Post on 03-Dec-2015
description
Manajemen perawatan kritis cedera otak traumatik (TBI) berat
pada orang dewasa
Samir H Haddad1* and Yaseen M Arabi2
Kata kunci: Cedera otak Traumatik, cedera kepala, trauma kepala, perawatan kritis
Pendahuluan
Cedera otak traumatis (TBI) berat, didefinisikan sebagai trauma kepala dengan Glasgow
Coma Scale (GCS) dengan total skor 3 sampai 8 [1], TBI merupakan masalah utama dan
menantang dalam bidang kedokteran divisi perawatan kritis. Selama dua puluh tahun terakhir,
banyak penelitian dengan hasil luar biasa dalam menegakkan manajemen perawatan kritis dari
TBI berat. Pada tahun 1996, Brain Trauma Foundation (BTF) pertama kali mempublikasi
pedoman pengelolaan TBI berat [2] dan diterima oleh American Association of Neurological
Surgeons dan didukung oleh World Health Organization in Neurotraumatology. Edisi kedua
dengan revisi lanjutan dipublikasi pada tahun 2000 [3] dengan tambahan data pada tahun 2003,
dan edisi ke-3 dipublikasikan pada tahun 2007 [4]. Beberapa penelitian telah dilakukan
sebelumnya dan melaporkan dampak hasil dari penerapan protokol manajemen berbasis
1
Abstrak
Cedera otak traumatis (TBI) adalah merupakan masalah medis dan sosial-ekonomi yang
berat, dan merupakan salah satu penyebab utama kematian pada golongan anak-anak dan dewasa
muda. Manajemen perawatan kritis dari TBI berat sebagian besar berasal dari "Pedoman
Pengelolaan Cedera Otak Traumatic berat (Guidelines for the Management of Severe Traumatic
Brain Injury )" yang dipublikasikan oleh Brain Trauma Foundation. Tujuan utama pedoman ini
adalah pencegahan dan pengobatan hipertensi intrakranial dan cedera otak sekunder, pelestarian
tekanan perfusi serebral/cerebral perfusion pressure (CPP), dan mengoptimalisasi oksigenasi
serebral. Dalam revisi ini, perawatan kritis manajemen TBI berat akan dibahas dengan fokus pada
pemantauan, menghindari dan meminimalkan cedera sekunder pada otak, dan mengoptimalisasi
oksigenasi otak dan mempertahankan CPP.
pedoman untuk TBI berat pada perawatan pasien dengan TBI berat [5,6]. Studi-studi ini jelas
menunjukkan bahwa pelaksanaan protokol untuk pengelolaan TBI berat, dengan melaksanakan
penatalaksanaan sesuai rekomendasi dari pedoman, memberikan hasil jauh lebih baik pada
kasus-kasus TBI berat seperti berkurangnya angka kematian, hasil skor fungsional, Durasi rawat
inap di rumah sakit, dan penurunan biaya [7,8]. Namun, masih ada Variasi institusional yang
cukup besar dan luas dalam perawatan pasien dengan TBI berat.
Secara umum, TBI dibagi menjadi dua periode diskrit: cedera otak primer dan sekunder.
Cedera otak primer adalah disebabkan adanya kerusakan fisik pada parenkim (jaringan,
pembuluh) yang terjadi selama peristiwa traumatis, sehingga pergeseran dan kompresi jaringan
terjadi pada jaringan otak di daerah trauma. Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses
kompleks, akibat dari cedera otak primer pada jam-jam hingga hari-hari berikutnya setelah
terjadi cedera otak primer. banyak sekali stressor sekunder, baik intrakranial dan ekstrakranial
atau sistemik, dapat menyebabkan komplikasi terjadinya luka pada otak dan mengakibatkan
cedera otak sekunder. Stressor sekunder otak intrakranial meliputi edema serebral, hematoma,
hidrosefalus, hipertensi intrakranial, vasospasme, gangguan metabolisme, excitotoxicity,
toksisitas ion kalsium, infeksi, dan kejang [9,10]. sekunder, stressor skunder otak sistemik secara
umum bersifat iskemik di [9,11], seperti:
- Hipotensi (tekanan darah sistolik [SBP] <90mm Hg)
- Hipoksemia (PaO2 <60 mmHg; O2 Saturasi <90%)
- Hipokapnia (PaCO2 <35 mm Hg)
- Hiperkapnia (PaCO2> 45 mm Hg)
- Hipertensi (SBP> 160 mm Hg, atau tekanan arteri rata-rata [MAP]> 110 mm Hg)
- Anemia (Hemoglobin [Hb] <100 g / L, atau hematokrit [Ht] <0,30)
- Hiponatremia (natrium serum <142 mEq / L)
- Hiperglikemia (gula darah> 10 mmol / L)
- Hipoglikemia (gula darah <4,6 mmol / L)
- Hipo-osmolaritas (plasma osmolaritas [P Osm] <290 mOsm / Kg H2O)
- Gangguan asam-basa (acidemia: pH <7,35; alkalemia: pH> 7.45)
- Demam (suhu> 36,5 ° C)
- Hipotermia (suhu <35,5 ° C)
2
Oleh karena itu, terlihat jelas bahwa hanya sebagian dari kerusakan otak selama trauma
kepala adalah akibat dari cedera otak primer, yang tidak dapat diperbaiki dan bersifat
irreversible. Namun, cedera otak sekunder sering dapat diperbaiki dengan pencegahan dan
penatalaksanaan yang baik dan bersifat reversible. Manajemen perawatan intensif pasien dengan
TBI berat adalah sebuah proses dinamis, dimulai pada periode pra-rumah sakit, di tempat
terjadinya kecelakaan itu sendiri. Selama tahap perawatan awal di rumah sakit, pasien dapat
ditangani di berbagai lokasi di rumah sakit termasuk ruangan perawatan gawat darurat,
departemen radiologi, dan ruang operasi sebelum mereka dirawat lanjutan di Intensive Care Unit
(ICU). Perjalanan dari perawatan akut, selama "GOLDEN HOUR", dari saat cedera sehingga
permulaan dari perawatan definitif, harus dilaksanakan dan didasarkan pada pedoman dan
rekomendasi yang disebutkan sebelumnya. Revisis ini menguraikan prinsip-prinsip dasar
manajemen perawatan kritis pasien dengan TBI berat selama mereka tinggal di ICU.
Lihat Gambar 1
Manajemen Perawatan Kritis Dari TBI Berat
Sebelum pasien dipindahkan ke ruang ICU, pasien dengan TBI berat biasanya diterima,
diresusitasi dan distabilkan di perawatan gawat darurat atau ruang operasi. Setelah pasien dengan
TBI berat telah dipindahkan ke ICU, penatalaksanaan pada pasien ini terdiri dari penyediaan
perawatan umum kualitas tinggi dan berbagai strategi ditujukan untuk mempertahankan
hemostasis dengan:
- Stabilisasi pasien, jika masih tidak stabil
- Pencegahan hipertensi intracranial
- mempertahankan tekanan perfusi serebral (CPP) yang memadai dan stabil
- Menghindari cedera otak sistemik, sekunder (SBI)
- Oksigenasi dan optimalisasi hemodinamik serebral
Evaluasi
Evaluasi pasien dengan TBI berat sangat penting dan menjadi pedoman dan optimalisasi
terapi. Alasannya evaluasi merupakan deteksi dini dan diagnosis stressor sekunder otak, baik
sistemik dan intrakranial. Oleh karena itu, evaluasi pasien dengan TBI berat harus terdiri dari
evualasi dari sisi neurologis umum dan khusus.
3
Evaluasi Umum
Selama perawatan neurointensive pasien dengan TBI berat, parameter umum yang
dievaluasi secara teratur termasuk elektrokardiografi (Evaluasi EKG), saturasi oksigen arteri
(pulse OXYMETRY, SpO2), capnography (endtidal CO2, PetCO2), tekanan darah arteri (kateter
arteri), tekanan vena sentral (CVP), suhu sistemik, urin, gas darah arteri, serum elektrolit dan
osmolaritas. Evaluasi secara Invasif atau non-invasif output jantung mungkin diperlukan pada
kasus gangguan hemodinamik pada pasien yang tidak merespon terhadap terapi cairan resusitasi
dan pemberian vasopressor.
Evaluasi Neurologik
Evaluasi tekanan intrakranial
Brain Trauma Foundation (BTF) merekomendasikan bahwa "tekanan intrakranial (TIK) harus
dievaluasi pada semua pasien dengan prognosis baik TBI berat dengan computed tomography
(CT) scan yang abnormal. Evaluasi TIK juga menjadi indikasi pada pasien dengan TBI berat
dengan CT scan yang normal jika dua atau lebih dari fitur berikut ditemukan saat masuk: usia di
atas 40 tahun, unilateral atau bilateral motorik, atau tekanan darah sistolik (BP) <90 mm Hg [4].
Berdasarkan prinsip-prinsip fisiologis, potensi manfaat evaluasi TIK meliputi deteksi dini besar
lesi intrakranial, pedoman terapi dan menghindari penggunaan terapi tidak tepat untuk
mempertahankan TIK, drainase cerebrospinal fluid (CSF) dengan pengurangan TIK dan
peningkatan CPP, dan penentuan prognosis.
Saat ini, metode yang tersedia untuk pemantauan TIK termasuk metode epidural,
subdural, subarachnoid, parenkima, dan lokasi ventrikel. Secara historis, kateter TIK ventrikel
telah digunakan sebagai metode evaluasi standar dan menjadi teknik pilihan bila memungkinkan.
Metode ini adalah metode yang paling akurat, murah, dan dapat diandalkan pada evaluasi TIK
[4]. Metode ini juga memungkinkan untuk pengukuran berterusan TIK dan terapi drainase CSF
pada kasus hipertensi intrakranial untuk mengontrol peningkatan TIK. Evaluasi subarachnoid,
subdural, dan epidural merupakan metode yang kurang akurat. Alat evaluasi TIK biasanya
ditempatkan pada sisi kanan, karena sekitar 80% dari populasi manusia mempunyai hemisfera
otak kanan sebagai hemisfera yang non-dominan, sisi kanan adalah daerah pilihan kecuali
4
adanya kontraindikasi. [12]. Namun, alat evaluasi TIK boleh ditempatkan di sisi yang terdpat
gejala patologis maksimal atau pembengkakan [13].
Penggantian rutin kateter ventrikel atau penggunaan antibiotik profilaksis pada
pemasangan kateter ventrikel tidak dianjurkan untuk mengurangi infeksi [4]. Namun,
penggunaan alat evaluasi TIK biasanya berlangsung selama ≤ 1 minggu, dengan pemeriksaan
CSF setiap hari untuk kadar glukosa, kadar protein, jumlah sel, pewarnaan Gram, serta kultur
dan sensitivitas. pengobatan untuk hipertensi intrakranial harus dimulai dengan TIK pada batas
di atas 20 mm Hg. Selain evaluasi TIK, evaluasi gejala klinis dan hasil CT scan harus dijadikan
pedoman untuk menentukan kebutuhan untuk perawatan yang tepat[4]. Meskipun tidak ada uji
coba, secara randomized controlled (RCT) yang telah dilakukan sebelumnya untuk menunjukkan
bahawa evaluasi TIK meningkatkan keberhasilan perawatan atau mendukung penggunaannya
sebagai pemeriksaan standar; evaluasi TIK telah menjadi bagian integral dalam pengelolaan
pasien dengan TBI berat di sebagian besar pusat trauma dunia. Namun, ada juga bukti
bertentangan tentang apakah evaluasi TIK meningkatkan keberhasilan perawatan. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa evaluasi TIK mengurangi tingkat kematian keseluruhan
TBI berat [14-21]. Penelitian lain belum menunjukkan manfaat dari evaluasi TIK [22-24]. Selain
itu, beberapa studi menunjukkan bahwa evaluasi TIK dikaitkan dengan memburuknya kadar
mortalitas [25,26]. Potensi komplikasi dari evaluasi TIK termasuk infeksi, perdarahan,
kerusakan, obstruksi, atau malposisi. Baru-baru ini, kami melaporkan bahwa pada pasien dengan
TBI berat, evaluasi TIK tidak menjadi faktor yang bermain peran penting dengan berkurangnya
kadar mortalitas di rumah sakit, namun evaluasi TIK menjadi antara faktor penting yang
berperan menyebabkan terjadinya peningkatan yang signifikan pada durasi penggunaan ventilasi
mekanis, peningkatan indikasi penggunaan tracheostomy, dan durasi perawatan ICU [27].
5
terapi lini kedua
6
Evaluasi TIK
Mempertahankan CPP> 60 mm Hg
Hipertensi Intrakranial*
Evalasi kepala pada tempat tidur dengan sudut 30o
Oksigenasi yang memadai Normocapnia Memperdalam sedasi / analgesia ± kelumpuhan Normovolemia, atau hypervolemia sedang
Mempertahankan suhu normal
penatalaksanaan kejang
Drainase CSF (jika memungkinkan)
Hipertensi Intrakranial*
Hiperventilasi akut (15-30 menit) untuk PaCO2 30-35mm
Manitol (0,25-1,0 g / kg IV selama 15-20 menit) atau cairan Saline hipertonik(NaCl
7,5%: 2 mL / kgBB IV lebih dari 15 menit)
Dapat diulangi jika serum osmolaritas <320 mOsm / kg (mempertahankan
Keadaan euvolemic pasien)
Koma Barbiturat (barbiturate dosis tinggi)
Ya Tidak
Ya Tidak
Pertimbangkan
CT-scan
ulangan
Menurunkan intensitas terapi penurunan TIK
secara bertahap
Hipertensi Intrakranial* TidakYa
Hipertensi Intrakranial* TidakYa
hiperventilasi dipertahankan pada PaCO2 <30 mm Hg (evaluasi SjO2, dan / atau
PbtO2 direkomendasikan)
Terapi lini kedua yang lain
Ya
Gambar 1
* TIK pada kadar 20-25 mm Hg digunakan
sebagai batas indikasi pentalaksanaan
Dalam database Cochrane, Revisi secara sistematis terbaru tidak menemukan RCT yang
dapat memperjelas peran TIK pada evaluasi koma akut baik traumatik atau non-traumatik[26].
Namun demikian, ada bukti, dan kebanyakan dokter setuju, untuk mendukung penggunaan
evaluasi TIK pada pasien TBI berat yang berisiko mempunyai hipertensi intrakranial. Nilai TIK
adalah prediktor absolut dan mandiri terhadap prognosis akhir TBI secara neurologis, namun,
TIK refraktori dan respon untuk penatalaksanaan peningkatan TIK dapat menjadi prediktor yang
lebih baik prognosis neurologis dibandingkan nilai TIK absolut [28]. Treggiari et al. melakukan
penelitian sistematis untuk memperkirakan hubungan antara nilai-nilai dan pola TIK dan hasil
vital dan neurologis dari sisi prognosis jangka pendek dan jangka panjang. Sehubungan dengan
TIK normal (<20 mm Hg), peningkatan TIK dikaitkan dengan peningkatan kematian odds
ratio(OR): 3,5 [95% CI: 1.7, 7.3] untuk TIK 20-40, dan 6,9 [95% CI: 3,9,12.4] untuk TIK> 40
mm Hg. Peningkatan TIK yang dapat direduksi dikaitkan dengan peningkatan 3-4-kali lipat pada
kadar kematian OR atau prognosis neurologis yang buruk. Pola TIK refraktori dikaitkan dengan
peningkatan secara dramatis dan relative risiko kematian (OR = 114,3 [95% CI: 40.5, 322,3])
[29].
Saturasi oksigen bulbus vena jugular
Saturasi oksigen vena jugularis (SjvO2) merupakan indikator dari kadar oksigenasi otak
dan kadar metabolisme otak, Saturasi oksigen vena jugularis (SjvO2) memberi gambaran rasio
antara aliran darah otak (CBF) dan tingkat metabolisme oksigen serebral (CMRO2). Kateterisasi
retrograde dari vena jugularis interna (IJV) digunakan untuk evaluasi SjvO2. Secara umumnya
IJV kanan adalah daerah yang biasanya dominan [30], daerah ini biasanya digunakan untuk
kanulasi yang dapat memberikan gambaran oksigenasi serebral global[31]. Evaluasi SjvO2 dapat
dilakukan secara terus menerus melalui serat kateter optik atau secara intermiten melalui
pemeriksaan sampel darah berulang. Dalam sebuah penelitian prospektif pasien dengan trauma
otak berat yang akut disertai hipertensi intrakranial, Cruz menyimpulkan bahwa evaluasi secara
terus menerus SjvO2 dikaitkan dengan perbaikan prognosis [32]. Rata-rata normal dari SjvO2,
dalam subjek terjaga normal, adalah sebanyak 62% dengan kisaran 55% sampai 71%. desaturasi
berkelanjutan vena jugularis dari <50% merupakan batas iskemia serebral dan menjadi indikasi
pentalaksanaan [33]. Evaluasi SjvO2 dapat mendeteksi secara klinis episode okultisme iskemia
serebral, yang memungkinkan pencegahan episode ini dengan penyesuaian sederhana pada
7
penatalaksanaan pengobatan. Pada TBI, desaturasi vena jugularis sebagian besar memainkan
peran dalam penurunan kadar CBF sekunder akibat dari penurunan kadar CPP (hipotensi,
hipertensi intrakranial, dan vasospasme) atau hipokapnia-terkait vasokonstriksi serebral.
Penelitian menunjukkan bahwa penurunan secara berkelanjutan dari SjvO2 hingga batas <50%
dikaitkan dengan faktor risiko yang mandiri dan mampu menyebabkan prognosis buruk [34-37].
Akibatnya, evaluasi SjvO2 sangat penting untuk penentuan ventilasi selama perawatan medis
pada kasus hipertensi intrakranial. Namun, manfaat dari evaluasi SjvO2 pada hasil pasien TBI
berat belum pernah dikonfirmasi dengan suatu RCT.
Tekanan oksigen jaringan otak
Evaluasi pengukuran SjvO2 dan tekanan oksigen jaringan otak (PbtO2) bertujuan untuk
mengukur oksigenasi otak, bagaimanapun, SjvO2 mengukur oksigenasi serebral global manakala
PbtO2 mengukur oksigenasi serebral fokal menggunakan invasive Probe (Licox). Rosenthal et
al. mendokumentasikan dalam penelitian mereka bahawa, pengukuran dari PbtO2 mewakili hasil
dari perbedaan tekanan CBF dan tekanan arteriovenous oksigen serebral dan bukan merupakan
pengukuran langsung pengiriman oksigen Total atau oksigen serebral [38]. PbtO2 merupakan
pengukuran khusus fokal, hal ini terutama digunakan untuk mengevaluasi perfusi kritis
oksigenasi dari jaringan otak. PbtO2 adalah teknik yang pilihan untuk mengevaluasi oksigenasi
serebral fokal dan bertujuan untuk mencegah episode desaturasi. Namun, penggunaan metode ini
sahaja tidak dapat mengevaluasi perubahan oksigenasi serebral global. Normal PbtO2 berkisar
antara 35 mm Hg dan 50 mm Hg [39]. Nilai PbtO2 <15 mm Hg dianggap sebagai indikator
untuk fokus serebral iskemia dan indikasi penatalaksanaan terapi [4]. Beberapa studi
menunjukkan bahwa terapi berbasis evaluasi PbtO2 mampu membantu mengurangi mortalitas
pasien dan memberi prognosis yang baik pada pasien dengan kasus TBI berat [40-42]. Dalam
revisi sistematis terbaru, literatur medis yang tersedia ditinjau untuk memeriksa apakah terapi
berbasis PbtO2 dapat memperbaiki prognosis pasien dengan kasus TBI berat [43]. Antara pasien
yang menerima terapi berbasis PbtO2, 38,8% menunjukkan hasil yang kurang baik dan 61,2%
memiliki hasil yang menguntungkan. Antara pasien yang menerima TIK/ CPP-berbasis terapi
58,1% menunjukkan hasil kurang baik dan 41,9% memiliki hasil yang menguntungkan. Terapi
berbasis PbtO2 secara umumnya dapat memberikan hasil yang menguntungkan (OR = 2,1, 95%
CI = 1,4-3,1). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gabungan TIK/CPP-berbasis terapi dan
8
PbtO2-berbasis terapi dikaitkan dengan hasil yang lebih baik untuk kasus pasca TBI berat
dibandingkan dengan hanya penggunaan TIK/CPP-berbasis terapi sahaja [43]. Oddo et al.
Melaporkan bahwa hipoksia otak atau penurunan PbtO2 merupakan hasil prediktor yang mandiri
dan berhubungan dengan prognosis buruk jangka pendek pasca TBI berat.
Selain dari TIK, CPP yang rendah, dan tingkat keparahan cedera. PbtO2 merupakan salah
satu sasaran terapi yang penting pasca TBI berat [44]. PbtO2 telah didokumentasikan lebih
unggul dari metode SjvO2, near infrared spectroscopy [45], dan regional transcranial oxygen
saturation dalam mendeteksi iskemia otak. Evaluasi PbtO2 adalah metode yang menjanjikan,
aman dan dapat diaplikasikan secara klinis pada pasien dengan TBI berat; Namun, metode ini
tidak banyak digunakan dan ketersediaannya sangat minimal. Kombinasi metode evaluasi
TIK/PbtO2 intra-parenkim adalah penting dan sangat membantu dalam pentalaksanaan terapi
pada pasien dengan kasus TBI berat.
Microdialisis serebral
Microdialisis serebral (MD) merupakan perangkat laboratorium invasif yang baru
dikembangkan, MD merupakan perangkat laboratorium yang mudah digunakan untuk
menganalisis biokimia dari jaringan otak[47]. Kateter MD dimasukkan ke daerah jaringan otak
dimana terdapat lesi untuk mengukur perubahan biokimia di daerah otak yang paling rentan
terhadap cedera sekunder. Tes yang berbeda tersedia untuk mengukur konsentrasi dialisat
termasuk glukosa, laktat, piruvat, gliserol, dan glutamat. Secara karakteristik, hipoksia atau
iskemia serebral menunjukkan ada terjadinya peningkatan yang signifikan pada rasio
laktat:piruvat (LPR) [48]. Nilai LPR> 20-25 dianggap sebagai indikator untuk iskemia otak dan
berkaitan dengan prognosis yang buruk pada TBI [49]. Meskipun, MD adalah perangkat yang
baik untuk memberikan pemeriksaan tambahan dan membantu dalam pentalaksanaan pasien
dengan TBI berat, penggunaannya sangat terbatas.
Transkranial doppler ultrasonografi
Transkranial Doppler (TCD) adalah metode non-invasif untuk mengukur velositas CBF.
metode ini semakin sering digunakan dalam perawatan kritis gawat neurologis termasuk TBI.
Alat ini sangat berguna secara klinis untuk membantu menegakkan diagnosis komplikasi yang
mungkin terjadi pada pasien dengan kasus TBI seperti vasospasme, peningkatan kritis TIK dan
9
penurunan CPP, diseksi karotis, dan gangguan peredaran darah otak (kematian otak). TCD dapat
memprediksi vasospasme pasca-trauma sebelum timbulnya manifestasi klinis. Karena
pemantauan TIK merupakan prosedur invasive dengan potensi risiko komplikasi yang terkait,
TCD merupakan teknik alternatif non-invasif teknik untuk mengevaluasi TIK dan CPP [50,51].
Secara umum sensitivitas TCD untuk mengkonfirmasikan kematian otak adalah 75% sampai
88%, dan spesifisitas keseluruhan adalah 98% [52,53]. Meskipun, TCD adalah metode evaluasi
pada perawatan kritis gawat neurologis, bukti untuk mendukung nya sebagai modalitas pilihan
utama untuk membantu untuk manajemen TIK / CPP pada pasien dengan kasus TBI berat masih
sangat kurang.
Electrophysiological monitoring
Electroencephalogram (EEG) adalah alat yang berguna secara klinis untuk memantau
kedalaman koma, mendeteksi kejang non-convulsif (sub-klinis) atau kejang pada pasien dengan
kelumpuhan secara farmakologi serta mendiagnosa kematian otak [54,55]. EEG terus menerus
telah merupakan modalitas pilihan untuk membantu penegakkan diagnosis kejang pasca-trauma
(PTS) pada pasien dengan TBI, terutama pada mereka yang menerima blokade neuromuskular.
Sensory-evoked potentials (SEP) dapat memberikan data yang akurat tentang fungsi otak pada
pasien TBI berat, namun, penggunaannya sangat terbatas dalam pengelolaan awal TBI.
Near infrared spectroscopy
Near infrared spectroscopy (NIRS) merupakan metode non-invasif untuk mengevaluasi
langsung secara berterusan, oksigenasi serebral dan volume darah otak (CBV). Didalalam
jaringan otak, dua chromophores utama (senyawa yang menyerap cahaya) adalah hemoglobin
(Hb) dan sitokrom oksidase. Prinsip kerja NIRS adalah didasarkan pada perbedaan sifat
penyerapan chromophores pada kisaran NIR, yakni antara 700 dan 1.000 nm. Pada 760 nm,
wujud Hb bersifat terdeoksigenasi (deoxyHb), sedangkan pada kadar 850 nm, wujud Hb bersifat
beroksigeni (oxyHb). Oleh karena itu, dengan mengevaluasi perbedaan serap antara dua panjang
gelombang, tingkat deoksigenasi jaringan dapat dievaluasi. Jika dibandingkan dengan SjvO2,
NIRS kurang akurat dalam menentukan oksigenasi serebral [56]. Meskipun, NIRS adalah
teknologi yang berkembang dan berpotensi sebagai modalities pemeriksaan pilihan untuk
10
pengukuran CBF, penggunaannya dalam perawatan kritis gawat neurologis masih sangat
terbatas.
Suhu otak
Setelah terjadinya trauma kepala, dilaporkan bahawa gradien suhu otak dibandingkan
dengan suhu tubuh lebih tinggi hingga mencapai perbedaan 3 ° C di otak. suhu tinggi adalah
stressor sistemik umum sekunder untuk cedera otak. Terdapat beberapa alat invasif (baru Licox
PMO: Integra LifeSciences, Plainsboro, NJ) [57] dan non-invasif [58], untuk mengevaluasi suhu
otak secara terus menerus yang tersedia secara komersial. Namun, evaluasi suhu otak masih
belum banyak digunakan sebagai pedoman dalam perawatan kritis gawat neurologis pasien
dengan TBI berat.
Manajemen Perawatan Kritis
Pedoman pengelolaan TBI parah tersedia secara luas dan harus menjadi dasar utama dan
landasan untuk pengembangan institusi praktek klinis dengan protokol manajemen berbasis
pedoman klinis. Beberapa penelitian telah menunjukkan kepentingan dan dampak dari
implementasi protokol yang benar seperti pada hasil prognosis pasien dengan TBI berat [5-7].
Kami melaporkan bahwa pemanfaatan praktek klinis pedoman berbasis protokol untuk TBI berat
memainkan peran yang sangat signifikan pada penurunan mortalitas baik di perawatan ICU atau
rumah sakit rumah sakit [8].
Analgesia, sedasi dan pelumpuhan otot
Pada pasien TBI berat, intubasi endotrakeal, ventilasi mekanik, trauma, intervensi bedah
(jika ada), biaya perawatan, dan prosedur ICU mempunyai potensial menjadi penyebab nyeri.
Narkotika, seperti morfin, fentanyl dan remifentanil, harus dipertimbangkan sebagai terapi lini
pertama karena golongan ini memberikan efek analgesia, sedasi ringan dan depresi refleks
saluran napas (batuk) yang semuanya dibutuhkan dalam proses intubasi dan ventilasi mekanik
pasien. Administrasi narkotika sebaik diberikan dalam bentuk infus terus menerus atau sebagai
bolus intermiten.
Sedasi yang memadai dengan analgesia poten; dapat memberikan efek anxiolysis, ini
akan dapat membantu membatasi peningkatan TIK yang disebabkan oleh agitasi, perasaan tidak
11
nyaman, batuk atau rasa nyeri; analgesia poten juga dapat memfasilitasi perawatan pasien dan
ventilasi mekanis, menurunkan konsumsi O2, menurunkan produksi CMRO2, dan CO2,
meningkatkan kenyamanan pasien; dan mencegah gerakan yang boleh meperburuk kondisi
pasien. obat sedasi yang ideal untuk pasien dengan TBI harus mempunyai karekteristik waktu
kerja cepat dalam onset dan offset, mudah dititrasi untuk memberikan kesan yang diinginkan,
dan kurangnya metabolit aktif. Secara garis besar pemilihan analgesia bertujuan sebagai
antikonvulsan, menurunkan TIK dan CMRO2, dan untuk membantu dalam pemeriksaan
neurologis. Akhirnya, analgesia juga harus mempunyai efek yang tidak merugikan terhadap
sistem kardiovaskular. Buat waktu ini tidak ada obat sedasi yang digunakan dapat dikatakan
sebagai obat sedasi yang paling ideal.
Propofol adalah obat untuk menginduksi hipnotis pilihan pada pasien dengan gejala
neurologis akut, karena mudah dititrasi dan efek sedasinya dapat cepat sekali dihentikan cukup
dengan hanya menghentikan administrasi. Karekteristik propofol ini mengizinkan waktu sedasi
diprediksi dan memungkinkan untuk evaluasi neurologis secara periodik pada pasien. Namun,
propofol harus dihindari pada pasien dengan kondisi hipotensi atau hipovolemik karena efek
deleterious hemodynamic nya. Selain itu, propofol infusion syndrome (rhabdomyolysis, asidosis
metabolik, gagal ginjal, dan bradycardia) merupakan komplikasi potensial dari administrasi
propofol yang lama dan berterusan baik secara infusi maupun dosis tinggi. Benzodiazepine
seperti midazolam dan lorazepam sangat direkomendasikan sebgai obat sedasi dan digunakan
secara infus berterusan atau bolus intermiten. Selain sedasi, golongan obat ini juga memberikan
efek amnesia dan antikonvulsan. Namun penggunaan obat ini secara Infus berterusan, dosis
tinggi, adanya kegagalan ginjal atau hati, dan usia lanjut adalah antara faktor yang dapat
menyebabkan risiko terjadinya akumulasi dan sedasi berlebihan.
Penggunaan secara rutin agen pemblokir neuromuskuler (NMBAs) untuk melumpuhkan
pasien dengan TBI tidak dianjurkan. NMBAs mengurangi TIK dan harus dianggap sebagai terapi
lini kedua untuk hipertensi refrakter intrakranial. Namun, penggunaan NMBA dapat
menyebabkan terjadinya peningkatan risiko pneumonia, memperpanjang waktu perawatan ICU
(LOS), dan terjadinya komplikasi neuromuskuler.
12
Ventilasi mekanis
Penatalaksanaan pasien dengan TBI berat biasanya disertai dengan intubasi dan ventilasi
mekanik. Hipoksia, didefinisikan sebagai saturasi O2 <90%, atau PaO2 <60 mm Hg, dan
keadaan ini harus dihindari [4]. Hiperventilasi profilaksis dengan PaCO2 <25 mm Hg tidak
dianjurkan [4]. Dalam 24 jam pertama setelah TBI berat, hiperventilasi harus dihindari, karena
akan menyebabkan peningkatan penurunan kadar perfusi serebral yang sebelumnya sudah sangat
kritis. Coles et al. melaporkan bahwa, pada pasien dengan TBI, hiperventilasi meningkatkan
hipoperfusi pada volume jaringan di jaringan otak yang cedera, meskipun terdapat perbaikan
pada CPP dan TIK. Penurunan perfusi serebral pada daerah otak ini menyebabkan daerah ini
berpotensi menjadi daerah jaringan otak yang iskemik[59]. Hiperventilasi berlebihan dan
berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi dan iskemia serebral. Dengan
demikian, hiperventilasi dianjurkan hanya sebagai prosedur sementara untuk mengurangi
peningkatan TIK. Hiperventilasi dengan periode yang singkat (15-30 menit), dengan PaCO2 30-
35 mm Hg direkomendasikan untuk mengobati kerusakan neurologis akut yang disebabkan oleh
peningkatan TIK. Waktu hiperventilasi yang lebih lama diperlukan untuk hipertensi refrakter
intrakranial, hal ini juga termasuk metode perawatan lainnya seperti durasi obat penenang,
pelumpuh otot, CSF drainase, larutan saline hipertonik (HSSs) dan diuretik osmotik. Namun,
ketika metode hiperventilasi digunakan, evaluasi SjvO2 atau PbtO2 direkomendasikan untuk
mengevaluasi oksigenasi otak dan menghindari serebral iskemia.
Pengaturan ventilasi harus disesuaikan untuk mempertahankan pulse oximetry (SpO2)
pada 95% atau lebih dan / atau PaO2 pada 80 mm Hg atau lebih dan untuk mencapai
normoventilation (eucapnia) kadar PaCO2 dipertahankan dari 35 sampai 40 mm Hg. Mascia et
al. melaporkan bahwa ventilasi tidal volume tinggi merupakan prediktor yang mandiri dan dapat
menyebabkan cedera akut pulmonal (ALI) pada pasien dengan TBI berat [60]. Oleh karena itu,
ventilasi perlindungan dengan tidal volume rendah dan positive end-expiratory pressure (PEEP)
menjadi rekomendasi untuk mencegah cedera paru yang disebabkan oleh penggunaan ventilator
dan peningkatan TIK [61].
Sebelum melakukan suctioning melalui endotrakeal tube (ETT), dapat dilakukan
preoksigenasi dengan sebagian kecil dari oksigen inspirasi (FiO2) = 1,0, dan administrasi sedasi
13
tambahan dianjurkan untuk menghindari desaturasi dan peningkatan mendadak pada TIK.
penyedotan ETT harus singkat dan tidak menyebabkan trauma tambahan..
Peningkatan PEEP dapat menyebabkan peningkatan tekanan intratorak dan menyebabkan
penurunan drainase vena serebral hingga menyebabkan peningkatan CBV dan TIK. Namun, efek
dari PEEP pada TIK terlihat signifikan hanya pada kadar PEEP diatas dari 15 cm H2O pada
pasien dengan kondisi hipovolemik. Namun demikian, tingkat kadar terendah PEEP, biasanya
digunakan hanya pada kadar 5 sampai 8 cm H2O untuk mempertahankan oksigenasi memadai
dan mencegah kolaps ekspirasi akhir. PEEP pada kadar tinggi, yaitu diatas 15 cm H2O, mungkin
dapat digunakan pada kasus hipoksemia refraktori.
Sering terjadinya ALI atau sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), pada sejumlah
besar pasien dengan TBI berat dengan kejadian ALI / ARDS dilaporkan mempunyai prevelensi
sebanyak diantara 10% sampai 30% [62-64]. Etiologi ALI / ARDS pada pasien dengan TBI berat
antaranya termasuk aspirasi, pneumonia, contusio paru, transfusi darah masif, cedera paru akut
yang disebabkan oleh transfusi (TRALI), sepsis, edema paru neurogenik dan penggunaan tidal
volume dan kadar pernapasan yang tinggi [65,66]. Proses terjadinya ALI / ARDS pada pasien
dengan TBI berat menyebabkan perpanjangan waktu perawatan ICU (LOS) dan perpanjangan
pengunaan ventilasi mekanis [60]. Manajemen ventilasi pasien dengan TBI berat dan ALI /
ARDS merupakan suatu prosedur yang rumit. Strategi ventilasi yang seimbang, mengikuti
pedoman untuk penatalaksanaan TBI berat dan "Pendekatan cedera otak konvensional"
(oksigenasi yang memadai: mengoptimalkan oksigenasi serebral otak, drainase vena dengan
menggunakan PEEP kadar rendah, dan hipokapnia ringan dengan menggunakan tidal volume
tinggi), dan strategi ventilasi pelindungan pulmonal (dengan menggunakan PEEP kadar tinggi
dan tidal volume rendah), adalah tujuan yang diinginkan, namun, sulit untuk dicapai.
Hiperkapnia permisif, merupakan strategi yang dapat digunakan pada pasien dengan ALI /
ARDS, namun harus dihindari, jika memungkinkan, pada pasien dengan kasus TBI berat
disebabkan akan terjadinya vasodilatasi serebral dan peningkatan CBV dan TIK.
Dukungan hemodinamik
Gangguan hemodinamik adalah masalah umum yang sering terjadi pada pasien dengan
kasus TBI berat. Hipotensi, yang didefinisikan sebagai SBP <90 mm Hg atau MAP <65 mmHg,
14
adalah antara stressor sekunder sistemik yang sering menyebabkan cedera otak sekunder telah
dilaporkan sering terjadi pada sekitar 73% populasi pasien selama perawatan ICU [67].
Penelitian dari Traumatic Coma Data Bank (TCDB) mendokumentasikan bahwa hipotensi
merupakan penentu utama dan merupakan prediktor mandiri prognosis TBI berat (68). Hipotensi
secara signifikan berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasca TBI [69-71]. Di antara
prediktor prognosis TBI, hipotensi adalah prediktor yang paling harus diperhatikan dan dihindari
serta ditangani dengan baik dan cepat.
TBI dengan kondisinya sendiri dan terisolasir dari kondisi lain tidak akan menyebabkan
hipotensi kecuali pada pasien yang telah terjadi mati batang otak. Berkurangnya volume
intravaskular akibat perdarahan dari cedera yang terjadi seperti pada kulit kepala, leher,
pembuluh darah, dada, perut, panggul dan ekstremitas, atau karena poliuria sekunder yang
disebabkan oleh kondisi diabetes insipidus, adalah antara penyebab paling sering terjadinya
hipotensi pada pasien dengan TBI berat. Selain itu antara faktor lain yang berperan untuk
terjadinya hipotensi pada pasien dengan TBI berat adalah kerana terjadinya contusio miokard
yang mengakibatkan kegagalan kerja primer jantung yaitu untuk memompa darah, dan trauma
pada spinalis yang menyebabkan terjadinya syok spinalis (lesi servikal yang menyebabkan
kehilangan total persarafan simpatik himgga terjadinya hipotensi vasovagal dan bradiaritmia).
Penyebab hipotensi yang sering kurang diperhatikan pada pasien dengan TBI adalah penggunaan
etomidate untuk intubasi. Telah dilaporkan bahwa bahkan dengan hanya penggunaan dosis
tunggal etomidate dapat menyebabkan terjadinya insufisiensi adrenal yang akhirnya
mengakibatkan hipotensi.[72].
Pemberian terapi cairan yang tepat dan agresif untuk mencapai volume intravaskular
yang memadai adalah langkah pertama dalam prosedur resusitasi pasien dengan hipotensi parah
pasca TBI. CVP dapat digunakan sebagai pedoman manajemen cairan dan dianjurkan untuk
dipertahankan pada tekanan 8 - 10 mm Hg. Pada pasien yang tidak merespon secara baik dengan
ekspansi volume yang adekuat dan administrasi vasopressor, merupakan petanda adanya
gangguan hemodinamik atau penyakit kardiovaskular yang mendasari, kateter arteri pulmonal
atau evaluasi hemodinamik non-invasif harus dipertimbangkan.
Tekanan wedge kapiler pulmonal harus dipertahankan pada tekanan 12 - 15 mm Hg.
Beberapa indikator yang dapat diandalkan sebagai keberhasilan terapi cairan adalah seperti
15
variasi tekanan nadi, variasi tekanan sistolik, variasi stroke volume, dan kolaps vena kava
inferior direkomendasikan sebagai indikator manajemen terapi cairan. Kristaloid isotonik,
larutan khusus normal saline (NS) adalah cairan pilihan untuk terapi resusitasi cairan dan
volume pengganti. HSSs efektif untuk merestorasi tekanan darah pada syok hemoragik, namun
tidak menurunkan kadar mortalitas [73]. The National Heart, Lung, and Blood Institute of the
National Institutes of Health telah menghentikan pendaftaran untuk penelitian uji klinis efek
HSSs pada pasien dengan TBI parah karena HSS tidak lebih baik daripada pengobatan standar
NS [74]. Terapi pengganti darah dan produk darah masih dapat digunakan sesuai kebutuhan
kasus.
Anemia adalah stressor sekunder sistemik yang umumnya sering terjadi dan harus
dihindari, kadar hemoglobin yang disasarkan adalah ≥ 100 g / L atau hematokrit ≥ 0,30.
Jaringan otak merupakan jaringan yang kaya dengan tromboplastin dan kerusakan otak dapat
menyebabkan koagulopati [75]. Kelainan koagulasi harus dikoreksi secara agresif dan cepat
dengan produk darah yang sesuai, terutama pada kondisi perdarahan intrakranial pasca trauma.
Sebelum dilakukan evaluasi invasif TIK, MAP yang dianjurkan adalah pada tekanan ≥ 80
mm Hg. Alasan untuk mempertahankan MAP pada tekanan ≥ 80 mm Hg adalah untuk
mempertahankan CPP ≥ 60 mm Hg yang merupakan batasan pengobatan TIK> 20 mm Hg [4].
Setelah dilakukan evaluasi invasif TIK, manajemen MAP akan diarahkan mengikuti nilai TIK /
CPP.
Pada kasus-kasus yang jarang dimana kadar CPP atau MAP sasaran mungkin tidak dapat
dicapai meskipun terapi resusitasi cairan yang tepat dan volume intravaskular yang adekuat telah
dicapai. Pemberian cairan secara berlebihan untuk mencapai CPP atau MAP sasaran harus
dihindari kerana dapat menjadi penyebab terjadinya overload cairan dan ARDS. Administrasi
vasopressor harus digunakan untuk mencapai sasaran CPP atau MAP jika ini tidak dapat
diperoleh dengan terapi resusitasi cairan yang adekuat. Norepinefrin, dititrasi melalui jalur vena
sentral (CVL), direkomendasikan. Dopamin menyebabkan terjadinya vasodilatasi serebral dan
peningkatan TIK, namun, dopamin dapat digunakan melalui kanula intravena perifer sampai
CVL dimasukkan [76,77]. Phenylephrine, agen vasoaktif alpha-agonis murni, dianjurkan pada
pasien TBI dengan takikardia. Penelitian terbaru melaporkan bahwa pasien yang menerima
16
Phenylephrine memberikan MAP dan CPP yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang
menerima dopamin dan norepinefrin [78].
Hipertensi, yang didefinisikan sebagai SBP> 160 mm Hg atau MAP > 110 mm Hg, juga
merupakan stressor sistemik sekunder yang dapat memperburuk edema vasogenik otak dan
hipertensi intrakranial. Namun, hipertensi yang terjadi mungkin merupakan reaksi fisiologis
terhadap berkurangnya perfusi jaringan otak.
Akibatnya, sebelum dilakukan evaluasi TIK, hipertensi tidak boleh diturunkan kecuali
penyebabnya dikenalpasti dan diterapi, terutama pada tekanan SBP> 180-200 mm Hg atau
MAP> 110-120 mm Hg. Menurunkan tekanan darah yang meningkat, sebagai mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan CPP yang memadai, dapat memperburuk iskemia otak.
Setelah dilakukan suatu prosedur evaluasi TIK, CPP harus menjadi patokan dalam pengelolaan
MAP.
Tekanan perfusi serebral/ Cerebral perfusion pressure (CPP)
Iskemia otak dianggap kondisi sekunder yang paling penting untuk dinilai pada pasien
dengan kasus TBI berat. CPP, didefinisikan sebagai MAP dikurangi TIK, (CPP = MAP- TIK),
CPP di bawah 50 mm Hg harus dihindari [4]. CPP yang rendah dapat membahayakan daerah
otak yang mengalami iskemia, dan peningkatan tekanan CPP dapat membantu untuk
menghindari terjadinya iskemia otak. Nilai sasaran dari CPP minimal yang harus dipertahankan
sebelum melewati batas paling rendah dimana dikhwatiri terjadinya iskemik adalah pada tekanan
60 mm Hg [4]. Mempertahankan CPP diatas 60 mmHg adalah terapi pilihan yang mampu
membantu mengurangi secara substansial kadar mortalitas dan peningkatan kemungkinan
bertahan hidup, dan nilai sasaran diata 60 mmHg ini juga memungkinkan terjadinya peningkatan
perfusi ke daerah otak yang iskemik pada pasien dengan kasus TBI berat. Tidak ada bukti
peningkatan pada kadar terjadinya hipertensi intrakranial, morbiditas, atau mortalitas pada
perawatan aktif mempertahankan CPP di atas 60 mmHg dengan normalisasi volume
intravaskular atau induksi hipertensi sistemik. Pada literature yang diteliti CPP pada kadar 60
mm Hg dan 70 mm Hg batasan CPP harus dipertahankan sebagai patokan penatalaksanaan
iskemia serebral pada pasien dengan TBI berat. CPP harus dipertahankan minimal 60 mm Hg
pada kasus TBI tanpa adanya tanda iskemia serebral, dan minimal pada kadar 70 mm Hg pada
kasus TBI dengan tanda iskemia serebral [4]. Evaluasi PbtO2 disarankan untuk mengidentifikasi
secara individual kadar CPP optimal [79]. Dengan tidak adanya iskemia serebral, upaya secara
17
agresif untuk mempertahankan CPP otak di atas 70 mm Hg dengan administrasi cairan dan
vasopressor harus dihindari karena berisiko menyebabkan terjadinya ARDS [4].
Terapi Hiperosmolaritas
Administrasi manitol merupakan metode yang efektif untuk menurunkan peningkatan
TIK pasca terjadinya TBI berat [80]. manitol meningkatkan gradien osmotik sementara dan akan
dan keadaan ini menyebabkan peningkatan osmolaritas serum sehingga 310-320 mOsm / kg
H2O. Namun pemberian manitol profilaksis tidak dianjurkan [4]. Sebelum dilakukan evaluasi
TIK, penggunaan manitol harus dibatasi untuk pasien dengan tanda-tanda herniasi transtentorial
atau kerusakan neurologis progresif yang tidak disebabkan faktor ekstrakranial.
walaubagaimanapun, manitol tidak boleh diberikan jika osmolaritas serum > 320 mOsm / kg
H2O. Diuresis osmotik harus dikompensasi oleh penggantian cairan yang memadai dengan
larutan garam isotonik untuk mempertahankan euvolmia. Dosis manitol yang efektif adalah 0,25
1 g / kg, diberikan secara intravena selama 15 sampai 20 menit. Pemberian sering manitol dapat
menyebabkan dehidrasi intravaskular, hipotensi, azotemia/uremia prerenal dan hiperkalemia
[81]. Manitol boleh melewati Blood Brain Barrier (BBB) dan menumpuk di otak, sehingga
menyebabkan terjadinya pergeseran reversal pada tekanan osmotik atau rebound efek, dan hal ini
menyebabkan osmolaritas otak meningkat, sehingga TIK juga meningkat [82,83]. Pada pasien
TBI dengan gagal ginjal pemberian manitol menjadi kontraindikasi karena berrisiko
menyebabkan terjadinya edema paru dan gagal jantung. HSSs telah diusulkan sebagai alternatif
untuk manitol. HSS memiliki sejumlah efek menguntungkan pada pasien dengan cedera kepala,
antaranya termasuk peningkatan volume intravaskular, ekstraksi air dari ruang intraseluler,
penurunan TIK, dan peningkatan kontraktilitas jantung. HSS dapat menyebabkan dehidrasi
osmotik dan peningkatan viskositas yang boleh menyebabkan terjadinya vasokonstriksi serebral.
Administrasi berterusan dari HSS dapat membantu menurunkan TIK, menghindari terjadinya
edema serebral, tanpa efek samping supraphysiologic hyperosmolarity seperti gagal ginjal,
edema paru, atau demielinasi pontine sentralis [84,85]. Pada meta-analisis yang baru dilakukan,
Kamel et al. menemukan bahwa saline hipertonik lebih efektif dibandingkan administrasi
manitol, dan mungkin adalah lebih baik dari manitol yang menjadi pilihan untuk perawatan
standar peningkatan TIK buat masa kini.[86].
18
Modulasi suhu
Hipotermia sistemik sedang pada suhu 32 ° C hingga 34 ° C, dapat mengurangi
metabolisme otak dan CBV, menurunkan TIK, dan meningkatkan CPP [87]. Namun bukti
adanya dampak hipotermia pada pasien dengan kasus TBI masih kontroversial. Penelitian awal
menunjukkan bahwa hipotermia sedang, pada saat pasien dibawa masuk, dikatakan mampu
memberi perbaikan signifikan prognosis pada bulan ke 3 dan 6 setelah TBI [88]. Namun, pada
suatu RCT besar yang dilakukan, tidak ditemukan korelasi dari efek hipotermia sedang yang
dapat mempengaruhi prognosis TBI [89,90]. The National Acute Brain Injury Study:
Hypothermia II was a randomized, multicentre clinical trial of patients with severe TBI
merupakan uji klinis pasien dengan TBI berat yang mengambil sampel pasien dengan
karekteristik 2 sampai 5 jam pasca TBI. Pasien secara acak dikelompokan untuk kelompok
hipotermia (pendinginan sampai 33 °C selama 48 jam) atau normothermia. Tidak ada perbedaan
signifikan dari prognosis antara kelompok hipotermia dan kelompok normothermia. Uji klinis ini
tidak mengkonfirmasi metode terapi hipotermia sebagai strategi proteksi neurologis pada pasien
dengan kasus TBI berat [88]. Namun, suhu pasien harus harus tetap dikontrol dan demam harus
diobati dengan cepat pada pasien dengan TBI berat. Hipotermia sedang dapat digunakan pada
kasus peningkatan TIK tidak terkendali dan refrakter.
Profilaksis anti-kejang
Kejang pasca trauma diklasifikasikan sebagai kejang kejang pasca-trauma awal yang
terjadi dalam waktu 7 hari dari terjadinya cedera, atau kejang pasca-trauma lambat yaitu
melewati 7 hari dari terjadinya cedera [91]. Terapi profilaksis (fenitoin,carbamazepine, atau
fenobarbital) tidak dianjurkan untuk mencegah kejang pasca trauma lambat[4]. BTF
merekomendasikan terapi profilaksis untuk mencegah kejang pasca-trauma awal pada pasien
TBI yang berisiko tinggi untuk kejang [4]. Faktor risiko meliputi: GCS skor <10, contusio
kortikal, depresi fraktur cranii, subdural hematoma, epidural hematoma, intraserebral hematoma,
TBI dengan penetrasi, dan kejang dalam waktu 24 jam cedera [4,92].
Fenitoin adalah obat yang direkomendasikan sebagai profilaksis pada kasus kejang pasca-
trauma awal. Dosis awal sebesar 15 sampai 20 mg / kg intravena (IV) dapat diberikan selama 30
menit diikuti dengan dosis 100 mg, IV, setiap 8 jam, dititrasi ke level plasma, selama 7 hari,
merupakan penatalaksanaan yang direkomendasi. Pasien yang menerima profilaksis anti-kejang
harus dievaluasi potensi terjadinya efek samping.
19
Profilaksis thrombosis vena dalam
Pasien TBI berat mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya proses thromoembolik
vena (VTEs) termasuk thrombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru. Risiko terjadinya DVT
pada keadaan ketiadaan profilaksis diperkirakan terjadi sebanyak 20% pasca TBI berat[93].
Metode tromboprofilaksis mekanik, seperti alat graduated compression stockings dan alat
kompresi berurutan, dianjurkan penggunaannya namun menjadi kontraindikasi jika adanya
cedera ekstremitas bawah. Penggunaan alat tersebut harus dilanjutkan sehingga kondisi pasien
cukup hanya dirawat jalan. Jika tidak adanya kontraindikasi, heparin dengan berat molekul
rendah (LMWH) atau dosis rendah unfractionated heparin harus digunakan dengan kombinasi
profilaksis mekanik. Namun, penggunaan profilaksis farmakologis berpotensi menyebabkan
terjadinya peningkatan risiko untuk perluasan perdarahan intrakranial. Meskipun, bukti untuk
mendukung rekomendasi waktu yang tepat untuk menggunakan profilaksis farmakologis kurang,
kebanyakan ahli menyarankan memulai profilaksis farmakologis sedini mungkin yaitu sekitar 48
sampai 72 jam setelah terjadinya cedera, tanpa adanya kontraindikasi lain [94].
Profilaksis stres ulkus
TBI berat merupakan faktor risiko yang diketahui mampu menyebabkan ulkus stres
(Ulkus Cushing) di perawatan ICU. Profilaksis termasuk pemberian awal asupan nutrisi secara
enteral dan profilaksis farmakologi seperti H2-blocker, proton pump inhibitor dan sukralfat
[95,96].
Dukungan nutrisi
Pasien TBI berat biasanya berada didalam kondisi hipermetabolik, hiperkatabolik dan
hiperglikemia, dengan disertai gangguan fungsi GI. Ada bukti yang menunjukkan kondisi gizi
buruk meningkatkan kadar mortalitas pada pasien TBI [97]. Telah dilakukan penelitian
sebelumnya dimana didokumentasikan pemberian asupan nutrisi secara enteral adalah lebih baik
dari pemberian asupan nutrisi secara parenteral (PN). Penggunaan PN harus dibatasi dan hanya
dipilih jika adanya kontraindikasi dari pemberian asupan nutrisi enteral, hal ini karena ia dapat
menyebabkan peningkatan terjadinya komplikasi dan kadar mortalitas [98]. Oleh karena itu,
pemberian awal asupan nutrisi enteral dianjurkan pada pasien dengan TBI berat, karena
pemberian asupan nutrisi enteral aman, murah, hemat biaya, dan fisiologis. Potensi keuntungan
dari pemberian asupan nutrisi secara enteral termasuk menstimulasi semua fungsi saluran gastro-
intestinal, mempertahankan immunitas usus, mempertahankan fungsi dan integritas mukosa usus,
20
dan pengurangan infeksi dan komplikasi septik. Secara umum, pasien dengan TBI berat memiliki
intoleransi lambung terhadap asupan nutrisi karena berbagai alasan antaranya termasuk
pengosongan lambung yang abnormal dan gangguan fungsi lambung yang merupakan akibat
sekunder dari peningkatan TIK, dan penggunaan opiat. Agen prokinetik seperti metoclopramide
atau eritromisin, meningkatkan toleransi. Asupan makanan postpyloric dapat menghindari
intoleransi lambung dan dapat memastikan suplai kalori yang tinggi dan asupan nitrogen.
Meskipun BTF merekomendasikan instruksi istirahat dari aktivitas metabolik sebanyak 140%
pada pasien tidak lumpuh dan 100% pada pasien lumpuh untuk tidak lagi digunakan, ada bukti
yang menunjukkan adanya manfaat dari asupan rendah kalori [99-102].
kontrol glikemik
Pada pasien dengan TBI berat, stres hiperglikemia adalah merupakan antara stressor
sekunder otak sistemik yang sering terjadi. Penelitian menunjukkan hiperglikemia yang terjadi
berulang kali dikaitkan dengan prognosis neurologis buruk pasca terjadinya TBI [103-108].
Namun meskipun hiperglikemia merugikan, mempertahankan kadar glukosa darah yang rendah
dalam batas optimal masih menjadi isu yang kontroversial pada pasien dengan TBI berat, karena
hipoglikemia, yang merupakan komplikasi umum dari penurunan kadar glukosa yang intensif,
dapat malah menyebabkan cedera otak dan memperburuk cedera otak sudah terjadi[109]. Vespa
et al. melaporkan bahwa terapi insulin intensif (IIT) memberikan hasil penurunan microdialisis
glukosa dan peningkatan microdialisis glutamat dan rasio laktat / piruvat tanpa memberikan hasil
keuntungan fungsional [110]. Oddo dkk. menndokumentasikan bahwa kontrol glukosa sistemik
secara intensif mampu menyebabkan terjadinya penurunan ketersediaan glukosa otak
ekstraseluler dan meningkatkan prevalensi terjadinya krisis energi otak, yang pada akhirnya
berkorelasi dengan meningkatnya kadar mortalitas. IIT dapat mengganggu metabolisme glukosa
otak setelah terjadinya cedera otak berat [111]. Suatu meta-analisis IIT pada cedera otak
mengungkapkan bahwa IIT tampaknya tidak mengurangi risiko meningkatnya mortalitas di
rumah sakit atau mortalitas lambat (RR = 1,04, 95% CI = 0,75, 1,43 dan RR = 1,07, 95% CI =
0,91, 1,27 masing-masing). Selain itu, IIT juga tidak memiliki efek protektif neurologis jangka
panjang (RR = 1,10, 95% CI = 0,96, 1,27). IIT malah meningkatkan kadar terjadinya episode
hipoglikemik (RR = 1,72, 95% CI = 1,20, 2,46) [112]. Akibatnya, Mayoritas bukti klinis yang
tersedia saat ini tidak mendukung kontrol glukosa intensif (mempertahankan kadar glukosa
darah di bawah 110-120 mg / dl) selama perawatan akut pasien dengan TBI berat [113].
21
Steroid
Administrasi steroid tidak dianjurkan untuk memperbaiki prognosis atau mengurangi TIK
pada pasien dengan TBI berat. Pemberian steroid dapat membahayakan pada kasus TBI.
Penelitian CRASH merupakan suatu penelitian kolaborasi internasional yang multisenter,
bertujuan untuk mengkonfirmasi atau menolak efek steroid pada kasus TBI telah melakukan
penelitian dengan target merekrut 20000 pasien sebgai sampel. Pada bulan Mei 2004, data
monitoring committee mempresentasikan hasil penelitian mereka kepada steering committee,
bahawa penelitian CRASH yang berhenti pada perekrutan 10008 pasien memberikan hasil
jumlah pasien yang dibandingkan dengan plasebo, risiko mortalitas dari semua penyebab dalam
waktu 2 minggu lebih tinggi pada kelompok yang dialokasikan pada kelompok yang diberi
kortikosteroid (1052 [21,1%] vs 893 [17,9%] kematian, risiko relatif = 1,18 [95% CI = 1,09-
1,27], p = 0,0001). Para penulis menyimpulkan bahwa tidak ada pengurangan kematian dengan
pemberian metilprednisolon dalam jangka waktu 2 minggu setelah terjadinya cedera kepala.
Penyebab kenaikan risiko kematian dalam 2 minggu pada penelitian ini bagaimanapun masih
tidak jelas [114]. Oleh karena itu, pada pasien dengan TBI parah, pemberian dosis tinggi
metilprednisolon menjadi kontraindikasi [4]
Koma barbiturat
Barbiturat terbukti sebagai terapi yang efisien untuk kasus hipertensi intrakranial
refrakter. Barbiturat mengurangi metabolisme serebral dan CBF, dan menurunkan TIK [115].
Admnistrasi dosis tinggi barbiturat dapat dipertimbangkan pada pasien TBI berat dengan kondisi
hemodinamik yang stabil, namun refrakter terhadap penatalaksanaan terapi maksimal TIK secara
medis maupun bedah. efek samping utama dari golongan obat ini adalah: hipotensi, terutama
pada hipovolemik, dan imunosupresi yang dapat meningkatan terjadinya infeksi [116]. Namun,
administrasi profilaksis barbiturat untuk menginduksi keadaan burst suppression EEG tidak
dianjurkan [4]. Pentobarbital merupakan obat yang direkomendasikan untuk menginduksi koma
barbiturat sebagai dengan pemberian seperti berikut:
Pentobarbital: 10 mg / kgBB selama 30 menit, kemudian
5 mg / kgBB / jam selama 3 jam, kemudian
1 mg / kgBB / jam
Sebagai alternatif, natrium thiopental dapat digunakan sebagai berikut:
2,5-10 mg / kgBB IV, bolus perlahan, diikuti dengan
22
0,5-2 mg / kgBB / jam
Cairan dan elektrolit
Tujuan dari terapi cairan adalah untuk mengembalikan dan mempertahankan keadaan
euvolemia ke hipervolemia sedang (CVP = 8-10 mm Hg, PCWP = 12 - 15 mm Hg).
Keseimbangan cairan negatif telah terbukti berhubungan dengan faktor yang merugikan dan juga
merupakan faktor yang mandiri namun dapat mempengaruhi TIK, MAP, dan CPP [117].
Kristaloid isotonik harus digunakan pada terapi cairan, dan cairan Normal saline (NS) adalah
cairan kritaloid yang direkomendasikan. Namun resusitasi cairan secara intensif dengan NS
dapat mengakibatkan hiperkloremik metabolik asidosis, hal ini merupakan komplikasi yang
dapat diprediksi dari pemberian NS dalam volume besar, dengan implikasi klinis yang berbeda.
Solusi hipotonik, seperti 1/2 NS, NS ¼, Dextrose 5% dalam air (D5% W), D5% 1/2 NS, atau
D5% ¼ NS harus dihindari. Larutan ringer laktat sedikit hipotonik dan merupakan cairan yang
kurang direkomendasi untuk resusitasi cairan pada pasien TBI berat, terutama untuk melakukan
resusitasi dengan volume besar, hal ini karena Riner laktat dapat menurunkan osmolaritas serum.
glukosa mengandung solusi, seperti yang disebutkan sebelumnya atau D10% W harus dihindari
pada periode 24 sampai 48 jam pertama, kecuali pada pasien yang mengalami hipoglikemia
dengan tidak adanya dukungan nutrisi. Kondisi hiperglikemia pada TBI adalah keadaan yang
sangat membahayakan, metabolisme anaerobic glukosa otak menghasilkan asidosis dan molekul
air bebas, kedua senyawa dapat memperburuk edema otak. Pemberian cairan koloid harus
digunakan secara berhati-hati karena penggunaan cairan ini seperti yang dilaporkan pada,
penelitian SAFE, merupakan antara faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan mortalitas
pada pasien dengan TBI [118]. HSSs telah terbukti efektif dalam mengurangi edema otak,
mengurangi TIK, dan meningkatkan MAP dan CPP [119]. Potensi bermanafaat lain dari
pemberian cairan HSSs termasuk, dapat cepat meningkatkan volume intravaskular (dengan
pemberian volume kecil), meningkatkan curah jantung dan pertukaran gas pulmonal, pembalikan
immunomodulation yang disebabkan oleh hipotensi, dan penurunan produksi CSF. Namun HSS
mempunyai potensi efek samping seperti hipertensi mendadak, hipernatremia, penurunan
kesadaran dan kejang. Namun, secara umum penelitian penggunaan HSS menunjukkan hasil
yang tidak konsisten sehingga penilitian klinis selanjutnya adalah diperlukan untuk menentukan
perannya dalam penatalaksanaan terapi cairan.
23
Pada pasien TBI berat dengan peningkatan TIK atau adanya bukti edema otak, tingkat
natrium serum (Na+) yang diterima sebagai kadar aman adalah pada kadar 150-155 mEq / L
[120]. Namun, gangguan konsentrasi serum elektrolit merupakan komplikasi yang umum setelah
terjadinya TBI. Cedera pada sistem hipotalamus-hipofisis adalah merupakan faktor utama
terjadinya kondisi ini. Penyebab paling umum untuk kondisi hipernatremia (Na+> 150 mmol / L)
pada pasien dengan TBI adalah diabetes insipidus sentral atau neurogenik, penggunaan diuresis
osmotik (mannitol), dan HSS. Koreksi hipernatremia berat (Na+> 160 mmol / L) harus dilakukan
secara bertahap, kerana perubahan secara mendadak pada osmolaritas serum dan penurunan
cepat konsentrasi natrium dapat memperburuk edema serebral. Resusitasi cairan pada kasus
pasien TBI dengan kondisi hipovolemik dan hipernatremik harus diterapi dengan hanya
pemberian NS pada awalnya. Penatalaksanaan gangguan elektrolit harus diikuti dengan restorasi
total volume. Hiponatremia merupakan kondisi yang membahayakan dan merupakan stressor
sekunder otak sistemik utama pada cedera otak sekunder pada pasien yang menderita TBI berat,
karena kondisi ini mengarah ke eksaserbasi edema otak dan peningkatan TIK. Hal ini merupakan
efek sekunder dari cerebral salt wasting syndrome [121], syndrome of inappropriate anti-
diuretic hormone secretion (SIADH). Hipofosfatemia dan hipomagnesemia adalah komplikasi
umum pada pasien dengan cedera kepala dan hal ini adalah faktor kejang sering terjadi [122123].
Terapi Lund
Terapi Lund pada TBI berat didasarkan pada prinsip regulasi fisiologis antara jaringan
otak dan volume darah. Terapi ini bertujuan untuk mencegah hipoksia otak dan sekaligus
mengambil langkah-langkah menghindari filtrasi transkapiler. Konsep Lund lebih
menguntungkan jika terjadinya gangguan pada fungsi blood brain barrier dan lebih tepat
digunakan jika tekanan autoregulasi hilang. Terapi ini memiliki dua tujuan utama: pertama untuk
mengurangi atau Terapi ini memiliki dua tujuan utama: pertama untuk mengurangi terjadinya
peningkatan TIK (TIK sasaran), dan yang kedua adalah untuk meningkatkan perfusi dan
oksigenasi pada sekitar daerah kontusio (perfusi sasaran) dengan mempertahankan oksigenasi
darah yang normal, normovolemia dan kadar hematokrit normal. Protokol pengobatan, untuk
mengurangi peningkatan TIK, antaranya termasuk mempertahankan tekanan normal penyerapan
dari koloid (konsentrasi protein plasma normal), penurunan tekanan intrakapiler dengan cara
mengurangkan tekanan darah sistemik dengan terapi antihipertensi (a beta1-antagonis,
metoprolol, dikombinasikan dengan alpha 2-agonis, clonidine) dan secara bersamaan, konstriksi
24
sedang pada resistensi pembuluh darah prekapiler dengan memberi thiopental dan
dihydroergotamine dosis rendah. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa terapi Lund dapat
memberikan hasil klinis yang baik [124]
Perawatan intensif umum
Mirip dengan pasien lain pada perawatan intensif, pasien dengan kasus TBI harus
menerima perawatan rutin sehari-hari seperti berikut berikut:
Meninggikan posisi kepala pada tempat tidur pada sudut 30 ° - 45 °: yang akan
dapat membantu mengurangi TIK dan meningkatkan CPP [125], dan menurunkan
risiko ventilator-associated pneumonia (VAP).
Mempertahankan kepala dan leher pasien dalam posisi netral: ini akan dapat
membantu meningkatkan drainase vena serebral dan mengurangi TIK.
Menghindari kompresi vena jugular interna atau eksterna dengan menghindari
pemasangan cervical collar secara keras atau fiksasi berlebihan endotrakeal tube
yang akan menghambat drainase vena serebral dan dapat mengakibatkan
terjadinya peningkatan TIK.
Menggerakkan pasien miring ke kiri dan ke kanan secara teratur dan sering
namun dengan pengamatan secara tetap TIK [126].
Memberikan perawatan mata, mulut dan kebersihan kulit
Menerapkan evidence-based bundles untuk pencegahan infeksi termasuk VAP
[127] dan central line bundle [128].
Pengadministrasian rejimen usus untuk menghindari konstipasi yang dapat
meningkatkan tekanan intra-abdomen dan TIK.
Melakukan fisioterapi
Dekompresi cranioectomy dan hemicranioectomy
Prosedur bedah dekompresi cranioectomy merupakan rekomendasi pendekatan terapi
yang menjanjikan untuk pasien dengan TBI berat akut yang beresiko untuk dapat terjadinya
edema otak berat. Prosedur dekompresi cranioectomy dan hemicranioectomy, secara umum
diterima sebagai prosedur bedah yang dapat dipilih untuk mengatasi hipertensi intrakranial pada
kasus di mana penatalaksanaan non-bedah gagal. Operasi dekompresi dilakukan sebagai life-
saving procedure saat hipertensi intracranial dapat menyebabkan terjadinya mortalitas yang
cepat. Meskipun prosedur operasi semakin sering digunakan, bukti tentang efek keseluruhan
25
pada prognosis adalah bertentangan. Albanese et al, dalam penelitian kohort retrospektif pada 40
pasien dengan hipertensi intrakranial yang beresiko tinggi terjadinya kematian otak, prosedur
dekompresi cranioectomy membantu 25% dari jumlah pasien sampel untuk mencapai rehabilitasi
sosial dalam jangka waktu 1 tahun [129]. Cooper et al, dalam sebuah penelitian prospektif,
terkontrol secara acak pada 155 orang dewasa dengan TBI berat yang diffus dan hipertensi
intrakranial yang refrakter dibandingkan dengan terapi konvensional non-bedah, prosedur
bifrontotemporoparietal decompressive craniectomy, menunjukkan hasil penurunan tekanan
intrakranial (P <0,001) dan pengurangan durasi perawatan di ICU (P <0,001), namun, dengan
prognosis yang kurang baik (rasio odds = 2,21, 95% CI = 1,14-4,26, P = 0,02). Tingkat
mortalitas dalam jangka waktu 6 bulan adalah sama pada kelompok craniectomy (19%) dan
kelompok perawatan konvensional (18%) [130].
Memprediksi prognosis TBI
Prediksi awal prognosis TBI adalah penting. Beberapa model prediktif prognosis pasien
dengan TBI berat telah diusulkan [131132]. Sebuah model prognostik relatif sederhana yang
menggunakan dasar prediktif dengan 7 karakteristik penilaian termasuk usia, skor motorik,
reaktivitas pupil, hipoksia, hipotensi, klasifikasi CT-scan, dan perdarahan subarachnoid
traumatic telah dilaporkan secara akurat dapat memprediksi prognosis untuk jangka waktu 6
bulan pada pasien dengan TBI berat atau sedang [131]. Model prediktif berdasarkan usia, tidak
adanya refleks cahaya, adanya perdarahan subarachnoid luas, TIK, dan midline shift terbukti
memiliki nilai prediksi yang tinggi dan berguna untuk pengambilan keputusan, merevisi
pengobatan, dan konseling keluarga pada kasus TBI [132].
Konklusi
Pengelolaan TBI berat berpusat pada perawatan intensif yang teliti dan komprehensif dan
mencakup, pendekatan multimodel protocol. Pendekatan ini mencakup dukungan hemodinamik
yang tepat, perawatan pernapasan, terapi cairan, dan aspek lain dari terapi, ditujukan untuk
mencegah stressor sekunder otak, menjaga CPP yang memadai, dan mengoptimalkan oksigenasi
serebral. Pendekatan ini jelas memerlukan upaya dari tim yang multidisiplin termasuk ahli saraf,
ahli bedah saraf, perawat, pemberi perawatan jalan nafa dan anggota lain dari tim medis.
Walaupun untuk mencapai target ini merupakan tugas yang sukar, namun ianya dapat
memberikan hasil yang baik mengingat faktor umur pasien dan faktor socio-ekonomi dari
permasalahan ini.
26
Abbreviations
BTF: Brain Trauma Foundation; CBF: Cerebral blood flow; CBV: Cerebral blood volume; CPP:
Cerebral perfusion pressure; CSF: Cerebral spinal fluid; CVP: Central venous pressure; EEG:
Electroencephalogram; GCS: Glasgow coma scale; HSS: Hypertonic saline solution; ICP:
Intracranial pressure; MAP: Mean arterial pressure; NS: Normal saline; PbtO2: Brain tissue
oxygen tension; PEEP: Positive end expiratory pressure; SBP: Systolic blood pressure; SIADH:
Syndrome of inappropriate anti-diuretic hormone secretion; SjvO2: Jugular venous oxygen
saturation; TBI: Traumatic brain injury.
Author details
Surgical Intensive Care Unit, Intensive Care Department, King Abdulaziz
Medical City, PO Box 22490, Riyadh 11426, K.S.A. 2Intensive Care Department,
College of Medicine, King Saud Bin Abdulaziz University for Health Sciences,
King Abdulaziz Medical City, PO Box 22490, Riyadh 11426, K.S.A.
Authors’ contributions
SHH performed literature review and wrote the initial draft of the
manuscript. YMA edited and rewrote portions of the manuscript. All authors
read and approved the final manuscript.
Authors’ information
Samir H. Haddad, MD, is Head Section of Surgical Intensive Care Unit; and
Consultant in the Intensive Care Department at King Abdulaziz Medical City,
Riyadh, Saudi Arabia.
Yaseen M. Arabi, MD, FCCP, FCCM, is Chairman, Intensive Care Department;
and Medical Director, Respiratory Services at King Abdulaziz Medical City,
Riyadh, Saudi Arabia. He is also Associate Professor at College of Medicine,
King Saud Bin Abdulaziz University for Health Sciences, Riyadh, Saudi Arabia.
Competing interests
The authors declare that they have no competing interests.
Received: 22 October 2011 Accepted: 3 February 2012
27
DAFTAR PUSTAKA
1) Teasdale G, Jennett B: Assessment of coma and impaired consciousness: A practical
scale. Lancet 1974, 2:81-84.
2) Bullock R, Chestnut RM, Clifton G, Ghajar J, Marion DW, Narayan RK, et
al:Guidelines for the management of severe head injury. J Neurotrauma 1996,
13(11):643-734.
3) Bullock R, Chestnut RM, Clifton G, Ghajar J, Marion DW, Narayan RK, et
al:Guidelines for the Management of Severe Traumatic Injury. J Neurotrauma 2000,
17:453-553.
4) Bullock R, et al: Guidelines for the Management of Severe TraumaticBrain Injury. J
Neurotrauma , 3 2007, 24(Suppl 1):S1-S106.
5) Vukic M, Negovetic L, Kovac D, Ghajar J, Glavic Z, Gopcevic A: The effect of
implementation of guidelines for the management of severe head injury on patient
treatment and outcome. Acta Neurochir (Wien) 1999, 141(11):1203-8.
6) Hesdorffer D, Ghajar J, Iacono L: Predictors of compliance with the evidence-based
guidelines for traumatic brain injury care: A survey of United States trauma centers. J
Trauma 2002, 52:1202-1209.
7) Fakhry SM, Trask AL, Waller MA, Watts DD: Management of brain- injured patients
by an evidence-based medicine protocol improves outcomes and decreases hospital
charges. J Trauma 2004, 56(3):492-499, discussion 499-500.
8) Arabi Y, Haddad S, Tamim H, Al-Dawood A, Al-Qahtani S, Ferayan A, et al:
Mortality Reduction after Implementing a Clinical Practice Guidelines-Based
Management Protocol for Severe Traumatic Brain Injury. J Crit Care 2010,
25(2):190-195.
9) Chesnut RM: Secondary brain insults after head injury: clinical perspectives. New
Horiz 1995, 3:366-75.
10) Unterberg AW, Stover JF, Kress B, Kiening KL: Edema and brain
trauma.Neuroscience 2004, 129:1021-9.
11) Jeremitsky E, Omert L, Dunham CM, Protetch J, Rodriguez A: Harbingers of poor
outcome the day after severe brain injury: hypothermia, hypoxia, and hypoperfusion.
J Trauma 2003, 54(2):312-319.
28
12) Abdoh MG, Bekaert O, Hodel J, Diarra SM, Le Guerinel C, Nseir R, Bastuji-Garin S,
Decq P: Accuracy of external ventricular drainage catheter placement. Acta
Neurochir (Wien) 2011.
13) Stiefel MF, Spiotta A, Gracias VH, Garuffe AM, Guillamondegui O, Maloney-
Wilensky E, Bloom S, Grady MS, LeRoux PD: Reduced mortality rate in patients
with severe traumatic brain injury treated with brain tissue oxygen monitoring. J
Neurosurg 2005, 103(5):805-811.
14) Saul TG, Ducker TB: Effect of intracranial pressure monitoring and aggressive
treatment on mortality in severe head injury. J Neurosurg 1982, 56:498-503.
15) Saul TG, Ducker TB: Intracranial pressure monitoring in patients with severe head
injury. Am Surg 1982, 48(9):477-480.
16) Eisenberg HM, Frankowski RF, Contant CF, et al: High-dose barbiturate control of
elevated intracranial pressure in patients with severe head injury. J Neurosurg 1988,
69:15-23.
17) Howells T, Elf K, Jones P, et al: Pressure reactivity as a guide in the treatment of
cerebral perfusion pressure in patients with brain trauma. J Neurosurg 2005, 102:311-
317.
18) Aarabi B, Hesdorffer D, et al: Outcome following decompressive craniectomy for
malignant swelling due to severe head injury. J Neurosurg 2006, 104:469-479.
19) Timofeev I, Kirkpatrick P, Corteen E, et al: Decompressive craniectomy in traumatic
brain injury: outcome following protocol-driven therapy. Acta Neurochir (Suppl)
2006, 96:11-16.
20) Bulger EM, Nathens AB, Rivara FP, Moore M, MacKenzie EJ, Jurkovich
GJ:Management of severe head injury: institutional variations in care and effect on
outcome. Crit Care Med 2002, 30:1870-1876.
21) Lane PL, Skoretz TG, Doig G, Girotti MJ: Intracranial pressure monitoring and
outcomes after traumatic brain injury. Can J Surg 2000, 43:442-448.
22) Mauritz W, Steltzer H, Bauer P, Dolanski-Aghamanoukjan L, Metnitz P: Monitoring
of intracranial pressure in patients with severe traumatic brain injury: an Austrian
prospective multicenter study. Intensive Care Med 2008, 34:1208-1215.
29
23) Stocchetti N, Penny KI, Dearden M, Braakman R, Cohadon F, Iannotti F, Lapierre F,
Karimi A, Maas A Jr, Murray GD, Ohman J, Persson L, Servadei F, Teasdale GM,
Trojanowski T, Unterberg A, European Brain Injury Consortium: Intensive care
management of head-injured patients in Europe: a survey from the European brain
injury consortium. Intensive Care Med 2001, 27:400-406.
24) Cremer OL, van Dijk G, van Wensen E, et al: Effect of intracranial pressure
monitoring and targeted intensive care on functional outcome after severe head
injury. Crit Care Med 2005, 33:2207-2213.
25) Cremer OL: Does ICP monitoring make a difference in neurocritical care? European
Journal of Anaesthesiology 2008, 25(Suppl 42):87-93.
26) Shafi S, Diaz-Arrastia R, Madden C, Gentilello L: Intracranial pressure monitoring in
brain-injured patients is associated with worsening of survival. J Trauma 2008,
64(2):335-340.
27) Haddad S, AlDawood AS, AlFerayan A, Russell N, Tamim H, Arabi YM:
Relationship between intracranial pressure monitoring and outcomes in severe
traumatic brain injury patients. Anaesth Intensive Care 2011, 39(6):1043-1050.
28) Forsyth R, Wolny S, Rodrigues B: Routine intracranial pressure monitoring in acute
coma. Cochrane Database Syst Rev 2010, , 2: CD002043.
29) Treggiari MM, Schutz N, Yanez ND, Romand JA: Role of intracranial pressure
values and patterns in predicting outcome in traumatic brain injury: a systematic
review. Neurocrit Care 2007, 6(2):104-12.
30) Robertson CS, Narayan RK, Gokaslan ZL, et al: Cerebral arteriovenous oxygen
difference as an estimate of cerebral blood flow in comatose patients. J Neurosurg
1989, 70:222-230.
31) Lam JM, Chan MS, Poon WS: Cerebral venous oxygen saturation monitoring: is
dominant jugular bulb cannulation good enough? Br J Neurosurg 1996, 10:357-364.
32) Cruz J: The first decade of continuous monitoring of jugular bulboxyhemoglobin
saturation: management strategies and clinical outcome. Crit Care Med 1998, 26:344-
351.
33) Robertson CS, Cormio M: Cerebral metabolic management. New Horiz 1995, 3:410-
422.
30
34) Sheinberg M, Kanter MJ, Robertson CS, et al: Continuous monitoring of jugular
venous oxygen saturation in head-injured patients. J Neurosurg 1992, 76:212-217.
35) Gopinath SP, Robertson CS, Contant CF, et al: Jugular venous desaturation and
outcome after head injury. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1994, 57:717-723.
36) Robertson CS, Gopinath SP, Goodman JC, Contant CF, Valadka AB, Narayan RK:
SjvO2 monitoring in head-injured patients. J Neurotrauma 1995, 12:891-896.
37) Lewis SB, Myburgh JA, Reilly PL: Detection of cerebral venous desaturation by
continuous jugular bulb oximetry following acute neurotrauma. Anaesth Intensive
Care 1995, 23:307-314.
38) Rosenthal G, Hemphill JC, Sorani M, Martin C, Morabito D, Obrist WD, Manley GT:
Brain tissue oxygen tension is more indicative of oxygen diffusion than oxygen
delivery and metabolism in patients with traumatic brain injury. Crit Care Med 2008,
36(6):1917-1924.
39) Haddad and Arabi Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency
Medicine 2012, 20:12 http://www.sjtrem.com/content/20/1/12 Page 12 of 15
31