Post on 04-Mar-2019
IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian
4.1.1 Desa Sidajaya
Desa Sidajaya berada di wilayah Kecamatan Cipunagara Kabupaten
Subang Provinsi Jawa Barat. Jumlah penduduk sebanyak 6.457 orang. Batas-
batas administratif Desa Sidajaya, Utara berbatasan dengan Desa Tumaritis
Kecamatan Haurgeulis, Barat berbatasan dengan Desa Tanjung Sidamulya
Kecamatan Cipunagara, Selatan berbatasan dengan Desa Sumur Barang
Kecamatan Cibogo dan Timur yang berbatasan dengan Desa Balaraja Kecamatan
Gantar. Berdasarkan topografi wilayah, Desa Sidajaya merupakan daerah dataran
rendah dengan ketinggian 70 m di atas permukaan laut. Lokasi dengan suhu yang
cukup tinggi dengan suhu harian berkisar 28-300 C. Total Luas wilayah Desa
Sidajaya seluas 1.292.430 Ha. Penggunaan lahan di wilayah ini masih didominasi
oleh lahan pertanian berupa sawah dengan luas sekitar 459.000 Ha, lahan
perkebunan negara yaitu kebun tebu seluas 280.000 Ha dan luas permukiman
sekitar 92.320 Ha.
4.1.2 Profil Kelompok Peternak Jambu Raharja
Kelompok Jambu Raharja di bentuk pada tanggal 7 September 2010 yang
beralamat di Kp. Jambu Desa Sidajaya Kecamatan Cipunagara Kabupaten
Subang, Jawa Barat. Sesuai dengan SK Kepala Desa Sidajaya No.
148.1/03/IX/2010 bahwa statuskelompok ini merupakan kelas lanjut. Ketua dari
kelompok Jambu Raharja adalah Karna Wijaya, Sekretaris oleh Armin, dan
Bendahara dipegang oleh Kartini. Adapun bidang seksi lain yaitu seksi Produksi
oleh Sarja, seksi pemasaran dipegang oleh Warid seksi kesehatan oleh Juki
dengan total anggota berjumlah 25 orang.
Secara legalitas kelompok ini sudah diakui dan memiliki struktur
organisasi yang jelas hanya saja kelompok ini belum memiliki lahan
46 perkandangan dan sekretariat khusus, sehingga ternak sapi setiap anggota
dipelihara di kandang pemiliknya masing-masing. Penghargaan yang pernah
diperoleh kelompok ini yaitu Juara III Lomba Kelompok Agribisnis Peternakan
Kategori Ternak Sapi Potong Tahun 2015 tingkat Kabupaten Subang. Berikut
adalah rincian jumlah populasi ternak sapi Peranakan Ongole di Kelompok Jambu
Raharja di Desa Sidajaya;
Tabel 8. Populasi Ternak Sapi Peranakan Ongole di Kelompok Jambu Raharja di Desa Sidajaya
Kelompok umur
Umur Jumlah ternak (ekor)
Jumlah berdasar jenis kelamin
Betina (ekor) Jantan (ekor) Pedet 0-6 bulan 5 4 1 Lepas sapih 7-12 bulan 4 3 1 Dara/muda 13-24 bulan 29 28 1 Dewasa > 24 bulan 12 12 Total 50 47 3
4.2 Karakteristik Responden
4.2.1 Usia
Data hasil penelitian memperlihatkan bahwa usia peternak berkisar antara
30-60 tahun. Berikut usia peternak disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
No. Selang Usia (tahun) N % 1 30-39 4 16 2 40-49 7 28 3 50-59 8 32 4 60-69 6 24
Total 25 100
Berdasarkan Tabel 9. terlihat bahwa usia peternak berkisar antara 19-59
tahun dengan usia termuda 30 tahun dan tertua 65 tahun. Persentase terbesar usia
peternak kelompok Jambu Raharja berada pada selang usia 50-59 tahun dan
urutan terbesar kedua yaitu selang 40-49 tahun.Hal ini berarti sebagian besar
47 peternak masih berada dalam usia produktif dan sebagian lainnya sudah tidak
termasuk dalam usia produktif. Peternak dengan usia produktif cenderung lebih
giat mencari informasi, memiliki fisik yang relatif kuat dan akan berpengaruh
positif terhadap pengembangan usaha sapi potongnya. Sedangkan bagi sebagian
peternak yang tidak termasuk dalam usia produktif lagi kemampuannya
cenderung menurun, hal inilah yang menyebabkan pengembangan usaha akan
berjalan lambat dan pemeliharaan yang masih dilakukan secara tradisional.
Sehingga faktor usia menjadi suatu indikator yang perlu diperhatikan karena akan
mempengaruhi pola pikir dan kemampuan individu.
4.2.2 Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian
Pendidikan sangat penting bagi manusia untuk mengembangkan
kemampuan dan kepribadian individu.Rincian pendidikan formal peternak
disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan MataPencaharian
No. Identitas Peternak N % 1 Pendidikan Formal Tidak sekolah 12 48 SD 10 40 SMP 1 4 SMA 2 8 S1 - - 2 Pekerjaan Utama Petani 22 88 Peternak 3 12 3 Pekerjaan Sampingan Peternak 21 84 Lain-lain 4 16
Berdasarkan Tabel 10.tingkat pendidikan formal yang dicapai peternak
sebagian besar adalah Sekolah Dasar (SD). Peternak anggota kelompok Jambu
Raharja sebagian besar tidak menempuh pendidikan sebanyak 12 orang, peternak
48 yang berpendidikan hingga tingkat SD sebanyak 10 orang dengan rata-rata usia 41
tahun dan sekolah menengah rata-rata berusia 37 tahun. Tingkat pendidikan
peternak ini tergolongmasih rendah. Seperti yang dikemukakan oleh Hoda (2015)
bahwa, pendidikan formal merupakan indikator awal yang dapat digunakan untuk
mengetahui kemampuan peternak dalam mengadopsi informasi dan inovasi baru,
sebab tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan pola pikir dan
cara mengatasi masalah yang terjadi. Peningkatan pengetahuan peternak dapat
dilakukan melalui pendidikan informal seperti pelatihan-pelatihan.
Mata pencaharianutama respondensebesar 88% sebagai petani,hal ini
karena dengan tingkat pendidikan yang masih rendah masyarakat menyadari di
zaman sekarang ini akan sulit mendapatkan pekerjaan, kurangnya lapangan
pekerjaan, lokasi yang sulit dijangkau menuju perkotaan, sehingga masyarakat
lebih memilih menjadi petani karena lahan persawahan yang tersedia sangat luas.
Sebesar 12% pekerjaan utama respondensebagai peternak, mereka mengandalkan
pendapatan dari hasil penjualan ternak, selebihnya mereka melakukan pekerjaan
serabutan untuk mencukupi kebutuhan lainnya. Usaha peternakan mayoritas
dijadikan sebagai usaha sampingan responden memiliki persentase sebasar 84%,
hal ini karena ternak yang dipelihara hanya dijadikan sebagai tabungan jangka
panjang bila sewaktu-waktu ada kebutuhan yang mendesak.
4.2.3 Pengalaman Beternak dan Jumlah Kepemilikan Sapi Potong
Bagi pelaku usaha peternakan sapi potong skala rumah tangga jumlah
kepemilikan ternak cenderung masih sedikit. Peternak di Desa Sidajaya banyak
memelihara sapi betina jenis Peranakan Ongole adapula yang memelihara sapi
simental dan limousin hasil persilangan dengan PO. Rincian mengenai
pengalaman beternak dan jumlah kepemilikan sapi potong disajikan pada Tabel 11
dan 12.
49
Tabel 11. Karakteristik Reponden Berdasarkan Pengalaman Beternak
Pengalaman Beternak n %
< 5 tahun 8 32 ≥ 5 tahun 17 68
Berdasarkan data Tabel 11. Para peternak memiliki pengalaman beternak
yang beragam yaitu 8orang memiliki pengalaman berternak dibawah 5 tahun dan
17 peternak lebih dari lima tahun.Pengalaman dalam usaha beternak akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan dan keterampilan peternakpeternak secara
teknis terutama dalam penanganan ternak, sehingga hal ini menjadi faktor
pendukung dalam mengembangkan usahanya.Bekal pengetahuan mengenai cara
beternak umumnya diperoleh secara turun temurun dan di dukung oleh
pengalaman peternak dalam mengikuti pelatihan dan penyuluhan.
Tabel 12. Karakteristik Reponden Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Sapi Potong
Jumlah kepemilikan sapi
Berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin
n (orang ) %
1 ekor
Pedet Betina 4 16 Jantan 1 4
Muda Betina 5 20 Jantan 2 8
Dewasa Betina 13 52 Jantan - -
2 ekor
Pedet Betina - - Jantan - -
Muda Betina - - Jantan - -
Dewasa Betina 11 44 Jantan - -
3 ekor Pedet Betina - - Jantan - -
Muda Betina - - Jantan - -
Dewasa Betina 1 4 Jantan - -
50
Jumlah kepemilikan sapi potong pada Tabel 12. menunjukkan mayoritas
peternak hanya mempunyai satu ekor sapi dengan persentase tertinggi yaitu 52%.
Hal ini disebabkan karena tujuan usaha ternak yang hanya sebagai tabungan masa
depan dan ketidakmampuan peternak secara finansial untuk menambah jumlah
populasi yang dipelihara. Alasan lainnya adalah tujuan pemeliharaan sebagai
penghasil sapi bakalan karena setelah pedet lahir peternak akan menjualnya untuk
menutupi kebutuhankeluarga sehinggapeternak hanya mempertahankan induk
untuk dipelihara hingga mencapai usia afkir.
4.3 Penerapan Good Breeding Practice
Good Breeding Practice(GBP) terdiri dari enam aspek, yaitu sarana dan
prasarana, cara pembibitan, kesehatan ternak, pelestarian fungsi lingkungan
hidup,sumber daya manusia serta pembinaan dan pengawasan. Penerapan GBP
dan prioritas penerapan GBP oleh peternak anggota kelompok Jambu Raharja
disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Rata-rata Persentase dan Prioritas Penerapan Aspek Good Breeding Practicedi Kelompok Ternak Jambu Raharja
No Aspek Good Breeding Practice Rata-rata Nilai (%)
Ranking
1 Sarana dan prasarana 8,66 4 2 Cara pembibitan 12,01 1 3 Kesehatan ternak 11,41 2 4 Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup 7,04 5 5 SDM 6,83 6 6 Pembinaan dan pengawasan 9,06 3 Total 55,00
Berdasarkan Tabel 14, rata-rata persentase penerapan seluruh aspek GBP
oleh anggota kelompok Jambu Raharja sebesar 55,00%. Angka tersebut
menunjukkan bahwa penerapan tata laksana peternakan yang mengacu pada
Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik terbilang rendah, terdapat beberapa
aspek yang belum dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam pedoman tersebut,
51 kelompok ini masih berada pada tahap pengembangan sehingga berpotensi untuk
dapat meningkatkan kualitas dan perbaikan – perbaikan secara bertahap.
Berdasarkan hasil perhitungan perbandingan berpasangan terhadap aspek-
aspek GBP yang menggunakan metode AHP didapatkan urutan prioritas
penerapan aspek-aspek GBP oleh peternak diperoleh bahwa aspek cara
pembibitanmenempati urutan pertama sebagai prioritas utama dalam penerapan
GBP oleh peternak di kelompok Jambu Raharja. Hal ini karena, secara umum di
dominasi oleh pengetahuan dan pemahaman peternak yang sudah sangat baik
mengenai seleksi, perkawinan dan reproduksi sebagai bagian dalam aspek cara
pembibitan. Pengetahuan mengenai poin-poin penting pada aspek cara pembibitan
merupakan dasar dalam penerapan tatalaksana pembibitan. Pengetahuan tersebut
diperoleh peternak dari pengalaman beternak, penyuluhan, dan peran inseminator.
Prioritas kedua adalah aspek kesehatan ternak perbedaan antara nilai
eigenvektor aspek cara pembibitan dan kesehatan ternak hanya berbeda sedikit.
Hal ini berarti peternak menganggap kedua aspek tersebut memiliki tingkat
kepentingan yang sama dan hampir mendapat urutan prioritas yang sama. Sebagai
prioritas kedua tingkat pengetahuan peternak tentang kesehatan ternak relatif baik
diduga karena secara nalurinya peternak mampu membedakan tanda-tanda ternak
sehat dan sakit. Peternak pun secara tidak langsung rutin memeriksa kondisi
ternak. Selain itu, adanya peran serta dokter hewan dan paramedis yang selalu
melayani dan menangani bila adanya panggilan dari peternak.
Prioritas ketiga adalah aspek pembinaan dan pengawasan hal ini
ditunjukkan olehperan serta petugas Dinas Peternakan setempat yang sudah cukup
aktif dalam hal membina dan mengawasi terkait pengembangan peternakan
berkelanjutan di wilayah tersebut. Aspek keempat adalah sarana
prasarana,fasilitas yangdimiliki setiap peternak masih sangat terbatas dengan
perlengkapan yang sederhana. Aspek kelima adalah pelestarian fungsi lingkungan
hidup diduga karena fokus utama peternak adalah meningkatkan produksi dengan
hanya memperhatikan aspek-aspek teknis dan masih sedikit kesadaran peternak
dalam hal penanganan dan pengolahan limbah agar lebih bermanfaat. Sumber
52 daya manusia mendapatkan peringkat terakhir, hal ini disebabkan karena rata-rata
usia peternak yaitu 50-55 tahun dengan tingkat pendidikan formal terbilang
rendah sehingga dalam hal penyerapan inovasi, kemampuan dan keterampilan
peternak yang semakin berkurang yang berdampak pada lambatnya
pengembangan dan perbaikan usaha ternak. Rincian pembahasan mengenai
masing-masing aspek dan sub aspek akan di bahas pada sub bab berikut.
4.3.1. Aspek Sarana Prasarana
Sarana dan prasarana menjadi aspek utama yang di bahas dalam Pedoman
Pembibitan Sapi Potong yang Baik, karena menjadi faktor utama yang perlu
diperhatikan sebelum memulai untuk menjalankan usaha peternakan sapi potong.
Berdasarkan data hasil penelitian rata-rata penerapan aspek sarana dan prasarana
anggota peternak di kelompok Jambu Raharja sebesar 44,61%nilai ini terbilang
rendah, diduga karena pemenuhan yang berkaitan dengan sarana dan prasarana
belum sesuai. Rincian penerapan GBP aspek sarana dan prasarana yang
dijalankan oleh peternak disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Rata-Rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice AspekSarana Prasarana
No Sub Aspek Sarana Prasarana Penerapan kelompok
1 Kesesuaian dan ketersediaan bibit berdasarkan persyaratan mutu
37,04
2 Ketersediaan prasarana dalam mendukung kegiatan pembibitan 69,17 3 Kelengkapan sarana dan alat penunjang lain dalam usaha
peternakan 46,59
4 Ketersediaan sumber pakan, air dan energi dengan jumlah cukup
42,49
5 Ketersediaan obat hewan sesuai peraturan perundang-undangan 27,78 Rata-rata 44,61
Berdasarkan data Tabel 14. menunjukkan persentase kesesuaian dan
ketersediaan bibit berdasarkan persyaratan mutu sebesar 37,04 %. Angka yang
terbilang rendah ini disebabkan karena ternak yang dihasilkan dari usaha
53 pembibitan yang dijalankan peternak belum berorientasi untuk menghasilkan bibit
sesuai standar dan bersertifikasi. Di samping itu, peternak di Desa Sidajaya ini
masih banyak yang melakukan persilangan dengan jenis lain, diantaranya
disilangkan dengan sapi Limousin dan Simental. Penyediaan indukan sapi lokal
di kawasan ini sebenarnya sudah tersebar luas dan berada dalam pengawasan
dinas setempat, hanya saja teknis pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak
yang terkadang belum sesuai dengan syarat pembibitan sebagaimana mestinya.
Hal ini dipengaruhi oleh kondisi budaya, pengetahuan, kemampuan ekonomi dan
tujuan pemeliharaan yang diterapkan oleh peternak, karena usaha yang dijalankan
peternak skala rumah tanggasecara umum hanya sekedar sebagai usaha
sampingan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ketut (2005) yang
menyatakan usaha ternak sapi pada umumnya masih dipelihara sebagai usaha
sampingan dimana tujuannya sebagai tabungan.
Lebih lanjut data Tabel 15menunjukan persentase ketersediaan prasarana
dalam mendukung usaha pembibitan di lokasi penelitian sebesar 69,17%. Nilai
ini sudah cukup baik diduga karena di dukung oleh kondisi wilayah yang
menunjang. Menurut Santosa (2005), dalam hal pemilihan lokasi untuk usaha
peternakan sapi potong perlu memperhatikan letak topografi dan geografi,
ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan bahan pakan, sumber air, transpotasi dan
ketersediaan pedet bakalan untuk menunjang keberlangsungan usaha ternak.
Komponen fisik lingkungan menjadi penting karena dapat memepengaruhi
produksi dan performan seekor ternak secara langsung maupun tidak
langsungdiantaranya; suhu, kelembaban, curah hujan, tiupan angi dan intensitas
cahaya Sutedjo (2011). Reksohadiprojo (1984)menambahkan suhu yang sesuai
bagi kehidupan ternak di daerah tropik adalah 10-270 C (50-800 F) sedangkan
ternak di daerah sub tropik pada temperatur 30-600 F dengan kelembaban rendah.
Sapi PO dikenal sebagai sapi pedaging dan pekerja yang mampu bertahan
pada suhu tinggi dan cocok dipelihara di daerah dataran rendah. Suhu yang sesuai
bagi kehidupan ternak di daerah tropik adalah 10-280 C atau 50-800 F
(Reksohadiprojo, 1984). Kondisi lingkungan di lokasi penelitian memiliki suhu
54 rata-rata 280 Cdan merupakan daerah dataran rendah. Suhu tersebut berada pada
kisaran suhu nyaman untuk berproduksi, namun di saat datangnyamusim kemarau
suhu akan meningkat mencapai 300 C, hal ini akan memicu terjadinya stres panas
dan akan berpengaruh negatif terhadap produktivitas.Daya dukung prasarana lain
adalah adanya fasilitas poskeswanas, rumah potong hewan (RPH), ketersediaan
lahan dan sumber hijauan yang cukup melimpah. Namun, akses lokasi kelompok
Jambu Raharja sulit dijangkau menuju jalan utama karena jarak antar desa yang
cukup jauh, fasilitas pendukung berupa poskeswanas yang belum termanfaatkan
secara optimal sehingga ketersedian obat ternak pun terbatas.
Persentase ketersediaan sumber pakan, air dan energi sebesar 42,49%.
Sumber energi yang tersedia seperti listrik untuk penerangan sudah cukup tersedia
sesuai kebutuhan namun, sumber air dan hijauan di lokasi ini sering mengalami
kekurangan saat musim kemarau datang. Ketersediaan obat hewan sesuai
persyaratan hanya sebesar 27,78% hal ini dikarenakan poskeswanas yang tersedia
belum memadai, sulit di jangkau dan harga obat yang relatif tinggi, sehingga
masih sedikit peternak yang membeli obat ke poskeswanas mereka membeli
hanya karena bila terjadi penyakit yang serius. Selain itu, persediaan obat
bukanlah bertambah tetapi justru berkurang, karena sedikit orang yang membeli
sehingga obat menjadi kadaluarsa.
Ketersediaan sarana dan alat penunjang lain pada Tabel 14. sebesar
46,59%. Hal ini terlihat dari sarana produksi berupa kandangdan peralatan yang
dimiliki belum lengkap seperti tidak adanya kandang isolasi, tempat minum, dan
tempat pengolahan limbah. Kondisi kandang yang dimiliki peternak pada
umumnya belum memenuhi standar dan dibangun pada lahan samping atau
belakang rumah. Letak kandang dekat dibangun dilahan samping dan belakang
rumah. Kondisi tersebut bertentangan dengan pernyataan Siregar (2003) bahwa
dalam penentuan lokasi kandang syaratnya tidak berdekatan dengan pemukiman
penduduk dan sekurang-kurangnya berjaraj 10 meter dari pemukiman,
pembuangan limbah tersalurkan, persediaan air cukup dan jauh dari
55 keramaian.Rincian mengenai kondisi perkandangan dan kelengkapan sarana
peternakan disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Kondisi Perkandangan dan Kelengkapan Sarana Peternakan di Kelompok Jambu Raharja
No Kelengkapan sarana peternakan Jumlah 1 Sistem perkandangan Trdisional 64% Semi permanen 36% 2 Kandang isolasi Ada 36% Tidak ada 64% 3 Tempat pakan Ada 100% Tidak ada 0% 4 Tempat minum Ada 0% Tidak ada 100% 5 Gudang pakan Ada 80% Tidak ada 20% 6 Gudang peralatan Ada 48% Tidak ada 52% 7 Tempat pengolahan limbah Ada 16% Tidak ada 84%
Kontruksi kandang secara umum masih tradisional dengan alas lantai
berupa tanah, bambu dan kayu, dinding kandang terbuka, hanya beberapa
peternak yang sudah membangun kandang dengan semi tradisional. Ukuran
kandang bergantung pada jumlah sapi yang dimiliki. Luas kandangternak yang
dimiliki peternak diantaranya 6-10 m2 (10 peternak) dan ≥10m2 (15peternak).
Terdapat pula kandang berbentuk kandang koloni, dimana sapi ditempatkan
padasatu kandang secara berkelompok. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan
peternak dalam memelihara dan melakukan pengawasan terhadap ternaknya.
56 Adapun yang berbentuk kandang individu hal ini sependapat dengan Rasyid dan
Hartati (2007) yaitu untuk mempermudah pengamatan terhadap aktivitas
reproduksinya terutama saat birahi untuk keberhasilan perkawinannya.
Berdasarkan data pada tabel 16, hanya sekitar 36% yang memiliki
kandang isolasi, 48% mempunyai gudang peralatan dan 16% yang mempunyai
tempat pengolahan limbah. Peternak tidak memiliki kandang isolasi maka dari itu
sapi yang sakit disatu kandangkan dengan sapi yang sehat. Hal ini terjadi akibat
terbatasnya lahan dan miniminya pengetahuan mengenai tindakan isolasi. Seluruh
peternak menyediakan tempat pakan namun tidak dengan tempat minum bagi
ternak, minum diberikan hanya menggunakan ember.Peternak hanya memberikan
air minum dalam sehari hanya 2-3 kali dalam ember kecil, jumlah ini dirasa sangat
kurang karena sebaiknya air minum disediakan secara ad libitum (Ditjenak, 2014).
Gudang pakan yang dimiliki responden sebesar 80%, sebagian besar
peternak menyimpan persedian pakan di area dekat kandang, peternak tidak
memiliki bangunan khusus yang diperuntukan untuk gudang pakan. Area
penyimpanan persediaan pakan tersebut memiliki ventilasi yang baik sehingga
dapat mencegah pertumbuhan jamur. Lain halnya dengan tempat untuk
menyimpan peralatan, peternak yang memiliki gudang khusus menyimpan
peralatan hanya sebesar 48%, selebihnya peternak tidak memperhatikan hal
tersebut karena peralatan yang dimiliki adalah peralatan sederhana yang sering
digunakan sehari-hari dalam mengelola kandang.Hal ini belum sesuaidengan
Direktorat Jenderal Peternakan (2014) yang menyebutkan bahwa peralatan
penunjang lain yang perlu disediakan diantaranya tempat pakan, tempat minum,
alat kebersihan, pemotong rumput, pita dan tongkat ukur, eartag dan buku
pencatatan ternak.
4.3.2. Aspek Cara Pembibitan
Keberhasilan menjalankan usaha pembibitan sangat ditunjang oleh
kemampuan pengelolaan aspek cara pembibitan secara teknis yang bersifat
praktis. Keahlian dan keterampilan peternak merupakan perangkat lunak yang
57 sangat diperlukan untuk dikuasai. Serangkaian kegiatan dalam cara pembibitan
merupakan kesatuan teknis yang saling berkaitan untuk dapat menghasilkan
ternak yang sesuai dengan harapan.Penerapan GBP aspek cara pembibitan yang
dijalankan oleh peternak disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Rata-Rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice
Aspek Cara Pembibitan No. Sub Aspek Cara Pembibitan Penerapan
Kelompok 1 Cara pemilihan bibit (seleksi) 75,52 2 Cara pemberian pakan dan menjamin kebutuhan pakan dan air 77,01 3 Manajemen pemeliharaan terhadap ternak berdasarkan
kelompok umur 65,76
4 Teknis pembibitan (perkawinan dan manajemen reproduksi) 81,94 Rata-rata 75,06
Berdasarkan Tabel 16. menunjukan bahwa peternak mengetahui cara
pemilihan bibit dengan baik dengan persenatse sebesar 75,52%. Pengetahuan
tersebut didapatkan peternak berdasarkan pengalaman secara turun temurun dan di
dukung dengan sumber informasi dari beberapa pelatihan dan penyuluhan kepada
peternak. Seluruh peternak memperoleh rumput dengan cara menyabit sendiri.
Pada musim kemarau kerap kali peternak mengalami kekurangan hijauan dan
mensubstitusinya dengan limbah pertanian seperti daun jagung dan daun tebu.
Sebesar 77,01 % peternak menjamin kebutuhan pakan dan air baik secara
kuantitas ataupun kualitas. Air yang digunakan untuk minum sapi berasal dari
sumber yang bersih sehinggaair tidak berbau, berasa, dan berwarna.
Peternak memberikan pakan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore
dengan total pemberian rata-rata 50-60 kg per hari. Jenis pakan yang diberikan
mayoritas adalah jerami padi secara langsung tanpa dipotong-potong dahulu
ataupun melakukan pengawetan hijauan. Jenis pakan lain yang diberikan adalah
daun tebu, jerami jagung, rumput lapangan. Seluruh peternak dalam penelitian ini
tidak memberikan konsentrat pada pakan ternak karena masih sulit didapatkan.
58
Pakan tambahan yang sering diberikan peternak antara lain adalah dedak
padi. Dedak padi merupakan hasil ikutanpengolahan padi (Oriza sativa) menjadi
berasyang sebagian besar terdiri dari lapisan kulit ari. Hasil analisa di
Laboratorium Loka Penelitian Sapi Potong (2003) menunjukan kandungan nutrisi
di dalam dedak padi adalah proteinkasar (PK) sebesar 7,85%; lemak kasar
(LK)sebesar 9,10% dan serat kasar (SK) sebesar 16,75%. Hal ini cukup untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi sapi dan terjangkau oleh peternak untuk
membelinya.
Dedak diberikan rata-rata 1-4 kg per hari yang dicampurkan dalam pakan
untuk seluruh populasi yang ada.Pemberian minum pada ternak dirasa sangat
kurang karena hanya diberikan dua ember (± 50 liter) dalam satu hari.Kualitas dan
kuantitas pakan masih perlu diperbaiki karena bila manajemen dan pemenuhan
kebutuhan pakan masih belum sesuai hal ini akan mempengaruhi aktivitas
reproduksi ternak. Hal ini sependapat dengan Toelihere (1983) bahwa aktivitas
reproduksi dan jarak beranak 95% dipengaruhi oleh fator non genetik dan
lingkungan, mencakup tatalaksana pakan dan kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa peternak menerapkan
sistem pemeliharaan secara intensif, peternak yang mencari sendiri pakan untuk
ternak sambil melakukan pekerjaan utamanya sebagai petani. Teknis
pemeliharaan ternak berdasarkan kelompok umur sebesar 65,76%. Angka
menunjukkan bahwa penerapan berdasarkan pedoman termasuk dalam kategori
sedang disebabkan karena pedet yang dipelihara disatukan dengan induk hingga
umur lebih dari satu tahun, hal ini belum sesuai dengan Pedoman Pembibitan Sapi
Potong (Ditjenak, 2014) bahwa sebaiknya pedet dibiarkan bersama dengan induk
hingga usia lepas sapih yaitu 205 hari. Selain itu, karena mayoritas peternak tidak
memiliki kandang isolasi sehingga penanganan terhadap ternak sakit dan
melahirkan masih dilakukan dengan cara sederhana di dalam kandang tersebut.
Proses kawin pada ternak yang dilakuakan peternak menggunakan sistem
Inseminasi Buatan dengan bantuan inseminator. Inseminator atau paramedis
lainnya tidak melakukan kontrol secara rutin, tetapi berdasarkan laporan dari
59 peternak apabila ada sapi birahi ataupun ambruk. Secara umum pengetahuan dan
pemahaman peternak mengenai ciri-ciri birahi pada sapi sudah sangat baik yang
akan menunjang keberhasilan IB. Menurut Santosa (2006) bahwa apabila
peternak maupun petugas IB terlambat dalam mendeteksi birahi serta waktu yang
tidak tepat untuk di IB maka akan menyebabkan kegagalan kebuntingan.
Hasil penelitian menunjukan,teknis pembibitan terkait perkawinan dan
manajemen reproduksi sudah sangat baik yaitu sebesar 81,94%. Peternak mulai
mengawinkan sapi dara pada umur 18 – 24 bulan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Santosa (2006) bahwa sapi mulai dapat dikawinkan pertama kali pada umur 18-24
bulan. Dari segi reproduksi pada umumnya peternak telah paham mengenai
tanda-tanda birahi sebagai dasar perkawinan IB, meskipun menurut pengakuan
peternak perkawinan menggunakan IB sering gagal namun seluruh peternak
(100%) mengaku puas dengan layanan petugas IB. Sapi yang dimiliki oleh
peternak secara umum melakukan proses kelahiran sendiri dan mengaku tidak
pernah mengalami kesulitan. Bila terjadi gejala kesulitan peternak akan segera
menghubungi petugas medis untuk membantu proses kelahiran.
4.3.3. Aspek Kesehatan Ternak
Beberapa tindakan seperti pemeliharaan kesehatan ternak danpencegahan
penyakit merupakan bagian penting dalam pengelolaan suatu usahapeternakan.
Aspek kesehatan ternak di dalam GDFP menekankan pada pencegahan dari pada
pengobatan. Pencegahan dilakukan sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi
produksi, sedangkan pengobatan dipandang sebagai bentuk penyelamatan ternak
dari suatu penyakit yang menurunkan produksi. Rata-rata persentase penerapan
GBP aspek kesehatan ternak disajikan pada Tabel 17.
60
Tabel 17. Rata-rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice Aspek Kesehatan Ternak
No. Sub Aspek Kesehatan Ternak Penerapan
Kelompok
1 Pembentukan ternak yang resistan terhadap penyakit 100
2 Pencegahan penyakit masuk ke dalam peternakan 48,73
3 Penerapan manajemen peternakan yang efektif 60,88
4 Penggunaan bahan kimia dan obat ternak sesuai petunjuk 71,41
Rata-rata 70,26
Berdasarkan Tabel 17. rata-rata penerapan GBP aspek kesehatan ternak
adalah sebesar 70,26%. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa 100% peternak
menjamin bahwa sapi potong yang dipelihara resisten terhadap penyakit. Salah
satu cara yang efektif dalam meningkatkan daya tahan ternak adalah vaksinasi.
Peternak secara rutin memberikan vaksin kepada sapi potong atas saran dan
rekomendasi dokter hewan dan paramedis. Selain pemberian vaksin, pemberian
obat cacing (deworming) juga dilakukan oleh paramedis secara berkala.
Pemberian obat cacing dilakukan sejak sapi berumur 1-2 bulan kemudian berulang
6 bulan kemudian dan sekaligus diberi vitamin. Pemberian vitamin juga dilakukan
oleh paramedis antara lain Vitamin A, D, E dan B complex (B12).
Hasil wawancara menunjukan masalah penyakit yang hinggakini masih
menyerang ternak adalah timpani (kembung), gangguan ektoparasit seperti caplak
yang menimbulkan iritasi kulit dan infeksi cacing internal. Berdasarkan hasil
penelitian Susanti dan Prabowo (2013), penyakit umum yang sering menyerang
ternak sapi diantaranya pink eye, cacingan dan penyakit yang berhubungan dengan
gangguan reproduksi antara lain, kesulitan beranak pada kelahiran pertama, sapi
keguguran dan retensi plasenta.
Seperti yang terjadi di lokasi penelitian, gejala penyakit yang sering terjadi
adalah cacingan, peternak dapat menduga bahwa sapi mereka menderita cacingan
berdasarkan ciri fisik yaitu; bulu kusam, nafsu makan kurang atau nafsu makan
61 banyak tetapi sapi tetap kurus dan sering dijumpai sapi mencret. Menurut subronto
dan Tjahajati (2001) gejala umum hewan terinfeksi cacing internal antara lain
badan lemah, bulu kusam, gangguan pertumbuhan yang berlangsung lama.
Kehadiran parasitcacing dapat diketahui dari pemeriksaan feses untuk mengetahui
telur cacing. Penanggulangan terhadap infeksi parasit cacing adalah dengan
memberi bobat cacing (antelmintik), pemberian obat cacing sebaiknya dilakukan
berulang kali (Larsen, 2000).
Pengetahuan peternak secara medis cukup untuk memberikan informasi
hewan sakit atau sehat. Informasi ini didapat melalui penyuluhan yang diberikan
oleh Dinas Peternakan. Berdasarkan hasil pengamatan, tindakan pencegahan dan
pengobatan sudah dilakukan dengan baik. Hasil wawancara diperoleh bahwa
seluruh peternak melaporkan apabila ada ternaknya yang sakit kepada petugas
kesehatan atau paramedis veteriner setempat, namun tidak jarang dari mereka
yang masih menggunakan obat herbal alami atas dasar pengalamannya karena
keberadaan puskeswanas dan ketersediaan obat hewan yang masih terbatas.
Pelaksanaan program kesehatan masih terbilang rendah. Pencegahan
penyakit yang rutin dilakukan peternak seperti membersihkan kandang setiap hari
atau setidaknya dua hari sekali. Sesuai dengan pernyataan Sugeng (2002) bahwa
kandang harus dibersihkan setiap hari dan sapi-sapi harus dimandikan setiap hari
atau minimal satu minggu sekali. Pembersihan kandang dan dilanjutkan dengan
pemandian sapi ini bertujuan untuk menjaga kebersihan kandang dan menjaga
kesehatan sapi agar sapi tidak mudah terjangkit penyakit. Pengaturan lalu lintas
berupa penyediaan desinfektan dan pakaian khusus untuk masuk ke area
peternakan tidak tersedia. Hal ini menunjukkan pengetahuan peternak mengenai
bosekuriti masih kurang. Terlihat bahwa, pencegahan penyakit masuk ke dalam
peternakan hanya sebesar 48,73% nilai ini paling rendah bila dibandingkan
dengan sub aspek kesehatan ternak lainnya.
Penerapan manajemen kesehatan ternak yang efektif oleh peternak rata-
rata hanya sebesar 60,88%. Hal ini disebabkan peternak mengesampingkan hal
yang sangat penting dan mendasar yaitu catatan. Kegiatan pencatatan dapat
62 memberikan keterangan tentang individu sapi terutama produktivitasnya sehingga
dapat dijadikan pedoman untuk menentukan sapi yang menguntungkan dan
pengafkiran. Catatan juga dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan
dan pengontrolan tatalaksana.Peternak menggunakan obat sesuai rekomendasi
dokter hewan dan sesuai petunjuk penerapannya. Terlihat bahwa persentase
penerapan mengenai penggunaan bahan kimia dan obat ternak sesuai petunjuk
rata-rata sebesar 71,41%. Setidaknya peternak sudah memahami cara pengobatan
ternak berdasarkan pengalaman dan informasi dari petugas kesehatan.
4.3.4. Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup
Upaya pelestarian lingkungan perlu dilakukan bagi pelaku usaha
peternakan untuk mengurangi dampak lingkungan seperti emisi GRK, perubahan
iklim, pencemaran terhadap air, dan hilangnya unsur hara tanah. Pada umumnya
peternak tidak memahami dampak lingkungan tersebut. Hal ini terlihat dari
pelaksanaan teknis, seperti kotoran ternak yang dibiarkan menumpuk di sekitar
kandang, penggunaan air berlebih ketika membersihkan kandang dan penggunaan
pupuk kimia untuk kebun rumput.Rincian penerapan GBP aspek pelestarian
fungsi lingkungan hidup dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Rata-rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice AspekPelestarian Fungsi Lingkungan Hidup
No. Sub Aspek Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Penerapan
kelompok
1 Implementasi sistem peternakan ramah lingkungan 44,44
2 Manajemen penanganan limbah 75
3 Menjamin peternakan tidak menimbulkan efek pada lingkungan 56,48
rata-rata 58,64
Rata-rata persentase penerapan GDFP aspek lingkungan sebesar 58,64%.
Lebih lanjut data menunjukan implementasi sistem peternakan ramah lingkungan
63 sebesar 44,44% hal ini disebabkan rendahnya kesadaran peternak dalam mengolah
limbah dan belum menerapkan sistem peternakan berkelanjutan. Pengetahuan
yang telah didapatkan dalam sebuah penyuluhan dan pelatihan belum mampu
diterapkan oleh peternak. Bantuan dari pemerintah yang telah diterima oleh
kelompok berupa tempat dan alat pembuatan biogas belum termanfaatkan secara
maksimal oleh seluruh anggota.
Lebih lanjut data pada Tabel 18 menunjukan, penerapan manajemen
penanganan limbah sebesar 75,00%. Angka yangsudah cukup baik namun
peternak belum menerapkan proses pengolahan limbah secara maksimal. Pada
umumnya peternak tidak melakukan pengolahan limbah, peternak menjadikan
pupuk dari tumpukan kotoran ternak yang sudah mengering, adapun yang
membakarnya terlebih dahulu kemudian ditebar ke sawah. Sebagian lainnya,
kotoran ternak dibiarkan menumpuk disekitar kandang bila sudah mengering
mereka hanya membuangnya ke tempat yang jauh dari lingkungan. Kesadaran
akan perlunya pembuangan limbah ternak ke tempat khusus perlu disosialisasikan
berkenaan dengan adanya global warming dari emisi gas rumah kaca (GRK) yang
dikeluarkan dari kotoran ternak tersebut (Herawati, 2012).
Kegiatan sanitasi dan higien masih sangat rendah, dalam hal kebersihan
peternak hanya melakukan pembersihan kandang minimal sehari sekali dari
kotoran yang menumpuk. Peternak memisahkan feses terlebih dahulu sebelum
membersihkan lantai dengan air, cara seperti ini sudah baik dilakukan karena akan
lebih menghemat air. Peternak hanya menggunakan ember tanpa selang air atau
sprai controller untuk mengalirkan air saat membersihkan lantai kandang.
Pembersihan kandang dilakukan dengan alasan hanya untuk menghindari bau.
Hal ini kemungkinan disebabkan kurangnya kesadaran peternak akan kebersihan
lingkungan serta tidak adanya penyuluhan mengenai dampak lingkungan dari
peternakan sapi potong sekaligus pencegahannya dari petugas atau penyuluh dari
dinas setempat. Hal ini akan menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan,
sesuai dengan pendapat Herawati (2012), bahwa aspek yang mempengaruhi besar
64 kecilnya emisi gas adalah budidaya ternak, mencakup perkandangan, pemberian
pakan, sanitasi dan pemanfaatan kotoran.
4.3.5. Sumber Daya Manusia
Peran dari pelaku usaha peternakan sangat menentukan keberlangsungan
usaha yang dijalankan. Kemampuan dan keterampilan dari sumber daya manusia
sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan usaha. Rincian mengenai rata-
rata penerapan sub aspek sumber daya manusia dapat dilihat pada Tabel
19berikut:
Tabel 19. Rata-rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice AspekSumber Daya Manusia
No. Sub Aspek Sumber Daya Manusia Penerapan
kelompok
1 Memperhatikan kesehatan pekerja serta pencegahan
penularan penyakit
66,67
2 Penerapan standar prosedur kerja serta keterampilan
di bidang peternakan
58,22
3 Menjamin keamanan dan keselamatan pekerja 73,61
Rata-rata 65,92
Berdasarkan Tabel 19. persentase penerapan GDFP aspek sumber daya
manusia sebesar 65,92%. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa penerapan
standar prosedur kerja serta keterampilan dalam bidang peternakan memiliki nilai
yang sangat rendah dibanding sub aspek lain yaitu sebesar 68,22%. Sedangkan
modal utama dalam menjalankan usaha peternakan adalah kemampuan
pengelolaan atau manajemen dari pelaku usahanya. Hal ini dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan peternak. Menurut Hoda (2002), pendidikan formal
merupakan indikator awal yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan
peternak dalam mengadopsi informasi dan inovasi baru, sebab tingkat pendidikan
sangat berpengaruh terhadap perubahan pola pikir. Standar prosedur yang
65 diterapkan oleh peternak dalam skala usaha rumah tangga biasanya dilakukan
berdasarkan kebiasaan sehari-hari dan pemahaman yang mereka miliki, mereka
tidak mempunyai standar prosedur secara tertulis namun telah ada secara tersirat.
Hal ini lah yang perlu diperbaiki secara bertahap terkait manajemen sosial
ekonomi masyarakat peternak.
Mayoritas peternak tidak memiliki pekerja atau staf dari luar, pekerjaan di
kandang dibantu oleh keluarga (family worker) dengan itu peternak beranggapan
tidak perlu menerapkan social responsible karena pekerja merupakan anggota
keluarga sendiri. Mereka yang bekerja dan bertanggungjawab atas pekerjaan di
kandang setidaknya mampu memahami bahwa kesehatan pekerja sangat penting
agar tidak menganggu aktivitas dikandang dan mencegah penularan penyakit pada
ternak. Data menunjukan sebesar 66,67% peternak selaku pengelola kandang
memperhatikan kesehatan untuk mencegah penularan penyakit dari manusia ke
hewan, tidak jarang sebagian peternak mengabaikan kondisi kesehatan mereka
dan tetap melakukan aktivitas di kandang.
Dalam hal menjamin keamanan dan keselamatan pekerja didapatkan hasil
sebesar 73,61%, hal ini ditunjukan dengan peternak tidak memperkerjakan
pekerja/anggota keluarga dibawah usia 18 tahun, menggunakan sepatu boot saat
melakukan aktivitas di kandang hanya saja belum dilengkapi dengan pakaian
khusus, hal ini disebabkan karena peternak beranggapan bahwa kegiatan
peternakan ini sudah menjadi kegiatan rutin sehari-hari dirumahnya sehingga
dirasa tidak memerlukan pakaian pelindung khusus.
4.3.6. Pembinaan dan Pengawasan
Peran pembinaan dari pihak dinas serta pengawasan dari pihak pengawas
bibit ternak perlu dilakukan secara rutin di kawasan peternakan rakyat, karena
sebagian besar potensi penghasil daging sapi justru berada di tangan peternak
skala rumah tangga walaupun keemilikannya cenderung hanya sedikit. Lebih
jelasnya data penerapan GBP aspek pembinaan dan pengawasan disajikan pada
Tabel 20 berikut:
66
Tabel 20. Rata-rata Persentase Penerapan Good Breeding Practice Aspek Pembinaan dan Pengawasan
No. Sub Aspek Pembinaan dan Pengawasan Penerapan
kelompok
1 Pelaksanaan pembinaan kepada peternak 85,8
2 Pembinaan mengenai sertifikasi layak bibit 59,26
3 Pengawasan secara langsung maupun tidak langsung dari
pihak dinas dan peternak
81,48
Rata-rata 75,51
Berdasarkan hasil perhitungan penerapan sub aspek pembinaan dan
pengawasan sebesar 75,51%. Hal ini menunjukkan peran serta dari pihak dinas
peternakan setempat sudah cukup aktif. Dibuktikan dengan adanya bentuk
pembinaan kepada peternak berupa penyuluhan dan pelatihan mengenai bidang
peternakan, adanya program-program pemerintah yang mulai disalurkan kepada
kelompok-kelompok peternak di wilayah sekitar. Salah satunya dengan
ditetapkannya wilayah kecamatan ini sebagai kawasan sentra peternakan rakyat.
Adanya petugas penyuluh, inseminator, petugas medis dan kelembagaan
memiliki peranan penting untuk menunjang pengembangan peternakan sapi
potong rakyat. Selain itu, peranan dari akademisi, lembaga peneliti serta
dukungan dari pemerintah sangat diperlukan oleh peternak skala rakyat. Peternak
mengaku sangat membutuhkan binaan dan pendampingan dari berbagai pihak
yang bersangkutan. Kelompok Jambu Raharja ini sangat berpotensi untuk dapat
dikembangkan menjadi usaha peternakan berkelanjutan yang berorientasi pada
perbaikan mutu bibit yang berkualifikasi.
4.4. Produktivitas Sapi Potong
4.4.1. Karakteristik Produksi
Berdasarkan data hasil pengukuran di lokasi penelitian nilai rata-rata
ukuran lingkar dada, tinggi pundak dan panjang badan pada sapi PO lepas sapih
67 secara berturut-turut adalah 109,50 cm, 97,50 cm, dan 85,75 cm. Ukuran tubuh
sapi ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Ferdianto dkk
(2013) yaitu ukuran rata-rata lingkar dada, tinggi pundak dan panjang badan
secara berturut-turut adalah 110,37 cm, 98,27 cm, dan 87,67 cm. Aryogi,
Prihandini dan Wijono (2006) menyatakan bahwa perbedaan ukuran statistik vital
pedet lepas sapih dapat diduga karena pengaruh nutrisi induknya selama menyusui
pedet.
Hartati dan Dicky (2008) menambahkan bahwa, pertumbuhan pedet
prasapih antara lain dipengaruhi oleh sifat mothering ability (sifat keibuan).
Warwick dkk.,(1983) menambahkan pascasapih merupakan masa transisi antara
ketergantungan kepada induk beralih kepada kemampuan beradaptasi untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya untuk tumbuh. Faktor lingkungan pakan dapat
mencapai > 50 sehingga konsumsi dan nilai gizi pakan akan mempengaruhi
pertumbuhan atau pertambahan bobot hidup. Berikut adalah data hasil
pengukuran terhadap ukuran tubuh ternak berdasarkan kelompok umur :
Tabel 21. Rata-Rata Ukuran Tubuh Sapi PO Berdasarkan Kelompok Umur
Umur Rata-rata ukuran tubuh (cm) LD TP PB
7 - 12 bulan 109,67 98 86 18 - 24 bulan 142,50 119,86 126,75
>24 bulan 157,67 127,67 130,17 Keterangan : LD = Lingkar Dada; TP = Tinggi Pundak; PB= Panjang Badan
Rata-rata ukuran tubuh pada sapi PO dewasa usia 18-24 bulan berdasarkan
Tabel 22. secara berturut-turut 142,50 cm, 119,86 cm, dan 126,75 cm. Hasil
angka ini sudah memenuhi kriteriadengan standar ukuran kuantitatif sapi PO (SNI
7651.5:2015) termasuk dalam kategori kelas I yaitu dengan ukuran lingkar dada,
tinggi pundak dan panjang badan sesuai SNI secara berturut-turut adalah 138 cm,
119 cm, dan 120 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan sapi dara yang
dipelihara sudah cukup baik sebagai indikator awal dalam berproduksi.
68 Pertumbuhan ukuran-ukuran tubuh dipengaruhi oleh beberapa hal Hardjosubroto
(1994) menyebutkan bahwa karakteristik eksterior merupakan sifat kualitatif dari
individu yang dikendalikan satu atau beberapa pasang gen.
Rata-rata ukuran tubuh pada sapi PO dewasa dengan usia >24 bulan
berdasarkan tabel 21. ukuran lingkar adalah 157,67 cm, tinggi pundak sebesar
127,67 cm, dan panjang badan sebesar 130,17 cm. Hasil ini bila dibandingkan
dengan standar SNI persyaratan kuantitatif bibit sapi PO betina termasuk dalam
kategori kelas II. Namun ukuran sapi di kelompok ini lebih kecil bila
dibandingkan dengan hasil penelitian dari Natasasmita dan Mudikdjo (1985) yaitu
panjang badan pada sapi Jantan 133 cm dan Betina 132 cm, lingkar dada pada sapi
Jantan 172 cm dan Betina 163 cm. Hal ini disebabkan karena induk dengan usia
yang semakin tua terlihat lebih kurus, pertumbuhan melambat dan kebutuhan
nutrisi yang didapat belum memenuhi kebutuhan karena pakan yang diberikan
mayoritas hanya jerami padi kering. Sapi induk yang dipelihara sebenarnya
berpotensi untuk ditingkatkan kembali produktivitasnya sebagai indikator awal
dalam menghasilkan bakalan yang bermutu baik, terutama bila induk betina
disilangkan dengan pejantan PO atau semen dari pejantan PO yang berkualitas
baik. Hal ini dinyatakan oleh Warwick dkk.,(1990), bahwa sifat yang secara
genetik menurun pada anaknya terutama adalah sifat yang diturunkan oleh
pejantannya. Hasil pengukuranselanjutnya terhadap ukuran tubuh dan pendugaan
bobot badan induk sapi POdengan menggunakan rumus winter di sajikan pada
Tabel 22.
Tabel 22. Rata-rata Ukuran Tubuh dan Pendugaan Bobot Badan
IndukBetina Menggunakan RumusWinter Umur
(bulan) Rata-rata ukuran tubuh
(cm) Rata-rata
(inch) Rumus Winter
LD TP PB LD PB BB (Lbs)
BB (kg)
18 - 24 142,50 119,86 126,75 48,92 51,73 586,49 266,03 ≥ 24 157,67 127,67 130,17 64,35 53,13 736,36 334,01
Keterangan : LD = Lingkar Dada; TP = Tinggi Pundak; PB= Panjang Badan, BB= Bobot Badan
69
Data Tabel 22. menunjukkan bahwa ukuran tubuh rata-rata sapi PO
dengan rentan usia 18-24 bulan dan >24 bulan sudah memenuhi kriteria sesuai
standar yang ditetapkan dalam SNI 7651.5:2158 tentang bibit induk sapi PO,
dengan adanya ukuran-ukuran tubuh tersebut berguna untuk mendeteksi
pendugaan bobot badan ternak. Dalam usaha peternakan rakyat pengukuran dan
penimbangan masih jarang dilakukan, sehingga peternak tidak pernah mengetahui
berapa bobot tubuh ternaknya. Dimensi LD dan PB (cm) sangat sederhana dan
mudah diukur untuk keperluan estimasi bobot badan hidup (kg), walaupun hal ini
tidak menjamin lebih akurat dibanding penimbangan secara langsung disebabkan
error yang tidak terkontrol dititik referensi lokasi.
Berdasarkan hasil perhitungan pendugaan mengenai bobot badan sapi
dengan menggunakan rumus winter pada umur 18-24 bulan sebesar 266,03 kg.
Sedangkan untuk sapi dewasa dengan umur > 24 bulan berdasarkan pendugaan
bobot badan dengan rumus winter adalah sebesar 334,01 kg. Hasil ini sudah
cukup baik diduga karena saat ini sedang memasuki musim panen sehingga
ketersediaan hijauan cukup banyak dan jumlah konsumsi pakan yang telah
memenuhi kebetuhan 10% dari bobot badan. Natasasmita dan Mudikdjo (1985),
menambahkan bahwa bobot badan sapi Jantan dewasa dapat mencapai 350-450
kg, sedangkan sapi Betina dewasa dapat mencapai 300-400 kg.
4.4.2. Karakteristik Reproduksi
Secara keseluruhan produktivitas induk apabila di lihat dari segi
karakteristik reproduksi sudah cukup baik. Hasil penelitian menunjukan bahwa
peternak mengawinkan sapi dara pada umur 18-24 bulan dengan rata-rata sekitar
umur 20 bulan, sehingga pada umur 26-33 bulan dengan rata-rata umur 30 bulan
atau 2,5 tahun sapi dara sudah beranak untuk pertama kalinya. Angka ini cukup
baik bila dibandingkan dengan hasil penelitian Hardjosoebroto, (1980) yang
menunjukan bahwa umur beranak pertama sapi PO rata-rata terjadi pada umur 3,4
tahun. Di lain pihak, AAK (1991) menjelaskan bahwa untuk sapi tropis di
70 Indonesia perkawinan pertama kali yang paling baik adalah pada umur 2 - 2,5
tahun pada saat itulah kedewasaan tubuh sudah diperoleh. Perkawinan yang
dilakukan oleh peternak di lokasi penelitian terhitung lebih cepat bila
dibandingkan dengan penjelasan tersebut, hal ini karena didorong oleh kebutuhan
ekonomi peternak agar segera mendapat keuntungan, namun tanpa disadari
sebenarnya akan menimbulkan dampak negatif kepada induk dan anak yang
dilahirkannya bila terus dibiarkan seperti itu.
Akan tetapi menunda perkawinan terlalu lama juga sangat merugikan, oleh
karena itu, peternak harus mengetahui batas-batas umur sapi yang baik untuk
dikawinkan. Namun pastikan agar sapi tidak mengalami perlambatan usia berahi
karena kekurangan nutrisi. Menurut Hardjopranjoto (1995) tingkat nutrisi yang
rendah (kualitas dan kuantitas) akan menghambat umur berahi pertama dan
pubertas akan tertunda. Berikut adalah rincian hasil rata-rata penampilan
reproduksi sapi Peranakan Ongole di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Karakteristik Reproduksi Sapi Peranakan Ongole
Berdasarkan data pada Tabel 23. rata-rata nilai S/C sapi PO di lokasi
penelitian adalah 1,7 atau sekitar 1-2 kali injeksi IB. Hasil ini sesuai dengan
pendapat Toelihere, (1979), bahwa nilai S/C yang normal berkisar antara 1,6-2,0.
Nilai S/C dalam penelitian ini masih jauh lebih tinggi apabila dibandingkan
dengan hasil laporanGunawan, (1983) bahwa nilai S/C sapi PO adalah sebesar
1,3. Menurut Santosa, (2006), tingginya nilai S/C disebabkan karena
keterlambatan peternak maupun petugas IB dalam mendeteksi birahi serta serta
No Uraian Rata-rata 1 Umur kawin pertama (bulan) 20 2 Service per Conception (S/C) 1,7 3 Umur pertama beranak (tahun) 2,46 4 Lama bunting (bulan) 9 bulan 12 hari 5 Calving Interval (bulan) 13,50 6 Selang waktu kawin kembali setelah
beranak(hari) 85
71 faktor kesuburan ternak yang sangat berpengaruh. Faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya kualitas semen yang digunakan,
deteksi birahi, body condition score (BCS), tingkat kemampuan inseminator, dan
bobot hidup (Kutsiyah et al., 2002).
Selang waktu sapi untuk dapat dikawinkan kembali setelah beranak di
lokasi penelitian rata-rata adalah 85 hari. Hasil ini sudah cukup baik dan sesuai
dengan pendapat AAK (1991) bahwa, sapi-sapi induk sehabis melahirkan dapat
dikawinkan kembali setelah 60-90 hari. Hal ini dikarenakan sapi memerlukan
waktu untuk memulihkan alat reproduksinya atau dapat disebut dengan istilah
involusi uteri. Involusi uteri adalah proses pemulihan fertilitas pada hewan pasca
melahirkan, pada kondisi ini akan terjadi penyusutan kembali alat reproduksi ke
ukuran normal setelah mengalami pembesaran selama fase kebuntingan. Maka,
sekitar 2 – 3 bulan setelah melahirkan alat reproduksi sudah sembuh kembali.
Toelihere (1993) juga menambahkan dengan Interval kawin pertama
setelah beranak yaitu rata-rata 90 hari atau pada birahi ke tiga, tetapi menurut
Santosa, dkk. (2006) sapi dapat dikawinkan kembali setelah 40-60 hari (birahi
kedua) setelah melahirkan. Hal ini dapat disebabkan karena pada birahi kesatu dan
kedua sapi mengalami silent heat sehingga peternak tidak dapat mendeteksi gejela
estrus atau memang atas keterlambatan peternak dalam mendeteksi birahi dan
melakukan perkawinan pada ternak. Lamanya interval kawin pertama setelah
beranak dapat mengakibatkan panjangnya masa kosong, dampak lebih lanjut
menurunkan produksi susu total dan pendapatan peternak.
Data pada Tabel 23, menunjukan periode kebuntingan sapi rata-rata 9
bulan 12 hari atau sekitar 282 hari. Hal ini sudah termasuk dalam kategori ideal
menurut Toelihere (1981), periode kebuntingan sapi berkisar 280 sampai dengan
285 hari.Calving Interval (CI) adalah interval kelahiran atau jangka waktu antara
satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya. Calving interval di lokasi penelitian
berada pada kisaran 13 bulan, hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere, (1979)
bahwa selang beranak sapi adalah 12-13 bulan. Selang beranak yang lama akan
menyebabkan waktu untuk memproduksi susu (umur produktif) sapi tersebut
72 berkurang sehingga menurunkan produktivitas. Selain itu, Toelihere (1983)
menyatakan bahwa aktivitas reproduksi dan jarak beranak 95% dipengaruhi oleh
faktor non genetik dan lingkungan, mencakup tatalaksana pakan dan kesehatan.
4.5. Analisis Pendapatan berdasarkan Income Over Feed Cost
Bagi pelaku usaha khususnya yang bergerak di bidang pembibitan sapi
potong tujuan akhir yang ingin dicapai adalah memperoleh hasil produksi yang
maksimal dan keuntungan dari jenis usaha yang dijalankannya. Untuk
menghasilkan suatu produksi,hal yang perlu diperhatikan adalah aspek
berproduksi secara teknis dan ekonomis yang keduanya akan saling
mempengaruhi. Salah satu tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui
aktivitas berproduksi adalah dengan menggunakan perhitungan pendapatan
berdasarkan Income Over Feed Cost (IOFC). IOFC adalah selisih antara
pendapatan usaha peternakan terhadap total biaya pakan. Pendapatan ini
merupakan perkalian antara nilai produksi peternakan dengan harga jual,
sedangkan biaya pakan adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk
menghasilkan ternak tersebut (Prawirokusumo, 1990).
Biaya produksi yang dikeluarkan diantaranya seperti pengadaan pakan
konsentrat, tenaga kerja, kesehatan ternak, dan lain-lain juga menentukan tingkat
pendapatan peternak namun dalam hal ini, hal-hal tersebut tidak di perhitungkan
dalam analisis Income Over Feed Cost (IOFC). Income Over Feed Cost
merupakan salah satu cara untuk mengetahui efisiensi biaya yang diperoleh dari
hasil penjualan produksi yang hanya dikurangi dengan biaya pakan saja. Berikut
adalah kisaran harga jual ternak di lokasi penelitian sebagai tolak ukur
penerimaan peternak dapat dilihat pada Tabel 24:
73
Tabel 24. Kisaran Harga Penjualan Ternak Sapi Peranakan Ongole
di Lokasi Penelitian Kriteria
Sapi Umur Harga Penjualan Ternak
Betina Jantan bulan Rp/ekor Rp/ekor
Pedet 3 - 7 3.000.000 - 5.000.000 6.000.000 - 8.000.000 Muda 8 - 18 8.000.000 - 10.000.000 10.000.000 - 12.000.000 Dewasa > 18 13.000.000 - 15.000.000 16.000.000 - 18.000.000
Data pada Tabel 24. menunjukan kisaran harga umum untuk penjualan
sapi PO di lokasi penelitian, kondisi harga tersebut dapat berubah tergantung pada
kondisi ternak, tempat penjualan dan moment tertentu seperti saat Hari Raya Idul
Adha. Tidak jarang peternak banyak yang menjualternaknya saat Idul Qurban
karena harga jual yang sangat tinggi. Biasanya peternak menjual ternak kepada
bandar sapi di wilayah tersebut dengan sistem penaksiran dari bandar tersebut, hal
ini menyebabkan terkadang harga jual yang diperoleh lebih rendah dan tidak
menentu. Sistem pemasaran yang seperti ini perlu dibenahi agar tidak merugikan
peternak, sebaiknya sistem penjualan dilakukan berdasarkan penimbangan bobot
badan dengan harga per kilogram yang disesuaikan dengan harga pasaran yang
berlaku saat itu. Pendapatan peternak atas biaya pakan yang dikeluarkan dapat
dilihat pada Tabel 25;
Tabel 25. Income Over Feed Cost
Uraian Jumlah Anggota
Penerimaan 2015
Pengeluaran IOFC 2015 2016 Total
(orang) Rp Rp/ST/tahun Rp/ST/tahun Rp/ST/tahun Rp/ST/tahun Total 25 348.000.000 104.937.500 209.387.500 314.325.000 33.675.000 Rata-rata 13.920.000 4.197.500 8.375.500 12.573.000 1.347.000
Berdasarkan Tabel 26 rata-rata pendapatan peternak sapi potong di
kelompok Jambu Raharja Desa Sidajaya Kec. Cipunagara, Subang adalah Rp
13.920.000/tahun. Penerimaan peternak diperoleh atas penjualan ternak dalam
74 satu periode. Ternak yang dijual biasanya dimulai dari umur 1 tahun, penjualan
ternak bervariatif sesuai dengan kebutuhan peternak yang mendesak, misalnya
untuk keperluan perkawinan anaknya, kebutuhan sekolah dan lain-lain. Rata-rata
biaya pakan yang dikeluarkan per Satuan Ternak (ST) pada tahun 2015 sebesar
Rp 4.197.500 dan mengalami peningkatan dua kali lipat di tahun 206 yaitu
sebesar Rp 8.375.500/ST/tahun. Hal ini terjadi sejalan dengan bertambahnya
jumlah ternak sapi yang dipelihara. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa
hasil rata-rata IOFC yang didapatkan peternak sebesar Rp 1.347.000/ST/tahun
yang artinya peternak rata-rata mendapatkan keuntungan sebesar Rp 1.347.000
per ekor per tahun. Nilai positif menunjukkan bahwa usaha yang dijalankan
mendapatkan keuntungan meskipun nilainya kecil (rendah) dan bersifat fluktuatif
bergantung pada kriteria ternak yang dijual dan harga jual yang diperoleh.
Sebanyak 36% (9 orang) yang mendapatkan hasil pendapatan bernilai negatif, dan
sebanyak 64% (16 orang) yang mendapatkan hasil pendapatan bernilai positif.
Keuntungan yang didapat masih sangat minim bahkan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari pun dirasa masih sangat kurang.
Berbeda dengan hasil penelitian Nurdiati dkk (2012) yang mampu
menghasilkan IOFC dari usaha sapi potong sebesar Rp 3.864.55 per ekor per hari
yang melaporkan bahwa nilai income akan sangat dipengaruhi oeh nilai
pertambahan bobot badan per hari (PBBH). Peternak (responden) dalam
penelitian ini belum memperhitungkan secara detail sampai kepada PBBH, selain
itu sistem pemasaran yang dilakukan dengan penaksiran tanpa memperhatkan
bobot badan hidup ternaklah yang menyebabkan hasil penjualan pun bernilai
rendah. Dalam analisis ini, biaya pakan yang diperhitungkan adalah biaya pakan
riil yang dikeluarkan oleh peternak.Komposisi kepemilikan sapi potong juga
menentukan tingkat pendapatan yang diperoleh peternak.
Mayoritas peternak (responden) memberi pakan berupa jerami padi,
rumput lapangan dan penambahan dedak padi. Seluruh peternak di Desa Sidajaya
tidak menggunakan konsentrat sebagai pakan penguatnya, hal ini karena
konsentrat masih sangat sulitdi dapatkan dan terbatasnya kemampuan ekonomi
75 peternak untuk membelinya. Mayoritas peternak (responden) memberikan pakan
ternak menggunakan sistem cut and curry. Peternak mengarit rumput dalam
sehari rata-rata memerlukan waktu 3-5 jam untuk memperoleh satu ikat atau satu
sampai dua karung dengan kisaran 50 – 60 kg per hari yang di asumsikan bahwa
satu kilogram rumput seharga Rp 250,-
Kekurangan dari peternak kelompok Jambu Raharja ini adalah belum
dilakukannya manajemen pencatatan keuangan, sehingga pembinaan mengenai
manajemen sosial ekonomi masih sangat perlu dilakukan. Menurut Abidin
(2002), meskipun masih berskala kecil, usaha sapi ptong memerlukan pencatatan.
Selain itu perlu disusun rencana cash fow selama masa usaha dan pencatatan
pembelian barang sekecilapapun, halini mungkin tidak akan terlalu berpengaruh
jika skala usaha masih kecil namun akan sangat berpengaruh pada skala usaha
besar.Laporan laba rugi merupakan laporan keuangan yang menggambarkan hasil
usaha dalam suatu periode tertentu. Kasmir dan Jakfar (2003) menjelaskan, setiap
jangka waktutertentu perusahaan perlu menghitung hasil usaha yang dituangkan
dalam bentuk laporan laba rugi. Hasil usaha tersebut didapat dengan cara
membandingkan penghasilan dan biaya selama jangka waktu satu tahun