Aedes Aegypti penyebarannya dibatasi oleh tingginya
lokasi. Di india, daerah sebaran meliputi daerah dengan ketinggian
permukaan laut sampai ketinggian 12000 meter diatas permukaan
laut. Di daerah dengan ketinggian kurang dari 500 meter Aedes
aegypti sedang atau tinggi populasinya, sedang di daerah dengan
ketinggian lebih dari 500 meter populasi nyamuk ini umumnya
rendah. Didaerah Asia Tenggara daerah sebaran Aedes aegypti
terbatas pada ketinggian 1000 -1500 meter sedangkan di Columbia
nyamuk ini masih dijumpai pada ketinggian 2200 meter.
Aedes Aegypti tersebar luas di seluruh Indonesia meliputi
semua provinsi yang ada. Walaupun spesies ini ditemukan di kota-
kota pelabuhan ke desa disebabkan karena larva Aedes aegypti
terbawa melalui transportasi yang mengangkut benda-benda berisi
air hujan yang mengandung larva (Soedarto, 2012)
e. Variasi Musim
Perubahan musim sangat mempengaruhi frekuensi gigitan
nyamuk atau panjang umur nyamuk. Di jakarta survey terhadap
kebiasaan menggigit Aedes Aegypti menunjukan bahwa pada
musim kemarau nyamuk paling sering menggigit pada pagi hari,
sedangkan pada musim hujan puncak jumlah gigitan terjadi pada
siang dan sore hari. Pergeseran ini memungkinkan Aedes Aegypti
melakukan gigitan yang tidak terputus pada waktu seseorang
sedang tidur siang selama musim hujan Perubahan musim juga
mempengaruhi virus atau manusia sendiri yang mengubah
28
sikapnya terhadap gigitan nyamuk, misalnya menggunakan waktu
lebih banyak tinggal dalam rumah selama musim hujan (Soedarto,
2012).
Lama hidup nyamuk dewasa Aedes aegypti berkisar antara
3-4 minggu. Di musim penghujan umur nyamuk lebih panjang,
penularan virus menjadi lebih tinggi . Kondisi lingkungan
berpengaruh terhadap panjangnya hidup nyamuk Aedes aegypti
(Soedarto, 2012)
Sedangkan pada telur larva pada saat terjadinya pergantian
musim, awal tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti
pada musim kemarau tidak terisi air, lalu kemudian saat musim
hujan, akan mulai terisi air . Telur-telur yang tadinya belum sempat
menetas akan menetas. Selain itu, pada musim hujan semakin
banyak tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan
dapat digunakan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk ini.
Oleh karena itu, pada musim hujan populasi nyamuk Aedes sp akan
meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan peningkatan penularan penyakit
dengue (Depkes RI, 2005).
29
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran
Nyamuk Aedes sp merupakan vektor penyebar virus dengue,
Penyebab penyakit DBD. Vektor yang dimaksud adalah Aedes agypti dan
Aedes albopictus.
Metode yang efektif untuk mengendalikan vektor nyamuk adalah
membunuh jentik yang biasa hidup di bak air atau tempat-tempat yang
sering digunakan untuk menampung air dengan memanfaatkan zat-zat
kimia yang ramah lingkungan, yaitu menggunakan larvasida nabati (alami)
dan ramah lingkungan.
Salah satu Tanaman yang dapat digunakan sebagai larvasida
nabati (alami) adalah tanaman lidah buaya dikarenakan mempunyai
kandungan yang bersifat larvasida atau membunuh. Kandungan yang
dimaksud anatara lain flavonoid, saponin, dan tanin. Flavonoid berfungsi
sebagai inhibitor. Senyawa Tanin menyebabkan penurunan aktifivitas
enzim protease dalam mengubah asam amino. Saponin dapat menurunkan
aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan makanan. Selain itu dapat
menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa truktus digetivus larva
sehingga dinding digesttivus larva menjadi korosif.
Lidah buaya dibuat menjadi sari dan dibagi dengan berbagai
kosentrasi 10%, 20%, 40%, 60%, 80% selama 24 jam apabila larva mati
lebih dari 50% maka perlakuan dikatakan efektif. apabila larva mati
kurang dari 50% maka perlakuan dikatakan tidak efektif.
29
30
B. Kerangka Pikir
lidah buaya
Kandungan saponin
menghambat kerja
enzim yang
mengakibatkan
penurunan kerja alat
pencernaan dan
penggunaan protein
serangga.
Flavanoid memiliki
aktivitas sebagai
antimikroba dan
insektisida
Tanin bekerja sebagai
penurunan
pertumbuhan
Efek larvasida terhadap larva Aedes sp
Larva Mati
Sari lidah buaya mengandung zat aktif sebagai larvasida
≤50 ≥50
efektif Tidak
efektif
31
C. Variable penelitian
1. Variabel independen
Variabel independen (variabel bebas) adalah variabel yang
mempengaruhi variabel terikat, dimana variabel bebas yang diteliti
adalah konsentrasi larvasida dari sari lidah buaya yaitu konsentrasi yang
digunakan 10%, 20%, 40%, 60%, 80%.
2. Variabel dependen
Variabel dependen (variabel terikat) adalah variabel yang dipengaruhi
oleh variabel bebas atau independen. Variabel dependen dalam
penelitian ini yaitu larvasida Aedes sp.
D. Defenisi Operasional Prosedur dan Kriteria Objektif
1. Sari lidah buaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lidah
buaya yang diperoleh dari hasil blender yang telah ditimbang
kemudian dibuat dalam berbagai konsentrasi.
2. Larva Aedes sp adalah telur Aedes sp yang diambil dari hasil
pemasangan ovitrap di Kelurahan Mokoau dan dikembangkan
menjadi larva instar III.
3. Uji efektifitas yang dimaksud adalah uji larvasida terhadap Aedes sp
dengan dimasukkan sari lidah buaya terhadap berbagai konsentrasi.
Kriteria objektif :
a. Efektif jika larva mati ≥ 50%
b. Tidak efektif jika larva mati ≤ 50%
32
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental karena larva
Aedes sp mendapat perlakuan langsung dan di masukkan dalam sari lidah
buaya dengan berbagai konsentrasi.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Waktu penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 12 Maret – 23 April
2018.
2. Lokasi penelitian
penelitian uji efektifitas sari lidah buaya sebagai larvasida Aedes sp
ddilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Analis Kesehatan
Poltekkes Kendari.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Keseluruhan larva nyamuk Aedes sp yang terdapat di daerah endemis
yaitu di daerah Kelurahan Mokoau Kec. Kambu
2. Sampel
a) Besar sampel
Sebanyak 250 larva lalu dibagi menjadi 25 ekor larva dan
dimasukkan pada masing-masing konsentrasi yang digunakan
yaitu 10 wadah
b) Tehnik pengambilan sampel
Pengambilan sampel larva Aedes sp diawali dengan
pemasangan ovitrap atau yang biasa disebut perangkap telur
nyamuk. Ovitrap ini terbuat dari gelas aqua bekas yang sudah
dicat hitam dan dikeringankan. Setelah itu dilakukan Pemasangan
olvitrap di tempat-tempat yang diperkirakan berpotensi menjadi
tempat bertelurnya nyamuk Aedes sp, seperti di bawah tempat
32
33
tidur, kamar mandi, dan dapur. Setelah didapatkan telur Aedes sp
dikembang biakkan menjadi larva instar III (WHO, 2005).
c) Lamanya Pengambilan Sampel
Telur Aedes agypti yang telah didapatkan selama kurang
lebih dari 5 hari yang berasal dari pemasangan ovitrap dirumah
warga. Kemudian dikembangbiakkan menjadi larva instar III dan
diberi perlakuan dalam berbagai konsentrasi sari lidah buaya.
D. Instrumen penelitian
Alat :
1) Pisau
2) Blender
3) Kertas saring
4) Timbangan
5) Saringan plastik
6) Nampan
7) Gelas ukur
8) Pipet volum
9) Pipet tetes
10) Ovitrap
E. Prosedur Penelitian
a. Pra Analitik
1. Persiapan alat dan bahan
Alat:
1) Pisau
2) Blender
3) Kertas saring
4) Timbangan
5) Saringan plastik
6) Nampan
7) Gelas kimia
8) Pipet volum
34
9) Pipet tetes
10) Bal filter
11) Baskom
Bahan:
1) Ovitrap
2) Larva instar III
3) Lidah buaya
4) Aquades
b. Analitik
1) Pemasangan Ovitrap (Murdihusodo, 2003)
a) Kegiatan mengumpulkan telur nyamuk Aedes sp
menggunakan perangkap telur (ovitrap).
b) Setiap rumah yang ditentukan dipasang ovitrap masing-
masing 1 buah .
c) Pemasangan ovitrap di dalam rumah dilakukan di tempat-
tempat yang diperkirakan berpotensi menjadi tempat
bertelurnya nyamuk Aedes sp seperti di bawah tempat tidur,
kamar mandi, dan dapur.
d) Ovitrap di luar rumah dipasang di tempat yang tidak terkena
sinar matahari langsung dan air hujan misalnya dibawah
pohon.
e) Lama pemasangan ovitrap adalah dua minggu seminggu
f) Ovitrap kemudian dibawa ke laboratorium jurusan analis
kesehatan Poltekkes Kemenkes Kendari.
2) Kolonisasi larva Aedes sp (Murdihusodo, 2003)
a) Ovitrap yang berisi telur nyamuk Aedes agypti dimasukan
dalam nampan plastik yang berisi air.
b) Dibiarkan selama 1-2 hari sampai menetas menjadi larva
c) Apabila sudah 2 hari, diamati perkembangan larva yang
menestas sampai larva menjadi instar III
35
3) Pembuatan sari lidah buaya
a) 1000 gram lidah buaya dicuci bersih dengan air mengalir
untuk menghilangkan kotoran yang menempel dan diangin-
anginkan.
b) lidah buaya tersebut kemudian diiris dan dipotong- potong
kecil
c) Irisan daun lidah buaya dihaluskan dengan menggunakan
blender.
d) Hasil blenderan diperas dan disaring dengan saringan plastik
yang dilapisi kain.
e) Pisahkan antara ampas dan hasil perasan/sari (buang
ampasnya)
4) Tahap Uji larvasida
a) Penelitian ini dilaksanakan dengan metode uji kerentanan
(Suspectibility Test).
b) Disiapkan larva instar III sebanyak 25 larva pada masing-
masing gelas plastik yang berjumlah 10 buah.
c) Konsentrasi sari lidah buaya yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 10%, 20%, 40%, 60%, 80%.
d) Sari lidah buaya diambil dengan pipet ukur kemudian di
masukkan ke dalam gelas ukur. Volume sari lidah buaya
yang diambil dihitung dengan rumus pengenceran sebagai
berikut :
Keterangan :
V1 : Volume Larutan Stok
M1 : Konsentrasi Larutan Stok
V2 : Volume Larutan Perlakuan
M2 : Konsentrasi Larutan Yang Diinginkan
36
Berdasarkan rumus diatas maka perlakuan untuk pengenceran
konsentrasi sari lidah buaya dapat dihitung dengan rumus
tersebut.
1. Pembuatan sari lidah buaya konsentrasi 10%
VI x 100% = 100 mL x 10 %
VI = 100 mL x 10%
100 %
= 10 mL
2. Pembuatan sari lidah buaya konsentrasi 20%
VI x 100% = 100 mL x 20 %
VI = 100 mL x 20%
100 %
= 20 mL
3. Pembuatan sari lidah buaya konsentrasi 40%
VI x 100% = 100 mL x 40 %
VI = 100 mL x 40%
100 %
= 40 mL
4. Pembuatan sari lidah buaya konsentrasi 60%
VI x 100% = 100 mL x 60 %
VI = 100 mL x 60%
100 %
= 60 mL
5. Pembuatan sari lidah buaya konsentrasi 80%
VI x 100% = 100 mL x 80 %
VI = 100 mL x 80%
100 %
= 80 mL
Berdasarkan hasil perhitungan pada masing masing
konsentrasi diatas, maka prosedur pembuatan konsentrasi
sari lidah buaya dibagi menjadi 5 macam yaitu:
1) Konsentrasi 10%
a) Disiapkan alat dan bahan
b) Dipipet 10 mL sari lidah buaya, dimasukkan kedalam
gelas plastik
37
c) Dipipet 90 mL aquades, dimasukkan kedalam gelas
plastik
2) Konsentrasi 20%
a) Disiapkan alat dan bahan
b) Dipipet 20 mL sari lidah buaya, dimasukkan kedalam
gelas plastik
c) Dipipet 80 mL aquades, dimasukkan kedalam gelas
plastik
3) Konsentrasi 40%
a) Disiapkan alat dan bahan
b) Dipipet 60 mL sari lidah buaya, dimasukkan kedalam
gelas plastik
c) Dipipet 40 mL aquades, dimasukkan kedalam gelas
plastik
4) Konsentrasi 60%
a) Disiapkan alat dan bahan
b) Dipipet 60 mL sari lidah buaya, dimasukkan kedalam
gelas plastik
c) Dipipet 40 mL aquades, dimasukkan kedalam gelas
plastik
5) Konsentrasi 80%
a) Disiapkan alat dan bahan
b) Dipipet 80 mL sari lidah buaya, dimasukkan kedalam
gelas plastik
c) Dipipet 20 mL aquades, dimasukkan kedalam gelas
plastik
e) Larva instar III yang telah disiapkan dimasukkan kedalam
masing-masing konsentrasi
f) dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah dan
persentase kematian larva pada jam ke-24 dan dilakukan
pengulangan sebanyak 2 kali.
38
g) Catat hasil dalam bentuk persentasi jumlah kematian larva
untuk setiap konsentrasi.
c. Pasca analitik
1) Pencatatan hasil penelitian
2) Dokumentasi hasil penelitian
3) Pelaporan hasil penelitian
F. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua
yaitu:
1. Data primer yakni diambil dari efektifitas sari lidah buaya (Aloe
vera) terhadap jumlah larva yang mati selama 24 jam pada setiap
konsentrasi sari lidah buaya. Data yang dikumpulkan dicatat dalam
bentuk tabel.
2. Data sekunder yaitu data dari sumber-sumber penelitian yang
relevan, baik yang diperoleh melalui buku, bahan kuliah, dan
informasi – informasi yang ada kaitannya dengan penelitian ini
dijadikan sebagai landasan teoritis dalam penulisan karya tulis.
G. Pengolahan Data
Data-data yang dikumpulkan berupa data primer yang
diperoleh dari hasil perhitungan jumlah kematian larva Aedes agypti
selama penelitian dan dicatat dalam bentuk tabel .
H. Analisis Data
Untuk mengetahui jumlah larva yang mati akibat uji efektivitas
sari lidah buaya sebagai larvasida terhadap larva Aedes sp dapat
dihitung menggunakan rumus :
% kematian larva uji = Jumlah larva uji yang mati x 100% Jumlah larva yang duji (Yulia Pujiastuti,et al,
2006)
39
Hasil dari penelitian yang telah didapatkan dapat dihitung dengan
menggunakan rumus diatas.
a. Konsentrasi 10%
% kematian larva uji = 3,5 x 100% 25
= 14%
b. Konsentrasi 20%
% kematian larva uji = 5,5 x 100% 25
= 22%
c. Konsentrasi 40%
% kematian larva uji = 9,5 x 100% 25
= 38%
d. Konsentrasi 60%
% kematian larva uji = 11 x 100% 25
= 44%
e. Konsentrasi 80%
% kematian larva uji = 17,5 x 100% 25
= 70%
40
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dilaboratorium Jurusan Analis
Kesehatan Poltekkes Kemenkes Kendari, penelitian ini dimulai dari
tanggal 12 Maret - 23 April. Sampel larva yang digunakan pada penelitian
ini sebanyak 250 larva instar III yang diperoleh dari kelurahan Mokoau
yang merupakan daerah endemis 5 tahun terakhir.
Pengambilan sampel larva Aedes sp diawali dengan pemasangan
ovitrap atau yang biasa disebut perangkap telur nyamuk. Pemasangan
ovitrap di tempat-tempat yang diperkirakan berpotensi menjadi tempat
bertelurnya nyamuk Aedes sp, seperti di bawah tempat tidur, kamar mandi,
dan dapur. Setelah didapatkan telur Aedes sp dikembang biakkan menjadi
larva instar III.
1. Karakteristik Sampel Uji
Sampel larva pada penelitian ini digunakan sebanyak 250 larva
instar III yang diperoleh dari Kelurahan Mokoau yang merupakan
daerah endemis 5 tahun terakhir. Lidah buaya yang digunakan dalam
penelitian ini, diambil dengan kondisi yang tua ditandai dengan kulit
yang berwarna hijau terang dan durinya tajam. Sari lidah buaya ini
didapatkan dengan cara yaitu lidah buaya yang utuh di cuci dengan air
mengalir lalu bagian durinya dibuang dan dipotong kecil-kecil agar
mudah diblender. Selanjutnya lidah buaya di blender dan disaring
menggunakan kain untuk mendapatkan sarinya.
Tabel 5.1 Distribusi Lokasi Pengambilan Sampel
No Lokasi Pengambilan Sampel Jumlah Sampel Larva
1 Kelurahan Mokoau 250 Larva instar III
( Sumber Data Primer Diolah April 2018 )
40
41
Berdasarkan tabel 5.1 sampel pada penelitian ini yaitu larva
aedes sp yang merupakan hasil rearing dari Kelurahan Mokoau yaitu
dengan karakteristik larva instar III sebanyak 250 larva.
2. Efektivitas sari lidah buaya sebagai larvasida Larva Aedes sp
Tanaman lidah buaya yang digunakan yaitu tanaman lidah
buaya yang segar dan berumur dewasa (tua) berwarna hijau terang dan
mempunyai duri yang tajam. Untuk memperoleh sari lidah buaya yang
,terlebih dahulu lidah buaya yang telah didapatkan dicuci bersih dan
bagian durinya dibuang lalu ditimbang sebanyak 1000 gram setelah
itu diblender. Untuk memudahkan mendapatkan sari lidah buaya
terlebih dahulu dipotong –potong kecil lalu diblender. Hasil blender
lidah buaya diperas dengan menggunakan kain yang bersih lalu ampas
yang didapatkan dibuang dan hasil perasan dibuat konsentrasi.
Untuk pembuatan konsentrasi sari lidah buaya 10%, dipipet 10
mL sari lidah buaya lalu dimasukkan kedalam gelas plastik setelah
ditu dipipet 90 mL aquaedes. Pembuatan konsentrasi sari lidah buaya
20 %, dipipet 20 mL sari lidah buaya lalu dimasukkan kedalam gelas
plastik setelah itu dipipet 80 mL aquades. Pembuatan konsentrasi
40%, dipipet 40 mL sari lidah buaya lalu dimasukkan kedalam gelas
plastik setelah itu dipipet 60 mL aquades. Pembuatan konsentrasi
60%, dipipet 60 mL sari lidah buaya lalu dimasukkan kedalam gelas
plastik setelah itu dipipet 40 mL aquaedes. Sedangkan pembuatan sari
lidah buaya konsentrasi 80%, dipipet 80 mL sari lidah buaya lalu
dimasukkan kedalam gelas plastik setelah itu dipipet 20 mL aquaedes.
Untuk pengujian efektivitas sari lidah buaya sebagai larvasida
Aedes sp, larva terlebih dahulu di kumpulkan sebanyak 25 larva pada
masing masing konsntrasi sari lidah buaya setelah itu dilihat kematian
larva setelah 24 jam.
Tabel 5.2 Jumlah kematian larva Aedes sp pada berbagai konsentrasi
sari lidah buaya setelah 24 jam perlakuan
42
Pada tabel 5.2 menunjukkan konsentrasi yang efektif sebagai
larvasida Aedes sp yaitu pada konsentrasi 80 % karena menunjukkan
presentase kematian yaitu 70% dimana dikatakan efektif jika kematian
larva menunjukkan lebih dari 50% . Sedangkan kematian larva yang
dikatakan tidak efektif apabila kematian larva menunjukkan dibawah
50% . Pada konsentrasi 10 % menunjukkan presentase kematiannya
yaitu 14% Pada konsentrasi 20 % menunjukkan presentase
kematiannya yaitu 22%. Pada konsentrasi 40 % menunjukkan
presentase kematiannya yaitu 38%. Pada konsentrasi 60 %
menunjukkan presentase kematiannya yaitu 38%. Pada konsentrasi
10%, 20%, 40%, 60 % dikatakan tidak efektif karena menunjukkan
kematian larva dibawah 50%
Konsentrasi
sari lidah
buaya
Jumlah
larva
Replikasi kematian larva setelah 24
jam Ketegori
I II Jumlah Rata-
rata Persentasi Efektif
Tidak
efektif
10% 25 3 4 7 3,5 14%
20% 25 5 6 11 5,5 22%
40% 25 9 10 19 9,5 38%
60% 25 8 14 22 11 44%
80% 25 15 20 35 17,5 70%
43
B. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifivitas sari lidah
buaya sebagai larvasida larva Aedes sp dengan menggunakan berbagai
kelompok konsentrasi yang berbeda. Jumlah larva yang digunakan pada
masing-masing konsentrasi yaitu 25 ekor larva dengan 2 kali pengulangan.
Larva instar III dipilih sebagai sampel pengujian dikarenakan larva yang
aktif mengkomsumsi makanan diair pada larva tersebut selain itu larva
instar III ini mempunyai organ tubuh yang sudah lengkap terbentuk dan
struktur dinding tubuhnya belum mengalami pengerasan sehingga
memenuhi untuk perlakuan dengan senyawa saponin, flavonoid, dan tanin.
Konsentrasi sari lidah buaya yang digunakan pada penelitian ini
adalah 10%, 20%, 40%, 60%, dan 80% kemudian diujikan pada larva
Aedes sp yang masing-masing berjumlah 25 ekor kemudian dilihat
efeknya pada waktu 24 jam setelah diberi perlakuan (konsentrasi). Pada
hasil pengamatan didapatkan jumlah rata-rata kematian larva pada
konsentrasi 10% yaitu 3,5 dengan presentase kematian larva 14%, pada
konsentrasi 10 % dikatakan tidak efektif sebagai larvasida berhubung
kematian larva kurang dari 50%. Ketidak efektifan konsentrasi 10%
disebabkan kandungan air lebih besar dari pada kandungan zat toksik pada
sari lidah buya selain itu kandungan toksik pada sari lidah buaya hanya
terdapat pada daun lidah buaya bukan keseluruhan lidah buaya. Pada
konsentrasi 20% didapatkan jumlah rata-rata kematian larva yaitu 5,5
dengan presentase kematian larva 22%, hal ini menunjukkan konsentrasi
20% dikatakan tidak efektif sebagai larvasida berhububung kematian larva
kurang dari 50%. Ketidak efektifan konsentrasi 20% ini sebagai larvasida
disebabkan juga oleh kandungan air lebih besar dari pada kandungan zat
toksik pada sari lidah buya selain itu kandungan toksik pada sari lidah
buaya hanya terdapat pada daun lidah buaya bukan keseluruhan lidah
buaya. Pada konsentrasi 40% didapatkan jumlah rata-rata kematian larva
yaitu 9,5 dengan presentase kematian larva 38%, hal ini menunjukkan
44
konsentrasi 40% dikatakan tidak efektif sebagai larvasida berhububung
kematian larva kurang dari 50%. Ketidak efektifan konsentrasi 40% ini
sebagai larvasida disebabkan juga oleh kandungan air lebih besar dari pada
kandungan zat toksik pada sari lidah buya selain itu kandungan toksik
pada sari lidah buaya hanya terdapat pada daun lidah buaya bukan
keseluruhan lidah buaya. Pada konsentrasi 60% didapatkan jumlah rata-
rata kematian larva yaitu 11 dengan presentase kematian larva 44%, hal ini
menunjukkan konsentrasi 40% dikatakan tidak efektif sebagai larvasida
berhububung kematian larva kurang dari 50%. Pada konsentrasi 60% juga
tidak efektif sebagai larvasida dikarenakan zat-zat toksik terdapat pada
konsentrasi ini kecil atau masih sedikit lebih banyak kandungan nutrisi
yang mengakibatkan larva masih hidup. Pada konsentrasi 80% didapatkan
jumlah rata-rata kematian larva yaitu 17,5 dengan presentase kematian
larva 70%, hal ini menunjukkan konsentrasi 80% dikatakan efektif sebagai
larvasida berhububung kematian larva dari lebih dari 50%. Pada
konsentrasi 80% defektif sebagai larvasida dikarenakan kekentalan dari
konsentrasi sangat pekat yang mengakibatkan larva susah untuk bernapas,
selain itu terjadi kematian larva juga diakibatkan zat-zat toksik lebih
banyak terkandung pada konsentrasi ini sehingga larva mengalami
kematian. Berdasarkan hasil Pada hasil penelitian ini, terlihat semakin
tinggi konsentrasi yang digunakan tingkat kematian larvanya akan
bertambah pula, hal ini sesuai dengan pendapat (Sheilla, dkk) yang
menyatakan kematian larva uji pada masing-masing kelompok
menunjukkan jumlah kematian yang bertambah seiring lamanya waktu
pajanan dan besarnya konsentrasi. Dimana terjadi peningkatan jumlah
kematian larva pada konsentrasi dari yang terendah sampai terbesar.
Meskipun terjadi peningkatan, konsentrasi yang efektif sebagai larvasida
hanya pada kelompok konsentrasi 80% karena jumlah presentase
kematian larva lebih dari 50 %.
45
Menurut (Dinata), bagian daun lidah buaya yang paling efektif
yang dapat membunuh larva nyamuk aedes karena mengandung zat
saponin dan flavonoida . Kedua senyawa ini merupakan senyawa
pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat saluran pencernaan
serangga dan juga bersifat toksis. Apabila Flovonoida masuk ke mulut
serangga dapat menimbulkan kelayuan pada saraf dan kerusakan spirakel
yang mengakibatkan serangga tidak bisa bernafas dan akhirnya mati.
Saponin merupakan senyawa yang berasa pahit, menyebabkan bersin dan
sering waktu pajanan mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir
(Lenny, 2006). Selain itu terdapat kandungan tanin, dimana senyawa tanin
ini berperan sebagai pertahanan tumbuhan dengan cara menghalangi
serangga dalam mencerna makanan. Serangga yang memakan tumbuhan
dengan kandungan tanin tinggi akan memperoleh sedikit makanan,
akibatnya akan terjadi penurunan pertumbuhan.
Berdasarkan penelitian sebelumnya efek larvasida daun lidah
buaya (Aloe vera) terhadap larva Aedes agypti instar III yang telah
dilakukan oleh Sheilla dkk (2012) dengan konsentrasi kontrol negatif,
0,25%, 0,5%, 0,75%, dan 1 %. Pada kemaian uji masing-masing kelompok
menunjukkan jumlah kematian larva seiring lamanya waktu pajanan dan
besarnya konsentrasi. Hal ini terlihat dari hasil penelitian dimana kematin
larva pada konsentrasi 0,25% pada menit ke 1440 (24 jam) presentase
kematian larva sebesar 17,5%. Pada konsentrasi 0,5% pada menit ke 1440
(24 jam) presentase kematian larva sebesar 27,5%. Pada konsentrasi
0,75% pada menit ke 1440 (24 jam) presentase kematian larva sebesar
58,5%. Pada konsentrasi 1% pada menit ke 1440 (24 jam) presentase
kematian larva sebesar 87,5%. Sedangkan pada abate 1% dapat membunuh
hingga 100%. Hal ini menunjukkan konsentrasi 1% mempunyai daya
bunuh yang sama pada abate 1%.
46
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kematian jumlah
larva yang mati dari setiap konsentrasi yaitu semakin tinggi tingkat
kekentalan/kepekatan konsentrasi sari lidah buaya maka larva akan sulit
untuk mengambil udara dari permukaan air sehingga larva akan
mengalami kekurangan oksigen untuk pertumbuhannya dan
mengakibatkan larva akan mati. Saat pemindahan masing-masing larva
sebelum dimasukkan kedalam konsentrasi larutan, yang mungkin saja
mengalami trauma ketika di ambil dengan pipet sehingga dapat
memudahkan kematian larva. Selain itu, faktor-faktor dari tanaman juga
dapat berpengaruh seperti kualitas dan kuantitas zat aktif yang terkandung
dalam tanaman dan metode.
Faktor yang dapat mempengaruhi larva tidak mengalami
kematian pada berbagai konsentrasi sari lidah buaya dikarenakan
kandungan dari keseluruhan lidah buaya tidak bersifat toksis, namun
bersifat sebagai nutrisi untuk kelangsungan hidup larva. Kandungan-
kandungan yang dimaksud diantaranya fenolik (aloenin, aloenin B,
isobarbaloin, barboloin, anthranol, asam aloetat, aloe emodin, dan yak
eter), enzim (oksidase, katalase, lipase, aminase, amylasae), vitamin (B1,
B2, B6, B12, C), kalsium, natrium, kalium, mangan, seng, polisakarida,
karbohidrat, asam amino. Kandungan- kandungan inilah yang berada pada
dalam gel lidah buaya yang juga digunakan dalam penelitian ini, sehingga
inilah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi larva tetap hidup dan
berkembang biak hingga menjadi nyamuk dewasa.
47
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Konsentrasi sari lidah buaya 10 % dinyatakan tidak efektif
dikarenakan kematian larva kurang dari 50 %
2. Konsentrasi sari lidah buaya 20 % dinyatakan tidak efektif
dikarenakan kematian larva kurang dari 50 %
3. Konsentrasi sari lidah buaya 40 % dinyatakan tidak efektif
dikarenakan kematian larva kurang dari 50 %
4. Konsentrasi sari lidah buaya 60 % dinyatakan tidak efektif
dikarenakan kematian larva kurang dari 50 %
5. Konsentrasi sari lidah buaya 80 % dinyatakan efektif dikarenakan
kematian larva lebih dari 50 %
B. Saran
1. Sebaiknya peneliti selanjutnya menggunakan murni bagian daun
lidah buaya.
2. Penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan informasi bagi
penelitiselanjutnya
47
7
DAFTAR PUSTAKA
Arrivia, Sheila ; Kurniawan, Betta ; Zuraida, Reni. 2012. “Efek Larvasida Daun
Lidah buaya (Aloe vera) terhadap Larva Aedes agypti Instar III”. Jurnal.
NO 2337-3776,137 -145.
Buleting Jendela Epidemiologi. 2010. “Topik Utama Demam Berdarah Dengue”.
Jakarta. Pusat data dan surveilans epidemiologi kementerian kesehatan
2010.
Dalimartha, Setiawan. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 4. Jakarta :
Puspa Swara.
Depkes R.I. 2005. “Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di
Indonesia”. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta.
Dinkes Sultra.”Profil Kesehatan Sulawesi Tenggara Tahun 2016”. Kendari
Florida Medical Entomology Laboratory. 2016. “Genus Aedes” http:fmel.ifas
ufl.ede/fmelmosquito-key/genera-and species/genus/aedes/aedes/
(diakses 4 Januari 2018).
Furwanthi, Irni. 2007. “Sehat dengan Ramuan Herbal”. Depok: Agramedia
Pustaka.
Gama, Zulfaidah ; Yanuwiadi, Bagyo "; Kurniati, Handayani. 2010. “Strategi
Pemberantasan Nyamuk Aman lingkungan : Potensi Bacillus
Thuringiensis Isolat Madura Sebagai Musuh Alami Nyamuk Aedes
agypti”. Jurnal (1) 6-7.
Hartawan. 2012. “Sejuta Khasiat Lidah buaya”. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Indonesia.
Heppy . 2011.” Studi Kelimpahan Telur Nyamuk Aedes spp Menggunakan
Ovitrap di Daerah Berawa Bekas Tsunami”. Skripsi.
8
Kementerian Kesehatan RI. 2017. “Kemenkes Optimalkan PSN Cegah DBD”.
http://www.google.com/kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.html.
Kumayah, Umi. 2011. “ Perbedaan Larva Aedes agypti di Container Dalam
Rumah Di Kelurahan Rawasari dan Cempaka Putih Barat, Jakarta”.
Skripsi.
Kurniasari Setya Ike. 2015. “ Manfaat Lidah buaya (Aloe vera) Penurun Kadar
Glukosa Darah Pada Penderita Diabetes Melitus”. Jurnal AKP.(6):64-72.
Merdeka. 2016. “Ingat, Demam Berdarah Bukan Hanya Disebabkan Nyamuk
Aedes Aegypti. https://bandung.merdeka.com/gaya-hidup/ingat-demam-
berdarah-bukan-hanya-disebabkan-nyamuk-aedes-aegypti-160205t.html
(diakses 4 Februari 2018).
Norshima, Monica.,& Willa, Ruben. 2016. “Larvasida Hayati Yang Digunakan
Dalam Upaya Pengendalian Vektor Penyakit Demam Berdarah Di
Indonesia”. Jurnal. (3):38.
Puraloe. n.d.” Who is Aloe?Pur‟Aloe “.Puraloe.com/whats-is-aloe-vera (diakses 8
Januari 2018).
Utami, Prapti. 2012. “Membuat Kebun Tanaman Obat”. Depok : Pustaka Bunda
Raina MH. 2011.” Ensiklopedi Tanaman Obat Untuk Kesehatan”. Yogyakarta :
Absolut.
Redha, Abdi. 2010. “Flavonoid: Struktur, Sifat Antioksidan dan Peranannya
dalam Sistem Biologis”.Jurnal Belian,(2) : 196-202.
Rostita & Tim Redaksi Qanita. 2008. “Sehat Cantik Dan Penuh Vitalitas Berkat
Lidah buaya”. Bandung : Mizan Media Utama (MMU).
Safril, Fajarullah. 2017. “Profil Indeks Larva Aedes sp di Wilayah Puskesmas
Mokoau. [abstrack].iv
9
Satya, Bayu. 2013. “Koleksi Tumbuhan Berkhasiat”. Yogyakarta : Rapha
Publishing.
Tandi, Efrain. 2010. “Pengaruh Tanin terhadap Aktivitas Enzim Protease.
Seminar Nasional Teknologi Peternakkan dan Veteliner”. Fakultas
Peternakkan UNHAS.
WHO. 2005. “Pencegahan Dan Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah
Dengue Cetakan 1”. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Wikipedia, n.d. “Aloe ferox”. http:/ast.m.wikipedia.org./wiki/Aloe_ferox (diakses
8 Januari 2018).
14
LAMPIRAN
GAMBAR KEGIATAN PENELITIAN
1. Pemeliharaan larva
a. Pemasangan ovitrap
b. Perendaman ovitrap
c. larva yang telah menetas berumur 2 hari setelah dilakukan
perendaman ( Larva instar 1)
15
d. Larva yang berumur 3 hari (Larva instar II)
e. Larva yang berumur 4 hari (Larva instar III)
2. Pembuatan sari lidah buaya
a. Tahap penimbangan lidah buaya
16
b. Tahap pemotongan lidah buaya
c. Tahap pemblenderan lidah buaya
d. Tahap penyaringan
e. Tahap pengujian sari lidah buaya
1. Pengumpulan larva sebanyak 25 ekor
17
2. Pemberian konsentrasi sari lidah buaya
3. Hasil pemberian sari lidah buaya pada tiap konsentrasi
7
Tabel hasil pengamatan penelitian pada replikasi ke 1 setelah diberi perlakuan
selama 24 jam.
No.
Konsentrasi
Jumlah
keterangan gambar Larva yang
mati
sari lidah
buaya Hasil
1
3
10%
2.
5
20%
8
3. 40
4. 60% 9
5. 80% 15
8
Tabel hasil pengamatan penelitian pada replikasi ke 2 setelah diberi perlakuan
selama 24 jam.
No.
Konsentrasi
Jumlah
keterangan gambar Larva
yang mati
sari lidah
buaya Hasil
1
4
10%
2.
6
20%
3.
10
40%
4. 60% 14
5. 80% 20