Post on 14-Apr-2018
7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup
1/13
Jalan-Jalan: Antara Eskapisme dan Gaya Hidup
Sarani Pitor Pakan
Abstract
Travel is one of the integral part of human life. As an ancient part of life of man, travel is
changing in the context of modern world. Where is its place in the modern urban society? This
text mention two possible place of travel in modern urban society. First, travel as escapism
which makes people seeking something they dont find in the routine of social world. Second,
travel as lifestyle in which people consume it to gain social status or position, or something else.
Keywords: travel, modernity, urban society, escapism, lifestyle
I. PendahuluanPerjalanan adalah hal yang esensial dalam peradaban umat manusia. Tidak ada
satu manusia pun yang tidak pernah melakukan perjalanan dalam hidupnya. Catatan
sejarah membuktikan bahwa sejak dahulu kala manusia ditakdirkan sebagai makhluk
yang bergerak melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain.
Pada berbagai kitab suci agama-agama besar di dunia dikisahkan bagaimana
tokoh-tokoh didalamnya menempuh berbagai perjalanan. Nabi Muhammad melakukan
perjalanan dari Mekkah ke Madinah, demikian pula Yesus yang berjalan dari Nazareth
ke Galilea. Buddhisme pun menceritakan bagaimana Siddharta Gautama melakukan
melakukan perjalanan yang sangat jauh dan melelahkan sebelum akhirnya menjadi
seorang Buddha.
Catatan jaman prasejarah menunjukkan bahwa manusia purba hidup nomaden.
Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan tidak memiliki tempat tinggal
yang permanen. Demikian pula teori yang menyebutkan bahwa manusia purba di
Indonesia berasal dari Cina, itu berarti ada mobilitas geografis yang dilakukan manusia
purbakala.
7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup
2/13
Selanjutnya saat manusia mulai menegenal tulisan, mereka tidak berubah dan
tetap melakukan perjalanan sebagai sebuah ritus yang mau tak mau dialami. Bangsa-
bangsa Eropa rela menempuh perjalanan berbulan-bulan lamanya lewat jalur laut demi
menuju benua lain. Mereka ada yang berkepentingan untuk membuktikan bahwa bumi
itu bundar maupun bertujuan untuk menjajah negeri lain yang jauh dari negara asal
mereka.
Tentu akan ada banyak sekali contoh yang bisa ditambahkan untuk disebut demi
menggambarkan bagaimana perjalanan telah mengakar dalam kehidupan manusia sejak
lama. Beragam alasan dan motivasi melatari perjalanan setiap orang. Beragam cara
berpergian pun dilakukan oleh masing-masing orang. Beragam hal pun didapat oleh
manusia dalam dan setelah menempuh perjalanan.
Tidak dapat dipungkiri, meski kadang perjalanan dipandang sebagai hal yang
remeh bahkan tidak diperhatikan, ia melingkupi kehidupan manusia secara sadar dan tak
sadar. Maka, perjalanan rasanya perlu diberi tempat khusus dalam ruang-ruang
pemikiran dan kontemplasi individual maupun dalam obrolan dan diskusi kelompok.
Mempertanyakan perjalanan secara kritis sama artinya dengan merenungi
kehidupan yang tiap hari bergulir di depan mata.
II. Perjalanan dalam ruang modernitasMeskipun terbuka pada perubahan, manusia nyatanya sering terperangkap dalam
kebiasaan dan akhirnya ke dalam ketidakberubahan. Memasuki jaman modern, kita
tetap saja melakukan mobilitas dari satu ruang ke ruang lain, dari kolong langit yang
satu ke kolong langit yang lain. Tapi perjalanan modern punya alasan dan motivasi yang
semakin kompleks dan beragam. Kompleksitas manusia tercermin disini: di satu sisi ia
tidak berubah, di sisi lain ia berubah.
Salah satu alasan dan motivasi yang berbeda dengan masa sebelumnya itu
adalah untuk berwisata. Manusia kini melakukan perjalanan ke tempat lain untuk
sejenak keluar dari rutinitas yang mereka jalani sehari-hari dan bertujuan agar
sepulangnya ke tempat asal mereka mendapatkan kembali pikiran yang lebih segar.
7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup
3/13
Franklin (2003:2) mengatakan bahwa perjalanan wisata adalah komponen sentral dalam
formasi kehidupan sosial modern.
Perjalanan wisata pada mulanya didominasi oleh kalangan tertentu yang mampumengakses aktivitas tersebut (Bennett 2005:141). Hal itu wajar karena untuk
melakukan perjalanan wisata membutuhkan biaya yang tidak murah, terlebih perjalanan
jarak jauh, misalnya antarnegara atau antarkontinen. Selain itu, melakukan perjalanan
wisata juga bukan kebutuhan primer manusia. Ia hanyalah kebutuhan sekunder bahkan
tersier. Wajar apabila tak semua orang yang melakukannya karena hanya orang-orang
yang telah memenuhi kebutuhan primer (dan sekunder) dengan baik yang kemudian
melakukannya.
Seiring berjalannya waktu, perjalanan wisata tak hanya dinikmati oleh kalangan
tertentu saja. Berbagai lapisan masyarakat mulai bisa mengakses untuk melakukannya.
Perjalanan wisata tak lagi menjadi barang yang eksklusif meski tetap saja ada hirarki di
dalamnya. Dalam hal ini perjalanan wisata mulai meninggalkan jejak paradoksnya. Di
satu sisi ia menghindarkan manusia sejenak dari kehidupannya tapi di sisi yang lain
perjalanan wisata mulai disadari dan diterima menjadi salah satu aspek penting dalam
kehidupan manusia.
Adalah modernitas yang sanggup menghadirkan itu semua, membuat perjalanan
menjadi sebuah kebutuhan yang kalau bisa harus dipenuhi. Ia tak lagi dipandang sambil
lalu, kehadirannya mulai mendapat tempat. Tapi sebenarnya dimanakah tempatnya pada
modernitas?
III.Perjalanan sebagai eskapisme urbanSebagai sebuah gejala modern, perjalanan lahir dan tumbuh di kota, karena
modern memang identik dengan perkotaan. Maka perjalanan hari ini dapat pula
dikategorikan sebagai fenomena urban. Dalam konteks Indonesia saat ini, dapat
disetujui bahwa maraknya fenomena jalan-jalanmengambil tempat lahir dalam suasana
urban. Gejala itu jelas tidak muncul dari desa.
7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup
4/13
Kehadiran fenomena tersebut di konteks masyarakat kota tentu memiliki alasan
tersendiri. Dalam studinya mengenai backpacking, McCannell (Richards, 2004:50)
berpendapat bahwa fenomena backpacking, yang merupakan salah satu gaya dan varian
perjalanan, dipengaruhi alienasi yang dialami masyarakat modern. Sebagai proses
pencarian nilai dan pengalaman yang tidak didapatkan di kehidupan sosial sehari-
harinya, manusia melakukan perjalanan dan meninggalkan rutinitas yang dihidupinya
untuk mendapatkan nilai dan pengalaman yang hilang tersebut.
Penjelasan di atas menggambarkan bagaimana proses kelahiran gejala perjalanan
sebagai aspek penting kehidupan modern perkotaan. Perjalanan diadakan demi
kebutuhan untuk mencari apa yang tidak ditemui dalam rutinitas. Manusia modern
memang seringkali terjebak dalam kehidupan di dalam rutinitasnya yang kaku dan
penuh sekat-sekat yang pada akhirnya justru menjauhkan dirinya dari dirinya sendiri.
Dalam rutinitas yang memenjara itu, manusia terkadang berjalan sebagai robot yang
telah tersistem. Di tengah usaha menghidupi diri, manusia justru kehilangan dirinya
sendiri.
Perjalanan datang bagai secercah cahaya di ujung terowongan yang mengundang
individu, kelompok, atau bahkan masyarakat untuk keluar dari kegelapan yangmenaunginya dalam hidup sehari-hari. Melihat cahaya tersebut, kita lalu tersadar bahwa
selama ini di hidup kita ada sesuatu yang hilang yang tak menemukan penyaluran
dalam kehidupan yang tenang1. Perjalanan akhirnya menjadi semacam eskapisme alias
usaha untuk melarikan diri dan merasakan kebebasan.
Ada apa di kota kita?
Masyarakat urban, berbeda dengan masyarakat rural, menekankan hubungan
sosial antarpenghuninya pada sesuatu yang besifat kontraktual. Individu diformalisasi
menjadi semacam mesin yang dituntut untuk memenuhi obligasi-obligasi sistemik yang
dibebankan padanya. Hal itu harus dilakukan demi terciptanya tatanan sosial yang
stabil. Karena pada dasarnya, masyarakat kota tergantung satu sama lain secara
fungsional karena spesialisasi pembagian kerja yang terdapat didalamnya.
1Dituliskan Leo Tolstoy dalam Family Happiness.
7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup
5/13
Dalam panggulan tanggung jawab yang terletak di punggungnya, individu
seperti telah disebutkan sebelumnya merasakan apa yang pernah disebut Karl Marx
sebagai alienasi. Saat itu Marx mengapungkan konsep itu dalam konteks buruh-buruh di
pabrik yang membanting tulang bekerja demi sebuah benda, sepatu misalnya, tapi tidak
pernah merasakan produk yang diciptakannya itu. Sang proletar terasing dari apa yang
dikerjakannya.
Pada konteks masyarakat kota hari ini, alienasi secara tidak sadar juga menjadi
awan hitam yang menaungi kehidupan yang mungkin mewah, gemerlap, dengan lampu-
lampu kota yang memincingkan mata. Di tengah senyum dan tawa dalam kehidupan di
kota, manusia-manusia urban sebenarnya sedang terasing dari apa yang diperbuatnya
setiap hari. Lebih parah lagi terasing dari dirinya sendiri akibat terlalu asyik hidup
dalam sistem. Persis seperti buruh-buruh dalam konsepsi Marx.
Tidak seperti masyarakat pedesaan yang umumnya lebih intim, integratif, dan
komunal, masyarakat kota cenderlung individual, kompetitif, dan artifisial dalam
berhubungan secara sosial. Kondisi seperti itu dapat menghadirkan situasi yang
membuat kota seperti pabrik berukuran raksasa dimana tiap orang tak perlu mengenal
orang lain karena yang terpenting adalah kebutuhan untuk tetap hidup.
Dalam sebuah kuliah sosiologi perkotaan dijelaskan bahwa salah satu
karakteristik urbanisme adalah individu di dalamnya cenderung teralienasi, sendiri, dan
terapung-apung pada lautan kompetisi norma dan nilai. Alienasi, kesepian, dan
keterapungan yang menjadi ciri masyarakat kota itulah yang secara sadar maupun tak
sadar menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat kota memilih menjadi turis,
traveler, backpacker, atau apapun sebutannya.
Perjalanan memang hanya menjadi salah satu akses untuk menyingkir dari kota
beserta hidup yang ada di dalamnya. Tapi sebagai sebuah pelarian diri, perjalanan
merupakan kendaraan paling romantik. Dalam kegundahan dan keresahan akibat
kehidupan yang terasa sia-sia hari demi hari, bukankah terasa indah bila berpergian ke
tempat yang asing, melihat matahari dari sudut yang berbeda, belajar dari masyarakat
lokal, dan menemukan perspektif baru tentang kehidupan saat kembali ke rutinitas
kelak?
7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup
6/13
Seperti yang diungkapkan W.Somerset Maugham dalam bukunya The Summing
Up:
"To me England has been a country where I had obligations that I did not want to fulfilland responsibilities that irked me. I have never felt entirely myself till I had put at least
the channel between my native country and me."2
Mencari makna, mencari jati diri, menghapus lara
Alasan klasik dari perjalanan adalah untuk mencari jati diri dan makna
kehidupan lewat pengalaman yang dikoleksi selama berpergian ke tempat-tempat asing.
Sekali lagi, tujuan tersebut ada karena ketiadaannya pada kehidupan sehari-hari. Atau
mungkin ada, tapi terselip dalam setiap kerja yang kita hasilkan dalam rutinitas.
Ketersembunyian itu membuat manusia mencari cara lain untuk mendapatkan jati diri
dan makna kehidupan itu.
Keterasingan yang dialami manusia modern dari dirinya sendiri kadang
membuat ia terpaksa mencarinya jati dirinya sendiri lewat berbagai cara. Perjalanan
adalah salah satu mediumnya. Dalam hal ini berpergian ke tempat lain bukanlah
kegiatan untuk hura-hura dan bersenang-senang, maknanya lebih kontemplatif.
Berpergian dan kadang tersesat membuat orang menemukan siapa dirinya yang
sebenarnya dan juga makna kehidupan baginya. Keterasingan membuat orang perlu
mengasingkan dirinya dari masyarakatnya dan berjalan ke tempat yang asing untuk
menjadi tidak asing pada diri dan hidupnya sendiri. Dari pembelajaran selama
perjalanan, jati diri dan makna hidup bisa saja ditemukan. Tapi tidak hanya itu.
Bukan rahasia lagi jika perjalanan kadang menjadi alat sempurna untuk
menghapuskan beban hidup yang dialami seseorang. Dalam kebudayaan Barat, sebuah
perjalanan biasanya dilakukan saat seseorang berada dalam fase krisis kehidupannya
atau pun dalam masa transisi.
2
Theroux, Paul. 2011. The Tao of Travel : Enlightenments from Lives on The Road. New York:Houghton Mifflin Harcourt Publishing.
7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup
7/13
Misalkan, individu melakukan perjalanan setelah lulus kuliah dan sebelum
masuk ke dunia kerja. Perjalanan bisa dianggap sebagai sarana untuk menggapai
kemampuan yang dibutuhkan seseorang di dunia kerja nanti, misalkan kemampuan
menghadapi beragam situasi yang tentu bisa dipelajari lewat perjalanan. Mungkin juga
perjalanan dalam masa transisi ini diadakan karena kejenuhan atas masa kuliah, maka
untuk memberi waktu bagi diri sendiri untuk menikmati dirinya sebagai komoditi
pribadi, orang melakukan perjalanan. Buku dan film Into The Wild yang mengisahkan
perjalanan Christopher McCandless mungkin bisa menjelaskan hal tersebut.
Sementara tentang masa krisis dalam hidup, orang melakukan perjalanan setelah
mengalami cerai atau diputus pekerjaannya, misalnya. Dalam hal ini perjalanan
menemukan fungsinya sebagai tempat bagi individu untuk berpikir kembali akan
kehidupan yang telah dijalani, untuk merenungi apa yang sedang terjadi, dan
membayangkan apa yang akan dilakukan sepulangnya nanti. Hal itu tercermin dengan
jelas dalam kisah Elizabeth Gilbert dalam buku dan film berjudul Eat, Pray, Love. Oleh
karena itu, perjalanan dimaknai sebagai rite de passage, sebagaimana yang dikatakan
Erik Cohen dalam studinya tentang backpacking(dalam Richards 2004:52).
Untuk merenunginya dalam konteks yang lebih kita mungkin dapat dijelaskandengan fakta bahwa seringkali perjalanan yang dilakukan oleh orang-orang muda di
Indonesia dilakukan atas dasar-dasar seperti di atas. Seseorang yang baru kehilangan
orang tuanya merasa perlu untuk mencari arti hidup dalam keguncangan seperti itu
melalui perjalanan. Beberapa yang lain bosan dan muak dengan kehidupan kampus lalu
menyingkir beberapa waktu dan melakukan petualangannya. Terakhir, mungkin ini
contoh yang paling mudah dimengerti, seseorang melakukan perjalanan untuk
menghapus patah hatinya.
Semua alasan dan motivasi itu membuat orang merasa perlu untuk melarikan
diri sejenak dari kehidupan di masyarakat yang ditinggalinya. Sepulangnya, pada
umumnya perjalanan membuat orang menjadi pribadi yang lebih baru. Mereka lalu
menjalani rutinitas seperti biasa di kehidupannya dan pada suatu waktu mereka akan
kembali perlu meretas perjalanan lagi.
7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup
8/13
IV.Perjalanan sebagai gaya hidupDalam suasana urban, perjalanan bukan hanya berfungsi sebagai jalan keluar
untuk melarikan diri dari kesesakan dalam suasana itu. Formasi sosial masyarakatmodern perkotaan menghendaki perjalanan bertransformasi menjadi salah satu bentuk
gaya hidup. Perjalanan bukan lagi sekedar tentang kebutuhan untuk menyingkir sejenak
dari rutinitas.
Sebagai suatu gaya hidup yang dikonsumsi masyarakat, perjalanan mendapatkan
nama barunya. Masyarakat melabeli perjalanan sebagai gaya hidup dengan nama
traveling atau jalan-jalan. Traveling biasanya dilakukan seseorang pada waktu
luangnya. Aktivitas yang dilakukan pada waktu luang tersebut merupakan salah satu
aspek yang signifikan untuk menggambarkan gaya hidup seseorang.
Menurut Chaney (2009), gaya hidup merupakan ciri dari modernitas. Gaya
hidup digunakan masyarakat modern untuk menggambarkan tindakannya sendiri
maupun tindakan orang lain. Gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana seseorang
membentuk citra di mata orang lain. Dalam hal ini perjalanan tidak mempunyai urusan
dengan pencarian jati diri, makna hidup, atau eskapisme. Perjalanan adalah konsumsi
yang dilakukan orang untuk menempatkan dirinya dalam posisi sosial yang
diinginkannya dalam masyarakat.
Chaney juga menyebutkan bahwa perjalanan dalam masyarakat modern harus
dilihat sebagai salah satu aspek gaya hidup, yaitu aktivitas yang terhubung dengan
pilihan dan preferensi gaya hidup lainnya. Perjalanan telah menjadi gaya hidup karena
telah adanya kesadaran diri untuk menampilkan sesuatu yang konsisten dengan
cerminan kesadaran terhadap gaya hidup. Sedangkan, Chaik menyebutkan bahwa
perjalanan telah menjadi satu dengan leisure dan konsumsi kultural (dalam Bennett
2005:149).
Alih-alih menjadi ruang perenungan, gaya hidup jalan-jalan justru lebih
berhubungan pada sesuatu yang bersifat hura-hura semata. Ketika seseorang
menyatakan ingin jalan-jalan ke suatu tempat, maka akan mudah ditangkap bahwa
orang tersebut akan melakukan sesuatu yang menyenangkan dan memberinya kepuasan,
7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup
9/13
meski terkadang kesenangan itu didapat dengan cara yang susah, misalnya jalan-jalan
ala backpacker.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, belakangan ini istilah traveling sedangmarak. Perkembangan jaman beserta perkembangan lain semisal teknologi informasi,
transportasi, dan sebagainya menjadi pendorong kemunculan gaya hidup tersebut.
Ramai-ramai masyarakat mengonsumsinya demi kepentingan untuk mendapatkan atau
mempertahankan posisi sosial yang ingin ditempatinya.
Sebuah artikel di situs National Geographic Indonesia diawali dengan kalimat
jalan-jalan bukan lagi dianggap pemborosan, tapi sebuah pemenuhan gaya hidup.3
Artikel itu menjelaskan bahwa jalan-jalan menunjukkan pernyataan pencapaian
seseorang. Dalam hal ini jalan-jalan mengandung dimensi kelas, seseorang melakukan
perjalanan untuk bisa masuk ke kelas tertentu. Tapi pernyataan melalui jalan-jalan
tidak hanya soal kelas sosial, tapi juga mengandung makna sosial lainnya.
Menjadi keren, menjadi penganut setia tren
Mengapa masyarakat semakin banyak yang melakukan aktivitas gaya hidup
jalan-jalan mengundang kecurigaan. Perjalanan memiliki makna yang dapat dipamerkan
sebagai bagian identitas diri seseorang. Individu yang melakukan traveling
mendapatkan kesan-kesan tertentu yang melekat pada dirinya, sebut saja salah satunya
berkesan keren. Bagi laki-laki, berjalan menyandang ransel dengan wajah tertampar
matahari memang terkesan macho. Sedangkan untuk perempuan, menjadi traveler
pasti juga menimbulkan kesan-kesan tertentu yang diharapkan akan melekat padanya.
Sekali lagi situasi sosial yang ada mau tak mau membuat traveling menjadi
sebuah tren yang diikuti. Sebutlah keberadaan media sosial sebagai salah satunya.
Dengan Facebook dan Twitter, kemudahan-kemudahan yang tidak ada pada masa
sebelumnya menjadi mungkin tercipta. Dalam hal jalan-jalan, media sosial
3Christiantiowati. Gaya Jajan dan Pelesir Menunjukkan Pernyataan.
http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/10/gaya-jajan-dan-pelesir-menunjukkan-pernyataan. Diaksespada 4 November 2012, 22.00 WIB
7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup
10/13
menghadirkan kecepatan dan ketepatan informasi yang murah dan juga menyediakan
promosi-promosi jalan-jalan yang bisa dibeli oleh penikmatnya.
Tak hanya itu, media sosial menguatkan kecurigaan bahwa orang-orangmelakukan traveling hanya atas nama kekerenan. Memasang profile picture dengan
latar belakang bangunan ikonik di luar negeri, di bibir pantai yang cantik, maupun di
puncak gunung tentu mewujudkan hasrat narsistik yang dipunyai hampir setiap orang.
Menyebartwitpic suatu lokasi wisata, memasang status difoursquare saat sedang jalan-
jalan, men-tweetinformasi sedang berada di suatu tempat yang indah, memamer foto di
Instagram, semuanya menjadikan jalan-jalan menjadi semakin terkenal, massal,
sekaligus banal.
Seiring dengan aktualisasi diri sebagai traveler melalui media sosial, orang-
orang lalu berlomba-lomba untuk melakukan perjalanan-perjalanan, memotret diri
sendiri, dan memasangnya di dunia maya agar semua orang tahu bahwa dirinya pernah
ke tempat A dibanding orang lain yang hanya ke tempat B. Jadilah perjalanan menjadi
semacam kompetisi teselubung. Bukankah masyarakat urban identik dengan kompetisi?
Terseret arus budaya massa?
Untuk mempertanyakan ulang mengenai praktik gaya hidup jalan-jalan,
konsepsi tentang budaya massa tampaknya patut untuk dicermati. Budaya massa lahir
dari industri budaya yang merupakan struktur rasional dan birokratis, misalnya televisi,
yang mengontrol kehidupan modern. Budaya massa sendiri dianggap bukan real thing
dan lebih dimaknai sebagai budaya yang diberikan, tidak spontan, tereifikasi, dan palsu.
Para pemikir teori kritis mengkhawatirkan dua hal tentang budaya massa. Pertama,
kebohongannya yang berisi seperangkat ide yang telah disiapkan dan kemudian
disebarkan secara masif ke massa melalui media massa. Kedua, efeknya kepada
masyarakat yang seolah menenangkan, represif, dan memesona (Ritzer 2008:147).
Budaya massa ini erat kaitannya dengan upaya kapitalisme untuk menghimpun massa
agar terseret arusnya.
7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup
11/13
Mengenai traveling dewasa ini di Indonesia, siapa yang memungkiri bahwa
salah satu yang mempengaruhi perkembangannya adalah kehadiran acara-acara televisi
bertemakan perjalanan dan semacamnya? Siapa pula yang tak setuju bahwa hal tersebut
dipengaruhi keberadaan buku-buku tentang travelingyang hari demi hari makin banyak
di toko buku? Teks televisi maupun buku-buku perjalanan secara sadar maupun tidak
sadar membangun hasrat untuk jalan-jalan pada masyarakat. Simbol-simbol traveling
yang ditangkap dari acara televisi maupun buku perjalanan itu mempengaruhi pula gaya
masing-masing orang dalam berpergian.
Dalam penelitian tentang backpacking yang pernah dilakukan penulis, yang
berjudul Mempertanyakan Backpacking dan Backpacker: Studi Mengenai Sebuah
Gaya Perjalanan (Pakan, 2012) seorang informan mengakui bahwa salah satu hal yang
mendorongnya menjadi seorang backpacker (atau dia menyebut dirinya sendiri
independent traveler) adalah buku tentang perjalanan yang memang menjadi hits
berjudul The Naked Traveler. Selain itu, informan mengakui bahwa maraknya
fenomena travelingdi Indonesia salah satunya disebabkan banyaknya program televisi
bertema wisata. Tak hanya dua hal itu, semakin bertambahnya majalah atau tabloid
tentang perjalanan kemungkinan juga memegang andil dalam maraknya jalan-jalan
belakangan ini.
Jalan-jalan sebagai budaya massa memberi kesan yang dangkal bagi
pelakunya karena mereka terseret arus untuk mengkonsumsi yang memang telah
disusun sedemikian rupa oleh struktur kapitalisme dan kemudian disebarkan ke
masyarakat melalui media massa yang bermacam rupa. Masyarakat terbawa kesadaran
palsu untuk mempraktikkan gaya hidup jalan-jalan sebagai bagian hidupnya,
menganggapnya keren, trendi, dan sebagainya. Dalam hal ini yang tersenyum adalahpara kapitalis itu.
Budaya massa memang menjadikan masyarakat banyak sebagai makhluk yang
mau tak mau terperangah dan terpesona oleh suatu produk budaya, yaitu gaya hidup
jalan-jalan tersebut. Dengan menonton televisi dan membaca buku atau majalah
masyarakat secara tak sadar dipengaruhi keinginan untuk melakukan perjalanan dan
lambat laun mengubahnya menjadi sebuah kebutuhan yang harus dilakukan demi
7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup
12/13
mencapai posisi sosial di masyarakat atau memperoleh identitas diri yang terkesan
keren dan trendi.
V. PenutupPerjalanan dalam masyarakat modern mengambil tempat dalam rupa eskapisme
dan gaya hidup. Keduanya merupakan saluran yang berbeda bentuk dan nilai. Meski
begitu, keduanya bisa saja berjalan beriringan dan tak saling lepas. Individu atau
kelompok bukan tidak mungkin meresapi perjalanan yang dilakukannya sebagai
konsumsi gaya hidup sekaligus upaya melarikan diri.
Eskapisme dari kesemrawutan sekaligus kehampaan kehidupan sosial menuntun
orang untuk keluar darinya dan melakukan perjalanan ke latar-latar sosial lainnya.
Disini perjalanan bukan sekedar hobi yang dilakukan pada waktu luang. Perjalanan
adalah keperluan yang tidak terlalu mendesak tapi berarti penting untuk dilakukan.
Dalam proses escaping tersebut, masyarakat sekaligus melakukan pencarian terhadap
jati diri, makna kehidupan, atau menjalani rite de passage dalam hidupnya.
Sementara itu, gaya hidup jalan-jalan merupakan komponen integral dalam
tatanan sosial modern. Konsumsi lifestyle tersebut menyangkut kepentingan untuk
menempatkan diri di posisi sosial tertentu. Selain itu, status sosial dan identitas diri
yang digapai melalui gaya hidup jalan-jalan pun menjadi salah satu bahan pertimbangan
masyarakat untuk mengonsumsinya secara masif. Meski begitu, masyarakat harus mulai
memikirkan kembali untuk menyadari bahwa gaya hidup yang mereka beli itu
mungkin saja merupakan skenario yang telah disusun suprastruktur tertentu yang
mengontrol kehidupan modern dan menjadikan praktik gaya hidup masyarakat sebagai
budaya massa.
Akhirnya, penting rasanya untuk berulang kali mempertanyakan kembali makna
perjalanan dalam modernitas yang tiap hari digeluti. Kesadaran untuk memahaminya
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan akan menuntun dalam pencarian
esensi dari perjalanan di setiap jaman.
7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup
13/13
Daftar Acuan
Buku
Bennett, Andy. 2005. Culture and Everyday Life. London: Sage Publications.
Chaney, David. 2009. Gaya Hidup (Lifestyle): Sebuah Pengantar Komprehensif.
Yogyakarta: Jalasutra.
Richards, Greg dan Wilson, Julie. 2004. The Global Nomad: Backpacker Travel in
Theory and Practice. Clevedon: Channel View Publications.
Ritzer, George. 2008.Modern Sociological Theory. New York: McGraw-Hill.
Theroux, Paul. 2011. The Tao of Travel : Enlightenments from Lives on The Road. New
York: Houghton Mifflin Harcourt Publishing.
Sumber internet
Christiantiowati. Gaya Jajan dan Pelesir Menunjukkan Pernyataan.
http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/10/gaya-jajan-dan-pelesir-menunjukkan-
pernyataan. Diakses pada 4 November 2012, 22.00 WIB
Makalah
Pakan, Sarani. 2012. Mempertanyakan Backpacking dan Backpacker: Studi Mengenai
Sebuah Gaya Perjalanan. Makalah Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial Kualitatif.