Post on 30-Sep-2015
description
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah laut yang
luas dan kaya akan sumber daya alam. Salah satu kekayaan sumber daya alam
dari laut adalah rumput laut yang kaya akan manfaat. Rumput laut atau sea weeds
secara ilmiah dikenal dengan istilah alga atau ganggang. Rumput laut juga
merupakan salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia. Potensi ekspor
produk olahan rumput laut ini dapat didukung dengan teknologi pascapanen yang
tepat untuk menghasilkan produk rumput laut yang memenuhi standar mutu
komersil.
Rumput laut jenis Eucheuma cottonii termasuk dalam golongan
ganggang merah (Rhodophyceae) penghasil karaginan. Karaginan merupakan
hidrokoloid yang penting karena memiliki aplikasi yang sangat luas dalam
industri pangan dan nonpangan. Jenis rumput laut ini dikembangkan karena
memiliki prospek yang bagus disamping keuntungan yang baik serta berbagai
manfaatnya. Dalam dunia industri dan perdagangan karaginan mempunyai
manfaat yang sama dengan agar-agar dan alginat. Karaginan dapat digunakan
sebagai bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik, makanan dan lain-lain.
Kegunaan karaginan, antara lain sebagai pengatur kestabilan produk, bahan
pengental, pembentuk gel dan pengemulsi (Sadhori, 1995 ; Kordi dan Ghufran,
2011).
Perlakuan alkali panas dilakukan dengan menggunakan metode ohmik
sebagai subtitusi metode pemanasan konvensional. Metode ohmik pada dasarnya
adalah suatu proses dimana bahan pangan (cair, padatan, atau campuran antara
keduanya) dipanaskan secara simultan dengan mengalirkan arus listrik melaluinya
(Salengke, 2000). Bahan pangan yang dilewati arus listrik memberi respon berupa
pembangkitan panas secara internal akibat adanya tahanan listrik dalam bahan
pangan tersebut (Salengke, 2000). Dalam proses produksi semi-refined
carrageenan (SRC), kecepatan reaksi modifikasi precursor karaginan menjadi
karaginan sangat tergantung pada kecepatan penyerapan alkali ke dalam matriks
2
jaringan sel-sel rumput laut. Pada sistim pengolahan dengan pemanasan
konvensional, kecepatan reaksi berlangsung lambat sehingga proses pengolahan
umumnya dilakukan antara 3 6 jam. Penelitian Sastry dkk., (2001) menunjukkan
bahwa pemanasan ohmik dapat mempercepat proses pengeringan dengan
peningkatan laju pengeringan (drying rate) bila dibandingkan dengan pemanasan
konvensional ataupun dengan microwave. Hal ini akan berdampak pada
penurunan konsumsi energi dan mempersingkat waktu pemanasan. Oleh karena
itu, maka dilakukanlah penelitian yang memfokuskan pada studi karakteristik
pemanasan ohmik selama proses alkalisasi.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik pemanasan ohmik
selama proses alkalisasi rumput laut Eucheuma cottonii, dan menentukan
rendemen karaginan kasar (Semi Refine Carrageenan) yang diperoleh dari proses
alkalisasi.
Penelitian ini berguna sebagai bahan informasi bagi industri rumput laut
dalam mengoptimalkan produksi Alkali Treated Cottonii (ATC). Penelitian ini
juga dapat dijadikan dasar dalam perancangan alat dan mesin pemanasan secara
ohmik yang sesuai dengan karakteristik rumput laut jenis Eucheuma cottonii.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumput Laut Euchema Cottoni
Rumput laut adalah salah satu sumber daya hayati yang terdapat di
wilayah pesisir dan laut. Sumberdaya ini biasanya dapat ditemui di perairan yang
berasiosiasi dengan keberadaan ekosistem terumbu karang. Rumput laut alam
biasanya dapat hidup di atas substrat pasir dan karang mati. Selain tumbuh bebas
di alam, beberapa jenis rumput laut juga banyak dibudidayakan oleh sebagian
masyarakat pesisir Indonesia. Rumput laut atau alga laut (sea weed) merupakan
salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia. Indonesia menduduki posisi
penting sebagai produsen rumput laut dunia. Produksi rumput laut dapat
diperoleh dari rumput laut yang tumbuh alami dan rumput laut yang
dibudidayakan, baik di laut maupun di tambak. Lahan di daerah pesisir
merupakan sumber daya alam yang sangat luas dan dapat digunakan untuk
pembudidayaan rumput laut. Kebutuhan rumput laut yang terus menunjukkan
peningkatan, baik pasar domestik maupun pasar dunia, merupakan prospek yang
besar bagi pengembangan rumput laut (Kordi dan Ghufran, 2011).
Alga atau ganggang terdiri dari empat kelas, yaitu Rhodophyceae
(ganggang merah), Phaeophyceae (ganggang coklat), Chlorophyceae (ganggang
hijau), dan Cyanophyceae (ganggang hijau-biru). Pembagian ini didasarkan atas
pigmen yang dikandunganya. (Indriani dan Sumarsih, 1997). Klasifikasi
taksonomi rumput laut jenis Eucheuma cottonii (Anggadiredja dkk., 2006) :
Kingdom : Plantae
Divisio : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Bangsa : Gigartinales
Suku : Solierisceae
Marga : Eucheuma
Jenis : Eucheuma cottonii (Kappaphycus alvarezii)
Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah
(Rhodophyceae). Rumput laut jenis cottonii sering juga dikenal dengan nama
Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan termasuk fraksi kappa-
4
karaginan. Oleh karena itu, Eucheuma cottonii secara taksonomi disebut
Kappaphycus alvarezii. Nama cottonii umumnya lebih dikenal dan umumnya
digunakan dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional dimana
rumput laut yang dikirim harus memenuhi standar mutu yang telah
ditetapkan (Tabel 1) (Samsuar, 2006).
Tabel 1. Standar Mutu Rumput Laut Kering untuk Euchema, Gelidium,
Gracilaria Dan Hypnea
Karakteristik Syarat
Eucheuma Gelidium Gracilaria Hypnea
Kadar air
maksimal (%)
32 15 25 30
Benda asing
maksimal (%)
5*) 5**) 5**) 5**)
Bau
Spesifik
rumput laut
Spesifik
rumput laut
Spesifik
rumput laut
Spesifik
rumput
laut
Sumber : Poncomulyo dkk., (2006).
*) Benda asing adalah garam, pasir, karang, kayu dan jenis lain
**) Benda asing adalah garam, pasir, karang, dan kayu
Ciri fisik Eucheuma cottonii adalah mempunyai thallus silindris,
permukaan licin dan menyerupai tulang rawan (cartilogeneus). Warna Eucheuma
cottonii tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu
atau merah. Perubahan warna thallus sering terjadi karena faktor lingkungan
(Anggadiredja dkk., 2006). Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi
kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas
pencahayaan. Penampakan thallus bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai
kompleks. Duri-duri pada thallus runcing memanjang, agak jarang dan tidak
bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-
batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh
melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama
dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus
mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Samsuar, 2006).
5
Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai
terumbu. Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang
tetap, variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang mati. Beberapa jenis
Eucheuma cottonii mempunyai peranan penting dalam dunia perdagangan
internasional sebagai penghasil ekstrak karaginan. Kadar karaginan dalam setiap
spesies Eucheuma berkisar antara 54 73 % tergantung pada jenis dan lokasi
tempat tumbuhnya. Jenis ini asal mulanya didapat dari perairan Sabah (Malaysia)
dan Kepulauan Sulu (Filipina). Selanjutnya dikembangkan ke berbagai negara
sebagai tanaman budidaya. Lokasi budidaya rumput laut jenis ini di Indonesia
antara lain Lombok, Sumba, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tengah, Lampung, Kepulauan Seribu, dan Perairan Pelabuhan Ratu (Samsuar,
2006).
2.2 Karaginan
Karaginan adalah zat aditif alami yang banyak dimanfaatkan dalam
berbagai industri, terutama industri makanan dan kosmetik. Semi-refined
carrageenan (SRC) adalah salah satu produk karaginan dengan tingkat kemurnian
lebih rendah dibandingkan refined carrageenan, karena masih mengandung
sejumlah kecil selulosa yang ikut mengendap bersama karaginan. SRC secara
komersial diproduksi dari rumput laut jenis Eucheuma cottonii melalui proses
ekstraksi menggunakan larutan alkali (Kalium hidroksida / KOH) (Parwata dan
Oviantari, 2007).
Karaginan merupakan getah rumput laut yang diperoleh dari hasil
ekstraksi rumput laut merah dengan menggunakan air panas (hot water) atau
larutan alkali pada suhu tinggi. Karaginan adalah senyawa hidrokoloid yang
merupakan susunan dari senyawa polisakarida rantai panjang yang diekstraksi
dari rumput laut. Sebagian besar kappa karaginan diekstraksi dari rumput laut
jenis Eucheuma cottonii. Karaginan merupkan polisakarida yang linear dan
merupakan molekul galaktan dengan unit-unit utamanya berupa glukosa
(Pancomulyo dkk., 2006 ; Kordi dan Ghufran, 2011).
6
Menurut Poncomulyo dkk., (2007) berikut sifat-sifat karaginan dalam
media pelarut:
1. Lamda karaginan larut dalam air panas (suhu 40-60 0C). Kappa dan iota
karaginan larut pada suhu di atas 70 0C.
2. Kappa, lamda, iota karaginan larut dalam susu panas. Dalam susu dingin
kappa dan iota tidak larut, sedangkan lambda karaginan akan membentuk
dispersi.
3. Kappa karaginan dapat membentuk gel dengan ion kalium, sedangkan iota
karaginan membentuk gel dengan ion kalsium. Lamda karaginan tidak dapat
membentuk gel
4. Semua jenis karaginan stabil pada pH netral dan alkali. Pada pH asam
karagian akan terhidrolisis.
Berdasarkan sifat jelly yang terbentuk, karaginan dibedakan menjadi tiga
golongan, yaitu kappa karaginan (jelly bersifat kaku, getas, kertas), iota karaginan
(jelly lembut, fleksibel, dan lunak) dan lamda karaginan (tidak dapat membentuk
jelly tetapi berbentuk cairan kental) (Setiawati, 2007).
Proses produksi karaginan semi refine lebih banyak diaplikasikan untuk
rumput laut Eucheuma cottonii. Produk SRC dapat berbentuk chips, dan tepung
(Anggadireja dkk., 2006).
Tabel 2. Beberapa Teknologi Pengolahan Karaginan dari Euchemua sp
Bahan Baku Tahap Proses Jenis/Tipe
Karaginan
Metode Bentuk
Produk
E. spinosum refine iota-karaginan metode alkohol powder
E. cottonii
refine
kappa-karaginan
metode alkohol powder
metode pressing powder
semirefine
food grade
kappa-karaginan alkali panas
chip
powder
industrial grade
kappa-karaginan
alkali panas
chip
powder
Sumber : Anggadiredja dkk., 2006.
7
Kelarutan karaginan di dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya suhu, senyawa organik, garam yang larut dalam air, serta tipe
karaginan itu sendiri. Derajat kekentalan karaginan dipengaruhi oleh konsentrasi,
suhu , dan volume bahan lain yang larut dalam campuran tersebut. Kekentalan
karaginan dalam membentuk gel dibedakan dari yang kuat sampai rapuh dengan
tipe yang lembut dan elastis. Sedangkan teksturnya tersebut yakni tergantung dari
jenis karaginan, konsentrasi, keberadaan ion-ion lain, keberadaan larutan lain,
serta senyawa hidrokoloid yang tidak membentuk gel (Anggadireja dkk., 2006).
Karakteristik daya larut karaginan juga dipengaruhi oleh bentuk garam
dari gugus ester sulfatnya. Jenis sodium umumnya lebih mudah larut, sementara
jenis potasium lebih sukar larut. Hal ini menyebabkan kappa karaginan dalam
bentuk garam potasium lebih sulit larut dalam air dingin dan diperlukan panas
untuk mengubahnya menjadi larutan, sedangkan dalam bentuk garam sodium
lebih mudah larut. Lambda karaginan larut dalam air dan tidak tergantung jenis
garamnya (Samsuar, 2006).
Kappa-karaginan merupakan fraksi yang mampu membentuk gel dalam air
dan bersifat reversible yaitu meleleh jika dipanaskan dan membentuk gel kembali
jika didinginkan. Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu
pembentukan gel akan mengakibatkan polimer karaginan dalam larutan menjadi
random coil (acak). Bila suhu diturunkan, maka polimer akan membentuk struktur
double helix (pilinan ganda) dan apabila penurunan suhu terus dilanjutkan
polimer-polimer ini akan saling terikat silang secara kuat dan dengan makin
bertambahnya bentuk heliks akan terbentuk agregat yang bertanggung jawab
terhadap terbentuknya gel yang kuat. Jika diteruskan, ada kemungkinan proses
pembentukan agregat terus terjadi dan gel akan mengerut sambil melepaskan air
(Samsuar, 2006).
8
Tabel 3. Daya kelarutan Karaginan pada Berbagai Media Pelarut
Medium Kappa-karaginan Iota-karaginan Lamda-karaginan
Air panas Larut di atas 60 0C Larut di atas 60
0C Larut
Air dingin Garam natrium
larut, garam K, Ca
tidak larut
Garam Na larut,
garam Ca memberi
dispersi thixotropic
Larut
Susu panas Larut Larut Larut
Susu dingin Garam Na, Ca, K,
tidak larut, tetapi
akan mengambang
Tidak larut larut
Larutan gula pekat Panas, larut Larut, sukar Larut, panas
Larutan garam Tidak larut Larut panas Larut panas
Sumber : Kordi dan Ghufran, 2011.
Pemanfaatan karaginan pada industri biasanya digunakan sebagai
stabilisator, pengental, pembentuk gel, pengemulsi, pengikat dan pencegah
kristalisasi dalam industri makanan atau minuman, farmasi, serta industri
kosmetik (Setiawati, 2007).
2.3 Alkali Treated Cottonii (ATC)
Rumput laut penghasil karaginan seperti Eucheuma cottonii yang baru
dipanen umumnya memiliki kadar air sekitar 85% dan harus dikeringkan hingga
kadar air 30-35%, yang merupakan kadar air standar untuk kualitas ekspor.
Rumput laut penghasil karagian dapat dengan mudah menjadi semi-refine
carrageenan (SRC) melalui proses alkalisasi, SRC sering juga disebut alkali-
modified flour (AMF) atau alkali-treated carrageenophyte (ATC) (Suryaningrum
dkk., 2003)
Menurut Parwata dan Oviantari (2007) proses ekstraksi dilakukan
menggunakan larutan KOH 8,0% pada suhu 100o
C selama 60 menit. Ekstraksi
semi-refined carrageenan (SRC) dilakukan dengan tahapan proses sebagai
berikut:
1. Sampel rumput laut kering dipotong-potong menjadi bagian-bagian yang lebih
kecil secara merata.
2. Rumput laut dimasak dalam larutan KOH 8,0% pada suhu 100o
C selama 60
menit sampai terbentuk gel
9
3. Gel karaginan kemudian dipisahkan dari larutan pengekstrak dengan
penyaringan,
4. Karaginan dicuci menggunakan air untuk menghilangkan sisa-sisa larutan
alkali, kemudian dikeringkan.
5. Karaginan kering digiling (digerus) menjadi tepung karaginan (SRC).
Karaginan dalam jaringan rumput laut terikat pada dinding sel.
Pemecahan dinding sel melalui perlakukan pemanasan dan perlakuan lainnya
yang dapat memecah dinding sel dapat berdampak pada hasil karaginan yang
tinggi. Metode tradisional produksi karaginan didasarkan pada kemampuan
osmosis rumput laut. Pemanasan rumput laut dalam air cenderung mendesak
karaginan terekstraksi keluar dari jaringan sel rumput laut. Metode ekstraksi
dengan air panas seperti ini akan menghasilkan karaginan tanpa campuran bahan
kimia yang dalam perdagangan dikenal dengan nama native carrageenan. Akan
tetapi, rendemen ekstraksi akan lebih rendah dibandingkan pemanasan dalam
larutan alkali (Suryaningrum dkk., 2003).
Dalam pengolahan rumput laut untuk menghasilkan produk seperti
karaginan, agar, dan alginat, larutan alkali yang digunakan sebagai medium
pemasakan memiliki dua fungsi. Pertama, alkali membantu proses pemuaian
(pembengkakan) jaringan sel-sel rumput laut yang mempermudah keluarnya
karaginan, agar, atau alginat dari dalam jaringan. Kedua, apabila alkali
digunakan pada konsentrasi yang cukup tinggi, dapat menyebabkan terjadinya
modifikasi struktur kimia karaginan akibat terlepasnya gugus 6-sulfat dari
karaginan sehingga terbentuk residu 3,6-anhydro-D-galactose dalam rantai
polysakarida (Yasita dan Rachmawati, 2010)
Berdasarkan metode ekstraksi yang digunakan, dapat diperoleh dua jenis
ekstrak karaginan yaitu semi-refined dan refined carrageenan. Suhu pemasakan
untuk memproduksi semi-refined carrageenan dipertahankan dibawah 80-85 oC
untuk mencegah larutnya karaginan dalam larutan alkali. Setelah proses
pemasakan, rumput laut kemudian dibilas beberapa kali dan dikeringkan. Produk
kering yang dihasilkan kemudian digiling menjadi tepung dan dijual sebagai
tepung rumput laut atau sebagai semi-refined carrageenan. Produk semi-refined
10
carrageenan umumnya digunakan dalam produksi daging kaleng dan pakan
hewan piaraan (Yasita dan Rachmawati, 2010).
Proses ekstraksi karaginan dari rumput laut secara tradisional dilakukan
dengan pemanasan dalam larutan alkali dengan medium pemanas berupa aliran
uap yang dikontrol debitnya untuk mengontrol suhu pemanasan. Suhu proses
bervariasi antara 65-80 oC untuk menghasilkan ATC (alkali treated
carragenophyte) atau semi-refined carrageenan (SRC) dan 85-100oC untuk
memproduksi refined carrageenan. Penggunaan suhu yang lebih rendah pada
produksi SRC dimaksudkan agar karaginan yang terkandung dalam rumput laut
tidak larut kedalam larutan alkali yang akan menurunkan rendemen SRC yang
dihasilkan (Yasita dan Rachmawati, 2010).
Tahap penting ekstraksi semi-refined carrageenan (SRC) terletak pada
proses pemasakan dengan larutan alkali. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi produksi ATC yaitu umur panen, suhu alkalisasi dan konsentrasi
alkali yang digunakan. Rendemen tertinggi (dalam bentuk tepung ATC) diperoleh
dengan penggunaan larutan KOH 10% (Andriani, 2006). Penelitian lain Purwata
dan Oviantari (2007) menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas SRC dapat
dipengaruhi oleh konsentrasi larutan alkali, waktu pemasakan, serta kualitas
bahan baku antara lain kadar air dan kadar pengotor.
Menurut Parwata dan Oviantari (2011) bahwa kadar air dalam bahan baku
rumput laut dapat mempengaruhi produk SRC. Industri-industri karaginan
biasanya mensyaratkan kadar air bahan baku rumput laut maksimal 37%. Karena
metode ekstraksi dengan air panas akan menghasilkan karagianan tanpa campuran
bahan kimia, tetapi hasil rendemen ekstraksi akan lebih rendah dibanding dengan
pemanasan dalam larutan.
Keberadaan air dalam jumlah banyak dalam jaringan rumput laut
kemungkinan dapat menghalangi masuknya larutan alkali ke dalam jaringan
rumput laut tersebut, sehingga tidak dapat mengekstrak karaginan yang ada di
dalamnya. Kadar air yang terlalu rendah (rumput laut terlalu kering) kemungkinan
dapat menyebabkan jaringan rumput laut keras, sehingga sulit ditembus oleh
larutan alkali, akibatnya karaginan sulit terekstrak. Selain itu, kandungan air
dalam jaringan rumput laut memungkinkan terjadinya reaksi enzimatik yang
11
dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas karaginan yang dihasilkan
(Anggadiredja dkk., 2006). Penelitian Purwata dan Oviantari (2007) menunjukkan
bahwa variasi perlakuan kadar air rumput laut dengan interval 10% sampai 50%
berbanding lurus terhadap rendemen ATC namun berbanding terbalik terhadap
viskositas ATC yang dihasilkan.
Kualitas SRC yang dihasilkan diharapkan dapat sesuai dengan standar
mutu foodgrade. Dapat dilihat pada Tabel 4 standar mutu karaginan.
Tabel 4. Standar Mutu Karaginan
Parameter Komersial
Food
Agriculture
Organization
(FAO)
Food
Chemical
Codex
(FCC)
European
Economic
Community
(EEC)
Kadar Air (%) 14,34 0,25 Maks. 12 Maks. 12 Maks. 12
Kadar Abu (%) 18,60 0,22 15-40 18-40 15-40
Kekuatan gel
(dyne/cm2)
685,50 13,43 - - -
Titik Leleh
(0C)
50,21 1,05 - - -
Titik Gel (0C) 34,10 1,86 - - -
Sumber : A/S kobenhvas Pektifabrik (1978) dalam Yasita dan Dian (2010).
2.4 Rendemen
Rendemen karaginan sebagai hasil ekstraksi dihitung berdasarkan rasio
antara berat karaginan yang dihasilkan dengan berat rumput laut kering yang
digunakan. Rendemen dipengaruhi oleh jenis, iklim, metode ekstraksi, waktu
pemanenan dan lokasi budidaya. Selain itu rendemen juga dipengaruhi oleh
skala produksi, dimana skala produksi yang besar akan menghasilkan rendemen
yang besar pula. Perhitungan rendemen dilakukan untuk mengetahui persentase
karaginan yang dihasilkan dari rumput laut kering yang digunakan berdasarkan
umur panen, konsentrasi KOH dan lama ekstraksi (Samsuar, 2006).
2.5 Pemanasan Ohmik (Ohmic Heating)
Konsep pemanasan ohmik atau dikenal juga dengan pemanasan Joule
(joule heating) adalah pemanasan produk pangan dengan cara melewatkan pada
aliran listrik. Pemanasan ohmik umumnya untuk membunuh mikroorganisme,
12
melalui efek termal. Teknik ini terutama digunakan untuk material yang dapat
mengalir. Pemanasan ohmik kembali banyak di minati karena meningkatnya
ketersediaan dan kualitas material elektroda (Muhtadi dan Ayustaningwarno,
2010 ; Sastry dkk., 2011).
Keterbatasan perlakuan pemanasan konvesional telah dikenal di industri
pangan, dimana kualitas produk tidak sesuai dengan yang diinginkan selain juga
berhubungan dengan sensivitas produk pangan terhadap panas. Pemanasan
microwave telah diaplikasikan secara luas dalam penyiapan bahan pangan rumah
tangga. Akan tetapi aplikasi komersial untuk inaktivasi mikroba masih menjadi
pembatas karena terjadinya penyebaran panas yang tidak seragam (Muhtadi dan
Ayustaningwarno, 2010).
Walaupun perlakuan ohmik bukan merupakan olah minimal yang
sesungguhnya, akan tetapi jika desain dan penerapan yang hati-hati dilakukan
akan terjadi peningkatan yang signifikan dibandingkan perlakuan panas
konvensional. Tidak seperti pemanasan konvensional dimana pemanasan dari
permukaan yang panas menuju bagian dalam, proses ohmik melibatkan internal
generation pada kecepatan terkontrol, sehingga merupakan proses HTST yang
dapat diterapkan untuk produk pangan solid (Muhtadi dan Ayustaningwarno,
2010).
Pemanasan ohmik merupakan suatu proses dimana arus listrik
(khususnya arus bolak-balik AC) dilewatkan melalui bahan pangan. Akibatnya,
terjadi pembangkitan energi internal pada bahan pangan. Prinsip dasar pemanasan
ini akan menghasilkan sebuah pola pemanasan luar dan dalam. Konstruksi
pemanas ohmik terdiri dari sumber arus dan reaktor yang disisipi dengan
elektroda. Vibrasi sel menyebabkan terjadinya friksi dan disipasi dalam bentuk
panas (Silva, 2002).
Dalam bidang pengolahan pangan, pemanasan ohmik didefinisikan
sebagai suatu proses dimana bahan pangan (cair, padatan, atau campuran antara
keduanya) dipanasi secara simultan dengan mengalirkan arus listrik melaluinya.
Dalam hubungannya dengan pengolahan rumput laut, peningkatan laju diffusi ini
dapat membantu mempercepat laju diffusi alkali kedalam jaringan sel-sel
sehingga kecepatan reaksi modifikasi dapat ditingkatkan sehingga lama
13
pengolahan dapat diturunkan (Salengke, 2000). Bahan pangan yang dilewati arus
listrik memberi respon berupa pembangkitan panas secara internal akibat adanya
tahanan listrik dalam bahan pangan tersebut (Sastry dkk., 2001). Jumlah panas
yang dibangkitkan dalam bahan pangan akibat aliran arus berhubungan langsung
dengan kerapatan arus yang ditimbulkan oleh besarnya medan listrik (field
strength) dan konduktivitas listrik dari bahan pangan yang diolah. Teknologi
pemanasan ohmik dapat diterapkan, tidak hanya untuk cairan, tetapi juga untuk
multi-fase campuran cair-padat, khususnya di media ini akan sulit untuk proses
menggunakan penukar panas konvensional (Sastry dan Qiong, 1993) dalam
Delgado dkk., 2012).
Pemanasan ohmik mengambil nama dari hukum Ohm yang dikenal
sebagai hubungan antara arus, tegangan, dan hambatan (persamaan 1). Bahan
makanan terhubung antara elektroda memiliki resistansi peran dalam rangkaian.
I = V
R . (1)
Tahanan dari bahan makanan untuk melewatkan arus listrik
menyebabkan panas yang dihasilkan dalam makanan. Dengan kata lain, energi
listrik dikonversi menjadi energi panas (Sastry dan Salengke, 1998). Waktu
pemanasan ohmik bergantung pada gradien tegangan yang digunakan. Gradien
tegangan meningkat, panas yang dihasilkan per unit waktu meningkat, dan karena
itu waktu pemanasan yang diperlukan untuk mencapai temperatur berkurang.
Skala waktu dapat diatur dengan memilih parameter gradien tegangan (Icier,
2012). Konduktivitas listrik adalah ukuran dari seberapa baik suatu zat
mentransmisikan muatan listrik yang dinyatakan dalam Siemens per meter (S/m).
Konduktivitas listrik adalah rasio densitas substansi pada kekuatan medan listrik
dan dipengaruhi oleh komposisi kimia dari suatu zat. Dalam terminologi
pemanasan ohmik, konduktivitas adalah ukuran dari isi mineral atau ion. Untuk
bahan makanan, bahan ion yang paling umum garam (NaCl). Semakin tinggi
jumlah garam terlarut dalam zat, semakin tinggi konduktivitas (Anderson, 2008).
Suatu bahan pangan dengan konduktivitas listrik ditempatkan diantara
dua elektroda (Gambar 1) dengan kekuatan medan, menghasilkan laju generasi
energi internal (internal energi generation rate) (Muhtadi dan Ayustaningwarno,
2010):
14
Gambar 1. Model Pemanas Ohmik dan Reaktor Ohmik
Untuk bahan pangan solid, konduktivitas listrik tergantung pada suhu dan
gradient voltage. Konduktivitas listrik mengalami kenaikan signifikan pada 70 oC
ke atas. Jika jaringan sayuran dikenakan pemanasan konvensional, konduktivitas
listrik akan meningkat tajam pada suhu 60 0C, akibat pecahnya dinding sel. Ketika
jaringan selular dipanaskan secara ohmik, suhu konduktivitas listrik menjadi lebih
meningkat, akibat karena terjadinya electro-osmosis tergantung dari besarnya
medan voltase yang digunakan. Pada voltage tinggi, electro-osmosis mendorong
ion-ion melewati membran dinding sel bahkan pada suhu lebih rendah. Pada
kekuatan medan yang cukup, dapat digunakan hubungan linear antara T
(Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010) :
T= ref [1 + m(T-Tref)(2)
Dimana T adalah konduktivitas listrik pada suhu T, ref adalah
konduktivitas listrik pada suhu reference (Tref) dan m adalah koefiesien suhu.
Peningkatan konduktivitas brarti bahwa pemanasan ohmik menjadi lebih relatif
efektif pada suhu lebih tinggi. Karena konduktivitas listrik tergantung pada
konsentrasi ion, maka memungkinkan untuk mengubahnya menggunakan
perlakuan sederhana seperti penambahan garam pada bahan pangan. Karena
penurunan konduktivitas listrik bahan pangan yang direndam air disebabkan
hilangnya senyawa ionik dalam air. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan (Sastry dan Salengke, 1998) konduktivitas listrik bahan pangan
meningkat secara linier dengan peningkatan suhu sehingga proses pemanasan
menjadi semakin efektif dengan semakin meningkatnya suhu selama proses
pemanasan ohmik berlangsung. Konduktivitas listrik cenderung meningkat ketika
ukuran partikel menurun, walaupun kesimpulan secara general tidak dapat
15
dilakukan tanpa memperhitungkan bentuk dan orientasi partikel (Muhtadi dan
Ayustaningwarno, 2010).
Di atas kekuatan medan listrik tertentu, atau jika materi telah diolah
secara termal, kurva konduktivitas listrik-suhu sering menjadi linear. seperti
terlihat pada Persamaan (3) (Sastry dkk, 2001 ):
= 0 1 + mT . (3)
Prinsip pemanasan ohmik sangat sederhana seperti digambarkan dalam
gambar 1. Pemanasn ohmik didasarkan pada bagian arus listrik bolak-balik (AC)
melalui tubuh seperti sistem makanan partikel cair yang berfungsi sebagai
hambatan listrik di mana panas dihasilkan. Tegangan AC diterapkan pada
elektroda di kedua ujung badan produk. Kekuatan medan listrik dapat bervariasi
dengan menyesuaikan celah elektroda atau tegangan yang dikenakan. Namun,
faktor yang paling penting adalah konduktivitas listrik dari produk dan
ketergantungannya pada suhu. Jika produk memiliki lebih dari satu fase seperti
dalam kasus campuran cairan dan partikulat, konduktivitas listrik semua tahap
harus dipertimbangkan. Konduktivitas listrik meningkat dengan kenaikan suhu,
menunjukkan bahwa pemanasan ohmik menjadi lebih efektif dalam meningkatkan
suhu, yang secara teoritis dapat mengakibatkan pemanasan runaway. Perbedaan
dalam hambatan listrik dan ketergantungan suhu antara dua fase dapat membuat
karakteristik pemanasan sistem yang sangat rumit (Delgado dkk., 2012).
Untuk menghasilkan panas, bahan pangan harus memiliki
konduktivitas listrik yang cukup sehingga dapat dilalui oleh arus listrik. Pemanas
Ohmik menggunakan arus bolak balik. Pemanas ohmik berbeda dengan pemanas
microwave dari segi penggunaan frekuensi. Pemanas Ohmik dioperasikan dengan
frekuensi rendah (50 sampai dengan 60 Hz). Tegangan diatur sehingga mencapai
suhu akhir yang dikehendaki, meskipun terjadi fluktuasi dalam komposisi pasokan
dan laju aliran (Berk, 2009).
Ketika jaringan selular dipanaskan secara ohmik, suhu konduktivitas
menjadi linier ketika gradient voltage dinaikkan hal ini menjelaskan bahwa terjadi
non-linearitas pada gradient voltage rendah (20 sampai 30 V/cm). Penjelasannya
adalah terjadinya electro-osmosis ketika pemanasan ohmik digunakan yang
tergantung dari besar medan voltase yang digunakan. Pada gradient voltage tinggi,
16
electro-osmosis mendorong ion-ion melewati membran dinding sel bahkan pada
suhu lebih rendah (Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010).
Karena konduktivitas listrik tergantung pada konsentrasi ion, maka
memungkinkan untuk mengubahnya menggunakan perlakuan sederhana seperti
penambahan garam. Penurunann konduktivitas listrik dalam sampel yang
direndam air disebabkan hilangnya senyawa ionik dalam air (Muhtadi dan
Ayustaningwarno, 2010).
Penelitian yang telah dilakukan (Salengke, 2000) menunjukkan bahwa
teknologi ohmik sangat potensial untuk diaplikasikan dalam bidang pengolahan
pangan karena selain menimbulkan efek pemanasan, juga dapat menyebabkan
terjadinya permeabilisasi dinding sel. Peningkatan permeabilisasi dinding sel pada
berbagai produk pertanian terjadi akibat pemanasan secara ohmik. Peningkatan
permeabilisasi dinding sel tersebut dapat berperan dalam mempercepat proses
reaksi, meningkatkan laju difusi senyawa melewati dinging sel, meningkatkan
rendemen ekstraksi senyawa dan cairan dari dalam sel, serta meningkatkan laju
pengeringan.
Pemanasan ohmik digunakan untuk berbagai situasi dimana perlakuan
panas konvensional sulit untuk diterapkan. Fouling adalah masalah utama ketika
bahan pangan berprotein terekspos oleh perlakuan teransfer panas permukaan.
Proses ohmik dapat dipergunakan dengan beberapa keuntungan karena pemanasan
terjadi secara internal energy generation dan tidak memerlukan pemanasan
permukaan. Aplikasi lain adalah perlakuan panas pada surimi dan berbagai
produk ikan. Efisensi kerja pemanas ohmik dapat ditingkatkan dengan
melengkapi sistem kontrol otomatis. Pada pemanasan konvensional, produk
mengalami waktu pemanasan yang lama pada suhu yang optimal untuk aktivitas
protease. Dengan menggunakan perlakuan ohmik yang tepat dapat diperoleh
peningkatan kualitas tekstur pada produk akhir. Pemanasan ohmik juga memiliki
proses yang cukup baik dalam sterilisasi komersial dari campuran solid-liquid
(Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010).
Potensi aplikasi dari pemanasan ohmik meliputi proses blansir, evaporasi,
dehidrasi, fermentasi dan ekstraksi. Perhatian utama dari aplikasi perlakuan panas
tersebut adalah dalam mengontrol mikroba. Pemanasan ohmik telah digunakan
17
untuk mengolah buah utuh di Jepang dan UK seperti dalam proses ekstraksi
minyak lemon. Unit komersial dalam penolahan telur cair juga dilakukan di US
(Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010).
Keunggulan utama dari pemanasan ohmik adalah cepat dan sistem
pemanasannya yang relatif seragam dan merata, termasuk untuk produk yang
mengandung partikulat. Hal tersebut mengurangi jumlah total panas yang kontak
dengan produk dibandingkan dengan pemanaan konvensional yang memerlukan
waktu untuk terjadinya penetrasi panas ke bagian pusat bahan dan pemanasan
partikulat lebih lambat dari fluida. Dalam pemanasan ohmik, partikel dapat
memepercepat pindah panas dengan melakukan formulasi pada kandungan
senyawa ionic yang tepat di dalam fase fluida dan fase partikulat untuk
meyakinkan level konduktivitas listrik yang tepat (Muhtadi dan
Ayustaningwarno, 2010).
18
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 - Juli 2012 di
Laboratorium Processing Jurusan Teknologi Pertanian, Program Studi Keteknikan
Pertanian, Fakultas Pertanian dan Teaching Industry, Universitas Hasanuddin,
Makassar
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lainterpal plastik, jergen,
gunting, reaktor ohmik, sistem akusisi (logger) dan data SPSS ,mesin pengering
tray drier type cross flow, timer, timbangan analitik Mettler Toledo PL60L-S
ketelitian 0,01 gram, termometer, desikator, kamera digital, stirer magnetic,
komputer (PC), gelas ukur.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi larutan kalium
hidroksida (KOH) 0.5 dan 1 N, air laut, aluminium foil, aquades, kertas label,
kertas, kain saring, dan rumput laut segar jenis Eucheuma cottonii dengan umur
panen 50 hari yang diperoleh dari Desa Lasitaeng, Kecamatan Taneterilau,
Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.
3.3 Perlakuan Penelitan
Perlakuan yang diberikan dalam penelitian meliputi perbedaan voltage
selama alkalisasi dengan pemanasan ohmik, waktu dan suhu pemanasan, serta
konsentrasi alkali yang digunakan. Matriks perlakuan penelitian dapat dilihat pada
Tabel 5.
Dimana :
CTR : Alkalisasi secara konvensional
V : Tegangan
SWA-R : Perbandingan rumput laut dengan larutan alkali
19
Tabel 5. Table matriks perlakuan
PERLAKUAN: V (60, 80 V), WKT (0,5, 1, 2 JAM), SUHU (70, 75, 80)
PARAMETER TETAP : SWAR (1:20); C-ALKALI ( 0,5 N dan 1 N); SUHU
PENGERINGAN 60C; KEC. UDARA 1.5 m/det.
MATRIKS PERLAKUAN
Kode v Wkt T-akhir SWA-R C-alkali
A1 CTR 1 70 1:20 0,5 N dan 1 N
A2 60 1 70 1:20 0,5 N dan 1 N
A3 80 1 70 1:20 0,5 N dan 1 N
A4 CTR 2 70 1:20 0,5 N dan 1 N
A5 60 2 70 1:20 0,5 N dan 1 N
A6 80 2 70 1:20 0,5 N dan 1 N
A7 CTR 3 70 1:20 0,5 N dan 1 N
A8 60 0,5 70 1:20 0,5 N dan 1 N
A9 80 0,5 70 1:20 0,5 N dan 1 N
A10 CTR 1 75 1:20 0,5 N dan 1 N
A11 60 1 75 1:20 0,5 N dan 1 N A12 80 1 75 1:20 0,5 N dan 1 N A13 CTR 2 75 1:20 0,5 N dan 1 N A14 60 2 75 1:20 0,5 N dan 1 N A15 80 2 75 1:20 0,5 N dan 1 N A16 CTR 3 75 1:20 0,5 N dan 1 N A17 60 0,5 75 1:20 0,5 N dan 1 N A18 80 0,5 75 1:20 0,5 N dan 1 N A19 CTR 1 80 1:20 0,5 N dan 1 N
A20 60 1 80 1:20 0,5 N dan 1 N A21 80 1 80 1:20 0,5 N dan 1 N A22 CTR 2 80 1:20 0,5 N dan 1 N A23 60 2 80 1:20 0,5 N dan 1 N A24 80 2 80 1:20 0,5 N dan 1 N A25 CTR 3 80 1:20 0,5 N dan 1 N A26 60 0,5 80 1:20 0,5 N dan 1 N A27 80 0,5 80 1:20 0,5 N dan 1 N
3.4 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini meliputi persiapan bahan, pemanasan dalam
larutan alkali (alkalisasi) dan ekstraksi karaginan dari E. Cottonii, dan
pengeringan. Adapun tahapan penelitian sebagai berikut:
20
A. Persiapan Bahan
Tahap persiapan bahan adalah menyiapkan rumput laut jenis Eucheuma
cottonii dengan umur panen 50 hari. Kemudian dicuci menggunakan air laut untuk
menghilangkan benda asing yang melekat. Setelah bersih lalu dijemur di atas
terpal plastik hingga mencapai kadar air sekitar 30%.
Larutan KOH yang digunakan terdiri atas dua konsentrasi yaitu 0,5 N
dan 1 N. Larutan 0.5 N KOH diperoleh dengan melarutkan 28.05 gram KOH
dalam 1 liter aqaudes, sedangkan larutan KOH 1 N dengan melarutkan 56.10
gram KOH ke dalam 1 liter aquades.
B. Alkalisasi dan modifikasi karaginan
Tahapan alkalisasi dan modifikasi karaginan dari Eucheuma cottonii
dengan pemanasan ohmik adalah mengambil rumput laut jenis Eucheuma cottonii
sebanyak 45 gram yang akan dijadikan sebagai sampel percobaan dan dibagi
menjadi 3 bagian masing-masing sampel sebanyak 15 gram untuk setiap ulangan.
Setelah itu, Eucheuma cottonii dipanaskan dalam 0.5 dan 1 N larutan KOH
dengan menggunakan reaktor ohmik. Rasio Eucheuma cottoni: KOH yaitu 1:20
(g/ml) untuk setiap perlakuan. Proses pemanasan ini dilakukan pada tiga suhu
yaitu 70 0C, 75
0C, dan 80
0C dengan lama pemanasan 0.5 jam, 1 jam, dan 2 jam.
Selama proses pemanasan, karaginan yang terkandung dalam rumput laut akan
termodifikasi agar gugus sulfat dalam molekul karaginan berkurang, sehingga
kekuatan gelnya meningkat.
Setelah proses pemanasan, rumput laut yang telah diproses dipisahkan
dari larutan KOH dengan cara disaring dan dibilas dengan air mengalir, kemudian
dikeringkan dalam alat pengering tray drier type cross flow hingga kadar air
12%. Alkali treated cottonii (ATC) yang diperoleh kemudian ditimbang untuk
menentukan rendemen ATC yang diperoleh.
21
3.5 Parameter Pengamatan
Rendemen karaginan sebagai hasil ekstraksi dihitung berdasarkan rasio
antara berat karaginan yang dihasilkan dengan berat rumput laut kering yang
digunakan.
Untuk mengetahui rendemen ATC (Alkali-Treated Cottonii) yang
dihasilkan, maka dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
Rendemen ATC = Berat ATC
Berat padatan rumput Laut x 100% .. (4)
3.6 Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan acak lengkap faktorial dengan empat faktor utama yaitu: konsentrasi
KOH dengan 2 taraf, suhu alkalisasi dengan 3 taraf, lama alkalisasi dengan 3
taraf,dan tegangan dengan 2 taraf . Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 2
(dua) kali dengan jumlah satuan percobaan yang diamati adalah: 2x3x3x2x2 = 72
unit.
Konsentrasi KOH (A): A1 = 1 N
A2 = 0,5 N
Faktor suhu alkalisasi (B): B1 = 70
OC
B2 = 75 OC
B3 = 80 OC
Faktor waktualkalisasi (C): C1 = 0,5 jam
C2 = 1 jam
C3 = 2 jam
Faktor tegangan (D) D1 = 60 V
D2 = 80 V
Yijklm = + Ai + Bj + Ck + Dl + ABij + ACik + ADil + BCjk + BDjl + CDil
+ABCijk + ABDijl + ACDikl + BCD jkl+ ABCDijkl + ijklm............ (4)
Yijklm = Nilai pengamatan
= Nilai tengah umum
Ai = Pengaruh konsentrasi larutan dengan taraf ke i (i = 1,2) Bj = Pengaruh suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3)
22
Ck = Pengaruh waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3) Dl = Pengaruh tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) ABij = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2) dengan suhu
alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3) ACik = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2) dengan waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3) ADil = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2) dengantegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) BCjk = Pengaruh interaksi suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3)dengan waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3) BDjl = Pengaruh interaksi suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3) dengantegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) CDil = Pengaruh interaksi suhu waktu alkalisasi dengan taraf kek (i =1,2,3)dengan tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) ABCijk = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2), suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3)dengan waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3) ABDijl = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2), suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3)dengan tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) ACDikl = Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2), waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3)dengan tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) BCD jkl = Pengaruh interaksisuhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3)dengan tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) ABCDijk l= Pengaruh interaksi konsentrasi dengan taraf ke i (i = 1,2), suhu alkalisasi dengan taraf ke j (i = 1,2,3), waktu alkalisasi dengan taraf ke k (i = 1,2,3)dengan tegangan dengan taraf ke l (i = 1,2) ijklm = Galat Percobaan
23
Gambar 2. Bagan alir penelitian
Rumput Laut, umur
panen 50 hari
Pencucian dengan air laut
Penjemuran hingga kadar air 30%
Penyaringan
Penyiapan Larutan Alkali 0,5 N dan
1 N
Alkalisasi dengan Pemanasan Ohmik
Lama Pemanasan 0,5,1, 2 jam; dan
Suhu Pemanasan 70, 75, 80 OC
Pengukuran : Rendemen
Selesai
Pengeringan
Pencucian
Pencucian dengan air laut
Penjemuran hingga kadar air 30%
Mulai
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh Kuat Medan Listrik dan Konsentrasi Larutan KOH terhadap Laju Pemanasan
Bahan pangan yang dilewati arus listrik memberi respon berupa
pembangkitan panas secara internal akibat adanya tahanan listrik dalam bahan
pangan tersebut. Jumlah panas yang dibangkitkan dalam bahan pangan akibat
aliran arus berhubungan langsung dengan kerapatan arus yang ditimbulkan oleh
besarnya medan listrik (field strength) dan konduktifitas listrik dari bahan pangan
yang diolah (Sastry, 2011).
Gambar 2. Pemanasan Ohmik Suhu Target 70 oC.
Gambar 3. Pemanasan Ohmik Suhu Target 75
oC.
0
20
40
60
80
0 25 50 75 100 125 150 175 200 225
Suhu (
oC
)
Waktu (s)
80 V, 0.5N60 V, 0.5N80 V, 1N60 V, 1N
0
20
40
60
80
0 50 100 150 200 250 300
Suhu (
oC
)
Waktu (s)
80 V, 0.5N
60 V, 0.5N
80 V, 1N
60 V, 1N
25
Gambar 4. Pemanasan Ohmik Suhu Target 80 oC
Pengaruh kuat medan listrik dan konsentrasi larutan KOH terhadap laju
pemanasan ditunjukkan seperti pada Gambar 1, 2, dan 3. Perlakuan tegangan
listrik 80 V dengan konsentrasi larutan KOH 1 N memberikan laju pemanasan
paling cepat, sedangkan perlakuan tegangann listrik 60V dengan konsentrasi
larutan KOH 0.5 N memberikan laju pemanasan paling lambat. Waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai suhu pemanasan 70 oC pada perlakun 60 V, 0.5 N, 80
V, 0.5N, 60 V, 1N dan 80 V, 1 N masing-masing sebesar 3.5, 2.5, 2.5 dan 1.75
menit. Dan perlakuan suhu pemanasan 75 oC perlakuan 60 V, 0.5N, 80 V, 0.5N,
60 V, 1 N dan 80 V, 1 N masing-masing sebesar 4.1, 2.66, 2.6 dan 2.16 menit, dan
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu pemanasan 80 0C pada perlakuan
60 V, 0.5 N, 80 V, 0.5 N, 60 V, 1 N dan 80 V, 1 N masing-masing sebesar 5
menit 2.75, 2.66 dan 1.75 menit. Dari ketiga suhu tersebut suhu pemanasan 70 oC
pada tegangan 80 V hanya memerlukan 1.75 menit untuk mencapai suhu
pemanasan dengan konsentrasi 1 N. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan
tegangann listrik dan konsentrasi larutan KOH akan mempercepat laju
pemanasan Eucheuma cottonii dengan mengalirkan arus listrik melaluinya.
Dimana waktu pemanasan ohmik bergantung pada gradien tegangan yang
digunakan. Semakin tinggi tegangan, maka panas yang dihasilkan pun meningkat
dan memerlukan waktu lebih singkat untuk mencapai suhu pemanasan (Icier,
2012). Dalam hubungannya dengan pengolahan rumput laut, peningkatan laju
diffusi ini dapat membantu mempercepat laju diffusi alkali kedalam jaringan sel-
0
20
40
60
80
100
0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300 325
Suhu (
oC
)
Waktu (s)
80 V, 0.5N
60 V, 0.5N
80 V, 1N
60 V, 1N
26
sel sehingga kecepatan reaksi modifikasi dapat ditingkatkan sehingga lama
pengolahan dapat diturunkan (Salengke, 2000).
4.2 Pengaruh Suhu Pemanasan terhadap Konduktivitas Listrik
Konduktivistas listrik yang dihasilkan selama proses alkalisasi Eucheuma
cottoniii dipengaruhi oleh kuat medan listrik dan konsentrasi larutan alkali KOH
yang digunakan. Semakin besar medan listrik yang digunakan maka konduktivitas
listrik yang dihasilkan juga semakin besar, demikian pula pada perlakuan
konsentrasi larutan KOH yang tinggi akan menyebabkan kenaikan konduktivitas
listrik dalam reactor air(Muhtadi dan Ayustaningwarno, 2010).
Gambar 5. Pengaruh Suhu terhadap Konduktivitas Listrik dengan Konsentrasi
Larutan KOH pada Suhu 70 OC.
Gambar 6. Pengaruh Suhu terhadap Konduktivitas Listrik dengan Konsentrasi
Larutan KOH pada Suhu 75 OC.
= 0.058T+ 1.676R = 0.993
= 0.050T+ 1.593R = 0.994
= 0.094T + 3.581R = 0.988
= 0.082T + 3.601R = 0.991
0
2
4
6
8
10
12
30 35 40 45 50 55 60 65 70 75
Ko
nd
ukti
vit
as (
S/m
)
Suhu (oC)
80 V, 0.5N 60 V, 0.5N 80 V, 1N 60 V, 1N
27
Gambar 7. Pengaruh Suhu terhadap Konduktivitas Listrik dengan Konsentrasi
Larutan KOH pada Suhu 80 OC
Pengaruh perlakuan tegangan listrik dan konsentrasi larutan terhadap
konduktivitas listrik reaktor ditunjukkan pada Gambar 5, 6, dan 7 . Laju
konduktivitas listrik tertinggi diperoleh pada perlakuan tegangan listrik 80 V
dengan konsentrasi larutan KOH 1 N. Sedangkan laju konduktivitas listrik
terendah diperoleh pada perlakuan tegangan listrik 60 V dengan konsentrasi
larutan 0.5 N. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kuat medan listrik dan
konsentrasi larutan KOH yang digunakan, maka konduktivitas listrik yang
dihasilkan juga semakin tinggi. Konduktivistas listrik yang dihasilkan selama
proses alkalisasi Eucheuma cottoniii dipengaruhi oleh kuat medan listrik dan
konsentrasi larutan alkali KOH yang digunakan. Semakin besar medan listrik
yang digunakan maka konduktivitas listrik yang dihasilkan juga semakin besar,
demikian pula pada perlakuan konsentrasi larutan KOH yang tinggi akan
menyebabkan kenaikan konduktivitas listrik dalam reaktor. Kenaikan suhu larutan
dalam reaktor menyebabkan kenaikan konduktivitas listrik secara linier untuk
semua perlakuan. Perlakuan pengaruh suhu dengan kombinasi kuat medan listrik
dan konsentrasi larutan KOH dimana pada suhu 70 oC dengan variasi 60 V, 0.5 N,
80 V, 0.5 N, 60 V, 1 N dan 80 V, 1 N memberikan persamaan regresi masing-
masing = 0.107T + 3.661; = 0.106T + 3.057; = 0.053T + 1.826 dan =
0.047T + 1.670, dengan koefisien korelasi (R2) masing-masing sebesar 0.995;
= 0.047T + 2.154
R = 0.967 = 0.041T + 1.944
R = 0.999
= 0.091T + 3.875R = 0.995
= 0.082T + 3.728R = 0.998
0
2
4
6
8
10
12
30 40 50 60 70 80 90
Kondukti
vit
as (
S/m
)
Suhu (oC)
80 V, 0.5N 60 V, 0.5N 80 V, 1N 60 V, 1N
28
0.996; 0.995 dan 0.996. sedangkan suhu 75 oC dengan variasi 60 V, 0.5 N; 80 V,
0.5 N; 60 V, 1 N dan 80 V, 1 N memberikan persamaan regresi masing-masing
= 0.094T + 3.581; = 0.082T + 3.601; = 0.058T + 1.676 dan = 0.050T +
1.593, dengan koefisien determinasi (R2) masing-masing sebesar 0.988; 0.991;
0.993 dan 0.994. Dan pada perlakuan suhu 80 oC = 0.091T + 3.875; = 0.082T
+ 3.728; = 0.047T + 2.154 dan = 0.041T + 1.944, dengan koefisien korelasi
(R2) masing-masing sebesar 0.995; 0.998; 0.9967 dan 0.999. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Sastry dan Salengke (1998),
konduktivitas listrik bahan pangan meningkat secara linier dengan peningkatan
suhu sehingga proses pemanasan menjadi semakin efektif dengan semakin
meningkatnya suhu selama proses pemanasan ohmik berlangsung.
4.3 Total Konsumsi Energi listrik Selama Proses Alkalisasi Eucheuma
Cottoni dengan Pemanasan Ohmik
Gambar 8. Total Konsumsi Energi listrik Selama Proses Alkalisasi
Eucheuma cottonii dengan Pemanasan Ohmik.
Grafik total konsumsi energi (Gambar 8) menunjukkan bahwa konsumsi
energi tertinggi pada perlakuan dengan suhu 80oC, konsentrasi 0.5N, Tegangan
80 V, lama alkalisasi 1 jam total energi yang terpakai adalah sebesar 0.013 kWh
dan konsumsi energi terendah pada suhu 75 oC, tegangan 80 V, konsentrasi 1 N
lama alkalisasi 0.5 jam adalah 0.007 kWh. Total konsumsi energi selama proses
pemanasan ohmik ditentukan oleh besarnya arus yang mengalir dan lama
pemanasan selama proses pemanasan berlangsung. Semakin besar arus yang
29
dihasilkan menyebabkan konsumsi energi menjadi lebih besar. Demikian pula,
semakin lama proses pemanasan berlangsung menyebabkan konsumsi energi yang
semakin besar.
4.4 Hasil Rendemen Dengan Perbandingan Konsentrasi 0.5 N dan 1 N
Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam menilai efektif
tidaknya proses pembuatan tepung karaginan. Efektif dan efisiennya proses
ekstraksi bahan baku untuk pembuatan tepung karaginan dapat dilihat dari
nilai rendemen yang dihasilkan. Perhitungan rendemen dilakukan untuk
mengetahui persentase karaginan yang dihasilkan dari rumput laut kering
yang digunakan berdasarkan, konsentrasi KOH, suhu, tegangan dan lama
alkalisasi.
Rata-rata nilai rendemen karaginan yang dihasilkan pada penelitian ini
berkisar antara 25.30 47.64%. Grafik rendemen karaginan (Gambar 9)
menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi larutan KOH 1 N memberikan
rendemen lebih tinggi dari pada perlakuan KOH 0.5 N. Rendemen tertinggi
diperoleh pada sampel A9 dengan perlakuan suhu 70 oC, dengan konsentrasi
KOH 1 N dan lama alkalisasi 0.5 jam. Rendemen terendah pada sampel A24
dengan perlakuan 80 V, suhu 80 oC dengan lama alkalisasi 2 jam. Rendemen yang
dihasilkan pada penelitian ini masih memenuhi standar minimum rendemen
karaginan yaitu sebesar 25 %.
30
Gambar 9. Rendemen dengan Perbandingan Konsentrasi 0.5 N dan 1 N
Keterangan :
A1(CTR)= 1jam, 70 oC, A10(CTR)= 1jam, 75
oC A19(CTR)= 1jam, 80
oC,
A2= 1 jam, 70 oC, 60 V A11= 1 jam, 75
oC, 60 V A20= 1jam, 80
oC, 60 V
A3= 1 jam, 70 oC, 80 V A12= 1 jam, 75
oC, 80 V A21= 1jam, 80
oC, 80 V
A4 (CTR)= 2 jam, 70 oC A13(CTR)= 2 jam,75
oC A22 (CTR)= 1jam, 80
oC
A5= 2 jam, 70 oC, 60 V A14 = 2 jam, 75
oC, 60 V A23= 2jam, 80
oC, 60 V
A6= 2 jam, 70 oC, 80 V A15= 2 jam, 75
oC, 80 V A24= 2jam,80
oC,80 V
A7 (CTR)= 3 jam,70 oC, A16(CTR)= 3 jam, 75
oC A25(CTR)= 3jam, 80
oC
A8= 0,5 jam ,70 oC,60 V A17= 0,5 jam, 75
oC, 60 V A26= 0,5 jam, 80
oC, 60 V
A9= 0,5 jam, 70 oC, 80 V A18= 0,5 jam, 75
oC, 80 V A27= 0.5 jam, 80
oC, 80 V
Hasil analisis ragam rendemen karaginan menunjukkan interaksi
antara konsentrasi KOH, lama alkalisasi, dan suhu memberikan pengaruh nyata
terhadap rendemen karaginan yang dihasilkan, sedangkan interaksi volt memberi
pengaruh tidak nyata. Sedangkan Berdasarkan uji lanjut Duncan menunjukkan
bahwa lama pemasakan 0.5 jam memiliki nilai rendemen tertinggi dan berbeda
nyata dengan lama pemasakan 2 jam serta tidak berbeda nyata dengan lama
pemasakan 1 jam. Perlakuan suhu pemasakan 70 oC menunjukkan nilai rendemen
tertinggi dan berbeda nyata dengan suhu 75 oC serta berbeda nyata dengan suhu
80 oC. Perlakuan tegangan 60 V dan 80 V terhadap hasil rendemen dimana
hasilnya tidak berbeda nyata. Demikian pula dengan perlakuan konsentrasi 1 N
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
50%
55%A
1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A8
A9
A1
0
A1
1
A1
2
A1
3
A1
4
A1
5
A1
6
A1
7
A1
8
A1
9
A2
0
A2
1
A2
2
A2
3
A2
4
A2
5
A2
6
A2
7
0.5 N
1 N
31
memiliki nilai rendemen tertinggi dan berbeda nyata dengan konsentrasi 0.5 N
karena perlakuan suhu yang tinggi, dan tingkat konsentrasi larutan serta waktu
pemanasan yang lama menyebabkan sebagian karaginan akan terekstraksi ke
larutan KOH, sehingga mengurangi rendemen yang dihasilkan, karena kandungan
selulosa dalam rumput laut tinggi, sehingga mempengaruhi nilai viskositas. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Yasita, dkk (2010) dan Purwata dan Oviantari
(2007) bahwa semakin lama rumput laut kontak dengan panas maupun dengan
larutan pengekstrak, maka semakin banyak karaginan yang terlepas dari
dinding sel. menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas SRC dapat dipengaruhi
oleh konsentrasi larutan alkali, waktu pemasakan, serta kualitas bahan baku antara
lain kadar air dan kadar pengotor. Tahap penting ekstraksi semi-refined
carrageenan (SRC) terletak pada proses pemasakan dengan larutan alkali,
Penggunaan suhu yang lebih rendah pada produksi SRC dimaksudkan agar
karaginan yang terkandung dalam rumput laut tidak larut kedalam larutan alkali
yang akan menurunkan rendemen SRC yang dihasilkan. Sedangkan pada proses
pemanasan konvensional hasil rendemennya beda nyata dengan hasil pemanasan
ohmik, karena pada proses pemanasan konvensional untuk menghasilkan
rendemen tinggi menggunakan suhu pemanasan yang tinggi dan waktu
pemanasan yang lama yaitu 3 jam, berbeda dengan pemanasan ohmik yang nilai
rendemen tertinggi hanya menggunakan suhu 70 oC dan waktu pemanasan yang
singkat yaitu 0.5 jam.
32
V. KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian pemanasan ohmik pada Eucheuma cottonii
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Kenaikan kuat medan listrik dan konsentrasi larutan KOH yang digunakan
dalam proses alkalisasi Eucheuma cottonii mempercepat laju pemanasan
ohmik akibat meningkatnya konduktivitas listrik bahan dalam reaktor
ohmik.
2. Konsumsi energi listrik selama pemanasan dari suhu awal ke suhu target
berkisar antara 0.007 0.013 kWh.
3. Rendemen tertinggi (47.64%) diperoleh pada perlakuan A9 dengan
konsentrasi KOH 1 N, lama ekstraksi 0.5 jam dan suhu akhir 70 oC.
Rendemen yang terendah (26.13%) diperoleh pada perlakuan A24 dengan
konsentrasi KOH 0.5 N dan lama ekstraksi 2 jam dengan suhu 80 oC,
dan 80 V.
5.2 Saran
Bagi mahasiswa yang ingin melakukan penelitian lanjutan, dilakukan
penelitian dengan parameter yang berbeda dari parameter yang digunakan dalam
penelitian sebelumnya. Selain itu, perlu dilakuan scale-up untuk mendapatkan
kapasitas yang lebih besar.
33
DAFTAR PUSTAKA
Andriani, D. 2006. Pengolahan Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Menjadi
Tepung ATC (Alkali Treated Cottonii Carrageenophyte) dengan Jenis dan
Konsentrasi Larutan Alkali yang Berbeda. Skripsi. Universitas
Hasanuddin. Delgado, Antonio., Kulisiewicz, Leszek., Rauh, Cornelia.,
Wiersche, Andreas., 2012, Novel Thermal and Non-Thermal Technologies
for Fluid Foods. Academic Press, New York.
Anderson, D,R. 2008. Ohmic Heating as an Alternative Food Processing
Technology. Academic Press, Manhattan, Kansa.
Anggadiredja, J. T., Zatnika, A., Purwoto, H. dan Istini, S., 2006, Rumput Laut.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Berk, Zeki., 2009, Food Process Engineering and Technology, Acamdemic Press,
New York.
Delgado, Antonio., Kulisiewicz, Leszek., Rauh, Cornelia., Wiersche, Andreas.,
2012, Novel Thermal and Non-Thermal Technologies for Fluid Foods.
Academic Press, New York.
Icier, Filiz., 2012, Novel Thermal and Non-Thermal Technologies for Fluid
Foods. Academic Press, New York.
Indriani, Hety dan Emi Sumarsih, 1997. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran
Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.
Kordi, M., Ghufran, H., 2011. Kiat Sukses Budi Daya Rumput Laut di Laut dan
Tambak. Andi. Yogyakarta.
Muchtadi, R., T. Ayustaningwarno, F., 2010. Teknologi Proses Pengolahan
Pangan. Penerbit Alfabeta. Bandung.
Parwata, P., dan Oviantari, V., 2007. Optimalisasi Produksi Semi-refined
Carrageenan (SRC) dari Rumput Laut Eucheuma cottonii dengan
Variasi Teknik Pengeringan dan Kadar Air Bahan Baku. Laporan
Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Pendidikan Ganesha.
Poncomulyo, T. Maryani, H., Kristiana, L., 2006, Budi Daya dan Pengolahan
Rumput Laut. AgroMedia Pustaka, Jakarta.
Sadhori, S., Naryo. 1995. Budi Daya rumput Laut. Balai Pustaka. Jakarta.
Salengke, S. 2000. Electrothermal Effects of Ohmic Heating on Biomaterials.
Ph.D. Dissertation, The Ohio State University, Columbus, OH.
34
Samsuar, 2006. Karakteristik karaginan Rumput laut Eucheuma cottonii Pada
Berbagai Umur panen, Konsentrasi KOH dan Lama Ekstraksi. Tesis.
Sekolah PascaSarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sastry, S.K. and Salengke, S. 1998. Ohmic heating of solid-liquid mixtures: a
comparison of mathematical models under worst-case heating
conditions. Journal of Food Process Engineering, 21(6):441-458.
Sastry, S. K., dkk. 2001. Ohmic Heating and Moderate Electric Field (MEF)
Processing. Journal of Engineering and Food for The 21st Century
(47): 785-791
Setiawati, Tanti., 2007. Keunikan Rumput Laut dan Budi Dayanya. Mutiara
Books. Jakarta.
Silva, Juan L. 2002. http://www.msstate.edu/org/silvalab/ Dielectric, Ohmik and Infrared Heating. Diakses pada tanggal 24 Maret 2012 pukul 19.26
WITA, Makassar.
Suryaningrum, Dwi., Murdinah., Erlina, D., M. 2003 Pengaruh Perlakuan Alkali
dan Volume Larutan Pengekstrak Terhadap Mutu Karaginan Rumput
laut Eucheuma cottonii.Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume
9 Nomor 5.
Yasita, Dian dan Intan Dewi Rachmawati, 2010. Optimasi Proses Ekstruksi pada
Pembuatan Karaginan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Untuk
Mencapai Food Grade. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro. Semarang.
35