Post on 01-Dec-2015
description
2. Mekanisme Pertahanan Gingiva
Mekanisme pertahanan gingival terdiri dari empat komponen yaitu :
1. Deskuamasi epitel dan keratinisasi
2. Cairan sulkular
3. Leukosit pada daerah Dentogingival
4. Saliva
2.1 Deskuamasi Epitel dan Keratinisasi
Secara kontinyu pada epitel berlangsung proses pembaharuan epitel, yang dimulai
dari daerah basal menuju ke superfisial. Proses ini diikuti oleh deskuamasi epitel yang
paling superfisial. Di samping itu, dengan proses keratinisasi terjadi pembentukan
lapisan keratin atau parakeratin pada lapisan superfisial dari epitel gingiva. Deskuamasi
epitel dalam rangka pembaharuan sel sedangkan pembentukan keratin tersebut
merupakan mekanisme pertahanan gingiva yang paling sederhana.
2.2 Cairan Sulkular
Cairan sulkular atau Gingiva Crevicular Fluid (GCF) merupakan salah satu
komponen dalam mekanisme pertahanan gingival. Cairan Sulkular memiliki banyak
komponen yang terkandung didalamnya. Komponen-komponen tersebut antara lain :
Komponen GCF :
a. Elemen seluler
Elemen seluler GCF meliputi bakteri, sel epitel yang terdeskuamasi, Leukosit
( PMN, Limfosit,monosit/makrofag) yang keluar melalui epitelium sulcular karena sifat
epitel sulkular yang memiliki permeabilitas tinggi.
b. Elektrolit
Elektrolit yang ditemukan terdapat pada GCF yaitu potasium, sodium, dan
kalsium. Adanya sodium dan kalsium menunjukkan adanya korelasi positif dengan
inflamasi .
c. Senyawa Organik
Senyawa organik yang ditemukan di GCF yaitu Karbohidrat (Heksosamin
glukosa dan asam heksuronat) dan protein. Konsentrasi glukosa di GCF lebih tinggi
daripada di serum. Hal ini menunjukkan hasil aktivitas metabolisme jaringan & fungsi
dari flora mikroba lokal. Sedangkan total protein di GCF lebih rendah daripada serum.
Sehingga karbohidrat lebih berperan terhadap inflamasi
d. Produk metabolik dan produk bakterial
Juga ditemukan adanya produk metabolik maupun produk bakteri dalam GCF
seperti asam laktat, urea, hidroksiprolin, endotoksin, substansi sitotoksik, hidrogen
sulfida, dan faktor antibakterial. Faktor antibacterial inilah yang berperan penting dalam
mekanisme pertahanan gingiva terhadap adanya jejas terutama bakteri yang pathogen.
e. Enzim
β glukuronidase, yang merupakan enzim lisosomal; dehidrogenase asam laktat
yang merupakan enzim sitoplasmik; kolagenase, yang bisa diproduksi oleh fibroblas
atau LPN, atau diekskresi oleh bakteri; posfolipas, suatu enzim lisosomal tetapi yang
bisa juga diproduksi oleh bakteri.
2.2.1 Aktivitas Seluler dan Humoral GCF
IL-1α dan IL-1β dalam sitokin mempunyai peranan :
- Meningkatkan ikatan PMN dan monosit/makrofag ke sel endotel
- Stimulasi produksi prostaglandin E2
- Pelepasan enzim lisosomal
- Stimulasi resorpsi tulang alveolar
Resorpsi tulang yang diakibatkan oleh IL-1β ini akan dihambat oleh
adanya Interferon- α dalam GCF yang berfungsi untuk proteksi terhadap
penyakit periodontal.
2.2.2 Peranan cairan sulkus sebagai mekanisme pertahanan ada 3 yaitu :
1. Aksi membilas
2. Kandungan sel protektif
3. Memproduksi enzim
2.2.3 Arti Klinis GCF
Jumlah GCF bertambah saat terjadinya inflamasi . Jumlahnya tidak
meningkat pada trauma oklusi namun meningkat karena :
1. Pengunyahan makanan yang kasar
2. Sikat gigi dan pemijatan gingiva
3. Ovulasi
4. Kontrasepsi hormonal
5. Merokok
6. Periode sirkadian
7. Terapi periodontal
2.3 Leukosit pada daerah Dentogingival
Komposisi leukosit pada sulkus gingiva yang sehat adalah :
91,2 % LPN (Leukosit Polimorphonuclear)
8,5-8,8 % sel mononukleus terdiri dari: 58% limfosit B, 24 % limfosit T, dan 18 %
fagosit mononukleus
Dijumpai pada sulkus gingiva yang secara klinis sehat, meskipun dalam jumlah
yang sedikit. Leukosit tersebut berada ekstravaskular di jaringan dekat ke dasar sulkus.
Leukosit yang dijumpai dalam keadaan hidup, memiliki kemampuan memfagosit dan
membunuh. Leukosit pada dentogingival ini merupakan mekanisme protektif utama
melawan serangan plak ke sulkus gingiva. LPN jumlahnya bervariasi antar individu,
antar waktu dalam sehari dan meningkat jumlahnya pada keadaan gingivitis.
2.4 Saliva
Sekresi saliva bersifat protektif karena jaringan mulut dalam keadaan yang
fisiologis. Pengaruh saliva terhadap plak adalah:
Aksi pembersihan mekanis terhadap permukaan oral
Menjadi buffer bagi asam yang diproduksi bakteri
Mengontrol aktivitas bakterial
Faktor – faktor antibakterial Saliva
Saliva mengandung berbagai bahan anorganik dan organic.
Bahan – bahan organicnya meliputi; ion, gas, bikarbonat, natrium, kalium, posfat,
kalsium, fluor, ammonia, dan karbondioksida.
Kandungan organiknya antara lain adalah lisosim, laktoferin, mieloperoksidase,
laktoperoksidase, aglutinin (seperti glikoprotein, mucin, β2-makroglobulin,
fibronektin) dan antibody.
1. Lisosim: memutus ikatan antara komponen-komponen struktural dinding sel
bakteri yang mengandung glikopeptida asam muramat seperti spesies Veilonella
dan Actinobacillus actinomycetemcomitans.
2. Sistem laktoperoksidase-tiosianat: bakterisid terhadap strein Lactobacillus dan
Streptococcus dengan jalan menghalangi akumulasi lisin dan asam glutamat
yang dibutuhkan bakteri.
3. Laktoferin: efektif terhadap strein Actinobacillus.
4. Mieloperoksidase adalah ensim mirip peroksidase yang dilepas lekosit dan
bakterisid terhadap Actinobacillus.
Antibodi saliva
Saliva mengandung banyak antibody, terutama immunoglobulin A. Antibody
saliva disintesis secara local terbukti dari tidak bereaksinya antibody saliva terhadap
strein bakteri yang khas pada usus. Banyak bakteri yang terdapat dalam saliva yang
dibalut oleh IgA, dan deposit bacterial pada permukaan gigi mengandung IgA dan IgG.
Immunoglobulin yang ada pada saliva dapat menghambat perlekatan spesies
streptococcus ke sel-sel epitel dan menghambat kemampuan bakteri melekat ke
permukaan mukosa dan gigi.
Pada waktu berjangkitnya penyakit periodontal, ada peningkatan konsentrasi
enzim saliva. Enzim dimaksud adalah hialuronidase, lipase, β-gluronidase, kondroitin
sulfatase, dekarboksilase asam amino, katalase, peroksidase, dan kolagenase. Enzim
proteolitik yang ada dalam saliva dihasilkan oleh bakteri. Enzim-enzim tersebut
berperan dalam memulai dan berkembangnya penyakit periodontal.
Untuk melawan enzim tersebut, saliva mengandung :
Antiprotease yang menghambat protease sistein seperti katepsin
Antileukoprotease yang menghambat elastase
3. Inflamasi
Inflamasi adalah suatu respons protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab
awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal.
Inflamasi melaksanakan tugas pertahanannya dengan mengencerkan, menghancurkan dan
menetralkan agen berbahaya misalnya mikroba, dan toksin. Inflamasi kemudian kemudian
menggerakkan berbagai kejadian yang akhirnya menyembuhkan dan menyusun kembali tampat
terjadinya jejas. Dengan demikian, inflamasi juga saling terkaiterat dengan pro, dan atauyes
perbaikan, yang mengganti jaringan yang rusak dengan regenerasi sel parenkim, dan atau dengan
pengisian setiap defek yang tersisa dengan jaringan parut fibrosa. Walaupun inflamasi membantu
membersihkan infeksi dan, bersama-sama dengan proses perbaikan memungkinkan terjadinya
penyembuhan luka, baik inflamasi ataupun proses perbaikan sangat potensial menimbulkan
bahaya. Oleh karena itu respon radang merupakan dasar terjadinya reaksi anafilaktik yang
mengancam nyawa seseorang misalnya adalah akibat gigitan serangga dan konsumsi obat.
A. Inflamasi Akut
Inflamasi Akut merupakan Respons segera dan dini terhadap jejas yang dirancang
untuk mengirimkan leukosit ke tempat jejas. Sampai di tempat jejas, leukosit akan
membersihkan setiap mikroba yang menginvasi dan memulai proses penguraian jaringan
nekrotik.
Proses ini memiliki dua komponen utama :
1. Perubahan Vaskular. Perubahan dalamkaliber pembuluh darah yang
mengakibatkan peningkatan alikran darah (vasodilatasi) dan perubahan struktural
yang memungkinkan protein plasma untuk meninggalkan sirkulasi (Peningkatan
permeabilitas vascular)
2. Berbagai kejadian yang terjadi pada sel : Emigrasi leukost dari mikro sirkulasi
dan akumulasinya di focus jejas (rekrutmen dan aktivasi selular).
Perubahan Vaskular
Perubahan pada caliber dan aliran pembuluh dara. Perubahan ini dimulai relative
lebih cepat setelah jejas terjadi, tetapi dapat berkembang dengan kecepatan yang
beragam, bergantung pada sifat dan keparahan jejas asalnya.
Setelah vaasokontriksi sementara (beberapa detik saja), terjadilah
vasodilatasi arteriole, yang mengakibatkan peningkatan aliran darah, dan
penyumbatan lokal (hiperemia) pada aliran darah kapiler selanjutnya.
Pelebaran pembuluh darah ini merupakan penyebab timbulnya warna
merah (eritema) dan hangat yang secara khas terlihat pada inflamasi akut.
Selanjutnya, mikrosirkulasi menjadi lebih permeable, mengakibatkan
masuknya cairan kaya protein ke dalam jaringan ekstra vascular. Hal ini
menyebabkan sel darah merah menjadi lebih terkonsentrasi dengan baik
sehingga meningkatkan viskositas darah dan memperlambat sirkulasi.
Secara mikroskopik perubahan ini digambarkan oleh dilatasi pada
sejumlah pembuluh darah kecil yang dipadati oleh eritrosit. Proses tersebut
dinamakan dengan stasis.
Saat terjadinya stasis, leukosit (terutama neutrophil) mulai keluar dari
aliran darah dan berakumulasi di sepanjang permukaan endotel pembuluh
darah. Proses ini dinamakan dengan marginasi. Setelah melekat pada sel
endotel, leukosit menyelip di antara sel endotel tersebut dan bermigrasi
melewati dinding pembuluh darah menuju ke jaringan interstisial.
Gambar Peristiwa menyelinapnya leukosit di antara sel-sel endotel
Peningkatan Permeabilitas Vaskular.
Pada tahap awal inflamasi, vasodilatasi arteriole dan aliran darah yang
bertambah meingkatkan tekanan hidrostatik intravaskuler dan pergerakan cairan
dari kapiler. Cairan ini dinamakan dengan transudate pada dasarnya merupakan
ultrafiltrat plasma darah dan mengandung sedikit protein. Namun demikian,
transudasi segera menghilang dengan meningkatnya permeabilitas vascular yang
memungkinkan pergerakan cairan kaya protein, bahkan sel ke dalam interstisium
disebut (eksudat). Hilangnya cairan kaya protein kedalam ruang perivaskular
menurunkan tekanan osmotic intravascular dan meningkatkan tekanan osmotic
cairan interstisial. Hasilnya adalah mengalirnya air dan ion ke dalam jaringan
ekstra vascular, akumulasi dari cairan ini disebut dengan edema.
Gambaran sel Endotel pembuluh darah saat normal dan saat terdapat celah
(interendothelial space)
Berbagai Peristiwa yang Terjadi Pada Sel
Urutan kejadian ekstravasasi leukosit dari lumen pembuluh darah ke ruang
ekstravaskular dibagi menjadi (1) Marginasi dan Rolling (2) Adhesi dan
transmigrasi antarsel endothel , dan (3) Migrasi pada jaringan interstisial
terhadap suatu rangsangan kemotaktik. Rolling dan adhesi diperantarai oleh ikatan
molekul adhesi komplementer pada leukosit dan permukaan endothel. Mediator
kimiawi-kemoatraktan dan sitokin tertantu memengaruhi proses ini dengan
mengatur ekspresi permukaan atau aviditas molekul adhesi.
Gambar Urutan Emigrasi Leukosit Pada Inflamasi
Kemotaksis dan Aktivasi
Setelah terjadi ekstravasasi dari darah, leukosit bermigrasi menuju
tempat jejas mendekati gradient kimiawi pada suatu proses yang disebut
kemotaksis. Kedua zat ini eksogen dan endogen dapat bersifat kemotaktik
terhadap leukosit, meliputi (1) Produk Bakteri yang dapat larut khususny
peptide dengan N-formil-metionin termini, (2) Komponen system
komplemen terutama C 5a (3) Produk metabolisme asam arakhidonat
(AA) jalur lipoksigenase, terutama leukotrien B4 dan Sitokin terutama
kelompok kemokin misalnya Inter Leukin-8.
Fagositosis dan Degranulasi
Fagositosis dan elaborasi enzim degradatif merupakan dua manfaat
utana dari adanaya leukosit yang direkrut pada tempat inflamasi.
Fagositosis terdiri atas tiga langkah berbeda tetapi saling terkait. (1)
Pengenalan dan perlekatan partikel pada leukosit yang menelan, (2)
penelanan, dengan pembentukan vakuola fagositik selanjutnya, dan (3)
pembunuhan dan degradasi material yang ditelan.
B. Inflamasi Kronik
Inflamasi Kronik dapat dianggap sebagai inflamasi memanjang (berminggu-
minggu, bulan bahkan tahun), dan terjadi inflamasi aktif , jejas jaringan, dan
penyembuhan secara serentak.
Berlawanan dengan inflamasi akut yang dibedakan dengan perubahan vascular,
edema dan infiltrate neutrofilik yang sangat banyak, inflamasi kronik ditandai dengan
hal-hal berikut :
Infiltasi Sel Mononuklear (rdang kronik) yang mencakup makrofag
limfosit, dan sel plasma.
Destruksi jaringan, sebgaian besar diatur oleh sel radang.
Repair (perbaikan) melibatkan proliferasi pembuluh darah baru
(angiogenesis) dan fibrosis.
4. Inflamasi Gingiva
Perubahan patologis pada gingivitis dihubungkan dengan jumlah mikrorganisme dalam
sulkus gusi. Organisme ini memiliki kemampuan untuk mensintesis produk (kolagenase,
hialuronidase, protease, kondrotin sulfatase, atau emdotoksin) yang menyebabkan kerusakan
pada epithelial dan jaringan ikat, juga kandungan interselular seperti kolagen, substansi dasar,
dan glikokaliks (cell coat). Hal ini mengakibatkan perluasan ruang antara sel-sel epithelial
junction selama gingivitis awal yang memungkinkan agen infeksi diperoleh dari bakteri untuk
mendapat jalan masuk ke jaringan ikat. Meskipun penelitian luas, kita masih tidak dapat
membedakan secara tepat antara jaringan gusi normal dengan initial stage dari gingivitis.
Kebanyakan biopsi dari gingival normal manusia secara klinis mengandung sel-sel inflamasi
yang predominan terdiri dari sel-sel T, dengan sangat sedikit sel B atau plasma sel. Sel-sel ini
tidak merusak jaringan, tetapi mereka akan menjadi penting pada saat merespon bakteri atau
substansi lain yang mengganggu gingival. Dibawah kondisi normal, karena itu, aliran konstan
neutrofil bermigrasi dari pembuluh darah flexus gingival melewati epitel junction, ke margin
gingival, dan kedalam sulkus gingival kavitas oral.
Stage I Gingivitis: Inisial Lesion
Manifestasi pertama dari inflamasi ginggiva adalah perubahan vaskularisasi yaitudilatasi
kapiler dan peningkatan aliran darah.Perubahan inflamasi awal ini terjadi, dalam respon terhadap
aktivasi mikroba dari resident leukosit dan stimulasi dari sel endothelial. Secara klinis, respon
awal ginggiva terhadap bakteri plak ini tidak kelihatan.
Secara mikroskopik, beberapa ciri klasik inflamasi akut dapat dilihat padajaringan ikat
dibawah epithelial junction. Ciri morfologi perubahan pembuluh darah (pelebaran kapiler dan
venula) dan adheren dari neutofil terhadap dinding pembuluh (marginasi) terjadi dalam 1 minggu
dan kadang-kadang lebih cepat 2 hari setelah plak dapat terakumulasi. Leukosit,
Polymorphonuclear Neutrophils (PMN`s) utama, meninggalkan pembuluh darah kapiler dengan
bermigrasi melewati dinding ( diapedesis, emigrasi ). Mereka dapat terlihat dalam jumlah banyak
pada jaringan ikat, epithelial junction, dan sulkus gusi. Eksudat dari cairan sulkus ginggiva dan
protein serum ekstravaskular terdapat disini. Bagaimanapun, penemuan ini tidak diiringi dengan
manifestasi dari kejelasan kerusakan jaringan pada lampu mikroskop atau level ultrastruktural;
mereka tidak membentuk sebuah rembesan (infiltrate ); dan kehadirannnya tidak
dipertimbangkan dalam perubahan patologi.
Perubahan juga dapat terdeteksi dalam epithelial junction dan jaringan ikat perivaskuler
pada tahap awal ini. Limfosit segera terakumulasi. Peningkatan pada migrasi leukosit dan
akumulasinya sampai sulkus gusi dapat dikorelasikan dengan peningkatan aliran cairan ginggiva
dalam sulkus. Karakter dan intensitas respon host menentukan apakah lesi inisial dapat
dipecahkan secara cepat, dengan restorasi jaringan kembali ke keadaan normal, atauperlahan-
lahan berkembang menjadi lesi inflamasi kronik. Jika hal ini terjadi, infiltrasi makrofag dan sel
limfoid muncul dalam beberapa hari.
Stage II Gingivitis : The Early Lesion
The early lesion berkembang dari initial lesion dalam 1 minggu setelah permulaan
akumulasi plak. Secara klinis, early lesion mugkin tampak seperti gingivitis awal, yang
berkembang dari inisial lesion. Seiring berjalannya waktu, tanda-tanda klinis eritema dapat
terlihat, terutama proliferasi kapiler dan peningkatan formasi loop kapiler antara rete pegs atau
ridges. Perdarahan pada pemeriksaan mungkin juga terjadi. Aliran cairan gingiva dan jumlah dari
leukosit yang bertransmigrasi mencapai jumlah maksimum antara 6 sampai 12 hari setelah onset
dari gingivitis klinik.
Pemeriksaan mikroskopik gusi memperlihatkan infiltrasi leukosit pada jaringan ikat
dibawah epithelial junction terdiri dari limfosit utama ( 75% dengan sel T mayor ), tetapi juga
membuat beberapa migrasi neutrofil, seperti makrofag, sel plasma, dan mast sel. Semua
perubahan terlihat dalam lesi inisial berlanjut ke intensitas dengan early lesion. Epithelium
junction menjadi infiltrasi padat dengan neutrofil, seperti sulkus ginggiva, dan epithelium
junction mulai menunjukkan perkembangan rete pegs atau ridges.
Terdapat peningkatan jumlah destruksi kolagen; 70% kolagen dihancurkan disekitar
infiltrasi selular. Kelompok serat utama mengakibatkan kolagen terlihat berbentuk sirkuler dan
kumpulan-kumpulan serat dentoginggiva.Perubahan pada ciri morfologi pembuluh darah juga
dapat dilihat.
PMN`s yang telah meninggalkan pembuluh darah karena respon terhadap stimuli
kemotaktik dari komponen plak yang berjalan ke epithelium, menyebrangi lamina basalis,dan
ditemukan pada epithelium dan muncul di daerah poket.. PMNs menarik bakteri dan terjadi
fagositosis. PMN`s mengeluarkan lisosom berhubungan dengan ingesti bakteri. Fibroblast
menunjukkan perubahan sitotoksik dengan penurunan kapasitas produksi kolagen.
Stage III Gingivitis : The Established Lesion
Established lesion karakteristiknya berupa predominan sel plasma dan limfosit B dan
kemungkinan berhubungan dengan pembentukan batas poket gingival kecil dengan poket
epithelial. Sel B yang ditemukan dalam established lesion predominan oleh imunoglobin G1
(IgG1) dan G3 (IgG3).
Pada gingivitis kronis (stage III), yang terjadi 2 atau 3 minggu setelah permulaan
akumulasi plak, pembuluh darah menjadi engorged dan padat, vena kembali dirusak, dan aliran
darah menjadi lambat. Hasilnya adalah anoxemia ginggiva local, yang ditandai dengan adanya
corak kebiru-biruan pada gusi yang merah. Ekstravasasi dari sel darah merah kedalam jaringan
ikat dan terganggunya haemoglobin dalam komponen pigmen dapat juga memperdalam warna
kekronisan inflamasi ginggiva. Established lesion dapat dijelaskan secara klinis selayaknya
inflamasi ginggiva pada umumnya.
Secara histology, reaksi inflamasi kronik dapat diobservasi. Beberapa penelitian
menunjukkan inflamasi gingival kronik. Ciri kunci yang membedakan established lesion adalah
peningkatan jumlah sel plasma. Sel plasma menyerbu jaringan ikat tidak hanya dibawah
epithelial junction, tetapi juga jauh didalam
jaringan ikat, sekitar pembuluh darah, dan antara kelompok-kelompok serat kolagen. Epithelial
junction menyingkap ruangan interselular diisi dengan debris granular sel, termasuk lisosom
diperoleh dari neutrofil, limfosit, dan monosit yang terganggu. Lisosom mengandung asam
hidrolase yang dapat menghancurkan komponen jaringan. Epithelial junction berkembang
menjadi rete pegs atau ridges yang menonjol dalam jaringan ikat, dan lamina basalis dihancurkan
pada beberapa area.Pada jaringan ikat, serat kolagen dihancurkan disekitar perembesan dari
plasma sel yang intact dan terganggu.
Predomonan dari sel plasma menjadi karakteristik utama dari established
lesion.Bagaimanapun, beberapa penelitian dari eksperimen gingivitis pada manusia telah gagal
mendemonstrasikan predominansi sel plasma dalam mempengaruhi jaringan ikat, termasuk satu
penelitian dalam durasi 6 bulan. Peningkatan dari proporsi sel plasma diperjelas dengan
gingivitis yang tahan lama, tetapi waktu untuk perkembangan established lesion mungkin
melebihi 6 bulan.
Stage ini terlihat adanya hubungan terbalik antara jumlah kelompok kolagen intact dan
jumlah sel-sel inflamasi. Aktivitas kolagenolitik ditingkatkan dalam jaringan gusi yang
mengalami inflamasi melalui enzim kolagenase. Kolagenase secara normal berada pada jaringan
gusi dan dihasilkan melalui beberapa bakteri oral dan PMN`s.
Penelitian menunjukkan bahwa inflamasi ginggiva kronik mengalami peningkatan level
asam dan alkaline fosfat, β- glukuronidase, β -glukosidase, β-galaktosidase, esterase,
aminopeptida,sitokrom oksidase, elastase, laktat dehidrogenase, dan aril sulfatase, semuanya
dihasilkan dari bakteri dan penghancuran jaringan. Tingkat mukopolisakarida netral diturunkan,
agaknya merupakan hasil dari degradasi substansi dasar.
Established lesion terdapat 2 tipe: beberapa tetap stabil dan tidak mengalami progress
untuk beberapa bulan atau tahun dan yang lain menjadi lebih aktif dan berubah untuk
penghancuran lesi secara progresif. Established lesion juga tampak reversible. Flora kembali dari
karakteristik yang mendukung kerusakan lesi menjadi asosiasi dengan kesehatan periodontal.
Persentase sel plasma menurun drastis, dan jumlah limfosit meningkat secara proporsional.
Stage IV Gingivitis : The Advanced Lesion
Perluasan lesi kedalam tulang alveolar merupakan karakter dari stage ke empat yang
disebut advanced lesion. Secara mikroskopik, terdapat fibrosis pada gingival dan manifestasi
inflamasi yang menyebar dan kerusakan jaringan imunopatologi. Pada dasarnya,dalam advanced
lesion, sel plasma berlanjut mendominasi jaringan ikat, dan neutrofil berlanjut mendominasi
epithelial junction dan celah gingival.Gingivitis akan mengalami progress menjadi periodontitis
hanya pada individu yang rentan.
5. Gingivitis Marginalis Kronis dan Hiperplasia Gingiva
1. Gingivitis Marginalis Kronis
Gingivitis Marginalis Kronis merupakan penyakit peradangan gingiva bagian marginal
yang tanpa disertai rasa sakit dan merupakan stadium paling awal dari penyakit periodontal.
Penyakit ini paling banyak diderita oleh anak – anak. Karena anak – anak memiliki oral hygiene
yang buruk, dan tidak mampu untuk membersihkan sisa – sisa makanan secara sempurna,
sehingga peluang untuk terdapatnya plak adalah lebih tinggi.Pembentukan plak pada anak- anak
berusia 8-12 tahun adalah lebih cepatdaripada orang dewasa.
Peradangan gusi pada anak – anak sendiri sebagian besar disebabkan oleh penimbunan
bakteri plak, selain itu juga kebersihan mulut yang kurang baik, terdapatnya materi alba, dan
kalkulus. Materi alba merupakan deposit lunak yang berwana kuning atau putih keabu-abuan
yang biasanya melekat pada permukaan gigi, gingiva, kalkulus, maupun restorasi, dimana proses
pembersihannya lebih mudah daripada plak. Selain hal diatas, iritasi lain dapat ditimbulkan
karena adanya pinggiran karies atau adanya tepi tambalan yang berlebih.
Pada penderita gingivitis marginalis kronis, terdapat beberapa perubahan jika
dibandingkan dengan gingiva normal, antara lain adanya perubahan pada warna, ukuran,
konsistensi, dan tekstur permukaannya. Pada penderita gingivitis marginalis kronis, terlihat
penampakan warna gingiva menjadi kemerahan.Hal ini dapat disebabkan karena pembuluh darah
yang mengalami vasodilatasi sehingga ketika pembuluh darah membesar, aliran darah juga ikut
meningkat sehingga membuat warna gingiva menjadi merah.ketika pembuluh darah membesar,
lapisan endotel yang menyelimutinya menjadi renggang, sehingga memungkinkan leukosit untuk
diapedesis dan keluar ke jaringan yang mengalami peradangan. Eksudasi juga dapat terjadi dan
menyebabkan aliran darah terhambat, termasuk aliran darah balik.Sehingga eritrosit dapat rusak
atau pecah dan mengeluarkan Hb yang menyebabkan warna merah pada gingiva.Pada respon
inflamasi kronis, selain yang telah dijelaskan di atas terjadi pula proliferasi berupa angiogenesis
dan meningkatnya fibroblast.
Ketika pembuluh darah mengalami vasodilatasi, ukurannya juga semakin membesar,
sehingga gingiva juga terlihat membengkak, dan pada akhirnya menyebabkan konsistensinya
menjadi lunak karena jaringan kolagennya banyak yang rusak dan teksturnya menjadi halus dan
mengkilap.
2. Hiperplasia Gingiva
Perbesaran gigiva dibagi menjadi dua macam, yaitu hiperplasia gingiva dan hipertropi
gingiva.Hipertropi gingiva yaitu suatu keadaan yang disebabkan pertambahan ukuran sel pada
jaringan gingival. Hiperplasia gingival merupakan suatu keadaan yang disebabkan karena
proliferasi berlebihan pada fibroblast dan pertambahan sintesis kolagen.
Gambar Hiperplasia gingival pada mandibula
Gambar hyperplasia gingival pada maksila
Patogenesis hyperplasia diawali dengan adanya bahaya pada jaringan. Bahaya dapat
disebabkan akumulasi bakteri plak, iritasi, trauma alergi, dan sebagainya. Bahaya atau jejas
menstimulus respon jaringan, selanjutnya dasar jaringan ikat akan menstimulus untuk jaringan
berproliferasi. Proliferasi sel akan mengakibatkan bertambahnya jumlah sel sehingga aktivitas
fungsional untuk pertahanan juga meningkat. Bertambahnya sel akibat proliferasi mengakibatkan
terjadinya hyperplasia. Hiperlasia bisa terjadi pada satu area atau tersebar, bahkan bisa sampai
menutupi mahkota gigi. Hiperplasi yang terbentuk disertai dengan oral higien yang rendah akan
menyebabkan akumulasi plak sehingga dapat menimbulkan peradangan skunder.
Faktor – faktor hyperplasia gingival yaitu:
1. Perbesaran karena inflamasi
Perbesaran karena inflamasi dibedakan menjadi dua , yaitu karena peradangan kronis dan
karena peradangan akut. Pada peradangan akut, hiperplasi terjadi setempat, local, atau
menyeluruh yang diawali pembesaran pada margin gingival atau interdental papil. Hiperplasia
biasanya menyebar sampai bagian bukal atau lingual yang dapat membesar hingga menutupi
sebagian mahkota. Ciri –ciri dari hyperplasia keradangan kronis yaitu perbesaran, warna gingival
merah pekatatau merah kebiruan, permukaan tipis, dan mudah mengalami pendarahan. Etiologi
hiperplasi disebabkan iritasi local yang berlangsung lama, oral higien buruk, akumulasi bakteri
plak, alat ortodontik, kavitas di servikal, sisa makanan, plat protesa lepasan, serta bernafas
melalui mulut yang akan menyebabkan dehidrasi permukaan gingival dan berakibat pada iritasi
jaringan.
Pada keradangan akut dapat ditandai dengan adanya abses gingival, kadang sampai
menimbulkan ulserasi, timbul mendadak, sakit yang terlokalisir, persebaran terbatas pada margin
gingival atau interdental papil. Etiologi hiperplasi keradangan akut disebabkan akumulasi bakteri
karena iritasi benda asing yang di timbulkan dari cara menyikat gigi yang salah,penggunaan
tusuk gigi yang tidak sesuai,serta makanan keras yang member tekanan atau iritasi.
2. Hiperlasia gingival karena konsumsi obat-obatan
Konsumsi obat dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan dari hyperplasia gingival.
Konsumsi obat dapat menyebabkan inflamasi serta fibrosis, namun efek yang ditimbulkan
bergantung pada durasi konsumsi obat, dosis obat yang dikonsumsi, identitas obat, kualitas oral
higien, genetic, serta lingkungan. Semua faktor bervariasi dan menimbulkan efek yang bervariasi
juga.
3. Hiperplasia gingival karena kondisi tertentu
a. Hereditas ( Terjadi pada down syndrome, klinifelter, dan beberapa syndrome
hereditas lainnya)
b. Ketidak seimbangan Hormon yang sering terjadi di dalam tubuh ketika pubertas,
hamil, dan beberapa kondisi tertentu lain. Sebagian besar ketidak seimbangan hormon
menyebabkan imunitas menurun sehingga berpotensi meningkatkan proliferasi
jaringan gingiva sebagai respon iritasi dan bahaya lainnya.
c. Defisiensi Vitamin C mempengaruhi sintesis kolagen, sehingga sintesis kolagen
berkurang yang menyebabkan degenerasi kolage ,edema, serta perdarahan spontan.
d. Hiperplasi gingival karena penyakit sistemik, seperti terjadi pada penderita leukemia.
Pada penderita leukima terjadi kerusakan pada fungsi sumsum tulang yang
menyebabkan kerentanan infeksi. Kerentangan tersebut memicu infiltrasi sel-sel
ganan ke gingival sehingga menyebabkan stimulus proliferasi dan hyperplasia pada
gingival.
DAFTAR PUSTAKA
1. Caranza, F.A. 2002. Clinical Periodontology.9th edition. Philadelphia: W.B. Saunders
Company.
2. Greenberg,Glick & Ship. 2008. Oral Medicine.India:BC DECKER
3. Kerr,Donald & Major.1960.Oral Pathology.Philadelphia: QUAE PROSUNT OMNIBUS
4. Newman G.Michael, Henry H. Takei, Fermin A.Carranza. 2002. Carranza’s
Clinical Periodontology 10th edition. Philadelphia. Sounders Company.
5. Purkait, Swapan Kumar. 2011.Essential of oral pathology. New Delhi:JAYPEE
6. Reichart,P.A &Philipsen,Hans P.,2000. Color Atlas of Dental Medicine :Oral
Phatology.Germany: Georg Thieme Verlag