Post on 07-Aug-2015
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 1
Ia melewati hutan kegelapan, menyelinap di antara rakyat jelata, bahkan tinggal di antara mereka.
Ia mencintai rakyatnya. Mereka benar-benar menderita di bawah penguasa lalim, yang ingin mencitrakan diri sebagai manusia yang paling cantik dan berkuasa. “Tidak ada yang mustahil bagi orang yang mencintai”—Itulah ungkapan yang tepat untuk perjuangan seorang Snow White mulai dari titik itu.
Ia mulai menyatu dengan rakyat, sehati-sejiwa dengan mereka. Rakyat pun mencintainya. Rakyat mendukungnya. Ia tidak sendirian ingin mengubah wajah dunia yang penuh penderitaan, terror, dan kemiskinan. Film itu akhirnya menggambarkan kemenangan perjuangan Snow White dengan rakyatnya untuk mengubah wajah kerajaannya menjadi penuh damai dan sejahtera.
Bagaimana dengan kita sebagai (calon) misionaris CICM yang bermimpi mengubah wajah dunia menjadi wajah Kristus? Kita seharusnya sadar bahwa kita adalah pemimpin. Mulai dari sebuah “penjara” kita terpanggil untuk bermisi, melewati hutan kegelapan, menyatu dengan umat, dan merasakan denyut jantung mereka berdetak dalam putaran dunia kontemporer yang semakin menggeliat.
Menjadi soal, apakah kita cukup berani untuk menyatu dengan rakyat untuk berjuang bersama mereka untuk mewujudkan dunia yang damai dan sejahtera? Dunia di mana kita berkarya syarat dengan penguasa zaman yang menumpuk kekuasaan dan mencitrakan diri, ketimbang mencintai rakyatnya.
Beranikah Engkau bermimpi? Misionaris CICM berani ber-mimpi mengubah wajah dunia menjadi wajah Kristus. Barangkali Anda masih bingung untuk memahaminya.
Tetapi cobalah menonton film Snow White and The Huntsman.
Mimpi Misionaris
Diceritakan semenjak menjadi seorang tawanan, bahkan menjadi buronan Snow White mulai dijejali pertanyaan, bagaimana merebut kembali tahta kekuasaannya. Snow White adalah satu-satunya ahli waris kekuasaan pada kerajaan. Ia dikenal sebagai seorang putri yang berparas cantik, berhati mulia, merakyat, dan penyayang. Akan tetapi, semenjak ayahnya terbunuh oleh Queen Ravenna, ia menjadi seorang tawanan.
Sedangkan Queen Ravenna dikenal menjadi penguasa yang lalim dan menganut politik pencitraan. Ia bersahabat dengan dunia sihir. Ia selalu ingin menjadi cantik, tidak menerima kenyataan wajah keriput dan rambut beruban. Rakyatlah yang jadi korban. Demi mempercantik diri, ia mengisap aura kecantikan rakyatnya melalui sihir. Rakyat benar-benar menderita. Mereka terus-menerus diteror.
Di saat seperti itulah Snow White bermimpi, mengembalikan impian rakyat untuk hidup dalam damai. Ia sadar bahwa ia adalah satu-satunya harapan bagi rakyatnya, pembawa damai dan kesejahteraan. “Mendengar namamu orang-orang akan bangkit!” bujuk seorang perwira kerajaan kepadanya pada suatu ketika.
Apakah ia sanggup mewujudkan impiannya? Apakah senjata utamanya dalam melawan kelaliman dan kekuasaan Queen Ravenna? Bukankah ia hanya seorang tawanan?
Film ini menggambarkan Snow White seorang tawanan yang berhasil meloloskan diri dari penjara. Ia menjadi seorang buronan.
CICMSuara Redaksi
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 20122
Ketika menjalani tahun novisiat di Makassar, saya masih ingat dengan sebuah ungkapan yang dituturkan oleh
salah satu presiden di Amerika Serikat, Theodore Roselvelt, yaitu bahwa “...seribu miles dimulai dari sebuah impian..”. Kalau kita sadari, ungkapan tersebut bukanlah sesuatu yang asing karena dirumuskan secara baru dari penutur aslinya, seorang tokoh kebijaksanaan Cina kuno, Laozi. Dalam bentuknya yang asli, Laozi mengajarkan bahwa “sebuah perjalanan (panjang) sejauh seribu miles, (selalu) diawali dengan sebuah langkah”. Hal itu berarti bahwa untuk memulai sesuatu yang baru maka perlu adanya suatu tindakan nyata untuk melaksanakannya. Dari kedua ungkapan tersebut ada dua hal yang sangat menarik bagi saya, khususnya dalam kerangka mewujudkan harapan menjadi seorang missionaris bersama CICM, yaitu “sebuah impian dan suatu langkah”. Sebuah impian berarti adanya suatu cita-cita di masa depan, sedangkan suatu langkah mengambarkan adanya suatu tindakan kongkrit untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Internship di Negeri Paman Sam
...seribu mile dimulai dari sebuah impian..,dan sebuah perjalanan sejauh seribu miles diawali dengan sebuah langkah.
Oleh : Sony Aryanto,CICM
SAJIAN UTAMA
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 3
di Dulles International Airport, Washington DC. Di bandara, saya dijemput oleh seorang konfrater Filipina yang sudah lama berkerja di Amerika, yaitu P. Randy Gonzales, CICM. Kemudian, dari bandara saya langsung diantar menuju Missionhurst Community di Arlington, Virginia untuk istirahat. Pada hari berikutnya, Provincial CICM Amerika, yaitu P. Anselm Malonda, CICM meperkenalkan saya kepada para konfrater yang tinggal di komunitas Missionhurst. Beberapa diantara mereka sudah memasuki usia senja, namun masih tetap aktif dalam karya pastoral. Total jumlah konfrater yang tinggal di komunitas
Missionhurst Arlington adalah sembilan konfrater. Enam diantaranya tinggal di retairment house dan selebihnya bekerja di mission house.
Dua hari setelah tiba di Amerika Serikat, meskipun masih dalam keadaan jetlag, saya bersama dengan P. Sylvian
Bakanda, CICM, seorang konfrater Congo yang bekerja di Haiti, langsung mendaftarkan kursus bahasa Ingris di International English Institute, Washington DC. Di tempat kursus saya dikelompokkan ke dalam Intermediate Class, tentunya setelah menjalani ujian yang disediakan oleh pihak sekolah. Sedangkan hal menarik di tempat kursus tersebut adalah suasana intermultikultural karena seluruh siswa-siswi yang mengikuti kursus berasal dari berbagai negara, khusunya Kroasia, Jepang, Rusia, Arab Saudi, Iran, Thailand, Cina, Brazil, Equator Guinea, Malawi, Peru, Honduras dsb. Dalam suasana keberagaman inilah saya merasa tertantang untuk mempertajam bahasa Inggris dengan mempraktikkan secara langsung, mengingat Indonesia tanah air tercinta bukanlah English Speaking Country. Oleh sebab itu, tidak ada cara lain bahwa sekalipun memiliki pemahaman Bahasa Inggris yang kurang baik dan seringkali membuat kesalahan dasar, namun dengan cara berteman dan
Dalam perjalanan panggilan saya, keinginanan untuk menjadi seorang missionaris di Amerika Serikat pada dasarnya berangkat dari sebuah impian yang dijiwai oleh kedua ungkapan di atas, dan kemudian tertanam di dalam diri saya sejak menjalani tahun novisiat di Novisiat Sang Tunas Makassar hingga saat ini. Oleb sebab itu, dengan berbekalkan sebuah impian tersebut, maka ketika General Government CICM pada tahun 2011 memberikan empat tawaran untuk memilih negara tujuan missi (mission destination), dengan sepenuh hati dan tanpa keraguan saya langsung m e n e m p a t k a n Amerika Serikat pada urutan pertama sebagai negara tujuan missi. Keinginan saya untuk berkarya di negeri Paman Sam akhirnya memperoleh jawaban positif dari dewan General di Roma, namun saya juga menyadari bahwa perjalanan untuk menjadi seorang missionaris tidaklah berakhir dengan terwujudnya impian saya karena apa yang saya alami saat ini barulah sebuah langkah awal dari harapan saya. Di depan saya masih ada ribuan mile yang harus dilalui dengan ketekunan dan usaha secara terus menerus. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini saya merasa terpanggil ingin membagikan pengalaman saya pada tahap persiapan internship, mengingat bahwa internship secara resmi akan dimulai pada tahun kedua saya di negri Paman Sam, yaitu tahun 2013.
Missionhurst-CICM, ArlingtonSaya meninggalkan Indonesia menuju
tanah misi, Amerika Serikat, pada tanggal 25 April 2012. Dari Indonesia, saya singgah di Munich, Jerman dan kemudian meneruskan perjalanan menuju Washington D.C. Setelah menempuh penerbangan selama dua puluh tiga jam, akhirnya saya tiba pada malam hari
“ Saya juga menyadari bahwa perjalanan untuk
menjadi seorang missionaris tidaklah berakhir dengan terwujudnya impian saya
karena apa yang saya alami saat ini barulah sebuah
langkah awal dari harapan saya.
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 20124
berinteraksi dengan mereka maka akan meningkatkan kemampuan saya untuk bebicara dalam bahasa Inggris. Dengan kata lain, untuk berbicara bahasa Inggris pun tidak hanya bermodalkan pengetahuan saja, namun juga harus dipratikkan secara nyata dengan cara menjalin komunikasi dengan orang lain. Di Washington D.C, khursus Bahasa Inggris saya jalani selama tiga bulan hingga masuk Advance Class, yaitu kelas persiapan untuk TOEFL dan TOEIC.
Di San Antonio, Texas Setelah tiga bulan menjalani
kursus Bahasa Inggris dan diandaikan cukup mampu memahami Bahasa Inggris baik tulisan maupun lisan, selanjutnya saya memasuki tahap kedua dalam persiapan internship, yaitu kursus di Oblat School of Theology di San Antonio Texas. Pada tanggal 10 Agustus 2012, saya meninggalkan Missionhurst di Arlington menuju kota San Antonio dengan mengendarai mobil bersama P. Randy Gonzales, CICM. Perjalanan kami tempuh selama dua hari dan satu malam untuk beristirahat di Atlanta, Georgia. Di San Antonio, saya tinggal di St. Bonaventure Parish bersama dengan P. Celso Tabalanza, CICM, seorang konfrater Filipina yang pernah bekerja di Congo. Semula St. Bonaventure Parish didirikan oleh biarawan fransiskan namun sudah dua tahun terakhir ini diberikan oleh Uskup Agung San Antonio, Mgr. Gustavo Garcia Siller, MS.Ps kepada Missionhurst-CICM. Di paroki inilah saat ini saya tinggal di tengah-tengah umat paroki yang 99% hispanik, Mexican-American.
Setelah satu minggu tinggal di paroki, saya bersama P. John Teguh Raharjo, CICM mendaftarkan diri untuk mengikuti kursus di Oblat School of Theologi, sebuah instansi pendidikan yang dikelola oleh Missionaris Oblat Maria Immaculata. Di sekolah inilah dahulu formasi pendidikan CICM di Amerika dilaksanakan, namun lantaran tidak ada panggilan di Amerika maka komunitas pendidikan di sini sudah lama ditutup. Di
Oblat School of Theology, saya mengikuti lima mata kuliah yang dilaksanakan dari hari Senin sampai Jumat. Dari lima mata kuliah tersebut tiga diantaranya berkaitan dengan kebudayaan hispanik dan sejarah perkembangan kekristenan di Amerika Serikat. Sedangkan dua mata kuliah lainnya berkaitan dengan pastoral dalam konteks masyarakat Amerika, khususnya orang-orang hispanik di Texas. Bagi saya seluruh mata kuliah tersebut sangat menarik karena merupakan sesuatu yang baru dan belum pernah saya dapatkan di STF. Driyarkara. Dalam konteks perkulihan inilah saya ditantang untuk lebih mendalami misi CICM di Texas dengan cara mengali pemahaman sejarah perkembangan orang-orang hispanik di Amerika Serikat.
Terlepas dari kegiatan akademik di Oblat School of Theology, khususnya pada hari Sabtu, Minggu, dan Senin, saya mencoba terus menjalin komunikasi dan bersosialisasi dengan umat paroki di mana saya tinggal. Hal ini tidak lain dimaksudkan untuk memperlancar bahasa Inggris secara lisan. Saya sadar bahwa sekalipun mayoritas umat paroki berkomunikasi dengan mengunakan Bahasa Inggris, namun mereka rata-rata berbicara dengan menggunakan bahasa Spanyol yang cenderung TexMex (Texan-Mexican). Dalam hal inilah terkadang komunikasi saya dengan mereka seringkali macet karena kemampuan bahasa Spanyol saya saat ini masih “Nol” alias tidak tahu sama sekali. Oleh sebab itu dalam keadaan demikian saya hanya bisa tersenyum sambil belajar dari mereka untuk memahami dan menangkap maksud pembicaraan. Dengan memperhatikan konteks sosial umat paroki yang masyoritas hispanik, kini semakin terasa bagi saya bahwa Bahasa Inggris yang selama ini saya pelajari tidaklah cukup sebagai satu-satunya sarana komunikasi dengan umat paroki. Dengan demikian, kebutuhan berbahasa lain pun harus ditunjang, yaitu dengan Bahasa Spanyol. Oleh sebab itu, setelah delapan bulan menjalani dua tahap persiapan internship maka saya pun merasa
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 5
retret bersama yang dipimpin oleh P. Frans de Ridder, CICM, seorang konfrater Belgia yang bekerja di Taiwan. Dengan berkumpunya seluruh konfrater CICM provinsi Amerika, maka menjadi terasa sangat nyata wajah Internasional CICM karena konfrater yang bekerja di negeri Paman Sam berasal dari Congo, Filipina, Belgia, Canada, Belanda, Indonesia, dan tentunya dari Amerika Serikat sendiri. Dalam semangat persaudaraan dan keberagaman, bagi saya hal menarik di dalam retret tersebut adalah bagaimana menghadirkan kristus secara nyata di dalam karya pastoral di tanah misi, secara khusus di Amerika Serikat. Menurut saya, tidaklah mudah menjalankan karya misi di Amerika jika tanpa ditunjang oleh penyerahan diri kepada kehendak Allah. Oleh sebab itu, sebagai intern yang masih belajar dan terus beradaptasi dengan lingkungan masyarkat sekitar, saya menjadi lebih tertantang untuk memberikan diri seutuhnya bagi pelayanan karya misi CICM di Amerika. Dalam kerangka inilah perumpamaan tentang garam dan terang dunia di dalam Mat 5:13-16 sangat menjiwai perjalanan panggilan saya ketika menjalani kehidupan sebagai missionaris di tengah-tengah bangsa lain.
siap untuk melanjutkan tahap berikutnya, yaitu belajar Bahasa Spanyol. Menurut program yang sudah ditetapkan oleh direktur internship, rencana belajar bahasa Spanyol akan dilaksanakan di Puerto Rico selama tiga bulan, yiatu setelah saya menyelesaikan kursus di Oblat School of Theologi pada bulan Desember tahun ini. Dengan demikian, total proses persiapan intership di Amerika Serikat membutuhkan waktu selama setahun sebelum melaksanakan internship secara formal dibawah koordinasi lebaga Oblat School of Theology dan direktur internship CICM Amerika.
Seribu Mill: Sebuah Perjalanan PanjangBerangkat dari seluruh proses persiapan
internship di atas, saya pada saat menulis artikel ini pun mencoba mengevaluasi seluruh perjalanan panggilan saya. Kesempatan ini menjadi lebih bermakna karena ditunjang oleh semangat Cor Unum et Anima Una, khususnya ketika menjalani retret tahunan di Arlington pada bulan Oktober 2012. Pada kesempatan itu mayoritas konfrater CICM di Amerika, baik yang berkerja di New York, Philadelphia, Virginia, North Carolina, maupun di Texas berkumpul untuk melakukan
Fr. Sony berpose bersama umat di
Amerika. Senyuman khasnya tidak pudar
di tempat baru.
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 20126
Bagi saya, menjadi “garam dunia” berarti memberikan rasa bagi orang lain dan untuk menjadi garam di tengah pelayanan karya misi pun menuntut suatu usaha yang serius. Oleh sebab itu agar memberikan rasa, saya pun berusaha melebur dan mengambil nilai-nilai kehidupan di tengah-tengah masyarakat Amerika, yaitu dengan belajar terus menerus, baik belajar Bahasa Inggris, Spanyol maupun kebudayaannya. Sekalipun usaha ini membutuhkan waktu yang panjang dan sangat sulit bahkan terkadang membuat saya jatuh bangun karena saya menyadari bahwa saya bukanlah orang yang pandai dalam hal ini, akan tetapi berbekalkan iman akan penyelenggaraan Ilahi saya percaya bahwa kelak bisa berintegrasi dengan umat di Amerika. Tentunya hal ini didasari dengan keyakinan iman bahwa Allah tidak akan pernah memberikan impian saya untuk bermisi ke Amerika, jika Allah sendiri melihat saya tidak mampu. Dengan kata lain, Allah selalu memberikan apa yang diinginkan umatnya menurut kemampuannya. Oleh sebab itu, bukti bahwa Allah mengabulkan impian saya untuk berkarya di tanah misi Amerika Serikat menjadi tanda bahwa Allah sendiri tahu batas kemampuan saya. Dalam kerangka inilah saya mengatakan bahwa usaha untuk menjadi “garam dunia” membutuhkan suatu usaha yang serius agar memberikan rasa bagi orang lain.
Sebagai seorang missionaris, saya juga menyadari bahwa selain dituntut untuk menjadi “garam dunia”, saya juga ditantang untuk mewarnai kehidupan orang lain. Oleh sebab itu, dengan bercermin pada perumpamaan tentang terang dunia, maka
saya pun merasa perlu mengembangkan talenta yang saya miliki agar dapat memberikan arti bagi pelayanan karya misi di tengah-tengah bangsa lain. Dalam hal inilah saya merasa dituntut untuk lebih kreatif di tempat di mana saya ditugaskan. Kreatif yang saya maksudkan dalam arti ini cepat tanggap terhadap situasi dan kondisi lingkungan di mana saya tinggal, yaitu dengan mayoritas orang hispanik. Dengan demikian kreatifitas tersebut sangat efisien membantu saya untuk mengusir kesepian serta mengobati kerinduan saya pada tanah kelahiran, Indonesia. Kini di hadapan saya masih tersisa perjalanan panjang yang harus ditempuh dengan usaha keras dan perlu adanya dukungan dari semua pihak. Oleh sebab itu saya pun menyadari bahwa perjalanan panggilan saya di dalam karya misi bersama CICM di Amerika bukanlah berakhir di sini. Sebaliknya, keberadaan saya sebagai missionaris di Amerika saat ini justru sebagai sebuah awal untuk mewujudkan impian secara nyata, yaitu impian Allah sendiri. Dengan demikian, ketika saya sudah memutuskan untuk mengawali sebuah perjalanan seribu mill, maka saya pun harus menyelesaiakannya dengan berbagai usaha keras yang dibalut dengan doa.
St. Bonaventure Parish,San Antonio, Texas – United States of
AmericaFr. Sonny Aryanto, CICM
Fr. Sony bersama konfrater CICM di Amerika
Missionhurst Arlington, tempat tinggal dari Fr. Sony
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 7
يتوخٍالا اهيأ
(Aiyuhelikhwati: all my brothers)
هتاكرب و هللا ةمحرو مكيلع مالسلا
(Assalamu ‘alaikumwarahmatullahiwabarakatuhu: the peace, the blessing and the merciful of God upon all of you)
Alhamdulillahrabbi ‘alamin (دمحلا dari Kota (نيملاعلا بر هللAbadi, Roma, dan dari kisah
lain yang belum selesai. Tanggal10 Oktober 2011, saya tibadi Kairo, Mesir. Waktu itu kira-kira jam tiga atau empat sore. Saat itu saya dijemput oleh seorang supir taksi yang sudah menungguku sejakpagi hari, tapi karena keterlambatan keberangkatan pesawat dari Doha beliau harus menungguku sampe sore harinya. Perjumpaan awal kami itupun berlanjut dengan banyak ‘keterkejutan’, terutama datang dari pikiran dan perasaanku saat itu. Satu kata bahasa Arab yang saya ingat selama perjalanan dari Jakarta-Doha-Kairoituhanya syukran (اركش), yang artinya “terimakasih”. Sepanjang perjalanan pak supir itu berkisah banyak hal dalam bahasa Arab berdialek lokal‘amia (ةيماع). Karena tidak mengerti satu kata pun saya cuma bisa menjawabnya dengan senyuman dan sesekali bilang syukran. Entah pas atau tidak, nyambung atau tidak, yang penting saya coba memberi reaksi ‘perhatian’ dengan sang supir. Sekurang-kurangnya dengan reaksi itu situasi menjadi tidak kaku sepanjang perjalanan menuju Ramses.
Ini pengalaman pertama masa studi yang membuatku cukup ‘senang’ karena tiba dengan selamat di tempat tujuan. Sebelumnya saya harus menanti dalam ketidakpastiaan visa Mesir sejak awal bulan Juli hingga pertengahan Oktober 2011. Dan kesabaran senantiasa menjadi pemenang di ujung asa, bahkan setelah rencana lain yang sudah saya mantapkan untuk dieksekusi di Makassar, jawaban visa dari Mesir menjadi ketergesaan yang meruntuhkan rencana
matang lain (kedua), dan menerbitkan harapan baru lagi sesuai dengan rencana pertama dan utama. Entah mengapa: selain selalu menjadi pemenang, kesabaran itu adalah harapan. Jika tak sesuai dengan yang pertama, yang kedua, ketiga, atau keempat pun tetap menjadi harapan.Yakinku bahwa, kesabaran dan harapan itu selalu berbanding lurus .Subhanallah(هللا ناحبس).
Selain rasa senang tersebut tentu ada rasa nano-nano yang lain: ‘takut dan asing yang becampur ragu’ dengan apa yang akan saya hadapi di Kairo kedepan. Terlebih perasaan ragu yang senantiasa mengangguku. Kalau menjadi asing pada kesempatan pertama itu hal yang biasa bagi para misionaris.Namun rasa ragu tentu menjadi sesuatu banget yang punya persoalan tersendiri bagiku. Saya menyadari bahwa tugas studi ini merupakan suatu kebetulan yang saya terima, sebab sudahbegitu banyak tugas belajar sebenarnya sudah ditawarkan kepada para konfrater lain yang lebih mampu dengan cara misi seperti ini, namun mereka menolaknya. Sedangkan saya Cuma beritikad (داقتعا) dari sharing ketertarikan terlibat di dalam dialog antar-keyakinan dan rasa ingin tahu bagaimana bisa memahaminya eh malah menjadi tantangan yang kebablasan hingga saat ini: Dari Kairo kemudian terus ke Roma. Sungguh perjuangan belum selesai setelah rasa ragu terbit pada ‘pandangan (baca: pendapat) pertama’.
Pikirku lagi—sambl melirik masa lalu dan sambal hitung-hitungan—rasanya ini membuang waktu saja.Bertahun-tahun berjuang menyelesaikanstudi di STFD itupun sudah sangat Alhamdulillah.Dan
a Letter from Rome
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 20128
paling jreng itu setelah tahbisan langsung berkarya, seperti saudara seangkatanku Jeremias Lakonawa yang sekarang bertugas di Sungai Danau, Kalsel; atau konfrater lainnya. Membayangkan pengalaman dua tahun yang lalu di sana (Sungai Danau) sudah seperti sehari yang begitu indah. Eforia yang tak pernah padam dari ingatan dan sanubari. Namun apa yang saya jalani sekarang sungguh berbeda dengan cita-cita awal yang sederhana itu. Tepatnya kembali lagi ke sekolah: harus berhadapan lagi dengan para dosen; membaca buku-buku; membuat tugas-tugas; ujian dan sebagainya. “Oh, mama mia, checosastofacendo?!!”(Oh tidak!!!!)
Ketika berada di Kairo, saya tinggal bersama tiga orang pastor Nigeria: dua pastor diosesan dan satu pastor Anglikan. Tentu mereka sudah punya banyak pengalaman pastoral karena saya paling muda, dan saya banyak belajar dan berguru dari mereka. Kehidupan kami sungguh terjalin erat dan saling melindungi satu sama lain. Adaptasi dan sosialisasi tidak menjadi masalah buat saya, karena sudah terlatih sejak tinggal di Pondok Bambu, Makassar dan di RawaDomba. Kehidupan selayaknya anak kos tapi kami saling mengingatkan, membantu, dan menasehati; sekurang-kurangnya hidup komunitas itu selalu ada. Di Dar Comboni—tempat studi bahasa Arab di Kairo—kami datang dari berbagai benua, dari Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika Latin. Jumlah mahasiswa/i saat itu sedikit, kurang lebih cuma 15 orang, karena situasi politik Mesir yang belum stabil dan rawan. Tiada hari tanpa demo pascamundurnya Mubarak dengan thaura (ةروث) atau revolusi. Singkatnya, walau melewati hari-hari yang sulit di Mesir, di tengah padat merayapnya kuliah yang harus saya ikuti, kehidupannya selalu menawan dan eksotik. Inilah resiko menjadi misionaris, yakni resiko selalu jatuh cinta pada hal-hal yang sulit dan mustahil (Red.Verbist). Ketika cinta bicara, simustahil menemui ajalnya.Masya Allah .(هللا ءاشام)
Dan sekarang di Roma, di Kota abadi (la citta’ eterna). Kisah yang sama, lanjutan dari
yang belum selesai di tempat yang berbeda. Ini bulan yang kedua saya melanjutkan studi di PISAI (PontificioIstituto di StudiArabi e d’Islamistica).Tantangan baru menghadang dan memberi peluang baru. Belajar bahasa Italia menjadi keharusan sebelum masuk kuliah.Yang menyenangkan bahwa saya tinggal di Collegio CICM. Kehadiran Yans Dipati dan Frans Sule pun menambah barisan konfrater Indonesia dan memberi warna-warni di antara konfrater, yang umumnya berasal dari Afrika dan satu konfrater dari Belgia. Dan ketika bertanya lagi pada diri sendiri tantangan apa yang saya menantiku, maka saya sampai pada catatan akhir atas sharing sederhana ini.
Tantangan itu tidak lain adalah menaklukan diri sendiri yang merasa tidak mampu, perasaan yang ragu, serta sikap untuk bias menerima suatu cara tugas bermisi yang lain dengan setia, sabar, dan tekun sambil berpikir positif, sederhana, dan terbuka kepada ‘kerajaan-NYA’. Dan Insya ALLAH TUHAN akan menambahkan ,(هللا ءاش نا)kebenaran dengan kekayaan hati dan pikiran kita (bdk. Mat 6:33), melegakan beban dan kuk yang harus kita pikul (Mat 11:29-30), dan membimbing kita sampe ke air yang tenang yang menyegarkan jiwa, sebab DIA adalah gembala yang baik bagi kita (Mzm 23).Tuhan Tahu yang terbaik—Allahua’lamu( dan kita melakukan yang terbaik—(ملعا هللاdengan ber-ijtihaad (داهتجا). Ketika tawaran studi itu menghampirimu, katakan: “ya aku mau dengan cinta yang sedia”, dan simustahil menemui ajalnya. Bismillahirrahmanirrahim in the name of—(ميحرلا نمحرلا هللا مسب)Allah, the Beneficient, the merciful.
Santos (سوتناس), Roma (امور).
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 9
Bank on HopeDear confreres and friends in Indonesia…
I still remember the last evening of our meeting in Pondok Bambu when we hugged each
other before the trip to the Philippines. Some of you said a few words to support my new journey of formation in the Philippines. At that time I guessed that you wanted me to bank on hope, especially when God’s plans are hard to understand. You wanted me to believe that His plans are better than my dreams. Honestly, going to the Philippines was not my expectation, was not my dream. I preferred to continue my studies in STF Driyarkara, because it would be shorter and easier. Nevertheless, we know that from this year on, we have to continue our studies in the Philippines as the result of some changes in our congregation. We could say that it is God’s plan, so let us bank on hope.
I believe that hope encourages me to live my new days in the Philippines, namely in Baguio City, where all Indonesian brothers are taking an English course. We (nine brothers and Father Joni Payuk) are living in Home Sweet Home, a retirement house for old CICM confreres. After almost three months, I have to say that, slowly but surely, I start to enjoy my living in Baguio. I like the weather, the city environment, its people who are very friendly, the food and so on. Sometimes, when we go to a market or store, the people here think that we are Filipinos (the Philippines people). They start speaking in Tagalog or Ilokano, but when realizing that we don’t understand them, they ask, “What country are you from?” Even sometimes when they notice our confusion, they are wondering why we could not speak Tagalog or Ilokano. They misunderstand us, because of the similarity between Indonesians and Filipinos feature. I love also living here with some old confreres. Sometimes, they tell their missionary stories which are very meaningful and encouraging us, the young CICM, to be zealous missionaries like them. Whenever I hear their stories, I am always touched by their dedication and missionary attitudes. At the beginning of November, three brothers, who are from Congo, Cameroon, and Haiti
by: Brother Richard
“God, if today I lose my
hope, please tell me that
your plans are better than my
dreams”.
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201210
arrived in Home Sweet Home. Now, they are also taking an English Course in Saint Louis University.
Our primary activity here is studying English. Actually, we have passed the first term of the English course in Saint Louis University (SLU). Now, we’ve just begun our second term, which is supposed to be end in February, 2013. SLU, which belongs to CICM-Province of the Philippines, is the biggest university in the northern Philippines. We are taking an English course at the Institute of Foreign Languages and International Studies of this university. Every day, from Monday to Friday, we walk to SLU. We enjoy the walking because it is good for our health and we can encounter many people along the way. We have busy hours from the morning to the afternoon, because we have classes before lunch and classes after lunch. After having dinner, we usually watch movies on TV to improve our English.
In our spare time, especially on Saturdays, we sometimes go the GYM in SLU, or play football in Burnham Park (one of the city’s parks), or some sports in Maryhurst Seminary,
a pre-novitiate seminary of CICM in the Philippines, or going around the city, or washing clothes, or gardening in Home Sweet Home, etc. There were times, during the vacation, that we went to other places like Ifugao for a priesthood ordination of a CICM, or to Manaoag on a pilgrimage, and to La Union for an outing.
Finally, I’d like to share a beautiful prayer from an anonymous person, a prayer which could strengthen us as missionaries and candidate of missionaries. “God, if today I lose my hope, please tell me that your plans are better than my dreams”.
fr. Richard sedang bergaya di depan kamera di Filipina
fr.Erwin, fr. abe, fr. Galuh, dan fr. Enjang sedang berjemur di salah satu pantai di
Filipina
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 11
Beberapa percakapan lucu selama proses awal adaptasi di negeri rantau:
The Longest Trip?
Suatu malam di saat kami sedang menonton TV, kami kedatangan tamu, yakni para katekis muda dari daerah Ifugao bersama pastor paroki mereka. Mereka menggunakan sebuah minibus untuk sampai ke komunitas kami, Home Sweet Home - Baguio City. Saya : So, you must be tired now, because your travel from Ifugao.The girl : Yeah of course…., but we enjoyed the trip anyway. Saya : Btw, is Ifugao far from here? The girl : Actually, it’s not so far. But it’s different province with Baguio City. Saya : Oh I see. So, how many years the trip you took from Ifugao to here?The girl : ?!#%&*-* (Maksud loe frat’? Years? Hours kalee . . . . !!!)-----------------
Betting Banana!Dalam salah satu pertemuan mata kuliah “Conversation”, entah bagaimana, kami terlibat dalam diskusi yang cukup seru (tentu saja diskusinya dalam bahasa Inggris). Saya : I bet you could not do that! Umbu : Ok, so what would you bet on it, then?Saya : I would bet my banana tonight!!! *Banana selalu menjadi salah satu hidangan pencuci mulut di meja makan kami Tak dinyana, dosen “Conversation”, yang sedari tadi mengikuti alur diskusi kami, tertawa lepas dan dengan muka yang memerah berkata, Dosen : OMG….., howcome?! Banana? Saya : What’s wrong Mam’? (sambil garuk2 kepala….)
*ternyata dalam percakapan informal, “banana” memiliki konotasi yang “berbeda”! (Yah maap bu, namanya juga orang baru, haha . . . ) -------------------
Indo-English StyleBeberapa hari setelah tiba di Baguio, salah seorang dari kami berniat untuk berjalan-jalan di salah satu pusat perbelanjaan di kota ini. Sekedar bahan pembanding: Kalo di Jakarta….kayak di Sarinah, Thamrin; trus kalo di Makassar, yah…, kurang lebih sekelas Pasar Sentral lah, haha . . . Katanya sih, pengen berinteraksi dengan penduduk sekitar dan juga berniat membeli minyak wangi. (Kali ini bukan saya lagi loh biang keladinya! Haha . . .) Berikut cuplikan percakapannya:Fr. Indo : Excuse me, could you help me… (mbak: dalam hati tapi)? “Mbak” : Yes, of course po! (Di sini, “Po” dipakai sebagai kata ganti orang, khususnya untuk menghormati lawanbicara)Fr. Indo : Ehm…ehhh…, I’ve looked for one of the brand of perfume, but I couldn’t find it. “Mbak” : But, what brand of perfume do you mean po?Fr. Indo : It’s “AXE”! (Tapi karena diucapkan dengan “Indo-English” style yang kental, jadinya: “EIKX”) “Mbak” : Ouh..., sorry po, we do not have “eikx”. We only have “ÆKS” (dengan pengucapan yang seharusnya)! Fr. Indo: ……?%$#@....! (Waduh…prat…prat….cape’ deh! Haha…)
Jokesfrom Philipines
Galuh Arjanta
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201212
Awal dan Akhir
Work Experience merupakan salah satu program tahunan dalam Initial Formation Komunitas Skolastikat Sang Tunas Pondok Bambu Jakarta.
Para formandi terjun berdua-dua dalam kegiatan sebagai buruh harian di suatu proyek pembangunan dan peter-nakan ayam. Program kerja ini berlangsung selama satu bulan dan biasa diadakan pada Bulan Juli sesudah ujian semester. Kongregasi mengadakan program work experi-ence dengan tujuan agar para calon imam bukan saja men-genal, tetapi juga secara langsung mengalami suka duka sekian banyak orang di luar yang mencari nafkah dengan bekerja kasar dan berjemur melawan terik panasnya ma-tahari demi sepiring nasi dan sebotol susu buat anak ister-inya. Para formandi yang terlibat langsung dalam realitas kecil ini dengan menymbunyikan identitas asli yaitu seba-gai calon imam. Mereka juga mendapat honor yang sama dengan karyawan-karyawan lain. Ini dibuat agar tidak mendapat perlakuan yang istimewa. Kegiatan ini juga di-maksudkan bahwa kita sudah memiliki sedikit gambaran tentang karya misioner yang kelak akan kita hadapi di tanah misi nanti.
yang Indah Oleh: Lambertus Rony Mau
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 13
Kampung Sadang, Desa Cikarageman, Kota Bekasi menjadi tempat dua pemuda, Lembata dan Timor mencari arti kehidupan dan mengalami kerasnya kehidupan dan bergelut secara langsung dalam dunia yang baru. Sebelum saya memulai cerita singkat tentang dunia kerja kami, pertama-tama saya ingin memperkenalkan tempat kerja, siapa pe-milik tempat kerja, dimana kami bekerja, dan bagaimana situasi kerja di sana. Saya dan te-man Wen mendapat tempat kerja di kandang ayam, dimana sebulan kami menjadi peternak ayam. Kandang ayam ini terletak di l;uar kota Bekasi, Desa Cikarege-man di sebuah kampung kecil yang bernama Sa-dang. Pemilik tempat peternakan ini ialah Pak Beni dan Ibu Yuni (is-terinya). Beliau mem-punyai seorang wakil yang bernama Pak Petrus. Pak Petruslah yang menjadi andalan Pak Beni sebab beliaulah yang sering mengunjun-gi kandang, mengontrol perkembangan ayam, dan beliau juga terjun lang-sung kelapangan. Berbeda dengan Pak Beni sebagai direktur utama, lebih mengurus hal-hal mengenai pengiri-man makanan ayam atau pakan dan orderan ayam. Beliau juga jarang terjun langsung ke lapangan, kecuali terjadi hal-hal yang serius seperti penyakit yang tidak dapat diatasi. Pak Beni mempunyai 600 kandang di sekitar Kota Bekasi. Setiap hari kandang-kandang itu se-lalu memanen ayam.
Sistem yang digunakan Pak Beni dan Pak Petrus adalah menggunakan sistem kekeluar-gaan dan metode pendekatan kekeluargaan. Di kandang tempat kami bekerja, beliau men-gontrak atau membeli tanah bekas kandang dan memperkerjakan orang-orang pribumi sendiri yang notabene orang-orang Sunda.
Sistem semacam ini diterapkan agar tidak terjadi kecemburuan sosial. Hal ini juga nam-pak dalam pemilihan mandor atau kepala kandang yang juga berasal dari satu keluarga.
Ada dua tempat kandang yaitu kandang atas dan kandang bawah. Kandang atas di kepalai oleh Mang Mai, dan kandang bawah dikepalai oleh Mang Bule. Ketika tiba di tempat kerja, suasana harmonis, tenang, dan damai telah menjadi aroma yang enak dan seberkas senyuman telah terpancar dalam
wajah-wajah orang desa. Kami disambut dengan sangat baik, dijamu den-gan makanan yang nikmat yaitu sayur asem, tempe, ikan teri, dan yang satu ini kami tidak bisa lupa yaitu, jengkol. Sederhana, tetapi nikmatnya luar bi-asa, tiada rasa yang dapat menggantikan rasa nikmat, berkumpul dalam keluarga yang sederhana, dan sangat baik. Kami berdua tinggal di mes dengan sepasang keluarga muda, Mang Catok, Mba Is, dan anak mereka Sarah.
Saya bekerja di kan-dang atas dimana man-dornya Mang Mai den-
gan anggotanya Mang Catok (wakil),Mang Igun, Mang Rian, Mang Asep,Mang Mpe, Bapa Rio, Mang Rizal dan Bapa Anita. Jadi semua karyawan ada sembilan orang yang menangani empat kandang, dimana masing-masing kandang dua orang dan jumlah ekor ayam perkandang enam ribu sampai delapan ribu ekor. Para karyawan ini adalah orang asli Sunda. Menjadi peternak bukan satu-satunya mata pencaharian mereka, ada juga yang berkebun dengan menanam bonteng atau ti-mun suri, ada juga yang memelihara ikan lele.
Kampung Sadang adalah kampung yang tenang, asri lingkungannya, damai. Struktur sosial masyarakat Kampung Sadang pada umumnya berasal dari kelas menengah ke
“Kami disambut den-gan sangat baik, dijamu dengan makanan yang
nikmat yaitu sayur asem, tempe, ikan teri, dan
yang satu ini kami tidak bisa lupa yaitu, jeng-kol. Sederhana, tetapi nikmatnya luar biasa, tiada rasa yang dapat
menggantikan rasa nik-mat, berkumpul dalam keluarga yang sederha-na, dan sangat baik. “
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201214
lah dan boleh bisa istirahat jam tiga subuh. “Ternyata hari pertama sudah begini apa lagi hari berikutnya?” kataku kepada Wen, tetapi Wen hanya dengan senyum khasnya membalas “tenang tempro everything is oke!” hehehehehe... tawaku memecahkan kesunyian malam itu, dan jangkrikpun ikut diam mendengar suaraku, siapa takut! Ka-taku.
“Beternak ayam membutuhkan kesa-baran, keuletan, dan ketekunan. Tiga prin-sip dasar ini harus menjadi modal utama bagi setiap peternak,” kata Mang Mai (man-dor). Saya bekerja di empat kandang itu se-cara bergantian dan mereka sangat senang
dengan cerita tentang kebu-dayaanku, mereka juga tak ma-lu-malu berbagi tentang latar belakang keluarga mereka dan budaya mereka yang mem-buat kami semakin akrab dan mengenal satu sama lain. Hal ini memberi semangat yang positif dan merasa di terima di tempat ini. Perkembangan ayam cukup cepat jika diband-ingkan dengan ayam lain, disamping itu ada ayam yang mati karena bibit yang jelek atau pemanas yang kurang. Ayam bukan saja butuh makan
dan minum,tetapi mereka juga butuh udara agar bebas bernafas, pemanas yang cukup, dan obat perangsang makan dan anti body. Pemberian vaksin dapat diberi dalam tiga tahap yaitu pada hari ke empat, hari kes-epuluh, dan hari keenambelas. Pemberian vaksin juga dilakukan dalam dua cara, yaitu pada mata dan pada mulut.Perkembangan berat ayam semakin bertambah sebanding dengan makanan dan minuman. Ayam yang berumur empat sampai sepuluh hari tidak banyak membutuhkan makanan dan minu-man dibandingkan umur sepuluh sampai dua puluhan hari lebih, dimana kita lebih banyak membutuhkan tenaga extra karena banyak tenaga yang keluar saat mengang-kat air galon. Berat air per gallon adalah de-
bawah, hal ini mungkin nampak dari pendidi-kan mereka yang pada umumnya tamatan se-kolah dasar. Mereka sangat taat pada ajaran agama. Setiap nilai-nilai agama dapat mereka tanamkan dalam kehidupan mereka dan juga mereka wariskan kepada anak cucu mereka. Meskipun berbeda kepercayaan, tetapi mereka tidak melihat perbedaan itu sebagai suatu hal yang mesti diperdebatkan atau di permasalah-kan seperti yang terjadi di luar “sana”, mereka melihat suatu perbedaan dalam kacamata rela-si bahwa berbeda itu indah, berbeda itu kaya, dan berbeda itu menarik.
Keberadaan kandang ditengah-tengah kehidupan mereka sangat membantu hidup mereka khususnya menge-nai masalah ekonomi. Ada beberapa diantara mereka yang sangat menaruh hara-pan pada usaha peternakan ini. Keberadaan kandang ini ditengah masyarakat menda-pat respon yang positif, hal ini bisa dilihat saat panen. Pada saat panen para kar-yawan membagikan ayam kepada masyarakat yang ada di sekitar dengan maks Saya sangat tertarik dengan sistem yang mereka terap-kan dan cara bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Ternyata mereka bukan saja pandai merawat dan memelihara ayam, tetapi pandai juga membangun sebuah hubungan yang baik dengan masyarakat seki-tar. Kehadiran kandang ini memberi lapangan kerja yang baru buat para pengangguran atau putus sekolah ketika pemerintah menutup tel-inga terhadap jeritan rakyat.
Pengalaman hari pertama sangatlah me-narik, karena setelah kami tiba di tempat kerja siang hari dan malam hari kami langsung bek-erja dengan masuknya bibit-bibit ayam baru sekitar dua puluh lima ribu ekor bibit. Malam itu malam panjang buat kami berdua, meski-pun sudah terbiasa dengan begadang, tetapi begadang menunggu ayam merupakan hal yang baru buat kami. Hari itu kami sangat le-
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 15
lapan kilogram. Gallon yang harus diangkat adalah empat galon setiap kali, maka totalnya adalah 32 kg, cukup berat, bukan?
Ayam yang akan dipanen jika berat ayam sudah mendekati delapan ons, satu kilogram atau tergantung permintaan pasar. Saat panen tiba, kami benar-benar mempersiapkan tena-ga, karena akan memikul ayam. Hari pertama melelahkan karena banyak permintaan pasar, panen dimulai dari sore sampai malam hari. Jika banyak pembeli, panen bisa saja ber-langsung cukup lama, hal ini tentu menguras banyak tenaga. Jika ayamnya sudah selesai di panen, maka tugas selanjutnya ialah mem-bersihkan kotoran ayam yang akan dijual dan akan dijadikan pupuk. Satu kandang bisa menghasilkan kira-kira seratus atau bahkan lebih karung pupuk dan dijual per karung tiga ribu.
Bahasa merupakan salah satu tantangan tersendiri dalam membangun sebuah relasi. Meskipun dalam hal ini kami berdua belum begitu mengerti, hal itu tidak membuat kami patah semangat, kami terus mendekati, men-coba mendengar mereka, dan mencoba bela-jar bahasa mereka, merekapun sangat senang membantu.
Seiring berjalannya waktu tidak terasa sudah sebulan, banyak nilai tentang kehidu-pan yang saya peroleh dari kehidupan kecil itu, misalnya kerja keras, setia, serius, sabar, dan tekun dalam bekerja. Nilai- nilai itu san-gat dibutuhkan ketika kita berada dalam du-nia kerja. Bagiku program ini adalah satu dari sedikit kesempatan untuk secara langsung mengecap pengelaman menjadi seorang pe-ternak ayam yang sebenarnya. Jika selama ini saya sering bergelut dengan pelajaran filsafat dan teologi yang lebih banyak berte-ori, pada kesempatan ini saya dihadapkan pada tantangan untuk terjun langsung pada kenyataan yang sungguh-sungguh real. Jika ditempatkan dalam kerangka cita-cita saya unuk menjadi misionaris, kiranya program ini sangat relevan dan sangat urgen. Sebagai calon misionaris tentunya saya diharapkan untuk siap sedia menerima tantangan unntuk bekerja di mana saja, dan apa saja. Dalam
konteks inilah saya sungguh-sungguh mera-sakan bahwa program ini benar-benar meny-adarkan saya akan beratnya tantangan hidup diluar yang nantinya akan saya geluti, lebih dari itu saya juga merasakan pengalaman ini memperkaya saya, yakni memberi bekal un-tuk menghadapi tatangan serupa. Lagi pula menjadi seorang misionaris bukan hanya berdiam diri tanpa melakukan apapun, mel-ainkan seorang misionaris terjun langsung dalam realitas, hidup bersama umat, dan ikut merasakan hidup mereka.
Akhirnya saya mengucapkan limpah terima kasih dan syukur kepada Tuhan atas bimbingan dan berkat-Nya, sehingga saya bisa menyelesaikan program ini dengan baik. Selanjutnya saya juga ingin mengu-capkan limpah terima kasih kepada Tarekat CICM khususnya kepada Pembina sekaligus Rektor kami P.Anis CICM yang sudah me-nyelenggarakan program ini dan membagi pos-pos kerja kepada kami. Tak lupa pula saya ucapkaan kepada Pak Beni dan Ibu Yuni dan seluruh keluarga besar karyawan peternakan yang sudah mau menerima kami berdua. Tuhan Memberkati Kita Semua…
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201216
tiap misi yang original mengalir dari kon-templasi, seperti setiap keindahan larik sajak dapat terproduksi dalam sebuah keheningan. Misi tanpa kontemplasi adalah butiran debu, sebaliknya kontemplasi tanpa misi adalah mubazir.
Misi dan kontemplasi merupakan dua unsur penting dari ke-berhidup-an kristiani. Sekalipun unsur-unsur ini berlaku umum un-tuk orang Kristen, namun dari intensitas atau tingkat kepentingan/keperluannya terasa leb-ih bagi orang-orang yang ten gah mengarun-gi “ samudera ” misinya dalam kelemahan dan kerapuhan diri.
Oleh karena itu, kita yang secara aktif akan dan sedang hidup sebagai seorang mi-sionaris untuk berkarya di tengah umat diu-payakan wajib mempraktekan contemplatio in via, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibu Teresa dari Calcuta.
Apa yang dilakukan oleh para rabi Israel untuk menggiring dan menarik perhatian para pengi-
kutnya?. Tentu dalam konteks zaman mere-ka ( para rabi), mereka tidak mengajar para pengikutnya layaknya para guru atau dosen sekarang yang memberikan materi pelajaran di dalam ruang kelas, tetapi apa yang mereka lakukan lebih menjurus pada apa yang mere-ka tampilkan dalam hidup atau berdasarkan karya hidup (teladan), kemudian memberi il-ham kepada pengikutnya dengan kebijaksan-aannya. Hal yang serupa tersingkap dalam kehidupan Yesus dan para muridnya, lalu ter-aktualisasi dengan pelbagai gerakan spiritual serta religius di dalam tatan historis Gereja hingga menjalar pada pola hidup para mision-aris sekarang.
Saat ini jika para misionaris tidak memi-liki “ sesuatu ” pun di tangan mereka atau dengan kata lain modal hidup bermisi maka mereka mesti menjalankan misi mereka dalam bingkai kontemplatif ( menghadirkan kontemplasi). Melalui modus kontemplasi ini, kita tidak dapat mengatakan dan memahami kontemplasi itu sendiri bukan sekadar cara doa atau meditasi belaka, melainkan lebih dari pada itu dipahami sebagai persekutuan /pergumulan hidup yang intens dengan Allah. Hakikat tugas sebagai seorang misionaris berarti memberi kesaksian tentang Kerajaan Allah dan memaklumkan firman Allah, oleh karena itu salah satu yang utama dari seorang misionaris adalah berusaha untuk mengalami kehadiran Allah dalam hidup dan menden-garkan firman Allah yang ditenggarai kepada mereka melalui Kitab Suci dan sesama. Se-
Misi dan Kehadiran Kontemplatif
Refleksi
Oleh: Ferdy Jemadu-Frater Tingkat I
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 17
Tidak jarang saya mendengar bahwa salah satu kunci kesuksesan adalah disiplin. Namun semua orang paham,
untuk menjadi disiplin juga tidaklah mudah. Idea kedisiplinan menuntut kita bertindak secara terjadwal, terrencana, dan tepat waktu. Kita harus bertindak konsisten.
Saya misalnya sangat merindukan dapat mengerjakan segala sesuatu secara terjadwal. Dapat membuat skripsi sesuai rencana. Setiap malam belajar dan mengerjakan tugas secara teratur. Bangun dan tidur tepat waktu. Olahraga secara secukupnya.
Sayangnya, soal disiplin, sekali lagi, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kalau sudah “nongkrong” di dunia maya, saya kadang lupa kalau sudah saatnya belajar. Jika di depan si kulit bundar, saya kerap tidak lagi mempedulikan tugas yang menumpuk. Lebih mengerikan, ketika esoknya mengumpulkan tugas, semalaman saya bisa tidak tidur.
Pada suatu titik refleksi, saya sebenarnya menyadari itu, bahkan frustasi dengan semuanya itu. Bagaimana pun juga saya adalah manusia biasa yang ingin sukses, tentu juga ingin disiplin. Daripada semakin frustrasi, misalnya mendapat hasil ujian yang buruk, saya cepat membela diri, “ ini saja kemampuanku!” Saya benar-benar tidak mempunyai kemampuan di bidang ini!”.
Dalam hati kecilku sering timbul pertanyaan. Apakah memang kemampuanku begitu saja? Betulkah saya tidak dapat
disiplin? Yang paling sering meresahkan, ketika suara dari hatiku selalu berkata, “sebenarnya kamu bisa memperoleh hasil yang baik asalkan kamu belajar teratur dan mempersiapkan dengan matang”.
***
Saya sendiri berpikir bahwa kita sebagai manusia tidak mungkin tidak bisa berdisiplin, tidak mungkin kita sama sekali tidak tepat waktu. Toh, menjadi disiplin bukanlah kemampuan lahiriah. Orang yang disiplin bukan dari sononya begitu. Semuanya karena proses.
Saya teringat dengan pengalaman kakak saya. Sewaktu SMP dia dikenal siswa sering terlambat di sekolah. Maklum ia sering bangun terlambat. Sampai suatu hari, seorang gurunya mengancam, “jika esok kamu terlambat lagi, kamu dikeluarkan dari sekolah”. Keesokan harinya ia pun bangun lebih cepat. Dia juga yang paling pertama datang ke sekolah.
Saya jadi paham, kita tidak mungkin tidak dapat disiplin. Ternyata di bawah suatu otoritas seseorang bisa takluk, bisa berubah. Hal serupa saya alami. Ketika berjanji untuk bertemu di Gramedia pukul 09.00 pagi esok hari dengan seorang teman, saya takut terlambat dan lebih-lebih perasaan tidak enak jika dibilang, “loh, janjinya kan jam sembilan?”. Karena itu, saya hadir tepat waktu bahkan lebih awal.
Mengapa demikian? Saya kira, ketika berjanji dengan orang lain, kebebasan Anda
InspirasiSebuah Rahasia
H i d u p D i s i p l i n
Oleh: Gregorius Afioma
Misi dan Kehadiran Kontemplatif
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201218
terhadap diri Anda semakin ber-“kurang”. Anda takut, apa kata orang lain jika Anda terlambat. Anda takut pada resiko yang Anda tanggung ketika Anda terlambat mengumpulkan tugas. Anda takut dipecat jika terlambat masuk ke kantor. Jadi, Anda kemungkinan besar dapat berdisiplin ketika ada otoritas atau orang lain yang turut mengontrol Anda. Sekaligus membuktikan bahwa Anda sebenarnya dapat disiplin asalkan ada tekanan dari otoritas atau orang lain kepada Anda.
***
Berbeda jika Anda berniat untuk disiplin (diri) tanpa kontrol atau campur tangan orang lain. Misalnya, suatu ketika saya berniat bangun pukul 06.00 esok harinya. Saya pasangkan weker. Sayangnya ketika esoknya bunyi weker, saya malah mematikannya kembali, lalu kembali tidur. Saya merasa saya bebas terhadap diri saya. Persis, di sinilah pekerjaan sulit untuk disiplin diri sebab Anda berhadapan dengan kebebasan Anda yang penuh. Anda dapat sesuka hati membatalkan atau menunda suatu rencana atau jadwal.
Lantas, apakah memang kita tidak dapat membangun disiplin diri? Apakah untuk dapat menjadi disiplin kita membutuhkan orang lain atau otoritas tertentu?
Ketika memikirkan pertanyaan tersebut, saya menyadari betapa sulitnya jika semuanya membutuhkan orang lain (individu konkret) sebagai pengontrol atau penekan kebebasan penuh saya. Sebab hidup kita tidak selamanya selalu bersama orang lain. Kadang kita menyendiri di kos atau kamar. Ingin menyusun jadwal belajar sendiri.
Soalnya adalah: Apakah orang lain wujudnya harus selalu berupa individu konkret? Saya memiliki keyakinan berbeda.
Orang lain tidak harus selalu berwujud manusia konkret, seperti Marsel, Andi, Sony, yang ada di luar “sana”. Orang lain dapat diwujudkan secara imajiner, yang ada di “dalam”. Maksud saya sejauh ini, ketika Anda ingin berdisiplin, ciptakanlah “orang lain imajiner” dalam pikiran Anda, yang dapat mengontrol dan menekan Anda, membangun otoritas yang lain dalam diri Anda.
***
Siapakah “orang lain imajiner” itu? Apakah dia mempunyai otoritas untuk menekan kita untuk menepati semua jadwal dan rencana kita? Saya menyadari bahwa Allah adalah “orang lain imajiner” itu. Mungkin Anda bertanya-tanya, bagaimanakah itu caranya? Barangkali Anda belum percaya, tetapi cobalah untuk melakukannya.
Sewaktu bangun pagi, Anda berdoa. Anda sampaikan dan berjanjilah kepada Allah, apa yang Anda ingin lakukan sepanjang hari itu, sedetil-detilnya. Malam sebelum tidur, Anda juga harus berdoa. Evaluasilah. Anda akan menemukan,
seberapa jauh Anda dapat menepati “janji” dengan Allah. Evaluasi terus menerus tentu akan membawa Anda pada kebiasaan yang positif.
Allah mempunyai otoritas atas diri kita. Jika Anda tidak menepati janji kepada Allah, Anda akan jatuh pada perasaan bersalah, barangkali juga merasa berdosa. Perasaan bersalah atau berdosa itulah, yang menjadi jalan untuk mengurangi kebebasan Anda terhadap diri Anda.
Akhirnya saya sampai pada kesimpulan ini: Jika Anda mau sukses, berharaplah kepada ALLAH, berdoalah selalu kepada-Nya, siang dan malam.
“Sewaktu bangun pagi, Anda berdoa.
Anda sampaikan dan berjanjilah kepada Allah,
apa yang Anda ingin lakukan sepanjang hari
itu, sedetil-detilnya. Malam sebelum tidur,
Anda juga harus berdoa. Evaluasilah. Anda akan menemukan, seberapa jauh Anda
dapat menepati “janji” dengan Allah. Evaluasi
terus menerus tentu akan membawa Anda pada
kebiasaan yang positif.”
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 19
Warta KOMUNITAS
Fr Kans berpose dengan seorang konfrater dari Afrika di Filipina. Semenjak diberangkatkan pada 7
September 2012, angkatan fr. Kanis terhitung sebagai angkatan pertama
yang melanjutkan Novisiat di Filipina setelah studi Teologi di STF
Driyarkara
Apel pembukaan Verbist Cup berlangsung di Lapangan basket pada 25 September 2012.
Sebanyak enam tim yang terlibat dalam kompetisi ini. Di foto ini tampak Tim Cattew sedang serius mendengarkan pidato pembina
upacara, P. Kaytanus.
Malam Gema CICM adalah acara pembagian hadiah Verbis Cup, berlangsung pada 30 November 2012 di ruang makan SST. Acara ini dimeriahkan oleh pentas nilai-nilai budaya secara kreatif oleh masing-masing daerah, antara lain Flores Timur, Manggarai, Timor, Sulawesi, Betawi, dan Batak.
Perayaan Ultah CICM yang ke-150 di dunia dan ke-75 di Indonesia dimeriahkan dengan Misa “berantai” selama tiga pekan masing-masing di Paroki Bernadett Ciledug (11/11),
paroki Santo Thomas Rasul Bojong (18/11) dan puncak perayaan di paroki Kristus Salvator Slipi (25/11). Para frater SST menanggung koor. Foto
ini berlangsung dalam Gereja Bojong, setelah perayaan ekaristi selesai.
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201220
Pe n a m p i l a n Baldin tidak seperti biasanya.
Kali ini ia mengenakan sepatu pantofel hitam mengkilap. Kemeja lengan panjang kotak-kotak. Celana jeans hitam bersih. Rambutnya di sisir rapi ke belakang. tangan kanannya sedang memang tongkat bendera, sebuah bendera negara Republik Congo.Baldin adalah pasukan pembawa bendera pada acara malam kebersamaan CICM di gedung Jakarta Teater pada 18 Oktober 2012. Acara ini diselenggarakan dalam rangka pengumpulan dana untuk karya misi CICM sekaligus untuk mengenangkan HUT 150 tahun CICM di dunia dan 75 tahun berkarya di Indonesia. Baldin bersama 11 orang frater lainnya, mengambil bagian dalam acara ini sebagai penari pembawa bendera.
“Kami hampir seminggu telah berlatih. Semoga malam ini kami menunjukkan penampilan terbaik!” harap Baldin sebelum acara dimulai. Sebenarnya bukan hanya Baldin yang terlibat aktif
dalam acara ini. Ridwan juga justru telah hampir sebulan sibuk dalam berlatih nyanyi. Dia bersama teman-teman yang lain membawakan acara vocal group. “Kami sudah latihan terus-menerus selama ini. Malam ini penampilan harus Oke!” ujarnya.
Acara dimulai tepat pukul 07.00. Hampir seluruh meja di ruangan itu ditempati oleh tamu undangan.Ruangan tiba-tiba gelap. Sejenak kemudian sebuah lagu tiba-tiba mengagetkan suasana. Bersamaan dengan lagu itulah, Baldin dan sebelas orang frater menari sambil mengibarkan bendera. Semua mata tertuju kepada mereka.
Sementara menjelang makan malam, Ridwan sudah bersiap-siap di belakang panggung. Tidak lama kemudian, ia tampil ke panggung bersama sebelas orang teman lainnya. Tepuk tangan meriah menyahut dari hadirin. Tepuk tangan itu terulang ketika Ridwan memainkan melodi lagu itu.
Acara berakhir setelah pukul 20.00. “Kami senang telah mempersembahkan yang baik buat CICM” ujar Baldin. Sedangkan Ridwan kebanjiran pujian dari teman-temannya.
Warta Komunitas
Malam Kebersamaan
Baldin dan beberapa orang teman berpose bersama pelatih menari, setelah acara malam kebersamaan usai
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 21
Apakah makna olahraga dalam sebuah kompetisi? Pertanyaan itu tampaknya selalu dikantongi dalam benak para punggawa komunitas Skolastikat Pondok Bambu
sebelum memulai laga panas Verbist Cup 2012 ini. Verbist Cup adalah kompetisi tahunan untuk merayakan HUT Kongregasi. Ada pelbagai cabang olahraga yang diperlombakan antara lain futsal, volley, takrow, tenis meja, catur, kartu, dan karambol.
Tepat pukul 04.00 pada selasa, 25 September 2012, semua warga SST memadati lapangan basket. Mereka mengenakan pakaian klub berbeda-beda. Kelompok Cattew mengenakan baju berwarna hijau. Kelompok Suykens mengenakan warna merah. Kelompok van Rooy, warna hitam dibalut dengan garis merah menyilang. Kelompok Clem mengenakan biru. Kelompok Gilbert mengenakan warna kuning. Sedangkan Rawa Domba tampak bersepatu lengkap.
“Baju seragam tim bukan hanya sekadar identitas,
tetapi juga menunjukkan kekompakkan dalam tim” tukas Upin, kapten futsal dari tim Suykens. Menurutnya, kekompakkan tim terlihat dalam kerja sama tim. Ada pembagian tugas dalam setiap pertandingan.
Pendapat yang serupa disepakai Abe. Ia mengaku, setiap pertandingan futsal ia selalu menyiapkan air yang dicampuri kuku bima untuk para pemain. “Itu bentuk dukungan saya terhadap tim” akunya sambil tersenyum. Ia selalu setia menyiapkan itu entah timnya menang atau kalah.
Warta Komunitas
Madu juga berkomentar, “Dalam tim kami tidak memonopoli pertandingan.” Menurutnya tidak satu pun yang tidak mengambil bagian dalam cabang olahraga apa pun.
Akhirnya sebuah kekompakkan tim boleh digambarkan seperti sebuah kelompok paduan suara. Suara baik tidak menjamin dia mengambil porsi yang menonjol. Kita sama-sama menyelaraskan suara dengan orang di sekitar kita. Itulah makna olahraga dalam kompetisi di SST.
Pembukaan Verbist Cup
Inilah tim Gilbert yang menjuarai
Verbist Cup 2012. Mereka adalah Tote,
Sultan, Gomes, Wen, Andy, Rony, Aldo, dan Stef.
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201222
Tampil di depan orang banyak memang butuh persiapan. Bukan saja menyangkut apa yang harus dilakukan atau acara apa
yang hendak dibawakan, tetapi juga mengenai penampilan. Penampilan harus kelihatan elegan, sekaligus memikat perhatian orang banyak.
Begitulah yang terjadi dengan Ridwan, frater yang menjalani tahun kedua di Skolastikat Pondok Bambu Jakarta. Sejak gelap mulai menjemput pada Jumat, 30 November 2012, ia sudah mulai menata rambutnya di depan cermin. Ia mengenakan batik, celana jeans biru, dan bersepatu.
Sesekali ia tampak menghembus nafas panjang. Dibolak-baliknya sebuah kertas putih, lalu mencorat-coretnya. “Acara apa lagi ya?” katanya sambil memikirkan sesuatu. Ridwan adalah seorang Master of Ceremony (MC) pilihan tahun ini oleh seksi olahraga dalam acara malam gema CICM. Malam gema CICM mulai diadakan pada tahun lalu untuk menandai berakhirnya kompetisi Verbist Cup dalam rangka ulang tahun CICM. Pada malam gema CICM biasanya dipentaskan sejumlah acara kreatif, misalnya drama, puisi, lagu dan lain sebagainya.
Berbeda dengan tahun lalu yang mementaskan acara adalah masing-masing kelompok, pada tahun ini seksi olahraga mengusung tema “Budaya”. Vicky selaku ketua olahraga menyampaikan bahwa setiap daerah harus mementaskan nilai-nilai budaya secara kreatif. Budaya
daerah yang ditetapkan antara lain sulawesi, Timor, Flores Timur, Batak, Jakarta, Manggarai.
Tepat pukul 08.30 ruang makan SST sudah dipenuhi para frater. Tidak lama berselang, Ridwan masuk ke ruangan itu, ditemani oleh Edy. Serentak pula terdengar gemuruh tepuk tangan yang bersahut-sahutan.
“Selamat Malam teman-teman!” sapa Ridwan dengan suara yang agak keras. Semua yang berada dalam ruangan seperti terhipnotis. Mereka berteriak tak karuan, begitu bersemangat dan diliputi euforia kegembiraan. Acara pertama yang direncakan Ridwan malam itu menampilkan Jhon dan Tian. Mereka membawakan beberapa lagu tembang kenangan Betawi. Mereka menjuluki dirinya sebagai pendekar Betawi. Tidak mau kalah dengan tarik suara ala lagu-lagu tembang kenangan Betawi, Ridwan, madu, dan Andi menunjukkan suara merdunya lewat alunan musik Batak. Beberapa lagu dinyanyikan, diringi petikan gitar yang lincah dan backing-vocal oleh Andi.
“Acara berikutnya, tarian perang dari Flores Timur?” demikian teriak Ridwan.
Suara Ridwan langsung disusul bunyi tabuhan gendang, dan ember serta sebuah gong. Tiba-tiba saja beberapa orang masuk dengan pakaian adat. Mereka memegang parang dan tombak. Kemudian mereka menarikan tarian perang. Setelah itu disusul dengan acara tarian dari Timor. Sebuah tarian kebersamaan itu mengandalkan kekompakkan suatu tim. Mereka harus seirama dalam gerakan dan gerakan pun harus selaras dengan lagu.
Acara terakhir malam itu adalah drama yang dibawakan oleh daerah Manggarai dan Sulawesi. Manggarai menampilkan drama sebuah acara pengutusan kepada orang yang merantau. Namun drama ini lebih tepat disebut sebuah acara komedi. Berkali-kali orang harus tertawa terpingkal-pingkal melihat Oriz yang berperan sebagai seorang ibu tua. Drama yang terlihat unik adalah dari daerah Sulawesi. Mereka berdialog dalam bahasa daerah. Uniknya, meski tidak memahami bahasa daerah Sulawesi, banyak orang yang dapat menangkap pesan dari drama itu. Bahkan beberapa kali orang harus tertawa menggelegar selepas mendengar percakapan Fianto dan Beni.
Acara malam gema akhirnya dilanjutkan dengan pembagian hadiah kejuaraan Verbist Cup. Ridwan di sela-sela mengakhiri acara malam itu, menyeka lehernya dengan handuk. Ia berkeringat. “Malam ini betul-betul luar biasa!” katanya sembari memamerkan senyuman.
Ridwan pada Malam Gema CICMWarta Komunitas
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 23
Menjelang berakhirnya Sabtu, 21 Juni 2012, tiga belas pemuda dengan wajah berseri-seri memasuki pintu depan rumah
Skolastikat Pondok Bambu. Mereka menyalami dengan ramah. Namun tatapan mereka “liar” ketika memasuki bagian dalam rumah itu. “Besar sekali gedungnya?” seru salah seorang di antara mereka.
Mereka adalah penghuni baru di Skolastikat Sang Tunas semenjak ditempati pada tahun 1995. “Gedung” besar Skolastikat Sang Tunas menjadi ruang untuk perkembangan diri mereka selama 4 tahun sebagai anggota pre-novisiat di CICM. Mereka akan menempuh pendidikan teologi dan menjalani pelbagai kegiatan apostolat.
Dalam majalah Tunas Verbist kali ini, mereka akan memperkenalkan diri. Tian, salah seorang penghuni SST tahun kedua berharap, salah satu di antara mereka ada yang sehobby dengannya. “Saya berharap ada yang suka musik Rock” ujarnya sambil tersenyum. Apakah harapan Tian terwujud, silakan simak biodata mereka!
PROFIL tingkat I
Berpose setelah penerimaan jubah di halaman depan
rumah Sang Tunas, Makassar
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201224
Cowok yang satu ini, dengan nama
lengkap Abertus Padang, dia biasa disapa
dengan tiga nam kren yakni; Albert, Abe,
atau ABK. ( Nama yang ketiga bisa diartikan apa saja tapi yang pasti
kren). Dilahirkan di sebuah kampung yang cukup jauh dari kota yang
bernama silawa tgl 1 April 1989. Meskipun umur udah tua tapi tidak
nampak tuanya kok alias awet muda. Dan satu lagi, walaupun dia
dilahirkan di sebuah kampung tapi dia tetap bangga karena kampung
tersebut tetangga dengan Sepang tempat misi pertama CICM. Setelah
tamat SMA, dia memutuskan untuk mengejar impiannya untuk jadi
seorang seminaris.
Pada tahun 2010, dia masuk Seminari Santo Petrus Claver di
Makassar sebagai anggota Kelas Persiapan Atas (KPA). Kemudian
setelah selesai di KPA, dia bergabung bersama Tarekat Congregatio
Immaculati Cordis Marie (CICM), dan mengikuti program TOR
(Tahun Orientasi Rohani) selama satu tahun di Makassar. Sekarang
dia sedang mengampuh Program Studi Ilmu Teologi semester satu
di Sekolah Tinggi Filsafat Dryarkara (STFD). Ingin kenal orangnya
lebih dalam datang aja
di S.S.T Pondok Bambu Jakarta Timur.
Di tengah dinginnya malam, terlihat
ketengangan pada wajah kakek nenek
bersama keluarga yang lainnya menantikan
kedatangan penghuni rumah baru. Dari penantian tersebut
terdengar tangisan bayi yang memecah kesunyian malam.
Pada hari itu tanggal 01 Juli 1993 tepatnya pada hari kamis
di sebuah daerah terpencil di Kabupaten Mamasa Sulawesi
Barat yaitu Desa Nosu, seorang bayi laki-laki lahir ke dunia
untuk menghirup nafas kehidupan dan menikmati dunia
baru. Bayi itu kemudian diberi nama JULIUS RONALD
ALLO BUNGA’. Bayi ini kemudian tumbuh berkembang
hingga akhirnya menamatkan pendidikannya di SMA
Negeri 1 Sangalla’ Tana Toraja.
Sosok yang dikenal dengan kepribadian yang unik ini
memilih bergabung bersama tarekat CICM karena
ketertarikannya terhadap rasa kekeluargaan yang ada di
biara CICM dan ingin menginjakkan kedua kakinya di
ABE
ALO
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 25
negeri orang jika Tuhan mengkehendaki. Itu adalah alasan dan
motivasi utamanya untuk bergabung bersama CICM. Seiring
berjalannya waktu, semangat untuk melayani Tuhan mulai
tumbuh dalam hati pribadi yang memiliki hoby berenang dan
mendengar musik. Kini ia tinggal di SST untuk melanjutkan
panggilannya dengan mengutip kata-kata Mother
Teresa “Tuhan tidak
memanggilku untuk
sebuah kesuksesan
tetapi Dia
memanggilku untuk
beriman”. Setia juga
tentunya.... salam
kenal untuk semua
Da l a m
k e h e n i n g a n
aku bergelut untuk mencari dan menemukan arti dari kehidupan
yang tak sempurna sekaligus untuk menyadari adanya aku yang telah di
adakan oleh sang peng-Ada. Cieee…gaya skali padahal barusan belajar
filsafat. Hahaha…
Tentang aku dari aku
Okey langsung saja…aku Engky, datang dari nama lengkapku
Fransiskus Xaverius dengan marga Sole yang tidak salah artinya tunggal.
Aku lahir dari pasangan Joseph dan Maria dan kemudian tumbuh dan
berkembang di paroki Katedral St. Maria Immaculata, Atambua. 5 tahun
yang lalu aku mengenyam pendidikanku terlebih panggilan hidupku di
Seminari St. Maria Immaculata Lalian. Setelah melewati masa-masa di
seminari akhirnya aku putuskan untuk mengenal lebih dalam lagi tentang
siapa aku dan apa panggilanku. Conggregatio Immaculata Cordis Maria
(CICM) yang menjadi pilihanku untuk menyelami hal-hal tadi. Ooops…
sebentar sepertinya ada sesuatu yang terus menemaniku dari lahir hingga
sekarang ini. Apa ya…? Ini dia…ternyata baru aku sadari Mengapa nama
St. Maria Immaculata selalu hadir dalam momen-momen penting dalam
hidupku dan sepertinya Tuhan punya rencana tersendiri antara aku dan
Dia.
ENGKI
Sekilas dari teman-teman tentang diriku
Selanjutnya, cowok yang berpostur tubuh tinggi dan cool ini sangat mencintai sepak bola
sejak masa kecilnya. Lebih jauh daripada itu tentang permainan tiki-taka dalam dunia sepak bola.
Wah berarti fanatiknya Barcelona dong. So pasti ew sodara…hahaha. Eh ssstxxx….sekedar info ajya
Engky ini punya motivasi tersendiri dalam menjalani apa yang telah dipilihnya. Dia ingin belajar dan
tahu banyak bahasa. Sampai disini dulu ya perkenalanya, selebihnya langsung saja ke orangnya di
Skolastikat Sang Tunas CICM, Pondok bambu.
Dan sesungguhnya aku adalah mahkluk bersayap satu yang tak mungkin terbang tanpa
adanya sayap yang lain dalam perjuangan meraih angan dan cita-citaku. Per Mariam ed Jesum.
Salam sehati sejiwa.
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201226
Hy guys,….!!! masih ingatkah kalian dengan pepatah kuno lama yang
berbunyi,”Tak kenal maka tak sayang”. Aku harap kalian masih ingat. Karena
seseorang itu tidak disayang karena tidak dikenal atau sebaliknya. Oleh karena itu,
agar aku disayang oleh kalian semua maka aku akan memperkenalkan,” Who Am
I?” pada kalian agar aku semakin disayang forever, hehehe...
“ Inilah kisah tentang diriku……..
Di sebuah desa kecil nan jauh dari keramaian kota, tepatnya di Niquir Tilomar
(Timor Leste), lahirlah seorang bayi laki-laki mungil dari pasutri, Armando Amaral
Tobu (alm) dan Romana de Arauju pada tanggal 16 Mei 1989. Kemudian sepasang
suami isteri itu memberi nama bayi itu Gaudencio Amaral. Dan bayi itu adalah
aku sendiri. Aku bersyukur pada Tuhan karena dapat merasakan indahnya dunia
ini,.”Terima Kasih Tuhan karena Engkau telah memberikan aku
kesempatan untuk hidup dan merasakan dunia ini.”.
Setelah merasakan indahnya kampung halaman sampai umur 9
tahun, aku pun merantau ke negeri orang demi sebuah kehidupan
baru, yakni ke Dumai, Riau. Di kota inilah aku menghabiskan
masa pendidikan selama 9 tahun ( SD dan SMP), sedangkan
masa SMA aku selesaikan di Seminari Menengah St. Petrus, Aek-
Tolang, Keuskupan Sibolga. Dari sinilah aku memiliki motto,”
My life is adventure”, hidupku adalah sebuah petualangan. “Satu,
dua, tiga pulau terlampaui” Pulau Timor, Pulau Sumatera, pulau
Sulawesi dan Pulau Jawa. Hebatkan aku bisa berjalan di atas
pulau seperti Yesus..eittt salah berjalan di atas air maksudnya......
hehehe (mimpi di siang bolong guys, harap maklum). Dari hidup berpetualangan
ini, aku pun memilih CICM sebagai tambatan hati untuk menjadi pelayan
Tuhan, walaupun masih dalam proses yang panjang. Aku memilih CICM karena
mottonya, “Sehati dan sejiwa” serta karya misinya yang menyebar ke beberapa
negara, terutama di mana Injil belum di hidupi.
Ups…!! Hampir lupa tentang hobbyku. Di waktu luang biasanya aku habiskan
untuk membaca novel ataupun buku cerita. Novel kesukaan aku adalah karya
Mira W. Selain membaca novel , aku juga suka olahraga , terutama bola kaki dan
volley. Inilah sekilas diriku, jika ingin mengenal lebih intim diriku, datang saja
ke SST (Skolastikat Sang Tunas), pintu selalu terbuka bagi yang mau berkunjung,
“gratis tidak dipunggut pajak”.
AUDENG
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 27
Monggo inilah Aku.........
Hy mante-mante aku ingin memperkenalkan diri ku kepada kalian, nama aku ga terlalu panjang dan ga terlalu pendek, sangat simpel, mudah diingat oleh mante-mante sekalian. Aku dilahirkan di sebuah desa kecil yang bernama Atokama, kampung ini sangat dikenal dengan kampung gersang, bisa dikatakan kampung ini diselimuti oleh hutan belantara, karena kampung ini di kelilingi oleh hutan, lebih parah lagi jarang orang kenal...hehehehehe.
Nama ku , Yulius Bria, nama ini diberikan
oleh kedua orangtua saat aku dibabtiskan.
Biasa dipanggil Lius atau Libra. Tempat
tanggal lahir...ga usa the,,,ga penting,,yng penting
wajah orang ini kamu kenal...wkwkwkwkw.
Hobby aku di bidang olahraga, yaitu Bola Kaki
dan Tenis Meja, klo aku bermain bola kaki, orang
biasanya menyebut aku dengan istilah singa lapar.
istilah ini aku juga ga tau artinya, karena bukan
aku yang memberikan istilah ini tetapi orang lain.
Biasanya aku main di bek kanan...okokokokokok.
cukup yach klo terlalu panjang kata orang nannti
bosan karena lebayyyyy....ckckckckckckckckckck.
Dua puluh tahun lalu, tepatnya tanggal
07 Mei 1992, seorang anak manusia
menyapa dunia dengan tangisan
yang begitu merdu (hahahaha). Seorang anak
laki-laki itu dilahirkan di kampung Waekorok,
sebagai anak kedua dalam keluarga. Namanya
Regwinaldo Mariono Dominggo. Rion,
begitulah biasa dipanggil, ialah anak yang sejak
usia delapan bulan tidak tinggal dengan kedua
orang tua kandungnya. Ia dibesarkan oleh mama
kecilnya di sebuah kampung Kambe. Masa
kecil dan masa pendidikannya selama dua belas
tahun, ia jalani bersama keluarga mama kecilnya.
Sejak tamat SMA Seminari Pius XII Kisol, ia
bergabung bersama Tarekat hati Tak bernoda
Maria CICM di Makassar. Sekarang ia berada di
Jakarta bersama kedua belas teman angkatannya
untuk menjalani perkuliahan teologi di STF
Driyarkara. Salah satu ciri khas dari Rion ialah
orangnya pendiam, suka mendengarkan. Pria
berdarah Manggarai ini sering dibilang orang
Jawa karena namanya dan juga karena rambut
airnya yang halus dan indah (hehehehe , kata
orang si begitu). Satu lagi, pria ini juga sangat
Bria
Rion
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201228
fanatik (yang positif saudara) dengan klub sepak bola kelas dunia, CHELSEA FC, yang tahun
kemarin menjuarai champion league dengan mengalahkan Bayern Muenchen. Hobby dari pria
cool ini ialah bermain sepak bola, futsal dan juga mendengarkan musik (tapi tir tahu maen alat
musik bro, hehehe). Mau tahu banyak soal
cowo ini, bergabunglah bersama
tarekat CICM. One heart one Soul.
Atas rahmat Dia yang maha kuasa dan di
dorong oleh keinginan luhur, maka pada 28
Februari 1992, lahirlah seorang boca mungil
yang imut, di suatu daerah Metropolitan dengan sebutan
Mamuju (Maju Mundur Jurang) tepatnya di Baras (Baru
Rasa.) Nama anak itu selalu disebut-sebut oleh media
masa lokal dengan gelar Venansius Baldin Usboko dan dalam
kalangan khusus dijuluki Baldin. ciri-ciri pria ini tinggi
yang ideal, berwajah melankolis, dan bersuara halus. Oh iya,
Pria ini ternyata sangat ramah (rajin menjamah) sehingga ia
mempunyai motto dalam hidupnya Vivo causa amandum
(saya hidup karena dicintai,) sehingga kelakuannya ‘cukup’,
demokratis, romantis, sadis, simbolis, santaiis dan ‘is’-‘is’ yang
lainnya. Pria ini mempunyai hobby berolahraga terutama
fitnes yang membuat pria ini menjadi maco (bukan mantan
copet lho!) dan tubuhnya seperti BMW (Body Mengalahkan
Wajah,) selain itu, pria ini sangat dikagumi oleh para
ladies…karena sikapnya yang mura senyum (kapan saja dan
dimana saja dia berada,) setia (dalam hal apa yach?,) rendah
hati (bukan rendah diri,) jujur dalam segalah hal (alias lugu
seperti kalem’kayak lembuh’,) sehingga muncul sifat YAMAHA
(Yang Mau Harap Antri.) Jika anda penasaran dengan cowo
in silakan come and see in SST (Skolastikat Sang Tunas.)
Ok…sampai bertemu lagi di lain waktu.
BALDIN
Salam…Sehati Sejiwa.
Cukup memikirkan
biodatanya, anda
akan selalu tersenyum
untuk menemukan
kesempurnaan. Woowwwww kolom
ini yang paling ditunggu-tunggu oleh
para penggemar Verbist Generation. Dari sekian banyak
verbist generation yang hadir di bumi pertiwi ini, ada satu
pria santun yang bernama Antonius Yorito Jambar.
Heheheheheheh namanya keren banget, kayak orang
Spanyol aja. Waaawww jangan salah sangka chuy dia ini
penggemar berat Barcelona FC. Maka tak mengherankan
jika samarannya beraliran Spanish Pedro”ory”to.
“Woooow Frat pinjam donk namanya”, sahut seorang
ORIS
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 29
BALDINpenggemarnya ketika dia lagi sibuk menganalis
alegori II dari Plato.
Pria berbakat ini sering disapa Bro Oris.
Asyik kan, nama yang paling sederhana, mudah
diingat dan mudah disayang, karena dia
memang seorang pecinta. Hehehe, oh sorry
ada lagi yang harus penggemar ketahui
tentang pria yang suka menari diatas kulit
bundar ini. Waoooow! penasaran yah,
pria ini di lahirkan tanggal 10 Mei 1992.
Kedatangannya di dunia disapa dengan
senyuman manis dari semua mata yang
menunggu kedatanganya. Waawww kayak
kelahiran malaikat aja. Heheheheh Bro
Oris ini berasal dari manggarai, kalau
mau mengunjungi manggarai cukup
tanya kota Jaong pasti semua orang tahu.
Kota jaong ini kecil, tetapi bersih dan
damai. Wahhhhh kota impian deh!.
Bro oris ini anak kedua dari BapakV
Adrianus Nanggal dan Mama Maria
Usul. Dia menjadi anak pilihan untuk
mengikuti panggilan Tuhan lewat Tarekat
CICM. Wahhh jangan salah sangka chuy
Bro Oris ini sedang berdoa ketika keluar
dari rahim ibunya. Heheheheh maklum
dia’kan anak Allah yang fasih berbahasa
kitab suci (Just Be kidding bro). Bro Oris ini
sedang menempuh study semester satu di
STF Driyarkara. Doa’in yah moga sukses
dalam belajarnya!. Motto hidupnya Let’s
do something beautifull for God. Udah dulu
yah! Kalau mau shering segala sesuatu
dengan Bro Oris ini silahkan datang ke
Skolastikat Sang Tunas, Jalan Gotong Royong Nomor
71 Jakarta Timur.
“ Seindah lembayung senja, bertajuk satu judul saja yaitu bahagia dan bertabur banyak cita rasa, menjadi bias gempita tentang kelahiran saya di sebuah kota nan sejuk dan dingin, Ruteng namanya. Keindahan itu tersingkap pada 14 Oktober 1990 ”.
Shalom!, Hello pembaca,
perkenalkan nama lengkap saya
Ferdy Okta Vitalis Tjemadu.
Call name ?, wow…hal yang
satu ini cukup “ anekdot ” lho.
Betapa tidak, call name saya
lebih dari satu lho ( wkwkwkwk
), bisa dipanggil Ferdy, Okta atau Sultan ( emmm ),
apa karena efek menganut teori Relativisme yah?.
Hahahahahahah, just kidding!.
Saya adalah putra brilian dan titisan takdir original
Manggarai Tengah-Ruteng. Berasal dari latar
belakang keluarga yang bersahaja namun sangat
bahagia. Saya anak kedua dari tiga bersaudara, diasuh
oleh seorang Ibu ( wanita terindah ) yang bernama
Petronela Ngamut dan Ayah ( pria terganteng ),
Viktor Engkok, alm.
Riwayat pendidikan saya cukup singkat sich,
setelah 4 tahun mengais ilmu dan bernaung di bawah
ranah pendidikan menengah Seminari Yohanes
Paulus II Labuan Bajo, kemudian bergabung bersama
CICM pada 1 september 2011. Masih berakar lho
panggilannya, hahaha. Saat ini ( status quo ), saya
masih berstatus sebagai warga negara Skolastikat
Sang Tunas ( SST ) dan tengah menjalani masa
pendidikan Teologi dan Filsafat semester 1 di STF
FERDY
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201230
Driyarkara Jakarta.
Bagaimana karakter saya ?. kata teman-
temanku saya orangnya periang, bawel, lebay,
puitis, fatamorgana-is, kalem, emosional dan
berubah-ubah bak seekor Bunglon., di mana
saya berpijak di situ pula saya ber-perilaku,
berekspresi dan beraksi. Situasional bukan!.
Motto hidup saya tidak lain adalah “ Hidup
adalah Cita Rasa “. Ada rasa manis, pahit, asing,
hambar, sedih, bahagia dsbnya. Itu berarti hidup
saya amat banyak rasanya dan selalu berubah-
ubah. kembali lagi ke teori relativisme!.hahaha..
Hobby ?, mmm, banyak deh yang penting
bisa dilahap alias dilakukan. Mendengarkan
musik 15 %, olahraga 20 %, membaca 25 %,
menulis 25 % dan yang lainnya 15 %. Demikian
saja yah pembaca tentang profilku. Shalom
dan Salam Sehati Sejiwa!.
Rikardus Jaya Gabut,... yang akrab
dipanggil Ricky adalah nama yang tidak
asing lagi bagi komunitas Skolastikat Sang
Tunas (SST) Pondok Bambu. Saya juga sering
di sapa dengan nama “Chicaricky” oleh se-
Manchester United Crew SST. Ricky adalah
putra asli dari Kota Ruteng, Manggarai,
Flores Barat. Pada tanggal 9 September
1992, saya dilahirkan di Kota Ruteng. Pada
tahun 1999 saya memulai pendidikanku
di SDK Ka Redong dan tamat pada tahun
2005. Kemudian diterima sebagai siswa SMP
Seminari Pius XII Kisol pada tahun 2005
dan tamat pada tahun 2007. Setelah itu saya
melanjutkan pendidikanku di SMA Seminari
Pius XII Kisol pada tahun 2007 dan tamat
pada tahun 2011. Sejak tanggal 01 September
2011, bergabung bersama kongregasi CICM.
Sekarang sedang bergelut dengan ilmu teologi
di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.
Adapun hobi yang selalu jadi teman setiap
hari yaitu...dengar musik, berolahraga...
dan yang sempat jadi teman harian dikalah
saya lagi jenuh. Itu saja yang bisa saya
perkenalkan....Kalau mau tahu lebih dalam
tentang sepak terjang saya, silahkan temui
saya di SST Pondok Bambu, JakartaTimur......
Hai, semua! Perkenalkan nama lengkap saya Hendrikus Frederik Lewo Muda. Sejak kecil
sampai saat ini nama panggilan saya tetap, tidak berubah yakni dicky. Namun, terkadang beberapa
teman saya menyelipkan sedikit embel-embel seperti bangdick, atau muda. Oh... iya! Teman-teman
juga jangan heran dan iri ya, kalau sampai kapanpun saya tetap muda. Tidak akan pernah tua.
Hampir saja saya lupa. Saya berasal dari sebuah pulau kecil di dekat ujung timur Flores
Ricky
Dicky
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 31
yakni Adonara. Lebih tepatnya lagi dari Desa Kolilanang. Walau
pun saya berasal dari kolilanang, saya dilahirkan di Bandung pada
tanggal 15 Februari 1992. Ayah saya bernama Yuven Tupen Sabon
dan ibu saya bernama Lusia Deran Ola. Keduanya asli Adonara.
Ooh iya ada satu hal lagi yang ingin saya ceritakan. Sepanjang
riwayat pendidikan saya hingga saat ini, saya sudah mengenyam
pendidikan pada 10 sekolah berbeda. Hal ini disebabkan perkerjaan
orangtuaku yang mengharuskan kami untuk berpindah-pindah
dari satu daerah ke daerah lainnya. Dimulai dari SDK Yos Sudaso,
Tasik Malaya; SDK Pandu, Bandung; SD Rangkasbitung; SDK
Kolilanang, Adonara; SDK Santo Yoseph, Kupang; SMPK Rau
Damai Waibalung; SMPK St. Paulus, Palu; SMPK Frateran,
Maumere; Seminari San Dominggo, Hokeng; hingga saat ini saya
sedang menempuh masa pendidikan sebagai seorang calon imam di
STF Driyarkara. Banyakkan?
Hobi saya ada beberapa. Saya gemar bermain basket, membaca
buku terlebih khusus komik, bermain gitar, dan mendengarkan
musik.
Dengan motto hidup “jangan pantang menyerah”, saya akan
berusaha untuk menjalani panggilan Tuhan ini sampai di garis finis.
Mohon dukungannya ya!!!
Hai... para pembaca yang cakep-cakep..... Perkenalkan nama
lengkap saya Arman dan nama panggilan imut saya Arman juga,
nda usah tambah D di belakangnya yaa.... saya lahir pada tanggal 27
Desember 1990, ya tentunya dengan telanjang dan menangis lhaa.
saya lahir di sebuah desa yang tenang dan damai seperti Betlehem,
namanya desa Pasang Lambe. Berarti saya lahir pada bulan yang
sama dengan Tuhan Yesus dong... Tetapi Yesus lebih kaka dari saya,
alnya Dia lahir pada tanggal 25 sedangkan saya tangal 27 cuman beda
sehari aja... Setelah berumur dua tahun saya dan keluarga pinda ke
Mamuju mengikuti transmigrasi tepatnya di Stasi Tobadak 4 Sulawesi
Barat dan saya satu-satunya putra tobadak yang pengen jadi pastor.
hmmm saya dengar-dengar Tobadak sekarang udah jadi paroki lho...
wow... padahal dulu saya bercita-cita ingin jadi pastor paroki di sana,
ya udalah jadi misionaris lebih asik dan menantang bisa jalan-jalan ke
luar negeri....
Kalian tau nda warna kesukaan saya apa? Warna kesukaan saya
itu hitam karena sesuai dengan warna kulit hi..hi..hi.. trus hobby saya
Arman
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201232
itu berenang, berpetualang dan suka mencari tantangan baru.
Saya anak ke tiga dari lima bersaudara dan sekarang saya bergabung
dengan tarekat CICM di Pondok Bambu Jakarta alasannya karena
saya ingin jadi pastor yang jalan-jalan ke luar negeri lho, menantang
kan... lagian ngak punya pasangan (isteri) itu lebih menantang lagi,
dengan motto panggilan “Jangan pernah tergoda dengan kecantikan
seorang wanita karena kecantikan seorang wanita dapat sirna ditelan
usia tetapi kagumila itu sebagai anugerah yang terinda dari Tuhan”,
asik..asik...asik... aku jadi malu. Ya biasa kan di Jakarta banyak gadis
penggoda iman ha..ha..ha.. aku jadi mau ups salah, aku jadi malu...
Jika saya jadi misionaris, saya ingin bermisi di Brasil dan Congo. Saya
ingin jadi bapak bagi merek yang tidak punya bapak dan ibu, saudara
bagi yang tidak punya saudara.
Itu sekilas tentang saya dan tetap dukung saya dengan cara ketik
Arman Mau Lagi kirim ke intensi Misa di paroki terdekat pada hari
minggu dan ingatlah saya selalu dalam doa kalian. selamat mencoba
dan terima kasih atas dukungan anda,
Tuhan memberkati.
Syaloooom……
Salam manis bagi para pembaca dan penggemar…..
Nama lengkap saya Hironimis Tabati, biasanya disapa
dengan nama Ronny. Saya lahir pada tanggal 4 Mei 1990 di
Manufui kabupaten Timor Tengah Utara ( Kefamenanu). Saya
dilahirkan dan di besarkan atas dasar cinta dari kedua orangtua
saya Emanuel Kasa Tabati dan Maria Sako. Saya adalah buah
kasih yang kedua dari mereka. Hobby saya berolahraga apa saja
asalkan untuk kesehatan bukan untuk mati.
Delapan tahun cukup lama bagi saya karena terpisah dari
orangtua sejak kelas 1 SD hingga kelas 2 SMP. Setelah itu aku
pindah sekolah dan tinggal bersama orangtua di Sulawesi Barat.
Setelah menghabiskan masa pendidikan di SMA saya mencoba
untuk mencari pengalaman dengan pendidikan di luar kota dan
saya berpindah arah ke Makassar untuk menggapai cita-cita sejak
kecil. Berdasarkan moto hidup saya ”bertolaklah ke tempat yang
lebih dalam.” Akhirnya, saya mempunyai sebuah harapan besar
untuk mewujudkan impian saya. Kini telah bergabung bersama
Roni
Gadis Itu dan Aku
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 33
Saat hadirmu datang menjelang diriku tak kuasa menolakwalau pun, bagiku terlarang
namun tak dapat kupungkiri karenamu hidupku kian semarakAkankah cahaya cinta ini kan terus benderang? Ataukah hanya
akan menyisahkan tirai cinta yang terkoyak?
Misa baru saja berakhir. Seperti biasa semua orang perlahan bergegas meninggalkan
gereja untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Di tengah keramaian ini, kulihat lagi wanita berambut panjang sebahu itu. Bajunya masih seperti dulu, gaun sederhana yang berwarna kuning, berpotongan lurus dan berlengan pendek kusam dimakan usia. Aku mengamatinya karena inilah pertama kalinya ia muncul lagi setelah beberapa minggu tak terlihat.
Aku mulai memperhatikannya kira-kira dua bulan yang lalu. Waktu itu belum genap tiga bulan, aku bertugas sebagai frater TOP di paroki Santa Theresia ini. Setiap hari minggu, aku pasti akan melihatnya. Dengan baju kuningnya, ia datang lebih awal dan duduk di deret yang paling depan. Kulihat orang-orang tidak terlalu menaruh perhatian padanya. Padahal ia cukup cantik dan menarik hati. Kulitnya yang putih, wajahnya yang oval ditambah hidung mancung dan lesung pipit
membuatnya semakin manis bila tersenyum, apalagi tertawa. Tetapi, belum sekalipun aku melihatnya tertawa, ia cuma tersenyum ketika tiba waktu untuk salam damai. Itu yang kulihat selama ini dan harus kuakui kecantikannya memang alami. Yang membuat aku kagum padanya karena ia tak pernah risih atau malu duduk dengan orang-orang itu. Ia selalu terlihat kusyuk dan aktif selama perayaan ekaristi berlangsung. Diam-diam aku mulai menaruh hati padanya dan berharap untuk mengenalnya lebih dekat.
Aku mencoba mengorek informasi seputar dia dari anak-anak OMK tetapi mereka malah menyuruhku untuk mendekatinya secara langsung karena mereka tidak mengenalnya. Aku semakin heran, mana mungkin gadis secantik dia kok diacuhkan begitu saja? Maka kuputuskan untuk menemuinya sehabis misa hari minggu. Ketika misa usai, aku segera mencarinya. Namun ia tak kelihatan rupanya ia sudah pulang. Terpaksa niatku untuk mengenalnya tertahan sejenak.
Gadis Itu dan Aku
Cerpen
Oleh: Anto Binsasi - Tingkat III
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201234
Aku semakin penasaran dengannya karena kelihatannya ia tidak mau mengenal atau dekat dengan siapapun. Namun anehnya, setiap hari kamis sore aku selalu melihatnya datang ke paroki untuk mengikuti kegiatan Legio Maria. Ia tampak akrab sekali dengan para legioner yang rata-rata adalah ibu-ibu. Ia memang menarik sekaligus misterius. Aku suka wanita seperti ini, tapi bagaimana caranya untuk mendekati dia? Apakah aku telah jatuh cinta padanya? Jujur aku bingung, tapi biarlah semua ini terjawab seiring bergulirnya waktu.
Akhir-akhir ini aku sering memikirkannya. Semakin hari rasa penasaranku padanya kian bertambah. Banyak pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Siapakah dia sebenarnya? Di mana ia tinggal? dan sebagainya. Hingga pada suatu sore di hari kamis, seperti biasa ia selalu datang untuk mengikuti kegiatan Legio Maria. Diam-diam aku memperhatikannya dari jauh dan mengagumi pesona kecantikkannya yang semakin hari menurutku semakin bertambah. Ketika mereka sudah selesai berdoa, para legioner lainnya nampaknya mulai bubar satu per satu namun dia belum mau beranjak dari posisinya. Ia masih terlihat diam dan doa.
Aku berpikir inilah kesempatanku untuk berkenalan dengannya. Maka aku menunggunya di pintu keluar gereja hingga selesai berdoa. Saat itu, suasana telah sepi hanya kami berdua di tempat itu. Jantungku berdebar kencang, ketika kulihat langkah kakinya semakin dekat ke arahku.
“Pulang ya mbak,” tanyaku saat ia tiba di depanku, ia cuma mengangguk lalu pergi.
“Mbak, mbak, mbak….tunggu sebentar,”
panggilku seraya berlari ke arahnya. Ia berhenti dan menoleh.
“Ada apa mas?”, ia bertanya. “Bolehkah saya berkenalan dengan
mbak?”, kataku memberanikan diri. “Oh boleh-boleh saja,” katanya.
“Perkenalkan nama saya Rian, saya frater yang sekarang bertugas di paroki ini”.
“Aduh frat…maaf ya, saya tadi belum tahu. Nama saya Rina, saya juga umat paroki sini,” katanya.
“Oh tak apa mbak, memangnya mbak mau pulang ke mana?,” tanyaku lagi.
“Mau kembali ke rumah, frat,” jawabnya.
“apakah rumahnya jauh dari sini?” tanyaku.
“Ya, cukup jauh frat dari sini”, katanya.
“Terus nanti mau pulang dengan apa mbak atau ada yang jemput?”, tanyaku lagi.
“Cuma jalan kaki frat, soalnya jaraknya tidak terlalu jauh dari sini”, katanya dengan malu-malu.
“Apakah saya bisa mengantar mbak pulang, kalau mbak tidak
keberatan?,”tanyaku. Awalnya ia menolak karena tidak mau merepotkanku, namun setelah aku membujuknya akhirnya ia mau juga diantar pulang.
Sepanjang jalan kami banyak berbincang tentang berbagai hal hingga tiba di depan rumahnya. Rumahnya cukup besar namun tampak sepi, mungkin keluarganya sudah tidur. Sebelum berpisah kami sempat bertukar nomor handphone dan berjanji
Aku semakin penasaran dengannya karena
kelihatannya ia tidak mau mengenal atau dekat
dengan siapapun. Namun anehnya, setiap hari kamis sore aku selalu melihatnya
datang ke paroki untuk mengikuti kegiatan
Legio Maria. Ia tampak akrab sekali dengan para
legioner yang rata-rata adalah ibu-ibu. Ia memang
menarik sekaligus misterius.
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 35
untuk saling mengabari satu sama lain. Namun ia berpesan untuk tidak menelponnya, cukup lewat sms saja karena ia sangat sibuk. Aku pun mengiyakannya tanpa protes. Walau hanya lewat sms saja perlahan-lahan hubunganku dengannya semakin akrab. Ternyata ia tidak seperti yang kuduga sebelumnya. Ia adalah sosok yang menyenangkan dan sangat pengertian. Semakin hari aku semakin menyukainya. Dan aku juga merasa dia pun demikian adanya. Aku sempat berpikir untuk mengutarakan isi hatiku padanya. Namun, aku tidak cukup berani untuk melakukannya sehingga gejolak perasaan ini hanya bisa kupendam entah sampai kapan.
Sudah hampir seminggu ia tak lagi muncul di paroki bahkan smsku pun tak lagi ia balas. Aku berusaha untuk bersabar dalam penantian. Namun, saat waktu sebulan belumlah genap, habis sudah kesabaranku. Maka kuputuskan untuk meneleponnya terlebih dahulu sebelum bertamu ke rumahnya. Aku mencoba menghubungi nomornya namun nomor itu sudah tak aktif lagi. Aku semakin bingung dan penasaran tentang keberadaan Rina. Maka aku pun berkunjung ke rumahnya. Rumah itu tampak sepi. Kucoba mengetuk pintu tapi tak ada jawaban dari dalam.
“Cari siapa mas?”, tanya seorang bapak yang mungkin tetangganya Rina.
“Saya mencari seorang gadis yang bernama Rina, pak,” jawabku. “Apakah benar ini rumahnya?”, tanyaku lagi. Bapak tua itu tidak langsung menjawab tapi ia menatapku agak lama. “Ya benar, rumah ini adalah rumahnya Rina.
Rumah ini merupakan peninggalan dari kedua orang tuanya yang sudah lama meninggal,”kata sang bapak.
“Kalau boleh tahu, apakah orang tuanya sudah meninggal atau masih hidup ya
pak?”, tanyaku lagi. “Orang tuanya sudah meninggal. Mereka
berpulang saat Rina masih berada di bangku kelas 3 SMA karena kecelakaan. Tapi, Rina termasuk orang yang kuat dan bersemangat sehingga ia mampu membiayai dirinya sendiri hingga sekarang,” jelas sang bapak.
“Lalu apakah bapak tahu di mana Rina sekarang?”, tanyaku. Sang bapak tidak langsung menjawab, agak lama ia diam. “Maaf ya mas, Rina sudah tidak lagi di sini,”jawab sang bapak terbata-bata.
“Maksud bapak dia pindah rumah atau bagaimana?”, tanyaku tak sabar. “Mungkin ini sudah menjadi jalan Tuhan...Rina telah meninggal. Ia meninggal kira-kira tiga minggu yang lalu karena penyakit kanker paru-paru yang telah lama ia derita,” ujar sang bapak dengan wajah sedih. Spontan tubuhku serasa lemah lunglai dan kepalaku pusing sekali. Aku tidak pernah menyangka kalau ia telah pergi untuk selamanya. Setelah berbincang sebentar, aku pun segera pamit pulang pada sang bapak. Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan Rina. Aku tak menyangka akhir cintaku harus setragis ini.
Sekarang baru aku paham akan sikap Rina yang selama ini cenderung tertutup dengan orang lain. Tiba-tiba bunyi klakson mobil mengagetkanku. Aku terguling dari atas motorku. Lalu aku merasa ada cairan hangat membasahi tubuhku dan selanjutnya semuanya menjadi gelap.
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201236
Ratapan
Udara sejuk menyapa lembut seperti biasa. Suasana tenang kembali mengunjungiku. Aku membaringkan diriku di atas rumput hijau. Begitulah suasana
di tempatku bila malam mulai menjemput. Padahal aku tinggal di Jakarta, di kota metropolitan yang super-sibuk, di mana produksi suara tidak pernah berhenti berproses.
Milan Oleh : Gregorius Afioma
Cerpen
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 37
“Belajarlah berdamai dengan kesepian” ucap Pedro dua hari lalu ingin menghiburku. Ia adalah seekor merpati , binatang peliharaan frater-frater di sini juga.
“Aku tidak bisa kawan!” jawabku dengan nnada sedikit membentak.
“Kenapa tidak bisa? Aku bisa kok!”
Dia lalu menceramahiku. Katanya, merpati adalah bintang yang melambangkan kesetiaan. Ia selalu hidup berdampingan dengan pasangannya. Ia tidak pernah
menyendiri, tetapi selalu bersama pasangannya.
“Loh, terus kenapa kamu mau menyendiri di sini?” ujarku mulai bertanya balik. Aku hanya bingung. Hampir dua tahun, dia tinggal di sini. Menyendiri tanpa ada merpati lain. “Bukankah katamu merpati harus selalu dengan pasangannya?”
***
Ia menghela nafas panjang. Ia mulai bercerita. Pada suatu malam, ia pernah terbang mencari apa arti kebahagiaan di kota Jakarta. Ketika melewati wilayah banjir Kanal Timur di sekitar pondok bambu, ia mendengarkan suara nan merdu, sekelompok laki-laki sedang bernyanyi. Sesekali suara tertawa begitu terdengar. Ia terbang mendekat ke sumber suara itu. Dari atas atap sebuah gedung lantai dua, ia menyaksikan sekolompok pemuda bergoyang ria, sambil bernyanyi. Beberapa memainkan gitar. Kelihatannya mereka sungguh menikmati suasana itu.
“Aku kaget!kok laki-laki semua?” ucapnya tentang peristiwa itu. Tapi aku setia berteduh di situ malam itu. Keesokan harinya, ia menyaksikan mereka bermain futsal di lapangan kecil di bagian belakang gedung itu. Ia melihat mereka makan bersama. Dia pun betah memperhatikan mereka berhari-hari di situ. Sampai suatu saat, mereka memperhatikan dia, dan memberikan dia makan dan tempat tingggalnya di sebuah pendopo coklat, dimana
“Milan!” suara itu memecahkan kesunyian ini. Suara itu aku kenal. Suara seorang pemuda yang selalu menenangkan dirinya di tempat ini. Berambut tebal, badannya ramping, kumisnya lumayan lebat. Setiap malam ia bercumbu dengan kesepian di tempat ini, ditemani sebatang rokok dan segelas kopi. Aku tidak tahu, apa yang dipikirkannya setiap kali ia nongkrong di sini. Yang jelas, ia selalu tersenyum dalam kesendiriannya.
“Aduh, kasian Milan!” Nada suara itu berbeda. Aku menoleh. Ternyata dia tidak sendirian malam ini. Ada tiga orang. Itu suara temannya. Kata-kata itu membuat aku sedih kembali. Air mata haru tidak tertahankan lagi. Aku menangis.
“Milan, janganlah kamu bersedih terus!” .Kata-kata itu bagai perangkap dalam ingatanku selama dua hari belakangan. Setiap kali aku hendak menangis, ia kembali memerangkapku. Aku segera mengusap air mata. Aku tidak boleh sedih lagi.
***
Dua hari lalu, merpati menegurku habis-habisan. “Sudahlah relakan saja kepergiaanya!” katanya lembut. Memang semenjak kepergian Messi aku seperti ditikam kesedihan yang luar biasa. Aku dan Messi berada bersama selama 4 tahun. Kami adalah anjing peliharaan frater-frater CICM pondok bambu. Kami selalu bersama. Dia adalah istriku yang setia bersamaku selama ini.
Sayang, peristiwa nas menjemput seminggu lalu. Ia terkapar. Mulutnya berbusa. “Mesi sudah mati!” teriak seorang. Aku menyaksikannya. Aku berlari mencari tempat sepi. Di sebuah pojok bangunan biara itu, aku menangis, tanpa ada yang menyaksikan. Sejak peristiwa itu, aku terus menerus menangis. Sebenarnya aku takut kesendirian tanpa istriku, Messi.
“Belajarlah berdamai dengan kesepian” ucap
Pedro dua hari lalu ingin menghiburku.
Ia adalah seekor merpati , binatang peliharaan frater-
frater di sini.
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201238
mengagetkanku. Merpati ternyata belum tidur. Ia juga sementara memperhatikan ketiga pemuda itu. Aku hanya mengangguk-anggukan kepala.
Kami berdua kemudian diam. Menyendengkan telinga, mendengarkan pembicaraan mereka. Tidak lama kemudian, aku mulai mengernyitkan dahi.
“Bro, kok mereka bercerita tentang Mira, santi, nelcy?”
Kali ini Pedro, si merpati itu diam saja. Mungkin ia mencermati lebih jauh, siapakah nama-nama wanita itu bagi mereka.
mereka syering bernyanyi bersama setiap malam jumat.
“Tapi bukan karena mereka baik terhadap aku makanya aku tinggal di sini.”katanya lagi melanjutkan cerita.
“lalu kenapa kawan?”
“Mereka memberikan arti baru tentang kehidupan . Hidup sendirian tidaklah selalu menyedihkan.” terangnya yang membuat aku bertambah bingung.
“Apa maksudmu?”
“Kamu gak’ tau kalau mereka ini frater?”
Aku hanya mengeleng-gelengkan kepala. Dia kemudian menjelaskan lagi. Aku baru sadar, ternyata pemuda yang setiap malam nongkrong di bagian belakang gedung ini, tempat dimana aku tinggal adalah calon imam. Mereka akan “hidup sendirian”, tanpa istri.
“Terima kasih !” ucapku pelan kepada Benny. Aku mulai paham. Sejak dua hari lalu itu aku bertekad untuk tegar, tidak sedih lagi atas kematian Messi. Aku harus belajar dari merpati yang berani menemukan arti kebahagiaan dalam kesendirian. Aku harus belajar dari pemuda-pemuda ini. Sejak nasehat itu, setiap kali mau menangis aku selalu diingatkan oleh nasehatnya.
***
Malam ini rasanya berbeda. Baru saja aku menangis, tapi aku dikuatkan. Dalam hati aku selalu berguman, kesendirian tidaklah selalu menyedihkan. Kali ini aku ingin memperhatikan tiga orang pemuda itu bercakap. Sebelum-sebelumnya, aku sebenarnya tidak terlalu mempedulikan mereka. Aku tidak peduli, apa yang mereka perbincangkan. Namun semenjak merpati bercerita kepadaku, aku jadi penasaran. Aku ingin menimba kebijaksanaan dari mereka.
Aku diam saja. Kuperhatikan wajah mereka. Cerah dan segar. Sesekali mereka tertawa berderai panjang.
“Benarkan apa kataku?” suara itu
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 39
AIR MATA HATI
Sepi hantui ruang hidup Aku terkurung dalam sebuah kisah tragis memilu-kan tetes air mata bening basahi pipi yang peyot.... mengalir tetes demi tetes tanpa berhentiseakan ingat kepergian ayahku.....
Dia berkata kepadaku,”ayahmu telah pergi selamanya Ayah....!!! Ayah......Mengapa tinggalkan aku....??? kesepian dalam sendiri...hidup hampa tan-pamu... Hati pilu...sakit tak tertahankan.... tak kuat tanpamu ayah.. Tahu kini engkau telah berbahagia di rumah Bapa... Selamat jalan...doaku selalu menyertai...
Saat aku mengucapkan kata perpisahan Dia kembali meneteskan sebuah air mata kehidupan derasseumpama rasakan kesedihanku...oh air mata...Aku mencoba mengusap dirimu dipipiNamun engkau berkata,”jangan mengusir ku an-akku....biarlah aku ikut rasakan sedih dalam sendirimuBiarlah aku menjadi teman sehidup semati bagimu,,,anak... Kini sadar aaku tidak sendirian...dalam perjalanan hidup Aku kuat karena dia sang air mata hati...Dia yang akan menjadi sahabat untuk selamanyaa Dia akan menjadi pelindung dan penjaga kalbu hati...Terima kasih Kini Engkau akan menjadi sanubari dalam hidup-ku.......Aku kuat karena dia sang air mata hati....
Gauden
PUISI
PERADUAN SANG PEMIMPI
Kesunyian kian menyelimuti Sang PemimpiTak cukup sunyi mengumuli dirinyaKini kesendirian menjadi obat termanis jiwanya.......inikah obat termanis ziarah sucinya?
Nada harapan kian mengiringi langkah kakinya tertatih di bawah sengatan sang mentari Yang mengubah simponi klasik di planet kehidupan jadi sejuta kenyataaan penuh harapan
Harapan kian tersentak mengantar sang pemimpi ke belahan planet kehidupan lain Timur ke barat dipandang sebelah mata Utara ke selatan penuh gairah...
Tapi, kemanakah Sang Pemimpi berlabuh? Dimana Sang Pemimpi berkisah? Pulau kasih kian mendekat... berkibar bendera “One heart and one soul”
Pulau kasih kini menyambut Sang Pemimpidengan isak tangis cucuran airmataNamun harapan kokoh, bak pohon diterpa angin kenjangtak akan tumbang sebelum masanya....For those who love nothing is difficultmenguatkan tinta indahDi hadapan Sang Pencipta Kehidupan
Oris
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201240
PUISI
MUSAFIR
Hidup bagaikan kelana
mengarungi padang belantara hidup
meski terkadang dilanda gulana
janganlah semangat hilang-redup
tetaplah kita melalang buana
dengan mata yang tak lagi tertutup
Hidup bagaikan ziarah
melintasi lembah dan gemunung
sekalipun semua nanti tinggal sejarah
tak harus kita berwajah murung
tetaplah bergerak seturut arah
menuju Tuhan sang Maha Agung
marilah kita sehati & sepikir
berjuang maju dalam masa bakti
walaupun tantangan tiada akhir
teruslah melangkah jangan berhenti
biarlah hidup senantiasa mengalir
kepada Yesus sang Musafir Sejati
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 41
IN MEMORIAM
P. Yohanes Karinus Laga, CICM
Tepat pukul 24.00 WIB pada Selasa, 18 Desember 2012, deringan bunyi telpon mengagetkan beberapa frater yang sedang nonton di ruang TV. Mereka tengah asyik menonton film “an Invisible Sign” yang menceritakan seorang anak yang berkorban demi ayahnya yang sakit. Ayah itu tak tertangani secara medis, namun coba menempuh pengobatan alternatif.
“Sebentar, ada bunyi telpon!” kata frater Moky, yang mengagetkan beberapa frater yang sedang menonton. “Ini jam 12 kan?” sambungnya lagi. Semua menajamkan pendengaran. Ketika bunyi telpon berdering sekali lagi, fr. Rion segera mengangkatnya. Sedangkan yang lain lagi-lagi berkonsentrasi pada film.
“Teman-teman P. Anis meninggal.” kata fr. Rion. Semua orang kaget, bahkan terperanjat. Spontan mereka berlarian keluar ruang TV menuju lantai II. Mereka mengetuk kamar demi kamar frater yang lain untuk memberi informasi tersebut.
P. Anis adalah formator sekaligus rektor di SST semenjak tahun 2009. Beberapa bulan yang lalu ia jatuh sakit. Pada 25 Oktober 2012, ia dirawat di rumah sakit Carolus. Namun karena tidak ada perubahan pada kondisi kesehatanya, ia akhirnya kembali di rawat di rumah sakit Medistra pada 11 November 2012. Kondisi kesehatannya belum betul-betul pulih ketika ia meminta untuk pulang ke Lembata, kampung halamannya. Oleh karena itu ia keluar dari Medistra pada Minggu, 2 November 2012, dan menuju Lembata pada Selasa, 4 November 2012.
Setiap frater di SST tentu mempunyai kenangan masing-masing bersama beliau selama hidupnya. Namun yang sulit dilupakan dari beliau adalah kesederhaan hidup dan senyumannya. Ia selalu tampil ramah dan halus dalam tutur katanya. Berikut ini sebuah kisah pengalaman seorang frater menemani beliau ketika sedang dirawat di rumah sakit.
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201242
Kamis, 29 November 2012. Tepatnya pukul 21.00 WIB. Jakarta masih gaduh dengan kemacetan saat sebelumnya hujan mengguyur hampir dua jam lamanya. Setelah lolos dari kemacetan cukup panjang, kami (Roi, Juan, dan saya) tiba di rumah Sakit Medistra. Suasana koridor tampak tenang. Kami berjalan menuju kamar 320 di lantai III. Di situlah Padre Anis sedang dirawat.
Dari pintu masuk, tampaknya Ia
sedang menarik nafas pelan dan sangat dalam, namun dihembuskannya cepat-cepat, bagai pernafasan orang yang telah berlari kencang di arena lomba. Badannya basah kuyup. Keringatnya bercucuran di saat AC terasa dingin menusuk. Saking dinginnya, saya harus keluar-masuk ruangan itu sekadar mencari hawa yang cukup hangat. Badannya bergetaran. Raut mukanya tampak kebingungan. Saat itulah ia kelihatan tua, kurus, dan lelah.
“Suster berapa suhunya
badannya?”tanyaku ketika seorang perawat mengeluarkan thermometer dari ketiaknya.
“40!” jawab suster dengan tenang
dan ramah. Suster lalu memberikan obat penurun panas. Setengah jam kemudian, ia memanggil saya dan ayahnya. Kebetulan
Serpihan
P. Anis berpose dengan fr. Roy dan fr. Emen dalam perayaan ultah bulanan komunitas. P. Anis berulang tahun setiap 4 November. Ulang tahun terakhirnya yakni usia 41 tahun terjadi ketika ia sedang dirawat
di RS. Carolus
P. Anis sedang dirawat di rumah Sakit Medistra. Dalam foto ini tampak P. Juvens dan P. Daru
yang sedang menjenguk beliau di rumah sakit. Ayahnya selalu menemani beliau selama sakit yakni selama bulan November-Desember
P. Anis meninggal pada 18 Desember 2012. Jenasah beliau dimakamkan pada 21
Desember 2012.
Kisah Padre Anis
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 2012 43
malam itu saya dijadwalkan “menemani” pater di rumah sakit. “Tolong kipas?” ujarnya sambil membuka baju kaus berwarna kuning—di bagian depannya bertuliskan “Brasil”, Negara Misi yang amat dicintainya.
Kami berdua lantas mengambil koran
Kompas. Mulai mengipas tubuhnya selama hampir satu setengah jam. Namun keringat tetap bercucuran. Hati mulai terusik, ada apa gerangan berkeringat dalam AC sedingin ini? Semua itu adalah pertanyaan (dalam) hati. Sambil mengipas sesekali kami mengelap muka, leher dan perutnya dengan tisu.
*** “Cukup sudah No!”, pintanya dengan
nada merendah. “Kamu pasti sudah cape!” Saat itu suhu badannya menurun. Di
situlah kami berdua mulai bercerita. Banyak pertanyaan dikemukakan. Semuanya menyangkut situasi rumah. “No, satu semester ini saya sakit-sakitan. Belum bisa mendampingi kalian sepenuhnya.” ujarnya. Angkatan demi angkatan ditanyai kabar. Ia berbicara lugas. Tidak terbayangkan itulah percakapan terakhir kali dengannya. Kala itu, saya hanya berpikir mungkin dia lagi membutuhkan teman untuk bercerita.
Kala itu saya juga yakin ajal tidak
akan menjumpainya, walaupun ia sempat meragukan kondisinya sendiri.
“No, mungkin saya nanti meninggal!”
katanya serius. Saya langsung tersenyum tidak percaya.
“Tidak mungkin Pater!” jawabku singkat
disertai tertawa kecil. Saya memang tidak yakin. Lalu saya menjelaskan kepadanya, kalau saya bisa merasakan aura orang yang mau meninggal. Ya, sebenarnya saya hanya percaya diri saja punya kemampuan seperti itu. Tapi di sisi lain, itu untuk menghiburnya.
Waktu itu saya yakin dia akan sembuh. Saya percaya pada “hukum terbalik”. Misalnya, kalau saya ditakut-takuti bahwa ada setan di tengah jalan yang hendak saya lewati , yang kerap terjadi cerita spt itu tidak ada. Atau kalau saya cemas berlebihan terhadap ujian, yang terjadi ujian tidak sesulit yang dibayangkan. Kala itu, ketika dia mengatakan hal itu, saya hanya berpikir, dia akan mendapatkan hal yang sebaliknya. Dia
bakalan sembuh. Malam itu kami bercerita banyak
hal. Dia memang tidak bisa tidur. Namun sekali lagi, tak terbayangkan itulah saat-saat terakhir bersama dia.
*** Dingin yang menusuk tidak tertahan
lagi. Saya keluar ruangan sejenak. Seorang suster lekas mendekati saya.
“Tolong ya!, bapaknya dibujuk
makan?” pinta seorang perawat. Entah berapa lama dia tidak makan,
saya tidak tahu persis. Ketika ditanya kapan makan terakhir kalinya, dia tidak mengingat waktu secara persis. Namun yang dia ingat, dia pernah makan dengan sangat lahap setelah didoakan P. Ignas.
Malam itu kami coba membujuknya.
Hampir pukul 00.00 WIB, dia baru bisa melahap semangkuk bubur dengan susah payah. Cara dia menyantap bubur malam itu seolah-olah terpahat indah dalam ingatan saya. Setelah itu dia pun berusaha untuk tidur.
***
Pagi hari pada keesokkan harinya. Pagi-pagi saya dan ayahnya sudah dibangunkan. Tepat pukul 05.00 WIB saya menyaksikan jarum suntik beberapa kali sudah membuat dia menjerit kesakitan. Wajahnya murung. Ia kelihatan lelah sekali.
Namun kemudian pagi itu suasana cukup ringan dan santai. Dia mandi. Kemudian semangkuk bubur sumsum kembali dilahap habisnya pagi itu. Dia menyuruh saya minum kopi. Sedangkan dia sendiri membaca sebuah koran, khususnya berita tentang Diego. Kami tidak terlalu banyak bercakap-cakap pagi itu.
Lagi lima belas menit pukul 10.00 WIB.
“Pater, saya pulang dulu. Semoga cepat sembuh!” aku menyalaminya. Ia diam. Ternyata itulah sentuhan terakhir. Dan itulah hari terakhir dan kesaksian terakhir saya melihat dia ber-“laga” dalam kehidupan ini.
Gregorius Afioma
Majalah Tunas Verbist Edisi Juli-Desember 201244
Keluarga Besar Skolastikat Sang Tunas
mengucapkan Bahagia Natal 2012
&Tahun Baru 2013